Jaka Sembung 13 - Pertarungan Terakhir(2)

Kemudian Da-Fan merebahkan diri pula seraya berkata.

“Awom, dengarlah...... Atas nama dewa-dewa, di malam yang indah ini akan aku serahkan kesucianku kepadamu pemuda gagah.”

“Kau tahu, Awom! Kepala suku yang bertopeng tengkorak itu pasti akan mengambil diriku sebagai korban nafsu birahinya. Itu hanya soal waktu, suatu saat tentu akan tiba. Tetapi aku tak sudi menyerahkan kesucianku kepada orang yang tak kucintai!” ujarnya dengan nada sedih.

Hari semakin larut. Rembulan mengintip dari balik awan yang menutupinya. Pohon-pohon raksasa yang dihempas angin melambai-lambaikan daunnya dan suara bintang-bintang kecil bersahut-sahutan, seakan mengucapkan selamat bahagia kepada dua pasangan pemuda kulit hitam itu.

“Biarlah aku dikutuk olehnya! Biarlah tubuhku hangus terbakar, tapi aku tetap tak mau menyerahkan kesucianku! Telah banyak gadis-gadis Nabire yang jadi korban. Jika aku akan mati hari ini, aku sudah puas karena aku sudah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu, Kekasihku!”

“Kau tak akan mati, Da-Fan! Percayalah! Tidak ada dewa berujud manusia! Dia dewa palsu!” jawab Awom dengan pasti untuk meyakinkan Da-Fan.

“Awom, kau berani berkata begitu?” tanya Da-Fan.

“Yang harus kau sembah adalah Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh alam ini!” jelas Awom mengulang apa yang pernah dikatakan Jaka Sembung kepadanya.

“Tuhan? Aku baru mendengar nama-Nya? Siapakah Dia?”

“Dia bukan manusia seperti kita! Dia bersemayam di tempat Yang Maha Tinggi, lebih tinggi dan mulia dari apapun yang pernah kau lihat!” jawab Awom.

“Apa Dia lebih kuat dari dewa?” tanya Da-Fan sambil merebahkan tubuhnya di sisi Awom.

Tetapi panglima suku Kaimana ini betul-betul seorang pemuda yang masih lugu, oleh karenanya ia tak berbuat sesuatu apapun kecuali meneruskan penjelasannya tentang kehebatan Tuhan.

“Para dewa sudah barang tentu berada di bawah kekuasaannya! Dewa tengkorak yang kau bilang itu pasti akan ditumpasnya! Karena dia jahat! Tuhan sangat benci kepada orang jahat!” tegas Awom dengan nada serius.

Angin bertiup merontokkan daun-daun. Udara seakan bergetar, dahan-dahan pohon meliuk-liuk laksana tubuh yang meronta. Senyum kebahagiaan menghias bibir sepasang muda mudi kulit hitam itu.

◄Y►

6

Di lain tempat sosok tubuh berdiri di kejauhan seperti tonggak dengan angkernya di kaki bukit dan menghadap ke laut lepas. Entah apa yang sedang dilakukan oleh makhluk berjubah dan bertopeng tengkorak itu. Perlahan-lahan tangannya ke depan dan kemudian ditariknya ke dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam kemudian mengerahkan seluruh tenaganya.

Dengan menghentakkan tenaga yang kuat serta teriakan yang keras. Ia melancarkan pukulan jarak jauh ke arah sebongkah batu karang yang runcing mencuat dari dasar laut. Tak ayal lagi batu karang itu tumbang dan mengeluarkan asap akibat tenaga dalam yang dahsyat dan menimbulkan suara yang menggelegar laksana suara halilintar.

Suara gaduh yang membisingkan itu agaknya telah mengejutkan burung-burung hantu dalam semak belukar, membuat mereka terbang berhamburan.

Melihat burung-burung berterbangan di udara, orang yang ternyata musuh nomor satu Parmin si Jaka Sembung, segera melancarkan pukulan jarak jauh ke arah burung-burung malam itu. Tak ayal lagi, nasib mereka tak jauh beda dengan batu karang laut itu. Tubuhnya hancur berkeping-keping dan hangus terbakar. Rupanya itulah ilmu pukulan yang selama ini menjadi andalannya.

Suasana hening sejenak seakan tak terjadi apaapa di pinggiran laut itu, namun tiba-tiba terdengar kembali teriakan yang memekakkan telinga. Kalau saja ada orang yang mendengar suara itu dan dia tak mempunyai ilmu penangkal yang tinggi, gendang telinganya akan hancur dan mengeluarkan darah. Untung saja tak ada seorang pun manusia di sana, hingga suara keras itu terpantul pada dinding bukit. Yang menyebabkan batu-batu bukit itu bergoyang dan runtuh.

“Ha...... ha...... ha...... ha! Walaupun tanganku tinggal sebelah, tapi pukulanku masih tetap sempurna! Dendamku kepada monyet Sembung itu pasti akan terbalas, Kakang!”

◄Y►

7

Yulia kini telah siuman dari pingsannya. Dengan perasaan pilu ia melihat tetesan darah yang membekas di atas tikar gambut. Yulia mencoba untuk mengambil kain sarung yang tercampak tak jauh di hadapannya.

“Oh, Tuhan! Mengapa ini mesti terjadi pada diriku? Aku telah ternoda! Aku lebih baik mati! Lebih baik mati!” ratap gadis Belanda itu dengan tubuh menggigil menahan isak tangis yang menyesak dada.

“Hu…... hu...... hu....... hu! Parmin, mengapa bukan kau yang merenggut kesucianku? Kalau saja kau yang menghendakinya, tanpa kau pinta pun akan kuserahkan segala-galanya demi cintaku padamu!”

