Warok Ponorogo 4 - Pertikaian Kawula - Gusti(1)

1
HIDUP BERTANI 


SIRAH KETENG merupakan nama sebuah Dukuh yang memiliki 
sumber air jemih yang terus-menerus mengalir sepanjang tahun, 
sehingga telah memberikan berkah bagi kehidupan penduduk di 
tempat itu. Konon pada masa pendudukan Kerajaan Kahuripan 
ketika masih di bawah Raja Airlangga dahulu kata, setelah ber- 
perang melawan Kerajaan Wengker penguasa daerah Ponorogo, 
di daerah Dukuh Sirah Keteng ini diciptakan oleh beliau sebagai 
daerah pertanian yang subur. 

Sistem penataan pengairan telah dibangun di masa pen- 
dudukan Kerajaan Kahuripan dahulu kala itu, sehinggatelah 
memungkinkan bagi rakyat di daerah ini bisa bertani sepan- 
jang tahun secara terus-menerus. Demikian juga sistem iri- 
gasi teknis dan penyulingan air minum alami telah 
dikembangkan di daerah Sirah Keteng ini pada masa pen- 
dudukan Kerajaan Kahuripan dahulu itu, yang sisa-sisa 
pembangunannya masih tertinggal dan terpelihara dengan 
baik oleh penduduk setempat hingga sekarang. 


Sudah hampir dua bulan ini Warok Wulunggeni mem- 
boyong keluarganya pindah rumah ke daerah Dukuh Sirah 
Keteng ini. la hidup bertani bersama penduduk setempat. 
Membangun rumah besar dengan mengambil kayu-kayu jati 
yang ditebang dari hutan di bukit gunung pegat yang terletak 
di daerah sebelah wetan sana. Lama-lama, kian hari mulai 
nampak kesejahteraan keluarga Warok Wulunggeni dari 
hasil bertani, memelihara ikan, berburu babi hutan, dan 
isterinya jualan di pasar itu. 


Beberapa pemuda kampung juga terbiasa berkumpul di rumah 
Warok Welunggeni vang berhalaman luas itu untuk 
melakukan latihan gemblengan penyaluran ilmu kanuragan, 
ilmu ketinggian bathin, maupun melakukan latihan bela diri 
tradisional pencak-silat, yang diajarkan di bawah pengawasan 
langsung Warok Wulunggeni. Orang-orang kampung 
menyeganinya sebagai Warok yang dikatakan memiliki ke- 
unggulan ilmu kanuragan tinggi


Sejak kedatangan Warok Wulunggeni di daerah Dukuh Sirah 
Keteng ini, nampak memang telah terjadi perubahan besar dalam 
tata kehidupan penduduk di daerah ini. Hasil pertanian meningkat 
banyak dilakukan untuk dipasarkan ke masyarakat luas. dikirim ke 
daerah-daerah lain sebagai barang dagangan yang dapat men- 
datangkan keuntungan besar bagi penduduk Sirah Keteng. 


Gangguan terhadap penduduk dari jarahan para perampok dan 
para begal di jalan tidak terdengar lagi sejak Warok Wulung- 
geni tinggal di Dukuh Sirah Keteng itu. Para perampok tahu 
bahwa kini penduduk Sirah Keteng di bawah perlindungan 
“Warok Wulunggeni yang juga dikenal mempunyai kawan- 
kawan akrab di antara para begal di dunia hitam. Sehingga ` 
sebagai rasa hormat terhadap Warok Wulunggeni, para begal 
itu tidak pernah ada yang mau mengganggu penduduk dimana 
Warok Wulunggeni tinggal di situ. 

Para pedagang yang akan menjual hasil pertaniannya ke kota, 
apabila diketahui mereka penduduk Sirah Keteng, kini mereka 
akan merasa aman saja dari berbagai gangguan tindakan keja- 
hatan dijalan. Tidak sebagaimana sebelumnya mereka merasa 
was-was tiap kali di jalan berpapasan dengan para begal, akan 
selalu menjadi korban perampasan hartanya. Perubahan 
suasana ini yang kemudian membuat penduduk merasa ten- 
teram, dan merasa berhutang budi kepada Warok Wulunggeni. 
Mereka merasa mendapat pengayoman keamanan dari kehadi- 
ran seorang Warok yang disegani oleh penjahat-penjahat di 
daerahnya itu. 


Daerah Sirah Keteng, selain termashur namanya oleh pertanian- 
nyayang berkembang pesat, jugadikenal maju oleh adanyausaha 
peternakan lembu dan kuda. Para pedagang yang membutuhkan 
kuda dan lembu untuk menarik dokar penumpang dan gerobak 
angkutan barang, biasanya akan membeli hewan-hewan tersebut 
kepada penduduk di Sirah Keteng ini. Demikian juga pemeli- 
haraan ikan darat seperti ikan lele, ikan mujahir, ikan wader, 
banyak ditemakkan oleh penduduk Sirah Keteng ini. Pendeknya 
kehidupan penduduk di daerah ini menjadi begitu makmur sejak 
kehadiran Warok Wulunggeni yang bergaul akrab dengan pen- 
duduk setempat, mempunyai teman-teman dekat di kalangan 
dunia hitam, tetapi ia nampak begitu tidak suka berurusan dengan 
orang-orang Penguasa Kadipaten. 

Ilmu pengetahuan bertani yang dimiliki Warok Wulunggeni 
diperoleh dari juragan Raden Mas Poerboyo pengusaha beken 
di Trenggalek ketika itu ia tinggal lama di sana. Warok Wu- 
lunggeni kini dapat menerapkan ilmu pengetahuan bertaninya 
itu ketika ia pemah tinggal beberapa bulan di Trenggalek itu. 
Ketika ia mendapatkan perlakuan istimewa dari keluarga pen- 
gusaha kaya Raden Mas Роефоуо di Trenggalek beberapa 
tahun yang lalu, peda waktu itu ia akan pergi ke Blitar selatan 
menuntut ilmu itu. Lantaran ia berjasa menyelamatkan Raden 
Mas Poerboyo dari gangguan para begal di kampung kecil di 
Lembah Dangkal itu, maka sebagai imbalannya ia mendapat- 
Кап ilmu pengetahuan pertanian dari juragan kaya itu. Penge- 
tahuan bertani itu yang kini sangat berguna untuk diterapkan 
di ladang pertaniannya di Sirah Keteng ini. 

Pada suatu hari Pak Lurah Tunggul Anom sebagai orang yang 
dituakan oleh penduduk setempat, dan dianggap sebagai se- 
sepuh di kelurahan Sirah Keteng, mengundang Warok Wu- 
lunggeni untuk datang ke balai kelurahan. 


“Dimas Wulunggeni," kata Pak Lurah Tunggul Anom, ketika 
telah bertemu dan duduk bersama di pendopo kelurahan ber- 
sama Warok Wulunggen "Kehadiran Dimas Wulung di kelu- 
rahan ini, sebenarnya ada hal penting yang ingin aku 
bicarakan." 


“Soal apa kiranya, Pak Lurah," kata Warok Wulungggeni. 


“Begini Dimas Wulung. Kemarin aku dipanggil Kanjeng Adi- 
pati. Menurut catatan beliau yang dilaporkan oleh para peng- 
gede yang ditugasi untuk mengurusi kesejahteraan penduduk 
kadipaten, dikatakan bahwa daerah kita ini, di Dukuh Sirah 
Keteng ini digolongkan sebagai daerah makmur. Tidak sama 
keadaannya apabila dibandingkan dengan kemakmuran 
“daerah-daerah lain di seluruh Kadipaten kita ini. Daerah Sirah 
Keteng termasuk paling menonjol." 


“Lalu, apa kira-kira yang diinginkan oleh Kanjeng Adipati 
terhadap kemakmuran daerah kita ini, Pak Lurah.” 


