Warok Ponorogo 1 - Wasiat Mahkota Wengker(3)

Mereka berdua dengan diikuti oleh beberapa mund Koh 
Tiong, kemudian pindah tempat menuju ke halaman be- 
lakang rumah makan itu. “Tidak berapa lama Koh Tiong 
telah berganti pakaian khas Cina, dan sebelumnya ia 
sempat membakar dupa dihadapan potret gambar 
leluhurnya itu sambil menyembah-nyembah, mungkin 
minta doa keselamatan. 


Tidak berapa lama kedua jagoan bela diri itu nampak 
telah bersiap diri saling berhadapan. Tanpa ada wasit 
yang memimpin pertandingan, pertarungan itu pun ter- 
jadi. Koh Tiong dengan gesit memperagakan jurus-jurus 
ilmu bela dirinya yang bergerak dengan cepat sulit ter- 
tangkap indera mata orang awam. Terutama bagi mereka 
yang tidak biasa bertarung, tentu akan kewalahan meng- 
hadapi gerakan lincah berputar-putar demikian cepatnya 
kian kemari itu. 


Warok Wulunggeni mengandalkan pada ilmu -kedig- 
dayaan yang sangat ditopang oleh kemampuan daya lebih 
yang mengalir pada seluruh tubuhnya. Beberapa jurus 
serangan telah dilemparkan Koh Tiong ke berbagai arah 
yang mematikan di bagian-bagian vital Warok Wulung- 
geni, namun nampaknya Warok Wulunggeni yang ber- 
tubuh tinggi besar dan memiliki berbagai simpanan ilmu 
bela diri itu tidak mudah untuk dijadikan sasaran seran- 
gan yang bertubi-tubi datangnya itu. Nampak belum ada 


satu orang pun yang terkena sentuhan jurus-jurus lawan- 
nya. ' 


Sudah beberapa lama berjaian belum kelihatan ada tanda- 
tanda siapa yang lebih unggul di antara kedua jagoan itu. 
Selanjutnya, ada hal-hal yang cukup ngeri bakat terjadi. 
Nampaknya kedua laki- laki itu ingin segera membuat 
perubahan perimbangan posisi. Koh Tiong sudah 
mengeluarkan senjata tajam andalannya berupa pedang 
kembar, sedangkan Warok Wulunggeni pun juga segera 
mencabut 'motek' semacam golok yang dilambari dengan 
racun warang yang mematikan. 


Kedua senjata dari dua laki-laki itu berputar-putar kian 
kemari ingin menerobos sasaran pada lawan tandingnya. 
Kelibatan berkilau tersentuh cahaya yang memancar dari 
kedua senjata tajam itu, seperti terkena pantulan sinar dari 
berbagai jurusan nampak sangat membahayakan apa- 
bila sampai mengenai tubuh korban yang kurang 
waspada dalam mengatur pertahanan diri menghadap: 
lawan tandingnya itu. | 


Dalam suatu gerakan yang cepat, tiba-tiba tubuh Koh 
Tiong itu menjadi ringan seperti melayang di udara dan 
hinggap di dinding tembok ruangan itu, rupanya ia telah 
melakukan jurus 'gingkhang' untuk menyerang lawan 
dari arah atas. Warok Wulunggeni rupanya tidak begitu 
siap menerima serangan yang datang begitu tiba-tiba 


mendadak dari arah atas itu, dengan gerak spekulasi 
Warok Wulunggeni segera mengembangkan gerakan 
pertahanan tanpa mengindahkan risiko yang mungkin 
terjadi. "Blarrmr", rupanya benturan dahsyat tak terhin- 
darkan. Keduanya terpental ke belakang beberapa 
langkah. 


Bagi posisi Warok Wulunggeni, walaupun sebenarnya ia 
telah mengerahkan daya lebih yang dimilikinya itu, 
ternyata ia pun ikut terpental ke belakang beberapa 
langka lantaran ketepatan jurus tendangan yang 
dikembangkan Koh Tiong sangat akurat dapat 
mengenai sasaran dengan tepat yaitu pada hulu hati 
Warok Wulunggeni. 


Hanya saja, kebetulan yang dihadapi Koh Tiong itu 
adalah Warok Wulunggeni yang bukan orang sem- 
barangan. Warok yang satu ini ternyata memiliki 
kemampuan bertahan tenaga dalam yang berlipat, se- 
lingga benturan yang mematikan itu tidak membuatnya 
ia tergelepar. Kalau saja tendangan maut Koh Tiong iti 
mengenai orang biasa, mungkin sudah mati berdiri. Akan 
tetapi Wulunggeni bukan tandingan bagi orang yang 
sudah mendapat gelar warok ini. 


