Jaka Sembung 14 - Kebangkitan Ilmu-Ilmu Iblis(1)

1
Debur ombak menggelegar! Gelombang air laut menciptakan garis-garis putih, memanjang seolah-olah saling berkejaran atau saling berlomba lebih dulu sampai di pantai. Terdengar air laut berdesah memanjat tepi pantai yang landai, kemudian turun dan kembali bersatu dengan gelombang yang datang menyusul.

Hari masih pagi, namun karena sang surya sedang cerah, permukaan laut tampak berkilau-kilau. Cukup indah.

Tetapi hempasan ombak yang datang bergulung-gulung seolah-olah menutupi keindahannya dan kemudian menimbulkan kesan menakutkan. Gulungan ombak itu terkadang sampai sekitar sepuluh meter, tampak siap melumat benda apa saja yang ada di sekitarnya.

Burung-burung camar terbang berkelompok-kelompok di langit biru. Beberapa ekor di antaranya menukik cepat sekali, kemudian melesat lagi ke atas, bergabung dengan rombongannya.

Dinding batu karang di tepi laut menjadi geronggang terkikis hantaman ombak. Tak diragukan lagi, laut di tempat itu sangat ganas!

Siapa saja yang pernah terjun langsung ke lautan itu atau hanya mendengarnya, mengakui hal tersebut. Ganasnya gelombang tidak hanya dapat menghanyutkan perahu ukuran besar, tetapi juga mampu membuatnya hancur berkeping-keping. Itulah laut Arafuru!

Laut Arafuru merupakan rangkaian samudra Hindia dari Barat ke Timur, sampai sekarang masih dikenal sebagai laut berombak besar dan ganas. Merupakan pemisah Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru dengan benua Australia, yang dikenal sebagai negeri Kanguru. Di sebelah Barat adalah laut Timor, dan di sebelah Barat Laut membentang laut Banda.

Kepulauan Aru yang merupakan gugusan pulau-pulau kecil berada di sebelah Barat Daya Irian Jaya sekarang. Dari kepulauan itulah kisah ini dimulai beratus-ratus tahun silam. Kisah petualangan para pendekar muda dari Pulau Jawa.

Jika sebagian orang mendengar debur ombak yang menggelegar di laut Arafuru sudah ngeri atau ciut nyalinya, justru sekarang tampak seorang lelaki berusia muda duduk berendam di perairan yang dangkal. Usianya baru sekitar duapuluh lima tahun.

Tubuhnya tegap dan kekar. Rambutnya yang panjang sebatas bahu diikat dengan sepotong kain. Tampaknya ia sudah cukup lama dan terbiasa pula duduk bersemedi di laut, sehingga wajahnya berubah agak kehitam-hitaman. Namun wajahnya yang mencerminkan kejujuran itu tetap terlihat tampan dan simpatik.

Itulah dia Karta yang lebih dikenal dengan julukan si Gila Dari Muara Bondet. Pendekar itu duduk di perairan dengan sikap tegak, kedua tangan dilipat di dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan. Walaupun arus ombak cukup kuat, tubuhnya tetap tegak tidak bergerak-gerak sehingga dari kejauhan tampak seperti patung.

Nun jauh di atas tebing, berdiri pula seorang wanita sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Ia masih muda, sekitar duapuluh satu tahun. Rambutnya yang panjang dikuncir dan dihiasi manik-manik.

Wajahnya yang bulat lonjong berkulit putih bersih kelihatan memancarkan kecantikan. Namun kini wajah itu tampak muram, bagaikan cakrawala dihiasi mendung, sepasang matanya juga redup, menatap suaminya yang sedang bersemedi di laut.

Nomina, adik kandung Kepala Suku bernama Pampani adalah istri Karta. Mereka sekarang sudah dikaruniai seorang anak. Kehidupan rumah tangga Karta selama ini sebetulnya cukup sejahtera, selalu diwarnai keceriaan. Nomina dan Karta saling mencintai dan pengertian satu sama lain.

Namun kedamaian itu tidak terlalu lama mereka rasakan. Bukan karena di antara mereka terjadi kesalah pahaman. Tetapi karena suku yang dipimpin Pampani sedang terlibat perang suku dengan kelompok-kelompok Wan-Da-I dan Womere.

Tokoh dari golongan sesat ini sudah sekian lama berambisi menggulingkan Pampani. Segala cara mereka tempuh untuk bisa menjadi penguasa di Kepulauan Aru.

Dalam suatu pertempuran baru-baru ini Karta menderita luka dalam yang cukup parah, sehingga berhari-hari ia harus bersemedi di laut untuk memulihkan kesehatannya. Dengan setia, Nomina istrinya itu sering menjenguknya dari atas tebing dan berharap suaminya itu secepatnya sembuh seperti sedia kala.

Dari arah belakang Nomina, terdengar suara langkah tertatih-tatih. Lelaki itu menutupi kepalanya dengan topi jenis caping lebar sehingga wajahnya terlindung dari sengatan terik matahari.

Ia sudah cukup tua, mungkin sudah mencapai empatpuluh tahun atau lebih. Ia selalu menggunakan tongkat, karena kaki kanannya telah buntung sebatas lutut. Namanya Baureksa. Namun karena kakinya yang buntung tetapi tetap mempunyai ilmu silat yang tinggi, di kalangan persilatan ia dijuluki Pendekar Kaki Tunggal.

Ia sekarang melangkah menghampiri Nomina. Sejenak Baureksa menatap Nomina dengan mata sendu. Ia merasa sangat terharu, karena terasa benar olehnya betapa besar cinta dan kesetiaan adik Kepala Suku itu terhadap suaminya, Karta.

“Tuanku Ratu,” ujar si Kaki Tunggal dengan suara lembut.

Nomina sudah mengenal suara itu. Mungkin itu sebabnya ia tidak berpaling, masih melayangkan pandangan matanya ke hamparan laut di bawah sana.

“Sudahlah tuanku putri. Hari sudah mulai petang. Sebaiknya kalian berdua pulang saja. Udaranya tidak baik untuk si orok yang masih lemah. Kasihan, nanti jadi sakit.”

Perlahan-lahan Nomina membalikkan badan, menatap Baureksa dengan mata berkaca-kaca.

