Pendekar Rajawali Sakti 104 - Perawan Lembah Maut(3)

Sementara, Rangga yang sudah beberapa hari berada di Desa Paringgi, semakin dibuat bingung oleh ulah si Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya. Mereka sekarang tidak lagi mempedulikan harta benda, tapi menjarah desa hanya untuk menculik anak-anak muda. Dan yang lebih membingungkan lagi, yang dipilih adalah yang berwajah tampan saja. Entah sudah berapa banyak pemuda Desa Paringgi yang diculik. Tapi, sampai saat ini Rangga belum juga bisa menemukan letak sarang Perawan Lembah Maut.

Sudah berulang kali Pendekar Rajawali Sakti menjelajahi daerah Lembah Maut, tapi sama sekali tidak melihat adanya tanda-tanda yang menunjukkan letak sarang gerombolan aneh itu. Yang ditemukan hanya mayat-mayat pemuda yang wajahnya sudah rusak. Dan sebagian mayat sudah mulai membusuk, menyebarkan bau tidak sedap. Seperti malam ini, Rangga dan Pandan Wangi sengaja menerobos masuk ke Lembah Muat. Tapi, mereka hanya mendapat mayat-mayat yang sudah menyebarkan bau busuk memualkan perut.

“Ayo tinggalkan tempat ini, Kakang. Aku tidak tahan baunya,” ajak Pandan Wangi.

Rangga melirik sedikit pada gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut. Bagi Rangga sendiri, bau busuk yang bagaimanapun menyengatnya, mudah diatasi. Tapi bagi Pandan Wangi.... Rangga tahu, Pandan Wangi tidak bisa memindahkan pernapasannya ke perut. Sehingga, bau busuk yang menyebar dari mayat-mayat itu tidak bisa ditanggulangi.

“Ayo,” Rangga cepat menyetujui.

Kedua pendekar muda itu segera memacu kudanya meninggalkan Lembah Maut ini. Dan sebentar saja, mereka sudah sampai di jalan dekat lembah yang menghubungkan desa-desa dengan Lembah Maut ini. Di jalan ini juga, mereka menemukan beberapa sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Dan kebanyakan, sudah mulai membusuk menyebarkan bau sangat tidak sedap.

Pandan Wangi terus memacu kudanya, hingga sampai di tempat yang cukup bersih udaranya. Si Kipas Maut itu menarik nafasnya dalam-dalam, mengisi rongga dadanya dengan udara bersih sebanyak-banyaknya. Sementara, Rangga yang sampai belakangan, langsung melompat turun dari punggung Dewa Bayu tunggangannya. Pandan Wangi bergegas mengikuti, melompat turun dari punggung kuda putihnya. Gerakannya terlihat sangat ringan dan indah.

“Phuih...! Lembah ini bisa penuh oleh mayat membusuk, kalau tidak segera dihentikan, Kakang,” ujar Pandan Wangi seraya menghembuskan napas panjang dan berat.

“Hm.” Rangga hanya menggumam saja sedikit Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya juga sudah tidak tahan lagi melihat semua ini. Tapi, memang tidak mudah untuk bisa menggempur si Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya. Gerakan mereka begitu cepat, bagai hantu saja. Sulit diduga, kapan munculnya dan bagaimana perginya. Mereka selalu datang dan pergi dengan cepat, tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Seakan-akan, seluruh dataran Lembah Maut ini bisa menghapus jejak mereka. 

***
ENAM
Malam terus merayap semakin larut. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih berada di jalan sekitar Lembah Maut. Terasa begitu sunyi keadaannya. Bahkan suara serangga malam pun tidak terdengar sama sekali. Hanya geraman-geraman anjing hutan saja yang sesekali terdengar, berpesta mengoyak tubuh-tubuh yang banyak bergelimpangan di sekitar hutan Lembah Maut ini.

“Kakang, aku kembali saja ke Desa Paringgi,” kata Pandan Wangi, memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka berdua.

“Kenapa...?” tanya Rangga ingin tahu alasannya.

“Aku tidak tahan,” sahut Pandan Wangi terus terang.

Rangga hanya diam saja. Memang Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa memaksa Pandan Wangi untuk terus ikut menjelajahi Lembah Maut ini, mencari sarang gerombolan si Perawan Lembah Maut. Keadaan di sekitar lembah ini memang sangat menggiriskan. Di mana-mana selalu terlihat mayat bergelimpangan yang sudah mulai menyebarkan bau busuk tidak sedap.

Memang harus diakui, meskipun Pandan Wangi seorang pendekar wanita digdaya, tapi juga manusia biasa. Dan Rangga tidak memungkirinya. Sekuat apa pun orangnya pasti tidak akan tahan melihat pemandangan mengerikan di lembah ini. Lebih-lebih, aroma yang tersebar pasti bisa membuat orang tidak akan bisa makan tiga hari. Dan Rangga benar-benar tidak bisa memaksa Pandan Wangi untuk terus ikut dan bertahan.

“Baiklah, Pandan. Aku tidak bisa memaksamu. Memang, sebaiknya kau tetap berada di Desa Paringgi,” ujar Rangga agak mendesah suaranya. “Bawa sekalian kudaku, Pandan.”

Pandan Wangi hanya mengangguk, kemudian kembali melompat naik ke punggung kudanya. Diambilnya tali kekang Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ini. Sebentar dipandanginya Rangga yang masih tetap berdiri tegak di tengah jalan.

“Pergilah. Keadaan di sini memang tidak mengenakan. Dan kau sendiri, harus menjaga agar mereka tidak masuk ke Desa Paringgi,” ujar Rangga bisa memahami perasaan si Kipas Maut itu.

“Maafkan aku, Kakang,” ucap Pandan Wangi.

Rangga tersenyum, lalu menepuk bahu gadis itu. Dan sebentar kemudian, Pandan Wangi sudah melesat dengan kuda putihnya sambil menuntun Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja, bayangan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah lenyap ditelan gelapnya malam. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak memandang ke arah perginya Pandan Wangi. Dan perlahan kemudian, tubuhnya diputar berbalik. Namun pada saat itu....

“Heh...?!” Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba di depannya kini sudah ada sekitar sepuluh orang berpakaian longgar serba hitam. Bagian kepala mereka tertutup kain hitam yang runcing pada bagian atasnya. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, kapan datangnya orang-orang ini. Namun belum juga hilang rasa terkejutnya, mereka sudah berlompatan mengepung. Dan...

“Hiyaaat...!”

Salah seorang yang berada tepat di depan Rangga, langsung melompat sambil mengibaskan pedang ke arah leher. Begitu cepat serangannya, hingga membuat Rangga jadi terperangah sesaat. Namun cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kepalanya ke belakang. Sehingga, tebasan pedang orang itu tidak sampai memenggal lehernya.

“Hup!”

Rangga cepat-cepat melompat mundur dua langkah, begitu dari arah depan agak ke kiri, datang lagi serangan yang cepat luar biasa dengan babatan cepat bagai kilat ke arah dada.

“Haiiit...!”

Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat meliukkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang ini. Dan begitu pedang yang menyerang dadanya lewat, dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa, dilepaskannya satu tendangan menggeledek, sambil memutar tubuhnya sedikit ke kanan.