Setelah beberapa saat mereka mengatur persiapan 
gerakan lanjutan, mereka berdua mulai menyadan ada 
yang tidak beres pada diri mereka masing-masing. Kedua 
laki-laki itu ternyata sama-sama terluka. Warok Wulung- 
geni terkena sabetan pedang kembar Koh Tiong pada 
lengan kanannya, demikian juga Koh Tiong terkena sa- 
betan pedang pendek Warok Wulunggeni yang mengan- 
dung warang beracun itu pada paha kirinya. Pertarungan 
sengit itu telah menghasilkan luka-luka di antara kedua 
tokoh bela diri itu. Untuk itu pertarungan segera 
disepakati untuk dihentikan. 


Koh Tiong segera mengambil kotak obat-obatannya. Ia 
dengan gesit memperagakan cara pengobatan luka-luka 
itu, baik bagi pengobatan dirinya sendiri maupun untuk 
Warok Wulunggeni yang tercecer darah kental merah 
membasahi pakaiannya yang hitam pekat itu. Setelah 
kedua laki-laki itu sama-sama terluka dan terobati, ke- 
mudian mereka duduk bersama sambil menghirup minu- 
man ramuan dedaunan yang disediakan oleh Koh Tiong. 
Para murid Koh Tiong yang baru saja menyaksikan ke- 
hebatan pertarungan yang sengit itu hanya bisa ternganga 
terheran-heran. Dan baru merasa lega ketika melihat per- 
tarungan telah usai. 


"Saya mengaku kalah, Tuang Walok Wulunggeni”, tiba- 
tiba terdengar suara Koh Tiong memecahkan kesunyian. 


"Lho, kamu masih kuat meneruskan pertandingan to Koh. 
Kita belum ada yang kalah. Kita masih sama-sama kuat. 


Kita sama-sama terkena senjata", balas Warok Wulung- 
geni. 


"Kalena saya teluka, belalti saya kalah, Tuang Walok 
Wulunggeni”. 


"Ach. Jangan merendahkan diri begitu, Koh Ti ong. Aku 
sebenarnya kagum sama permainanmu itu. Luar biasa 
Baru kali ini aku mendapat lawan yang tangguh. Sehebai 
kamu, Koh. Aku memujimu. Engkau adalah pendekar 
sejati" | 


"Ach jangan memuji begitu. Tidak usah, Tuang Walok. 
Saya telus telang mengaku kalah. Sebab dalam ilmu Cina, 
sehalusnya kami tidak teluka. Tetapi telnyata saya teluka. 
Itu belalti kami halus mengakui kehebatan ilmu Tuang 
Walok Wulunggeni. Dan mulai esuk kami akan menutup 
peiguluan ini. Mengenai soal mempelajali cala pengo- 
batan Cina itu, Tuang boleh belajal kapan saja semau 
Tuang. Dengan senang hati kami akan membelikan, apa 
saja yang bisa kami belikan untuk Tuang Wulunggeni", 
kata Koh Tiong kepada Warok Wulungggeni. 


Mendengar kata-kata pengakuan yang tulus dari Koh 
Tiong yang begitu rendah hati itu, hati Warok Wulung- 
geni jadi 'renyuh”. 


"Koh Tiong. Perguruanmu ini sebaiknya jangan ditutup. 
Soal ucapanku tadi, hanya main-main. Jangan dipikirkan. 
Teruskan saja dibuka perguruan ini. Banyak pemuda di 
sint yang membutuhkan ilmu bela din Cina ini untuk 
menjaga diri dari banyak gangguan di daerah yang panas 
seperti Bonorogo ini. Teruskan saja dibuka. Koh. Aku 
tidak ingin menghalangi usahamu ini. Aku hanya seorang 
penuntut iimu. Jadi keinginanku hanya untuk mencari 
dan mengembangkan ilmu. Entah itu ilmu dari mana 
datangnya, aku akan cari terus. Jadi jangan hanya karena 
aku, engkau menutup perguruan ini. Jangan lakukan itu, 
Koh. Aku sudah cukup gembira dapat berkenalan dengan 
orang seperti kamu yang menguasai ilmu bela diri dan 
Ilmu ketabibab Cina ini. Semuanya akan berguna bagi 
menambah pengetahuanku" 


"Telima kasih, Tuang Wulunggeni. Akan tetapi saya 
halus tetap mengholmati peljanjian kita tadi. Aku kalah, 
dan aku halus menepati janji untuk menutup pelguruan, 
int untuk umum". 


