Jaka Sembung 12 - Terdampar di Pulau Hitam(2)

Sayangnya tombak yang ada hanya satu-satunya. Namun demikian Awom tak kehabisan akal. Sampailah pikirannya untuk menggunakan ranting-ranting pohon di sekitarnya.

Laksana anak panah yang melesat dari busurnya, patahan ranting-ranting itu menembus tubuh-tubuh cebol. Burung-burung ganas itu pun tak dapat mengelak dari serbuan ranting-ranting pohon yang digunakan Awom.

Parmin tak mau membuang-buang kesempatan untuk lolos dari serbuan binatang-binatang ganas dan liar itu. Dengan sekuat tenaga ia terus berlari sambil menggendong gadis bule tersebut.

Sementara itu luka bekas tendangan makhluk berjubah dan bertopeng tengkorak tadi mulai terasa sakitnya, membuat nafas Parmin menjadi sesak. Sambil terengah-engah Jaka Sembung terus berlari, sedangkan pasukan kavaleri yang masih tersisa terus memburunya.

“Mereka mengejar kita!” teriak kepala suku Kaimana dengan cemas. Pasukan hampir mendekat, mereka memburu Parmin dengan kecepatan penuh.

Karena beban yang ia gendong dan pernafasannya yang mulai sesak itulah, Parmin dengan mudah dapat dikejar.

Awom yang saat itu masih berada di atas pohon sempat melihat kesulitan yang dialami Parmin. Dia berusaha turun untuk membantu meringankan beban dengan mengambil alih gendongannya.

Laksana monyet yang turun dari atas pohon, Awom bergelayutan pada akar pohon untuk mencapai tempat di mana Parmin berada.

“Berikan kepala suku padaku! Aku masih punya banyak tenaga,” pintanya kepada Jaka Sembung.

Belum lagi terjadi timbang terima, tiba-tiba bahaya lain yang tak kalah gilanya menghadang mereka dari depan. Ternyata yang datang itu serombongan babi hutan yang sangat buas menuju ke arahnya. Taring-taring yang runcing dari binatang itu cukup membuat orang bergidik melihatnya.

Karena dari dua arah yang berlawanan bahaya mengepung, Parmin, Awom dan gadis bule itu terjepit.

Kepala suku Kaimana itu cemas, namun Parmin berusaha sedapat mungkin menghibur hatinya.

“Aww!! Bagaimana kita kini!”

“Tenanglah! Kita pasti selamat dan dapat keluar dari bahaya ini! Bismillah........”

Disusul dengan teriakan keras Parmin mengajak Awom untuk melompati barisan celeng-celeng yang menyerbu.

“Loncat Awom!! Hiyaaaaat!!”

Bagaikan mendapat suatu dorongan tenaga baru Parmin dan Awom meloncati gerombolan babi hutan itu. Maka apa yang terjadi sesudahnya adalah suatu tubrukan masal antara gerombolan babi hutan dan laskar burung Onta.

Hukum rimba benar-benar berlaku di sini, siapa yang kuat mereka yang menang. Korban pun berjatuhan. Tak sedikit dari orang-orang kerdil itu habis tergilas oleh babi hutan.

Amanlah sudah bagi Jaka Sembung dan kawan-kawannya. Mereka benar-benar dapat menarik nafas lega. Di tempat yang jauh dari keganasan penghuni hutan belantara, Parmin mengajak mereka beristirahat. Di tepi Danau Jamur itu mereka merebahkan diri dengan terengah-engah.

“Kita berhenti dulu di sini, Awom!! Nafasku terasa sesak dan mau putus!!”

“Uuuh, sungguh mengerikan,” keluh gadis bule itu.

Nafas mereka laksana tersekat di tenggorokan dan keringat jatuh bercucuran. Seluruh sendi tubuh terasa lemas.

“Tuhan telah menyelamatkan kita, saudara Parmin! Untunglah benda ini selalu berada dalam genggamanku!” gadis itu berkata sambil mengeluarkan sesuatu dari balik rambutnya yang pirang itu.

“Apakah itu.......?” balas Parmin.

“Salib suci! Yang selalu mengusir anasir-anasir jahat yang selalu mengancam jiwaku di pulau Hitam ini.”

“Kau tampak terluka....... dadamu sakit?”

Sambil berdiri dan menuju ke pinggir Danau Jamur, Parmin berkata: “Tak apa-apa nona! Aku akan berusaha untuk pulih kembali.”

Gadis bule dan panglima suku bingung dengan sikap Parmin yang tenang seakan tak terjadi apa-apa terhadap dirinya.

Setelah menuruni tepi danau, Parmin langsung membasahi mukanya dengan air itu. Jaka Sembung mengangkat tangannya untuk berkonsentrasi, lalu perlahan-lahan ia memejamkan kedua matanya dengan mengucapkan kalimat do'a di dalam hati.

“Bismillahir Rahmanir Rahim, atas kekuasaan ya Allah berikanlah kepadaku kesembuhan melalui kekuatan dalam tubuhku........”

Setelah berucap dalam hati Parmin mulai memusatkan tenaga dalamnya ke arah dadanya sendiri. Inilah jurus 'Hening Cipta' sebuah jurus yang mengutamakan konsentrasi diri untuk penyembuhan.

Si gadis pun terpukau melihat kehebatan Jaka Sembung. Diam-diam dia memuji kehebatan pendekar muda itu.

“Memang banyak sekali keajaiban yang kutemui di belahan dunia sebelah Timur ini.”

Beberapa saat Parmin mengheningkan cipta. Setelah ia merasakan tubuhnya normal kembali, sedikit demi sedikit ia membuka kedua matanya sambil mengucap. “Alhamdulillah........”