“Biarlah aku yang menunggui suamimu. Dalam beberapa hari lagi ia tentu akan selesai bersemedi. Ia telah mengalami luka dalam cukup parah. Karena itu diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkannya. Tapi pasti sembuh! Ayolah biar aku antarkan kalian pulang.”

Akhirnya dengan gerak perlahan, Nomina mengangguk, “Terima kasih,” ujarnya lirih.

Di tengah perjalanan pulang, mereka berpapasan dengan suami istri Umang dan Mirah. Sepasang pendekar muda itu mengangguk hormat, lalu tersenyum ramah.

“Oh, kau Umang dan Mirah. Kebetulan, tolong kawal tuan permaisuri ke istana. Aku akan berjaga-jaga di sini.”

“Baik, kami akan antarkan!”

Sementara itu di sudut lain pantai karang, tampaklah seorang lelaki tegap dan tinggi besar berjalan menyusuri pantai karang. Ia mempunyai tinggi tubuh sekitar dua meter.

Tubuhnya yang penuh otot itu hanya ditutupi semacam cawat, menutupi kemaluannya. Kedua lengan atas dan pergelangan tangannya dihiasi gelang-gelang perak, demikian juga pergelangan kakinya. Sementara di daun telinganya dihiasi anting-anting bulat besar.

Wori, demikian nama lelaki raksasa itu. Ia sebenarnya bukan penduduk pribumi Kepulauan Aru, melainkan suku asli dari negeri Kanguru yang sekarang bernama Australia. Sama seperti suku asli di negerinya, ia juga menggunakan senjata bumerang, terbuat dari logam campuran baja dan kuningan.

Senjata itu berbentuk setengah lingkaran hingga mirip bulan sabit, yang kedua ujungnya sangat runcing. Adapun keistimewaan senjata bumerang adalah jika dilemparkan namun tidak mengenai sasaran, akan kembali kepada si pemiliknya.

Setiap senjata memang mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Namun karena sudah sangat ahli menggunakannya, senjata andalan Wori hanyalah bumerang itu. Makanya di kepulauan Aru ia dijuluki Pendekar Bumerang. Ia sudah cukup lama bergabung dengan suku pimpinan Pampani, setelah dalam petualangannya terdampar di Kepulauan Aru.

Kini ia sedang berdiri tegak di dekat dinding cadas tepi pantai. Sepasang matanya yang besar menatap liar, mengamati batu cadas. Lalu dengan gerakan cepat, ia melemparkan bumerang di tangannya, meluncur menghantam batu cadas. Bumerang itu kemudian berbalik ke tangan Wori.

“Bukan! Suaranya biasa saja,” kata Wori pada dirinya sendiri.

Berkali-kali lelaki kekar dan tinggi besar itu melemparkan senjatanya yang unik ke setiap dinding cadas yang dijumpainya. Sampai suatu saat suara benturan bumerang terdengar lain. Wajah Wori tiba-tiba berubah jadi berseri-seri, matanya bersinar-sinar.

“Nah, ini dia! Suaranya agak lain!” katanya.

Lalu ia mengetuk-ngetuk dinding cadas sambil melekatkan telinganya. Setelah yakin bahwa dinding itulah yang dicarinya, maka ia pun mundur beberapa langkah dan memasang kuda-kuda.

Kedua tangannya disilangkan di dada, nafasnya ditahan beberapa saat. Sambil berteriak dengan suara menggelegar, tiba-tiba Wori menyeruduk dinding cadas itu. Kepalanya yang botak menghantam dengan dahsyat bagaikan godam raksasa.

“Bruuk!” Dinding cadas itupun jebol, hancur berkeping-keping, membuat lubang yang cukup besar, Wori agak pusing juga, tetapi ia menarik nafas lega, karena telah berhasil menemukan sebuah terowongan yang belum pernah diketahui sebelumnya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Wori segera masuk ke terowongan itu. Hanya beberapa saat kemudian, ia masuk ke dalam suatu ruangan yang cukup besar, yang sekelilingnya merupakan dinding batu cadas pula. Di sudut ruangan itu tampak sebuah pintu terbuat dari sebongkah batu besar.

“Aku akan menggeser pintu ini,” pikir Wori sambil mengerahkan tenaga.

Namun jangankan tergeser, bergeming pun tidak. Kembali ia mencoba sampai sekujur tubuhnya dibasahi keringat, tetapi usahanya tetap sia-sia, karena pintu batu itu mempunyai urat-urat yang saling menjalin.

“Mungkin ada cara khusus untuk membukanya,” kata Wori, lalu memeriksa sudut-sudut batu itu. Namun ia tak menemukan apa-apa. Dengan rasa penasaran, ia mencoba lagi mengerahkan segenap tenaganya menggeser pintu rahasia tadi.

Karena belum juga berhasil, pendekar bumerang itu akhirnya memutuskan cara lain. Ia mundur beberapa langkah, lalu berdiri tegak lurus dengan posisi kedua kaki setengah terbuka.

Kedua tangannya disilangkan di dada. Sepasang matanya mencorong tajam menatap ke pintu batu, udara dihirup banyak-banyak dan untuk beberapa saat ditahan hingga dadanya tampak membusung.

“Hiyaaaat!” Wori berteriak dengan suara mengguntur dan bersamaan dengan itu ia berlari kencang. Tangan kanannya ditarik ke belakang, lalu ia menghantam batu itu dengan telapak tangan seperti sedang menampar.

Tenaga dalam pendekar bumerang itu memang dahsyat luar biasa. Sewaktu tangannya mendobrak lurus ke urat nadi pintu batu, terdengar suara menggelegar bagaikan gunung runtuh. Pintu batu itu pun hancur berkeping-keping.

Dengan, wajah berseri-seri, namun tetap waspada, Wori segera melangkah masuk. Pintu batu itu ternyata menutupi sebuah lorong yang cukup sempit, sehingga Wori harus agak menunduk sewaktu menyusurinya.

Suasana di dalam itu cukup gelap, karena cahaya hanya sedikit yang masuk. Baru sekitar sepuluh meter melangkah, Wori melihat sebuah obor tergantung di dinding batu. Timbullah niat di dalam hatinya untuk menyalakannya.

