Pendekar Romantis 5 - Skandal Hantu Putih(3)


LIMA 
CUKUP lama gadis judes itu 
kelenger nggak sadar diri. Padahal 
waktu itu bumi telah dibungkus petang, 
seperti lontong dalam daun jati. 
Pendekar Romantis terpaksa bawa itu 
gadis ke tempat yang aman. Kalau nggak 
gitu, embun dan kabut petang yang 
datang merambah bumi dapat bikin gadis 
itu membeku. Maklum, suhu udara kala 
itu menunjukkan tiga puluh derajat 
celcius dalam kelembaban udara nyaris 
turun hujan. 
Tempat yang ditemukan Pendekar 
Romantis untuk menaruh 'benda cantik 
judes' itu adalah sebuah gua karang di 
tepi pantai. Gua itu ditemukan secara 
tidak sengaja. Sebenarnya Pandu ingin 
bawa Awan Sari ke perkampungan 
nelayan. Tapi letak perkampungan itu 
masih jauh. Di samping itu, kalau 
mereka berdua bermalam di perkampungan 
nelayan tanpa surat nikah, takutnya 
digerebek hansip setempat dikira yang 
nggak-nggak, kan repot? Jadi, demi 
keamanan bersama lebih baik masuk ke 
dalam gua. Toh gua itu ternyata aman-
aman saja. Tak ada binatang buas, tak 
ada ular, tak ada ranjau. 
Satu-satunya ranjau yang 
ditemukan Pandu adalah kecantikan si 
gadis judes itu serta kemontokan dada 
yang masih sekal dan keras itu. Yakin, 
keras! Sebab Pandu tadi  sengaja 
menyentuhnya. Entah dadanya atau ujung 
pundaknya yang tadi tersentuh lengan 
Pandu, yang jelas hati Pandu sempat 
berdebar-debar pada waktu itu. 
Gua tersebut tidak terlalu 
dalam. Langit-langitnya tidak begitu 
tinggi. Tapi tempatnya datar walau 
banyak bebatuannya. 
Sang gadis masih dibaringkan 
dalam keadaan pucat pasi. Bibirnya 
membiru, bagian bawah dadanya memar 
karena hantaman sinar tenaga dalam 
Pandu tadi. Pedangnya masih utuh. 
Mestinya pedang itu pecah karena 
terkena sinar merah jurus 'Sepasang 
Sayap Cinta'. Mungkin karena di pedang 
itu ada kekuatan gaib yang cukup 
besar, maka sang pedang malas untuk 
hancur. Mestinya pula tubuh gadis itu 
hancur berkeping-keping, tapi karena 
mempunyai kekebalan tenaga dalam yang 
sangat tinggi, maka sang tubuh hanya 
memar dan urat nadinya terhenti, 
bagian dalamnya terpaksa hangus 
merata. 
"Kuat juga gadis itu!" pikir 
Pandu sambil memperhatikan sang gadis 
dari atas batu yang berjarak empat 
langkah samping kirinya. 


"Nggak sangka kalau ilmunya 
tinggi juga. Atau barangkali karena 
dia punya jimat lain, sehingga jurus 
'Sepasang Sayap cinta' tidak dapat 
menghancurkan tubuhnya? Tapi, benar 
juga. Kalau sampai hancur aku akan 
merasa menyesal tujuh belas turunan, 
tiga tanjakan! Memang sebaiknya gadis 
itu kubuat kelenger kayak gitu aja, 
sebagai penghajaran baginya. 
Barangkali nanti kalau sudah siuman 
bisa sadar bahwa niatnya untuk 
membalas dendam padaku itu salah 
besar." 
Gadis itu memang belum diapa-
apakan oleh Pandu Puber. Sejumlah 
potongan kayu dikumpulkan. Disusun 
sedemikian rupa, lalu dihantam dengan 
jurus tenaga dalam kecil-kecilan. 
Claaap...! Buuulll...! 
Maka jadilah api unggun yang 
menerangi gua tersebut. Setelah 
suasana terang, Pendekar Romantis 
mulai dekati sang gadis yang berbaring 
di samping pedangnya. 
"Ternyata dia punya nilai 
kecantikan tersendiri," kata batin 
Pendekar Romantis ketika bermaksud 
mengobati, namun terlebih dulu 
memandangi si gadis. "Nggak sangka 
kalau Hantu Congkak mempunyai murid 
secantik ini? Wajah judesnya ini 
berkesan angkuh, maklum, gurunya 
sendiri congkak pasti muridnya angkuh. 
Tapi berani sumpah mati, biar judes, 
biar angkuh wajah ini memancarkan daya 
sensual yang tinggi." 
Makin lama dipandang, makin 
terpancar daya tarik yang menggcda 
iman. Hati sang pendekar berdebar-
debar penuh kegelisahan yang bernada 
indah. Sepasang mata kebiruan itu 
memandang antara bibir dan dada 
berulang-ulang. 
"Gemes juga aku jadinya," geram 
hati Pandu. Maka, mumpung masih 
pingsan, bibir sensual itu pun dikecup 
oleh Pandu Puber. Cuuuup...! Lalu 
dikunyah-kunyah dengan lembut, mirip 
makan permen karet. Namun kunyahan itu 
hanya ada di ujung bibirnya. Sang 
gadis pasrah, mau diapakan saja diam. 
Terang saja begitu, habis masih 
pingsan sih. Coba kalau nggak pingsan, 
bisa  nampar  wajah Pandu yang kurang 
ajar itu. 
Semakin lama menciumi wajah 
gadis yang berbau wangi rempah-rempah 
itu, setelah puas melumat bibir tebal-
tebal nikmat itu, ciuman pun merambat 
ke leher sang gadis, lalu ke dada. 
"Wow...! Benar-benar sangat 
wow...!" 
Memang nakal dia itu. Anak dewa 
yang nakal hanya dia. Maklum, dulu 
bapaknya diusir dari kayangan gara-
gara pelecehan cinta dengan beberapa 
bidadari. Jadi bapaknya sendiri memang 
nakal. Tak heran kalau anaknya juga 
nakal, persis bapaknya. 
Namun setelah gairahnya nyaris 
membakar jiwa, tiba-tiba Pandu 
menemukan kesadarannya sehingga ia 
kaget sendiri melihat tingkah lakunya 
dan segera istigfar dalam hati. 
"Kenapa aku jadi begini 
rendahnya? Ya, ampuuun... mestinya aku 
nggak boleh berbuat begini. Jorok, 
kan? Memalukan sekali. Tapi hasratku 
begitu meletup-letup, kepingin 
menikmati kehangatan tubuhnya. Dan... 
dan... ah, jangan, ah! Aku nggak boleh 
begini! Aku kan seorang pendekar, 
sangat memalukan kalau berbuat tak 
senonoh begini!. Untung tak ada orang 
yang melihatnya!" 
Sambil merapikan pakaian sang 
gadis, akhirnya Pandu menemukan 
penyebab kenakalannya itu. 
"Rupanya pengaruh ramuan teh 
yang kuminum di pondoknya si Janda 
Keramat itu masih membekas kuat dan 
sewaktu-waktu bereaksi dalam jiwaku. 
Pantas gairahku menggebu-gebu, rupanya 
daya gugah asmara yang ada di dalam 
teh itu cukup kuat menguasai batinku. 
Aku harus membersihkan diriku dari 
obat perangsang yang telanjur membaur 
dalam darahku ini!" 
Dengan lakukan semadi beberapa 
saat, penyaluran hawa murni yang 
memutari peredaran darahnya, akhirnya 
kekuatan daya rangsang yang terminum 
dan  menyatu dalam darahnya itu dapat 
dibersihkan. Bukan berarti Pandu 
kehilangan gairah dan menjadi pemuda 
yang 'frigid', tapi pengendalian hawa 
nafsu menjadi normal kembali. 
Setidaknya, ia bisa menahan diri 
walaupun melihat belahan dada yang 
menggunduk ranum menantang itu. 
Setelah keadaan si gadis 
dirapikan serapi mungkin, Pandu Puber 
segera pergunakan jurus 'Hawa Bening' 
untuk mengobati luka dalam Awan Sari. 
Sinar putih bening melesat dari jari 
tengahnya dan menghantam bagian bawah 
leher yang memar bundar itu. Sinar 
putih bening itu memancar sekitar 
empat helaan napas. 
"Uhhg...," gadis itu mulai sadar 
dan mengerang lirih. Pandu Puber 
cepat-cepat lompat dalam keadaan tetap 
duduk dan pindah di atas batu yang 
jaraknya empat langkah dari tempat 
Awan Sari terbaring. Dari situ ia 
tersenyum-senyum memandangi sang gadis 
yang mulai menggeliat dan bernapas 
sedikit memburu. Warna biru di bawah 
leher mulai hilang, warna pucat di 
bibir mulai lenyap. Lama kelamaan sang 
gadis pun melek. 
"Hah...?!" Awan Sari terkejut 
menyadari dirinya ada di dalam sebuah 
gua. Ia tersentak bangun dan memandang 
liar sesaat. Begitu pandangannya 
menemukan seraut wajah ganteng, ia 
cepat-cepat memungut pedangnya dan 
berdiri dengan kuda-kuda siap serang. 
"Hai...!" sapa Pandu Puber dalam 
senyum dan lambaian tangan kecil. Tapi 
yang disapa justru cemberut dan 
menampakkan keangkuhannya. Rupanya 
sang gadis menaruh curiga kepada Pandu 
Puber sehingga tidak menaruh simpati 
sedikit pun.  
"Mengapa kau bawa aku kemari?" 
"Kau pingsan!"  
"Kenapa pingsan?!" 
"Kena pukulan jarak jauhku" 
jawab Pandu sambil nyengir, tetap 
duduk di batu itu. 
"Lalu apa yang kau lakukan pada 
diriku di gua ini selama aku pingsan. 
Jawab!" bentaknya. Pedang masih 
terhunus, siap untuk ditebaskan 
sewaktu-waktu. Bahkan ketika Pandu 
hanya cengar-cengir terus tanpa 
jawaban yang diharap, Awan Sari 
mendekatkan ujung pedangnya ke leher 
Pandu.  
Seeet...! 
"Jawab pertanyaanku tadi!" 
bentaknya keras dan galak. 
"Per... pertanyaan yang mana?" 
Pandu berlagak bego. 
"Apa yang kau lakukan selama aku 
pingsan?!"  
"Cuma... cuma mengobatimu 
menggunakan jurus 'Hawa Bening'-ku!"  
"Bohong!" 
"Yaaah... nggak percaya," ucap 
Pandu pelan dan tak berani banyak 
gerak karena lehernya tertodong pedang 
dan ia tahu pedang itu dapat semburkan 
racun berbahaya, walau racun itu telah 
habis dan belum diisikan ke dalam 
pedang lagi.  
"Katakan sejujurnya!" 
