Jaka Sembung 13 - Pertarungan Terakhir(3)

13

Malam telah turun, bintang gemintang muncul di awang-awang menambah keindahan panorama pantai teluk Sarera. Namun keindahan itu tak berarti apa-apa buat seorang pemuda yang dirundung musibah ditinggal sang kekasih untuk selama-lamanya.

Dialah Awom, sang panglima perang suku Kaimana yang sedang duduk termenung di atas bukit di bawah pohon yang sangat rindang. Ia seorang diri tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya. Tangannya mengambil beberapa batu kerikil yang ada di sekeliling tempat itu lalu berulang kali dilemparkan ke laut sebagai suatu cara untuk menghibur diri.

Dari kejauhan sosok tubuh melintas melalui jalan setapak hutan Nabire menuju pantai Sarera, dengan melangkah cepat dan tangan yang bergerak menepis pepohonan kecil yang menghalanginya.

Sesaat kemudian sosok tubuh itu sudah berada tak jauh dari Awom yang sedang menyendiri. Sinar gemintang yang membias di sela-sela dedaunan menerangi sekilas wajah tampan dan berwibawa dengan bulu-bulu tumbuh kian menebal di atas bibir dan dagunya.

Dia tak lain adalah, Jaka Sembung. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati pemuda Kaimana sang panglima suku yang sedang termenung itu!

“Awom......!”

Awom tak bergerak dengan panggilan Parmin. Tetapi Jaka Sembung meneruskan bicara tanpa meminta jawaban dari Awom, kawan baiknya itu.

“Awom, dengarlah!” ucap Parmin sambil segera duduk di samping kiri Awom dan menepuk-nepuk pundaknya, Parmin melanjutkan pembicaraannya.

“Relakanlah kepergian Da-Fan karena segala sesuatu yang hidup pasti akan mengalami mati. Hidup di dunia ini memang demikian........ Bertemu....... Berpisah....... Tiada sesuatu yang kekal! Kalau kita sudah yakin tentang itu, maka kita setiap saat harus sudah bersiap-siap untuk menghadapi setiap perpisahan agar kita tidak terlalu hanyut oleh perasaan dan ikhlas menerimanya!”

Awom mendengarkan kata-kata Parmin sambil menatap kejauhan seakan sedang merenungkan makna kalimat itu. Parmin pun selanjutnya memberi wejangan pada Awom agar mengerti apa arti hidup ini sesungguhnya.

“Kau bisa melupakan sedikit demi sedikit....... Kau harus yakin bahwa ada kehidupan yang jauh lebih kekal sesudah nyawa meninggalkan badan dan kalian akan berkumpul di sana!” lanjut Jaka Sembung.

Awom bangkit dari duduknya dan terus mondar mandir sambil kadangkala menundukkan kepala atau melepaskan pandangan matanya ke langit seakan mencari jawab. Kemudian dengan suara yang agak berat karena menahan rasa sedih ia berucap.

“Ya, aku mengerti, Parmin! Sejak berjumpa dengan anda, aku mulai mengerti sedikit demi sedikit tentang arti hidup ini!”

Parmin pun bangkit dan menghampiri Awom. Mereka berdiri berhadap-hadapan. Parmin memandangi kawannya itu sambil tersenyum karena bangga terhadap kecerdasan Awom dalam menangkap segala sesuatu yang telah ia ucapkan.

Laut teluk Sarera mulai memperlihatkan ombaknya yang bergulung-gulung, daun-daun gemerisik terhempas bersama dahannya karena tertiup angin yang kian mengencang. Bukit Nabire sudah gelap karena kabut tebal yang telah menyelimuti lembah itu. Sinar bintang gemintang tak mampu lagi menerangi cuaca yang telah pekat itu.

Hari sudah larut malam, suasana saat itu menjadi sunyi senyap yang terdengar hanya suara deburan ombak pantai teluk Sarera. Dua orang berlainan suku namun satu bangsa yang sedang berbincang-bincang itu menyadari kalau hari semakin larut malam. Maka salah seorang dari mereka mengajak untuk kembali ke perkampungan.

Dalam perjalanan pulang mereka melanjutkan perbincangan. Tanpa mereka sadari, mereka telah jauh meninggalkan pinggiran pantai teluk Sarera.

Sesaat kemudian mereka sampai di pintu masuk perkampungan suku Nabire. Beberapa langkah ke dalam terlihat beberapa orang suku Nabire sedang sibuk membereskan sesuatu, ada yang membuat hiasan khusus, meletakkan obor-obor di setiap tonggak kayu di sekeliling perkampungan, kemudian menyalakannya sehingga perkampungan itu nampak seperti siang hari.

Parmin dan Awom terus melangkah menuju kediaman kepala suku. Di sana sudah menunggu Yulia, ayahnya dan pendeta Yorgen. Mereka menyambutnya dengan senyum keramahan.

Agaknya malam itu adalah malam istimewa karena ternyata jatuh pada tanggal duapuluh lima Desember tahun Masehi.

Malam itu untuk pertama kalinya di pulau Papua diperingati malam Natal, malam kudus di mana duapuluh abad yang lalu telah lahir Yesus Kristus di Betlehem. Pendeta Yorgen memimpin upacara kecil-kecilan namun mengandung makna yang amat dalam.

Suasana hening meliputi mereka yang hadir pada saat itu. Kya-Fa, kepala suku Nabire, Parmin dan Awom dan seluruh anggota kedua suku Papua, Nabire dan Kaimana. Pendeta Yorgen mengajak Yulia dan Van Boerman untuk membaca doa di depan sebuah altar yang terbuat dari kayu bertutup kulit binatang. Di belakang mereka berdiri para anggota suku yang ikut ambil bagian dalam perayaan Natal itu.

Pendeta Yorgen berkotbah lantang mengenai kerukunan hidup beragama, apa arti hidup yang sebenarnya dan yang terakhir menjelaskan siapa dan bagaimana Yesus Kristus itu.

Orang-orang yang hadir pada perayaan itu mendengarkan khotbah itu dengan khidmat. Dalam suasana hening syahdu itu kita lihat seseorang yang tampak sedang berpikir keras. Ia adalah Awom. Apa yang sedang dipikirkan, kita belum tahu.

Malam begitu cepat berlalu, orang-orang yang hadir kini telah meninggalkan acara malam Natal satu-persatu, sampai akhirnya tinggal Yulia, pendeta Yorgen, ayah Yulia Van Boerman serta Parmin dan Awom. Mereka masih berbincang-bincang dengan ditemani oleh Kya-Fa sang kepala suku Nabire.

“Parmin, setelah ini ke mana kau akan pergi?” tanya pendeta Yorgen.

“Entahlah, Pak Pendeta! Mungkin aku akan kembali ke tanah kelahiranku pulau Jawa! Masih banyak tugas yang harus kuselesaikan!” jawab Parmin.

Pendeta Yorgen, Van Boerman dan Yulia mengucapkan selamat kepada Kya-Fa yang menjadi kepala suku Nabire yang baru seraya berkata.

“Selamat buat anda, Tuan Kya-Fa! Aku selalu berdoa semoga negeri yang anda pimpin mendapatkan kemajuan dan menjadi suku yang lebih maju dan memeluk agama Ketuhanan, aman dan makmur tak ada lagi gangguan yang datang dari suku lain,” ucap pendeta Yorgen dengan nada mempengaruhi.

“Terimakasih! Begitu juga aku mengucapkan banyak terimakasih atas segala bantuan anda dalam menumpas keangkara-murkaan yang telah diperbuat oleh orang bertopeng tengkorak, dengan memperalat suku pedalaman yang masih buas. Para wanitanya dirusak, kepala suku kami dibunuh!” ucap Kya-Fa dengan mata berkaca-kaca karena merasakan sedih.

Sejenak semua orang yang hadir di pondok itu tertunduk diam. Mereka turut merasakan derita bathin kepala suku yang baru itu.

Beberapa saat kemudian suasana hening itu dipecahkan oleh suara kokok ayam hutan. Bintang-bintang yang bertaburan kini telah lenyap dari peredarannya dan dari arah Timur matahari mulai menampakkan sinarnya.

Pemandangan alam bukit Nabire asri dipandang mata. Dahan pohon meliuk-liuk terhempas angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi. Burung-burung beterbangan hilir mudik mencari makan. Dari kejauhan terdengar deburan ombak pantai teluk Sarera menghempas batu-batu karang.

Dari puncak bukit terlihat perkampungan suku Nabire terpampang tersusun rapi. Kalau kita perhatikan, tak seorang pun penghuni pondok-pondok perkampungan itu berkeliaran, mungkin mereka lelah setelah berbulan-bulan lamanya hidup dalam kekacauan hingga tak sempat merasakan tidur dengan nyenyak.

Pada kesempatan ini mereka gunakan untuk beristirahat tidur dengan sepuas-puasnya. Hal itu terbukti dari suara dengkuran nafas mereka yang terbawa angin. Namun tak semua penghuninya terlelap tidur. Di bangunan yang paling besar, tempat kediaman kepala suku Nabire, nampak masih terdengar suara yang sedang bercakap-cakap.

“Yulia! Aku tak melihat Awom sejak tadi, ke mana dia?” tanya Parmin yang belum sempat merapatkan mata untuk beristirahat tidur, kepada Yulia, sang kepala suku Kaimana.

