Pendekar Rajawali Sakti 107 - Titisan Anak Setan(3)


Namun pada saat itu, tiba-tiba saja melesat sesosok tubuh ke arah Pandan Wangi yang masih menjejakkan kaki kirinya ke tenggorokan Rasemi.

"Pandan, awaaas...!" seru Eyang Rambang tersentak. "Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, Eyang Rambang melompat memapak sosok tubuh yang hendak membokong Pandan Wangi. Kemudian langsung dilepaskannya satu pukulan yang sangat keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Hingga....

"Akh...!"
Bruk!

Bumi jadi bergetar begitu orang itu jatuh keras setelah tubuhnya terkena pukulan yang sangat dahsyat dan bertenaga dalam tinggi dari Eyang Rambang. Dan kini, sekitar delapan langkah di depan Eyang Rambang terduduk seorang laki-laki bertubuh gemuk seperti gentong.

"Gombala.... Hhh! Kalian tidak ada kapok-kapoknya, terus-menerus mengganggu dan menyengsarakan penduduk!" desis Eyang Rambang.

Sret!

Eyang Rambang langsung saja mencabut goloknya. Sementara tampak laki-laki gemuk yang hendak membokong Pandan Wangi dan ternyata Gombala, hanya mengkeret saja nyalinya. Perlahan Eyang Rambang melangkah mendekati. Goloknya yang berkilat tajam, sengaja digerak-gerakkan di depan dadanya. Sehingga, wajah Gombala jadi memucat.

"Aku bosan mengurusimu, Gombala. Sebaiknya kau memang harus mati saja," desis Eyang Rambang dingin.

"Hih!"

Tapi tiba-tiba saja tangan kanan Gombala bergerak cepat sekali. Dan dari tangan itu, meluncur beberapa benda ke arah Eyang Rambang. Akibatnya orang tua itu jadi terbeliak kaget.

"Hiyaaat...!"
Trang!
Bet!

Cepat sekali Eyang Rambang mengebutkan goloknya. Dan begitu bisa menangkis senjata rahasia yang dilemparkan Gombala, Eyang Rambang langsung memutar goloknya dengan kecepatan sungguh mengerikan. Akibatnya Gombala yang berada di depannya tidak dapat lagi menahan. Dan....

Cras!
"Aaa...!"

Gombala menjerit keras, begitu dadanya terhantam golok. Darah kontan mengalir keluar seperti air di sungai. Seketika itu juga Gombala ambruk menggelepar meregang nyawa. Tapi sebentar kemudian, tubuhnya sudah tidak bisa bergerak lagi. Sementara saat itu Pandan Wangi masih menjejak leher Rasemi.

"Hih!"

Pandan Wangi yang sejak tadi memang sudah tidak sabar, cepat menghentakkan kaki kirinya yang berada di tenggorokan Rasemi. Akibatnya wanita setengah baya itu jadi mendelik dan melenguh pendek. Selanjutnya, seluruh tubuh Rasemi terkulai lemah. Dan nyawanya seketika melayang dengan leher patah. Tampak darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya.

"Setan-setan seperti mereka sudah pantas mati. Selalu saja memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sendiri. Huh!" dengus Ki Rambang, sambil menyemburkan ludah ke wajah Gombala yang sudah tidak bernyawa lagi.

"Mereka penduduk sini juga, Eyang?" tanya Pandan Wangi.

"Ya! Tapi, mereka juga perampok," sahut Eyang Rambang.

Pandan Wangi menganggukkan kepala. Diambilnya buntalan kain yang tergeletak di dekat mayat Rasemi dan diserahkannya pada Eyang Rambang. Laki-laki tua itu menerimanya, lalu menyandang ke pundak.

"Aku akan mengembalikan barang ini, Pandan. Kau ingin ikut?" ujar Eyang Rambang.

"Tidak, Eyang. Aku mau menyusul Kakang Rangga," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum.

"Baiklah. Hati-hati, Pandan," ujar Ki Rambang.

Lagi-lagi Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Sementara Eyang Rambang sudah melangkah cepat meninggalkan gadis itu. Sebentar saja, tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Sedangkan Pandan Wangi segera memandangi dua sosok tubuh yangg sudah tidak bernyawa lagi. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu kakinya terayun hendak meninggalkan tempat ini. Tapi baru saja terayun beberapa langkah....

"Kak...."
"Eh...?!"

Pandan Wangi jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu lirih dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun tahu-tahu sudah berdiri di bawah pohon, tidak jauh dari mayat Gombala.

"Wicana...," suara Pandan Wangi jadi agak bergetar.

Pandan Wangi jadi ingat cerita Eyang Bendowo. Hatinya jadi terkesiap juga melihat wajah Wicana begitu pucat, dan pandangan matanya sayu seperti tidak lagi memiliki gairah kehidupan. Melihat keadaannya, memang membuat hati siapa akan tergiris. Tapi kalau mengingat anak ini sangat berbahaya tidak ada seorang pun yang akan mendekati.

"Boleh aku bicara denganmu, Kak.... Aku perlu seseorang yang sudi mengerti dengan keadaan diriku. Tolong, Kak. Tolong aku...," lirih sekali suara Wicana.

Pandan Wangi hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Memang sulit menjawab permintaan yang begitu memelas. Seakan, lidahnya jadi kelu seketika. Gadis itu hanya berdiri saja memandangi bocah bertubuh kurus seperti kurang makan ini.

"Tolong aku, Kak... Aku tidak kuat lagi terus-menerus seperti ini. Aku ingin seperti yang lain...," rintih Wicana begitu lirih dan memelas.