"Kok kayak judul lagu aja," ujar 
Pandu sambil nyengir. Ujung pedang 
mulai menempel dan agak ditekankan di 
leher. Pandu ngeri. 
"Jawab dengan jujur atau kurobek 
lehermu dengan pedangku!" hardik Awan 
Sari dengan tampang galaknya. 
"Aku tidak berbuat apa-apa, Nona 
Cantik!" jawab Pandu menyabarkan nada 
suaranya. "Berani dicubit seribu 
bidadari, aku tidak berbuat apa-apa 
kepadamu." 
"Hmm...!" dengus Awan Sari 
sambil menarik pedangnya dan mundur 
dua tindak. "Bodoh...!" 
Pandu berkerut dahi mendengar 
gerutuan 'bodoh' dari mulut yang 
berbibir cemberut itu.  
"Apa maksudmu mengatakan 'bodoh' 
padaku?!" 
Gadis itu tidak menjawab, tapi 
ia pergi ke balik batu setinggi lewat 
kepala. Di sana ia memeriksa keadaan 
dirinya, pakaiannya, 'perabotnya', dan 
rambutnya. Sesaat kemudian ia keluar 
dari balik batu dengan pedang sudah 
disarungkan. Ia memandang tajam pada 
Pandu Puber dengan sikap menantang. 
"Kusangka kau memang bodoh, 
ternyata tidak sebodoh dugaanku!" 
Pandu  berlagak geli, bahkan 
berlagak melengos seakan meremehkan 
pendapat Awan Sari. 
Sang gadis mendekat, berhenti 
dalam jarak satu langkah di depan 
Pandu Puber. Wajah ketusnya jelas-
jelas dipamerkan di depan si pemuda 
tampan. 
"Kau telah melakukan sesuatu 
terhadap diriku!" 
"Melakukan apa?" 
"Kau telah menggagahi tubuhku!" 
"Ah, ngaco aja lu! Siapa bilang 
aku berani begitu?!" 
"Mengakulah!" ucapnya pelan 
penuh geram. 
"Nggak mungkin aku berani 
melakukannya!" 
Wajah cantik itu makin mendekat 
dan berkata seperti orang berbisik, 
"Letak dadaku yang kiri geser ke 
kanan dari arah sebenarnya!"  
"Ah, itu sih mungkin karena...." 
"Bilang saja terus terang, aku 
akan memaafkanmu." 
Karena didesak demikian akhirnya 
Pandu mengangguk sambil nyengir malu 
sekali. "Hmmm... iya sih. Tapi... tapi 
nggak semuanya tergeserkan?" 
Plaaak...!  
Sebuah tamparan cepat dan keras 
mendarat di pipi Pandu Puber. Pemuda 
itu sempat terpelanting ke samping. 
Kaget sekali dapat tamparan sekeras 
itu. Pipinya menjadi panas seperti 
disengat tawon. 
"Mengapa kau menamparku?! 
Katanya kau memaafkanku kalau aku 
berkata jujur?!" protes Pandu dengan 
dongkol. 
"Begitulah caraku memaafkan 
kekurangajaranmu!" ucap Awan Sari 
sambil melangkah memunggungi Pandu, 
lalu berbalik ke arah semula sambil 
sandarkan pinggulnya di batu setinggi 
perut. Dengan angkuh dan sinis ia 
berkata lagi, 
"Masih untung kau kutampar 
dengan tangan. Semestinya kutampar 
dengan pedangku!" 
"Kenapa tidak kau lakukan?!" 
bentak Pandu kesal sekali. 
"Belum saatnya!" jawabnya dingin 
sekali. "Sekarang aku hanya minta 
kejujuranmu untuk...." 
"Sumpah mati aku belum 
menodaimu! Sumpah mati!" sambil Pandu 
melangkah dekati gadis itu dan 
mengajak bersalaman. 
Plak...!  
Tangan Pandu ditepisnya. 
"Bukan soal itu yang ingin 
kutanyakan!" sentak Awan Sari. "Aku 
tahu kau tidak menodaiku, karena aku 
tidak merasakan keindahan apa pun 
setelah sadar dari pingsanku." 
"Jadi apa maksudmu?" 
"Aku hanya ingin kau berkata 
sejujurnya, sebagaimana seorang 
pendekar dan ksatria menjawab hasil 
perbuatannya. Kau harus berani sportif 
dan konsekwen." 
Pandu kerutkan dahi makin tajam, 
pandangan matanya makin lurus ke mata 
bundar galak milik Awan Sari. Gadis 
itu berkata lagi, 
"Siapa yang membunuh guruku; 
Hantu Congkak?!" 
"Sudah kubilang sejak sore tadi, 
yang membunuh gurumu adalah Shoguwara! 
Dia menggunakan  Patung Iblis Banci 
saat membunuh gurumu. Ia melakukannya 
dari jarak jauh dengan menusukkan 
pisau kecil ke bagian jantung patung 
itu, maka yang tertusuk adalah jantung 
gurumu. Memang begitulah kehebatan 
Patung Iblis Banci! Kalau tak percaya, 
bisa kau tanyakan kepada seorang tokoh 
tua yang bernama Layang Petir, yang 
dulu bekas murid Iblis Banci Itu!" 
"Maksudnya, Layang Petir gurunya 
Sawung Seta?!" 
"Ya!" jawab Pandu dengan 
sentakan tegas. Lalu ketegangannya 
dikendurkan dan ia bertanya, "Kau 
mengenal si Layang Petir?" 
"Dia adik dari almarhum 
kakekku!" 
"Ooo... pantas." 
"Apanya yang pantas?!" hardik 
Awan Sari masih menampakkan sikap 
kurang bersahabat. 
"Pantas kau tahu kalau dia punya 
murid Sawung Petir, eh Sawung Seta! 
Apakah kau juga kenal dengan Sawung 
Seta?!" 
"Aku muak dengannya. Kalau tak 
ingat dia murid paman Kakek Layang 
Petir, sudah kubuntungi tangannya!" 
"Sadis amat sih? Memangnya 
kenapa?" 
"Dia memburuku terus, ingin 
menjadi kekasihku!" 
"Terima saja sudah!" 
"Gundulmu yang diterima?!" 
gerutu Awan Sari sambil bersungut-
sungut. "Aku jijik berdekatan dengan 
lelaki macam dia!" 
"Memangnya kenapa?" tanya Pandu 
memancing percakapan terus biar 
semakin akrab. 
"Dia seorang gigolo!" 
"Gigolo itu makanan apa?" 
"Dasar dungu!" gerutunya sambil 
bersungut-sungut. "Gigolo itu  sama 
dengan pelacur lelaki. Kerjanya 
melayani wanita yang kesepian dan 
membutuhkan kehangatan, lalu dia 
dibayar dengan cara apa pun. Kadang 
dibayar pakai uang, kadang dibayar 
pakai beras, ada kalanya dibayar pakai 
tembakau!" 
Pandu Puber jadi ingat cerita 
Rani Adinda. Istri Sultan, yaitu 
ibunya Rani Adinda, berbuat serong 
dengan seseorang yang bernama Hantu 
Putih. Perempuan itu agaknya menjadi 
ketagihan cinta sang Hantu Putih. Lalu 
tak mau melayani cinta suaminya dan 
tak mau makan kalau belum bertemu 
Hantu  Putih. Sedangkan Sawung Seta 
adalah gigolo, tugasnya melayani 
kebutuhan batiniah perempuan yang 
merasa kesepian dan mengharapkan 
kepuasan batin. Sedangkan Sawung Seta 
berpakaian serba putih. Besar 
kemungkinan Sawung Seta itulah yang 
berjuluk Hantu Putih. 
"Kalau begitu, sebenarnya Rani 
Adinda harus membunuh Sawung Seta 
dong! Karena memang itulah syarat yang 
diajukan oleh Sultan agar Rani Adinda 
diterima kembali sebagai keluarga 
kesultanan! Tapi, apakah Rani Adinda 
tega membunuh bekas kekasihnya 
sendiri?" 
Melihat pemuda ganteng 
beranting-anting satu termenung dalam 
lamunannya, Awan Sari segera bertanya, 
masih dengan nada ketus. 
"Apa yang kau lamunkan? Kau 
melamunkan hal jorok pada diriku, ya?" 
Pandu tersenyum sumbang. "Untuk 
apa melamunkan hal jorok pada dirimu. 
Kalau aku mau, tak perlu dilamunkan. 
Langsung praktek saja, pasti bisa!" 
"Coba saja kalau berani!" 
tantang Awan Sari. "Ayo, coba 
dipraktekkan kalau kau ingin 
kehilangan kepala!" gagang pedang 
mulai digenggam, siap dicabut dengan 
cepat. Tapi sikap itu hanya 
ditertawakan Pandu dengan kalem. 
"Aku melamunkan tentang Layang 
Petir dan muridnya itu! Aku ingin 
bertemu dengan mereka. Apakah kau bisa 
bantu aku menunjukkan tempat tinggal 
mereka?" 
"Tidak!" Jawab Awan Sari dengan 
singkat dan tegas. 
"Barangkali suatu saat kau butuh 
pertolonganku, aku akan menolongmu 
dengan suka rela tanpa mengharap 
imbalan, kecuali sekadar uang buat 
beli nasi saja!" 
"Kau ini pendekar apa pengemis?" 
"Aku cuma bercanda," kata Pandu 
sambil tertawa. Lalu ia dekati gadis 
itu, si gadis menjauh. 
"Bantulah aku menemui mereka. 
Ada  persoalan  yang harus kuluruskan 
berkenaan dengan si Sawung Seta!" 
"Pergi aja sendiri!" 
Pandu mendekat lagi, si gadis 
sudah terpojok dinding gua. Akhirnya 
hanya diam saja, tapi memandang sangar 
kepada Pandu. Pendekar Romantis tetap 
tenang, menyunggingkan senyumannya 
yang punya daya pikat tinggi itu. 
Pandu ingin ulangi permohonannya 
tadi, tapi terkesima memandang seraut 
wajah cantik angkuh dengan mata indah 
dan bibir sensual yang kini dalam 
keadaan segar itu. Akibatnya, mata 
Pandu tak berkedip menatapi wajah itu 
dengan sorot pandangan mata yang 
lembut dan sangat romantis. Suaranya 
pun terdengar bagai berbisik, lembut 
dan romantis pula.  


"Ternyata kau lebih cantik dari 
seorang ratu mana pun. Kalau saja saat 
ini ada kembang, aku ingin memetiknya 
sekuntum dan kusematkan di rambutmu, 
Awan Sari!" 
"Aku nggak suka kembang!" 
ketusnya.  
"Kalau saja aku punya berlian, 
ingin rasanya kukalungkan di lehermu 
biar kecantikanmu lebih terpancar 
lagi. Kalau bisa seluruh mata dunia 
tertuju kepadamu, dan aku yakin mereka 
akan berdecak mengagumi kecantikanmu. 
Sayang sekali aku tak punya berlian. 
Tapi barangkali sekerat hati lebih 
berharga dari sebutir berlian!"  
"Hmmm...!" Awan Sari mencibir. 
Melengos ke kiri. Tapi hatinya tampak 
gelisah, karena  gerakan matanya tak 
stabil. 
"Awan Sari, mengapa kau seangkuh 
itu padaku? Apakah kau tak ingin 
menjalin persahabatan yang baik dengan 
orang yang tak pernah punya dosa 
padamu? Apakah kau akan selamanya 
membenciku?"  
"Aku nggak membencimu!" ucapnya 
ketus juga, masih buang muka. 
"Pandanglah aku, dan kau akan 
temukan kejujuran hati seorang lelaki 
yang selalu mengalah padamu ini! 
Pandanglah, Awan Sari," ucapan lirih 
penuh kelembutan membuat Awan Sari 
melirik. Cuma melirik, tapi itu sudah 
merupakan pertanda bahwa ia mau turuti 
kemauan Pandu Puber. Lalu, dengan 
tanpa ragu dan penuh keyakinan, Pandu 
Puber meraih ujung dagu gadis itu. 
Pelan-pelan sekali diputarnya  wajah 
cantik tersebut hingga saling 
berhadapan. Anehnya, si gadis ternyata 
menurut dan kini ia jadi menatap wajah 
Pandu. Cukup lama juga ia memandangi 
Pandu, sampai akhirnya senyum Pandu 
yang mekar itu mendekati wajahnya. 
Dekat... dekat... dan dekat lagi. Awan 
Sari gundah, lalu pejamkan matanya 
pelan-pelan.  
Cup... 
Bibir pendekar tampan menempel 
di bibir Awan Sari. Bibir itu memagut 
dengan lembut sekali. Awan Sari 
seperti diterbangkan sampai mentok 
langit-langit gua. Gerakan bibir Pandu 
memancing rasa dan emosi, maka Awan 
Sari pun membalas lumatan bibir Pandu 
dengan sedikit lebih lincah. Tambah 
lama tambah lincah, akhirnya gadis itu 
menjadi buas. Bibir Pandu habis Sudah 
dilumatnya. Kedua tangan Awan Sari tak 
tanggung-tanggung memeluk tubuh Pandu. 
Tangan itu meremas punggung Pandu. 
Keras dan keras sekali. 
Pandu membatin, "Lho, kok jadi 
begin!?! Hmmm... ngelunjak deh! 
Ngelunjak ini namanya! Udah, ah! Kalau 
diterusin nanti malah dia yang 
berbahaya!" 
Ketika Pandu melepaskan 
kecupannya dengan gerakan amat pelan, 
Awan Sari mengeluh panjang. Tak jelas 
apa arti keluhan itu, mungkin puas, 
mungkin kecewa, mungkin pula emang 
ngos-ngosan. Yang jelas mata galaknya 
menjadi sayu romantis saat menatap 
mata Pandu. Senyum Pandu pun mekar 
dengan indahnya, walau si gadis tak 
punya senyum sedikit pun. Lalu, dengan 
suara lirih dan lembut Pandu berkata 
kepadanya, 
"Bantulah aku menemui  mereka. 
Kau mau kan?" 
"Mereka ada di Bukit Gerhana!" 
"Aku tidak tahu di mana arah 
Bukit Gerhana." 
"Sebelah selatan dari tempat 
ini!" 
"Kalau begitu aku akan menuju ke 
sana malam ini juga." 
Dengan mata masih memandang tak 
berkedip, Awan Sari gelengkan kepala 
dan berkata lirih, "Jangan malam ini. 
Besok saja!" 
"Baiklah. Kalau begitu besok aku 
akan ke sana!" 
"Aku akan mengantarmu supaya kau 
tak tersesat!" 
Pandu tersenyum kian lebar, lalu 
membatin, "Akhirnya mau juga kan? 
Rupanya memang harus ditaklukkan 
dengan kelembutan." 
"Malam ini... malam ini kau mau 
menemaniku di gua ini, kan?" 
"Yeeesss...!" bisik Pandu tegas. 
  
ENAM 
SEKELEBAT sinar merah melintas 
cepat bagaikan meteor. Munculnya dari 
semak-semak sebelah kiri Awan Sari. 
Arah sinar itu adalah tubuh Awan Sari. 
Tetapi Pandu Puber yang berjalan 
sedikit ke belakang gadis itu melihat 
gerakan sinar maut yang dapat 
merenggut nyawa Awan Sari. Dengan 
gerakan refleks, kaki Pandu menjejak 
tubuh Awan Sari.  
Buugh...!  
Wuuut...!  
Gubras...!  
Awan Sari jatuh  tersungkur. 
Hampir saja ia menjadi berang kepada 
Pandu karena merasa diserang mendadak. 
Namun setelah mendengar suara ledakan 
menggelegar dan dua pohon di seberang 
kanannya pecah seketika, Awan Sari 
jadi terbengong melompong. Ia baru 
sadar tindakan Pandu tadi demi 
menyelamatkan nyawanya dari ancaman 
maut seseorang. 
"Setan retak!" makinya sambil 
bangkit, lalu tangan gadis itu 
menyentak ke arah semak-semak. 
Claap...!  
Sinar merah berbentuk seperti 
telur ayam melesat dan menghantam 
semak-semak itu.     
Duaaar...! 
Semak-semak menjadi hancur 
terpotong-potong lembut dan menyebar 
ke udara. Dari semak-semak itu muncul 
sekelebat gerakan bersalto sebelum 
sinar merah telur tadi menghantam 
semak. Sosok yang muncul dari semak 
tadi tak lain adalah sosok gadis 
berdada pabrik. Siapa lagi yang punya 
dada semontok itu kalau bukan Rani 
Adinda yang berjubah kuning. 
"Dinda...?!" gumam Pandu dengan 
terheran-heran. 
"O, kau rupanya?!" ucap Awan 
Sari penuh permusuhan. Rani Adinda 
memandang tajam kepada Awan Sari. 
Sikapnya jelas-jelas bermusuhan. Pandu 
Puber sempat mencemaskan keadaan 
tersebut. Karena ia tahu kedua 
perempuan itu sama-sama mempunyai 
keberanian bertarung sampai mati jika 
dilihat dari cara mereka dalam saling 
memandang. 
"Rupanya kau telah bebas dari 
Sawung Seta, Dinda!" Pandu mencoba 
mengalihkan suasana agar jangan 
terjadi pertumpahan darah di antara 
kedua gadis tersebut. Tapi ucapan 
Pandu itu tidak mendapat reaksi apa-
apa dari Rani Adinda. 
"Apa maksudmu menyerangku secara 
licik, Gadis Jalang?!" sentak Awan 
Sari dengan kasar sambil lebih 
mendekat lagi. 
"Jauhi pemuda itu!" kata Rani 
Adinda dengan menuding Pandu tapi 
tidak memandang pemuda tersebut. 
"Apa hakmu melarangku mendekati 
Pandu? Kau tak berhak mengatur 
hidupku, Rani Adinda!" 
"Kuingatkan sekali lagi," tegas 
Rani Adinda tanpa senyum sedikit pun, 
"Jauhi Pandu atau jauhi nyawamu!" 
"Setan! Kau menantangku, hah? 
Belum puas menjadi kekasih seorang 
'pelanang' seperti Sawung Seta itu?!" 
Pandu membatin, "Apa itu 
'pelanang'? Apakah sejenis dengan 
gigilu, eh... gigolo? Hmmm... mungkin 
'pelanang' singkatan dari 'Pelacur 
Lanang'. Ah, persetanlah. Ngapain aku 
malah mikirin singkatan seperti itu? 
Bego!" 
Pandu Puber buru-buru mendekati 
Awan Sari yang tampak siap-siap 
lepaskan serangan maut ke arah Rani 
Adinda. 
"Awan Sari, jangan layani dia! 
Mungkin dia sedang jengkel sama Sawung 
Seta, sehingga emosinya tak 
terkontrol! Jangan...!" 
"Minggir!" sentak Awan Sari 
sambil mengibaskan pundaknya yang 
disentuh Pandu Puber. Matanya tetap 
tertuju pada Rani Adinda dengan tangan 
di ke ataskan dan siap lakukan 
serangan jarak jauh. 
"Majulah kalau kau ingin segera 
pergi ke neraka!" 
Rani Adinda mengelebatkan 
tangannya bagaikan membuang sesuatu ke 
arah depan, Wuuus...! Dan seberkas 
sinar merah seperti bintang melesat 
hendak menghantam Awan Sari. Tetapi 
Awan Sari melawannya.  
Dari tangannya yang ada di atas 
keluar sinar biru lurus dan menghantam 
sinar merahnya Rani Adinda 
Claap...! Blaaarrr...! 
"Gila!" sentak Pandu, karena ia 
sendiri tersentak jatuh ke belakang 
karena kekuatan daya ledak yang 
menggelegar itu. Awan Sari dan Rani 
Adinda sama-sama tersentak mundur 
pula, tapi Awan Sari lebih parah. Ia 
terjungkal berguling-guling ke 
belakang bagaikan dilemparkan badai 
liar. Sedangkan Rani Adinda hanya 
bergeser mundur sekitar dua langkah, 
masih tegak dan tegar. Jurusnya 
dimainkan kembali dengan gerakan mirip 
seekor burung perkasa hendak 
mengepakkan sayapnya. 
Wuuut...!  
Tiba-tiba  tubuh Rani Adinda 
melayang bagaikan terbang. Awan Sari 
yang baru saja bangkit itu disambarnya 
dengan tendangan kaki beruntun. 
Dus, dus, dus, dus, dus...! 
Tendangan itu sangat cepat dan 
sukar ditangkis ataupun dihindari. 
Akibatnya Awan Sari terpental kembali 
pada tendangan yang terakhir. Wajahnya 
berlumur darah, karena lubang 
hidungnya keluarkan darah segar. 
"Ganas juga Adinda kalau lagi 
marah  begitu, ya? Urusannya sepele, 
cuma cemburu, tapi kok jadi seganas 
itu, ya?" 
Kecamuk batin Pendekar Romantis 
terhenti karena melihat jurus yang 
dilancarkan Rani Adinda kali ini. 
Gadis berjubah kuning itu melesat 
tinggi ke atas pada saat Awan Sari 
berusaha  bangkit sambil berpegangan 
pada batang pohon. Tiba-tiba dari 
mata, tangan, kaki, dan pertengahan 
dada montoknya Rani Adinda keluar 
berlarik-larik sinar putih perak yang 
menghantam tubuh Awan Sari.  
Zrraab...! 
"Tidaaak...!" teriak Pandu yang 
merasa jurus itu akan menghancurkan 
tubuh Awan Sari. Jelas keroyokan sinar 
itu tak akan bisa dihindari oleh Awan 
Sari. Maka, dengan emosi yang meluap 
karena ketegangannya, Pandu Puber 
melesat cepat, pergunakan jurus 'Angin 
Jantan'. Zlaaap...!  
Tahu-tahu sudah ada di depan 
Awan Sari, dan melepaskan pukulan 
jurus 'Cakram Biru', yaitu sinar biru 
dari pergelangan tangannya yang 
berbentuk cakram. Sinar itu muncul dan 
melesat beberapa kali sesuai dengan 
jumlah sinar putih peraknya Rani 
Adinda. Akibatnya, setiap sinar putih 
bisa  dilumpuhkan oleh sinar biru 
tersebut dan menimbulkan dentuman yang 
menggelegar beberapa kali. 
Blegar...! Duuur...! Blaaam...! 
Duaaar...! Blaaar...!  
Gemanya menggaung bergemuruh 
mirip langit mau runtuh.  
Lhaaarrrr...! 
Seandainya ada orang melihat 
dari kejauhan, maka ia akan menyangka 
telah  terjadi  kiamat di tempat itu. 
Pohon-pohon tumbang, tanah berguncang, 
sebagian retak membentuk lubang dalam, 
membentuk celah bagaikan potongan 
bumi. Udara menjadi hitam karena asap 
ledakan berkali-kali itu. Bebatuan 
pecah  menyembur ke mana-mana. Angin 
badai terjadi beberapa saat dan 
membuat beberapa pohon di tempat agak 
jauh dari situ menjadi tumbang pula. 
Bagaimana dengan tubuh mereka? Pandu 
Puber terpental kehilangan 
keseimbangan dan jatuh di samping 
pohon yang tumbang, delapan langkah 
jauhnya dari tempatnya berdiri tadi, 
sedangkan tubuh Awan Sari terpental 
tinggi, lalu jatuh terbanting tanpa 
sadar diri lagi. Tetapi tubuh Rani 
Adinda masih tetap tegar, berdiri 
tanpa guncang sedikit pun di tempatnya 
mendaratkan kaki dari lompatannya 
tadi. Tak ada luka sedikit pun, bahkan 
pakaiannya tak ada yang robek seinci 
pun. Hanya rambutnya yang morat-marit 
dihempas badai kencang tadi. 
Gelombang ledakan yang 
menghentak kuat beberapa kali membuat 
mulut pemuda ganteng itu memuntahkan 
darah segar walau tak banyak. Dadanya 
terasa panas sekali, dan ia menahannya 
dengan menyalurkan hawa dingin ke 
sekujur tubuhnya. Hawa salju itulah 
yang membuat Pandu Puber mampu bangkit 
kembali walau sedikit sempoyongan. 
"Jurus edan-edanan itu tadi!" 
katanya  membatin. "Tak kusangka Rani 
Adinda mempunyai jurus sedahsyat itu. 
Benar-benar berbahaya bagi keselamatan 
orang lain dan keselamatan dirinya 
kalau harus kulayani dengan adu 
kesaktian. Sebaiknya kubujuk saja 
dengan kelembutan, siapa tahu bisa 
reda emosinya...." 
Pandu Puber berdiri dalam jarak 
tujuh langkah dari Rani Adinda. Ia 
ingin ucapkan sesuatu, tapi sudah 
didahului oleh Rani Adinda.  
"Tinggalkan gadis itu!" Dingin 
sekali kata-kata tersebut. Lebih 
dingin ucapan itu daripada sebalok es 
batu atau es cendol. Pandu dapat 
rasakan kecemburuan yang begitu besar 
tertanam di dada gadis itu. Tapi ia 
sendiri merasa heran, mengapa 
kecemburuannya bisa sebesar itu? 
Padahal mereka baru saja bertemu dan 
belum menjalin hubungan apa-apa. 
"Seharusnya tak perlu sampai 
begini, Dinda!"  
"Jauhi saja dia! Jangan banyak 
memberi saran padaku!" 
Setelah berkata begitu, Rani 
Adinda berkelebat pergi. Tapi kira-
kira dalam jarak pandang yang masih 
nyata, gadis itu berhenti. Lalu 
menyentakkan tangan kanannya ke atas. 
Dari tangan kanan itu  melesat sinar 
merah yang segera mengembang di 
angkasa.  
Claap! 
Wuuurss...! 
Mata Pandu Puber terbelalak 
kaget melihat sinar merah itu pecah 
dan membentuk hiasan bunga mawar 
merah. Jantung Pandu bagaikan terhenti 
seketika karena ia segera ingat dengan 
wajah  cantik milik bidadari Dian Ayu 
Dayen. Bidadari itulah yang harus 
diburu dan dijadikan istrinya, karena 
tanpa diperistri sang bidadari, maka 
Pandu Puber tidak akan bisa naik ke 
kayangan dan hidup sebagai dewa. 
Sementara itu, Dian Ayu Dayen sendiri 
tak mudah ditangkap dan dijerat 
hatinya. Bukan berarti Dian Ayu Dayen 
tak mencintai Pandu, melainkan karena 
bidadari Penguasa Kecantikan itu 
menyukai calon suami yang mampu 
mengalahkan kesaktiannya maupun 
kekerasan hatinya. Repotnya lagi, Dian 
Ayu Dayen mampu merubah wujud seperti 
apa saja, asal bukan seperti singkong 
goreng. 
Pandu bagaikan terpaku di tempat 
melihat Rani Adinda berselimut hijau 
pendar-pendar. Dari sinar hijau itu 
muncullah wajah asli bidadari Dian Ayu 
Dayen. 
Pakaiannya serba putih, halus, 
dan lembut. Sebagian rambutnya 
disanggul dengan indahnya. Di belahan 
dadanya terselip setangkai bunga mawar 
asli, bukan hiasan. 
Bidadari super cantik itu 
kirimkan suara yang hanya bisa 
didengar oleh telinga Pendekar 
Romantis saja. 
"Aku cemburu. Memang cemburu. 
Tapi itulah kasihku. Sayang kau belum 
bisa cabut bunga mawar dari dadaku. 
Cabutlah bunga mawar itu dari dadaku 
dan kau akan kurenggut dalam pelukan 
selama-lamanya, Pandu Puber." 
Pandu bicara dalam batinnya, 
"Bagaimana aku bisa mencabutnya jika 
kau tak berani muncul lama didepanku?" 
Rupanya ucapan batin itu 
didengar oleh Dian Ayu Dayen, sehingga 
Pandu Puber mendengar jawaban di 
telinganya,       
"Carilah aku dalam kecantikan-
kecantikan yang menyebar di 
sekelilingmu. Aku ada di antara 
mereka. Dekap aku dan ciumlah 
keningku, maka aku akan berubah 
menjadi wujud asliku seperti ini. Dan 
kau bisa cabut bunga mawar Ini dari 
dadaku."  
"Tapi,..." Kata-kata Pandu 
terpotong, 
"Jangan mengumbar cinta dan 
kemesraan, Kasihku. Karena jika aku 
melihatnya dari kayangan, aku akan 
turun dan menghajar sainganku. Tapi 
tentu saja tak akan sampai mati. 
Sembuhkan gadis itu, setelah itu jauhi 
dia!" 
Zlaaasss 
Tubuh perempuan cantik itu 
memancarkan asap putih, makin lama 
semakin tebal. Pandu buru-buru 
mengejar dengan maksud menahan 
kepergian  Dian Ayu Dayen. Tetapi 
sekalipun ia pergunakan jurus 'Angin 
Jantan' ternyata ia masih kalah cepat 
dengan kepergian Dian Ayu Dayen. Asap 
itu ditangkapnya dalam pelukan. Tapi 
Pandu tidak menyentuh apa-apa. Asap 
pun sirna disapu angin. Dian Ayu Dayen 
sudah tidak ada di situ. 
"Brengsek!" bentak Pandu kesal 
sekali. Sebongkah batu ditendangnya. 
Wuuut...! Weeessss...! Batu itu 
melayang terbang dan menghantam pohon 
di kejauhan sana.  
Blegaaar...! Ternyata batu itu 
mempunyai kekuatan tenaga dalam dari 
hasil tendangan kaki Pandu yang sedang 
jengkel itu. Pohon tersebut pecah 
terbelah. 
"Masa bodoh! Aku nggak mau jauhi 
Awan Sari atau gadis mana pun! Aku 
akan mengumbar cinta, habis kamunya 
gitu sih, Dian! Kalau kamu nggak mau 
aku pacaran sama cewek lain, kamunya 
datang dong! Jangan hanya muncul 
sekejap-sekejap! Aku kan butuh kasih 
sayang dan kemesraan! Bukannya aku 
nggak cinta sama kamu, tapi kau 
permainkan aku sih, jadinya aku ya 
kayak gini. Bandel! Tapi... tapi 
kayaknya memang aku harus lebih jeli 
lagi. Siapa tahu Awan Sari pun bisa 
berubah menjadi wujudnya yang asli. 
Dia bisa muncul dan menjelma dalam 
berbagai kecantikan dan wajah wanita. 
Aku harus mengecup keningnya. Jika 
keningnya kukecup dan dia berubah 
menjadi wujud aslinya, maka akan 
kucabut bunga mawar itu dari dadanya!" 
Pandu sengaja ngoceh sendiri 
untuk hilangkan kekesalan hatinya. Ia 
hampiri Awan Sari yang terkapar tak 
sadarkan diri itu. Pandu geleng-geleng 
kepala dengan cemberut. Lalu, jurus 
'Hawa  Bening' dilepaskan dari jari 
tengahnya.  
Claaap...! Dalam beberapa detik 
saja gadis itu sudah bisa konsen 
terhadap keadaan sekelilingnya. 
"Mana si keparat Rani Adinda 
tadi?!" geramnya dengan mata galak 
memandang ke sana-sini. 
"Dia bukan Rani Adinda," jawab 
Pandu dengan lesu. 


"Kau tak perlu melindunginya! 
Aku bukan anak kecil yang bisa kau 
tipu dengan caramu itu!" Awan Sari 
jadi jengkel sendiri pada Pandu Puber. 
"Ke mana larinya si jalang itu, hah?!" 
"Sudahlah, jangan pikirkan dia 
lagi! Dia bukan Rani Adinda!" sambil 
Pandu bersikap merangkul pundak Awan 
Sari, tapi rangkulan itu dikibaskan, 
dibuang oleh Awan Sari. 
"Katakan, ke mana larinya si 
jalang itu?! Akan kukejar dia dan 
kubalas kekalahanku kali ini. Mungkin 
aku akan lebih kejam lagi dalam 
membalasnya!" 
"Nanti malah kacau semuanya, 
Sari!" 
"Nggak peduli! Kalau kau tak mau 
tunjukkan, aku akan cari dia ke 
perguruannya!  Ku obrak-abrik 
perguruannya itu! Heh!" 
Weeesss.... 
"Sariii...! Sariii...!" 
Awan Sari berlari cepat, 
pergunakan jurus peringan tubuhnya. 
