Pendekar Rajawali Sakti 105 - Istana Gerbang Neraka(3)

ENAM
Sudah lima hari Rangga dan Panglima Gagak Sewu berada di rumah Ki Rambulun. Dan dari rumah itu, Panglima Gagak Sewu mencari keterangan dan menghubungi teman-temannya yang masih setia pada raja mereka. Sedangkan Rangga, dengan caranya sendiri mencoba mengetahui keadaan di dalam istana. Terutama, ingin tahu tentang keadaan Raja Jenggala yang sampai saat ini belum ketahuan bagaimana nasibnya.

Seperti lima malam yang lalu, Rangga sengaja keluar mendekati bangunan Istana Kerajaan Jenggala yang kelihatan megah dan terang benderang. Tampak para prajurit berjaga- jaga di setiap sudut Istana. Nyatanya penjagaan di istana ini memang ketat sekali, seakan-akan takut mendapat serangan dari luar. Dan memang, itu adalah tindakan pertama para pemberontak yang kedudukannya takut akan terguling lagi. Hingga, mereka harus melipat gandakan penjagaan di sekitar istana.

"Hm.... Bagian belakang kelihatannya tidak begitu ketat," gumam Rangga perlahan.

Lima hari memang sudah cukup bagi Rangga untuk mengetahui keadaan istana ini. Kini Pendekar Rajawali Sakti bergegas ke belakang yang berpagar tembok sangat tinggi. Bagi orang biasa, memang mustahil untuk melewati tembok yang tingginya dua kali panjang batang tombak. Tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti, tembok yang setinggi itu bukan masalah.

Hanya sebentar Rangga mengedarkan pandangan untuk mengamati keadaan sekeliling, kemudian segera menatap ke puncak pagar tembok bagian belakang istana yang sangat tinggi ini. Dia menggumam sedikit. Dan...

"Hup!"

Ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah sangat sempurna tingkatannya. Tak heran kalau tubuhnya bagaikan segumpal kapas saat meluncur deras ke atas tembok benteng istana ini. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak bibir tembok. Cepat Rangga merundukkan tubuhnya, hingga merapat dengan bibir tembok ini, begitu terlihat dua orang berseragam prajurit melintas tepat di bawahnya.

Rangga baru mengangkat kepalanya, setelah dua orang prajurit itu lewat. Diamatinya keadaan sebentar, sampai mereka menghilang di balik dinding bangunan istana yang megah ini. Kini tak ada seorang prajurit pun yang terlihat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun. Sungguh indah gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak di tanah, tepat dekat pohon beringin yang tumbuh subur dan lebat daunnya.

Namun belum juga kakinya bergerak, mendadak saja sebatang tombak sudah meluncur deras ke arahnya. Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri, hingga tombak itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya.

"Sial...!"

Rangga jadi mengumpat kesal, begitu dari gerumbul semak dan pepohonan bermunculan orang-orang berpakaian seragam prajurit dengan tombak dan pedang terhunus. Sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung oleh tidak kurang tiga puluh orang prajurit.

"Minggir...!"

Tiba tiba saja terdengar bentakan keras yang cukup menggelegar. Maka beberapa prajurit yang berada tepat di depan Rangga bergerak menyingkir. Saat itu, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun tengah melangkah, diikuti empat orang wanita yang kelihatannya sudah berumur tiga puluh tahun. Tapi, wajah mereka masih kelihatan cantik. Malah, di punggung mereka masing-masing tersandang dua bilah pedang. Mereka berhenti, setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari pemuda yang mengenakan baju rompi putih ini.

"Patih Garindra...," desis Rangga langsung mengenali laki-laki yang berpakaian sangat indah itu.

"Sudah kuduga, kau pasti muncul di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Dengan siapa kau datang...? Dengar, Rangga. Aku tidak akan gentar, walaupun kau kerahkan seluruh prajurit Karang Setra. Dan kau juga harus tahu! Setelah Kerajaan Jenggala kukuasai, tidak lama lagi Karang Setra akan kuserang," terdengar begitu congkak nada suara Patih Garindra.

"Tidak kusangka, ternyata kau biang keladi semua ini, Patih Garindra," desis Rangga, agak dingin nada suaranya.

"Ha ha ha...!" Patih Garindra tertawa terbahak-bahak, sampai bahunya terguncang.

Sedangkan empat wanita yang mendampinginya tersenyum sinis, memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata begitu tajam menusuk. Sedangkan Rangga mengamati orang-orang yang rapat mengepungnya lewat sudut ekor matanya. Saat itu otaknya berputar keras, mencari jalan keluar untuk terbebas dari kepungan yang cukup rapat ini.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi mengeluh, karena tidak sedikit pun celah ditemukan. Hanya saja hatinya sedikit lega, karena mereka yang mengepung hanya prajurit-prajurit biasa yang berkepandaian tidak seberapa. Namun begitu. Rangga tidak ingin berbuat gegabah. Dia tidak ingin sampai melukai seorang prajurit pun. Apalagi, sampai menewaskan. Masalahnya bukan mereka yang menjadi sasaran tapi orang-orang yang ada di balik pemberontakan di Kerajaan Jenggala ini. Memang, merekalah yang sepatutnya mendapat ganjaran. Sedangkan para prajurit hanya mengikuti perintah saja, karena akan patuh pada siapa saja yang sedang berkuasa.

"Baiklah, Rangga. Meskipun kau seorang pendekar dan Raja Karang Setra, tapi sudah memasuki wilayah Kerajaan Jenggala tanpa izin. Kesalahanmu tidak akan mendapat pengampunan dari Gusti Prabu. Kau pasti tahu, apa hukuman bagi orang yang masuk dalam lingkungan istana tanpa izin, bukan...? Nah, Bersiaplah menerima hukumanmu, Pendekar Rajawali Sakti," terasa begitu dingin nada suara Patih Garindra.

"Tunggu dulu...!" sentak Rangga cepat-cepat, saat melihat Patih Garindra sudah mengangkat tangannya, hendak memberi perintah.

"Apa yang kau inginkan, Rangga?"

"Aku ingin bertemu Prabu Gandaraka," ujar Rangga tegas.

"Tidak ada Prabu Gandaraka di sini, Rangga. Raja Jenggala sekarang adalah Gusti Prabu Banyugara. Dan kau tidak perlu bertemu dengannya. Kesalahanmu sudah jelas, maka harus mati di sini sekarang juga," tegas Patih Garindra.

"Hm..."

Rangga jadi tercenung beberapa saat. Sementara Patih Garindra sudah mengangkat tangannya lagi. Maka semua prajurit yang sejak tadi mengepung, langsung mengangkat senjatanya, siap menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Seraaang...!" seru Patih Garindra lantang menggelegar.

"Hiya!"
"Yeaaah...!"