“Yeaaah...!”

Begitu cepat tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga orang yang menyerangnya kini tidak sempat lagi menghindar. Maka tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu tepat menghantam dada.

Desss!
“Akh...!”

Sambil memekik keras agak tertahan, orang berjubah hitam itu terpental jauh ke belakang. Dan nyawanya seketika melayang, begitu tubuhnya menghantam tanah. Tampak dari mulutnya mengalir darah segar agak kental. Sementara, saat itu Rangga sudah kembali memutar tubuhnya, sambil melepaskan satu pukulan keras dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir. Sehingga, kedua kepalan Pendekar Rajawali Sakti jadi memerah bagai terbakar!

“Hiyaaat...!”

Rupanya, tidak ingin tanggung-tanggung lagi menghadapi orang-orang dari Lembah Maut ini. Tiga kali pukulan dahsyatnya dilepaskan dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir. Dan seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking dan menyayat. Tampak tiga orang lawannya terjerembab dengan kepala pecah terhantam pukulan dahsyatnya!

“Hih! Yeaaah...!”

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan seketika itu juga, tubuhnya menukik deras dengan kedua kaki berputar dengan kecepatan luar biasa. Begitu cepat serangannya, sehingga dua orang itu tak dapat lagi berkelit menghindar. Dan seketika itu juga, kembali terdengar jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya dua orang ber-jubah hitam itu. Tampak dari kepala mereka yang remuk, mengalir darah segar.

“Hap!”

Manis sekali Rangga menjejak tanah kembali, setelah dalam beberapa gebrakan saja sudah merobohkan enam orang lawan. Dan kini, yang tersisa tinggal empat orang lagi. Tampaknya, keempat orang berjubah hitam itu sudah gentar menghadapi kedahsyatan dari jurus-jurus milik Pendekar Rajawali Sakti.

“Jangan takut! Seraaang...!”

Tiba-tiba salah seorang berteriak lantang menggelegar memberi semangat. Dan seketika itu juga, keempat orang yang tersisa ini serentak langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun hanya meliuk-liukkan tubuh yang begitu lentur, semua serangan itu mudah sekali dapat dihindarinya.

“Hih! Yeaaah...!”

Dan begitu mendapat kesempatan, Rangga langsung melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke dada salah seorang lawan. Begitu cepat serangannya, sehingga orang berjubah hitam tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....

Digkh!
“Akh...!”
“Hup! Hiyaaat...!”

Rangga tidak lagi menunggu sampai orang itu ambruk ke tanah. Tubuhnya langsung melesat, sambil berteriak keras menggelegar. Dan saat itu juga dua pukulan dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ yang sangat luar biasa dilepaskan secara beruntun. Akibatnya, dua orang lawan terlempar ke belakang seketika, sambil mengeluarkan jerit melengking.

“Hap!”

Pendekar Rajawali Sakti cepat menjejakkan kakinya kembali di tanah, tepat sekitar enam langkah lagi di depan lawan yang kini tinggal seorang saja. Orang berjubah hitam itu tampak kelabakan, begitu menyadari hanya tinggal sendiri. Sedangkan yang lain sudah menggeletak, tidak mungkin bangun lagi.

“Tinggal kau sendiri, Kisanak...,” ujar Rangga dingin. “Aku akan memberi pilihan. Kalau kau mau tetap hidup, tunjukkan tempat si Perawan Lembah Maut bersembunyi. Tapi kalau mau mati seperti yang lain, silakan serang aku.”

Orang berjubah hitam itu hanya diam saja, namun tetap melintangkan pedangnya di depan dada. Dari balik kerudung hitamnya, terpancar sorot mata yang sangat tajam. Tapi sinar mata itu tampak memancarkan kegentaran. Dan tampaknya, tawaran yang diajukan Pendekar Rajawali Sakti barusan tengah dipikirkannya.

“Aku janji, Kisanak. Aku tidak melakukan apa-apa padamu, kalau kau bersedia menunjukkan tempat persembunyian Perawan Lembah Maut. Dan kau boleh pergi ke mana saja kau suka,” bujuk Rangga. Namun orang berjubah hitam itu masih tetap diam membisu. “Pikirkanlah, Kisanak. Keputusan yang akan kau ambil, menyangkut keselamatan nyawamu,” kata Rangga lagi, terus mendesak dengan nada lembut.

Beberapa saat orang berjubah hitam itu masih tetap diam membisu. Kemudian, kakinya bergeser ke kanan selangkah, lalu ditarik ke belakang dua langkah. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Namun, sorot ma-tanya terlihat begitu tajam, memperhatikan setiap gerak orang berjubah hitam di depannya.

“Siapa kau, Anak Muda?” tanya orang berjubah hitam itu memecah kebisuannya.

“Rangga,” sahut Rangga memperkenalkan diri.

“Kepandaianmu sangat mengagumkan, Anak Muda. Kau pasti seorang pendekar. Apa julukanmu...?”

Rangga tidak langsung menjawab. Memang, dia selalu mengalami kesulitan bila harus menjawab pertanyaan seperti itu. Bukannya tidak mau, tapi entah kenapa Rangga tidak pernah mau mengatakan dari mulutnya sendiri tentang julukannya.

“Apa itu perlu untukmu, Kisanak?” Rangga malah balik bertanya.

“Hanya untuk meyakinkan diriku saja, Anak Muda,” sahut orang berjubah hitam itu.

Dan dari suaranya yang terdengar besar, jelas sekali kalau orang itu laki-laki. Tapi, Rangga sulit mengetahui usianya dengan pasti, karena wajahnya tertutup kain kerudung hitam yang menyelubungi seluruh kepalanya. Tapi jelas dapat dilihat dari jari-jari tangannya, kalau kulit orang ini pasti agak legam. Dan usianya, mungkin sudah mencapai lima puluh tahun.

“Untuk apa...?” tanya Rangga lagi, ingin tahu.

“Kau terlalu banyak bertanya, Anak Muda,” dengus orang itu berat.

“Maaf, aku tidak biasa menyebutkan julukanku...,” Rangga tidak menyelesaikan ucapannya.

“Anak muda! Kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?” tebak orang berjubah hitam itu, langsung.

Dan saat itu juga Rangga jadi tertegun kaget. Sungguh tidak disangka kalau orang berjubah ini bisa menebak tepat sekali. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menghilangkan keterkejutannya dan langsung bersikap biasa lagi.

“Anak muda! Kalau kau memang benar Pendekar Rajawali Sakti, memang selama ini yang kucari. Dan itu bukan karena perintah Nini Sawitri, tapi memang keinginanku sendiri. Tapi kalau kau bukan Pendekar Rajawali Sakti, sekarang juga aku akan mengadu jiwa denganmu,” tegas orang berjubah hitam ini.

Dan untuk kedua kalinya, Rangga jadi tersedak hingga tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Sementara orang berjubah hitam itu sudah memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dipandanginya orang berjubah hitam ini dengan sinar mata dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan keheranan.

“Ya.... Aku memang Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Rangga akhirnya mengakui juga. Walaupun nada suara Pendekar Rajawali Sakti terdengar agak berat saat menyebutkan julukannya, tapi sedikit pun tidak tergambar nada kesombongan.

