Jaka Sembung 11 - Badai di Laut Arafuru(2)

Sementara itu, di sebuah ruangan sempit di geladak kapal paling bawah, Jaka Sembung meringkuk sendirian dengan kedua tangan kiri dan kanan terikat oleh dua rantai besar yang terpisah.

Namun dari wajahnya, sedikit pun tidak terlihat rasa sedih dan takut. Ia duduk dengan tenang tanpa kawan yang dapat diajak bicara, seakan-akan ia pasrah diri kepada Tuhan. Sekali-sekali hatinya terasa panas dan mau rasanya ia berteriak-teriak mencaci maki orang-orang Belanda yang ada di kapal itu.

Tetapi, akhirnya ia kembali bertanya pada diri, “Untuk apa?” Yang penting baginya, bagaimana ia membebaskan diri dari tawanan Kumpeni Belanda sekarang ini, untuk kemudian menghajar mereka habis-habisan.

Hampir setiap malam Jaka Sembung diganggu oleh kenangannya sendiri. Ia teringat istrinya Roijah yang sangat dicintainya dan terbayang kembali di depan matanya kelicikan Letnan Jenderal Van den Smooth yang tanpa moral mengibulinya sehingga ia masuk tahanan tanpa perlawanan.

Kisah ini berputar kembali seperti rekaman yang baru terjadi. Jaka Sembung masih ingat pada suatu hari, sepasukan tentara berkuda dari Cirebon datang ke Kandanghaur menjumpainya.

Alasan kedatangan itu sebagai utusan Pemerintah Kerajaan Belanda guna menjemput James dan kekasihnya Elsye van Eisen untuk dipindahkan ke Batavia.

Sebenarnya, Jaka Sembung tidak percaya pada alasan itu. Ia telah menduga sejak semula, James dan Elsye pada suatu ketika pasti akan disingkirkan oleh Belanda dari Kandanghaur.

Belanda tahu benar kedua orang Belanda itu terlalu dekat dengannya. Karena itu, selama James masih di Kandanghaur, Belanda sama sekali tidak dapat melancarkan tipu muslihatnya yang sudah disusun.

“Bagaimana Tuan?” tanya Van den Smooth kepada Jaka Sembung.

“Saya tidak berhak mempertahankan James dan Elsye, jika mereka memang bersedia, tetapi suatu catatan untuk Tuan, kami tidak suka melihat ia dipaksa dengan dalih apa pun,” jawab Jaka Sembung dengan tegas.

Rupanya James dan Elsye memang tidak keberatan untuk dipindahkan ke Batavia. Karena itu, Jaka Sembung terpaksa melepaskannya. Jaka Sembung sangat terharu ketika James merangkulnya dan membisikkan kata,

“Parmin, mijn Broer! Teruskan perjuangan Anda. Aku ikut berdoa dari jauh. Meskipun kita berlainan bangsa, tetapi persahabatan kita akan tetap abadi. Aku sangat menyesal sampai sekarang pun aku belum dapat membantumu.”

Kata-kata itu terasa semakin berarti ketika ia berada dalam tahanan di kapal itu.

Jaka Sembung membayangkan kembali, betapa akrabnya pergaulan Roijah dengan Elsye. Ketika mereka berpisah, Roijah memeluk Elsye kuat-kuat. Ia teringat kembali betapa tulusnya hati nona Belanda itu ketika hendak menolongnya ke luar dari Rumah Tahanan Militer Kumpeni sehingga ia sendiri menderita berat dan James tertembak.

“Roijah, mijn Zus! Kuharap engkau tidak melupakan aku, meskipun kita berpisah jauh. Hanya aku sangat menyesali diriku sendiri karena tak sempat menyaksikan kelahiran bayimu kelak,” kata-kata itu pun terus terngiang di telinga Jaka Sembung.

Hari itu, Parmin Jaka Sembung dan Roijah Bajing Ireng mengantarkan keberangkatan kedua rekannya itu sampai ke kereta kuda sehingga kereta itu berangkat perlahan-lahan meninggalkan halaman rumah.

Jaka Sembung masih ingat, sebulan setelah keberangkatan James dan Elsye dari Kandanghaur, pasukan yang sama datang lagi ke rumahnya untuk menjemput Parmin menghadap Residen di Cirebon guna merundingkan batas-batas kedaulatan daerah kekuasaan Parmin sebagai penguasa di Kandanghaur.

“Bagaimana Tuan Parmin? Tidak keberatan bukan untuk memenuhi panggilan Residen ini?” tanya Letnan Jenderal Van den Smooth dengan ramah.

Parmin terdiam sejenak. Hatinya ragu terutama entah apa yang terpikir olehnya, Parmin mengangguk perlahan-lahan.

“Baiklah Jenderal! Aku penuhi panggilan ini!” jawab Jaka Sembung dengan mantap.

“Karena perundingan dengan Residen ini tidak memerlukan waktu lama, kami usulkan agar Tuan Parmin tidak usah mengikutsertakan pengawal. Pengawalan kami cukup kuat untuk menjaga keamanan Tuan. Dan kami berjanji akan mengantar Tuan kembali ke desa Kandanghaur setelah perundingan selesai,” ujar Letnan Jenderal Van den Smooth dengan manis.

Karena yakin akan kesungguhan dan keramahan perwira tinggi Belanda yang memimpin pasukan itu, Parmin sebagai pendekar kesatria sedikit pun tidak menaruh prasangka jelek kepada pejabat tersebut.

“Baiklah, dengan syarat Tuan benar-benar memegang teguh pada ucapan Tuan sendiri sebagai seorang perwira terhormat,” kata Parmin Jaka Sembung sambil memberi hormat.

“Dank U well! Kami atas nama kerajaan Belanda akan menepati janji!” supah Letnan Jenderal Van den Smooth dengan sungguh-sungguh.

Setelah selesai pembicaraan dengan utusan Residen Cirebon, Parmin segera pamit kepada istrinya, Roijah.

“Kang! Berhati-hatilah!” ucap Roijah dengan sedih.

Hari itu Parmin benar-benar mendapat penghormatan istimewa dari Belanda. Dia dipersilahkan duduk dalam kereta kuda, di samping Letnan Jenderal Van den Smooth.

Ketika hendak naik ke kereta, gadis kecil Kinong berkata setengah berbisik, “Mengapa tidak membawa golok dan tongkatmu, Kang?”

Tiba-tiba hati Parmin berdetak mendengar pertanyaan gadis kecil itu, tetapi ia segera menjawab, “Oh, tidak! Kang Parmin pergi dengan tuan-tuan yang baik hati. Kinong jaga Kak Roijah baik-baik ya!”

“Tetapi, cepat kembali ya Kak!?”

Tetapi kenyataan sama sekali tidak seperti yang telah dijanjikan. Sesampai di depan gedung Karesidenan, Jaka Sembung tidak disambut sebagai tamu yang terhormat, tetapi disambut oleh serdadu-serdadu Kumpeni Belanda dengan suatu kepungan yang ketat.

Parmin alias Jaka Sembung sangat terkejut. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk melawan........ akhirnya ia diangkut ke kapal dengan kedua belah tangannya dirantai seperti anjing.

Ketika kenangannya sampai di situ, setitik demi setitik air matanya mengalir menyusuri jalur pipinya. Kemudian jatuh ke pangkuannya tanpa tangan yang menyeka, meskipun tangannya sendiri.

Jaka Sembung kaget, ketika ia menyadari ia menangis. “Seharusnya aku tidak menangis…....!” sesal hatinya dengan mendalam.

◄Y►

Sementara itu, sejumlah pendekar yang bertekad untuk membebaskan Parmin, Jaka Sembung dari tawanan Kumpeni Belanda, sudah mulai mendekat ke kapal dengan hati-hati.

“Aneh juga, Mira!” kata Umang sambil berdayung.

“Apa yang aneh?”

“Mengapa Jaka Sembung tidak melawan ketika ditangkap di gedung Karesidenan?” Umang menyesalkan.

“Kita tidak tahu suasana ketika itu. Mungkin Jaka Sembung tidak melihat kemungkinan itu. Mungkin ia sudah memperhitungkan bahwa jika ia melawan ia pasti tewas, yang berarti perjuangannya berakhir sampai di situ,” Mirah menggambarkan perkiraannya.

Umang terdiam sejenak, sepertinya ia dapat menerima pikiran Mirah karena belum pernah dalam sejarah hidup Jaka Sembung sebagai pendekar menyerah begitu saja seperti yang terjadi di Cirebon.

“Tetapi, mengapa pula Belanda tidak membunuhnya ketika itu?”

“Pertanyaanmu tidak menyenangkan untuk didengar,” kata Mirah. “Seharusnya kita bersyukur Jaka Sembung tidak mereka bunuh sehingga kita tidak kehilangan seorang kawan yang paling berarti dalam perjuangan.”

Umang tersentak dari lamunannya. Ia tidak mengira pertanyaannya yang begitu sederhana, mempunyai arti yang seburuk itu.

Tetapi sebelum sempat ia menyatakan penyesalannya, Mirah melanjutkan kata-katanya, “Kewajiban kita sekarang hanya satu yaitu membebaskan Jaka Sembung dari tawanan Kumpeni Belanda, bagaimana?” Mirah mendekati Umang sambil menepuk bahunya.

“Siap, Mirah!” tanggap Umang dengan senyum.

Sementara itu, tidak jauh dari perahu mereka tampak remang-remang sebuah rakit yang juga searah dengan mereka.

“Apakah mereka menuju ke kapal itu juga?” tanya Mirah.

“Kelihatannya memang begitu.”

“Kalau begitu,” ujar Mirah, “Mari kita dekati mereka!”

Ketika mereka mendekat ke rakit itu, terdengar salah seorang yang sedang mendayung rakit dengan sebilah bambu panjang berkata, “Untung sekali Jaka Sembung tidak ditembak oleh Belanda!”

Mirah yang berdiri dekat Umang segera mencolek paha kawannya.

“Ada apa?” tanya Umang setengah berbisik.

“Mereka juga sedang membicarakan Jaka Sembung seperti kita tadi.”

“Kalau begitu………”

“Ya, mereka juga pendekar-pendekar yang hendak membebaskan Jaka Sembung dari tawanan Kumpeni Belanda!” potong Mirah, seakan-akan mereka tidak sendiri.

“Ah, tidak semudah itu Kumpeni Belanda berani menembak Jaka Sembung,” terdengar pembicaraan dari rakit, “Karena kalau itu mereka lakukan persoalan yang dihadapi Kumpeni Belanda semakin bertambah banyak. Pemberontakan rakyat akan terjadi besar-besaran.

“Para pendekar seluruh Jawa Barat pasti turun tangan. Masalahnya menjadi tambah rumit. Penjajah Belanda sekarang ini sedang menghadapi pemberontakan bangsa kita di mana-mana,” jelas seorang yang ada di rakit.

Umang dan Mirah yang mendengar percakapan mereka sama tersenyum.

“Mirah!” bisik Umang, “Kita tak usah mengusik mereka yang sedang berbincang itu!”

“Lantas?”

“Kita terus menuju ke kapal!”

Sementara itu percakapan di rakit berjalan terus.

“Di mana saja pemberontakan yang sedang terjadi?” tanya seseorang.

“Banyak Kang! Misalnya di Aceh, di Minangkabau, di Makassar dan di tempat-tempat lain,” jelas seorang pemuda yang rupanya lebih banyak tahu.

“Seharusnya memang begitu! Untuk mengusir penjajah, seluruh bangsa kita di Nusantara ini harus bersatu.”

“Benar katamu,” potong seorang yang lebih tua, “Kita tidak bisa melawan mereka sendiri-sendiri. Karena dengan sendiri-sendiri kita akan mudah dimusnahkan begitu saja. Karena itu, aku mendukung gagasan Jaka Sembung yang ingin mempersatukan seluruh pendekar di tanah air.”

“Tetapi untuk mewujudkan cita-cita itu memerlukan waktu yang panjang, mungkin sampai ke anak-anak cucu kita yang kesekian,” tambah yang lain.

Sementara itu malam semakin turun. Angin mulai terasa berhembus kencang mengajak ombak berdansa. Para pendekar pantai yang dapat membaca gelagat, segera mendayung perahunya.

Mereka mendekati kapal besar Belanda seperti semut-semut Marabunta yang sedang merayap. Di balik kapal itulah mereka berkumpul sambil membuat rencana penyerbuan ke atas kapal.

Malam yang semakin pekat dan deru ombak yang susul-menyusul dengan suara yang cukup keras. Ditambah pula angin kencang yang menghantam-hantam dinding kapal, telah membuat suasana di kapal Belanda resah dan khawatir.

“Angin kencang begini akan berlangsung lama, Kapten,” kata Nahkoda memberi pendapat. “Malam ini mungkin kapal tidak bisa berlayar. Sebaiknya kita beristirahat sampai angin reda.”

Kapten kapal dapat menerima usul nahkoda itu. Ia segera mengumumkan keberangkatan kapal ditunda.

Mendengar pengumuman itu, semua yang ada di kapal merasa senang. Mereka bisa istirahat. Bisa berdansa di ruangan dansa yang memang tersedia. Mereka bisa mabuk-mabukkan sampai pagi.

“Suasana dingin seperti ini bisa menjadi sangat menyenangkan, jika kita rayakan dengan arak dan wanita, Kapten!” usul nahkoda dengan tersenyum.

“Mengapa, tidak? Kalau itu menyenangkan,” kata Kapten sependapat.

Kru kapal beserta staf administrasinya sangat gembira mendapat kesempatan seperti itu. Serdadu Kumpeni Belanda yang sejak bertolak dari pelabuhan Cirebon kelihatan muram dan gelisah, kini berkumpul berkelompok-kelompok sambil minum arak.

“Hore, horee!” teriak beberapa kru, seorang di antaranya bernyanyi seenaknya, “Arak sudah ada, mana wanitanya?”

Nyanyian itu semakin lama semakin berkembang dan akhirnya dinyanyikan oleh semua kru dengan meriah. Kapten yang mendengar kata-kata itu, diam-diam menyadari hal itu sebagai suatu tuntutan dari anak buahnya yang iseng. Karena itu sang Kapten membiarkan saja kegembiraan itu berlalu.

Dalam suasana gembira dan kemeriahan itu, di lambung kapal tiga sosok tubuh sedang berusaha naik ke kapal lewat seutas tali.

“Biar kau naik duluan,” bisik salah seorang di antara mereka.

“Hati-hati!”

“Jangan khawatir! Serdadu-serdadu itu sedang lupa daratan!”

Hal-hal yang seperti itu, bukan suatu yang sulit bagi seorang pendekar. Ketika seorang yang terakhir mendapat giliran, tiba-tiba dari atas kapal terdengar bentakan keras, “Siapa di situ?”

Orang yang sedang memanjat itu berhenti sejenak sambil merapatkan badannya ke dinding anjungan.

Dalam suasana malam yang remang-remang itu, dua kelasi yang sedang minum-minum, jauh dari kelompoknya yang lain, tiba-tiba melihat sesosok tubuh wanita berwajah cantik.

“Heei! Arak ada, wanitanya pun sudah ada,” bisik salah seorang di antara mereka.

“Cantik sekali!”

“Seperti bidadari?” tanya kawannya.

“Ssst!” tiba-tiba wanita cantik itu memberi isyarat dengan telunjuk di bibir sambil mendekati kedua kelasi yang sejak tadi menatapnya. “Jangan berisik! Aku datang untuk menghibur kalian, mengerti?”

Kedua kelasi itu mengangguk gembira. “Siapa kau?” tanya seorang dengan suara pelan.

“Kalian tidak tahu siapa aku?”

Kedua kelasi setengah tua itu menggeleng.

“Aku simpanan Kapten kalian, yang tidak pernah keluar dari kamarnya,” jawab wanita cantik itu memperlebar senyumannya.

“Mengapa Nona berani ke mari?” tanya seorang di antara mereka dengan sekelumit rasa takut.

“Kapten kalian sudah tidur pulas di kamarnya setelah kuninabobokkan. Lantas apa salahnya aku dan beberapa simpanan Kapten mu itu turut menghibur kalian sebagai anak buahnya?”

“Apa betul Nona mau menghibur kami?”

“Hei, buat apa aku datang, jika hanya untuk membohongi kalian?”

“Goed, aku duluan Fred!” kata salah seorang di antara mereka yang mungkin lebih tinggi kedudukannya dari yang lain.

“Oh, nee! Ik lebih dulu!”

“Aku tidak suka kalian berebut seperti itu,” sela si Nona berpura-pura ngambek. “Sekarang atur baik-baik siapa duluan dan segera cari kamar kosong.”

“Baik, Nona! Ayoh Jos, kita cepat cari kamar!”

Si Nona yang tidak lain dari seorang pendekar pengikut Jaka Sembung diam-diam tersenyum. Tidak lama kemudian, nona pendekar itu sudah berada di sebuah kamar kosong. Sang Nona yang pendekar itu bersandiwara sedemikian rupa sehingga tidak sedikit pun menimbulkan kecurigaan calon korbannya.

Beberapa saat kemudian, Jos yang sejak semula ingin duluan masuk kamar. Ia tersirap sejenak ketika melihat si Nona, dan merebahkan diri dengan pose yang sangat menantang.

“Ayo cepat apa maumu?” bisik si Nona, “Kasihan kawanmu menunggu lama di luar.”

“Kau cantik sekali, Nona!” ujar Jos. Tetapi ketika kelasi itu hendak beraksi, tiba-tiba kedua tangan gadis itu bergerak cepat. Jos jatuh terduduk di lantai dengan rasa heran sambil mulutnya mengeluarkan darah segar, akhirnya kelasi malang itu menemui ajalnya.

Sang Nona segera bergerak cepat. Tubuh kelasi yang sudah kaku itu segera diseret ke bawah tempat tidur. Sementara Fred yang menunggu di luar sudah tak sabar. Ia mulai gelisah. Ngebetnya hampir tak tertahan.

“Heei, mengapa begitu lama? Cepat buka pintunya Jos, kita gantian.” Tidak lama kemudian, pintu terbuka perlahan-lahan. Fred masuk tergesa-gesa.

Tetapi, begitu nongol di depan pintu, sebuah sabetan keras dengan telapak tangan, yang diayunkan oleh si nona tepat mengenai lehernya. Korban itu jatuh tidak berkutik.

Ketika Nona pendekar Kembar Tiga Melati melakukan tugasnya dengan baik dan lancar sehingga hanya dalam beberapa waktu saja sejumlah kelasi dan serdadu Kumpeni Belanda telah menjadi korban. Lima kamar kosong yang dipakai oleh pendekar-pendekar Kembar Tiga Melati penuh dengan mayat.

Ketika pembunuhan beruntun di kapal sedang menjadi-jadi, Sri Ayuningrum dan Kaswita baru tiba di sisi kapal.

“Mari kita bersiap untuk naik!” ajak Kaswita setengah perintah.

“Kapalnya besar sekali, Dik! Aku sangsi apa aku mampu melejit sampai ke pagar dek itu tanpa tempat berpijak untuk locatan?”

“Jadikanlah punggung perahu ini sebagai landasan loncat, Kak! Biar aku yang menjaga keseimbangannya.”

“Baiklah kalau begitu,” Sri Ayuningrum segera bersiap. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh sambil mengerahkan segenap kekuatannya, Sri Ayuningrum melejit dengan cepat ke atas kapal yang tinggi itu.

“Bagus Kak, kau berhasil!” gumam Kaswita sendirian.

Sesampai di kapal, Sri Ayuningrum segera mencari tali tambang yang banyak bertumpuk di buritan. Tali itu diturunkan ke bawah sementara ujungnya diikat pada sebuah tonggak besi yang ada di tempat itu.

Sebentar kemudian Kaswita sudah berada pula di atas kapal. Suasana di geladak kelihatan sepi. Sri Ayuningrum dan Kaswita dengan waspada memperhatikan keadaan di sekitar itu.

“Sudah ke mana semua awak kapal ini?” tanya Kaswita setengah berbisik.

“Mana Kakak tahu!?”

“Kalau begitu, Kakak coba periksa ke haluan kapal dan aku ke buritannya,” ujar Kaswita membagi tugas. Ia langsung melompat menuju ke buritan dan Kaswita bergerak ke haluan.

Ketika Kaswita memasuki bagian buritan kapal, mendadak ia tertegun. Dari jauh ia melihat dua orang wanita muda yang sedang sibuk mengangkat sesuatu. Kaswita perlahan mencoba mendekati tempat kedua wanita itu berada. Tiba-tiba ia mendengar suatu percakapan dengan jelas.

“Nuna, Neneng! Cepat ke mari bantu aku melemparkan bangkai-bangkai Belanda busuk ini ke laut!”

“Tunggu Kak Unui, aku sedang berpakaian,” jawab dua orang yang dipanggil itu di balik sebuah tiang.

Kaswita mencoba melangkah lebih dekat lagi. Tetapi, alangkah kagetnya ketika ia melihat di sebuah ruangan terbuka bergelimpangan mayat-mayat Belanda, yang sebagian besar telah dilemparkan ke laut oleh ketiga gadis itu.

“Alangkah hebatnya ketiga gadis itu,” pikir Kaswita, “Kalau begitu mereka pasti kawan, bukan lawan. Tetapi, mendekati seorang pendekar secara mendadak, akibatnya terlalu besar,” pikir pendekar muda itu. Karena itu, keinginannya untuk berkenalan dengan ketiga gadis itu diurungkan sementara.

Tiba-tiba Kaswita mendadak kaget ketika mendengar suara gemerincing besi beradu, tidak jauh dari tempat ia berdiri. Belum hilang lagi kagetnya, tiba-tiba ia melihat wajah seorang wanita dan gerakannya yang demikian cekatan.

“Bagus Mirah! Kau pintar melempar tali, di mana kau belajar, hah!?”

Gadis itu dengan riang menjawab, “Dari ilmu ‘Lalawa Hideung’.”

“Lalawa Hideung?” ulang Kaswita meniru ucapan gadis yang baru naik ke atas geladak kapal. “Nama itu pernah kudengar, di mana ya?”

“Hati-hati Umang!” teriak gadis itu dari atas kapal.

“Rupanya ada temannya di bawah,” pikir Kaswita dengan penuh tanda tanya.

Sementara itu matanya terus mengawasi gadis di geladak yang sedang menunggu kawannya dari bawah.

Tidak lama kemudian, muncullah sebuah kepala di dinding geladak seperti menggapai-gapai. Gadis itu segera membantunya sambil mengeluh pelan, “Beginilah susahnya orang buntung tangan.”

Gadis itu hanya tersenyum. Kemudian dengan cara bahu-membahu mereka mengawasi suasana di sekitar geladak.

“Hati-hati Mirah, bukan tidak mungkin Belanda memasang perangkap untuk kita. Karena keadaan sepi seperti ini, tahu-tahu kita dibokong orang dari belakang dan mati konyol.”

Mirah tidak menanggapi kata-kata Umang karena apa yang dikatakan itu sudah diketahui kebenarannya.

“Sebaiknya Mirah kita berpencar saja dengan tujuan yang sama yaitu memeriksa di mana Jaka Sembung disekap,” Umang mengusulkan pendapat. Pendekar bertangan satu segera bertindak.

“Baik!” ujar Mirah sambil melompat dengan cepat dan lenyap seketika.

Sementara Kaswita yang mengintip tidak jauh dari tempat itu sesaat menjadi bingung.

“Aneh!” gumamnya sendiri, “Aku pernah melihat pendekar buntung itu di gedung Karesidenan turut bertempur melawan serdadu Kumpeni Belanda. Kalau begitu kedua pendekar tadi pasti kawan, bukan musuh,” Kaswita menarik kesimpulan.

Diam-diam Kaswita merasa lega karena yang ingin membebaskan Jaka Sembung dari tahanan Belanda, bukan hanya dia dan kakaknya, tetapi banyak, “Aku ingin memberitahukan hal ini kepada Kak Sri,” niatnya di hati.

Sementara itu pendekar-pendekar Kembar Tiga Melati terus sibuk membenahi mayat orang-orang Belanda. Mereka semua dibuang ke laut hanyut dibawa gelombang.

Ketika Nuna, anggota Kembar Tiga Melati sedang menyeret seorang serdadu Kumpeni Belanda yang berbadan gemuk besar, sesosok tubuh yang belum dikenal berpapasan pantat dengannya sehingga hampir saja ia jatuh.

“Hei, siapa kau?” tanya Nuna dengan bentakan keras. Yang ditanya belum sempat menjawab karena kaget, Nuna langsung menuduh, “Tidak salah lagi, kau pasti antek-antek sewaan Belanda.”

“Jangan menuduh kalau belum jelas!” kata lawannya dengan tersinggung.

“Jangan banyak bacot kau!” teriak Nuna sambil menyerang dengan pedangnya secepat kilat. Tak ada orang yang dapat menahan serangan mendadak seperti itu, kecuali pendekar-pendekar yang sudah berpengalaman.

Begitu serangan Nuna melayang, lawannya masih sempat menghunus pedang membendung serangan tersebut sehingga kedua pedang itu melekat satu sama lain dengan getaran keras.

“Hei, kau jago juga rupanya,” ujar Nuna mengejek sambil menyerang untuk kedua kalinya.

Tetapi, lawannya dengan cepat melejit ke atas dan bertengger di anjungan kapal sambil berteriak, “Aku Mirah! Teman seperjuangan Jaka Sembung.”

Nuna yang hendak melakukan serangan berikutnya terkejut. Lututnya mendadak lemas dan diam-diam dia menyesali sikapnya yang tanpa selidik lebih dahulu. Merasa Nuna salah alamat, Mirah segera turun dari anjungan dan bersalaman.

“Kita memang belum pernah saling kenal, siapakah nama Anda?” ujar Mirah dengan ramah. “Aku Nuna, saudara ketiga dari Kembar Tiga Melati.”

“Maafkan aku, Nuna!” ucap Mirah dengan rendah hati dan lembut.

“Aku yang harus minta maaf kepadamu atas kekasaran ku,” jawab Nuna tersipu malu.

“Ah, tidak menjadi soal,” tangkis Mirah, “Yang penting kita sudah saling memaafkan.”

Nuna mengangguk seraya pamit. Tetapi Mirah menahannya sejenak, “Di mana tempat Jaka Sembung ditawan, Nuna?”

“Maaf, Mirah. Aku juga belum tahu,” jawab Nuna tersenyum, “Yang penting sekarang serdadu-serdadu Kumpeni Belanda harus kita singkirkan lebih dahulu dari kapal ini.”

Di bagian lain, Umang sedang mengawasi sesosok tubuh yang berkelebat cepat di haluan kapal. “Gerakannya begitu ringan dan cekatan,” gumam Umang dengan penuh kecurigaan.

“Orang itu pasti seorang jago silat yang disewa oleh Kumpeni Belanda. Aku harus mengikutinya dan membikin ia mampus lebih dahulu sebelum ia tahu aku dan Mirah di kapal ini.”

Umang segera melejit menyusul sosok tubuh yang dianggap musuhnya itu. Sri Ayuningrum sebagai pendekar wanita yang memiliki ilmu tinggi tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang menguntitnya.

“Kaswita?” tanya hatinya.

“Bukan!” Seakan-akan ada suara yang menjawab.

“Belanda?”

“Bukan!”

Kini Sri Ayuningrum bertambah yakin dirinya diintai orang. Pendekar itu diam-diam segera mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Tiba-tiba suatu serangan deras yang datang dari anjungan kapal, melaju dengan pesat membokongnya dari belakang dengan sebilah pedang. Tetapi begitu serangan datang, naluri silat yang sudah mendarah daging membuatnya berkelit dengan cepat sambil melejit ke atas. Kemudian melakukan serangan balasan dengan suatu jurus yang ampuh.

“Berapa kau dibayar oleh Belanda, Pendekar tengik!” bentak Sri Ayuningrum dengan sangat marah. Lebih-lebih karena serangannya dapat dielakkan begitu saja oleh Umang.

Umang tersentak mendengar kata-kata lawannya yang sedang dihadapi. Sebelum sempat Umang memikirkan cara menghentikan pertempuran itu, Sri Ayuningrum kembali melakukan serangan di udara ketika lawannya tampak hendak menghindarkan diri.

Tetapi Umang, pendekar lengan tunggal itu bukanlah pendekar sembarangan. Dengan kegesitannya, sekali lagi berhasil mengelak serangan Sri Ayuningrum.

Ketika mereka kembali berada di geladak, Umang dengan napas terengah berteriak, “Tunggu Nona! Kita kawan, bukan musuh!”

“Apa maksudmu?” tanya Sri Ayuningrum dengan ketus.

“Aku pernah berjuang bersama-sama Jaka Sembung melawan Lalawa Hideung,” jelas Umang dengan sikap sopan.

Sementara Sri Ayuningrum menatapnya dengan heran.

“Bukankah kau juga yang membantu kami di gedung Karesidenan beberapa hari yang lalu?”

Umang menatap Sri Ayuningrum dengan pandangan penuh penyesalan.

“Benar!”

“Oh, maafkan atas kekasaranku,” ujar Sri sambil menunduk.

“Sebenarnya, Anda ini siapa?” tanya Umang dengan ramah.

“Aku Sri Ayuningrum, adik Kang Parmin Jaka Sembung.”

“Adik sekandung?” tanya Umang ingin tahu.

“Ya dan aku mempunyai seorang adik bernama Kaswita yang juga turut bertempur mati-matian di gedung Karesidenan,” jelas Sri Ayuningrum terperinci.

“Ah, kalau begitu akulah yang harus meminta maaf, Dik! Aku telah terlalu banyak berhutang budi kepada Kakakmu!” Umang memberikan suatu pengakuan jujur sambil berlutut di depan Sri Ayuningrum.

Sementara itu di bagian buritan kapal, Kaswita terus mengadakan penyelidikan sambil mencari tahu di ruang mana kakaknya, Jaka Sembung ditawan. Sambil mengawasi suasana kapal, peristiwa tiga dara yang membuang mayat-mayat serdadu Kumpeni Belanda ke laut dan peristiwa seorang dara yang naik ke kapal bersama seorang kawannya, terus menjadi pikiran Kaswita.

Ketika pendekar muda itu sampai di depan sebuah anjungan di bagian tengah, ia tertegun sejenak dengan heran. Di ruang yang luas itu, kelihatan olehnya mayat-mayat serdadu Kumpeni Belanda dan kelasi kapal bergelimpangan.

“Wah! Hasil kerja siapa nih, hebat sekali!” seru Kaswita tanpa disadari. “Kak Sri” Jelas bukan! Ia berada di bagian haluan kapal.”

Kaswita berdialog dengan dirinya sambil cepat-cepat meninggalkan ruangan terbuka yang mengerikan itu. Baru beberapa langkah Kaswita berjalan, tiba-tiba di sebuah kamar terdengar suara gedebrak-gedebruk. Kaswita segera melompat dan bersembunyi.

Tidak lama kemudian terdengar lagi suara seperti barang jatuh ke lantai. Ketika itu rasa ingin tahu Kaswita muncul tak tertahan. Perlahan-lahan ia keluar dari tempat persembunyiannya. Sambil melihat ke kiri kanan ia mendekati sesuatu yang terpental dari kamar.

“Sesosok tubuh tak bernyawa,” desisnya pelan sambil membalikkan mayat yang tertelungkup itu.

“Wah, dia pasti juru mudi kapal ini!” serunya dalam hati. “Siapa yang membunuhnya?” Kemudian Kaswita meninggalkan tempat itu, tetapi sebelum beranjak ia dihadang oleh seorang berkaki buntung.

“Orang ini seperti pernah kulihat di gedung Karesidenan turut bertempur melawan serdadu Kumpeni Belanda, kok sekarang ada di kapal ini?” tanya hatinya.

“Selamat bertemu lagi, kawan!” ucapnya dengan penuh ramah sambil mendekati Kaswita, “Kau masih ingat aku?”

“Siapa ya?”

“Aku, teman seperjuangan Jaka Sembung,” jawab orang itu dengan mengulurkan tangan. Kaswita menyambut uluran tangan teman seperjuangan kakaknya itu.

“Aku tahu, anak muda! Kau pendekar hebat, gagah dan tampan,” puji orang yang baru diketemukan itu, “Persis seperti pendekar agung Jaka Sembung,” tambahnya.

“Kau berlebih-lebihan menilaiku,” ujar Kaswita tersenyum. Ia memang seorang pemuda yang rendah hati.

“Sudahlah! Yang penting aku ingin tahu kau ini siapa?” tanya pendekar buntung itu tetap ramah.

“Apakah itu penting bagi Anda?”

“Kau keberatan asal-usulmu kuketahui?” orang itu balas bertanya.

“Tidak!” jawab pendekar muda itu, “Aku Kaswita, adik kandung kakak perempuan bernama Sri Ayuningrum.”

“Aku sudah bertemu dengannya,” kata pendekar buntung itu.

“Sekarang giliranku ingin tahu siapa kau dan untuk apa kau berada di kapal Belanda ini,?”

“Aku?”

“Ya, siapa lagi!” ketus Kaswita dengan senyum.

“Aku Baureksa! Kawan-kawan memanggilku pendekar si Kaki Tunggal. Tujuanku ke kapal ini sama dengan kalian yaitu untuk membebaskan kakak kalian pendekar agung Jaka Sembung, jelas?”

“Terima kasih, Akang Baureksa!”

“Nah! Sekarang kita tidak boleh membuang-buang waktu,” kata Baureksa tanpa ragu, “Mari kita menggeledah seluruh ruangan di kapal ini sampai ke geledak bawah.”

“Mari!”

Sebentar itu juga, kedua pendekar yang baru saling kenal menghilang dengan suatu rencana.

Sementara itu, pendekar Kembar Tiga Melati terus bekerja keras membereskan mayat-mayat serdadu dan kelasi Belanda.

“Hampir selesai tugas kita, Kak Unui!” Neneng memberi laporan.

“Berapa semuanya?” Unui ingin tahu.

“Tigapuluh lima orang kelasi yang sudah ku ceburkan ke laut,” jawab Neneng.

“Yang belum?”

“Hanya beberapa orang lagi!”

“Segera campakkan ke laut!” perintah Unui tegas.

“Hei, tunggu dulu! Aku dan kawan Mirah ini juga telah menyelesaikan tigabelas orang serdadu,” lapor Nuna sambil menggapai tangan Mirah dengan riang.

“Itu belum seberapa,” tukas Unui ketus, “Kapal sebesar ini paling tidak membawa muatan 100 orang. Yang sudah berhasil kita binasakan baru 48 lebih. Jadi masih separuhnya yang harus cepat-cepat kita lumpuhkan,” jelas Unui memperhitungkan dengan rinci.

“Rencanamu memang sangat jitu, Kak Unui!” puji Nuna.

“Kalau diingat,” kata Neneng, “Malam ini kita berperan menjadi gula-gula maut para hidung belang Belanda tengik itu!”

“Ssst! Amit-amit jabang bayi,” ucap gadis lain serentak. “Ya, apa yang sudah kita lakukan malam ini adalah suatu pengorbanan demi Jaka Sembung dan perjuangan kita.......” kata Unui sambil menatap Mirah dengan rasa penuh persahabatan.

Sementara kesibukan para pendekar berjalan terus di kapal Belanda itu, jauh di kaki langit sebelah Barat, sebuah perahu kecil sedang berlayar di laut Arafuru. Dari jauh kelihatan seperti sabut yang sedang dipermainkan ombak.

“Ya, Tuhan! Berhari-hari aku mengarungi lautan luas ini, tetapi sampai sekarang aku belum berhasil apa-apa,” terdengar keluhan resah pemilik perahu itu. Tetapi keluhan seperti itu sama sekali tidak berguna karena begitu lepas, begitu dilahap angin laut tanpa bekas.

“Apakah kapal yang membawa Jaka Sembung itu melalui wilayah laut ini? Atau memang aku yang kesasar karena tidak punya pengetahuan untuk berlayar di laut?”

Tetapi, kelihatannya perahu kecil itu terus mengarungi lautan dengan tabah dan berani. Tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu itu melihat beberapa benda aneh hanyut terapung-apung dilempar-lemparkan ombak.

“Heh! Ini mayat-mayat orang Belanda rupanya. Apakah kapal mereka pecah dihantam badai laut Arafuru dan kelasi-kelasinya terbawa arus ke mana-mana? Apa yang terjadi dengan kapal itu? Dibajak orang kemudian anak buahnya dibunuh oleh bajak laut itu satu persatu?”

Banyak sekali pertanyaan yang keluar dari orang yang ada dalam perahu kecil itu. Ia membuat rekaan tentang apa yang ia lihat dan ia pikirkan sendiri yang belum tentu kebenarannya.

“Kalau benar dugaanku kapal Belanda itu dibajak oleh orang-orang Bugis atau Ternate, tentu Jaka Sembung yang kaki tangan dirantai oleh Belanda turut dibunuh oleh bajak laut itu dan dibuang ke laut seperti mayat-mayat Belanda ini,” kata orang itu dengan tersenyum “Dan aku tidak perlu turun tangan lagi!”

Siapa sebenarnya orang tua yang berada di perahu kecil itu” Apa tujuannya berlayar sendirian seperti itu serta apa hubungannya dengan pendekar Jaka Sembung? Belum ada yang tahu.

***

Keadaan sepi di kapal Belanda semakin terasa. Semua kelasi tak kelihatan lagi di atas geladak. Mereka ada yang sudah masuk ke kamarnya masing-masing untuk istirahat karena kelelahan akibat pesta dan bukan sedikit pula yang sudah mati akibat tipu daya pendekar Kembar Tiga Melati, belum terhitung pembunuhan gelap yang dilakukan oleh para pendekar simpatisan Jaka Sembung yang lain.

Angin kasar yang tadinya mengamuk serta gelombang besar yang menghambat pelayaran di laut sudah mereda. Sementara itu, di kaki langit sebelah Timur, cahaya kemerah-merahan mulai mengintip di balik awan.

Pembesar-pembesar kapal dan stafnya malam itu tidak begitu terlibat dalam pesta minum-minum menunggu badai reda. Sebelum menjelang sepertiga malam mereka sudah masuk ke kamar untuk istirahat. Para kelasi dan serdadu-serdadulah yang bermabuk-mabukan sepanjang malam.

“Heh! Rasanya badai sudah reda,” gumam Kapten kapal ketika mendusin dari tidurnya. Perlahan-lahan ia duduk-duduk di tempat tidurnya sambil tangannya meraba gagang pestol yang terletak di meja kecil di sebelah kanannya. Agaknya ia merasakan firasat buruk.

“Tentu ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi di kapal ini,” katanya sambil membuka laci mejanya dan mengambil peluru.

Ketika Kapten itu membuka pintu, seorang anggota keamanan kapal sedang berada di depan pintunya.

“Gooden morgen, Kapten!”

“Ada apa?” tanya Kapten tanpa menjawab “Selamat pagi” yang diucapkan oleh anak buahnya itu.

“Ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi, Kapten!”

“Apa maksudmu?”

“Kami tidak tahu, Kapten! Saya tak melihat seorang pun!”

“Jadi, apa kerjamu sebagai petugas keamanan kapal?”

Petugas itu diam, tidak menjawab. Kepalanya menunduk ke bawah.

“Godverdomme! Kalian semua harus dipecat, mengerti?” Kapten kapal menjadi marah. Daun pintu kamarnya dibanting keras-keras sambil meninggalkan anggota keamanan kapal dalam keadaan termangu.

Tetapi serdadu Kumpeni Belanda itu sadar bahwa dirinya petugas keamanan. Ia cepat menyusul Kapten yang hendak mengetahui apa yang telah terjadi di kapal.

“Apakah peristiwa ini ada hubungannya dengan tawanan Jaka Sembung?” tanyanya dalam hati.

Sementara itu, beberapa perwira kapal terlihat sibuk. Kapten kapal dengan diiringi beberapa petugas keamanan bersenjata, segera melakukan pemeriksaan.

“Hei, mengapa begini sepi? Lampu-lampu kapal padam semua?” tanya Kapten semakin heran. “Mana kelasi-kelasi semua? Apa mereka masih tidur?”

Tetapi, semua pertanyaan itu tidak ada yang dapat menjawab. Hanya suara deburan ombak laut Arafuru yang terdengar dibawa angin laut sepoi-sepoi pagi.

Kapten kapal menjadi bingung. Ia berdiri dengan termangu. Kepalanya sarat dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab. Tiba-tiba suatu teriakan terdengar di dekat Kapten itu berada, tetapi sebelum sempat ia bertanya, sebuah pedang telah melayang ke arahnya dengan cepat, tetapi nasibnya masih baik. Ia berhasil mengelakkan sabetan pedang tajam itu.

Melihat serangannya gagal, si penyerang penasaran. Ia segera mengulang dengan serangan kedua.

Tetapi, ketika si penyerang itu hendak menusukkan pedangnya ke tubuh Kapten yang sedang merunduk pasrah, tiba-tiba si penyerang merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya sehingga ia tidak mampu melanjutkan serangan itu.

“Oh, celaka! Ada seseorang yang menotok jalan darahku dari jauh,” gumam si penyerang pada dirinya.

Sementara Kapten yang melihat si penyerang urung melangsungkan penyerangan yang membahayakan dirinya itu, ia tercengang sejenak.

“Oh, mijn God! Siapa wanita secantik itu, yang masih kasihan melihat aku mati?” tanya Kapten kapal tersebut pada dirinya.

“Siapa kau Nona cantik?” Kapten itu mendekati si penyerang yang tidak lain dari seorang wanita. Belanda itu kehilangan rasa takutnya dan mencoba mengelus dan meraba dada penyerangnya.

“Celaka! Tangannya meraba dadaku!” kutuk wanita cantik itu dalam hatinya. Ketika itu kebetulan seorang pendekar lain mengintip kejadian itu dari jarak dekat.

“Hei, apa yang telah terjadi?” gumam pendekar tersebut pada dirinya, “Mengapa pendekar itu urung berbuat sesuatu terhadap Kapten kapal itu? Pasti ada sesuatu yang tidak beres!”

Begitu selesai ia berkata, pendekar muda itu segera melompat menyerang si Kapten, tetapi ia juga tiba-tiba merasa jalan darahnya terkena totokan gelap seperti yang dialami pendekar wanita tersebut.

Kapten itu lagi-lagi kebingungan. Dua orang penyerang yang hendak membunuhnya tiba-tiba mengurungkan maksudnya.

<>

Pada saat yang sama, Pendekar Kaki Tunggal dan Kaswita sedang berada di geladak kapal yang paling bawah.

“Lihat Kang! Itu ada kamar dengan pintunya berlapis besi, mungkin di kamar itu Belanda menyekap Jaka Sembung,” ujar Kaswita menduga-duga sambil bergerak cepat ke tempat itu.

“Tunggu aku Kas! Biar sama-sama kita mendobraknya,” seru Baureksa yang langsung memburu. Ke-dua pendekar itu segera sampai di tempat yang dituju.

Sebentar berhenti, kemudian kedua pendekar tersebut mundur ke belakang mengambil ancang-ancang dan dengan tenaga gabungan mereka mendobrak pintu berlapis besi tersebut. Tetapi, sebelum kekuatan gabungan itu menghantam pintu, kedua pendekar unggulan itu pun mengalami totokan jalan darah yang dilakukan seseorang dari jarak jauh.

Dengan mendengus, pendekar Kaki Tunggal menoleh ke suatu arah. Sesosok tubuh berdiri dengan tegar dan tenang.

“Mengapa Anda berpihak kepada penjajah?” tanya Baureksa.

“Hanya satu kebetulan,” jawab orang itu dingin, “Tetapi aku punya alasan tersendiri.”

“Alasan tersendiri?” Baureksa sejenak heran, “Boleh aku tahu alasannya?”

“Sebenarnya, aku tidak punya alasan khusus dengan kalian,” jawab orang itu dengan tenang. “Tetapi ada orang-orang yang punya sangkutan dengan aku yang berada di kapal ini termasuk Jaka Sembung, mengerti?”

Kemudian orang yang berdarah dingin itu membalik badannya sambil meninggalkan tempat tersebut ia berkata dengan nada datar, “Tenanglah kalian berdiri di tempat ini, aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan!”

Baureksa dan Kaswita sama sekali tidak dapat bergerak.

***

Sementara itu, di anjungan kapal bagian buritan terjadi kesibukan yang luar biasa. Pendekar Kembar Tiga Melati dan Mirah sedang bekerja keras dan tergesa-gesa.

“Kalian, Neneng dan Nuna bertugas mengembangkan layar kapal. Rekan Mirah mengangkat jangkar dan aku akan membelokkan kemudi kapal, bagaimana setuju?” tanya Unui sambil membagi tugas.

“Setuju!” terdengar suara setuju secara aklamasi. “Mulai! Kita kembali ke Bandar Cirebon!”

Dalam waktu relatif singkat, semua tugas-tugas yang diberikan oleh Unui kepada Neneng, Nuna dan Mirah berjalan lancar.

“Sungguh tidak kusangka kalian bertiga adalah gadis-gadis cekatan. Rencana semula yang kuduga begitu sukar, ternyata mudah sekali,” kata Unui sambil berdiri memegang kemudi.

“Tetapi,” tiba-tiba terdengar suara yang sangat berwibawa, tidak jauh dari tempat mereka berada, “Jangan harap kalian bisa memboyong Jaka Sembung kembali, Nona-nona manis!”

“Siapa kau?” teriak Unui dengan jengkel. Tetapi sebelum Unui sempat menyerang laki-laki itu, Mirah yang pendiam tetapi berani segera melompat menyerang sendirian.

Dengan satu pentilan jari dari jarak jauh, tubuh Mirah kelojotan, menjadi kejang berdiri tak mampu bergerak seperti patung.

“Tenang-tenang di sini Nona manis!” ujar orang itu setengah mengejek.

“Kurang ajar!” teriak Mirah.

Sementara itu Unui yang berada di kamar kemudi mulai melaksanakan tugasnya, “Mudah-mudahan aku bisa,” ujarnya dalam hati.

“Hooo! Siap berlayar!” Ketika kapal mulai membelok kembali ke arah Barat, semua layar telah terpasang dengan rapi. Kapal pun bergerak ditiup angin dari arah Timur.

“Horee! Horee!”

Sementara kapal bertolak dengan lancar, Nuna berkata kepada kakaknya, “Kak Neneng! Sekarang semua sudah beres, bagaimana kalau kita turun ke bawah bergabung dengan kawan-kawan yang lain? Mereka pasti sudah berhasil membebaskan Jaka Sembung.”

“Belum tentu Nuna! Prosesnya tidak semudah itu! Tetapi, kalau kau mau ke bawah pergilah dahulu, nanti aku menyusul,.” kata Neneng tanpa bergerak di samping Unui yang sedang memegang kemudi.

Nuna segera turun ke bawah. Hatinya gembira karena tugas yang mereka duga semula begitu berat, ternyata mudah dan lancar. Sebuah kapal yang begitu besar, berhasil dirampas dari Belanda tanpa banyak mengeluarkan keringat.

Begitulah kira-kira jalan pikiran Nuna ketika itu. Gadis itu kelihatannya mabuk kemenangan. Tetapi ketika ia tiba di lantai bawah dari anjungan, Nuna sangat terperanjat melihat seorang opsir kapal menghadangnya dengan pedang di tangan.

“Dia mungkin Kapten kapal ini,” gumamnya menduga.

“Godverdoome!” kutuk Belanda itu dengan nada marah, “Rupanya kalian inlanders ekstremis yang menteror anak-anak kapal ini, ha?” kata Kapten kapal itu sambil mengancam dengan pedangnya.

“Hei, Gecel! Menghadapi kakek bule seperti kau, cukup dengan tangan kosong,” sesumbar Nuna. Tetapi, apa yang diucapkan itu, memang dibuktikan.

Begitu orang Belanda itu mengayunkan pedangnya, Nuna segera melejit ke atas sehingga pedang Kapten kapal itu menetak angin. Melihat kegagalannya menyerang gadis cantik tambah pula dengan sikap gadis itu yang selalu mengejek, hati orang Belanda tersebut semakin mendidih.

Tiba-tiba dengan membabi buta, ia mengayunkan pedangnya untuk kedua kali sambil berteriak keras, “Mampus kowe orang!”

Tetapi apa yang terjadi? Nuna hanya berkelit ringan, kemudian membalik badannya dengan cepat, “Ini dengkul untukmu!” sambil memasukkan dengkulnya ke bagian perut orang Belanda tua itu, yang tepat mengenai ulu hatinya. Kapten kapal tersebut jatuh perlahan-lahan ke belakang kesakitan dan pedangnya terpental jauh.

Ketika itu Nuna segera meloncat mengirimkan suatu depakan maut ke muka Belanda tua itu. Tetapi Nuna tiba-tiba merasakan suatu sentakan kuat yang menyebabkan ia jatuh kejang.

Perlahan-lahan Nuna berbalik ke belakang ingin tahu siapa yang berbuat usil terhadap dirinya.

“Hei, bajingan tengik, mengapa kau membela penjajah Belanda?”

Pendekar gelap tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan penuh ejekan. Ketika itu si Kapten yang melihat kejadian tersebut merasa kagum dan berterima kasih karena jika orang yang berdiri di depannya itu tidak ada, mungkin ia telah mati di tempat itu.

“Tuanku yang sudah beberapa kali menyelamatkan aku?”

“Ya, mengapa?” jawab orang itu singkat.

“Tuan siapa, kalau boleh Ik tahu?”

“Namaku tidak penting!”

“Tuan telah beberapa kali menolongku dari serangan ekstrimis gelap. Kurasa Tuan berdiri di pihak pemerintah kerajaan Belanda!?”

“Ah, itu hanya suatu kebetulan aku berada di pihak yang menguntungkan Tuan,” jawab orang itu dengan tenang.

“Oh, sendi-sendiku seperti mau copot,” keluh Nuna dalam hati sambil menahan sakit.

Sementara itu, pendekar yang membela Belanda dan menjatuhkan Nuna berjalan beberapa langkah menuju pagar dek sambil mengulurkan kepalanya ke bawah berkata, “Lihatlah perahu kecil itu! Dengan perahu itulah aku mengarungi laut Arafuru yang ganas ini.” Kata-kata itu mengambang begitu saja tak tahu kepada siapa dituju.

“Untuk apa Tuan datang ke kapal ini?” tanya Kapten kapal memberanikan diri.

“Tentu aku punya alasan tersendiri Tuan!” jawab orang itu dengan tenang, “Tetapi, sayang, kedatanganku terlambat sehingga anak buah Tuan dan serdadu-serdadu Kumpeni Belanda sudah banyak yang menjadi korban.”

Kapten yang sudah berusia lanjut itu menundukkan kepala dan merasa menyesal mengapa harus membawa Jaka Sembung dengan kapalnya.

***

Matahari semakin lama semakin condong di kaki langit di sebelah Barat. Sebentar kemudian tirai malam mulai turun dan keadaan di kapal semakin penuh tanda tanya, apa yang akan terjadi?

Orang yang telah berhasil melumpuhkan beberapa pendekar yang hendak membebaskan Jaka Sembung, mulai menunjukkan sikap berkuasa di kapal itu. Kesombongan dan keangkuhannya semakin terlihat seakan-akan ia sanggup menumpas ekstremis-ekstremis.

Ia kelihatan mondar-mandir di antara Kapten Belanda dan Nuna yang telah tidak berdaya sambil sekali-sekali berdiri di depan si bule itu.

“Berminggu-minggu aku mencari jejak kapal Tuan, tetapi baru sekarang aku berhasil menemukannya di laut Arafuru ini,” kata pendekar misterius itu.

“Apa kepentingan Tuan dengan kapal ini?” tanya Kapten kapal itu mulai kesal dengan sikapnya yang serba tidak tegas.

“Nanti juga Tuan akan tahu!” jawabnya singkat.

Sementara itu, Neneng turun dari anjungan menyusul Nuna. “Nuna! Nuna!” seru Neneng mulai khawatir.

Tiba-tiba Neneng kaget sekali ketika melihat Kapten kapal terhenyak di dinding sebuah kamar, dan tidak jauh di depannya Nuna seperti meringkuk tidak berdaya.

“Apa yang terjadi Nuna,” tanya Neneng.

“Hati-hati orang itu, Kak Neneng!” ketus Nuna sambil menunjuk ke arah pendekar aneh yang sedang berdiri dengan tangan menyilang ke dada.

Tanpa banyak bicara dan tidak disangka-sangka, Neneng segera menyerang orang itu dengan suatu jurus andalan, tetapi pendekar tak dikenal itu dengan cepat mengelak sambil mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh yang dahsyat, yang hampir saja menghantam dada Neneng. Untung pendekar wanita itu berhasil berkelit dengan gesit sehingga pukulan yang berbahaya itu dapat dihindari.

Ketika Neneng mendarat di atas geladak, secepat kilat tangannya menyabet dengan golok ke arah lawan. Tetapi manusia bayangan itu memang tangguh. Serangan Neneng yang begitu berbahaya dapat diredamnya dengan mudah, sekaligus menepak tangan Neneng dengan keras.

“Aduh! Tanganku seperti kesemutan,” pekik Neneng seraya mengurut-urut pergelangan tangannya sendiri.

Tetapi ketika melihat pendekar jahat itu hendak mendarat di geladak, Neneng yang tak ingin menyia-nyiakan waktu, segera membokong dari sampingnya, tetapi suatu tepakan keras dengan telapak tangan, golok Neneng pun terpental dan jatuh di sisi Nuna.

“Diberi hati, kalian naik ke kepala,” bentak pendekar jahat itu dengan suara serak.

Nuna yang memang keras hati mencoba bangkit. Ia berdiri mendampingi kakaknya yang sedang terancam.

“Ini senjatamu kak Neneng, kita harus lawan manusia jahat ini!” seru Nuna tanpa merasakan lagi sakit yang sedang dideritanya.

Akhirnya terjadilah perkelahian sengit dua lawan satu. Bagaimana hebatnya tenaga tua, sekurang-kurangnya merasa kewalahan juga menghadapi dua pendekar muda yang cekatan, gesit dan penuh semangat.

Perkelahian itu semakin seru dan merambat sampai ke sebuah ruangan di bagian tengah kapal yang terang benderang. Tiba-tiba Neneng dan Nuna menjadi sangat terperanjat ketika melihat tampang musuhnya adalah seorang pendekar yang pernah mereka kenal.

“Heeei, Kau....... kau Ki Subeni?” teriak Neneng dan Nuna serentak.

“Ki Subeni atau hantunya bukan persoalan, yang penting aku datang ke mari untuk menagih nyawa kalian,” ketus Subeni sambil menyerang dengan jurus andalannya yang aneh dan berbahaya.

“Hati-hati Kak Neneng!” teriak Nuna ketika melihat pendekar jahat itu membuka serangan.

Kali ini pun pendekar Subeni belum dapat menjatuhkan lawannya, kedua pendekar wanita yang tangguh itu. Melihat kegagalannya dengan beberapa jurus andalan, pendekar Subeni bertambah berang dan bernafsu untuk membunuh kedua gadis itu.

Dengan tekad jahat yang bersarang di hatinya, pendekar Subeni segera menggunakan jurus andalannya yang terakhir sambil melakukan suatu gerakan dahsyat. Kedua pendekar wanita bersaudara itu tanpa daya terpelanting ke sudut geladak berjumpalitan.

“Jangan takut pada manusia iblis itu Nuna!” kata Neneng kepada Nuna yang terpisah beberapa depa. Neneng dan Nuna bangkit kembali dengan tekad akan bertempur mati-matian melawan pendekar pengkhianat bangsa itu.

***