Jaka Sembung 15 - Raja Sihir dari Kolepom(2)

“Ha-ha-ha! Sungguh lucu tingkah mereka, Womere. Aku geli melihatnya,” kata Wan-Da-I

“Sudah pasti mereka tidak akan tertolong, Tuanku! Pasir apung itu sangat lembut untuk dipijak. Bagaimana pun tingginya ilmunya, mereka tidak akan bisa selamat dari cengkeraman rawa-rawa itu. Lihat, akan kubikin lebih lucu lagi!”

Setelah berkata begitu, Womere segera merubuhkan bebatuan dari atas puncak tebing dan langsung berhamburan menggelinding ke arah si Kaki Tunggal dan Bungoru.

“Pengawal setia Pampani itu harus ikut tercebur ke dalamnya. Biar tahu rasa dia!” teriak tukang sihir itu dengan suara keras mengatasi hiruk pikuknya puluhan bahkan mungkin ratusan bongkah batu yang runtuh.

Hujan batu itu meluncur sangat cepat dan karena jumlahnya banyak sekali, Bungoru tidak sempat mengelak. Tubuhnya terpelanting ketika punggungnya dihantam sebongkah batu yang sebesar rusa dewasa.

Laki-laki bertubuh raksasa itu masih mencoba bertahan sambil menghindar ke samping, namun pada saat itu, bongkahan batu lainnya kembali menghantam dadanya.

“Aaaaakh!” Bungoru menjerit panjang. Dadanya terasa nyeri dan tanpa ampun lagi, tubuhnya pun tercebur ke dalam rawa-rawa.

Batu-batuan yang menyusul menimpanya membuat tubuhnya cepat terbenam ke dalam pasir berlumpur, sedangkan si Kaki Tunggal yang berada di tengah rawa luput dari hantaman hujan batu itu.

“Awas, Bungoru!” teriak si Kaki Tunggal tanpa sadar. Secara refleks ia hendak meloncat, namun tubuhnya malah tambah terbenam. Untunglah ia segera menyadari bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya, sehingga tak berani lagi bergerak.

“Wah, hebat sekali permainanmu. Aku benar-benar puas mempermainkan mereka seperti itu,” kata Wan-Da-I sambil tertawa terpingkal-pingkal.

“Tak percuma Tuanku mengundang aku jauh-jauh dari Pulau Kolepom. Biarlah mereka merasakan penderitaan yang sangat hebat sebelum tewas. Tapi sayang sekali, kita tidak bisa menyaksikan pemandangan yang sangat menarik ini. Waktu kita sangat mendesak, Tuanku!

“Sekarang kita harus menemui Wori, karena segalanya sudah siap. Tak perlu ragu, kedua tikus itu pasti akan mampus di sana!”

“Baiklah kalau begitu, Womere. Bagaimana pun urusan inilah yang paling penting bagi kita.”

Kedua makhluk sakti tapi sesat itu berkelebat bagaikan angin, meloncati bukit-bukit dengan sangat ringannya, sehingga dalam sekejap sudah menghilang dalam kegelapan malam.

Melihat kepergian kedua lelaki iblis itu, hati si Kaki Tunggal agak lega. Akan tetapi karena sadar bahwa ia dan Bungoru tidak akan mungkin menyelamatkan diri tanpa bantuan orang lain, maka hatinya pun cemas juga.

Bagaimanapun juga, rawa-rawa tersebut memiliki tenaga sedot yang sifatnya sangat lemas, sehingga tidak akan mungkin bisa dilawan. Hal itu kembali menyadarkan si Kaki Tunggal bahwa tenaga lemas sebetulnya jauh lebih berbahaya daripada tenaga yang sifatnya keras.

Seandainya tubuh si Kaki Tunggal tertanam di dalam tanah atau bahkan di dalam tembok, besar sekali kemungkinan ia akan dapat menyelamatkan diri. Tetapi sekarang, berada di dalam rawa yang punya daya sedot dahsyat yang sifatnya lunak ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.

Malahan semakin banyak bergerak, tubuhnya terasa makin tersedot. Seorang pendekar gagah perkasa seperti si Kaki Tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan dan tidak terhitung lagi entah berapa kali menghadapi atau terancam maut, sebenarnya tidak pernah takut mati.

Tetapi kalau caranya sangat konyol seperti itu, diam-diam hatinya bergidik juga. Kalau mampus sewaktu bertarung tentu mempunyai kebanggaan tersendiri, paling tidak akan dianggap tokoh yang bukan pengecut.

Untunglah saat itu terdengar suara derap langkah kaki disertai suara pembicaraan yang cukup ramai. Si Kaki Tunggal dan Bungoru sangat girang karena rombongan yang baru muncul di tempat itu adalah pasukan laskar yang dipimpin langsung oleh Pampani.

“Tolong keluarkan kami dari lumpur iblis ini!” teriak si Kaki Tunggal.

Sikap pendekar itu tampak menggelikan, wajahnya kadang-kadang pucat tetapi sebentar kemudian berubah merah lagi. Hal itu membuat beberapa orang anggota laskar tersenyum tertahan-tahan dan menduga si Kaki Tunggal sangat takut berada di dalam rawa tersebut tetapi juga merasa malu untuk berterus terang.

Baru sekarang mereka melihat pendekar yang sangat sakti dan gagah perkasa itu ketakutan! Pampani segera melemparkan seutas tali ke arah Kaki Tunggal, lalu setelah ujungnya dipegang erat-erat oleh pendekar itu, ia berkata.

“Pegang erat-erat, jangan sampai terlepas. Jangan khawatir, kau pasti selamat!”

Dibantu beberapa orang anak buahnya, Pampani berhasil mengangkat tubuh si Kaki Tunggal dari rawa berlumpur itu. Sedangkan yang lain ramai-ramai pula mengeluarkan tubuh Bungoru yang seperti gajah itu.

“Untunglah kalian segera datang. Kalau tidak........” kata si Kaki Tunggal tanpa meneruskan ucapannya.