Dengan gembira gadis berambut pirang itu menghampiri Parmin yang sudah segar kembali. Dengan pancaran mata yang ceria gadis itu menyapa Parmin.

“Anda tampak segar kembali! Sungguh menakjubkan!”

“Tak usah heran nona! Cuma pengobatan tradisionil! Bangsa kami memang belum mengenal cara penyembuhan seperti bangsa-bangsa barat! Oleh karena itu kami hanya dapat menggunakan cara ini!”

“Tubuh manusia adalah bentuk kecil dari alam semesta ini, hampir semua zat-zat yang ada dalam alam terdapat pula dalam tubuh kita. Dengan latihan-latihan tertentu kita bisa mengerahkan zat-zat dalam tubuh kita sendiri untuk menolak zat-zat yang akan merusak tubuh,” Parmin berusaha menjelaskan kepada kepala suku Kaimana itu agar ia dapat memahami secara rasional.

<>

Untuk sementara kita tinggalkan dulu mereka yang sedang bercakap. Kita ikuti ke mana larinya manusia bertopeng seram yang selama ini telah bertindak sebagai kepala suku Papua kerdil itu. Dari kejauhan nampak sosok bayangan tubuh tersebut lari tunggang-langgang dan terhuyung-huyung, kelihatannya dia terluka dalam.

Sosok bayangan itu tak lain adalah kepala suku Papua kerdil. Dengan sangat kesal dia memaki dirinya sendiri, “Gagal lagi.......! Saatnya memang belum tepat, aku terlalu terburu-buru! Luka-luka dalam tubuhku belum sembuh betul, inilah yang menghalangi gerakanku!”

Sambil terus memaki dirinya, kepala suku Papua kerdil itu meneruskan perjalanannya menembus semak belukar. Namun pada suatu saat di bawah pohon yang rindang, ia merasakan nafasnya sesak dan seketika itu juga darah beku berwarna hitam kental keluar dari mulutnya.

“Darah! Lukaku berdarah lagi! Mungkin karena aku terlalu banyak bergerak dan mengeluarkan tenaga, tapi aku penasaran kalau belum mengenyahkan dia!” Cakar singanya menghantam tanah sebagai pelampiasan.

<>

Kita kembali lagi pada Parmin. Gadis kulit putih itu sedang menceritakan riwayatnya. “Aku bersama ayahku Van Boerman dan pendeta Jorgen mengemban tugas missionari dari Gereja Katholik untuk daerah Timur Jauh!”

“Kami bertolak dari negeri Belanda pada awal musim semi menyusuri pantai Selatan Eropa, Timur Tengah, menuju tujuan perjalanan kami yaitu Nusantara. Ayahku bekerja pada biro perjalanan untuk misi Gereja, dan hampir seluruh waktunya ia baktikan kepada kegiatan penyebaran ajaran-ajaran Yesus Kristus.

“Sampai di Batavia, Pemerintah Kompeni Belanda menugaskan kami untuk melanjutkan misi ke pulau-pulau bagian Timur Nusantara ini yang penduduknya rata-rata masih primitif dan kanibalis. Apapun yang akan terjadi aku sudah membulatkan tekad untuk turut serta walau bahaya mengancam jiwa sekalipun.”

“Aku mencintai tugas suci dan mulia itu. Karena Yesus Kristus juru selamat bagi seluruh umat manusia. Dengan kasih sayangNya Ia mencari dan menyelamatkan domba-domba sesat menuju jalan terang!”

“Tetapi untuk menempuh jalan Tuhan memang sangat berat. Berbagai rintangan selalu merintangi dan menghadang. Kami harus menghadapi perompak-perompak laut yang ganas di perairan pulau Celebes dan Halmahera. Berkat lindungan Tuhan serdadu-serdadu pengawal kami selalu berhasil menyikat habis setiap rintangan itu. Namun dari semua yang paling dahsyat adalah bahaya alam.”

“Kapal kami tak kuasa menahan dan melawan badai yang mengamuk di sekitar laut Banda dan Arafura. Kapal kami hancur berkeping-keping. Aku tak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu, hanya Tuhan jua-lah yang menyelamatkan hambaNya.

“Di kala aku siuman, aku telah berada di pantai sebuah pulau....... tapi aku seorang diri! Lalu aku bertanya dalam hati, ya Tuhan ke mana pendeta Jorgen dan ayahku? Bagaimana nasib mereka.......” Setelah sekian lama aku tergolek tak sadarkan diri, ternyata kuketahui bahwa aku terdampar di Kaimana di sebuah teluk yang indah. Teluk Etna.”

“Sampai akhirnya aku diketemukan oleh pribumi Pulau Papua ini dan untung sekali mereka bukan suku pemakan daging manusia. Justru mereka menganggapku sebagai manusia dari langit yang diturunkan untuk mereka dan mengangkatku sebagai kepala suku.”

“Apa mau dikata, barangkali nasibku memang demikian. Maka akupun menurut saja dengan apa yang baik menurut anggapan mereka. Mereka domba-domba sesat. Oleh karena itu harus diselamatkan.”

“Suku pribumi Kaimana bukan suku Kanibalis. Tapi mereka memuja arwah nenek moyang, sejenis Animisme. Mereka memajang tengkorak-tengkorak leluhur sebagai maskot penolak bala.”

“Setiap saat aku berdo'a kepada Tuhan dan berharap selalu pada suatu saat aku dapat merubah kepercayaan suku Kaimana menuju kepada ajaran Tuhan! Demikianlah riwayatku kenapa aku berada di pulau ini.”

