Pendekar Rajawali Sakti 107 - Titisan Anak Setan(1)

SATU
"Setan keparat! Kubunuh kau! Hih...!"

Buk!

"Akh!"

Bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu jatuh berguling-gulingan, begitu punggungnya dihantam pukulan tangan kekar, di atas tanah yang berlumpur akibat hujan deras yang mengguyur bumi semalam. Mulutnya meringis menahan rasa nyeri pada tulang punggungnya. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap seorang laki-laki setengah baya bertubuh kekar dan berotot yang memukulnya.

"Dasar anak setan! Mau melawan, heh...?!" bentak laki-laki kekar itu sambil mendelik, begitu melihat bocah itu menatapnya.

Tapi tampaknya bocah yang baru berusia sepuluh tahun itu seperti tidak mempedulikan bentakan keras menggelegar ini. Dia malah bangkit berdiri dengan mata tetap menatap tajam pada wajah yang sudah mulai ditumbuhi keriput itu.

"Setan! Hih...!"

Plak!

Tidak terdengar keluhan sedikit pun ketika telapak tangan laki-laki setengah baya itu menghajar wajah bocah laki-laki ini. Bahkan kepala bocah itu hanya bergerak sedikit saja, lalu kembali tegak dengan sorot mata semakin memerah tajam. Rasa-rasanya, bara api kemarahan sudah hampir meledakkan rongga dadanya.

"Dasar setan kecil! Kau benar-benar ingin mampus, heh...!"

Laki-laki kekar berusia setengah baya ini jadi semakin jengkel saja. Kakinya segera melangkah dua tindak ke depan. Tangannya yang sudah kembali terkepal, diangkat sampai ke atas kepala. Sambil menggeram, tangannya melepaskan pukulan ke arah kepala bocah berusia sepuluh tahun ini. Tapi....

"Hih!"

Plak!

"Ikh...!"

Laki-laki kekar setengah baya itu jadi terpekik kaget setengah mati, begitu tiba-tiba bocah bertubuh kurus ini cepat mengangkat tangannya ke atas kepala. Akibatnya tangan mereka beradu keras, tepat di atas kepala bocah ini. Bukan main terkejutnya laki-laki berbaju biru dengan sulaman benang halus keemasan ini. Seketika pergelangan tangannya terasa jadi nyeri. Seakan-akan seluruh tulang dipergelangan tangannya mendadak remuk, begitu habis berbenturan dengan tangan bocah itu.

Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja bocah berusia sepuluh tahun itu menyeringai lebar sambil menggeram seperti seekor serigala. Seketika, kedua bola mata laki-laki kekar setengah baya ini jadi terbeliak lebar, melihat gigi-gigi yang kecil runcing seperti binatang. Dan belum juga bisa berpikir lebih jauh lagi, bocah itu sudah melompat cepat sambil memperdengarkan raungan yang begitu dahsyat mengerikan.

"Ghraaagkh...!"

Sementara laki-laki setengah baya itu hanya bisa terbeliak lebar, tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Dan....

Bret!

"Aaa...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat di pinggiran Desa Marong ini. Tampak laki-laki kekar berusia setengah baya berpakaian biru bersulamkan benang emas yang sangat halus ini jatuh menggelepar di tanah yang becek dan berlumpur, begitu diterkam oleh bocah itu.

Darah mengalir keluar deras sekali dari lehernya yang berlubang, bagaikan dikoyak kuku-kuku tajam binatang buas. Sementara tidak jauh darinya, bocah kecil yang tidak mengenakan baju dengan tubuh kotor berlumpur itu berdiri tegak, memandangi tanpa berkedip. Bola matanya memancar kemarahan, menyiratkan kebengisan. Sedikit mulutnya menyeringai bagai hendak memperlihatkan baris-baris giginya yang runcing dan bertaring mengerikan!

"Ghragkh...!"

Sambil menggerung keras, bocah itu menerkam cepat ke atas tubuh orang yang kini tak berdaya di tanah. Sementara tangan kanannya yang berkuku runcing mengibas cepat sekali, hingga kuku-kukunya yang runcing bagai mata pisau itu merobek dada laki-laki kekar itu. Akibatnya, laki-laki itu kembali terpekik sambil mengejang dan menggelepar di tanah.

Dan tepat di saat kedua kaki yang kecil itu berdiri, orang berusia setengah baya ini sudah tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur semakin banyak dari leher dan dadanya yang terkoyak cukup lebar. Sementara, bocah kecil itu terus memandangi dengan bola mata memerah.

Sebentar kemudian, bocah itu memutar tubuhnya berbalik. Lalu kakinya melangkah gontai meninggalkan sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Dia terus berjalan menjauhi Desa Marong, dan langsung masuk ke dalam hutan yang tidak begitu lebat, tidak jauh dari desa ini. Sebentar saja, tubuhnya yang kecil sudah lenyap tidak terlihat lagi. Sementara dari arah desa, terlihat orang-orang berlarian menghampiri tempat kejadian itu setelah mendengar teriakan dan jeritan menyayat tadi.

Dan mereka begitu terkejut, mendapat seorang laki-laki tergeletak tidak bernyawa lagi diatas tanah berlumpur ini. Lebih terkejut lagi, karena mereka kenal orang ini. Dia adalah Ki Mangunta, orang yang paling dikenal di Desa Marong. Karena Ki Mangunta memang seorang guru di Padepokan Bambu Kuning yang ada di desa ini.

***

"Ini tidak bisa didiamkan. Orang yang membunuh Mangunta harus dicari!" geram seorang laki-laki bertubuh kurus, terbungkus pakaian jubah putih. Hambutnya yang tergelung ke atas juga suah berwarna putih semua. Dia adalah guru besar yang sekaligus juga pendiri Padepokan Bambu Kuning. Namanya, Eyang Rabang.

Kabar kematian Ki Mangunta yang sangat menyedihkan dan aneh itu cepat sekali menyebar sampai ke pelosok desa. Sehingga, semua orang membicarakannya, meski mayatnya sudah dikuburkan. Mereka tidak ada yang tahu, dengan siapa Ki Mangunta bertarung hingga tewas secara mengerikan seperti itu. Tapi dari tanda-tanda luka yang diderita sepertinya tubuh Ki Mangunta tercabik kuku-kuku binatang buas.

"Kalian semua menyebar ke setiap desa. Cari pembunuh keparat itu...!" perintah Eyang Rabang.