Lalu ia menarik obor itu dengan tangan kanan. Tetapi tanpa diduga-duga, terdengar suara berderak. Batu yang diinjak Wori bergeser dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya amblas ke bawah.

Ternyata obor itu adalah jebakan, yang diatur sedemikian rupa sehingga jika ditarik, batu yang diinjak akan amblas. Wori ingin meraih lantai batu yang tidak ikut amblas, namun terlambat sudah, tubuhnya sudah keburu melayang jatuh. Ia hanya bisa berteriak kaget.

“Buk!” Bagian punggung Wori terbanting keras ke dasar lubang, membuatnya kembali berteriak kesakitan. Lelaki bertubuh raksasa itu geram dan mengumpat dalam hati.

Punggungnya terasa sakit, tetapi bukan hanya itu yang membuatnya kesal, tetapi terutama adalah karena merasa tertipu dan dipermainkan. Ia segera bangkit berdiri dan menyapu keadaan di sekelilingnya dengan tatapan mata liar.

Sebelum sempat berbuat apa-apa, terdengar suara berdesir kalajengking yang jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan, menyerbu Wori dari segala jurusan. Binatang itu sangat berbisa, sekali menggigit korbannya bisa tewas, atau paling tidak akan keracunan yang sangat berbahaya.

Tak terkatakan betapa terkejutnya Pendekar Bumerang, apalagi karena binatang-binatang berbisa itu mulai merayapi sekujur tubuhnya. Kalau saja Wori bukanlah pendekar berilmu tinggi dan belum mempunyai pengalaman, pastilah ia akan berteriak-teriak panik sambil berlari-larian ke sana ke mari.

Tetapi dengan ketabahan yang luar biasa, ia berdiri tegak tanpa bergerak-gerak. Nafasnya ia tahan beberapa saat dan mengeluarkannya sepelan mungkin. Memang itulah satu-satunya jalan terbaik bagi Wori, sebab kalau ia bergerak sedikit saja, kalajengking itu pasti akan menyengatnya.

◄Y►

2

Cukup lama juga Pendekar Bumerang diam bagaikan patung. Hingga akhirnya ketika mulai cemas tidak mampu bertahan, terdengar suara air meluncur dari celah-celah dinding batu yang retak, terkena pukulannya tadi.

Karena tempat itu kebetulan lebih rendah dari permukaan laut, dalam sekejap sudah penuh dengan air. Sungguh suatu pertolongan yang sangat menguntungkan, karena kalajengking takut air, sehingga segera berlarian dari tubuh Wori.

Barulah pendekar dari pulau Kanguru itu bisa menarik nafas lega. Makin lama, air yang masuk ke tempat itu makin tinggi hingga akhirnya hampir menenggelamkan dirinya sendiri.

Tetapi justru hal itu membuatnya dengan mudah mencapai pintu lubang jebakan. Ia berenang ke atas, lalu meraih pinggir jebakan dan akhirnya dapat keluar dari dasar yang dalam serta gelap itu.

Kembali ia meneruskan langkahnya dengan sikap yang lebih hati-hati lagi. Apalagi karena lorong berikutnya jauh lebih gelap lagi. Langkah kakinya diusahakan seringan mungkin, sementara kedua telinganya dipasang sewaspada mungkin, siapa tahu ada suara mencurigakan.

Akan tetapi tampaknya lorong itu penuh dengan jebakan yang sangat membahayakan. Tiba-tiba Wori menginjak kayu melintang di dasar lorong. Hanya beberapa saat kemudian, dari kiri kanan dinding meluncur tombak-tombak runcing yang dirangkai hingga menyerupai pagar, mengarah ke tubuh Wori.

Sambil berseru kaget, laki-laki tegap itu membantingkan tubuh ke samping. Loloslah pendekar bertenaga dahsyat itu dari maut, walaupun tangan dan kakinya terluka mengeluarkan darah segar.

Lelaki itu menggeram, kembali nyawanya nyaris terbang meninggalkan raga. Dipukulnya jebakan maut itu hingga jebol. Wori menghela nafas dalam-dalam dalam ketertegunannya.

Ia tak berani membayangkan bagaimana kalau pintu bergigi runcing itu menggencet tubuhnya. Hanya dalam beberapa helaan nafas saja, ia tentu akan tewas. Keadaan itu membuatnya merasa perlu meningkatkan kewaspadaan, walaupun tidaklah membuatnya gentar dan mengurungkan niat.

Ia terus melangkah menyusuri lorong di depannya dan tak lama berselang sampailah dirinya ke sebuah ruangan yang cukup besar, berukuran sekitar empat kali empat meter dan semua dindingnya terbuat dari batu cadas.

Di dinding itu ada pula gagang kayu yang tampaknya merupakan kunci dari gerbang batu di depannya. Wori sekarang lebih berhati-hati.

Diperiksanya lantai kayu yang diinjaknya, karena ia bermaksud akan memutar gagang kayu itu. Namun tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan ketika gagang itu diputar, bahkan secara perlahan-lahan gerbang batu di depannya terbuka, setelah bergerak naik ke atas.

Masuk ke lorong melalui gerbang tadi itu, Wori menemukan lorong yang sedikit lebar. Kira-kira sepuluh meter di depannya terdapat sebuah belokan. Di ujung belokan itu terlihat cahaya memancar membuat Wori ingin secepatnya mengetahui benda apa yang bercahaya itu.

Astaga! Wori hampir tak percaya pada penglihatannya sendiri. Matanya terbelalak lebar. Sekitar lima meter di depannya ada sebuah cungkup (sumur) berbentuk segi empat, agak tinggi tempatnya.

Di empat sudutnya terdapat alat penerangan terbuat dari api alam (gas bumi), sehingga tempat itu terang benderang. Cungkup itu terbuat dari batu pualam yang ditata apik hingga tampak sangat indah dan di bawahnya dua anak tangga, mirip seperti singgasana raja.

Wori melangkah mendekat dan ia kembali terbelalak menyaksikan cungkup berukuran sekitar enam kali enam meter itu penuh butir-butir mutiara. Seumur hidup Wori belum pernah melihat mutiara sebanyak itu, bahkan membayangkannya pun tidak.

Lama pendekar bumerang itu tertegun memikirkan untuk apa tumpukan mutiara sebanyak itu dan dari mana saja dikumpulkan. Di hadapannya terpampang pula sebuah akuarium raksasa.

Dindingnya terbuat dari batu kaca yang langsung dipahat hingga cukup tipis dan halus, serta tembus pandang. Di balik akuarium itu tampak dasar laut sepanjang kanal buatan itu. Di dalam akuarium itu berkeliaran berpuluh-puluh ekor ikan hiu.

Sungguh suatu pemandangan yang menakjubkan. Tetapi lebih menakjubkan lagi kemahiran teknik Maleang Pangaru membangun cungkup berisi mutiara, akuarium dari kaca batu dan kanal buatan.

Wori sendiri tidak pernah membayangkan bahwa tokoh sesat Maleang Pangaru sudah mencapai kemahiran sehebat itu. Maleang Pangaru yang dijuluki Iblis Pulau Aru sebetulnya adalah adik dari ayah Pampani.

Tetapi selama hidupnya ia tidak pernah akur dengan kakaknya pemimpin suku di pulau tersebut. Selain memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, tokoh sesat ini juga dikenal memiliki ilmu sihir yang tiada bandingannya.

Dalam petualangannya sebagai jagoan dari dunia hitam, Maleang Pangaru sering pula dijuluki si Manusia Hiu, karena bentuk mukanya persis kepala ikan hiu, yang bagian ekornya memanjang sampai ke batas lututnya melalui punggung.

Agaknya semasa hidupnya Iblis Pulau Aru itu telah mengumpulkan banyak sekali mutiara di dalam lorong rahasia. Setelah ia meninggal, lorong rahasia atau bangunan bawah tanah itupun dikuasai anaknya Wan-Da-I, yang juga mewarisi sifat buruk ayahnya.

Dalam keadaan seperti itu, Wan-Da-I yang menaruh dendam kesumat kepada Pampani bermaksud menggunakan timbunan mutiara itu untuk bisa menjadi penguasa di Kepulauan Aru.

Sekarang Wori yang merupakan sahabat dekat musuh besarnya itu sedang di tempat penyembunyian mutiara. Pendekar bumerang itu meraup mutiara-mutiara itu dan memandangnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Ia tak habis pikir untuk apa mutiara sebanyak itu. Tetapi menurut perkiraannya, kalau hendak membangun istana terbuat dari mutiara tentulah bisa.

Ketika Wori masih tetap mengagumi mutiara-mutiara itu, tiba-tiba sebuah bayangan bergerak di belakangnya, lalu melemparkan beberapa lembar kertas. Wori menjadi terkejut mendengar suara gemerisik itu.

Secepat kilat ia berbalik dan menatap liar keadaan di sekelilingnya.

“Heh! Siapa itu?” bentaknya sambil memasang kuda-kuda. Ia segera meloncat ke balik lorong itu, di mana terdapat sebuah lemari kayu. Kebetulan ada seekor tikus melintas di antara kertas-kertas itu.

Ah, cuma seekor tikus, pikir Wori, lalu memungut kertas. Kertas itu diperiksanya sejenak, ternyata berisi tulisan.

Sayang sekali ia tidak bisa membaca sama sekali. Wori kemudian memasukkannya ke sela-sela cawatnya dan nanti akan ia tunjukkan kepada Pampani, siapa tahu tulisan itu berisikan sesuatu yang sangat penting.

<>

Sementara itu, penduduk pimpinan Pampani masih sibuk membangun kembali istana baru di atas puing-puing istana yang lama. Mereka tampak bekerja sangat tekunnya, sehingga tanpa terasa hari sudah siang.

Pampani melangkah menghampiri para pekerja itu. Wajahnya tampak berseri-seri melihat kesungguhan warganya. Bentuk kasar istana itu sudah terlihat dan menurut perkiraannya, dalam beberapa hari lagi pastilah akan rampung. Sebuah istana yang mirip dengan rumah tradisional, cuma jauh lebih besar dan indah karena ditata bagus dan diberi warna-warni kontras seperti kebiasaan penduduk pribumi di sekitar laut Arafuru.

Seperti halnya rumah lainnya, istana itu dibangun dengan tiang penyangga yang cukup tinggi dan bagian atapnya dibuat melengkung dari ujung ke ujung. Terdiri dari beberapa ruangan yang luasnya berbeda-beda sesuai keperluannya, ruang pertemuan, kamar tidur dan peristirahatan, tempat singgasana, ruang penyimpanan buku-buku dan harta istana lainnya, ruang penjagaan dan yang lainnya.

Pekarangan istana itu sangat luas dan diberi pagar rapat dan tinggi sekitar enam meter, di mana ujung-ujungnya dibuat runcing, sehingga akan sulitlah bagi orang melewatinya tanpa diketahui penjaga karena di sudut kanan pekarangan istana itu dibangun pula menara pengawas. Walaupun belum rampung, dapatlah diyakini bahwa istana baru itu jauh lebih bagus dan kuat dibandingkan istana lama.

“Waktu bersantap sudah tiba. Marilah tamu-tamu kehormatanku! Berkumpullah untuk bersantap!” kata Pampani dengan ramah.

Para pekerja itu sama-sama menghentikan pekerjaannya. Mereka segera berkumpul di ruang tengah istana itu.

Di bagian paling ujung duduklah Pampani. Di sebelah kanannya Pendekar Kaki Tunggal dan Bungoru, yang tubuhnya tinggi besar. Perawakannya hampir sama dengan Wori, hingga mirip raksasa.

Di sebelah kiri Pampani duduklah sepasang suami istri Umang dan Mirah. Sedangkan di hadapan mereka telah terhidang makanan serta lauk pauknya.

“Di manakah saudara kita Wori?”

“Barangkali ia sedang sibuk di luar,” kata Pampani.

“Sejak tadi aku belum melihatnya,” sahut Bungoru.

“Kita tunggu saja barang sebentar. Lebih nikmat rasanya kalau bersantap bersama-sama,” Umang menimpali.

Sejenak mereka berdiam diri sambil menunggu Wori yang sejak tadi tidak kelihatan batang hidungnya.

Setelah itu, si Kaki Tunggal berkata. “Hm, sayang sekali! Di saat-saat seperti ini sudah berhari-hari saudara Karta tak hadir di tengah-tengah kita. Kurang nikmat rasanya.”

“Ya, apa boleh buat! Kita harapkan saja semoga dia lekas sembuh. Hm, Bungoru. Coba kau panggil saudara Wori!” kata Pampani.

“Daulat, tuanku!”

Tepat ketika Bungoru bangkit dari duduknya, muncullah Wori di ambang pintu. Laki-laki bertubuh raksasa itu tertawa terkekeh-kekeh.

“Tak usah repot-repot. Aku sudah datang!” katanya.

“Huh dari mana saja kau?” kata Bungoru.

“Maafkan aku! Rupanya kalian agak cemas menunggu. Aku kebetulan sedang menemukan sesuatu yang sangat penting.”

“Apakah yang kau maksudkan itu?” tanya Baureksa, si Kaki Tunggal.

“Sebaiknya kita makan saja dulu! Aku pun sudah sangat lapar!”

Mereka pun segera bersantap dengan sangat lahapnya. Sama seperti Bungoru, Wori pun makannya sangat cepat dan banyak. Mulut lelaki raksasa itu berdecap-decap diiringi gerak perut yang gendut turun naik sehingga kelihatan sangat lucu.

Orang lain tentulah akan geli melihat cara makan Wori dan Bungoru. Tetapi orang-orang di ruangan itu sudah terbiasa melihatnya, jadi telah dianggap hal yang biasa pula.

Usai makan, Wori segera menceritakan pengalaman dan temuannya di dalam bangunan rahasia Iblis Pulau Aru.

“Aku membawa kabar penting untuk baginda Kepala Suku dan kita semua. Menjelang matahari terbit, aku telah berhasil menemukan gudang penyimpanan mutiara dari Iblis Pulau Aru. Banyak sekali, hampir aku tidak percaya di sini ada mutiara sebanyak itu.”

“Hah? Jadi kau telah menemukannya?” kata Bungoru terkejut.

“Ya! Tak percumakan aku dijuluki Pendekar Bumerang?” kata Wori bangga.

“Lalu bagaimana keadaan di sana?” tanya Baureksa.

“Penuh dengan jebakan mematikan. Aku hampir saja masuk liang kubur.” Lalu Wori menyodorkan berkas-berkas kertas yang ditemukannya.

“Aku tak bisa membaca. Tolong kau yang membacanya. Mungkin berisi sesuatu yang sangat penting!”

Baureksa menjadi tertawa masam, “Wah, sarua keneh! Waktu kecil aku cuma diajari tulisan Arab di pesantren. Kalau tulisan Belanda mah' teu tiasa jang, he-he-he!”

“Kalau tulisan Latin sebaiknya serahkan saja pada Mirah. Dia adalah putri bekas pejabat di Kuningan, tentu bisa baca!” kata si Lengan Tunggal Umang.

Wori segera menyerahkan kertas-kertas itu kepada Mirah. Tetapi wanita itu pun rupanya rada-rada buta huruf pula. Dengan susah payah ia mencoba mengeja huruf demi huruf, namun tetap saja ia tak bisa membacanya dengan sempurna.

“Ini....... ini surat penjualan mutiara-mutiara kepada Belanda,” kata Mirah agak ragu-ragu.

“Hah?” Pampani berseru kaget mendengar ucapan Mirah, “Benarkah itu?”

“Ya, benarkah itu, Mirah?” tanya Baureksa pula ingin memperoleh kepastian.

Mirah kembali mengeja-ngeja huruf demi huruf. Beberapa saat kemudian, ia mengangguk mantap, “Benar! Tidak salah lagi, Tulisan ini memang surat penjualan mutiara kepada Belanda!”

Para pendekar di ruangan itu saling pandang satu sama lain, seolah-olah ingin bertanya, kalau memang benar demikian, apakah gerangan maksud Wan-Da-I menjual mutiara-mutiara itu kepada Belanda?

Dapat diterka, tokoh sesat itu pun tentu telah merencanakan sesuatu yang lebih hebat lagi untuk bisa jadi penguasa di Kepulauan Aru. Dan itu membuat Pampani serta teman-temannya pendekar dari Pulau Jawa merasa harus meningkatkan kewaspadaan.

◄Y►

3

Di tepi pantai, si Gila Dari Muara Bondet masih duduk bersemedi di antara terpaan gelombang laut yang cukup kuat. Kedua matanya terpejam dan tubuhnya tegak diam, pertanda bahwa ia benar-benar hanyut dalam semedinya.

Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali di atas tebing, lalu mengintai dari balik pepohonan. Tangannya yang kekar memegang sebatang lembing yang ukurannya kecil dan pendek, sehingga mirip anak panah. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, lelaki misterius itu menyambitkan lembing itu dari atas tebing ke arah punggung si Gila Dari Muara Bondet.

Agaknya lelaki yang melancarkan serangan gelap itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuatnya, sehingga benda runcing bergagang panjang itu meluncur bagaikan kilat dan menimbulkan suara berdesing.

“Club!” Dengan kecepatan luar biasa, si Gila Dari Muara Bondet meloncat ke atas, sehingga senjata rahasia itu hanya menancap di dasar air tempat Karta tadi duduk bersemedi.

Dalam semedinya, si Gila Dari Muara Bondet ternyata tetap memasang kewaspadaan, sehingga ketika senjata itu meluncur ke arahnya, ia segera mengetahui lewat pendengarannya yang sangat tajam.

Tubuhnya bersalto beberapa kali dengan gerakan yang sangat ringan dan cepat. Kakinya, kemudian mendarat di atas tebing dengan gerakan yang hampir tidak menimbulkan suara, pertanda ia sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.

“Haiiiit!” Karta langsung memasang kuda-kuda sambil menatap liar ke sekelilingnya. Tetapi alangkah kecewanya dia, manakala menyadari bahwa orang yang menyerangnya telah lenyap.

Sadarlah Karta bahwa orang itu pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi dan mempunyai sifat kejam serta sadis. Kalau saja senjata itu tadi mengenai sasaran, kemungkinan Karta akan tewas, atau paling tidak akan menderita luka parah.

