Pendekar Rajawali Sakti 104 - Perawan Lembah Maut(1)

Karya Teguh.S
SATU
SENJA baru saja merayap ke peraduannya. Bias cahaya matahari yang memerah jingga terlihat indah, menyemburat di balik sebuah gunung. Sebuah lembah kecil tampak membentang di bawahnya, ditumbuhi pepohonan yang sangat lebat. Dan tidak jauh dari situ, terlihat sebuah jalan tanah yang sunyi lengang, yang menghubungkan Desa Arunggeti dengan Desa Paringgi.

Tak lama kesunyian di sekitar lembah itu berlangsung. Karena sebentar kemudian terdengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu tidak terlalu cepat Tampak di ujung jalan sana, dua orang penunggang kuda tengah mengawal sebuah gerobak kecil yang ditarik dua ekor kuda. Kusir gerobak itu adalah seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya gemuk terbungkus baju hitam yang tidak sempurna cara memakainya. Sehingga perutnya yang buncit tampak seperti ingin mencuat keluar.

Sedangkan dua penunggang kuda yang berada di depan gerobak kayu itu masih terlihat muda dengan pedang tersandang di punggung. Sementara di dalam gerobak yang ditutupi kain kasar, terlihat dua orang wanita yang masing-masing berusia empat puluh lima tahun dan lima belas tahun. Wanita yang lebih tua tampak memangku sambil memeluk bocah laki-laki berusia sekitar delapan tahun.

“Kakang Rupadi...,” panggil pemuda berbaju coklat yang kira-kira berusia sekitar dua puluh lima tahun. Dia berkuda di samping laki-laki yang dipanggil Rupadi.

“Ada apa, Kariba?” tanya laki-laki berbaju biru tua, yang usianya sudah mencapai tiga puluh tahun.

Dialah yang bernama Rupadi Rupadi berpaling sedikit ke kanan. Dan saat itu juga keningnya jadi terlihat berkerut, begitu melihat wajah pemuda yang bernama Kariba memucat. Tampak keringat sebesar butir-butir jagung menitik membasahi wajah Kariba yang tidak tenang. Rupadi lalu menoleh ke belakang, menatap laki-laki tua berperut buncit yang mengendalikan gerobak kayunya. Kemudian, kembali ditatapnya Kariba. Saat itu, Kariba juga berpaling memandangnya. Sehingga, pandangan mereka langsung bertemu. Tapi, Kariba cepat-cepat memalingkan mukanya ke depan lagi.

“Ada yang ingin kau katakan, Kariba?” tanya Rupadi dibuat lembut nada suaranya.

“Entahlah, Kakang. Kalau ingat cerita orang, rasanya aku tidak mau lewat jalan ini...,” desah Kariba perlahan. Dan nada suaranya jelas sekali terdengar bergetar.

“Berharap saja, Kariba semoga kekhawatiranmu tidak menjadi kenyataan,” ujar Rupadi, bisa mengerti apa yang dicemaskan pemuda cukup tampan berbaju coklat itu.

Kariba jadi terdiam. Namun butir-butir keringat semakin banyak membasahi wajahnya. Sekilas wajahnya berpaling ke belakang, menatap gadis manis yang berada di dalam gerobak kayu. Sementara, Rupadi juga jadi membisu. Pikirannya mendadak saja jadi tidak menentu. Terlintas juga omong-omongan orang yang pernah didengarnya, tentang cerita-cerita mengerikan di jalan yang sedang dilalui saat ini. Tapi semua cerita itu memang bukan hanya cerita kosong belaka. Buktinya sudah banyak orang yang mengalami.

Bahkan hanya sedikit saja yang bisa selamat dari maut. Sepanjang jalan di sekitar lembah ini memang sangat mengerikan. Tidak heran kalau orang-orang yang tinggal di sekitar lembah ini menamakannya Lembah Maut. Dan jalan ini juga disebut Jalan Maut, karena dari sepuluh dua puluh orang yang melintas jalan ini, hanya satu orang saja yang bisa selamat. Sedangkan selebihnya.... Rupadi tidak sanggup membayangkan kengerian itu, tapi berusaha untuk tetap kelihatan tenang. Padahal, pikirannya semakin kacau tidak menentu.

Dan sementara itu matahari semakin jauh tenggelam di balik peraduannya. Tidak lama lagi, malam pasti akan datang menyelimuti sekitar lembah ini. Dan sudah barang tentu, mereka tidak ingin bermalam di tempat yang sudah terkenal keangkerannya. Padahal untuk menuju Desa Paringgi, masih jauh sekali jaraknya. Paling tidak, baru tengah malam nanti bisa sampai. Itu pun kalau mereka terus berjalan dan tidak berhenti sama sekali. Apalagi berjalan di malam hari, yang jelas sangat berbahaya. Dan semua itu bisa disadari Rupadi. Tapi sekarang ini, dia dan yang lain sudah berada di tengah-tengah, dan tidak mungkin kembali lagi.

“Kakang...,” desis Kariba tiba-tiba. Suaranya terdengar agak tersedak. Rupadi langsung berpaling menatapnya.

“Kau dengar suara itu, Kakang...?” sambung Kariba, pelan sekali suaranya. Rupadi hanya diam saja. Sayup-sayup telinganya juga mendengar suara seperti lolongan anjing hutan. Rupadi segera menghentikan langkah kaki kudanya. Sedangkan Kariba sudah sejak tadi berhenti, segera turun dari kudanya. Dihampirinya gerobak kayu yang juga berhenti. Rupanya, mereka yang ada di dalam gerobak ini juga mendengar lolongan anjing yang sangat memilukan itu.

“Ada apa, Kakang Kariba?” tanya gadis manis yang duduk di dalam gerobak.

Kariba tidak langsung menjawab, namun segera saja melompat ke atas gerobak ini. Dan dia kemudian duduk di samping laki-laki tua berperut buncit yang menjadi kusir.

“Kau pindah ke belakang, Golan. Lindungi mereka kalau terjadi sesuatu,” ujar Kariba.

“Baik, Den,” sahut laki-laki tua berperut buncit yang ternyata bernama Golan.

Sementara, Rupadi masih tetap berada di punggung kudanya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, seakan-akan sedang mencari arah dari lolongan yang semakin jelas terdengar itu. Namun begitu sulit menentukan arahnya, karena lolongan itu seakan-akan datang dari segala arah. Bahkan sepergi mengepung tempat ini.

“Kariba! Cepat tinggalkan tempat ini!” seru Rupadi.

“Baik, Kakang! Hiyaaa...!” Kariba langsung saja menghentakkan tali kekang kuda yang menarik gerobak ini. Kedua ekor kuda itu kontan meringkik keras, lalu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Namun belum juga jauh kuda itu berlari, tiba-tiba saja....