“Orang bisa saja mengaku-aku, Anak Muda. Tapi, aku sulit untuk dibodohi. Aku tahu betul, apa yang ada pada diri Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku bisa mengetahui pasti,” tegas orang berjubah hitam itu masih tetap tegas terdengar suaranya.

“Apa yang bisa meyakinkan dirimu?” tanya Rangga bernada mulai jengkel.

“Pedangmu...,” sahut orang berjubah hitam ini.

“Eh...?!” Rangga tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya kali ini.

“Di jagat ini, tidak ada yang mempunyai pedang seperti pedang yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Dari pedang itu, orang akan jelas mengetahuinya, kalau yang memegangnya pasti Pendekar Rajawali Sakti. Nah, Anak Muda.... Tunjukkan pedang yang kau sandang itu. Biar aku lebih yakin, kalau kau memang Pendekar Rajawali Sakti.”

“Kalau aku tidak mau...?” Rangga memberi pilihan lagi.

“Kita akan bertarung sampai salah seorang dari kita ada yang mati,” sahut orang berjubah hitam ini.

Memang sulit pilihan yang dihadapi Rangga kali ini. Sedangkan dia tidak ingin orang itu tewas di tangannya. Pendekar Rajawali Sakti berharap, orang itu masih tetap hidup dan bisa menjadi penunjuk jalan ke sarang gerombolan si Perawan Lembah Maut. Bagaimanapun juga, orang ini harus diperintahkan agar tetap hidup. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak punya pilihan lain lagi dengan perasaan enggan, dipegangnya juga gagang pedangnya yang selalu berada di punggung.

Perlahan-lahan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ditarik keluar dari warangka. Dan tercabut sejengkal saja, sudah memancar cahaya biru yang terang berkilauan yang menyilaukan mata dari mata pedang itu. Dan cahaya biru yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu, membuat orang berjubah hitam ini jadi terperangah diam membisu. Sementara, Rangga menahan pedang pusakanya untuk tidak tercabut penuh.

“Cukup...!” sentak orang berjubah hitam itu tiba-tiba.

Cring!

Rangga langsung memasukkan kembali pedang pusaka itu ke dalam warangka di punggung. Maka cahaya biru yang sempat menerangi tempat ini, langsung lenyap seketika. Sementara, orang berjubah hitam ini masih tetap berdiri, diam tidak bergeming sedikit pun. Dan dari balik kerudung kain hitamnya, dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Sementara, yang dipandangi hanya diam saja.

“Aku Ki Mutung, Pendekar Rajawali Sakti...,” ujar orang berjubah hitam itu memperkenalkan diri.

Lalu, orang yang mengaku bernama Ki Mutung membuka kain hitam yang menutupi seluruh kepalanya. Dan kini terlihat jelas raut wajah seorang laki-laki berusia lebih dari enam puluh tahun. Tapi, tubuhnya masih tetap kelihatan gagah. Dan rambutnya juga sudah kelihatan berwarna dua. Rangga sempat memandanginya sesaat.

“Aku berasal dari sebuah desa yang sangat jauh dari sini. Sejak dulu, aku sebenarnya tidak pernah berbuat jahat sedikit pun juga pada orang lain. Aku bergabung dengan Sawitri, karena putus asa,” Ki Mutung menceritakan dirinya tanpa diminta.

“Apa yang membuatmu putus asa, Ki?” tanya Rangga ingin tahu.

“Dulu, aku pemilik sebuah padepokan. Mungkin karena sebuah fitnah, orang-orang persilatan dari golongan putih menyerang padepokanku dan menghancurkannya. Hampir semua muridku tewas. Dan aku sendiri menderita luka sangat parah. Tapi, Nini Sawitri menyelamatkan nyawaku dan meminta aku bergabung dengannya. Aku menyanggupinya, asal dia bisa membalaskan sakit hatiku pada mereka yang sudah menghancurkan padepokanku. Dan Nini Sawitri lalu menyanggupi. Maka dalam waktu tidak berapa lama saja, semua orang yang menghancurkan padepokanku sudah dibereskannya. Sejak saat itu, aku bergabung dengannya. Kau tahu, Anak Muda. Aku jadi begitu dendam pada orang-orang persilatan. Ketangguhan Nini Sawitri kumanfaatkan untuk melampiaskan dendamku. Tapi melihat sepak terjang Nini Sawitri semakin liar saja, timbul pertentangan di dalam batinku. Hingga sekarang, aku terus merasa tersiksa. Dan...,” Ki Mutung tidak meneruskan.

“Kau menyesal, Ki...?”

“Ya..., aku menyesal. Aku menyesal telah bergabung dengan manusia berhati iblis seperti Nini Sawitri. Dan aku selalu mencari kesempatan untuk bisa membebaskan diri. Tapi kesempatan itu tidak pernah ada. Nini Sawitri selalu membunuh siapa saja yang bermaksud lari darinya. Bahkan siapa saja yang gagal menjalankan perintahnya langsung dibunuh, kalau tidak mau membunuh diri sendiri.”

“Hmmm....” Rangga menggumam kecil, dan langsung jadi teringat peristiwa beberapa waktu yang lalu. Pendekar Rajawali Sakti memang melihat orang-orang yang sempat bertarung dengannya membunuh dirinya sendiri, karena dianggap telah gagal.

“Anak muda....”

“Rangga,” selak Rangga cepat. “Panggil saja aku Rangga, Ki.”

Ki Mutung tersenyum. “Apa yang akan kau lakukan kalau bisa bertemu Nini Sawitri?” tanya Ki Mutung ingin tahu.

“Jelas aku akan menghentikan semua perbuatannya, Ki. Kalau masih bisa disadarkan, mungkin aku akan memberinya kelonggaran. Tapi kalau keras kepala, entahlah...,” sahut Rangga mendesah panjang.

“Dia tidak akan bisa disadarkan, Rangga. Hatinya sudah tertutup iblis,” tegas Ki Mutung.

Rangga hanya tersenyum saja. Entah, apa arti senyumnya ini.

“Rangga, aku akan mengantarkanmu menemui Nini Sawitri. Tapi, kau harus membunuhnya. Kalau tidak, dia akan membunuh kita berdua. Terutama, aku. Karena, aku sudah gagal melaksanakan perintahnya,” sambung Ki Mutung.

“Apa yang diperintahkannya padamu, Ki?” tanya Rangga.

“Mengambil beberapa anak muda dari Desa Paringgi. 

***
TUJUH
Malam ini juga, Rangga dan Ki Mutung berangkat ke Lembah Maut, tempat tinggal Nini Sawitri yang dikenal berjuluk si Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya. Mereka masuk ke dalam hutan lebat dan tidak pernah diinjak orang kecuali pengikut-pengikutnya si Perawan Lembah Maut. Walaupun Ki Mutung sudah bercerita banyak, tapi Rangga masih saja bersikap hati-hati.

