Jaka Sembung 10 - Mahligai Cinta Sepasang Pendekar(2)

Elsye tidak menjawab. Ia hanya menatap Leonard dengan tatapan yang penuh arti. Tatapan gadis yang polos itu terasa menusuk hati Leonard, tetapi ia tidak pernah membuka hatinya lagi untuk kepentingan orang lain, selain kepentingan pribadi yang selalu di atas segalanya.

Meskipun demikian, pembicaraan singkat yang pernah berlangsung dengan adiknya itu, pada saat- saat senggang selalu terngiang dan secara diam-diam ia membenarkan kata-kata adiknya itu.

Tetapi kekuasaan yang ada di tangannya, tampak lebih deras memacu daripada kebenaran yang datang sekali-sekali. Beberapa waktu setelah pembicaraan Elsye dengan Leonard berlangsung, kesibukan di kalangan kompeni Belanda di Kandanghaur nampak menonjol seperti pada waktu peristiwa penangkapan Jaka Sembung dan Bajing Ireng.

Para penduduk yang melihat kesibukan-kesibukan itu mulai bertanya-tanya lagi. Sebagian besar mereka menduga, kesibukan kompeni itu pasti erat hubungannya dengan Bajing Ireng.

“Kita bakal berkabung lagi,” ujar seorang tokoh masyarakat.

“Berkabung?” tanya orang-orang yang mendengar pernyataan itu dengan serentak, “Berkabung tentang apa?”

“Mungkin Bajing Ireng hendak digantung pula oleh kompeni.”

“Bapak tahu dari mana?” tanya seorang dengan nada cemas.

“Hanya perasaanku,” jawab tokoh masyarakat itu, pelan.

“Mudah-mudahan tidak, Pak!”

“Semua juga mengharapkan begitu, Jang!”

Pembicaraan yang singkat di warung itu segera menyebar luas sampai ke pelosok-pelosok desa, apalagi dugaan itu datangnya dari seorang tokoh masyarakat.

Belum lagi hilang rasa sedih dan berkabung atas gugurnya pahlawan rakyat Jaka Sembung, kini kedukaan lain menyusup pula ke hati rakyat laksana sembilu tajam yang menyayat-nyayat mereka.

Kesibukan kompeni tambah meningkat. Suatu pagi serdadu-serdadu Belanda di bawah komando Leonard van Eissen, mengeluarkan perintah kepada para penduduk, agar seluruh rakyat di wilayah itu berkumpul di halaman Desa Kandanghaur.

Setiap orang yang lalu lalang, diperintahkan oleh serdadu-serdadu itu agar turut mengumpulkan kawan-kawan mereka sedesa. Mereka yang sudah berkumpul itu segera digiring ke alun-alun.

“Benar dugaan Pak Hambali, Bajing Ireng akan dihukum gantung pula oleh kompeni keparat itu,” bisik seorang anak muda dengan nada penuh kemarahan.

Salah seorang penduduk yang tidak mengerti masalah, dengan lugu berbisik kepada kawannya, “Ada apa ini, hah?”

“Paling-paling Belanda hendak mempertontonkan kekejamannya lagi kepada kita,” jawab yang ditanya dengan bernafsu. Ia tidak sadar bahwa di belakangnya ada seorang serdadu.

Serdadu itu segera menyentaknya dengan keras, kemudian memukul dengan gagang senjata di kepalanya sampai pingsan, sambil menghardik. “Mampus!”

Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu menundukkan kepala. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Itulah tragisnya orang lemah!

Ketika semua rakyat sudah berkumpul di alun-alun pasar, mereka kaget. Di tengah-tengah lapangan, terlihat seorang gadis dipalang di sebuah tonggak segi tiga dengan kedua kaki tangannya terikat ketat. Leonard dan Rasek, penghianat bangsanya, berdiri tidak jauh dari tempat Bajing Ireng dipalang.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu tampak ciut hatinya dan putus asa. Mereka membayangkan bagaimana seramnya hukuman yang akan diderita oleh Roijah. Tidak jauh dari tempat Roijah dipalang itu, terlihat pisau dan sebuah mangkok yang berisi cairan.

“Mungkin Bajing Ireng akan menerima hukuman picis atau hukuman siksa,” pikir mereka yang mengerti, “Sungguh keji! Kejam!”

Beberapa saat suasana menjadi tegang. Alun-alun diselimuti oleh rasa sedih dan duka yang mendalam. Tiba-tiba penduduk yang turut dipaksa menyaksikan kekejaman itu tersentak dari lamunan.

Leonard van Eissen maju sedikit ke depan dan dengan suara keras ia berkata.

“Perhatian. Perhatian! Sebagaimana yang sedang Kowe orang saksikan, seorang pemberontak yang berani menentang kekuasaan Belanda, Bajing Ireng, hari ini akan menjalankan hukumannya. Atas nama Gubernur Jenderal dan demi kemuliaan Kerajaan Belanda, kami menjatuhkan hukuman picis kepada pemberontak dan maling besar Bajing Ireng ini,” sambil menunjuk kepada Roijah.

“Dan Kowe orang semua harus melaksanakannya.”

“Kami?”

“Kami?”

“Kami? Yang harus melakukannya? Sungguh biadab, tidak! Tidak!”

“Tidak, tidak pantas sama sekali, budi baik dibalas dengan kekejaman. Lebih pantas rasanya kalau bajingan itu yang kita hukum bersama-sama,” kata seorang kyai melampiaskan gejolak hatinya.

Setelah berpidato di depan penduduk Kandanghaur yang isi pidatonya tanpa disadari menyalakan kebencian kepada orang-orang Belanda secara tidak langsung, perwira tinggi Kerajaan Belanda itu melangkah perlahan-lahan ke arah Bajing Ireng alias Roijah, kemudian dengan kedua tangannya yang cukup kukuh itu merobek baju kebaya Roijah di bagian atas, sambil berkata.

“Hendaknya hukuman ini menjadi contoh bagi Kowe orang yang mau berontak dan sekarang setiap orang harus maju ke depan untuk mengiris tubuh Bajing Ireng ini.”