Wusss!

“Hieeegkh...!”

Salah seekor kuda itu langsung meringkik keras, dan kontan tersungkur. Akibatnya kuda yang satu lagi jadi terguling. Hampir saja gerobak kayu itu terguling, kalau saja Kariba tidak cepat-cepat menghentikannya. Dengan gerakan cepat sekali, Kariba melompat turun dari gerobak itu. Langsung dihampirinya kuda yang tergeletak di tanah.

“Panah...!”

Kariba jadi kebingungan. Tapi belum juga mengatakan sesuatu, terdengar pekikan tertahan. Dan...

“Golan...!” pekik Kariba, terkejut. Pemuda itu langsung melompat naik ke atas gerobak ini. Tapi pada saat itu, sebatang anak panah lagi melesat ke arahnya.

“Upts...!” Hampir saja panah itu menghantam dadanya, kalau saja tubuhnya tidak segera ditarik ke kiri. Saat itu, laki-laki tua berperut buncit yang menjadi kusir gerobak kuda ini sudah tergeletak di tanah. Tampak sebatang anak panah menembus batang lehernya.

“Aaa...!”

“Eh...?!” Kariba kembali dikejutkan oleh terdengarnya jeritan panjang melengking tinggi. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat Rupadi terbanting dari punggung kudanya, dengan sebatang anak panah menembus dada. Kariba semakin bingung. Sementara, dua perempuan dan seorang anak laki-laki di dalam gerobak ini sudah kelihatan begitu ketakutan.

“Cepat turun dari kereta...!” perintah Kariba.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, wanita yang paling tua bergegas turun dari gerobak kayu ini bersama bocah yang berada dalam pelukannya. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, sebatang anak panah sudah melesat ke arahnya. Dan....

Crab!

“Aaakh...!”

Sebatang anak panah tiba-tiba saja menyambar batang leher perempuan itu. Akibatnya, tubuhnya kontan terjengkang. Sedangkan bocah yang berada dalam gendongannya kontan terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah.

“Ibuuu...!”

“Sari, jangan...!” sentak Kariba, langsung mencekal tangan gadis manis yang akan memburu keluar dari atas kereta gerobak kayu ini.

Kariba semakin kelihatan bingung, apa yang harus dilakukan. Sementara dia sama sekali tidak tahu dari mana datangnya anak-anak panah itu. Perlahan Kariba turun dari gerobak kuda ini sambil mengendap-endap, cepat disambarnya bocah kecil itu. Lalu, Kariba segera kembali ke gerobak, dan meletakkan bocah itu di dalamnya. Setelah itu, kembali dia mengendap-endap mendekati kuda penarik gerobak yang tinggal satu. Lalu dilepaskannya tali-tali dari kuda yang sudah mati. Kemudian tali itu dipasangkan ke kudanya sendiri. Selanjutnya, kudanya siap untuk menarik gerobak itu. Sambil mengendap-endap dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, perlahan-lahan Kariba kembali naik dan duduk di tempat kusir kereta yang sangat sederhana ini.

“Hiyaaa...!” Kariba langsung menggebah dua ekor kuda yang menarik gerobak kayu ini. Kuda-kuda itu meringkik keras, lalu melesat cepat membawa gerobak kayu ini, yang jadi terguncang-guncang memperdengarkan suara berderak. Tapi Kariba tidak peduli lagi. Kudanya terus digebah sambil berteriak-teriak agar semakin cepat berlari.

“Hiya! Hiyaaa...!” “Kakang, mereka mengejar...!” teriak Sari.

“Oh...?!” Kariba jadi terkesiap begitu menoleh ke belakang. Tampak sekitar sepuluh orang tengah menunggang kuda yang dipacu cepat di belakang. Dan tampaknya, mereka memang mengejar gerobak ini. Kariba terus menggebah kuda-kudanya agar terus berlari semakin cepat.

“Hiya! Hiyaaa...!”

Sepuluh orang penunggang kuda itu semakin dekat saja jaraknya. Bahkan salah seorang tampak sudah memasang panah pada busurnya. Lalu....

Swing! Panah itu melesat cepat bagai kilat begitu dilepaskan dari busur. Dan....

Jleb!

“Aaakh...!”

Terdengar jeritan menyayat dari dalam gerobak. Kariba cepat berpaling ke belakang. Seketika jantungnya seakan jadi berhenti berdetak, begitu melihat bocah kecil yang kini berada dalam pelukan Sari tertembus panah pada punggungnya. Sementara, Sari jadi terpekik. Malah bocah itu makin dipeluk erat-erat.

“Pindah ke depan, Sari...!” teriak Kariba.

Sari menangis sesenggukan sambil memeluk bocah kecil itu. Sementara, orang-orang berkuda yang mengejar mereka semakin dekat saja. Walaupun Kariba sudah berusaha memacu cepat, tapi kedua ekor kuda itu memang terlalu berat menarik gerobak kayu yang cukup besar ini.

“Cepat, Sari...!” teriak Kariba sambil terus menggebah kudanya.

Sesaat Sari masih terdiam menangis sesenggukkan, kemudian melepaskan pelukannya pada anak kecil yang sudah tidak bernyawa lagi. Lalu gadis itu merangkak ke depan mendekati Kariba, dan duduk di sampingnya. Sementara orang-orang berkuda yang mengejar sudah semakin dekat saja.

“Pegang ini,” ujar Kariba sambil menyerahkan tali kekang kereta ini.

“Apa...?!” Sari tampak terkejut.

“Cepat! Pegang ini...!” Dengan ragu-ragu, Sari menerima tali kekang dari kulit itu.

Sementara, dua ekor kuda yang menarik gerobak ini terus berlari kencang seperti tidak terkendali lagi. Sedangkan Kariba segera merayap ke bagian belakang. Diambilnya busur dan sekantong anak panah. Kini Kariba siap membidik para pengejarnya.

“Hih!”

Wusss!

“Aaa...!”

Terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah belakang, begitu anak panah Kariba dilepaskan. Tampak salah seorang pengejar berkuda itu terbanting dari punggung kudanya. Bidikan Kariba memang sangat tepat, menembus langsung ke dada orang itu. Kariba cepat memasang kembali anak panahnya, dan kembali membidik pengejarnya.

“Hih!”

Swing!

Crab!

“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan panjang melengking, yang kemudian disusul ambruknya seorang lagi. Sementara, Sari yang mengendalikan gerobak ini, terus berteriak-teriak sambil memecut kuda-kuda itu agar semakin cepat berpacu. Gerobak kayu berukuran cukup besar ini semakin keras berguncang, dan berderak-derak, seakan-akan tidak mampu lagi diajak berpacu. Sementara itu, Kariba terus membidikkan anak panahnya.

“Hih!”

Siap!

Jleb!

“Aaa...!”

Kariba tersenyum senang, melihat lima orang sudah dijatuhkannya. Dan memang, pemuda ini sangat mahir menggunakan panah. Setiap bidikannya bisa dipastikan tidak pernah meleset. Kehilangan lima orang, rupanya pengejar-pengejar itu berpikir juga. Maka, mereka seketika menghentikan pengejarannya. Dibiarkan saja gerobak kuda itu melaju cepat meninggalkan kelima penunggang kuda ini. Senyum Kariba makin melebar melihat lima orang pengejarnya sudah berhenti. Pemuda itu cepat kembali ke depan, dan duduk di tempatnya semula. Kembali diambilnya tali kendali kereta ini dari tangan gadis manis di sebelahnya.

“Mereka tidak mengejar lagi, Sari,” kata Kariba memberi tahu. Sari hanya diam saja. Wajahnya berpaling ke belakang, melihat bocah kecil yang kini sudah tertelungkup tidak bernyawa lagi dengan punggung tertembus panah. Sementara, Kariba mulai memperlambat lari gerobak kayu ini. Dia juga berpaling ke belakang, seraya menghembuskan napas panjang.

“Kita akan urus nanti setelah sampai di Desa Paringgi,” ujar Kariba perlahan.

“Kita tinggal berdua, Kakang. Tidak punya apa-apa lagi,” ujar Sri lirih.

“Hhh...!” Kariba hanya menghembuskan napas panjang saja. 

***

Menjelang tengah malam, gerobak yang membawa Kariba dan Sari tiba di Desa Paringgi. Sunyi sekali keadaan desa ini. Tidak ada seorang pun yang terlihat berada di luar rumah. Hanya nyala lampu pelita di beranda depan rumah saja yang terlihat, menandakan kalau desa ini masih ada penghuninya. Kariba terus menjalankan gerobak kudanya perlahan-lahan memasuki desa yang tidak begitu besar ini.

Pandangannya beredar ke sekeliling, seakan ingin me-mastikan keadaan desa yang terasa begitu sunyi. Hentakkan kaki kuda dan gerit gerobak jelas sangat keras terdengar di kesunyian malam ini. Namun Kariba seperti tidak peduli. Gerobak kuda ini terus saja dijalankan perlahan-lahan. Sementara, Sari hanya diam membisu saja di sebelahnya.

“Masih jauh tempatnya, Kakang...?” tanya Sari memecah kesunyian.

“Di ujung jalan ini. Tinggal dua kali belokan lagi,” sahut Kariba juga pelan suaranya.

Namun begitu mereka melewati satu belokan, tiba-tiba saja bermunculan orang-orang dari balik dinding rumah dan pepohonan yang tumbuh di sepanjang pinggir jalan ini. Mereka langsung saja menghadang di depan, memadati jalan. Maka, Kariba cepat-cepat menghentikan langkah kaki kudanya.

“Hooop...!”

“Ada apa, Kakang? Kenapa mereka mencegat kita...?” tanya Sari.

“Entahlah,” sahut Kariba seraya menghembuskan napas sedikit.

Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya, berbaju putih ketat sehingga membentuk tubuhnya yang tegap berotot, melangkah mendekati gerobak kuda ini. Sementara, Kariba dan Sari tetap berada di atas gerobak itu. Dipandanginya laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang menyandang sebilah pedang di pinggangnya. Laki-laki itu berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan dua ekor kuda penarik gerobak kayu.

“Aku Gorapati, kepala desa ini. Maaf, perjalanan kalian terpaksa kuhentikan,” kata laki-laki setengah baya itu memperkenalkan diri.

Suara laki-laki yang mengaku bernama Gorapati terdengar besar dan berat. Malah, berkesan tidak ramah. Tapi dari sikap dan sorot matanya, sudah terpancar keramahannya. Kariba segera turun dari atas kereta kudanya ini, lalu melangkah menghampiri laki-laki setengah baya yang mengaku sebagai Kepala Desa Paringgi ini. Sementara Sari tetap berada di atas gerobak ini.

“Maaf, apakah perjalanan kami mengganggu ketenteraman di sini, Ki?” ujar Kariba dengan suara dan sikap dibuat ramah dan sopan.

“Sama sekali tidak,” sahut Ki Gorapati.

“Lalu, kenapa kami dihentikan?” tanya Kariba.

“Hanya untuk pemeriksaan saja. Maaf, kuharap kau tidak keberatan, Anak Muda. Aku dan seluruh penduduk desa ini hanya berjaga-jaga saja.”

“Kami berdua datang dari jauh, Ki. Kami melewati jalan Lembah Maut. Bahkan tiga orang saudara kami telah tewas di sana. Dan di dalam gerobak itu, ada mayat anak kecil. Maaf, Ki. Aku harus segera sampai dan mengurusnya,” kata Kariba, meminta kebijaksanaan.

Kelopak mata Ki Gorapati jadi menyipit. Kemudian diperintahkannya seorang pemuda yang berada di belakangnya untuk memeriksa ke dalam gerobak. Tak lama, pemuda berusia sekitar dua puluh tahun bergegas mendekati gerobak kuda ini, dan langsung ke bagian belakang. Lalu, kepalanya dijulurkan.

Tak beberapa lama, pemuda itu kembali lagi, dan kepalanya bergerak mengangguk membenarkan kata-kata Kariba barusan. Sementara, Ki Gorapati melangkah menghampiri pemuda ini.

“Ke mana tujuanmu, Anak-Muda?” tanya Ki Gorapati.

“Ke sebelah utara desa ini. Di pinggiran Hutan Guyangan,” sahut Kariba.

“Tempat yang kau tuju masih terlalu jauh, Anak Muda. Bisa esok pagi baru sampai. Sebaiknya, kau ke rumahku saja. Aku dan penduduk Desa Paringgi akan membantu jasad....”

“Adikku,” selak Kariba buru-buru menjelaskan.

“Ya! Sebaiknya kau ke rumah Ki Gorapati saja,” sambut seorang pemuda yang berada di belakang kepala desa itu.

“Kasihan adikmu. Jangan terlalu lama dibiarkan begitu,” sambung yang lain.

Kariba tidak bisa lagi berkata-kata. Hatinya begitu terharu melihat kesediaan penduduk desa ini untuk mengurus mayat adiknya.

“Terima kasih...,” ucap Kariba perlahan.