"Yah. terserah saja pada kamu, Koh Tiong. Tetapi, 
terus terang aku tetap nengharapkan agar engkau tetap 
membuka kegiatan perguruan ilmu bela diri Cina int di 
sini. Dan kalau menurut keyakinanmu harus ditutup, 
Itu terserah. Itu bukan lantaran aku, lho”. 


"Telima kasih, Tuang Warok Wulunggeni". 


Sejak saat kejadian pertarungan itu, perguruan bela diri 
khas Cina milik Koh Tiong itu akhirnya benar-benar 
ditutup untuk umum. Akan tetapi, Warok Wulunggeni 
rupanya dengan tekun menjadi murid pengobatan Koh 
Tiong. Ia diam-diam tanpa banyak diketahu! orang, bela- 
jar ilmu ketabiban itu kepada pendekar Cina Koh Tiong 
itu. Sedangkan perguruan bela dirinya itu, sesuai perjan- 
jian yang diyakini Koh Tiong dengan Warok Wulunggeni 
itu, tetap ditutup. Berita mengenai ditutupnya usaha Koh 
Tiong itu sampai ke telinga Warok Sawung Guntur seba- 
gai penguasa keamanan Kadipaten. 


"Lho, yang berhak menutup atau membuka setiap 
kegiatan apa pun di daerah kekuasaan Ponorogo ini 
kan penguasa Kadipaten, apa urusannnya Wulunggeni 
mengatur usahanya orang", kata Warok Sawung Guntur 
sebagai salah seorang penggede Kadipaten ketika men- 
dengar laporan dart anak buahnya mengenai campur 
tangannya Warok Wulunggeni terhadap usaha di Tu- 
mah makan Kakung Cah milik Koh Tiong itu, nampak 
ja menjadi berang. 


"Ampung, Tuangku. Sebaiknya masaiah ini tidak pellu 
dipelpanjang", kata Koh Tiong saat mendengar ucapan 
Warok Sawung Guntur ketika mengunjungi rumah 
makannya dan mendengarkan dari laporan yang tidak 
mengenakkan itu dari anak buahnya di rumah makan itu 
suatu siang hari. 


"Tidak diperpanjang bagaimana, Koh Tiong. Di sini 
yang berhak mengatur segala soal perijinan usaha ini, 
Aku. Yang berkuasa itu, Aku. Bukan orang lain ter- 
masuk si Wulunggeni itu bukan apa-apa. Orang sema- 
cam dia itu tidak ada apa-apanya bagi penguasa 
Kadipaten. Aku atas seijin Kanjeng Adipati yang me- 
nentukan segalanya". ujar Warok Sawung Guntur 
memperlihatkan muka marahnya. 


"Ampung, Tuang penggede. Jangan salah paham. Yang 
memang belmaksud menutup usaha ini saya sendili yang 
punya mau, bukan lantalan Tuang Wulunggeni. Jadi kami 
halap Tuang penggede tidak salah-paham. Kami hanya 
menutup usaha pelguruan saja, kalena memang di sini 
tidak ada lagi mulid yang mau ikut latihan. Sedangkan 
usaha yang lain telmasuk rimah makan ini masih terus 
dibuka". 


"Ohh, jadi hanya perguruan bela dirinya yang ditutup. 
Rumah makan tetap dibuka", kata Warok Sawung Guntur 
mulai mengendor syarafnya. 


"Benal. Benal Tuengku. Benal...benal demikian, 
Tuangku", kata Koh Tiong berlogat cedal. 


"Kalau memang demikian. Ya, tidak apa-apa. Jadi malahan 
aku mau minta tolong kepada Koh Tiong, itu ilmu bela diri 
Cina tolong diajarkan saja kepada para prajuritku. Para 
punggawa keraton selain sudah mahir ilmu kanuragan 
tradisional, tolong juga dilatih ilmu bela diri Cina itu, biar 
mereka kaya menguasai berbagai ilmu". 


"Ampung, Tuang. Kami belsedia menuluti pelintah tuang 
penggede", kata Koh Tiong yang berbicara cedal sambil 
badannya membungkuk- bungkuk tanda hormat kepada 
Warok Sawung Guntur itu. 


"Nah. Kalau demikian, mulai esuk hari, Koh Tiong boleh — 
datang ke gladi pelatihan di Kadipaten untuk memberikan 
dasar-dasar latihan ilmu bela diri Cina itu". 