Sejenak ia melirik rawa berlumpur pasir itu. Seandainya ia dan Bungoru terbenam tadi, tentu tidak akan ada bekasnya dan mereka akan mampus tanpa pernah diketahui di mana berada.

“Aku sengaja membawa laskar kita untuk mencari saudara Karta. Tetapi tadi kami mendengar suara mencurigakan di sekitar tempat ini, sehingga dapat membantu kalian. Aneh, ada apa sebenarnya sampai kalian tercebur ke dalam rawa-rawa itu?”

“Wah, kami baru saja bertemu dengan.......”

“Ah, tidak!” Si Kaki Tunggal cepat-cepat menyela ucapan Bungoru yang tampaknya sangat bernafsu menceritakan pengalaman mereka tadi. Akan tetapi si Kaki Tunggal segera menyadari bahwa di situ cukup banyak pasukan laskar, karena itu pertemuan mereka dengan Wan-Da-I serta Womere tidak perlu diceritakan. Nanti nyali laskar itu menjadi ciut dan jika itu benar-benar terjadi yang rugi adalah mereka sendiri

“Kami kebetulan saja tergelincir dari atas tebing cadas. Tapi aku sungguh tak menyangka akibatnya seperti ini. Luar biasa, aku merasa seperti orang lumpuh saja.”

“Syukurlah kalian tidak apa-apa. Lalu bagaimana dengan saudara Karta? Sebaiknya kita mengadakan pencaharian lagi. Laskar yang ada di sini sekarang sengaja kupilih orang-orang yang pintar menyelam. Kita harus bisa menemukannya!”

“Baiklah, Pampani. Tapi bagaimana dengan Bungoru? Tampaknya ia masih tak sadarkan diri dan menderita luka-luka.”

“Tidak apa-apa, tak perlu dikhawatirkan. Sebentar lagi dia pasti siuman. Dialah satu-satunya manusia katak yang betah menyelam berjam-jam lamanya.”

“Kasihan dia!” Pampani cuma menghela nafas panjang, lalu menyuruh beberapa anak buahnya merawat Bungoru.

Dan kepada yang lainnya, ia berkata dengan suara yang tidak terlalu keras namun penuh wibawa. “Sekarang kita harus melakukan pencaharian lagi. Saudara Karta jatuh di sekitar tempat ini. Kalau tidak terjadi sesuatu yang luar biasa, tubuhnya pasti masih di sekitar perairan tepi pantai ini!”

Tanpa banyak mengucapkan kata-kata, para laskar itu pun segera terjun ke laut menyelam mencari Karta. Sebagian di antaranya berjaga-jaga di tepi pantai sambil memeriksa keadaan di sekelilingnya siapa tahu dapat menemukan tanda-tanda untuk mempermudah mereka melakukan pencaharian.

◄Y►

3

Sementara itu, si Gila dari Muara Bondet masih duduk termenung di dalam terowongan di pinggir laut. Ia yakin dirinya sekarang sudah sangat jauh dari tempatnya tercebur ke laut.

Entah bagaimana sebenarnya ia bisa selamat dan lebih mengherankan lagi, tubuhnya terasa segar kembali. Padahal tadinya ia menderita luka-luka yang sangat parah hingga beberapa kali memuntahkan darah segar.

Ia pun menduga air laut di sekitar tempat itu mengandung zat-zat penyembuhan yang mujarab. Sekarang yang menjadi beban pikirannya adalah bagaimana ke luar dari tempat itu, dan ke arah mana ia harus berenang agar lebih cepat bisa kembali ke istana.

Ia teringat tulang belulang dan tengkorak manusia di dalam terowongan, berarti kemungkinan besar terowongan itu tidak jauh dari kandang ikan-ikan hiu. Maka tanpa pikir panjang lagi, ia segera terjun dan menyelam cepat sekali di dalam laut.

Karena Karta sejak kecil memang sudah sangat pintar berenang, dan sekarang tubuhnya terasa jauh lebih segar, maka tubuhnya pun melesat cepat sekali bagaikan ikan cucut. Hanya dalam waktu singkat, ia sudah berhasil menyelam jauh dari terowongan tadi.

Tiba-tiba telinga Karta yang tajam bagaikan alat pendengaran lintah itu menangkap gerakan-gerakan mencurigakan di atas permukaan laut, seperti gerak benda yang sedang meluncur. Entah benda apa ia sendiri belum bisa menduga.

Ketika tubuhnya meluncur makin ke atas, suara itu semakin jelas terdengar olehnya. Karena ingin tahu benda apa yang mencurigakan hatinya itu, maka Karta pun segera muncul secara perlahan-lahan ke permukaan air laut.

Ternyata sebuah perahu! Entah perahu siapa, namun yang pasti bukan perahu penduduk pribumi. Bukankah perahu penduduk Kepulauan Aru biasanya selalu memakai cadik?

Tidak seperti perahu yang dilihatnya, selain tak mempunyai cadik, bentuknya juga tampak lebih bagus dan diperlengkapi peralatan yang sangat menarik.

Karta segera menyelam kembali karena tidak ingin kehadirannya diketahui penumpang perahu itu, tetapi diam-diam ia mengikutinya dari jarak yang cukup dekat. Ternyata perahu itu telah merapat di tepi pantai, di bawah tebing-tebing cadas terjal. Karta pun segera timbul ke permukaan di balik bebatuan agak jauh dari perahu itu.

Di kegelapan malam, secara samar-samar Karta dapat melihat penumpang perahu itu. Ternyata hanya dua orang laki-laki berkulit putih. Tentu saja Karta terkejut bukan main. Apa gerangan maksud kedua orang kulit putih itu?

Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, si Gila mengamati kedua laki-laki itu. Salah seorang di antaranya sudah tua, mungkin berusia sekitar enampuluh tahun, dengan kepala kelimis di bagian depan, sedangkan rambut yang tumbuh di belakang kepala sudah memutih dan tumbuh jarang.