Rangga memang tidak bisa mencegah lagi. Prajurit-prajurit itu sudah berlompatan menyerangnya dari segala penjuru mata angin. Maka tidak ada lagi pilihan bagi Pendekar Rajawali Sakti, selain harus melenting ke udara, menuju ke sebatang pohon beringin yang berada tidak jauh darinya. Tapi belum juga sampai ke cabang pohon itu, empat orang wanita cantik yang mengawal Patih Garindra sudah melesat cepat bagai kilat, sambil mencabut pedang masing- masing.

"Hiyaaat...!"
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Ups!"

Salah seorang langsung saja mengebutkan pedang di tangan kanannya, ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dengan gerakan manis sekali, pemuda berbaju rompi putih itu menarik kaki lebih ke atas. Sehingga, tebasan pedang wanita itu tidak sampai mengenai kedua kakinya. Dan dengan kecepatan luar biasa sekali, Rangga menghentakkan kaki kanannya.

"Yeaaah...!"
"Ikh...!"

Wanita itu jadi terpekik kaget. Maka cepat-cepat tubuhnya diputar dan berjumpalitan ke belakang dua kali untuk menghindari tendangan keras yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga segera meluruk lagi ke bawah, sebelum tiga wanita lain melancarkan serangan. Dan begitu menjejakkan kakinya, para prajurit yang berjumlah cukup banyak sudah langsung menyerang dari segala penjuru.

"Hup! Yeaaah...!"

Tidak ada pilihan lain lagi. Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dipadukan dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat pertama, Pendekar Rajawali Sakti menghajar para prajurit yang menyerangnya dari segala jurusan. Begitu cepat gerakan-gerakannya, sehingga setiap pukulan yang dilontarkan begitu sulit dihindari. Bahkan gerakan tangannya pun sukar diikuti pandangan mata biasa. Hingga seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking dan keluhan tertahan yang saling sambut.

Terlihat beberapa prajurit berjatuhan sambil merintih kesakitan. Untung saja. Rangga tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, hingga tidak membuat prajurit- prajurit itu terluka parah. Namun mereka yang terkena, seakan sulit bisa cepat berdiri. Mereka kontan bergelimpangan sambil merintih menahan sakit.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Rangga tidak berhenti sampai di situ saja, melihat prajurit-prajurit lain masih terus ganas merangseknya. Dengan kecepatan tinggi sekali, Pendekar Rajawali Sakti melontarkan pukulan-pukulan dahsyat walaupun tidak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Jeritan-jeritan melengking dan keluhan tertahan pun terus terdengar saling sambut, diiringi ambruknya prajurit-prajurit. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, semua prajurit yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti tidak ada lagi yang sanggup berdiri. Mereka merintih dengan suara begitu memelas. Sementara, Rangga berdiri tegak di antara prajurit- prajurit yang bergelimpangan. Ditatapnya Patih Garindra yang sudah didampingi lagi oleh empat orang wanita pengawalnya dengan sinar mata yang begitu tajam.

"Hm..."

Perlahan Rangga melangkah mendekati, sampai jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan patih dari Kerajaan Jenggala ini. Tampak raut wajah Patih Garindra agak memucat, melihat Rangga dengan begitu mudah menjatuhkan prajurit-prajuritnya yang memang bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti.

"Bunuh dia!" perintah Patih Garindra.

Bet!
"Hap!"

Empat wanita yang semuanya berwajah cantik dan masing-masing memegang dua bilah pedang, langsung saja berlompatan ke depan. Sementara, Patih Garindra bergegas melangkah mundur menjauh. Dan sekarang, Rangga sudah kembali terkepung oleh empat orang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun yang masih berwajah cantik itu. Mereka bergerak memutar dengan gerakan kaki perlahan, sambil memainkan kedua pedang di depan wajah.

Sedangkan Rangga hanya memperhatikan gerakan-gerakan keempat wanita itu dengan sinar mata cukup tajam tanpa berkedip sedikit pun. Dan matanya sempat memperhatikan Patih Garindra yang kini sudah berjarak pada jarak yang cukup jauh. Rangga sendiri tidak kenal keempat wanita ini. Tapi diyakini kalau mereka dari kalangan persilatan. Ini bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan. Mereka adalah wanita-wanita yang terbiasa hidup mengembara di alam bebas, dengan segala kekerasan dan keganasannya.

"Seraaang...!" teriak Patih Garindra memberi perintah.

"Hiyaaat..!"

Belum juga lenyap teriakan Patih Garindra dari pendengaran, salah seorang wanita yang berada tepat di depan Rangga sudah melompat sambil berteriak nyaring. Kedua pedangnya langsung dikebutkan secara menyilang ke depan dada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap!"

Namun dengan gerakan indah sekali, Rangga melompat ke belakang dua langkah menghindari serangan wanita ini. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, seorang wanita lainnya yang berada tepat di sebelah kanan, sudah menyerang dengan sabetan pedang di tangan kiri. Begitu cepat serangannya, hingga membuat Rangga jadi terkesiap sesaat.

"Haiiit..!"

Tapi hanya sedikit saja tubuhnya mengegos, sabetan pedang itu berhasil dihindari. Dan saat yang hampir bersamaan, wanita yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat ke atas kepala. Dan saat itu juga pedangnya dikebutkan, tepat mengarah ke bagian atas kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Hiyaaat..!"

Kali ini, Rangga tidak mau lagi terus-menerus berkelit menghindar. Begitu merasakan desir angin di atas kepalanya, cepat tubuhnya dibanting ke tanah. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kaki kanannya ke atas, tepat ke perut wanita yang menyerangnya dari atas kepalanya tadi. Begitu cepat tendangannya, sehingga wanita itu tidak sempat lagi menyadari. Terlebih, dia kini berada di atas. Akibatnya, tendangan itu tepat sekali menghantam perutnya yang kosong, tidak terlindungi sama sekali.

Begkh!
"Ugkh...!"

Terdengar keluhan yang pendek dan tertahan. Tampak wanita berwajah cantik itu terpental tinggi ke atas. Sementara, Rangga bangkit berdiri dengan gerakan indah dan manis sekali. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah kembali.

"Hiyaaa...!"

Tepat di saat wanita yang berada di sebelah kirinya melakukan serangan, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Rangga menarik kakinya ke belakang sedikit. Langsung tangan kirinya dihentakkan dengan tubuh agak doyong ke belakang. Begitu cepat gerakannya, hingga wanita itu tidak dapat lagi berkelit. Maka kibasan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dadanya yang kosong tidak terlindungi.

Des!
"Akh...!"

Wanita itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memekik keras agak tertahan. Tampak darah muncrat keluar dari mulutnya, akibat pukulan yang cukup keras dari Pendekar Rajawali Sakti di dadanya. Saat itu juga, dua orang lainnya sudah berlompatan dari arah yang berlawanan sambil berteriak keras menggelegar. Namun, sedikit pun Rangga tidak terkejut. Bahkan malah berdiri tegak menanti. Dan begitu serangan dua orang wanita itu sudah dekat....

"Hap! Yeaaah...!"

Bagaikan kilat, Rangga melenting sedikit ke atas. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, kedua kakinya dihentakkan sambil memutar tubuhnya. Begitu cepat serangannya, sehingga kedua wanita ini tidak dapat lagi menghindarinya.