Memang hanya itu yang bisa diucapkannya. Sementara, Ki Gorapati sudah merangkulnya dengan sikap lembut, seperti seorang ayah pada anaknya. Sedangkan beberapa anak muda sudah menghampiri gerobak kayu itu. Tampak seorang laki-laki tua membantu Sari turun. Saat itu, seorang anak muda naik ke atas gerobak dan memegang tali kendalinya.

“Kalian berdua pasti lelah. Mari, malam ini biar kalian istirahat di rumahku. Besok pagi, kalian baru bisa melanjutkan perjalanan,” kata Ki Gorapati.

“Terima kasih, Ki,” ucap Kariba dan Sari hampir berbarengan.

Mereka kemudian bergerak menuju rumah kepala desa ini. Dan di belakangnya, gerobak kuda dari kayu itu mengikuti, dikendalikan seorang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun. Tapi tubuhnya tinggi tegap dan berotot, sehingga seperti sudah berusia tiga puluh tahun saja. 

***
DUA
Malam terus beranjak semakin larut. Dan memang, hari ini sudah lewat tengah malam. Tapi di rumah Ki Gorapati, kelihatan ramai dipenuhi orang. Beberapa orang wanita tampak sibuk mengurus mayat anak laki-laki yang dibawa Kariba. Sedangkan para pemuda menyediakan lubang kubur. Kariba dan Sari tidak bisa lagi menolak kesediaan mereka untuk mengurus jasad adiknya. Dan mereka juga tidak bisa menolak usul Ki Gorapati untuk menguburkannya di desa ini malam ini juga.

“Seharusnya jangan lewat jalan itu, Kariba. Kau bisa mengambil jalan berputar. Memang lebih jauh, dan baru sampai ke sini setelah tiga hari perjalanan. Tapi kurasa itu lebih aman daripada harus melewati jalan di Lembah Maut,” sesal Ki Gorapati, saat dia dan Kariba duduk berdua di bagian samping kanan rumahnya.

“Semula aku sudah mengusulkan begitu, Ki. Tapi kakakku tetap keras kepala. Dan aku tidak bisa berkata apa-apa. Terlebih lagi, ibu menyetujuinya. Dan memang, kami semua hanya berharap tidak mendapat halangan apa-apa di jalan,” ujar Kariba perlahan.

“Sudah terlalu banyak korban yang jatuh. Bahkan sudah lebih dari enam purnama jalan itu tidak dilalui orang lagi. Dan baru kau dan keluargamulah yang lewat setelah enam purnama ini,” jelas Ki Gorapati dengan suara agak mendesah perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

Sedangkan Kariba hanya membisu saja. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Sementara, malam terus beranjak semakin larut. Dan pemuda itu tahu, Sari mungkin sudah terlelap tidur bersama anak gadis kepala desa ini. Memang, perjalanannya sangat melelahkan. Di dalam hatinya, Kariba benar-benar menyesali sikap kakaknya yang tidak mau mempedulikan kata-katanya, untuk tidak melalui jalan di Lembah Maut. Kalau saja mereka mengambil jalan berputar, tentu tidak akan seperti ini jadinya.

“Seperti yang tadi kukatakan, selama enam purnama ini tidak ada seorang pun yang melalui jalan itu, Kariba. Dan ini rupanya yang mendorong iblis-iblis itu turun ke desa. Tiga hari yang lalu, mereka merajah desa ini dan merampas harta benda kami. Bahkan banyak penduduk mati. Yang lebih menjengkelkan, ada juga yang menculik anak-anak gadis kami. Itu sebabnya, kenapa aku menghentikan jalanmu, Kariba,” jelas Ki Gorapati memberi tahu keadaan di desanya ini tanpa diminta.

“Oh...?!” Kariba terkejut, tidak menyangka kalau Desa Paringgi ini baru saja terkena musibah. Sampai-sampai dipandanginya wajah kepala desa itu dalam-dalam. Jelas sekali terlihat dari keremangan cahaya lampu pelita, wajah Ki Gorapati terselimut mendung yang cukup tebal.

“Ah, sudahlah.... Tidak seharusnya hal ini kukatakan padamu, Kariba,” desah Ki Gorapati, seakan baru menyadari kalau tadi sedang mengeluh.

“Tidak apa-apa, Ki. Aku memang perlu tahu itu,” sergah Kariba sambil berusaha memberi senyum. Tapi, terasa sangat hambar senyumnya.

Ki Gorapati membalasnya juga dengan senyum tipis, dan terasa sangat dipaksakan. Untuk beberapa saat mereka terdiam membisu. Sementara, rumah kepala desa ini sudah mulai terasa sunyi. Dan memang, mereka semua sudah selesai menguburkan jasad adik Kariba yang mati terbunuh di Lembah Maut sore tadi.

“Ki...! Ki...!”

Tiba-tiba terdengar teriakan memanggil kepala desa itu. Tampak seorang anak muda berlari-lari cepat sambil berteriak-teriak memanggil kepala desanya. Malah larinya terlihat terpontang-panting, dan terkadang jatuh terjerembab. Namun dia cepat bangkit berdiri, dan berlari lagi sekuat tenaga. Ki Gorapati bergegas bangkit berdiri, dan melang-kah ke depan rumahnya ini. Sedangkan Kariba segera mengikuti kepala desa itu.

“Eh, Jamin...?! Ada apa...?” tanya Ki Gorapati langsung, begitu anak muda ini dekat.

“Mereka, Ki.... Mereka datang lagi...,” sahut Jamin tersendat-sendat.

“Apa...?!”

“Mereka, Ki. Iblis-iblis dari Lembah Maut....” Ki Gorapati tampak kebingungan beberapa saat.

“Cepat kumpulkan yang lain. Kita hadang sebelum mereka masuk ke desa ini,” perintah Ki Gorapati.

“Baik, Ki."

Pemuda yang bernama Jamin itu bergegas pergi berlari meninggalkan kepala desanya. Sementara Ki Gorapati bergegas melangkah masuk ke dalam rumah, seperti melupakan Kariba yang berada di sampingnya tadi. Dan Kariba sendiri bergegas melangkah menghampiri gerobaknya yang berada tidak jauh dari samping rumah ini. Lalu pemuda itu naik ke dalam gerobak, dan mengambil busur serta dua kantong anak panah. Juga sebilah pedang diikatkan di pinggangnya.

Dan begitu Kariba keluar dari dalam gerobaknya, terlihat Ki Gorapati sudah berada di depan rumahnya lagi. Sebilah pedang sudah tergantung di pinggangnya. Laki-laki setengah baya itu tampak terkejut melihat Kariba sudah siap dengan busur di tangan dan dua kantong anak panah tersandang di punggung. Dan di pinggangnya tergantung sebilah pedang.