Sejenak suasana menjadi tegang. Rakyat yang hadir di alun-alun itu tidak seorang pun yang kelihatan maju ke depan untuk melakukan perintah Belanda itu. Melihat kekakuan yang demikian, serdadu-serdadu kompeni Belanda segera bertindak.

Seorang serdadu maju mendorong seorang penduduk yang berdiri paling depan. “Ayo Kowe orang maju!”

Orang yang dipaksa itu tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. Akhirnya dengan sedikit kekerasan, serdadu mendorongnya dari belakang dengan senjata.

“Ayo, cepat sayatkan kulitnya dengan pisau dan oleskan lukanya dengan air garam dan air asam ini,” perintah sang serdadu dengan kasar. Tampaknya semakin dipaksa, penduduk-penduduk itu semakin seperti lumpuh dan tak mampu berdiri.

“Lakukan, Pak! Aku rela demi keselamatanmu,” ujar Roijah dengan nada lembut. “Aku rela kalian yang melakukannya daripada Belanda busuk itu.”

Mendengar kata-kata Roijah, justru mereka tidak mampu melakukannya. Tubuh mereka menjadi gemetar dan keringat dingin membasahi sekujur badan mereka.

“Ayo lakukan cepat, goblok!” desak serdadu yang memaksa mereka.

“Tidak, tidak!” kata orang itu setengah berteriak. Kemudian menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh di kaki Roijah. “Oh, Gusti Allah! Cabutlah nyawaku saja daripada berkhianat kepada orang yang telah membela kami.”

“God verdomme zeg!” bentak serdadu itu kehilangan akal. Sambil mengayunkan gagang bedil yang ada di tangannya ke kepala penduduk yang tidak berdosa itu. Orang itu jatuh tersungkur di tanah, disaksikan oleh penduduk lainnya.

“Mampus Kowe!” bentaknya.

“Hei, serdadu busuk! Tembak saja aku ini!” kata orang itu dengan nekad kehilangan sabar.

Melihat sikap penduduk tersebut yang berani melawan, serdadu-serdadu kompeni Belanda yang memang berwatak kasar segera memasukkan laras bedilnya ke mulut penduduk yang malang dan berbudi itu.

“Kau harus mampus!” bentak serdadu itu dengan keras dan suatu letusan terdengar, dibarengi dengan suara teriakan pilu yang singkat.

Orang itu pun rubuh ke tanah dan meninggal seketika.

Roijah yang melihat peristiwa itu, darahnya seakan-akan mendidih. Ia mencoba meronta, tetapi ikatan di tangan dan kakinya terlalu mengetat.

“Biadab!” seru Roijah sambil menatap mata serdadu yang kejam itu dengan tajam.

“Ha....... ha.......!” ketawanya dengan mengejek, “Itu suatu contoh yang baik. Setiap orang yang mencoba melawan kompeni, akan kami kirim ke neraka!”

Seorang pemuka masyarakat dengan berani berkata gamblang.

“Saudara-saudara, batas kesabaran kita sudah dilangkahi oleh kunyuk-kunyuk gila ini. Kita harus melawan!”

Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh seorang pemimpin mereka, suasana segera berubah. Di luar dugaan serdadu-serdadu Belanda itu mendadak rakyat Kandanghaur unjuk gigi. Kini rasa takut mereka lenyap seketika. Semangat kesetiakawanan mendadak menyala di dada mereka. Dendam terhadap kebuasan Belanda mulai berkobar.

“Gantung Leonard!”

“Cincang Belanda busuk!”

“Usir anjing keparat!” dan banyak lagi ungkapan rakyat yang melukiskan kebencian dan dendam kepada orang-orang Belanda.

Perlahan-lahan rakyat mengepung mereka. Leonard tercengang heran. Kakinya seperti terpaku di tanah. Sementara rakyat semakin marah dan akhirnya rakyat tidak terkendalikan lagi.

Dengan kekuatan dan keberanian yang luar biasa, mereka menyikat habis-habisan serdadu Belanda. Banyak serdadu kompeni Belanda yang tewas. Leonard kewalahan mempertahankan diri.

Tetapi perlawanan ini tidak berlangsung lama. Akhirnya rakyat terpaksa melarikan diri ketika Rasek, pendekar dari Banten itu turun ke gelanggang membantu Belanda. Dengan ilmu iblisnya, Rasek menggebrak ke sana ke mari sehingga dalam sekejap saja penduduk yang melawan Belanda itu banyak yang menjadi korban.

Setelah peristiwa itu terjadi, semangat Leonard van Eissen untuk malang melintang di Kandanghaur menjadi turun. Peristiwa yang tidak disangka-sangka itu, ternyata banyak membawa hikmah. Hukuman picis yang dijatuhkan kepada pendekar Bajing Ireng dibatalkan. Leonard tidak berani lagi melaksanakannya.

Selain itu, sejak peristiwa tersebut, perwira tinggi Belanda, Leonard van Eissen mulai bersikap sangat hati-hati dan tak mau lagi menganggap rakyat enteng. Beberapa hari kemudian, Leonard mengundang adiknya ke kamar kerjanya.

“Leonard! Kau panggil aku?” tanya Elsye ketika gadis yang cerdas itu memenuhi undangan tersebut.

“Ya, kau keberatan?”

“Malah aku senang diundang abangku,” jawab Elsye tersenyum.

“Bukan mengejek kegagalanku?”

“Tidak! Aku tak suka mengejek orang lain, apalagi kau abangku, tetapi ada yang akan berani mengejek kegagalanmu itu,” kembali Elsye tersenyum.

“Siapa?” tanya Leonard penasaran.

“Mungkin dirimu sendiri yang tidak suka mempertimbangkan saran orang lain,” jawab Elsye, “Dan mungkin juga penyesalanmu.”

“Kau berfilsafat denganku, mentang-mentang kau kuliah di Fakultas Filsafat,” ujar Leonard dengan kebanggaan yang disembunyikan di hatinya. Ia sangat bangga pada Elsye, tidak saja karena adiknya itu memang cantik, tetapi buah pikirannya juga brilian.

“Elsye, maafkan aku!” ujar Leonard sambil duduk dekat adiknya.

“Mengenai apa?”