Hari itu juga semua murid Padepokan Bambu Kuning menyebar ke seluruh pelosok Desa Marong. Mereka harus mencari pembunuh Ki Mangunta yang tewas secara mengerikan, seperti tercabik binatang buas. Namun sampai matahari tenggelam di ufuk barat, tidak ada seorang pun yang bisa menemukan pembunuh aneh itu. Dan memang, tidak ada seorang pun yang melihat kejadian sebenarnya. Dan ini tentu saja membuat Eyang Rabang semakin geram. Tapi, laki-laki berusia enam puluh tahun itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Seluruh muridnya sudah dikerahkan untuk mencari, Namun memang pembunuh itu menghilang bagaikan setan.

Sementara malam telah merayap menyelimuti seluruh Desa Marong ini. Tampak seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun tengah berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk, menyusuri jalan desa yang selalu becek berlumpur ini. Kedua kakinya yang kurus, terlihat gemetar menahan angin dingin yang berhembus kencang menusuk tulang. Dia terus berjalan perlahan-lahan. Sesekali dia berhenti di depan rumah, tapi terus berjalan lagi. Kepalanya tetap tertunduk, bagai mengikuti ayunan kakinya yang terseok penuh tanah lumpur.

Bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun bertubuh kurus ini kembali menghentikan ayunan langkah kakinya, tepat di depan sebuah kedai yang cukup ramai dikunjungi orang. Sinar matanya yang sayu, memandangi orang-orang di dalam kedai yang cukup besar itu. Gelak tawa dan celotehan bersuara keras terdengar sampai keluar. Bau minuman arak pun mewarnai malam yang semakin bertambah larut. Beberapa saat lamanya dia masih berdiri mematung di depan kedai itu.

Lidahnya menjulur keluar, menjilati bibirnya sendiri yang pucat saat melihat seorang gadis cantik tengah menikmati sekerat paha ayam yang kelihatan gurih mengundang selera. Entah kenapa, gadis cantik berusia sekitar dua puluh tahun dan bertubuh ramping menggiurkan itu berpaling keluar. Dan pandangannya langsung bertemu sorot mata bocah di depan kedai ini. Santapannya jadi dihentikan. Sesaat wanita itu memandang bocah yang kelihatan kotor dan kedinginan itu.

"Kasihan dia. Pasti kelaparan dan kedinginan," gumam gadis itu perlahan.

Di depan meja gadis itu, terlihat duduk seorang pemuda yang berwajah tampan. Rambutnya panjang tergerai. Bajunya rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung. Mendengar gumaman yang perlahan itu, pemuda ini juga memandang keluar. Kemudian, tatapannya beralih pada wajah cantik didepannya.

"Ajak saja dia makan bersama kita, Pandan," ujar pemuda tampan yang bertubuh tegap dan berkulit putih ini.

"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya gadis yang dipanggil Pandan itu.

Pemuda di depannya ini hanya tersenyum saja. Kalau melihat ciri-cirinya, jelas kalau pemuda itu adalah Rangga, yang di kalangan persilatan bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis berbaju biru muda yang dipanggil Pandan Wangi, dikenal sebagai si Kipas Maut. Pandan Wangi lalu segera bangkit berdiri dari duduknya. Namun baru saja hendak melangkah, seorang laki-laki bertubuh gemuk berbaju dari kulit binatang melangkah keluar. Tampak di punggungnya tersampir sebilah golok berukuran sangat besar. Dia berdiri tegak di ambang pintu kedai ini sambil berkacak pinggang.

Alisnya yang tebal dan hitam kelihatan berkerut, hingga hampir menyatu di atas hidung. Dipandanginya bocah kecil yang masih tetap berdiri di depan kedai ini.

"Hey...! Pergi kau!" bentak laki-laki itu.

Semua orang yang ada di dalam kedai itu jadi tersentak kaget, dan langsung memalingkan wajah keluar kedai. Tampak di depan kedai ini berdiri seorang bocah lelaki bertelanjang dada. Tubuhnya kotor penuh tanah lumpur yang hampir mengering.

Saat itu, seorang wanita berusia hampir setengah baya yang wajahnya masih kelihatan cantik, bangkit berdiri dari kursinya. Dia melangkah menghampiri laki-laki gemuk yang masih berdiri berkacak pinggang di ambang pintu kedai ini.

"Lemparkan saja dia jauh-jauh, Gombala. Selera makan ku jadi hilang melihatnya," ujar wanita yang berbaju ketat warna merah ketus. Begitu ketatnya, hingga membentuk tubuhnya yang ramping.

"Sejak tadi aku memang sudah berpikir begitu. Pasti mereka semua juga jijik melihatnya," sahut laki-laki gemuk yang dipanggil Gombala ini.

Laki-laki kekar yang bernama Gombala langsung saja melangkah keluar mendekati bocah kecil itu. Sementara Pandan Wangi tadi sudah berdiri hendak menghampiri bocah itu untuk mengajaknya makan, jadi tersentak kaget mendengar ocehan tamu kedai ini. Matanya lalu melirik sedikit pada Rangga yang masih duduk di mejanya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangkat bahu saja sedikit. Maka tanpa meminta pendapat lagi, Pandan Wangi segera melangkah keluar, seraya sedikit mendorong wanita setengah baya yang tadi menyuruh Gombala melempar bocah itu.

"Hey...?!"

Wanita itu jadi terkejut. Hampir saja tubuhnya tersuruk kalau tidak cepat ditangkap seorang pemuda tampan yang duduk dekat pintu. Melihat yang menyangga tubuhnya seorang pemuda berwajah tampan, wanita itu jadi tersenyum manis. Langsung dia lupa akan tindakan Pandan Wangi yang kasar padanya tadi.

Sementara Gombala sudah berada dekat di depan bocah kecil ini. Matanya yang bulat, mendelik bermaksud menakut-nakuti. Tapi bocah itu malah memandangnya dengan mata tajam.

"Heh...?!"

Gombala jadi tersentak juga mendapat sorot mata yang tajam dari bocah bertubuh kurus ini.

"Bocah setan...! Pergi kau! Aku jijik melihatmu...!" bentak Gombala kasar.

Tapi bocah itu hanya diam saja. Bahkan semakin tajam menatapnya.

"Setan! Mau melawan, heh...?!"

Laki-laki bertubuh gemuk ini sudah mengangkat tangannya. Dan begitu hendak diayunkan menghantam kepala bocah itu, tiba-tiba saja....

Tap!
"Eh...?!"

Gombala jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba pergelangan tangannya ada yang mencekal kuat-kuat. Dan belum juga sempat disadari, tahu-tahu tangannya sudah disentakkan kuat sekali. Akibatnya keseimbangan tubuhnya tidak bisa lagi dikuasai. Gombala kontan jatuh bergulingan di tanah yang lembab dan agak becek ini.