“Mengapa pada saat yang paling gawat itu kau tak muncul? Bukankah kau selalu datang menyelamatkan aku di saat-saat genting? Apakah kau telah tewas di tangan makhluk iblis bertopeng tengkorak itu? Kalau begitu aku harus menyusulmu dengan pisau itu!” pekik Yulia yang sudah menganggap hidupnya sudah tak berarti lagi sambil tatapan matanya ke arah pisau yang terselip di dinding ruangan itu.

“Aku harus mati! Haruuuuuuuuussss! Ya, Tuhan! Maafkanlah segala dosa-dosaku! Aku tak sanggup menanggung derita ini! Oh, Parmin jangan tinggalkan aku!” Baru saja gadis Belanda itu hendak menghabiskan nyawanya dengan sebilah pisau itu, tiba-tiba tangannya ditahan oleh seorang kulit hitam.

“Jangan.......!”

“Ah.......!” teriak Yulia sambil menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang telah mencegah perbuatannya.

“Awom, kau?! Lepaskan aku! Lepaskaaaaann!! Biarkan aku mati!” teriaknya histeris.

“Tidak! Suku Kaimana sangat mencintai anda!” bujuk Awom dengan nada penuh harap kepada kepala sukunya itu.

Sementara itu Da-Fan menyaksikan kedua orang berlainan warna kulit dari sudut ruangan.

“Kami sangat membutuhkan anda, yang mulia kepala suku! Adalah kewajibanku sebagai panglima untuk melindungi anda!” hibur Awom sekali lagi dengan sepasang mata yang berkaca-kaca.

“Oh, Tuhan!” sebut Yulia seakan baru tersadar dari tindakannya.

“Sekarang marilah kita ke luar dari neraka ini dan menyelamatkan ayah anda. Parmin, dan lainnya.”

“Parmin? Apakah Parmin masih hidup?” tanya Yulia yang tiba-tiba merasa cerah setelah mendengar nama orang yang dikaguminya.

“Aku sendiri diselamatkan oleh Da-Fan! Menurut keterangannya, Parmin dikurung bersama pendeta Yorgen!” jawab Awom sambil menunjuk ke arah Da-Fan.

Gadis Nabire itu mengangguk sambil tersenyum.

“Oh, benarkah?” tanya Yulia dengan sinar mata yang berbinar-binar.

◄Y►

8

Matahari pagi kembali bersinar lagi, membias di punggung-punggung bukit pantai Nabire yang indah. Pondok-pondok perkampungan suku terlihat berderet di kaki bukit. Di dalam pondoknya tampak si Topeng Tengkorak memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan para tawanan dari kerangkeng-kerangkeng mereka masing-masing.

“Keluarkan semua tawanan! Hari ini akan kita adakan upacara korban dengan ular-ular berbisa itu!”

Orang-orang suku primitif itu tanpa toleh kiri kanan langsung mengerti apa yang telah diperintahkan oleh orang yang bertindak sebagai kepala suku mereka.

Pendeta Yorgen yang sejak kemarin menunggui Parmin yang belum sadar dari pingsannya, terkejut dan panik melihat beberapa orang suku Nabire itu membuka pintu kerangkeng.

“Tidak! Jangan bunuh dia! Kalian boleh bunuh aku! Tapi....... tapi janganlah kau tambahkan siksaan kepada pemuda ini! Keadaannya sangat menderita!” pinta pendeta kulit putih itu penuh harap.

Namun anggota suku kanibal tersebut tak menghiraukan kata-kata pendeta, bahkan menarik tubuh si pendeta dan mengikatnya dengan tali.

Pada saat itu si Topeng Tengkorak masuk pula ke dalam kerangkeng sambil berkata. “Semula memang aku tidak bermaksud membunuh kalian orang-orang kulit putih! Tapi anak gadis tuan Yan Van Boerman itu telah lari dan membunuh beberapa pengawalku! Oleh karena itu nyawa kalianlah sebagai gantinya!”

Si Topeng Tengkorak melanjutkan bicara sambil mondar mandir, tiba-tiba kakinya diangkat lalu di-gedorkannya ke dada Parmin.

“Mengenai santri monyet ini, aku tidak ingin tergesa-gesa! Aku telah merencanakan siksaan yang paling tepat setelah kesadarannya pulih!”

Setelah berkata demikian, si Topeng Tengkorak dan beberapa pengawalnya pergi meninggalkan Parmin yang masih pingsan dengan membawa pendeta Yorgen. Di luar kerangkeng mereka berpapasan muka dengan Yan Van Boerman yang juga sedang digiring.

“Pendeta Yorgen!” teriak Yan Van Boerman dengan gembira.

“Aku sudah tahu bahwa kau masih hidup, Anakku!” sambut pendeta Yorgen dengan suara agak tertahan karena haru. Setelah dekat mereka saling berpandangan dengan sorot mata berkaca-kaca. Pendeta Yorgen berusaha menghibur Yan Van Boerman.

“Tabahkan hatimu, Anakku! Jika Tuhan belum menghendaki kita mati, kita tidak akan mati!”

Mereka disambut oleh orang-orang suku Nabire yang membuat pagar betis dengan sorak sorai gegap gempita. Ada yang berjingkrak-jingkrak dan ada pula yang menari-nari menandakan pesta pembunuhan segera akan dimulai. Di tengah keramaian hiruk pikuk itu Yan Van Boerman semakin merasa cemas.

“Aku sangat mengkhawatirkan nasib Yulia, Bapa!”

Dengan tenang dan penuh keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan menolong mereka dari segala mara bahaya, pendeta Yorgen menenangkan bathin Yan Van Boerman.

“Tuhan akan melindunginya, Anakku! Tabahkanlah hatimu!”