Des!
Bugkh!
"Akh!"

"Ugkh...!"

Kedua wanita itu seketika berpentalan balik ke belakang. Sementara, Rangga menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan manis dan ringan. Matanya melirik sedikit pada empat orang wanita yang bergelimpangan di tanah, sambil merintih menahan rasa sakit akibat hajarannya. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti sudah menatap tajam pada Patih Garindra. Perlahan kakinya terayun mendekati Patih Kerajaan Jenggala ini.

"Aku masih bisa menyambung hidupmu, kalau kau mau menunjukkan di mana Prabu Gandaraka ditawan," kata Rangga dengan suara dibuat begitu dingin.

"Dia sudah mati!" dengus Patih Garindra ketus.

"Jangan coba-coba mendustaiku, Patih Garindra! Aku tahu kalau kau, dan yang lain tidak membunuh Prabu Gandaraka. Dengar, Patih.... Aku tidak ada waktu bermain-main denganmu. Tunjukkan, di mana Prabu Gandaraka...?!" semakin dingin nada suara Rangga terdengar.

Patih Garindra tampak kebingungan. Dia tahu, siapa pemuda berbaju rompi putih yang kini semakin dekat saja. Rangga bukan saja Raja Karang Setra, tapi juga seorang pendekar muda yang sangat disegani dan sukar dicari tandingannya. Ilmu olah kanuragan dan kedigdayaannya begitu sulit ditandingi. Patih Garindra sadar kalau kepandaian yang dimilikinya masih jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memang sudah teramat dikenal dalam lingkungan Istana Jenggala. Karena, antara Prabu Gandaraka dan Pendekar Rajawali Sakti terjalin hubungan persahabatan yang sangat akrab.

Dan Patih Garindra juga tahu, kedatangan Rangga ke sini tidak bersama prajurit seorang pun. Dia pasti datang bukan sebagai raja, tapi sebagai seorang pendekar. Maka sudah pasti kedatangannya hendak membebaskan Prabu Gandaraka. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Patih Garindra untuk menyelamatkan dirinya dari maut. Tapi, kecongkakannya memang sudah terkenal. Walaupun sadar tidak akan mungkin mampu menghadapi pemuda berbaju rompi putih ini, tapi tetap berusaha untuk tidak mudah menyerah begitu saja.

"Katakan, di mana Prabu Gandaraka disembunyikan, Patih...?" desis Rangga terus mendesak dengan suara terasa begitu dingin.

Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah, membuat jaraknya dengan Patih Garindra semakin bertambah dekat saja. Sedangkan Patih Garindra sendiri, perlahan-lahan mulai menggeser kakinya ke belakang. Sementara tangan kanannya yang terlihat agak bergetar, sudah menggenggam pedang di pinggangnya. Entah sudah berapa kali ludahnya ditelan sendiri, berusaha mencari kekuatan menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Semua prajurit dan empat wanita yang tadi bersamanya sudah tidak ada lagi yang sanggup berdiri. Mereka masih bergelimpangan dengan rintihan lirih menahan rasa sakit pada bagian tubuh yang terkena tendangan maupun pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti.

Sret!
Cring!

Rangga jadi terkesiap juga melihat Patih Garindra mencabut pedangnya. Bukannya Pendekar Rajawali Sakti gentar melihat pedang yang bercahaya keperakan itu, tapi tidak menyangka kalau Patih Garindra akan berbuat nekat menghadapinya.

"Jangan berbuat bodoh, Patih. Aku tidak ingin mencelakakanmu," kata Rangga mencoba memperingatkan.

"Phuih! Aku atau kau yang mati malam ini, Rangga!" dengus Patih Garindra seraya menyemburkan ludahnya.

"Jangan Patih...," cegah Rangga lagi, sambil berhenti melangkah dan menjulurkan tangan kanannya ke depan.

"Hiyaaat...!"

Tapi Patih Garindra rupanya sudah benar-benar gelap mata. Tidak dipedulikan lagi, siapa yang dihadapinya ini. Sambil berteriak keras menggelegar, Patih Garindra langsung saja menerjang dengan pedang terhunus di tangan kanan Sementara, Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegahnya. Dia tahu Patih Kerajaan Jelaga itu merasa tidak punya pilihan lain lagi.

Wuk!

"Haiiit..!"

Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang Patih Garindra. Maka ujung pedang itu hanya sedikit saja lewat di depan dadanya. Saat itu juga, Rangga cepat-cepat melompat ke belakang tiga langkah, mencoba menjaga jarak. Tapi baru saja membuka mulutnya hendak bicara, Patih Garindra sudah kembali melompat menyerang dengan cepat.

"Hiyaaat...!"
Bet!

***
TUJUH
Rangga terpaksa harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', menghadapi serangan-serangan yang dilancar Patih Garindra. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi Patih Garindra belum juga bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti, yang tetap mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Memang sulit untuk memecahkan gerakan-gerakan dari jurus yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti yang tampaknya tidak beraturan sama sekali. Bahkan terlihat seperti tidak tengah bertarung. Dan terkadang, gerakan-gerakannya seperti orang yang kebanyakan menenggak arak. Tapi, tetap saja sangat sulit bagi lawan untuk memasukkan serangannya. Liukan tubuh Pendekar Rajawali Sakti demikian indah, bagaikan seekor belut yang sangat licin dan sulit ditangkap. Dan ini membuat setiap lawan jadi semakin berang, karena merasa dipermainkan. Begitu juga Patih Garindra. Bukannya dia bertambah sadar kalau tidak mungkin bisa mengalahkan lawannya, tapi wajahnya semakin bertambah merah, menahan kemarahan yang semakin memuncak dalam dada.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Patih Garindra semakin memperhebat serangan-serangannya. Pedangnya berkelebatan cepat, sangat luar biasa, mengurung setiap gerak Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakan pedang Patih Garindra, hingga bentuknya jadi lenyap sama sekali. Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya keperakan mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Gila! Serangannya semakin dahsyat saja. Aku tidak mungkin terus bertahan dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dia harus cepat dihentikan sebelum yang lainnya tahu! Gumam Rangga dalam hati. Saat itu juga, pedang di tangan Patih Garindra berputar cepat mengarah ke kaki. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti begitu saja. Dengan cepat sekali, tubuhnya melenting ke udara. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya menukik dengan kedua kaki bergerak berputar begitu cepat. Gerakan ini membuat Patih Garindra jadi terlongong bengong melihatnya. Dan belum juga bisa menyadari apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja...

"Yeaaah...!" Tiba-tiba Rangga merubah gerakannya menjadi jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat pertama. Cepat sekali tubuhnya berputar, hingga kepalanya berada di bawah. Dan saat itu juga, tangan kirinya mengibas cepat bagai kilat. Akibatnya, Patih Garindra tidak sempat lagi melihat gerakan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Dan....

Des!
"Akh...!"