Sebagai pendekar yang berwawasan luas, Pendekar Rajawali Sakti belum percaya penuh pada laki-laki setengah baya ini. Bisa saja hal seperti ini hanya sebuah jebakan saja. Dan itu yang menjadi pikiran Rangga saat ini. Rangga merasakan sudah cukup jauh berjalan menembus lebatnya hutan di Lembah Maut ini, tapi belum juga terlihat ada tanda-tanda letak sarang persembunyian si Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya.

Langkahnya segera dipercepat, menyusul Ki Mutung yang berjalan lebih dahulu di depan. Dan ayunan langkahnya disejajarkan di samping laki-laki berusia setengah baya yang mengenakan baju jubah panjang warna hitam pekat ini.

“Masih jauh tempatnya?” tanya Rangga bernada mulai curiga.

“Tidak. Sebentar lagi sampai. Sebaiknya, kau jangan banyak bicara. Nini Sawitri bisa mendengar dari jarak jauh,” sahut Ki Mutung.

“Hm... Kebetulan sekali kalau begitu. Aku memang ingin langsung bertemu dengannya,” ujar Rangga kalem.

“Iya. Tapi kalau dia yang tahu lebih dulu, kita berdua akan celaka. Percayalah padaku, Rangga. Kalau dia tidak mati, aku yang pasti mati. Dan kau juga....”

“Berapa orang pengikutnya?” tanya Rangga mengalihkan pembicaraan.

“Sekitar seratus orang.”

“Banyak juga....”

“Itu yang ada di lembah ini. Belum yang tersebar di setiap desa di sekitar Lembah Maut ini. Mungkin jumlah seluruhnya ada sekitar lima ratus orang. Nini Sawitri juga menyebar orang-orangnya sampai ke kota-kota kadipaten dan kotaraja. Pengikutnya sangat banyak. Dan kalau sudah menyebar, sulit dikenali lagi. Mereka berbaur dengan orang-orang biasa. Tapi kalau ingin mendapatkan mangsa, mereka bisa menjadi ganas. Bahkan lebih ganas dari serigala kelaparan.”

“Apa saja tugas mereka?”

“Selain merampok, juga membuat cacat anak-anak muda. Terutama, yang berwajah tampan. Hmmm.... Kau juga sangat tampan, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah padanya. Dia bisa sangat liar dan kejam kalau melihat anak muda berwajah tampan. Kalau tidak bisa dibuat cacat wajahnya, akan langsung dibunuh secara kejam.”

“Hm.... Tampaknya dia sangat dendam. Kau tahu, apa sebabnya?” tanya Rangga jadi ingin tahu.

“Dia memang dendam pada anak-anak muda tampan dan gagah. Tapi kami semua pengikutnya tidak ada yang tahu alasannya, kenapa dia begitu dendam pada anak-anak muda tampan,” sahut Ki Mutung menjelaskan lagi.

Dan Rangga tidak bertanya-tanya lagi, dan terus berjalan di sebelah kiri laki-laki setengah baya yang ingin keluar dari gerombolan liar si Perawan Lembah Maut itu. Sementara hutan yang dilalui sekarang sudah terasa mulai tidak rapat lagi. Dan cahaya bulan pun mulai menerangi sekitarnya, hingga mereka bisa melihat jauh ke depan. Saat itu Ki Mutung menghentikan ayunan langkahnya.

Rangga juga jadi ikut berhenti berjalan. Hatinya agak heran juga melihat Ki Mutung memandang lurus ke depan, dengan kelopak mata tidak berkedip sedikit pun. Rangga mengarahkan pandangannya lurus ke depan, searah dengan pandangan mata laki-laki setengah baya itu. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat apa pun di depan sana, kecuali sebuah padang rumput kecil dan lebatnya pepohonan saja yang terlihat di sana.

“Ada apa, Ki?” tanya Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Di seberang padang rumput itu, tempat Nini Sawitri tinggal. Di sebuah puri tua,” sahut Ki Mutung memberi tahu.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit.

“Kalau kau menyeberangi padang rumput ini, mereka akan cepat mengetahuimu, Rangga. Sedangkan untuk menuju ke sana, hanya melalui padang rumput ini saja,” jelas Ki Mutung.

“Hm...,” lagi-lagi Rangga hanya menggumam perlahan.

“Di seberang padang rumput ini, Nini Sawitri menyebar orang-orangnya. Mereka sulit dilihat, karena selalu bersembunyi dengan rapi. Kau tidak akan bisa menyangka kemunculannya, Rangga,” sambung Ki Mutung.

“Kau tahu tempat-tempat persembunyian mereka yang pasti?” tanya Rangga.

“Sulit,” sahut Ki Mutung seraya menggeleng.

“Sulit...? Apa maksudmu, Ki?”

“Nini Sawitri selalu memindah-mindahkan mereka tanpa ada seorang pun yang tahu. Hanya dia saja yang tahu persis, di mana orang-orangnya di tempatkan.”

“Hebat.... Pertahanan yang sangat hebat dan mengagumkan,” puji Rangga tulus.

“Memang dia sangat ahli dalam mengatur siasat bertempur dan pertahanan, Rangga. Itu sebabnya, sampai sekarang tidak ada yang bisa mengalahkannya. Bahkan pernah beberapa kelompok perguruan silat menyerbu ke sini, tapi semuanya mati sebelum bisa mencapai puri. Dan prajurit kerajaan juga pernah mencoba, tapi tidak ada yang berhasil. Hingga pihak kerajaan sampai saat ini seperti tidak mau tahu.”

“Hm...,” kembali Rangga jadi bergumam. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat cerita Kepala Desa Paringgi yang mengatakan kalau pihak kerajaan tidak tahu apa-apa tentang gerombolan liar si Perawan Lembah Maut ini.

“Ki! Aku selama ini tinggal di Desa Paringgi. Dan kepala desa itu mengatakan kalau pihak kerajaan tidak tahu apa-apa masalah ini,” kata Rangga mencoba mengorek keterangan.

“Sudah tentu dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya, Rangga. Karena kepala desa itu masih ada ikatan keluarga dengan pihak keluarga istana. Dan tentu saja dia tidak mau mencoreng nama keluarganya sendiri.”

Rangga mengangguk-angguk. Memang bisa diterima alasan itu. Dan dia juga tidak mau mempersoalkan lagi. Perhatiannya kembali ke depan, ke seberang padang rumput yang tidak begitu besar ini. Dan tampaknya, padang rumput ini memang sengaja dibuat. Ini bisa dilihat dari banyaknya bekas tebangan kayu yang tersebar hampir di seluruh padang rumput ini.

“Kau di sini saja, Ki...?” ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Aku kira, kau sebaiknya jangan ke sana sendiri, Rangga. Terlalu berbahaya bagi dirimu sendiri,” kata Ki Mutung, langsung bisa mengerti pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Rangga hanya tersenyum saja. “Baiklah, Rangga. Aku tidak bisa mendesak dan mencegahmu. Kalau kau ingin ke sana, biar aku di sini saja. Aku akan cegat kalau-kalau ada yang mau kabur dan menyerang ke sini,” kata Ki Mutung lagi.

“Baiklah kalau begitu. Kau siap-siap saja di sini dengan bagianmu, Ki,” kata Rangga terus tersenyum.

Ki Mutung hanya sedikit mengangguk saja. Sementara Rangga sudah mulai melangkah memasuki padang rumput yang tidak begitu luas ini. Ayunan kakinya terasa begitu ringan. Bahkan sedikit pun tidak terlihat gerakan pada daun-daun rerumputan yang terinjak kakinya. Seakan-akan, Pendekar Rajawali Sakti berjalan di atas pucuk-pucuk daun rerumputan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga membuat Ki Mutung yang melihatnya jadi berdecak kagum.

Tanpa mendapat halangan sedikit pun juga, Rangga sampai di seberang padang rumput ini. Tapi baru saja melewati satu pohon yang sangat besar, tiba-tiba saja dari balik kerimbunan daun pohon itu melesat turun dua buah sosok tubuh berpakaian serba hitam.

“Haiiit...!”

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang, begitu dua orang berpakaian serba hitam itu langsung menyerangnya dengan pedang terhunus. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting ke udara sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaat..!”

Dengan kecepatan bagai kilat pula, pemuda berbaju rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua kakinya hingga merentang ke samping, tepat mengarah ke kepala dua orang berbaju jubah hitam yang menyerangnya tanpa basa-basi lagi. Begitu cepat sekali serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dua orang berjubah hitam itu tidak sempat lagi berkelit menghindar. Maka tendangan itu tepat menghantam kepala mereka.

Desss!
Prak!
“Akh...!”
“Aaa...!”

Dua kali jeritan panjang melengking seketika terdengar menyayat. Sementara, Rangga sudah memutar tubuhnya di udara dengan gerakan indah sekali. Dan begitu kakinya menjejak tanah, dua orang berbaju serba hitam itu ambruk menggelegar ke tanah dengan kepala pecah berlumur darah. Hanya sebentar saja mereka sempat menggeliat dan mengerang, kemudian mengejang kaku. Mati.

“Hhh!” Rangga menghembuskan napas berat. Wajahnya berpaling sedikit ke seberang padang rumput, tapi Ki Mutung tidak terlihat lagi di sana. Rangga tahu, laki-laki setengah baya itu sudah menyembunyikan diri di balik pepohonan.

Sebentar Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian kakinya melangkah perlahan memasuki hutan yang kelihatannya tidak begitu lebat ini. Tapi, pepohonan yang tumbuh memang sangat besar-besar dan berdaun rimbun. Hingga, cahaya bulan sulit menerobos sampai ke permukaan tanah. Rangga terus melangkah dengan pendengaran dipasang tajam. Sedangkan kedua bola matanya juga tidak berkedip, memancar sangat tajam mengamati keadaan sekitarnya.

“Berhenti...!”
“Hm....”

Rangga langsung menghentikan ayunan kakinya, begitu tiba-tiba terdengar bentakan yang cukup keras mengejutkan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak kelihatan terkejut, karena memang sudah diperingati Ki Mutung. Tak heran kalau segala rintangan yang akan dihadapinya sudah dipersiapkan sejak tadi. Dan begitu terdengar desiran angin yang sangat halus dari belakang, Pendekar Rajawali Sakti cepat membanting tubuhnya ke belakang. Dan secepat itu pula kaki kirinya dihentakkan ke atas.

“Yeaaah...!”
Wusss!
Diegkh...!

Tepat di saat terlihatnya bayangan hitam berkelebat di atas tubuhnya, tendangan kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti yang ke atas menghantam dengan telak. Hingga, terdengar suara benturan yang cukup keras disertai keluhan pendek. Tampak sesosok tubuh berjubah hitam jatuh bergulingan, tidak jauh di samping tubuh Rangga yang menelentang ke atas.

“Hup!” Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit berdiri. Dan begitu kakinya menjejak tanah, terlihat seseorang berjubah hitam sudah menggeletak di tanah dengan dada remuk akibat terkena tendangan dahsyatnya.

“Hm....” Hanya sedikit saja Rangga menggumam, kemudian sudah melangkah lagi dengan ayunan kaki ringan dan perlahan. Mata dan telinganya tetap dipasang tajam. Dia tahu, di sekitar hutan Lembah Maut ini banyak orang bersembunyi, yang pasti sudah diperintahkan untuk membunuh siapa saja yang mencoba memasukinya.

Berbagai macam rintangan dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah. Dan memang mereka yang mencoba menghadang, memang bukanlah tandingan pemuda berbaju rompi putih ini. Tak heran bila menghadapi rintangan dari mereka yang tingkat kepandaiannya masih rendah, bukanlah halangan yang berarti bagi Pendekar Rajawali Sakti.

Kini, mudah sekali Rangga bisa menemukan sebuah bangunan puri yang sudah tua dan kelihatan tidak terurus lagi ini. Dia tahu, puri itulah yang menjadi tempat tinggal si Perawan Lembah Maut. Tapi keadaan sekitarnya begitu sunyi, seperti tidak pernah ada yang datang ke tempat ini. Tanaman-tanaman rambat hampir memenuhi seluruh dinding puri yang terbuat dari batu. Bahkan lumut pun terlihat sangat tebal, menutupi seluruh batu-batu dinding puri ini.

“Hm.... Apa mungkin ini tempatnya...?” gumam Rangga jadi ragu-ragu sendiri melihat keadaan puri yang sudah hampir rusak dan tidak terawat ini. Namun, keraguan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berlangsung lama. Belum juga bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja dari bagian atas puncak puri melesat sebuah bayangan hitam dengan kecepatan luar biasa. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti jadi terperangah sesaat.

Wusss!
“Upts!”

Hampir saja bayangan hitam itu menghantam kepalanya, kalau saja Rangga tidak segera merunduk. Dan belum juga kepalanya bisa ditegakkan lagi, dari arah belakang sudah melesat satu bayangan hitam lagi dengan kecepatan bagai kilat.

“Hap...!” Cepat-cepat Rangga melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Sehingga, bayangan hitam itu lewat di bawah telapak kakinya. Saat itu juga, dari arah lain muncul bayangan hitam lagi yang langsung meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Hiyaaa...!”

Kali ini, Rangga tidak punya kesempatan lagi untuk berkelit menghindari. Terlebih lagi, sekarang ini sedang berada di udara. Dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan tangan kanan disertai jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, tepat pada saat bayangan hitam dekat dengannya. Hingga....

Plak!
“Akh...!”
“Hap!”

Bersamaan dengan terdengarnya pekikan tertahan, Rangga cepat-cepat menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Dan saat itu juga, terlihat seorang berjubah hitam bergulingan di tanah sambil menggeram. Tampak darah merembes keluar dari baju hitam yang dikenakannya. Dan saat itu juga, orang berjubah hitam ini langsung menggeletak tidak bisa bergerak-gerak lagi.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
“Hm”

Rangga hanya menggumam sedikit saja, saat melihat di sekelilingnya sudah bermunculan orang-orang berjubah hitam berlompatan ke arahnya. Dan sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung tidak kurang dari seratus orang berjubah hitam, yang seluruh kepalanya berselubung kain hitam. Mereka semua menggenggam senjata pedang di tangan kanan. Begitu rapat, hingga tidak ada celah sedikit pun untuk bisa meloloskan diri.

Saat itu, Rangga cepat menyadari kalau tidak mungkin bisa menghadapi orang sebanyak ini bila hanya mengandalkan jurus-jurus biasa saja. Meskipun jurus-jurus yang dimiliki termasuk dalam golongan tingkat tinggi, tapi menghadapi orang yang berjumlah sekitar seratus ini tidak ada seorang pun yang akan sanggup. Sementara orang-orang berjubah hitam ini, tidak bisa dianggap sembarangan. Tingkat kepandaian mereka cukup lumayan.

Namun tetap saja Rangga tidak akan mampu menghadapi keroyokan orang sedemikian banyaknya. Maka Pendekar Rajawali Sakti harus menggunakan ilmu kesaktian dalam menghadapi kepungan orang yang berjumlah sekitar seratus ini. Rangga memutar tubuhnya perlahan dengan kaki menggeser, tetap menjejak tanah. Sorot matanya terlihat begitu tajam merayapi orang-orang berjubah hitam yang sudah mengepung rapat dengan senjata terhunus. Dan perlahan-lahan, kedua telapak tangannya mulai dirapatkan di depan dada, sambil terus bergerak perlahan memutar. Mereka juga bergerak perlahan, mengikuti arah gerakan Pendekar Rajawali Sakti.

“Seraaang...!”
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”

Begitu terdengar teriakan memerintah yang sangat lantang, orang-orang berjubah hitam ini langsung saja berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari segala arah. Pedang-pedang mereka berkelebatan begitu cepat, hingga sulit diikuti pandangan. Namun tanpa diduga sama sekali, saat itu juga Rangga yang sudah merapatkan kedua tangan di depan dada, memutar tubuhnya dengan kecepatan bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan secepat kilat pula kedua tangannya dihentakkan hingga merentang ke samping.

“Aji ‘Bayu Bajra’! Yeaaah...!”

Bersamaan terdengarnya teriakan lantang menggelegar Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja bertiup angin badai topan yang datang dari kedua tangannya yang terentang lebar. Dan seketika itu juga, orang-orang berjubah hitam itu berpentalan ke belakang, tidak mampu menahan hempasan angin badai yang sangat dahsyat ini!

Werrr!
“Aaa...!”
“Akh!”

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan menyayat, seketika itu juga terdengar saling sambut Begitu dahsyatnya aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti, hingga bukan hanya orang-orang berjubah hitam ini saja yang berpelantingan terhempas. Tapi pepohonan di sekitarnya juga bertumbangan, tercabut sampai ke akar-akar nya disapu angin dari aji ‘Bayu Bajra’. Bahkan bebatuan pun berhamburan bagai segumpal kapas.

Tampak bangunan puri yang seluruhnya terbuat dari batu itu jadi bergetar bagaikan diguncang gempa. Bahkan bagian atasnya mulai berguguran, tidak mampu menahan gempuran aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti yang sangat dahsyat ini.

“Hap!” Rangga segera mengatupkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Maka seketika badai yang diciptakannya terhenti. Tampak sekitarnya sudah hancur porak-poranda bagai baru saja dilanda kawanan banteng liar yang mengamuk. Tubuh-tubuh berjubah hitam tampak bergelimpangan tak bernyawa lagi. Bahkan ada yang tertindih pohon dan batu. Atau, tubuhnya menembus potongan kayu pohon!

Tidak ada seorang pun yang kelihatan masih bisa bernapas. Rangga menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat, memandangi keadaan sekitarnya. Memang, aji ‘Bayu Bajra’ yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti bukan saja bisa menumbangkan puluhan atau mungkin ratusan orang dalam waktu singkat saja. Tapi, alam sekitarnya juga ikut terkena akibatnya. Dan setiap kali Rangga selesai menggunakannya, selalu terselip rasa penyesalan melihat keadaan sekelilingnya jadi hancur berantakan seperti ini.

“Maaf. Aku terpaksa menggunakannya,” ujar Rangga pelan. Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah mendekati bangunan puri tua ini. Namun baru saja berjalan beberapa langkah....

Swing!
“Heh...?! Hup!”

***
DELAPAN
Sesaat Rangga terkesiap ketika tiba-tiba saja dari arah pintu puri yang mendadak terbuka, meluncur ratusan anak panah yang menghambur ke arahnya. Cepat-cepat tubuhnya diputar ke belakang. Dan pedangnya langsung dicabut dengan cepat. Lalu secepat itu pula pedangnya diputar untuk melindungi diri dari hujaman panah-panah yang meluruk bagai kilat ke arahnya

. “Hiyaaa...!”
Werrr!

Begitu cepat putaran Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti, sehingga yang terlihat hanya gelombang cahaya biru saja dalam menangkis serangan anak panah yang keluar dari dalam puri tua itu. Dan sekelilingnya yang terselimut gelap ini, langsung menjadi terang benderang oleh pancaran cahaya biru yang menyemburat menggelombang dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

“Hap!”

Rangga menghentikan gerakan pedangnya, begitu terasa tidak ada lagi serangan panah yang mengarah kepadanya. Pedang pusaka yang memancarkan cahaya biru terang menyilaukan ini disilangkan di depan dada, membuat sekelilingnya jadi bagaikan siang hari.

“Nini Sawitri, keluar kau...! Aku Pendekar Rajawali Sakti akan menantangmu bertarung!” tantang sekali teriakan Rangga.

Teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggema ke seluruh Lembah Maut ini, memantul dari pepohonan dan batu-batuan yang banyak tersebar di seluruh lembah. Namun, tidak ada sahutan sama sekali. Suasana pun jadi terasa lengang, begitu gema teriakan Pendekar Rajawali Sakti menghilang dari pendengaran. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak di depan bangunan puri tua ini. Perlahan pedangnya diangkat, dan dimasukkan kembali ke dalam warangka di punggung.

“Nini Sawitri...!” teriak Rangga memanggil lagi.

Masih juga belum ada jawaban. Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah beberapa tindak ke depan. Pandangan matanya tertuju lurus ke pintu yang kini terbuka lebar. Tampak keadaannya gelap pada bagian dalam puri itu. Dan sedikit pun tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Begitu sunyi dan lengang, hingga desir angin yang sangat halus pun dapat terdengar jelas.

“Baiklah, Nini Sawitri. Kalau kau tidak mau keluar, aku akan menghancurkan puri ini!” teriak Rangga lagi, masih dengan suara keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Pendekar Rajawali Sakti langsung bersiap mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir, hingga kedua kepalan tangannya terlihat memerah bagai besi terbakar dalam tungku. Kini, kedua kepalan tangannya sudah sejajar di pinggang. Rangga terus menatap ke arah pintu dengan sinar mata tajam. Namun, belum ada tanda-tanda si Perawan Lembah Maut menjawab tantangannya. Dan itu membuat Rangga tidak dapat lagi menahan diri.

“Aku sudah memperingatkanmu, Nini Sawitri...!” ujar Rangga lantang menggelegar. Belum juga ada tanggapan. “Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan begitu kepalan tangannya terbuka, dari kedua telapaknya meluncur seleret cahaya merah bagai api yang begitu cepat bagai kilat, langsung mengarah ke pintu puri tua itu.

Glarrr...!