Tubuh pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman direntangkan di tengah tanah lapang. Orang-orang suku Nabire bersorak semakin riuh seperti, sudah tidak sabar lagi. Langit mendung ketika itu seakan berduka atas nasib yang akan menimpa kedua anak manusia itu.

Yan Van Boerman semakin merasa kecut, dia sangat memerlukan dorongan semangat dari pendeta Yorgen. “Bapa Yorgen! Apa yang harus kulakukan?”

Dengan tenang sekali lagi pendeta Yorgen memberi pandangan.

“Berdoalah, Anakku! Mereka tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan! Jika memang Tuhan menghendaki kita mati di sini, relakanlah dirimu! Kita harus rela berkorban.......

“Biarlah kita menjadi juru penebus dosa untuk anakmu Yulia, Parmin dan orang- orang lain yang wajib diselamatkan! Sebagaimana halnya pengorbanan Yesus Kritus yang disalibkan di bukit Golgota untuk menebus dosa umat manusia!”

Si Topeng Tengkorak yang sejak tadi memperhatikan kedua orang kulit putih itu sambil duduk di kursi kehormatan kepala suku, berkata dengan nada sinis.

“Kuberikan waktu kepadamu untuk berkhotbah, pendeta Yorgen! Sebentar lagi ular-ular berbisa akan melahap nyawa kalian tanpa ampun! Untuk menghibur diri, anggaplah kalian sebagai juru penebus dosa!

“Tapi kalau kalian tahu, kenyataannya akan berlainan. Aku tetap akan membunuh orang-orang yang telah kau tebus dosanya itu!” Sesaat kemudian dia berbicara dengan bahasa Nabire sambil merentangkan tangan kirinya ke samping

“Keluarkan sekarang keranjang-keranjang ular itu!”

Tak berselang seberapa lama, dari belakang pondok beberapa orang suku kanibal itu membawa keranjang yang berisikan puluhan ular ganas dan berbisa.

“Ya, keluarkan!” teriak si Topeng Tengkorak sekali lagi dengan garang.

Ular-ular itu kini telah dikeluarkan dari dalam keranjang dan segera merayap, siap mematuk tubuh kedua orang Belanda yang sudah tak berdaya dengan kaki tangan terbelenggu di patok-patok kayu yang terpancang di atas tanah.

“Bapa! Kita akan digigit ular-ular berbisa itu!” jerit Yan Van Boerman.

“Tabahkan hatimu, Anakku! Gigitan ular itu tak akan terasa perih kalau kita telah pasrahkan jiwa raga kita kepada Tuhan!”

Ular-ular itu merayap perlahan-lahan seakan sengaja membuat tegang urat-urat syaraf calon-calon korbannya. Tapi walaupun demikian Yan Van Boerman, hatinya semakin kecut dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Keyakinannya yang selama ini kuat terhadap agama seakan telah sirna.

“Oh, Tuhan! Ular-ular itu semakin dekat!”

Namun pada saat yang kritis itu tiba-tiba beberapa orang pengawal suku berpelantingan dari dalam kerangkeng di mana Parmin dipenjarakan. Ada yang terpental ke semak belukar dan mati seketika. Ada pula yang terbanting jauh ke tengah jajaran penonton hiburan biadab itu.

Disusul dengan gebrakan yang membuat kerangkeng yang terbuat dari kayu, bambu dan ilalang itu bergetar. Namun sebelum kerangkeng itu ambruk, sesosok tubuh telah meletik ke luar dengan bersalto beberapa kali di udara. Suasana menjadi riuh dengan hiruk pikuk dibarengi kepulan debu ketika kerangkeng itu roboh berantakan.

Si Topeng Tengkorak yang sedang duduk di atas singgasananya, kaget melihat Parmin yang tiba-tiba sudah berdiri tak jauh dari hadapannya. Ia segera memberi perintah.

“Halangi monyet santri itu! Cepaaaaaat!”

Serentak beberapa suku Nabire yang mendampingi sang kepala suku bergerak dengan tombak-tombak runcing dan beracun untuk siap menghadang Parmin si Jaka Sembung. Namun tatkala mereka menyergap, pendekar Gunung Sembung secepat kilat melompati tubuh-tubuh mereka menuju tempat pendeta Yorgen dan ayah Yulia yang nyaris direnggut nyawanya oleh ular-ular ganas dan berbisa.

Beberapa kepingan kayu bangunan yang ambruk yang lelah disiapkan di sela-sela jari jemarinya, digunakan Parmin sebagai senjata untuk menghalau binatang-binatang melata itu.

“Ciiiiiaaaaaaaaaaaaat......!”

Kepingan yang dilemparkan itu bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya, tak ayal lagi menghantam puluhan ular-ular ganas dan berbisa itu. Jaka Sembung menghantam sebagian lagi dengan pukulan jarak jauh yang sangat ampuh. Sekejap ular-ular itu hangus tak berkutik lagi.

Pada saat itu pendeta Yorgen yang sedang menanti kematiannya terperangah melihat sosok bayangan datang menolong mereka yang ternyata seorang pendekar muda yang beberapa saat yang lain masih terbaring dalam keadaan pingsan.

“Parmin!” teriaknya gembira.

Belum lagi Parmin berbuat sesuatu untuk melepaskan kawan-kawannya, puluhan orang suku Nabire dengan mata liar menyerangnya. Secepat kilat dia mengeluarkan sebuah jurus dahsyat untuk mempersingkat waktu.

Tak dapat dicegah lagi, dengan mengibaskan kedua tangannya ke kiri kanan, laskar suku Nabire kanibal itu terhempas ke udara dan mereka ambruk ke bumi untuk tak berkutik lagi.

Melihat keadaan itu si Topeng Tengkorak menggelegak amarahnya, dan segera menyambar sebuah tombak yang lalu dilemparkan deras ke arah Parmin si Jaka Sembung.

Seketika tombak itu melesat dari tangannya laksana peluru yang siap menghantam sasaran. Tapi pendekar kita lebih tangkas dari yang ia duga. Dengan hanya menggunakan dua jarinya, tombak itu ditangkapnya dengan manis dan dikembalikan pula ke arah tuannya dengan cepat.

“Hiyaaaaaaat......!” teriak Parmin membuat lawannya terkejut.

Si Topeng Tengkorak dengan gesit melompat untuk menghindar sehingga tombak itu menghantam salah seorang pengawal yang berada tepat di belakangnya. Tak ayal lagi tubuh pengawal malang itu ambruk dengan tubuh tertembus dan menghamburkan darah segar.

Sementara itu di antara hujan tombak di tanah. Dengan sekali renggut tubuh pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman telah berada dalam pelukannya.

Laskar suku Nabire terus menyerang Parmin dan kawan-kawannya dengan mata liar dan membabi buta dengan nafsu membunuh. Tapi Parmin dengan nekad menerobos mereka dengan tendangan kaki untuk membuka jalan sambil melindungi keselamatan dua orang kawannya itu.

Dengan gesit dia meloncati barisan pengepungnya bersama beban yang dibawanya. Namun sebelum sampai kakinya menginjak tanah, dari arah depan beberapa orang menyerang dengan ganasnya.

“Wah, celaka!!” keluh Parmin sambil tetap mendekap tubuh kedua kawannya yang berkeringat dingin karena cemas.

◄Y►

9

Di saat kritis itu tiba-tiba terdengar jeritan laskar Nabire dengan punggung-punggung tertembus anak panah yang tak tahu dari mana arah datangnya. Disusul pula dengan menghujaninya berpuluh-puluh anak panah yang segera menelan korban lebih banyak lagi.

Orang-orang suku Nabire itu menjadi kalang kabut. Mereka berteriak histeris, berusaha melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa, tapi anak-anak panah itu lebih cepat dari mereka. Tak ayal lagi semakin banyak korban berjatuhan dan membuat suasana semakin bertambah panik.

Sementara itu kawan-kawannya masih bertanya-tanya dalam hati, siapakah pembokong-pembokong yang telah menyelamatkan nyawa mereka?

“Astaga! Itu laskar suku Kaimana! Tentara dari putrimu, Tuan Yan! Kita dapat pertolongan!” teriak Parmin gembira dengan apa yang dilihatnya.

Betul saja! Dari atas bukit bermunculan beberapa sosok tubuh dengan busur-busur panah di tangan. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, tapi cukup mengancam nyawa suku kanibal Nabire itu.

Di tengah hiruk pikuknya suasana, Parmin yang telah terbebas dari ancaman maut, menoleh kiri kanan mencari kepala suku yang bertopeng tengkorak itu sambil melepaskan kawan-kawannya dari dekapannya. Ternyata si Topeng Tengkorak telah lari menyelamatkan diri ke atas bukit Nabire.

“Tuan pendeta dan tuan Yan selamatkan diri kalian! Aku hendak mencari manusia bertopeng itu!” ucap Jaka Sembung kepada kawan-kawan Belandanya.

“Jangan kuatir! Kami bisa menjaga diri, Saudara Parmin!” jawab salah seorang dari mereka dengan tegas.

Parmin si Jaka Sembung bergegas melacak ke mana larinya musuh besarnya itu dengan mengerahkan segenap kepekaan panca indranya

“Ke mana larinya iblis penasaran itu......?”

Seluruh perkampungan suku primitif itu telah dijelajahinya, namun dia belum juga menemukan si Topeng Tengkorak.

Matahari sudah mulai meninggi, angin bertiup kencang seakan marah menyaksikan tubuh-tubuh manusia bergelimpangan dari kedua belah pihak tanpa nyawa. Lembah itu seakan baru saja diamuk oleh prahara yang mengharu biru.

Mayat-mayat orang suku Nabire bertumpang tindih dengan mayat-mayat orang suku Kaimana yang telah menyerangnya. Anyir darah menyebar ke mana-mana. Burung-burung bangkai berterbangan di atas perkampungan agaknya sudah tak sabar untuk menyantap tubuh-tubuh manusia yang sudah menjadi bangkai.

◄Y►

10

Sementara itu di pantai teluk Sarera yang tak seberapa besar ombaknya, telah mendarat beberapa sampan beserta awaknya yang bersenjata lengkap, tombak, panah dan parang. Mereka bergegas meninggalkan sampan tanpa ditambatkan terlebih dahulu.

Salah seorang dari mereka yang agaknya adalah sang pemimpin, dengan rasa tak sabar memberi komando dengan bahasa suku Nabire......

“Cepaaaaaaat! Nyawa mereka sedang terancam bahaya! Seraaaang!”

Dengan gagah berani sekawanan orang yang memang telah menanti saat-saat seperti itu menyerbu ke tengah pertempuran antara suku Nabire dan suku Kaimana yang masih sedang berkecamuk dengan sengitnya. Agaknya Da-Fan, Awom dan Yulia telah meminta bantuan paman Da-Fan yang bermukim di pulau Ro-on.

Mereka adalah sisa-sisa laskar suku Nabire di masa lalu sebelum negerinya direbut oleh suku pedalaman yang masih buas. Awom gembira ketika melihat kehadiran orang-orang suku Kaimana.

“Seraaaaaang!” teriak Awom dengan penuh semangat.

Maka dalam sekejap saja terjadilah perang antar suku dengan sengitnya. Perang antara suku Kanibal melawan dua kelompok suku yang sudah agak beradab. Paman Da-Fan pemimpin sisa laskar itu dengan gagah berani bertempur menelan nyawa demi nyawa.

Tak ketinggalan Da-Fan sendiri ternyata seorang putri Nabire yang gagah perkasa yang berkali-kali menghunjamkan tombaknya ke dada lawan.

Di tempat lain. Yulia dan Awom pun tak mau tinggal diam. Pengalamannya bertahun-tahun di tengah-tengah suku Papua primitif, membuat Yulia mahir menggunakan tombak dan parang. Sekejap saja belasan suku Nabire pimpinan si Topeng Tengkorak itu berjatuhan bersimbah darah jatuh ke bumi.

Terlihat di sini bahwa suku-suku yang sudah mengenal peradaban lebih banyak menggunakan taktik dalam bertarung bila dibandingkan dengan suku kanibal yang hanya mengandalkan tenaga dan kegarangannya. Dalam tempo singkat terlihatlah bahwa kedudukan suku kanibal sudah mulai goyah dan berada diambang kepunahan.

◄Y►

11

Sementara langit mulai kemerah-merahan, mentari pun bergeser sedikit demi sedikit ke ufuk Barat pertanda sore sudah menjelang. Perkampungan suku Nabire menjadi remang-remang, suasana sunyi senyap karena tak ada lagi penghuninya yang masih hidup dan berkeliaran.

Tampak di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan berkelebat sesosok bayangan menyusup melewati pondok-pondok perkampungan berbentuk kerucut. Sekilas wajahnya terbayang diterpa biasan matahari dari sela-sela rimbunnya pohon raksasa yang memagari perkampungan suku tersebut.

Perlahan-lahan wajah itu semakin nampak jelas. Dialah Parmin, pendekar Gunung Sembung yang tak berhasil mencari jejak-jejak kepala suku Nabire yang bertopeng tengkorak itu. Terpancar kekecewaan dari raut wajahnya yang basah oleh keringat.

“Kurasa dia sedang memancingku!” gumamnya dalam hati dengan menarik nafas panjang.

Parmin segera meloncat ke atap-atap pondok itu dengan maksud agar dapat melihat pemandangan di sekitar perkampungan itu dengan baik. Tatkala ia hendak menginjak atap pondok yang paling besar, mendadak pondok itu hancur berantakan.

Untunglah pada saat bersamaan Parmin membuang tubuhnya yang masih melayang di udara dengan bersalto berkali-kali kemudian menginjakkan telapak kakinya dengan mantap sehingga luput dari serangan mendadak yang tak lain dari lawannya yang bertopeng tengkorak itu.

Dengan sikap bersiap-siap Parmin memasang kuda-kuda untuk menangkis serangan lawan selanjutnya. Di saat itu terdengar suara ledakan tawa manusia yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat, serta merta Parmin berkonsentrasi dan mengalirkan tenaga dalamnya ke telinga untuk menghalau suara itu.

“Ha....... ha....... ha...... ha! Tidak percuma kau digelari Jaka Sembung, anjing!”

“Huh?!” Parmin berdesis dan menatapnya dengan tajam.

“Kau kira aku lari menghindarimu, hah?! Aku di sini! Dan aku senang sekali melihatmu bisa berdiri kembali di atas telapak kakimu! Sebentar lagi akan kupatahkan kedua kaki dan tanganmu! Akan kubikin mampus secara perlahan-lahan sampai kau merasakan bagaimana enaknya mati pelan-pelan!” geram si Topeng Tengkorak dengan suara bergetar menahan emosi yang menggelegar.

“Kali ini kaki dan tanganmu yang akan kupatahkan, Iblis Perusak!” hardik Parmin dengan penasaran ingin cepat-cepat membuka Topeng Tengkorak lawannya itu. Dengan gesit dan cekatan Parmin melompat menerjang orang yang ada di hadapannya dengan terkaman yang sulit untuk dielakkan.

“Jangan banyak bacot! Buka topengmu! Aku ingin melihat tampangmu yang asli!”

Orang bertopeng tengkorak itu terkejut dan tiba-tiba kedoknya sudah disambar oleh pendekar Gunung Sembung.

“Kurang ajar!!!!!”

Maka kini tampaklah seraut wajah yang tak asing lagi bagi Parmin benar-benar asli. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahunan, berwajah bulat dengan sesuai tubuhnya yang gempal itu.

“Aku sudah menduga bahwa kau adalah Ki Subekti saudara kembar Ki Subeni!” ujar Jaka Sembung kepada orang tua itu.

“Hmmm! Memang! Hidupku tak pernah puas jika belum memeras darahmu sampai kering!” geramnya dengan berapi-api

“Aku belum puas sebelum dendam arwah kakakku Subeni terbalas! Bertahun-tahun aku menguntitmu sampai ke Papua ini! Si Tiga Melati keparat itu sudah modar jadi makanan segar ikan-ikan hiu di laut Arafuru! Kini giliran nyawamu kucopot, Bangsat!” umpatnya dengan sengit.

Dengan tenang Parmin menjawab sambil bersiap-siap dengan mengalirkan tenaga dalam tingkat tinggi ke seluruh tubuh.

“Sangat kuhargai pembelaanmu terhadap saudaramu! Itu hakmu! Tapi aku pun lebih punya hak untuk menyingkirkan kalian, Iblis berwujud manusia!”

Bukan main berangnya Ki Subekti setelah mendengar ucapan Parmin yang menyakitkan hati itu, serta merta ia melontarkan pukulan jarak jauh yang sangat ampuh dan mematikan.

Bersamaan dengan itu pula Parmin meletik ke udara untuk menghindar. Pukulan maut itu tak mengenai sasaran dan hanya menimpa tempat kosong. Seketika itu terlihat bentuk telapak tangan hitam dengan kepulan asap membekas di tanah.

Melihat pukulannya dapat dihindari dengan baik, Ki Subekti mengambil langkah seribu dengan melompati perairan pantai di antara batu-batu cadas yang berlumut.

“Hai! mau lari ke mana kau? Apakah kau sudah mulai gentar, Jahanam!” teriak pendekar Gunung Sembung sambil melesat mengejarnya.

Namun Ki Subekti terus berlari dengan melontarkan ejekan-ejekan kepada Jaka Sembung.

“Ha ha ha ha! Aku sudah memilih tempat kuburanmu yang paling baik, monyet Sembung!”

Sekejap saja mereka telah berada di atas batu karang yang muncul di permukaan laut. Pada saat itu mereka mempersiapkan ilmu andalannya masing-masing.

“Aku yakin kau tak mampu membunuhku, Aki-aki Jelek! Kekuatanmu sudah jauh berkurang! Tanganmu tinggal satu!” ejek Parmin.

“Bangsat! Justru di sini aku memilih tempat untuk kuburan bangkaimu!” ucapnya dengan kesal sambil melepaskan jubah yang selama ini dipakainya.

“Gerrrrr! Tangan palsuku ini lebih ampuh untuk mendobrak perutmu!” dengusnya dengan suara parau. Namun demikian pendekar muda dari Gunung Sembung itu terus menerus mengejeknya hingga orang tua itu kian kalap dan meradang.

“Ha ha ha ha......! Lontarkanlah semua gertak sambalmu itu bandot tua! Seharusnya sudah lama kau menanggalkan titel kiaimu! Hidupmu sudah penuh dengan kemurtadan! Kau sama murtadnya dengan almarhum saudara kembarmu itu!”

Sesaat kemudian tubuh mereka berdua melesat ke udara dengan mengadu ilmu kanuragan tingkat tinggi hingga terjadilah bentrokan tenaga dalam yang menimbulkan suara keras dan mengeluarkan kepulan asap. Akibatnya tak ayal lagi tubuh masing-masing terpental jauh lebih dari limapuluh langkah dan tercebur di laut.

Selanjutnya mereka melanjutkan pertarungan di air dengan mengerahkan tenaga dalam yang dahsyat hingga membuat mereka masing-masing mengalami luka dalam yang parah dengan semburan darah segar dari mulutnya.

Pada suatu saat tubuh mereka melesat kembali ke udara dan bertemu di atas batu karang di tengah laut. Kemudian tangan-tangan mereka saling bertumpuan untuk kembali mengadu kekuatan tenaga dalam masing-masing.

Hawa panas keluar dari tubuh mereka hingga menimbulkan kepulan asap. Pada saat itulah Parmin berucap dalam hati.

“Saatnya kini tiba......! Kuserahkan kepada-Mu ya Allah seluruh jiwa ragaku! Aku tunduk dengan apa yang Kau kehendaki! Bismillah!!!”

Suara hening tegang itu tiba-tiba dipecahkan oleh pekikan mengguntur!

Bersama terbelahnya batu karang pantai, dua sosok tubuh itu melesat berbarengan. Pada kesempatan itu Parmin menyerang sedetik lebih cepat dengan pukulan tenaga dalam tingkat tinggi ke arah lawannya.

Tak ayal lagi tubuh Ki Subekti ambruk berguling-guling dan batuk-batuk dengan mengeluarkan darah hitam kental terkena hantaman pukulan Parmin yang bernama jurus ‘Wahyu Taqwa’.

Tubuh orang tua itu menggigil hebat, wajahnya berubah menjadi biru menyeramkan. Dan dari bekas pukulan Parmin pada tubuhnya, kini mengepul asap.

Asap itu semakin banyak dan segera berubah menjadi api yang menjilat-jilat tubuh Ki Subekti yang nampak mengerang-erang sambil berkelojotan. Sungguh mengerikan. Api itu semakin besar dan sekejap saja melalap tubuh orang tua itu tanpa ampun! Itulah kedahsyatan puncak dari jurus ‘Wahyu Taqwa’.

Ombak laut menyembur tubuh berapi itu dan menyeretnya ke tengah lautan lepas. Parmin memandangi terus dari kejauhan dan sesaat bertafakur mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ia sama sekali tak menduga bahwa dengan mengerahkan ilmu silat tinggi yang bernama jurus ‘Wahyu Taqwa’ akan terjadi akibat sedahsyat itu bagi lawannya.

“Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un....... Segala sesuatu yang berasal dari-Mu kembali pula kepada-Mu ya Allah!”

Api itu semakin mengecil dan akhirnya lenyap di tengah laut teluk Sarera. Parmin merenung sambil menerawang jauh ke ujung lautan. Ia tak menoleh sedikit pun tatkala terdengar suara orang memanggilnya.

Suara itu semakin keras, menandakan orang yang memanggil semakin dekat dan akhirnya pendekar kita terperangah melihat kehadiran seorang wanita kulit putih yang tak lain adalah Yulia, sang Kepala suku Kaimana beserta ayahnya dan pendeta Yorgen.

“Syukurlah kau selamat, Parmin! Aku sangat mengkhawatirkan nasibmu!” ucapnya dengan suara tersendat menahan haru sambil menjatuhkan tubuhnya kepelukan Parmin.

“Aku hampir saja tewas, Yulia! Untunglah Allah senantiasa melindungiku!” ujar Jaka Sembung.

Sejenak mereka terbenam dalam keharuan, tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Namun kedua orang yang tak lain pendeta Yorgen dan ayahnya sendiri memaklumi perasaan mereka yang baru saja terlepas dari peristiwa hidup dan mati.

Parmin terkejut oleh sikap Yulia yang tiba-tiba melepaskan dekapannya dan serta merta menjauh dari Parmin.

“Oh....... Aku....... Aku pun sudah mati! Aku merasa sudah tak ada gunanya lagi....... Di hadapanmu....... Buatmu, Parmin!” ucap Yulia sambil mengenang peristiwa yang telah merenggut kesuciannya itu.

Parmin berusaha mendekati Yulia dengan memberikan kata-kata lembut dan sikap yang sangat hati-hati.

Pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman dengan berharap-harap cemas, tak lepas-lepas memperhatikan tingkah laku kedua muda mudi itu terutama Yulia. Yan Van Boerman sangat prihatin dan takut kalau-kalau anaknya putus asa dan tak dapat menerima kenyataan sehingga menyebabkan goncangan jiwa yang cukup patal.

“Kau lihat, Yan! Tuhan telah mengulurkan tangan-Nya dengan perantaraan Parmin, karena kita berada di jalan yang benar!” ujar pendeta Yorgen.

“Ya, Bapa! Tapi kasihan anakku! Dia telah ternoda oleh makhluk iblis itu,” ucapnya dengan nada sedih.

Dengan tenang dan penuh wibawa pendeta Yorgen berkata kepada Yan Ban Boerman seperti sikap seorang ayah yang menasehati anaknya yang sedang dirundung kemalangan.

“Aku tahu perasaanmu, Nak! Tabahkan hatimu karena ini sudah menjadi takdir Tuhan! Kalau seandainya di saat itu Parmin telah siuman dari pingsannya, pastilah putrimu dapat diselamatkan! Aku tahu saat itu Parmin sedang dalam keadaan sangat kritis, antara hidup dan mati!”

Sementara itu Parmin sudah dapat menyalakan api semangat hidup Yulia yang hampir punah, karena senantiasa, dihantui perasaan yang tak menentu tentang dirinya yang sudah ternoda. Akhirnya mereka saling merangkul.

Pendeta Yorgen dan ayahnya merasa sangat gembira karena kecerahan anak gadisnya sudah pulih seperti sediakala. Itu terlihat dari tatapan matanya yang tampak berbinar-binar.

“Mari kita pulang, Yulia! Kawan-kawan yang lain tentu sudah menunggu kita! Jangan kau cemaskan tentang kesucianmu! Hatimu tetap suci karena tidak menghendaki semua ini terjadi!” ucap Parmin sambil menuju ke tempat di mana ayahnya dan pendeta Yorgen berada, dan mengajak mereka sama-sama untuk meninggalkan tempat itu menuju ke perkampungan suku Nabire.

◄Y►

12

Sementara itu perang pun telah usai. Korban bergeletakan di sana sini dengan ditebari anyirnya darah. Di antara tumpukan mayat itu, berdirilah Awom si panglima suku Kaimana dengan gagahnya dengan tombak yang berlumur darah masih dalam genggamannya.

Da-Fan yang melihat kekasihnya masih berdiri tegap, cepat-cepat berlari menuju padanya, kemudian serta merta tubuh tegap berotot itu didekapnya erat-erat.

“Awom.......!” teriak gadis Nabire itu dengan air mata gembira.

“Da-Fan.......!” sambut pemuda Kaimana itu.

“Akhirnya kita bebas, Awom! Kita bisa merayakan perkawinan kita dengan segera!” kata Da-Fan dengan suka cita. “Kita adakan pesta meriah! Pamanku Kya-Fa akan diangkat sebagai kepala suku Nabire yang baru. Sekarang kepala suku bertopeng tengkorak itu telah tewas di tangan pendekar Gunung Sembung, Parmin!”

Mereka, suku Nabire sangat gembira menyambut kemenangan yang mereka peroleh dalam membasmi keangkaramurkaan. Ada yang menari berpasang-pasangan, ada pula yang berjingkrak-jingkrak sambil mengacung-acungkan tombak yang masih berlumuran darah diiringi suara gendang yang bertalu talu.

“Lihatlah, Awom! Mereka bergembira merayakan kemenangan! Tidakkah kau merasa bahagia, Awom?” tanya Da-Fan yang masih tak mau melepaskan dekapannya pada Awom.

Suasana di teluk Nabire itu kini sangat ramai dengan sorak sorai, suara nyanyian, teriak-teriakan serta yel-yel kemenangan, membaur bercampur aduk menjadi suasana hiruk pikuk. Namun mereka tak perduli, yang penting mereka kini bahagia tanpa ada yang mengganggu ketentraman suku dan perkampungan mereka.

Dari kerumunan orang-orang serta bisingnya suara tetabuhan, seseorang yang tak lain adalah paman Da-Fan yang bernama Kya-Fa, menghimbau mereka agar turut serta.

“Hai, Da-Fan! Awom! Mari sini kita rayakan kemenangan kita, ha ha ha! Belum waktunya kalian bermesra-mesraan! Tunggu sampai malam turun! Ha ha ha ha......! Mari kita adakan pesta semeriah-meriahnya!”

Namun tanpa disadari, nyawa kepala suku yang baru dilantik itu terancam oleh seorang anggota suku lawannya yang ternyata masih hidup. Da-Fan dan Awom seketika terkejut melihat ia akan membokong pamannya dari belakang dengan sebilah tombak.

Dengan cekatan Da-Fan memperingati pamannya dibarengi sebuah dorongan tangan yang membuat pamannya terhempas dan luput dari sasaran. Tapi sayangnya tubuh Da-Fan sendirilah yang menjadi sasaran tombak sebagai penggantinya.

Awom yang melihat itu menjadi terkejut. Dengan cepat Awom bertindak dengan sebilah tombak yang masih ada di tangannya. Baru saja prajurit itu hendak melarikan diri, tombak Awom lebih cepat bersarang di punggungnya. Tak ayal lagi tubuh itu ambruk tersungkur ke tanah dan tak berkutik lagi. Kemudian Awom berlari mendapatkan Da-Fan yang sedang meregang nyawa,

“Da-Fan......!” Ia menubruk tubuh kekasihnya dengan nada tangis yang lirih. “Da-Fan kuatkan dirimu!”

“Awom...... A...... wom....... Aku sangat cinta padamu....... uuuuk! Ja...... ngan kau bersedih...... kita akan selalu berkumpul di alam yang lain, kekasihku.......”

“Tidak, Da-Fan! Kita akan merayakan perkawinan kita sekarang!”

“Tidak, Awom.......! Wajah ayahku telah terbayang-bayang di depanku! Ia mengulurkan tangan mengajakku ke suatu tempat yang indah! Aku akan senantiasa setia menunggumu di sana! Awom....... Tubuhku dingin peluklah aku! Dekaplah....... akh!”

“Da-Fan......!” Awom berteriak histeris mengiringi detik-detik terakhir kekasihnya dengan tubuh berlumuran darah tertembus sebilah tombak. Dia gugur karena menyelamatkan jiwa pamannya, seorang kepala suku Nabire yang baru yang akan membawa suku Nabire kelak menuju kejayaan dan kemajuan pada masa yang akan datang.

Sedangkan Da-Fan, namanya akan selalu dikenang dan menjadi tonggak sejarah bagi suku Nabire. Da-Fan seorang gadis Nabire yang gagah dan pemberani, dia turun ke medan laga tanpa mengenal takut dan apa itu mati. Yang ada di benaknya hanyalah bagaimana mengembalikan tanah tumpah darahnya kembali tentram dan damai di bawah pemerintahan sendiri.

Awom merasa sangat sedih, kenapa orang sebaik Da-Fan begitu cepat menuju kematian. Da-Fan adalah seorang gadis yang sangat berarti dalam kehidupannya. Dialah yang menyelamatkan dirinya, dialah yang telah memberi suatu kegairahan baru. Dia rela mengorbankan jiwa agar terlaksana apa yang dicita-citakan ayahandanya untuk merebut kembali perkampungan suku Nabire dari kekuasaan suku pedalaman yang masih liar dan buas.

Kya-Fa yang kini menjadi kepala suku, merasa sedih melihat keponakannya mati lantaran berkorban untuk keselamatan jiwanya.

“Da-Fan!! Kau gugur untuk menyelamatkan jiwaku! Kau pahlawan suku Nabire yang gagah berani!”

<>

Hari begitu cepat berganti, malam yang sangat mencekam telah berganti pagi. Matahari mulai menyinari alam, membentuk panorama yang indah di bukit Sarera.

Terlihat dari kejauhan beberapa kelompok manusia yang tak lain adalah orang-orang suku Nabire yang baru saja membebaskan negerinya, mulai bekerja. Ada yang sedang memperbaiki rumah-rumah mereka yang roboh, ada yang menyapu halaman membersihkan puing-puing dari bangunan dan pohon-pohon yang tumbang. Sebagian dari mereka menggali tanah untuk mengubur mayat-mayat yang bergelimpangan di segala penjuru perkampungan.

Kegiatan mereka dibantu pula oleh orang-orang suku Kaimana yang pada saat pertarungan suku kanibal itu datang membantunya. Dua kelompok suku Papua yang sudah mengenal sedikit peradaban itu tampak bekerja rukun saling bahu membahu guna membersihkan serta membangun kembali perkampungan yang telah porak poranda. Di tengah mereka tampak Kya-Fa berseru.

“Hai, Rakyatku! Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah bagi negeri kita. Beberapa orang saudara kita seperti kalian lihat dengan mata kepala sendiri, mereka gugur guna mempertahankan kewibawaan suku Nabire dari gangguan orang-orang yang bermaksud menjajah kita. Dia berjuang tanpa mengenal takut, dia berani mengorbankan nyawanya demi untuk sukunya! Dengan demikian kita doakan semoga arwah mereka diterima para dewa yang bersemayam di tempat yang jauh!”

Setelah berkata sang kepala suku memerintahkan salah seorang tokoh agama suku Nabire untuk memimpin upacara. Sebelum upacara dimulai, sebagian mereka menyiapkan kayu-kayu kering dan menumpukkannya di tengah-tengah halaman. Sebentar kemudian kayu-kayu itu dirambati api.

Semakin lama api itu semakin membesar. Seluruh anggota suku mengitari api unggun itu dengan langkah-langkah yang mencerminkan suasana sakral sebagai tanda sedang berkabung.

Suasana hening sejenak ketika terlihat serombongan orang suku Nabire mengusung sesuatu seperti keranda yang berhias tengkorak binatang dan taring-taring babi hutan. Berdiri paling depan pada rombongan tadi adalah tokoh agama suku yang berjubah dengan tutup kepala terbuat dari bulu-bulu Cendrawasih dan hiasan-hiasan lain yang menyerupai tanduk. Di dalam keranda itu terbaring jenazah Da-Fan, pahlawan suku Nabire.

Menurut adat mereka, jenazah golongan bangsawan suku harus diawetkan dengan rempah-rempah pengawet sehingga tubuh orang yang mati tetap utuh untuk selamanya.

Baik Jaka Sembung maupun pendeta Yorgen tak dapat berbuat apa-apa dengan adat istiadat mereka, walaupun kedua orang itu sependapat bahwa sebaiknya semua jenazah tanpa memandang tingkat sosial masing-masing, harus dikebumikan ke dalam tanah.

***