Setelah beberapa saat bercerita, gadis bule yang bernama Yulia itu melanjutkan pembicaraannya, “Aku selalu berdo'a untuk keselamatan pendeta Jorgen dan ayahku Van Boerman!” ungkapnya.

“Saudari Yulia, sangat kuhargai perjuangan dan pengabdianmu terhadap agama. Semua agama baik. Nabi Isa adalah Rasul Allah juga. Satu di antara duapuluh lima Rasul yang diturunkan Allah untuk umat-Nya di dunia ini! Anda dapat membimbing mereka perlahan-lahan!” Jaka Sembung memberi semangat.

“Akupun sangat menghargai perjuangan bangsamu yang tertindas saudara Parmin!” timpal Yulia.

Parmin agak tercengang mendengar perkataan Yulia. Ternyata gadis ini mempunyai rasa simpati kepada bangsanya yang sedang tertindas.

“Syukurlah jika anda mengerti jeritan bangsaku!” jawab Parmin sambil menatap dalam-dalam mata biru Yulia.

“Aku berbicara atas nama kemanusiaan, terlepas dari rasa kebangsaanku sebagai gadis Belanda. Aku berdo'a semoga bangsamu segera terlepas dari belenggu penjajahan!” ungkapnya sambil memandangi ketampanan Parmin. Pemuda itu tampak begitu tampan apalagi bulu-bulu halus tumbuh meremang di wajahnya yang belum sempat bercukur itu.

Setelah cukup lama mereka saling bertukar pikiran ditemani panglima suku Kaimana yang belum banyak mengerti bahasa melayu. Akhirnya mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.

Parmin berdiri sambil berkata, “Sekarang marilah kita teruskan perjalanan! Insya Allah aku bisa membantu mencari ayahmu dan pendeta Jorgen!”

Setelah istirahat secukupnya mereka melanjutkan perjalanan ke arah Timur meninggalkan Danau Jamur.

◄Y►

6

Berhari-hari mereka meneruskan perjalanan menjelajahi pedalaman hutan Papua. Di tengah perjalanan mereka bercakap-cakap sekedar untuk menghilangkan ketegangan dan rasa jenuh selama perjalanan panjang dan melelahkan itu.

“Ke mana kita mencari?” tanya Yulia.

“Kita jumpai saja setiap suku di pulau ini. Siapa tahu ayahmu dan pendeta Jorgen ada di sana menjadi tawanan mereka!” ucap Parmin menduga-duga.

Baru saja mereka akan melanjutkan perjalanan, Yulia melihat burung Onta melintas di hadapan mereka.

“Parmin burung-burung Onta itu mengejar kita kembali!” teriak Yulia.

“Hah”!” Parmin berdesis.

Baru saja Parmin dan Awom akan bertindak, mendadak panglima suku itu melihat sesuatu keganjilan. Seraya berkata, “Tapi itu bukan dari pasukan orang-orang kerdil! Dan lihat ada apakah itu? Asap bergulung-gulung ke udara!”

Benarlah apa kata pemuda suku Kaimana itu, terlihat kepulan asap dari arah hutan.

“Oh! Hutan terbakar!” teriak Parmin memastikan. Betul juga dugaan Parmin.

Berpuluh-puluh binatang hutan berhamburan seperti terkuras dari tempat persembunyiannya masing-masing. Kasuari, Burung Cendrawasih, Babi hutan dan lain-lain bercampur aduk menjadi satu. Hanya satu tujuan mereka, yaitu menyelamatkan nyawa masing-masing dari jilatan api yang mengejar dengan cepat.

Binatang-binatang itu tak memperdulikan apapun kecuali menghindar jauh-jauh dari ancaman maut yang hendak merenggut. Laksana kiamat, api melahap hutan belantara.

Angin bertiup kencang membuat api itu merambat cepat sekali. Pepohonan tumbang, rumput-rumput hangus terbakar. Saat itu udara panas sekali bagaikan di dalam neraka. Jeritan binatang-binatang hutan menimbulkan kebisingan hingga membuat panik ke-tiga orang itu. Parmin, Yulia dan Awom berusaha mencari tempat berlindung sementara.

“Kita harus segera lari sebelum api sampai ke mari!” teriak Awom.

Belum lagi Awom bertindak, Parmin berteriak,

“Jangan lari mengikuti arah binatang-binatang itu, Awom! Angin bertiup sangat kencang! Kita akan kalah cepat oleh api!”

“Api telah dekat sekali apa yang harus kita perbuat?!” tanya Awom kepada Parmin dengan tak sabar lagi.

“Cari tempat yang agak lowong! Kita terobos api itu!” jawab Jaka Sembung tegas.

Sebelum itu Parmin menyuruh mereka agar menggunakan daun-daunan sebagai pembungkus kaki. “Cepat kita bungkus dulu telapak kaki kita dengan daun-daun yang segar! Cepat Awom, bantu kepala sukumu!” pinta Parmin kepada Awom.

Pemuda Papua ini cepat tanggap dan bergegas membantu kepala sukunya mengikatkan daun-daun segar sebagai alas kaki sambil mengendap-endap, mencari tempat lowong di tengah-tengah amukan api, akhirnya Parmin menemukan tempat yang dicarinya. Sebuah celah di antara kobaran api yang sedang bergolak.

“Di tempat itu lowong! Kita harus bergerak cepat Yulia, berdoalah!” ungkap Parmin sambil menunjuk ke arah yang akan mereka lewati.