"Siap Tuang penggede". 


"Baiklah kalau demikian, aku minta diri pulang dulu. 
Jangan lupa mengenai latihan itu besuk. Usahakan tertib 
waktu. Soal teknis kegiatannya, nanti akan diatur ber- 
sama oleh para senopati Kadipaten". 


"Siap, Tuang penggede", 


Tidak berapa lama rombongan Warok Sawung Guntur 
yang sedang melakukan inspeksi keliling kota itu men- 
inggalkan rumah makan Kangkung Cah pada sore 
harinya setelah disuguh makan-minum sepuasnya di ru- 
mah makan yang beken di kota itu. 


TERJADI PERUBAHAN PESAT 


SETELAH hampir sepuluh tahun berjalan sejak ber- 
dirinya Kadipaten Ponorogo di bawah kepemimpinan 
Kanjeng Raden Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti, 
nampak bahwa daerah Kadipaten Ponorogo ini makin 
maju. Perdagangan antar daerah berjalan lancar. Arus 
barang banyak yang keluar masuk daerah ini. Demikian 
juga banyak pendatang dari luar daerah yang kemudian 
berminat mendirikan usaha di daerah Kadipaten 
Ponorogo yang terus berkembang pesat di sini. 


Kali Sekayu yang terletak di sebelah barat ibukota Kadi- 
paten Ponorogo, merupakan alur strategis sebagai pusat 
berkembangnya perdagangan yang amat bernilai bagi 
masyarakat setempat. Oleh Karena itu, Kali Sekayu makin 
memegang peranan penting sejak kegiatan ekonomi pen- 
duduk daerah kadipaten Ponorogo mulai maju. Di sepan- 
jang pinggir sungai ini, apabila di situ dijumpai kampung, 
maka hampir dapat dipastikan akan menggunakan sarana 
air sungai itu untuk menunjang kegiatan usahanya. 
Barang-barang dagangan banyak dibawa dengan meng- 
gunakan alat angkut 'getek? terdiri dari bambu-bambu 
yang diapungkan untuk membawa pedagang- pedagang 
lokal yang penuh barang dagangan menyeberangi sungai 
itu. Oleh karena itu, roda perekonomian rakyat Ponorogo 
-nampak makin bergairah maju. 


Para pembuat grabah yang bahannya diambilkan dengan 
cara mengolah dari tanah lempung, kemudian setelah 
dibentuk beraneka ragam peralatan, antara lain kendi 
untuk tempat air minum, lepek untuk menuangkan kopi 
panas agar cepat dingin, kendil, wajan gorengan, dan 
sebagainya. Selain grabah, juga dibuat tikar mendong. 
Semua usaha kerajinan itu banyak dihasilkan oleh pen- 
duduk di desa-desa yang kemudian dipasarkan ke kota 
kadipaten menyeberang sungai, antara kali Sekayu itu 
dengan menggunakan rakit bambu 'Gerek” 


Banyak rakyat yang kemudian patuh membayar upeti, 
terutama upeti dari hasil bumi yang disetorkan ke 
penguasa Kadipaten, dan kemudian oleh penguasa 
Kadipaten sebagian besar disampaikan sebagai 
persembahan kesetiaan kepada junjungan pemerintahan 
pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan. 


Daerah Ponorogo juga dikenal maju oleh adanya per- 
tanian rakyatnya. Pertanian dapat berkembang pesat yang 
membawa hasil penen berlimpah ruah pada tiap tanun- 
nya. Ponorogo waktu itu juga dikenal sebagai penghasil 
produksi gula rakyat. Baik itu gula aren dari pohon aren, 
gula kelapa dari buah kelapa, maupun gula dari bahan 
batang tebu. Di kampung-kampung, banyak tumbuh in- 
dustri tradisional pembuatan gula rakyat yang diusa- 
hakan oleh masyarakat setempat yang merupakan mata 
pencaharian sampingan selain bertani padi dan tumbuhan | 
palawija. 