“Mengenai saranmu yang tidak pernah kupertimbangkan tentang hukuman terhadap Bajing Ireng,” jawab Leonard.

“Ya, ternyata kau meleset, bukan?” sesal Elsye tidak langsung. “Pribumi di negeri mana pun yang akan kau hadapi, jangan kau anggap merasa takut kepada kita karena kita kuat dan bersenjata.”

“Begitu analisismu?” potong Leonard dengan tersenyum.

“Malahan kita yang harus menghargai mereka karena mereka pemilik negeri ini. Soal kita berhasil menjajah mereka, itu soal kekuatan fisik,” ujar Elsye sungguh-sungguh.

“Itukah sebab aku gagal menghukum Bajing Ireng?” tanya perwira tinggi itu setengah berdiskusi.

“Antara lain memang itu, tetapi yang lebih pokok ialah cara bertindakmu yang salah. Seandainya kau memilih hukum tembak saja, amarah pribumi tidak akan meluap sehebat itu. Karena itu, kalau boleh aku mengusulkan hukuman terbaik bagi Bajing Ireng ialah hukum tembak. Begitu juga bagi ekstremis-ekstremis lain,” jelas Elsye berpendapat.

“Saranmu kurasa cukup, Elsye,” ujar Leonard tiba-tiba seperti tersinggung, merasa didikte. “Aku akan memilih cara lain yang dapat memuaskan hatiku.” Ujar Leonard yang ternyata memiliki sifat pantang untuk disinggung.

“Aku boleh tahu, cara apa yang kau pikirkan itu?”

“Bajing Ireng akan diikat dan diseret dengan kuda di sepanjang jalan desa. Untuk pengamanannya akan ku datangkan sejumlah serdadu, bersenjata lengkap dari Cirebon,” jelas Leonard menahan hati.

“Hentikan nafsu sadisme itu! Aku tidak setuju dengan caramu itu,” bantah Elsye meskipun ia tahu Leonard sudah mulai kesal dengan saran-sarannya.

“Elsye! Kau harus tahu, aku ini adalah Letnan Jenderal Leonard van Eissen yang diserahi kekuasaan di daerah Cirebon ini untuk menumpas pemberontak pribumi. Karena itu tidak seorang pun berhak membantah kemauan dan keputusanku, mengerti?”

Elsye terdiam dan tersinggung. Tetapi, ia tahu benar sifat abangnya yang sama sekali tak mau mempertimbangkan pendapat orang lain. Karena itu, ia tidak ingin mempersoalkan hal itu lagi sebab memang bukan haknya. Elsye bangkit dari duduknya dan pamit kepada abangnya tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa tersinggungnya.

Sepeninggal Elsye, perwira tinggi kompeni Belanda itu termenung sejenak. Rasa penyesalannya berkata kasar kepada Elsye sempat mengusiknya beberapa saat.......

Leonard, seorang militer yang suka menggunakan tangan besi hampir dalam setiap masalah. Sebagai perwira tinggi, ia sama sekali tidak mudah terpengaruh dengan pendapat orang lain, termasuk pendapat adiknya yang sudah duduk di perguruan tinggi seperti Elsye.

<>

Dalam masalah tanah, Leonard benar-benar turun tangan langsung. Ia bertekad untuk terus membantu Papinya dalam usaha merampas kembali tanah-tanah penduduk yang pernah diperjuangkan oleh Jaka Sembung sebelum ia digantung.

Sekarang Jaka Sembung sudah tak ada lagi. Kebebasan Yan van Eissen untuk menindas dan merampas milik rakyat, sudah tidak terhalang lagi. Bajing Ireng yang masih hidup, sudah tidak dapat berbuat apa-apa karena meringkuk dalam tahanan Leonard van Eissen.

Yan van Eissen dengan memperalat anaknya, Leonard, menghimpun sejumlah tukang pukul yang ditakuti rakyat dengan tugas mematok kembali tanah-tanah yang selama ini digarap oleh para petani, yang semasa Jaka Sembung masih hidup berhasil diperjuangkan dan dikembalikan kepada para petani pemilik.

Itulah asal mulanya permusuhan antara tuan tanah Yan van Eissen dengan Parmin Jaka Sembung dan Roijah Bajing Ireng, yang kemudian berakhir dengan tragis untuk kemenangan tuan tanah Yan van Eissen yang dibantu langsung oleh kekuatan militer di bawah pimpinan Leonard van Eissen.

Suatu hari yang naas, serombongan tukang pukul Yan van Eissen mendapat perintah dari majikan mereka untuk kembali mematok tanah-tanah yang dulu pernah pindah tangan menjadi milik Yan van Eissen.

Desas-desus itu sudah lama didengar para petani dan mereka telah bersiap-siap untuk mempertahankan hak miliknya, sumber hidup mereka.

Sebidang tanah yang sedang digarap oleh pemiliknya didatangi oleh tukang pukul tuan tanah. Tanpa bertanya dan berbasa-basi sedikit pun, orang-orang Yan van Eissen yang berwajah seram dan kasar itu melakukan pematokan dan mendirikan tanda pemilik yang berbunyi.

Tanah Milik Van Eissen.

Tentu saja pemiliknya menjadi marah.

“Hei, tunggu dulu! Apa itu?” tanya seorang pemilik sawah.

“Kalian tidak bisa baca, apa?” jawab tukang pukul itu dengan kasar.

“Tanah milik van Eissen?” keluh para petani itu, “Sungguh lucu! Kapan Belanda buncit itu datang ke mari membeli tanah, hah?”

“Hei, kalian jangan banyak bacot,” hardik tukang pukul sambil mengeluarkan goloknya. “Siapa yang masih ingin hidup tinggalkan tanah ini. Mulai hari ini sawah yang kalian garap menjadi hak van Eissen kembali, mengerti?”

“Edan!” keluh petani pemilik.

“Siapa yang edan?” tantang tukang pukul sambil menjambret leher baju para petani sekaligus ditolaknya jatuh ke lumpur sawah. Tidak puas dengan perlakuan kasar seperti itu, rumahnya didatangi dan anak bininya diancam akan dibunuh. Akhirnya tanah itu jatuh juga ke tangan van Eissen.