"Setan alas...! Phuih!"

Sambil memaki geram, Gombala cepat bangkit berdiri. Namun bibirnya yang tebal jadi menyeringai, begitu melihat seorang gadis berwajah cantik sudah berdiri disamping bocah kecil yang bertubuh kotor ini.

"He he he.... Ternyata bidadari kecil yang ingin main-main denganku," Gombala jadi terkekeh.

"Jangan ganggu anak ini!" sentak Pandan Wangi tegas.

"Eh...?! Kenapa kau ini...?! Apa dia adikmu...?"

"Kuperingatkan, sekali saja kau sentuh, tanganmu kubabat buntung!" ancam Pandan Wangi, tidak main-main.

"Ha ha ha...!"

Gombala jadi tertawa terbahak-bahak mendengar ancaman gadis cantik yang kelihatannya lemah itu. Dia merasa, ancaman itu membuat tenggorokannya jadi tergelitik. Dan begitu suara tawanya terhenti, kakinya segera melangkah beberapa tindak mendekati. Lalu, tangannya menjulur hendak meraih kepala bocah itu. Tapi belum juga sampai, Pandan Wangi cepat mengibaskan tangan kirinya. Dan....

Pltak!
"Ikh...!"

Gombala jadi terpekik kaget. Sungguh tidak diduga kalau gadis cantik yang kelihatannya lemah itu bisa mengebutkan tangannya begitu cepat, hingga tidak diketahuinya sama sekali. Tahu-tahu, pergelangan tangan kanannya sudah terasa nyeri. Cepat-cepat tangannya ditarik kembali, dan melompat kebelakang dua langkah. Dipandanginya gadis cantik berbaju biru itu, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.

"Perempuan edan...! Mau coba-coba padaku, heh...!" geram Gombala jadi gusar.

Tapi, Pandan Wangi hanya tersenyum sinis saja. Sepertinya geraman laki-laki bertubuh gemuk ini tidak dipedulikan. Dengan cepat dicekalnya pergelangan tangan bocah itu, dan diajaknya masuk ke dalam kedai. Namun baru saja melangkah tiga tindak, Gombala sudah melesat cepat sekali menghadangnya. Langsung diberikannya satu pukulan yang cukup keras ke arah dada gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini.

"Yeaaah...!"
"Hap!"

Namun manis sekali Pandan Wangi menangkis pukulan itu dengan tangan kiri.

Plak!
"Aaakh...!"

Dan kembali Gombala terpekik kaget, begitu pergelangan tangannya beradu dengan tangan lembut gadis ini. Seketika pergelangan tangannya bagaikan tersengat ribuan lebah berbisa, begitu habis berbenturan. Cepat-cepat tangan kanannya ditarik kembali, lalu melompat ke belakang dua langkah. Sementara, Pandan Wangi tersenyum sinis.

"Ayo, Adik Manis. Kau pasti lapar dan kedinginan. Di dalam sana cukup hangat dan banyak makanan. Kau bisa memilih sesukamu," ajak Pandan Wangi, tidak mempedulikan Gombala yang mendengus gusar setengah mati.

Gombala merasa dirinya diremehkan oleh gadis cantik yang kelihatannya lemah di mata orang banyak di dalam kedai. Napasnya pun langsung memburu dengan wajah seketika memerah. Tanpa mempedulikan siapa yang dihadapi, dia langsung saja melompat menghadang lagi, sebelum Pandan Wangi dan bocah itu bisa mencapai pintu kedai.

"Hiyaaa...!"
Sret!
Wut!

Segera saja Gombala mencabut goloknya yang besar, dan langsung dikebutkan dengan kecepatan sangat luar biasa ke arah leher gadis ini. Namun hanya sedikit saja Pandan Wangi menarik kepala ke belakang, ujung golok yang sangat besar ukurannya itu hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya. Dan tanpa diduga sama sekali, si Kipas Maut ini menghentakkan tangan kirinya ke depan.

"Yeaaah...!"

Begitu cepat hentakan tangan kiri si Kipas Maut ini, sehingga Gombala tidak sempat lagi menyadari. Dan saat itu juga....

Diegkh!
"Akh...!"

Gombala jadi terpekik. Tubuhnya yang gemuk kontan terpental ke belakang, hingga menembus pintu kedai. Dan dia jatuh bergulingan di lantai kedai ini. Sebuah meja yang terlanda tubuhnya seketika hancur berkeping-keping. Sedangkan dua orang laki-laki tua yang tadi menempati meja itu, cepat melompat menghindar. Gerakan mereka cukup ringan juga, pertanda kedua laki-laki tua yang mengenakan baju jubah panjang berwarna biru tua itu memiliki kepandaian tidak rendah.

"Ghrrr...! Setan keparat...!" geram Gombala.

Saat itu, Pandan Wangi sudah sampai kembali ke mejanya. Bibirnya tersenyum begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti memberi senyuman manis. Pemuda berbaju rompi putih itu mengambil sebuah kursi yang tidak jauh di sebelahnya, dan memberikannya pada bocah kecil ini.

"Terima kasih," ucap bocah itu pelan.

"Duduklah. Kau makan bersama kami," ajak Rangga lembut, seraya tersenyum manis.

Saat itu Gombala sudah melangkah menghampiri mereka. Wajahnya yang memang sudah kelihatan beringas sejak tadi, semakin terlihat begitu tajam memandang penuh nafsu membunuh pada Pandan Wangi. Malah, tangannya sudah meraba gagang goloknya, dan cepat menariknya. Lalu....

Jleb!

Gombala langsung menancapkan ujung goloknya ke meja yang ditempati Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Tapi sikapnya ini tidak dipedulikan sama sekali. Pandan Wangi malah mengambil sepotong daging ayam, dan mengigitnya dengan nikmat. Sementara, Rangga juga kelihatan tidak peduli. Malah dia meneguk minumannya hingga tandas. Sementara, bocah kecil yang tidak mengenakan baju itu juga sudah menikmati makannya. Sikap mereka yang tidak mau peduli itu, membuat Gombala semakin berang saja.

"Setan keparat...! Kalian meremehkan aku, ya...?! Hih!"

Sambil menggeram keras, Gombala mengangkat meja itu dan langsung membantingnya hingga hancur berkeping-keping. Tapi pada saat itu, Pandan Wangi sudah melesat cepat bagai kilat. Sementara, Rangga juga melesat begitu cepat sambil menyambar boah kecil itu. Dan tahu-tahu, mereka sudah duduk kembali di meja yang lain. Tentu saja, hal ini membuat Gombala semakin bertambah berang saja. Dia menggeram bagaikan seekor binatang buas melihat domba yang terlalu gesit mempermainkannya.