Perkebunan tebu yang merupakan bahan untuk diolah 
menjadi gula, kemudian banyak diusahakan oleh petani- 
petani Ponorogo dengan pengolahan secara tradisional. 
Menggunakan peralatan peras yang ditarik dengan tenaga 
lembu, sapi, kemudian hasilnya dimasak dicetak dengan 
lemper tanah, kemudian dibungkus dengan daun-daun 
kering tebu untuk dipasarkan ke daerah-daerah Kadipaten 
lain di tanah Jawa. | 


Kemajuan perekonomian daerah Ponorogo sebenarnya 
juga tidak terlepas dari kemajuan hubungan dagang yang 
terjadi di Trowulan, pusat kekuasaan kerajaan Majapahit. 
Ketika itu banyak para pedagang Cina yang menggu- 
nakan kapal-kapal dagang besar datang berlabuh di pela- 
buhan Gresik pantai pesisir utara laut Jawa. Para 
pedagang asal negeri Tiongkok itu membawa banyak 
barang dagangan yang kemudian bermitra dagang dengan 
para pedagang Cina lokal yang sudah lama tinggal di 
pusat kekuasaan kerajaan Majapahit itu. Bahkan 
konon, Raja Prabu Brawijaya juga banyak menerima 
persembahan putri-putri Cina yang cantik-cantik jelita 
untuk dijadikan selir Raja Agung Benantara itu. Oleh 
karena itu, perhubungan dagang antara negeri Cina 
daratan dan kerajaan Majapahit juga telah membawa 
pengaruh pada perubahan situasi perdagangan pada 
daerah-daerah kadipaten yang di bawahinya. 


Kadipaten Ponorogo yang juga di bawah kekuasaan kera- 
jaan Majapahit ternyata juga menjadikan daya tarik bagi 
pedagang- pedagang dari luar daerah yang datang untuk 
menjajakan barang dagangan, dan kemudian kebalikan- 
nya mereka membeli hasil bumi dan daerah Ponorogo. 
Tidak terkecuali bagi para bangsa Cina yang datang untuk 
berdagang, mereka datang ke Ponorogo untuk mendin- - 
kan rumah makan, membangun tempat hiburan, dan 
memperkenalkan cara berjudi moderen kepada 
masyarakat sekeliling yang didiaminya itu. 


Selama ini masyarakat Ponorogo belum mengenal per- 
mainan judi. Mereka hanya mengenal cara taruhan 
melalui *botohan’ sabung ayam jago jantan, atau adu 
orang kuat antar jago yang dipertarungkan. Para orang 
kuat yang diadu itu kemudian istilahnya 'dikalmg di 
tengah-tengah arena pertarungan yang dikelilingi oleh 
para petaruhnya, yaitu orang-orang yang menjagokan 
jagonya itu sebagai bahan taruhan. 


Ayam jago yang kalah bertarung, biasanya lalu disembe- 
lih oleh pemiliknya untuk dijadikan sebagai bahan 
masakan sate. Maka sejak saat itu orang Ponorogo suka 
membuat makanan sate dari ayam jantan. Sate Ponorogo 
kemudian makin dikenal rasanya lezat. Ada anggapan 
pada masa itu bahwa bagi mereka yang mau makan sate 
ayam jantan Ponorogo, maka ia akan menjadi petarung 
hebat seperti kehebatan ayam jantan sabungan. Maka 
kemudian makanan sate ayam jantan itu menjadi berkem- 
bang sebagai makanan yang populer sampai ke Trowulan 
pusat kerajaan Majapahit yang merupakan makanan khas 
dari orang-orang Ponorogo waktu itu. 


Kepandaian memasak sate ayam itu kemudian dikem- 
bangkan, ditekuni, dan dimonopoli hanya oleh dua dinasti 
yang saling berebut pengaruh di Ponorogo yaitu Dinasi 
Brang Kidul yang biasa mangkal di pojok Ngepos, tempat 
pusat berkumpul para pedagang asal dari luar kota 
Ponorogo, dan Brang Lor di Pasar Legi yang biasa seba- 
gai tempat berkumpul para pedagang lokal asal dan 
Ponorogo asli. 


Biasanya para pedagang sate ini banyak mangkal di po- 
jok-pojok jalan tengah kota yang banyak dikerumuni 
orang-orang yang sedang menyaksikan sabung ayam 


jago atau pertarungan antar orang-orang kuat yang di- 
jagokan dengan menggunakan taruhan uang keping. 
Bahkan, sejak masuknya pendatang Cina, cara ber- 
taruh itu makin menjadi-jadi. Pertaruhan mulai 
berkembang mengarah pada permainan judi yang 
menggunakan sarana kartu, domino, dadu, dan seba- 
gainya. 


Bandar-bandar judi yang dikelola oleh orang-orang Cina 
itu makin meramaikan suasana kehidupan malam di kota 
Ponorogo pada masa itu. Juga kebiasaan hidup jelek 
orang-orang Cina ikut menulari bangsa pribumi di 
Ponorogo, seperti madat, menghisap ganja, dan minum- 
minuman arak yang memabukan. 


Dari kegiatan kota seperti itu semuanya, kemudian 
penguasa Kadipaten dapat memungut upeti. Pajak judi, 
pajak permainan, pajak minuman keras, pajak ganja, 
pajak penghasilan rumah makan, pajak penginapan, 
pajak hiburan, dan rupa-rupa jenis upeti lain yang tiap 
hari dan malam mengalir ke kas daerah penguasa Kadi- 
paten. 


Kegiatan para pedagang Cina, misalnya seperti yang 
dilakukan oleh Koh Tiong pemilik rumah makan 
Kangkung Cah itu, yang ternyata juga memperkenalkan 
ilmu bela diri Cina, Kungfu yang dilatihkan secara ter- 
batas kepada para pungggawa prajurit Kadipaten, 
barangkali tujuannya agar di antara mereka ada hubungan 
kerjasama yang saling menguntungkan. Para pedagang 
Cina itu butuh perlindungan politik, keamanan, dan peri- 
jinan untuk menjalankan roda usahanya di daerah Kadi- 
paten Ponorogo. Sedangkan, sebaliknya bagi para prajurit 
punggawa Kadipaten itu, juga membutuhkan ilmu bela - 
diri untuk menunjang kariernya di bidang keprajuritan 
dan juga tambahan penghasilan pribadi dari hasil kontri- 
busi para pedagang Cina itu kepada mereka 


Latihan bela diri Kungfu Cina itu terutamabanyak diikuti 
oleh para anak buah Warok Sawung Guntur, sejak pergu- 
ruan bela diri itu ditutup untuk umum ketika pendekar 
Cina Koh Tiong selesai adu tanding dengan Warok Wu- 
lunggeni tempo bari itu. Di samping mereka telah 
menguasai ilmu kanuragan tradisional khas Ponorogo, 
mereka mendapatkan tambahan ilmu bela din dari 
Cina itu. Oleh karena itu, dengan mudah mereka telah 
terjalin hubungan vang erat antara orang-orang Cina 
itu dengan Warok Sawung Guntur bersama anak 
buahnya. 


Para pedagang Cina itu hanya berani tinggai di kota 
Kadipaten Ponorogo, kerena mendapatkan perlindungan 
keamanan dari Warok Sawung Guntur itu. Hampir dapat 
dikatakan tidak ada satu pun orang Cina yang berani 
tinggal di kota kecil di luar kota Kadipaten, sebab sudah 
jelas mereka akan menjadi sasaran perampokan para 
Begal yang menyukai orang-orang asing kaya bagi tujuan 
operasi mereka. 


Orang-orang Cina yang berdagang di Ponorogo itu 
umumnya mempunyai jaringan operasi dagang dengan 
sesama orang Cina antar daerah. Terutama dengan 
mereka yang tinggal di pusat pemerintahan kerajaan Ma- 
japahut di Trowulan. Hal demikian ini, sehingga mereka 
dapat bergerak secara leluasa karena kebijaksanaan pe- 
merintahan Prabu Brawijaya menerapkan sistem perda- 
gangan bebas. Banyak pedagang dari Tiongkok dapat 
langsung mengadakan hubungan dagang dengan orang- 
orang pribumi maupun dengan pemerintahan kerajaan 
Majapahit. 


Suasana yang serba memungkinkan tersebut telah mem- 
buat makin banyaknya barang-barang dari Cina beredar 
di pasaran. Di daerah Ponorogo, pedagang-pedagang 
Cina itu umumnya menjual beraneka rupa pakaian, ba- 
han-bahan kain, bahan dupa, kertas, lilin. rokok, arak, 
kemenyan. garam, dan mercon. Sedangkan mereka mem- 
beli hasil bumi dari penduduk setempat, terutama bahan- 
bahan pengobatan seperti sirih, temu lawak, jahe, Kunyit, 
daun-daunan lainnya lagi, tembakau, gula, dan seba- 
gairiya untuk dibawa pulang ke negeri leluhurnya, daratan 
Tiongkok sana. 


Para pedagang Cina itu juga memperkenalkan berbagai 
ilmu Cina kuno kepada masyarakat Ponorogo misalnya 
soal ilmu ketabiban, juga yang amat beken adalah ilmu 
cara meramal nasib, ilmu peramalan, ilmu tata letak 
bangunan yang disebutnya 'hongsui', ilmu perbintangan, 
ilmu sulap, ilmu perhitungan tahun misalnya tahun babi, 
tahun monyet, tahun macan, dan segala rupa. 


