memimpikan hidup berpasangan dan
berumah tangga. Karena kesu-
ciannya telah hancur. Baginya
asalkan dapat membalas hutang pati
kepada pembunuh orang tuanya,
dia telah puas! Mungkin juga dia
yang akan terkapar mati ditangan
Ki Sabda Tama. Karena menurut
gurunya manusia itu berilmu amat
tinggi.
Seperti diceritakan dibagian
depan, Mayana menetap tiga hari
dipuncak bukit. Rajabasah.
Selama itu dia terpaksa melayani nafsu
sang guru demi imbalan atas
jerih payah sang guru mendidiknya.
Dan setelah apa yang diinginkan
gurunya dipenuhi, dia men-
dapat tahu siapa orang yang
telah membunuh kedua orang tuanya
itu. Mayana tak menjumpai adanya
Gajah Lor dipondok puncak bu-
kit Rajabasah. Tak diketahuinya
pergi kemana sang guru itu. Tapi
diatas meja kamarnya Mayana
mendapatkan sepucuk surat yang
isinya mengatakan siapa
sebenarnya pembunuh kedua orang tuanya.
Ternyata adalah Ki Sabda Tama
adanya. Disamping terheran, na-
mun dia juga bergirang hati
karena telah mengetahui siapa musuh
besarnya.
Sang nasib ternyata telah
membawa dia hingga tiba ke wilayah
ini, walaupun dia tak mengetahui
dimana adanya Ki Sabda Tama
berada. Mayana yang bernasib
baik berjumpa dengan seorang kakek
tua pertapa ketika dia melewati
sebuah hutan. Ketika dia mencium
bau asap setanggi. Asap harum
itu dicari dari mana asalnya. Ter-
nyata berasal dari dalam sebuah
goa disisi bukit.
Kakek pertama penghuni goa itu mempersilahkan
dia masuk.
Mayana menceritakan maksudnya.
Ternyata kakek itu mengetahui
dimana adanya Ki Sabda Tama. Dia
menyuruh dia menuju ke arah
tenggara untuk mencari sebuah
bukit bernama bukit ALAS WUKU,
dengan memberikan ciri-ciri
bukit itu. Sayang dia tak sempat meli-
hat wajah kakek pertapa itu yang bicara sambil
membelakangi.
Bahkan kakek itu tak
memberitahukan namanya.
Mayana meminta diri. Walau
hatinya agak ragu, terpaksa dia
harus pergi mencari bukit Alas
Wuku, karena tak tahu lagi kemana
dia harus mencari musuh besarnya
itu. Demikianlah, hingga Maya-
na tiba diwilayah ini.
Mayana mulai bergerak
menyelusuri sekitar bukit, sebelum
naik kepuncaknya. Didapati
sebuah goa di bawah bukit. Tersentak
hati dara ini.
Tak ayal dara ini segera hunus
pedangnya.
"Hm, apakah manusia jahanam
itu bersembunyi disini?" de-
sisnya. Akan tetapi bukan main
terkejutnya dia ketika didapati si
kakek pertapa yang dijumpainya
itu telah berada didalam goa itu.
Kakek itu duduk disudut ruangan
goa dengan membelakan-
ginya, seperti dijumpai pada dua
pekan yang lalu didalam hutan pa-
da sebuah goa.
"Kakek pertapa? Apakah
maksudmu sebenarnya? Katakanlah
siapa kau ini sebenarnya?
Mengapa kau berada disini mendahului-
ku?" berkata Mayana.
"Hehehe... gadis muda yang
gagah berani.
Akulah sebenarnya Ki SABDA TAMA
orang yang kau cari
itu!"
Kalau ada petir mungkin tak
membuat seterkejut Mayana pada
saat itu. Tersentak dia dengan
melompat mundur. Wajahnya beru-
bah tegang. Napasnya menderu,
Dan lengannya bergetar memegang
pedang.
"Betulkah kau Ki Sabda
Tama?" bentaknya ingin meyakinkan.
"Hehehe... mengapa aku
harus berdusta? Bukankah kau mau
membunuhku? Nah! bunuhlah aku si
pembunuh kedua orang tuamu
ini!" seraya berkata kakek
pertapa misterius itu balikkan tubuhnya.
Terperanjat dara ini ketika
melihat siapa adanya kakek pertapa itu.
Yang tak lain dari GAJAH LOR
adanya.
"Guru...? kau...
kau..." tergegap Mayana menatap dengan mata
membelalak.
"Benar! aku gurumu
sendiri!"
"Tak mungkin! apakah kau
berkata sebenarnya, guru? ataukah
kau sengaja mau mengecoh
aku?" tergetar suara dara ini dengan
melangkah mundur beberapa
tindak.
"Apa yang aku katakan tidak
dusta! Pada enam belas tahun
yang lalu aku membunuh kedua
orang tuamu karena dendam. Ibu-
mu adalah istriku. Dan ayahmu
adalah kakak kandungku sendiri!
Dia bernama WESI GENI.
Wesi Geni telah melarikan diri
dengan merebut istriku. Berta-
hun-tahun aku mencari. Dan di
saat aku hampir putus asa tak men-
jumpai dimana adanya Wesi Geni
yang kucari hampir 10 tahun tak
pernah kujumpai, aku berhasil
menemukan mereka. Saat itu hasil
hubungan Wesi Geni dengan
istriku telah membuahkan anak, yaitu
kau sendiri. Aku tak dapat
menahan rasa cemburu dan dendam yang
telah terpendam selama sepuluh
tahun itu. Terjadilah kisah yang
membawa malapetaka dari
keluargamu. Wesi Geni kubunuh mati.
Demikian juga ibumu!"
"Oh...!?" tersentak
kaget Mayana. Jantungnya berguncang ke-
ras. Tubuhnya menggeletar
menahan 1001 macam perasaan yang
berkecamuk didada. Mayana
menatap tajam wajah Gajah Lor. Dili-
hatnya setitik air bening
mengalir turun dari kelopak mata laki-laki
tua itu. Laki-laki yang telah
menodainya. Laki-laki yang telah men-
jadi gurunya sendiri.
Terdengar suara laki-laki tua
itu menghela napas. Lalu lan-
jutkan kata-katanya. "Apa
yang kukatakan adalah cerita yang sebe-
narnya, Mayana! Selama ini aku
merasa berdosa karena menyem-
bunyikan rahasia ini terhadapmu.
Sebelum kau membunuhku baik-
nya ku ceritakan riwayat belasan
tahun yang silam mengenai diri-
ku!" Laki-laki ini
tercenung sejenak seperti tengah mengumpulkan
ingatannya. Tak lama dia mulai
bicara lagi.
"Dulu, pada masa aku masih
menjadi seorang Adipati. Aku
hidup berkecukupan dan boleh
dikatakan mewah. Dengan kekua-
saan yang cukup besar.
Aku jatuh cinta pada Indreswari
putri seorang Tumenggung.
Tumenggung itu adalah masih
paman angkatku sendiri. Tak dinya-
na kakakku Wesi Geni diam-diam
juga mencintai gadis itu. Dan
bahkan mereka diam-diam telah
saling jatuh cinta. Hal itu kuketa-
hui setelah kami menikah. Peduli
dengan semua itu. Cintaku pada
Indreswari amat besar. Dan kami
telah menikah. Terpaksa aku
mengesampingkan kisah cinta
mereka. Toh, gadis itu sudah jadi is-
triku! Dua tahun kami menikah,
ternyata tak dikaruniai seorang
anakpun. Hingga suatu ketika aku
ditugaskan Ratu untuk membuat
kitab susunan tata kerajaan. Aku
yang memerlukan tempat sunyi
segera meninggalkan gedung
Kedipatian, setelah meminta izin pada
Ratu.
Aku berjanji pada istriku akan
pulang sebulan kemudian. Tapi
ketika aku kembali, ternyata
Indreswari telah minggat bersama We-
si Geni. Betapa gusarnya aku,
sukar dapat dikatakan lagi. Tanpa
permisi dan masih membawa kitab
tata kerajaan, aku pergi mencari
dimana adanya mereka. Aku tak
pernah kembali ke Kota Raja.
Hingga kemudian aku berhasil
menemui mereka, dan membunuh-
nya. Lalu aku bersembunyi
dipuncak bukit Raja basah dengan
membawa kau. Dan mendidikmu
dengan ilmu-ilmu kedigjayaan!
Nah, kukira cukuplah sudah
penjelasanmu, Mayana! Apakah kau
masih ragu kalau aku ini si
pembunuh ayah ibumu?"
***
SEMBILAN
Mayana tercenung lama. Lama...
tak tahu dia apa yang harus
diperbuat. Hubungan antara guru
dan murid selama ini amat akrab.
Bahkan telah berlanjut dengan
hubungan badan. Ada rasa kasihan
pada Gajah Lor. Bila menilai
akan cerita sang guru, dia tak dapat
disalahkan. Siapa yang tak sakit
hati istrinya dibawa lari orang. Wa-
lau yang membawa lari adalah
kakak kandungnya sendiri?
Bila mengingat hubungan
keluarga, Gajah Lor adalah masih
pamannya sendiri. Tegakah dia
membunuh orang tua itu? Yang te-
lah mendidiknya selama ini?
Kemelut dihati Mayana seperti sukar
dipecahkan.
Tapi bila mengingat akan
kesuciannya yang telah dirusak oleh
sang paman, betapa sakitnya
hatinya. Gadis ini gigit bibirnya mena-
han perasaan yang menggebu dalam
dada. Sementara Gajah Lor ti-
ba-tiba terdengar batuk-batuk,
lalu berkata parau.
"Mayana! tunggu apa lagikah
kau? Ayo! tusukkan pedangmu
kejantungku! Bukankah selama
sepuluh tahun kau cuma menanti-
kan saat ini?" Gajah Lor
gerakkan tangannya merobek jubahnya
hingga dadanya terbuka.
"Ayo, Mayana! mengapa kau
ragu?" berkata lagi Gajah Lor.
"Aku rela mati ditanganmu,
walau... walaupun aku sudah terlanjur
mencintaimu!" Kata-kata
laki-laki tua ini membuat dara ini paling-
kan wajahnya, yang tiba-tiba
terasa panas.
"Mencintaiku?"
bentaknya menggeledek. Mata dara ini mem-
binar dan berkaca-kaca.
"Heh! kau tak lebih dari manusia binatang!
Kalau kau mau menolong orang
mengapa mengharapkan imbalan?
Mengapa kau baru berterus terang
setelah kau menodaiku?" terisak
Mayana dengan air mata mengalir
di pipinya.
Gajah Lor tertawa terkekeh, dan
kembali dia batuk-batuk.
"Semua itu sebenarnya atas dasar
sakit hati, muridku! Akan te-
tapi aku tak dapat menolak
kenyataan, kalau aku ternyata mencin-
taimu. Aku puas telah dapatkan
kehangatan tubuhmu. Biarlah aku
mati dengan menanggung dosa. Ya,
aku telah banyak berbuat dosa.
Aku membunuh kakak kandungku
sendiri yang tak bersalah!" ber-
kata Gajah Lor. Kata-kata ini
membuat Mayana tersentak untuk
mendengar apa yang akan
diutarakan Gajah Lor.
"Ya! ayahmu tak bersalah!
Yang salah adalah aku!" Gajah lor
yang tadinya akan menceritakan
rahasia lebih lanjut kembali terba-
tuk-batuk. Tiba-tiba dia
muntahkan darah kental berkali-kali.
"Ah, guru! kau... kau
terluka dalam?" tersentak kaget Mayana.
"Heheheh... benar, muridku!
Tapi tak apa. Toh aku akan mati
ditanganmu. Aku mati sebagai
penebus atas dosaku!" berkata parau
Gajah Lor alias Ki Sabda Tama.
"Tidak, guru! Aku takkan
membunuhmu! kau harus cepat dio-
bati. Akan tetapi Gajah Lor tak
menyahut. Dia telah terkulai tak sa-
darkan diri. Gadis ini jadi
kebingungan. Di serba salah untuk ber-
tindak. Ingin dia menolong, tapi
di lain saat hatinya mendadak men-
jadi membencinya. Dan akan
membunuhnya saja. Tapi mengingat
dia perlu tahu rahasia apa yang
akan dikatakan sang guru itu, dia
harus menyelamatkan jiwanya.
Demikianlah. Mayana segera totok
beberapa bagian jalan darah sang
guru. Lalu gunakan tenaga da-
lamnya untuk melancarkan
pernapasan Gajah Lor. Saat berikutnya
dia sudah berlari keluar goa. Di
carinya beberapa jenis tumbuhan
obat. Kemudian dengan ramuan
yang telah dipelajari dia berusaha
mengeluarkan racun yang
mengendap ditubuh Gajah Lor.
Nyatalah Gajah Lor telah terkena
pukulan beracun. Siapa
adanya orang yang melukai
gurunya itu tidaklah Mayana mengeta-
hui. Usaha Mayana untuk
menyelamatkan nyawa sang guru ternyata
membawa hasil. Dua hari dalam
rawatan Mayana, Gajah Lor me-
nampakkan kepulihan
kesehatannya. Hingga suatu hari...
"Mayana, muridku...! Ah,
mengapa kau bersusah payah meno-
longku?" berkata Gajah Lor
dengan menatap muridnya.
"Tak usah kau berkata
begitu, guru?" Katakanlah siapa yang
telah melukaimu?" Mayana
tersenyum menatap pada Gajah Lor.
Girang hatinya melihat kesehatan
Gajah Lor berangsur membaik.
Laki-laki tua yang masih
bertubuh tegap itu menatap murid-
nya dengan trenyuh. Hatinya
seperti disayat melihat gadis itu begitu
amat memperhatikan dirinya. Dua
sinar mata kembali beradu tatap.
Aneh! Mayana merasakan
jantungnya berdetak cepat. Dan satu pe-
rasaan aneh menelusuri
sanubarinya. Entah mengapa dia amat
mengharapkan Gajah Lor tetap
hidup.
Dan ada rasa tenteram bila dia
bersamanya.
Tidak saja seperti dia bersama
orang tuanya sendiri, tapi bah-
kan lebih dari itu. Cepat-cepat
Mayana menunduk ketika merasa
wajahnya menjadi panas. Dan
hatinya tergetar dengan 1001 macam
perasaan.
"Kelak akan kuceritakan
bila aku sudah sehat betul, muridku.
Dan terima kasih atas kebaikan
hatimu..." berkata lirih Gajah Lor.
Mayana cuma
bisa mengangguk, lalu beranjak pergi dengan
hati tak menentu. Sementara
Gajah Lor memandangnya seperti ter-
tegun hingga tubuh gadis itu
lenyap dibalik pintu goa.
***
Apapun didunia ini bisa saja
terjadi. Dan apa yang terjadi su-
dah menjadi jalan hidup manusia.
Demikian pula dengan kedua
manusia didalam goa itu.
Hubungan dan benih cinta yang terkan-
dung didalam hati dari dua
manusia berlainan jenis yang jauh per-
bedaan usianya, kembali
berlanjut... Mayana tak kuasa menolak
tatkala laki-laki tua itu meminta untuk melayaninya.
Sang dara kembali tenggelam
dalam nikmatnya cinta. Tengge-
lam dalam nikmatnya sesuatu yang
pernah dia rasakan.
"Mayana... aku... aku amat
mencintaimu..."
"Guru... ah, guru..."
mendesah dara ini dalam dekapan tubuh
laki-laki kekar itu. Laki-laki
yang telah memberikan sejuta kenik-
matan untuknya hingga dia lupa
segala-galanya. Menggelinjang tu-
buh sang dara dalam alunan ombak
bahtera disamudra luas yang tak
berujung. Desah dan rintih
menjadi satu memenuhi ruangan goa itu.
Sementara diluar goa angin
pegunungan bertiup kencang.
Awan hitam berarak dilangit.
Hawa dingin menebar kesetiap pelo-
sok. Dan dengan di dahului
oleh gelegarnya petir diangkasa, hu-
janpun turun dengan lebatnya.
Bumipun seketika basah oleh air hu-
jan....
***
SEPULUH
WICAKSA alias si Dedemit Mata
Picak penghuni kali Teng-
korak Darah itu tergesa-gesa
menguburkan jenazah Wewe Gombel
Setan Genit, dengan bulu tengkuk
meremang.
Selesai menimbun lubang dengan
tanah, Wicaksa menengok
kekiri kanan. Seperti
mencari-cari ujud dan suara si Wewe Gombel
Setan Genit. Ditunggunya beberapa
saat. Tapi tak ada lagi suara ter-
tawa yang menyeramkan dan tiupan
yang menghembusi daun telin-
ganya.
"Apakah arwah si Wewe
Gombel telah sempurna setelah ku-
kuburkan mayatnya?" gumam
Wicaksa.
"Eeeh! apa katamu, setan
tua? kau harus laksanakan tugas ke-
duamu mencari si Cakra Murti
untuk membalas kematianku! hihi...
hihik... apakah kau mau pungkiri
janjimu?" Suara Wewe Gombel
Setan Genit tiba-tiba terdengar
mendesing nyaring didaun telinga.
Tak ampun kakek ini melompat
kaget. Seketika keringat dingin me-
rembes dikuduknya.
"Ah!?... bbaft... bab...
baik! baik! aku akan mengerjakan perin-
tahmu! Tapi... tapi katakan
kemana aku harus mencarinya?"
"Goblok! kau cari ke arah
Kota Raja!"
"Ha? ke Kota Raja?"
tersentak Wicaksa.
"Behar! apakah kau tak tahu
kalau dia sebenarnya seorang
Adipati?"
"Ya.. ya... eh, dia seorang
Adipati?"
"Betul! dialah Adipati
Wukir Kamandaka!"
"Hah!?" jadi... jadi
si Cakra Murti itu Adipati Wukir Kaman-
daka?"
"Iya, goblok! Hayo, cepat
berangkat mencarinya!" membentak
suara arwah Wewe Gombel Setan
Genit. Tahu-tahu Wicaksa menje-
rit kaget karena merasa
pantatnya ditendang. Tak ampun dia jatuh
ngusruk ketanah.
"Waaa..!? jangan main kasar
kau arwah Wewe Gombel.
Aduuh, pantatku sampai nyeri
begini...!" memaki Wicaksa.
"He? kau berani membantah?
mau ku tendang atau tidak itu
kemauan ku! Kalau kau tak cepat
berangkat. Awas! Sekali kujilat
lehermu, kau akan mati hangus seketika!" Arwah Wewe Gombel
justru lebih galak lagi.
Seketika pucatlah wajah Wicaksa. Dengan
gemetar dia berkata.
"Baik! baik! Wewe Gombel
Setan Genit! aku turut perintah-
mu!"
"Nah, begitu! segera
berangkat ke arah timur!" perintah si ar-
wah Wewe Gombel Setan Genit. Tak
ayal lagi setelah melihat arah
matahari yang condong ke arah
barat, Wicaksa berkelebat cepat
menuju ke arah timur, dengan
tengkuk semakin meremang. Diam-
diam dia mengeluh karena seumur
hidupnya barulah dia diperalat
oleh setan!
Kalau saja Wicaksa dapat
mempergunakan mata batinnya
dengan baik, tentulah dia dapat
melihat siapa orang yang memerin-
tah itu. Karena tak lain dari
seorang wanita berpakaian dari kulit
macan tutul. Siapa lagi kalau
bukan RORO CENTIL adanya. Gadis
pendekar Pantai Selatan ini
sambil berkelebat mengikuti Wicaksa
diam-diam tersenyum, karena
berhasil mengakali Wicaksa si peng-
huni Kuil Tengkorak Darah.
"Hihihi... manusia sinting
semacammu yang membunuhi
orang seenaknya saja sebelum
kutamatkan riwayatnya, ada baiknya
kutipu dia agar ke Kota Raja.
Agar diketahui oleh pihak Kerajaan
yang selama
ini lengah membiarkan manusia iblis ini berbuat se-
maunya!" menggumam Roro,
Tapi diam-diam dalam hati dia mem-
batin.
"Oh, ya? Ada permusuhan
apakah dia denganku? Baru kuingat
kalau pembunuhan atas
orang-orang desa yang mayatnya disebar-
kan disekitar Kuil Tengkorak
Darah adalah kudengar untuk men-
gundang munculnya aku?"
Roro baru sadar kalau Wicaksa mencari
dirinya. Hal itu diketahui dari
hasil mendengar pembicaraan si
Wewe Gombel
Setan Genii dengan Wicaksa, juga pembicaraan
dengan Cakra Murti.
Bagaimana Roro secara tiba-tiba
berada di tempat itu, dan
berhasil menakut-nakuti Wicaksa
serta mengetahui siapa adanya
Cakra Murti? Marilah kita
menengok ke belakang pada beberapa
waktu belakangan ini..
Perbuatan biadab Wicaksa yang
sengaja mengundang maut itu
telah terdengar oleh Roro,
ketika dia singgah disebuah desa.
Adanya penghuni kuil Tengkorak
darah yang tadinya bekas kuil pe-
ninggalan seorang Brahmana.
Brahmana itu bernama YOGA
SWARA yang tinggal bersama
murid-muridnya dikuil tersebut. Ro-
ro berjumpa dengan salah seorang
murid Brahmnana Yoga Swara
yang berhasil menyelamatkan diri
dari kematian.
Dia menceritakan kemunculan
seorang kakek bertampang se-
ram yang menamakan dirinya si
Dedemit Mata Picak mengacau
kuil mereka dibukit Lembayung.
Saat itu guru mereka Brahmana
Yoga Swara sedang tak berada
dikuil. Si Dedemit Mata Picak itu
bertujuan mau merebut Kuil untuk
tempat tinggalnya. Tentu saja
para murid sang Brahmana
mempertahankan. Namun mereka cuma
mengantar kematian. Pemuda
bernama Poma Jatu berhasil menye-
lamatkan jiwanya dengan
melarikan diri memasuki desa.
Akan tetapi Wicaksa setelah
beberapa hari bercokol dikuil
puncak Lembayung mulai menyebar
maut membunuhi orang-orang
desa. Dan mayatnya dibawa
kekuil. Dalam waktu beberapa bulan
saja kuil Brahmana Yoga Swara
telah penuh dengan mayat yang
membusuk bertimbun. Menimbulkan
bau busuk yang menebar dan
mengembara ke sekitarnya.
Beberapa orang kaum pendengar yang
coba mendatangi puncak bukit
Lembayung untuk menumpas manu-
sia iblis gila itu ternyata cuma
pulang nama saja. Demikianlah,
hingga kuil itu terkenal dengan
nama Kuil Tengkorak Darah.
Roro ucapkan terima kasih pada
Poma Jatu yang telah bebera-
pa kali pindah ke lain desa itu
hingga berjumpa dengan Roro. De-
mikianlah, ketika Roro Centil mendatangi Kuil Tengkorak
Darah,
Roro menjumpai Wicaksa yang baru
saja kedatangan Wewe Gom-
bel Setan Genit. Roro yang mempergunakan
ajian Halimunan, tak
diketahui kedatangannya oleh
kedua tokoh golongan sesat itu. De-
mikianlah, hingga Roro menguntit
mereka hingga tiba di wilayah
tempat tinggal Cakra Murti yang
menempati sebuah gedung tua di-
tepi danau.
Bagaimana Roro dapat mengetahui
siapa sebenarnya Cakra
Murti? Itulah memang perjalanan
yang tengah ditujunya. Roro me-
mang telah melacak jejak Cakra
Murti yang telah diketahuinya ada-
lah seorang Adipati yang bernama
Wukir Kamandaka. Dengan tu-
gas mencari Ki Sabda Tama untuk
mengambil kitab ditangan bekas
Adipati itu.
Diketahuinya Cakra Murti adalah
Wukir Kamandaka adalah
Cakra Murti adalah karena
keteledoran Cakra Murti sendiri. Wukir
Kamandaka dalam usaha pencarian
jejak Ki Sabda Tama telah ber-
gabung dengan kelompok-kelompok
kaum Rimba Hijau golongan
hitam. Bahkan tingkah lakunya
mengikuti jejak kaum golongan hi-
tam. Tentu saja dia tak luput
dari perbagai kejahatan yang dilakukan
orang-orang golongan sesat itu.
Seperti dalam melakukan perampo-
kan, pembegalan, pemerkosaan
yang sudah dianggap biasa oleh
Wukir Kamandaka.
Bahkan kaum penjahat itu merasa
terlindung dengan adanya
Wukir Kamandaka berada diantara
mereka. Roro Centil yang sejak
pelacakan selalu menggunakan aji
Halimunan, hingga tubuhnya tak
menampakkan diri dalam pandangan
mata biasa, terus melakukan
penguntitan pada Wukir Kamandaka
yang telah menyamar dengan
nama CAKRA MURTI, Wukir
Kamandaka memang pandai dalam
hal menyulap diri. Dengan
menambah kumis dan jenggot palsu pa-
da wajahnya, serta merobah
dandanannya akan sukar dikenali lagi
kalau sebenarnya dia adalah
Adipati Wukir Kamandaka.
Roro yang telah tahu dimana
tempat tinggal sementara Cakra
Murti, telah tahu banyak tentang
hubungan Cakra Murti dengan
Wewe Gombel Setan Genit si
wanita cabul itu. Demikianlah, hing-
ga ketika terjadi pembunuhan
yang dilakukan Cakra Murti pada
Wewe Gombel Setan Genit yang
dianggap sudah tak berguna lagi,
semua itu tak luput dari mata
Roro. Hingga kemudian dia mengaka-
li WICAKSA dan menakut-nakutinya
dengan menirukan suara
Wewe Gombel Setan Genit. Dan
memaksa kakek muka seram itu
untuk mengejar Cakra Murti alias
Adipati Wukir Kamandaka ke
Kota Raja.
***
SEBELAS
CAKRA MURTI percepat larinya
agar cepat tiba ditempat tu-
juan. Ternyata dia tak langsung
ke Kota Raja. Akan tetapi membe-
lok kearah selatan. Melewati
sebuah bukit, dia tiba disatu pedesaan.
Sementara Wicaksa terus menuju
kearah Kota Raja. Kakek
tampang seram ini setiap saat
selalu menggerutu dalam hati, karena
merasa kesal harus diperbudak
oleh "arwah" Wewe Gombel Setan
Genit. Akan tetapi dia tak dapat
berbuat apa-apa selain memperce-
pat larinya menuruti perintah
dari suara yang selalu mendesing dite-
linganya.
Semalaman menempuh perjalanan,
Wicaksa telah tiba dibatas
wilayah Kota Raja. Hari sudah
menjelang pagi. Roro yang akan me-
lihat situasi digedung
Kedipatian, segera menahan langkah Wicak-
sa. "Hm, berhenti dulu,
Wicaksa!"
"Huh! kebetulan! aku sudah
capek sekali. Berilah aku waktu
beristirahat sampai siang nanti,
Wewe Gombel..." keluh Wicaksa
yang segera merandek menahan
langkah.
"Hihihi... baik! kau
beristirahatlah, sepuas mu. Tapi bila mata-
hari sudah sepenggalah, kau
harus segera cari gedung Kedipatian
diwilayah Kota Raja ini!"
"He? kita sudah
sampai?" tanya Wicaksa terkejut, tapi juga gi-
rang.
"Ya! Ini sudah perbatasan
wilayah Kota Raja!" ujar Roro.
"Hehehe... baik! baik,
jangan khawatir! Siang nanti aku akan
satroni gedung si Adipati gila
itu untuk kukirim nyawanya ke Akhi-
rat!"
"Bagus! Nah! silahkan kau
beristirahat!" ujar Roro. Diam-
diam dia tersenyum melihat kakek muka seram itu yang tampak
amat kegirangan sekali. Selesai
berkata, Roro berkelebat pergi me-
ninggalkan Wicaksa.
Dengan tetap menggunakan aji
Halimunan, Roro melesat kea-
rah Kota Raja....
Ternyata Cakra Murti menuju
kesebuah rumah paling besar
yang berada ditengah desa. Pagi
dinihari itu suasana disekitar desa
masih nampak sepi. Sejenak Cakra
Murti menatap ke pintu depan
rumah besar itu. Tapi dia tak
menuju kesana. Melainkan melangkah
ke arah sisi rumah besar itu.
Matanya tertuju pada sebuah jendela
yang tertutup rapat."
Ketika lengannya bergerak
mengetuk pelahan, dari dalam ka-
mar segera terdengar
suara...
"Siapa ...?"
"Ehm, aku yang datang,
sayang ..." menyambut sang Adipati.
Terdengar olehnya suara orang
bangun dari tempat tidur. Lalu suara
kaki pelahan melangkah mendekati
jendela. Ternyata dalam kamar
itu diisi oleh seorang gadis.
Dengan pakaian tidur yang lusuh, serta
mata yang masih mengantuk, dia
membuka jendela. Sementara hati
gadis ini sudah berdebar karena
mendengar suara lirih yang tak as-
ing lagi baginya. Suara yang
amat dikenal betul, yaitu suara sang
kekasih yang dirinduinya.
"Ah, ka... kakang..."
desisnya membelalak girang. Tapi...
"Sssst!" Cakra Murti
telah membekap mulut gadis ini, ketika
dengan gerak cepat dia melompat
masuk melalui jendela. Sesaat la-
ki-laki ini telah melepaskan
lengannya lagi. Bibirnya sunggingkan
senyuman.
"Ginarti, kau baik-baik
saja?" ucapnya lirih. Wajah Cakra
Murti tampak berseri-seri. Dan
gadis mengangguk terpana. Gerakan
melompat Cakra Murti membuat dia
kagum. "Sukurlah..." ucap Ca-
kra Murti, seraya menutup lagi
daun jendela yang terbuka. Lengan-
nya bergerak merangkul pinggang
gadis cantik putri kepala desa itu,
lalu bagaikan seorang yang lapar
melihat makanan laki-laki itu
memeluk dan menciumi gadis itu
bertubi-tubi.
"Ahh... engg... nanti dulu,
kakang. Aku... aku belum mandi..."
ucap lirih Ginarti yang
menepiskan wajah Cakra Murti dengan na-
pas tersengal.
"Hm, tak perlu, sayangku...
Tak mandipun" tubuh dan mulut-
mu wangi. Dan kau... amat cantik
sekali dalam keadaan bangun ti-
dur begini!" desis Cakra
Murti tertawa. Tubuh gadis ini kembali
menggelinjang ketika Cakra Murti
memeluknya, merengkuhnya,
dan kemudian menariknya keatas
tempat tidur.
"Tunggu dulu...!"
berkata lirih Ginarti ke tika lengan Cakra
Murti bergerak melepaskan baju
tidur bagian atas. Namun toh su-
dah membuat tersembulnya dua
buah bukit kembar miliknya.
"Apa yang akan kau katakan,
sayangku?" desis Cakra Murti.
Tapi lengannya tak berhenti
untuk segera meremas kedua buah
benda kenyal itu dengan napas
yang semakin memburu.
"Ahh... kakang, mengapa kau
tak bisa sabar sebentar?" Terpe-
jam-pejam mata gadis ini, tapi
segera dia mendorong tubuh laki-laki
itu.
"Hm baiklah! katakanlah,
apa yang mau kau katakan?" tanya
Cakra Murti. Ginarti cepat-cepat
tutupi kedua buah dadanya.
"Apakah kau telah berhasil
mendapatkan kitab ditangan Ki
Sabda Tama yang berisi ilmu Tata
Kerajaan itu?" tanya Ginarti.
"Aha, kalau itu yang kau
tanyakan, semuanya sudah beres!
Kau tak usah khawatir. Dalam
waktu tak lama lagi kau akan meng-
gantikan kedudukan sang Ratu di
Kerajaan GALUH KENCANA...
Percayalah!" berkata Cakra
Murti.
"Oh, benarkah...?"
ternganga mulut gadis ini.
"Mengapa tidak benar?"
Inilah kitabnya! ujar Cakra Murti se-
raya bangkit duduk dan
mengeluarkan bungkusan kain kumal beri-
sikan kitab Ki Sabda Tama.
Seketika mata gadis ini berubah menja-
di nanar. Dipeluknya laki-laki
itu dengan sejuta perasaan menyeli-
muti sekujur sanubari. Ah,
betapa bahagianya menjadi seorang Ra-
tu. Khayalnya seketika
membumbung sampai kelangit.
"Kau nanti jadi Rajanya,
kakang..." bisik Ginarti dengan gelo-
ra yang semakin menggebu.
"Tentu, manisku ...!" bisik Cakra Mur-
ti. Dilolosinya pakaian Cakra
Murti dengan amat cekatan dengan
napas kian memburu. Sementara
laki-laki itu pun berbuat sama.
Lengannya tak berhenti-henti
meremas. Tak lama desah-desah lirih
membauri kamar itu.
BRRRAAAAK!
Pintu kamar itu porak-poranda
bagai diterjang kaki gajah. Dua
insan yang tengah terlena dalam
buaian asmara itu terlonjak kaget.
Terkejut bukan kepalang Cakra
Murti ketika melihat siapa yang
berdiri didepan pintu.
Siapa lagi kalau bukan si Dewa
Arak. Laki-laki tegap ini me-
lotot menatap Cakra Murti yang
terpana kaget dengan muka merah.
Keadaan tubuhnya yang dalam
keadaan membugil itu membuat dia
kalang kabut menyambar
pakaiannya. Sementara Ginarti menjerit
kaget seraya menyambar selimut
menutupi bagian tubuhnya yang
terbuka.
"Perempuan bejat! sungguh
tak pantas kau menjadi kepona-
kanku! Ternyata kalian
merencanakan maksud jahat pada Kera-
jaan!" membentak Dewa Arak
dengan suara parau. Membuat wajah
wanita ini jadi pucat.
"Paman Kala Bendu... aku...
aku..." tergagap Ginarti ketaku-
tan. Pada saat itu dimuka pintu
kembali tersembul sesosok tubuh la-
ki-laki tua. Laki-laki tua ini
adalah kepala desa, si tuan rumah yang
kecolongan dengan kedatangan
"pencuri" anak-anak gadisnya yang
tak diundang.
"Anak durhaka! kau patut
dihajar sampai mampus! memben-
tak laki-laki ini menatap anak
gadisnya yang dalam keadaan kusut
masai.
"Hm, kecurigaanmu
beralasan, adik Kala Bendu! Kalau kau
tak menginap dirumah malam ini,
tak nantiya kau bisa jumpa bang-
sat ini. Yang ternyata ada main
dengan anakku!" berkata sang Ke-
pala Desa. BRRRAAK!
Tiba-tiba jendela kamar itu
pecah berantakan diterjang Cakra
Murti. Dengan sigap dia telah
melompat keluar. Akan tetapi si De-
wa Arak telah memburunya dengan
membentak keras.
"Kau tak dapat lari,
pengkhianat!" Gerakan Dewa Arak yang
begitu gesit berhasil mendahului
mencegat larinya Cakra Murti.
Cakra Murti masih sempat
menyambar kitab Ki Sabda Tama.
Laki-laki yang belum sempat
mengenakan bajunya ini men-
dengus.
"Dewa Arak! apa hubungannya
kau dengan urusanku!?"
"Heh! apakah telingamu tak
mendengar kalau namaku Kala
Bendu?" bentak si Dewa
Arak.
"Aku tak kenal segala nama
rongsokan macam itu! Apa hu-
bunganmu dengan Kerajaan?"
"Hehe... hahaha... apa
hubunganku dengan Kerajaan? Heh! ke-
tahuilah! Aku adalah utusan
Kanjeng Ratu untuk menawanmu den-
gan segera, dan merampas kitab
Ki Sabda Tama. Aku adalah Adi-
pati Kala Bendu yang akan
menggantikan kedudukanmu!" Terhe-
nyak seketika Cakra Murti alias
Wukir Kamandaka mendengar ja-
waban kata-kata si Dewa Arak.
Tentu saja dia tak percaya begitu
saja pada kata-kata orang.
"Setan! Sejak kapan Ratu mengangkat
mu menjadi Adipati
penggantiku?" Membentak laki-laki ini dengan
wajah merah padam.
"Sejak terbukanya kedokmu.
Siapa yang tak tahu kalau kau
berkomplot dengan kaum golongan
hitam untuk menumbangkan
kekuasaan Kanjeng Ratu? Heh! kau
layak dihukum gantung! Segera
berikan kitab itu. Dan serahkan
dirimu untuk segera kuhadapkan
pada Kanjeng Ratu!"
"Buktikan bahwa kau
benar-benar telah diangkat Adipati oleh
Ratu!" teriak Cakra Murti
dengan wajah pucat. Kala Bendu terse-
nyum. Lengannya bergerak kebalik
pakaiannya. Dikeluarkannya
sebuah gulungan kain. Tanpa
banyak bicara dia bentangkan gulun-
gan kain itu dihadapan Cakra
Murti.
"Kau bacalah, Wukir
Kamandaka! Bacalah dengan jelas!"
berkata Kala Bendu alias si Dewa
Arak dengan suara tegar berpen-
garuh. Mendelik mata Cakra Murti
ketika membaca tulisan besar-
besar pada kertas yang
berstempelkan cap Kerajaan dan tanda tan-
gan Ratu Galuh Kencana.
DENGAN INI AKU RATU KERAJAAN
"GALUH KENCANA"
MENGANGKAT SECARA SYAH KALA
BENDU SEBAGAI ABDI
KERAJAAN, DENGAN JABATAN SEBAGAI ADIPATI DI WI-
LAYAH BARAT KERAJAAN "GALUH
KENCANA", DAN MUT-
LAK MENJADI PENGGANTI ADIPATI WUKJR KAMANDAKA,
YANG TELAH DINYATAKAN
SEBAGAI PEMBERONTAK MU-
SUH KERAJAAN. TERTANDA: RATU
GALUH KENCANA
Seketika pucatlah wajah Wukir
Kamandaka. Tak ayal lagi dia
telah berkelebat melarikan diri.
"Manusia pengkhianat! Kau
tak dapat lari kecuali ke Neraka!"
membentak Kala Bendu seraya
berkelebat mengejar. Kejar-
kejaranpun segera terjadi dipagi
yang masih berembun itu. Hingga
kedua orang itu lenyap tak
kelihatan lagi.
Sementara dari rumah Kepala Desa
itu terdengar suara jeritan
dan lolong sigadis anak kepala
desa itu yang dihajar oleh ayahnya.
Beberapa orang penduduk keluar
dari rumahnya mendengar ribut-
ribut itu. Akan tetapi mereka
tak mengerti perihal peristiwa itu. Ke-
cuali cuma menatap dari kejauhan
dengan bertanya-tanya sesama
tetangga.
"Ada kejadian apakah, pak
Slamet?"
"Wuaah! Ndak tahu,
ya...?"
"Kasihan gadis itu, mengapa
pagi-pagi sudah dipukuli?"
"Bapaknya ngamuk karena...
maklum sudah lama menduda!"
sahut salah seorang.
"Ko' ngamuk? Apa dia mau
sama anaknya sendiri?"
"Mungkin juga!"
"Gila!? Eh, Jangan
mengarang yang ndak-ndak, lho mas!"
"Weleeh! bukannya
mengarang. Tapi di dunia ini apapun bisa
saja terjadi. Iya nggak pak
Slamet?"
"Iya ... iya! Tapi jangan
menuduh dulu! Aku tahu persis pak
Kepala Desa seorang yang paling
jujur dan alim!" Pembicaraanpun
habis, karena pintu rumah Kepala
Desa tampak sudah tertutup.
***
DUABELAS
RORO CENTIL yang telah berada di
dalam ruang pendopo
Kedipatian segera mencari Wukir
Kamandaka disetiap kamar dan
memeriksa setiap ruangan. Dengan
aji Halimunan yang digunakan
Roro tidaklah sukar bagi Roro
untuk menyelidiki. Akan tetapi tak
dijumpai sang Adipati itu berada
digedungnya. Berarti orangnya be-
lum tiba. Pada saat itulah Roro
mendengar suara ribut-ribut diluar.
Ketika itu sebuah bayangan
menerobos masuk kedalam gedung.
Sekilas, Roro segera melihat
siapa adanya sosok tubuh itu yang tak
lain dari Wukir Kamandaka yang
tengah di carinya. Roro bergerak
cepat menotok tubuh laki-laki
itu.
Wukir Kamandaka mengeluh kaget
karena tahu-tahu sekujur
tulangnya mendadak lemah
lunglai. Bahkan dia tak dapat mengelu-
arkan suara lagi ketika terasa
ada lengan yang menotok tengkuknya.
Detik itu Roro telah menyeret
tubuhnya dan membawanya melom-
pat ke tempat persembunyian.
Sementara sesosok tubuh menyusul
masuk dengan menggembor keras.
"Pengkhianat Kamandaka! Kau
takkan dapat selamatkan diri-
mu dari tiang gantungan!"
Seketika seisi gedung Kedipatian menja-
di gempar. Para prajurit
Kadipaten mengurung kesetiap penjuru ge-
dung. Pencarian Wukir Kamandaka
digedung Kedipatian itu ber-
langsung beberapa lama. Namun
aneh. Tak dijumpai ,di mana
adanya Wukir Kamandaka. Tentu
saja mereka tak tahu kalau semua
itu adalah karena perbuatan
Roro. Apakah yang dimaui Roro geran-
gan? Ternyata Roro telah
mengamankan Wukir Kamandaka dengan
membawa berkelebat dari ruang
tempat persembunyiannya keluar
dari gedung Kedipatian.
"Hihihi... ingin kulihat
bagaimana cara kau bertarung dengan
si WICAKSA! sobat pengkhianat
Kerajaan?" berkata Roro seraya
gulingkan tubuh Wukir Kamandaka
ketanah. Laki-laki ini menye-
ringai kesakitan ketika tubuhnya
jatuh menggabruk ke tanah. Saat
itu Roro telah tampakkan
ujudnya. Terbelalak mata Wukir Kaman-
daka melihat seorang dara
rupawan berdiri dihadapannya dengan
pakaian dari kulit macan tutul.
"Hah! ssiapakah
anda...?" sentaknya terkejut.
"Siapa? Hihihi... bukankah
kau telah mengetahui siapa aku?
Bukankah kau akan menunjukkan si
Dedemit Mata Picak ke tempat
aku berada?" tanya Roro
dengan tersenyum.
"Ha? andakah nnon... nona
Pendekar RORO CENTIL?" Suara
Wukir Kamandaka menampakkan
keterkejutan yang luar biasa. Ka-
rena baru pertama kali inilah
dia melihat siapa pendekar wanita
Pantai Selatan itu.
"Tidak salah" ujar
Roro dengan suara ketus. Saat itu Wukir
Kamandaka merasakan totokan pada
tubuhnya telah punah sama
sekali, bahkan dia telah mampu
berbicara. Merasa dia telah terbe-
bas, dan tahu apa yang dilakukan
sang Pendekar Wanita Pantai Se-
latan ini, tak ayal lagi
laki-laki ini telah jatuhkan dirinya berlutut.
"Terima kasih atas
pertolongan anda, nona Pendekar..." ujar-
nya dengan manggut-manggut
mencium tanah beberapa kali
"He? siapa yang telah
menolongmu? aku tak merasa menolong
orang yang menjadi pengkhianat
Kerajaannya sendiri. Kau sebagai
abdi Kerajaan yang seharusnya
membela Kera-jaanmu, mengapa
kau malah bersekongkol dengan
kaum golongan hitam untuk
menghancurkan Kerajaan mu
sendiri?" bentak Roro, Matanya melo-
tot gusar, tapi bibirnya
tersungging senyuman. Pendekar kita ini
memang orang aneh. Tentu saja
kata-kata itu membuat Wukir Ka-
mandaka keluarkan keringat
dingin.
"Sobat pendekar Roro
Centil! serahkan dia padaku!" tiba-tiba
terdengar suara menggeledek
memecah keheningan yang mence-
kam. Didahului dengan
bersyiurnya angin, sesosok tubuh telah ber-
kelebat dan berdiri ditempat
itu. Ternyata tak lain dari Kala Bendu
alias si Dewa Arak.
Tersentak Wukir Kamandaka
melihat kemunculan laki-laki
berjuluk si Dewa Arak ini. Akan
tetapi pada saat itu Roro telah ber-
kata.
"Tidak! orang ini adalah
urusanku! kau tak boleh menggang-
gunya!"
"Ha? apa maksudmu,
sobat?" tanya Dewa Arak terheran.
Pada saat itu sebelum Roro
menjawab pertanyaan, tiba-tiba
terdengar suara tertawa
terkekeh-kekeh yang segera dikenali Roro.
"Bagus! segera kau telah
menyusul kemari, WICAKSA! Sege-
ra kau bunuhlah Adipati
pengkhianat ini!" berkata Roro dengan su-
ara nyaring.
Selesai Roro berkata, mendadak
tubuh Roro berkelebat dan
lenyap. Saat itu Wicaksa muncul
dari balik semak belukar.
"Grrr...! CAKRA MURTI! kau
harus menemui kematian di-
tanganku, sebagai penebus
kematian saudara seperguruanku Wewe
Gombel Setan Genit!" menggeram
Wicaksa menatap dengan mata
memancarkan hawa amarah pada
Wukir Kamandaka. Laki-laki ini
seketika mundur dua tindak.
Tidak! dia bagianku! Serahkan
kitab Sabda Tama itu padaku,
pengkhianat!" membentak
Kala Bendu. Akan tetap terkejut Wukir
Kamandaka ketika tersadar dia
sudah tak mengantongi lagi kitab Ki
Sabda Tama. Buku itu telah
lenyap.
"Hah! Kitab itu telah
hilang! aku tak tahu terjatuh dimana.
Jangan-jangan si Roro Centil
itulah yang mengambilnya!" berkata
Wukir Kamandaka dengan wajah
pias. Tersentak kaget si Dewa
arak. Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara membentak disusul
oleh berkelebatnya dua sosok
tubuh.
"Kalian semua
manusia-manusia pengkhianat! dan manusia
durjana!" Dua sosok tubuh
itu ternyata adalah GAJAH LOR dan
muridnya, Mayana. Wajah Wukir
Kamandaka dan Kala Bandu alias
Dewa Arak seketika berubah
pucat. Serentak mereka berteriak ter-
tahan.
"Ki SABDA TAMA...!?"
"Hm, benar! Kala Bendu!
sejak kapan Ratu keluarkan surat
pengangkatan Adipati pada mu?
Surat itu palsu! Dan kau Wukir
Kamandaka! Kau tak berhak
menjadi Adipati, kecuali atas izinku!
Ketahuilah, Kanjeng Ratu sudah
menjanjikan persyaratan mutlak
denganku, bila aku berhasil
menyelesaikan Kitab Tata Kerajaan
maka akulah yang bakal menjadi
pengganti Ratu Kerajaan GALUH
KENCANA!" berkata Gajah Lor
alias Ki Sabda Tama. Suaranya
terdengar menggeledek terdengar
oleh Kala Bendu dan Wukir Ka-
mandaka bagaikan mendengar petir
disiang hari. Keduanya tersen-
tak kaget melihat Ki Sabda Tama
mengeluarkan sebuah MEDALI
Itulah medali Lambang Kerajaan
GALUH KENCANA.
Seketika menggigil tubuh Kala
Bendu karena rahasianya ter-
bongkar. Memandang pada Wukir
Kamandaka, laki-laki ini berdiri
dengan lutut gemetar melihat
Lambang Kerajaan itu dengan mata
membelalak.
"Dan kalian lihatlah! Kitab
Tata Kerajaan ini masih berada di-
tanganku! Kitab yang kalian
perebutkan itu adalah kitab palsu yang
hanya berisi syair-syair belaka!" Semakin membelalak mata Kala
Bendu dan mata Wukir Kamandaka
melihat kitab asli ciptaan Ki
Sabda Tama di tangan si
penciptanya itu.
"Kalian semua harus segera
serahkan diri untuk menjalani hu-
kuman, dan menghadap Kanjeng
Ratu untuk mempertanggung ja-
wabkan perbuatan kalian semua.
"Tapi... tapi aku
diperintah oleh Kanjeng Ratu untuk mencari
anda, Ki Sabda Tama dengan
tujuan mengambil kitab itu!"
"Perintah dusta!"
bentak Ki Sabda Tama pengkhianat Kera-
jaan! Dan kau Wukir Kamandaka!
kaupun telah terlibat dengan
pengkhianatan ini!" Kala
Bendu tak dapat bicara apa-apa lagi, se-
lain tiba-tiba dia keluarkan
senjatanya. Dan dengan ganas telah me-
nerjang Gajah Lor.
"Kunyuk tua! kiranya
diam-diam kau mengetahui apa yang
kulakukan selama
ini? Tapi terlambat. karena kau segera akan
mampus!"
WHUUT! WHUUUT!
Sambaran-sambaran ganas klewang
Kala Bendu bersyiuran
menabas leher dan mencercah
balok kepala Gajah Lor. Akan tetapi
pada detik itu.
TRAANG! TRANGG!
Kilatan pedang menyambar, hingga
terjadilah benturan yang
memercikkan letusan api.
Ternyata dengan sebal Mayana telah me-
nangkis sambaran klewang Kala
Bendu. "Heheh... bagus, muridku!
kau kirimkan nyawa bangsat ini
ke Akhirat!" teriak Gajah Lor.
Sementara itu entah sejak kapan
Roro telah berada lagi di
tempat itu. Roro yang ikut
campur urusan untuk membela yang be-
rada dipihak benar, ternyata dia
sendiri kebingungan karena urusan
jadi sedemikian pelik.
Kedatangan Gajah Lor alias Ki Sabda Tama
bersama muridnya dengan membawa
kitab ciptaannya yang asli,
serta Medali Pusaka Kerajaan
Galuh Kencana membuat Roro ter-
longong, memeganggi kitab
ditangannya.
Saat itu pertarungan telah
terjadi. Kala Bendu terpaksa harus
menghadapi serangan-serangan
Mayana yang ganas. Sementara Ga-
jah Lor alias Ki Sabda Tama
Menerjang ganas ke arah Wukir Ka-
mandaka! Laki-laki yang sudah
ciut nyalinya ini bertarung dengan
hati kacau. Karena niatnya
adalah melarikan diri. Tapi apa mau di-
kata Gajah Lor terus memburunya
dengan pukulan-pukulan maut.
Walaupun dia berilmu cukup
tinggi, tapi menghadapi serangan Ga-
jah Lor yang ilmunya lebih
tinggi tiga kali lipat darinya, Wukir
Kamandaka tak dapat berbuat
banyak. Satu hantaman telak mem-
buat laki-laki ini menjerit
parau. Tubuhnya limbung, ketika Gajah
Lor berhasil sarangkan telapak
tangannya yang mengandung tenaga
dalam menggeprak kepala Cakra
Murti alias Wukir Kamandaka.
***
Dalam saat limbung itu tahu-tahu
WICAKSA menggerung ke-
ras. Lengannya terjulur...
Dan... Bluk! Wukir Kamandaka menjerit
sekali lagi. Tubuhnya terlempar
bergulingan. Lalu terkapar terlen-
tang tak berkutik lagi. Tampak
tulang dadanya remuk bahkan seku-
jur tubuhnya berubah menjadi
kehitaman. Itulah pukulan beracun
Wicaksa yang amat mengerikan,
yang sekaligus telah mengantar
nyawa orang.
"Wah, wah... urusan jadi
rumit. Apa yang harus kuperbuat?"
gerutu Roro yang jadi
pijit-pijit keningnya memandang kearah per-
tarungan. Tiba-tiba Roro melihat
Kala Bendu berkelebat melarikan
diri. Diiringi bentakan Mayana.
Dara puncak Rajabasah itu menge-
jar. Disusul oleh bentakan Ki
Sabda Tama yang berkelebat menyu-
sul. Tak dapat dibiarkan begitu
saja Kala Bendu melarikan diri.
Roro meremas kitab ditangannya,
ketika ketiga manusia itu
sekejap sudah tak kelihatan
lagi. Bubuk kertas ditaburkan ditanah.
"Benda tak berguna
lagi!" gerutu Roro.
Tiba-tiba tersentak Roro ketika
serangkum angin menyambar
tubuhnya. Dalam keadaan tak
berwaspada itu agaknya serangan itu
akan sukar terhindarkan. Tapi
naluri si Pendekar Pantai Selatan ini
sudah teramat peka. Walau
serangan itu sepertinya mengenai sasa-
ran, namun Roro telah lindungi
tubuhnya dengan tenaga dalam.
WHUUUUK!
"Aaaah...!" Buk! Tubuh
Roro jatuh menggeloso ketanah. Saat
itu juga terdengar suara tertawa
berkakakan disusul berkelebat
muncul seorang kakek tinggi
besar.
"Hehehe... hoho... ternyata
ilmu kepandaian mu tak berarti,
Roro Centil! Toh akhirnya kau
harus jatuh juga ke tanganku!"
"Kau makin tambah umur
semakin cantik, pendekar Roro!
Amboi, pakaianmu dari kulit
macan tutul amat serasi dengan tubuh
mu yang mulus. Sungguh
mengagumkan! Sungguh mengagum-
kan!" berkata laki-laki
tinggi besar ini.
"Siapa kau...?"
bertanya Roro seolah dalam keadaan tak ber-
daya. Menatap dengan
membelalakkan mata pada orang dihadapan-
nya.
"Hohoho... kau lupa, atau
memang sudah tak ingat lagi? Aku-
lah RATAN SUGAR! Masih ingatkah
ketika kau membunuh si Ri-
riwa Bodas? Aku adalah
pamannya!" sahut si kakek tinggi besar.
Tersentak Roro yang segera
teringat akan nama Ririwa Bodas si
kakek pendek berbuntut ular,
yang tak lain dari guru Giri Mayang
alias Kelabang Kuning. Musuh
besar yang amat mendendam pa-
danya itu telah banyak memakan
korban dengan perbuatan gurunya
yang menciptakan ular-ular
siluman untuk membunuhi penduduk
tak berdosa. Perbuatan itu dilakukan cuma untuk
memancing ke-
munculan Roro agar Giri Mayang
dapat melakukan pembalasan
dendam. Perlu diketahui kedua
guru dan murid yang telah tewas di-
tangan Roro itu berasal dari
wilayah Pulau Andalas.
"Heh, aku ingat! ya, aku
kini ingat siapa adanya kau! Lalu
apakah kau mau membalas dendam untuk
membunuhku?" bertanya
Roro dengan tetap terlentang
ditanah tak bergerak.
"Ya! tapi bukan ditempat
ini. Kau akan ku bawa ke Pulau An-
dalas. Tepatnya ke Kerajaan
Sriwijaya. Karena kepalamu perlu di-
gunakan untuk tumbal
kerajaan!"
Tersentak kaget Roro.
"Edan! kepalaku mau dibuat tumbal ke-
rajaan?" memaki Roro dalam
hati. Pada saat itu Ratan Sugar telah
menghampiri dan ulurkan
lengannya untuk menyambar tubuh Roro.
Akan tetapi pada saat itu
terdengar bentakan menggeledek. "Tung-
gu!" Disusul sambaran ganas
angin pukulan berbau amis menyam-
bar ke arah Ratan Sukar. Kakek
tinggi besar ini kibaskan jubahnya
menangkis. Hebat kibasan lengan
jubah gombrong kakek tinggi be-
sar ini. Karena angin pukulan
yang jelas adalah pukulan beracun itu
menyambar balik kearah si
penyerangnya.
Ternyata yang barusan menyerang
adalah Wicaksa si Dedemit
Mata Picak. Penghuni Kuil
Tengkorak Darah ini mana mau mem-
biarkan orang yang memang tengah
dicarinya selama ini digondol
pergi?
Whuuusss.... Bhlarrr!
Angin balikan dari si kakek
tinggi besar lewat dibawah kaki
Wicaksa yang mengelak dengan
melompat gesit menghindari sam-
baran angin pukulannya sendiri.
Angin pukulan bertenaga besar itu
menghantam pohon yang seketika
berderak hancur. Dan hangus se-
ketika menjadi arang.
"Hebat! Sungguh hebat
serangan balasan mu, kakek Dewur!"
berkata Wicaksa yang diam-diam
keluarkan keringat dingin. Kalau
terlambat dia mengelak, tak
dapat dibayangkan bagaimana keadaan
tubuhnya.
"Setan alas kau! Siapa kau
manusia jelek? Dan apa maksudmu
menghalangi urusanku? Mengapa
kau panggil aku kakek DE-
WUR?" menggembor Ratan
Sugar.
"Hehehe... Jelek-jelak
namaku sudah kesohor. Siapa yang tak
kenal dengan Wicaksa si Dedemit
Mata Picak penghuni Kuil Teng-
korak Darah!" tukas Wicaksa
dengan menyeringai. Kau ku panggil
kakek Dewur, karena tubuhmu
gede-duwur...! alias tinggi besar!
Dan maksud ku menghalangi
niatmu, tentu saja takkan kubiarkan
kau membawa pergi dia untuk kau
jadikan tumbal di Kerajaan Se-
brang! Karena dia adalah mangsa
yang telah lama kucari-cari!"
"Hmmm, jadi kau
menginginkan juga? Baik kalau begitu. Se-
gera kita tentukan dengan
pertarungan. Siapa yang masih tinggal
hidup dialah yang berhak atas pendekar Roro Centil
ini!" berkata
Ratan Sugar dengan menggembor
marah, namun kata-katanya te-
gas.
"Kau mengajakku bertarung?
Hehehe... bagus! Memang inilah
yang kuharapkan. Majulah kau
kakek Dewur!" berkata jumawa Wi-
caksa. Tanpa diperintah dua kali
Ratan Sugar telah menerjang Wi-
caksa dengan serangan ganas.
Sepasang lengannya mengeluarkan
sinar merah mengerikan.
Sedangkan lengan Wicaksa memantulkan
sinar hijau.
Suara bentakan dan
ledakan-ledakan pukulan yang mengharu
bisu membauri sekitar tempat itu
Pertarungan dahsyat tak dapat te-
relakkan lagi. Dua orang tokoh
hitam yang sama-sama berkepan-
daian amat tinggi itu saling
baku-hantam tanpa pedulikan apa-apa
lagi. Bahkan dia tak tahu kalau
Roro telah berkelebat menjauhi per-
tarungan itu. Dari atas puncak
pohon yang berada ditempat keting-
gian, Roro menonton pertarungan
adu nyawa itu. sebentar-sebentar
dia berteriak kagum. Dan
sekali-kali terkadang leletkan lidah meli-
hat pukulan-pukulan ganas yang
beradu menimbulkan suara meng-
getarkan bumi.
Satu ledakan dahsyat kembali terdengar.
Terdengar dua teria-
kan yang menjadi satu. Tampak
tubuh kedua lawan bertarung itu
terlempar beberapa tombak. Tubuh
Ratan Sugar menghantam po-
hon yang seketika berderak
patah. Lalu tumbang dengan suara riuh
berkrosakan. Sedangkan tubuh
Wicaksa terguling-guling dalam
keadaan terbakar. Roro melompat
dari puncak pohon. Dengan gerak
ringan segera menghampiri tubuh
Ratan Sugar. Segera dilihatnya
tubuh kakek tinggi besar itu
telah tak bernyawa lagi dengan kea-
daan tubuh hangus kehitaman.
"Aiiih, ternyata ajalmu
lebih cepat datang, sebelum kau sem-
pat membawa dan memotong
kepalaku untuk tumbal Kerajaan...!
Kakek DEWUR yang malang..."
menggumam Roro. Ketika dia me-
lihat kearah Wicaksa, kakek muka
seram itu tengah menggoser-
goser sekarat dengan jubah
hangus. Sekali enjot tubuh, Roro telah
menghampiri.
"Heh... hhe... RO...
RORO... C.. CEN... Ti... L...! senang seka-
li a... aku melihat rupa dan
wajahmu yang... cc... cantik! Ooh... ma-
tipuh aku... t... tak penasas...
sssaran... nnn ..." berkata terengah Wi-
caksa memandang Roro dengan
tertawa menyeringai. Keadaan ka-
kek ini amat mengenaskan sekali.
Roro menatap tak berkedip. "Ada
permusuhan apakah kau sebenarnya
denganku, Wicaksa?" bertanya
Roro dengan menatap heran.
"Mengapa kau membunuhi
orang hanya untuk mengundang
munculnya diriku?"
kata-kata Roro seperti menyambung napas ka-
kek seram itu, yang sudah mau
menghembuskan napasnya yang te-
rakhir.
Wicaksa" tertawa lemah
menyeringai.
"Hehe... heh... heh....
aku.... aku jjjaa... jatuh... cc... cinta...
pa... pada... mu... Ro...
ro..." Baru saja selesai Wicaksa menyahut
dengan kata-kata yang membuat
mata Roro membelalak, kakek
penghuni Kuil Tengkorak Darah
itupun terkulai kepalanya. Napas-
nya telah lepas meninggalkan
jasadnya.
"Gila! edan ...!?"
Roro Centil seperti tak percaya mendengar
kata-kata Wicaksa. "Aiiih!
Dedemit Mata Picak! kau benar-benar
iblis gila cinta! sungguh dunia
telah gila! dan manusia-manusia te-
lah banyak yang gila!"
gerutu Roro Centil. Dan dengan diiringi sua-
ra tertawa melengking tinggi
yang mirip tangisan, si Pendengar
Wanita Pantai Selatan berkelebat
meninggalkan tempat itu. Saat tu-
buh Roro telah lenyap, suara
tertawanya yang membangunkan bulu
roma itu masih terdengar
berpantulan disekitar tempat sunyi itu.
RORO semakin tak mengerti dengan
kemelut di Kerajaan Ga-
luh Kencana Karena beberapa
pekan kemudian setelah dia mem-
bantu pertarungan orang-orang
Kala Bendu yang menguasai Istana.
Roro mendengar berita aneh.
Roro yang mengira Ki Sabda Tama
alias Gajah Lor yang bak-
al menjadi pengganti Ratu Galuh
Kencana, ternyata membunuh diri,
setelah selesai penobatan MAYANA
sebagai pengganti Ratu Kera-
jaan Galuh Kencana dengan gelar
Dewi Mayana Sabda Tama.
Apa yang menjadi penyebab
kenekatan serta perbuatan Gajah
Lor ini tak seorangpun dari
pihak Kerajaan yang mengetahui. Ke-
cuali Dewi Mayana Sabda Tama
sendiri.
Ketika kemudian terdengar kabar
bahwa Ratu baru Dewi
Mayana Sabda Tama itu kedapatan
telah tewas membunuh diri di-
kamarnya, segera tersingkaplah
rahasia mereka berdua, antara guru
dan murid. Yaitu Mayana telah
meninggalkan sepucuk surat seperti
syair, yang berbunyi:
GUNUNG-GUNUNG BESAR BERGELEGAR
MENA-
KUTKAN
LAUTAN MELUAP, AIRNYA NAIK KEDARATAN...
DEWA MURKA KARENA KAMI SALAH!
CINTA MEMBUAT KAMI BAHAGIA, TAPI
NAFSU SUNG-
GUH ANGKARA! BIARKAN KAMI PERGI
MENEBUS DOSA!
Dari hasil dugaan orang-orang
Istana, syair itu diartikan ada-
lah Ki Sabda Tama telah
mencintai Mayana Putrinya sendiri. Per-
buatan terkutuk yang telah
mereka lakukan atas dasar nafsu dan
dendam Ki Sabda Tama pada kakak
kandungnya Wesi Geni yang
telah membawa lari istrinya.
Ternyata Mayana bukan anak Wesi
Geni. Melainkan adalah anak
kandungnya sendiri. Namun cinta te-
lah bersemi, walau cintanya
adalah "cinta gila". Hingga Ki Sabda
Tama setelah membahagiakan
Mayana dengan mengangkatnya se-
bagai Ratu, dia membunuh diri.
Namun ternyata Mayana sendiripun
menyusul ayahnya yang telah
terlanjur dicintainya.
Roro Centil tercenung beberapa
saat lamanya. Namun akhir-
nya dia menghela napas.
"Inilah Dendam dan Cinta Gila Seorang
Pendekar!" gumamnya.
Tubuhnyapun berkelebat pergi... Roro me-
rasa kejahatan memang tetap
sukar untuk ditumpas, karena Kala
Bendu berhasil meloloskan diri.
Kelak disitu saat tak mungkin ka-
lau manusia itu tak membuat
kericuhan lagi....
TAMAT
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon