Warok Ponorogo 5 - Tragedi Perempuan Kampung(1)

PENGEMBARAAN ANAK BUPATI

PADUKUHAN Bubadan yang terletak tepat di bagian 
utara ibukota Kadipaten Ponorogo, di situ tinggal 
seorang bekas punggawa Kerajaan Bantaran Angin dahulu 
kala, bernama Warok Wirodigdo. Gelar kehormatan 
sebagai Warok itu diberikan oleh penduduk di 
Padukuhan, Bubadan kepada laki-laki yang bertubuh 
tinggi kekar itu. Dalam pengembaraannya mencari ilmu 
ia termashur tekun berguru ilmu kanuragan kepada 
pendekar-pendekar di berbagai. perguruan silat di 
pelosok tanah Jawa. Mulai dari ujung kolon di daerah 
Banten, sampai ujung timur di daerah Banyuwangi. 

Warok Wirodigdo adalah sosok seorang punggawa 
kerajaan yang memutuskan lebih baik menyingkir dari 
haru-birunya perebutan pangkat di Kadipaten 
Ponorogo daripada harus mengabdikan diri kepada 
kekuasaan yang menurut keyakinannya harus berasal 
dari turun raja, bukan berasal dari rintisan urutan jenjang 
kepangkatan yang diperolehnya lantaran prestasinya 
selama mengabdi kepada kerajaan Majapahit di Trowulan 
sana. la termasuk orang yang tidak sehaluan dengan 
perubahan kedudukan daerah Ponorogo yang semula 
merupakan kerajaan sekarang diganti menjadi daerah 
Kadipaten itu. 

Dalam usianya yang sudah menginjak lanjut, Ia agaknya 
lebih memilih untuk tinggal di rumah bambu yang 
berhalaman luas di kampung halamannya daripada 
harus tinggal di istana yang gemerlapan seperti halnya 
ketika waktu dahulu masih menjadi punggawa kerajaan. 

Sejak ia tidak lagi menjadi punggawa kerajaan, kini ia 
hidup dari hasil mengolah sawah dan mencari, kayu 
bakar di hutan yang terletak tidak jauh dari pedukuhan 
Bubadan ini. 

Dalam kedudukannya yang berumur kakek-kakek itu, 
ia tercatat sebagai orang yang belum pernah punya isteri. 
Sejak menekuni ilmu kedigdayan itu, ia nampaknya 
tidak pernah menyentuh perempuan secara sengaja. Ia 
memiliki banyak gemblakan, laki-laki muda yang berwajah 
tampan, dipeliharanya untuk teman tidur, ber- 
cengkerama, dan berfungsi seperti layaknya "isterinya". 

Selama keberadaan Warok Wirodigdo itu, Pedukuhan 
Bubadan dalam keadaan aman-tenteram. Tidak ada 
seorang perampok pun yang berani membuat onar me- 
masuki dukuh itu. Nama Warok Wirodigdo sudah san- 
gat dikenal di antara para jagoan di sekeliling dukuh itu. 
Penduduk pun sangat menghormatinya sebagai- 
mana layaknya menghormati seorang tokoh pelindung 
yang baik hati. Ja menjadi tokoh yang tidak mempunyai 
pangkat resmi. Namun para penggede dari Kadipaten 
kalau mau mengambil pajak penduduk dukuh Babadan 
terlebih dahulu terbiasa meminta kemufakatan dari 
Warok Wirodigdo sebagai satu-satunya orang yang 
disegani di Pedukuhan itu. Setelah para penduduk 
dikumpulkan diminta keikhlasannya, barulah petugas 
Kadipaten itu menjalankan tugasnya memungut upeti 
kepada penduduk. Akan tetapi kalau dirasakan kurang 
adil, maka Warok Wirodigdo tanpa basa-basi minta 
kepada Kanjeng Adipati penguasa Kadipaten Ponorogo 
untuk menurunkan penetapan upetinya bagi rakyat 
Padukuhan Bubadan itu. Dan biasanya para penggede 
yang diutus Bupati itu tidak dapat berbuat banyak. 
Mereka segan menghadapi kearifan dan keluhuran budi 
Warok Wirodigdo yang banyak menguasai ilmu-ilmu 
kesaktian itu. 

Pada suatu hari, datang rombongan dari Kadipaten. 
Rupanya ada kekhilafan yang dilakukan oleh para 
punggawa Kadipaten, kedatangan Putra Mahkota Adipeti 
itu tidak diberitahu terlebih dahulu kepada rakyat 
setempat. Oleh karena itu, pada saat kedatangan 
rombongan dari Kadipaten ke pedukuhan itu, tidak ada 
rakyat yang menyambutnya. Putra Mahkota, anak sulung 
dari Kanjeng Adipati yang bernama Raden Mas Sumboro
itu nampak tersinggung melihat sikap penduduk 
Dukuh Bubadan yang acuh tak acuh saja ketika melihat 
kedatangannya itu. 

Raden Mas Sumboro kemudian memerintahkan kepada 
kepala punggawa untuk menghadapkan siapa kepala 
dukuh ini kepadanya. Setelah ditanya kepada orang- 
orang yang dijumpai, semua menjawab dukuh ini tidak 
ada kepalanya. Semua rakyat di sini sama kedudukannya. 
Tidak ada yang memimpin. Hanya sempat disinggung 
nama Warok Wirodigdo seorang sakti yang kerjanya 
seharian berada di sawah mengolah ladang atau di tengah 
hutan mencari kayu bakar. Lalu putra mahkota Raden 
Mas Sumboro itu memerintahkan kepada Kepala Pung- 
gawa untuk segera mencari orang yang disebut-sebut 
namanya tadi untuk menghadapnya. 

Sudah hampir malam, matahari tinggal tenggelam 
sebagian, para punggawa yang diperintahkan mencari 
Warok Wirodigdo itu belum ada yang kembali. 
Kemudian, Raden Mas Sumboro memerintahkan 
kepada segenap punggawa yang masih tinggal, segera 
mencarikan rumah penduduk yang paling bagus untuk 
tempat bermalam. Akhirnya ditemukan sebuah rumah 
yang begitu besar dan terkesan bersih, sehingga 
kemudian dipilih untuk bermalam Putra Mahkota 
Kadipaten itu bersama rombongannya. 

Pemilik rumah itu segera menyiapkan diri. la merasa 
mendapat kehormatan lantaran rumahnya mau di tempati 
oleh putra mahkota Kadipaten itu. Maka rombongan 
bergegas singgah di rumah milik Pak Kartosentono, 
nama seorang pedagang beken, pengusaha hasil tani 
yang terbiasa pulang balik dari Dukuh Bubadan ke kota 
Kadipaten untuk menjual dagangan. Dengan suka cita 
rombongan Putra Mahkota Kadipaten itu diterima 
bermalam di rumah Pak Kartosentono yang besar itu 
dengan mendapatkan suguhan makanan yang lezat hasil 
olahan yang disajikan oleh isteri Pak Kartosentono, 
bernama Waijah Sarirupi yang pandai memasak itu. 


Pada tengah malam, ketika putra mahkota itu ingin 
melakukan hajat kecil di balik bilik belakang rumah 
dengan disertai seorang pengawal yang membuntutinya, 
sesampai di pintu kamar kakus itu putra mahkota itu 
tidak mengetok pintu terlebih dahulu, tetapi langsung 
saja masuk ke dalam, dikiranya tidak ada orang di 
dalam. Tiba-tiba, terdengar suara lirih menjerit 
"Auh...mengapa tidak ketuk pintu dulu," teriak suara 
perempuan dari balik pintu kakus itu. Rupanya di dalam 
kamar kakus itu sedang ada seorang perempuan, isteri 
Pak Kartosentono yang sedang nongkrong di jongkokan 
kakus yang menghadap pintu masuk, melepaskan 
berak. 


"Maaf Bu...aku tidak tahu kalau ada orang," kata Raden 
Mas Sumboro tersipu-sipu, sambil kembali keluar 
kamar kakus itu. Demi diketahui yang masuk kakus itu 
Putra Mahkota Kadipaten, yang menjadi tamunya, perem- 
puan itu buru-buru menyudahi beraknya walaupun 
perutnya masih terasa mules. Dan segera meninggalkan 
putra mahkota itu, sambil tidak lupa memberi hormat 
menyembah, terus masuk ke dalam rumah, Darah muda 
Raden Mas Sumboro berdesir keras setelah menyaksikan 
apa yang baru saja dilihat dari kemolekan paras perem- 
puan tadi. Ia sempat melihat bagian-bagian perempuan 
tadi yang sedang nongkrong menghadap di depannya 
ketika ia masuk ke kakus itu. Semalaman ia tidak bisa 
tidur. Akhirnya ia keluar tekadnya meminta pertimbangan 
kepada penasehat spiritualnya. Seorang yang ber- 
perawakan seperti Durno dalam kisah pewayangan, 
yang disebut namanya sebagai Empu Tonggreng itu, 
ternyata mempunyai peranan kuat dalam tiap kali mem- 
berikan nasehat-nasehat kepada Putra Mahkota 
Kadipaten itu. 


Menurut nasehat Empu Tonggreng yang dituturkan 
kepada Putra Mahkota Kadipaten itu, "Sebaiknya Anak- 
mas Sumboro menyuruh salah seorang punggawa untuk 
membangunkan Pak Kartosentono." 


Usul Empu Tonggreng itu rupanya diterima baik oleh 
Putra Mahkota Kadipaten. Oleh karena itu, tidak berapa 
lama muncul Pak Kartosentono tergagap-gagap meng- 
hadap putra mahkota di kamarnya itu dalam keadaan 
setengah mengantuk. Setelah menyembah, ia duduk di 
bawah bersila sambil kepalanya menunduk menghadap 
Putra Mahkota Kadipaten itu. 


"Hamba menghadap Raden Mas Sumboro," kata Pak 
Kartosentono takjim sambil bersila sangat sopan. 


"Maaf Pak Kartosentono. Saya ingin membuat repot Bapak. 
Aku baru saja bertemu dengan isteri Bapak...," tiba-tiba 
kata-kata Raden Mas Sumboro berhenti. Dan Pak Karto- 
sentono makin ketakutan hanya menunduk diam, 
kesalahan apa yang telah diperbuat oleh isterinya. 


“Kal...kal...kalau tidak keberatan, apa...ap...apa... 
apa...Pak Kartosentono...bis..bis...bis...bisa... : Tidak ke- 
beratan isteri bapak untuk menemani aku tidur malam 
ini saja. Aku tidak bisa tidur sejak tadi," tiba-tiba ujar 
Putra Mahkota Kadipaten itu terbata-bata. 


Tidak ada suara. Semuanya jadi hening. Pak Kartosentono 
dalam keadaan tersilap, harus menjawab bagaimana. 
Hatinya makin kecut. Apakah sebenarnya yang ingin 
dimaui putra mahkota itu. Kalau saja ia harus menyerahkan 
isterinya, bagaimana mungkin. Namanya saja sudah 
isteri yang disayang-sayang, dimanja-manja, dan mana 
mungkin diserahkan begitu saja kepada laki-laki lain. 
Demikian juga sebaliknya. Tidak menyerahkan, juga 
takut akan mendapatkan amarah. 


"Jangan khawatir Pak Karto, aku akan perlakukan dengan 
baik isteri. Pak Karto...Sudah berapa banyak anak 
Bapak," sambung Putra Mahkota Kadipaten itu lagi. 


"Eh...eh... belum punya anak Den. Itu sebenarnya isteri 
muda saya. Isteri saya yang pertama saya cerai karena 
juga tidak punya anak. Ini yang kedua sudah tiga tahun 
juga belum punya anak," jawab Pak Kartosentono polos. 


"Baik kalau begitu kebetulan, siapa tahu dengan 
kedatanganku ini akan menolong Bapak untuk menda- 
patkan anak," ujar Putra Mahkota Kadipaten itu nampak. 
lebih bersemangat. 


Demi mendengar soal anak itu, tiba-tiba pikiran Pak 
Kartosentono berubah. Inilah barangkali kesempatan 
baik untuk membalas dendam kepada teman-temannya 
sesama pedagang yang sering mengejeknya ia sebagai 
laki-laki mandul. Tidak bisa membuahi isterinya. Tidak 
bisa punya anak. Maka tanpa pikir panjang lagi ia 
menyetujui untuk menyerahkan isterinya itu untuk 
digauli Putra Mahkota Kadipaten itu. 


"Kalau demikian. Sil...si..silakan saja Den...silakan Aden 
pakai saja...kalau Aden suka. Hamba tidak apa-apa 
menyerahkan isteri Hamba demi untuk Aden," kata Pak 
Kartosentono sambil menunjukkan suasana wajah yang 
ceria, bahkan hatinya nampak suka cita. Lalu ia 
memanggil isterinya yang sedari tadi ikut mendengarkan 
dari balik bilik. Walaupun agak keberatan, namun 
karena ini dianggap sebagai perintah Putera Adipati, 
maka akhirnya isterinya pun yang bernama Waijah 
Sarirupi itu menuruti saja kehendaknya untuk pindah 
ke kamar yang digunakan bermalam Putra Mahkota 
Adipati itu. 


Paginya, seperti biasa, antara Putra Mahkota Kadipaten 
dan isteri Pak Kartosentono, nampak tidak pernah terjadi 
apa-apa semalam. Putra mahkota Adipati beserta para 
punggawa itu pun kemudian meninggalkan Dukuh 
Bubadan untuk pergi berburu babi hutan di hutan 
Gorang-Gareng yang masih lumayan jauh dari Dukuh 
Bubadan itu. 


2
GUNDAH-GULANA 


SELANG tiga bulan dari kejadian bermalamnya putra 
mahkota Kadipaten, Raden Mas Sumboro, di Dukuh 
Bubadan, agaknya Waijah Sarirupi, isteri Pak Kartosentono 
mulai memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Sering 
muntah-muntah, perutnya nampak mulai agak 
membuncit, dan jalannya pun mulai kelihatan tertatih- 
tatih. 
"Pak, kayaknya aku mau bunting, Pak," kata Waijah 
Sarirupi pada suatu sore hari yang cerah kepada 
suaminya Pak Kartosentono yang duduk tidak jauh 
darinya sedang menghitung uang hasil penjualan 
dagangannya hari itu. 
*Hah...Apa. Kamu meteng. Sudah bunting," kata Pak Kar- 
tosentono kelihatan terkejut mendengar ucapan isterinya 
itu. 


“Benar Pak," jawab Wajjah Sarirupi dengan muka pucat. 


"Wah, hebat kamu, Nduk. Ini namanya baru rejeki. 
Peristiwa ini harus dirayakan dengan hebat. Perlu 
diperingati besar-besaran. Diadakan selamatan yang 
meriah. Kini aku benar-benar jadi laki-laki jantan. Bisa 
punya anak. Aku akan umumkan kepada semua handai- 
taulan, kerabat karib, teman-teman dagangku. Aku akan 
punya anakkkkkkkk...ha...ha...ha... Tidak ada rejeki yang 
paling besar kecuali mempunyai anak. Rejeki uang dapat 
dicari. Tetapi rejeki anak, baru kali ini aku dapat 
merasakan nikmatnya dan bahagianya. hati 
ini...ha...ha...ha," tawa Pak Kartosentono dengan suara 
riang gembira. Ketika itu ia sedang menghitung uang 
dari hasil penjualan dagangannya di kota hari itu, Uang 
yang sudah diatur rapi dan sebagian sudah dihitung itu 
diambilnya ditebarkan ke atas seperti hujan uang. Wajah 
Pak Kartosentono pun nampak berseri-seri kegembiraan 
mengumpulkan kembali uang-uang yang berceceran 
baru saja ditebarkan ke atas itu. Perilakunya berubah 
seperti anak kecil yang sedang kegirangan mendapatkan 
hadiah. 

Sebaliknya muka Waijah Sarirupi kelihatan malah 
semakin pucat. Ia tahu benar anak yang dikandungnya 
itu bukan hasil dari pembuahan suaminya itu. Akan 
tetapi dari hasil perhubungan dengan Putra Mahkota 
Adipati yang berkunjung dan bermalam di rumahnya 
tempo hari itu. 

"Bapak senang, saya dapat bunting begini ?" tanya Waijah 
Sarirupi kemudian. 


"Iya. Tentu. Tentu saja. Aku sangat senangggggg. Bagai- 
mana aku tidak senang wong mau punya anak dari 
isterinya sendiri kok. Tentu aku sangat senang. Aku 
sangat beruntung akan mendapatkan anak dari perutmu 
ini, Nduk," sambil kegirangan Pak Kartosentono meloncat 
mendekati isterinya. Kemudian, memeluknya erat-erat 
isterinya itu yang dianggapnya akan memberikan 
anugerah bagi hidupnya. Benar-benar membahagiakan 
Pak Kartosentono yang sudah akan memasuki usia baya 
itu, lantaran akan datangnya seorang anak dari perut 
isterinya yang cantik jelita yang selama ini 'dinanti- 
nantikan kehadiran seorang bayi ditengah-tengah 
keluarga ini. 


"Nduk, engkau memang benar-benar luar biasa. Engkau 
telah memberikan segalanya bagiku. Aku sangat 
bersyukur mempunyai isteri seperti kamu ini. Sudah 
cantik, merak ati, bongoh, sengoh, juga andemenakake," ujar 
Pak Kartosentono tidak habis-habisnya memuji kelebihan 
isterinya itu dengan penuh kasih sayang kepada 
isterinya itu, sambil tangannya dengan lembut 
mengelus-elus keningnya, membelai rambut isterinya 
yang berambut mayang sari itu, dan terutama beberapa 
kali mengelus-elus perut Wajjah Sarirupi yang mulai 
agak membuncit itu. Waijah Sarirupi, isterinya itu, 
mukanya terus menjadi pucat pasi, ia hanya bisa menun- 
dukkan kepalanya dengan perasaan yang tidak 
menentu melihat tingkah aneh suaminya itu. Harus 
bilang apa. Mungkin suaminya sudah mulai pikun 
mengingat usianya yang sudah tergolong lewat tengah 
baya dan mendekati umur ketuaan. Hanya saja 
memang, semangat hidupnya tetap menyala-nyala seperti 
pemuda yang tidak pernah padam dan tidak pernah 
merasa dirinya telah tua. Itulah perwujudan watak Pak 
Kartosentono, pedagang kaya di Dukuh Bubadan yang 
telah termashur namanya, baik di kampungnya maupun 
para pedagang di kota kadipaten Ponorogo banyak 
mengenal dirinya sebagai seorang pedagang sejati yang 
ulet berusaha. 


000000000 


Setelah memasuki pada bulan ke tujuh, kandungan 
Waijah Sarirupi isteri Pak Kartosentono yang nampak 
makin membesar itu, oleh keluarganya kemudian 
diadakan acara upacara selamatan "Selapanan", Pada 
acara ini selain dilakukan upacara adat, juga diadakan 
perayaan yang meriah. Sampai diadakan tanggapan 
wayang kulit tujuh hari tujuh malam dan acara ruwatan 
segala. Mendatangkan pertunjukan Reog Ponorogo tujuh 
hari penuh, para penunggang "kuda" jatilan itu menari 
di jalanan tidak ada henti-hentinya keliling kampung- 
kampung pada tiap harinya. Penduduk dari kampung- 
kampung tetangga sebelah pun pada berduyun-duyun 
berdatangan ke Dukuh Bubadan itu ikut meramaikan 
suasana. Mereka butuh menghibur diri masing-masing 
yang sudah lama tidak menyaksikan pertunjukan Reog 
Ponorogo yang gegap gempita dibawakan oleh para 
pemainnya yang penuh semangat, suara tetabuhannya 
berdengung sampai terdengar ke sebelah, kampung- 
kampung tetangga. Malam harinya, semalam suntuk 
para tamu disuguhi pertunjukan wayang kulit yang 
amat digemari oleh penduduk setempat, merupakan 
tanggapan dari keluarga Pak Kartosentono seorang 
pedagang kaya yang makin tersohor namanya pada 
zaman itu, 

Makanan-makanan yang lezat-lezat, terutama makanan 
khas masyarakat setempat sate ayam Ponorogo yang 
amat digemari orang-orang, dan berbagai jenis minuman 
seperti wedang jahe, kopi nasgitel, dihidangkan sepan- 
jang malam, dan siang hari dawet cendol, kepada tamu- 
tamu yang datang terus membanjir memenuhi halaman 
rumah besar keluarga Pak Kartosentono yang diubah 
seperti layaknya sebuah tonil panggung gembira. 
Mereka dengan suka cita menyaksikan acara pementasan 
wayang kulit itu yang dalangnya didatangkan khusus 
dari kota Kartosuro yang sudah "kondang sak onang- 
onang” namanya Ki Dalang Dharmo Pendem. Cara 
memperagakan urutan ceritera yang nampak tertata 
apik dan banyak ‘guyonannya’, terutama saat dilang- 
sungkan acara Goro-Goro pada tengah malam ketika para 
anak-anak kecil sudah tertidur lelap, banyak orang 
tertawa terpingkal-pingkal ger-geran tidak ada habis- 
habisnya ketika Pak Dalang bersaut-sautan dengan 
jejeran para pesinden yang nampak berdandan menor- 
menor sedhet banyak menyajikan sindiran-sindiran yang 
agak berbau cabul mengenai urusan perhubungan birahi 
antara laki-laki dan perempuan. Pertunjukan wayang 
kulit itu sendiri mengambil ceritera, Gatutkoco lahir 
yang mengisahkan lahirnya seorang satria, cucu Pandu 
pendiri Dinasti Pandawa dalam kisah pewayangan yang 
amat terkenal waktu itu. 


Sejak peristiwa pesta meriah malam itu di rumah Pak 
Kartosentono, banyak ceritera burung yang beredar. 
Pendek kata, Pak Kartosentono sekarang menjadi buah- 
bibir pembicaraan masyarakat luas. Ia dianggap sebagai 
sosok usahawan sukses. Selain dikenal sebagai orang 
kaya, ia juga dianggap sebagai seorang dermawan, dan 
baik hati suka menolong kesusahan orang lain. 
Pendeknya ia menjadi manusia idola di kampungnya 
dan kampung-kampung tetangganya. Di samping 
dikenal mempunyai isteri yang cantik jelita yang pada 
malam hiburan itu dipamerkan kepada khalayak ramai, 
masyarakat pengunjung, tamu-tamu yang berjubel 
menghadiri undangan keluarga Pak Kartosentono 
malam itu pun ikut menyaksikan mengenai kehamilan 
isterinya itu yang sudah kelihatan dari perutnya yang 
menjembul membuncit itu. Dengan tersenyum lepas, 
Pak Kartosentono dengan bangga memberikan sambutan 
mengenai maksud diadakan acara selamatan ini untuk 
mensyukuri nikmat atas telah mengandungnya isteri 
tercintanya, Waijah Serirupi itu. "Mudah-mudahan anak 
yang dikandungnya selamat. Dan kelak di kemudian 
hari mudah-mudahan pula akan lahir jabang bayi laki- 
laki, seorang satria yang akan berguna bagi masyarakat. 
Seorang satria yang memiliki Waseso Segoro memiliki 
wawasan yang luas, Satria Wibowo selalu memperoleh 
keberuntungan, dan Sumur Sinobo yaitu orang yang 
selalu suka menolong terhadap sesama.” Demikian kira- 
kira ringkasan sambutan keluarga Pak Kartosentono 
yang pada malam hari itu dibawakan secara takjim oleh 
seorang sahabat karib dekatnya bernama Pak Kardjo 
Pranyono yang malam itu secara rapi mengenakan 
pakaian adat, pakaian khas daerah, yang membawa 
nama kebesaran bagi tradisi Ponorogo yang sangat 
dibanggakan oleh masyarakat setempat pada waktu itu. 


000000000 


SEMINGGU setelah berlangsunganya pesta meriah 
di rumah keluarga Pak Kartosentono itu, pada suatu 
malam hari, Warok Wirodigdo sebagai sesepuh dan 
pelindung Dukuh Bubadan itu, datang bertamu ke rumah 
keluarga Pak Kartosentono. Keluarga Pak Kertosentono 
yang dianggapnya juga sebagai seorang dermawan 
yang banyak membantu orang susah di Padukuhan 
Bubadan itu sehingga sering mendapatkan simpatik 
dari banyak orang, termasuk Warok Wirodigdo yang 
sangat menaruh hormat kepada keluarga Pak Kartosen- 
tono ini. 


Warok Wirodigdo yang berilmu tinggi dan waskita itu, 
segera dapat membaca apa yang terjadi pada keanehan 
warga Dukuh Bubedan ini. Terutama terhadap kehidupan 
keluarga Pak Kartosentono yang terkenal sebagai orang 
kayanya di Dukuh Bubadan ini. Tiba-tiba isterinya bun- 
ting, dan dirayakan pesta ria sampai menanggap wayang 
kulit semalam suntuk, dan pertunjukan reog yang tiada 
henti-hentinya tiap hari. 


"Apakah Pak Kartosentono merasa dihinakan oleh 
perlakuan yang kurang ajar dari Putra Mahkota Adipati 
dengan adanya kejadian malam itu," reaksi Warok 
Wirodigdo menunjukkan muka penuh keprihatinan 
setelah mendapatkan ceritera panjang-lebar dari Pak 
Kartosentono mengenai peristiwa yang dilakukan oleh 
Putra Mahkota Adipati terhadap isterinya, Waijah 
Sarirupi pada malam hari itu. 


Pak Kartosentono tidak bisa berbuat apa-apa terhadap 
kedatangan Warok Wirodigdo malam-malam ini, 
kecuali menceriterakan hal yang sebenarnya terjadi. Tidak 
berceritera pun, Warok Wirodigdo punjuga pasti sudah 
tahu dengan hanya melihat dari mata hatinya ia 
mengerti segala hai yang terjadi terhadap warga Dukuh 
Bubadan ini. 

"Kalau memang merasa dihinakan," lanjut Warok 
Wirodigdo, "Aku sanggup untuk berbuat apa saja deni 
kebaikan keluarga Pak Kartosentono. Aku bersedia menentasi 
perkara ini, bila perlu membela sampai matiku aku 
menyanggupkan diri. Aku akan meminta seluruh 
penduduk untuk tidak mau membayar upeti atas 
imbalan yang menimpa kehormatan keluarga Pak 
Karto, Dan aku yang akan menjadi timbainya dari peristiwa 
ini. Kalau mendapat amarah dari Kadipaten aku yang 
akan menanggungnya sendirian," tegas Warok 
Wirodigdo sebagai orang yang pernah mengabdikan 
diri bertahun-tahun ketika masih berdiri kerajaan 
Bantaran Angin dahulu, dan kemudian keluar ketika 
kedudukan kerajaan Bantaran Angin berubah menjadi 
Kadipaten di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit sampai 
seperti sekarang ini. 


"Maafkan saya, Kangmas Wirodigdo. Saya mengucapkan 
terima kasih banyak atas segala perhatian dan pembelaan 
Kangmas. Akan tetapi, saya mohon kepada Kangmas 
Wirodigdo, agar masalah ini Kangmas rahasiakan saja. 
Halini hanya Kangmas yang tahu. Sebaiknya tidak perlu 
dibuat perkara berkepanjangan, justeru saya yang 
bangga dengan adanya kehamilan isteriku itu, lantaran 
selama hidupku aku belum pernah punya anak, dan kini 
isteriku telah hamil. Entah apa pun yang menjadi penyebab 
ini semuanya, saya tidak ambil peduli. Mchon pengertian, 
Kangmas saja." 

"Ohhhh, jadi begitu tho, Pak Karto," 


"Benar, Kangmas Wirodigdo. Saya ihklas kok. Biarlah 
anak dalam kandungan isteriku itu lahir dengan selamat, 
dan dapat tumbuh dewasa menjadi anakku. Mohon dengan 
kerendahan hati Kangmas Wirodigdo, sekiranya hal ini 
jangan sampai diberitahukan kepada siapa pun 
mengenai rahasia siapa sebenarnya ayah dari anak itu. 
Saya benar-benar mohon kearifan Kangmas Wirodigdo 
sebagai orang yang bijaksana dan berilmu tinggi, juga 
sebagai pelindung penduduk dukuh kita selama ini," 
pinta Pak Kartosentono menunjukkan wajah memelas. 


"Baiklah kalau memang demikian kemauan Pak Karto. 
Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya 'ingin 
menegakkan keadilan dan memberantas kesewenangan. 
Saya akan pegang janji untuk merahasiakan hal ini, 
kalau itu yang Pak Karto minta," kata Warok Wirodigdo 
merendah. 

"Terima kasih sebesar-besarnya lho, Kangmas 
Wirodigdo," balas Pak Kartosentono memperlihatkan 
wajah cerah. 


Sejak pertemuan antara Warok Wirodigdo dengan Pak 
Kartosentono malam itu, agaknya Warok Wirodigdo 
selama ini lebih baik mengambil sikap diam dan 
waspada. Ia telah menepati janjinya untuk tetap mera- 
hasiakan mengenai siapa sesungguhnya ayah dari anak 
yang kini sedang dikandung oleh isteri Pak Kartosentono 
itu. 


3
KEMELUT 


KADIPATEN Ponorogo sedang dirundung kesedihan, 
Adipati Nagoro yang bergelar Kanjeng Raden Adipati 
Sampurnoaji Wibowo Mukti mangkat. Akhirnya atas 
persetujuan Prabu Brawijaya, Raja Majapahit yang 
menguasai daerah Kadipaten Ponorogo, diangkatlah 
putra mahkota Raden Mas Sumboro menjadi Adipati 
menggantikan kedudukan ayahandanya, dengan 
menyandang nama baru Kanjeng Gusti Adipati Raden 
Mas Sumboro Mukti Wibowo. 


Sudah lima tahun menduduki jabatan Adipati, belum 
ada berita Kanjeng Gusti Adipati mempunyai keturunan 
anak. Isterinya yang bernama Raden Ajeng Roro Lestari 
Kusumadewi belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan- 
nya. Sudah banyak para ahli ketabiban dan kebidanan 
didatangkan untuk memeriksa kesehatan isterinya, 
tetapi belum juga berhasil. Akhirnya Kanjeng Gusti Adipati 
mengambil isteri lagi. Dari isteri yang kedua ini pun juga 
belum punya anak. Kemudian beliau mengawini lagi 
seorang dayangnya yang kelihatan subur merekah, untuk 
menjadi selirnya. Para pujangga Kadipaten menasehati 
bahwa dayang yang dikawini itu punya garis keturunan 
yang baik, tetapi sudah tiga tahun dikawini ternyatajuga 
belum memperlihatkan kehamilan. Barangkali Sang Hyang 
Tunggal sedang mencampakkan dirinya yang pernah 
berbuat salah, atau oleh sebab-sebab lain yang dibuat 
para dukun yang sedang menghalanginya dengan mak- 
sud-maksud tertentu. Para ahli spiritual keraton kadi- 
paten sudah dikerahkan, tetapi belum juga membawa 
hasil. Akhirnya Raden Gusti Adipati, berdiam diri, 
sudah tiga isteri dimiliki tidak eda satu pun yang dapat 
memberikan keturunan. Pada suatu hari ia ingat pada 
Waijah Sarirupi, perempuan Dukuh Bubadan di pinggir 
hutan, isteri Pak Kartosentono yang pernah digauli 
semalam yang konon menurut laporan punggawanya 
ia waktu itu terus hamil dan punya anak laki-laki Maka 
diam-diam Raden Adipati mengirim utusan untuk 
menyelidiki. Bagaimana keadaan putranya itu, dan juga 
bagaimana kondisi ibunya, apakah masih secantik seperti 
dulu 


Laporan para punggawa yang diutus untuk menyelidiki 
itu pun cukup menggembirakan. Perempuan itu kini 
masih tinggal di Dukuh Bubadan itu bersama suaminya 
yang dulu juga, Pak Kartosentono. Setelah mendengar 
semua laporan punggawa kepercayaannya itu. dalam 
benak Raden Gusti Adipati timbul minat untuk 
mengawininya, dan akan mengambil anaknya dari 
hubungan gelapnya dulu itu sebagai putra mahkota 
Kadipaten. 


Sikap Adipati ini telah menampar muka Pak Kartosentono 
yang selama ini merahasiakan mengenai peristiwa itu 
dan anaknya yang sudah dikenal masyarakat sebagai 
anak kandung Pak Kartosentono. Malahan selama ini 
Pak Kartosentono sangat bangga sebab dapat mema- 
merkan kepada teman-temannya bahwa ia mampu 
punya anak laki-laki, dan terbukti ia bukan laki-laki 
mandul yang sering dituduhkan teman-temannya itu, 
maka dengan terbukanya kedok itu, bahkan akan diam- 
bilnya isterinya itu, ia diam-dian menjadi berang dan 
menyimpan dendam kesumat kepada Kanjeng Gusti 
Adipati Raden MasSumboro Mukti Wibowo karena rasa 
malu yang tak tertanggungkan itu. 


Maka ia pun kemudian menghadap Warok Wirodigdo 
untuk minta pertimbangan keadilan. Warok menyanggupi 
seperti yang dulu pernah diucapkan ia akan membela 
sampai mati. Maka kali iri Pak Kartosentono memberikan 
sikap tegasnya. Menolak mentah-mentah kemauan 
Raden Gusti Adipati. Dalam surat balasan yang disam- 
paikan kepada punggawa Kadipaten itu ia mengatakan , 
"Saya telah memberikan pengorbanan kepada Kanjeng 
Adipati dengan menyerahkan isteri yang saya cintai, 
demi penghormatan saya kepada Kanjeng Gusti Adipati. 
Akan tetapi kalau sudah diberi hati jangan merogoh 
Tempela. Itu tidak baik bagi kedudukan Kanjeng Adipati. 
Untuk permintaan menyerahkan isteri dan anak itu 
Sama saja saya menyerahkan jiwa raga saya. Mohon 
ampun, kami tidak bisa menyerahkan." 


Setelah membaca surat balasan dari Pak Kartosentono 
itu terlihat dari mukanya, Raden Kanjeng Adipati marah 
sekali, Dan tanpa pikir panjang ia menyuruh kepada 
kepala pengawalan Kadipaten untuk mengirim pung- 
gawa perangnya agar memberi palajaran kepada Pak 
Kartosentono yang dianggap telah berani menghina 
kedudukan Kanjeng Gusti Adipati Raden Mas Sumboro 
Mukti Wibowo. Namun naas nasib para punggawa 
perang yang dikirim itu. Tidak diduga sebelumnya, 
ternyata para punggawa itu bukannya berhadapan lang- 
sung dengan Pak Kartosentono pedagang hasil tani dari 
Dukuh Bubadan itu, tetapi harus berhadapan terlebih 
dahulu dengan Warok Wirodigdo yang terkenal sakti 
mandraguna itu, yang sudah sejak pagi hari mencegat 
di pintu masuk gapura Dukuh Bubadan itu. 


"Kalau mau saya nasehati, sayangi nyawamu, dan 
urungkan niatmu mematuhi maksud buruk Kanjeng 
‘Gusti Adipati yang mursal itu. Tetapi kalau nekat, jangan 
salahkan aku kalau sampai ajalmu, kau akan mati sia-sia," 
begitu sergah Warok Wirodigdo menghadapi pasukan 
perang utusan dari Kadipaten itu. 

Akhirnya perkelahian pun tidak bisa dihindarkan. Para 
punggawa tidak berani pulang kembali ke Kadipaten 
kalau belum menjalankan tugas yang dilimpahkan 
kepadanya. Kalau mau nekat berarti berhadapan dengan 
Warok Wirodigdo yang terkenal perkasa itu, Maka 
dalam waktu yang tidak lama, tubuh-tubuh para pung- 
gawa itu sudah bergelimangan bercucuran darah, 
mereka tergores oleh senjata tajam yang dibawanya 
sendiri. Sedangkan Warok Wirodigdo hanya menyabetkan 
kolor putihnya yang panjang itu melingkar-lingkar di 
udara, satu per satu para punggawa itu roboh kesakitan. 
"Aku tidak ingin membunuh kalian. Hayo banguniah, 
dan tinggalkan Dukuh Bubadan ini dan laporkan 
kepada Kanjeng Adipati supaya bisa bertindak adil." 


Demi mendengar ucapan Warok Wirodigdo yang masih 
memberikan kesempatan hidup kepada para punggawa 
itu, maka seketika para punggawa itu bangkit sem- 
poyongan sambil menahan sakit luka-luka itu berusaha 
menaiki kuda-kudanya lari kembali ke Kadipaten 
Ponorogo meninggalkan Warok Wirodigdo yang berdiri 
gagah di tengah gapura Dukuh Bubadan itu. 


Rupanya, setelah mendengar laporan para punggawa 
itu, Kanjeng Gusti Adipati malahan penasaran, dan timbul 
amarahnya, peristiwa ini dianggap sebagai tamparan 
terhadap kewibawaan Kadipaten, maka ia bertubi-tubi 
mengirim para jagoan punggawa yang berilmu kanuragan 
lebih tinggi untuk menangkap Warok Wirodigdorperistiwa 
itu telah membawa korban banyak punggawa Kadi- 
paten yang dikirim, dan konon ada yang terpaksa 
menemui ajalnya di tangan warok sakti itu. 


Setelah mendengar peristiwa naas itu, para penasehat 
spiritual Kadipaten turun tangan, ikut urun rembug 
mencoba memberikan pandangan 'kepada Kanjeng 
Gusti Adipati. 

"Nuwun Kanjeng Gusti Adipati. Peristiwa naas ini telah 
menjadi keprihatinan kami para sesepuh Kadipaten. 
Kami mempunyai pandangan, kalau tujuan Kanjeng 
Gusti Adipati ingin memperisteri perempuan itu, dan 
mengambil sekaligus anak yang kini telah tumbuh menjadi 
bocah itu, tentu ada cara lain yang lebih bijaksana." 


"Ара itu cara yang lebih bijaksana, Paman," tanya Kanjeng 
Adipati yang nampaknya sudah mulai tenang. 

"Kita harus lakukan perbaikan hubungan dengan laki- 
laki, si suami perempuan itu." 

"Caranya bagaimana ?." 

"Kita kirim utusan untuk memberitahu bahwa kejadian 
ini adalah kesalahpahaman. Ada kekeliruan di tingkat 
pelaksana, kekeliruan oleh para punggawa kita. Dan 
Kanjeng Adipati tidak pernah memerintahkan soal ini. 
Dan untuk itu, kita mengundang laki-laki itu, Kartosentono 
untuk datang di pesta Kadipaten sebagai tanda kehor- 
matan atas penyesalan kejadian tragis yang salah oleh 
para punggawa kita itu." 


Atas saran para sesepuh Kadipaten itu, Kanjeng Gusti 
Adipati, langsung saja menyetujuinya. Kartosentono, 
laki-laki malang itu benar juga bersedia diundang pesta. 
Dalam pertemuannya dengan seorang penggede Kadi- 
paten yang datang diutus khusus oleh Kanjeng Adipati 
untuk bertamu ke rumah Kartosentono dikemukan 
alasan undangan itu bahwa lantaran ingin membalas 
budi baik di masa lalu yang diberikan Pak Kartosentono, 
telah bersedia meminjamkan isterinya dipakai Kanjeng 
Adipati waktu masih muda dahulu, maka Kanjeng Adipati 
bermaksud akan memberikan imbalan sesuai 
kedudukan Pak Kartosentono sebagai pedagang. Pak 
Kartosentono rupanya benar-benar tergiur oleh 
penawaran Kanjeng Gusti Adipati yang akan memberikan 
prioritas sebuah kios di pasar Kadipaten Ponorogo yang 
bergengsi itu. Karena pekerjaannya berdagang, maka 
penawaran menarik yang akan membawa keuntungan 
itu telah mendorongnya untuk mengadakan perseku- 
tuan dagang dengan Kanjeng Adipati yang nantinya 
akan dibicarakan langsung dengan Kanjeng Adipati di 
pesta nanti. 


Sebelum memberikan jawaban kesediaan untuk hadir 
pada pesta di Kadipaten itu, Pak Kartosentono menemui 
terlebih dahulu Warok Wirodigdo yang waskita itu untuk 
minta pertimbangan. Warok Wirodigdo menasehati, 
agar Pak Kartosentono tidak perlu datang di pesta yang 
akan diadakan itu, karena akan membawa celaka. 
Rupanya nasehat warok yang sakti itu, kali ini tidak 
digubris. Agaknya Pak Kartosentono lebih menemukan 
alasan yang lebih masuk akal untuk datang ke pesta 
sebagai balas budi Kanjeng Gusti Adipati kepadanya 
yang telah berbaik kepadanya di masa lalu itu tinimbang, 
ada rencana jahat seperti yang dituturkan Warok 
Wirodigdo itu. Maka diputuskan untuk menghadiri 
pesta itu secara diam-diam, tanpa memberitahu Warok 
Wirodigdo, bahkan ia membawa serta isterinya untuk 
berangkat mengendarai dokar kudanya yang dikendalikan 
kusir kepercayaannya Si Trimo. Laki-laki muda yang 
pandai bermain pencak-silat itu sekaligus diangkat 
sebagai pengawal pribadinya untuk menjaga kesela- 
matan diri dan keluarganya di perjalanan. 


Malam ini, nampak Pak Kartosentono didampingi isterinya 
yang cantik jelita Waijah Sarirupi yang mengenakan 
kebaya lurik coklat, berdua telah duduk berhadapan 
dengan Kanjeng Gusti Adipati beserta para penggede 
yang terbatas diundang untuk acara makan malam itu 
di ruang samping gedung Kadipaten. Mata Kanjeng 
Gusti Adipati nampak tidak berkedip setelah menemui 
perempuan molek itu. Kelihatan kesengsem, hatinya 
terpana, terpikat berat. Timbul sensasi dalam 
benaknya. "Inikah perempuan yang dulu tidak pernah 
aku lihat secara jelas wajahnya karena gelap malam di 
kampung, dan pagi-pagi buru-buru pergi sebelum 
matahari terbit, jadi aku tidak pernah memperhati- 
kan secara jelas wajahnya." Hanya tubuhnya lamat-la- 
mat pernah diingat, tapi waktu itu dianggap tidak pent- 
ing, sebab yang dicari hanya untuk melepaskan nafsu 
birahinya yang tiba-tiba bergolak, jadi soal tubuh dan 
wajah tidak pernah terlintas. Dan kini baru pertama kali 
sempat memperhatikan sekujur tubuh perempuan yang 
dandanannya sangat sederhana itu. 


"Магі Pak Kartosentono. Silakan makan hidangan ala 
kadarnya ini," kata Kanjeng Gusti Adipati dengan penuh 
keramahan memecahkan kesunyian. Dan diikuti oleh 
semua undangan yang berjumlah hanya enam orang. 
"Heran juga, katanya mengadakan pesta mengapa yang 
datang hanya kurang dari sepuluh orang, dan tidak ada 
gamelan, penari, atau apa-apa yang selama ini pernah 
didengar dari penuturan orang, pesta Kadipaten biasanya 
sangat meriah." Begitu yang berputar dalam benak Pak 
Kartosentono. Suasananya pun agak kaku, semua 
bersantap malam dan berdiam diri kalau tidak ditanya 
Oleh Kanjeng Gusti Adipati. Sedangkan Kanjeng Adipati 
juga berdiam diri, pikirannya sedang terhanyut oleh 
fantasi perempuan yang dihadapannya itu. Jadi 
suasananya benar-benar hening, hanya sekali-sekali ter- 
dengar suara sendok beradu dengan piring. 

Setelah bersantap malam, Kanjeng Gusti Adipati 
memerintahkan kepada seorang punggawanya mengam- 
bilkan surat penggunaan kios pasar yang telah disiapkan 
untuk diberikan kepada Pak Kartosentono. 


"Ini Pak Karto surat pelimpahan wewenang penggunaan 
kios pasar Kadipaten. Bapak mulai besuk sudah dapat 
menggunakan untuk berdagang," kata Kanjeng Gusti 
Adipati sambil memperlihatkan muka manis, kemudian 
membubuhkan tanda tangannya, dan lembaran suratitu 
diserahkan kepada Pak Kartosentono yang menerimanya 
dengan suka cita. 


"Terima kasih Kanjeng Gusti Adipati. Terima kasih," 
balas Pak Kartosentono kegirangan sambil mencium 
telapak tangan Kanjeng Gusti Adipati itu. 


"Dan ini seperangkat pakaian ksatria untuk digunakan 
putra Pak Karto", kata Kanjeng Gusti Adipati sambil 
mendekati isteri Pak Kartosentno untuk menyerahkan 
bungkusan itu. Tangan Kanjeng Gusti Adipati nampak 
gemetaran ketika menyentuh tangan perempuan itu untuk 
memberikan jabat tangannya. 


"Matur nuwun, Ndoro, Terima kasih, Paduka," ucap Waijah 
Sarirupi, sambil membungkuk menyembah memberi 
hormat. 


"Nah, sekarang kita minum-minum di kursi sebelah 
sana,” kata Kanjeng Gusti Adipati sambil menunjuk 
deretan meja bundar yang telah siap di sudut ruangan 
penuh dengan macam-macam minuman. Di tiap kursi 
sudah ada tanda nama-nama tiap tamu yang hadir. 
Setiap tamu dipersilahkan mencari tempat sesuai yang 
telah ditentukan. 

"Silakan. Hayo diminum ini arak asli dari Majapahit. 
Rasanya lezat, didatangkan dari negeri daratan Cina," 
kata Kanjeng Gusti Adipati. 

Semua mengambil gelas masing-masing. Kartosentono 
dan isterinya sebenarnya tidak menyukai tuak, dan 
belum pernah meminumnya, tetapi demi penghormatan 
kepada Kanjeng Adipati, isi gelas itu diminum sampai 
habis seperti juga yang dilakukan oleh para tamu yang 
lain. 

"Baiklah, bapak-bapak dan ibu, kita telah selesaikan santap 
malam dan acara minum tuak malam ini. Aku ucapkan 
terima kasih atas kehadirannya pada pesta keluarga 
malam ini", sambil berkata demikian, Kanjeng Adipati, 
terus tangannya menjulurkan ke tiap tamunya untuk 
berjabat tangan yang semuanya menyambutnya dengan 
memberikan sungkem. 

Suatu hal yang jarang dilakukan, Karjeng Adipati sempat 
mengantarkan kepada semua tamunya sampai di depan 
pendopo kadipaten ketika kuda-kuda yang menarik 
dokar itu mendekat ke tangga pendopo itu untuk mem- 
bawa para penumpang pulang ke rumah masing-masing.