“Aku akan ikut menghadang mereka, Ki,” tandas Kariba langsung, sebelum Ki Gorapati bisa membuka suaranya. Ki Gorapati tidak bisa melarang lagi. Sementara pemuda-pemuda desa ini sudah berdatangan, dan berkumpul di halaman depan rumah kepala desanya. Hanya beberapa patah kata saja Ki Gorapati berbicara, kemudian sudah melompat naik ke punggung kudanya. Dan sebentar saja, mereka sudah bergerak menuju perbatasan yang langsung berhubungan dengan Lembah Maut.

Baru saja Ki Gorapati dan sepuluh penduduk Desa Paringgi sampai di perbatasan, mereka sudah langsung diserang orang-orang yang menunggang kuda hitam dan berpakaian serba hitam. Sulit untuk melihat wajah mereka, karena seluruh kepala ditutupi kain hitam yang runcing pada bagian ujung kepalanya. Hanya warna hitam saja yang ada pada wajah mereka.

Kini anak-anak panah langsung berhamburan menghujani pemuda-pemuda desa ini. Jeritan-jeritan melengking dan menyayat pun langsung terdengar saling sambung, disusul ambruknya pemuda-pemuda Desa Paringgi. Kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, tentu saja membuat Ki Gorapati jadi terkejut setengah mati.

“Munduuur...!” teriak Ki Gorapati keras-keras.

Anak-anak muda desa itu segera bergerak mundur, menjauhi jangkauan hujan panah orang-orang berpakaian serba hitam yang semuanya menunggang kuda hitam. Sementara, orang-orang berkuda itu terus bergerak cepat, sambil menghujani panah. Saat itu, Kariba sudah menyiapkan panahnya. Langsung dibidiknya salah seorang yang berada di depan. Panahnya pun melesat cepat dari busur tanpa terbendung lagi, dan langsung menghujam tepat di dada orang berpakaian serba hitam. Kariba cepat memasang lagi panahnya, dan kembali menarik tali busurnya. Lalu....

Jleb!
“Aaa...!”

Ketepatan Kariba dalam memanah, membuat Ki Gorapati dan pemuda-pemuda desa yang berada di belakang jadi terlongong bengong. Sementara, Kariba terus menghujani panah ke arah orang-orang berkuda hitam itu dengan tangkas sekali. Akibatnya gerakan orang-orang berkuda hitam itu jadi terhambat. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah ada lima orang yang terguling jatuh dari kudanya. Kejadian itu, membuat mereka menghentikan gerakannya.

Sementara Kariba sudah siap dengan panah terpasang di busur, menunggu orang-orang berpakaian serba hitam yang semuanya menunggang kuda hitam maju. Tapi mereka tidak juga bergerak maju, malah terlihat mundur perlahan-lahan. Kini justru Kariba yang melangkah maju dengan busur terentang, siap melontarkan anak panah. Sementara, Ki Gorapati dan pemuda-pemuda Desa Paringgi ikut melangkah maju ke belakang Kariba.

“Yeaaa...!”

Namun, ternyata orang-orang berkuda itu malah berbalik dan langsung menggebah kudanya meninggalkan perbatasan Desa Paringgi ini. Seketika itu juga, pemuda-pemuda desa yang berada di belakang Kariba bersorak gembira, sambil mengacungkan golok di atas kepala. Sedangkan kedua tangan Kariba langsung terkulai seraya menghembuskan napas panjang. Memang, tangan tadi sudah terasa pegal, ketika merentangkan busur. Sedikit lagi saja, pasti tidak sanggup mengangkat kedua tangannya.

“Phuihhh...!” dengus Kariba, menghembuskan napas panjang kembali.

Ki Gorapati menghampiri, langsung menepuk pundak pemuda ini sambil tersenyum lebar. Kariba membalasnya dengan senyuman pula. Dan saat itu, pemuda-pemuda yang ada di sekelilingnya langsung menyalami dengan wajah cerah. Sementara Kariba hanya bisa tersenyum dengan mata merembang berkaca-kaca. Baru kali ini kemahirannya dalam memanah bisa digunakan untuk kepentingan orang banyak. Padahal selama ini, hanya digunakan untuk berburu di hutan.

“Ayo kita kembali...!” ajak Ki Gorapati.

Mereka segera kembali ke desa, tapi tidak semuanya. Ada sepuluh orang yang tetap tinggal berjaga-jaga di sekitar perbatasan ini.

“Kau hebat, Kariba. Tidak kusangka, ternyata kau pandai sekali memainkan panah,” puji Ki Gorapati.

“Hanya sedikit, Ki,” ujar Kariba merendah.

“Tapi berkat kehebatanmu, malam ini Desa Paringgi terbebas dari kehancuran,” kata Ki Gorapati terus memuji.

Kariba hanya tersenyum saja. Entah apa yang bisa diucapkan. Yang dilakukannya tadi, sebenarnya hanya melampiaskan kemarahan yang bercampur dendam dalam dadanya. Betapa tidak? Sebagian besar keluarganya telah terbunuh oleh orang-orang dari Lembah Maut. 

***

Kehebatan Kariba dalam memanah dan berhasil memukul mundur orang-orang dari Lembah Maut, cepat tersebar ke seluruh pelosok Desa Paringgi ini. Semua orang membicarakan peristiwa semalam. Dan mereka yang melihat langsung kehebatan Kariba, merasa bangga. Sementara itu di rumah Ki Gorapati, Kariba masih sulit mengabulkan permintaan kepala desa ini untuk tetap tinggi di desa ini.

“Kepandaianmu sangat dibutuhkan di sini, Kariba. Tidak ada seorang pun pemuda di desa ini yang bisa menggunakan panah. Aku yakin, mereka akan senang kalau kau sudi mengajarkannya,” desah Ki Gorapati.

Sedangkan Kariba hanya diam saja. Sesekali matanya menatap Sari yang duduk di sebelahnya. Tapi, gadis tanggung itu hanya diam saja. Padahal dari sorot matanya, dia tahu kalau Kariba meminta pendapat padanya. Sedangkan Sari sendiri merasa tidak memiliki hak untuk melarang atau menyetujui. Semua keputusan diserahkan pada kakaknya.

“Malam nanti, atau entah kapan, mereka pasti datang lagi ke sini. Dan tentu dengan kekuatan yang lebih besar lagi. Sedangkan kami semua, hanya mengandalkan keberanian saja. Pemuda-pemuda di desa ini tidak ada yang memiliki kedigdayaan. Apalagi memanah seperti yang kau miliki, Kariba,” kata Ki Gorapati lagi, terus mendesak agar Kariba mau tetap tinggal di desa ini.