Tubuhnya gemuk, namun tampak masih sehat dan kuat, terbukti dengan langkah kakinya yang masih cukup cepat dan mantap walaupun di punggungnya tergantung ransel berukuran cukup besar. Laki-laki itu mengenakan kaca mata tetapi hanya di sebelah mata kanan diikatkan dengan rantai halus.

Kumis dan janggutnya yang panjang dan agak kurang terurus tampak sudah memutih. Melihat ciri-cirinya dapat diduga ia datang dari negeri Belanda.

Lelaki berkulit putih lainnya masih muda belia, paling berusia tigapuluh tahun. Kulitnya putih bersih dan bentuk wajah yang bulat lonjong sehingga tampak sangat tampan.

Rambutnya yang pendek disisir rapi dan tubuhnya tegak dan tampak sangat kuat. Sepasang matanya selalu berbinar-binar dan tak henti-hentinya melirik ke kiri ke kanan, pertanda lelaki itu memiliki kewaspadaan yang tinggi.

Tetapi bisa juga ia seorang lelaki yang sangat sulit percaya kepada orang lain dan memiliki sifat sombong. Di pinggangnya tergantung sebuah pistol dan di punggungnya, di atas ransel ia menyandang sebuah senapan laras panjang.

Kedua lelaki berkulit putih itu sama-sama mengenakan sepatu laras panjang pula, sehingga selalu menimbulkan suara berdetak-detak jika menginjak batu-batu cadas. Laki-laki tua itu adalah seorang ahli biologi dan ilmu alam bernama Profesor Van Leinen, sedangkan yang muda bernama Simon. Ahli biologi dan ilmu alam itu tampaknya hendak melakukan penyelidikan di sekitar Kepulauan Aru, sedangkan Simon yang gagah tapi terlihat angkuh merupakan pengawal.

“Aku yakin kita mendarat di tempat yang benar,” kata Profesor Van Leinen sambil membuka sebuah peta yang tadi dikeluarkan dari saku bajunya.

“Enam setengah derajat lintang Selatan, seratus tigapuluh empat derajat bujur Timur. Cocok pada peta,” kata Simon setelah memperhatikan peta itu beberapa saat.

“Bagus! Kita sudah separuh berhasil, Simon. Dunia Barat tentu akan gempar oleh hasil ekspedisi kita. Luar biasa! Nama kita akan terkenal dan dihormati para ahli biologi di seluruh dunia.” Sejenak profesor tua itu menghentikan ucapannya sambil melepaskan kegembiraan hatinya dengan tersenyum.

“Menurut kapten kapal sahabatku yang diperkuat pula oleh keterangan nelayan-nelayan pribumi di pulau ini, buruan kita itu berkeliaran di sekitar bukit-bukit itu. Kita tidak mungkin salah lagi.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang. Prof?”

“Sekarang adalah waktunya bagi kita untuk istirahat. Kita harus menyusun tenaga untuk memulai pemburuan beberapa hari lagi. Suatu perburuan besar.”

Kedua orang kulit putih itu melanjutkan perjalanan dengan mendaki lereng-lereng bukit cadas. Simon mengatakan agar mereka secepatnya memilih tempat yang cocok untuk berkemah. Kawan seperjalanannya mengangguk setuju, tetapi tiba-tiba Simon menghentikan langkahnya.

“Tunggu dulu. Prof! Naluriku menyatakan bahwa ada yang mengikuti kita dari belakang.”

“Ah, kau Simon! Itu hanya ilusimu saja. Karena kau baru mendarat di sebuah pulau asing, maka selalu mencurigai setiap gemerisik daun-daunan.”

“Mungkin juga, Prof!” sahut Simon agak ketus, “Tetapi kau harus mengingat bahwa aku dari pendidikan kepolisian. Firasatku sudah sangat tajam sebagai seorang penyelidik!”

Mendengar itu, diam-diam Karta merasa kagum juga. Betapa tidak, sejak tadi ia sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, namun ternyata laki-laki yang dipanggil Simon itu masih sempat mencurigainya. Kalau tidak memiliki ilmu pendengaran yang sangat tajam, sedikitnya lelaki muda itu pastilah mempunyai naluri yang sangat tajam.

“Jangan bergerak!” Tiba-tiba Simon sudah meloncat berbalik dan langsung menodongkan pistolnya ke arah Karta. “Tetap di tempat dan jangan coba-coba menipu kami!”

Nada bicara lelaki itu benar-benar mengancam dan dari sinar matanya yang mencorong tajam dan buas dapat diterka bahwa ia akan betul-betul menembak jika kata-katanya tidak dituruti. Karta tidak berani main-main lagi dan sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

“Lihat, Profesor! Firasatku terbukti, bukan? Penduduk pribumi ini hendak membokong kita. Dia harus kita singkirkan!”

“Simon, jangan!” Profesor Van Leinen berteriak mencegah.

Namun sudah terlambat, karena senjata api genggam itu sudah menyalak dan jilatan-jilatan api mendesing ke arah si Gila Dari Muara Bondet.

Karta terkejut bukan main melihat sambaran kilatan api yang mengarah ke tubuhnya. Selama petualangannya di dunia persilatan ia sudah sangat sering menghadapi senjata rahasia lawan.

Tetapi peluru senjata Simon tampaknya jauh lebih cepat dan berbahaya lagi. Maka sambil berseru nyaring, ia segera meloncat ke samping. Ia dapat mengelakkan peluru yang dilepas Simon, tetapi tak urung dadanya berdebar juga karena tadi nyaris ia tewas karena senjata lawan.

“Stop! Jangan menembak, Simon!” Kembali Profesor tua itu berteriak mencegah.

Tetapi Simon tampak tidak mau perduli lagi. Sebagai seorang yang pernah mengikuti pendidikan kepolisian di negerinya dan sudah sangat mahir menembak, ia penasaran juga melihat lawan bisa menghindar. Hampir tak dipercaya dia bahwa di dunia ini ada orang yang bisa mengelak secepat itu.

“Kali ini tidak akan meleset! Mampus kau, keparat!”

Kembali terdengar suara tembakan menggelegar dan beberapa butir peluru akan menyambar tubuh Karta.

Namun tak percuma Karta dijuluki si Gila Dari Muara Bondet kalau tidak bisa mengatasi ancaman seperti itu. Setelah berhasil menghindari terjangan peluru lawan, ia meraup segenggam rumput dan dengan mengerahkan segenap tenaga dalam, ia menyambitkan rumput-rumput itu ke arah pistol Simon.

Daun-daun itu meluncur dengan kecepatan luar biasa sehingga tidak tampak oleh Simon maupun Profesor tua. Mereka hanya sempat melihat seberkas kilat di kegelapan malam dan tahu-tahu pistol di tangan Simon sudah terpukul jatuh.

“Hah?” Simon berseru kaget. Ia mencoba melihat ke arah mana senjatanya melayang.

Namun tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan berkelebat dan sebelum menyadari apa yang telah terjadi, di hadapannya telah berdiri Karta sambil menodongkan pistol ke arahnya.

Sungguh luar biasa kecepatan gerak Karta, sehingga Simon dan Profesor Van Leinen tidak sempat melihat bagaimana caranya pendekar itu memukul jatuh senjata itu kemudian menyambarnya. Tadi mata Karta yang tajam bagaikan mata kucing sempat memperhatikan bagaimana cara Simon mempergunakan senjata maut itu, dengan demikian biarpun merasa agak janggal ia sudah bisa menggunakannya.

“Jangan coba-coba melawan atau melarikan diri. Kalau aku mau sekali pukul saja kalian berdua pasti akan tewas. Karena itu sekarang jawab pertanyaanku. Apa maksud kalian datang ke mari, hah?”

“E..... eh…...!” Simon tergagap dengan wajah pucat dibasahi keringat dingin.

Ia sadar sekali peluru senjata itu menyembur, maka nyawanya akan melayang. Tak mungkin ia bisa berbuat atau mengelak seperti halnya Karta.

“Kalau kalian tidak mau menjawab, kupecahkan batok kepala kalian dengan senjata ini. Kalian boleh percaya, boleh tidak. Tetapi jangan menyesal jika aku terlanjut membunuh kalian di sini.

“Hm, kalian tampaknya memilih diam daripada berterus terang. Baiklah, akan kuhitung sampai tiga dan jika kalian belum juga menjawab jangan harap masih hidup lebih lama lagi. Satu..... dua….. ti......”

“Tunggu!” teriak Profesor Van Leinen dengan wajah pucat pasi, “Jangan tembak kami! Baiklah, kami akan bicara terus terang. Kedatangan kami ke pulau ini sebenarnya adalah untuk menyelidiki tentang adanya manusia kera, yang menurut keterangan hanya muncul di kala terang bulan. Kami sama sekali tidak bermaksud jahat. Harap saudara yang baik hati mau memaafkan kami.”

“Jangan coba-coba menipuku!”

“Tidak! Aku Profesor Van Leinen dan ini sahabatku Simon bermaksud menyelidiki manusia yang sewaktu-waktu bisa berubah jadi kera, yang di negeri kami Eropa juga terdapat. Tetapi para Sarjana Eropa saat ini sedang berlomba-lomba menyelidiki kebenaran itu setelah mendapat petunjuk dari buku-buku kuno.”

“Baiklah, orang tua seperti engkau tentu tidak akan mau berbohong. Aku percaya pada keterangan kalian. Hanya saja, kalian hanya akan menemui kekecewaan, karena makhluk seperti itu hanya ada satu di kepulauan ini dan itu pun sudah mati kira-kira sebulan yang lalu. Aku sendiri ikut menyaksikannya.”

“Ah, tidak mungkin! Makhluk seperti itu tidak mudah mati. Ia bisa menderita luka tapi tidak akan mati, kecuali jika jantungnya ditembak dengan sebutir peluru dari emas murni.”

“Baiklah kalau begitu. Karena kalian tidak bermaksud buruk, maka pistol ini kukembalikan dan kita bisa bersahabat. Mari kubantu kalian mendirikan perkemahan.”

Karta jelas mempercayai lelaki yang mengaku bernama Profesor Van Leinen itu, karena sinar mata dan sikapnya kelihatan benar-benar tulus, bukan seperti si orang muda bernama Simon yang tampaknya angkuh. Ia sebetulnya menyadari bahwa manusia kera yang dimaksud orang kulit putih itu adalah Wan-Dai-I sendiri.

Dikatakan bisa berubah sewaktu-waktu menjadi kera sebenarnya tidak demikian hanya karena tokoh sesat itu memang sering mengenakan topeng sehingga mirip kera raksasa.

Namun diam-diam, Karta merasa kagum juga mendengar penuturan profesor tua itu, bahwa si manusia kera hanya bisa mati jika jantungnya ditembak dengan peluru emas murni. Siapa tahu ketika Wan-Da-I dahulu kala menderita luka-luka sebetulnya belum mati, melainkan hanya menderita luka-luka dan karena jantungnya tidak ditembus peluru emas murni, ia bisa sehat kembali.

Dengan demikian, sedikit banyaknya, kedua lelaki berkulit putih itu tentu bisa membantunya nanti melumpuhkan Wan-Da-I.

Menjelang tengah malam, kemah itu pun rampunglah sudah. Profesor tua itu dengan ramah tamah mengajak Karta tidur bersama-sama di dalamnya. Namun dengan halus ditolak oleh si Gila Dari Muara Bondet dan mengatakan bahwa ia sudah terbiasa hidup di alam terbuka.

Saat itulah Simon mengatakan sesuatu yang terasa sangat menyakitkan perasaan Karta.

“Profesor, mengapa engkau selalu membujuk-bujuknya? Biarkan saja dia tidur di luar,” katanya.

Agaknya selain karena memiliki sifat congkak, pemuda itu pun masih penasaran akan peristiwa barusan di mana senjatanya dapat direbut Karta dengan gerakan yang sangat cepat.

Karta tidak mau menunjukkan isi hatinya yang jelas tersinggung, melainkan tersenyum dan suaranya masih tetap terdengar dengan nada bersahabat.

“Jangan terlalu menghiraukan diriku. Seperti saya bilang tadi, saya sudah biasa tidur di alam terbuka. Harap Tuan-tuan berdua mau mengerti.”

Kemudian Karta tidur di luar, sekitar sepuluh meter dari kemah kedua orang kulit putih itu. Sejenak ia masih kesal mengingat sikap Simon. Sebagai pendatang, pemuda itu seharusnya bersikap sopan, tidak seperti itu.

Inginlah rasanya Karta mengusir kedua kulit putih itu. Bila perlu dengan cara kekerasan, kalau pun misalnya mereka melawan, sekali atau dua kali pukul saja tentu kedua orang asing itu akan tewas. Tetapi ia adalah seorang pendekar yang memiliki hati tabah, selalu mau bersabar sebab bagaimanapun juga, bersahabat adalah lebih baik daripada bermusuhan.

Agaknya profesor tua itu pun tidak setuju dengan sikap Simon. Sewaktu berbaring di kemah, ia menasehati Simon agar bersikap lebih ramah dan sopan kepada penduduk pribumi, karena bagaimana pun jika mereka bermusuhan dengan pribumi, misi mereka tentu tidak akan bisa berjalan lancar.

Simon tetap saja membantah dan selalu berbicara dengan menyebut-nyebutkan pendidikan kepolisiannya. Bagi dia, sikap Karta hanyalah tipuan saja, pura-pura bersikap baik, padahal maksudnya adalah untuk memperdayai.

Cukup lama kedua laki-laki berkulit putih itu berdebat mempertahankan pendapat masing-masing, hingga akhirnya Profesor Van Leinen tertidur kelelahan.

Ternyata perdebatan itu pun membuat Simon semakin penasaran. Kemarahannya semakin memuncak dan karena terlalu menurutkan perasaan, ia akhirnya bermaksud membunuh Karta. Setelah merasa yakin bahwa profesor tua itu sudah tertidur pulas, ia segera bangkit dan mengambil pistolnya, kemudian melangkah ke luar kemah.

Matanya segera menatap liar ke arah Karta yang sedang tertidur di atas semak-semak berselimutkan kain sarungnya. Dengan berjingkat-jingkat supaya tidak menimbulkan suara mencurigakan, ia mendekati Karta. Setelah tinggal dua langkah lagi, Simon berhenti. Ia menarik nafas sekedar menenangkan perasaannya yang penuh gejolak amarah.

“Mampus kau, manusia penipu.”

Hatinya memaki geram. Perlahan-lahan, ia menarik pelatuk senjatanya dan beberapa saat kemudian terdengarlah suara ledakan sebanyak tiga kali.

“Dor! Dor! Dor!”

Simon tersenyum puas. Tetapi ketika ia menarik kain sarung itu ia berteriak kaget bahkan sempat meloncat mundur, seakan-akan tak percaya pada penglihatannya sendiri. Ternyata di dalam bungkusan kain sarung itu hanyalah sebatang kayu serta daun-daun kering.

“Hah? Kosong? Bangsat!” bentak Simon tak sadar.

Sebelum ia bisa menguasai perasaan, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat sekali dan langsung menghantam punggungnya.

“Buk!”

Tubuh Simon terpelanting hampir sepuluh meter. Untung ia seorang pemuda yang memiliki tubuh kuat. Kalau tidak, sedikitnya ia akan pingsan menerima pukulan sekuat itu.

Karta yang memukulnya dengan geram. Tadi pendekar gagah perkasa itu sudah sempat berbaring di atas semak-semak berbantalkan sebatang kayu yang cukup besar. Tapi karena firasatnya membisikkan bahwa Simon akan berbuat jahat padanya, maka ia tetap waspada.

Apalagi ketika ia melihat Simon melangkah ke luar kemah secepat kilat ia meloncat ke balik semak-semak setelah terlebih dulu membungkus batang kayu tadi dengan kain sarungnya. Tak terkatakan betapa marahnya pendekar itu melihat Simon menembak batang kayu itu. Seandainya ia tidak waspada tadi, tentu ia sudah mati diterjang peluru-peluru senjata Simon.

Sungguh suatu sikap yang tidak bisa dimaafkan begitu saja! Dengan pikiran seperti itu, Karta pun segera meloncat dari tempat persembunyiannya dan langsung menghajar Simon. Masih untung ia tak mengerahkan segenap tenaga dalamnya, sehingga Simon masih dapat bernafas walaupun dengan tulang punggung retak menimbulkan rasa yang sangat nyeri.

“Kurang ajar! Manusia seperti kau harus diberi pelajaran!” kata Karta geram.

Secepat kilat ia menarik krah baju Simon dan sekali menggerakkan tangan, tubuh itu pun terangkat dan langsung dibantingkan sekuat tenaga.

Simon menjerit tertahan, karena tiba-tiba saja ia merasa kerongkongannya tersumbat dan pandangan matanya pun berkunang-kunang. Ia hendak memaki, namun tiba-tiba ia merasa tubuhnya diangkat kembali, kemudian dilemparkan dari atas tebing sehingga jatuh berguling-gulingan ke bawah.

Setelah meloncat ke bawah, ia mengangkat tubuh Simon tinggi-tinggi kemudian dibantingkan lagi. Setelah itu, ditariknya rambut pemuda itu dengan kasar dan tinjunya pun melayang tepat menghantam mulut. Terdengar suara gemeretak ketika empat buah gigi Simon copot mengeluarkan darah segar.

“Aku paling tidak suka melihat lelaki pengecut seperti kau. Kini apa yang dapat kau lakukan tanpa pestolmu itu? Ayo, bangun! Kau harus diberi pelajaran yang lebih hebat lagi agar kepalamu yang penuh akal busuk itu lebih dingin. Ayo, berendamlah di situ sampai pikiranmu bersih kembali!” Karta melemparkan tubuh Simon ke dalam air laut.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Simon berusaha bangkit agar tidak kehabisan nafas. Namun dengan kasar, Karta menginjak tengkuknya sehingga kembali tubuhnya terbenam. Tentu saja Simon gelagapan dan berusaha meronta sekuat tenaga, tetapi ia tak berdaya sama sekali. Kaki Karta tak ubahnya sebongkah batu besar yang beratnya ribuan kilo.

Tanpa bisa dicegah, air laut pun makin banyak masuk ke dalam perut Simon. Ia sudah hampir tak sadarkan diri ketika Karta mengangkat tubuhnya, sehingga pemuda itu dapat menarik nafas. Tetapi hanya beberapa saat kemudian, tubuhnya sudah dibenamkan kembali.

Demikianlah berulang-ulang, sebab maksud Karta sebenarnya adalah membuat Simon sampai pingsan. Akan tetapi dari arah perkemahan terdengar suara tembakan. Karta terkejut dan menghentikan tindakannya terhadap Simon.

“Agaknya telah terjadi sesuatu di atas. Mari ikut aku. Lain kali kau akan mendapat perlakuan yang lebih manis lagi jika masih berani main-main denganku!”

Sambil menarik tubuh Simon yang hampir tidak berdaya lagi, si Gila Dari Muara Bondet mendaki tebing. Alangkah terkejutnya ia menyaksikan profesor tua itu telah diseret segerombolan laskar ke luar kemah dan puluhan tombak telah ditodongkan di leher dan dadanya.

Laskar itu ternyata dipimpin Pampani sendiri, kebetulan saja mereka mendengar suara mencurigakan ketika sedang dalam perjalanan ke luar untuk mencari Karta. Sambil mengendap-endap, mereka mendekati kemah itu dan langsung menyerbu.

Dalam keadaan gugup profesor tua itu sempat melepaskan tembakan secara serampangan dan tidak melukai laskar! Namun sekali gebrak saja, Pampani sudah memukul jatuh senjata di tangan laki-laki asing itu.

“Jawab pertanyaanku! Apa maksudmu menyusup ke daerah kekuasaan kami tanpa ijin hah? Apakah kau utusan orang-orang kumpeni Belanda? Cepat jawab! Apa hubunganmu dengan penjualan mutiara-mutiara Maleang Pangaru, hah?”

“Kalau tidak mau jawab, cincang saja tubuhnya. Biar tahu rasa dia!” kata si Kaki Tunggal tak sabar lagi.

“Aku....... aku tak mengerti maksud kalian. Kata profesor tua itu dengan wajah pucat pasi “Sungguh! Aku tidak tahu mutiara apa maksud Tuan-tuan.”

“Bagus! Seperti yang kuduga kau pasti akan berbohong. Itu berarti riwayatmu akan berakhir sampai di sini.”

“Hei, dia datang!” Tiba-tiba si Kaki Tunggal berteriak bagaikan kesurupan setan, “Itu si Karta!”

Semua orang yang berkumpul di tempat itu menjadi terkejut dan serentak berpaling. Secara berbarengan mereka berseru melihat Karta berjalan ke arah perkemahan sambil menyeret seorang lelaki yang juga berkulit putih.

Kaget bercampur girang si Kaki Tunggal meloncat ke hadapan Karta. Kakinya terlebih dulu melayang ke dada Simon hingga terpental ke belakang.

“Ah, Karta! Karta! Jadi...... jadi kau masih hidup?” ujarnya sambil merangkul bahu pendekar gagah perkasa itu erat-erat seakan-akan masih belum percaya pada penglihatannya sendiri.

Pampani memburu Karta dengan perasaan riang gembira. Dalam beberapa hari terakhir ini, ia pun sudah sangat cemas memikirkan keselamatan adik iparnya itu, sehingga saking girangnya ia tidak tahu harus mengucapkan apa.

“Harap saudara-saudara semuanya tenang!” kata Karta, “Saya tidak apa-apa dan seperti kalian lihat sendiri, aku tidak kurang sesuatu apapun juga.”

“Kau tidak tahu beberapa hari aku terpaksa selalu berada di laut mencarimu. Begitu juga! Bungoru dan yang lainnya!” kata si Kaki Tunggal.

“Maaf, aku telah merepotkan kalian. Tetapi semua itu terjadi di luar kehendak kita semua. Nantilah kita membicarakannya. Aku ingin membicarakan masalah kedua orang kulit putih ini.

“Mereka tidak punya hubungan apa-apa dengan penjualan mutiara-mutiara. Mereka bahkan dapat membantu kita menyeret si Manusia Kera yang tampaknya masih berkeliaran di kepulauan ini.”

“Bagaimana kita bisa mempercayai omongan orang-orang kulit putih ini?” tanya Pampani sambil mengerutkan kening.

“Aku sudah membuktikannya sendiri, Pampani. Dan akulah yang akan bertanggungjawab atas diri mereka.”

“Baiklah kalau begitu. Kami percaya sepenuhnya kepada saudara Karta. Dan kami sangat gembira karena saudara Karta dalam keadaan selamat. Kepada kalian berdua bangsa kulit putih, kami ucapkan selamat datang di negeri kami. Selamat mengadakan penyelidikan.

“Jika Tuan-tuan memerlukan bantuan tenaga atau bahan-bahan makanan, kami akan segera membantu dengan segala senang hati. Nah, sekarang kami akan kembali ke istana. Selamat malam!”

“Lalu bagaimana dengan kau, Karta?” tanya si Kaki Tunggal.

“Untuk sementara aku harus kembali ke luar. Besok atau lusa aku akan berkumpul lagi dengan kalian.”

“Baiklah! Jaga dirimu baik-baik!”

Demikianlah setelah laskar yang dipimpin Pampani itu kembali, Karta membantu kedua orang kulit putih itu mendirikan kemah yang tadi sempat berantakan diacak-acak. Profesor tua itu berulang kali mengucapkan terimakasih, karena tanpa pertolongan Karta, agaknya mereka akan mengalami kesulitan, bahkan tidak mustahil sudah tewas dibunuh!

Setelah itu, Karta pamitan meninggalkan kedua orang asing itu. Dan seperti biasa dilakukannya, ia bersemadi di tengah-tengah gempuran ombak laut di pantai Laut Arafuru. Kedua tangannya didekapkan di dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan, membersihkan pikiran dari segala permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

◄Y►

4

Sementara itu, di suatu tempat tanah Pulau Trangan, Wan-Da-I dan Womere sedang berada di ruangan khusus tempat Wori terbaring dalam peti mayat. Si manusia ikan hiu itu duduk di kursi yang dihiasi ukiran dan permata sehingga mirip singgasana raja. Sedangkan Womere berdiri di dekat peti.

“Bangunlah, Wori…...!” kata Wan-Da-I dengan pelan, namun terasa suara halus itu mengandung pengaruh yang sangat kuat yang seakan-akan dapat menembus jantung siapa saja yang mendengarnya.

Tak lama kemudian, pintu peti itu terbuka! Wori bangkit dengan gerak kaku sehingga mirip mayat yang baru bangkit dari liang kubur. Langkah kakinya terlihat agak kaku ketika melangkah menghadapi Wan-Da-I, kemudian mengangguk memberi hormat.

“Daulat, Tuanku!” katanya lalu duduk bersimpuh di bawah kaki Wan-Da-I.

“Bagus, Wori! Ternyata kau masih tetap seorang pengawal yang sangat setia! Hari ini kau harus memulai tugas yang sangat penting dan tidak boleh gagal. Semuanya sudah dipersiapkan. Kapal Belanda telah menunggu di pulau Uglo!”

Wan-Da-I memberikan keterangan secara singkat, sedangkan Wori yang masih duduk bersimpuh mendengarkan dengan penuh perhatian. Pulau Uglo yang dimaksudkan itu terletak antara kepulauan Aru dan Kepulauan Tanimbar (tidak terdapat dalam peta).

“Daulat, Tuanku!”

“Bagus! Mutiara-mutiara yang harus kau bawa sekarang adalah barang kiriman pertama yang harus ditukar dengan bahan-bahan peledak atau mesiu serta senjata-senjata api dari orang-orang Belanda! Ingat, Wori! Misi ini tidak boleh gagal, harus berhasil!”

Besok harinya ketika matahari baru muncul di ufuk Timur, sebuah kapal layar bertolak dari sebuah teluk yang tersembunyi di Kepulauan Aru, bertolak menuju laut lepas. Angin bertiup dari arah Barat sehingga layar menjadi terkembang, menambah cepatnya laju perahu.

Wan-Da-I dan penasehat utamanya Womere untuk pertama kalinya telah mengirimkan sejumlah mutiara kepada pihak kumpeni Belanda. Kedua belah pihak baru-baru ini telah sepakat untuk melakukan barter perdagangan, di mana pihak Wan-Da-I memberikan mutiara-mutiara sedang kumpeni Belanda menukarkan dengan bahan-bahan peledak serta senjata api!

Sungguh jitu perhitungan tokoh sesat itu, sebab agaknya ia telah menyadari kekuatan musuh bebuyutannya Pampani yang dibantu sejumlah pendekar dari Pulau Jawa. Dengan cara-cara seperti yang selama ini ia lakukan, agaknya akan sulitlah baginya meruntuhkan kekuasaan musuh.

Itulah sebabnya ia memutuskan menjual mutiara-mutiara kepada orang-orang Belanda. Dengan mesiu serta senjata api, ia akan lebih mudah menghancurkan Pampani, sehingga niat hatinya menjadi penguasa di Pulau Trangan akan berhasil baik. Wori, yang telah dikuasai pikirannya sehingga berubah seperti robot dipercayakan mengawal kiriman pertama itu.

Wan-Da-I sadar bahwa misi mereka akan menghadapi banyak rintangan terutama dari pihak lawan yang tidak mustahil sudah mengetahui semua rencananya. Jadi kalau Wori yang memiliki kesaktian tinggi itu mengawalnya, dapat diyakini semua hambatan itu bisa diatasi.

Demikianlah Wori bersama sejumlah anak buah Wan-Da-I berlayar mengharungi laut lepas menuju pulau Uglo di pagi yang cerah itu. Di haluan perahu Wori berdiri tegak, mengawasi keadaan di sekelilingnya kalau-kalau ada hal-hal mencurigakan.

Tiba-tiba mata lelaki bertubuh raksasa itu mencorong tajam. Hidungnya kembang kempis, seperti seekor tikus sedang mencium makanan lezat.

Ia mendengar dan dapat merasakan gerak mencurigakan di dalam laut tak jauh dari perahu. Telinganya dirapatkan ke dinding perahu dengan cara berjongkok. Lalu beberapa saat kemudian, Pendekar Bumerang itu meloncat berdiri dan memanggil anak buah Wan-Da-I.

“Ada gerakan-gerakan halus di dalam air, seperti makhluk berkaki empat. Tidak ada ikan yang punya ekor empat. Heh, pengawal! Coba pinjam tombakmu!” Wori kemudian melangkah ke sebelah kanan perahu. Sambil berteriak. “Mampus!”

Ia menancapkan tombak itu ke laut. Gerakannya sangat cepat, sehingga ia sudah yakin bahwa sekali serang saja, makhluk mencurigakan itu pasti akan kena. Namun ia menjadi terkejut manakala merasakan makhluk itu dengan sangat gesitnya melesat ke sebelah kiri.

“Kurang ajar! Dia mengelak!” teriak Wori, membuat para pengawal semakin tegang.

Dengan memperhatikan gelembung-gelembung udara di atas permukaan air laut, Wori dapat mengetahui ke arah mana makhluk mencurigakan itu melesat. Tombaknya kembali melesat bagaikan anak panah.

Ternyata makhluk tersebut adalah si Gila Dari Muara Bondet sendiri! Ketika sedang bersemadi di laut, ia melihat sebuah perahu berlayar di laut lepas. Karena merasa sangat curiga, ia segera mengejar dengan cara menyelam.