Patih Garindra jadi terpekik, begitu tiba-tiba tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti yang mengibas cepat menghantam telak di tengah dadanya. Akibatnya, seketika tubuhnya terpental cukup jauh ke belakang. Lalu tubuhnya keras sekali menghantam tanah dan langsung bergulingan beberapa kali, hingga menabrak sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping. Rangga jadi terkejut juga mendengar pecahan pohon itu demikian keras, bagaikan dihantam pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hoeeekh!"

Tampak Patih Garindra memuntahkan darah kental agak kehitaman, begitu mencoba bangkit berdiri. Sementara Pendekar Rajawali Sakti seakan masih terpana melihat akibat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tadi. Padahal, tadi dilepaskan masih dalam tingkat yang pertama. Malah, hanya sedikit saja mengerahkan tenaga dalam. Tapi, akibatnya sungguh di luar dugaan Patih Garindra tidak bisa lagi berdiri. Tampak darah yang keluar dari mulutnya semakin bertambah banyak saja. Perlahan kepala Patih Garindra terangkat, tapi sorot matanya begitu redup memandang langsung ke wajah Pendekar Rajawali Sakti. Darah terus mengucur dari mulutnya. Sementara Rangga sendiri tetap berdiri tegak memandangi, masih seperti tidak percaya melihat akibat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang dilancarkannya.

"Kau ... Kau tidak akan berhasil, Rangga. Kau akan mati... Akh...!"

Patih Garindra langsung ambruk. Dan hanya sebentar saja tubuhnya mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Rangga jadi tersentak kaget, lalu cepat-cepat menghambur dan berlutut di sampingnya. Laki-laki berusia hampir setengah baya ini sudah tidak bernyawa lagi. Rangga cepat-cepat memeriksa bagian dada yang tadi terkena kibasan tangan kirinya, dan langsung kaget setengah mati. Memang sedikit pun tidak terlihat luka di dada Patih Garindra. Tapi...

"Eh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget begitu membalikkan tubuh Patih Garindra. Tampak bagian punggung patih ini bergambar telapak tangan yang hangus dan mengepulkan asap. Rangga cepat melompat bangkit berdiri. Langsung disadari kalau ada orang lain yang membunuh patih ini. Saat itu juga hatinya jadi tersentak, karena semua prajurit dan empat wanita pengawal Patih Garindra sudah menggeletak tidak bernyawa lagi. Tampak pada dada mereka tergambar telapak tangan berwarna hitam yang mengepulkan asap.

Pendekar Rajawali Sakti langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi, bahkan tidak satu prajurit pun yang tampak. Padahal pertarungannya tadi menimbulkan suara-suara yang pasti akan terdengar sampai ke bagian dalam istana. Tapi sungguh sulit dipercaya, karena tidak ada seorang pun yang datang. Rangga cepat menyadari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Maka kewaspadaannya segera ditingkatkan.

"Siapa pun orangnya, pasti memiliki kepandaian tinggi sekali. Hm...," Rangga menggumam perlahan, bicara pada diri sendiri.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi yang tampak hanya tembok benteng dan dinding istana serta pepohonan yang menghitam terselimut kegelapan malam saja. Tidak seorang pun terlihat. Bahkan sama sekali tidak terdengar adanya tarikan napas di sekeliling bagian belakang istana ini. Itu berarti tidak ada seorang pun di sekitarnya. Tapi, siapa yang membunuh Patih Garindra dan prajurit-prajurit, serta empat wanita pengawalnya ini...? Pertanyaan ini yang terus mengusik benak Pendekar Rajawali Sakti.

Perlahan Rangga mulai melangkah mendekati pintu belakang istana yang kelihatannya terbuka lebar, seperti sengaja agar Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam. Meskipun yakin tidak ada seorangpun di sekitarnya, tapi Pendekar Rajawali Sakti tetap memasang tajam-tajam pendengarannya sambil mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Memang, tidak sedikit pun terdengar tarikan napas seseorang.

Rangga berhenti melangkah setelah tiba di ambang pintu yang terbuka lebar ini. Perlahan kembali kakinya terayun, memasuki pintu itu. Namun, tidak ada seorang pun penjaga di sini. Dan pintu ini ternyata berhubungan langsung dengan bagian dalam istana. Kakinya terus melangkah hati-hati, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, hingga sedikit pun tidak terdengar suara langkahnya. Bahkan, seakan akan kedua telapak kakinya tidak menjejak lantai. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan hati-hati, sampai tiba di sebuah ruangan yang sangat luas dan terang benderang. Rangga tahu, ini adalah ruangan Balai Sema Agung

Tampak sebuah kursi singgasana yang sangat megah berada dalam ruangan ini. Dan di atas kursi itu, ternyata sudah duduk seorang pemuda berwajah cukup tampan, terbungkus baju putih bersih yang sangat ketat, hingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Rangga berhenti melangkah, setelah sampai di tengah-tengah ruangan yang sangat luas dan megah ini. Pandangannya tertuju lurus pada pemuda di kursi singgasana itu. Dia tahu, pemuda inilah yang bernama Raden Banyugara.

"Selamat datang di istanaku, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Raden Banyugara dengan bibir menyunggingkan senyum.

"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit.

"Aku sudah menduga, kau pasti akan dating untuk membebaskan sahabatmu. Tapi sama sekali tidak kusangka kalau kedatanganmu secepat ini," kata Raden Banyugara lagi, masih dengan nada suara lembut dan berkesan ramah.

"Kenapa kau memberontak terhadap Prabu Gandaraka, Banyugara?" Rangga mencoba menyelidik. "Kenapa? Mengapa itu mesti kau tanyakan, Rangga. Kau tahu, aku selama ini telah dianggap remeh dan lemah oleh semua keluarga istana! Karena, aku hanya mempelajari ilmu sastra dan ilmu kepemerintahan. Bahkan, Putri Arum Winasih menolak cintaku, hanya karena aku tidak memiliki ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Memang, aku masih keponakan Prabu Gandaraka. Tapi cinta, tidak akan memandang segalanya. Maka begitu aku tahu Arum Winasih sudah dijodohkan, aku pergi ke Gunung Mentawak untuk menuntut ilmu hitam yang serba singkat. Aku ingin membalas dendam pada mereka yang meremehkanku!" dengus Raden Banyugara, mengungkapkan isi hatinya.

Kini Rangga mengerti. Dan dari sudut ekor mata, diamatinya keadaan sekeliling ruangan ini. Ada sekitar sepuluh pintu di ruangan ini. Dan semua jendela yang ada juga dalam keadaan terbuka lebar, seakan-akan memang disengaja untuk mengundangnya datang. Saat itu, Raden Banyugara bangkit berdiri dari kursi singgasana yang sangat megah. Dia melangkah dua tindak ke depan. Sedangkan Rangga berdiri tegak, menatapnya dengan sinar mata tajam sekali.

Trik!