Sesaat kemudian mereka berdo'a dengan cara mereka masing-masing, Yulia segera menggenggam Rosarionya. “Demi Bapa, Putra dan Roh Kudus....... Amin! Yulia mengawali dilanjutkan oleh Awom dengan caranya sendiri, sedangkan Jaka Sembung dengan membaca, “Bismillah.......!”

Maka dengan tekad bulat ketiga orang itu menerobos api yang berkobar-kobar dengan ganasnya. Dengan sekuat tenaga Parmin menggotong tubuh Yulia agar bisa melewati tembok api itu. Dengan sekali hentak dan diikuti Awom, mereka berhasil keluar dari neraka itu.

Teori Parmin memang benar. Di balik tembok api yang dahsyat itu terlihat membentang hamparan tanah kosong yang terdiri dari medan abu dan arang, bekas hutan yang telah musnah. Mereka tertatih-tatih menahan hawa panas dari asap yang masih mengepul dari tanah gundul itu.

Butir-butir keringat keluar dari tubuh mereka. Kulit mereka kebiru-biruan karena asap panas dan sengatan matahari yang tepat di atas ubun-ubun. Asap mengepul hitam ke langit, cahaya matahari lenyap ditelan kepulan asap, langit pun keruh dibuatnya.

Angin meniup kencang mendorong kobaran api semakin jauh di belakang mereka, sehingga ke-tiga orang itu terbebas dari bahaya api.

“Uu....... uh! Panas! Aku tak sanggup!” keluh gadis bule itu. Dia tak tahan dengan panasnya api, kulitnya yang putih berubah menjadi merah kebiru-biruan.

“Mari cepat! Sebentar lagi pasti kita terbebas dari hawa panas ini,” hibur Parmin sambil menggendong sang gadis yang sudah tidak sabar.

Sedikit demi sedikit mereka telah cukup jauh menempuh dataran abu yang panas itu. Awom sang panglima terus mengikuti jejak-jejak Parmin dari belakang, sementara daun-daun pembungkus kaki mereka mulai mengering tertembus abu dan arang sisa-sisa kebakaran tersebut.

Sementara itu dari suatu tempat manusia bertopeng menyeringai puas. Pikirnya dengan membakar hutan, dia yakin ketiga orang musuhnya yang ada di dalam hutan itu pasti sudah hangus dilalap kobaran api.

“Ha., ha., ha., ha., ha! Tentu mereka sudah mampus diberengus api atau setidak-tidaknya mereka sudah tak berbentuk manusia lagi!” si topeng seram berkata dalam hati sambil mencampakkan obor bekas alat penyulut kebakaran itu.

“Angin kencang di musim kemarau ini telah membantuku untuk melampiaskan dendam.”

Tapi dugaannya benar-benar meleset, karena Jaka Sembung, gadis bule atau panglima suku itu selamat, walau harus menderita luka-luka kecil.

“Kau tak apa-apa, Awom?” tanya Parmin kepada panglima suku.

“Tak apa-apa, hanya terbakar sedikit!” jawabnya singkat.

Setelah menempuh perjalanan yang menegangkan itu, Parmin mengajak mereka untuk beristirahat di tempat yang cukup teduh.

Ternyata masih ada sebuah pohon yang tersisa dari amukan api karena terletak di sebuah dataran yang tinggi. Sambil merebahkan tubuh Yulia yang digendongnya itu, dia berkata kepadanya, “Kuharap kau baik-baik juga, Yulia!”

Sambil mencium Rosarionya dia menjawab, “Tuhan telah menyelamatkan kita, Parmin!”

Mereka melepaskan lelah di bawah pohon tersebut sambil melucuti daun-daun pembungkus kaki mereka. Seketika Parmin dapat memastikan diri sambil melepaskan arah pandangannya ke arah kobaran api itu, seraya berkata.

“Aku yakin ini perbuatan seseorang untuk membunuh kita! Tapi sungguh keji. Untuk membunuh dan melenyapkan tiga orang saja harus membakar hutan!”

◄Y►

7

Setelah cukup istirahat, mereka kembali meneruskan perjalanan dengan niat semula mencari ayah Yulia dan pendeta Jorgen.

Di bawah teriknya sinar matahari, mereka terus melangkah. Suasana sunyi lengang terasa di tengah padang abu dan arang tersebut.

Tak seekor binatang pun menampakkan batang hidungnya. Tak terdengar siulan burung. Segenap penghuni hutan seakan berkabung dengan apa yang baru saja terjadi. Sengat matahari bertambah panas karena kini tidak ada lagi pohon-pohon tempat berteduh.

Rasa gatal dan kering menggerogot kerongkongan. Mereka ingin segera menemukan sumber air untuk sekedar membasahi kerongkongan. Setelah berjalan cukup lama di ujung tanah gersang kerontang itu, akhirnya mereka menemukan sebuah danau.

“Anda lelah, Yulia? Baiklah kita istirahat di sini untuk melepas dahaga sambil membersihkan luka-luka!” ajak Jaka Sembung kepada kepala suku dan panglima suku Kaimana.

Seakan mengerti situasi, Awom sengaja memisahkan diri dari pasangan muda-mudi itu, ia merebahkan dirinya di bawah pohon raksasa yang daunnya lebat serta batangnya sebesar tiga kali pelukan manusia.

Yulia turun ke pinggiran danau dan membersihkan tubuh serta wajahnya yang telah dicoreng-moreng abu dengan air danau yang jernih dan sejuk itu. Begitu juga halnya dengan Parmin.

“Biarkan kubersihkan luka-lukamu, Parmin!” pinta Yulia.

“Tak usah repot-repot, Yulia! Biarlah kulakukan sendiri!”

