Warok Ponorogo 2 - Bara Api di Dukuh Dawuan(2)

Waktu itu, perjalanan untuk menuju ke daerah Blitar 
tidak gampang. Harus melalui hutan belukar yang 
ganas. Sering berhadapan dengan binatang buas yang 
siap menerkam di tengah jalan. Belum lagi harus dapat 
menaklukkan begai-begal yang siap menghadang di 
tengah jalan memperebutkan harta. Lagi pula, banyak 
daerah yang dilalui termasuk tempat yang angker, 
jarang orang biasa yang berani lewat tempat-tempat 
yang pingit sepert: itu. Konon daerah-daerah yang 
akan dilaluinya nanti merupakan tempat berkumpul- 
nya mahkluk halus yang setiap saat siap meng- 
ganggu manusia yang berani lewat daerah kerajaan 
Jin itu. 


Warok Wulunggeni rupanya tekadnya sudah mantab. Pergi 
untuk memburu ketinggian ilmu. Oleh karena itu, ketika di 
perjalanan menghadapi berbagai rintangan keras, 
bukan warok lagi kalau mundur menemui halangan, 
pikirnya dalam benaknya. 


Setelah berpamitan dengan isterinya, Mbok Rukmini, 
Wulunggeni pagi-pagi buta ini sudah meninggalkan kam- 
pung-halamannya di Dawuan. Ia berangkat pagi agar 
kepergiannya itu tidak terlihat orang-orang kampung. 
Sejak perjalanannya dari pagi hari, hingga siang han ini 
Warok Wulunggeni yang mengendarai kuda hitamnya itu 
baru melewati gunung pegat. Kemudian jalannya terus 
menanjak naik ke perbukitan. Pohon-pohon hutan 
lebat sering menjadi gangguan dalam memperlancar
perjalanannya. 


Dua hari, dua malam, perjalanan itu tidak pernah ber- 
henti, Hanya beberapa kali untuk istirahat tidur atau 
untuk mencarikan makan minum kudanya, rumput-rum- 
put, atau dedaunan yang ditemui di jalan. Perbekalan 
yang dibawa yang disiapkan oleh isterinya nampaknya 
telah habis termakan selama dua hari ini. Ia merasa lapar 
pagi ini. Tidak ada yang bisa dimakan. Buah maupun 
singkong tidak ditemui. Adanya hanya daun-daun. 


Setelah ia memacu kudanya menanjak sampai di atas 
perbukitan, Warok Wulunggeni memperhatikan lembah- 
lembah di bawahnya, barangkali ada kampung di dekat 
sana. Perlunya hanya untuk mencari tempat makan. Ter- 
lihat samar-samar seperti ada perkampungan kecil di 
dekat lembah itu, dengan hati-hati Wulunggeni memacu 
kudanya menurun menuju perkampungan itu. 


Setelah memasuki gapura kampung itu, Wulunggeni pan- 
dangan matanya memutar ke seluruh pelosok sudut kam- 
pung itu, ke kanan-lan barangkali ada warung penjual 
nasi. Kampung ini pagi hari kelihatan ramai orang. Ban- 
yak orang-orang hilir-mudik. Kelihatan juga banyak pen- 
datang dari luar daerah yang sengaja berdatangan ke 
kampung ini untuk berdagang. Tidak jauh dari per- 
jalanannya itu terlihat makin banyak kerumunan 
orang. Ternyata sebuah pasar di kampung itu yang 
nampak ramai dikunjungi orang. Para pedagang 
menawarkan dagangannya dan pembeli asyik menawar 
harga. Pasar hewan rupanya, melihat ramainya orang 
mungkin sedang hari pasaran. 


Banyak dijual binatang ternak, lembu, sapi, kuda, 
kambing, kerbau, babi hutan, burung-burung beraneka 
rupa, kelinci, dan juga banyak orang menjual sayur, 
buhan-buahan, peralatan rimah tangga, sampai senjata 
tajam, golok, tombak, keris, pisau, dan lain-lain. 
Pasar yang ramai dan lengkap terletak di lembah yang 
dikelilingi perbukitan itu merupakan titik temu dari 
beberapa kota yang menuju ke Trenggalek, Ponorogo, 
Tulungagung, dan menuju ke gunung Wilis. 


Di sebelah sudut pasar itu terlihat ada warung. Nam- 
paknya banyak juga orang yang berkunjung, atau 
berteduh di warung itu sambil menikmati makan 
siangnya, Setelah Wulunggeni mengikat kudanya di 
bawah pohon trembesi yang rindang itu, perlahan-lahan 
ia jalan memasuki warung itu. Di dalam warung yang 
cukup besar itu, kebanyakan pengunjungnya adalah laki- 
laki. Pelayannya empat orang, semuanya perempuan 
muda yang nampak kenes-kenes memakai gincu merah 
tebal dengan ramah melayani para tamunya. 


“Mart silahkan duduk, Pak", sapa salah seorang perem- 
puan pelayan warung itu ramah, sambil menank sebuah 
kursi yang berada di ujung ruangan itu. 


Rupanya suara perempuan yang sedang menyilahkan 
Wulunggeni itu telah membuat perhatian para laki-laki di 
situ, sehingga banyak yang mengalihkan perhatiannya 
kepada kedatangan Wulunggeni yang dianggapnya seba- 
gai orang asing di daerah itu. Mata beberapa laki-laki 
yang terlebih dahulu telah duduk-duduk di situ memelo- 
toti Wulunggens yang merasa mendapatkan perlakuan 
istimewa dan pelayan perempuan warung itu. 


"Mau pesan apa, Pak", tanya perempuan muda itu kepada 
Wulunggeni yang baru saja mengambil tempat duduk di 
pojok. 


"Untuk masakan makan han ini, yang tersedia apa". 


"Sayur lodeh, sayur asem, ikan mujahir, ikan lele, ikan 
wader, kulupan, sambel tomat, gorengan, dan lain-lain". 


"Yah. Tolong dibawakan kemari yang ada sayur lodeh 
itu", kata Wulunggeni. 


Dengan sigapnya perempuan muda yang berpakaian ke- 
baya ketat itu mengambilkan sebakul nasi dan sebaki 
lauk-pauk yang disuguhkan di meja Wulunggeni. 


"Hae, bedebah. Mengapa aku tidak dilayani lebih dulu. 
Apa istimewanya laki-laki yang baru datang itu kamu 
dahulukan", tiba-tiba seorang laki-laki tegap yang duduk 
bersama rombongannya di sudut meja sana itu memben- 
tak pelayan perempuan yang baru saja melayani Wulung- 
geni itu.

"Habis bapak belum pesan. Sejak tadi hanya duduk- 
duduk saja. Saya kan sudah tanya kepada bapak, mau 
pesan apa. Bapak diam saja. Jadi aku melayani yang lain 
yang sudah pesan...”, jawab perempuan itu agak ge- 
mefaran. 


“Cerewet. Diam, kamu. Bawa makanan itu semua di 
mejaku", perintah laki-laki kasar itu sambil menggebrak 
meja. 


"Masak semua makanan disuruh bawa. Di sini harus 
pesan, Pak", kata perempuan pelayan warung itu. 


"Jangan banyak bacot. Hayo ikuti saja perintahku”. 


Rupanya seorang laki-laki yang duduk di seberang meja 
Wulunggeni itu merasa terganggu oleh gebrakan suara 
kasar laki-laki yang membentak-bentak pelayan perem- 
puan warung itu. Lalu ia menegornya. 


"Hae kawan. Kalau ngomong suaranya jangan keras- 
keras, kè sana-kemari menggangu orang yang lagi 
makan". 


"Apa. Apa pedulinya kamu. Ini urusanku sendiri. Kamu 
tidak perlu ikut campur", bentak laki-laki kasar itu kem- 
bali membentak taki- laki yang duduk di meja sebelah 
Wulunggeni, nampak tersinggung atas tegoran itu. 


"Aku hanya minta tolong, jangan keras-keras kalau ngo- 
mong. Di sini kan semua tamu" 


“Hae kamu yang seharusnya keluar sana kalau memang 
merasa terganggu. Jangan cari gara-gara dengan saya, 
yah", perintah laki-lakı kasar itu. 


"Aku di sini kan bayar, Pak. Apa peduli Bapak mengusir 
aku keluar". 


"Kalau tidak mau keluar, aku yang akan seret kamu 
keluar. Mengerti", bentak laki-laki kasar itu. 


Rupanya laki-laki di meja sebelah Wulunggeni itu tidak 
ingin membuat gara-gara lebih lanjut, maka segera 
menyudahi makannya dan setelah membayar langsung 
bergegas keluar warung itu, entah pergi kemana. 


"Hae, Samprong. Ikuti jejak laki-laki sombong itu", 
perintah laki-laki kasar itu kepada seseorang yang 
bertubuh jangkung berkulit hitam pekat yang dipang- 
gil Samprong itu. 


Laki-laki jangkung itu kelihatan patuh menjalankan 
perintah aki- laki kasar yang agaknya menjadi 
pemimpin mereka. Segera ia beranjak dari tempat 
duduknya dan lari mengambil kudanya. Pergi 
mengikuti jejak laki-laki tadi. 


Melihat adegan ini, semula Wulunggeni berusaha 
mengambil jarak untuk tidak mencampuri urusan 
mereka. Tetapi dalam hati kecilnya, timbul rasa ingin 
tahunya. Termasuk jenis gerombolan apa orang-orang 
kasar ini yang seenaknya saja bisa berbuat semaunya, meng- 
ganggu ketenangan orang lain di tempat umum begini. 
Naluri ingin menolongnya tiba-tiba timbul. 


"Jangan-jangan bisa terjadi hal-hal yang mencelakan 
orang tadi. Kasihan juga orang tadi kalau sampai dihajar 
oleh orang-orang kasar seperti mereka ini", pikir Wu- 
junggeni dalam hati. Maka setelah membayar makan- 
minumnya di warung makan dekat pasarini, Wulunggeni 
bukannya segera meneruskan perjalanannya meninggal- 
kan kampung yang hiruk pikuk lantaran bertepatan 
pada hari pasaran ini, tetapi malahan ia memutar-mu- 
tarkan kudanya mencari tahu kemana perginya orang- 
orang tadi. 


Di bawah seberang sungai itu, Wuiunggeni menyaksikan 
seorang anggota gerombolan yang dipanggil dengan 
nama Samprong itu sedang menghajar tamu warung tadi 
yang pergi karena merasa terganggu itu. Wulunggeni 
menelusup di antara semak-semak dan berlindung di 
balik pepohonan besar agar tidak diketahui mereka. Ter- 
dengar beberapa pembicaraan di antara mereka. 


"Hae dungu. Kamu kira sudah kuat jadi jagoan yah. 
Beraninya menghina pimpinan kami", teriak si jangkung 
berkulit hitam pekat yang ditugasi mengejar orang yang 
tidak bersalah itu. 


"Ampun, Pak. Saya tidak ingin menghina. Di warung itu 
kan tempat umum, Pak. Kita harus saling menghormati, 
tidak saling membuat kegaduhan", bela orang itu yang 
mukanya sudah kelihatan babak- belur dihajar si 
jangkung itu. 


"Hayo, kamu ikut kembali ke kampung menghadap 
pimpinanku untuk meminta maaf”. 


"Baik, Pak. Tetapi jangan dihajar, yah”. 
"Tidak tahu, yang penting sekarang ikut aku". 


Kedua orang itu kelihatan berkuda kembali menuju ke 
kampung di lembah perbukitan itu. Wulunggeni dengan 
pelan mengikuti dari jarak jauh arah kedua kuda itu. 
Tepat di depan pintu masuk gapura kampung itu, nam- 
paknya rombongan para gerombolan itu telah menanti- 
kan kedatangan si jangkung di situ. Orang yang dipanggil 
pimpinan tadi, laki-iaki kasar itu juga ada bersama 
mereka. 


"Hebat juga kamu jangkung”, teriak laki-laki kasar yang 
kelihatan sebagai pemimpin mereka menyambut 
kedatangan si jangkung yang berhasil meringkus tamu 
warung tadi dengan muka berseri-seri. Tanda puas atas 
kerja si jangkung yang cekatan itu. 


"Ini, Pak. Orang yang sombong tadi”. 
"Bagus. Bagus, bawa dekat kemari". 


"Maafkan saya, Pak. Kalau ada salah saya", kata laki-laki 
tadi kelihatan ketakutan. 


"Akan aku maafkan. Tetapi serahkan dahulu itu semua 
bungkusan yang ada dalam pelana kudamu itu” 


“Ini uang dagangan saya, Pak. Jangan diambil. Ini uang 
hutangan untuk...", kata laki-laki itu terbata-bata dengan 
muka pucat. 


"Diam. Serahkan saja, dan diam", bentak laki-laki kasar 
tadi. 


"Ya, ya. Akan aku serahkan. Ambillah, dan perkenankan- 
lah aku pergi” 


"Ambil semua kampluk itu, Samprong", perintah laki- 
laki kasar itu kepada laki-laki jangkung itu. Orang yang 
dipanggil Samprong itu dengan gesit menarik kampluk 
yang terikat di pelana kuda orang itu dan menyerahkan 
kepada pemimpin mereka laki-laki kasar yang tinggi 
tegap itu nampak pongah 

"Bawa orang itu, Samprong", penntah laki-laki kasar 
itu. 

"Baik, Pak" 


"Lho, akan diapakan aku. Semua barangku sudah aku 
serahkan. Katanya aku boleh pergi" 


"Ha. ..ha...dangu, hayo kemari", kata laki-laki kasar itu. 


Samprong sekali tarik, laki-laki di atas kuda itu sudah 
berada di bawah dan dituntun menuju pemimpin mereka 

laki-laki kasar itu yang di sampingnya berderat beberapa _ 


anak buahnya dengan mukanya yang nampak angker. 
Mereka tersenyum-senyum melihat muka orang yang 
ditarik Samprong itu pucat pasi ketakutan. Setelah laki- 
laki yang diseret Samprong tadi dekat dengan jarak 
pemimpin mereka, laki-laki berwajah kasar itu. 


"Hae, mengapa muka kamu kok babak belur begitu, Tuan 
besar”, tanya laki-laki itu berusaha mengambil simpati. 


"Sas...saya...dihajar orang ini, Pak", katanya ketakutan 
sambil menunjukkan ke arah Samprong yang telah meng- 
hajarnya tadi. 


"Mengapa tidak kamu hajar kembali. Hayo sekarang 
hajar si Samprong itu dihadapanku. Kamu telah mem- 
bayar aku dengan semua uang dan benda bawaanmu di 
kampluk itu, maka sekarang kamu berhak menghajar si 
Samprong yang telah menghajar kamu tadi: Hayo 
lakukan". 


"Tidak berani, Pak". 


"Kalau kamu tidak berani, kamu yang akan saya hajar. 
Hayo pilih mana menghajar atau dihajar”. 


Laki-laki itu terus menunduk ketakutan. Tidak berani 
harus berbuat apa Tiba-tiba suara "brukk”. Laki-laki 
kasar yang disebut pemimpin mereka itu melepaskan 
tendangan ke arah muka laki-laki yang ketakutan itu, 
sambil meludahi mukanya. 


"Dasar laki-laki pengecut Taik kamu. Tadi di warung 
berani banyak bacot, sekarang mengkuret kayak kadal 
bunting. Ini sekali lagi terima pukulanku. ", begitu 
tangan laki-laki kasar itu hendak mengayunkan tangan- 
nya mau menonjok muka laki-laki yang sedang ketakutan 
itu, tiba-tiba lengannya seperti terkena hantaman batu 
keras. 


"Aduuhhhh...sialan, tanganku, salotitt”, teriak laki-laki 
kasar itu sambil memegangi tangan kanannya yang nam- 
pak mulai mengucur darah keluar dari lengannya, sambil 
mulutnya menyeringai menahan sakit. Rupanya tangannya 
terkena lemparan batu keras sebesar kepalan tangan 


"Bedebah. Siapa kamu yang berani melempar batu ini", 
teriak laki- laki berwajah kasar itu kelihatan menahan 
sakit. 


"Kamu jangan berbuat jahanam kepada orang lemah ini, 
kawan”, tiba-tiba suara Warok Wulunggeni yang keluar 
dari semak-semak dedaunan ini berjalan menghampiri
gerombolan yang sedang mempermainkan laki-laki 
ketakutan itu. 


"Hah, kamu rupanya, orang asing yang ikut makan di 
warung tadi. Kebetulan, aku juga mencari kamu sejak 
tadi, kamu menghilang, yah. Kini kamu muncul 
lagi...ha...ha...kebetulan... kebetulan laki-laki asing yang 
angkuh ini memang mau cari gara-gara", teriak laki-laki 
bermuka kasar itu mulai lupa pada sakit di tangannya. 


“Kamu telah membegal uang dan harta bapak ini. Ke- 
mudian kamu telah menghajarnya. Sekarang kamu mem- 
permainkan orang yang tidak bersalah ini. Kalian ini 
semua binatang apa”, kata Warok Wulunggeni nampak 
geram. 


"Bajingan. Berani sebut aku binatang. Kamu sendiri 
cecunguk macam apa. Orang asing beraninya ngomong 
besar di daerah kekuasaanku", bentak laki-laki berwajah 
kasar itu dengan mata melotot menahan amarahnya. 


"Aku telah menyaksikan keberingasanmu sejak di 
warung tadi terhadap bapak ini. Sekarang lepaskan bapak 
iri untuk perg:. Dan kembalikan semua yang telah kamu 
rampasitu. Cepattit, atau aku akan bikin mampus kalian", 
perintah Wulunggeni berusaha menghardik gerombolan 
laki-laki kasar itu. 


"Hae, orang asing. Beraninya kamu membentak dan me- 
merintah aku. Apa kata kamu, menyerahkan kampluk ini 
pada laki-laki pengecut ini, ha...ha...apa kamu rupanya 
punya nyawa rangkap, to Leeee”. 


“Sekali lagi aku peringatkan kembalikan kampluk bapak 
ini. Dan kalian semua pergi". 


"He, sudah keterlaluan omonganmu, yah. Samprong. 
Hajar laki-laki asing itu", perintah laki-laki kasar itu 
kepada si jangkung Samprong yang dengan sigap lang- 
sung menyerang Wulunggeni yang sedari tadi telah siap 
menerima kemungkinan serangan ini. Maka serangan 
Samprong yang kalap itu dengan mudah dapat dielakkan. 
Serangan laki-laki jangkung yang penuh tenaga itu hanya 
menerjang angin kosong. Kemudian dengan sabetan kaki 
kanan, Wulunggeni berhasil meghujankan tendangan 
melingkar ke punggung si jangkung. Mungkin karena si 
Jangkung Samprong itu terlalu mengerahkan kekuatan 
yang besar, sehingga membuat si jangkung itu ter- 
pelanting oleh tenaganya sendiri ke depan hingga masuk 
ke selokan parit-parit di pinggir jalan itu. 


"Kamu hanya jangkung, tetapi tidak punya otak”, 'edek 
Warok Wulunggeni untuk memancing emosi si jangkung 
yang dengan susah berusaha bangun dari panit-parit itu. 
Mukanya terkena kubangan lumpur yang berbau busuk 
menyengat itu. 


Melihat anak buahnya menjadi bulan-bulanan Warok 
Wulunggeni, nampak bahwa Laki-laki kasar yang men- 
jadi pemimpin mereka itu segera meloncat dari kudanya 
dan terus menerjang dengan berbagai serangan kombi- 
nasi jurus-jurus patukan yang melingkar-lingkar. Semula 
Wulunggeni agak kewalahan melihat cara bertarung laki- 
laki kasar yang nampak penuh variasi gerak itu, akan 
tetapi tidak berapa lama sudah diketahui beberapa gerak 
tipuan yang dilontarkan itu. 


Dengan sigap Warok Wulunggeni juga memasang 
gerakan tipuan perangkap sepertinya memberikan ruang 
kosong untuk mendapatkan serangan laki-laki kasar itu, 
tanpa dinyana laki-laki itu masuk dalam permainan 
perangkap Warok Wulunggeni. Maka, dengan sekali 
serangan tendangan bertubi, lambung kanan laki-laki 
kasar itu terkena benturan sendokan kaki Warok Wulung- 
geni yang besar kekar itu. Blukk, blukk. Pukulan yang 
keras itu telah masuk dalam perut, sehingga laki-laki 
kasar itu kehilangan keseimbangan geraknya. Ia maju 
gontai. 


Dengan sigap, sekali lagi Warok Wulunggeni 
menerbangkan gerakan pengkalan yang menghujam 
tepat di tengkuk laki-laki kasar itu sehingga ia terjungkal. 
la gagal berusaha untuk menghindar dari serangan 
pengekalan Warok Wulungeni yang cepat itu, sehingga 
ia menubruk gundukan batu besar dihadapannya. Kepala 
laki-laki itu membentur batu padas itu. Ia terguling be- 
berapa langkah ke samping. 


Para anak buah laki-laki berwajah kasar itu, demi 
melihat pemimpin mereka terkapar di gundukan batu 
itu, maka mereka segera bertindak untuk 
menolongnya. Secara serentak mereka menyerang ber- 
barengan ke arah posisi Warok Wulunggeni yang dengan 
sigap melayani datangnya serangan keroyokan itu. 


Beberapa kali Warok Wulunggeni beringsut mundur 
menghindari serangan bertubi-tubi yang datang hampir 
berbarengan dari berbagai jurusan itu. Ia berhasil 
melakukan gerakan melingkar- lingkar sambil melan- 
carkan tendangan berputar. Beberapa tendangan berhasil 
disarangkan ke tubuh beberapa pengeroyok itu. 


Nampak, Wulunggeni berusaha merobohkan para anak 
buah laki-laki berwajah kasar itu satu per satu. Agaknya 
laki-laki berwajah kasar itu telah melihat gelagat yang 
kurang beres yang akan menimpa dirinya dan anak 
buahnya. Melihat ketangkasan Wulunggeni yang begitu 
menguasai ilmu kanuragan tinggi itu, dengan serta- meria 
ia segera memberikan aba-aba kepada anak buahnya agar 
segera melarikan diri. 


Beberapa anak buahnya yang berusaha melarikan diri itu 
sempat terkena sambaran tendangan maut Wulunggeni 
dan tergeletak di tanah berguling-guling itu. Namun, 
beberapa saat kemudian mereka berhasil menaiki kuda 
mereka dan memacu dengan kencang menghindan dari 
amukan Wulunggeni. Agaknya, Wulunggeni tidak 
berusaha mengejarnya, membiarkan mereka lari pon- 
tang-panting. 

Sepeningal gerombolan pengacau itu, laki-laki yang di- 
tolongnya itu dengan gemetaran menghampiri Warok 
Wulunggeni yang tubuhnya penuh keringat itu. 


"Kangmas, terr....imma kasih, Kangmas, atas segala per- 
tolongan, Kangmas”, kata laki-laki yang hampir saja kena 
korban pemerasan gerombolan liar tadi. 


"Tidak apa, Kangmas. Mari kita segera tinggalkan tempat 
ini sebelum pamong kelurahan mengetahui kejadian di 
sini agar urusan tidak berkepanjangan", kata Warok Wu- 
lunggeni. 

Warok Wulunggeni segera membantu laki-laki setengah 
baya yang ditolongnya itu menaiki kudanya sambil 
menyerahkan kampluk barangnya yang dirampas gerom- 
bolan pemeras itu. Untung saja kampluk yang berisi uang 
segepok itu masih sempat diselamatkan oleh Warok Wu- 
lunggeni. 

"Perkenalkan, nama saya Wulunggeni. Asal saya dari 
Kadipaten Ponorogo", Warok Wulunggeni mem- 
perkenalkan jati dirinya sambil mengulurkan tangan 
kanannya kepada laki-laki yang mukanya pucat pası 
itu. 


"Saya Poerboyo. Dari Trenggalek, kangmas”. 


"Apakah Kangmas Poerboyo tinggal di kampung ini atau 
masih tinggal di Trenggalek". 

"Saya masih tinggal di Trenggelek. Saya datang kemari 
untuk berdagang. Isteriku berjualan di pasar. Ia masih di sana 
bersama para pembantuku. Saya tadi sengaja mengarahkan 
kudaku kemari untuk mendekati daerah penjagaan 
keamanan kelurahan, karena saya merasa diikuti oleh 
anggota gerombolan itu tadi. Tetapi sesampainya di — 
gardu jaga ini, ternyata tidak ada yang bertugas keamanan 
di sini. Rupanya gardu jaga ini hanya digunakan pada 
malam hari saja. Maka ketika akan kembali ke pasar, 
keburu kepergok sama si jangkung itu. Saya langsung 
dihajarnya. Untung Kangmas Wulunggeni mengetahui 
kejadian ini". | 


"Tidak apa kok, Kangmas Poerboyo. Mari saya antar 
kembali ke pasar". 


Sesampainya di pasar, mereka berdua rupanya tidak 
segera memasuki pasar untuk menemui isteri Poerboyo 
yag sedang berjualan di sana bersama para pembantunya, 
tetapi singgah kembali ke warung makan yang tadi siang 
mereka singgahi itu. 


Poerboyo membersihkan mukanya, sambil meminta 
dibuatkan ramuan untuk menutup luka-lukanya dan di- 
minumnya untuk menambah kekuatan. Semua itu di- 
lakukan oleh Wulunggeni yang mulai menguasai ilmu 
pengobatan dan meracik ramuan jamu tradisonal dari 
dedaunan di situ. Para pelayan warung itu dengan sigap 
ikut membantu mengambilkan keperluan apa saja yang 
dibutuhkan Wulunggeni untuk mengobati luka orang 
tadi. 


Malamnya, atas dorongan Warok Wulunggeni, Poerboyo 
dan keluarganya meneruskan perjalanan kembali ke 
Trenggalek dengan menggunakan dokar dan kuda yang 
tadi siang dipakai untuk digunakan oleh salah seorang 
pembantunya sebagai petunjuk jalan. Malam itu juga 
Warok Wulunggeni bermalam di rumah keluarga Poer- 
boyo di Trenggalek. 


Nampaknya tuan rumah, Raden Mas Poerboyo sebagai 
pengusaha beken di Trenggalek yang hidup dari usaha 
berdagang dan bertani, tidak ingin melepaskan kepergian 
Warok Wulunggeni buru-buru. 


"Kakang Wulung, ada baiknya Kakang tinggal beberapa 
lama di rumah saya ini. Saya ingin memberikan penghor 
matan kepada Kakang Wulunggeni". 


“Akhirnya Warok Wulunggeni tidak bisa menolak per- 
mintaan kenalan barunya, Raden Mas Poerboyo  untuk 
tinggal beberapa Jama di tengah keluarga Raden Mas 
Poerboyo di kota Trenggelek yang asri permai. Tiap hart 
ia dijamu, dan diperkenalkan kepada seluruh ang- 
gota keluarganya yang nampak bersikap ramah- 
ramah menyambut kehadiran Warok Wulunggeni di 
tengah-tengah mereka.