"Begini Dimas. Penguasa Kadipaten akan menetapkan be- 
samya upeti yang harus dibayar penduduk Sirah Keteng ini 
lebih besar daripada penduduk dari daerah lain. Sebab kita di 
sini bisa menanam dan panen hampir sepanjang tahun. Setahun 
kadang kala, bisa mencapai tiga kali panenan. Atau yang tetap 
dan pasti, dua kali panen setahun. Maka upeti vang ditetapkan 
untuk daerah kita besarnya juga harus tiga kali dari upeti yang 
selama ini sudah diundangkan oleh Penguasa Kadipaten." 


“Mengapa, besarnya upeti sampai tiga kali begitu, Pak Lurah." 


"Ya. Itu tadi. Kita dikatakan sering memanen sampai tiga kali 
panen itu tiap tahunnya, maka upetinya juga tiga kali lipat." 


Suasana menjadi hening sejenak. Warok Wulunggeni nam- 
ракпуа sedang berpikir dalam. Akan tetapi ia tidak kuasa 
segera memberikan komentar apa-apa. Kemudian terdengar 
kembali suara Pak Lurah Tunggul Anom yang rambutnya 
Sudah memutih semua itu. 


"Nah, Dimas Wulunggeni. Aku mengundang Dimas kemari 
untuk berbicara empat mata ini, karena aku tahu. Pengaruh 
Dimas Wulung terhadap penduduk di sini sangatlah menen- 
tukan. Sebelum masalah ini aku musyawarahkan bersama 
penduduk, aku minta pertimbangan Dimas Wulunggeni. Ba- 
gaimana sebaiknya sikap kita dalam menghadapi masalah ini." 


"Pak Lurah, dalam soal ini nampaknya saya tidak ingin men- 
dahului penduduk untuk memberikan tanggapan pagi-pagi. 
Sebaiknya Pak Lurah segera saja mengundang seluruh warga 
penduduk Sirah Keteng dan memusyawarahkan dengan baik 
bal ini. Saya tidak ingin mempengaruhi pendapat warga 
penduduk kita ini. Kalau secara serempak dan kompak, 
"penduduk menyetujui ketetapan Kanjeng Gusti Adipati, saya 
ikut menyetujui. Kalau penduduk menolak. Saya juga ikut 
menolak. Biarkan saja langsung kita musyawarah bersama 
saja. Pak Lurah." 


“Baiklah kalau demikian Dimas Wulunggeni. Esuk hari aku 
akan undang semua warga untuk datang di balai kelurahan. 
Dan juga Dimas Wulung, saya harapkan juga datang." 


"Ya, Pak Lurah. Saya pasti datang." 


Pagi hari itu pendopo kelurahan nampak telah dipenuhi sesak 
oleh warga Sirah Keteng yang datang atas undangan Pak Lurah 
Tunggal Anom sebagai penguasa kelurahan yang disegani 
penduduk di sini. Setelah Pak Lurah membuka musyawarah 
penduduk pagi hari ini, dan menjelaskan maksud dan tujuan 
diadakan musyawarah warga pagi ini, maka kemudian Pak 
Lurah Tunggul Anom membuka kesempatan untuk bertanya- 
jawab. 


"Bagaimana menurut bapak-bapak dan ibu-ibu, apakah rencana 
penetapan upeti yang sebentar lagi akan diundangkan oleh 
Penguasa Kadipaten ini dapat kita setujui. Saya mohon pendapat 
dan kesepaktan bapak-bapak dan ibu-ibu. Silakan," kata Pak 
Lurah Tunggul Anom. 


Seorang yang berpenampilan agak lanjut usia mengacungkan 
jari minta bicara. 


"Saya menyatakan tidak setuju, Pak Lurah. Sebab, saya rasa 
tidak adil cara penetapan yang berbeda-beda ini. Yang 
namanya keadilan itu ya kesamaan itu. Kalau tidak sama, tiap 
daerah ditetapkan berbeda-beda, itu namanya bukan keadilan. 
Tetapi menginjak-injak keadilan. Sekali lagi saya tidak setuju." 


Setelah laki-laki setengah baya itu mengakhiri bicaranya, maka 
giliran selanjutnya, seseorang lainnya mengacungkan tangan 
minta kesempatan bicara. "Bagaimana kalau Pak Lurah 
bersama Kangmas Wulunggeni yang menghadap Kanjeng 
Gusti Adipati untuk menyampaikan penolakan rencana penetatapan
upeti yang berbeda dengan daerah lain itu. Kalau Kakang 
Wulunggeni tidak setuju dan memberikan sikap menolak, 
maka kami semua saya rasa akan ikut berdiri di belakang 
Kangmas Wulung," kata seorang laki-laki yang nampak masih 
muda perkasa itu. 


“Bagaimana pendapat Dimas Wulunggeni," tanya Pak Lurah 
tiba-tiba diarahkan kepada Warok Wulunggeni yang sedari tadi 
hanya diam saja mendengarkan pembicaraan penduduk warga 
Dukuh Sirah Keteng yang nampak makin gelisah itu. 


"Рак Lurah yang bijaksana, setelah memperhatikan semua 
pembicaraan yang disampaikan oleh warga. Arahnya memang 
setuju untuk menolak rencana ketetapan upeti itu. Dan saya 
juga ikut mendukung kalau itu telah menjadi kesepakatan 
Galam musyawarah ini. Akan tetapi tadi disebut-sebut agar 
saya bersama Pak Lurah yang diminta untuk menyampaikan 
isi penolakan ini langsung ke hadapan Kanjeng Gusti Adipati. 
Mengenai ini. Saya tidak setuju. Sebaiknya Pak Lurah sendiri 
saja yang menyampaikan. Sebab, kalau bersama dengan saya, 
justeru pasti akan menimbulkan anggapan yang macam-macam. 
Dikira ini semua saya yang bikin ulah. Apalagi ditambah 
hubungan saya dengan para penggede Kadipaten selama ini 
sudah tidak ramah lagi sejak peristiwa adu tanding antara diri 
saya dengan Warok Surodilogo beberapa tahun yang lalu. 
Alangkah lebih arif kalau yang menyampaikan keputusan 
musyawarah warga ini Pak Lurah sendiri saja di dampingi oleh 
para pamong kelurahan. Kami semua warga berdiri di be- 
lakang Pak Lurah," kata Warok Wulunggeni. 


Setelah mendengar ucapan Warok Wulunggeni, nampak para 
warga terdengar berkeluh-kesah menyangsikan keberhasilan 
tuntutan penolakan warga terhadap kebijaksanaan baru yang 
akan diterapkan oleh penguasa Kadipaten itu. Mereka meny- 
angsikan kemampuan Pak Lurah akan bisa bersikap tegas 
menyampaikan tolakan itu. 


Menanggapi suasana keluh kesah para warga tersebut, ke- 
mudian Pak Lurah Tunggul Anom berusaha keras untuk 
meyakinkan kepada warga. 


"Bapak-bapak dan ibu-ibu, soal penolakan itu sebenamya 
sudah saya sampaikan seketika itu juga pada saat pertemuan 
pertama kali dengan Kanjeng Gusti Adipati di pendopo kadi- 
paten pada waktu itu. Saya katakan kepada Kanjeng Gusti 
Adipati, kami mohon keadilan untuk disamakan saja dengan 
daerah lain. Sebab, apabila ada pembedaan-pembedaan akan 
menimbulkan keresahan penduduk. Akan tetapi kata Kanjeng 
Gusti Adipati bahwa mengenai rencana ini telah dimufakatkan 
bersama semua penggede Kadipaten, demikian juga sudah 
dimintakan pengarahan dari Penguasa di Kerajaan Majapahit 
yang membawahi Kadipaten Ponorogo kita ini. Oleh sebab itu. 
upaya-upaya untuk memecahkan masalah pungutan upati ini 
bagi penguasa Kadipaten Ponorogo sebenarnya juga berat, 
akan tetapi semuanya juga sangat bergantung pada jumlah 
yang harus disetor kepada penguasa di Majapahit, Untuk men- 
capai angka setoran upeti yang telah ditetapkan oleh pihak 
penguasa Majapahit itu, maka selama ini bagi poenguasa Kadi- 
paten Ponorogo selalu berkurang, maka dicarikan jalan peme- 
cahan untuk melipatgandakan jumlah upeti bagi daerah-daerah 
makmur yang mampu memberikan upeti lebih besar lagi, 
termasuk daerah kita di Sirah Keteng ini. Oleh karena itu, 
sepertinya kita tidak kuasa lagi untuk menolaknya. Sebab, kita 
dinyatakan mampu untuk membayar upeti itu sesuai jumlah 
penghasilan yang kita peroleh dari hasil panenan kita yang 
biasanya bisa mencapai tiga kali setahun itu," penjelasan 
Pak Lurah Tunggul Anom yang nampak berusaha menjadi 
pengabdi yang baik kepada penguasa daerah kadipaten, dan 
juga berusaha mengemong kemauan warga yang dipimpin- 
nya itu. 