Lain lagi dengan petani-petani yang bernyali besar. Mereka tetap mencoba mempertahankan hak miliknya. Kalah memang urusan belakangan.

Seorang petani yang memergoki orang-orang suruhan van Eissen memancang patok di pinggir tanahnya, langsung melabrak.

“Hei, apa-apaan ini? Cabut kembali, sebelum golokku berbicara,” ancam petani yang berani.

Tukang pukul itu kaget mendadak. Kemudian perlahan-lahan kagetnya hilang. Mereka mulai memperlihatkan senyum mengejek, sambil berkata.

“O, kau berani juga rupanya menghadapi kami.”

“Mengapa harus takut? Tanah ini milikku yang sah, warisan turun temurun dari nenek moyangku, bukan milik Belanda buncit itu, tahu?”

“Kemarin memang milikmu,” bantah tukang pukul bayaran dengan tegas, “Tetapi hari ini sudah menjadi milik van Eissen.”

“Kalian boleh menganggap begitu, tetapi patok itu harus kalian cabut sekarang juga,” kata petani yang berbadan tegap, sambil mencabut goloknya.

“Kalau tidak kami cabut?”

“Harus kataku, sebelum golokku berbicara,” ancam sang petani.

Sejenak suasana menjadi tegang. Kedua suruhan van Eissen berunding sebentar. Kemudian dengan nada mengalah berkata.

“Baiklah kalau begitu, patok akan ku cabut.” Ia berkata demikian sambil mendekati patok sementara kawannya yang lain berpura-pura meninggalkan tanah sawah itu.

Hati pemilik sawah menjadi lega. Rasa marahnya lenyap seketika, tetapi apa yang terjadi?

Ketika seorang di antara mereka berpura-pura mencabut patok. Temannya yang seorang lagi yang posisinya berada di belakang pemilik tanah, secepat kilat berbalik dan membokong petani itu dari belakang sehingga goloknya terpental jauh.

Sementara itu, suruhan yang tadinya berpura-pura mencabut patok, segera memungut golok dan menghantam pemilik sawah yang belum sempat bangun. Tetapi di luar dugaan, suatu tendangan keras mengenai tepat di dada penyerang sehingga ia tak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya. Namun pertarungan itu belum berakhir.

Melihat temannya jatuh tergeletak di tanah, si pembokong yang semula mencabut goloknya dan membacok dari belakang tanpa sempat terjengkang oleh petani malang itu. Melihat korbannya bermandi darah, si tukang pukul segera ngibrit ketakutan.

Sementara itu, pemilik tanah yang menderita luka parah tersebut tampak beringsut perlahan-lahan mendekati patok dan dengan tenaganya yang masih tersisa, ia berhasil mencabut patok yang membawa malapetaka itu. Kemudian dengan pasrah ia menutup usianya setelah berjuang mempertahankan hak miliknya.......

Di bagian lain di desa itu juga, peristiwa perampasan tanah milik para petani oleh orang-orang Yan van Eissen terus berlangsung. Tanah-tanah petani yang bernyali kecil, direbut dengan paksa tanpa perlawanan, tetapi petani-petani yang berani, tetap mempertahankan tanah miliknya, meskipun harus nyawa tantangannya.

Peristiwa perampasan tanah yang sering terjadi di Kandanghaur itu, semakin menggelisahkan rakyat. Ketenangan dan kenyamanan hidup di desa tersebut berangsur-angsur semakin hilang. Rakyat semakin tertekan dan penderitaan mereka semakin mendalam.

Pada saat-saat seperti itu, kembali mereka membutuhkan orang seperti Jaka Sembung dan Bajing Ireng. Tetapi kapan orang-orang seperti itu muncul lagi untuk membela mereka?

Pertanyaan itu hampir timbul setiap hari di tengah-tengah masyarakat desa. Tetapi juga mereka menyadari Jaka Sembung dan Bajing Ireng tidak mungkin datang lagi untuk menjadi pembela.

Belum lenyap lagi bermacam ancaman yang dialami oleh para petani, muncul pula berita yang tersebar dari mulut ke mulut tentang banyak petani yang terbunuh akibat mempertahankan hak miliknya dirampas oleh begundal-begundal tuan tanah Yan van Eissen.

Para pemuka masyarakat yang mengerti hukum, berkali-kali berusaha untuk mencari keadilan, terutama di pejabat tingkat atas di Cirebon, tetapi usaha itu sama sekali tidak pernah membawa hasil. Leonard anak tuan tanah Yan van Eissen mampu mempeti eskan semua pengaduan tersebut.

Di suatu bagian desa, masih dalam Desa Kandanghaur terjadi pula suatu peristiwa yang hampir-hampir tidak masuk akal.

Seperti biasa, dua orang begundal kaki tangan Yan van Eissen datang ke tanah sawah seorang petani yang sedang menggarap tanahnya. Dengan sikap sama sekali tidak memperdulikan pemiliknya, langsung memancang patok “van Eissen” di pinggir sawah yang sedang digarap itu.

Melihat kenekatan dan kesombongan begundal-begundal tersebut, pemilik tanah menghentikan pekerjaannya. Petani itu datang mendekati dan bertanya.

“Mengapa di sawahku kau pancang patok van Eissen?”

Pertanyaan itu tidak dijawab. Kedua pelaku tersebut seakan-akan memperlihatkan kesan, kok ada orang yang berani bertanya seperti itu pada mereka.

“Hei, kalian budek?” ulang pemilik sawah dengan nada kesal.

“Sedikit budek,” jawab salah seorang di antara mereka, “Ada apa rupanya?”

“Mengapa di sawahku kau pancang patok van Eissen?” ulang petani itu dengan nada kesal.

“Heii....... kau mimpi barangkali?! Dengar kataku, tanah ini telah lama kau jual kepada van Eissen dan uangnya sudah habis kau pakai untuk mengawinkan anakmu yang janda itu, bukan?”

Petani itu sejenak tercengang, “Aku belum pernah berhubungan sekalipun dengan tuan tanah kejam itu. Apalagi untuk menjual tanah sawah warisan ayahku ini,” bantah pemilik sawah dengan nada heran.