Bumi seketika berguncang begitu terdengar ledakan dari puri yang terhantam pukulan jarak jauh dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir. Tampak batu-batu dari dalam puri terbongkar keluar, disertai semburan api dan asap hitam yang menggumpal tebal. Sementara, Rangga menunggu sambil berdiri tegak pada kedua kakinya yang kokoh. Pandangannya tetap tertuju lurus ke depan, tanpa berkedip sedikit pun ke arah bangunan puri yang sudah hancur bagian dalamnya. Tampak dinding-dinding batu bangunan puri itu sudah mulai retak. Bahkan sudah banyak yang berjatuhan akibat terkena pukulan jarak jauh yang sangat dahsyat dari Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga...!”

“Oh...?!” Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar teriakan memanggil dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Dan saat itu, tampak Ki Mutung tahu-tahu sudah berdiri cukup jauh di depannya. Laki-laki setengah baya bekas pengikut si Perawan Lembah Maut itu melangkah tergesa-gesa menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

“Ada apa, Ki Mutung?” tanya Rangga langsung, begitu Ki Mutung sudah dekat.

“Kau tidak akan menemukan si Perawan Lembah Maut itu di sini,” kata Ki Mutung langsung memberi tahu.

“Jadi, aku salah...?”

“Tidak. Kau benar, Rangga. Puri ini memang menjadi tempat tinggalnya. Tapi malam ini, dia tidak ada di sini. Aku lupa memberitahumu,” kata Ki Mutung.

“Di mana dia?”

Ki Mutung tidak langsung menjawab, namun malah mendongakkan kepalanya ke atas, memandang bulan yang malam ini bersinar penuh. Sebentar kemudian kembali ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang masih berdiri dekat di depannya. Tampak Rangga menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

“Sebaiknya kita memang tidak perlu ke sana, Rangga. Sebentar lagi, dia pasti kembali lagi ke sini,” kata Ki Mutung. “Sudah hampir pagi. Tidak lama lagi dia pasti datang.”

“Hm.... Di mana dia sebenarnya sekarang, Ki?” tanya Rangga, tetap ingin tahu.

“Di tempat mendiang gurunya, Penguasa Lembah Maut. Setiap bulan purnama, dia pasti ke sana untuk memberi penghormatan. Setiap kali pergi, dia hanya membawa sekitar sepuluh orang saja untuk mengawalnya. Tapi, aku rasa tidak lama lagi pasti kembali,” jelas Ki Mutung. Rangga hanya diam saja. “Kita tunggu saja di sini, Rangga. Nanti kau bisa menghadapinya. Sedangkan yang sepuluh orang, biar aku yang membereskan,” kata Ki Mutung lagi.

Rangga masih tetap diam beberapa saat. Tubuhnya kembali diputar, memandangi bangunan puri yang sudah hampir hancur itu. Sementara, Ki Mutung masih tetap berada di belakangnya. Saat itu, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengepalkan kedua tangannya di pinggang. Dan kedua kepalan tangannya perlahan-lahan jadi memerah bagai terbakar. Ki Mutung jadi terbeliak melihat perubahan itu, namun hanya bisa diam saja memperhatikan tanpa berkedip sedikitpun juga.

“Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga kedua tangannya cepat dihentakkan ke depan. Saat itu juga, terlihat selarik sinar merah meluncur cepat bagai kilat ke arah bangunan puri tua ini.

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar, membuat bangunan puri tua itu hancur seketika terhantam pukulan jarak jauh dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir. Dan saat itu, Rangga kembali melepaskan pukulan dahsyatnya. Akibatnya, bangunan puri tua ini jadi hancur berkeping-keping, menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi ke angkasa. Dan kilatan bunga api pun menyebar ke segala arah. Bumi bergetar hebat bagai diguncang gempa yang sangat kuat.

“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas berat.

“Kenapa kau hancurkan puri itu, Rangga?” tanya Ki Mutung.

“Hanya untuk memancing kemarahannya saja, Ki. Kalau tahu aku yang menghancurkan purinya, dia pasti akan marah dan berusaha membunuhku. Maka di saat itulah aku bisa mempermainkan perasaannya. Kalau sudah terpancing, dia akan kehilangan kendali diri. Dan aku bisa mudah mengalahkannya. Kau mengerti, Ki...?” Rangga menjelaskan alasannya menghancurkan bangunan puri itu.

“Kau hebat, Rangga,” puji Ki Mutung tulus. "Tidak percuma kau mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti yang begitu ternama dan digdaya. Kau memang pantas mendapatkan gelar pendekar sejati, Rangga. Bukan hanya ilmu-ilmu saja yang digdaya, tapi pikiranmu juga sangat cemerlang.”

Rangga hanya tersenyum sedikit saja, menanggapi pujian itu. “Ayo, Ki. Kita sembunyi dulu,” ajak Rangga.

Ki Mutung tidak membantah sedikit pun juga. Diikutinya langkah Rangga yang sudah berjalan lebih dulu mencari tempat persembunyian yang cocok. Sementara, malam terus beranjak semakin larut Dan memang sebentar lagi pagi akan datang menjelang. Di kejauhan, sudah mulai terdengar bunyi burung berkicau menyambut datangnya fajar.

Memang tidak terlalu lama Rangga menunggu. Buktinya Nini Sawitri yang dikenal berjuluk si Perawan Lembah Maut datang ke puri ini bersama sepuluh orang berjubah hitam yang mengawalnya. Wanita yang selalu mengenakan baju hitam dengan topeng tengkorak menutupi wajahnya itu, jadi terperanjat setengah mati melihat puri tempat tinggalnya sudah hancur tinggal puing-puing saja. Sementara, di pelataran puri ini terlihat mayat-mayat bergelimpangan.

“Keparat...! Siapa berani melakukan ini, heh...?!” geram Nini Sawitri, langsung memuncak amarahnya.

Saat itu Rangga muncul dari tempat persembunyiannya. Sedangkan Ki Mutung masih tetap bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk muncul dan langsung menggempur sepuluh orang yang mengawal si Perawan Lembah Maut.

“Pendekar Rajawali Sakti...,” desis Nini Sawitri, langsung mengenali pemuda berbaju rompi putih yang baru muncul dari balik semak belukar itu.

Memang di kalangan orang-orang persilatan, julukan Pendekar Rajawali Sakti sudah sangat akrab di telinga. Bahkan bagi orang yang baru pertama kali bertemu pun sudah langsung bisa mengenalinya. Memang tidak ada lagi yang mengenakan baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di dalam dunia persilatan, selain Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau yang bernama Nini Sawitri...?” tanya Rangga langsung dengan suara terdengar dingin.

“Benar!” sahut Nini Sawitri ketus. “Dan kau yang menghancurkan puriku...?!”

“Tidak salah lagi.”

“Bangsat keparat...! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Nini Sawitri langsung memuncak amarahnya.

“Justru kedatanganku untuk membungkammu, Nini Sawitri,” sambut Rangga dingin.

“Setan! Kubunuh kau! Hiyaaat...!”

Sambil memaki dan berteriak lantang menggelegar, Perawan Lembah Maut langsung saja melompat secepat kilat sambil melepaskan satu pukulan dahsyat ke arah batok kepala Rangga.

“Haiiit..!”