Dengan halus Jaka Sembung menolak, tapi Yulia bergegas menghampiri Parmin dan menggosokkan air dengan jari-jarinya yang halus ke bagian tubuh Parmin yang kotor karena abu.

“Pedih?”

“Tidak!”

Sesaat mereka berdua beradu pandang. Dengan matanya yang biru Yulia menatap Parmin. Sinar mata gadis itu seakan berusaha menembus bola mata Jaka Sembung. Di pihak lain, ditatap seperti itu Parmin menjadi rikuh juga.

“Mengapa, Yulia? Kau seperti hendak mengatakan sesuatu padaku!” tanya Parmin untuk menghilangkan rasa serba salah.

“Parmin.......! Oh, aku begitu mengagumimu! Belum pernah aku menjumpai seorang laki-laki segagah dan setangkas engkau!”

“Keadaanlah yang memaksa bangsa kami untuk menjadi laki-laki tangkas dan cekatan!” ujar Parmin coba merendahkan diri.

“Ya, aku mengerti. Karena bangsamu tertindas! Tapi pada dirimu kulihat segala-galanya, Parmin! Gagah, tangkas, halus perasaanmu....... Dan kulihat kau sangat taat menjalankan agamamu di saat apapun atau di mana pun!” puji kepala suku Kaimana dengan nada ketulusan.

“Ah, itu memang sudah kewajiban seorang pemeluk agama! Engkau pun setiap saat berdo'a dan ta'at kepada agamamu, bukan?”

“Kurasa kau terlalu memujiku....... Kita hanya bertiga di tengah hutan belantara yang luas dan sunyi....... Oleh karena itu kau tentu melihatku sebagai manusia yang paling hebat!” Parmin tetap merendahkan diri.

“Tidak, Parmin.......! Aku kadang-kadang merindukan seorang pria yang sanggup melindungiku dengan segala kesukaran dan keresahanku!”

Belum lagi selesai Yulia berkata. Parmin cepat memotongnya, karena Jaka Sembung melihat suatu gejala yang tidak ia inginkan dari gadis kulit putih ini.

“Maaf....... Jangan kau teruskan kata-katamu, Yulia! Jangan!”

“Kau terlalu baik untukku dan bukan itu saja, kau ibarat musafir di padang pasir yang sedang kehabisan bekal air, dan kau belum banyak menjumpai telaga!” lanjut Parmin agar Yulia mau mengerti apa yang diharapkannya.

Namun kenyataannya tidak, bahkan Yulia seakan tidak mau tahu terhadap sikap Jaka Sembung. “Oh, tidak! Aku telah banyak melihat telaga tetapi tidak sebening dan sesejuk air telagamu!”

Kata-kata Yulia laksana deburan ombak besar yang menghantam onggokan batu karang. Namun batu karang yang satu ini keras dan begitu tegar tak tergoyahkan, maka ia berusaha menjawab dengan kata-kata halus dan hati-hati agar si gadis bule itu tidak merasa tersinggung.

Belum selesai Parmin mengutarakan sikapnya, tiba-tiba ia melihat benda-benda kecil berkilat menukik ke arah Awom. Parmin berteriak memperingatinya.

“Awom! Awas!........”

Terlambat, beberapa anak panah yang telah melesat dari busurnya itu menancap ke tanah memagari tubuh Awom dengan ketatnya, sehingga membuat panglima suku Kaimana itu tak berdaya seakan-akan tubuhnya terpatok kuat-kuat di atas tanah.

Nasib yang sama segera dialami pula oleh Parmin dan Yulia. Anak-anak panah itu bagaikan belenggu yang meringkus tubuh mereka.

Baru saja Jaka Sembung hendak bergerak, tiba-tiba dari semak belukar di sekitar mereka bermunculan sekawanan suku Papua yang masih buas dengan tombak-tombak yang mengancam. Tetapi dalam keadaan seperti itu, mendadak Parmin menghentak dengan diiringi kibasan kedua tangannya yang mencabut anak-anak panah dan sekaligus melemparkannya kembali. Anak-anak panah itu berdesing menuju tuannya masing-masing.

Mereka menjerit tertahan disusul dengan tumbangnya tubuh mereka berguguran ke bumi dan tak berkutik lagi.

Awom yang sudah terbebas dari belenggu anak-anak panah itu tak tinggal diam, dengan meniru apa yang diperbuat Parmin dia berhasil menghalau, sebagian kecil pasukan penyerang itu.

“Hiyaaaaat.......!” Awom begitu cepat menyerap ilmu Parmin si Jaka Sembung.

Sekali hentak lima orang suku Kanibal yang hidungnya berhias tulang belulang itu ambruk seketika. Tak ayal lagi nyawanya melayang oleh anak panah mereka sendiri.

Namun baru saja Awom dan Parmin merasa bisa bernafas, mendadak dari atas pohon beberapa orang suku pemakan daging manusia itu menjerat tubuh mereka dengan tali yang terbuat dari akar-akar pohon raksasa. Secepat kilat tubuh Parmin dan Awom terhentak ke atas.

Keduanya bergelantungan dengan kepala di bawah. Yulia yang sejak tadi memperhatikan pertarungan kedua kawannya, juga tak lepas dari sergapan orang-orang buas dan menyeramkan itu.

Dalam waktu yang tak seberapa lama mereka sudah tertangkap sebagai tawanan.

Mereka menurunkan tubuh Parmin dan Awom yang bergelantungan itu. Lalu setelah tiba di bawah mereka segera mengikat keduanya dengan akar-akar pohon dan langsung menyeret ke-tiga orang itu menuju ke perkampungan mereka.