Rupanya segala sajian ilmu-ilmu aneh dari Cina itu ditang- 
gapi dingin oleh masyarakat Ponorogo. Hanya beberapa 
orang yang dapat dihitung jari berminat mau mempela- 
jarinya. Selebihnya banyak yang lebih menyukai meng- 
gunakan ilmu-ilmu yang digali dari daerah asli mereka 
masing-masing yang kaya di daerah Ponorogo. Mereka 
menganggap, Ponorogo gudangnya ilmu-ilmu gaib dan 
segala rupanya itu. Dan ilmu Cina yang mengandung 
kekuatan-kekuatan gaib yang mencoba di masyarakatkan 
di Ponorogo, tidak mendapatkan pasaran. Mereka keban- 
yakan masih lebih percaya kepada ilmu-ilmu yang tum- 
buh berkembang dan berasal dari Ponorogo asli daripada 
mempercayai ilmu-ilmu yang datang dari luar itu. 
Terkecuali Warok Wulunggeni, satu-satunya orang 
Ponorogo yang bisa menghargai dan mau mempelajari 
segala rupa ilmu yang datangnya dari mana saja itu. 


Babah Kongjie adalah nama orang Cina yang paling 
beken mengembangkan usaha dagang rokok dan tem- 
bakau di daerah Ponorogo. Ia banyak berhubungan da- 
gang dengan para pedagang pribumi di kota Ponorogo itu. 
Rumahnya yang terletak di pojok alun-alun kota 
Ponorogo itu, siang-malam senantiasa kedatangan tamu- 
tamunya untuk berhubungan dagang dengannya. Daerah 
itu kemudian dinamakan Pecinan, lantaran makin han 
makin banyak orang Cina pendatang yang berdiam di 
daerah tersebut. 


Babah Kongjie juga banyak mempekerjakan para jago- 
jago kepruk pribumi yang biasanya sangat loyal menga- 
mankan kepentingan kaum Cina dari gangguan para 
perusuh pribumi yang merasa iri atas makin majunya 
penguasaan pasar orang-orang Cina itu, sehingga meng- 
geser peranan para pedagang pribumi yang sebelumnya 
telah mencuat namanya. 


Demikian juga para jago kepruk itu berfungsi juga seba- 
gai tukang tagih. Orang-orang Cina mempunyai kebi- 
asaan untuk meminjamkan uangnya kepada 
pedagang-pedagang pribumi dengan bunga rente yang 
tinggi. Oleh karena itu waktu itu sangat dikenal sebutan 
"Cina Mendring", adalah para tengkulak Cina yang 
merangkap menjadi renternir. Namun tidak sedikit yang 
kemudian di antara mereka membentuk kongsi dagang 
bersama para pedagang pribumi. 


Dari situasi makin mendominasinya perdagangan 
barang-barang Cina ini yang kemudian memunculkan 
banyak begal-begal yang tujuannya adalah urituk mem- 
boikot tersebarnya barang-barang Cina itu di kota-kota 
kecil Ponorogo. Maka sejak saat itu daerah Ponorogo 
juga diramaikan oleh banyaknya gangguan keamanan. 
Begel-begal yang sewaktu-waktu siap menghadang di 
jalan bagi para pedagang yang dicungai memperda- 
gangkan barang-barang dan Cina itu. 


Tidak jarang para begal itu ada yang berasal dari para 
pemuda baik-baik yang lantaran kecintaannya kepada 
rasa kepribumiannya mereka melancarkan operasi pem- 
begalan kepada para pedagang pribumi yang memperda- 
gangkan barang-barang Cina ke daerah-daerah. Namun 
kemudian, banyak juga yang mulai ngawur, tidak saja 
mempunyai sasaran kepada barang-barang Cina tetapi 
barang apa saja yang dibawa pedagang dibegalnya. 


Keadaan ini yang kemudian telah memancing perhatian 
para warok yang tidak bisa menerima perlakuan para 
bekal yang main hantam kromo ini. Kalau saja mereka 
mempunyai sasaran hanya terhadap barang-barang Cina, 
mereka nampaknya mendukungnya, tetapi ternyata ban- 
yak laporan yang sudah mengarah makin brutal. Oleh 
karena itu akhirnya, selain para petugas pengamanan dari 
Kadipaten turun tangan, para warok yang menjadi ont- 
pleng-omplengnya penduduk daerah setempat pun ikut 
terjun menanggulagi masalah gangguan ini. 