Tetapi tak terkatakan betapa terkejutnya pendekar itu ketika menyadari bahwa Wori sudah mengetahui keberadaannya. Untunglah ia sangat pandai berenang dalam air sehingga dapat mengelakkan tusukan-tusukan tombak Wori.

Agaknya Wori menjadi penasaran karena semua serangan tombaknya dapat dielakkan musuh. Dengan wajah merah padam, ia segera menyambitkan bumerangnya. Senjata yang mirip bulan sabit itu meluncur cepat sekali dan menyambar dahsyat ke arah kepala Karta.

Karta terkejut bukan main! Pertama karena kepalanya nyaris jadi sasaran senjata lawan dan kedua karena sama sekali tidak mengira bahwa senjata itu pun dapat digunakan di dalam air. Setelah tidak mengenai sasaran, bumerang itu kembali meluncur kepada pemiliknya.

“Bangsat! Dia berkelit. Yeaaaa!” Wori berteriak dengan suara menggelegar bagaikan guntur, sehingga para pengawal meloncat kaget saking terkejutnya.

Bumerang di tangannya kembali meluncur cepat sekali menyambar ke arah kepala Karta. Secepat kilat, Pendekar Dari Muara Bondet itu mengangkat tombak yang tadi berhasil ditangkapnya untuk menangkis bumerang itu.

“Traaak!”

Tombak itu putus menjadi dua, tetapi bumerang tidak berhasil mengenai sasaran sehingga kembali meluncur kepada pemiliknya.

Habislah kesabaran Wori karena ia segera menyadari bahwa lawan yang sedang berada di dalam air bukan main lihainya. Ia pun segera mempergunakan cara lain untuk memaksa lawan bertekuk lutut.

Disimpannya bumerang senjata andalannya. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menahannya sehingga dadanya tampak membusung. Sepasang matanya mencorong tajam. Lalu ia berteriak: “Yeaaaaa!”

Tangan kanannya dengan jari-jari terbuka melancarkan pukulan jarak jauh ke laut. Serangkum tenaga pukulan dahsyat menyambar dan akibatnya memang luar biasa. Air laut tiba-tiba tersibak seperti terbelah sepanjang beberapa meter.

Semua pengawal yang menyaksikan keadaan itu menjadi tersentak kaget dengan mata terbelalak. Beberapa di antaranya mengatakan kehebatan Wori itu adalah ilmu sihir.

“Brrrrr!”

Air laut kemudian menyatu kembali menimbulkan suara dahsyat. Ikan-ikan dan makhluk hidup lainnya dalam air menjadi tersedot ke atas. Demikian juga tubuh Karta, terasa ditarik tenaga yang sangat hebat, sehingga membuatnya tidak berhasil mempertahankan diri.

“Astaga! Ilmu iblis!” teriak pendekar itu dalam hati.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke permukaan air laut. Sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuh, sebuah serangan dahsyat telah mengancam dadanya.

Sejak tadi Karta sebetulnya sudah mengetahui bahwa yang menyerangnya adalah Wori sendiri. Dan itu membuatnya bertambah kecewa karena sahabatnya itu ternyata masih dipengaruhi ilmu sihir lawan.

Melihat kedua tangan Wori menyambar ke arah dada dan lehernya, Karta menjadi terkejut sekali. Angin pukulan itu saja sudah terasa mengandung kekuatan dahsyat, apalagi kalau sampai menghantam tubuhnya, mungkin akan menjadi remuk redam.

“Ciaaat!” Karta jungkir balik di udara dan pukulan Wori pun hanya menerpa angin.

Akan tetapi agaknya, Pendekar Bumerang itu sudah menduganya, karena begitu kedua tangannya tidak berhasil melukai lawan, kaki kirinya sudah menyambar lagi dengan kecepatan kilat.

“Wori, ingatlah aku adalah temanmu!” teriak Karta dengan harapan sahabatnya itu tersadar. Namun Wori malah tampak semakin beringas dan buas.

“Sudah kuduga pasti kaulah Monyet Gila Dari Muara Bondet yang berani main-main denganku. Mampus kau!”

Luar biasa hebatnya serangan Wori ini, karena selain sangat cepat, juga tidak memberikan Karta kesempatan untuk mendaratkan kakinya. Repotlah pendekar gagah perkasa itu. Ia tak punya kesempatan lagi untuk menghindar, maka ia menjulurkan tangan kanannya menangkis tendangan lawan.

“Plak!”

Telapak tangan Karta beradu keras dengan kaki kiri Wori. Dan beradunya tangan dan kaki itu mendorong tubuh Karta kembali ke atas, lalu ia bersalto beberapa kali ke belakang dan bergelantungan di atas layar.

Seketika perahu itu menjadi oleng ke kiri, sehingga pengawal menjadi panik menarik tali-tali layar untuk menjaga keseimbangan. Tetapi Pendekar Bumerang tampak tenang saja, dengan mata melotot ia menginjak pinggir perahu sebelah kanan sehingga kedudukan perahu itu pun menjadi stabil kembali.

Dua pengawal tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera mengayunkan tombaknya ke arah Karta yang masih bergelantungan di atas layar. Karena tidak menduga akan diserang mendadak seperti itu, Karta tidak sempat lagi mengelak. Kedua tombak itu menembus kulit tubuh di bawah kedua ketiaknya.

“Aaaaah!”

Dengan kedua tombak masih lengket di tubuhnya, Karta tercebur ke laut. Tubuhnya segera tenggelam dipermainkan ombak yang tampak memerah oleh darah dari luka di tubuh si Gila.

“Aku yakin dia pasti belum mampus. Tapi bau anyir darah itu cukup untuk memancing ikan-ikan hiu. Tubuhnya pasti habis tercabik-cabik tanpa seorang pun dapat menolong. Hahaha! Ayo, pengawal! Kita teruskan perjalanan!” kata Wori sambil menyeringai buas.

Perahu kecil itu pun kembali berlayar dengan tenang menuju ke Pulau Uglo. Sesekali Wori memberikan perintah dengan suara keras, sehingga terdengar bergema sampai puluhan mil jauhnya.

***