Sementara itu Rangga segera melambaikan tangannya pada laki-laki tua pemilik kedai ini. Laki-laki yang sudah berusia sekitar tujuh puluh lima tahun itu bergegas menghampiri, walau kelihatan takut melihat kemarahan Gombala yang beringas itu.

"Tolong sediakan makanan buat kami lagi, Ki. Usir juga lalat di kedaimu ini," kata Rangga tanpa melirik sedikit pun pada Gombala.

"Baik, Den. Tapi...."

Belum juga pemilik kedai itu bisa melanjutkan ucapannya, tahu-tahu tubuhnya sudah terangkat. Dan di belakangnya sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Tubuhnya yang tinggi tegap dan kekar berotot, mencengkeram punggung pemilik kedai ini, hingga terangkat cukup tinggi dari lantai.

"Menyingkir kau, Ki Tua!" bentak pemuda itu kasar, sambil melemparkan laki-laki tua pemilik kedai itu, bagaikan melemparkan segumpal kapas.

Laki-laki tua pemilik kedai itu jadi menjerit, begitu tubuhnya terbanting keras sekali di atas meja. Akibatnya meja kayu itu hancur berantakan. Langsung dua orang pelayan menolongnya, dan membawanya masuk ke belakang kedai ini.

Sementara itu di meja yang ditempati Rangga, Pandan Wangi, dan bocah kecil bertubuh kurus itu sudah dikelilingi hampir seluruh pengunjung kedai ini. Demikian pula wanita setengah baya berwajah cantik yang tadi didorong Pandan Wangi di ambang pintu. Mereka semua menampakkan wajah tidak senang. Sementara, Gombala juga sudah berada tepat di depan Pandan Wangi duduk. Tapi, tampaknya kedua pendekar muda yang juga dikenai berjuluk Sepasang Pendekar dari Karang Setra itu hanya diam saja, seperti tidak peduli. Tapi, mereka sempat saling melemparkan pandangan sesaat.

"Hhh! Lalat di sini semakin banyak saja, Pandan," dengus Rangga agak berat nada suaranya.

"Ya," sahut Pandan Wangi agak mendesah.

"Sebaiknya, kita cari kedai lain saja," kata Rangga menyarankan.

"Apa tidak sebaiknya lalat-lalat ini diusir saja, Kakang?"

"Aku malas, Pandan. Tidak ada gunanya," sahut Rangga enggan.

"Yeaaah..., kita cari saja kedai lain."

Mereka serentak bangkit berdiri. Rangga mencekal pergelangan tangan bocah kecil itu. Tapi, langkah kedua pendekar muda ini jadi terhalang. Orang-orang yang tidak senang, atau mungkin teman-teman Gombala, tentu tidak mau melepaskan mereka begitu saja. Terlebih lagi, Pandan Wangi sudah membuat malu Gombala tadi.

"Bagaimana, Pandan?" tanya Rangga.

"Terobos saja, Kakang. Tidak sulit," sahut Pandan Wangi kalem. Saat itu juga....

"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Pandan Wangi langsung melompat sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan kecepatan bagai kilat. Maka dua orang yang berada tepat di depannya, seketika terpekik dengan tubuh terpental ke belakang. Saat itu juga, Rangga melesat cepat bagai kilat sambil menyambar tubuh bocah kecil itu. Kemudian Pandan Wangi juga langsung melesat mengikuti.

"Setan! Kejaaar...!" perintah Gombala geram.

Tapi sulit bagi mereka untuk mengejar kedua Pendekar muda dari Karang Setra yang langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin. Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap cepat sekali, seperti menghilang ditelan bumi. Sedikit pun tidak terlihat lagi bayangannya. Dan mereka jadi berhenti, begitu sampai di luar kedai ini. Gombala mengumpat, memaki-maki kesal. Dia begitu penasaran, bisa dibuat jatuh bangun hanya menghadapi seorang gadis cantik yang kelihatannya lemah itu.

"Setan! Kubunuh mereka kalau dapat! Ayo, kejar mereka terus!"

***
DUA
Malam terus merambat semakin larut. Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi segera menghentikan larinya, setelah berada di luar perbatasan Desa Marong sebelah barat. Rangga menurunkan bocah laki-laki yang sejak tadi dikepitnya dengan tangan kiri. Bocah itu tersenyum, memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih ini membalas dengan senyum lebar pula. Sementara, Pandan Wangi sudah menghempaskan tubuhnya di atas sebatang pohon yang tumbang sambil menghela napas panjang.

"Kenapa, Pandan...?" tegur Rangga.

"Tidak apa-apa," sahut Pandan Wangi, pelan.

"Kau menyesal atas kejadian barusan?" tanya Rangga ingin tahu.

"Untuk apa disesali? Meskipun kita baru sedikit mengisi perut, tapi lumayan juga untuk melemaskan otot. Sudah lama aku tidak pernah bertarung lagi, Kakang," sahut Pandan Wangi seenaknya.

Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. Memang sudah ada tiga purnama ini mereka tidak menemukan tindak kejahatan. Bahkan selama pengembaraan ini, baru malam ini menemukan desa dan mengisi perut dengan makanan yang layak. Tapi kejadian barusan, membuat nafsu makan mereka jadi hilang. Dan tanpa disadari mereka sama-sama memandang bocah kecil yang bertubuh kotor penuh lumpur ini.

"Seharusnya aku memang tidak datang kesana tadi. Maaf, aku sudah merusak suasana makan kalian berdua," ucap bocah itu pelan.

"Bukan salahmu, Adik Kecil. Mereka-mereka itu memang lalat yang merasa dirinya lebih bersih dari orang lain. Tidak sepatutnya mereka bersikap begitu padamu. Kau juga manusia, bukan binatang menjijikkan," kata Pandan Wangi lugas.

"Aku memang menjijikkan. Mereka memang pantas berbuat begitu padaku. Semua orang juga akan berbuat begitu padaku. Tapi, kalian tidak jijik dan takut padaku," kata bocah itu lagi.

"Adik kecil, siapa namamu?" tanya Rangga seraya tersenyum.

"Wicana," sahut bocah itu pelan, menyebutkan namanya.

Malam-malam kau berkeliran. Apa tidak punya orangtua dan tempat tinggal?" tanya Rangga lagi.

Bocah berusia sepuluh tahun yang mengaku bernama Wicana itu hanya menggelengkan kepala saja sambil tertunduk. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi jadi saling menatap sebentar. Dan kembali mereka mengarahkan pandangan pada bocah kecil yang masih duduk bersila dengan kepala tertunduk menekuri tanah berumput didepannya. Sedangkan Rangga duduk bersila di atas pohon kayu yang sudah tumbang ini.