Namun Pandan Wangi masih tetap diam membisu. Entah, apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Ingin diucapkannya sesuatu, tapi lidahnya terasa begitu kaku dan sulit diajak bicara. Sementara, wajah Wicana semakin terlihat pucat, seperti tidak teralirkan darah lagi. Dan sinar matanya juga semakin terlihat meredup, tanpa adanya cahaya kehidupan di sana.

"Hhh...!"

Pandan Wangi menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Dicobanya mencari kekuatan pada dirinya sendiri dan berusaha untuk bisa bersikap tenang menghadapi seorang bocah yang dalam tubuhnya tersimpan jiwa iblis dari seseorang yang salah menggunakan ilmu.

"Apa yang kau inginkan dariku, Wicana?" tanya Pandan Wangi dengan suara dibuat lembut dan tenang.

"Aku ingin kau membebaskan aku dari penderitaan ini, Kak. Sudah terlalu lama aku tersiksa. Aku ingin bebas, Kak...," sahut Wicana lirih.

"Aku tidak tahu, siapa kau sebenarnya, Wicana. Bagaimana aku bisa menolongmu...? Lagi pula, aku tidak tahu kesulitan apa yang sedang kau hadapi sekarang ini," kata Pandan Wangi, berusaha mengorek keterangan.

"Aku terbelanggu, Kak. Aku tidak kuasa menolak. Dia sangat kuat sekali...."

"Siapa yang membelenggumu?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Ng...."

Belum juga bocah itu menjawab pertanyaan si Kipas Maut barusan, mendadak saja kepalanya terdongak sambil memperdengarkan suara mendengung seperti lebah. Pandan Wangi jadi terperanjat, dan melompat ke belakang tiga langkah. Saat itu wajah Wicana terlihat jadi memerah. Bahkan sepasang bola matanya yang tadi kelihatan sayu tanpa cahaya, kini jadi memerah seperti sepasang bola api. Pandan Wangi jadi terkesiap melihat perubahan yang begitu cepat pada wajah anak kecil itu.

"Ghrrr...!"
"Eh...?!"

Begitu terkejutnya, sampai-sampai Pandan Wangi terlompat ke belakang sejauh lima langkah, saat Wicana menggeram bagaikan seekor serigala buas dan kelaparan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan-akan hendak menembus jantung Pandan Wangi. Akibatnya gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu jadi terkesiap.

"Ghrauuugkh...!"
"Oh...?!"

Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar, saat Wicana menggerung dahsyat sambil memperlihatkan gigi-giginya yang runcing dan bertaring tajam. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja Wicana sudah melompat menerjangnya sambil meraung keras. Dan akibatnya, jantung gadis itu seakan-akan berhenti seketika.

Namun belum saja jari-jari tangan Wicana yang berkuku runcing dan hitam itu bisa menyentuh leher Pandan Wangi, mendadak saja terlihat secercah cahaya merah meluruk deras menghantam tubuh kecil bocah laki-laki ini. Begitu cepatnya kilatan cahaya merah itu, sehingga sulit untuk diikuti pandangan mata biasa. Hingga....

Pras!
"Aaagkh...!"

Wicana meraung keras, begitu tubuhnya terhantam cahaya merah yang meluncur deras bagai kilat itu. Bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu kontan terpental ke kanan dan jatuh keras menghantam tanah, hingga bergulingan beberapa kali. Namun dengan cepat dia bisa bangkit berdiri lagi!

"Ghrrr...!"
"Menyingkir kau, Pandan...!"
"Oh, Kakang...."

Pandan Wangi hanya bisa mendesis kecil begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah berada di tempat ini. Rupanya cahaya merah yang tadi menghantam Wicana, dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti ini dalam pengunaan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Sehingga, pukulan itu bisa dilepaskan dari jarak yang cukup jauh. Bahkan angin pukulannya memancarkan cahaya merah bagai api!

Pandan Wangi bergegas melangkah ke belakang menjauhi tempat itu. Sementara, Rangga mengayunkan kakinya perlahan-lahan mendekati Wicana yang sudah berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kecil dan kurus, seperti tulang terbalut kulit. Tubuhnya terlihat sedikit membungkuk, dan kedua tangannya yang berkuku runcing mengembang mengerikan di depan dada.

"Ghrauuugkh...!"

Sambil menggerung dahsyat, Wicana melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Rangga yang memang sudah siap sejak tadi manis sekali mengegoskan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan begitu tubuh Wicana dekat, tangan kanannya, cepat sekali dihentakkan. Langsung diberikannya satu pukulan dahsyat menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

Yeaaah...!"

Begitu cepat pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Wicana tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih, tubuhnya saat itu sedang berada di atas. Dan pukulan itu tepat menghantam keras bagian lambungnya.

"Aaargkh...!"

Raungan yang sangat keras pun seketika terdengar memecah kesunyian malam di Desa Marong ini. Namun Wicana yang baru saja bergulingan akibat terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti, bisa bangkit berdiri lagi. Bahkan langsung menyerang dengan kibasan tangan yang berkuku runcing itu. Rangga cepat-cepat membanting tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali, begitu tangan kiri Wicana mengibas ke arah kepala. Lalu dengan gerakan indah sekali, dia melompat bangkit berdiri. Sementara begitu gagal serangannya, Wicana kembali melesat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghrauuugkh...!"
"Oh...!"

Rangga jadi terkesiap mendapat serangan yang datang begitu cepat. Padahal, pukulannya tadi dilepaskan dengan pengerahan tenaga dalam sempurna. Bahkan sudah mencapai pada tingkatan terakhir. Tapi, bocah kecil itu sama sekali tidak mendapatkan luka. Bahkan kini sudah menyerang lagi dengan kecepatan luar biasa.