“Aku tidak pernah punya anak perempuan, apalagi mengawinkan anak yang sudah janda seperti kalian katakan,” tambah pemilik sawah dengan dongkol.

“Ha.......! Petani ini pandai berbohong juga rupanya,” ujarnya tukang pukul gemuk yang berkumis lebat.

“Kalian yang pembohong dan mengada-ada!” bantah petani itu dengan marah. “Sekarang segera cabut patok itu!”

“Kalau kami tak mau mencabutnya?” tanya kedua tukang pukul itu serentak.

“Kalian harus mencabut, kalau kau tidak mau ribut denganku!”

“Tidak!” jawab mereka berbarengan.

“Jadi, kalian benar-benar hendak mencari gara-gara denganku?”

“Kalau ya, bagaimana?” kedua kaki tangan van Eissen itu memang mencari ribut.

“Ooh, kalian menantangku?” tanya pemilik sawah itu setengah berteriak sambil secepat kilat mengayunkan paculnya menyerang kedua jagoan tuan tanah itu.

Tetapi, secepat kilat pula kedua mereka mengelak ke samping dan salah seorang di antara mereka berhasil menangkap tangan petani itu serta mempelintirnya dengan kuat sehingga pacul yang dipegangnya terpental jauh, serentak dengan terdengar suara pekik kesakitan, petani itu pun jatuh ke lumpur akibat lambungnya tersodok deras oleh musuh.

Ketika petani itu berusaha bangun kembali, begundal gemuk yang berkumis tebal bersiap-siap hendak menginjak tengkuknya, tetapi tiba-tiba ia tersentak kuat. Tangan kanannya terbelit ketat dengan seutas tali besar dan tubuhnya terjungkal ke belakang masuk lumpur.

“Jangan bertindak sekasar itu, mengerti!” terdengar suatu bentakan lembut yang ke luar dari mulut seorang wanita cantik yang duduk tenang di atas kudanya, yang tak lain adalah Elsye van Eissen sendiri.

“Tapi....... ini perintah Tuan Besar Leonard, Nona,” kata si kumis gendut itu membela diri.

“Aku tahu, tetapi bukan berarti kalian harus bertindak semau-maunya. Kalian tidak dibenarkan bertindak di luar batas menghajar para petani yang tidak berdosa, mengerti?”

“Mengerti, Nona!” jawab mereka serentak.

“Kalau kalian tidak mengindahkan nasihatku, aku takkan segan-segan menghukum kalian. Laksanakan perintah majikanmu ini dengan baik, dengar?”

Kedua begundal itu mengangguk.

“Nah! Tinggalkan tempat ini segera!” perintah Nona Belanda dengan tegas.

Sementara itu pemilik sawah yang penuh dengan lumpur bangun berlutut dengan penuh hormat sambil berkata.

“Terimakasih! Nona telah menolong hamba! Jika Nona tidak ada, tentulah hamba telah mati di tangan mereka!”

Elsye hanya mengangguk lembut. Di hatinya timbul rasa iba dan terharu, adakah pantas manusia selembut dan sesopan itu harus dianiaya dan diperas terus menerus?

“Sayang sekali, aku tidak dapat berbuat banyak untuk membebaskan kalian dalam hal ini, meskipun Leonard itu abang kandungku, namun jalan hidup kami berlainan. Maafkan aku dan selamat berpisah!” ujar Nona yang baik hati itu.

Ketika Elsye van Eissen meninggalkan tempat yang hampir-hampir saja meminta korban, petani pemilik sawah itu perlahan-lahan bangun dan berdiri tegak. Di hatinya, terlintas suatu pengakuan,

“Rupanya tidak semua orang Belanda berhati kejam, tetapi sayang jumlah yang baik seperti itu sedikit sekali. Kapan kiranya bangsa Indonesia bisa lepas dari belenggu penjajahan ini? Sayang orang-orang seperti Jaka Sembung sudah tiada.”

Petani itu terus berdiri sambil memandang gadis Belanda yang baik hati itu sampai kudanya menghilang di kelokan yang penuh semak belukar, sementara hari berangsur-angsur menjadi remang-remang senja.

Malam semakin larut. Rakyat Kandanghaur sebagian besar telah tertidur pulas. Mereka lelah akibat kerja keras di sawah dan di ladang-ladang. Sawah dan ladang itulah tumpuan hidup mereka, di samping usaha-usaha lain sebagai sambilan untuk memanjangkan hidup.

Suasana sunyi meliputi desa kecil itu. Hanya cahaya bulan yang remang-remang telah membuat desa itu sedikit hidup dan bergairah.

Dalam cahaya yang remang-remang itulah kelihatan dari jauh sesosok tubuh mungil berjalan setengah mengendap-endap menuju pabrik penggilingan padi milik Yan van Eissen.

Pabrik penggilingan padi ini, sejak kehadiran Leonard di Kandanghaur sudah dirombak menjadi rumah tahanan yang penuh dengan kamar-kamar berjeruji besi.

“Semoga James telah mengatur segala-galanya,” gumam sosok tubuh itu sendirian.

Sementara langkahnya semakin dipercepat menuju ke rumah tahanan itu. Tidak lama kemudian, sosok tubuh itu menyelinap dengan hati-hati ke dalam rumah tahanan. Di depan pintu gerbang besi yang kukuh, sosok tubuh tersebut berhenti. Matanya tertuju kepada seseorang serdadu yang sedang berjaga-jaga di bagian depan.

“James!” serunya perlahan. Yang dipanggil tersentak sambil melihat ke arah datangnya suara yangseperti sudah dikenal itu.

“Elsye!” seru James membalas.

“Sssst,” desis Elsye sambil mengisyaratkan telunjuk di mulutnya pertanda hati-hati. Elsye masuk perlahan-lahan mendekati James.

“Bagaimana semua telah kau atur?”

“Semua aman, masuklah!” ujar penjaga itu dengan yakin.

“Di mana perempuan itu ditahan?”

“Kau mau bicara dengannya?”

Elsye mengangguk sambil tersenyum. Ia memang gadis cantik yang ramah, yang mampu menundukkan hati laki-laki, apalagi James sebagai bawahan abangnya. James mengantarkan Elsye sampai ke pintu kamar, tempat Roijah si Bajing Ireng ditahan.

“Ya, Dank U Well!” ujar Elsye sambil mengisyaratkan James kembali ke tempat penjagaannya semula.

Elsye segera bertemu dan bertatapan muka dengan pendekar wanita terkenal di seluruh daerah Cirebon itu. Kesan pertama yang menyelusup di benaknya ketika itu ialah kecantikan Roijah, kesederhanaan sikap dan kewibawaannya yang dapat terasa.

“Oh, siapa Anda?” tanya Roijah ketika melihat seorang gadis berambut pirang di tengah malam masuk ke kamar tahanannya.

“Aku Elsye, adik kandung Leonard van Eissen.”

“Perwira tinggi yang pernah hendak menghukumku dengan hukuman yang luar biasa itu?”

Elsye mengangguk, “Tetapi janganlah Anda menganggap aku musuh. Kehadiranku di hadapan Anda di tengah malam seperti ini semata-mata karena ingin bersahabat dan jika mungkin ingin menolong Anda,” ucap Elsye dengan suara tulus yang dapat dirasakan oleh Roijah.

“Anda bermaksud menolongku?” tanya Roijah dengan tenang.

“Benar! Aku ingin membantu Anda untuk lari dari tempat celaka ini.”

“Apa yang mendorong Anda melakukan pekerjaan yang begitu berbahaya untuk diri Anda?” tanya Roijah si Bajing Ireng tambah heran.

“Aku tak sampai hati kaumku disiksa dengan biadab, meskipun kita berlainan kulit dan bangsa,” jawab Elsye dengan lembut, “Tetapi perikemanusiaan tidak pernah membeda-bedakan itu,” tambah Elsye sampai memegang bahu Roijah yang duduk dengan kedua tangannya terbelenggu rantai.

“Elsye, apa yang Anda ketahui tentang nasibku selama dalam tahanan ini?” tanya Roijah ingin tahu.

“Anda akan bernasib sangat buruk, Roijah! Anda akan menerima hukuman yang sama buruknya dengan hukuman yang pernah gagal dilaksanakan beberapa waktu yang lalu,” jawab Elsye dengan nada sedih.

“Ceritakan kawan, seburuk apa pun hukuman yang akan ditimpakan kepadaku, supaya aku akan bersiap-siap menerimanya dengan tabah.”

“Anda akan diseret dengan kuda sepanjang jalan desa besok pagi.”

“Besok pagi?” tanya Roijah tersendat nafasnya.

“Sekarang bersiaplah untuk lari bersamaku!” tanya Elsye dengan bersungguh-sungguh.

Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Elsye, Roijah si Bajing Ireng terkesima. Ia menatap Elsye dengan pandangan yang mendalam. Roijah seperti bermimpi mendengar kata-kata seorang gadis Belanda yang sedang berlutut di depannya.

“Anda ragu, Roijah?”

“Tidak!”

“Kalau begitu cepatlah! Serdadu-serdadu jaga di luar adalah orang-orangku. Mereka telah ku sogok dan Anda dapat ke luar dengan aman,” tambah Elsye meyakinkan. Tetapi, baru saja sampai di situ ia berkata, di luar terdengar suara letusan senjata api.

“Ha?! Suara apa itu?” tanya Roijah yang sudah siap untuk lari.

“Aku tak tahu,” jawab Elsye dengan gugup.

Ia segera melompat ke luar. Hatinya tiba-tiba menjadi kecut, kemudian ia terperanjat ketika melihat tubuh James terkapar di depan pintu gerbang berlumuran darah. Sesosok tubuh menyeringai kepadanya dengan sebuah pistol yang masih berasap di tangannya.

“Mengapa kau ada di sini?” tiba-tiba terdengar suara Leonard.

“Aku mau bertemu dengan James, yang sekarang telah kau bunuh,” jawab Elsye dengan sangat marah.

“Untuk apa kau ke kamar tahanan?”

“Mengapa, kalau aku hanya ingin buang air kecil,” jawab Elsye dengan lancar tanpa kegugupan di wajahnya sedikit pun.

“Bukan dengan seorang tahanan?”

“Tidak ada yang kukenal di dalam tahananmu,” jawab Elsye jengkel.

“God verdomme!” teriak Leonard sambil mengayunkan gagang pistolnya ke muka Elsye sehingga Elsye jatuh terduduk. Tidak puas dengan perlakuan yang sekasar itu, ia menarik tangan adiknya dengan kuat, kemudian menyeret tubuhnya dengan bengis.

Semua yang terjadi di depan tahanan disaksikan oleh Roijah dengan penuh rasa haru. Di sepanjang jalan menuju ke rumahnya, Elsye diseret dengan kejam sehingga pakaiannya robek-robek dan lutut beserta betisnya luka berdarah.

“Lepaskan aku Leonard, lepaskan! Lepaskan!” teriaknya.

Kekejaman Leonard benar-benar diperagakan dengan sungguh-sungguh. Elsye diseret dari rumah tahanan militer sampai ke rumahnya yang jauhnya tidak kurang dari seratus limapuluh meter.

Sesampai di rumah, kedua belah tangan Elsye diikat kuat-kuat ke sebuah tiang. Kemudian dengan sebuah cambuk, Elsye dicambuki bertubi-tubi sehingga kulitnya yang mulus itu terkelupas mengeluarkan darah.

Tubuhnya seperti mengkerut dan kejang. Elsye meratapi dengan sedih dan memilukan, tetapi tidak berhasil menggugah kekerasan hati abangnya yang kejam itu. Leonard benar-benar sudah kemasukan setan. Dengan kalap ia terus mencambuk adiknya sehingga akhirnya Elsye tidak mampu bertahan dan pingsan.

Teriakan Elsye dan suara cambuk yang berkali-kali itu akhirnya membangunkan Yan van Eissen dari tidur nyenyaknya. Dengan sempoyongan tuan tanah tamak itu keluar dari kamar tidurnya menuju ke ruangan tempat suara hiruk pikuk itu terdengar.