Pandu Puber terpaksa harus mencegah 
amukan Awan Sari karena akan terjadi 
kesalahpahaman yang menimbulkan korban 
sia-sia. Tapi baru saja Pandu Puber 
ingin bergerak menggunakan jurus 
'Angin Jantan'nya, tiba-tiba seseorang 
memanggilnya dari belakang. 
"Pandu...!" 
Suara tua itu membuat langkah 
Pandu Puber tertunda. Ia berpaling ke 
belakang. Kaget. Matanya terkesiap 
dalam memandang si nenek berjubah ungu 
tanpa lengan, rambutnya putih perak. 
"Siapa nenek itu? Kayaknya aku 
pernah melihatnya?!" pikir Pandu yang 
belum sadar bahwa nenek peot itu 
adalah si Janda Keramat. 
"Pandu, tolonglah aku...," ucap 
sang nenek peot dengan wajah menghiba 
sekali. Ia makin dekati Pandu yang 
diam terheran-heran. 
"Apakah... apakah kau... kau 
Janda Keramat?!" tanya Pandu dalam 
keraguan yang besar. 
"Benar. Akulah Hapsari, si Janda 
Keramat itu, Pandu!" 
"Astaga!"  Pandu membelalak. 
"Belum ada dua hari kita berpisah, 
mengapa kau sudah menjadi setua itu, 
Janda Keramat?!" 
"Yaaah..., nasib!" keluh Janda 
Keramat dengan nada sedih. Lalu ia 
menceritakan pertarungannya dengan 
Nyai Perawan Busik, juga menceritakan 
tentang pertarungannya empat tahun 
yang lalu dengan Nyai Perawan Busik 
yang dulu juga cantik sepertinya. Kini 
mereka sama-sama tua dan peot. Tapi di 
dalam darah tua si nenek jubah ungu 
itu masih berkobar gairah bercumbu 
jika melihat Pandu. 
"Aku... aku butuh bantuanmu, 
Pandu sayang...," sang nenek mencoba 
bergelendot di pundak Pandu Puber. 
Risi sekali digelayuti seorang nenek 
yang kini terbatuk-batuk itu. Tapi 
Pandu mencoba bertahan untuk tidak 
menampakkan perasaan risinya itu. 
Kasihan, dapat membuat hati sang nenek 
kian tersinggung dan sakit. 
"Tolong pulihkan keadaanku, 
Pandu."  
"Mana kubisa? Aku tidak tahu 
ramuan yang kau minum sehingga kau 
bisa awet muda dan cantik seperti 
kemarin itu?" 
"Kekuatan tenaga pembangkit 
serat dalam tubuhku diracuni oleh 
kekuatan yang menghantamku dari Nyai 
Perawan Busik! Ramuan yang biasa 
kuminum hanya pembangkit semangat dan 
pengencang serat dan urat-urat. Tapi 
itu semua bisa pulih  kembali jika 
racun yang menguasai serat daging dan 
urat-uratku bisa ditawarkan dengan 
suatu kekuatan hawa sakti. Sedangkan 
hawa saktiku tak bisa kugunakan lagi 
karena sudah ikut tercemari oleh 
racunnya si Busik celeng itu! 
Tolonglah, pergunakan cahaya beningmu 
yang tadi kulihat kau pakai untuk 
mengobati gadis berbaju merah itu!" 
Pandu diam sebentar. Ia manggut-
manggut dalam hati. Rupanya saat ia 
mengobati Awan Sari, si Janda Keramat 
melihatnya dari balik 
persembunyiannya. Tapi apakah si Janda 
Keramat juga melihat kemunculan Dian 
Ayu Dayen?  
"Apa saja yang kau lihat tadi?" 
tanya Pandu.  
"Hanya cara pengobatanmu dan 
perdebatanmu yang menyinggung-
nyinggung nama Rani Adinda tadi. Cuma 
itu, sebelumnya aku tak tahu kau 
apakan gadis itu sehingga sampai 
pingsan. Mungkin kau cumbu di luar 
batas, seperti kau mencumbuku? Oh, 
jelas itu tak mungkin kuat dialami 
perempuan lain. Hanya akulah yang bisa 
menandingi kekuatanmu, Pandu." 
"Jangan jorok terus otakmu, ah!" 
sentak Pandu, lalu mengendurkan 
ketegangannya. "Begini saja, akan 
kucoba menggunakan 'Hawa Bening'ku, 
tapi...." 
"Untuk apa menggunakan sayur 
bening? Aku tak butuh makanan...." 
"'Hawa Bening', budge!" sentak 
Pandu geli-geli dongkol. 
"Ooo.... 'Hawa Bening'? 
Kedengarannya tadi kamu bilang sayur 
bening. Yah... maklumlah kuping tua 
memang suka tulatit. Salah sambung!" 
"Tapi kau mau berjanji padaku, 
bahwa kalau kau berhasil kusembuhkan 
dan menjadi seperti kemarin, kau akan 
insaf?!" 
" Mudah-mudahan." 
"Jangan mudah-mudahan! Harus 
pasti! Kau harus bisa menjadi manusia 
yang berwatak jujur, sabar, baik budi, 
suka menolong, dan... pokoknya jadi 
orang baik deh! Jangan jadi orang 
sesat terus kayak yang udah-udah! Kau 
harus menjadi tokoh aliran putih!" 
"Tapi... soal kelainan gairahku 
bagaimana?" ujarnya dengan wajah tua 
memanja. Enak untuk ditabok. 
"Mudah-mudahan kelebihan 
gairahmu bisa terobati dengan 'Hawa 
Bening'ku juga." 
"Yaaah... kalau gairahku hilang, 
aku nggak bisa happy dong," kata suara 
tua yang pletat-pletot itu. Pandu jadi 
ingin tertawa mendengarnya. Tapi 
setelah beberapa kali diberi 
penjelasan, akhirnya nenek kempot itu 
mau berjanji akan hidup menjadi orang 
baik-baik, yang tidak banyak merugikan 
pihak lain. 
"Asal... aku tetap bersamamu, 
sebab aku selalu butuh asmaramu!" 
"Itu tergantung bagaimana hatiku 
nanti!" Maka, Pandu Puber pun segera 
melepas jurus pengobatannya yang hanya 
dimiliki oleh para dewa dan 
keturunannya itu. Dan ternyata usaha 
itu tidak sia-sia. Janda Keramat yang 
bernama Hapsari itu mengalami 
perubahan sedikit demi sedikit, 
akhirnya menjadi muda, cantik, dan 
seksi, seperti kemarin. 
Saking gembiranya ia melonjak 
dan memeluk Pandu, lalu menciuminya 
dengan bertubi-tubi. Clepat, clepot, 
cetot...! Habis deh wajah Pandu 
sebagai pelampiasan ucapan terima 
kasih sang janda. 
Sang Janda pun akhirnya berbisik 
dalam pelukan, "Tapi... kok gairahku 
belum bisa hilang pula? Masih 
menggebu-gebu seperti kemarin tuh. 
Gimana ini, Pandu?" 
"Gawat...!" gumam Pandu dengan 
merenung bingung. 
TUJUH 
JANDA KERAMAT yang cantik dan 
menggairahkan itu tetap mendesak Pandu 
Puber untuk melupakan Rani Adinda dan 
kasus Hantu Putih. Tentu saja itu 
dinilai Pandu sebagai sikap egois sang 
janda berambut perak dan berkulit 
putih mulus tersebut. Pandu tidak mau 
terpengaruh sikap egois tersebut. Ia 
tetap menuju ke Bukit Gerhana untuk 
selesaikan persoalan tersebut. Karena 
Sawung Seta harus pertanggungjawabkan 
perbuatannya terhadap istri Sultan, 
alias ibu Rani Adinda. Setidaknya 
Pandu harus bicara dengan gurunya 
Sawung Seta tentang nasib Rani Adinda 
yang ditolak kesultanan dan mempunyai 
syarat untuk membunuh Sawung Seta agar 
diterima kembali oleh keluarganya. 
Pandu mendesak Janda Keramat untuk 
temui Layang Petir, si guru Sawung 
Seta itu. 
"Aku tidak bersedia mengantarmu 
ke Bukit Gerhana!" kata Janda Keramat 
dengan tegas. 
"Aku sudah menolongmu, kenapa 
kau tak mau menolongku?" 
"Aku... aku... ah, pokoknya aku 
tak mau ke sana!" 
"O, mungkin kau takut terpikat 
lagi oleh Sawung Seta?" 
Janda Keramat mencibir. 
"Hmmm...! Tak ada lelaki lain yang 
bisa memikatku sekarang ini, Pandu. 
Biar ada seribu ketampanan Sawung 
Seta, aku sudah tidak tertarik lagi 
untuk menjajal kehebatan jurus 
cintanya. Seolah-olah, jiwa, raga, 
sukma, dan batinku telah terkuasai 
oleh jurus cintamu, Pandu!" 
"Habis, kenapa kau tak mau 
antarkan aku ke Bukit Gerhana?" 
Janda Keramat diam sebentar, ada 
keraguan yang terbendung di ujung 
lidahnya. Tapi pada akhirnya ia pun 
berkata, 
"Aku takut kepada Layang Petir!" 
"Ooo... jadi itu sebabnya kau 
tak berani ke sana?" Pandu tersenyum 
berkesan meremehkan. Janda Keramat 
hanya mengangguk dan segera buang 
muka, sepertinya menahan kedongkolan 
dalam hati yang ingin ditentangnya 
sendiri.  
"Jika kau ingin ke sana, aku 
hanya bisa mengantarmu sampai di 
seberang sungai. Setelah itu 
berjalanlah terus ke selatan dan kau 
akan sampai di Bukit Gerhana yang 
bentuknya seperti bulan separo 
bagian." 
"Baiklah kalau begitu!" 
"Tapi janji, ya? Habis itu kau 
pulang ke pondokku. Oke?" 
"Itu bisa diatur!" jawab Pandu 
sengaja memberi jawaban mengambang. 
Karena ia sendiri tak tahu apakah 
setelah menyelesaikan urusan Hantu 
Putih ia akan kembali ke pondoknya 
Janda Keramat atau pergi ke tempat 
lain? 
Sebelum mereka sampai di tepian 
sebuah sungai yang menjadi batas 
wilayah Bukit Gerhana, langkah mereka 
terhenti bukan karena dihadang oleh 
lawan siapa pun, melainkan karena 
menemukan sesosok mayat terkapar di 
bawah pohon. Pandu terkejut dan segera 
berseru di luar kesadarannya, 
"Adinda...?!" 
Ya,  memang Rani Adinda yang 
terkapar di sana dengan tubuh terluka 
panjang. Luka yang mengucurkan darah 
itu menandakan luka bekas sabetan 
pedang. Tubuh itu membiru, berarti 
pedang itu mempunyai racun yang 
berbahaya jika menggores kulit 
manusia. Dilihat dari kesegaran 
darahnya dan masih hangat, berarti 
Rani Adinda baru saja melangsungkan 
pertarungan. Mungkin musuhnya belum 
jauh dari tempat tersebut. Pandu Puber 
segera mencari dengan gerakan cepatnya 
ke berbagai penjuru. Namun ia tidak 
menemukan siapa-siapa di sana. Ia 
kembali ke tempat Rani Adinda terkapar 
dengan wajah penuh kekecewaan. 
Janda Keramat berkata, "Dia 
belum meninggal. Kurasakan ada denyut 
nadinya, tapi lemah sekali!" 
Pandu tegang, segera memeriksa 
denyut nadi Rani Adinda dengan 
menempelkan tangannya ke dada montok 
itu. Janda Keramat menampel tangan 
Pandu keras-keras.  
Plak! 
"Jangan periksa daerah itunya 
dong! Sini lho... di pergelangan 
tangan! Uuuh... dasar cowok ganjen!" 
umpatnya sambil bersungut-sungut. 
Sebenarnya kalau Pandu tidak 
tegang, ia akan tertawa melihat 
kecemburuan Janda Keramat. Tapi karena 
ia masih serius, ia tak bisa 
menertawakan hal itu. 
"Benar, masih ada sisa denyut 
nadinya! Kalau begitu masih 
memungkinkan untuk kusembuhkan! Akan 
kucoba!" 
"Ah, sudahlah! Tinggalkan saja, 
cepatlah pergi ke bukit!" 
"Jangan begitu! Kau pasti suka 
kalau dia mati kan?" 
"Biar tak ada saingan lagi!" 
"Sainganmu bukan hanya dia!" 
kata Pandu sambil bersiap melepaskan 
jurus 'Hawa Bening'-nya. Janda Keramat 
akhirnya menjauh dan bersikap tak mau 
tahu tentang apa yang dilakukan Pandu. 
Ia memang tak ingin gadis itu hidup 
karena dapat menghambat perhatian 
Pandu terhadap dirinya. 
Ternyata Rani Adinda memang 
belum mati secara tuntas. Sisa denyut 
nadinya sangat menentukan nasibnya 
saat itu. Dan kedatangan Pandu 
ternyata belum terlambat. Gadis 
berdada pabrik susu itu akhirnya dapat 
disembuhkan dan menjadi sehat kembali. 
"Siapa yang melakukannya?" tanya 
Pandu kepada Rani Adinda. 
"Awan Sari!" jawab Rani Adinda. 
"Aku bertemu dengannya di sini dan ia 
menyangka ku  telah mencelakainya dl 
depanmu. Padahal aku merasa sedang 
kebingungan mencarimu, Pandu! Ku 
jelaskan berulang kali, tapi dia tetap 
ngotot dan menuduhku menyerangnya 
sampai ia hampir mati. Katanya, untung 
segera ditolong olehmu, jadi ia punya 
kesempatan untuk menebus kekalahannya 
itu! Ah, aku tak mengerti apa 
maksudnya sebenarnya!" 
Pandu hanya bisa prihatin 
mendengar cerita itu. Baginya amat 
sulit menceritakan apa sebenarnya yang 
terjadi, baik kepada Rani Adinda 
ataupun kepada Awan Sari. Kemunculan 
Dian Ayu Dayen dan statusnya sebagai 
bidadari adalah sesuatu yang sukar 
dipercayai oleh setiap orang. 
Karenanya Pandu hanya bisa diam dan 
menyimpan kenyataan itu di dalam 
hatinya. 
"Oh, rupanya kau datang bersama 
si jalang itu?" kata Rani Adinda 
begitu melihat Janda Keramat. 
Pandangan  mata si Janda Keramat 
menjadi nanar setelah mendengar ucapan 
sinis Rani Adinda. 
"Apakah kau tak malu berjalan 
bersama janda rakus itu, Pandu?" 


"Adinda, sudahlah...!" bujuk 
Pandu Puber yang mencemaskan 
pertarungan di antara mereka berdua. 
"Jaga mulutmu, Bocah Liar!" kata 
Janda Keramat dengan kasar sambil 
menuding Rani Adinda. 
"Sudah merebut kekasihku, 
sekarang ingin merebut sahabatku lagi? 
Hmm... benar-benar nggak tahu malu kau 
ini! Rakusmu kelewat batas, Janda 
Kodok! Kenapa harus orang-orang yang 
dekat denganku yang kau ganggu dan kau 
racuni dengan kemesraan setanmu itu, 
hah?!" 
"Sekarang kau mau apa sebenarnya 
sih? Mau apa?!" Janda Keramat dekati 
sambil tolak pinggang. Pandu membatin, 
"Membosankan sekali! Perkaranya 
cuma begitu-begitu melulu. Tapi, 
yah... maklumlah, saling terkait sih, 
jadi ya... ya... memang harus begini!" 
Sambil membatin demikian ia menengahi 
pertengkaran tersebut. Ia berkata 
kepada Janda Keramat dengan suara 
pelan, 
"Jangan layani emosinya! 
Pulanglah, nanti setelah keselesaikan 
masalahku dengannya aku akan ke 
pondokmu dan kita akan berlayar 
melewati samudera kemesraan lagi." 
"Tapi dia kurang ajar padaku, 
dan…" 
"Pulanglah!" ucap Pandu lirih, 
sabar, tapi punya penekanan. 
"Jangan bikin aku jengkel, nanti 
aku tak mau datang lagi padamu." 
"Mau pulang kek, mau ngelayap 
kek, itu urusanku!" kata Janda Keramat 
dengan hati dongkol kepada Pandu. 
Sebelum si janda pergi ia sempat 
tarik napas dalam-dalam. Memandang 
benci kepada Rani Adinda. Yang 
dipandang malahan menyentak sambil 
tolak pinggang dan sedikit  majukan 
dada, 
"Apa lu...?! Apa lihat-lihat 
begitu, hah?!" 
Memang lucu kalau lihat dua 
cewek cekcok gara-gara cemburu. Lucu 
dan seru, tapi kadang juga 
membosankan. Hanya saja, kasus saling 
cemburu ini rupanya punya ujung 
masalah yang menuju kepada misteri 
Hantu Putih. Pada dasarnya sih, Rani 
Adinda tidak cemburu kepada Janda 
Keramat. Cuma dia sakit hati gara-gara 
hubungannya diganggu oleh si Janda 
Keramat yang membuatnya kini membenci 
Sawung Seta. 
Bagaimana nggak sakit hati kalau 
Rani Adinda melihat dengan mata kepala 
sendiri, bukan dengan mata kaki, bahwa 
Janda Keramat merenggut tubuh Sawung 
Seta dan menciuminya dengan bebas 
merdeka? Sudah begitu, eh... si Sawung 
Seta pakai ikut-ikut kasih balasan 
segala. Mana tangannya ke mana-mana 
lagi. Uuuh…! Karuan saja  Rani Adinda 
muak dengan Sawung Seta. Cintanya yang 
dulu tumbuh subur langsung layu dan 
mati dimakan rayap. 
"Lalu, bagaimana kau bisa lolos 
darinya?" tanya Pandu, setelah Janda 
Keramat pergi. 
"Yah, terpaksa kukibulin dulu!" 
jawab Rani Adinda. "Setelah ia 
sembuhkan aku dari luka serangannya 
itu, aku berlagak tenang. Tapi selalu 
mengelak jika ingin dijamahnya. 
Setelah badanku terasa segar dan kuat, 
aku melarikan diri darinya." 
"Apakah dia tidak mengejarmu?" 
"Memang mengejarku, tapi segera 
terhenti karena ia mendengar panggilan 
dari gurunya." 
"Jadi, sekarang dia ada di 
mana?" 
"Di pesanggrahan sang Guru!" 
"Apakah..., o, ya... Awan Sari 
sendiri pergi ke sana setelah 
melukaimu?" 
"Mana kutahu? Aku kan dalam 
keadaan sekarat? Masa’ harus 
memandangi kepergiannya dulu baru 
sekarat sih? " 
"Maksudku," kata Pandu sambil 
tersenyum geli, ".... Apakah dia 
menyinggung-nyinggung akan pergi ke 
perguruanmu?" 
"Nggak! Agaknya ia cukup puas 
bisa bertemu denganku. Sebenarnya apa 
sih yang terjadi padanya, Pandu?" 
Pandu hanya menarik napas, tetap 
tak mau ceritakan hal yang sebenarnya. 
Ia malah mengalihkan percakapan, 
"Sebaiknya kita temui Sawung 
Seta ke pesanggrahan sang Guru!" 
"Ogah, ah!" sentak Rani Adinda. 
"Kita selesaikan masalahmu dari 
sana!" 
"Maksudmu?" 
"Aku kenal dengan gurunya Sawung 
Seta! Aku akan bicara pada Layang 
Petir tentang sikapnya selama ini!" 
"Ah, malas! Nanti dia macem-
macem lagi sama aku!" 
"Kalau kau ingin selesaikan 
masalahmu, kalau kau ingin diterima 
kembali sebagai keluarga kesultanan, 
kau harus menemui gurunya Sawung 
Seta!" 
Kini dahi si cantik berdada 
besar yang dari tadi dilirik nakal 
oleh Pandu Puber itu menjadi berkerut. 
Dahinya yang berkerut lho, bukan 
dadanya! Gadis itu merasa heran dan 
curiga dengan maksud kata-kata Pandu. 
"Apakah gurunya Sawung Seta ada 
hubungannya dengan Hantu Putih?" 
Pandu Puber diam sebentar, 
mempertimbangkan jawabannya. Beberapa 
saat kemudian, berkata ia kepada Rani 
Adinda dengan hati-hati. 
"Kudengar kabar dari seseorang, 
Sawung Seta itu gigolo, maksudnya 
sering melayani wanita kesepian dengan 
sejumlah upah yang dijanjikan. Apakah 
kau tak pernah mendengar kabar itu?" 
Dengan lesu Rani Adinda 
menjawab, "Memang sih, aku pernah juga 
dengar kabar begitu. Tapi ia ngaku tak 
pernah lakukan hal itu. Bahkan berani 
sumpah-sumpah segala. Aku sih percaya 
saja!" 
"Sumber informasiku mengatakan, 
jijik kepada Sawung Seta karena ia 
sering layani perempuan lain. Nah, 
apakah tak menutup kemungkinan jika 
kehebatan cintanya itu sampai didengar 
oleh masyarakat dalem kesultanan? 
Menurutmu bagaimana?". 
"Maksudmu...  maksudmu ibuku 
mendengar hal itu dan memanggil Sawung 
Seta untuk berskandal ria? Begitu?!" 
Pandu sulit lagi menjawabnya. 
Tak sampai hati. Tapi ia punya 
diplomasi sendiri untuk membuat gadis 
itu menjawab pertanyaannya sendiri. 
Dengan kalem dan hati-hati Pandu 
berkata, 
"Orang yang membuat ibumu 
tergila-gila cinta adalah Hantu Putih. 
Apakah tak terbayang olehmu bahwa 
orang yang berjuluk Hantu Putih itu 
adalah orang yang gemar mengenakan 
pakaian serba putih?" 
"Sawung Seta juga mengenakan 
pakaian serba putih, tapi... tapi...," 
Rani Adinda tertegun sejenak, lalu 
berkata lagi dengan suara lirih karena 
memendam geram. 
"Kalau begitu, Sawung itulah si 
Hantu Putih yang harus kubunuh?!" 
"Jangan mudah menyimpulkan hal 
itu. Kita harus bicarakan dulu 
kepadanya dan di depan gurunya kita 
utarakan kasusmu ini!" 
Dada gadis itu sudah naik turun. 
Bukan dibuat mainan sepasang tangan, 
tapi karena napas amarahnya mulai 
menggebu-gebu. Naik turunnya dada itu 
menjadi pusat perhatian Pandu sesaat, 
tapi hanya sesaat. Karena Pandu tak 
membiarkan pikirannya berkelana. 
Kemudian  Pandu melanjutkan 
perjalanannya ke Bukit Gerhana. Kali 
ini ia didampingi oleh Rani Adinda. 
Hawanya lain. Merasa lebih indah 
didampingi Rani Adinda daripada si 
Janda Keramat. Debar-debar keindahan 
di dalam hati Pandu bukan semata-mata 
debar-debar kemesuman, melainkan 
debar-debar seni bercinta. Rasa-
rasanya Pandu ingin berjalan lebih 
jauh lagi bersama gadis berdada luber 
itu ketimbang berjalan bersama seekor 
sapi. 
Namun tiba-tiba tangan Pendekar 
Romantis segera menyambar lengan Rani 
Adinda. Bahkan tubuh Rani Adinda 
diseret di balik semak-semak, mulutnya 
dibekap dengan tangan Pandu. 
Rani Adinda sempat gelagapan dan 
membatin, "Wah, asyik mau diperkosa!" 
"Ssst...! Jangan bicara apa-apa 
dulu, dengarkan percakapan di balik 
rumpun bambu sebelah timur itu!" 
Bisikan Pandu dimengerti, Rani 
Adinda manggut-manggut. Tapi tubuh 
Rani Adinda tak mau bangkit, masih 
merebah saja dalam pelukan Pandu walau 
mulutnya telah dilepas dari bekapan 
tangan Pandu. 
Entah keenakan atau memang lupa 
bangkit lagi, yang jelas dahinya jadi 
berkerut kala didengarnya suara 
percakapan dua orang di balik pohon 
bambu yang rimbun itu. 
"Tidak! Aku tidak mau kembali 
padamu, Sawung Seta! Aku sudah punya 
pilihan lain. Sebaiknya kau kembali 
saja kepada Rani Adinda, supaya 
kekasihmu itu tidak mengganggu 
kemesraanku dengan pacar baruku!" 
Rani Adinda berbisik kepada 
Pandu, "Suaranya seperti suara si 
Janda Keramat!" 
"Memang dia. Dan lawan bicaranya 
adalah Sawung Seta! Rupanya dia tadi 
tidak pulang ke pondoknya, tapi 
menemui Sawung Seta lewat jalan pintas 
lain." 
"Iya. Kurasa...." 
"Sssst...!" Pandu menempelkan 
telunjuknya di bibir gadis itu. Tapi 
perhatian Pandu segera terpusat ke 
percakapan di balik semak bambu itu. 
"Rani Adinda sudah benar-benar 
tak mau lagi kujamah. Ia kecewa berat 
melihat kita bermesraan tempo hari 
itu!" 
"Bujuk dia dengan caramu 
sendiri. Yang jelas jangan ganggu aku 
lagi. Aku tak mau melayani 
keinginanmu, Sawung!" 
"Ah, kau kejam nian. Satu kali 
saja masa' nggak mau sih?" 
"Sekali kubilang tidak, tetap 
tidak!"  
"Apakah kau juga tidak ingin 
lagi bercinta dengan Wirayoso?" 
"Kepadanya pun aku sudah tak mau 
lagi menemuinya!" 
"Juga tak mau lagi bercinta 
dengan Nirmala Weni?" 
"Tidak. Aku sudah tidak mau 
bercinta dan kencan dengan siapa pun 
kecuali dengannya!" 
"Maksudmu, kau hanya ingin 
bercinta dengan Gusti Lesung Dewi?" 
"Kepada Gusti Lesung Dewi pun 
tidak. Aku hanya inginkan Pandu!" 
Rani Adinda berbisik tegang, 
"Gusti Lesung Dewi itu ibuku!" 
"Ssst...!" 
Lalu terdengar lagi kata-kata 
Sawung Seta yang merayu penuh harapan 
untuk bisa bercumbu. 
"Kau tega membiarkan aku 
kesepian, Hantu Putih?" 
"Aku sudah tidak ada urusan apa-
apa lagi denganmu." 
"Tapi, tidakkah kau ingin 
memberikan salam perpisahan yang 
terakhir kalinya padaku, Hantu 
Putih?!" 
"Cukup dengan bicara begini 
saja!"  
Wajah Rani Adinda menjadi merah 
bagai terpanggang matahari dari jarak 
satu jengkal. Pandu Puber sendiri 
menjadi tegang dan terbungkam di 
tempat itu. Percakapan mereka yang 
masih terus berlangsung sudah tidak 
terdengar lagi oleh Pandu dan Rani 
Adinda.  
"Ternyata Janda Keramat itulah 
yang berjuluk Hantu Putih?!" gumam 
Rani Adinda dengan suara bisikan 
bergetar. 
"Mungkin karena rambutnya yang 
putih perak dan badannya yang putih 
mulus, maka ia dikenal dengan nama 
Hantu Putih, khususnya bagi orang-
orang yang menjadi langganan kencan 
dengannya. Rupanya pula Janda Keramat 
bukan perempuan normal lagi. Selain 
dengan lelaki, ia juga gemar bercinta 
dengan perempuan. Dan bagi seorang 
perempuan yang belum pernah merasakan 
kencan dengan sejenis, ia akan 
ketagihan karena penyakit kejiwaan dan 
kelainan cinta itu dapat menular pada 
diri orang yang sebenarnya waras." 
"Kalau begitu aku harus segera 
membunuhnya!" 
"Hei, tunggu...!" 
Wuuut...! 
Rani Adinda sudah tak bisa 
ditahan lagi gerakannya. Ia berkelebat 
cepat tanpa pedulikan lagi tentang 
Pendekar Romantis. Begitu muncul di 
pertengahan jarak antara semak dengan 
rimbunan bambu, tangannya menyentak 
dan cahaya merah bagai gumpalan api 
menghantam pepohonan bambu itu. 
Wuuus...! Duaaar...! 
Pohon bambu sebegitu banyaknya 
buyar mendadak. Pecah ke mana-mana 
bagaikan diterjang terpedo. Dua orang 
yang ada di balik pepohonan bambu itu 
pun terpental dan jatuh tunggang 
langgang. 
"Gawat! Rani Adinda mengamuk!" 
pikir Pandu Puber. "Apa yang harus 
kulakukan kalau begini? Mencegah 
pertarungan  atau membiarkannya? Serba 
salah saja rasanya kalau begini!" 
"Sekarang terbuka sudah kedokmu, 
Hantu Putih!" seru Rani Adinda dengan 
lantang. "Kaulah yang selama ini 
merusak bayang-bayang masa depanku! 
Sekarang kau harus berhadapan 
denganku! Majulah!" 
Pandu  Puber segera dekati Rani 
Adinda dan berbisik, "Serahkan padaku. 
Aku akan menangkapnya, jangan terjadi 
pertumpahan darah." 
"Diam  kau!" bentak Rani Adinda 
bagai tak kenal siapa  orang yang 
dibentaknya. Pandu Puber maklum, 
segera jauhi gadis yang sedang 
mengamuk itu. Sementara itu, Janda 
Keramat dan Sawung Seta sudah bergegas 
bangkit dan kini segera menghampiri 
Rani Adinda. 
"Kau benar-benar setan yang 
perlu kuhancurleburkan, Rani!" geram 
Janda Keramat dengan kemarahannya pula 
akibat rasa kaget yang membuat 
tubuhnya nyaris babak belur kalau tak 
segera pergunakan ilmu pelapis diri 
dengan tenaga dalamnya. 
"Tugasku adalah memenggal 
kepalamu, Janda Keramat! Kau telah 
mengacak-acak tubuh ibuku seenaknya 
dan membuat ayahku kehilangan 
kebahagiaan rumah tangga! Sekarang 
saatnya aku membalaskan sakit hati 
ayahku, Hantu Putih!"  
"Bagus! Aku pun ingin memenggal 
kepalamu dengan jurus 'Surya Pedang 
Malaikat' ini. Hiaaah...!" 
Janda Keramat yang berambut 
putih perak itu melompat dalam keadaan 
rambutnya meriap mekar, mirip seekor 
merak. Tapi dari ujung telunjuknya 
keluar sinar merah yang bergerak dari 
kanan ke kiri dalam keadaan memanjang 
mirip besi.  
Claaap...! Wuuus...! 
Rani Adinda merundukkan badan, 
sinar merah berkerliap lewat atas 
kepalanya, menghantam pohon dan pohon 
itu terpotong seketika tanpa suara apa 
pun kecuali suara, craaas...! 
Rani Adinda sendiri keluarkan 
jurus simpanannya. Ia berguling satu 
kali di tanah, lalu bangkit dengan 
satu kaki berlutut. Dan tangannya 
segera mengambil sesuatu dari belahan 
dada lubernya. Lalu sesuatu itu 
dilemparkan ke arah Janda Keramat yang 
sedang mendarat dari lompatannya tadi. 
Ziiing...Ziiing...! 
Jurus itu rupanya jurus pelempar 
senjata rahasia yang berbentuk 
lempengan logam baja putih menyerupai 
bunga matahari. Dua senjata rahasia 
melesat menghantam tubuh Janda 
Keramat. Tetapi si Janda Keramat atau 
si Hantu Putih ganti merundukkan badan 
dan kepala hingga senjata itu lewat di 
atas kepalanya. Di belakang sana ada 
pohon, dan senjata itu menghantam 
pohon.  
Deb, deb...! 


Oh, ternyata senjata itu 
memantul balik dalam keadaan cepat dan 
berubah jumlahnya menjadi empat. 
Rupanya senjata itu setiap memantul 
balik jumlahnya akan bertambah dengan 
sendirinya. Janda Keramat bersalto ke 
sana-sini menghindari senjata 
tersebut. Tapi keempat senjata itu 
akhirnya membentur gugusan batu cadas. 
Sraaak...! Weeersss...! 
Empat senjata yang memantul 
kembali itu kini menjadi delapan buah 
dan semuanya menyerang ke arah Janda 
Keramat. Pandu Puber dibuat bengong 
melihat kehebatan senjata rahasia itu. 
Menurutnya Janda Keramat bisa mati 
kalau tidak segera hancurkan kedelapan 
senjata rahasia tersebut. 
Dugaan Pandu memang benar. Janda 
Keramat juga berpikir demikian. Maka 
dengan satu sentakan bersama, dua 
tangannya melepaskan sinar hijau tua 
yang menyerupai gumpalan kabut, 
semakin jauh dari tangan semakin besar 
bentuknya dan kedelapan rombongan 
senjata aneh itu dihantamnya dalam 
satu hantaman sekaligus.  
Praang...! Blegaaar! 
Ledakan itu membuat tanah 
bagaikan terlonjak naik dan menggeliat 
liar. Pohon-pohon banyak yang tumbang 
karena akarnya bagaikan terdongkel 
dari kedalaman tanah. Tubuh kedua 
perempuan itu saling terlempar terbang 
karena daya hentak ledakan dahsyat 
tadi. Termasuk Pandu dan Sawung Seta 
juga ikut terjungkal tak tentu arah. 
Ketika dua pemuda itu sama-sama 
bangkit berdiri, ternyata jarak mereka 
tidak terlalu jauh. Mata mereka saling 
pandang. Tapi mata Sawung Seta tampak 
lebih tajam dan nanar, bagaikan 
memancarkan permusuhan. Pandu Puber 
mulai merasakan adanya niat tak beres 
di hati Sawung Seta. 
Ternyata firasatnya itu memang 
benar. Sawung Seta tiba-tiba 
menyerangnya dari belakang ketika 
Pandu hendak menengahi pertarungan 
kedua perempuan itu dengan caranya 
sendiri. Tendangan kaki yang 
berkelebat cepat bersama raganya itu 
membuat Pandu Puber berbalik arah, dan 
menangkisnya dengan kedua tangan 
berkelebat cepat.  
Plak, plak, duuus...! Satu 
pukulan pada mata kaki diderita oleh 
Sawung Seta yang membuat pemuda itu 
tersentak dan jatuh sambil menyeringai 
kesakitan, ia tak mampu berteriak 
saking sakitnya. Rupanya pukulan Pandu 
di mata kaki lawan disertai tenaga 
dalam yang mampu membuat mata kaki itu 
terasa hampir pecah. Jika yang dipukul 
mata kaki orang biasa tanpa ilmu, 
pasti sudah pecah menjadi mata sapi 
atau menjadi apa, entahlah" 
"Mengapa kau menyerangku?!" 
hardik Pandu dengan sikap masih 
tenang, sebentar-sebentar matanya 
melirik ke arah pertarungan Rani 
Adinda dengan Janda Keramat yang makin 
seru itu. 
"Kau adalah penyebab hancurnya 
kebahagiaanku!" tuding Sawung Seta 
kepada Pandu. "Kau yang membuat hati 
Adinda beralih dariku dan juga membuat 
kemesraan Hantu Putih itu pergi 
dariku! Kau memang iblis yang perlu 
dimusnahkan juga rupanya! Heaaat...!" 
Pandu Puber segera melenting ke 
udara dan bersalto satu kali ketika 
Sawung Seta lepaskan pukulan bersinar 
merah bagaikan telur angsa.  Pukulan 
bersinar merah itu akhirnya menghantam 
batu dan batu tersebut hancur 
seketika. Praaak...! Tak ada ledakan 
yang ditimbulkan akibat benturan sinar 
merah dengan batu itu, 
Pandu Puber segera lepaskan 
pukulan jurus 'Salam Sayang'nya. Kedua 
tangan menyodok lurus dengan semua 
jari mengeras dan dilakukan secara 
berturut-turut. Cepat sekali.  
Wut, wut, wut, wut...! 
Dari ujung jari itu keluar 
tenaga dalam yang cukup besar tanpa 
sinar. Menghantam telak beberapa kali 
di dada Sawung Seta. Akibatnya tubuh 
Sawung  Seta tersentak-sentak mundur 
dengan badan melengkung dan tangan 
merenggang lemas. Yang terakhir dari 
sentakan lurus tersebut membuat Sawung 
Seta jatuh terjungkal dengan keluarnya 
erangan tertahan yang memanjang. 
"Huuuhgg...!" 
Gusrak...! Ia jatuh di bekas 
pecahan pepohonan bambu tadi. Matanya 
mendelik bagaikan sukar bernapas. 
Mulutnya ternganga-nganga. Sikunya 
berdarah karena tergores keruncingan 
pecahan bambu. Bahkan dari mulutnya 
tampak mengalir darah walau tak 
banyak. 
Pandu Puber ingin segera hampiri 
Sawung Seta untuk tanyakan: Mau 
diteruskan atau berhenti sampai di 
situ saja? Tapi niatnya segera 
dibatalkan  begitu ia melihat keadaan 
Rani Adinda terdesak oleh serangan 
Janda Keramat. 
Tubuh gadis berdada besar itu 
terhempas dan membentur pohon ketika 
sinar biru dari lima kuku Janda 
Keramat menyergapnya dari samping, 
menghantam bagian rusuk si gadis. 
Tampak pula asap mengepul dari baju 
yang terbakar dan kulit yang hangus 
itu. Sedangkan tubuh Rani Adinda 
tergeletak tak berkutik lagi di bawah 
pohon itu. Keadaannya sangat parah. 
"Sekarang saatnya menghancurkan 
jasadmu, Kecoa!" teriak Janda Keramat 
yang segera merapatkan kedua tangan di 
atas kepala. Lalu kedua telapak tangan 
yang saling merapat itu disentakkan 
secara tiba-tiba sehingga keluarkan 
sinar biru besar melesat ke arah tubuh 
Rani Adinda.  
Wuuusss...! 
Namun bertepatan dengan 
terbukanya dua telapak tangan itu, 
kaki Pandu sudah mendahului menerjang 
punggung Janda Keramat dengan gerak 
'Angin Jantan'nya.  
Druuk...! Wuuus...!  
Akibatnya sinar itu melesat 
dalam keadaan miring dan meleset 
mengenai seonggok batu. Sementara 
tubuh si Janda Keramat tersungkur 
babak belur. 
Blaaam…! 
Batu itu menjadi tepung hitam. 
Halus sekali. Itulah kedahsyatan sinar 
birunya Janda Keramat. Seandainya 
tepat kenai tubuh Rani Adinda, entah 
apa jadinya gadis itu. 
"Hentikan pertarungan ini!" 
bentak Pandu kepada Janda Keramat yang 
masih bermaksud menyerang Rani Adinda. 
Tetapi seruan itu tidak dihiraukan, 
sehingga Pandu terpaksa menyerangnya 
lagi ketika Janda Keramat ingin 
pergunakan jurus sinar  biru seperti 
tadi.  
Wuuut...!  
Kedua tangan Pandu menguncup, 
lalu dihantamkan ke rusuk, ketiak, dan 
leher sang janda.  
Des, des, des...! Totokan 
bergerak cepat membuat Janda Keramat 
jatuh terpuruk bagaikan karung tanpa 
beras.  
Brruk...! Tubuhnya lemas, tak 
bisa bergerak, tak bisa bicara, bahkan 
tak bisa berkedip. Ilmu totokan yang 
dipergunakan Pandu itu bernama jurus 
'Cocor Bebek'. Ia menamakan jurus itu 
seenaknya saja karena ia tak tahu nama 
aslinya.  
Treeet...! Tetet, tetet, 
treeeet...! Sawung Seta pergunakan 
senjata terompet kecilnya. Suara yang 
keluar ternyata mempunyai getaran 
tenaga dalam tinggi, hingga Pandu 
terpelanting dan jatuh berlutut sambil 
pegangi kupingnya, menutup rapat-
rapat. Gendang telinga terasa mau 
pecah. Ia menggeliat-geliat kesakitan. 
"Treeet... treeet, teet, 
teooot!"  
Plook! Brruk...! 
Ada orang yang menampar Sawung 
Seta membuat suara terompetnya hilang 
dan pemuda itu terpelanting jatuh, 
lalu diam tak bergerak dalam keadaan 
terkapar. Sawung Seta pingsan hanya 
karena satu tamparan seseorang yang 
baru saja muncul di tempat itu. Orang 
tersebut adalah gurunya sendiri: 
Layang Petir. 
"Bocah dogol!" maki si Layang 
Petir yang berjubah biru lusuh dan 
berambut putih panjang sepunggung tapi 
diikat ke belakang. Si tubuh kurus itu 
memaki kembali, 
"Kayak udah jago aja lu, Tong! 
Berani-beraninya melawan anak dewa! 
Nggak mampus seketika sudah untung 
lu!" 
Lalu, tokoh tua yang usianya 
sudah mencapai sembilan puluh tahunan 
itu segera temui Pandu Puber. Saat itu 
Pendekar Romantis sedang salurkan hawa 
murninya ke telinga, sehingga rasa 
sakit di telinga mulai berkurang. 
"Maafkan kelancangan muridku, 
Pandu!"  
"Pak Tua...," sapa Pandu lirih 
bagai sedang sibuk menahan rasa sakit 
di kepala dan telinganya walau sudah 
berkurang juga, namun masih ada sisa 
sakit yang perlu ditahan. 
Pandu memanggil Layang Petir 
dengan sebutan 'Pak Tua', sebab memang 
begitulah permintaan Layang Petir saat 
bertemu Pandu dan Dardanila di dalam 
gua, (Guanya ada di serial Pendekar 
Romantis episode : "Patung Iblis 
Banci"). Sejak peristiwa penghancuran 
patung itu, Pandu dan Pak Tua 
bersahabat dengan baik. Tapi Pandu tak 
tahu kalau Pak Tua punya murid Sawung 
Seta. Tahunya ya dalam kasus Hantu 
Putih ini. 
"Apa permasalahannya sampai 
muridku berani sok-sokan di depanmu, 
Pandu Puber, Pendekar Romantis, Anak 
Dewa, Bocah Tampan?!" 


"Bagaimana?!" Pandu ganti 
bertanya karena telinganya budeg, 
masih berdengung-dengung. Layang Petir 
bertanya lagi, dan Pandu menjelaskan 
masalahnya. Lalu, Layang Petir 
berkata, 
"Kalau begitu, tangkap dan 
bawalah Janda Keramat, si Hantu Putih. 
Serahkan kepada Sultan dan biar Sultan 
yang memutuskan hukumannya. Sementara 
itu, bawa pula putrinya supaya kau 
tidak nyasar ke panti pijat!" 
"Baik, Pak Tua! Aku pun punya 
rencana begitu!" jawab Pandu yang 
segera mengobati luka Rani Adinda, 
lalu menyerahkan Hantu Putih ke tangan 
Sultan Danuwija, babenya si gadis 
berdada pabrik. 
SELESAI 
Segera terbit!!! 
KITAB PANCA LONGOK 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 

Page    1    2    3