"Hapts!"

Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya kekanan, menghindari terjangan bocah ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, Wicana cepat menghentakkan kaki kirinya kedada Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga Rangga sama sekali tidak menyadarinya. Dan....

Des!
"Akh...!"

Rangga jadi terpekik, begitu kaki kecil Wicana menghantam telak dadanya. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti terbanting keras ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun dengan gerakan cepat dan manis, Rangga bisa bangkit berdiri, walaupun sedikit limbung.

"Ugkh...!"

Rangga jadi mengeluh merasakan dadanya begitu sesak. Dan pernapasannya juga jadi terganggu. Sementara Wicana sudah siap hendak menyerang kembali. Sedangkan Rangga masih berusaha menguasai pernapasannya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melakukan gerakan-gerakan tangan di depan dada. Dan begitu jalan pernapasannya kembali seperti biasa, Wicana sudah melesat cepat bagai kilat melakukan serangan lagi, sambil memperdengarkan gerungan yang begitu keras dan dahsyat luar biasa.

"Ghrauuugkh...!"
"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Rangga melenting ke udara, Sehingga terjangan bocah kecil berusia sekitar sepuh tahun itu lewat di bawah telapak kakinya. Dua tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah. Saat itu, Wicana sudah memutar tubuhnya berbalik. Dan dia langsung melesat menyerang lagi dengan kecepatan dahsyat.

"Hup! Hiyaaat...!"

Kembali Pendekar Rajawali Sakti melenting keudara dan berputaran beberapa kali, menghindari terjangan bocah yang memiliki kekuatan luar biasa itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah lagi, Wicana sudah menyerang kembali. Rangga juga kembali melenting ke udara, hingga beberapa kali Wicana hanya lewat dibawah telapak kakinya.

***
TUJUH
Tindakan Rangga yang hanya menghindar dan seperti mempermainkannya, membuat Wicana kelihatan geram. Dia jadi menggerung-gerung marah dengan kedua bola mata semakin merah dan liar memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang kini berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depannya.

"Kenapa diam...?! Ayo serang aku, Anak Setan!"

Rangga sengaja memanasi. Sedangkan Wicana tampak semakin geram. Namun, sudut matanya melirik Pandan Wangi yang berdiri agak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti. Dan ternyata, lirikan bocah itu bisa cepat diketahui Rangga. Maka sebelum Wicana bisa berbuat sesuatu, cepat sekali Rangga melompat ke depan Pandan Wangi.

"Kau tidak bisa memanfaatkan gadis ini, Wicana. Aku tahu, apa yang ada dalam kepalamu," terdengar sinis nada suara Rangga.

"Ghrrr...!"

Wicana hanya bisa menggeram, melihat rencananya memanfaatkan Pandan Wangi bisa cepat diketahui. Dan perlahan kakinya bergeser ke kanan. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga sendiri tidak berkedip memperhatikan setiap gerak bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun itu.

Saat itu, muncul Eyang Bendowo dan Eyang Rambang bersama murid-muridnya. Mereka segera menghampiri Pandan Wangi yang berada tidak jauh di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga hanya melirik sedikit saja kehadiran mereka, tapi bibirnya terlihat menyunggingkan senyum tipis. Sementara, Wicana tampak semakin bertambah geram saja melihat keadaannya semakin tidak menguntungkan. Terlebih lagi, setelah Eyang Rambang memerintahkan murid-muridnya untuk mengepung. Sedangkan seperti sudah diperintahkan, rumah-rumah di sekitar tempat ini segera menyalakan pelita. Sehingga, keadaan yang semula begitu gelap gulita, kini jadi terang benderang oleh cahaya lampu pelita. Hanya saja, tidak ada seorang pun penduduk desa ini yang keluar dari dalam rumahnya. Mereka yang menaruh pelita di beranda, bergegas masuk kembali ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat.

"Bersiaplah, Eyang. Aku akan menyerangnya,"! kata Rangga pelan, terdengar berbisik suaranya.

"Hati-hati, Rangga," bisik Eyang Bendowo memperingatkan.

Rangga hanya melirik sedikit pada pertapa tua itu. Dan bibirnya memberi senyuman tipis, seperti memberi ketenangan pada orang tua berjubah putih itu. Dan perlahan kakinya terayun mendekati bocah bertubuh kurus dan berlumur tanah berlumpur ini.

"Ayo, Anak Setan! Lawan aku. Kita bertarung sampai ada yang mati," tantang Rangga memanasi.

"Ghrrr...!"

Wicana menggeram sedikit, dengan sorot mata terlihat memerah tajam menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan jarak mereka juga semakin bertambah dekat saja. Rangga baru berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar enam tindak lagi dari anak kecil itu.

"Bersiaplah, Anak Setan. Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras, Rangga menghentakkan tangan kanannya ke depan. Langsung diberikannya satu pukulan jarak jauh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

Rangga memang tidak mau lagi tanggung tanggung menghadapi anak kecil yang kemampuannya sangat luar biasa ini. Pendekar Rajawali Sakti tahu, tubuh Wicana kebal terhadap segala jenis pukulan dan tendangan yang bertenaga dalam dahsyat sekalipun. Bahkan senjata apa pun juga tidak akan bisa menembus kulitnya yang kebal. Maka, pemuda berbaju rompi putih itu tidak lagi merasa sungkan menghadapinya. Sehingga langsung dilepaskannya satu pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

"Ghrauuugkh...!"

Wicana cepat melenting ke atas, begitu seleret cahaya merah meluruk deras ke arahnya. Dan begitu cahaya merah itu lewat, cepat bagai kilat Wicana meluruk sambil menjulurkan kedua tangannya ke depan. Jari-jari tangan yang berkuku runcing hitam sudah terkembang, mengarah ke leher Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah...!"