“Pemuda Kaimana itu masih menganggapku sebagai kepala sukunya dan tetap mematuhi aturan. Tadi malam setelah usai upacara Natal, ia meminta izin kepadaku pergi ke puncak Kahyangan!” jawab Yulia.

“Puncak Kahyangan? Di mana letaknya tempat itu?!” Parmin terperangah sambil mengerutkan dahinya karena baru kali ini mendengar nama tempat seperti itu. Gadis Belanda itu pun angkat bahu.

“Aku sendiri tidak tahu! Tapi dia bilang hendak melakukan semadi di sana! Dia ingin menghadap para dewa dan roh-roh nenek moyangnya! Mungkin ia sedang mengalami kegoncangan jiwa karena kematian kekasihnya yang sangat ia cintai, Da-Fan!” jelas Yulia, kepada Jaka Sembung.

“Yulia! Baiklah kau tunggu disini bersama pendeta Yorgen dan ayahmu. Aku hendak menyusul Awom ke sana! Aku tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!”

“Hati-hatilah Parmin! Aku pun tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadapmu!”

Parmin pamit kepada Yulia dan ayahnya, Van Boerman serta kepala suku Nabire serta pendeta Yorgen. Kemudian bergegas meninggalkan perkampungan suku Nabire untuk mencari Awom.

◄Y►

14

Pagi itu Parmin bergegas mengadakan pelacakan dan matahari yang cerah menemani perjalanannya. Pendekar kita ini menelusuri pinggiran hutan yang ditumbuhi pohon-pohon kecil. Tangannya dengan lincah membabat dahan-dahan pohon, untuk terus merayap hingga tak terasa dia telah berada di suatu tempat yang cukup jauh dari Nabire.

Tanpa mengenal lelah Parmin terus melangkah sambil memasang telinga dan matanya untuk menangkap setiap gerak maupun gejala yang mungkin saja terjadi di setiap jengkal langkah kakinya. Apalagi kawasan yang ditempuhnya saat ini mulai ditumbuhi semak lebat dan pohon yang tinggi-tinggi.

Semakin ke dalam cuaca semakin gelap, karena sinar matahari tak dapat menembusnya.

Selang beberapa waktu kemudian Parmin telah berhasil melewati hutan belantara. Kini di depannya terbentang hulu sungai yang dipenuhi batu-batu besar. Sesaat Parmin memandang ke seluruh perbukitan yang berada di kawasan hulu sungai itu.

Demikian indah panorama yang terlihat. Lagi-lagi pendekar Gunung Sembung itu memuji kebesaran Tuhan Sang Pencipta. Dia merasakan dirinya demikian kecil jika dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan yang memiliki seluruh alam beserta isinya.

Setelah memandangi keindahan panorama alam yang dimiliki pulau Papua ini, Parmin bergegas meneruskan niatnya dengan menyeberangi hulu sungai. Namun sebelum itu, dia bersihkan seluruh badannya terlebih dahulu, agar terasa segar dengan air sungai yang sejuk dan jernih itu.

Setelah seharian Parmin menempuh perjalanan, menjelang sore hari mulailah ia mendaki perbukitan. Tak jauh dari bukit itu ia berhenti sejenak untuk mengamati sebuah dahan pohon yang patah, seperti tanda atau sandi.

“Hem, dahan patah! Mungkin Awom melewati jalan ini!” katanya dalam hati.

Beberapa langkah kemudian Parmin telah memasuki jalan setapak yang berpasir. Di sana tampak dengan jelas bekas jejak kaki manusia. Jaka Sembung terus mengikuti bekas kaki yang membawa butir-butir pasir sampai ke sebuah kaki tebing.

“Mungkin dari sinilah ia mulai mendaki!” ucapnya sekali lagi dalam hati.

Sambil terus melanjutkan langkah kakinya menaiki tebing tersebut. Untuk melewati tebing-tebing semacam itu, Parmin sudah memiliki pengalaman tatkala mendaki puncak Gunung Ciremai, yang cukup terjal dan sangat tinggi membentuk dinding lurus ke atas.

“Aku jadi ingat guru dan ayahku di Gunung Ciremai. Sudah lama aku tak mengunjunginya! Bagaimana keadaan mereka sekarang? Mudah-mudahan beliau semua, selalu dalam keadaan sehat wal-afiat!”

Guru Parmin bukan hanya Ki Sapu Angin, tetapi juga Begawan Sokalima yang kini masih hidup dan bersemayam di puncak Gunung Ciremai. Setelah berhasil melewati ketinggian tebing yang terjal, Parmin mengayunkan langkahnya kembali.

Namun baru beberapa langkah, dia dikejutkan oleh sesuatu benda yang ia kenal baik.

Perlahan-lahan ia mendekati benda berbentuk kalung yang terbuat dari serentetan taring babi hutan bercampur manik-manik beraneka warna. Dia memungut benda yang tersangkut di sebatang ranting kayu itu.

“Ini kalung Awom! Aku lebih yakin ia melalui jalan ini!” gumamnya.

Malam mulai turun, langit cerah dan tampaklah gugusan bintang bertaburan di cakrawala yang luas, bagaikan hamparan lazuardi hitam yang berkilauan oleh bintik-bintik cahaya menerangi jagad raya.

Walaupun tanpa obor untuk menerangi jalannya, Parmin masih mampu menerobos suasana malam itu. Tanpa mengenal lelah, pendekar kita terus berjalan merayapi lereng pegunungan. Pada suatu tempat dia berhenti, menahan langkahnya dan menengadahkan kepalanya ke atas sebatang pohon raksasa, di sana ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Tombak Awom tertancap di pohon itu!” serunya dalam hati. Membuat ia semakin yakin bahwa jalan yang dilaluinya adalah napak tilas perjalanan yang dilakukan oleh Awom.

Setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga malam, sampailah ia di sebuah lereng berbatu. Dia terus naik perlahan-lahan, dengan merayap sambil berpegang pada batu-batu besar itu agar bisa cepat melewatinya.

Keringat bercucuran di sekujur badannya, walaupun hawa di tempat itu sangat dingin. Wajahnya pucat karena menahan lelah. Tanpa disadarinya, hari begitu cepat berganti pagi. Namun Parmin terus mendaki pegunungan itu dengan penuh semangat.

Pada hari kelima, Parmin mulai mendaki puncak pegunungan itu. Di hari ketujuh sampailah ia pada daerah bersalju di ketinggian yang selama ini belum pernah ia bayangkan.

Sejauh mata memandang yang tampak hanya warna putih seputih kapas dengan suhu yang sangat dingin, membuat tubuh Parmin yang tanpa baju tebal terasa menggigil, tulang-tulangnya seperti gemeletuk dan darahnya seperti membeku.

Sebagai seorang pendekar ulung, Parmin dapat menguasai keadaan itu dengan mengatur pernafasan dan menyalurkan hawa panas ke seluruh tubuhnya. Semakin malam semakin dingin pula suhu di puncak bersalju itu. Sementara itu nun jauh di bawah sana, lembah telah ditutupi kabut sangat tebal.

Parmin terus merayap perlahan-lahan dan sangat hati-hati karena bukan tak mungkin suatu saat salju itu bisa longsor secara tiba-tiba.

“Tumpukan salju ini sangat berbahaya bagiku jika terjadi longsor!” gumamnya dalam hati.

Baru saja Parmin akan melewati sebuah batu yang sangat besar, tiba-tiba ia mendengar suara raungan yang sangat keras. Parmin terperanjat dan seketi-ka menghentikan langkahnya. Lalu mengendap-endap untuk mencari sumber suara tersebut.

“Astaga! Mahkluk apa itu?”

Parmin lebih terkejut lagi setelah tahu apa yang dilihatnya, sesosok makhluk tinggi besar seperti gorila yang seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu tebal berwarna hitam serta memiliki kuku-kuku yang sangat panjang dan runcing. Binatang seperti itu pada abad keduapuluh sekarang, menurut berita ditemui orang di puncak ‘Mount Everest’ pegunungan Himalaya yang oleh orang-orang setempat dijuluki dengan nama ‘Yeti’.

Dengan waspada Parmin mengikuti langkah makhluk raksasa tersebut. Suatu ketika matanya tertuju pada sosok manusia yang ternyata sedang diincar oleh si Yeti.

Pada saat itu Parmin kaget, ternyata sosok manusia yang dilihatnya adalah Awom, sang panglima suku Kaimana yang sedang dicarinya.

“Astaga! Itu Awom!” Jaka Sembung memekik tertahan dalam hati.

Jaka Sembung seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Awom tampak duduk tenang dengan tubuh hampir terendam oleh salju putih yang kemilauan itu. Makhluk raksasa yang berbulu tebal itu terus melangkah menghampiri tubuh Awom. Tiba-tiba tangannya yang berbulu dan berkuku runcing itu terangkat hendak mencengkeram batang leher Awom.

Ketika melihat itu Parmin tcrsentak dan berteriak tanpa sadar.

“Awom!! Awaaaasss di belakangmu!” Tapi Awom seperti tak mendengar teriakan Parmin, bahkan kelihatannya dia memasrahkan diri.

Makhluk itu dengan garang meraup tubuh Awom, sehingga ia terangkat ke atas seperti sebuah boneka.

Parmin yang melihat leher sahabatnya seperti hendak diremas putus, menjadi kalap. Secepat kilat ia mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian langsung menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke dada binatang raksasa yang menyeramkan itu.

Tak ayal lagi dengan mengeluarkan raungan keras makhluk raksasa itu oleng dan melepaskan cengkeramannya. Pada saat itu tubuh Awom terlepas dari tangannya.

Makhluk seram itu mengamuk, sambil menggeram mengeluarkan suara yang sangat memekakkan telinga. Bukit salju seketika bergetar dan tumpukan-tumpukan es itu longsor berhamburan.

Namun, belum sempat makhluk Yeti itu berbuat sesuatu, Parmin, si Jaka Sembung dengan cepat menghentakkan kakinya, berkelebat di udara dan mendarat persis di hadapannya.

Dengan cepat pula Parmin langsung menghantamkan pukulan yang kedua tepat di ulu hatinya. Tubuh raksasa itu berguling-guling melorot ke bawah dengan darah menyembur dari mulutnya.

Akibat tubuh besar yang ambruk itu, tumpukan salju yang berada di atas tebing longsor dengan dahsyatnya, menimbulkan suara yang sangat bergemuruh dan menguburnya dalam-dalam.

Awom yang baru sadar dari semadinya menjadi terperanjat kaget. Ia mendapatkan dirinya terpental jauh dari tempat semula. Belum lagi terjawab permasalahannya, tiba-tiba tubuhnya terperosok ke bawah bersamaan dengan longsoran es tadi.

Parmin yang melihat gejala kritis yang dialami sahabatnya itu dengan cepat menyergapnya. Tindakannya justru mengakibatkan mereka berdua yang terpelanting dan melorot ke bawah karena licinnya longsoran es itu.

“Pegang erat-erat tubuhku, Awom!”

Longsoran salju dengan sangat cepatnya melorot, mengakibatkan pohon pinus di sekitar kaki bukit banyak yang tumbang tersapu. Dengan mendekap tubuh Awom, Parmin bersalto untuk mencapai sebatang pohon yang tergeletak dan segera ia manfaatkan sebagai alat peluncur.

Longsoran salju semakin menggila. Parmin mati-matian mempertahankan keseimbangan tubuhnya di atas batang pohon yang meluncur dengan kecepatan penuh sambil menggendong tubuh Awom. Suatu saat batang pohon itu membentur sebuah tonjolan batu cadas, membuat tubuh mereka berdua terhempas dan melayang di udara. Dan lalu jatuh tak jauh dari kaki bukit yang dipenuhi rerumputan yang cukup tebal.

Parmin terperosok di sebelah Selatan, sedangkan Awom lebih jauh terpental ke sebelah Utara.

Dengan tubuh masih berselimut salju, Parmin menghampiri tubuh sahabatnya yang menggeliat-geliat menahan rasa sakit, seraya berkata dengan suara terengah-engah.

“Mengapa kau senekat ini, Awom”! Kau mau bunuh diri”!”

Sambil masih menggerak-gerakkan anggota tubuhnya, Awom berkata sambil tersenyum kepada sahabatnya pendekar Gunung Sembung itu.

“Anda salah sangka, Parmin! Aku tak bermaksud bunuh diri, tetapi sedang meminta izin para dewa, dan tempatnya adalah di sini, tempat yang paling tinggi di seluruh jagad ini!” katanya dengan wawasan pengetahuan seorang putra pribumi saat itu.

“Izin untuk apa?” potong Parmin dengan tak sabar.

“Aku akan masuk dan memeluk agama anda! Dan ikut ke mana saja anda pergi!” jelas Awom dengan sinar mata berbinar.

Parmin tertegun sejenak, sambil memandangi sahabatnya, dengan tatapan mata penuh pertanyaan dengan apa yang diucapkan pemuda kulit hitam itu.

“Alhamdulillah! Tapi mengapa kau memilih agama Islam?”

“Bukankah anda pernah katakan bahwa semua agama itu baik, tapi tidak semua yang baik itu benar?” jawab Awom sambil mengingatkan Parmin pada apa-apa yang pernah dikatakannya di waktu yang lalu.

Diam-diam, pendekar pulau Jawa itu memuji kecerdasan Awom yang selama ini merenungi kata-katanya. Dengan tersenyum bangga Parmin menjawab.

“Betul, Awom! Tetapi untuk memasuki dan memeluk agama Islam, harus berdasarkan ketulusan hati atau keikhlasan tanpa paksaan. Kau sangat beruntung! Allah telah membuka mata hatimu yang selama ini berada dalam kegelapan, untuk memeluk agama yang diridhoinya. Dalam kitab suci Al Qur’an Allah berfirman.

Inna Diena Indallohil Islam...... Sesungguhnya agama yang paling diridhoi dan yang paling diterima di sisi Allah hanyalah Islam!

Pada ayat lain dikatakan juga yang kurang lebih maksud dan tujuannya begini.