Di bawah teriknya matahari mereka diseret bagai binatang hasil buruan.

Beberapa saat setelah menelusuri hutan belantara, akhirnya mereka sampai di sebuah perkampungan. Para penduduknya bersorak ramai menyambut kedatangan para pemburunya yang telah datang dengan membawa hasil yang tak kepalang tanggung, tiga orang sekaligus.

Parmin, Yulia dan Awom segera diikat, masing-masing pada sebuah tonggak kayu yang terpancang di tengah halaman perkampungan suku primitif itu.

Hari mulai gelap, beberapa wanita penghuni perkampungan itu menyiapkan kayu bakar yang telah disediakan dan diletakkan di hadapan mereka bertiga. Yulia mulai gelisah. Dia menoleh ke arah Awom dan Parmin sambil bertanya.

“Mau diapakan kita ini, Parmin?”

Dengan tenang Parmin menjawab. “Sabar saja, kita lihat apa yang akan mereka perbuat!”

Kayu-kayu yang tertumpuk mulai dibakar dan perlahan-lahan api itu menjalar dan berkobar dengan mengeluarkan kepulan asap tebal.

Malam sudah lama turun, api unggun menerangi seluruh perkampungan itu. Di tengah-tengah halaman kini berlangsung upacara yang dimeriahkan oleh teriakan gegap gempita. Ada yang menari sambil mengitari api unggun yang berkobar-kobar dan ada pula yang menabuh gendang, berbaur hingga menimbulkan kebisingan.

Para wanitanya pun tak tinggal diam, mereka turut memeriahkan upacara dengan menari-nari sambil menambah tumpukan kayu yang mulai habis termakan api. Sebagian laki-laki yang lain duduk bersila membuat lingkaran di tengah halaman. Sementara itu Parmin, Yulia dan Awom terikat kuat-kuat tak berdaya.

Mendadak sorak sorai itu berhenti. Ternyata sang kepala suku kanibal berdiri mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan berpidato di hadapan warganya dengan bahasa mereka, disambut dengan sorak sorai dengan riuh rendah.

Setelah sedikit memberi ulasan, sang kepala suku duduk kembali sambil mengarahkan jari telunjuknya kepada Yulia yang terikat di tonggak upacara. Dengan cepat dua orang yang duduk mengelilingi arena upacara itu bangkit mendekati Yulia, dan melepaskan tali belenggu pengikat tubuh gadis itu.

Parmin bertanya dalam hati: “Mau diapakan dia, mengapa wanita dulu?”

Setelah bergumam begitu, dia menoleh ke arah Awom seraya bertanya: “Kau mengerti bahasa mereka, Awom?”

“Ya, sebelum dijadikan santapan, para tawanan harus menghibur mereka dulu! Kepala suku Kaimana akan diadu dengan jago-jago wanita dari suku ini!!” jelas Awom singkat.

Betul saja, diiringi sorak-sorai, muncullah di tengah gelanggang tiga wanita suku Papua kanibal dan mengurung Yulia. Wanita bertampang beringas dengan hanya memakai cawat dari kulit binatang itu agaknya memang sudah dilatih untuk berkelahi dalam upacara-upacara tradisionil seperti ini.

Dengan hiasan tulang belulang di leher serta hidungnya membuat wanita-wanita itu bertambah seram dipandang. Mata Yulia begitu gugup dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Oh, Tuhan apa yang harus kuperbuat, mereka hendak merobek-robek tubuhku.......!”

Dengan garang ketiga wanita itu menyerang Yulia, kukunya yang panjang dan runcing itu siap merobek kulit Yulia yang putih mulus.

Dalam keadaan kritis itu Parmin membisikkan kata-kata dari kejauhan.

“Jangan gugup, Yulia! Hadapi dia dengan tenang! Ketenangan akan lebih mudah mengatasi segala kesulitan.”

Bagaikan diguyur seember air segar, semangat Yulia sekonyong-konyong bangkit kembali, sekarang dia telah siap untuk menghadapi serangan ketiga lawannya itu. Yulia tak lupa berdo'a.......

“Aku tidak takut karena Tuhan adalah pelindungku.”

Baru saja dia mengucapkan do'a, ketiga lawannya yang ganas itu menyergap Yulia.

Parmin dari kejauhan dengan cepat memberi aba-aba. “Yulia! Lompat ke kiri dan gaet kakinya!”

Yulia mempraktekkan apa yang dikatakan Parmin, tak ayal lagi tubuh orang hitam itu terjerembab jatuh. Yulia melihat suatu kenyataan yang menggembirakan hati.

“Benar juga kata Parmin, dia jatuh tapi yang dua orang lagi bagaimana?”

Ketika Yulia mengamati lawannya yang sudah tersungkur, tiba-tiba Parmin berteriak.......

“Awas, Yulia!! Ah!”

Yulia tak sempat berbuat apa-apa karena dia lengah sehingga dengan mudah tubuhnya disergap wanita suku primitif itu. Pergumulan terjadi, keduanya berguling-guling. Para lelaki yang sedang asyik menonton pergumulan itu mau tak mau diam, mereka bersorak sorai memberi semangat kepada jagoan mereka.

“Ayo hajar! Gigit tengkuknya!”

“Patahkan kakinya yang gurih itu!”

Yulia dihajar habis-habisan. Rambutnya dijambak kuat-kuat, sementara tubuhnya tersingkap, sehingga pahanya yang putih mulus itu semakin mengundang selera mereka untuk cepat-cepat makan daging manusia. Batang leher Yulia yang jenjang dicekik, untuk sesaat nafasnya serasa hampir putus oleh cengkraman tangan perempuan hitam itu.