Raden Banyugara menjentikkan dua ujung jari tangannya. Maka saat itu juga, dari salah satu pintu muncul dua orang berseragam prajurit yang mengapit seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun. Pakaiannya begitu lusuh dan sudah robek di sana-sini, walaupun terbuat dari bahan sutera halus yang tentu sangat mahal harganya. Rangga jadi terperanjat melihat keadaan orang yang sudah sangat dikenalnya itu. Dialah Prabu Gandaraka.

Seluruh tubuh bekas penguasa Kerajaan Jenggala itu terikat ke belakang. Bahkan ujung rantai yang membelit lehernya terdapat sebuah bandulan besi bulat sebesar kepala yang sangat berat. Tak heran kalau tubuh laki-laki tua itu jadi terbungkuk.

"Kau lihat, Rangga. Seperti itulah orang yang tidak mau menuruti kehendakku. Kalau saja takhta ini diserahkan padaku secara baik-baik, mungkin masih bisa kuberi kehidupan yang layak baginya. Tapi dia..., sahabatmu itu malah membangkang.

Dia tidak sadar kalau seluruh prajuritnya sudah tidak menyukainya lagi. Dan sekarang, kau datang untuk membebaskan pembangkang ini. Silakan.... Tapi, aku tidak bisa menjamin kehidupanmu, Rangga. Kau sudah lihat sendiri, bagaimana mereka yang tidak becus melaksanakan tugasnya. Aku tidak segan-segan mengirim mereka ke neraka," kata Raden Banyugara lembut, namun terdengar tegas sekali nada suaranya.

"Iblis...!" desis Rangga jadi geram.

Kini Pendekar Rajawali Sakti tahu, siapa yang membunuh Patih Garindra dan prajurit-prajurit di belakang istana tadi. Seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi bergetar menahan kemarahan. Dia paling tidak suka melihat kekejaman yang dilakukan secara licik, dengan membunuh orang dari belakang. Baginya, itu bukan lagi perbuatan manusia. Hanya iblislah yang bisa melakukannya. Dan tentu saja parbuatan seperti itu tidak bisa terampuni lagi.

"Aku masih menawarkanmu pilihan, Rangga. Kau tinggalkan Jenggala sekarang juga dan menyerahkan Karang Setra padaku, atau akan mati sia-sia di sini. Toh, tidak lama lagi Karang Setra akan berada di tanganku," kata Raden Banyugara lagi.

"Besar sekali mulutmu, Banyugara," desis Rangga mulai tidak senang.

"Ha ha ha...! Mulut besarku ini yang membawaku berada di takhta Istana Jenggala, Rangga. tapi, aku tidak hanya bermulut besar. Aku juga bisa membuktikan semua yang kubicarakan. Kau bisa lihat. Begitu besar kekuatan yang kumiliki sekarang ini Bahkan tiga kali lipat dari kekuatan yang ada di Karang Setra. Pikirkanlah, Rangga. Rasanya sayang sekali kalau kau harus bernasib sama dengan pembangkang ini," ancam Raden Banyugara sambil menunjuk Prabu Gandaraka.

"Tidak mudah menaklukkan Karang Setra, Banyugara," dengus Rangga ketus.

"Tentu saja sangat mudah, Rangga. Dua orangku sudah menyusup ke sana. Dan sebentar lagi, mereka akan mendapatkan banyak prajurit di sana. Kemudian, pembesar pembesar yang berjiwa bobrok, satu persatu akan dipengaruhi. Mereka yang mencoba menentang, akan dikirim ke neraka. Tidak terlalu sulit bagiku, Rangga. Tanpa mengerahkan kekuatan besar, Karang Setra akan jatuh ke tanganku," kata Raden Banyugara angkuh.

"Dua orangmu sudah tertangkap, Banyugara," balas Rangga tegas.

"Tidak mungkin!" bentak Raden Banyugara jadi berang.

"Kau boleh memeriksanya sendiri. Tidak ada seorang pun dari orang-orangmu yang bisa menyusup masuk ke dalam istana. Bahkan baru berada di luar saja, mereka sudah tidak berdaya lagi. Mereka sekarang meringkuk di dalam penjara. Dan seluruh prajurit Karang Setra, sekarang sudah mengepung Jenggala. Sedangkan prajurit-prajurit yang kau banggakan, sebagian besar sudah takluk. Kau lihat saja di luar sana. Panglima Gagak Sewu tinggal menunggu isyarat dariku saja untuk menyerbu ke sini," kata Rangga, sedikit berbohong.

"Jangan banyak mulut di sini, Rangga. Kau pikir aku akan mudah terpancing...? Phuih! Sebaiknya kau pikirkan saja keselamatanmu sendiri, Rangga. Jangan coba-coba menggertakku!" geram Raden Banyugara.

"Aku tidak menggertak, Banyugara. Aku berkata yang sebenarnya. Kau tidak lagi memiliki prajurit. Mereka hanya takut padamu, tapi sebenarnya masih setia pada rajanya. Malam ini juga, kau sama sekali tidak memiliki kekuatan prajurit, Banyugara. Kini tidak ada yang bisa kau andalkan lagi," kata Rangga, semakin terdengar tenang suaranya.

"Phuih! Kau lihat, Rangga. Mereka masih setia padaku!" bentak Raden Banyugara kalap. Saat itu juga dia menjentikkan jarinya.

Trik!

Pandangan Raden Banyugara langsung menyapu ke setiap pintu yang ada di dalam ruangan ini. Tapi, pintu itu tetap saja tertutup rapat. Sementara, Rangga sudah mulai menggeser kakinya mendekati Prabu Gandaraka. Sedangkan dua orang prajurit yang tadi berada dekat Raja Jenggala ini, segera menyingkir menjauh, begitu melihat Rangga mendekati. Mereka berdua sudah tahu, siapa pemuda berbaju rompi putih ini, sehingga sudah barang tentu tidak mau mati konyol menghadapinya. Sementara itu, Raden Banyugara sudah memerah wajahnya, karena prajurit-prajurit yang sudah disiapkan di setiap pintu ternyata tidak seorang pun yang menampakkan diri. Sedangkan Rangga sudah berada di samping Prabu Gandaraka. Segera dilepaskannya rantai yang membelenggu Raja Jenggala ini.

"Setan keparat...! Keluar kalian semua! Tangkap pembangkang-pembangkang ini!" teriak Raden Banyugara.

Tapi, suara pemuda itu hanya menggema saja di dalam ruangan ini dan menghilang terbawa angin melalui jendela yang terbuka lebar. Dan begitu suaranya menghilang, semua daun pintu yang ada di dalam ruangan ini terbuka perlahan. Lalu, muncul orang-orang berpakaian seragam prajurit. Dan dari jendela, juga bermunculan para prajurit. Mereka langsung saja berdiri berjajar, mengelilingi ruangan ini. Raden Banyugara jadi tersenyum melihat prajuritnya masih lengkap.

"Kau lihat Rangga. Mereka masih setia padaku," ujar Raden Banyugara.

"Mereka akan berbalik, kalau melihat rajanya sudah bebas. Dan kau lihat sendiri, Banyugara. Prabu Gandaraka sudah tidak terbelenggu lagi. Dia sudah bebas, dan bisa memerintahkan prajuritnya untuk menangkapmu," kata Rangga lantang.