Dengan kesal, Karta meloncat turun dan kembali duduk bersemedi di dalam air. Sebelum hanyut dalam semedinya, pendekar itu masih sempat bertanya-tanya siapakah gerangan musuh yang menyerangnya secara diam-diam tadi?

Sementara itu, Pampani dan kawan-kawannya masih duduk berbicara serius mengenai penemuan Wori yang sangat menakjubkan. Dari wajah mereka, terlihat adanya ketegangan.

“Bagaimana pendapat kalian mengenai penjualan mutiara-mutiara peninggalan Iblis Pulau Aru?” tanya Pampani.

“Menurut pendapatku lebih baik jual beli ini tidak diteruskan. Kita ambil mutiara-mutiara itu dan kita kembalikan kepada rakyat yang berhak,” kata Mirah mengajukan pendapatnya.

“Hm, aku ada akal lain,” sahut Baureksa, “Lebih baik mutiara-mutiara itu kita jual ke lain bangsa, tetapi bukan kepada Belanda. Kita jual saja kepada bangsa Inggris, kita cari persaingan harga yang lebih tinggi. Siapa yang berani bayar tinggi, merekalah yang dapat.”

“Tapi apa bedanya?” kata Wori tampak kurang setuju dengan saran si Kaki Tunggal, “Dengan cara seperti itu, sama saja meneruskan pekerjaan Maleang.”

“Tunggu dulu! Maksudku, dengan cara seperti itu maka akan timbul perang dagang di antara orang-orang kulit putih. Biarlah mereka saling cakar-cakaran satu sama lain. Kita yang makan untungnya. Apakah kalian setuju?”

“Ha ha ha!” Wori tertawa tergelak-gelak sehingga perutnya berguncang-guncang, “Bagus! Bagus sekali. Aku setuju. Inggris kita adu dengan Belanda!”

Pampani tampak manggut-manggut. Wajahnya pun tampak berseri-seri, dan dengan nada ceria ia berkata: “Aku pun setuju! Tapi siapa orangnya yang bisa menghubungi bangsa Inggris?”

Sebelum sempat ada yang menjawab, tiba-tiba si Kaki Tunggal berteriak nyaring. Tongkatnya yang ujungnya bergagang dua disambitkan sambil mengerahkan tenaga dalam, sehingga meluncur bagaikan kilat ke atas atap istana.

“Hiyaaaat!” Suami istri Umang dan Mirah pun meluncurkan golok mereka. Wori pun tak ketinggalan, bumerang mautnya menyambar bagaikan kilat menyusul senjata teman-temannya.

Hampir secara berbarengan, semua senjata itu menembus atap. Terdengar suara seruan kaget seseorang yang sejak tadi rupanya mengintai dari atas atap. Tetapi agaknya lelaki itu bukanlah orang sembarangan. Tubuhnya segera berkelebatan di antara kilatan-kilatan cahaya senjata dari Pulau Jawa itu.

Tidak sampai satu helaan nafas berselang, tubuh keempat pendekar itu sudah melesat naik ke atap istana. Senjata bumerang Wori mencoba menghadang laki-laki misterius itu.

Namun sambil bersalto di udara, kaki kanannya menendang bumerang itu dengan gerakan yang sangat cepat dan kuat, sehingga senjata itu berbalik meluncur ke arah pemiliknya.

Hampir saja senjata makan tuan, karena gerakan lelaki itu sungguh tidak terduga-duga. Untunglah Wori segera berkelit disertai seruan kaget, dari bumerang itupun tertancap ke dinding istana.

Sewaktu para pendekar kawan akrab Pampani itu mendaratkan kakinya di atap istana, mereka hanya sempat menyaksikan sesosok bayangan berkelebat bagaikan anak panah, sehingga wajahnya tidak sempat terlihat.

“Setan! Gerakannya cepat luar biasa! Apa kalian sempat melihat wajahnya tadi?” tanya si Kaki Tunggal dengan wajah merah padam karena marah, tetapi juga bercampur kagum. Kalau pendekar berilmu tinggi seperti Baureksa sampai memaki lantaran kagum, dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu meringankan tubuh laki-laki misterius tadi.

“Sayang sekali tidak sempat melihat wajahnya. Cuma potongan tubuhnya agak kurus,” sahut Umang. Pendekar berlengan tunggal ini pun sangat kagum dan diam-diam harus mengakui bahwa kepandaiannya belum tentu lebih tinggi dari orang itu.

“Maleang Pangaru memang bertubuh kurus. Tetapi Wan-Da-I pun demikian. Entah siapa sebenarnya orang itu?” kata Baureksa sambil menghela nafas dalam-dalam.

Agaknya orang tua itu mulai dapat merasakan bahwa saat ini musuh yang teramat lihai telah muncul yang setiap saat tidak mustahil dapat mencelakakan mereka. Karena itu ia pun berfikir bahwa dalam waktu dekat mereka pasti akan menghadapi kesulitan yang tak boleh dianggap remeh.

“Saya rasa itu bukan Wan-Da-I.” kata Umang mantap. “Bukankah pemberontak berilmu sihir itu belum memiliki kelihaian setinggi itu?” Demikianlah perhitungan si Lengan Tunggal sehingga ia merasa sangat yakin akan kebenaran tebakannya.

Mereka kemudian meloncat turun ke halaman istana, di mana Pampani sudah menunggu dengan wajah yang sedikit memancarkan ketegangan. Betapa tidak, empat temannya pendekar dari Pulau Jawa itu bukanlah orang sembarangan.

Namun rupanya tidak berhasil menangkap lelaki yang tadi mencoba mencuri dengar pembicaraan mereka. Tidak mungkin ada tokoh persilatan yang bisa lolos dari tangan teman-temannya, kalau tak memiliki kesaktian yang sangat tinggi.

“Sudahlah,” kata Pampani menghibur diri sendiri, “Sekarang mari kita buktikan siapa sebenarnya dia! Kita bongkar kuburan Maleang Pangaru! Kalau betul dia sudah mati, jenazahnya tentu akan terlihat, tapi kalau masih hidup seperti yang dikatakan Wan-Da-I, apa boleh buat kita terpaksa harus mengadu nyawa dengannya!”

“Baiklah kalau begitu. Sekarang mari kita berangkat, makin cepat makin baik,” kata Baureksa.

“Ya, tetapi kita harus tetap hati-hati dan siap siaga. Siapa tahu nanti datang musuh berikutnya. Kita harus membagi kekuatan. Sebaiknya saudara Umang dan Mirah menjaga dalam istana, melindungi tuan putri. Sedangkan aku, Wori serta Pendekar Kaki Tunggal pergi ke kuburan itu.”

“Baik, kami siap berjaga-jaga di istana!” sahut Umang.

“Berhati-hatilah, engkau saudaraku! Awasi setiap gerakan yang mencurigakan. Kami secepatnya akan kembali!”

Pampani, Wori dan Baureksa segera menyusuri jalan kecil, menembus hutan di malam yang gelap itu. Perjalanan menuju lembah kuburan Iblis Pulau Aru cukup memakan waktu, karena selain cukup jauh, langkah mereka pun sering terhambat semak-semak dan akar pepohonan yang kurang jelas terlihat.

Untunglah saat itu rembulan bersinar cukup terang, sehingga sangat membantu ketiga pendekar itu. Setelah hampir satu jam menempuh perjalanan menurun, mereka akhirnya sampai ke kuburan Maleang Pangaru.

Keadaan di tempat itu sangat sepi, bahkan terasa menyeramkan. Gundukan tanah dan batu nisan makam tokoh sesat itu tampak seperti menyimpan sebuah misteri yang terlalu sukar dimengerti maknanya.

Beberapa ekor burung malam terbang dari dahan pohon di dekat kuburan itu karena terkejut menyaksikan kedatangan tiga laki-laki tadi. Beberapa saat terdengar burung memecah kesunyian malam, berbaur dengan desah dedaunan diterpa angin.

Pampani dan kedua sahabatnya berdiri tegak di sisi kuburan itu. Sejenak Pampani memeriksa kuburan itu, lalu sambil menatap si Kaki Tunggal dan Wori bergantian, ia berkata.

“Inilah kuburan Maleang Pangaru. Oleh karena dia adalah adik dari ayahku, maka ia berhak mendapat cara penguburan kehormatan. Tetapi ia tidak berhak dikuburkan di halaman istana,” kata Pampani.

“Bagaimana dengan Wan-Da-I?” tanya Baureksa.

“Wan-Da-I telah dianggap sebagai musuh suku, karena ia adalah anak haram dari pamanku. Oleh karena itu, derajatnya sama dengan pendeta Naomi, mayatnya dibuang begitu saja.”

“Sudahlah, kita tak perlu terlalu banyak bicara sekarang. Sebaiknya kita menggali kuburannya!” kata Wori.

Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, ia menggali kuburan itu dengan peralatan yang salah satu ujungnya berfungsi seperti cangkul sedang ujung yang satunya lagi berfungsi sebagai sekop.

Wori yang memiliki tenaga bagaikan banteng, dengan sangat cekatan melakukan pekerjaan itu, sedangkan Pampani dan si Kaki Tunggal menunggu di dekat kuburan. Tak lama kemudian peti kuburan itu sudah kelihatan.

“Bukalah!” kata Pampani dengan wajah tegang. Hanya dengan jari-jari tangannya, Wori membuka peti itu. Terdengar suara gemeretak, dan peti itu pun terbuka.

“Hah? Kosong?” seru Pampani dan Baureksa berbarengan.

Ternyata peti itu kosong melompong. Tidak ada mayat Maleang di dalamnya seperti yang mereka perkirakan sebelumnya. Bukankah Iblis Pulau Aru itu sudah tewas? Bagaimana mungkin petinya kosong? Apakah mayatnya diambil orang atau memang ia hidup kembali?

“Tak mungkin ia dapat hidup kembali. Racun buatan paman Cebol sangat ampuh. Tidak pernah gagal!” kata Pampani masih belum bisa mengatasi rasa kagetnya. Ia memang tahu persis, beberapa waktu lalu Maleang Pangaru tewas oleh racun paman Cebol dan setelah itu dikuburkan di lembah, agak jauh dari istana.

“Kalau begitu.......” sahut Wori ragu-ragu.

“Pasti ada orang lain yang telah membongkar kuburannya!” sela Pampani cepat, “Mungkin orang itu mempunyai maksud tertentu. Tidak mungkin hidup kembali!”

“Jika demikian, siapakah gerangan yang membongkarnya?”

Sebelum sempat menjawabnya, tiba-tiba sebuah jaring berupa jala menyambar turun dan langsung menyergap ketiga pendekar itu. Tanpa sempat mengelak, mereka menjadi terjebak.

Sambil berseru kaget, ketiganya mencoba mengerahkan segenap tenaga untuk meronta. Namun rupanya jala itu terbuat dari benda yang sangat lemas tapi kuat sekali, sehingga makin meronta tubuh ketiga pendekar itu makin terjerat.

“Keparat! Kupecahkan kepalamu!” bentak Wori dengan suara mengguntur.

Tiba-tiba terdengar suara terbahak-bahak, sambung-menyambung sehingga terasa menggetarkan daun-daunan di sekitar lembah itu.

“Ha-ha-ha! Sekali tangguk tiga nyawa sekaligus! Terima kasih karena kalian telah menggali kubur sendiri. Nah, sekarang nikmatilah ajal kalian!”

Bersamaan dengan itu, menyemburlah gumpalan asap berwarna ungu dari atas tebing dan langsung menyelimuti Pampani dan kedua sahabatnya.

“Ahhh....! Asap beracun!” teriak Baureksa terkejut.

Ia mencoba menahan pernafasannya, tetapi racun berupa gas itu sudah terlanjur masuk ke paru-parunya. Demikian juga halnya Pampani dan Wori. Dada mereka terasa sangat sesak, seolah-olah hendak meledak dan nyeri sekali.

Sekujur tubuh mereka bagaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum dan seketika lemaslah tubuh mereka, seperti telah kehilangan semua tenaga dan kesaktian mereka. Tak diragukan lagi, gas beracun itu sangatlah berbahaya, sehingga pendekar sakti seperti Baureksa, Wori dan Pampani langsung terkulai lemas dalam waktu yang sangat singkat. Beberapa saat, tubuh mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.

“Nah, sudah mampus!” teriak lelaki itu sambil tertawa puas.

Muncullah dua lelaki bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa. Rambut kedua lelaki itu dikuncir ke atas, sama seperti Wori keduanya pun mengenakan anting-anting besar di daun telinga dan hanya mengenakan cawat.

Usia mereka sekitar empatpuluh lima tahun. Tetapi melihat gerak-gerik dan cara mereka memandang sesuatu, dapat diterka keduanya memiliki sifat yang sangat kejam, seperti hewan buas yang siap diperintah setiap saat untuk melakukan apa saja.

Di tempat itu telah berdiri pula si ahli sihir Womere. Ternyata laki-laki itulah yang memasang jebakan dan meracuni Pampani dan kedua sahabatnya.

Ia berusia sekitar empatpuluh tahun dengan tubuh yang sedang namun tegap dan tampak penuh otot berisi pertanda bahwa dirinya memiliki tenaga yang sangat kuat. Rambutnya keriting dan hitam dan selalu mengembang membuat kepalanya terlihat lebih besar.

Tidak seperti penduduk asli Pulau Aru, tokoh sesat ini mengenakan pakaian berupa jubah. Matanya terlihat jarang sekali berkedip dan selalu memancarkan sesuatu yang sangat mudah karena mempengaruhi orang lain.

Hal itu tidak mengherankan, karena ia memang adalah ahli ilmu sihir yang sangat jahat dan setiap saat bisa mencelakakan lawan bila berhadapan dengannya.

“Angkat mereka ke atas!” perintah Womere dengan berwibawa.

Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu segera mengeluarkan tubuh ketiga tawanan mereka dari dalam jaring. Lalu hanya sekali cemplak, tubuh Pampani dan Baureksa telah tergantung lemas di atas pundak kedua laki-laki raksasa itu.

“Sekarang lemparkan Pampani dan si Buntung ke dalam kanal ikan-ikan hiu. Tetapi si pendekar bumerang Wori harus kalian bawa ke markas! Jalankan tugas kalian dengan baik! Aku masih ada urusan lain!”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kedua orang bertubuh raksasa itu menjalankan perintah atasannya dengan patuh.

Mereka berjalan melalui terowongan air, yang merupakan bangunan alam. Lorong-lorong gelap itu cukup panjang dan banyak berkelok-kelok.

Akhirnya mereka sampai ke dalam gua di bawah tanah. Lorong di tempat itu jauh lebih sempit, sehingga kadang-kadang kedua anak buah Womere itu terpaksa harus membungkukkan badan agar bisa lewat.

◄Y►

4

Di pinggir lorong itu, terlihat tumpukan tulang-belulang dan tengkorak manusia berserakan. Agaknya tempat itu dulunya merupakan ruangan yang khusus dibangun untuk tempat pembantaian orang-orang yang dianggap pembangkang atau musuh.

Melihat keadaan tulang-belulang dan tengkorak itu sudah mulai lapuk, kemungkinan mereka dibunuh beberapa tahun atau bahkan mungkin puluhan tahun silam. Penduduk biasa tentulah akan ngeri atau sedikitnya merasa terkejut melihat pemandangan itu.

Tengkorak-tengkorak itu seperti menyeringai buas, seolah-olah siap menerkam siapa saja. Tetapi kadang-kadang terlihat seperti merintih kesakitan, bagaikan hendak mengungkapkan penderitaan yang sangat menyiksa sebelum mereka dihabisi. Kedua anak buah Womere melewatinya dengan tenang, bahkan ada kalanya menginjak tengkorak-tengkorak itu dengan mimik wajah biasa-biasa saja.

Tak jauh dari tumpukan-tumpukan tengkorak itu, terdapat kanal buatan tempat tersekapnya ikan-ikan hiu yang sangat ganas, karena sangat jarang diberikan makan. Itu memang disengaja, sehingga kalau ada seseorang yang dilemparkan ke sana sebagai hukuman, maka orang tersebut akan segera menemui ajalnya disantap habis-habisan oleh ikan-ikan hiu itu.

Kedua laki-laki bertubuh raksasa tadi memutar-mutar tubuh Baureksa dan Pampani dengan cepat sekali hingga berubah bagaikan baling-baling. Agaknya keduanya sengaja membuat ancang-ancang agar dapat melempar tawanannya lebih jauh.

Yang mendapat giliran pertama adalah Kepala Suku berusia muda Pampani. Setelah dibuat baling-baling beberapa saat, tubuhnya dilemparkan melayang tinggi ke arah kanal maut itu. Tubuh itu kemudian meluncur turun dan agaknya tidak akan dapat diselamatkan lagi.

Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat bagaikan kilat menyambar tubuh Pampani hingga terhindar dari kanal maut itu. Sesosok bayangan itu sambil mengapit tubuh Pampani bersalto beberapa kali dan akhirnya mendarat ringan di pinggir kanal.

“Bangsat!” Anak buah Womere berteriak, lantaran merasa terkejut bukan main.

Sungguh tak dinyana masih ada yang berani menggagalkan pekerjaan mereka. Dan lebih hebat lagi, tubuh Pampani yang hanya tinggal beberapa jengkal dari permukaan kanal buatan itu dapat diselamatkan.

Sungguh merupakan kelihaian yang luar biasa! Entah kapan pula lelaki itu masuk ke dalam ruang bawah tanah.

Tak terkatakan betapa marahnya kedua anak buah Womere. Biarpun mereka sama-sama menyadari bahwa musuh yang muncul cepat bagaikan siluman itu sangat tinggi ilmunya, keduanya tampak tidak gentar sedikitpun juga.

Keduanya segera memasang kuda-kuda dan dari sinar mata mereka terlihat jelas bahwa mereka akan membunuh lelaki itu.

Ternyata bayangan yang berkelebat menyambar tubuh Pampani adalah si Gila Dari Muara Bondet Karta. Tadi kebetulan saja ia keluar dari air tempatnya bersemedi dan sempat menyaksikan Baureksa serta Pampani dibawa ke dalam gua bawah tanah.