Barang siapa memeluk agama selain agama Islam, dia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi!”

Mendengar itu, Awom seperti sudah tak sabar lagi, ia mendesak Parmin agar dirinya bisa lebih cepat untuk menjadi seorang muslim.

“Bagaimana syaratnya?”

“Sangat mudah, Awom....... Tapi sangat berat! Karena yang paling penting adalah pengakuan di dalam hati sanubari, bukan kata-kata yang keluar dari mulut!”

Awom tak menyahut, dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian Parmin meneruskan percakapannya, meminta Awom untuk mengikutinya sambil mengucap.

“Sekarang ikutilah aku! Kau harus membaca dua kalimat syahadat.......

Assyhadu Allaa Illaha illallah....... Wa-Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah!”

ucap Jaka Sembung dengan perlahan-lahan tetapi sangat jelas.

Awom mengikuti ucapan Parmin. Namun lidahnya belum bisa mengikutinya.

Berulang kali Parmin menuntun Awom mengucap kalimat-kalimat syahadat itu secara perlahan-lahan. Akhirnya tepat tengah malam, Awom baru dapat mengucapkan dengan benar, ucapan yang menjadi syarat pertama bagi orang yang ingin memeluk agama Islam.

“Asyhadu Alla Ilaaha Illallah....... Wa-Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah!” ucap Awom dengan fasihnya.

Dengan disaksikan gugusan bintang yang menerangi mayapada, pohon-pohon pinus raksasa yang dahannya meliuk-liuk karena ditiup angin pegunungan, resmilah Awom menjadi seorang muslim yang siap menjalankan perintah Sang Maha Pencipta dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.

Di suasana malam yang hening sunyi senyap itu, Parmin mengajak Awom untuk merenungkan eksistensi seorang muslim. Agaknya eksistensi seperti itulah yang selama ini membuat Awom berpikir keras, terutama ketika ia hadir mengikuti upacara malam Natal di perkampungan suku Nabire itu.

“Kau tahu arti dan tujuan dari dua kalimat syahadat yang baru kita ucapkan tadi, Awom?”

Lagi-lagi Awom diam, kali ini dia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak mengerti, arti dan tujuan dari dua kalimat syahadat itu,

“Arti dari dua kalimat syahadat itu adalah Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang kusembah selain Allah...... Dan aku bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad itu Utusan Allah!”

“Lalu maksudnya apa?” potong Awom dengan rasa ingin tahu.

“Kalimat pertama bermaksud yang kita wajib sembah hanyalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, kita tak boleh menyembah yang lain dari-Nya. Kalau seandainya kita menyembah dari yang lain seperti menyembah matahari, api, laut dan lain sebagainya yang termasuk ciptaan-Nya, itu namanya ‘syirik’. Kalau sudah syirik atau menyekutukan Tuhan dengan yang lain, termasuk dosa besar yang tak dapat diampuni!”

“Sedangkan kalimat kedua, Aku bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Allah. Artinya bahwa dalam menjalani kehidupan ini, seorang muslim haruslah mencontoh segala sesuatu yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad!”

Awom manggut-manggut dan kembali bertanya.

“Mengapa kita harus percaya adanya Tuhan?”

“Apabila manusia itu melihat alam yang sangat luas dan besar ini, akan timbullah suatu pertanyaan dalam kalbunya, tentulah ada juga sebab maka ada alam ini, atau tentu ada pembuat yang telah membangun alam ini!” jawab Parmin dengan sederhana, agar dapat dengan mudah dicerna oleh sahabatnya itu.

Sejenak mereka saling beradu pandang. Awom mengembangkan sebuah senyum kepuasan atas penjelasan Parmin mengenai ajaran Islam. Tetapi kemudian dia mengerutkan dahinya, seakan ada sesuatu hal yang ingin ia tanyakan. Tentang hal-hal penting yang berkaitan dengan adat istiadat sukunya.

Sebelum sempat Awom mengeluarkan pertanyaan, mendadak Parmin membuka suaranya terlebih dahulu.

“Awom! Mulai saat ini kau telah menjadi seorang muslim! Jadi kau harus berpakaian secara benar! Harus menutup aurat! Aurat seorang muslim laki-laki adalah dari pusar sampai lutut!” jelas Parmin, sambil menunjuk bagian tubuh yang ia sebutkan.

Hari kini telah berganti pagi, mentari sedikit demi sedikit mulai nampak dari belakang puncak pegunungan yang masih berselimut kabut tebal. Sang mentari mulai menyinarkan sinarnya ke seluruh permukaan dataran yang hijau dengan hamparan pohon-pohon yang dahannya meliuk-liuk, terhempas angin pegunungan.

Kedua sosok manusia yang tak lain adalah Awom dan Parmin itu, berjalan dengan langkah ringan menelusuri lembah menuju perkampungan suku Nabire. Sejenak keduanya menghentikan langkahnya, tatkala sampai di hulu sungai yang terbentang mengelilingi perkampungan itu untuk membersihkan muka dengan air sungai yang jernih itu.

Setelah merasakan seluruh tubuhnya segar kembali, keduanya melanjutkan perjalanan dengan langsung mencari jalan pintas. Tak lama kemudian, mereka telah sampai di pinggiran perkampungan Nabire.

Parmin dan panglima suku Kaimana beristirahat sejenak sambil melahap beberapa buah-buahan yang dapat dimakan untuk mengganjal perut selama beberapa hari tak sempat diisi. Mereka duduk-duduk di bawah pohon yang tinggi dan rindang sambil berbincang-bincang.

“Awom, ini buah apa namanya?” tanya Parmin.

“Oh, itu! Suku kami menamakannya buah Opu!” jawab Awom sambil mengupas kulitnya dan dengan lahap Parmin memakan buah yang baru dikenalnya itu. Rasanya seperti rasa kacang tanah, cukup untuk memulihkan tenaga dalam tubuh yang selama ini banyak terkuras.

“Oooooh, tak terasa hari sudah begitu siang!” ucap Parmin yang mulai merasakan kantuk yang datang.

“Betul! Mungkin kita sangat lelah menempuh perjalanan siang dan malam tanpa mengenal istirahat!”

Awom menimpali ucapan Parmin. Keduanya kini bangkit dan melangkah menuju gerbang perkampungan yang sudah terlihat di depan mata.

“Ayolah, Awom! Hari sudah siang, mungkin mereka telah cemas menanti kedatangan kita!”

Sementara itu di perkampungan suku Nabire nampak Yulia, ayahnya dan pendeta Yorgen serta para prajurit suku Kaimana sedang sibuk membereskan berbagai perbekalan untuk persiapan perjalanan pulang yang cukup jauh dari perkampungan suku Nabire ke perkampungan suku Kaimana.

Kedatangan Parmin dan Awom, disambut dengan sorak sorai dan tepukan tangan sambil mengelu-elukan nama mereka.

“Hai!! Kawan-kawan, pahlawan kita telah datang! Telah datang di tengah-tengah kita!” teriak salah seorang dari mereka hingga terdengar ke tempat dimana Yulia, pendeta Yorgen dan Van Boerman berada.

Yulia dengan cepat ke luar rumah dan berlari menyongsong Jaka Sembung, kemudian ia menoleh kepada Awom seraya bertanya.

“Awom! Apa yang kau lakukan di puncak Kahyangan itu! Kami semua sangat mengkhawatirkan dirimu!”

Awom tersenyum kalem mendengar pertanyaan kepala sukunya yang cantik itu.

Kepala suku Nabire yang sejak selesai upacara perayaan Natal, terus menerus khusuk melakukan upacara ritual memanjatkan doa menurut agama sukunya. Bagi keselamatan Awom dan Parmin, kini telah mengakhirinya setelah mendengar Awom dan Parmin kembali ke tengah-tengah mereka, dengan tak kurang suatu apa. Kemudian Kya-Fa kepala suku Nabire yang ramah itu duduk membaur bersama-sama yang lain untuk mendengarkan cerita Awom.

Awom mengisahkan perjalanannya mendaki puncak Kahyangan. Di mana dirinya hampir tewas di tangan makhluk raksasa bertubuh laksana gorila yang memiliki bulu-bulu tebal dan sampai akhirnya ia resmi menjadi seorang muslim.

Semua orang yang mendengar ceritanya, baik Yulia, pendeta Yorgen, Van Boerman dan Kya-Fa kepala suku Nabire, bergembira karena Awon telah pulang dengan selamat dan turut gembira dengan agama baru yang menjadi pilihan pemuda gagah itu.

Hari semakin larut, di luar pondok udara dirasakan sangat dingin dan suasana sunyi mencekam, hanya sekilas terdengar suara bisikan binatang-binatang kecil yang bersembunyi di kegelapan malam.

Waktu demi waktu cuaca semakin gelap karena bintang gemintang di cakrawala sudah menghilang di balik awan hitam. Kilat sekali-sekali menerangi kegelapan malam, disusul kemudian dengan suara halilintar yang menggelegar. Sesaat kemudian terdengar air gemericik di atap-atap rumah.

Hujan mulai turun dengan derasnya, sehingga tak seorang pun penghuni perkampungan yang berkeliaran. Obor-obor yang menyala di sekitar perkampungan suku Nabire semua padam tertimpa air hujan.

Di malam yang semakin gelap dan basah kuyup itu, tak ada lagi terdengar orang bercakap-cakap, yang terdengar hanyalah suara dengkuran nafas yang mengiringi tidur lelap para penghuninya.

Pagi itu seluruh halaman rumah dan pepohonan basah tersimbah air hujan, yang baru berhenti ketika menjelang pagi.

Beberapa orang satu persatu mulai keluar dari tempat tinggal mereka. Begitu juga dari tempat kediaman kepala suku Nabire, beberapa orang yang tak lain dari Yulia, dan ayahnya, Yan Van Boerman, pendeta Yorgen, kepala suku Nabire Kya-Fa, Awom si panglima suku Kaimana dan Parmin si Jaka Sembung, bergegas menuju halaman terbuka untuk menghirup udara pagi yang masih segar.

Sesaat kemudian, kepala suku Nabire Kya-Fa berdiri di hadapan rakyatnya seraya berbicara dengan berapi-api.

“Hai, rakyatku suku Nabire dan kalian juga rakyat suku Kaimana! Aku di sini atas nama kalian mengucapkan banyak terimakasih, bahwa saudara-saudara kita yang berasal dari dunia yang lebih maju telah mengajari kalian bagaimana caranya menenun dan yang lain-lain!”

Selesai Kya-Fa berbicara, mereka menyambutnya dengan sorak sorai yang gegap gempita.

Parmin, Yulia, pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman telah mengajari mereka tentang baca tulis dan beberapa hal tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sedikit demi sedikit, orang-orang suku Nabire dan suku Kaimana sudah mulai bisa mengenal huruf dan mengenal suatu peradaban yang sebelumnya masih asing bagi mereka.

Ingin sekali Parmin lebih lama tinggal di tengah suku-suku Papua, untuk menyumbangkan apa saja yang ia dapat sumbangkan kepada mereka, tapi karena masih banyak tugas menanti, maka Parmin tak dapat tinggal di Papua.

Ia bermaksud kembali ke pulau Jawa membawa serta Awom yang tak mau lagi berpisah dengan Parmin. Maka tibalah hari yang dinantikan itu. Mereka bersiap-siap untuk mengantar Parmin dan Awom kepantai menuju ke atas perahu, yang sudah dipersiapkan orang-orang suku Nabire sebelumnya.

Perahu itu cukup besar untuk dua orang, diperlengkapi dengan layar, dayung, serta perbekalan makan minum yang cukup, selama perjalanan yang diperkirakan memakan waktu cukup lama menuju pulau Jawa.

Di antara kerumunan orang-orang itu, nampak yang paling sedih adalah Yulia, dia sepertinya tidak mau ditinggalkan oleh seorang yang paling ia kagumi.

Dengan isak tangis, ia menjatuhkan tubuhnya di dada Parmin yang berusaha menghibur hatinya.

“Sudahlah Yulia! Kalau panjang umur, kita bisa bertemu lagi! Aku percaya di bawah kepemimpinanmu dan di bawah bimbingan pendeta Yorgen, suku Kaimana dan suku Nabire akan menjadi suku yang beradab dan hidup lebih maju.”

Di tengah suasana yang sangat mengharukan itu, pendeta Yorgen berkata sambil mengucapkan selamat jalan. Disusul oleh ucapan ayah, Yulia dengan suara berat karena tak tahan melihat perpisahan antara mereka, kedua matanya berkaca-kaca tergenang air mata dan rakyat kedua suku itu hanya terdiam membisu.

“Dan kami pun berdoa semoga bangsa anda segera terlepas dari belenggu penjajahan! Kami berbicara atas ikatan hati nurani sesama manusia! Tuhan selalu beserta kita, Jaka Sembung!”

“Terima kasih!” ucap Parmin sambil mengajak Awom untuk menaiki perahu berbentuk rakit tersebut.

Sementara itu Yulia masih memandang tak berkedip dalam melepas kepergian Jaka Sembung. Terlalu banyak suka duka bersamanya yang harus dilupakan begitu saja. Terlalu pahit dan terlalu pagi baginya menghadapi perpisahan ini.

Semangat hidup yang baru saja tumbuh dalam diri gadis Belanda ini, berkat dorongan kasih sayang pendekar muda dari tanah Jawa itu, kini tiba-tiba ter-goyang dengan kepergiannya. Dunia seisinya tiba-tiba terasa begitu sunyi baginya. Kepada siapa lagi ia akan berbagi canda ria dan bercengkrama seperti yang dilakukannya selama ini.

Perahu rakit itu berlayar kian jauh dari tepi pantai Sarera, semakin lama semakin mengecil dari pandangan mata sampai akhirnya lenyap di balik kaki langit sebelah Barat.

T A M A T

Ikuti petualangan Jaka Sembung selanjutnya dalam " Kebangkitan Ilmu-Ilmu Iblis"