"Phuih! Kalian berdua akan mampus!" dengus Raden Banyugara sengit.

Sret!
Cring!

Langsung saja Raden Banyugara mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Digenggamnya pedang itu erat-erat dengan tangan kanan. Dan sepasang bola matanya menatap begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

"Prajurit! Serang mereka...!" teriak Raden Banyugara memberi perintah.

Suara Raden Banyugara terdengar begitu keras dan menggelegar bagai guntur meledak membelah angkasa. Tapi, tidak ada seorang prajurit pun yang bergerak menyerang. Mereka hanya berdiri diam terpaku, tidak bergeming sedikit pun. Sangat jelas pada raut wajah mereka terlihat penuh kebimbangan.

Memang benar perhitungan Pendekar Rajawali Sakti, Sebap prajurit pasti akan mengikuti perintah rajanya yang asli. Dan kalaupun mereka memberontak, itu hanya karena takut tekanan-tekanan dari orang yang memimpin pemberontakan dan yang menguasai kerajaan sekarang. Kini buktinya, mereka jadi bimbang setelah melihat Prabu Gandaraka terbebas. Apalagi, mereka juga melihat ada pendekar tangguh yang akan melindungi Kerajaan Jenggala ini.

Demikian pula panglima-panglima yang ikut dalam pemberontakan. Dan sebenarnya, begitu melihat tindakan Raden Banyugara yang biadab, para panglima mulai sadar kalau telah diperdaya oleh Raden Banyugara. Dan untuk berontak kembali, mereka takut. Karena jelas, kesaktian Raden Banyugara sudah demikian tinggi. Rasanya, hanya orang berkepandaian sangat tinggi saja yang dapan menundukkannya. Maka tak heran, begitu mereka melihat Pendekar Rajawali Sakti datang, para panglima, punggawa, dan prajurit menjadi agak lega.

Dan tiba-tiba saja seorang punggawa melemparkan pedang ke lantai. Secara serempak, mendadak saja semua prajurit yang ada di dalam ruangan ini melemparkan senjata ke lantai. Melihat itu, wajah Raden Banyugara jadi memerah bagai terbakar. Seketika kedua bola matanya berapi-api, menatap para prajurit yang tidak mau lagi mematuhi perintahnya. Pandangannya segera beredar ke sekeliling. Tampak semua prajurit sudah meletakkan senjata. Dan di antara mereka, tidak terlihat seorang panglima atau patih yang semula mendukung pemberontakannya.

"Setan keparat! Kalian juga mau membangkang, heh...?!" bentak Raden Banyugara geram.

Tiba-tiba saja pemuda itu menghentakkan tangan kirinya ke samping.

"Yeaaah...!"

Dan seketika itu juga, terlihat gumpalan bulatan hitam meluncur deras dari telapak tangan kiri Raden Banyugara. Dan bulatan hitam itu langsung menyebar, menjadi bulatan-bulatan hitam kecil yang menghantam beberapa prajurit di sebelah kiri ruangan ini.

"Heh...?!"

Rangga jadi terbeliak kaget, begitu melihat sekitar dua puluh orang prajurit seketika ambruk tanpa bersuara sedikit pun. Dan di dada mereka tergambar telapak tangan berwarna hitam yang mengepulkan asap. Keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti cepat lenyap, dan berganti kegeraman yang tidak dapat lagi terbendung dalam dada.

"Keparat...! Hatimu benar-benar sudah ditunggangi iblis, Banyugara!" desis Rangga menggeram berang.

"Ha ha ha...! Kau juga akan mampus seperti mereka, Rangga. Kalian juga, Prajurit-prajurit Keparat!"

"Hhh!"

Rangga melirik sedikit pada Prabu Gandaraka yang berada di sebelah kanannya.

"Menyingkirlah, Gusti Prabu. Biar manusia iblis ini kuhadapi," ujar Rangga pelan.

"Hati-hati, Dimas Rangga. Dia punya ilmu iblis yang sangat dahsyat. Semua panglima kepercayaanku tewas di tangannya. Juga beberapa patih," kata Prabu Gandaraka memperingati.

"Aku tahu, Gusti Prabu," sahut Rangga agak datar.

"Aku percaya padamu, Dimas Rangga."

"Perintahkan semua prajurit untuk keluar."

"Baik."

Prabu Gandaraka segera melangkah ke belakang menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Juga di perintahkannya semua prajurit untuk keluar dari ruangan ini. Prajurit-prajurit itu segera berlompatan keluar melalui jendela, meninggalkan Rangga dan Raden Banyugara berdua saja di dalam ruangan ini. Sementara, Prabu Gandaraka juga sudah berada diambang pintu yang jaraknya cukup jauh dari mereka yang berdiri saling berhadapan dengan sorot mata tajam. Seakan-akan, mereka tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

***
DELAPAN
Perlahan Raden Banyugara menggerakkan kakinya, bergeser ke kanan menyusuri lantai ruangan Balai Sema Agung ini. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak memperhatikan setiap gerakan pemuda pemberontak ini tanpa berkedip sedikit pun. Rangga sadar, ilmu yang dimiliki Raden Banyugara tidak bisa dipandang rendah. Itu sudah dilihatnya sendiri ketika dua puluh orang prajurit di ruangan ini kontan tewas hanya sekali gebrak saja. Demikian pula pada seorang patih dan puluhan prajurit yang tewas di halaman belakang istana ini.

Tap!

Rangga menggenggam erat gagang pedang pusakanya yang selalu tersandang di punggung. Dan perlahan-lahan Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya. Saat itu juga, membias cahaya biru yang begitu terang menyilaukan dari mata pedang itu.

Wut!

Terdengar hembusan angin yang begitu keras, saat Rangga mengebutkan pedangnya di depan dada. Dan kini, pedang itu tersilang lurus di depan dada. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuat hati Raden Banyugara jadi terkesiap juga.

Ketangguhan Pedang Pusaka Rajawali Sakti sudah sering didengarnya. Dan tidak ada satu senjata pun di dunia ini yang bisa menandingi kedahsyatannya. Namun, Raden Banyugara sudah merasa kepalang basah. Dia tidak mungkin lagi mundur dari pertarungan yang akan berlangsung. Masalahnya, sudah tentu Rangga tidak akan melepaskannya begitu saja.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyugara melesat sambil mengangkat pedangnya yang tergenggam dengan kedua tangannya ke atas kepala. Dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, pedangnya dihantamkan tepat ke bagian tengah kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haps! Yeaaah...!"

Cepat sekali Rangga mengangkat pedangnya melintang di atas kepala. Akibatnya tebasan pedang Raden Banyugara tidak dapat lagi tertahan. Saat itu juga....

Trang!
"Ikh...!"

Raden Banyugara jadi tersentak kaget setengah mati, begitu pedangnya beradu dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali di udara, sebelum kakinya menjejak lantai.

"Heh...?!"