Suasana menjadi hening, tidak ada seorang pun yang ber- 
suara. Kemudian suara Warok Wulunggeni memecahkan ke- 
sunyian itu. 


"Pak Lurah yang kami hormati. Mendengar penjelasan bapak 
yang cukup luas itu, memang nampaknya kita tidak ada pilihan 
lain kecuali menuruti keputusan penguasa kadipaten. Namun, 
kami punya usulan agar penetapan tiga kali lipat dari jumlah 
upeti sebelumnya itu tidak ditetapkan secara angka mati. Mak- 
sudnya, apabila kita pada suatu saat tidak bisa menanam dan 
memanen tiga kali setahun, maka angka tiga kali jumlah upeti 
itu dimintakan kepada penguasa kadipaten agar tidak dipak- 
sakan. Harus disesuaikan dengan keadaan panenan kita. Kalau 
kita ternyata hanya mampu memanen dua kali atau bahkan 
hanya satu kali dalam satu tahun, maka upetinya yah disesuai- 
kan. Yang dua kali panen yah dua kali bayar upeti. Yang satu 
kali panen yah bayar satu kali. Kecuali memang ada yang 
mampu panen tiga kali, yah wajib bayar tiga kali. Kalau 
penerapan ketentuan bayar upeti ini luwes begini, bagi saya 
setuju-setuju saja. Akan tetapi kalau sudah dipatok angkanya, 
harus tiga kali, bagaimana pun keadaannya. Itu saya tidak 
setuju. Ini jelas tidak adil. Kan begitu tho bapak- bapak dan 
ibu-ibu... setuju thooo." 

"Iyahhbh...setujuuuuuu." teriak para warga serempak 
menyambut kata-kata Warok Wulunggeni itu. 


"Baiklah, bapak-bapak dan ibu-ibu. Kiranya usulan Dimas 
Wulunggeni itu bisa kita mufakati," kata Pak Lurah kemudian. 
"Dan saya sebagai orang yang bapak-bapak dan ibu-ibu 
percaya untuk mengurus keadaan kampung kita ini akan 
berusaha sedapatnya untuk memperjuangkan segala hasil 
keputusan musyawarah warga ini. Apakah masih ada yang 
ingin bicara lagi." 

“Cukup. Cukup. Sudah cukup, Pak Lurah." kata seorang 
pemuda berkulit hitam legam yang duduk paling depan itu. 
Dan penduduk lainnya pun nampaknya juga sudah pada setuju 
mengenai keputusan hasil pertemuan warga itu. 


“Baiktah, kalau sudah tidak ada yang perlu kita musyawarahkan, 
pertemuan siang ini saya tutup," demikian kata akhir 
Pak Lurah Tunggul Anom menutup musyawarah warga 
hari itu. 


Pertemuan warga hari itu menghasilkan keputusan untuk 
menerima rencana penetapan upeti yang akan dikenakan oleh 
penguasa Kadipaten Ponorogo kepada para warga kelurahan 
Dukuh Sirah Keteng dengan catatan tambahan sebagaimana. 
yang diusulkan oleh Warok Wulunggeni itu. 


2
MUSIM PACEKLIK 


KADIPATEN Ponorogo sedang dilanda musim paceklik yang 
berkepanjangan. Musim kemarau panjang ini temyata telah 
membawa bencana bagi rakyat yang tidak semata-mata terjadi 
di Kadipaten Ponorogo saja, akan tetapi menurut sumber 
desas-desus yang beredar di masyarakat kejadiaan musibah ini 
telah melanda di hampir seluruh pulau Jawa. 


Para petani tidak bisa menanam padi karena tidak mendapatkan 
kucuran air hujan lagi. Sungai kering, sama sekali tidak ada air 
yang mengalir setetes pun. Sumur-sumur penduduk pun telah 
digali berulang kali untuk didalamkan agar memperoleh sumber 
mata air. Akan tetapi nampaknya usaha itu tetap sia-sia untuk 
mendapatkan aliran air yang berlimpah. Penduduk makin 
panik dibuatnya. 


Harga-harga bahan pangan, terutama beras, tiap hari terus 
meningkat naik, bahkan semakin sulit didapat di pasar bebas. 
Banyak penduduk yang sakit busung lapar. Berita rakyat mati 
kelaparan hampir tiap hari terdengar di pelosok-pelosok kampung. 


Menurut berita yang beredar di masyarakat, Kanjeng Gusti 
Adipati telah meminta bantuan kepada pemerintah pusat, pen- 
guasa Kerajaan Majapahit di Trowulan. Akan tetapi segala 
impian akan datangnya bala bantuan yang diharapkan itu 
sampai sekarang belum juga kunjung datang. Sebab ternyata. 
keadaan yang diderita oleh daerah Kadipaten Ponorogo itu 
juga dialami oleh daerah-daerah kadipaten lainnya yang masih 
di bawah penguasaan Kerajaan Majapahit pula. 

Suasana yang mencekam ini telah menimbulkan kegelisahan 
masyarakat Ponorogo. Timbul kasak-kusuk, bahwa penda- 
patan penguasa kadipaten yang diperoleh dari pungutan 
kepada masyarakat Ponorogo hanya diambil untuk membe- 
sarkan kerajaan Majapahit, tetapi tidak pemah sedikit pun 
untuk memikirkan kesejahteraan rakyat Ponorogo, walaupun 
dalam keadaan yang sulit seperti musim paceklik sekarang ini, 
tidak nampak perhatian pemerintahan pusat di Trowulan itu 
untuk ikut memecahkan masalah kesulitan pangan di daerah 
Kadipaten Ponorogo ini. 


Para sesepuh masyarakat Ponorogo dan para warok yang hidup 
di tengah-tengah masyarakat tiap hari selalu berkumpul mem- 
bicarakan segala rupa keadaan yang menimpa daerahnya. 
Mereka berembug bersama untuk memecahkan masalah ke- 
sulitan pangan ini. Tentunya mereka itu juga sambil menunggu 
apa yang akan diperbuat penguasa daerah Kadipaten terhadap 
kesulitan pangan rakyatnya ini. 

Dalam situasi sulit seperti ini, nampaknya hanya rakyat yang 
tinggal di daerah Sirah Keteng saja yang kelihatan tidak 
merasakan kesulitan pangan. Mereka kelihatan tidak 
menerima pukulan hebat dari akibat musim paceklik tahun ini. 
Lumbung- lumbung padi mereka tetap terisi, walaupun tidak 
penuh sebagaimana tahun-tahun yang lalu. Tanaman padi- 
padi mereka nampak tetap menghijau, dan menguning 
ketika hendak dipanen. Walaupun hasilnya memang jauh 
berkurang dari kebiasaan tahun-tahun sebelumnya. Namun, 
bagaimana pun keadaannya, mereka nampaknya masih tetap 
saja bisa menanam dan memanen hasil. 


Berkat penerapan sistem irigasi pengairan vang baik. pe- 
meliharaan sumber-sumber air yang terlindung di tengah 
hutan yang lebat. Nampaknya sumber air itu tetap terjaga 
baik. Terus mengucur. Walaupun kini jauh sangat 
berkurang, akan tetapi masih lumayan. Paling tidak masih 
dapat menggenangi sawah-sawah penduduk dengan aman. 
Petani seperti biasa bekerja menanam padi sepanjang tahun, 
dan menuainya apabila sudah musim panen tiba. Tidak ada 
berita kelaparan maupun berita kekurangan pangan dari 
daerah Sirah Keteng ini. Hal ini cukup istimewa. Sirah 
Keteng merupakan daerah satu-satunya dari daerah-daerah 
lain yang ada di Kadipaten Ponorogo yang kelihatan paling 
makmur. 


Berita mengenai kemakmuran dan tidak adanya masalah 
kekurangan pangan di daerah Sirah Keteng ini, kemudian 
telah menarik perhatian kalangan penggede Kadipaten. 
Demikian juga berita itu telah sampai ke hadapan Kanjeng 
Gusti Adipati. 


Siang itu nampak ada pertemuan penting di Sasana 
Kadipaten. Kanjeng Gusti Adipati sedang dihadap 
oteh para penggede Kadipaten. Mereka nampak sedang 
melakukan permusyawaratan serius dalam meng- 
hadapi kemelut sulit pangan pada musim paceklik ke- 
marau panjang ini. 


"Para sesepuh, dan pejabat tinggi Kadipaten yang hadir. Bagai-
mana sebaiknya mufakat kalian dalam menghadapi musim 
paceklik berkepanjangan ini.” Kata Kanjeng Gusti Adipati 
membuka pertemuan para penggede Kadipaten siang іі: "Aku 
telah menerima laporan mengenai makin sulitnya rakyat kita 
untuk mendapatkan bahan pangan. Bencana terjadi dimana- 
mana, Penyebaran wabah penyakit terus merajalela. Busung 
lapar, dan berita kematian penduduk terjadi tiap hari. Tapi aku 
juga menerima laporan khusus yang sangat menarik. Bahwa di 
daerah Sirah Keteng Ponorogo selatan, di sana justeru telah 
terjadi kelebihan Lahan pangan, sehingga tidak аба satu orang 
pun di sana yang kesulitan untuk mendapeikan bahan pangan. 
Dalam musyawarah terbatas beberapa hari yang lalu telah 
diusulkan kepada saya, bahwa daerah Sirah Keterg akan kita 
jadikan sebagai daerah penyangga pengadaan bahan pangan 
penduduk. Menjadi daerah pengelolaan dan pengawasan yang 
langsung ditangani oleh pemerintah penguasa Kadi "kata 
Kanjeng Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti memberikan 
pengarahan sambil meminta pertimbangan-pertibangan 
kepada para penggede yang diundang hadir pada pertemuan 
penting hari itu. 

“Ampun Kanjeng Gusti Adipati", kata Wongsongalundro 
sebagai pejabat tinggi Kadipaten yang bertanggung jawab atas 
kesejahteraan dan pengadaan pangan rakyat. Dia adalah yang 
pada pertemuan sebelumnya telah mengusulkan mengenai 
pengambilalihan pengelolaan daerah Sirah Keteng dari 
penduduk setempat untuk beralih penguasaan kepada pemerintah 
Penguasa Kadipaten, "Perlu kami tambahkan mengenai laporan 
kami terdahulu, Kanjeng Gusti. Pertimbangan kami dalam. 
usulan itu sebenarnya hanya semata-mata atas perhitungan 
yang menyangkut soal pengadaan bahan pangan saja, tetapi 
kami tidak mempertimbangkan timbulnya masalah lain apabila 
usulan kami itu dapat diterima, misalnya adanya akibat yang 
akan menimpa rakyat bagi tanahnya yang akan kita ambil alih 
untuk keperluan daerah penyangga bahan pangan ini. Mungkin 
akan berakibat timbulnya keresahan penduduk, atau bahkan 
lebih jauh kemungkinan pemberontakan penduduk yang 
tanahnya kita akan ambil alih. Mengenai soal pengamanan dan 
keresahan penduduk ini bagi hamba kurang mengerti. Tentu 
pejabat yang bertanggung jawab soal ini, mohon dimintai 
pertimbangannya terlebih dahulu sebelum kita mengambil 
keputusan. Apalagi menurut laporan yang hamba terima dari 
para perabantu hamba, dikatakan bahwa di daerah Dukuh Sirah 
Keteng itu kini berada di bawah penguasaan pengamanan 
Warok Wulunggeni. Dia ini yang kini hidup di sana menjadi 
tokoh idola bagi rakyat setempat. Lantaran ia telah berhasil 
memimpin penduduk untuk mengembangkan daerah pertanian 
yang maju di daerah itu. Walaupun resminya daerah itu berada 
di bawah kekuasaan Lurah Tunggal Anom yang beberapa 
bulan yang lalu telah kita minta menghadap kemari berkaitan 
dengan penetapan kenaikkan upeti untuk daerah itu. Oleh 
karena itu, apakah hal ini akan mungkin dilaksanakan. Sebab, 
timbul kekhawatiran, apabila rencana pengambilalihan daerah 
Sirah Keteng itu dari penduduk jadi dilaksanakan, apakah kita 
nanti tidak dianggap bertindak ceroboh. Untuk menjadikan 
daerah penyangga pengamanan pangan yang di bawah 
pengelolaan dan pengawasan penguasa Kadipaten di daerah 
Sirah Keteng itu, kita baru memperhitungkan satu sisi saja, 
belum memperhitungkan kemungkinan protes penduduk, dan 
lain sebagainya. Apakah kitaakan terus-menerus mengabaikan 
kedudukan Warok Wulunggeni di tengah-tengah masyarakat 
di daerah itu yang bisa-bisa akan merupakan ancaman besar 
bagi keamanan baru di kadipaten kita. Begitu 
kira-kira pendapat hamba, Kanjeng Gusti Adipati,” urai 
Wongsongalundro nampak memberikan pertimbangan yang 
penuh hati-hati. 


"Bagaimana menurut hemat Kangmas Empu Tonggreng 
mengenai pendapat Wongsongalundro ini", kata Kanjeng 
Adipati menanggapi laporan Wongsongalundro sebagai 
penggede yang bertanggung jawab pada soal kesejahteraan 
dan pengadaan pangan penduduk itu, "Apakah masalah ini 
akan peka menimbulkan perkara yang berlarut mengingat 
posisi Warok Wulunggeni yang menurut laporan yang aku 
terima, ia pemah merasa sangat kecewa terhadap kita di 
Kadipaten ini, ketika waktu itu ia harus menelan kepahitan, 
menerima kekalahan adu tanding melawan Warok 
Surodilogo beberapa tahun yang lalu itu. Katanya ia menyesalkan 
keputusan kita untuk mengadakan adu tanding itu. 
Nah, kalau sekarang kita melakukan hal-hal yang 
menyangkut pada dirinya, menggusur kediaman dan 
usaha pertanian dia, kemudian mengambil alih upaya 
yang telah lama dirintis oleh Warok Wulunggeni di 
daerah Sirah Keteng ini, apakah tidak akan menimbulkan 
kerusuhan baru," ujar Kanjeng Adipati Sampurnoaji 
Wibowo Mukti nampak bijaksana. 


"Kanjeng Gusti Adipati," kata Empu Tonggreng kemudian, 
"Perkara kemungkinan terjadi keributan itu jangan terlalu 
dipikirkan. Kanjeng Gusti Adipati sebagai penguasa daerah, 
berhak melakukan apa saja demi untuk menyelamatkan 
kepentingan umum. Nasib rakyat Ponorogo yang sedang 
menderita kelaparan sekarang ini lebih penting untuk 
dipikirkan daripada harus bersusah-susah memikirkan soal si 
Wulunggeniitu. Kalau ada apa-apa dari tingkah Warok Wulunggeni 
nanti, para pengaman Kadipaten yang akan memberesi. Semua ` 
kekuatan yang ada di kadipaten ini siap untuk mengamankan 
keadaan. Lagipula masih ada Warok Surodilogo yang telah 
Kanjeng Gusti Adipati tunjuk sebagai penguasa keamanan di 
daerah Dukuh Dawuan itu. Warok Surodilogo sebagai pamong 
kadipaten yang mempunyai jabatan sebagai pengamanan 
daerah itu masih bisa kita gerakan untuk menghadapi Warok 
Wulunggeni kalau Si Wulung itu mau macam-macam berani 
bikin ulah. Jadi perkara itu tidak periu Kanjeng Gusti Adipati 
risaukan. Para penguasa pengamanan yang akan menjalankan 
tugas pengamanan itu. Saya rasa Dimas Warok Sawung Guntur 
pun akan setuju dengan pendapat hamba ini, Kanjeng Gusti 
Adipati". 

"Yah. Bagaimana pendapatmu, Dimas Sawung Guntur", tanya 
Kanjeng Adipati kepada Warok Sawung Guntur yang selama 
ini menjadi ompleng-omplengnya penguasa Kadipaten 
Ponorogo, siang itu juga ia ikut hadir dan berusaha memberikan 
pendapatnya. 


“Ampun Kanjeng Adipati,” kata Warok Sawung Guntur yang 
diminta bicara pada pertemuan di Kadipaten siang itu, "Pendapat 
hamba sama persis dengan pendapat Kangmas Empu Tonggreng. 
Jadi memang sekarang ini yang perlu kita pikirkan mendesak 
adalah soal kesulitan bahan pangan penduduk kadipaten. Oleh 
karena itu, yah soal pangan itu yang kita segera usahakan untuk 
dicarikan jalan keluarnya. Harus segera kitaatasi. Kalau sudah 
ada jalan keluar mengatasinya, kemudian ternyata akan 
berkaitan dengan soal lain, misalnya menyangkut 
keamanan dan kemungkinan pemberontakan penduduk 
yang terkena rencana daerah penyangga pengadaan bahan 
pangan itu, maka petugas pengamanan yang akan menga- 
mankan keadaan. Hamba sanggup membantu sepenuhnya un- 
tuk mengamankan semua daerah yang akan menghalangi ren- 
cana pengadaan pangan ini. Demikian kiranya pendapat 
hamba, Kanjeng Gusti Adipati," tandas Warok Sawung Guntur 
yang selama ini setia mengabdi bagi kepentingan penguasa 
Kadipaten itu. 

“Bagaimana pendapatmu Wongsongalundro setelah men- 
dengar pendapat Kangmas Empu Tongreng dan Dimas 
Sawung Guntur itu tadi. Apakah engkau masih ada pertim- 
bangan lain." 


"Ampun Kanjeng Gusti Adipati. Kalau sekiranya para peng- 
gede yang bertanggung jawab soal keamanan telah memberi- 
kan pertimbangan dan telah memperhitungan masak-masak 
segala kemungkinan terjelek yang diperkirakan mungkin bakal 
timbul, maka bagi hamba tidak ada usulan lain kecuali memang 
harus kita jalankan rencana yang telah hamba usulkan be- 
berapa hari yang lalu itu untuk menjadikan daerah Sirah 
Keteng sebagai daerah penyangga pengadaan bahan pangan 
penduduk kadipaten," demikian Wongsongalundro menamba- 
hkan pendapatnya. 


“Sebelum aku mengambil keputusan," kata Kanjeng Gusti 
Adipati kemudian, "Aku perlu 'pertikelmu' Kyai Patih Broje- 
sento mengenai segala hal yang telah kita dengar dari pertim- 
bangan-pertimbangan yang dikemukakan oleh Kangmas 
Empu Tonggreng tadi. Juga pendapat dari Dimas Sawung 
Guntur, dan laporan serta usulan-usulan yang diajukan oleh 
Wongsongalundro itu tadi. Bagaimana pendapat Kyai Patih. 
Apakah engkau juga setuju, atau ada pikiran lain. Sampaikan 
saja jangan sungkan-sungkan mumpung aku belum mengam 
bil keputusan," kata Kanjeng Gusti Adipati yang ditujukan 
kepada Kyai Patih Brojosento yang rambutnya sudah ubanan 
memutih semua itu. 


“Ampun. Kanjeng Gusti." kata Patih Brojosento kemudian, 
“Hamba akur saja dengan pendapat Kangmas Empu Tong- 
greng. Dimas Sawung Guntur, dan Dimas Wosngsongalundro 
itu. Hamba rasa segala isi yang telah disampaikan itu sudah 
cukup bijaksana untuk dijadikan dasar pengambilan kepu- 
tusan Kanjeng Gusti. Hanya perlu diwaspadai. Bagaimana 
cara mengaturnya. Cara menyampaikan masalah-masalah 
ini secara bijaksana. Secara baik dan dengan bahasa yang 
enak. mudah dimengerti, dipahami, dan bisa diterima 
dengan baik pula oleh segata lapisan kalangan 
masyarakat setempat di Dukuh Sirah Keteng itu. Keke- 
liruan cara penyampaian, hamba khawatirkan akan 
menimbulkan salah penerimaan. Sehingga dapat menim- 
bulkan grusa-grusu di antara penduduk setempat yang salah 
menerimanya itu. Hal itu akan bisa merugikan nama baik 
Kanjeng Gusti Adipati sebagai penguasa yang harus dituruti, 
diikuti. dan didukung rakyat di seluruh Kadipaten Ponorogo 
ini. Oleh karena itu, Kanjeng Gusti, agaknya kebijaksanaan 
yang baik pun belum cukup. Masih diperlukan upaya lanjutan. 
Memberikan pengertian kepada pamong yang akan ditugaskan 
untuk menyampaikan kebijaksanaan ini agar ia dapat memberi 
pengertian kepada para pamong bawahannya hingga dipahami 
oleh rakyat lapisan paling bawah. Soal cara penyampaian 
ini sungguh penting menurut hamba. Dan mohon ditunjuk 
pamong yang sekiranya menguasai cara-cara yang bisa 
diterima oleh masyarakat setempat. Orang yang mengerti 
adat- istiadat setempat. Mempunyai unggah-ungguh. 
Tata krama. Semuanya demi untuk tujuan, menghindari 
kesalahpahaman belaka. Hanya itu kiranya yang barangkali 
hamba ingin sampaikan, Kanjeng Gusti." kata Kyai Patih 
Brojosento mengakhiri pendapatnya dengan mimik muka 
yang serius yang diikuti anggukan-anggukan kepala para 
penggede yang hadir dalam pertemuan musyawarah itu 
tanda sependapat dengan yang dikemukakan oleh Kyai Patih 
Brojosento itu. 


“Benar ucapanmu Kyai Patih. Aku setuju. Engkau telah 
mengingatkan akan hal itu. Oleh karena itu. aku ingatkan 
kepada semuanya. Aku weling wanti-wanti Jangan sampai 
keliru cara menyampaikan perkara im kepada masyarakat 
setempat. Usul Kyai Patih cukup baik untuk mengingatkan 
terhadap kewaspadaan kita bersama. Nah, untuk mengurus 
soal penyampaian ini, aku tugaskan nanti kepada Kyai Patih 
didampingi oleh Wongsongalundro." 


Suasana permusyawaratan kemudian kembali menjadi hening. 
Para penggede yang hadir lainnya nampak sedang membuat 
pertimbangan sendiri-sendiri. Demikian juga Kanjeng Gusti 
Adipati, kemudian nampak terdiam. Beliau sebagai petinggi 
penguasa kadipaten yang akan menerima tanggung jawab 
paling berat. Apabila langkah yang diambil dalam memu- 
tuskan hal-hal dalam musyawarah para penggede ini tern- 
yata di kemudian hari membawa bencana, maka 
kedudukan Adipati yang harus dipertaruhkan. 
Kedudukan dan kewibawaannya sebagai Adipati yang 
akan terkena getahnya. Namun ia harus memutuskan se- 
suatu yang tegas dan jelas agar tidak dinilai, ia tidak 
berani mengambil langkah-langkah maju. Juga agar para 
bawahannya tidak menganggapnya, ia tidak berani meng- 
hadapi risiko. Maka kemudian ujamya. 


“Baiklah kalau demikian. Aku putuskan, daerah Sirah 
Keteng, kita jadikan daerah penyangga pengadaan bahan 
-pangan rakyat. Sedangkan сага pengelolaan tanah pertanian 
beserta pengawasannya langsung dikuasai oleh pemerintahan 
penguasa Kadipaten. Tujuannya terutama untuk menyelamat- 
kan persediaan beras di seluruh Kadipaten Ponorogo, baik 
pada masa paceklik sekarang ini maupun untuk menghadapi 
kemungkinan kesulitan yang bakal timbul di tahun-tahun men- 
datang," demikian keputusan pertemuan siang itu yang lang- 
sung diputuskan oleh Kanjeng Gusti Adipati dihadapan peserta 
permusyawaratan para penggede Kadipaten. 


Para peserta pertemuan siang itu kelihatan dari roman 
mukanya nampak lega. Mereka merasa dapat menyelesaikan 
suatu masalah pelik mengenai pengadaan bahan pangan 
yang kini sedang menghangat di seluruh pelosok Kadipaten 
Ponorogo. Usulan dari seorang penggede kadipaten, yang 
bernama Wongsongalundro itu, dapat diterima bulat dengan 
menjadikan kawasan Dukuh Sirah Keteng sebagai daerah 
penyangga pengadaan pangan penduduk Kadipaten 
Ponorogo. Keputusan itu agaknya telah merupakan pilihan 
terbaik yang tidak bisa ditolak lagi. Tinggal menunggu ba- 
gaimana dalam praktek menjalankan keputusan tersebut 
nantinya. 

3
PEMBELAAN SEORANG TEMAN 


BERITA mengenai akan dijadikannya daerah Sirah Keteng 
sebagai daerah pengelolaan dan pengawasan Penguasa 
Kadipaten Ponorogo itu telah membuat pukulan berat bagi 
warga Dukuh Sirah Keteng. Demikian juga bagi Warok 
Wulunggeni yang selama beberapa tahun belakangan ini 
telah dengan tekun mengolah tanah persawahan di daerah 
ini bersama penduduk setempat, ia merasa menerima cobaan 
hidup yang amat berat. 


Warok Wulunggeni merasa dipermainkan oleh tindakan penguasa. 
penguasa Kadipaten menghendaki ia tersisih dari daerah ini. Segala. 
jerih payahnya selama ini akan sia-sia. Ia harus berhadapan dengan 
warok yang telah memberikan loyalitasnya, mereka yang bersedia. 
Adipati Sampumoaji Wibowo Mukti penguasa Kadipaten 
Ponorogo itu. 


Pada suatu tengah malam hari yang pekat, lama sekali Warok 
Wulunggeni merenung seorang diri di balik bilik tempat biasa 
ia melakukan semadi. Haruskah ia menyerah kepada nasib. 
Apakah ia akan berani menentang arus. Ia bersama penduduk 
setempat, apakah akan mungkin berani melakukan sesuatu 
tindakan balasan, bahu- membahu menghadapi kekuatan yang 
begitu kokoh dari penguasa Kadipaten ini. Belum lagi ia akan 
dihadapkan oleh musuh bebuyutan lamanya Warok 
Surodilogo yang katanya kini sedang menanjak pamornya 
sebagai penguasa pengamanan di daerah Dukuh Dawuan itu, 
ataukah ia harus tetap diam membiarkan masalah ini memihak 
pada kekuasaan Kadipaten. Apakah mungkin untuk melawan. 
dan mati konyol. 


Keputusannya, nampaknya kini ia harus berani mengalah. 
Berani menunjukan kesabaran. Ketabahan menerima co- 
baan hidup. Keteguhan hati untuk terus membangun hidup- 
nya walaupun harus berangkat kembali dari reruntuhan 
keping-keping kedukaan yang mendalam. Ia harus memulai 
lagi membangun dari bawah. Pada saatnya kelak, perhitun- 
gan untuk mendapatkan keadilan itu akan tiba. Katanya 
dalam hati. Berbarengan dengan itu, tiba-tiba terdengar ada 
suara ribut dari luar rumahnya. Suara gaduh. Pintu ru- 
mahnya seperti ada orang yang mengetuk-ngetuk dengan 
keras. Tepat di sebelah dalam pintu tengah diketuk keras dari 
luar. Terdengar suara gaduh telapak-telapak kuda ramai 
diluar halaman rumah. Rupanya, sedang ada tamu. Banyak 
orang yang mendatangi rumah Warok Wulunggeni. Rumah 
joglo yang dibangun nampak kokoh dari bahan jajaran kayu 
jati yang menjulang tinggi seperti keraton di tengah-tengah 
penduduk Dukuh Sirah Keteng itu, kini menjadi perhatian 
banyak pihak. 


“Siapa. Malam-malam begini datang ke rumahku,” teriak lan- 
tang Warok Wulunggeni dari dalam rumah. 


"Каmі, Kangmas,” suara seorang laki-laki dengan mantab 
yang agaknya suara itu telah dikenal betul oleh Warok Wu- 
lunggeni. 

“Oh, kamu Dimas Tanggorwereng.” 

“Betul, Kangmas,” jawab laki-laki itu mantab dari luar. 
“Sebentar saya akan bukakan pintunya,” kata Warok Wulung- 
geni sambil membukakan pintu besar depan rumah. “Hayo 
silakan. Silakan masuk. Mari masuk-masuk “ kata Warok Wu- 
lunggeni mempersilakan tamu-tamunya im masuk ke dalam 
rumahnya. 

“Salam kami, Kangmas Wulung. Selamat malam,” kata laki- 
laki tinggi tegap itu yang temyata kini dikenal sebagai Warok 
Tanggorwereng itu bersama sekitar dua lusin anak buahnya 
berkunjung ke rumah Warok Wulunggeni malam-malam be- 
gini. 

"Waduh, waduh, ada wigati apa, kalian beramai-ramai pada
datang kemari malam-malam begini, Dimas Wereng,” kata 
Warok Wulunggeni ramah setelah menyilakan duduk tamp-ta- 
munya yang cukup banyak berjubel itu. Mescka pada duduk di 
bawah hanya beralaskan tikar mendong yang digelar lebar 
bata merah itu. 

“Begini Kangmas Wulung. Kami ini semna datang kemari, setelah
mendengar berita. Katanya kangmas saat ini sedang mengalami mu 
sibah besar. Tanah persawahan penduduk di sini, dan tanah 
Kangmas Wulung sendiri juga akan dijadikan daerah pengelo- 
Taan dan pengawasan Penguasa Kadipaten. Apa benar berita 
yang saya dengar itu, Kangmas," kata Warok Tanggorwereng 
sebagai pemimpin mereka itu. 

“Benar, Dimas Wereng. Aku sedang terkena cobaan hidup 
diinjak-injak. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Rasanyaa 
berat aku dapat melawan kekuatan yang begitu dahsyat itu.” 
kata Warok Wulunggeni menunjukkan wajah yang penuh pri- 
batin. 


"Sekokoh apa kekuatan dahsyat yang Kakangmas maksudkan 
itu. Apakah kita bersama-sama tidak sanggup menanggulangi. 
Aku dan semua gerombolanku ini siap berdiri di belakang 
Kakangmas Wulung,” kata Warok Tanggorwereng orang vang 
dahulu pernah membegal Warok Wulunggeni, dan diselamat- 
kan nyawanya dari racun warang senjata andalan Warok Wu- 
funggeni di dekat daerah perbatasan Blitar dahulu itu. Kini 
mereka berubah menjadi bersahabat dekat dengan Warok Wu- 
lunggeni. 


“Aku harus berhadapan dengan Penguasa Kadipaten, dan 
para penggede, serta para warok sakti yang berjejer 
mengelilingi Kanjeng Adipati itu. Apa aku mampu meng- 
hadapi mereka sekaligus. Itulah, Dimas Wereng. kepri- 
hatinanku.” 


“Apakah Kakangmas tidak memperhitungkan kekuatan 
kami ini semua yang siap berdiri di belakang Kakangmas 
Warok Wulunggeni," kata Warok Tanggorwereng kelihatan 
makin berangasan memperlihatkan kesediaan yang serius 
ingin membela kesedihan Warok Wulunggeni yang pernah 
menyambung nyawanya beberapa tahun yang Jalu itu. 


“Dimas Wereng. Penghargaanku yang setinggi-tingginya atas 
simpatikmu dan kawan-kawan semua yang hadir di sini atas 
perhatian kalian pada diriku. Tetapi, ingat Dimas Wereng. Kita 
tidak bisa gegabah. Kekuatan kita заві sekarang belum seimbang. 
Kita perlu waktu. Perlu menghimpun kekuatan yang lebih 
besar lagi dari kawan-kawan yang sehaluan dengan kita. 
Menggalang para jago kepruk yang lebih banyak di seluruh 
pelosok daerah Kadipaten ini. Kalau sekarang kita nekat 
melawan mereka, kita bisa mati konyol, Kekuatanku, 
kekuatanmu, dan kekuatan konco-konco sekalian ini, mungkin 
untuk menghadapi para pengawal bisa menang. Paling tidak, 
akan ada beberapa senopati perang dan beberapa warok yang 
menjaganya itu dapat kita patahkan bulu kudugnya. Akan 
tetapi untuk menghadapi para warok yang kini menjabat 
sebagai penguasa- penguasa keamanan daerah yang langsung 
di bawah perintah Kanjeng Adipati, tidak mungkin bisa kita 
selesaikan dengan kekuatan kita yang terbatas ini." 


“Lalu. Bagaimana sebaiknya, Kakangmas. Aku dan konco- 
konco ini semua menuruti perintahmu saja. Aku dan semua 
konco-konco ini siap membantu apa saja yang Kangmas Wulung 
perlukan. Aku akan berdiri di belakangmu, Kangmas. Membelamu 
sampai mati pun kami bersedia. Kapan saja Kakangmas 
memberi aba-aba perang. Kami semua siap bersabung. Siap 
berlaga sampai mati. Biar terjadi geger apa pun kami semua 
akan membantu sebisaku demi Kangmas Wulung," kata Warok 
Tanggorwereng nampak begitu mantab ingin memihak kepada 
kepentingan Warok Wulunggeni sahabat dekat yang dituakan 
ша. 


"Dimas Wereng, Sebaiknya kita memang barus menunggu. 
Kita harus bersabar dulu. Tunggu sampai beberapa waktu 
hingga kita memungkinkan untuk bertindak. Akan tiba saatnya 
nanti kita harus bergerak. Tetapi waktunya bukan sekarang. 
Kita perlu menahan diri beberapa saat kemudian. Kalau 
sekasang, jangan dulu. Banyak risiko yang akan kita hadapi. 
Kita sekarang lebih baik bersikap mengalah demi memperoleh 
kemenangan di kemudian hari. Perang tanpo bolo, menang 
tanpo ngasorake. Nah. Kebetulan memang esuk hari di 
pendopo kelurahan akan dilangsungkan musyawarah warga 
penduduk Dukuh Sirah Keteng. Saya menunggu hasil 
musyawarah wargaitu. Kalau sekiranya keputusannya menolak, 
yah saya juga akan berdiri bersama mereka untuk berjuang 
menolak keputusan penguasa kadipaten itu. Tetapi kalau 
seumpamanya warga memutuskan untuk menerimanya. Saya 
tidak bisa berbuat banyak kecuali menghormati hasil 
keputusan musyawarah itu untuk sama-sama menerimanya," 
ujar Warok Wulunggeni memperlihatkan sikap kedewasaan 
berpiki 

"Yah. Kalau memang menurut hemat Kangmas Wulung harus 
demikian. Saya menurut saja. Bagaimana baiknya menurut 
Kangmas saja. Tapi yang jelas, saya bersama rombonganku 
bergabung bersama kekuatan warga di sini untuk ikut 
membantu. Sekiranya Kangmas di sini memerlukan bantuan 
Wulung memerlukan. Kami senantiasa selalu mempersiapkan 
diri untuk melakukan apa saja yang terbaik bagi Kakangmas 
Wulung," kata Warok Tangorwereng nampak menunjukkan 
kesetiannya yang mendalam kepada Warck Wulunggeni. 


"Yah. Terima kasih atas kesedianmu yang tulus ini, Dimas 
Wereng," kata Warok Wulunggeni memberikan penghargaan 
kepada sahabatnya itu. 


Suasana hening. Рага laki-laki yang berkumpul di ruangan itu 
nampak sedang terdiam semua. Berpikir. Tidak lama ke- 
mudian, tiba- tiba dari balik pintu tengah rumah ini, muncul 
Mbok Rukmini isteri Warok Wulunggeni dengan membawa 
baki di atasnya ada beberapa kendi berisi kopi dan setumpuk 
lepek, beserta makanan- makanan kecil yang cukup banyak 
siap disantap. 

“Wah, Mbakyu repot-repot amat," kata Warok Tanggorwereng 
sambil berdiri membantu menerima baki minuman itu dari 
Mbok Rukmini. 

“Ach tidak apa-apa, Kangmas Wereng. Bagaimana 
kabarnya Mbakyu Warti di rumah. Anaknya sudah gede, 
yah," kata Mbok Rukmini ketika menyerahkan minuman- 
minuman hangat itu sambil menanyakan keadaan isteri 
Warok Tanggorwereng. 


“Baik kok Mbakyu, ia titip salam untuk Mbakyu," kata Warok 
Tanggorwereng memperlihatkan muka yang cerah ramah. 
Nampaknya kedua keluarga itu telah lama terjalin hubungan 
keakraban yang mendalam, baik antar suami maupun isteri-is- 
teri mereka. 


"Ya, terima kasih, salamku juga untuk Mbakyu Warti, ya 
Kakang Wereng. Maaf lho belum sempat berkunjung ke sana." 


"Ach, nanti kan ada waktu juga tho, Mbakyu," kata Warok 
Tanggorwereng dengan muka yang ceria menunjukkan 
keramahan yang amat dalam. 


"Hayoh silakan. Hanya ada wedang kopi dan jadah ketan. 
Saya di belakang dulu yah, Kakang Wereng," kata Mbok Ruk- 
mini mempersilakan tamu-tamunya itu, dan disambut suaminya 
Warok Wulunggeni yang juga ikut mempersilakan minuman- 
minuman itu kepada tamu-tamunya dengan raut muka yang 
ramah pula. 


Beberapa ѕаat nampak para tamu itu mengambil minum 
wedang kopi sendiri-sendiri sambil menikmati hidangan 
jadah ketan yang hangat di malam hari itu. Nampak mereka 
berbincang gayeng. Mereka kelihatan sepertinya bukan lagi 
tampang para bekas begal yang pernah membuat begidig 
bulu roma orang yang kena korbannya. Akan tetapi kini 
mereka menyerupai para pendekar silat yang siap terjun 
berlaga sewaktu-waktu diperlukan di medan tanding. 


Udara dingin malam di daerah pinggir perbukitan Dukuh Sirah 
Keteng itu rupanya juga ikut merdinginkan hati dan pikiran 
orang- orang yang berkumpul di rumah Warok Wulunggeni 
yang semula memanas itu. Suara tawa ria mereka sekali-kali 
terdengar semringah di tengah malam pekat itu. Para tamu di 
rumah Warok Wulunggeni itu tengah malam baru meninggal- 
kan rumah joglo besar itu. 


"Kangmas Wulung. Berhubung hari makin larut malam, aku 
mau memohon pamit dulu. Sekali lagi kalau Kangmas memer- 
lukan kami sewaktu-waktu, kami akan senantiasa siap mem- 
bantu sebisaku di belakang Kangmas," kata Warok 
Tanggorwereng. 

"Baik, Dimas Wereng. Aku ucapkan terima kasih atas rasa 
persaudaraanmu yang tinggi ini, juga kalian, konco-konco 
semua yang hadir, maafkan kalau aku kurang bisa menjamu 
dengan baik atas kedatangan konco-konco semua di sini." 


"Terima kasih, Kangmas Wulung. Baik konco-konco, 
hayoooo kita berangkat," kata Warok Tanggorwemg memberi 
aba-aba siap berangkat kepada para anak buahnya itu. 
Mereka dengan sigap berdiri dan menyalami satu per satu 
Warok Wulunggeni yang nampak terus tersenyum puas 
atas rasa persaudaraan yang ditunjukkan oleh Warok 
Tanggorwereng dan para anak buahnya ini. Tiba-tiba dari 
balik pintu muncul Mbok Rukmini isteri Warok Wulunggeni 
itu berjalan agak terburu-buru mengejar Warok 
Tanggorwereng yang sudah nongkrong di atas kuda siap 
memberi aba-aba berangkat. 


"Kangmas... Kangmas Wereng, sebentar," teriak Mbok Rukmini 
sambil mendekati kuda Warok Tanggorwereng, ia membawa 
sekampluk bingkisan, entah apa isinya, kelihatannya berupa 
makanan. 


"Maaf, Kangmas Wereng. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk 
Mbakyu Warti di rumah." 

"Ohhh, terima kasih, Mbakyu, kok repot-repot terus. Terima 
kasih," kata Warok Tanggorwereng sambil turun kembali dari 
kudanya untuk menerima bingkisan di dalam kampluk itu dari 
Mbok Rukmini. 


"Sampaikan salam saya yah, Kangmas Wereng untuk Mbakyu 
Warti" 


"Iya. iya, terima kasih Mbakyu, dan mohon pamit." 


“Selamatjalan, Kangmas Wereng dan kangmas-kangmas lainnya." 


"Terima kasihhhhh. Mohon pamit, Kangmas dan Mbakyu,” 
jawab para laki-laki anak buah Warok Tanggorwereng itu 
hampir bersamaan. 

 
Mereka kemudian satu per satu pergi meninggalkan halaman 
Tumah joglo besar itu. Suasana gaduh dari telapak kuda-kuda 
yang ditunggangi para tamu itu, lamat-lamat suaranya 
menjauh, menghilang menirgge'kan Padukuhan Sirah Keteng itu. 


Sepulangnya rombongan Warok Tanggorwereng itu, tidak 
berapa lama kemudian muncul para warga Dukuh Sirah 
Keteng. Para tetangga rumah Warok Wulunggeni dengan 
membawa senjata lengkap masing- masing mendatangi rumah 
Warok Wulunggeni untuk meminta keterangan. 


"Kangmas Wulung, siapa mereka yang malam-malam begini 
datang ke rumah Kangmas. Apa ada maksud jahat atau ada 
urusan lain..." tanya Bardjo Genggem sahabat dekat Warok 
Wulunggeni dengan sikap nampak bersiap sedia untuk meng- 
hadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. 


“Sabar, Dimas Bardjo, dan bapak-bapak lainnya. Mereka 
semua itu sahabat-sahabat saya. Mereka telah mendengar 
berita mengenai rencana pengambilalihan tanah kita di sini ini 
oleh penguasa kadipaten. Sedianya mereka itu ingin membela 
kita untuk membantu melawan menentang rencana pembebasan 
daerah kita ini. Akan tetapi mereka tadi sudah saya jelaskan 
untuk menunggu saja hasil permusyawaratan warga di sini. 
Hanya begitu kok, bapak-bapak. Jadi tidak ada apa-apanya. 
Hanya pertemuan biasa antar kawan- kawan lama saja." Jelas 
Warok Wulunggeni dengan muka cerah dan sikap ramah. 


“Ohhh, jadi tidak ada masalah gawat yang menyangkut 
keamanan diri Kangmas Wulung." 


"Tidakkk. Mereka hanya berkunjung biasa sebagai kawan 
lama. Hanya ingin bersulang. Lantaran mereka rumahnya jauh 
di Dukuh Sawo, dan kebetulan malam begini ini mereka pas 
lewat kampung kita sepulang mereka dari kota kadipaten, lalu 
sekalian mampir kemari. Jadi tidak ada apa-apa. Maafkan 
keributan mereka mengganggu tidur bapak-bapak,” ujar 
Warok Wulunggeni berusaha menenteramkan hati warga yang 
nampak khawatir pada berkumpul di halaman rumah Warok 
Wulunggeni itu ada sekitar lima belas orang jumlahnya. 


“Tidak apa kalau demikian, Kangmas Wulung. Kami ini semua 
hanya ingin tahu saja. Jangan-jangan ada masalah gawat yang 
menimpa diri Kangmas Wulung. Kalau sekiranya tidak ada 
hal-hal yang merepotkan Kangmas Wulung, kami semua juga 
ikut bersyukur." 


"Tidak. Tidak ada yang merepotkan kami. Hanya itu tadi 
kawan- kawan lama yang sedang mampir bertandang saja 
kemari." 


"Baiklah kalau demikian, Kangmas Wulung. Kami mohon 
diri." 


"Terima kasih, atas perhatian bapak-bapak." 


Sepeninggal para warga yang kembali ke rumahnya masing- 
masing setelah menerima penjelasan dari Warok Wulunggeni 
itu, nampaknya Warok Wulunggeni tidak segera beranjak 
pergi tidur. Pikirannya masih berkecamuk. 


“Mbokne, kalau kamu sudah ngantuk, kamu pergi tidur 
dulu sana, aku masih ingin tinggal sendiri di luar rumah 
sini," kata Warok Wulunggeni kepada isterinya yang se- 
dari tadi juga ikut berdiri di sebelahnya di depan pintu 
rumahnya itu. 


"Ya, kalau demikian. Aku juga sudah ngantuk. Apakah Pakne 
perlu dibuatkan wedang kopi lagi." 


"Sudah. Sudah, tidak usah. Nanti sebentar lagi aku juga 
menyusul kamu." 


"Ya, kalau demikian, aku masuk dulu." 


Setelah ditinggal isterinya yang masuk ke rumah lebih dulu, 
Warok Wulunggeni kini sendirian di halaman rumah itu. Ia 
mengambil tempat duduk di balokan kayu besar yang tertelen- 
tang di halaman rumah itu. Warok Wulunggeni lama mere- 
nung. Ia hanya memandangi bukit-bukit di kejauhan yang 
nampak kokoh tidak mudah layu diterjang oleh perubahan 
iklim dan cuaca. 


"Demikian pula seharusnya manusia itu. Harus sekokoh 
bukit yang tidak bergeser diterkam perubahan zaman. 
Manusia harus berani bertahan hidup menghadapi ganasnya 
kejahatan jalan pikiran manusia lain yang ingin selalu 
berusaha berkuasa atas sesamanya." Pikir Warok Wulung- 
geni yang sedari tadi mengamati alam perkampungan Dukuh 
Sirah Keteng yang nampak terus memancarkan kemakmuran 
alamnya yang asri di malam hari itu. "Mustikah harus diperta- 
hankan, ataukah ditinggalkan Dukuh yang seindah dan 
senyaman ini," kata hati Warok Wulunggeni sambil beran- 
jak meninggalkan tempat duduknya untuk pergi ke tempat 
tidur menyusul isterinya. 


Sebuah gundukan batu besar yang bertengger di halaman depan 
rumah Warok Wulunggeni itu sudah berumur ratusan tahun, 
nampak tetap membisu tidak terpengaruh oleh gundah-gula- 
nanya hati Warok Wulunggeni di malam hari yang gelap gulita 
itu. Dan esuk hari masih menanti persoalan baru yang terus 
menantang untuk dipecahkan oleh Warok Wulunggeni.