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, serangan si Perawan Lembah Maut dapat dihindari Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah. Dan Rangga cepat-cepat menarik kakinya ke kiri dua langkah. Dan saat itu juga, tubuhnya dimiringkan, tepat di saat Nini Sawitri kembali melepaskan satu pukulan menyamping ke arah pinggang. Belum lagi pukulan si Perawan Lembah Maut bisa mencapai sasaran, tanpa diduga sama sekali Rangga sudah menghentakkan kaki kanannya ke samping dengan tubuh miring hampir jatuh.

“Yeaaah...!”
“Heh...?! Hup!”

Perawan Lembah Maut jadi kaget setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya ditarik ke belakang, menghindari serangan balik yang begitu cepat dan tanpa diduga sebelumnya. Wanita itu memaki dan menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sementara, Rangga sudah kembali berdiri tegak sambil memandang tajam, langsung ke bola mata si Perawan Lembah Maut ini.

“Hiyaaat...!”
Sret!
Cring!
Bet!

Nini Sawitri kembali melompat menyerang sambil cepat mencabut pedangnya. Dan secepat kilat pula pedangnya dibabatkan ke leher Pendekar Rajawali Sakti.

“Haiiit...!”

Namun kembali serangan wanita bertopeng tengkorak itu dapat mudah dihindari. Bahkan Rangga langsung memberi serangan balasan yang begitu cepat, hingga membuat si Perawan Lembah Maut itu jadi menyumpah serapah sambil berjumpalitan menghindari serangan-serangan. Pertarungan itu pun berjalan semakin sengit saja. Jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat langsung dikerahkan untuk saling menjatuhkan.

Namun setelah pertarungan berjalan lebih dari sepuluh jurus, belum juga ada tanda-tanda akan terhenti. Bahkan semakin dahsyat saja, dan terus meningkat dengan pengerahan aji-aji kesaktian. Suara ledakan-ledakan dahsyat menggelegar, seketika terdengar saling sambut ditingkahi teriakan-teriakan keras pertarungan. Dan loncatan-loncatan bunga api terlihat membubung tinggi ke angkasa.

Entah sudah berapa jurus dan beberapa banyak aji kesaktian yang dikerahkan, hingga membuat keadaan hutan sekitarnya semakin hancur tidak beraturan lagi. Tidak terhitung lagi, berapa batu yang hancur. Dan, berapa pula pepohonan yang tumbang. Namun pertarungan terus berjalan semakin sengit. Bahkan kini Rangga sudah menggunakan pedang pusakanya yang terkenal sangat dahsyat.

“Hap...!”

Entah pada jurus yang keberapa, tiba-tiba saja Nini Sawitri melompat mundur, keluar dari kancah pertarungan. Sementara itu, entah kapan dimulainya, Ki Mutung sudah menggempur sepuluh orang yang tadi bersama si Perawan Lembah Maut ini. Bahkan sudah terlihat tiga orang menggeletak tak bernyawa lagi.

“Kita mengadu jiwa sekarang, Pendekar Rajawali Sakti. Kerahkan ilmu yang paling kau andalkan,” tantang Nini Sawitri dingin menggetarkan.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam sedikit saja.

“Haaap...!”

Sementara, itu si Perawan Lembah Maut sudah bersiap mengerahkan aji pamungkasnya. Dan ilmu ini jarang sekali digunakan, kalau tidak dalam keadaan terpaksa. Dan selama ini belum ada satu ilmu kedigdayaan pun yang bisa menandinginya.

Sementara itu, Rangga masih berdiri tegak dengan pedang pusaka bersilang di depan dada. Saat itu, perlahan-lahan Rangga mulai menempelkan telapak tangannya di mata pedang, lalu menggo-soknya perlahan-lahan sampai pada ujung mata pedang. Dan kembali lagi, Rangga menggosoknya hingga ke pangkal.

“Sekarang saatnya, Pendekar Rajawali Sakti. Bersiaplah. Hiyaaat...!” Sambil berteriak keras menggelegar, si Perawan Lembah Maut menghentakkan kedua tangannya ke depan.

Dan pada saat itu juga.... “Aji ‘Cakra Buana Sukma’! Yeaaah...!” Secepat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan pedangnya lurus ke depan.

Dan di saat seberkas cahaya kuning keemas-emasan meluruk deras dari telapak tangan Nini Sawitri, seketika itu juga dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti memancarkan cahaya biru yang sangat terang menyilaukan mata.

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan yang sangat dahsyat menggelegar, begitu dua cahaya yang saling bertentangan ini bertemu di tengah-tengah.

“Hiyaaat..!” Rangga tidak lagi menunggu sampai cahaya birunya menyelimuti seluruh tubuh si Perawan Lembah Maut. Sambil berteriak keras menggelegar Pendekar Rajawali Sakti melesat, begitu Nini Sawitri tengah terhuyung-huyung akibat benturan dua cahaya dari ilmu kedigdyaan itu tadi. Dan serangan Rangga yang begitu cepat tanpa diduga sama sekali ini, membuat si Perawan Lembah Maut jadi terperangah dengan mata mendelik. Namun, dia tidak memiliki kesempatan lagi sedikit pun juga. Hingga...

Cras!
“Aaa...!”

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat, tepat ketika Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti membabat leher si Perawan Lembah Maut. Tampak wanita berbaju serba hitam itu masih berdiri tegak, tidak jauh di depan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sebentar kemudian, dia sudah limbung, lalu jatuh menggelepar dengan kepala terlepas dari leher. Darah tampak mengucur deras dari lehernya yang buntung tidak berkepala lagi.

Sementara, Rangga berdiri tegak memandangi tubuh si Perawan Lembah Maut yang sudah tewas dengan kepala terpisah dari leher. Kemudian pandangannya diarahkan pada Ki Mutung yang kini tinggal menghadapi dua orang lawannya. Dan jeritan kematian si Perawan Lembah Maut rupanya membuat dua orang itu jadi tersentak kaget. Saat itu juga, Ki Mutung membabatkan pedangnya. Akibatnya, dua orang lawannya ini tidak dapat lagi menghindar. Dan mereka seketika menjerit melengking, begitu mata pedang Ki Mutung membelah dadanya.

“Phuih...!”

Ki Mutung menghembuskan napas panjang, begitu menghabisi lawan terakhirnya. Langsung kepalanya diangkat dan melihat Pendekar Rajawali Sakti juga sudah selesai dengan lawan tangguhnya. Beberapa saat mereka hanya saling pandang, tanpa bicara sedikit pun juga.

“Ayo kita kembali ke Desa Paringgi, Ki,” ajak Rangga.

“Kau saja, Rangga,” tolak Ki Mutung tegas.

“Kenapa kau tidak mau ke sana?” tanya Rangga ingin tahu alasannya.

“Aku tidak berhak lagi menginjakkan kaki di sana, Rangga. Lagi pula, aku masih punya kampung halaman. Dan aku akan kembali ke sana, memulai hidup baru menjadi petani,” tolak Ki Mutung.

Rangga tidak bisa lagi mendesak, dan hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Dan tidak berapa lama kemudian, mereka sudah berpisah mengambil jalan sendiri-sendiri.

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: