Jaka Sembung 15 - Raja Sihir dari Kolepom(1)

1
Hujan gerimis sudah mulai mereda, tinggal kecil dan jarang. sebentar lagi tentu akan berhenti. Di Timur, sinar matahari mulai menerobos awan, mengusir dingin. Angin laut berhembus perlahan, seakan-akan sedang membelai Kepulauan Aru dan segenap isinya, baik benda hidup maupun benda mati.

Terasa benar angin itu membawa kesejukan, yang bukan saja dapat menciptakan kenyamanan tetapi juga kedamaian. Pepohonan dan dedaunan hijau tampak melambai-lambai seperti sedang menari riang gembira.

Akan tetapi tak lama berselang, matahari yang tadi sempat tersembul, kini tertutup lagi oleh awan, seolah-olah seorang gadis cantik yang sengaja menyembunyikan wajah lantaran merasa malu. Dan tiupan angin yang tadi semilir, sekarang berubah jadi kencang sekali, sehingga tidak mungkin lagi dinilai sebagai suatu salam kedamaian, melainkan terjangan dahsyat yang ingin merobohkan pepohonan dan apa saja yang dilewati.

Benar saja, beberapa pohon tumbang, terkapar di bumi seperti prajurit perang yang tewas diterjang senjata musuh. Keadaan itu layaknya bisikan naluri alam, bahwa di jagat raya ini tidak hanya kedamaian yang ada, tetapi juga ketegangan atau permusuhan.

Saling mengaku kekuatan, saling berlomba memenuhi ambisi. Tidak perduli benar atau salah seolah-olah tiada batas lagi antara yang baik dan benar. Langit pun menangis disertai raungan petir sambung menyambung.

Tampaknya demikianlah adanya suasana di Kepulauan Aru sekarang ini. Kepulauan yang tadinya aman tenteram itu kini dilanda kepanikan dan permusuhan dua kelompok, yang senantiasa menganggap dirinya benar atau paling tidak selalu menilai dirinya tak patut disalahkan.

Di Kepulauan tersebut sudah lama berdiri sebuah kerajaan yang sebetulnya hanyalah terdiri satu kelompok suku yang dipimpin seorang Kepala Suku. Kelompok suku itu terdiri dari beberapa puluh kepala keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan, yang sekelilingnya dipagar tinggi yang semua ujungnya dibuat runcing, sehingga tidak akan mudah bagi musuh untuk menyelusup ke dalam tanpa diketahui.

Apalagi karena di empat sudutnya dibuat pula semacam menara pengawas, yang selalu dijaga oleh seorang laskar secara bergiliran pula.

Di bagian tengah kerajaan itu, dibangunlah sebuah istana yang jauh lebih besar dan megah dibandingkan rumah penduduk. Sekelilingnya pun dijaga ketat oleh puluhan laskar pilihan, ditambah penjaga di dalam istana yang tentu saja terdiri dari penduduk yang lebih kuat lagi. Untuk masuk atau ke luar pemukiman itu, dibuatlah sebuah gerbang berukuran sekitar empat meter yang juga tak pernah ditinggalkan laskar yang ditugasi untuk itu.

Pemimpin kerajaan itu disebut Kepala Suku, bukannya raja seperti sebutan di masa-masa yang lebih modern kemudian. Akan tetapi kedudukan maupun kekuasaannya sama seperti raja. Setiap kata yang terlempar dari bibirnya merupakan titah yang tidak boleh dibantah oleh siapapun, sehingga lebih tepat barangkali kalau dikatakan sebagai ultimatum.

Demikian mutlaknya kekuasaan Kepala Suku, sehingga haruslah dipilih yang paling arif bijaksana. Sebab kalau tidak demikian, kiranya kerajaan yang dipimpinnya akan cepat hancur, karena kekuasaannya yang boleh dikatakan tiada batas itu.

Beruntunglah penduduk Pulau Aru sebab Kepala Suku mereka sekarang adalah seorang yang arif bijaksana. Tegas bahkan keras, namun selalu bersikap adil dan jujur.

Tidak segan-segan menjatuhkan hukuman berat, tetapi sangat mencintai rakyatnya. Meskipun ia tahu kekuasaannya mutlak, ia tak pernah mau bertindak sendiri. Selalu terlebih dulu meminta pertimbangan atau saran-saran dari para penasehatnya.

Dengan demikian, semua keputusan yang ditetapkannya boleh dikatakan semata-mata adalah kehendak rakyatnya sendiri.

Nama Kepala Suku itu adalah Pampani, kakak ipar Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet. Dahulu, Karta bersama tiga orang sahabatnya yakni suami istri Umang dan Mirah serta si Kaki Tunggal Baureksa terdampar di Kepulauan Aru, sedangkan sahabat mereka Parmin si Jaka Sembung sampai sekarang belum mereka ketahui di mana berada.

Sewaktu terdampar di pulau itulah Karta berkenalan dengan Nomina, adik kandung Pampani. Nomina yang cantik jelita itu ternyata jatuh cinta kepada Karta dan karena suatu hal yang tak dapat dielakkan lagi, maka keduanya kemudian menikah.

Walaupun sebetulnya Karta sudah mempunyai istri yakni Ranti, yang ditinggalkannya di Pulau Jawa. Pasangan suami istri itu sekarang sudah dikaruniai seorang putra, sehat dan kuat serta lincah sehingga sangat disukai penduduk di kerajaan tersebut.

Boleh dikatakan, hampir semua penduduk sangat menyukai Pampani. Tindak tanduknya hampir tak bercela sedikitpun jua. Demikian pula halnya Nomina, istri Karta selalu menunjukkan budi pekerti yang patut dicontoh. Akan tetapi kedamaian yang tercipta lewat tangan Pampani yang arif bijaksana itu tidak terlalu lama dapat dirasakan penduduk.

Itu karena di Pulau Aru telah muncul seorang tokoh sesat yang sangat berambisi jadi penguasa di Pulau Trangan dan sekitarnya, menumbangkan kekuasaan Pampani. Namanya Wan-Da-I, yang sebetulnya masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Pampani.

Ayah Wan-Da-I adalah adik kandung ayah Pampani. Tetapi tokoh sesat itu adalah anak haram, sehingga kedudukannya tidaklah dapat diakui. Ayah Wan-Da-I semasa hidupnya jahat bukan main, tidak segan-segan membunuh atau menyiksa siapa saja yang dianggap berani menentangnya.

Ilmunya pun sangat tinggi, sehingga sangatlah sukar mencari tandingannya. Ia dijuluki Iblis Pulau Aru! Nama sebenarnya adalah Maleang Pangaru, tetapi sejak sepak terjangnya yang sangat kejam serta sadis seolah-olah membuat orang lupa akan nama itu, selain julukan Iblis Pulau Aru.

Sebuah julukan yang bukan saja menyeramkan, tetapi juga bisa membuat bulu roma merinding. Ada satu keistimewaan tokoh sesat ini, yakni setiap muncul di muka umum, ia selalu mengenakan semacam topeng ikan hiu.

Mukanya ditutupi bagian kepala ikan, sedangkan bagian tubuh serta ekor ikan yang terkenal ganas itu memanjang sampai ke lutut kakinya, melalui punggung. Hal itu membuat wajahnya yang menyeramkan hampir tak pernah bisa dilihat orang banyak.

Sedangkan matanya yang selalu mencorong tajam dan dingin, menyambar melalui bagian mata ikan hiu yang sengaja dilobangi sedemikian rupa sehingga ia bebas melihat ke mana saja seperti layaknya orang biasa. Selain Iblis Pulau Aru, Maleang Pangaru pun dijuluki pula si Manusia Hiu.

Dalam pertarungan melawan pihak Pampani beberapa waktu lalu, tokoh sesat itu bersama seorang tokoh lainnya yang bernama Pendeta Naomi yang juga tak kalah jahatnya, tewas terjatuh ke dalam jurang.

Beberapa hari lalu, muncul seorang laki-laki bertopeng ikan hiu dan sempat merampas putra Karta yang masih bayi. Maka gemparlah kerajaan tersebut.

Tokoh sesat Iblis Pulau Aru yang diyakini telah tewas itu, dikira hidup kembali. Mereka tidak tahu bahwa lelaki yang muncul itu adalah Wan-Da-I sendiri, yang sengaja menyamar untuk melumpuhkan dan membikin kacau suasana di istana.

Kalau suku yang dipimpin Pampani percaya Iblis Pulau Aru dan nenek sihir Pendeta Naomi sudah hidup kembali, mereka tentu akan ketakutan. Dengan demikian, akan mudah bagi Wan-Da-I melumpuhkan kekuatan mereka.

Dalam melaksanakan segala niatnya itu, Wan-Da-I dibantu seorang raja sihir dari Pulau Kolepom bernama Womere. Tokoh sesat yang selalu mengenakan jubah serba hitam ini memiliki berbagai ilmu hitam yang sangat tangguh, sehingga bisa menguasai pikiran seseorang dan memerintahnya untuk melakukan apa saja pun sesuai kehendaknya.

Sekarang kedua tokoh sesat itu sedang berbincang-bincang di ruangan rahasia di bawah tanah. Keduanya sedang asyik membicarakan tentang rencana mereka selanjutnya. Wan-Da-I masih mengenakan topeng ikan hiunya dan bicaranya tampak sangat bersemangat.

“Bagaimana rencana kita. Apakah sudah beres?”

“Semuanya sudah dipersiapkan, Tuan. Barang-barang itu telah diangkut ke tempat yang kita rencanakan semula.”

“Bagus! Lalu bagaimana dengan Pendekar Bumerang Wori? Apa kita sudah bisa memakai dia?”

“Siap, Tuan! Saya sudah membuktikannya sendiri. Ia bahkan hampir membunuh ke-tiga kawannya sendiri. Suatu jaminan yang tak perlu diragukan lagi.”

“Ha-ha-ha!” Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak sehingga topeng ikannya bergoyang-goyang, “Bagus! Bagus! Berarti langkah-langkah selanjutnya sudah bisa kita laksanakan secepat mungkin.”

“Tentu, Tuan!”

“Jika barang-barang itu telah sampai ke tangan pemiliknya, kita akan langsung menerima tukarannya sesuai keinginan kita. Dan benda-benda ajaib itu pasti akan menggegerkan seluruh Kepulauan Aru, bagai dentuman halilintar atau kutukan Dewa dari langit. Aku akan menjadi penguasa di Pulau Trangan dan sekitarnya tanpa seorang pun dapat mencegahnya.”

“Saya turut bergembira, Tuan!”

“Bagus! Sekarang aku ingin mencoba berbicara dengan Wori. Tolong antarkan aku ke sana!”

Womere mengangguk sambil tersenyum. Karena gigi-giginya besar dan bibirnya pun tebal hitam, senyuman itu tampak lebih mirip seringai buas, bagaikan harimau lapar siap menerkam mangsa. Ia membentangkan kedua tangan mempersilahkan Wan-Da-I melangkah.

“Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu sekarang!”

Sambil manggut-manggut penuh kegembiraan, putra Iblis Pulau Aru itu melangkah diikuti oleh Womere serta beberapa penjaga yang tampak tak berani memandang majikan mereka karena sangat segan dan takut. Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam ruangan khusus tempat Wori ditidurkan di dalam sebuah peti bulat. Panjangnya sekitar tiga meter dan bagian luarnya penuh ukiran dengan warna warni kontras.

Ukiran itu sebetulnya cukup indah, tetapi karena kombinasi warnanya yang sangat kontras menimbulkan kesan agak menyeramkan, Seolah-olah peti itu adalah tempat iblis bersembunyi.

Wan-Da-I mengamati peti itu beberapa saat, lalu sambil menatap Womere, ia berkata. “Aku ingin mencoba berbicara dengan Wori. Buka peti itu!”

“Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu!” ujar Womere sambil memberi isyarat agar pengawal membuka peti mati itu.

Ketika sudah dibuka dua pengawal, Womere mengangguk seraya tersenyum ke arah Wan-Da-I. “Cobalah Tuan berbicara padanya! Semuanya sudah berjalan dengan lancar!”

“Baik!” sahut Wan-Da-I sambil mengarahkan pandangan matanya ke wajah Wori.

“Hai, Wori! Apakah kau dengar suaraku? Cobalah kau katakan siapa aku. Kau pasti kenal dengan suaraku. Jawablah!”

Tubuh Wori yang tadinya terbujur kaku di dalam peti mati dengan kedua tangan dilipatkan di dada, kini mulai tampak bergerak perlahan-lahan. Kelopak matanya terbuka dan menatap si Manusia Hiu dengan sayu. Lalu bibirnya yang tampak kaku itu mengeluarkan kata-kata sahutan.

“Tentu. Aku kenal siapa Tuan. Aku siap melaksanakan segala perintah Tuan. Apapun yang akan terjadi, aku sanggup melaksanakan. Sekarang, besok, lusa atau kapan saja!”

“Bagus, Wori! Kau betul-betul seorang panglima yang setia. Aku percaya sepenuhnya padamu!” kata Wan-Da-I dengan gembira.

Benar juga rupanya ucapan si Raja Sihir dari Kolepom Womere itu. Wori benar-benar sudah bisa dikuasai dan dapat diperintah melakukan apa saja dan kapan saja tanpa dapat membantah.

Wori, lelaki bertubuh raksasa yang dijuluki Pendekar Bumerang itu sebenarnya adalah sahabat baik Pampani maupun Karta. Bertahun-tahun ia hidup bersama di lingkungan Kerajaan Pampani.

Ia adalah penduduk Benua Kanguru yang sekarang bernama Australia. Sama seperti penduduk pribumi di sana, ia pun sangat mahir menggunakan senjata bumerang, yakni semacam senjata yang bentuknya seperti bulan sabit dengan kedua ujungnya yang sangat runcing dan tajam.

Senjata itu disambitkan dengan kecepatan kilat dan jika tidak mengenai sasaran, akan kembali melayang kepada pemiliknya.

Pada suatu hari, dalam petualangannya untuk memperdalam ilmunya yang kelak diharapkan dapat digunakan untuk mengusir kaum penjajah Inggris dari negerinya, ia sampai ke Kepulauan Aru, lalu menjalin persahabatan dengan Pampani serta para pendekar Pulau Jawa.

Siapa tahu, ketika sedang menyusup ke dalam bangunan bawah tanah yang menjadi markas Wan-Da-I, ia terjebak. Wori tidak dibunuh, bahkan sengaja dibiarkan hidup dengan tenang. Tetapi berkat kehebatan ilmu sihir Womere, lelaki perkasa dan memiliki tenaga yang sangat kuat itu berubah seperti binatang jinak atau bahkan seperti boneka.

Pikirannya telah dikuasai Womere, sehingga bisa diperintah sesuka hatinya. Demikian hebat dan jahatnya ilmu sihir Womere, sehingga beberapa waktu lalu, Wori hampir saja membunuh Pampani serta sahabat-sahabatnya yang lain.

Sewaktu bertarung menghadapi Pendekar Bumerang itu, si Gila dari Muara Bondet tercebur ke dalam laut. Si Kaki Tunggal berusaha mencarinya. Ia menyelusuri pinggir pantai dan sesekali turun ke laut, namun tubuh Karta telah lenyap bagaikan ditelan bumi.

Sampai sekarang, si Kaki Tunggal masih terus mencari Karta. Akan tetapi setelah hampir seharian melakukan pencarian namun tetap tidak berhasil, Baureksa akhirnya menjadi putus asa. Ia berdiri menatap hamparan laut yang terbentang di hadapannya.

Rasanya tiada lagi harapan baginya untuk bisa menemukan Karta. Bahkan rasanya mustahil pula pendekar itu masih bisa menyelamatkan diri setelah begitu lama berada di dalam laut.

Si Kaki Tunggal Baureksa kemudian duduk lesu di pinggir pantai. Tongkatnya yang pangkalnya bercagak dibiarkan menyentuh air laut, seolah-olah dengan berbuat demikian ia ingin menyatakan kepedihan hatinya mengingat nasib Karta.

Lamunan si Kaki Tunggal tiba-tiba buyar, dan ia menjadi tersentak mendengar suara gemerciknya gelombang laut yang tiba-tiba kacau. Ia segera berdiri dan memusatkan perhatian.

Melihat gerakan air itu, yakinlah dirinya bahwa di dalamnya sedang bergerak sebuah makhluk besar. Mungkin ikan, atau siapa tahu adalah Karta sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara berteriak dan muncullah sesosok mahluk aneh di hadapan Baureksa. Pendekar Kaki Tunggal sempat melangkah mundur karena sangat terkejut.

Dikucek matanya beberapa kali seolah-olah tak percaya akan penglihatannya sendiri, namun pemandangan di depannya tetap tidak berubah sedikit pun. Mahkluk itu bertubuh manusia biasa dan hanya ditutupi sejenis celana dalam menutupi kemaluannya.

Di kedua tangannya terdapat gelang dari akar-akar pohon seperti yang biasa dipakai suku di Pulau Aru. Akan tetapi wajahnya yang luar biasa dengan hidung yang panjang sekali melengkung ke atas. Rambutnya tidak ada sama sekali dengan kulit yang sama dengan wajah, bergaris-garis hitam dan berlobang-lobang.

Seumur hidup si Kaki Tunggal belum pernah melihat mahluk seperti itu, sehingga timbullah dugaannya bahwa itu adalah Raja Kodok yang baru muncul dari dasar laut. Dugaan si Kaki Tunggal adalah makhluk itu memiliki kesaktian luar biasa serta suka memangsa orang.

Siapa tahu kemunculannya sekarang adalah karena sudah sangat lapar lalu ingin melahap siapa saja yang ditemukannya. Maka si Kaki Tunggal pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tongkatnya disilangkan di dada dan sepasang matanya mencorong tajam.

Akan tetapi makhluk itu tampak tenang-tenang saja. Ia kemudian tampak seperti hendak mencopot kepalanya. Si Kaki Tunggal kembali berseru kaget.

Ternyata yang berdiri di hadapannya adalah Bungoru sendiri. Hidung panjang melengkung serta kulit hitam bergaris-garis itu hanyalah sebuah topeng atau barangkali alat untuk menyelam, si Kaki Tunggal belum bisa memastikan.

Bungoru adalah pengawal Pampani yang selain sangat setia juga memiliki kesaktian yang cukup tinggi, terutama karena tenaganya seperti gajah. Hal itu karena ia memang memiliki tubuh tinggi besar bagaikan raksasa dan sejak kecil sudah terbiasa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat serta rajin pula berlatih silat. Di kerajaan yang dipimpin Pampani, tak seorang pun yang mampu mengimbangi kekuatan Bungoru selain Wori sendiri.

“Mungkin sesuatu yang sangat tak diinginkan telah terjadi terhadap diri Karta,” kata Bungoru sambil mempermainkan alat selamnya yang ajaib.

“Oh, jadi kau pun mencarinya?”

“Menyesal sekali aku tidak berhasil menemukan saudara kita itu. Hampir semalam suntuk aku menyelam di laut mencarinya atas perintah Pampani. Heran, entah ke mana tubuhnya lenyap. Padahal biasanya kalau ada yang tenggelam, dalam beberapa jam saja sudah bisa kutemukan.”

Si Kaki Tunggal yang tadi sempat kaget bagaikan orang melihat setan di siang bolong, kini menjadi tertawa geli.

“He-he-he. Tapi ngomong-ngomong aku menjadi geli. Ada-ada saja kau, Bungoru. Pakai apa sih itu? Bikin orang jadi kaget saja. Tadinya kukira kau adalah Raja Kodok yang baru muncul dari dasar laut mencari mangsa.”

Bungoru pun tertawa tergelak-gelak, terutama karena tadi dia sempat memperhatikan Baureksa mundur beberapa langkah dan langsung memasang kuda-kuda. Tetapi ia pun menjadi maklum, sebab sahabatnya itu tentu belum pernah melihat alat menyelam hasil ciptaannya yang sederhana namun sangat bermanfaat.

“Heh, Kaki Tunggal! Dengarkan baik-baik. Tanpa alat ini, aku takkan mungkin dapat menyelam semalam suntuk. Pipa hawa ini dapat ditarik panjang sampai ke permukaan air, Dengan demikian, aku tetap dapat menghirup udara walaupun sedang di dalam air.”

“Wah, sialan! Tetapi hebat betul alat menyelammu itu. Ternyata biar tubuhmu gendut bagaikan gajah, otakmu cerdik juga. Rasanya aku ingin mencoba alat ajaib itu.”

“Ah, sudahlah saudara Kaki Tunggal! Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita sudah berusaha mati-matian mencari saudara Karta, tetapi hasilnya nihil. Aku jadi malu pada diriku sendiri, hampir semalam suntuk mencarinya namun tak berhasil.”

“Sudahlah, Bungoru! Kita tak perlu terlalu berkecil hati. Mungkin sudah takdirnya harus begitu. Walaupun begitu, kita doakan saja semoga saudara Karta masih selamat.

“Memang melihat keadaannya, tipis sekali harapan bahwa dia masih hidup. Tetapi nyawa manusia ada di tangan Tuhan. Sebaiknya kita pulang saja dulu ke istana. Biar aku nanti yang menjelaskan semuanya.”

Apa yang diucapkan si Kaki Tunggal memang ada juga benarnya. Dalam hidup ini banyak sekali kejadian yang sangat di luar dugaan dan perkiraan. Seperti kata pepatah, sebelum ajal berpantang mati, maka demikian pula halnya dengan Karta.

Setelah beberapa jam dihanyutkan gelombang laut dalam keadaan tak sadarkan diri, tubuh Karta akhirnya terdampar pada tepi pantai laut. Rambutnya yang panjang jatuh terurai di atas tanah. Ia tergeletak dengan posisi tertelungkup, di mana sebatas pinggang sampai ke kaki masih terbenam dalam air.

Entah berapa lama pendekar gagah perkasa itu tergeletak dalam keadaan seperti itu, tak seorang pun tahu. Tetapi kemudian, perlahan-lahan ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.

Dadanya pun mulai turun naik, walaupun belum teratur tetapi telah menunjukkan bahwa dirinya masih hidup. Ia mencoba membuka kelopak matanya dan baru beberapa saat kemudian bisa melihat keadaan di sekelilingnya dengan pandangan kabur.

Ternyata sekarang ia sedang berada di dalam sebuah gua, entah di pantai sebelah mana ia sekarang berada belum bisa diketahuinya, sebab tempat itu terasa masih sangat asing baginya. Sekilas pandang saja, ia sudah yakin bahwa selama ini belum pernah menginjakkan kaki di sana.

Ia pun bertanya-tanya, siapa gerangan yang membawanya ke tempat itu. Bisa jadi ada yang menyeretnya atau hanya kebetulan saja terdampar sewaktu dirinya masih tak sadarkan diri.

Lama Karta berpikir-pikir sebelum tiba-tiba ia menyadari bahwa tubuhnya terasa sudah lebih segar dibandingkan pada saat ia tercebur ke laut karena diserang Wori secara mendadak. Perlahan-lahan ia bangkit dan yang pertama-tama dilakukannya adalah meraba-raba dinding batu cadas di tempat itu.

Siapa tahu ada kunci rahasianya! Tetapi tampaknya tidak ada sama sekali, sehingga makin kuatlah dugaannya bahwa terowongan itu adalah buatan alam. Mungkin karena arus air laut yang deras memukul-mukul sepanjang hari, tebing cadas itu akhirnya berlobang membentuk terowongan.

Walaupun demikian, Karta tidak mau bertindak sembrono. Sewaktu melangkah menyusuri terowongan itu, ia tetap berhati-hati dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Kenyataan yang di hadapinya selama berada di Kepulauan Aru adalah banyak sekali jebakan-jebakan yang sangat sukar ditebak sebelumnya.

Sekitar lima meter kemudian, Karta menemukan banyak sekali tumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia. Agaknya itu berasal dari dasar laut bekas keganasan ikan-ikan hiu, yang kemudian terseret arus ke dalam terowongan itu. Sadarlah Karta bahwa selama berada di laut, ia sebenarnya terancam maut dan rasanya hanya karena pertolongan Tuhan-lah makanya dirinya selamat.

◄Y►

2

Malam sudah tiba, ibukota Pulau Trangan tampak sunyi senyap. Semua penduduknya sudah tertidur pulas, atau kalaupun masih ada yang terjaga, mungkin hanya beberapa orang saja. Di sebelah Selatan perkampungan penduduk tampaklah sebuah lembah di kaki bukit-bukit.

Di lembah itu banyak tumbuh pepohonan liar besar dan rimbun. Jarang ada penduduk yang berani mendatangi lembah itu, karena selain hampir tak ada yang bisa diambil dari sana kecuali kayu bakar juga dipercaya penduduk bahwa di situ ada makhluk halus yang suka mengganggu.

Itulah sebabnya sampai saat itu tidak ada persawahan maupun kebun di sana, walaupun tanahnya sebetulnya sangat subur.

Jika siang hari saja penduduk sudah tak berani, malam harinya pun tentu tambah takut lagi. Di tempat itulah dulunya tokoh sesat atau si Nenek Sihir Pendeta Naomi tewas. Itu sebabnya sebagian besar penduduk menduga, roh jahat yang suka mengganggu itu adalah arwah nenek tua itu sendiri.

Akan tetapi sekarang, di tengah malam yang sunyi senyap dan menyeramkan itu, tampak sesosok tubuh melangkah menyusuri lembah. Mungkinkah itu roh halus yang dipercaya penduduk sangat suka menggoda?

Tidak! Dia adalah manusia biasa, seorang laki-laki yang masih tergolong muda. Usianya paling sekitar tigapuluh lima tahun. Tubuhnya yang hanya ditutupi selembar kain penutup aurat itu tampak tidak terlalu gemuk, namun tetap tegar penuh otot, pertanda dirinya memiliki tenaga yang sangat kuat.

Sepasang matanya dengan alis mata tebal dan hitam tampak mencorong tajam di kegelapan malam, tak ubahnya mata seekor kucing, jarang sekali berkedip.

Tulang pipinya menonjol, pertanda bahwa dia yang keras hati dan memiliki sifat kejam. Rambutnya yang keriting dan hitam diikat dengan selembar kain yang diberi beberapa buah perhiasan mutiara hingga tampak berkilauan di timpa sinar rembulan yang redup.

Laki-laki yang tak lain tak bukan adalah Wan-Da-I itu melangkah menghampiri dua kuburan dan setelah dekat, ia segera berlutut memberikan hormat.

Wajahnya yang tadi tampak bengis kini berubah jadi muram, seperti langit yang disapu mendung. Perlahan-lahan meluncurlah kata-kata dari mulutnya yang selama ini lebih banyak terkatup mencerminkan keangkuhan dan kelicikan.

“Aku tahu ayah sangat mencintai ibu. Oleh karena itu aku telah memindahkan kuburanmu ke lembah ini.”

Sejenak putra Maleang Pangaru itu diam sembari menyeka air mata yang menggenangi pelupuk matanya. Kepalanya tertunduk pilu, tetapi kemudian diangkat tegak lurus kembali.

“Memang sebaiknya tempat ayah di sini, daripada harus dikubur dalam makam pengasingan oleh Pampani si keparat itu.”

Lalu wajah itu kembali tampak beringas. Sepasang matanya mendorong, merah bagaikan memancarkan api. Kedua tangannya dibuka lebar-lebar dan diangkat tinggi-tinggi hingga melewati kepalanya.

“Tetapi ayah dan ibu tidak perlu mati penasaran! Masih ada aku anakmu yang akan menuntut balas. Tak seorang pun bisa merenggut nyawaku. Aku bisa hidup seribu kali. Akan kuhancurkan si Pampani keparat itu bersama anak buahnya. Akan kuhancurkan! Itu sumpahku, biarlah arwah ayah dan ibu yang menjadi saksi!”

Kemudian Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak menyeramkan, sehingga bergema ke seluruh lembah itu. Seandainya ada orang lain yang mendengarnya tentu akan mengira suara itu adalah ketawa iblis sehingga akan menggigil ketakutan.

“Ha-ha-ha! Akan kumusnahkan mereka semua!”

Saat itulah si Raja Sihir Womere muncul sambil membawa topeng ikan hiu. Dengan gerakan yang sangat ringan hingga hampir tak menimbulkan suara, ia sudah meloncat dan berada beberapa langkah di belakang Wan-Da-I.

“Ingat, Tuanku! Tuan masih dalam penyamaran. Tuan tampaknya lupa memakai topeng ikan hiu ini untuk mengelabui musuh. Ingat Tuanku! Ini sudah merupakan sebagian dari rencana kita!”

“Oh, kau Womere!”

“Pakailah terus sampai mereka patah semangat karena gentar. Makin sering melihat kau memakai topeng ini, mereka pasti akan percaya bahwa Iblis Pulau Aru dan Pendeta Naomi telah hidup kembali!”

“Terima kasih, Womere! Kau telah mengingatkan aku!” Tanpa banyak bicara lagi, Wan-Da-I segera mengenakan topeng ikan hiu itu.

“Sekarang marilah kita menemui Wori! Pengawal Tuan yang setia itu telah siap menjalankan perintah selanjutnya!”

Wan-Da-I mengangguk-angguk, lalu mengikuti langkah Womere meninggalkan lembah itu. Tampaknya laki-laki itu sangat patuh kepada Womere.

Hal itu tidaklah mengherankan, karena sebetulnya orang yang paling diandalkan dan dipercayainya adalah si Ahli Sihir tersebut. Tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang sejak tadi telah mengintip segala apa yang terjadi di lembah itu.

Mata itu sempat terbelalak saking kaget mendengar kata-kata yang terucap dari bibir Wan-Da-I. Keduanya adalah si Kaki Tunggal dan Bungoru sendiri, ketika hendak pulang tadi merasa curiga mendengar suara langkah di sekitar lembah itu, lalu mengintip dari balik pepohonan.

“Hmhhh! Baru terbuka kedoknya! Maleang Pangaru dan Naomi memang sudah benar-benar mampus,” bisik si Kaki Tunggal.

“Ya, tapi aku heran mengapa Wan-Da-I masih hidup?”

“Mungkin hari itu nyawanya belum mau meninggalkan raga. Sst, Bungoru! Mereka sudah dekat, kita cepat! Siap?”

“Siap!”

Kedua pendekar itu segera meloncat dari tempat persembunyiannya dan langsung menghadang Wan-Da-I dan Womere. Kedua tokoh sesat yang sama sekali tidak menduga hal itu menjadi terkejut dan serentak menghentikan langkah.

“Jangan lari, iblis-iblis tengik! Sekarang kedok kalian sudah terbuka dan karena kalian bermaksud meruntuhkan pemerintahan Pampani, maka malam ini juga kalian berdua harus mampus di tangan kami!” bentak si Kaki Tunggal sambil mengayun-ayunkan tongkatnya, sehingga terdengar menimbulkan angin pukulan yang dahsyat.

“He-he-he! Kalian berdua memang benar-benar iblis yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini,” sambut Bungoru dan sambil mengeluarkan bentakan keras, ia menerjang Womere.

Kedua tangan Bungoru menyambar mencengkeram ke arah leher Womere dan ternyata biarpun bertubuh raksasa, gerakannya sangat cepat, sehingga lawannya tampak tersentak kaget. Womere berusaha menunduk, namun sudah terlambat karena kedua tangan Bungoru telah mencekik lehernya.

“Ekh!” Womere berseru tertahan sambil berusaha melepaskan cekikan lawan. Namun tangan yang mencekik itu seperti jepitan baja saja. Makin ia meronta, jepitan itu terasa makin kuat, sehingga nafasnya terasa hendak putus.

“Hihhh! Enyah kau tukang sihir dari Pulau Kolepom!” bentak Bungoru sambil mendorong tubuh lawan hingga terjatuh. Tubuhnya yang sebesar kerbau itu kemudian menindih Womere sementara cekikan lengannya pun tidak dilepaskan, sehingga membuat lawan tampak semakin tak berdaya.

“Aaaaaak!” Womere menjerit panjang dengan mata mendelik. Kepalanya pun terkulai dan tidak bergerak-gerak lagi.

Nasib si Topeng Ikan Hiu lebih mengerikan lagi. Setelah berhasil mengelakkan sambaran tongkat si Kaki Tunggal, ia terdesak oleh serangan-serangan yang sangat cepat dan kuat serta mengandung maut.

Jurus-jurus ilmu tongkat si Kaki Tunggal memang luar biasa, biarpun kaki kanannya sudah buntung sebatas lutut, namun gerakannya sangat cepat, sehingga tubuhnya tampak hanya bayang-bayang saja. Senjata tongkat di tangannya juga tampak seolah-olah berubah jadi banyak sekali, mengincar tubuh lawan dari segala penjuru.

Agaknya kedua pendekar sahabat Pampani itu sudah menyadari bahwa lawan yang sedang dihadapi memiliki kesaktian yang tinggi, sehingga mereka segera mengeluarkan jurus-jurus maut mereka. Ternyata dalam waktu singkat keduanya segera dapat mendesak lawan.

Belum sampai sepuluh jurus, ujung tongkat si Kaki Tunggal menyambar dahsyat ke arah jantung Wan-Da-I. Begitu cepatnya serangan si Kaki Tunggal, sehingga si Topeng Ikan Hiu itu tampak tidak sempat mengelak lagi. Dan ujung tongkat itu pun menancap di bagian jantung dan tembus sampai ke punggungnya.

Darah segar tersembur disertai jeritan panjang yang terdengar sampai ke segenap penjuru lembah itu. Si Kaki Tunggal menyeringai, tetapi ia tampak belum puas. Dicabutnya tongkat yang tertancap di tubuh lawan dan ditancapkannya lagi ke bagian-bagian tubuh lainnya sampai beberapa kali.

“Orang seperti kau tidak boleh diberi ampun!” bentaknya geram. Lalu setelah tubuh Wan-Da-I tampak sudah tercabik-cabik, si Kaki Tunggal berkata kepada Bungoru.

“Beres, Bungoru! Bagaimana dengan si Tukang Sihir itu!”

Bungoru tertawa kecil dan masih tetap menginjak perut Womere. Ia pun tampak sangat senang dan bangga, karena dalam waktu yang demikian singkatnya dapat membunuh lawan.

“Kepalanya sudah kucopot! Mudah-mudahan tak ada setan gentayangan lagi,” katanya.

Dan memang kepalanya Womere sudah terpisah dari badan, darah segar masih mengucur deras dari leher yang telah buntung itu. Luar biasa kuatnya tenaga laki-laki bertubuh raksasa itu, hanya dengan sekali cekikan sudah dapat memisahkan kepada dari badan.

“Hei, tentu dia akan jadi setan tanpa kepala nanti,” teriak si Kaki Tunggal yang diam-diam merasa agak ngeri juga menyaksikan kesadisan sahabatnya itu.

“Mau jadi setan apa nanti terserah dialah. Sekarang apa yang harus kita lakukan?”

“Sebaiknya kau pulang ke istana membawa bangkai-bangkai ini kepada Pampani dan umumkan bahwa kedua tikus inilah yang selama ini mencoba mengacau. Aku sendiri masih tetap di sini untuk mencari jejak Karta. Siapa tahu dia muncul nanti!”

“Baiklah kalau begitu. Nanti aku akan membantumu mencari sahabat kita itu. Bagaimanapun juga, kita harus menemukannya, hidup atau mati!”

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari atas puncak bukit cadas. Suaranya keras sekali terbahak-bahak, seakan-akan orang itu sedang menyaksikan sesuatu yang sangat lucu.

Akan tetapi si Kaki Tunggal dan Bungoru yang tadi bercakap-cakap di lembah menjadi kaget dan merasakan bulu kuduk mereka meremang mendengar suara ketawa itu bergema ke segala penjuru, sehingga udara di malam hari itu terasa dipenuhi suara ketawa. Hebatnya lagi, suara itu mendatangkan hawa dingin dan menusuk-nusuk, sehingga jantung seakan-akan hendak berhenti berdetak.

Si Kaki Tunggal dan Bungoru saling pandang, seperti dua orang yang baru tersadar dari mimpi buruk. Lalu serentak mereka memandang ke puncak bukit cadas. Nun jauh di puncak itu, di bawah sinar remang-remang rembulan, tampak dua sosok tubuh sedang tertawa yang tak lain tak bukan adalah Wan-Da-I dan Womere sendiri.

“Ha-ha-ha! Kalian benar-benar hebat, sejak tadi bertarung dengan batu-batu cadas. Benar-benar lucu, dua pendekar hebat ternyata hanya berani melawan batu. Luar biasa!” suara dari puncak bukit cadas itu terdengar sangat mengejek, sehingga membuat si Kaki Tunggal dan Bungoru tersentak.

Secara berbarengan mereka melihat ke tanah di hadapan mereka. Tubuh Wan-Da-I maupun Womere yang tadi tergeletak berlumuran darah dalam keadaan tak bernyawa ternyata sudah lenyap. Sebagai gantinya di situ tergeletak atau lebih tepatnya berserakan pecahan-pecahan batu cadas.

Si Kaki Tunggal dan Bungoru boleh merupakan pendekar yang gagah perkasa dan dikagumi banyak orang, bahkan Baureksa sendiri sudah kesohor pula di Pulau Jawa karena kesaktiannya. Namun menghadapi kenyataan seperti itu, tidak urung mereka terkejut juga.

Tadi jelas sekali mereka bertarung dengan Wan-Da-I serta Womere dan dengan mudah dapat melumpuhkan lawan-lawannya. Tetapi sekarang bagaimana bisa terjadi kedua musuh mereka itu sudah lenyap dan bahkan sedang tertawa-tawa atau mentertawakan mereka dari puncak bukit cadas?

Bungoru lebih cepat dapat mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, karena sebagai penduduk pribumi, ia segera bisa mengenali ilmu yang dipergunakan lawan.

“Celaka, ternyata mereka telah menggunakan ilmu sihir yang sangat memuakkan itu. Kurang ajar! Saudara Kaki Tunggal, hati-hati! Itulah ilmu sihir dari Pulau Kolepom.”

“Keparat! Kita serang lagi mereka! Aku tidak takut!” bentak si Kaki Tunggal sambil bersiap-siap menerjang lawan yang kini masih berada di puncak bukit batu cadas.

“Ha-ha-ha!” Womere tertawa lagi, “Kenapa kalian begitu kesal seperti kakek kehilangan tongkat? Hai, Bungoru yang tolol! Sejak kapan kau mimpi bisa mengalahkan aku?”

“Bangsat! Hiyaaaaat!” Bungoru sadar bahwa lawan yang dihadapi kini sangat hebat dan licik. Tetapi bukan Bungoru lagi namanya kalau menghadapi lawan seperti itu sudah gentar.

Sejak masa mudanya, ia sudah terbiasa menghadapi lawan-lawan tangguh bahkan sudah sangat sering bercanda dengan maut. Maka ia pun segera berteriak nyaring seraya meloncat menerjang lawan.

Si Kaki Tunggal pun tidak mau tinggal diam. Ia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi, sehingga tubuhnya melayang bagaikan terbang ke puncak bukit cadas.

Tongkatnya diputar cepat sekali untuk melindungi diri kalau lawan menyerang secara tiba-tiba dan sekaligus mempersiapkan serangan mautnya. Ia sekarang sengaja menerjang Womere si Ahli Sihir yang sangat jahat itu.

Setelah berada dalam jarak jangkauan, si Kaki Tunggal mengayunkan tongkatnya dengan gerakan kilat menyambar leher Womere. Tukang sihir itu berseru kaget, lalu buru-buru menundukkan badan sehingga pukulan lawan tidak mengenai sasaran.

Akan tetapi Womere kemudian dibuat kaget setengah mati, karena ujung tongkat lawan sudah menyambar turun ke arah ubun-ubunnya. Cepat luar biasa gerakan si Kaki Tunggal dan sangat kuat pula, sehingga lawan yang ilmunya biasa-biasa saja tentu akan tewas oleh serangan itu.

“Akh...!” Womere mengeluarkan seruan kaget lalu meloncat mundur. Akan tetapi ujung tongkat lawan seperti mempunyai mata saja, selalu mengikuti dan mengancam dirinya ke sebelah manapun ia mengelak.

Karena puncak bukit cadas itu cukup terjal, akhirnya Womere tidak dapat mundur lagi karena tubuhnya tentu akan menggelinding ke bawah. Tampaknya ia tak menginginkan hal itu, lalu sambil berteriak panjang ia mencelat ke udara dan ketika tubuhnya meluncur turun kedua tangannya memantul ke arah kepala dan ulu hati si Kaki Tunggal.

Serangan si Tukang Sihir itu cukup cepat dan kuat, tetapi si Kaki Tunggal tampak tenang saja, bahkan sempat tersenyum mengejek. Ia sengaja tidak segera mengelak dan barulah ketika tangan lawan hendak menyentuh tubuhnya ia berkelit ke samping. Lalu dengan gerakan kilat ujung tongkatnya menyambar dahsyat ke arah ulu hati Womere.

“Blesss! Augh!”

Tongkat si Kaki Tunggal dengan telak menghunjam di bagian jantung Womere hingga tembus sampai ke punggung, membuat tukang sihir Kolepom itu menjerit kesakitan. Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah dalam keadaan bermandikan darahnya sendiri.

“Mampus kau!” Si Kaki Tunggal memaki geram, mencabut tongkatnya, lalu mengayunkan ke arah leher Womere hingga nyaris putus. Kembali darah segar muncrat membasahi puncak bukit cadas itu.

Begitu pun halnya dengan Bungoru, tanpa perlawanan berarti ia sudah berhasil merobohkan Wan-Da-I. Dan dengan mengerahkan tenaganya yang sangat besar, ia mencabik-cabik tubuh musuhnya itu sehingga terpisah-pisah menjadi beberapa bagian.

Si Kaki Tunggal sudah hendak berbicara menyatakan kegembiraan hatinya karena berhasil membunuh lawannya. Tetapi tiba-tiba keduanya menyadari bahwa pekerjaan mereka kali ini ternyata sia-sia saja seperti yang pertama tadi.

Tubuh Womere dan Wan-Da-I yang tadi terkapar berlumuran darah, kini sudah menghilang entah ke mana dan di tempat itu telah berserakan pecahan-pecahan batu cadas.

“Astaga! Ke mana mereka? Tidak ada bekasnya sama sekali!” kata si Kaki Tunggal setengah berteriak.

“Sial, kita terkena sihir lagi,” gerutu Bungoru geram.

Kembali terdengar suara tertawa terbahak-bahak bergema ke seluruh lembah dan puncak bukit cadas itu. Si Kaki Tunggal dan Bungoru serentak berpaling dan tampaklah oleh keduanya Womere dan Wan-Da-I telah berada di puncak bukit cadas yang satu lagi.

“Itu mereka di sana! Sungguh ilmu iblis yang terlalu sukar dikalahkan,” kata Bungoru yang tampak mulai cemas tidak akan dapat mengatasi ilmu sihir lawan.

“Jangan putus asa, Bungoru! Ingat, segala yang batil di atas bumi ini pasti dapat dimusnahkan. Mereka toh adalah manusia biasa, seperti kita juga. Mereka tidak akan luput atau bisa melepaskan diri dari ajal,” kata si Kaki Tunggal sambil mempersiapkan tongkatnya kembali.

“Apa yang akan kau lakukan, saudara Kaki Tunggal?”

Si Kaki Tunggal melirik ke arah jurang yang ada di hadapannya, merupakan pemisah bukit cadas tempatnya berdiri dengan bukit tempat Womere dan Wan-Da-I. Jurang itu tidak terlalu lebar, tetapi kelihatannya cukup dalam. Sekali loncat saja, orang yang ilmunya tidak terlalu tinggi tentu akan dapat melewati jurang itu, apalagi pendekar seperti si Kaki Tunggal.

“Tenanglah, Bungoru! Aku akan meloncati jurang yang pendek ini, kemudian akan menyerang mereka secara mendadak. Aku sudah mempersiapkan jurus mautku untuk menghajar mereka sekali gebrakan!”

“Tunggu, saudara Kaki Tunggal!” kata Bungoru sambil menarik tangan Baureksa, “Jangan kau lakukan itu! Ini pasti tipuan muslihat sihir lagi. Jangan kau lakukan!”

“Tidak, Bungoru! Aku percaya akan penglihatanku sendiri. Akan kuhajar mereka sampai mampus. Hiyaaat!” Si Kaki Tunggal berteriak nyaring dan bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat bagaikan terbang ke bukit cadas tempat Womere dan Wan-Da-I berdiri sambil tertawa mengejek.

Tongkat di tangan Kaki Tunggal diayunkan dengan gerakan kilat menyambar dahsyat ke arah Womere dan Wan-Da-I. Inilah jurus maut yang merupakan salah satu inti ilmu silat tongkat si Kaki Tunggal.

Keistimewaan jurus itu selain cepat dan kuat, juga memiliki perkembangan yang sangat tidak terduga-duga dan dapat dilakukan secara beruntun, sehingga dalam waktu yang hampir bersamaan dapat memukul roboh dua orang lawan sekaligus.

“Wuuuuut!” Tongkat itu terus menyambar ke arah lawan.

Namun tiba-tiba si Kaki Tunggal tersentak kaget karena tiba-tiba tubuh kedua lawannya sudah lenyap, sehingga tongkatnya hanya memukul angin. Dan lebih kaget lagi dia ketika hendak menginjakkan kakinya di bukit cadas itu, ternyata juga sudah lenyap. Tanpa ampun lagi, tubuh si Kaki Tunggal terhempas jatuh ke dalam jurang.

Tepat seperti yang dikatakan Bungoru tadi, pemandangan yang ada di hadapan mereka hanyalah permainan ilmu sihir lawan, di mana mereka seolah-olah melihat kedua lawan sedang berdiri di atas bukit cadas, padahal sebenarnya bukit itu tidak ada.

“Aaaaaa!” Si Kaki Tunggal menjerit panjang ketika menyadari bahwa tubuhnya sudah terhempas jatuh ke jurang di bawah bukit cadas.

Ia berusaha mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dengan maksud kalau terhempas nanti tidak akan terlalu kuat. Beruntung sekali dia, karena tubuhnya terhempas tepat ke dasar jurang yang tanahnya merupakan rawa-rawa berlumpur.

Si Kaki Tunggal menjerit, kaget dan girang. Tak disangka dalam keadaan seperti itu dia masih dapat selamat. Ia tidak menderita luka-luka, selain kulit pinggangnya yang terasa agak nyeri karena terbentur lumpur rawa-rawa.

Bagi pendekar sakti seperti dia rasa sakit seperti itu tentu tidak ada artinya. Ia segera berusaha melangkah ke luar dari rawa-rawa itu, akan tetapi, ia kembali berseru kaget manakala menyadari semakin banyak bergerak tubuhnya semakin terseret dan terbenam dalam pasir berlumpur.

Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal bergerak dan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Namun tetap seperti tadi, setiap menggerakkan tubuhnya, ia semakin tenggelam hingga sekarang pasir berlumpur sudah sampai ke batas lehernya.

“Saudara Kaki Tunggal, jangan bergerak! Pasir berlumpur itu akan semakin menelan tubuhmu bila bergerak. Tenanglah!” teriak Bungoru sambil meluncur turun dari atas puncak bukit.

Ia bagaikan pemain ski es saja, meluncur di atas kedua tumit kakinya dengan sangat mengagumkan. Dalam waktu singkat saja, ia sudah berada di tepi rawa-rawa maut itu.

Pada saat itu, dari puncak tebing di sebelah sana terdengar lagi suara tertawa bersorak-sorak mengejek. Siapa lagi kalau bukan si Tukang Sihir Womere dan Wan-Da-I. Mereka geli menyaksikan si Kaki Tunggal mengulurkan tongkatnya kepada Bungoru.

“Sedikit lagi, belum sampai saudara Kaki Tunggal. Perlahan-lahan, jangan sampai membuat gerakan mengejutkan. Ulur lagi........” kata Bungoru.