“Melihat kepandaian mereka dalam memanah pun aku tidak yakin bisa terus bertahan dan memukul mundur mereka, Ki,” ujar Kariba terdengar pelan sekali suaranya.

“Kalau kau bersedia mengajarkan pada anak-anak muda di sini, paling tidak mereka telah mempunyai bekal, Kariba. Dan kini kami semakin kuat bertahan.”

“Hhh...!” Lagi-lagi Kariba menarik napas panjang-panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Memang sulit sekali pilihan yang harus dihadapinya sekarang ini. Sementara, Ki Gorapati begitu mendesak. Kariba juga tahu, Desa Paringgi ini membutuhkan seseorang yang bisa mempertahankannya dari kehancuran. Sedangkan dari dua kali pertemuan, Kariba sudah bisa mengetahui kalau kekuatan orang-orang berjubah serba hitam itu tidak bisa dianggap main-main. Malah, dia sendiri tidak yakin akan kemampuannya.

“Bagaimana, Kariba...?” desak Ki Gorapati.

“Baiklah, Ki,” sahut Kariba agak mendesah.

“Terima kasih, Kariba,” ucap Ki Gorapati senang.

“Tapi aku ada satu permintaan, Ki.”

“Katakan saja, Kariba.”

“Terus terang, Ki. Aku tidak mungkin bisa bertahan lama di sini. Dan untuk mengajarkan memanah, tidak sedikit waktu yang dibutuhkan. Sedangkan desa ini memerlukan seseorang yang tangguh secepat mungkin...,” jelas Kariba, terdengar terputus.

“Lalu...?”

Sebentar Kariba terdiam. Matanya memandang lurus ke depan, merayapi beberapa anak muda yang berada di bawah pohon, tengah duduk-duduk di halaman depan rumah kepala desa ini. Mereka seakan sedang menunggu sesuatu.

“Desa Paringgi ini memang berada di luar wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan aku ada usul yang mungkin bisa kau terima, Ki,” kata Kariba lagi.

“Apa usulmu, Kariba?” tanya Ki Gorapati.

“Kirim utusan ke Kotaraja Karang Setra. Mintalah bantuan di sana untuk menghalau iblis-iblis Lembah Maut itu,” ujar Kariba mengemukakan usulnya.

Ki Gorapati langsung terdiam dengan kening berkerut. Dipandanginya pemuda yang duduk didepannya ini dengan sinar mata begitu tajam.

“Kami punya kerajaan sendiri, Kariba...,” ujar Ki Gorapati terdengar agak mendesah suaranya.

“Benar, Ki. Tapi terlalu jauh ke kotaraja meminta bantuan. Paling tidak bisa memakan waktu dua pekan dari sini. Sedangkan Kotaraja Karang Setra, hanya ditempuh dalam tiga hari saja dengan kuda. Jadi kurasa, tidak ada salahnya bila meminta bantuan ke sana, Ki,” kata Kariba lagi.

Ki Gorapati kembali terdiam membisu, memikirkan usul yang diberikan Kariba. Memang diakui kebenaran kata-kata Kariba barusan. Tapi, apa mungkin meminta bantuan pada kerajaan lain? Sedangkan desa ini berada di luar wilayahnya.... Pertanyaan seperti itu terus menggayuti benak Ki Gorapati.

“Aku punya kenalan orang penting di Karang Setia, Ki, kata Kariba lagi.

“Hmmm...,” kening Ki Gorapati jadi berkerut me-mandangi pemuda ini.

“Dia punya kedudukan tinggi di istana, dan termasuk orang terdekat Raja Karang Setra. Kalau Ki Gorapati merasa sungkan, aku bisa bicara dengannya dan meminta bantuan secara pribadi, tanpa mengatasnamakan kerajaan. Bagaimana, Ki...?” usul Kariba lagi.

“Kau yakin temanmu itu bersedia?” tanya Ki Gorapati.

“Orang-orang Karang Setra tidak pernah memandang sesuatu dalam menolong yang lemah, Ki. Aku tahu betul mereka. Malah aku pernah tinggal sekitar tiga tahun di Karang Setra,” ujar Kariba meyakinkan.

“Ya.... Aku juga pernah mendengar tentang kebaikan rakyat Karang Setra,” desah Ki Gorapati.

“Nah! Tunggu apa lagi, Ki...? Sebaiknya kirim saja utusan ke sana.”

“Dia temanmu, Kariba. Dan kau sendiri yang mengatakannya akan meminta bantuan secara pribadi. Jadi kukira, harus kau sendiri yang datang menemuinya di sana,” kata Ki Gorapati.

Kariba mengangkat bahunya sendiri. Dan suasana sejenak jadi hening.

“Berapa lama kau tinggalkan desa ini?” tanya Ki Gorapati setelah cukup lama terdiam.

“Mungkin satu pekan, Ki. Kalau tidak ada halangan, bisa kupercepat sampai lima hari,” sahut Kariba.

“Baiklah. Kapan kau berangkat?”

“Kalau diizinkan, aku berangkat sekarang juga.”

Ki Gorapati terdiam. Perlahan kemudian laki-laki setengah baya itu bangkit berdiri, dan melangkah keluar dari ruangan depan rumahnya ini. Tangannya melambai memanggil seorang anak muda yang tengah duduk bersama teman-temannya di bawah pohon. Anak muda itu bergegas menghampiri Kepala Desa Paringgi ini.

“Siapkan kuda yang bagus dengan perbekalan cukup untuk satu pekan,” pinta Ki Gorapati.

“Mau pergi ke mana, Ki?” tanya anak muda itu keheranan.

“Bukan aku yang pergi, tapi Kariba.”

“Kariba...?”

“Dia akan meminta bantuan temannya. Sudah.... Cepat siapkan kudanya.

“Baik, Ki.”

Ki Gorapati kembali masuk ke dalam rumahnya yang cukup besar ini. Sementara, Kariba tengah berbicara dengan adiknya. Dan bicaranya langsung dihentikan begitu Ki Gorapati kembali duduk di kursinya, tepat di depan Kariba.

“Kudamu sedang disiapkan,” kata Ki Gorapati memberi tahu.

“Terima kasih, Ki,” ucap Kariba.

“Hm...,” Ki Gorapati hanya menggumam saja sedikit. Dan mereka kembali terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang ada dalam kepala mereka saat ini. Beberapa kali Ki Gorapati menghembuskan napas panjang, yang terdengar begitu berat.

“Kariba! Boleh kutanya sesuatu padamu...?” ujar Ki Gorapati setelah cukup lama berdiam diri membisu.

“Silakan, Ki,” sambut Kariba ramah.

“Siapa nama temanmu di Istana Karang Setra?” tanya Ki Gorapati langsung, seperti tidak dipikirkan lagi.

“Kalimun. Dulu dia seorang punggawa, tapi sekarang sudah menjadi panglima yang termuda di sana,” sahut Kariba.

“Dia dari desamu juga?”

“Ya! Kelahiran sana. Tapi, seluruh keluarganya sekarang sudah tinggal di Karang Setra.”

Ki Gorapati terdiam membisu lagi.

“Ada apa, Ki...? Kau kelihatannya tidak yakin...."

“Terus terang, aku sangsi kalau temanmu itu bersedia membantu desa ini, Kariba. Dia seorang panglima, tentu kau akan mendapat kesulitan untuk menemuinya.”

“Sudah sering kali aku mengunjunginya, Ki. Tidak terlalu sulit. Lagi pula, Istana Karang Setra sangat terbuka. Bahkan siapa saja boleh memasukinya, walaupun penjagaannya sangat ketat. Raja Karang Setra sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya, Ki. Aku yakin, Kalimun sudi menolong kita di sini,” tegas Kariba, meyakinkan.

“Mudah-mudahan saja, Kariba,” desah Ki Gorapati panjang. Mereka beranjak bangkit saat melihat anak muda yang disuruh Ki Gorapati muncul di depan sambil menuntun seekor kuda yang tegap dan gagah.

“Aku pergi dulu, Ki,” pamit Kariba setelah mereka sampai di beranda.

“Hati-hati, Kariba. Usahakan jangan terjadi bentrokan dengan siapa pun di jalan,” pesan Ki Gorapati.

“Akan ku usahankan, Ki,” sahut Kariba.

Pemuda itu bergegas melangkah mendekati kuda berkulit coklat yang berkilat ini, setelah memberi beberapa pesan pada adiknya. Dengan gerakan ringan, Kariba melompat naik ke punggung kuda itu. Sebentar ditatapnya Ki Gorapati, kemudian beralih pada Sari, yang berdiri di sebelah kiri kepala desa yang didampingi anak gadisnya.

“Hiyaaa...!”

Kuda coklat itu langsung melesat cepat bagai anak panah terlepas dari busur, begitu Kariba menghentakkan tali kekangnya. Debu langsung mengepul, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Sebentar saja Kariba sudah lenyap dari pandangan, setelah berbelok di tikungan jalan.

Sementara, Ki Gorapati sudah berbalik dan melangkah hendak masuk ke dalam rumahnya lagi. Tapi ayunan langkahnya jadi terhenti, begitu berpaling ke arah Sari yang masih tetap berdiri di beranda depan ini.

“Sari...,” panggil Ki Gorapati.

Sari berpaling ke belakang, dan memutar tubuhnya berbalik. Gadis itu lalu melangkah perlahan menghampiri kepala desa ini, yang berdiri di ambang pintu.

“Ada yang kau pikirkan, Sari...?” tegur Ki Gorapati lembut

“Aku mencemaskan Kakang Kariba,” sahut Sari.

“Kakakmu melaksanakan tugas suci, Sari. Mohon saja pada Sang Hyang Widi untuk keselamatannya. Dan mudah-mudahan dia kembali lagi ke sini bersama temannya yang panglima itu,” kata Ki Gorapati.

Sari hanya diam saja, lalu terus melangkah masuk ke dalam. Sementara, Ki Gorapati memandangi sampai punggung gadis itu lenyap di balik pintu penyekat ruangan, kemudian juga melangkah masuk ke dalam.

***
TIGA
Hari-hari berlalu terasa begitu lambat. Sudah lima hari Kariba pergi ke Karang Setra, sementara orang-orang dari Lembah Maut sudah dua kali menyerang Desa Paringgi. Mereka membakar beberapa rumah, merampas barang-barang, dan membunuh penduduk yang sama sekali buta ilmu olah kanuragan. Kesengsaraan semakin nyata terlihat di Desa Paringgi. Sementara, Ki Gorapati sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Sekali lagi orang-orang dari Lembah Maut itu datang, desa ini tidak akan tertolong lagi. Ini adalah malam yang keenam kepergian Kariba.

Di beranda depan rumahnya, Ki Gorapati kelihatan gelisah sekali. Entah sudah berapa kali beranda depan rumahnya dikelilingi. Sementara ada sekitar dua puluh orang anak muda berada di sekitar halaman depan rumah kepala desa ini. Malam yang begitu pekat dan dingin, terasa sangat sunyi. Tidak satu rumah pun yang menyalakan lampu. Semua orang di desa ini tidak ada lagi yang berani keluar dari dalam rumahnya, kalau malam sudah jatuh menyelimuti seluruh Desa Paringgi ini.

“Kakang Kariba belum datang juga, Ayah...?”

Ki Gorapati berpaling begitu mendengar suara pertanyaan dari belakangnya. Senyumnya langsung terkembang, begitu melihat anak gadisnya tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu. Gadis manis berusia sekitar delapan belas tahun itu melangkah keluar, dan duduk di kursi kayu, tidak jauh dari tempat ayahnya berdiri.

“Belum,” sahut Ki Gorapati agak mendesah perlahan suaranya.

“Kau belum tidur, Purwita...? Sudah larut malam.”

“Aku tidak bisa tidur, Ayah,” sahut gadis yang ternyata bernama Purwita.

“Apa yang kau pikirkan...?”

Belum juga Purwita bisa menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari sebelah timur. Ki Gorapati cepat melompat keluar dari beranda depan rumahnya ini, dan langsung berlari cepat diikuti anak-anak muda yang sejak tadi berkumpul di halaman. Mereka terus berlari-lari menuju ke arah sumber ribut-ribut itu. Tampak, tidak jauh dari perbatasan desa sebelah timur, sekitar dua puluh anak muda dengan golok terhunus tengah menghadang dua orang penunggang kuda. Dan mereka segera bergerak menyingkir begitu Ki Gorapati datang.

“Ada apa ini...?” tanya Ki Gorapati.

“Mereka memaksa masuk, Ki. Katanya penting, ingin bertemu denganmu,” sahut salah seorang pemuda yang menghadang dua penunggang kuda itu.

Ki Gorapati memandangi kedua orang yang belum juga turun dari kudanya. Saat itu, salah satu dari dua penunggang kuda yang berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung melompat turun dari punggung tunggangannya. Dia adalah seorang pemuda tampan, dengan tubuh kekar dan berotot.