“Hei, apa yang kau lakukan? Berhenti!” teriak Papinya dengan marah.

“Papi! Elsye bersekongkol dengan ekstremis itu!” lapor Leonard dengan wajah bengis dan penuh keringat. “Dia telah berkhianat kepada negara!” tambahnya.

“Jadi, hendak kau apakan dia? Hendak kau bunuh? Hendak kau gantung?” damprat Papinya marah, “Jika itu yang kau inginkan, bunuh dan gantunglah aku. Aku sudah tua dan mungkin tidak kau perlukan lagi dalam segala hal!” wajah Yan van Eissen merah padam.

“Papi! Ik adalah penguasa penuh di daerah ini. Jadi tak ada seorang pun berhak mencampuri urusanku!” tukas Leonard dengan tegas tanpa mempertimbangkan lagi siapa yang sedang berbicara di depannya.

“O, begitu?” tanggap Papienya dengan cepat, “Tetapi harus kau ingat, jika kau bertindak sembarangan kepada Elsye anakku, kau akan berhadapan denganku di pengadilan militer kelak.”

Leonard terdiam. Pengawal-pengawalnya pun terdiam.

“Peter! Lepaskan dia!” perintah Leonard kepada ajudannya. Peter segera melaksanakan perintah itu.

Elsye bangkit perlahan-lahan dituntun oleh Papinya. Elsye yang seluruh badannya disengat cambukan Leonard, menangis tersedu-sedu di kamar Papinya, Yan van Eissen. Luka-luka yang diderita Elsye dibersihkan dengan teliti oleh Papinya dan kemudian diobati.

◄Y►

4

Peristiwa di rumah tahanan militer yang terjadi malam itu sangat dirahasiakan. James yang hanya tertembak di bahunya segera diangkut ke rumah sakit dan dirawat.

Regu pengawal digantikan dengan regu baru. Tetapi di luar pengetahuan serdadu-serdadu jaga itu menyelinap sesosok tubuh dengan langkah ringan tanpa sedikit pun bersuara.

Seorang serdadu yang sedang berjaga-jaga di pintu gerbang, tiba-tiba jatuh terkapar hanya dengan suatu pukulan tangan tepat di kuduknya. Serdadu itu rubuh terduduk tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. Sosok tubuh itu tanpa banyak membuang waktu lalu masuk ke pintu gerbang kemudian menyelonong ke kantor.

“Ini dia,” gumam orang itu sambil merenggut serangkaian kunci yang tergantung di kantor itu. Kemudian dengan langkah tenang tetapi pasti, membuka sebuah kamar yang terletak di tengah-tengah.

“Klek!” terdengar suara kunci dengan jelas. Roijah yang masih belum tidur karena hatinya gelisah memikirkan nasib Elsye yang ingin menolongnya, tapi akhirnya ia sendiri mendapat malapetaka.

Mendengar suara kunci kamarnya seperti dibuka orang, ia mengangkat kepala lambat-lambat. Tiba-tiba suatu panggilan terdengar jelas di telinganya, “Roijah! Roijah!”

“Siapa?” tanya Bajing Ireng setengah berbisik karena suara yang memanggil namanya itu sudah sangat terkenal di telinganya. Di depannya berdiri sesosok tubuh samar-samar yang terlihat dari cahaya lampu yang terpasang di tengah-tengah gang.

“Oh. Kau Akang Parmin? Kau masih hidup. Akang?” ucap Roijah sambil merangkul orang yang sangat disayangi itu.

“Roijah! Aku masih hidup!” ujar bayangan samar itu dengan nada rindu dan berusaha meyakinkan kekasihnya bahwa pertemuan itu bukan dalam mimpi.

“Akang datang tepat waktunya,” kata Roijah dengan gembira. “Kalau tidak, mungkin kita tidak akan bertemu lagi untuk selama-lamanya.”

Roijah semakin ketat memeluk Parmin, seakan-akan tak hendak dilepaskan lagi.

“Apa maksudmu, Ijah?”

“Besok pagi aku harus menjalani hukuman seret dengan kuda di sepanjang jalan desa,” jelas Roijah dengan titikan air mata yang terasa hangat di bahu Parmin.

“Bagaimana kau tahu, Dik?”

“Panjang ceritanya, Kang! Nanti akan kuceritakan sesampai di luar,” jawab Bajing Ireng sambil memperlonggar pelukan.

“Kalau begitu, marilah kita keluar segera dari neraka ini,” ujar Parmin si Jaka Sembung sambil menarik tangan Roijah. Sebagai seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi untuk keluar masuk seperti itu tidaklah sukar.

Parmin dan Roijah segera keluar dari kamar tahanan itu. Mereka berjalan di gang dengan perlahan-lahan. Sesampai di samping kantor, Roijah berbisik, “Banyak penjaganya, Kang!”

“Jangan ragu, Insya Allah, Tuhan selalu menyertai maksud baik kita,” Parmin balas berbisik sambil meremas tangan Roijah dengan lembut.

Sementara itu, di luar pintu gerbang kelihatan dua orang serdadu mengawal seorang tangkapan. Salah seorang di antaranya setengah berteriak minta dibuka pintu.

Parmin dan Roijah melihat kesempatan itu, “Bersiaplah, Dik!” kata Parmin dan begitu pintu terbuka berkelebatlah dua bayangan serentak dengan jatuhnya ketiga serdadu yang ada di depan pintu gerbang. Kejadian yang mendadak itu, telah membuat suasana kalang kabut, panik dan ketakutan.

Roijah dan Parmin telah berada di luar Rumah Tahanan. Di ufuk Timur tampak fajar kemerah-merahan. Kokok ayam jantan mulai terdengar di sana sini.

Seorang dua penduduk mulai meninggalkan rumahnya menyusuri jalan desa menuju ke alun-alun dan ke tempat-tempat lain untuk mencari penghidupan.

Sementara itu suasana sibuk di Rumah Tahanan Militer semakin memuncak. Ketiga Serdadu yang jatuh kelengar di pintu gerbang, setelah mendapat perawatan seperlunya bangun kembali dengan terheran-heran.

Seorang tangkapan yang sempat melihat peristiwa aneh itu dan kebetulan tidak berniat melarikan diri, padahal kesempatan itu ada, didengar keterangannya. Ia diperiksa oleh penjaga kepala dengan teliti.

“Kau lihat orang itu?” tanya pemeriksa dengan nada biasa.

“Hanya sepintas lalu, Tuan.”

“Berapa orang mereka?”

“Kalau tidak salah dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan.”

“Siapa nama mereka?” pemeriksa mulai membentak.

“Saya tidak kenal, Tuan!” jawab orang separuh baya itu dengan gugup.

“Masa tidak kenal, begitu kau hendak masuk dan pintu terbuka ia mabur dari sini. Pasti kau ada hubungan dengan dia,” tuduh pemeriksa dengan wajah mulai bengis.

Ketika kepala jaga itu hendak melanjutkan pemeriksaan, seorang serdadu masuk ke kamar periksa dan melapor.

“Tugas telah dilaksanakan! Jenderal akan segera ke mari. Laporan selesai.”

Mendengar laporan itu, hati Kepala Jaga mendadak tidak enak. Ia bangkit dari kursinya sambil memanggil seorang serdadu lain yang sedang tugas di luar.

“Bawa tahanan ini ke sel,” perintahnya sambil menarik tangan serdadu yang baru selesai melapor dan mengajaknya ke suatu tempat istirahat di bagian belakang.

“Apa reaksi Jenderal mendengar laporanmu?” tanya Kepala Jaga itu khawatir.

“Ia marah-marah dan memukul-mukul meja seperti orang kalap,” jawab serdadu yang ditanya dengan nada prihatin.

“Celaka!” seru Kepala Jaga sambil bersandar ke sandaran kursinya dengan lesu.

“Mengapa Kapitan?”

“Ia pasti menghukum kita karena dianggap kita teledor dalam menjalankan tugas, terutama aku,” jelas Kepala Jaga itu dengan gelisah.

“Apa mungkin begitu?” tanya serdadu bawahan tersebut seperti tidak yakin.

“Kau belum tahu wataknya karena kau baru ditempatkan di sini, tetapi contohnya pasti kau ingat James, Kepala Jaga yang semalam ditembak oleh Jenderal Leonard hanya karena tidak ada di tempat ketika, ia datang ke kantor jaga.
"text-align: justify;">
Sehabis berkata begitu, Kepala Jaga terkejut langsung bangkit dari kursinya kembali ke kantor jaga seperti didorong oleh firasatnya. Benar saja, baru ia membenah-benah mejanya, Letnan Jenderal Leonard van Eissen datang marah-marah dengan wajah bengis.

“Rasek! Sebentar lagi hari akan pagi. Kau kutugaskan sekarang untuk segera mencari Bajing Ireng dan penolongnya. Tangkap mereka dan bawa ke mari hidup-hidup, mengerti?” perintah Leonard dengan tegas, “Kurasa mereka belum jauh dari desa ini,” tambah Jenderal yang berdisiplin ketat itu.

Ketika Rasek meninggalkan Rumah Tahanan Militer itu, hari mulai terang. Angin pagi Kandanghaur berhembus sejuk, seakan-akan hendak menyejukkan hati Rasek dan Jenderal Leonard van Eissen yang penuh dendam.

Rasek sebagai seorang pendekar yang tinggi ilmu hitamnya, sejenak bersemadi untuk mengetahui ke arah mana kedua buronan itu lari. Kemudian dengan tersenyum ia segera menggunakan ilmu lari angin dan menuju ke tempat sasarannya.

Ia bergerak seperti seekor tupai dari pohon ke pohon sambil mengintai lawan yang dicarinya itu. Tubuhnya yang ringan itu melesat ke sana ke mari dengan mudah dan akhirnya matanya yang seperti radar itu sempat melihat dua orang yang sedang berlari cepat menuju ke arah Utara.

Rasek tersenyum dan dengan diam-diam ia bermaksud membuat suatu kejutan, menghadang kedua buruannya itu dari depan. Ia seperti terbang dan sebentar sudah berada di depan Parmin dan Roijah dalam jarak kurang lebih limapuluh meter.

“Kita terperangkap, Roijah!” ujar Parmin terhenti.

“Jadi?” bisik Roijah.

“Kita terpaksa mundur karena melawan Rasek sama artinya dengan bunuh diri,” kata Parmin sambil menarik tangan Roijah untuk lari.

Tetapi, alangkah kaget mereka, tidak jauh dari tempat itu kelihatan Rasek lain semakin dekat menuju ke arah mereka.

“Aneh, Rasek ada di depan dan di belakang kita,” keluh Roijah dengan sedikit khawatir, “Tidak ada pilihan lain Akang, sebagai pendekar kita harus melawan.”

“Aku bukan Rasek! Aku musuhnya, biarlah aku melawan dia!” kata orang yang mirip dengan Rasek sambil tersenyum, “Kalian bukan tandingannya, anak muda!”

“Alhamdulillah!” ucap Parmin sambil menatap Roijah yang sedang siap-siap untuk bertempur, “Mundur Dik, biar kita jadi penonton hari ini,” tambah Parmin.

Roijah berangsur-angsur baru pulih dari ketegangannya.

Kelihatannya Rasek sama sekali tidak memperhatikan kehadiran orang lain yang semakin dekat ke arahnya. Ia hanya melihat dan memusatkan perhatiannya kepada kedua buronan yang sedang dikejarnya itu.

“Hei, bocah! Kalian mau lolos ke mana?” teriak Rasek dengan suara yang menggema di setiap penjuru.

“Lupakan mereka, Kawan!” seru pendekar berbaju hitam, yang wajahnya mirip dirinya, “Kau hanya berani dengan anak ingusan yang bukan tandinganmu!”

Rasek terkesima sejenak, kemudian bertanya dengan kasar, “Siapa kau yang suka mencampuri urusan orang lain?”

“Ha, ha, ha........ Kau tidak kenal lagi padaku?” jawab orang yang ditanya dengan senyum mengejek. “Setahun lebih aku mencari kau ke mana-mana, akhirnya kutemukan juga disini telah menjadi begundal Belanda dan ikut memusuhi bangsa sendiri.”