Para penonton gembira melihat jago mereka hampir memenangi pertarungan. Namun Parmin tak henti-hentinya memberikan petunjuk kepada Yulia. “Yulia! Jepit pinggangnya kuat-kuat dengan kakimu! Lalu lemparkan tubuhnya ke samping!”

Ucapan Jaka Sembung dipraktekkan lagi. Dengan sisa-sisa tenaganya Yulia menghempaskan tubuh lawan yang menindihnya itu sehingga tubuh hitam itu terpental. Namun Yulia kembali terperangah dengan apa yang dihadapi ketika tiba-tiba Parmin berteriak lagi.

“Cepat bangkit, Yulia! Awas di belakangmu!”

Terlambat....... Kedua tangan hitam yang berkuku panjang itu telah bersarang di batang lehernya. Yulia berusaha berkelit untuk melepaskan cengkeraman lawan wanitanya itu. Tapi sepasang tangan wanita hitam itu bagaikan terpatri dan sulit untuk dilepaskan.

Yulia merasakan nafasnya semakin sesak. Keringat bercucuran dari tubuhnya sehingga kulit yang putih itu kini berkilat seperti pualam. Di saat-saat menegangkan itu Jaka Sembung berontak dan tali-tali pengikat tubuhnya putus seketika. Dengan teriakan yang membahana ia melompat.

Seketika itu juga orang-orang kanibal yang sedang menonton pertarungan menjadi terperangah kaget. Namun panglima suku segera memerintahkan agar menghujani Parmin dengan senjata mereka.

Bagaikan kilat, tombak-tombak itu melesat dari tuannya. Tetapi dengan cekatan Jaka Sembung menangkis tombak-tombak itu dengan tonggak kayu yang dicabutnya. “Jep.........!Jep.......!”

Kemudian tonggak kayu itu digunakan Parmin untuk menyerang orang-orang kanibal yang menghadangnya. “Hiyaaaaaaat........”

Tubuh mereka ambruk seketika bersama tonggak kayu yang menimpanya. Dengan sigap Parmin berkelebat untuk menolong Yulia yang sedang menanti saat kematiannya.

Bagaikan binatang buas dan ganas wanita hitam itu tak mau melepaskan tubuh lawannya. Maka sebuah tendangan keras dari Parmin mendarat di tubuhnya. Dengan jerit keras, tubuh hitam itu terpental dan nyawanya pun lenyap seketika.

Parmin tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan Jaka Sembung membopong tubuh Yulia yang hampir kehabisan nafas, sambil menyarangkan kakinya kepada siapa pun yang coba-coba menghalanginya.

Tak ayal lagi mereka pun ambruk berpelantingan. Nasib baik yang menyertai Awom yang sejak tadi masih berusaha melepaskan ikatannya, tahu-tahu sebilah tombak nyasar memutuskan tali tersebut.

“Bagus!” ujarnya gembira.

Kesempatan baik itu digunakan Awom untuk menggunakan balok kayu di hadapannya untuk digunakan sebagai senjata seperti apa yang dilakukan oleh Jaka Sembung.

“Uuuh! Berat betul! Kok tidak kuat”!”

Ternyata balok yang tertancap dalam tanah itu tak berhasil diangkatnya. Di saat itu beberapa orang suku kanibal datang menyerang Awom yang masih penasaran ingin dapat mencabut balok kayu tersebut.

“Sial, tonggak ini tak bisa ku bedol.......!”

Dalam pada itu serangan telah mengancam jiwanya tetapi Awom, dengan cepat membalikkan badannya menirukan gaya Jaka Sembung.

“Hiyaaaat.......!”

Dengan tangan dikibaskan ke samping, kemudian kaki menerjang ke depan menghantam dada lawan yang menyerangnya. Tak ayal lagi tubuh-tubuh itu terpental jauh dari hadapan Awom untuk tak berkutik lagi selamanya.

“Heh, sekali tepuk tujuh nyawa! Hebat betul!” ucapnya bangga dalam hati.

Di saat sedang memandangi tubuh-tubuh lawannya yang telah menjadi mayat, Awom melihat sesosok bayangan berkelebat dengan bersenjatakan sebuah kapak ke arah Parmin.

“Aya, kepala suku kanibal itu hendak membokong Parmin!”

Baru saja kapak itu hendak diayunkan ke batok kepala Parmin alias Jaka Sembung, mendadak kakinya tersangkut. Betapa kagetnya kepala suku itu, ternyata yang menggaetnya adalah Awom.

Tak bisa disangkal lagi, tubuh kepala suku kanibal itu ambruk. Ketika ia berusaha bangkit, dengan cepat Awom menghantam tubuh kepala suku itu bertubi-tubi dengan tendangan geledek gaya Jaka Sembung yang berhasil ditirunya.

Kepalan tangan Awom yang keras bertubi-tubi dihujamkan ke wajah serta sikutnya bersarang telak di perut kepala suku kanibal itu.

“Nih, pukulan gaya Parmin! Tiga sekaligus.”

“Dan ini tendangan geledek Parmin. Hiyaaaaat!”

Seketika tubuh kepala suku terhuyung-huyung. Baru saja Awom hendak bertindak lebih jauh, ia mendengar suatu gerakan orang yang akan membokongnya dengan sebilah tombak.

“Aya, ada yang menyerangku dari belakang!”

Dengan gerakan reflek, kakinya di-ayunkan ke belakang menendang tubuh si penyerang itu.

“Gedebuk!” Tepat bersarang di perut.

Orang hitam itu berteriak keras karena perutnya mulas, tubuhnya terhuyung-huyung menyebabkan tombak yang digenggamnya lepas. Dengan cepat Awom menyambar tombak yang masih melayang di udara, “Tap.......!”

Awom langsung menyarangkan tombak tersebut ke perut lawan. Untuk sesaat si pembokong itu berkelojotan meregang nyawa, kemudian terkulai tak berkutik lagi.

Kepala suku yang baru sadar dari pingsannya kini bangkit lagi siap menyerang Awom. Dia melompat dengan cepat laksana seekor serigala lapar sambil mengayunkan kapaknya ke batok kepala Awom. Tapi Awom berkelit dengan cepat sambil menangkis serangan lawannya dengan tombak yang baru saja digunakannya. “Heit!”

Bersamaan dengan patahnya tombak akibat hantaman kapak, Awom mengibaskan tangan kirinya sambil berteriak penuh percaya diri.

“Masuk.......!”

Tak ayal lagi tubuh hitam kelam itu termakan patahan batang tombak di tangan Awom, darah menyembur dari lambungnya, dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

Dengan gemilang Awom berhasil merobohkan sang kepala suku kanibal itu. Serentak Awom berteriak keras sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri seperti seekor gorila yang menang bertanding. Hal ini sengaja ia lakukan agar anggota suku kanibal yang tersisa menjadi ngeri kepadanya.

“Berhentiiiiiiii! Berhenti semua! Kepala suku kalian sudah mampus di tanganku!!” teriaknya dengan penuh kewibawaan.

Suasana hening sejenak, orang-orang suku kanibal yang sedang mengeroyok Parmin, seketika berbalik memandangi Awom seperti tak percaya dengan kenyataan yang terjadi.

”Kalian tak percaya?! Lihatlah ini!” Awom berteriak sambil memperlihatkan apa yang sedang dipegangnya.

Sementara Awom sedang mendemontrasikan, Parmin merebahkan tubuh Yulia dari gendongannya dan segera menolongnya memberikan pernafasan buatan. Dengan cara meniupkan udara dari mulut ke mulut, Yulia telah siuman.

“Oh.......!! lenguhnya dengan lirih.

“Untunglah masih bisa tertolong!” ucap Parmin.

Tapi agaknya pertolongan darurat itu telah menimbulkan kesan dan prasangka lain pada diri gadis Belanda ini, kelembutan bibir Jaka Sembung telah membuatnya melambung ke alam impian yang sudah lama ia nantikan. Oleh karena itu begitu siuman, Yulia serta merta memeluk tubuh Parmin.

“Oh! Parmin! Aku takut.......!!”

“Tenanglah, Yulia! Kita selamat!” Jaka Sembung berusaha melepaskan pelukan gadis jelita itu. Terasa sekali betapa getaran tubuh Yulia seakan menuntut kejantanan pemuda yang dikaguminya.

“Bagaimana mungkin kita bisa selamat dari taring-taring suku kanibal itu”!” tanya Yulia dengan tatapan mata menantang.

“Panglima perangmu itu berhasil memenggal kepala suku buas itu dan sedang meyakinkan mereka bahwa kita utusan dewa!”

Benar kata Parmin, Yulia mendengar suara Awom sedang berbicara di depan rakyat itu persis seperti gaya Yulia sendiri ketika meyakinkan suku Kaimana dulu.

“Biar kulitku sama dengan kalian, aku adalah utusan dewa!!”

“Aku adalah dewa hitam! Dewa yang memerintah sekalian binatang di hutan belantara ini! Beliau yang itu,” sambil menunjuk ke arah Parmin. “Adalah dewa coklat yang menguasai bumi yang berwarna coklat ini! Sedangkan yang satu lagi dewa putih yang menguasai langit dan awan putih yang bergumpal-gumpal di atas sana!”

Namun agaknya mereka tidak gampang percaya dan puluhan suku kanibal telah mengurung mereka. Perhatian mereka terutama ditujukan kepada Awom yang dianggap telah memperdayakan mereka.

“Kita cincang!”

“Kupingnya untukku, disambal goreng!!”

“Bikin sate!”

Mereka masing-masing berkata sekehendak perutnya dan segera menyerang Awom dengan ganasnya. Awom yang memang tak banyak berbuat banyak gelagapan dengan keroyokan orang-orang itu.

“Wah! Celaka aku bisa mampus dibuatnya!!” Nyawa Awom bagai di ujung tanduk.

Di saat yang genting itu tiba-tiba Parmin si Jaka Sembung bersalto ke udara menuju tonggak kayu yang masih terpancang di tengah-tengah arena. Dengan mengerahkan ilmu yang sangat dahsyat, dia menghajar tonggak pohon raksasa itu dengan menggunakan telapak tangan miring.

“Hiyaaaaaaa!!”

Tonggak kayu yang cukup besar itu hancur berkeping-keping seperti dibelah kapak dan jatuh berserakan di hadapan mereka.

Parmin tak diam hingga di situ dan dengan menggunakan kepingan kayu itu ia mendemontrasikan kebolehannya. Maka bagaikan anak-anak panah yang melesat dari busurnya, patahan kayu itu menancap menghiasi batang-batang pohon raksasa di sekitar halaman perkampungan itu.

Suku kanibal terperanjat melihat kehebatan Parmin. Ada yang melotot seakan mau keluar biji matanya dan sebagian dari mereka ada yang menggigil karena ketakutan.

Dalam kesempatan itu Awom berkhotbah lagi walau sebenarnya ia masih merasa khawatir apakah Jaka Sembung sudah meyakinkan mereka. Tapi kecerdikan pemuda Kaimana ini sanggup menguasai keadaan.