"Kau orang dari Desa Marong juga?" tanya Rangga lagi.

"Bukan," sahut Wicana tetap pelan suaranya, sambil mengangkat kepalanya sedikit.

Dan Wicana menatap Pendekar Rajawali Sakti beberapa saat, lalu beralih pada Pandan Wangi. Sedikit dia menghela napasnya yang kecil. Begitu ringan hembusan napasnya, sehingga hampir tidak terdengar.

"Lalu, kau berasal dari mana?" desak Rangga.

"Aku tidak tahu," sahut Wicana tetap pelan suaranya.

"Tidak tahu...?" ujar Pandan Wangi seperti tidak percaya.

"Kau sudah cukup besar, Wicana. Paling tidak, bisa tahu tentang dirimu. Kau tentu tahu orang-tuamu, dan di mana tempat tinggalmu," kata Rangga lagi dengan suara lembut.

"Aku dan Pandan Wangi bermaksud baik, Wicana. Kalau kau masih punya orangtua, kami berdua akan mengantarkanmu kembali pada orangtuamu. Tapi kalau memang sudah tidak punya lagi, kami akan mencarikan orang tua yang baik untukmu. Paling tidak, masih ada hubungan saudara atau kerabat dengan orangtuamu. Atau mungkin, tetanggamu di desa asalmu sendiri."

"Aku tidak punya orangtua. Aku juga tidak tahu asal-usulku. Yang jelas, aku tahu-tahu sudah ada di dalam hutan. Aku pergi ke desa hanya untuk mencari hidup. Hanya itu saja...," kata Wicana tegas.

"Kau berkata sungguh-sungguh, Wicana?" tanya Pandan Wangi masih belum percaya.

Wicana mengangguk mantap.

"Kau berani sumpah?"

"Apa itu sumpah?" tanya Wicana tampak tidak mengerti.

"Janji," ujar Rangga memberi tahu.

Wicana terdiam sesaat, kemudian mengangguk.

Rangga dan Pandan Wangi kembali saling berpandangan, kemudian kembali menatap dengan sorot mata tidak mengerti pada bocah laki-laki bertubuh kurus dan kotor penuh tanah berlumpur ini. Sementara, yang dipandangi hanya diam saja. Sorot matanya yang kosong tertuju lurus ke depan, ke arah Desa Marong yang kelihatan sunyi seperti tengah terlelap tidur.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Rangga sudah membuat api untuk mengusir hawa dingin yang semakin menggigilkan ini. Sedangkan Pandan Wangi sudah berpindah duduknya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Dan Wicana tampak duduk bersila dengan tubuh tegak. Sikapnya seperti orang tengah bersemadi. Kelopak matanya tetap terbuka, namun pandangannya sejak tadi tertuju lurus kedepan. Kelihatannya, seperti ada yang tengah diperhatikan.

"Mereka datang...," ujar Wicana perlahan, seperti tidak sadar.

"Siapa yang datang, Wicana?" tanya Pandan Wangi agak tersentak kaget.

Wicana juga kelihatan tersentak kaget mendengar pertanyaan Pandan Wangi barusan. Langsung kepalanya berpaling menatap wajah cantik gadis itu. Kemudian tatapannya berpindah pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila disamping si Kipas Maut ini.

"Maaf, aku harus pergi. Aku tidak ingin mencelakakan orang baik seperti kalian. Maaf...," ujar Wicana seraya bangkit berdiri.

"Wicana! Mau ke mana kau...?!" seru Pandan Wangi.

Tapi Wicana sudah berlari cepat, dan lenyap di dalam hutan yang langsung berbatasan dengan Desa Marong sebelah barat ini. Pandan Wangi yang sudah hendak bangkit akan mengejar, jadi mengurungkan niatnya. Rangga sudah menangkap pergelangan tangan gadis itu, dan memintanya duduk lagi.

"Tidak perlu dikejar, Pandan," ujar Rangga agak datar suaranya.

"Kenapa...? Dia masih kecil, Kakang. Kalau terjadi sesuatu dengannya di dalam hutan, bagai-mana...?" terdengar cemas sekali nada suara Pandan Wangi.

Rangga tidak langsung menjawab. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, lalu melangkah dua tindak ke depan. Pandangan matanya tertuju lurus kedepan. Saat itu, terdengar lolongan anjing hutan yang sangat panjang dan memilukan dari kejauhan. Tapi, suara lolongan itu terasa seakan-akan dekat sekali di depan mereka. Pandan Wangi jadi berdiri juga, dan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam. Kedua pendekar itu seperti mendengarkan alunan lolongan anjing hutan yang begitu panjang, membuat hati terasa seakan tergiris mendengarnya.

"Ayo kita pergi," ajak Rangga tiba-tiba.

"Ke mana...?" tanya Pandan Wangi.

Tapi belum juga Rangga bisa menjawab, mendadak saja berkelebat beberapa bayangan di sekitar mereka. Dan tahu-tahu, kedua pendekar muda dari Karang Setra ini sudah terkepung sekitar sepuluh orang. Satu di antara mereka, adalah wanita berusia setengah baya berbaju warna merah muda yang cukup ketat. Sehingga membentuk tubuh yang indah dan ramping. Wajahnya juga masih kelihatan cukup cantik. Sedangkan yang lain adalah laki-laki dengan usia berbeda-beda. Dan mereka semua sudah langsung menghunus senjata masing-masing yang beraneka ragam bentuk dan ukurannya. Memang, merekalah orang-orang yang berada di kedai tadi. Tampak Gombala berdiri dekat di sebelah kiri wanita cantik berusia setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.

"Mau pergi ke mana kalian, heh...?.'" bentak Gombala ketus.

"Ke mana saja kami suka. Apa urusanmu, pakai tanya segala...?" dengus Pandan Wangi, tidak kalah ketusnya.

"Jangan harap bisa pergi ke mana-mana, sebelum meninggalkan kepala kalian berdua! Ha ha ha...!"

Suara tawa Gombala langsung disambut teman-temannya dengan tawa terbahak-bahak juga. Sementara, Pandan Wangi dan Rangga hanya saling melemparkan pandangan saja. Mereka tahu, orang-orang seperti Gombala dan teman-temannya ini tidak akan mau berhenti kalau belum dibuat babak belur. Kedua pendekar itu sering berhadapan dengan orang-orang seperti ini. Dan mereka sudah tidak terkejut lagi menghadapinya.

"Apa yang kau inginkan, Gendut?" dengus Pandan Wangi, langsung menuding Gombala.

"Nyawamu, Cah Ayu. Tapi..., aku lebih menginginkan tubuhmu. Ha ha ha...!" sahut Gombala, kembali tertawa terbahak-bahak.

Dan yang lainnya juga ikut tertawa. Hanya wanita yang berada di sebelah Gombala saja yang tetap diam membisu. Matanya menatap dengansorot mata tajam sekali pada Pandan Wangi, seakan ingin membakar hangus tubuh si Kipas Maut itu dengan kilatan matanya.

"Boleh! Asal, kau bisa menjatuhkan aku, Gendut," tantang Pandan Wangi.

"Phuih! Kau benar-benar perempuan setan yang sombong! Rasakan nanti" dengus Gombala, jadi berang.

Pandan Wangi hanya tersenyum sinis saja. Sedangkan Gombala sudah melangkah hendak mendekati si Kipas Maut ini. Tapi ayunan kakinya jadi terhenti, begitu tangannya dicekal wanita setengah baya yang berada di sebelahnya.

"Dia bagianku, Gombala. Kau urus saja pemuda itu. Tapi, ingat jangan sampai mati dulu," ujar wanita itu, sambil menyimpan senyum penuh arti.

"Kau juga jangan membunuhnya, Rasemi," balas Gombala sambil mendengus.

Dan mereka sama-sama melangkah menghampiri lawan yang diinginkan. Sementara, yang lain tetap berada pada tempatnya, dengan sikap siap menyerang. Sedangkan Pandan Wangi dan Rangga masih tetap kelihatan begitu tenang. Walaupun mereka kini berhadapan dengan dua orang yang sudah menghunus senjata. Sementara delapan orang yang mengepung rapat dengan senjata terhunus, siap menunggu aba-aba.

"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, Gombala dan wanita setengah baya yang dipanggil Rasemi melompat menerjang lawan masing-masing. Tapi, tampaknya kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah siap sejak tadi. Dan begitu mendapat serangan, mereka langsung bergerak cepat meliukkan tubuh untuk menghindar.

Sementara itu, dengan gerakan sedikit berputar Pandan Wangi melepaskan satu sodokan cepat, setelah berhasil menghindari tebasan pedang Rasemi yang mengarah ke leher. Begitu cepat sodokan tangan kirinya, sehingga Rasemi yang memandang enteng jadi tersentak kaget. Bahkan dia terlambat berkelit menghindarinya. Akibatnya sodokan tangan kiri Pandan Wangi tepat menghantam perutnya.

"Hegkh!"

Rasemi kontan terlenguh pendek. Tubuhnya langsung terbungkuk, merasakan mual pada perutnya. Saat itu juga, Pandan Wangi sudah melepaskan satu pukulan yang sangat keras, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam ke wajah wanita ini.

Plak!
"Akh...!"

Rasemi jadi terpekik, begitu pukulan yang dilepaskan Pandan Wangi tepat menghantam wajahnya. Akibatnya, dia jadi terdongak ke atas. Lalu, kembali Pandan Wangi melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu cepat luar biasa, langsung menghantam dada wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik ini.

"Aaakh...!"

Kembali Rasemi menjerit keras. Dan seketika, tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Salah seorang yang kebetulan berada di belakangnya, cepat menangkap tubuh wanita ini, hingga tidak sampai terjerembab ke tanah. Sementara itu, Rangga juga sudah bisa memasukkan satu pukulan keras ke dada Gombala. Akibatnya, laki-laki gemuk ini terjajar ke belakang sambil menjerit.

"Setan! Bunuh mereka...!" teriak Gombala geram setengah mati.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Seketika itu juga, delapan orang yang memang sejak tadi sudah siap menyerang, langsung berlompatan sambil berteriak-teriak. Namun pada saat itu juga, tiba-tiba terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menyambar mereka. Begitu cepat bayangan ini bergerak, sehingga tidak ada seorang pun yang sempat menyadari lagi. Dan....

Bret!
"Akh!"
"Aaa...!"

Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang begitu menyayat Tampak lima orang langsung jatuh terkapar dengan leher terkoyak berlumur darah. Mereka menggelepar di tanah sambil mengerang meregang nyawa, membuat yang lain jadi terlongong bengong tidak mengerti. Namun saat itu juga, terlihat lagi bayangan itu berkelebat cepat bagai kilat, membuat tiga orang ini menjerit kesakitan.

Ketiga orang itu langsung ambruk menggelepar dengan leher juga terkoyak cukup lebar. Tampak darah berhamburan dari leher mereka yang terkoyak. Hanya sebentar saja mereka bisa bergerak menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Gombala dan Rasemi jadi terbeliak melihat teman-temannya kini sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Sementara, bayangan itu tidak terlihat lagi sedikit pun juga.

Bukan hanya mereka saja yang terbelalak kaget tidak mengerti. Tapi Rangga dan Pandan Wangi juga jadi terlongong bengong. Saat itu, Gombala yang lebih dulu tersadar sudah cepat memutar tubuhnya, dan langsung berlari sambil berteriak-teriak keras seperti ketakutan melihat hantu.

"Silumaaan...! Setaaan...!"

Rasemi yang mendengar teriakan Gombala langsung tersentak sadar. Dan tanpa banyak bicara lagi, tubuhnya segera melesat pergi dari tempat itu. Tinggal Rangga dan Pandan Wangi saja yang masih tetap diam, memandangi tubuh-tubuh yang bergelimpangan di sekitarnya dengan leher terkoyak cukup lebar. Darah masih terlihat mengalir keluar menggenangi tanah berumput ini.

"Kau lihat, bayangan apa itu tadi, Kakang?" tanya Pandan Wangi begitu tersadar.

"Hhh...," Rangga hanya menghembuskan napas saja.

Walaupun Pendekar Rajawali Sakti tadi sempai melihat bayangan yang datang berkelebat begitu cepat tadi, tapi sangat sulit untuk bisa melihat jelas. Rangga tadi begitu terkejut. Sungguh tidak disangka kemunculan bayangan yang begitu cepat, langsung membantai habis orang-orang ini. Bahkan tak ada seorang pun yang bisa menyadarinya lagi lebih dulu.

"Aaauuu...!"

Saat itu terdengar lolongan anjing yang sangat panjang dan menyayat, membuat kedua pendekar muda itu jadi tersentak kaget. Lolongan anjing itu terdengar sangat dekat seakan-akan ada di sekitar tempat ini. Sesaat Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan. Tak lama, terdengar suara bergemerisik semak belukar dari arah sebelah kanan. Maka cepat-cepat mereka memutar tubuhnya ke tanah. Dan....

"Wicana...."

Rangga dan Pandan Wangi mendesis bersamaan, begitu melihat seorang bocah kecil yang bertelanjang dada muncul dari dalam semak belukar. Bocah itu berhenti melangkah, dan memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar kedua pendekar itu. Kemudian, ditatapnya Rangga dan Pandan Wangi bergantian.

"Kalian tadi ingin tahu, dari mana aku berasal. Kalau masih ingin tahu, ikutlah aku," ajak Wicana, seperti tidak peduli pada mayat-mayat yang bergelimpangan.

Pandan Wangi dan Rangga saling melemparkan pandangan. Dan belum juga mereka bisa membuka mulut, Wicana sudah memutar tubuhnya dan terus melangkah masuk kembali ke dalam semak. Sebentar kedua pendekar muda dari Karang Setra ini memandangi, kemudian bergegas melangkah mengikuti.

Mereka terus berjalan cepat mengikuti ayunan langkah kaki kecil bocah itu, dan menyejajarkan ayunan kaki disampingnya. Semula, memang terasa cepat jalannya. Tapi setelah disejajarkan dan diapit dari kanan dan kiri, kedua pendekar itu merasakan langkah kaki Wicana jadi lambat.

Cukup jauh juga mereka berjalan menembus hutan yang tidak begitu lebat ini, sehingga cahaya bulan cukup mampu meneranginya. Dan begitu mereka tiba di tempat yang banyak batu-batuannya, Wicana berhenti melangkah. Tepat di depannya terdapat sebongkah batu paling besar, yang bagian atasnya pipih. Batu itu berbentuk bulat seperti sebuah altar persembahan. Rangga dan Pandan Wangi memandangi batu ini, searah dengan pandangan mata bocah laki-laki yang diapitnya.

"Dari batu itulah aku berasal," kata Wicana sambil menunjuk ke arah batu bulat pipih di depannya.

"Maksudmu, kau lahir di sana, Wicana?" tanya Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu maksudmu...," ucap Wicana.

"Maksudku, ibumu melahirkan di atas batu Itu," Pandan Wangi menjelaskan, seraya melirik Rangga sedikit.

"Aku tidak punya ibu. Yang jelas aku tahu-tahu ada di sana. Dan batu itu tempat asalku. Jadi, itulah rumahku," sahut Wicana tegas.

"Kau ini aneh, Wicana. Semua orang pasti di lahirkan. Dan yang melahirkan itu seorang ibu. Jadi tidak mungkin muncul begitu saja dari dalam batu," kata Pandan Wangi semakin tidak mengerti ucapan-ucapan bocah ini.

"Aku berkata benar. Aku sudah ada di sana, dan tidak tahu apa itu lahir. Aku tidak tahu, siapa ibuku. Tahu-tahu, aku sudah ada di sana," kata Wicana lagi.

"Ya, sudahlah. Kami berdua tidak mau lagi meributkan soal asat usulmu. Yang penting sekarang, malam ini kita semua istirahat. Dan besok pagi, aku akan mencarikan orang yang bisa mengurusmu dengan baik. Kau tidak mau hidup sendirian di dalam hutan, kan...?" ujar Rangga tembut seraya menepuk pundak bocah ini.

Wicana hanya diam saja.

"Benar, Wicana. Aku tidak ingin lagi melihatmu terhina seperti sampah. Kau tidak mau jadi gelandangan, kan...?" sambung Pandan Wangi.

Wicana tetap diam, seakan tidak mendengar apa yang diucapkan kedua pendekar ini.

"Ayo, kita cari tempat nyaman untuk istirahat," ajak Rangga.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat penuh batu. ini. Dan di sepanjang perjalanan, Wicana terus diam membisu. Sementara, dalam kepala Rangga dan Pandan Wangi masih terus bergayut teka-teki ten-tang bocah ini. Mereka benar-benar tidak mengerti tentang diri Wicana. Segala yang dibicarakan bocah ini, sama sekali sulit diterima akal. Bahkan sepertinya Wicana juga tidak mengerti setiap kata yang diucapakan mereka berdua.

Mereka kemudian menemukan sebuah goa yang tidak begitu besar, tapi kelihatannya cukup bersih. Rangga membuat api dari ranting-ranting kering yang dikumpulkannya di sekitar goa ini, membuat udara di dalam goa itu jadi terasa lebih hangat. Sementara, Pandan Wangi dan Wicana berbaring. Dan Rangga masih tetap duduk tidak jauh dari mulut goa. Pandangannya terus tertuju pada Wicana yang berbaring tidak jauh dari Pandan Wangi.

Kening Rangga jadi berkerut, begitu mendengar dengkur Wicana yang keras, seperti dengkur seekor serigala. Dan dengkuran itu rupanya membuat Pandan Wangi terbangun. Gadis itu langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dipandanginya Wicana yang tidur memeluk lutut sambil mendengkur seperti binatang. Tapi, tidak ada satu kata pun yang meluncur dari mulut mereka, walaupun terus memandangi dengan sinar mata dipenuhi keheranan dan segudang pertanyaan.

***
TIGA
Menjelang pagi, Rangga dan Pandan Wangi baru bisa tidur. Mereka sampai tidak sadar, tidur di mulut goa dan jauh dari api unggun yang dibuat. Entah kenapa, mereka jadi tidak kuat lagi menahan rasa kantuknya, dan langsung jatuh tertidur dalam keadaan duduk bersandar pada dinding goa batu ini.

Mereka baru terjaga, begitu merasakan hangatnya sengatan cahaya matahari yang menerobos dari balik kerimbunan daun daun pepohonan. Mereka cepat berdiri, seperti baru tersentak sadar dari sebuah tidur yang sangat panjang.

"Kakang...!" sentak Pandan Wangi tiba-tiba, mengejutkan Rangga.

Gadis itu langsung menunjuk ke arah Wicana semalam tidur. Dan ternyata tempat itu sudah kosong. Tidak ada lagi bocah kecil yang semalam tidur mendengkur seperti seekor serigala di sana.

"Eh! Ke mana dia...?!" sentak Rangga seperti bertanya sendiri.

Sejenak kedua pendekar muda itu saling melemparkan pandang, kemudian sama sama bergegas berlari keluar dari dalam goa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ditelitinya tanah berumput di sekitarnya. Saat itu, keningnya jadi berkerut. Ternyata sedikit pun tidak terlihat ada jejak kaki disekitar mulut goa ini.

"Aneh.... Kenapa dia meninggalkan kita, Kakang?" tanya Pandan Wangi dengan suara terdengar menggumam, seperti ditujukan untuk diri sendiri.

Tentu saja Rangga tidak bisa menjawab perta-nyaan si Kipas Maut itu. Dia sendiri sama sekali tidak mengerti terhadap sikap dan tindakan bocah itu. Segalanya serba terbalut kabut kegelapan yang begitu tebal, hingga sulit sekali disibak. Rangga jadi penasaran. Kembali dimasukinya goa itu dan meneliti bekas tempat tidur Wicana semalam. Lalu, dia kembali keluar dari dalam goa itu dengan mata merayapi setiap jengkal tanah yang dipijak.

Tapi baru berjalan sekitar sepuluh langkah dari mulut goa, Pendekar Rajawali Sakti kembali berhenti. Dan kelopak matanya jadi menyipit. Perlahan tubuhnya merendah, dan menekuk lututnya hingga menyentuh tanah berumput cukup tebal ini. Tangannya meraba-raba rumput yang ada di depannya. Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan saja. Sama sekali tidak dimengerti, apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu jadi heran sendiri saat Rangga mencabut sejumput rumput dan menciumnya beberapa kali.

Perlahan Rangga bangkit berdiri lagi, namun masih terus meneliti tanah di sekitar. Dan kini, kembali kakinya terayun. Pandan Wangi bergegas mengikuti ayunan langkah pemuda berbaju rompi putih ini dari belakang. Sementara Rangga kembali berhenti, dan mencabut sejumput rumput Diciumnya lagi rumput itu berulang-ulang. Pandan Wangi jadi penasaran melihat perbuatan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada apa, Kakang? Kenapa kau ciumi rumput itu?" tanya Pandan Wangi tidak dapat lagi menahan rasa keingintahuannya.

Rangga berpaling sedikit ke kanan, menatap Pandan Wangi yang sudah berada di sebelah kanannya. Gadis itu semakin tidak mengerti saja melihat pandangan mata Rangga yang terasa aneh. Sedangkan Rangga sendiri sudah mengarah pandangan lurus ke depan.

"Sejak melihatnya pertama kali, aku sudah merasakannya. Dan perasaan itu semakin kuat saat berdekatan dengannya. Tapi aku belum yakin benar, walaupun apa yang dikatakannya sangat aneh...," ujar Rangga terdengar bergumam, seperti berkata pada diri sendiri.

"Apa maksudmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.

Rangga tidak langsung menjelaskan. Ayunan langkahnya dihentikan, dan berpaling sedikit menatap Pandan Wangi yang berada di sebelahnya. Terlihat jelas sekali sorot mata Pendekar Rajawali Sakti sangat aneh, sulit dijelaskan dengan kata-kata. Namun, Pandan Wangi bisa merasakan sesuatu yang tersembunyi itu dalam sinar mata Pendekar Rajawali Sakti. Sesuatu yang sudah bisa ditangkap sedikit artinya.

"Kau berpikir kalau Wicana itu anak siluman, Kakang...?" terdengar ragu-ragu nada suara Pandan Wangi.

"Entahlah, Pandan. Aku belum yakin benar. Tapi...," kata-kata Rangga terputus.

Tepat di saat kepala Pendekar Rajawali Sakti terangkat ke atas, terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang begitu menyayat. Jeritan itu seperti jeritan seseorang menjelang ajalnya, sehingga membuat kedua pendekar muda ini jadi tersentak kaget.

"Ayo, Pandan. Hup...!"
"Hap!"

Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung berlompatan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Dan mereka terus berlari secepat angin, menembus hutan yang tidak begitu lebat ini, menuju arah datangnya jeritan tadi.

Rangga yang sudah menguasai ilmu meringankan tubuh sempurna, sudah barang tentu berlari lebih kencang daripada Pandan Wangi. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berhenti berlari. Dan dia jadi tertegun, begitu melihat tidak jauh di depannya tergeletak sesosok tubuh wanita dengan leher terkoyak berlumuran darah.

Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa melangkah mendekati, Pandan Wangi sudah sampai di sampingnya. Dan gadis itu jadi terhenyak, begitu melihat sosok tubuh wanita muda tergeletak tidak bernyawa lagi. Lehernya tampak terkoyak begitu lebar, hingga kepalanya hampir terlepas. Perlahan mereka mendekati wanita yang jelas sudah tidak bernyawa lagi itu.

"Kakang..., lukanya sama seperti yang semalam," desis Pandan Wangi.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.

"Jelas ini perbuatan orang yang sama, Kakang," tebak Pandan Wangi.

Rangga masih saja diam memperhatikan darah yang terus mengalir dari leher yang terkoyak lebar itu. Tidak ada sedikit pun jejak bekas pertarungan di sini. Dan tampaknya, wanita ini juga hanya seorang wanita desa biasa. Tak heran kalau tidak ada tanda-tanda bekas perlawanan sedikit pun juga. Sedangkan tidak jauh, terlihat seonggok ikatan ranting yang akan dijadikan kayu bakar.

Srek!
"Oh...?!"

Bukan hanya Rangga dan Pandan Wangi saja yang tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar sebuah suara dari belakang. Tampak sebuah gumpalan semak pohon perdu bergerak sedikit. Maka cepat Rangga melompat ke dalam semak itu. Dan....

"Jangaaan...!"
"Eh...?!"

Hampir saja pukulan Pandan Wangi memecahkan batok kepala seorang anak perempuan berusia sekitar tiga belas tahun di dalam semak ini. Untung saja, gerak tangannya segera ditahan. Rangga cepat melompat keluar dari dalam semak itu, sambil menyambar tubuh anak perempuan ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali ke dekat Pandan Wangi. Perlahan diturunkannya bocah berbaju lusuh yang kelihatan ketakutan sekali ini. Wajahnya begitu pucat seperti tidak pernah teralirkan darah.

"Ibu...!"

Gadis kecil itu langsung berlari menghambur sambil menjerit. Langsung ditubruknya mayat wanita yang menggeletak sudah tidak bernyawa lagi. Dia menangis sambil memeluk wanita ini dan memanggil-manggil ibunya. Rangga dan Pandan Wangi jadi termangu diam mematung. Namun Pandan Wangi lebih cepat bertindak. Segera dihampirinya gadis kecil itu, dan pundaknya disentuh.

"Sudah..., nanti kami yang urus ibumu," ujar Pandan Wangi lembut.

Gadis itu mengangkat kepala, dan menatap Pandan Wangi dengan bola mata dipenuhi air be-ning. Si Kipas Maut itu jadi tidak dapat lagi me-nahan gejolak perasaannya. Direngkuhnya gadis itu ke dalam pelukannya. Sementara, Rangga hanya bisa memandangi dengan hati tidak menentu. Dan gadis kecil itu kembali menangis dalam pelukan Pandan Wangi.