Penguasa Kadipaten agaknya sangat memprioritaskan 
pengamanan hanya pada jalur utara. Sebab, jalur utara ini 
yang langsung menghubungkan antara kota Ponorogo 
dengan kota Trowulan. Berhubung ramainya lalu-lintas 
yang menggunakan jalur utara ini, maka para petugas 
pengamanan yang tangguh selalu disiagakan di sepanjang 
perjalanan jalur utara ini. Banyak berdiri gardu-gardu 
penjagaan. Patroli jalan yang dilakukan oleh prajunt 
pilihan, mengawasi di sepanjang jalan yang menuju 
kota Ponorogo dari arah kota Trowulan. Oleh karena itu 
para pedagang, para utusan dari Majapahit yang akan 
berkunjung ke kota Ponorogo mempunyai kesan sangat 
aman untuk datang ke kota Ponorogo. 


Lain halnya, untuk pengamanan daerah selatan, timur, 
dan barat, penguasa Kadipaten hanya mengandalkan 
kepada kemampuan para warok yang loyal kepada pe- 
merintah Kadipaten' yang kemudian diangkat sebagai 
kepala pengamanan daerah setempat. Kalaupun ada pa- 
troli keamanan keliling yang diadakan oleh para prajunt 
Kadipaten, biasanya terdiri dari rombongan pengawalan 
dalam jumiah besar, dan hal itu jarang terjadi. Hanya
kadang-kadang, memang ada barisan penjagaan penga- 
manan keliling yang dipimpin langsung oleh seorang 
Senopati Kadipaten untuk memeriksa pengamanan tiap 
daerah. Tetapi tidak terjadi tiap hari. Hanya pada daerah- 
daerah yang dilaporkan rawan kejahatan, baru diturunkan 
seorang Senopati beserta prajuritnya untuk membantu 
pengamanan daerah bersangkutan. Rombongan Senopati 
Kadipaten itu dalam menjalankan operasinya biasanya 
mengadakan koordinasi terlebih dahulu dengan Warok 
setempat yang bertugas sebagai kepala pengamanan 
daerah bersangkutan itu. 


Warok Sawung Guntur sebagai orang yang dijagokan 
oleh Penguasa Kadipaten dalam menanggulangi setiap 
kemelut keamanan yang terjadi di daerah. Namun oleh 
Kanjeng Adipati, Warok Sawung Guntur justeru diberi 
tugas yang tidak berhubungan dengan warok- warok 
lainnya. Ia mendapat tugas khusus untuk menga- 
mankan daerah jalur utara yang membawahi prajurit- 
prajurit pengawalan andalan yang dilatih khusus untuk 
keperluan itu. 


Sawung Guntur sebagai warok justeru tidak diberi tugas 
untuk membawai daerah-daerah selatan, timur dan barat, 
dimana di tiap daerah telah diangkat kepala pengamanan 
daerah diambilkan dari sosok seorang warok yang 
disegani di masing-masing daerah di situ. Pengaturan ini 
dilakukan oleh Kanjeng Adipati dengan pemahaman 
bahwa bagi seorang warok sejati, ia tidak mau diperintah 
atau dibawahi oleh warok lainnya. Harga dirinya akan 
bangkit bila diungkit-ungkit soal bawahan atasan oleh 
sesama warok itu. Oleh karena itu, atas pemahaman ini 
Kanjeng Adipati cukup mengerti perangai para warok itu 
yang tidak bisa diatur oleh sesama warok, maka dalam 
koordinasi warok-warok di daerah itu langsung diasuh 
oleh Patih Brojosento, sedangkan usulan pengangkatan 
seorang warok menjadi kepala pengamanan daerah serta 
pengawasan operasionalnya biasanya ditugaskan kepada 
senopati- senopatinya. Selain itu, tugas bagi para senopati 
juga dipersiapkan untuk memberikan tenaga perbantuan 
apabila misalnya di suatu daerah terjadi kerawanan yang 
memerlukan bantuan kekuatan tambahan 


Meskipun Kanjeng Adipati telah bekerja dengan baik dan 
telah mempertimbangkan segala sesuatunya dari berba- 
gai seginya, terutama dalam hal soal pengaturan penga- 
manan daerah Ponorogo ini, namun di beberapa daerah, 
masih juga selalu terdengar berita mengenai terjadinya 
kekacauan-kekacauan yang tidak ayal juga sering meli- 
batkan adanya bentrokan antar para warok di daerah 
bersangkutan. 


BERSAMBUNG