Namun tenang sekali, Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan dengan cepat, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Begitu cepat tendangannya, sehingga Wicana tidak sempat lagi berkelit. Maka....

Diegkh!

Tepat sekali lambung Wicana terkena tendangan menggeledek bertenaga dalam sempurna dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghrauuugkh...!"

Wicana terpental balik ke belakang sambil menggeram dahsyat. Namun dengan gerakan indah sekali, bocah berusia sepuluh tahun itu memutar tubuhnya beberapa kali di udara. Lalu, dia kembali meluruk deras dengan kedua tangan terjulur ke depan. Rangga jadi agak terkesiap juga, tapi cepat menarik kakinya ke kanan. Dan begitu hendak melepaskan pukulan ke dada, tanpa diduga sama sekali Wicana meliukkan tubuhnya di udara. Lalu begitu cepat tangan kirinya dikebutkan ke samping.

"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya dibuang ke tanah, menghindari kibasan tangan kiri bocah itu. Dan tubuhnya langsung bergulingan beberapa kali di tanah. Tapi begitu melesat bangkit berdiri, Wicana sudah kembali mengibaskan tangannya ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya pemuda berbaju rompi putih ini jadi terbelalak matanya.

"Haiiit..!"

Cepat-cepat Rangga melompat ke belakang, menghindari serangan yang begitu cepat dan sulit diduga. Sementara, Wicana terus mengejar sambil cepat mengebutkan kedua tangannya mengarah bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan.

"Edan! Hih...!"

Rangga tidak dapat lagi terus-menerus berlompatan menghindar. Begitu tangan kanan Wicana bergerak mengibas ke dada, cepat sekali tangan kirinya menghentak. Langsung ditangkisnya kibasan tangan kecil yang berlumpur tanah ini.

Tak
"Ikh...!"

Rangga jadi terpekik kaget setengah mati, begitu tangannya beradu dengan tangan kecil bocah ini. Sungguh tidak disangka kalau tangan kurus dan kelihatan lemah itu bagaikan sebatang besi baja yang teramat kuat. Dan akibatnya, tulang-tulang tangannya bagai terasa remuk. Begitu nyeri rasanya. Maka, Rangga cepat-cepat menarik tangannya kembali, lalu melompat ke belakang dua langkah. Tapi pada saat itu, Wicana sudah melompat sambil melepaskan satu tendangan yang begitu cepat dan menggeledek!

"Kakang, awaaas...!" teriak Pandan Wangi memperingatkan.

"Upts...!"

Cepat-cepat Rangga membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan dengan cepat pula, tubuhnya melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya menjejak manis sekali di tanah. Namun tepat pada saat itu, Wicana sudah meluruk deras dengan kedua tangan yang berkuku runcing bagai mata pisau mengarah lurus ke depan, ke leher Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, kali ini Rangga tidak bermaksud menghindarinya. Dia tetap berdiri tegak menanti, dengan sorot mata begitu tajam memperhatikan jari-jari tangan yang mengembang kaku mengancam batang leher.

"Oh...?!"

"Edan! Kenapa dia tidak menghindar...?"

Mereka yang menyaksikan jadi terkesiap, tidak mengerti apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, jelas sekali mereka melihat kalau Rangga tadi jatuh bangun menghadapi titisan anak setan ini. Sementara, Wicana sudah semakin dekat saja jaraknya. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak menanti.

"Ghrauuugkh...!"
"Hap! Hiyaaa...!"

Tepat ketika jari-jari tangan Wicana yang hitam dan runcing itu berada di depan tenggorokannya, Pendekar Rajawali Sakti cepat memiringkan kepala ke kanan. Dan seketika itu juga, kedua tangannya menghentak ke depan, memberi sodokan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat hentakan tangannya, sehingga Wicana tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....

Plak!
"Aaargkh...!"

Wicana meraung keras dan tubuhnya kontan terpental jauh ke belakang, begitu dadanya telak sekali mendapat hentakan kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan selagi tubuh bocah kecil itu melayang di udara, dengan kecepatan dahsyat Rangga melesat mengejar sambil melepaskan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Hiyaaat...!"
Duk!

Kembali Wicana memekik keras. Dan tubuhnya kontan terpental tinggi ke angkasa. Sementara, Rangga sudah menjejakkan kakinya kambali ke tanah. Cepat kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada, lalu tubuhnya dimiringkan sedikit ke kanan dan cepat ditarik kembali ke kiri. Kemudian, dia kembali berdiri tegak dengan kedua telapak tangan masih merapat di depan dada. Tampak semburat cahaya biru memancar di antara kedua telapak tangannya.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...," desis Pandan Wangi langsung bisa mengenali gerakan Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara, Wicana sudah mulai menukik deras ke bawah setelah berputaran beberapa kali di udara. Dan pada saat itu, Rangga berdiri tegak memandang ke atas, lalu....

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke atas kepala, tepat mengarah ke tubuh kecil yang meluruk deras di atas kepalanya. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat sinar biru yang terang menyilaukan mata. Begitu cepat sinar biru itu meluruk, hingga Wicana tidak sempat lagi menghindarinya.

Plas!
"Ghrauuugkh...!"

Raungan keras seketika terdengar menggelepar di angkasa, begitu tubuh bocah kecil itu terhantam cahaya biru yang keluar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Wicana terus meluncur turun dengan deras, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Dia mendarat, tepat sekitar lima langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih ini. Meskipun seluruh tubuhnya terselimut cahaya biru, tapi Wicana masih mampu mengendalikan diri, dan bisa mendarat manis sekali ditanah.

Sementara, Pendekar Rajawali Sakti terus mengerahkan aji kesaktiannya yang dahsyat itu. Cahaya biru yang memancar keluar dari kedua telapak tangannya semakin banyak menggumpal menyelimuti tubuh kecil bocah laki-laki itu. Tapi tiba-tiba saja....

"Ghraaauuugkh...!"
Glarrr...!
"Akh...!"
"Oh...?!"
"Kakang...!"

Pandan Wangi jadi menjerit, begitu melihat Rangga terpental ke belakang sambil memekik keras agak tertahan. Sementara, Wicana terlihat berdiri tegak dengan kedua tangan terangkat tinggi ke atas kepala. Sedangkan cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' sudah lenyap seketika. Tampak Rangga terbanting keras ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Sebatang pohon yang terlanda tubuhnya seketika hancur berkeping-keping!

"Ugkh...!"

Begitu berhenti, dari mulut Pendekar Rajawali Sakti menyembur darah kental berwarna agak kehitaman. Dengan tubuh yang limbung, Rangga berusaha bangkit berdiri. Sementara, Pandan Wangi yang mau memburu sudah dicegah Eyang Bendowo. Laki-laki tua itu cepat mencekal pergelangan tangan si Kipas Maut ini.

"Jangan...."
"Tapi..."

Pandan Wangi jadi serba salah. Gadis itu melihat Rangga terhuyung-huyung sambil menyeka darah di mulut dengan punggung tangan. Sementara, Wicana sudah bersiap menyerang lagi. Bocah itu melakukan beberapa gerakan kedua tangan, dan kakinya bergerak menggeser cepat menyusur tanah ke arah kanan. Dan....

"Ghrauuugkh...!"

Sambil meraung dahsyat, bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun itu melesat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu, Rangga masih berusaha menyeimbangkan keadaan tubuhnya. Sehingga, dia tidak punya kesempatan lebih banyak lagi, karena Wicana sudah menyerang cepat dan sulit diikuti pandangan mata biasa.

"Hih!"
Sret!
Cring!

Cepat-cepat Rangga meloloskan pedang pusakanya. Maka seketika itu juga cahaya biru berkilauan menyemburat dari mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Lalu dengan cepat pula pedangnya dikebutkan ke depan, tepat di saat tubuh kecil kurus itu berada dekat di depannya. Dan....

Cras!
"Aaargkh...!"

Wicana jadi menjerit keras, begitu ujung mata pedang yang memancarkan cahaya biru itu menebas tepat di dadanya. Akibatnya, Wicana terpental balik ke belakang dan jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Sementara, Rangga cepat-cepat melakukan gerakan-gerakan indah dengan pedang di tangan kanan.

"Hih!"

Baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak menyerang, tiba-tiba saja....

"Rangga, tahan...!"

Rangga menahan langkah kakinya, begitu terdengar bentakan Eyang Bendowo. Dan begitu berpaling, laki-laki tua berjubah putih itu sudah melesat ke depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Sekarang bagianku," ujar Eyang Bendowo.

"Hm... Hati-hati, Eyang," ucap Rangga agak menggumam.

"Menyingkirlah. Kau pasti terluka dalam,".kata Eyang Bendowo tanpa melirik sedikit pun juga.

Cring!

Rangga kembali memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Maka cahaya biru yang memancar dari pedang itu seketika lenyap dari pandangan. Pandan Wangi bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau terluka, Kakang...?" terdengar cemas nada suara Pandan Wangi.

"Sedikit," sahut Rangga.

Sementara. itu, Eyang Bendowo sudah melangkah mendekati Wicana yang masih merintih menahan sakit pada dadanya. Tampak dada yang kurus itu terbelah, mengucurkan darah berwarna agak kehitaman. Rupanya, Pedang Pusaka Rajawali Sakti mampu juga merobek tubuh anak setan itu.

***
DELAPAN
"Saatmu sudah tiba, Wicana. Jangan kau rusak dirimu semakin parah. Kembalilah ke asalmu, terasa begitu dingin nada suara Eyang Bendowo.

"Tidak, Eyang. Tidak seorang pun bisa membunuhku. Aku akan tetap hidup...," tegas Wicana.

Suara bocah itu kali ini terdengar jelas bukan suara anak kecil. Jelas, suara itu adalah suara orang dewasa yang sudah terluka cukup parah. Beberapa pukulan dan tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang diterima memang membuat keadaan dirinya semakin memburuk. Terlebih lagi, luka yang menganga di dadanya akibat tebasan pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, keadaannya semakin bertambah lemah saja. Tapi itu bukan berarti Wicana bisa mudah ditaklukkan. Buktinya kegarangannya masih teriihat jelas pada sorot matanya yang tajam.

"Kembali, Wicana. Aku akan memaafkan semua kesalahanmu. Tidak ada gunanya terus bertahan seperti itu. Kau akan bertambah parah dan menyiksa diri sendiri," kata Eyang Bendowo membujuk.

"Tidak.... Aku tidak akan takluk pada siapapun. Juga kau, Eyang. Maaf, aku harus membunuh...!" desis Wicana dingin menggetarkan.

"Sadarlah, Wicana...."

"Kau harus mati, Eyang. Mati...! Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Wicana melompat menerjang laki-laki tua berjubah putih itu. Sementara, Eyang Bendowo sendiri masih tetap berdiri tegak. Dan begitu Wicana sudah dekat cepat tangan kanannya dikeluarkan yang sejak tadi berada dalam lipatan jubahnya. Maka seketika itu juga, sebuah benda berwarna hijau berbentuk segitiga sudah tergenggam dalam telapak tangan kanannya.

"Akh...!"

Wicana jadi terpekik, melihat benda yang memancarkan cahaya hijau di tangan Eyang Bendowo. Cepat-cepat dia melompat kebelakang sejauh satu batang tombak dan menutupi matanya dengan kedua tangannya. Sementara, Eyang Bendowo segera melangkah mendekati perlahan-lahan.

"Kembali ke asalmu, Wicana. Tidak ada gunanya terus bertahan...," ujar Eyang Bendowo terus membujuk.

"Tidak! Hiyaaat..!"

Wicana rupanya sudah tidak mau lagi menuruti kata-kata gurunya ini. Tubuhnya langsung melompat tanpa mempedulikan laki-laki tua yang sudah memegang sebuah benda. Padahal, benda itu menjadi kematian bagi dirinya! Sambil berteriak keras menggelegar, Wicana kembali melompat dengan kecepatan kilat menerjang pertapa tua ini.

"Hih!"

Eyang Bendowo segera mengebutkan tangan kanannya yang memegang benda bercahaya kehijauan itu, dan langsung diarahkan ke dada bocah berusia sekitar sepuluh tahun ini.

Namun dengan gerakan indah sekali, Wicana meliukkan tubuhnya menghindari kibasan tangan kanan pertapa tua ini. Dan tanpa diduga sama sekali tangannya dikibaskan cepat bagai kilat Langsung disambarnya perut Eyang Bendowo. Begitu cepat gerakannya, sehingga Eyang Bendowo tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....

Bret!
"Akh...!"

Eyang Bendowo terpekik, begitu jari-jari tangan Wicana yang berkuku runcing merobek perutnya. Akibatnya, tubuh orang tua itu terhuyung-huyung ke belakang, sambil memegangi perutnya yang robek terkoyak. Darah segar kontan mengucur membasahi jubah putihnya. Saat itu juga, Wicana terlihat melesat sambil meraung keras bagai seekor binatang buas yang terluka.

"Ghrauuugkh...!"
Begkh!

Kaki kanan Wicana tepat menghantam dada Eyang Bendowo dengan keras sekali. Akibatnya, laki-laki pertapa tua itu menjerit dan kontan terpental deras ke belakang. Sedangkan benda bercahaya hijau yang tergenggam di tangan kanannya terlempar tinggi ke angkasa.

"Ghraugkh.,.!"

Sambil menggerung keras, Wicana melesat ke angkasa. Cepat dikejarnya benda cahaya hijau yang sangat ditakuti ini. Memang, hanya benda itu saja yang mampu melenyapnya kehidupan. Tapi di saat yang bersamaan. Rangga telah melenting mengejar disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.

"Hiyaaat..!"

Tepat ketika berada di depan Wicana, dengan kecepatan bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kaki kanannya. Langsung diberikannya satu tendangan yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Yeaaah...!"

Tendangan yang sangat cepat dan tidak terduga itu, tidak dapat lagi dihindari Wicana. Bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun ini kontan meraung keras. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh kebelakang. Sementara, Rangga terus meluncur tinggi ke angkasa, mengejar benda bercahaya kehijauan yang melayang di angkasa. Dan begitu berhasil menggapainya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun.

"Hap!"

Dengan gerakan indah sekali. Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Dan saat yangbersamaan, Wicana juga mendarat ringan sekali tanah. Namun Rangga yang sudah menggenggam benda kematian titisan anak setan itu, cepat sekali melesat sambil mengibaskan tangan kanannya kearah kepala.

"Hiyaaat...!"
"Ghrrr..!"

Wicana cepat menggerakkan kepalanya, hingga kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenainya. Dan tanpa dapat dilihat mata biasa, kaki kirinya dihentakkan, tepat ke perut pemuda berbaju rompi putih itu.

"Haiiit..!"

Namun, Rangga sudah lebih waspada menghadapi bocah kecil yang memiliki kekuatan luar biasa ini. Maka dengan manis sekali tubuhnya mengegos menghindari tendangan yang sangat keras ini. Lalu cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang sejauh tiga langkah. Tapi, Wicana tidak mau melepaskan begitu saja. Sambil menggerung dahsyat, dia melompat dan melepaskan satu pukulan keras ke arah dada.

"Ghraugkh!"
"Hap!"

Rangga yang sudah tahu kekuatan bocah ini, tidak mau lagi mengambil bahaya. Cepat-cepat dia melompat ke samping. Kemudian kaki kirinya cepat dihentakkan sambil miring ke kanan dengan kecepatan penuh dan disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Yeaaah...!"

"Ghrrr!"

Sungguh sukar dipercaya, karena Wicana tidak berusaha menghindari sedikit pun juga. Bahkan dadanya yang berlumuran darah dibuka, membuat semua orang yang menyaksikan pertarungan jadi tersentak kaget setengah mati. Malah, Rangga juga.tidak bisa lagi menguasai tendangannya yang sudah terhentak begitu cepat Hingga....

Des!
"Akh...!"

Tepat ketika telapak kaki Rangga menghantam dada Wicana, tiba-tiba saja dada itu memancarkan cahaya merah yang membuat seluruh tulang kaki Pendekar Rajawali Sakti jadi nyeri seperti remuk. Dan seketika itu juga, tubuh Rangga terlempar ke belakang, lalu terbanting keras sekali ditanah.

"Lemparkan mustika itu, Rangga...!" teriak Eyang Bendowo tiba-tiba.

Tapi belum juga Rangga bisa berbuat sesuatu, seluruh tubuh Wicana tampak memancarkan cahaya merah. Dan tubuh bocah yang tadi kecil ini, cepat sekali berubah menjadi besar. Bahkan besarnya melebihi manusia biasa. Dan wajahnya juga berubah begitu mengerikan, seperti seekor serigala hutan yang liar dan ganas. Dari moncongnya menetes air liur yang kental dan menyebarkan bau busuk memualkan.

"Ghraaauuugkh...!"

Perubahan itu membuat mereka semua yang ada di tempat pertarungan ini jadi terlongong bengong. Sementara, Eyang Bendowo yang tidak sabar melihat Rangga hanya terpaku memandangi makhluk raksasa berwajah serigala itu cepat melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Hih!"

Begitu bisa merampas benda mustika berbentuk segitiga yang bercahaya kehijauan dari tagnan Pendekar Rajawali Sakti, secepat kilat Eyang Bendowo melompat menerjang makhluk raksasa berbentuk setengah manusia dan setengah serigala itu.

"Hiyaaat...!"
"Ghrauuugkh...!"

Namun, makhluk serigala raksasa itu hanya mengibaskan tangan kanannya saja sambil menggerung dahsyat. Sementara, Eyang Bendowo yang tidak menyangka sama sekali tidak sempat lagi menghindarinya. Maka tangan yang besar dan berbulu dengan jari-jari berkuku-kuku runcing itu keras sekali menghantam dadanya. Bahkan kuku-kuku runcing dan hitam itu langsung mengoyak dada laiki-laki pertapa tua ini.

Bret!
"Akh...!"
"Eyang...!"

"Keparat..! Kubunuh kau, Setan! Hiyaaat..!"

Rangga jadi geram setengah mati melihat keganasan makhluk ini. Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Langsung dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang begitu keras, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangannya, sehingga makhluk setengah manusia dan serigala itu tidak dapat lagi berkelit menghindarinya. Akibatnya, pukulan Rangga tepat dan keras menghantam dadanya!

Der!
"Aaargkh...!"

Namun, makhluk ganas itu kelihatan masih mampu bertahan. Tubuh yang hanya terjajar beberapa langkah, dan langsung menyerang kembali.

"Hup!"

Rangga cepat-cepat melenting ke belakang dan berputaran dua kali, saat tangan kanan makhluk setengah serigala itu mengibas ke depan. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti mendarat di sebelah Eyang Bendowo yang terduduk sambil mengatur pernapasannya. Tampak darah mengucur deras sekali dari dadanya yang terkoyak.

"Jangan beri kesempatan dia lari, Rangga. Itulah ujud aslinya. Kita harus segera mengenyahkan, sebelum dia menghancurkan seluruh jagat ini," kata Eyang Bendowo tersengat.

"Baik, Eyang," sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti melangkah beberapa tindak ke depan. Lalu.... "Hiyaaat..!"

Sret!

Rangga yang sudah tidak mau tanggung-tanggung lagi, langsung saja mencabut pedang pusakanya. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti berlarian mempergunakan jurus 'Seribu Rajawali', mengelilingi makhluk berwajah serigala dengan seluruh tubuh berbulu hitam ini. Begitu cepat gerakannya sehingga seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti menjadi seribu orang jumlahnya.

"Hiya! Hiya! Hiyaaat..!"

Teriakan-teriakan Pendekar Rajawali Sakti juga jadi membahana bagai berada di sekelilingi tempat ini, membuat semua orang yang menyaksikan jadi kebingungan. Bahkan makhluk berwajah serigala itu juga kelihatan bingung menghadapi jurus 'Seribu Rajawali' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.

Di saat itu, Rangga tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat dari arah samping kiri. Langsung pedang pusakanya yang memancarkan cahaya biru berkilauan ditebaskan ke leher makhluk berwajah serigala ini.

"Yeaaah...!"
Bet!
Cras!
"Aaargkh...!"

Makhluk raksasa berwajah serigala itu meraung keras, begitu pedang Rangga menebas lehernya. Dan belum lagi bisa berbuat sesuatu, Rangga sudah cepat sekali berpindah. Dan pedangnya langsung dihujamkan ke perut Wicana. Gerakan yang dilakukan dari jurus 'Seribu Rajawali' ini memang sangat membingungkan. Rangga bisa berpindah cepat luar biasa, hingga sulit bisa diduga dan diikuti pandangan mata biasa. Bahkan mereka yang sudah memiliki kepandaian tingkat tinggi pun masih sulit mengikuti arah gerakannya. Hingga, Pendekar Rajawali Sakti benar-benar seperti menjadi seribu orang jumlahnya.

Bres!
"Aaargkh...!"

Kembali terdengar raungan yang sangat keras, begitu ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti menghujam begitu dalam ke perut makhluk berwajah serigala ini. Saat itu juga, Rangga sudah berpindah lagi ke belakang. Dan kembali pedangnya ditebaskan kuat-kuat ke punggung Wicana. Darah pun berhamburan keluar dari tubuh yang sudah begitu banyak tertembus pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti.

Tapi, makhluk berwajah serigala dengan tubuh ditumbuhi bulu hitam ini masih tetap berdiri tegar, seperti tidak terpengaruh oleh luka-luka di tubuhnya yang terus mengucurkan darah. Bahkan semakin bertambah ganas saja, menggerung-gerung sambil mengibaskan kedua tangan dengan gerakan tubuh berputar. Sementara, Rangga terus menggunakan jurus 'Seribu Rajawali' sambil membabatkan pedangnya berulang-ulang. Entah sudah berapa sabetan dan hujaman pedang bercahaya biru itu, tapi makhluk berwajah serigala ini masih tetap saja tegar.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba saja Eyang Bendowo melompat cepat bagai kilat masuk ke dalam pertarungan. Tindakannya begitu tiba-tiba, membuat Rangga jadi tersentak kaget. Cepat-cepat serangannya dihentikan dan melompat ke belakang dua langkah. Dan pada saat itu, Eyang Bendowo menghantamkan tangan kanannya yang menggenggam batu mustika berbentuk segitiga dan bercahaya hijau itu ke kepala makhluk berwajah serigala ini, tepat pada bagian kening.

Prak!
"Aaargkh...!"

Makhluk raksasa berwajah serigala kontan meraung keras sambil mengibaskan tangan kanannya ke depan dengan keras. Langsung dihajarnya tubuh Eyang Bendowo. Akibatnya, tubuh orang tua itu kontan terpental ke belakang.

"Akh...!" '
"Eyang...!"

Rangga jadi terpekik, dan cepat-cepat menghampiri Eyang Bendowo yang tergeletak di tanah dengan napas tersengal memburu. Sementara, makhluk berwajah serigala itu terus meraung-raung keras sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya yang besar dan berbulu. Dan tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah sambil terus menggerung-gerung seperti kesakitan.

Namun, keanehan tiba-tiba saja terjadi. Seluruh tubuh makhluk berbentuk serigala setengah manusia itu tiba-tiba saja berselubung cahaya hijau. Dan perlahan-lahan, tubuhnya mengecil hingga sebesar anak kecil berusia sepuluh tahun. Seluruh bulu di tubuhnya juga menghilang perlahan-lahan. Dan wajah yang tadi berbentuk seperti serigala, berangsung-angsur berubah menjadi wajah seorang anak kecil berusia sepuluh tahun kembali.

"Ohhh...!"

Bocah berusia sekitar sepuluh tahun yang tidak mengenakan baju itu merintih lirih, lalu menggeletak diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati! Tampak batu berbentuk segitiga yang bercahaya kehijauan menempel erat, tepat di keningnya. Sementara Eyang Bendowo yang kini sudah bisa berdiri lagi, melangkah tertahan menghampiri bocah itu. Sebentar diperhatikannya mayat bocah itu, kemudian berlutut di sampingnya. Diambilnya batu bercahaya kehijauan itu dari kening anak kecil ini. Sementara, Rangga hanya memperhatikan saja dari belakang.

"Maafkan aku, Wicana. Terpaksa aku harus membunuhmu...," ucap Eyang Bendowo lirih. "Dan kau, Bocah. Siapa pun kau, aku sangat menyesal atas kejadian semua ini. Tubuhmu menjadi wadah roh muridku yang sesat. Tapi, roh itu pun juga telah kembali ke asalnya. Kalau saja bisa, aku pasti akan menyelamatkanmu."

Sunyi sekali keadaan di sekeliling tempat ini. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Rangga yang berdiri di belakang Eyang Bendowo memalingkan wajah sedikit, saat mendengar langkah-langkah kaki menghampiri. Tampak Pandan Wangi dan Eyang Rambang melangkah cepat menghampiri, dan berdiri di samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Eyang, sebaiknya kita makamkan saja anak ini," kata Rangga sambil menepuk pundak pertapa tua itu.

Perlahan Eyang Bendowo bangkit berdiri sambil memondong tubuh bocah itu. Tubuhnya lalu berbalik perlahan-lahan, dan kini berhadapan langsung dengan Pendekar Rajawali Sakti.

"Akan kubawa anak ini ke pertapaan," kata Eyang Bendowo.

"Jauh pertapaanmu, Eyang?" tanya Eyang Rambang.

Tapi Eyang Bendowo hanya tersenyum tipis saja, kemudian memutar tubuhnya perlahan. Dan dia terus melangkah sambil memondong tubuh bocah yang kurus itu. Kini tinggal Eyang Rambang, Rangga, dan Pandan Wangi yang berdiri mematung memandangi.

Sementara, malam terus merambat semakin larut saja. Perlahan-lahan bayangan tubuh Eyang Bendowo menghilang ditelan gelapnya malam. Saat itu, rumah-rumah di sekitar tempat pertarungan yang seperti lapangan ini mulai bermunculan orang-orang yang sejak tadi bersembunyi. Dan sebentar saja, sudah banyak orang yang keluar dari dalam rumah masing-masing.

Namun mereka hanya memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang didampingi Pandan Wangi dan Eyang Rambang. Tidak ada seorang pun yang berani mendekati. Mereka semua memang telah melihat pertarungan yang sangat dahsyat tadi. Entah kenapa, mereka jadi merasa begitu segan terhadap pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan Rangga sendiri terus memandang ke arah kepergian Eyang Bendowo, walaupun bayangan tubuh pertapa tua itu sudah tidak terlihat lagi.

"Kakang...," tegur Pandan Wangi sambil menyentuh sedikit pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga berpaling sedikit menatap gadis yang berada di sebelahnya ini. Kemudian tatapannya beralih, berpaling lagi memandang pada Eyang Rambang.

"Orang-orang semakin banyak. Sebaiknya, kembali saja ke rumahku dulu," ajak Eyang Rambang.

Tanpa bicara lagi, mereka segera melangkah meninggalkan lapangan yang tidak begitu luas ini. Sementara, semua penduduk Desa Marong mulai menampakkan kegembiraannya. Dan malam yang semula terasa dingin, seketika berubah hangat oleh banyaknya orang berarak mengiringi Eyang Rambang dan sepasang pendekar muda dari Karang Setra yang berjalan dikawal murid-murid Eyang Rambang. Mereka mulai mengelu-elukan, membuat keadaan yang semula sunyi kini jadi gegap gempita dan semarak. Namun, baik Rangga maupun Eyang Rambang, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka terus saja berjalan menuju rumah Eyang Rambang.

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: