Warok Ponorogo 7 - Kekerasan di Tengah Bulakan(2)

"Siapa nama Mbakyu dan dari mana asal Mbakyu,” tanya 
Joko Mangpolo. 

Perempuan itu tidak menjawab ia hanya geleng-geleng 
kepala dan menunduk-nunduk- 

"Apa maksud Mbakyu. Saya datang untuk menolong 
Mbakyu. Aku akan antar Mbakyu, dimana rumahnya," 
sekali lagi Joko Manggolo bertanya, tetapi tidak dijawabnya, 
perempuan itu kembali menggelengkan kepalanya. 
"Kangmas, Kangmas, perempuan itu bisu, Kangmas,” 
terdengar suara laki-laki yang diringkus Joko Manggolo 
itu. 

"Ohhhhh. Maafkan saya, Mbakyu," kata Joko Manggolo 
sambil membimbing perempuan itu agar berdiri tidak 
menyembah-nyembah begitu terus. 

"Kamu tahu rumah perempuan iri," tanya Joko Manggolo 
kepada laki- laki itu. 

"Tat...tahu. Tett...tetapi tolong lepaskan aku dulu, Kang- 
mas. Nanti aku akan tunjukkan rumahnya." 

"Dimana rumahnya." 

"Tolong lepaskan aku dulu, nan...nanti...". 

"Aku tanya, dimana rumahnya. Jawab !" Bentak Joko 
Manggolo kelihatan mulai kesal terhadap, laki-laki yang 
diringkusnya itu. 

"Did...di...di sana. Di Dukuh Patukan." 

"Dimana Dukuh Patukan itu." 

"Tidak jauh dari sini, Kangmas. Ke arah barat." 
"Hayo-antar aku ke sana. Cepatiberdiri. Hayo jalan." 


"Maí..maafkan aku Kangmas. Tolong pakaikan dulu 
celana saya." 


"Tidak usah. Hayojalan. Cepat." 
Dengan pelan laki-laki itu terpaksa harus berjalan dalam 
keadaan bugil. Joko Manggolo membimbing perempuan 
itu yang nampak sulit berjalan tertatih-tatih seperti 
menahan sakit pada bagian bawah pusarnya. 


"Mbakyu apa masih sakit." 
Perempuan itumengangguk. 

"Hee banjingan. Kamu bopong mbakyu ini sampai ke
rumahnya," kata joko Manggolo menyuruh laki-laki itu 
untuk mengangkat perempuan itu. Tetapi seketika 
perempuan itu-menggeleng-gelengkan kepalanya dan 
kemudian jongkok kembali. menyembah-nyembah Joko 
Manggolo. Baru disadari oleh Joko Manggolo rupanya 
ia membuat kekeliruan dengan mengambil keputusan 
untuk menyerahkan perempuan ini agar dibopong oleh 
laki-laki itu. Rupanya, tampang laki-laki bulat pendek 
itu telah menimbulkan jijik perempuan ini kepada laki- 
laki itu. |... 

"Maaf Mbakyu. “Bukan maksudku untuk menyerahkan 
kepada laki-laki itu. Aku ingin si laki-laki berengsek ini 
menjadi kuda tunggangan. yang harus bertanggung 
jawab atas perbuatannya tadi." 


Akhirnya sekali-kali Joko Manggolo yang membopong 
perempuan, itu kalau kelihatan ia sudah mulai sulit jalan, 
dan beberapa saat kemudian diturunkan kembali untuk 
berjalan. Nampak mereka sudah jauh berjalan tetapi 
belum ada tanda-tanda akan menemui perkampungan. 
"Mbakyu, apa benarjalan yang dituju ini kesrah rumahmu," 
tanya Joko Manggolo kepada perempuan bisu itu. Dari 
mimik wajahnya nampak perempuan bisu itu mengerutkan 
keningnya, menengok-ke kiri ke, kanan, lalu ia meng- 
geleng-gelengkan kepalanya. 

"Hae, Bajingan. Kamu akan bawa kemana aku. Ini bukan 
jalan menuju rumah Mbakyu ini." 

"Aku sendiri juga lupa, Kangmas." 

"Bajingang Bilang sejak tadi kalau lupa. Kamu benar-benar 
lupa atau pura-pura lupa," Joko Manggolo menghampiri 
laki-laki itu dan langsung muka laki-laki 
itu. Plakk. "Bajingan kamu. Sudah berbuat kurang ajar sama 
perempuan, sekarang kamu mau menipu aku." 
"Maf...maaf Kangmas. Soalnya aku'malu. Aku tinggal 
sekampung dengan perempuan bisu itu. Takutaku kena 
malu sama orang-orang di Kampung” 


"Sekarang bilang malu, tadi memperkosa tidak malu. 
Yang benar yang mana. Mentang-mentang ada perem- 
puan tidak bisa bicara lalu kamu perdaya. Biar tidak 
buka mulut. Begitu tujuanmu. Kama mau memuaskan 
nafsu binatangmu itu, lalu meninggalkan kesengsaraan 
pada orang lain. Kalau begini kamu merasa sakit tidak," 
Joko Manggolo menendang perut laki-laki itu dengan 
dengkulnya. 

"Aduhhh, sakit, Kangmas." 

"Baru begitu sudah terasa sakit. Bagaimana sakitnya 
kehormatannya dengan cara kamu yang brutal itu." 
"Maafkan saya, Kangmas.* 

"Maaf. Maaf. Hayo jalan kemana yang benar jalan ke 
kampungmu itu." 

Akhirnya mereka bertiga itu membalik kembali, berjalan 
menyelusuri bulakan. Hari mulai makin sore. Setelah 
sampai di daerah gundukan-gundukan tanah, tiba-tiba 
dihadapan mereka muncul banyak orang hampir ber- 
jumlah sekitar lima puluh orang. Sangat banyak. 


"Berhentiiii," teriak seseorang laki-laki yang berambut 
kelihatan sudah memutih semua. Joko Manggolo bersama 
laki-laki yang diringkus itu pun berhenti. 


"Lepaskan ikatan tali pada laki-laki itu. Dan juga 
lepaskan perempuan itu," perintah laki-laki yang berambut 
memutih itu nampaknya ditujukan kepada Joko Manggolo, 
"Hayo cepatttt ikuti perintahku." 


Joko Manggolo nampak ragu-ragu, ia hanya meman- 
dangi wajah orang-orang yang berkerumun banyak di 
hadapannya itu semuanya nampak membawa senjata 
tajam. Di antara rerumunan orang-orang itu, Joko Manggolo 
mengenali ada laki-laki yang tadi juga ikut memperkosa 
"Maaf, Paman. Mungkin Paman salah paham. Apa mak- 
sudnya ini semua." 


"Sudah jelas, kamu orang asing yang telah membuat 
kejahatan. Kamu membegal warga kami. Kamu telah 
memukuli warga kami. Itu siapa yang kamu sekap itu. 
Dua orang warga kami, kamu sekap. Apa bukti ini 
kurang jelas." 

"Tet...tetapi...kami...". 


"Sudah jangan banyak bacot Lepaskan segera dua orang 
warga kami itu. Dan kamu akan kami tangkap. Kamu 
harus diadili di bawa ke kota Kadipaten. Kamu telah 
membuat kejahatan membegal orang, menyekap orang, 
dan melakukan pemerkosaan terhadap perempuan itu. 
Ini ada empat orang saksinya yang melaporkan semua 
kejadian kepada kami. Sekarang akui saja segala 
perbuatan nistamu itu, anak muda." 


Mendengar uraian laki-laki berambut putih itu, barulah 
Joko Manggolo paham, rupanya ia kena korban fitnah 
dari orang-orang yang telah menganiaya perempuan iri. 
Demi pertimbangan kemanusiaan, perempuan ini 
dilepaskan dan disuruh bergabung dengan warga 
Dukuh itu. | 


"Mbakyu, silakan ke sana. Mereka semua ingin menyela- 
matkan Mbakyu." 


Tetapi perempuan bisu itu tidak mau, ia menggeleng- 
gelengkan kepalanya, lalu ia maju di depan Joko Manggolo. 
la rupanya berusaha menjelaskan kejadian yang sesungguh- 
nya dihadapan orang-orang itu. 


"Bah...bah...ih..bah...bah," kata perempuan bisu itu sambil 
tangannya digerak-gerakan terus. Tetapi orang-orang 
tidak ada yang peduli terhadap penjelasan perempuan 
bisu itu. Mereka nampak acuh tak acuh saja. Perhatian 
mereka tetap tertuju kepada kesiagaan untuk meng- 
hadapi orang asing seperti Joko Manggolo ini yang dari 
penampilannya diperkirakan oleh orang-orang itu sebagai 
anak muda yang berilmu kanuragan tinggi. Tanpa dinyana 
tiba-tiba seorang laki-laki menyambar lengan perem- 
puan itu dan ditarik paksa bergabung dengan mereka. 
Mungkin dimaksudkan sebagai tindakan penyelamatan 
warganya. Masih terdengar suara berontak perempuan 
bisu itu yang nampak berusaha memberikan keterangan 
kepada warga penduduk itu mengenai kesalahpahaman 
ini, tetapi keburu perempuan itu diamankan ke garis 
belakang. 


"Sekarang tinggal lepaskan yang satu lagi. Hayo cepat 
lepaskan, anak muda, sebelum kami semua akan bertindak." 


"Baik akan aku lepaskan. Dan aku akan berlalu dari 
kampung bapak-bapak di sini. Tetapi, tolong diingat 
kelima laki-laki ini sebenarnya yang telah memperkosa 
perempuan bisu tadi. Kelima laki-laki yang mau jadi 
saksi ini bermoral bejat. Sebenarnya justeru mereka ini 
yang pantas dihukum." 


“Berhenti omongan kosongmu itu. Hayo lepaskan laki- 
laki itu jangan banyak ngomong. Kamu yang akan 
dihukum bukan mereka yang menjadi saksi. Mengerti 
kamu orang asing," tiba-tiba terdengar suara seorang 
laki-laki yang bertubuh kekar maju menuding-nuding 
muka Joko Manggolo. Tanpa banyak bicara lagi, Joko 
Manggolo lalu melepaskan ikatan tali pada laki-laki bulat 
pendek berkulit hitam itu, dan laki-laki itu segera berlari 
bergabung dengan warga dukuh itu Seorang teman 
laki-lakinya tadi memberikan pakaiannya yang segera ia 
kenakan. 


"Sekarang ganti giliran kamu anak muda untuk menyerah." 
"Apa?. Aku harus menyerah. Untuk urusan apa." 


"Apa belum jelas. Kamu telah membegal, menganiaya, 
dan memperkosa perempuan warga kampung kami. Itu 
semua tuduhan yang ditujukan untuk kamu. Tahu tidak. 
Bodoh." 


"Itu semua tidak benar, Paman. Seandainya perempuan 
tadi bisa ngomong ia akan menjelaskan semua apa yang 
sesungguhnya terjadi." 


"Tutup mulutmu orang asing. Hayo menyerah atau mati 
di sini." 


"Kalau kalian ingin menunjukkan kehebatan kalian. 
Maju satu per satu. Satu lawan satu. Jangan main 
keroyokan begini," tantang Joko Manggolo berusaha 
menunjukkan ketegaran dirinya. 


"Sudah, jangan banyak bacot. Hayo kawan-kawan kita 
hantam saja anak muda yang sombong ini," teriak 
seorang laki-laki bertabuh ceking tiba-tiba langsung 
mengayunkan moteknya yang berkilau sebagai senjata 
tajam andalan untuk menyerang Joko Manggolo yang 
diikuti oleh lainnya yang secara berbarengan menyerbu 
Joko. Mangggolo yang memang sedari tadi telah siap 
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. 


Joko Manggolo melakukan pertahanan mundur teratur 
dengan satu per satu dirobohkan lawan-lawannya itu. 
Namun lainnya terus berdatangan mengeroyoknya. 
Beberapa goresan senjata tajam itu telah mengenai 
tubuh Joko Manggolo, tetapi ia tetap terus bertahan 
dengan melakukan gerak bela-serangnya. 


Joko Manggolo telah menghabiskan jurus-jurusnya untuk 
menghadapi serbuan sebegitu banyak orang kampung 
ini, nampakia kewalahan. Kesulitannya, Joko Manggolo 
tidak ingin melukai orang-orang yang dianggap salah 
paham, korban fitnah ini, sehingga Joko Manggolo lebih 
banyak melakukan gerakan hindaran, menyapu 
kedudukan kuda-kuda. lawan, dan menyerang ringan 
untuk sekedar merobohkan mereka, sehingga ia 
terpaksa harus menerima keadaan dirinya untuk terdesak 
terus tanpa perlu mengerahkan-kekuatan dahsyatnya 
apalagi mengeluarkan aji-aji pamungkas untuk membuat 
celaka orang. 


Akhirnya Joko Manggolo mundur terus untuk bertahan, 
tidak disadari ia sudah sampai di pinggir jurang 
dangkal, berupa tanah berbatu-batu yang curam, tidak 
ada lagi posisi untuk mundur lagi. Kalau mau nekat 
maju terus berarti binasa, mundur terus berarti neraka. 


"Baik paman-paman. Aku menyerah kalah," kata Joko 
Manggolo terpaksa mengambil keputusan untuk mengalah 
daripada ia terkena celaka terjatuh ke jurang, atau akan 
mengambil sikap menghancurkan sekaligus banyak 
orang yang tidak tahu-menahu duduk perkara yang 
sebenarnya ini. 


"Horrrreeee," teriak orang-orang Dukuh Patukan itu 
hampir berbarengan merasa dapat memenangkan 
perkelahian yang belum pernah terjadi selama ini. Joko 
Manggolo menurut saja dicincang dibawa beriringan 
beramai-ramai menuju Dukuh Patukan yang terletak 
berbukit-bukit dan masih berhutan walaupun terlihat 
sudah banyak pohon yang ditebang. 


Sesampainya di Dukuh Patukan itu, Joko Mangpolo diikat 
di bawah pohon aren besar tinggi, dan para warga 
beramai-ramai membuatkan kurungan dari bambu- 
bambu dan kayu-kayu besar. Mereka segera sibuk membuat 
kurungan mendadak. Ada yang menggergaji, memasah, 
memantek, memotong, Dan malam hari itu, Joko Manggolo 
sudah berada dalam kurungan yang terbuat nampak 
kokoh sukar ditembus untuk keluar dari tempat itu. 


4
MENCARI KEBENARAN 


MALAM hari, Joko Manggolo harus menelan nasib 
jeleknya. Ia dipaksa tertidur di dalam kerangkeng
jorok yang banyak nyamuk, dijaga ketat sekitar empat 
laki-laki berwajah angker. Para penjaga itu yang sedari 
tadi terlihat sedang bermain kartu dengan asyiknya. 
Karena kelelahan, Joko Manggolo tertidur lelap setelah 
menghabiskan makanan yang diberikan oleh penduduk 
Dukuh Patuk ini tadi, tanpa-menghiraukan dinginnya 
malam dan kerubungan nyamuk yang terus menggigit 
tubuhnya itu. 


Antara setengah sadar dan masih lelap tertidur, tubuh 
Joko Manggolo seperti digoyang oleh tangan halus yang 
berusaha membangunkan dia. Begitu matanya dibuka, 
Joko Manggolo kaget dibuatnya. Di depannya terlihat 
muka seorang perempuan muda, ia ternyata perempuan 
bisu yang tadi siang ditolongnya itu. Perempuan itu 
jongkok di sebelahnya di luar kerangkeng sambil men- 
nyodorkan minuman kopi hangat. Tanpa banyak tanya, 
minuman hangat itu langsung diterima Joko Manggolo 
dan diminumnya sampai habis lantaran udara di kampung 
ini memang amat dingin. Sekedar untuk menghangatkan 
badan. Dengan adanya wedang kopi hangat itu rupanya 
cukup-membantu keadaan dirinya menjadi lebih segar 
bugar. Kemudian perempuan itu menyodorkan sebilah 
pisau besar, sambil berkata-kata. 


"Uhhh...ah...bah...uh,” tangannya menunjuk-nunjuk ke 
arah ikatan tali-tali yang ada pada daun pintu bambu- 
bambu itu. Joko Manggolo menangkap yang dimaksudkan 
agar ia menggunakan pisau besar itu untuk memotong 
ikatan tali-tali bambu itu supaya ia bisa keluar dari 
kerangkeng. Tanpa basa-basi lagi, Joko Manggolo segera 
bertindak mengikuti petunjuk perempuan bisu. itu. Tidak 
berapa lama, pintu kerangkeng itu dapat dibongkar, dan 
Joko Manggolo dengan mudah dapat keluar dari 
kerangkeng. 

Joko Manggolo setelah berhasil ditolong oleh perempuan 
bisu itu keluar dari kerangkeng. Tapi masih ada masalah 
berat lagi, Joko Manggolo harus menghadapi para penjaga 
yang nampak galak- galak itu sejak tadi kelihatan angker 
menjaga di situ. Begitu mata joko Manggolo menoleh ke 
arah para penjaga itu, nampak mereka rupanya telah 
tertidur lelap, tergeletak tidak karuan di bawah tempat 
penjagaan itu. Di sana-sini nampak berhamburan 
cangkir yang sama dengan cangkir yang diberikan 
perempuan bisu itu kepadanya. Perempuan bisu itu rupanya 
membawakan minuman yang membuat penjaga ronda 
kampung itu tertidur lelap. Lalu, Joko Manggolo mem- 
berikan bahasa isyaratnya kepada perempuan bisu itu, 
yang maksudnya mau menanyakan "Apakah minuman 
yang diberikan kepada Joko Manggolo sama dengan 
yang diberikan kepada penjaga-penjaga itu." Perempuan 
bisu itu menggelengkan kepala, berarti Joko Manggolo 
tidak terkena minuman serupa untuk merangsang 
tertidur, tapi sebaliknya justeru membuat mata terbelalak 
karena pengaruh kopi minuman itu. 

Kemudian Joko Manggolo menanyakan lagi "Apakah itu 
semua bertujuan untuk membebaskan Joko Manggolo 
dari kerangkeng ini." Dijawab oleh perempuan bisu itu 
dengan anggukan kepala, berarti mengiyakan. Seterusnya, 
Joko Manggolo ditarik lengannya oleh perempuan bisu 
itu, diajak berjalan.menyelusuri lorong-lorong perkam- 
pungan itu maksudnya ingin menunjukkan jalan keluar 
agar Joko Manggolo dapat segera meninggalkan 
perkampungan itu. 

Namun malang, ketika Joko Manggolo sudah di luar 
kurungan, baru melingkari beberapa lorong rumah-rumah 
penduduk itu, ia keburu ketahuan penjaga ronda keliling 
yang sedang meronda ingin mengontrol tawanannya 
itu. Terjadi pergumulan keras. Joko Manggolo memberikan 
perlawanan dengan cara melakukan gerakan hindaran 
menjauh terus agar penjaga itu tidak membangunkan 
orang-orang kampung lalu mengeroyoknya kembali. 


Dengan. cara demikian, rupanya Joko Manggolo berhasil 
mengelabuhi penjaga-penjaga malam itu yang merasa 
dapat memenangkan pertarungan tanpa harus meminta 
bantuan kepada orang-orang kampung lainnya. 


Joko Manggolo bergerak mundur terus tanpa menciderai 
lawannya. Ketika mereka sampai di perbatasan perkam- 
pungan, segera Joko Manggolo memasang jurus berkelitnya, 
memasang jurus terjangan angin lesus, sehingga dengan 
mudah ia berhasil meloloskan diri, tanpa bisa dikejar 
para penjaga yang terpedaya merasa bangga dapat 
memenangkan pertarungan itu ternyata ia kena dikelabuhi 
Joko Manggolo agar mereka tidak meminta bantuan teman 
lainnya karena telah merasa kuat menghadapi serangan 
Joko Manggolo itu. Baru setelah Joko Manggolo berhasil 
lenyap ditelan kegelapan malam, mereka menyadari 
telah berbuat kesalahan besar, seperti menghantarkan 
tawanannya itu untuk dilepas di alam bebas. 


Petugas ronda yang berjumlah dua orang itu lantaran 
merasa tidak berhasil menangkap Joko Manggolo, maka 
ia segera membunyikan kentongannya keras-keras, titir, 
"Tuk. tuk... kuk... tuk...", untuk membangunkan penduduk. 
Dalam waktu singkat penduduk Dukuh Patuk itu telah 
berhamburan keluar rumah dengan membawa senjata 
masing-masing di tangan. Mereka mendatangi arah 
bunyi kentongan itu. 

Setelah mendapatkan penjelasan dari petugas ronda itu, 
sebagian dari mereka berusaha mengejar larinya 
Joko Manggolo, dan lainnya kemudian memeriksa 
kerangkeng tempat Joko Manggolo ditahan. Di tempat 
itu didapati para petugas jaga kerangkeng itu nampak 
masih tertidur pulas, seperti tidak menyadari apa yang 
sedang terjadi. Ketika mereka dibangunkan nampak 
pada kebingungan. Kerangkeng segera diperiksa 
beramai-ramai, gerangan apa yang menyebabkan 
sehingga Joko Manggolo bisa lolos. Terlihat sebilah 
pisau besar masih tergeletak tertinggal di situ. 
Kemudian para penjaga itu berkisah bahwa tadi malam 
mereka mendapatkan minuman dari perempuan bisu 
itu. Dikiranya, perempuan bisu itu ingin membalas jasa 
budi baik kepada mereka yang telah menolongnya, 
berhasil menangkap dan menyekap Joko Manggolo 
sebagai pelaku perkosaan. Maka hadiah minuman hangat 
itu segera beramai-ramai diteguknya dalam suasana 
udara dingin di perkampungan itu. Kemudian mereka 
tidak ingat lagi. 


Setelah diperiksa minuman-minuman itu. Ternyata 
benar, memang mengandung ramuan yang memancing 
orang segera ngantuk dan tertidur. Orang-orang kampung 
pun kemudian pada heran mengetahui kelakuan perempuan 
bisu itu. Dan setelah diselidiki diketahui bahwa perempuan 
bisu inilah yang malahan telah membebaskan Joko 
Manggolo. 


Para sesepuh dan tokoh masyarakat Dukuh Patuk segera 
mengadakan sidang malam itu juga untuk mencari tahu 
semua kejadian di balik yang sesungguhnya terjadi dari 
peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan bisu kemarin siang.


"Kalau yang menjadi korban pemerkosaan itu Sritarti," 
nama perempuan bisu itu Sritarti, "Kenapa malahan ia 
yang justeru mau membebaskan anak muda itu. 
Mustinya ia malah dendam kepada pemuda itu. Tetapi 
nampaknya justeru kebalikannya ia yang merasa harus 
membalas budi dan mau bersusah-payah malam-malam 
dingin begini ia sudi mengantarkan minuman untuk 
membius para penjaga dan membebaskan anak muda 
itu dari kerangkeng ini," kata seorang tua yang dikenal 
arif bijaksana di Dukuh Patuk ini dihadapan warga 
dukuh yang berkumpul beramai-ramai di tempat itu 
dengan penerangan obor yang dibawa oleh banyak 
orang yang berkumpul di tempat itu sehingga nampak 
menerangi sekelilingnya. 


"Itu tentu masuk akal tho, Kangmas," bela laki-laki yang 
berambut putih yang tadi siang bertindak sebagai 
pemimpin penangkapan terhadap Joko Manggolo itu, 
"Kalau anak muda itu merasa tidak bersalah, mengapa 
ketika dia mau kita tangkap, malahan ia melawan Kita. 
Kalau ia merasa tidak bersalah ya menyerahkan diri saja 
dengan cara baik-baik. Itu kan gampang jadinya. Dan 
nanti kita serahkan ke pengadilan di kadipaten. Pengadilan 
yang akan memutuskan bersalah atau tidak. Tetapi ia 
malahan nekat melawan kita, sehingga mengakibatkan 
banyak korban luka-luka warga kita. Jadi jelas, pemuda 
asing itu sejak semula sudah merasa bersalah dan tahu 
betul ia akan dihukum, makanya ia melawan dan 
berusaha kabur dari penangkapan kita," tukas pimpinan 
kampung Dukuh Patuk yang tadi sore memimpin 
penangkapan itu. 


"Sampeyan itu bagaimana tho, Dik. Kok malahan cara 
berpikirnya terbalik. Jelas saja pemuda asing itu 
melawan kita, wong ia merasa tidak bersalah,” kata 
orang tua yang terkenal bijak itu kemudian. 

"Tapi, Kangmas. Mengapa ia tidak bersikap satria, mau 
menyerahkan diri siap untak diadili agar tahu 
kebenaran yang memihak dirinya, tetapi yang ia 
lakukan melawan kita." 


"Dimas ini bagaimana. Sikap tidak menyerah untuk 
membela kebenaran itu kan sifat ksatria. Justeru sikap 
pemuda tadi, aku anggap yang benar. Kalau ia salah, aku 
rasa ia akan menunjukkan sikap takutnya. Akan tetapi 
ia nampak tegar saja. Dan yang mengherankan kalau aku 
amati jalannya perkelahian mengeroyok pemuda itu tadi 
sore, satu pun di antara penduduk warga ini tidak ada 
yang jadi korbannya, hanya luka-luka kecil saja. Padahal 
ia telah merebut salah satu senjata orang-orang kita 
tetapi tidak untuk melukai orang-orang kita hanya 
sekedar untuk bertahan. Aku melihat banyak kesem- 
patan pemuda tangguh itu dapat mencederai atau bahkan 
membunuh beberapa penduduk kita waktu penyerangan 
kemarin siang. Tetapi hal itu tidak ja lakukan." 


"Ach, Kangmas bisa saja. Justeru karena kekuatan kita 
ini yang tangguh. Bukan lantaran pemuda itu sengaja 
untuk tidak melukai orang-orang kita." 

"Kalau demikian aku punya usul. Coba bawa kemari 
Sritarti," kata orang bijak sesepuh Dukuh Patuk itu. 


Tidak berapa lama, gadis bisu yang malang itu dibawa 
masuk ruangan pendopo Dukuh Patuk yang sudah 
dipenuhi berjejal oleh penduduk kampung itu ingin 
menyaksikan bagaimana duduk perkara sebenarnya 
karena mereka kemarin siang juga ikut memberikan 
pengorbanannya menyerang pemuda asing itu. Sementara 
semua orang yang berkerumun di balai Dukuh Patuk itu 
pada terdiam ingin mendengarkan pemecahan perkara 
ini. 


"Nduk, Eyang mau tanya, ya. Mengapa kamu berani- 
beraninya melepaskan orang asing itu dari kerangkeng 
yang sudah dibuat susah payah oleh para penduduk 
dengan gotong royong," tanya sesepuh Dukuh Patuk itu. 
Di dukuh ini belum ada kepala dukuhnya, jadi 
kedudukan sesepuh dukuh ini dapat bertindak seperti 
kepala dukuhnya. Sebab kepala dukuh yang lama baru 
pernilihan kepala dukuh yang baru. 

“Uhh, Uhh, Uhh," kata perempuan bisu itu sambil tangan- 
nya memperagakan gerakan-gerakan berusaha 
menjawab pertanyaan sesepuh dukuh itu. 

"Ohh, maksud kamu, pemuda itu tidak bersalah," tanya 
sesepuh dukuh itu kembali. Nampak perempuan bisu 
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Jadi siapa yang salah," tanya sesepuh dukuh itu lebih 
lanjut. 

Perempuan bisu itu terdiam. 

"Jawab Nduk, siapa yang salah." 
Masih tetap bungkam. 


"Tolong, Nduk. Jawab siapa yang salah agar kita semua 
dapat menolongmu dan menjagamu di kemudian hari." 


Kelihatan perempuan bisu itu ragu-ragu, tetapi ia pelan- 
pelan berdiri dan matanya mengelilingi orang-orang 
yang hadir berkumpul di ruangan balai pedukuhan itu, 
kemudian pandangannya berhenti pada seorang laki- 
laki gendut yang berdiri di baris tengah. Tangan perempuan 
bisu itu pelan-pelan diangkat, lalu menunjuk lurus ke 
arah laki-laki gendut tadi. Semua orang matanya tertuju 
pada arah telunjuk perempuan bisu itu. 


"Hayo, KiSanak yang merasa ditunjuk coba tolong maju 
ke depan," kata laki-laki tua sesepuh dukuh yang nampak 
bijak itu. 

Seorang laki-laki yang ditunjuk.itu kemudian dengan 
gemetaran maju ke depan dengan muka yang pucat pasi 
Belum habis disitu, telunjuk perempuan bisu itu menunjuk 
lagi kepada dua orang laki-laki yang duduk berdampingan 
di sudut belakang yang diterangi lampu teplok remang- 
remang itu. Kemudian kedua laki-laki gagah itu pun 
maju ke depan. Lalu, perempuan bisu itu menggeleng- 
gelengkan kepalanya, yang menandakan mungkin 
sudah tidak ada lagi pelaku lainnya yang ada di situ. 
"Kangmas Pramono," kata sesepuh dukuh itu memba- 
hasakan para laki-laki penduduk dukuh itu dengan 
sebutan Kangmas. "Kangmas Tarjito, dan Kangmas Karmono. 
Apa benar kalian bertiga telah mencelakan Sritarti ini." 


"Tit...titt...tidak. Tidak benar. Itu tidak benar, Pak 
Sesepuh. Ini tittt...tidak betul," jawab ketiga laki-laki itu 
hampir berbarengan menyangkal tuduhan terhadap diri 
mereka. 


"Lalu, siapa yang telah berbuat menodai Sritarti tadi 
siang.” 


"Pemuda asing yang tadi kita tangkap itu. Kami bertiga 
hanya mau menolongnya, tetapi kami kalah pandai 
berkelahi. la menguasi ilmu kanuragan yang susah 
ditaklukkan, maka kami kabur mencari bantuan kepada 
orang-orang di kampung kita ini,” kata Pramono laki- 
laki bertubuh gendut itu. 


"Bagaimana, Nak Tarti. Apa kamu tidak salah tuduh." 


Perempuan bisu itu menggelengkan kepala, masih 
membenarkan pada tuduhannya semula terhadap 
ketiga laki-laki itu. 


"Baiklah kalau demikian. Perkara ini tidak bisa kita 
sidangkan di balai dukuh ini. Kita tidak berhak mengadili 
perkara seperti ini. Kita melapor saja ke penguasa 
pengadilan di kota Kadipaten Ponorogo besuk pagi. 
Kamu Nduk Tarti yang akan mengajukan tuntutan, dan 
kalian bertiga Kangmas yang akan dituduh," kata 
sesepuh dukuh itu dengan tegarnya. 


"Tapi jangan hanya kami bertiga yang dituduh. Masih 
ada dua lagi, Pak", tiba-tiba keluar kata-kata dari salah 
seorang laki-laki itu yang menimbulkan perhatian orang 
tua bijak yang dikenal sebagai sesepuh dukuh itu. 


"Hah, apa katamu tadi, Kangmas. Masih ada dua lagi. 

"Apa yang telah dua orang lagi itu lakukan, kangmas" 
pancing sesepuh dukuh itu. 

"Ia juga ikut bersalah. jangan salahkan kami bertiga saja, 
Pak Sesepuh." 

"Nah, ini baru menarik. Kamu tadi baru mengatakan 
mereka berdua juga ikut memperkosa Tarti." 

"Iyah...ohh. Bukan begitu maksud saya. Tidak. Bukan 
begitu," jawab Karmono gugup tergagap-gagap, 
sehingga mengundang kecurigaan orang tua bijak itu. 
"Lalu siapa yang memperkosa duluan." 

“Mas Dalijo." 

"Yahh. Mas Dalijo yang memperkosa duluan," kata Pramono. 
"Be...benar. Oh tidak, tidak ada yang memperkosa," kata 
Karmono tergagap-gagap seperti baru disadarkan mem- 
berikan jawaban yang keliru. 

"Yang benar mana. Kamu atau dia yang memperkosa." 

"Dia, Pak Sesepuh," kata Tarjito menunjuk ke arah muka 
Karmono. 


"Nah. Itu baru jawaban yang tegas. Baik kawan-kawan 
se Dukuh Patuk, sudah ada pengakuan dari Dimas Tarjito 
yang menyaksikan bahwa Dimas Karmono dan Dimas 
Dalijo yang telah melakukan pemerkosaan terhadap Sritarti. 
Jadi tugas kita sekalian membawa Dimas Dalijo kemari. 
Mana Dimas Dalijo,” tanya sesepuh dukuh itu. 


"Tadi saya lihat dia ada di gardu jaga depan, Pak Sesepuh." 
"Kasih tahu dia agar kemari. Akan tetapi jangan diberi- 
tahu pembicaraan kita di sini ini tadi, agar dia tidak 
kabur," kata orang tua bijak itu kembali. 

Beberapa pemuda ramai-ramai berhamburan keluar 
mencari Dalijo. Tidak berapa lama orang yang namanya 
Dalijo itu telah dibawa masuk balai pedukuhan Patuk 
oleh para pemuda itu. 

"Ini, Eyang. Pak Dalijo," kata salah seorang pemuda 
tegap yang mengantarkan PaK Dalijo ke depan sesepuh 
dukuh itu. 

"Dimas Dalijo, menurut kesaksian Dimas Tarjito dan 
Dimas Pramono, tadi siang yang telah berbuat tidak 
sesonoh terhadap Anakmas Sritarti, sampeyan. Apa 
benar." 

"Tit..tit...tidak benar itu, Pak Sesepuh." 

"Lalu siapa yang berbuat." 

"Titt...tidak tahu". 

"Lho tadi siang yang melaporkan kepada penduduk 
sehingga kita ramai-ramai mengeroyok pemuda asing 
tadi siapa." 

"Bukan saya, entah. Saya hanya ikut-ikutan menangkap 
pemuda asing itu." 

"Bagaiman Dimas Tarjito. Apa benar demikian." 

Tarjito yang ditanya laki-laki tua itu hanya menundukan 
kepala. Tidak tahu harus bilang apa. 

"Baik kalau demikian. Sebelum kita ramai-ramai 
mengeroyok pemuda asing tadi. Sebelum ada laporan 
mengenai diri Sritati diperkosa, Dimas Dalijo dimana." 

"Diiiiii.sawah." 

"Sawah mana." 

"Sawah....sawah..." 

"Hayo sawah dimana." 

"Diii..." 

"Berarti Dimas Dalijo bersama Dimas Tarjito.* 
"Iyah...eehh. Bukan...buk...bakan. Maksud saya..." 

"Lalu dimana." 

"Diiiii, mana ya." 

"Lho, kenapa jadi kebingungan." 

"Di sawah, Pak Sesepuh." 

"Iyah di sawah bersama Dimas Tarjito, apa bersama yang 
lain." 


"Bersama Kangmas Pramono dan Kangmas Karmono." 


"Apa benar Dimas Pramono dan Dimas Karmono, memang 
demikian," tanya sesepuh dukuh itu kembali. 
"Beb...benar, Pak Sesepuh." 

"Lalu kalian di sawah mana.” 

"Diiii...sawah Traju." jawab Karmono ragu-ragu. 


"Diii..Pradangan, oh bukan," jawab Pramono hampir 
berbarengan dengan jawaban Karmono. 


"Lho, yang benar yang mana kok jawab kalian berbeda- 
beda, katanya kalian bertiga tadi bersama." 


Keempat laki-laki itu semuanya terdiam. Nampak diwajahnya 
kebingungan harus menjawab apa, kalau menjawab 
serba salah. 


"Siapa di antara kalian yang pertama kali punya gagasan 
untuk memperdaya Anakmas Sritarti," tanya kembali 
orang tua bijak itu. 

"Kangmas Dalijo," ketiga laki-laki itu tanpa sadar lang- 
sung mengucapkan hampir berbarengan. 

"Nah sekarang ketahuan, kalian telah melakukan 
perbuatan aniaya, dan Dimas Dalijo yang pertama kali 
punya gagasan ini. Benar demikian, Dimas Dalijo." 
"Ampun Pak Sesepuh, bukan saya sendirian. Tetapi rembugan 
secara beramai-ramai. Dan yang melakukan juga bukan 
saya sendiri. Mereka bertiga juga melakukan." 

"Nah. Cukup jelas. Sekarang kalian berempat telah mengaku 
semua." 

"Bukk...bukan berempat, Pah Sesepuh. Berlima," kata 
Dalijo kemudian. 

"Berlima ?. Siapa lagi yang satunya." 

"Satunya lagi, Tarkun," jawab Dalijo tegas. 

"Iya, Tarkun yang tadi diikat pemuda asing yang ditelan- 
jangi itu." 

"Benar, Pak Sesepuh." 


"Tolong bawa kemari Tarkun, sobat-sobat," kata sesepuh 
dukuh itu setengah meminta kepada para pemuda itu 
untuk menghadirkan Tarkun ke balai dukuh ini. 


Tanpa banyak kata para pemuda yang sedari tadi pada 
tekun mendengarkan pembicaraan itu kemudian pada 
pergi berhamburan mencari Tarkun. Tidak berapa lama, 
Tarkun telah dibawa ramai- ramai oleh para pemuda itu. 


"Dimas Tarkun, menurut kesaksian keempat teman- 
temanmu ini, kau tadi siang juga ikut memperkosa Sritarti."


"Saya belum sempat memasukkan, Pak sesepuh. Baru 
jongkok, tiba-tiba punggung saya digebuk oleh pemuda 
asing itu. Jadi saya langsung terkapar belum sempat 
menikmati... anu maksud saya belum jadi...," kata-kata 
Tarkun yang polos sambil diucapkan gemetaran itu 
mengundang tawa para warga yang menyaksikan 
persidangan darurat di balai Dukuh Patuk ini. 


"Jadi kamu belum sempat berbuat. Tetapi mernang ada 
niat untuk berbuat itu." 

"Hanya mengikuti teman-teman saja kok, Pak Sesepuh." 
"Baik kalau demikian, para warga yang terhormat. 
Sudah jelas bahwa kelima laki-laki warga dukuh kita iri 
telah mencemarinama baik kita bersama dan telah mem- 
buat penderitaan anakmas Sritarti. Lalu bagaimana 
baiknya.” 

"Kita laporkan saja ke pengadilan Kadipaten di kota 
Ponorogo, Pak Sesepuh," kata salah seorang laki-laki 
tegap berewokan yang berdiri paling depan itu. 

"Lebih baik diambil jalan damai, dan diminta bersumpah 
untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Kalau masih 
berbuat lagi nanti, disunati saja itu yang membikin 
celakanya sampai habis," kata laki-laki yang lain. 


Terdengar tawa para warga mendengarkan usulan salah 
seorang salah satu warga ini yang memang terkenal 
kocak kalau bicara. 


"Apa sebaiknya kita sunat saja sekarang...," kata salah 
seorang laki-laki yang lain sambil ketawa cengengesan. 
la rupanya sudah tahu lama kalau gerombolan kelima 
laki-laki itu suka jajan perempuan nakal di warung 
remang-remang. Kehidupan keluarganya berantakan 
semua, jadi mereka praktis berpredikat sebagai para 
duda yang ditinggal minggat isteri mereka masing-masing. 
Maka kemudian mereka kompak, punya kebiasaan buruk 
itu yang dipupuk bersama, Suka mencari kesenangan 
yang bukan-bukan. Namun selama ini karena itu dianggap 
sebagai urusan pribadi, maka tidak ada penduduk yang 
menggubris perilaku menyimpang mereka demi menjaga 
kerukunan kehidupan Dukuh Patuk ini. 

"Huss. Memang kamu yang mau disunat dua kali," kata 
yang lain, sehingga mengundang ketawa riuh orang- 
orang yang ikut hadir di balai dukuh ini, sebab cara 
bicaranya orang itu yang suka melucu mengundang 
tawa orang lain. 


"Bagaimana masih ada yang punya usul lain," kata orang 
tua bijak itu lagi sebagai sesepuh dukuh. 

"Kalau mereka ini tidak dihukum, takut nanti yang lain 
akan berbuat hal yang serupa dan dapat membuat tidak 
tenteram para perempuan di dukuh kita ini. Jadi, saya 
usul agar perkara ini diserahkan saja kepada yang berhak 
mengadili perkara ini di pengadilan Kadipaten 
Ponorogo," usul salah seorang yang berumur kira-kira 
sudah setengah baya. 

"Baik kalau demikian. Kita ambil mufakat saja, bagai- 
mana kalau perkara ini kita serahkan saja kepada 
pengadilan Kadipaten Ponorogo. Besuk pagi kita sama- 
sama mengantar ke kota Kadipaten. Yang mau ikut 
harap didaftar. Setuju." 

"Setujuuuuauu,” jawab warga itu serentak. 

Malam itu Dukuh Patuk yang semula tenang tenteram, 
menjadi ramai oleh perbincangan para warga yang 
membicarakan kejadian yang hampir membawa celaka 
semua Warga kemarin siang karena harus berperang 
laki-laki yang telah mendzalimi perempuan bisu Sritarti 
itu, malam itu menggantikan menempati kerangkeng 
yang tadi dipersiapkan oleh penduduk untuk 
Joko Manggolo. Mereka berlima berdesak-desakan di 
kurungan sempit. Mereka nampak menyesali diri. Teru- 
tama nampak sangat malu terhadap warga Dukuh Patuk 
ini yang kalau sudah keluar sikap tegasnya, tidak pandang 
bulu walaupun itu bekas teman sendiri kalau berbuat 
salah harus tetap disalahkan dan diganjar hukuman. 
Oleh karena itu, pagi-pagi buta para warga sudah ber- 
siap beramai-ramai mengantarkan warganya yang salah 
itu untuk dibawa ke kota Kadipaten Ponorogo agar dapat 
diadili di sana. 


5
TERROYAK BINASA 


HUJAN lebat itu sedari tadi tidak ada henti-hentinya. 
Han bertiup kencang menggoyangkan pohon-pohon 
rindang yang menjulang tinggi di atas langit itu, 
beberapa telah roboh terhenyak oleh kerasnya kekuatan 
arus angin yang mengganas dahsyat. 

Joko Manggolo, sedari tadi berusaha berteduh di bawah 
gubug reyot yang biasa digunakan oleh pemilik sawah 
untuk menghalau burung-burung yang akan memangsa 
padi-padi yang menguning itu, letaknya berada di tengah 
sawah penduduk perkampungan itu. Nampak sudah 
tidak ada lagi tempat berlindung di tempat lain untuk 
menghindari dari amukan hujan yang terus mengguyur 
sejak tadi, membuat hampir basah kuyup seluruh tubuh 
Joko Manggolo. Sekali-kali terdengar suara bledek dan 
kilatan cahaya yang memecah awan di angkasa. 


Ketika melarikan diri dari Dukuh Patuk itu, Joko Manggolo 
terus berlari di malam hari menjauh dari kejaran orang- 
orang kampung yang salah paham terhadapnya itu. Ia 
terus menuju ke selatan. Sampai paginya ia telah menemui 
suatu padang bulakan yang gersang. Siangnya ia terus 
berjalan, tetapi sudah hampir sore tidak ditemui satu 
kampung pun didaerah selatan. Akhirnya Joko Manggolo 
memutuskan untuk mencari tempat tidur di daerah ini. 
Kemudian Joko Manggolo mencari batu besar di situ 
yang akan dijadikan sebagai tempat merebahkan badannya 
semalaman. Terdapat kucur air yang terus mengalir mengu- 
cur, di dekat batu tempat ia tidur. Mencari tempat yang 
dekat dengan air ini, pertimbangannya agar in dapat 
minum sewaktu-waktu kehausan, atau dapat mandi 
sepuasnya di situ. 


Paginya, Joko Manggolo meneruskan perjalanannya 
menuju ke arah selatan. Tiap sore tiba ia selalu mencari 
tempat yang aman untuk beristirahat. Begitu seterusnya, 
siang dan malam ia terus menelusuri jalan-jalan, keluar 
keluar masuk perkampungan, menerjang bulakan, memasuki 
hutan, mendaki bukit-bukit, dan menuruni jurang-jurang 
terjal. Berbulan-bulan Joko Manggolo terus berjalan, 
bahkan sudah berapa tahun ia tidak ingat lagi, setiap kali 
ia selalu bertanya kepada tiap orang yang ditemuinya, 
apakah mereka mengenal nama orang tuanya. Namun 
sampai sejauh ini belum ada petunjuk dimana 
keberadaan kedua orang tuanya, khususnya ibunya, 
yang bernama Waijah Sarirupi, yang ia telah kenal se- 
waktu ia masih bocah ketika tiba-tiba ibunya itu 
meninggalkan dirinya yang kemudian ia hanya dititipkan 
begitu saja kepada gurunya Warok Wirodigdo di kampung 
Bubadan. 


Suatu hari sehabis joko Manggolo membersihkan 
mukanya dari tidurnya semalam di dekat sungai kecil 
yang mengalir tenang itu, kemudian Joko Manggolo 
kembali meneruskan perjalanannya menyelusuri 
padang ilalang yang nampak belum banyak orang yang 
menjamahnya. Setelah Joko Manggoló menyeberangi 
tanah kosong, bulakan panjang yang bergelombang penuh
tanah-tanah gundukan, Joko Manggolo melihat ada
tanda pintu gerbang yang menunjukkan ke arah suatu 
perkampungan. Ia telah sampai di suatu dusundi kaki 
pegunungan yang berbukit-bukit. Pohon-pohon besar 
jarang dijumpai hanya beberapa pohon asem yang tumbuh
menjulang ke atas. 


Gardu jaga dusun itu nampak kosong ditinggalkan 
orang, barangkali hanya pada malam hari saja di gardu 
itu penuh orang yang sedang mengadakan ronda 
malam. Suasana perkampungan itu mulai terasa ramai. 
Rumah-rumah bambu dengan halaman yang rata-rata
agak luas, banyak ayam-ayam kampung berkeliaran 
sana kemari. 
Di belokan perempatan jalan kampung itu, Joko Manggolo 
berpapasan dengan serombongan ibu-ibu. Ia berhenti 
dengan sopan bertanya kepada rombongan ibu-ibu itu. 


"Maaf, Bu. Kalau boleh tahu. Apa nama kampung ini, 
Bu." 


"Anakmas mau kemana atau mau menemui siapa, tanya 
salah seorang ibu yang kelihatan paling tua di antara 
mereka, sudah berumur lanjut. 

"Saya sedang menelusuri kampung-kampung ingin 
mencari orang tua saya. Namanya Bu Waijah Sarirupi." 


"Ohhh. Di sini sepertinya tidak ada nama itu. Tetapi coba 
boleh tanya kepada Kepala Dukuh barangkali mengetahui. 
Anakmas terus saja jalan ke sana. Setelah ada pertigaan, 
belok ke kiri. Di rumah yang di halaman rumahnya ada 
tiga buah pohon cengkir gading. Di situ rumah Kepala 
Dukuh. Namanya Pak Sumo Pradigdo." 

"Terima kasih, Bu." 

"Ya. Cobalah ke sana." 


Baru beberapa langkah Joko Manggolo berjalan setelah 
berpapasan dengan rombongan ibu-ibu itu, tiba-tiba ada 
bayangan-bayangan turun dari pohon-pohon jambu itu 
ternyata ada tiga orang pemuda yang nampak gagah-gagah 
loncat tepat beberapa meter di depan Joko Manggoio. 


"Berhentiiii," teriak salah seorang pemuda itu nampak di 
pinggangnya terselip sebilah motek. Joko Manggolo pun 
berhenti-dengan sikap waspada. 

"Kamu orang asing, siang-siang begini beraninya 
memasuki dusun kami. Ada perlu apa kamu, yahh." 
"Kami sengaja menelusuri kampung-kampung sedang 
mencari kedua orang tua saya." 

"Ha...ha.-sudah segede begini masih embok-emboken 
minta diteteki embokmu, yah." Para pemuda itu meledek 
dengan mentertawi Joko Manggolo. 


Joko Manggolo terdiam saja. 
“Boleh saya menemui Pak Sumo Pradigdo." 
"Lho. Sampeyan masih keluarga Pak Sumo?," tanya 
salah seorang pemuda itu kaget, penuh tanda tanya. 
"Ya," jawab Joko Manggolo 
"Kalau demikian, aku minta maaf atas ketidak sopanan 
kami. Mari ikut karni, kami akan antar kerumah beliau." 

"Terima kasih. Sebaiknya kami akan mencari sendiri 
saja, Kangmas," kata Joko Manggolo. 

"Tidak usah basa-basi. Kami akan antar sampeyan ketemu 
rumahnya, supaya sampeyan tidak kesasar". 

Joko Manggolo akhirnya bersedia diantar rombongan 
para pemuda itu agar tidak dicurigai oleh mereka. 
Sesampai di rumah Pak Sumo Pradigdo. 

"Pak Lurah, ini ada tamunya dari jauh. Keluarga Pak 
Lurah." Tidak berapa lama muncul seorang tua yang 
sedang mengancingkan kain bajunya. 
"Ada apa Sarko," tanya Pak Lurah itu. 
"Ini ada tamu, katanya masih keluarga Bapak." Kata 
orang yang dipanggil Sarko itu sambil tangannya 
menyalami tangan Pak Lurah. Joko Manggolo dipan- 
dangi Pak Lurah agak lama. Mulai dari atas sampai 
bawah. Nampak, wajah Joko Manggolo berubah menjadi 
pucat pasi. 
"Siapa pemuda ini," tanya Pak Lurah kemudian. 

"Ia mengaku katanya masih keluarga Bapak." 

"Mengaku keluargaku ?. Aku tidak kenal. Siapa, Anakmas 
sebenarnya," tanya Pak Lurah dengan penuh selidik. 

"Nama hamba Joko Manggolo, Pak Lurah. Asal hamba 
dari Dukuh Randil. Hamba kemari sedang mencari 
keluarga hamba, namanya ibu Waijah Sarirupi." 

"Aku tidak kenal nama itu. Siapa itu, Waijah Sarirupi. 
Wargaku di sini tidak ada yang bernama itu." 

"Hehh. Orang asing." Bentak salah seorang pemuda 
yang nampak paling geram melihat joko Manggolo. 
"Kamu tadi mengaku katanya sudah kenal Pak Sumo 
Pradigdo dan mengaku masih keluarga. Ngomong yang 
benar. Kamu mau apa. Tujuan kamu datang ke kampung 
kami ini, mau apa. Hayo, Jawab !", bentak salah seorang 
pemuda yang nampak paling geram ' di antara kedua 
pemuda yang lain. 


"Maaf, Kangmas. Tujuanku. Seperti sudah aku sampaikan 
kepada Pak Lurah tadi. Aku sedang mencari keluargaku. 
Ibu Waijah Sarirupi. Tadi ketika aku masuk melalui 
gardu Dukuh depan sana, diberitahu ibu-ibu agar aku 
menemui Pak Sumo Pradigdo. Katanya, mungkin beliau 
mengetahui keberadaan ibuku kalau memang 
kemungkinan sekarang menjadi warga di sini. Aku 
tidak tahu sebelumnya kalau Pak Sumo Pradigdo ini 
adalah Pak Lurah di sini. Karena aku anak yatim, ditinggal 
mati bapakku ketika masih kecil, jadi aku menduga 
sendiri," jelas Joko Manggolo dengan sikap santun. 

"Begini, anak muda. Silakan masuk saja ke dalam mari 
silakan duduk." kata Pak Lurah yang rupanya mulai 
menaruh simpatik dari ceritera asal-usul Joko Manggolo 
yang anak yatim itu. Melihat dari cara menuturan, dan 
mimik mukanya, Pak Lurah mempunyai kesan terhadap 
Joko Manggolo ini anak yang jujur. Akan tetapi sebelum, 
Joko Manggolo melangkah masuk rumah mengikuti Rak 
mencegat di hadapan Joko Manggolo. Mereka meng- 
hadang sepertinya mau mengajak berkelahi 

"Maaf Pak Lurah. Kami curiga terhadap orang asing ini. 
Beri kesempatan kami bertiga menghajar terlebih dulu 
orang asing ini...” Tanpa menunggu jawaban Pak Lurah, 
rupanya ketiga pemuda itu tampa tedeng aling-aling dan 
basa-basi lagi langsung menyerang Joko Manggolo. 

Terjadilah pergumulan keras di halaman rumah Pak 
Lurah itu. Joko Manggolo yang sudah tahu banyak 
makan garamnya beradu ilmu kanuragan dengan enteng
ia memasang jurus-jurus hindaran ke samping kanan 
kiri, ia hanya meliuk-liukkan tubuhnya menghindari 
serangan berbarengan ketiga pemuda yang nampak 
bernafsu ingin menguasai permainan ini.

Mendengar kegaduhan perkelahian di halaman rumah 
Pak Lurah ini, peduduk kampung pun kemudian banyak 
yang berdatangan, berkerumun di halaman depan rumah 
Pak Lurah itu ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. 
Namun begitu dilihatnya, di sana berdiri Pak Lurah 
dengan muka cerah yang bersikap tenang memperhatikan 
jalannya perkelahian itu, tanpa berusaha melerainya, 
maka orang-orang kampung pun menduga nampaknya 
tdak ada hal yang membahayakan terjadi di kelurahan. 


Secara cepat berita perkelahian di rumah Pak Lurah itu 
tersebar. Penduduk kampung pun banyak yang berlari- 
lari ingin mencari berita, apa yang sebenarnya sedang 
terjadi di halaman rumah Pak Lurah itu. Banyak laki-laki 
yang sudah mempersiapkan diri dengan senajat-senjata 
tajam mereka. Akan tetapi, begitu sampai di rumah Pak 
Lurah, dan melihat orang yang dituakan di kampung itu 
tidak memberi perintah apa-apa, orang-orang itu lalu 
bersikap pasif malahan beramai-ramai menjadi penonton
perkelahian itu sambil bersurak-surai.


Joko Mangpolo sebenarnya merasa dengan mudah dapat 
menguasai permainan ketiga pemuda yang sok pamer 
kekuatan itu. Namun rupanya Joko Manggolo tidak 
segera menyelesaikan perkelahian itu dan menghabisi 
mereka. Ia sengaja memperpanjang tempo perkelahian 
dengan harapan ada orang yang memisahnya, tanpa 
mempunyai kesan ia yang memenangkan pertarungan 
ini agar tidak menimbulkan sakit hati, atau balas dendam 
di kemudian hari para pemuda kampung ini kepadanya. 


Rupanya, ketiga pemuda itu juga mulai menyadari 
ketangguhan ilmu kanuragan yang dimiliki Joko Manggolo 
itu. Sebelum mereka kehabisan jurus-jurusnya dan 
terkuras tenaganya, kemudian malu kalah bertarung di- 
tonton banyak orang, apalagi banyak perempuan- 
perempuan muda, para perawan di kampung ini yang 
bertepuk-tepuk tangan ikut menonton adegan perkelahian 
antar pemuda itu. Tidak ada jalan lain kecuali berusaha 
berdamai dengan Joko Manggolo. 


"Hae, orang asing. Kalau engkau telah mengaku kalah. 
Aku tidak teruskan seranganku berikutnya ini," teriak 
salah seorang pemuda yang nampak sudah kelelahan itu 
sambil matanya berkedip-kedip memberikan bahasa 
Isyarat kepada Joko Manggolo, walaupun ia terus menyerang 
Joko Mangggolo. Rupanya Joko Manggolo pun maklum 
akan maksud mereka itu, maka bukannya Joko Manggolo 
terus mengaku kalah, malahan ia memasang tubuhnya 
untuk mendapatkan tendangan para pemuda itu. 
"Blukkkk", perut Joko Manggolo terkena tendangan yang 
sebenarnya tidak terlalu keras, namun Joko Manggolo 
berpura-pura terjungkal ke belakang beberapa kali, dan 
terkapar di atas tanah. Tidak bergerak. Ia pura-pura
pingsan.


“Ha...ha.. ha... mati kamu orang asing," terdengar teriakan- 
teriakan ketiga pemuda itu.


"Iimumu belum seberapa untuk menandingiku," kata 
salah seorang pemuda itu dengan sikap membanggakan 
diri di hadapan tubuh Joko Manggolo yang tergeletak 
begitu saja. 


Pak Lurah yang prayitno, melihat ada sesuatu yang tidak 
benar diperlakukan para pemuda di kampungnya itu 
terhadap pemuda pendatang itu. Makin yakin bahwa 
Joko Manggolo ini, orang yang berkemampuan ilmu 
kanuragan tinggi, tetapi tidak sombong, bahkan terkesan
sebagai pemuda jujur, dan nampak mau memberikan 
pengorbanan. 


"Bapak-bapak dan ibu-ibu, pertarungan telahjusai. Kami 
mohon semua kembali ke rumah masing-masing dengan 
tenang. Kami akan urus pemuda pendatang ini untuk 
menjelaskan duduk persoalannya, besuk kami akan beri- 
tahukan. Dan kalian bertiga sebagai pemuda kampung 
kita yang tangguh-tangguh, aku mengucapkan terima
kasih atas kemampuan kalian membela kepentingan 
keamanan Dukuh kita ini. Tolong bapak-bapak yang 
lain, bawa masuk tubuh orang asing itu ke dalam," kata 
Pak Lurah. 


Tanpa banyak bicara ketiga pemuda itu tadi juga ikut 
membopong tubuh Joko Manggolo ke dalam rumah Pak 
Lurah. 


Beberapa saat kemudian. Joko Manggolo setelah dirawat 
orang-orang kampung di kamar Pak Lurah bagian tengah, 
ia bangkit kembali dan duduk bersila di bawah dengan 
sopan dihadapan Pak Lurah yang dengan tenang juga 
duduk bersila di situ di kelilingi orang-orang kampung 
lainnya, termasuk ketiga pemuda itu tadi. 

"Bapak-bapak dan ibu-ibu. Aku ingin mananyai pemuda 
asing ini seorang diri. Mohon berkenan, bapak-bapak
dan ibu-ibu meninggalkan ruangan ini untuk beberapa 
saat saja. Terima kasih," begitu Pak Lurah selesai me 
gucapkan kata-katanya itu, orang yang berkerumun di
ruangan itu bubar. Satu per satu meninggalkan ruangan 
ini. Kini tinggal berdua, Pak Lurah dan Joko Manggolo. 


"Anakmas Manggolo." 

"Sendiko, Pak Lurah.” 


"Aku telah melihat kehandalan ilmu kanuraganmu dan 
ketinggian budimu. Kalau engkau jahat, ketika ber- 
tarung melawan ketiga pemuda itu tadi, tidak perlu 
waktu lama engkau sudah bisa membikin mereka tidak 
berkutik. Akan tetapi ternyata itu tidak engkau lakukan. 
Malahan engkau persiapkan diri kamu untuk mengalah 
dan berkorban membuat tontonan agar ketiga pemuda 
tadi dihadapan para penduduk kampung sini sebagai 
pemuda gagah perkasa. Nah, selain itu, ucapanmu sepertinya 
cukupjujur. Aku percaya kepadamu, Anakmas Manggolo, 
Walaupun aku baru mengenalmu, aku telah mempunyai 
kesan engkau anak muda yang memiliki masa depan. 
Tinggallah di dukuh ini sampai seberapa lama, terserah 
kepada anakmas Manggolo suka," tawaran yang simpatik 
disampaikan Pak Lurah kepada Joko Manggolo. 


"Maturnuwun. Terima kasih, Pak Lurah. Hamba sebenarnya 
harus meneruskan perjalanan hamba ini. Kalau pun 
harus tinggal di sini, mungkin juga tidak terlalu lama."

 
"Walaupun hanya sepekan, atau sewindu, atau cuma 
semalam, kami sudah sangat gembira. Tapi, ada yang 
lebih penting bagiku, Anakmas Manggolo, tolong ajari 
aku ilmu kanuragan itu, khususnya untuk tenaga dalamnya. 
Aku sangat tertarik dengan penguasaan ilmu kanuragan 
Anakmas Manggolo tadi. Aku akan tulis semua pela- 
jaran yang anakmas Manggolo ajarkan, maksudku kalau 
anakmas Manggolo sudah tidak di sini lagi, aku bisa 
belajar terus sendirian dengan menggunakan catatan- 
catatan pelajaran yang anakamas tuntunkan." 


Joko Manggolo terdiam beberapa saat. Kepalanya 
menunduk dalam. Mungkin ia sedang menimbang-nimbang
penawaran Pak Lurah yang simpatik ini. 

"Bagaimana, Anakmas Manggolo.” 

"Maaf, Pak Lurah. Mempelajari ilmu kanuragan itu 
memerlukan waktu yang tidak sedikit. Perlu waktu banyak. 
Perlu kesabaran. Ketekunan. Ketahanan mental. Tahan 
uji. Dan itu suatu perjalanan waktu yang panjang. Seperti 
keadaan hamba sekarang ini, sebenarnya belum 
memiliki apa-apa. Baru dasar-dasarnya. Hamba masih 
terus mengembangkan diri, merasa belum sempurna dan
ingin terus menimba ilmu."


"Aku mengerti anakmas. Itu tidak mengapa. Ajari aku 
sebisaku dan sebisanya Anakmas mengajariku. Asal saja 
aku kemudian mempunyai pegangan ilmu kanuragan 
ini, Aku akan sangat berterima kasih kepada anakmas."

 
"Kalau memang demikian, hamba sanggup, Pak Lurah." 
Tanpa sadar Pak Lurah tiba-tiba meloncat kegirangan 
memeluk rapat tubuh Joko Manggolo seperti tidak ingin 
dilepas kepergiannnya. 


Sejak saat itu, Joko Manggolo tinggal di rumah Pak 
Lurah. Pagi, sore, dan malam hari, diam-diam Pak Lurah 
terus diajari latihan ilmu kanuragan oleh Joko Manggolo. 


Pada suatu malam ketika Joko Manggolo sedang duduk- 
duduk santai bersama Pak Lurah yang habis latiha nilmu 
kanuragan, mereka nampak sedang menikmati wedang 
jahe dan gorengan ketela pohong yang disediakan oleh 
Bu Lurah. Mereka nampak ngobrol gayeng. 


"Pak Lurah, kalau bapak bersedia, saya sebenarnya 
mempunyai setumpuk buku-buku peninggalan guru 
saya Warok Wirodigdo. Demi keamanan di perjalanan 
saya, takut dirampas orang atau hilang dijalan, dan juga 
untuk meningkatkan keilmuan Pak Lurah, buku itu saya 
titipkan kepada Pak Lurah saja. Bagaimana?." 


"Ohhh, dengan senang hati Anakmas Manggolo. Aku 
bersedia menjaganya, merawatnya, dan sekaligus 
berusaha mempelajarinya tuntunan dalam buku itu, 
Anakmas Manggolo." 

"Kalau demikian, buku ini saya serahkan Pak Lurah. 
Suatu saat kelak, saya akan datang lagi kemari untuk 
mengambil buku ini. Bukan karena apa, sebab buku ini 
merupakan buku kenangan peninggalan guru Warok 
Wirodigdo yang sangat berharga bagi hidup saya. Atas 
bantuan buku ini, saya telah menguasai ilmu yang ditun-
tunkan dalam buku ini sejak hampir sepuluh tahun 
pengembaraan ini. 


"Ohhh, begitu..." kata Pak Lurah sambil mengangguk- 
anggukan kepalanya. 


"Mudah-mudahan demikian juga terhadap diri Pak Lurah, 
dengan berpegang peda buku ini Pak Lurah akan dengan 
cepat menguasai semua pelajaran yang tertuang dalam 
isi buku ini begitu kelak kita bertemu lagi." 


"Ya, tidak apa, Anakmas. Aku akan serahkan kembali 
kapan saja Anakmas menganggap perlu, buku ini harus 
diambil kembali oleh Anakmas," kata Pak Lurah dengan 
muka jernih berseri-seri sebagai tanda kegirangan 
menerima penawaran yang sangat menarik dari pemuda 
Joko Mangpolo ini. 


Setelah tinggal sekitar sebulan di kampung Dukuh ini, 
Joko Manggolo mengajari ilmu kanuragan kepada Pak 
Lurah secara diam-diam, rupanya Pak Lurah merasa 
malu juga kalau sampai ia ketahuan orang-orang kampung 
ia sedang mempelajari ilmu kanuragan dari orang pendatang 
seperti Joko Manggolo ini. 


Namun kemudian tiba saatnya Joko Manggolo harus 
berpamitan untuk meneruskan perjalanannya. Keluarga 
Pak Lurah merasa kehilangan atas kepergian Joko Manggolo 
yang selama ini sudah dianggap seperti anggota keluarganya 
sendiri. Joko Manggolo pergi menuju ke arah selatan 
berangkat pada pagi-pagi buta. Bu Lurah menyediakan 
bekal yang lumayan banyaknya harus dibawa Joko 
Manggolo dalam kampluk besar. Pak Lurah dan Bu Lurah 
dengan iba nampak mengantarkan kepergian Joko 
Manggolo di depan rumah kelurahan itu. 

"Hati-hati Anakmas di perjalanan," pesan Pak Lurah. 
"Ya, Pak Lurah. Mohon diri sampai bertemu kembali." 
"Ya, aku doakan selamat di perjalanan." 

Nampak Joko Manggolo menyalami Pak Lurah dan Bu 
Lurah itu dengan takjim. 


TAMAT
Ikuti Warok Ponorogo 8(Dendam Tari Gamyong)