Sedangkan yang seorang lagi, adalah gadis muda yang sangat cantik. Bajunya warna biru muda yang ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Dia juga segera melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan. Dari sini bisa ditebak kalau gadis yang membawa kipas putih terselip di pinggang dan pedang bergagang kepala naga berwarna hitam tersampir di punggung itu tidak bisa dianggap sembarangan.

Dan memang, kedua orang itu tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi, yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka juga sering kali dijuluki Sepasang Pendekar dari Karang Setra.

Sementara itu, Ki Gorapati terus mengamati mereka yang sudah berdiri berdampingan di depan kuda masing-masing. “Siapa kalian berdua? Dan apa maksud kalian datang malam-malam ke desa ini?” tanya Ki Gorapati agak dalam terdengar nada suaranya.

“Namaku Rangga. Dan ini, Pandan Wangi. Kami berdua adalah utusan dari Karang Setra,” sahut Rangga memperkenalkan diri dan juga memperkenalkan Pandan Wangi. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya.

“Utusan dari Karang Setra...?” desah Ki Gorapati agak terperanjat.

“Apa kalian teman-temannya Kariba...?”

“Benar,” sahut Rangga, singkat.

“Lalu, kenapa kalian tidak datang bersama Kariba?” tanya Ki Gorapati lagi.

“Kariba mendapat kesulitan dengan luka-lukanya di jalan. Dia telah bertarung melawan beberapa orang berpakaian jubah hitam. Dan dia...,” jelas Pandan Wangi, terputus kata-katanya.

“Kariba tewas...?” desak Ki Gorapati lagi, terdengar agak bergetar.

Sepertinya, dia bisa menebak apa yang terjadi terhadap Kariba. Kedua pendekar dari Karang Setra itu hanya mengangguk saja.

“Oh.... Anak muda yang sangat berjasa terhadap desa ini. Budimu tak akan kami lupakan, Kariba..., Kariba. Tak ada sebutan yang pantas buatmu selain sebutan pahlawan,” desah Kepala Desa Paringgi itu.

“Dia telah damai di Nirwana, Ki,” hibur Rangga.

“Biarlah kabar ini aku yang akan menyampaikannya pada adiknya.”

Kini Ki Gorapati memerintahkan pemuda-pemuda desa yang mengelilingi untuk kembali ke tempat masing-masing. Dan hanya sekitar dua puluh orang saja yang masih mendampingi kepala desa itu.

“Maaf atas penyambutan yang tidak menyenangkan ini,” ucap Ki Gorapati.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ki. Aku justru kagum dengan kesigapan mereka,” ujar Rangga.

“Mereka semua memang kuperintahkan untuk menghalangi siapa saja yang mencoba masuk ke desa ini. Tapi sungguh..., mereka tidak mengenalmu. Maaf sekali lagi atas sikap mereka, Rangga.” Rangga hanya tersenyum saja. “Kedatangan kalian memang sangat ditunggu-tunggu. Bahkan... Hm.... Mungkin Kariba telah menceritakan semuanya yang terjadi di desa ini pada kalian. Sejak Kariba pergi, sudah dua kali mereka menyerang desa ini,” kata Ki Gorapati sambil melangkah kembali menuju rumahnya.

Rangga dan Pandan Wangi menyejajarkan langkahnya di samping kanan kepala desa, sambil menuntun kudanya. Sementara dua puluh orang pemuda yang mendampingi Ki Gorapati mengikuti dari belakang. Ki Gorapati menceritakan keadaan yang ada di desanya sambil terus berjalan. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian.

“Maaf, Ki. Apakah selama ini dari pihak kerajaan tidak ada usaha untuk melenyapkan mereka...?” tanya Pandan Wangi, setelah mereka semua berada di beranda depan rumah Ki Gorapati.

“Keberadaan orang-orang Lembah Maut sama sekali tidak diketahui pihak kerajaan, Nini Pandan,” sahut Ki Gorapati menjelaskan.

“Tidak ada yang melaporkan?”

Ki Gorapati hanya menggeleng saja.

“Sudah berapa lama mereka di sana?” tanya Rangga lagi.

“Entah sudah berapa tahun. Tapi sebelumnya mereka tidak pernah menjarah sampai ke desa. Biasanya, mereka hanya menghadang siapa saja yang lewat di jalan lembah itu. Entah kenapa, sekarang menjarah desa ini. Mungkin setelah enam purnama tidak ada lagi orang yang sudi lewat di jalan sana,” kembali Ki Gorapati menjelaskan secara gamblang.

“Berapa jumlah mereka, Ki?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Tidak ada yang tahu, Nini. Biasanya, mereka selalu muncul sepuluh orang. Tapi belakangan ini, mereka muncul dengan jumlah lebih banyak. Dan setiap kemunculannya, jumlah itu tidak pernah kurang atau bertambah.”

“Mereka hanya merampok saja, Ki?” tanya Rangga lagi.

“Mereka juga membunuh siapa saja tanpa kecuali. Bahkan juga orang tua dan anak-anak! Mereka bukan lagi manusia. Rangga. Tapi, iblis-iblis yang berujud manusia. Tindakan mereka sangat kejam, tidak kenal belas kasihan sedikit pun!”

“Kau tahu, siapa pemimpinnya, Ki?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Inilah yang membuatku, dan semua orang jadi bingung. Beberapa tahun yang lalu, sebelum gerombolan itu ada dan menguasai lembah, memang ada yang menghuni lembah itu. Dia adalah gadis yang juga sangat kejam seperti iblis. Semua orang menjulukinya sebagai si Perawan Lembah Maut. Hanya sekitar dua tahun Perawan Lembah Maut merajai lembah itu. Dan setelah satu tahun dia menghilang, gerombolan liar itu muncul. Tapi mereka juga selalu mengaku sebagai Prajurit Perawan Lembah Maut,” jelas Ki Gorapati lagi, dengan gamblang.

“Mungkin gadis itu sekarang memang sudah punya pasukan, Ki,” ujar Pandan Wangi agak menggumam suaranya.

“Entahlah, Nini. Mungkin juga...,” desah Ki Gorapati perlahan.

Sesaat mereka terdiam.

“Rasanya, kita harus tahu dulu kekuatan mereka, Kakang,” ujar Pandan Wangi seraya menatap Rangga yang duduk di sebelah kirinya.

“Ini yang sedang kupikirkan, Pandan,” sahut Rangga pelan.

Kembali mereka terdiam membisu. Entah, apa yang ada dalam benak mereka masing-masing saat ini. Sementara, malam terus merayap semakin bertambah larut. Dan keadaan di Desa Paringgi ini semakin terasa sunyi. Malah serangga malam seperti enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desir angin saja yang terdengar menggesek dedaunan.

***