Saat itu juga, kedua bola mata Raden Banyugara jadi terbeliak lebar. Pedangnya kini hanya tinggal setengah. Buntung saat berbenturan dengan pedang yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan itu.

"Hih!"
Tring!

Raden Banyugara membuang kesal pedangnya. Matanya lalu melirik sedikit pada sebatang tombak yang tergeletak tidak seberapa jauh darinya. Cepat kakinya melangkah menghampiri tombak itu. Dan dengan sentakan ujung jari kakinya, tombak itu melayang ke atas. Lalu, tangkas sekali Raden Banyugara menangkapnya.

"Hiyaaat..!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Raden Banyugara melompat sambil berteriak keras. Langsung tombak berukuran panjang itu dihunjamkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit...!"

Dengan gerakan manis sekali, Rangga menghindari hunjaman tombak. Dan begitu lewat di samping tubuhnya, cepat tangan kirinya dihentakkan ke bagian tengah tombak ini. Begitu cepat sentakan tangan kirinya, sehingga Raden Banyugara tidak sempat lagi menarik tombaknya. Dan....

Trak!
"Hup!"

Raden Banyugara cepat-cepat melompat kebelakang sejauh tiga langkah. Dengan hati kesal, dibuangnya tombak yang juga terpenggal kena tebasan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada.

Kini, tidak ada lagi senjata yang bisa diandalkan Raden Banyugara. Pedang pusaka yang tergenggam di tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti memang terlalu tangguh untuk dilawan. Raden Banyugara seperti baru tersadar. Dia tahu, Rangga tidak akan menggunakan pedangnya kalau lawan yang dihadapi juga tidak menggunakan senjata. Menyadari akan watak ksatria Pendekar Rajawali Sakti, Raden Banyugara segera bersiap menggunakan tangan kosong.

"Hm...," Rangga menggumam sedikit, melihat Raden Banyugara membuka jurus tangan kosong.

Cring!

Maka dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Dan seketika itu juga, ruangan yang semula terang berkilau oleh cahaya dari pedang itu, jadi kembali seperti semula. Kini ruangan itu hanya diterangi cahaya lampu yang terpancang disetiap sudut ruangan ini.

"Hiyaaat..!"

Raden Banyugara segera melompat menyerang, begitu Rangga memasukkan senjatanya. Satu pukulan keras menggeledek dilepaskan, tepat mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan indah sekali, Rangga meliukkan tubuhnya menghindari pukulan keras bertenaga dalam tinggi lawannya.

Dan tanpa diduga sama sekali, Raden Banyugara melenting ke atas, lalu berputaran sekali tepat di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, tangan kanannya mengibas cepat ke punggung, hendak meraih gagang pedang di punggung Rangga.

"Setan! Hih...!"

Rangga jadi kaget setengah mati, tidak menyangka kalau Raden Banyugara bermaksud merebut pedangnya. Maka dengan cepat Pendekar Rajawati Sakti memutar tubuhnya sambil meliuk ke kanan, hingga tubuhnya miring. Dan saat itu juga tangan kanannya dihentakkan, memberi satu pukulan cepat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Yeaaah...!"
"Hups!"

Raden Banyugara yang gagal mengambil pedang Pendekar Rajawali Sakti, cepat-cepat melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan dengan manis sekali kakinya menjejak tanah, sebelum Rangga bisa memutar tubuh. Lalu cepat sekali pemuda itu menghentakkan kaki kanan, memberi satu tendangan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
"Haiiit!"

Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan tubuhnya, tendangan Raden Banyugara hanya menyambar angin kosong. Saat itu juga, Rangga menghentakkan kakinya ke belakang, tanpa membalikkan tubuh sedikit pun. Begitu cepat sentakan kakinya, membuat Raden Banyugara tidak sempat lagi menghindari. Terlebih lagi, dia juga belum sempat menarik kakinya yang terhentak ke depan.

Diegkh!
"Akh...!"

Raden Banyugara jadi terpekik, begitu telapak kaki Rangga tepat menghantam dadanya. Pemuda itu kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Tampak darah kental menetes keluar dari sudut bibirnya. Begitu keras tendangan yang dilepaskan Rangga, hingga membuat tarikan napas Raden Banyugara jadi tersendat.

"Hap!"

Raden Banyugara cepat-cepat melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Perlahan disekanya darah di sudut bibir dengan punggung tangan. Tampak sorot matanya begitu tajam, memancar lurus bagai hendak menembus dua bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak menanti sambil melipat kedua tangan didepan dada.

"Phuih!"

Raden Banyugara menyemburkan ludah yang bercampur darah. Disekanya kembali sisa darah di bibir dengan punggung tangan, lalu perlahan kakinya bergeser ke kanan. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak memperhatikan gerakan kaki lawannya dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga.

"Sebaiknya kau menyerah saja, Banyugara. Tidak ada gunanya terus bertahan," kata Rangga mencoba membujuk.

"Phuih! Aku lebih baik mati daripada menyerah, Rangga!" dengus Raden Banyugara seraya menyemburkan ludahnya.

"Kau harus menyadari, tidak ada seorang pun yang berdiri di belakangmu, Banyugara. Menyerahlah! Jangan mempersulit dirimu lebih parah lagi," kata Rangga lagi, terus membujuk.

"Jangan banyak omong kau, Rangga! Kau atau aku yang mati di sini!" bentak Raden Banyugara garang.

"Hm...," Rangga jadi menggumam kecil.

Pendekar Rajawali Sakti tahu, Raden Banyugara tidak akan bisa dibujuk lagi. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya Raden Banyugara lebih memilih mati di dalam pertarungan daripada harus menyerahkan diri dan dihukum mati sebagai pemberontak Walaupun sudah melakukan pemberontakan, memang Raden Banyugara akan tetap merasa terhormat kalau mati dalam pertarungan. Masalahnya, dia akan menjadi lecehan kalau mati di tiang gantungan, jika menyerah.

Kali ini, Rangga menghadapi pilihan yang sangat sulit. Di dalam hati kecilnya, dia tidak ingin sampai Raden Banyugara terbunuh di tangannya. Tapi sikap lawannya ini memang tidak bisa lagi dihindari. Dan memang harus diakui kalau sikap yang diambil Raden Banyugara adalah demi kehormatannya sendiri. Apa pun yang terjadi, Raden Banyugara tetap akan bertahan sampai menemui ajal di tangan lawan.

"Hhh...!"

Rangga menghembuskan napas panjang-panjang. Terasa begitu berat tarikan napasnya. Matanya melirik sedikit pada Prabu Gandaraka yang masih tetap berdiri di ambang pintu, memperhatikan dua pemuda yang berdiri saling berhadapan ini. Tidak berapa lama, perhatian Rangga kembali tertuju pada Raden Banyugara yang sudah bergerak menggeser lagi ke kanan perlahan-lahan. Kedua tangannya bergerak-gerak diikuti gerakan tubuh yang indah membuka jurus, sambil mencari peluang untuk melancarkan serangan. Sedangkan Rangga sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun.

"Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyugara menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat gumpalan asap hitam yang meluncur begitu cepat bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap! Yeaaah...!"

Cepat-cepat Rangga melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali menghindari gumpalan asap hitam yang langsung terpecah menyebar menjadi gumpalan-gumpalan kecil yang menyerangnya dengan kecepatan sangat tinggi.

Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali menjejakkan kakinya di lantai, setelah gumpalan-gumpalan asap hitam itu lewat. Saat itu juga, terdengar suara-suara ledakan keras menggelegar dari belakang. Tampak dinding yang ada di belakang Pendekar Rajawali Sakti jebol terlanda gumpalan hitam ini.

"Gila...!" desis Rangga terkejut.

Sungguh tidak disangka kalau gumpalan asap hitam itu sangat dahsyat. Akibatnya, dinding istana yang sangat tebal itu hancur berkeping keping, menimbulkan kepulan debu yang memenuhi ruangan ini. Rangga cepat-cepat melompat ke belakang tiga tindak, untuk menjaga jarak dari lawannya.

"Hap!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Dan tubuhnya langsung bergerak ke kanan, lalu dengan cepat ditarik kekiri hingga doyong hampir jatuh. Dan perlahan tubuhnya bergerak tegak. Dan kini kedua kakinya terentang lebar ke samping. Saat itu juga, dari kedua telapak tangan yang merapat di depan dada itu terlihat cahaya biru menyemburat bagai hendak keluar.

Sementara Raden Banyugara sudah kembali bersiap melancarkan serangan dahsyatnya yang disebut aji 'Tapak Dewa Hitam'. Sebuah ilmu kesaktian yang cukup dahsyat, hingga membuat Rangga terpaksa harus mengerahkan aji "Cakra Buana Sukma'.

"Hiyaaa...!"

Tepat di saat Raden Banyugara menghentakkan kedua tangannya ke depan, saat itu juga Rangga menghentakkan tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar bagai ledakan guntur membelah angkasa.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Bersamaan dengan melesatnya gumpalan asap hitam dari kedua telapak tangan Raden Banyugara, saat itu juga dari kedua telapak tangan Rangga yang terbuka dan menjulur ke depan, melesat cahaya biru yang sangat terang menyilaukan mata. Seketika cahaya biru berkilauan itu langsung menghantam gumpalan asap hitam.

Glarrr!

Satu ledakan keras menggelegar terdengar begitu mengejutkan. Begitu kerasnya, hingga membuat seluruh dinding dan atap bangunan istana ini jadi bergetar bagai diguncang gempa.

"Yeaaah...!"

Rangga cepat-cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, membuat cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangannya terus meluruk deras ke arah Raden Banyugara. Pemuda itu kontan terbeliak lebar. Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. Dan memang belum juga berbuat sesuatu, cahaya biru itu sudah menghantam keras tubuhnya.

"Akh...!"

Raden Banyugara jadi terpekik, dan kontan terdorong ke belakang sejauh lima langkah. Tapi, dia tidak sampai jatuh ke lantai. Sementara, seluruh tubuhnya sudah terselubung cahaya biru yang terus memancar semakin pekat menggumpal dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Aaakh...!"

Raden Banyugara memekik keras, sambil menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru yang semakin menggumpal menyelimuti seluruh tubuhnya. Sama sekali tidak disadari kalau aji 'Cakra Buana Sukma yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti malah menyedot kekuatannya.

Semakin keras Raden Banyugara mengerahkan tenaga untuk keluar dari selubung cahaya biru yang menggumpal menyelimuti tubuhnya, semakin deras pula kekuatannya terbuang sia-sia. Namun semua itu sama sekali tidak disadari. Malah semakin dahsyat seluruh kekuatannya dikerahkan untuk bisa terlepas dari gumpalan cahaya biru ini.

"Hih! Yeaaah..!"

Rangga tiba-tiba saja berteriak keras, sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan.

"Aaakh...!"

Raden Banyugara terpekik. Dan seketika itu juga tubuhnya terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Pemuda itu bergulingan beberapa kali di lantai istana yang licin dan keras berkilatan ini. Gulingan tubuh Raden Banyugara baru berhenti, setelah punggungnya menghantam dinding hingga seluruh ruangan ini jadi bergetar.

"Ugkh! Hoeeekh....'"

Raden Banyugara langsung memuntahkan darah kental berwarna agak kehitaman. Dia berusaha bangkit berdiri, tapi seluruh tenaganya bagai terkuras habis. Dirasakannya seluruh tubuhnya jadi lemah, tidak bisa digerakkan lagi. Sementara, Rangga sudah melangkah menghampiri.

"Ugkh...!"

Raden Banyugara berusaha merangkak, mendekati sebilah pedang yang tergeletak tidak jauh darinya. Belum juga Rangga mendekat, Raden Banyugara sudah bisa meraih pedang itu. Dan dengan sisa kekuatan yang ada....

"Hih!"
"Eh?! Jangan...!"
Jleb!
"Hegkh...!"

Rangga jadi tersentak setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau Raden Banyugara akan berbuat senekat itu. Jantungnya sendiri dihunjamkan dengan pedang. Darah langsung muncrat keluar dari dada kirinya yang tertembus pedang, hingga ujungnya menyembul keluar dari punggung. Saat itu juga Raden Banyugara menggeletak dengan nyawa melayang dari tubuh.

Sementara, Rangga hanya bisa berdiri mematung memandangi. Benar-benar disesalinya tindakan Raden Banyugara. Padahal, tadi ajiannya sengaja tidak dituntaskan, hingga pemuda itu masih bisa hidup dan bergerak. Tapi, rupanya Raden Banyugara sudah merasa tidak ada gunanya lagi hidup dengan kelumpuhan yang diderita. Hidupnya sendiri diakhiri dengan pedang yang dihunjamkan ke dadanya.

"Hhh...!"

Rangga menghembuskan napas panjang. Tubuhnya diputar berbalik, dan melangkah menghampiri Prabu Gandaraka yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan Raja Jenggala.

"Aku akan kembali ke Karang Setra, memberi tahu semua ini pada Putri Arum Winasih," kata Rangga langsung.

"Tidak menunggu besok pagi saja, Rangga?"

Rangga hanya tersenyum saja, dan terus saja melangkah melewati Raja Jenggala ini. Tapi baru melewati beberapa langkah, ayunan kakinya sudah terhenti lagi. Dan kepalanya diputar sedikit ke belakang.

"Paman Panglima Gagak Sewu ada di sini. Mungkin dia ada di rumah sahabatnya yang bernama Ki Rambulun," kata Rangga, memberi tahu.

Dan belum juga Prabu Gandaraka bisa membuka suara, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat cepat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak berbekas lagi. Sementara Prabu Gandaraka masih tetap berdiri mematung, memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mengembalikan tahta Jenggala padanya.

"Kau benar-benar seorang pendekar ksatria, Rangga. Mudah-mudahan sang Hyang Widhi selalu bersamamu," desah Prabu Gandaraka perlahan.

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: 
DEWA RACUN HITAM