LIMA
CUKUP lama gadis judes itu
kelenger nggak sadar diri. Padahal
waktu itu bumi telah dibungkus petang,
seperti lontong dalam daun jati.
Pendekar Romantis terpaksa bawa itu
gadis ke tempat yang aman. Kalau nggak
gitu, embun dan kabut petang yang
datang merambah bumi dapat bikin gadis
itu membeku. Maklum, suhu udara kala
itu menunjukkan tiga puluh derajat
celcius dalam kelembaban udara nyaris
turun hujan.
Tempat yang ditemukan Pendekar
Romantis untuk menaruh 'benda cantik
judes' itu adalah sebuah gua karang di
tepi pantai. Gua itu ditemukan secara
tidak sengaja. Sebenarnya Pandu ingin
bawa Awan Sari ke perkampungan
nelayan. Tapi letak perkampungan itu
masih jauh. Di samping itu, kalau
mereka berdua bermalam di perkampungan
nelayan tanpa surat nikah, takutnya
digerebek hansip setempat dikira yang
nggak-nggak, kan repot? Jadi, demi
keamanan bersama lebih baik masuk ke
dalam gua. Toh gua itu ternyata aman-
aman saja. Tak ada binatang buas, tak
ada ular, tak ada ranjau.
Satu-satunya ranjau yang
ditemukan Pandu adalah kecantikan si
gadis judes itu serta kemontokan dada
yang masih sekal dan keras itu. Yakin,
keras! Sebab Pandu tadi sengaja
menyentuhnya. Entah dadanya atau ujung
pundaknya yang tadi tersentuh lengan
Pandu, yang jelas hati Pandu sempat
berdebar-debar pada waktu itu.
Gua tersebut tidak terlalu
dalam. Langit-langitnya tidak begitu
tinggi. Tapi tempatnya datar walau
banyak bebatuannya.
Sang gadis masih dibaringkan
dalam keadaan pucat pasi. Bibirnya
membiru, bagian bawah dadanya memar
karena hantaman sinar tenaga dalam
Pandu tadi. Pedangnya masih utuh.
Mestinya pedang itu pecah karena
terkena sinar merah jurus 'Sepasang
Sayap Cinta'. Mungkin karena di pedang
itu ada kekuatan gaib yang cukup
besar, maka sang pedang malas untuk
hancur. Mestinya pula tubuh gadis itu
hancur berkeping-keping, tapi karena
mempunyai kekebalan tenaga dalam yang
sangat tinggi, maka sang tubuh hanya
memar dan urat nadinya terhenti,
bagian dalamnya terpaksa hangus
merata.
"Kuat juga gadis itu!" pikir
Pandu sambil memperhatikan sang gadis
dari atas batu yang berjarak empat
langkah samping kirinya.
"Nggak sangka kalau ilmunya
tinggi juga. Atau barangkali karena
dia punya jimat lain, sehingga jurus
'Sepasang Sayap cinta' tidak dapat
menghancurkan tubuhnya? Tapi, benar
juga. Kalau sampai hancur aku akan
merasa menyesal tujuh belas turunan,
tiga tanjakan! Memang sebaiknya gadis
itu kubuat kelenger kayak gitu aja,
sebagai penghajaran baginya.
Barangkali nanti kalau sudah siuman
bisa sadar bahwa niatnya untuk
membalas dendam padaku itu salah
besar."
Gadis itu memang belum diapa-
apakan oleh Pandu Puber. Sejumlah
potongan kayu dikumpulkan. Disusun
sedemikian rupa, lalu dihantam dengan
jurus tenaga dalam kecil-kecilan.
Claaap...! Buuulll...!
Maka jadilah api unggun yang
menerangi gua tersebut. Setelah
suasana terang, Pendekar Romantis
mulai dekati sang gadis yang berbaring
di samping pedangnya.
"Ternyata dia punya nilai
kecantikan tersendiri," kata batin
Pendekar Romantis ketika bermaksud
mengobati, namun terlebih dulu
memandangi si gadis. "Nggak sangka
kalau Hantu Congkak mempunyai murid
secantik ini? Wajah judesnya ini
berkesan angkuh, maklum, gurunya
sendiri congkak pasti muridnya angkuh.
Tapi berani sumpah mati, biar judes,
biar angkuh wajah ini memancarkan daya
sensual yang tinggi."
Makin lama dipandang, makin
terpancar daya tarik yang menggcda
iman. Hati sang pendekar berdebar-
debar penuh kegelisahan yang bernada
indah. Sepasang mata kebiruan itu
memandang antara bibir dan dada
berulang-ulang.
"Gemes juga aku jadinya," geram
hati Pandu. Maka, mumpung masih
pingsan, bibir sensual itu pun dikecup
oleh Pandu Puber. Cuuuup...! Lalu
dikunyah-kunyah dengan lembut, mirip
makan permen karet. Namun kunyahan itu
hanya ada di ujung bibirnya. Sang
gadis pasrah, mau diapakan saja diam.
Terang saja begitu, habis masih
pingsan sih. Coba kalau nggak pingsan,
bisa nampar wajah Pandu yang kurang
ajar itu.
Semakin lama menciumi wajah
gadis yang berbau wangi rempah-rempah
itu, setelah puas melumat bibir tebal-
tebal nikmat itu, ciuman pun merambat
ke leher sang gadis, lalu ke dada.
"Wow...! Benar-benar sangat
wow...!"
Memang nakal dia itu. Anak dewa
yang nakal hanya dia. Maklum, dulu
bapaknya diusir dari kayangan gara-
gara pelecehan cinta dengan beberapa
bidadari. Jadi bapaknya sendiri memang
nakal. Tak heran kalau anaknya juga
nakal, persis bapaknya.
Namun setelah gairahnya nyaris
membakar jiwa, tiba-tiba Pandu
menemukan kesadarannya sehingga ia
kaget sendiri melihat tingkah lakunya
dan segera istigfar dalam hati.
"Kenapa aku jadi begini
rendahnya? Ya, ampuuun... mestinya aku
nggak boleh berbuat begini. Jorok,
kan? Memalukan sekali. Tapi hasratku
begitu meletup-letup, kepingin
menikmati kehangatan tubuhnya. Dan...
dan... ah, jangan, ah! Aku nggak boleh
begini! Aku kan seorang pendekar,
sangat memalukan kalau berbuat tak
senonoh begini!. Untung tak ada orang
yang melihatnya!"
Sambil merapikan pakaian sang
gadis, akhirnya Pandu menemukan
penyebab kenakalannya itu.
"Rupanya pengaruh ramuan teh
yang kuminum di pondoknya si Janda
Keramat itu masih membekas kuat dan
sewaktu-waktu bereaksi dalam jiwaku.
Pantas gairahku menggebu-gebu, rupanya
daya gugah asmara yang ada di dalam
teh itu cukup kuat menguasai batinku.
Aku harus membersihkan diriku dari
obat perangsang yang telanjur membaur
dalam darahku ini!"
Dengan lakukan semadi beberapa
saat, penyaluran hawa murni yang
memutari peredaran darahnya, akhirnya
kekuatan daya rangsang yang terminum
dan menyatu dalam darahnya itu dapat
dibersihkan. Bukan berarti Pandu
kehilangan gairah dan menjadi pemuda
yang 'frigid', tapi pengendalian hawa
nafsu menjadi normal kembali.
Setidaknya, ia bisa menahan diri
walaupun melihat belahan dada yang
menggunduk ranum menantang itu.
Setelah keadaan si gadis
dirapikan serapi mungkin, Pandu Puber
segera pergunakan jurus 'Hawa Bening'
untuk mengobati luka dalam Awan Sari.
Sinar putih bening melesat dari jari
tengahnya dan menghantam bagian bawah
leher yang memar bundar itu. Sinar
putih bening itu memancar sekitar
empat helaan napas.
"Uhhg...," gadis itu mulai sadar
dan mengerang lirih. Pandu Puber
cepat-cepat lompat dalam keadaan tetap
duduk dan pindah di atas batu yang
jaraknya empat langkah dari tempat
Awan Sari terbaring. Dari situ ia
tersenyum-senyum memandangi sang gadis
yang mulai menggeliat dan bernapas
sedikit memburu. Warna biru di bawah
leher mulai hilang, warna pucat di
bibir mulai lenyap. Lama kelamaan sang
gadis pun melek.
"Hah...?!" Awan Sari terkejut
menyadari dirinya ada di dalam sebuah
gua. Ia tersentak bangun dan memandang
liar sesaat. Begitu pandangannya
menemukan seraut wajah ganteng, ia
cepat-cepat memungut pedangnya dan
berdiri dengan kuda-kuda siap serang.
"Hai...!" sapa Pandu Puber dalam
senyum dan lambaian tangan kecil. Tapi
yang disapa justru cemberut dan
menampakkan keangkuhannya. Rupanya
sang gadis menaruh curiga kepada Pandu
Puber sehingga tidak menaruh simpati
sedikit pun.
"Mengapa kau bawa aku kemari?"
"Kau pingsan!"
"Kenapa pingsan?!"
"Kena pukulan jarak jauhku"
jawab Pandu sambil nyengir, tetap
duduk di batu itu.
"Lalu apa yang kau lakukan pada
diriku di gua ini selama aku pingsan.
Jawab!" bentaknya. Pedang masih
terhunus, siap untuk ditebaskan
sewaktu-waktu. Bahkan ketika Pandu
hanya cengar-cengir terus tanpa
jawaban yang diharap, Awan Sari
mendekatkan ujung pedangnya ke leher
Pandu.
Seeet...!
"Jawab pertanyaanku tadi!"
bentaknya keras dan galak.
"Per... pertanyaan yang mana?"
Pandu berlagak bego.
"Apa yang kau lakukan selama aku
pingsan?!"
"Cuma... cuma mengobatimu
menggunakan jurus 'Hawa Bening'-ku!"
"Bohong!"
"Yaaah... nggak percaya," ucap
Pandu pelan dan tak berani banyak
gerak karena lehernya tertodong pedang
dan ia tahu pedang itu dapat semburkan
racun berbahaya, walau racun itu telah
habis dan belum diisikan ke dalam
pedang lagi.
"Katakan sejujurnya!"
"Kok kayak judul lagu aja," ujar
Pandu sambil nyengir. Ujung pedang
mulai menempel dan agak ditekankan di
leher. Pandu ngeri.
"Jawab dengan jujur atau kurobek
lehermu dengan pedangku!" hardik Awan
Sari dengan tampang galaknya.
"Aku tidak berbuat apa-apa, Nona
Cantik!" jawab Pandu menyabarkan nada
suaranya. "Berani dicubit seribu
bidadari, aku tidak berbuat apa-apa
kepadamu."
"Hmm...!" dengus Awan Sari
sambil menarik pedangnya dan mundur
dua tindak. "Bodoh...!"
Pandu berkerut dahi mendengar
gerutuan 'bodoh' dari mulut yang
berbibir cemberut itu.
"Apa maksudmu mengatakan 'bodoh'
padaku?!"
Gadis itu tidak menjawab, tapi
ia pergi ke balik batu setinggi lewat
kepala. Di sana ia memeriksa keadaan
dirinya, pakaiannya, 'perabotnya', dan
rambutnya. Sesaat kemudian ia keluar
dari balik batu dengan pedang sudah
disarungkan. Ia memandang tajam pada
Pandu Puber dengan sikap menantang.
"Kusangka kau memang bodoh,
ternyata tidak sebodoh dugaanku!"
Pandu berlagak geli, bahkan
berlagak melengos seakan meremehkan
pendapat Awan Sari.
Sang gadis mendekat, berhenti
dalam jarak satu langkah di depan
Pandu Puber. Wajah ketusnya jelas-
jelas dipamerkan di depan si pemuda
tampan.
"Kau telah melakukan sesuatu
terhadap diriku!"
"Melakukan apa?"
"Kau telah menggagahi tubuhku!"
"Ah, ngaco aja lu! Siapa bilang
aku berani begitu?!"
"Mengakulah!" ucapnya pelan
penuh geram.
"Nggak mungkin aku berani
melakukannya!"
Wajah cantik itu makin mendekat
dan berkata seperti orang berbisik,
"Letak dadaku yang kiri geser ke
kanan dari arah sebenarnya!"
"Ah, itu sih mungkin karena...."
"Bilang saja terus terang, aku
akan memaafkanmu."
Karena didesak demikian akhirnya
Pandu mengangguk sambil nyengir malu
sekali. "Hmmm... iya sih. Tapi... tapi
nggak semuanya tergeserkan?"
Plaaak...!
Sebuah tamparan cepat dan keras
mendarat di pipi Pandu Puber. Pemuda
itu sempat terpelanting ke samping.
Kaget sekali dapat tamparan sekeras
itu. Pipinya menjadi panas seperti
disengat tawon.
"Mengapa kau menamparku?!
Katanya kau memaafkanku kalau aku
berkata jujur?!" protes Pandu dengan
dongkol.
"Begitulah caraku memaafkan
kekurangajaranmu!" ucap Awan Sari
sambil melangkah memunggungi Pandu,
lalu berbalik ke arah semula sambil
sandarkan pinggulnya di batu setinggi
perut. Dengan angkuh dan sinis ia
berkata lagi,
"Masih untung kau kutampar
dengan tangan. Semestinya kutampar
dengan pedangku!"
"Kenapa tidak kau lakukan?!"
bentak Pandu kesal sekali.
"Belum saatnya!" jawabnya dingin
sekali. "Sekarang aku hanya minta
kejujuranmu untuk...."
"Sumpah mati aku belum
menodaimu! Sumpah mati!" sambil Pandu
melangkah dekati gadis itu dan
mengajak bersalaman.
Plak...!
Tangan Pandu ditepisnya.
"Bukan soal itu yang ingin
kutanyakan!" sentak Awan Sari. "Aku
tahu kau tidak menodaiku, karena aku
tidak merasakan keindahan apa pun
setelah sadar dari pingsanku."
"Jadi apa maksudmu?"
"Aku hanya ingin kau berkata
sejujurnya, sebagaimana seorang
pendekar dan ksatria menjawab hasil
perbuatannya. Kau harus berani sportif
dan konsekwen."
Pandu kerutkan dahi makin tajam,
pandangan matanya makin lurus ke mata
bundar galak milik Awan Sari. Gadis
itu berkata lagi,
"Siapa yang membunuh guruku;
Hantu Congkak?!"
"Sudah kubilang sejak sore tadi,
yang membunuh gurumu adalah Shoguwara!
Dia menggunakan Patung Iblis Banci
saat membunuh gurumu. Ia melakukannya
dari jarak jauh dengan menusukkan
pisau kecil ke bagian jantung patung
itu, maka yang tertusuk adalah jantung
gurumu. Memang begitulah kehebatan
Patung Iblis Banci! Kalau tak percaya,
bisa kau tanyakan kepada seorang tokoh
tua yang bernama Layang Petir, yang
dulu bekas murid Iblis Banci Itu!"
"Maksudnya, Layang Petir gurunya
Sawung Seta?!"
"Ya!" jawab Pandu dengan
sentakan tegas. Lalu ketegangannya
dikendurkan dan ia bertanya, "Kau
mengenal si Layang Petir?"
"Dia adik dari almarhum
kakekku!"
"Ooo... pantas."
"Apanya yang pantas?!" hardik
Awan Sari masih menampakkan sikap
kurang bersahabat.
"Pantas kau tahu kalau dia punya
murid Sawung Petir, eh Sawung Seta!
Apakah kau juga kenal dengan Sawung
Seta?!"
"Aku muak dengannya. Kalau tak
ingat dia murid paman Kakek Layang
Petir, sudah kubuntungi tangannya!"
"Sadis amat sih? Memangnya
kenapa?"
"Dia memburuku terus, ingin
menjadi kekasihku!"
"Terima saja sudah!"
"Gundulmu yang diterima?!"
gerutu Awan Sari sambil bersungut-
sungut. "Aku jijik berdekatan dengan
lelaki macam dia!"
"Memangnya kenapa?" tanya Pandu
memancing percakapan terus biar
semakin akrab.
"Dia seorang gigolo!"
"Gigolo itu makanan apa?"
"Dasar dungu!" gerutunya sambil
bersungut-sungut. "Gigolo itu sama
dengan pelacur lelaki. Kerjanya
melayani wanita yang kesepian dan
membutuhkan kehangatan, lalu dia
dibayar dengan cara apa pun. Kadang
dibayar pakai uang, kadang dibayar
pakai beras, ada kalanya dibayar pakai
tembakau!"
Pandu Puber jadi ingat cerita
Rani Adinda. Istri Sultan, yaitu
ibunya Rani Adinda, berbuat serong
dengan seseorang yang bernama Hantu
Putih. Perempuan itu agaknya menjadi
ketagihan cinta sang Hantu Putih. Lalu
tak mau melayani cinta suaminya dan
tak mau makan kalau belum bertemu
Hantu Putih. Sedangkan Sawung Seta
adalah gigolo, tugasnya melayani
kebutuhan batiniah perempuan yang
merasa kesepian dan mengharapkan
kepuasan batin. Sedangkan Sawung Seta
berpakaian serba putih. Besar
kemungkinan Sawung Seta itulah yang
berjuluk Hantu Putih.
"Kalau begitu, sebenarnya Rani
Adinda harus membunuh Sawung Seta
dong! Karena memang itulah syarat yang
diajukan oleh Sultan agar Rani Adinda
diterima kembali sebagai keluarga
kesultanan! Tapi, apakah Rani Adinda
tega membunuh bekas kekasihnya
sendiri?"
Melihat pemuda ganteng
beranting-anting satu termenung dalam
lamunannya, Awan Sari segera bertanya,
masih dengan nada ketus.
"Apa yang kau lamunkan? Kau
melamunkan hal jorok pada diriku, ya?"
Pandu tersenyum sumbang. "Untuk
apa melamunkan hal jorok pada dirimu.
Kalau aku mau, tak perlu dilamunkan.
Langsung praktek saja, pasti bisa!"
"Coba saja kalau berani!"
tantang Awan Sari. "Ayo, coba
dipraktekkan kalau kau ingin
kehilangan kepala!" gagang pedang
mulai digenggam, siap dicabut dengan
cepat. Tapi sikap itu hanya
ditertawakan Pandu dengan kalem.
"Aku melamunkan tentang Layang
Petir dan muridnya itu! Aku ingin
bertemu dengan mereka. Apakah kau bisa
bantu aku menunjukkan tempat tinggal
mereka?"
"Tidak!" Jawab Awan Sari dengan
singkat dan tegas.
"Barangkali suatu saat kau butuh
pertolonganku, aku akan menolongmu
dengan suka rela tanpa mengharap
imbalan, kecuali sekadar uang buat
beli nasi saja!"
"Kau ini pendekar apa pengemis?"
"Aku cuma bercanda," kata Pandu
sambil tertawa. Lalu ia dekati gadis
itu, si gadis menjauh.
"Bantulah aku menemui mereka.
Ada persoalan yang harus kuluruskan
berkenaan dengan si Sawung Seta!"
"Pergi aja sendiri!"
Pandu mendekat lagi, si gadis
sudah terpojok dinding gua. Akhirnya
hanya diam saja, tapi memandang sangar
kepada Pandu. Pendekar Romantis tetap
tenang, menyunggingkan senyumannya
yang punya daya pikat tinggi itu.
Pandu ingin ulangi permohonannya
tadi, tapi terkesima memandang seraut
wajah cantik angkuh dengan mata indah
dan bibir sensual yang kini dalam
keadaan segar itu. Akibatnya, mata
Pandu tak berkedip menatapi wajah itu
dengan sorot pandangan mata yang
lembut dan sangat romantis. Suaranya
pun terdengar bagai berbisik, lembut
dan romantis pula.
"Ternyata kau lebih cantik dari
seorang ratu mana pun. Kalau saja saat
ini ada kembang, aku ingin memetiknya
sekuntum dan kusematkan di rambutmu,
Awan Sari!"
"Aku nggak suka kembang!"
ketusnya.
"Kalau saja aku punya berlian,
ingin rasanya kukalungkan di lehermu
biar kecantikanmu lebih terpancar
lagi. Kalau bisa seluruh mata dunia
tertuju kepadamu, dan aku yakin mereka
akan berdecak mengagumi kecantikanmu.
Sayang sekali aku tak punya berlian.
Tapi barangkali sekerat hati lebih
berharga dari sebutir berlian!"
"Hmmm...!" Awan Sari mencibir.
Melengos ke kiri. Tapi hatinya tampak
gelisah, karena gerakan matanya tak
stabil.
"Awan Sari, mengapa kau seangkuh
itu padaku? Apakah kau tak ingin
menjalin persahabatan yang baik dengan
orang yang tak pernah punya dosa
padamu? Apakah kau akan selamanya
membenciku?"
"Aku nggak membencimu!" ucapnya
ketus juga, masih buang muka.
"Pandanglah aku, dan kau akan
temukan kejujuran hati seorang lelaki
yang selalu mengalah padamu ini!
Pandanglah, Awan Sari," ucapan lirih
penuh kelembutan membuat Awan Sari
melirik. Cuma melirik, tapi itu sudah
merupakan pertanda bahwa ia mau turuti
kemauan Pandu Puber. Lalu, dengan
tanpa ragu dan penuh keyakinan, Pandu
Puber meraih ujung dagu gadis itu.
Pelan-pelan sekali diputarnya wajah
cantik tersebut hingga saling
berhadapan. Anehnya, si gadis ternyata
menurut dan kini ia jadi menatap wajah
Pandu. Cukup lama juga ia memandangi
Pandu, sampai akhirnya senyum Pandu
yang mekar itu mendekati wajahnya.
Dekat... dekat... dan dekat lagi. Awan
Sari gundah, lalu pejamkan matanya
pelan-pelan.
Cup...
Bibir pendekar tampan menempel
di bibir Awan Sari. Bibir itu memagut
dengan lembut sekali. Awan Sari
seperti diterbangkan sampai mentok
langit-langit gua. Gerakan bibir Pandu
memancing rasa dan emosi, maka Awan
Sari pun membalas lumatan bibir Pandu
dengan sedikit lebih lincah. Tambah
lama tambah lincah, akhirnya gadis itu
menjadi buas. Bibir Pandu habis Sudah
dilumatnya. Kedua tangan Awan Sari tak
tanggung-tanggung memeluk tubuh Pandu.
Tangan itu meremas punggung Pandu.
Keras dan keras sekali.
Pandu membatin, "Lho, kok jadi
begin!?! Hmmm... ngelunjak deh!
Ngelunjak ini namanya! Udah, ah! Kalau
diterusin nanti malah dia yang
berbahaya!"
Ketika Pandu melepaskan
kecupannya dengan gerakan amat pelan,
Awan Sari mengeluh panjang. Tak jelas
apa arti keluhan itu, mungkin puas,
mungkin kecewa, mungkin pula emang
ngos-ngosan. Yang jelas mata galaknya
menjadi sayu romantis saat menatap
mata Pandu. Senyum Pandu pun mekar
dengan indahnya, walau si gadis tak
punya senyum sedikit pun. Lalu, dengan
suara lirih dan lembut Pandu berkata
kepadanya,
"Bantulah aku menemui mereka.
Kau mau kan?"
"Mereka ada di Bukit Gerhana!"
"Aku tidak tahu di mana arah
Bukit Gerhana."
"Sebelah selatan dari tempat
ini!"
"Kalau begitu aku akan menuju ke
sana malam ini juga."
Dengan mata masih memandang tak
berkedip, Awan Sari gelengkan kepala
dan berkata lirih, "Jangan malam ini.
Besok saja!"
"Baiklah. Kalau begitu besok aku
akan ke sana!"
"Aku akan mengantarmu supaya kau
tak tersesat!"
Pandu tersenyum kian lebar, lalu
membatin, "Akhirnya mau juga kan?
Rupanya memang harus ditaklukkan
dengan kelembutan."
"Malam ini... malam ini kau mau
menemaniku di gua ini, kan?"
"Yeeesss...!" bisik Pandu tegas.
ENAM
SEKELEBAT sinar merah melintas
cepat bagaikan meteor. Munculnya dari
semak-semak sebelah kiri Awan Sari.
Arah sinar itu adalah tubuh Awan Sari.
Tetapi Pandu Puber yang berjalan
sedikit ke belakang gadis itu melihat
gerakan sinar maut yang dapat
merenggut nyawa Awan Sari. Dengan
gerakan refleks, kaki Pandu menjejak
tubuh Awan Sari.
Buugh...!
Wuuut...!
Gubras...!
Awan Sari jatuh tersungkur.
Hampir saja ia menjadi berang kepada
Pandu karena merasa diserang mendadak.
Namun setelah mendengar suara ledakan
menggelegar dan dua pohon di seberang
kanannya pecah seketika, Awan Sari
jadi terbengong melompong. Ia baru
sadar tindakan Pandu tadi demi
menyelamatkan nyawanya dari ancaman
maut seseorang.
"Setan retak!" makinya sambil
bangkit, lalu tangan gadis itu
menyentak ke arah semak-semak.
Claap...!
Sinar merah berbentuk seperti
telur ayam melesat dan menghantam
semak-semak itu.
Duaaar...!
Semak-semak menjadi hancur
terpotong-potong lembut dan menyebar
ke udara. Dari semak-semak itu muncul
sekelebat gerakan bersalto sebelum
sinar merah telur tadi menghantam
semak. Sosok yang muncul dari semak
tadi tak lain adalah sosok gadis
berdada pabrik. Siapa lagi yang punya
dada semontok itu kalau bukan Rani
Adinda yang berjubah kuning.
"Dinda...?!" gumam Pandu dengan
terheran-heran.
"O, kau rupanya?!" ucap Awan
Sari penuh permusuhan. Rani Adinda
memandang tajam kepada Awan Sari.
Sikapnya jelas-jelas bermusuhan. Pandu
Puber sempat mencemaskan keadaan
tersebut. Karena ia tahu kedua
perempuan itu sama-sama mempunyai
keberanian bertarung sampai mati jika
dilihat dari cara mereka dalam saling
memandang.
"Rupanya kau telah bebas dari
Sawung Seta, Dinda!" Pandu mencoba
mengalihkan suasana agar jangan
terjadi pertumpahan darah di antara
kedua gadis tersebut. Tapi ucapan
Pandu itu tidak mendapat reaksi apa-
apa dari Rani Adinda.
"Apa maksudmu menyerangku secara
licik, Gadis Jalang?!" sentak Awan
Sari dengan kasar sambil lebih
mendekat lagi.
"Jauhi pemuda itu!" kata Rani
Adinda dengan menuding Pandu tapi
tidak memandang pemuda tersebut.
"Apa hakmu melarangku mendekati
Pandu? Kau tak berhak mengatur
hidupku, Rani Adinda!"
"Kuingatkan sekali lagi," tegas
Rani Adinda tanpa senyum sedikit pun,
"Jauhi Pandu atau jauhi nyawamu!"
"Setan! Kau menantangku, hah?
Belum puas menjadi kekasih seorang
'pelanang' seperti Sawung Seta itu?!"
Pandu membatin, "Apa itu
'pelanang'? Apakah sejenis dengan
gigilu, eh... gigolo? Hmmm... mungkin
'pelanang' singkatan dari 'Pelacur
Lanang'. Ah, persetanlah. Ngapain aku
malah mikirin singkatan seperti itu?
Bego!"
Pandu Puber buru-buru mendekati
Awan Sari yang tampak siap-siap
lepaskan serangan maut ke arah Rani
Adinda.
"Awan Sari, jangan layani dia!
Mungkin dia sedang jengkel sama Sawung
Seta, sehingga emosinya tak
terkontrol! Jangan...!"
"Minggir!" sentak Awan Sari
sambil mengibaskan pundaknya yang
disentuh Pandu Puber. Matanya tetap
tertuju pada Rani Adinda dengan tangan
di ke ataskan dan siap lakukan
serangan jarak jauh.
"Majulah kalau kau ingin segera
pergi ke neraka!"
Rani Adinda mengelebatkan
tangannya bagaikan membuang sesuatu ke
arah depan, Wuuus...! Dan seberkas
sinar merah seperti bintang melesat
hendak menghantam Awan Sari. Tetapi
Awan Sari melawannya.
Dari tangannya yang ada di atas
keluar sinar biru lurus dan menghantam
sinar merahnya Rani Adinda
Claap...! Blaaarrr...!
"Gila!" sentak Pandu, karena ia
sendiri tersentak jatuh ke belakang
karena kekuatan daya ledak yang
menggelegar itu. Awan Sari dan Rani
Adinda sama-sama tersentak mundur
pula, tapi Awan Sari lebih parah. Ia
terjungkal berguling-guling ke
belakang bagaikan dilemparkan badai
liar. Sedangkan Rani Adinda hanya
bergeser mundur sekitar dua langkah,
masih tegak dan tegar. Jurusnya
dimainkan kembali dengan gerakan mirip
seekor burung perkasa hendak
mengepakkan sayapnya.
Wuuut...!
Tiba-tiba tubuh Rani Adinda
melayang bagaikan terbang. Awan Sari
yang baru saja bangkit itu disambarnya
dengan tendangan kaki beruntun.
Dus, dus, dus, dus, dus...!
Tendangan itu sangat cepat dan
sukar ditangkis ataupun dihindari.
Akibatnya Awan Sari terpental kembali
pada tendangan yang terakhir. Wajahnya
berlumur darah, karena lubang
hidungnya keluarkan darah segar.
"Ganas juga Adinda kalau lagi
marah begitu, ya? Urusannya sepele,
cuma cemburu, tapi kok jadi seganas
itu, ya?"
Kecamuk batin Pendekar Romantis
terhenti karena melihat jurus yang
dilancarkan Rani Adinda kali ini.
Gadis berjubah kuning itu melesat
tinggi ke atas pada saat Awan Sari
berusaha bangkit sambil berpegangan
pada batang pohon. Tiba-tiba dari
mata, tangan, kaki, dan pertengahan
dada montoknya Rani Adinda keluar
berlarik-larik sinar putih perak yang
menghantam tubuh Awan Sari.
Zrraab...!
"Tidaaak...!" teriak Pandu yang
merasa jurus itu akan menghancurkan
tubuh Awan Sari. Jelas keroyokan sinar
itu tak akan bisa dihindari oleh Awan
Sari. Maka, dengan emosi yang meluap
karena ketegangannya, Pandu Puber
melesat cepat, pergunakan jurus 'Angin
Jantan'. Zlaaap...!
Tahu-tahu sudah ada di depan
Awan Sari, dan melepaskan pukulan
jurus 'Cakram Biru', yaitu sinar biru
dari pergelangan tangannya yang
berbentuk cakram. Sinar itu muncul dan
melesat beberapa kali sesuai dengan
jumlah sinar putih peraknya Rani
Adinda. Akibatnya, setiap sinar putih
bisa dilumpuhkan oleh sinar biru
tersebut dan menimbulkan dentuman yang
menggelegar beberapa kali.
Blegar...! Duuur...! Blaaam...!
Duaaar...! Blaaar...!
Gemanya menggaung bergemuruh
mirip langit mau runtuh.
Lhaaarrrr...!
Seandainya ada orang melihat
dari kejauhan, maka ia akan menyangka
telah terjadi kiamat di tempat itu.
Pohon-pohon tumbang, tanah berguncang,
sebagian retak membentuk lubang dalam,
membentuk celah bagaikan potongan
bumi. Udara menjadi hitam karena asap
ledakan berkali-kali itu. Bebatuan
pecah menyembur ke mana-mana. Angin
badai terjadi beberapa saat dan
membuat beberapa pohon di tempat agak
jauh dari situ menjadi tumbang pula.
Bagaimana dengan tubuh mereka? Pandu
Puber terpental kehilangan
keseimbangan dan jatuh di samping
pohon yang tumbang, delapan langkah
jauhnya dari tempatnya berdiri tadi,
sedangkan tubuh Awan Sari terpental
tinggi, lalu jatuh terbanting tanpa
sadar diri lagi. Tetapi tubuh Rani
Adinda masih tetap tegar, berdiri
tanpa guncang sedikit pun di tempatnya
mendaratkan kaki dari lompatannya
tadi. Tak ada luka sedikit pun, bahkan
pakaiannya tak ada yang robek seinci
pun. Hanya rambutnya yang morat-marit
dihempas badai kencang tadi.
Gelombang ledakan yang
menghentak kuat beberapa kali membuat
mulut pemuda ganteng itu memuntahkan
darah segar walau tak banyak. Dadanya
terasa panas sekali, dan ia menahannya
dengan menyalurkan hawa dingin ke
sekujur tubuhnya. Hawa salju itulah
yang membuat Pandu Puber mampu bangkit
kembali walau sedikit sempoyongan.
"Jurus edan-edanan itu tadi!"
katanya membatin. "Tak kusangka Rani
Adinda mempunyai jurus sedahsyat itu.
Benar-benar berbahaya bagi keselamatan
orang lain dan keselamatan dirinya
kalau harus kulayani dengan adu
kesaktian. Sebaiknya kubujuk saja
dengan kelembutan, siapa tahu bisa
reda emosinya...."
Pandu Puber berdiri dalam jarak
tujuh langkah dari Rani Adinda. Ia
ingin ucapkan sesuatu, tapi sudah
didahului oleh Rani Adinda.
"Tinggalkan gadis itu!" Dingin
sekali kata-kata tersebut. Lebih
dingin ucapan itu daripada sebalok es
batu atau es cendol. Pandu dapat
rasakan kecemburuan yang begitu besar
tertanam di dada gadis itu. Tapi ia
sendiri merasa heran, mengapa
kecemburuannya bisa sebesar itu?
Padahal mereka baru saja bertemu dan
belum menjalin hubungan apa-apa.
"Seharusnya tak perlu sampai
begini, Dinda!"
"Jauhi saja dia! Jangan banyak
memberi saran padaku!"
Setelah berkata begitu, Rani
Adinda berkelebat pergi. Tapi kira-
kira dalam jarak pandang yang masih
nyata, gadis itu berhenti. Lalu
menyentakkan tangan kanannya ke atas.
Dari tangan kanan itu melesat sinar
merah yang segera mengembang di
angkasa.
Claap!
Wuuurss...!
Mata Pandu Puber terbelalak
kaget melihat sinar merah itu pecah
dan membentuk hiasan bunga mawar
merah. Jantung Pandu bagaikan terhenti
seketika karena ia segera ingat dengan
wajah cantik milik bidadari Dian Ayu
Dayen. Bidadari itulah yang harus
diburu dan dijadikan istrinya, karena
tanpa diperistri sang bidadari, maka
Pandu Puber tidak akan bisa naik ke
kayangan dan hidup sebagai dewa.
Sementara itu, Dian Ayu Dayen sendiri
tak mudah ditangkap dan dijerat
hatinya. Bukan berarti Dian Ayu Dayen
tak mencintai Pandu, melainkan karena
bidadari Penguasa Kecantikan itu
menyukai calon suami yang mampu
mengalahkan kesaktiannya maupun
kekerasan hatinya. Repotnya lagi, Dian
Ayu Dayen mampu merubah wujud seperti
apa saja, asal bukan seperti singkong
goreng.
Pandu bagaikan terpaku di tempat
melihat Rani Adinda berselimut hijau
pendar-pendar. Dari sinar hijau itu
muncullah wajah asli bidadari Dian Ayu
Dayen.
Pakaiannya serba putih, halus,
dan lembut. Sebagian rambutnya
disanggul dengan indahnya. Di belahan
dadanya terselip setangkai bunga mawar
asli, bukan hiasan.
Bidadari super cantik itu
kirimkan suara yang hanya bisa
didengar oleh telinga Pendekar
Romantis saja.
"Aku cemburu. Memang cemburu.
Tapi itulah kasihku. Sayang kau belum
bisa cabut bunga mawar dari dadaku.
Cabutlah bunga mawar itu dari dadaku
dan kau akan kurenggut dalam pelukan
selama-lamanya, Pandu Puber."
Pandu bicara dalam batinnya,
"Bagaimana aku bisa mencabutnya jika
kau tak berani muncul lama didepanku?"
Rupanya ucapan batin itu
didengar oleh Dian Ayu Dayen, sehingga
Pandu Puber mendengar jawaban di
telinganya,
"Carilah aku dalam kecantikan-
kecantikan yang menyebar di
sekelilingmu. Aku ada di antara
mereka. Dekap aku dan ciumlah
keningku, maka aku akan berubah
menjadi wujud asliku seperti ini. Dan
kau bisa cabut bunga mawar Ini dari
dadaku."
"Tapi,..." Kata-kata Pandu
terpotong,
"Jangan mengumbar cinta dan
kemesraan, Kasihku. Karena jika aku
melihatnya dari kayangan, aku akan
turun dan menghajar sainganku. Tapi
tentu saja tak akan sampai mati.
Sembuhkan gadis itu, setelah itu jauhi
dia!"
Zlaaasss
Tubuh perempuan cantik itu
memancarkan asap putih, makin lama
semakin tebal. Pandu buru-buru
mengejar dengan maksud menahan
kepergian Dian Ayu Dayen. Tetapi
sekalipun ia pergunakan jurus 'Angin
Jantan' ternyata ia masih kalah cepat
dengan kepergian Dian Ayu Dayen. Asap
itu ditangkapnya dalam pelukan. Tapi
Pandu tidak menyentuh apa-apa. Asap
pun sirna disapu angin. Dian Ayu Dayen
sudah tidak ada di situ.
"Brengsek!" bentak Pandu kesal
sekali. Sebongkah batu ditendangnya.
Wuuut...! Weeessss...! Batu itu
melayang terbang dan menghantam pohon
di kejauhan sana.
Blegaaar...! Ternyata batu itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam dari
hasil tendangan kaki Pandu yang sedang
jengkel itu. Pohon tersebut pecah
terbelah.
"Masa bodoh! Aku nggak mau jauhi
Awan Sari atau gadis mana pun! Aku
akan mengumbar cinta, habis kamunya
gitu sih, Dian! Kalau kamu nggak mau
aku pacaran sama cewek lain, kamunya
datang dong! Jangan hanya muncul
sekejap-sekejap! Aku kan butuh kasih
sayang dan kemesraan! Bukannya aku
nggak cinta sama kamu, tapi kau
permainkan aku sih, jadinya aku ya
kayak gini. Bandel! Tapi... tapi
kayaknya memang aku harus lebih jeli
lagi. Siapa tahu Awan Sari pun bisa
berubah menjadi wujudnya yang asli.
Dia bisa muncul dan menjelma dalam
berbagai kecantikan dan wajah wanita.
Aku harus mengecup keningnya. Jika
keningnya kukecup dan dia berubah
menjadi wujud aslinya, maka akan
kucabut bunga mawar itu dari dadanya!"
Pandu sengaja ngoceh sendiri
untuk hilangkan kekesalan hatinya. Ia
hampiri Awan Sari yang terkapar tak
sadarkan diri itu. Pandu geleng-geleng
kepala dengan cemberut. Lalu, jurus
'Hawa Bening' dilepaskan dari jari
tengahnya.
Claaap...! Dalam beberapa detik
saja gadis itu sudah bisa konsen
terhadap keadaan sekelilingnya.
"Mana si keparat Rani Adinda
tadi?!" geramnya dengan mata galak
memandang ke sana-sini.
"Dia bukan Rani Adinda," jawab
Pandu dengan lesu.
"Kau tak perlu melindunginya!
Aku bukan anak kecil yang bisa kau
tipu dengan caramu itu!" Awan Sari
jadi jengkel sendiri pada Pandu Puber.
"Ke mana larinya si jalang itu, hah?!"
"Sudahlah, jangan pikirkan dia
lagi! Dia bukan Rani Adinda!" sambil
Pandu bersikap merangkul pundak Awan
Sari, tapi rangkulan itu dikibaskan,
dibuang oleh Awan Sari.
"Katakan, ke mana larinya si
jalang itu?! Akan kukejar dia dan
kubalas kekalahanku kali ini. Mungkin
aku akan lebih kejam lagi dalam
membalasnya!"
"Nanti malah kacau semuanya,
Sari!"
"Nggak peduli! Kalau kau tak mau
tunjukkan, aku akan cari dia ke
perguruannya! Ku obrak-abrik
perguruannya itu! Heh!"
Weeesss....
"Sariii...! Sariii...!"
Awan Sari berlari cepat,
pergunakan jurus peringan tubuhnya.
Pandu Puber terpaksa harus mencegah
amukan Awan Sari karena akan terjadi
kesalahpahaman yang menimbulkan korban
sia-sia. Tapi baru saja Pandu Puber
ingin bergerak menggunakan jurus
'Angin Jantan'nya, tiba-tiba seseorang
memanggilnya dari belakang.
"Pandu...!"
Suara tua itu membuat langkah
Pandu Puber tertunda. Ia berpaling ke
belakang. Kaget. Matanya terkesiap
dalam memandang si nenek berjubah ungu
tanpa lengan, rambutnya putih perak.
"Siapa nenek itu? Kayaknya aku
pernah melihatnya?!" pikir Pandu yang
belum sadar bahwa nenek peot itu
adalah si Janda Keramat.
"Pandu, tolonglah aku...," ucap
sang nenek peot dengan wajah menghiba
sekali. Ia makin dekati Pandu yang
diam terheran-heran.
"Apakah... apakah kau... kau
Janda Keramat?!" tanya Pandu dalam
keraguan yang besar.
"Benar. Akulah Hapsari, si Janda
Keramat itu, Pandu!"
"Astaga!" Pandu membelalak.
"Belum ada dua hari kita berpisah,
mengapa kau sudah menjadi setua itu,
Janda Keramat?!"
"Yaaah..., nasib!" keluh Janda
Keramat dengan nada sedih. Lalu ia
menceritakan pertarungannya dengan
Nyai Perawan Busik, juga menceritakan
tentang pertarungannya empat tahun
yang lalu dengan Nyai Perawan Busik
yang dulu juga cantik sepertinya. Kini
mereka sama-sama tua dan peot. Tapi di
dalam darah tua si nenek jubah ungu
itu masih berkobar gairah bercumbu
jika melihat Pandu.
"Aku... aku butuh bantuanmu,
Pandu sayang...," sang nenek mencoba
bergelendot di pundak Pandu Puber.
Risi sekali digelayuti seorang nenek
yang kini terbatuk-batuk itu. Tapi
Pandu mencoba bertahan untuk tidak
menampakkan perasaan risinya itu.
Kasihan, dapat membuat hati sang nenek
kian tersinggung dan sakit.
"Tolong pulihkan keadaanku,
Pandu."
"Mana kubisa? Aku tidak tahu
ramuan yang kau minum sehingga kau
bisa awet muda dan cantik seperti
kemarin itu?"
"Kekuatan tenaga pembangkit
serat dalam tubuhku diracuni oleh
kekuatan yang menghantamku dari Nyai
Perawan Busik! Ramuan yang biasa
kuminum hanya pembangkit semangat dan
pengencang serat dan urat-urat. Tapi
itu semua bisa pulih kembali jika
racun yang menguasai serat daging dan
urat-uratku bisa ditawarkan dengan
suatu kekuatan hawa sakti. Sedangkan
hawa saktiku tak bisa kugunakan lagi
karena sudah ikut tercemari oleh
racunnya si Busik celeng itu!
Tolonglah, pergunakan cahaya beningmu
yang tadi kulihat kau pakai untuk
mengobati gadis berbaju merah itu!"
Pandu diam sebentar. Ia manggut-
manggut dalam hati. Rupanya saat ia
mengobati Awan Sari, si Janda Keramat
melihatnya dari balik
persembunyiannya. Tapi apakah si Janda
Keramat juga melihat kemunculan Dian
Ayu Dayen?
"Apa saja yang kau lihat tadi?"
tanya Pandu.
"Hanya cara pengobatanmu dan
perdebatanmu yang menyinggung-
nyinggung nama Rani Adinda tadi. Cuma
itu, sebelumnya aku tak tahu kau
apakan gadis itu sehingga sampai
pingsan. Mungkin kau cumbu di luar
batas, seperti kau mencumbuku? Oh,
jelas itu tak mungkin kuat dialami
perempuan lain. Hanya akulah yang bisa
menandingi kekuatanmu, Pandu."
"Jangan jorok terus otakmu, ah!"
sentak Pandu, lalu mengendurkan
ketegangannya. "Begini saja, akan
kucoba menggunakan 'Hawa Bening'ku,
tapi...."
"Untuk apa menggunakan sayur
bening? Aku tak butuh makanan...."
"'Hawa Bening', budge!" sentak
Pandu geli-geli dongkol.
"Ooo.... 'Hawa Bening'?
Kedengarannya tadi kamu bilang sayur
bening. Yah... maklumlah kuping tua
memang suka tulatit. Salah sambung!"
"Tapi kau mau berjanji padaku,
bahwa kalau kau berhasil kusembuhkan
dan menjadi seperti kemarin, kau akan
insaf?!"
" Mudah-mudahan."
"Jangan mudah-mudahan! Harus
pasti! Kau harus bisa menjadi manusia
yang berwatak jujur, sabar, baik budi,
suka menolong, dan... pokoknya jadi
orang baik deh! Jangan jadi orang
sesat terus kayak yang udah-udah! Kau
harus menjadi tokoh aliran putih!"
"Tapi... soal kelainan gairahku
bagaimana?" ujarnya dengan wajah tua
memanja. Enak untuk ditabok.
"Mudah-mudahan kelebihan
gairahmu bisa terobati dengan 'Hawa
Bening'ku juga."
"Yaaah... kalau gairahku hilang,
aku nggak bisa happy dong," kata suara
tua yang pletat-pletot itu. Pandu jadi
ingin tertawa mendengarnya. Tapi
setelah beberapa kali diberi
penjelasan, akhirnya nenek kempot itu
mau berjanji akan hidup menjadi orang
baik-baik, yang tidak banyak merugikan
pihak lain.
"Asal... aku tetap bersamamu,
sebab aku selalu butuh asmaramu!"
"Itu tergantung bagaimana hatiku
nanti!" Maka, Pandu Puber pun segera
melepas jurus pengobatannya yang hanya
dimiliki oleh para dewa dan
keturunannya itu. Dan ternyata usaha
itu tidak sia-sia. Janda Keramat yang
bernama Hapsari itu mengalami
perubahan sedikit demi sedikit,
akhirnya menjadi muda, cantik, dan
seksi, seperti kemarin.
Saking gembiranya ia melonjak
dan memeluk Pandu, lalu menciuminya
dengan bertubi-tubi. Clepat, clepot,
cetot...! Habis deh wajah Pandu
sebagai pelampiasan ucapan terima
kasih sang janda.
Sang Janda pun akhirnya berbisik
dalam pelukan, "Tapi... kok gairahku
belum bisa hilang pula? Masih
menggebu-gebu seperti kemarin tuh.
Gimana ini, Pandu?"
"Gawat...!" gumam Pandu dengan
merenung bingung.
TUJUH
JANDA KERAMAT yang cantik dan
menggairahkan itu tetap mendesak Pandu
Puber untuk melupakan Rani Adinda dan
kasus Hantu Putih. Tentu saja itu
dinilai Pandu sebagai sikap egois sang
janda berambut perak dan berkulit
putih mulus tersebut. Pandu tidak mau
terpengaruh sikap egois tersebut. Ia
tetap menuju ke Bukit Gerhana untuk
selesaikan persoalan tersebut. Karena
Sawung Seta harus pertanggungjawabkan
perbuatannya terhadap istri Sultan,
alias ibu Rani Adinda. Setidaknya
Pandu harus bicara dengan gurunya
Sawung Seta tentang nasib Rani Adinda
yang ditolak kesultanan dan mempunyai
syarat untuk membunuh Sawung Seta agar
diterima kembali oleh keluarganya.
Pandu mendesak Janda Keramat untuk
temui Layang Petir, si guru Sawung
Seta itu.
"Aku tidak bersedia mengantarmu
ke Bukit Gerhana!" kata Janda Keramat
dengan tegas.
"Aku sudah menolongmu, kenapa
kau tak mau menolongku?"
"Aku... aku... ah, pokoknya aku
tak mau ke sana!"
"O, mungkin kau takut terpikat
lagi oleh Sawung Seta?"
Janda Keramat mencibir.
"Hmmm...! Tak ada lelaki lain yang
bisa memikatku sekarang ini, Pandu.
Biar ada seribu ketampanan Sawung
Seta, aku sudah tidak tertarik lagi
untuk menjajal kehebatan jurus
cintanya. Seolah-olah, jiwa, raga,
sukma, dan batinku telah terkuasai
oleh jurus cintamu, Pandu!"
"Habis, kenapa kau tak mau
antarkan aku ke Bukit Gerhana?"
Janda Keramat diam sebentar, ada
keraguan yang terbendung di ujung
lidahnya. Tapi pada akhirnya ia pun
berkata,
"Aku takut kepada Layang Petir!"
"Ooo... jadi itu sebabnya kau
tak berani ke sana?" Pandu tersenyum
berkesan meremehkan. Janda Keramat
hanya mengangguk dan segera buang
muka, sepertinya menahan kedongkolan
dalam hati yang ingin ditentangnya
sendiri.
"Jika kau ingin ke sana, aku
hanya bisa mengantarmu sampai di
seberang sungai. Setelah itu
berjalanlah terus ke selatan dan kau
akan sampai di Bukit Gerhana yang
bentuknya seperti bulan separo
bagian."
"Baiklah kalau begitu!"
"Tapi janji, ya? Habis itu kau
pulang ke pondokku. Oke?"
"Itu bisa diatur!" jawab Pandu
sengaja memberi jawaban mengambang.
Karena ia sendiri tak tahu apakah
setelah menyelesaikan urusan Hantu
Putih ia akan kembali ke pondoknya
Janda Keramat atau pergi ke tempat
lain?
Sebelum mereka sampai di tepian
sebuah sungai yang menjadi batas
wilayah Bukit Gerhana, langkah mereka
terhenti bukan karena dihadang oleh
lawan siapa pun, melainkan karena
menemukan sesosok mayat terkapar di
bawah pohon. Pandu terkejut dan segera
berseru di luar kesadarannya,
"Adinda...?!"
Ya, memang Rani Adinda yang
terkapar di sana dengan tubuh terluka
panjang. Luka yang mengucurkan darah
itu menandakan luka bekas sabetan
pedang. Tubuh itu membiru, berarti
pedang itu mempunyai racun yang
berbahaya jika menggores kulit
manusia. Dilihat dari kesegaran
darahnya dan masih hangat, berarti
Rani Adinda baru saja melangsungkan
pertarungan. Mungkin musuhnya belum
jauh dari tempat tersebut. Pandu Puber
segera mencari dengan gerakan cepatnya
ke berbagai penjuru. Namun ia tidak
menemukan siapa-siapa di sana. Ia
kembali ke tempat Rani Adinda terkapar
dengan wajah penuh kekecewaan.
Janda Keramat berkata, "Dia
belum meninggal. Kurasakan ada denyut
nadinya, tapi lemah sekali!"
Pandu tegang, segera memeriksa
denyut nadi Rani Adinda dengan
menempelkan tangannya ke dada montok
itu. Janda Keramat menampel tangan
Pandu keras-keras.
Plak!
"Jangan periksa daerah itunya
dong! Sini lho... di pergelangan
tangan! Uuuh... dasar cowok ganjen!"
umpatnya sambil bersungut-sungut.
Sebenarnya kalau Pandu tidak
tegang, ia akan tertawa melihat
kecemburuan Janda Keramat. Tapi karena
ia masih serius, ia tak bisa
menertawakan hal itu.
"Benar, masih ada sisa denyut
nadinya! Kalau begitu masih
memungkinkan untuk kusembuhkan! Akan
kucoba!"
"Ah, sudahlah! Tinggalkan saja,
cepatlah pergi ke bukit!"
"Jangan begitu! Kau pasti suka
kalau dia mati kan?"
"Biar tak ada saingan lagi!"
"Sainganmu bukan hanya dia!"
kata Pandu sambil bersiap melepaskan
jurus 'Hawa Bening'-nya. Janda Keramat
akhirnya menjauh dan bersikap tak mau
tahu tentang apa yang dilakukan Pandu.
Ia memang tak ingin gadis itu hidup
karena dapat menghambat perhatian
Pandu terhadap dirinya.
Ternyata Rani Adinda memang
belum mati secara tuntas. Sisa denyut
nadinya sangat menentukan nasibnya
saat itu. Dan kedatangan Pandu
ternyata belum terlambat. Gadis
berdada pabrik susu itu akhirnya dapat
disembuhkan dan menjadi sehat kembali.
"Siapa yang melakukannya?" tanya
Pandu kepada Rani Adinda.
"Awan Sari!" jawab Rani Adinda.
"Aku bertemu dengannya di sini dan ia
menyangka ku telah mencelakainya dl
depanmu. Padahal aku merasa sedang
kebingungan mencarimu, Pandu! Ku
jelaskan berulang kali, tapi dia tetap
ngotot dan menuduhku menyerangnya
sampai ia hampir mati. Katanya, untung
segera ditolong olehmu, jadi ia punya
kesempatan untuk menebus kekalahannya
itu! Ah, aku tak mengerti apa
maksudnya sebenarnya!"
Pandu hanya bisa prihatin
mendengar cerita itu. Baginya amat
sulit menceritakan apa sebenarnya yang
terjadi, baik kepada Rani Adinda
ataupun kepada Awan Sari. Kemunculan
Dian Ayu Dayen dan statusnya sebagai
bidadari adalah sesuatu yang sukar
dipercayai oleh setiap orang.
Karenanya Pandu hanya bisa diam dan
menyimpan kenyataan itu di dalam
hatinya.
"Oh, rupanya kau datang bersama
si jalang itu?" kata Rani Adinda
begitu melihat Janda Keramat.
Pandangan mata si Janda Keramat
menjadi nanar setelah mendengar ucapan
sinis Rani Adinda.
"Apakah kau tak malu berjalan
bersama janda rakus itu, Pandu?"
"Adinda, sudahlah...!" bujuk
Pandu Puber yang mencemaskan
pertarungan di antara mereka berdua.
"Jaga mulutmu, Bocah Liar!" kata
Janda Keramat dengan kasar sambil
menuding Rani Adinda.
"Sudah merebut kekasihku,
sekarang ingin merebut sahabatku lagi?
Hmm... benar-benar nggak tahu malu kau
ini! Rakusmu kelewat batas, Janda
Kodok! Kenapa harus orang-orang yang
dekat denganku yang kau ganggu dan kau
racuni dengan kemesraan setanmu itu,
hah?!"
"Sekarang kau mau apa sebenarnya
sih? Mau apa?!" Janda Keramat dekati
sambil tolak pinggang. Pandu membatin,
"Membosankan sekali! Perkaranya
cuma begitu-begitu melulu. Tapi,
yah... maklumlah, saling terkait sih,
jadi ya... ya... memang harus begini!"
Sambil membatin demikian ia menengahi
pertengkaran tersebut. Ia berkata
kepada Janda Keramat dengan suara
pelan,
"Jangan layani emosinya!
Pulanglah, nanti setelah keselesaikan
masalahku dengannya aku akan ke
pondokmu dan kita akan berlayar
melewati samudera kemesraan lagi."
"Tapi dia kurang ajar padaku,
dan…"
"Pulanglah!" ucap Pandu lirih,
sabar, tapi punya penekanan.
"Jangan bikin aku jengkel, nanti
aku tak mau datang lagi padamu."
"Mau pulang kek, mau ngelayap
kek, itu urusanku!" kata Janda Keramat
dengan hati dongkol kepada Pandu.
Sebelum si janda pergi ia sempat
tarik napas dalam-dalam. Memandang
benci kepada Rani Adinda. Yang
dipandang malahan menyentak sambil
tolak pinggang dan sedikit majukan
dada,
"Apa lu...?! Apa lihat-lihat
begitu, hah?!"
Memang lucu kalau lihat dua
cewek cekcok gara-gara cemburu. Lucu
dan seru, tapi kadang juga
membosankan. Hanya saja, kasus saling
cemburu ini rupanya punya ujung
masalah yang menuju kepada misteri
Hantu Putih. Pada dasarnya sih, Rani
Adinda tidak cemburu kepada Janda
Keramat. Cuma dia sakit hati gara-gara
hubungannya diganggu oleh si Janda
Keramat yang membuatnya kini membenci
Sawung Seta.
Bagaimana nggak sakit hati kalau
Rani Adinda melihat dengan mata kepala
sendiri, bukan dengan mata kaki, bahwa
Janda Keramat merenggut tubuh Sawung
Seta dan menciuminya dengan bebas
merdeka? Sudah begitu, eh... si Sawung
Seta pakai ikut-ikut kasih balasan
segala. Mana tangannya ke mana-mana
lagi. Uuuh…! Karuan saja Rani Adinda
muak dengan Sawung Seta. Cintanya yang
dulu tumbuh subur langsung layu dan
mati dimakan rayap.
"Lalu, bagaimana kau bisa lolos
darinya?" tanya Pandu, setelah Janda
Keramat pergi.
"Yah, terpaksa kukibulin dulu!"
jawab Rani Adinda. "Setelah ia
sembuhkan aku dari luka serangannya
itu, aku berlagak tenang. Tapi selalu
mengelak jika ingin dijamahnya.
Setelah badanku terasa segar dan kuat,
aku melarikan diri darinya."
"Apakah dia tidak mengejarmu?"
"Memang mengejarku, tapi segera
terhenti karena ia mendengar panggilan
dari gurunya."
"Jadi, sekarang dia ada di
mana?"
"Di pesanggrahan sang Guru!"
"Apakah..., o, ya... Awan Sari
sendiri pergi ke sana setelah
melukaimu?"
"Mana kutahu? Aku kan dalam
keadaan sekarat? Masa’ harus
memandangi kepergiannya dulu baru
sekarat sih? "
"Maksudku," kata Pandu sambil
tersenyum geli, ".... Apakah dia
menyinggung-nyinggung akan pergi ke
perguruanmu?"
"Nggak! Agaknya ia cukup puas
bisa bertemu denganku. Sebenarnya apa
sih yang terjadi padanya, Pandu?"
Pandu hanya menarik napas, tetap
tak mau ceritakan hal yang sebenarnya.
Ia malah mengalihkan percakapan,
"Sebaiknya kita temui Sawung
Seta ke pesanggrahan sang Guru!"
"Ogah, ah!" sentak Rani Adinda.
"Kita selesaikan masalahmu dari
sana!"
"Maksudmu?"
"Aku kenal dengan gurunya Sawung
Seta! Aku akan bicara pada Layang
Petir tentang sikapnya selama ini!"
"Ah, malas! Nanti dia macem-
macem lagi sama aku!"
"Kalau kau ingin selesaikan
masalahmu, kalau kau ingin diterima
kembali sebagai keluarga kesultanan,
kau harus menemui gurunya Sawung
Seta!"
Kini dahi si cantik berdada
besar yang dari tadi dilirik nakal
oleh Pandu Puber itu menjadi berkerut.
Dahinya yang berkerut lho, bukan
dadanya! Gadis itu merasa heran dan
curiga dengan maksud kata-kata Pandu.
"Apakah gurunya Sawung Seta ada
hubungannya dengan Hantu Putih?"
Pandu Puber diam sebentar,
mempertimbangkan jawabannya. Beberapa
saat kemudian, berkata ia kepada Rani
Adinda dengan hati-hati.
"Kudengar kabar dari seseorang,
Sawung Seta itu gigolo, maksudnya
sering melayani wanita kesepian dengan
sejumlah upah yang dijanjikan. Apakah
kau tak pernah mendengar kabar itu?"
Dengan lesu Rani Adinda
menjawab, "Memang sih, aku pernah juga
dengar kabar begitu. Tapi ia ngaku tak
pernah lakukan hal itu. Bahkan berani
sumpah-sumpah segala. Aku sih percaya
saja!"
"Sumber informasiku mengatakan,
jijik kepada Sawung Seta karena ia
sering layani perempuan lain. Nah,
apakah tak menutup kemungkinan jika
kehebatan cintanya itu sampai didengar
oleh masyarakat dalem kesultanan?
Menurutmu bagaimana?".
"Maksudmu... maksudmu ibuku
mendengar hal itu dan memanggil Sawung
Seta untuk berskandal ria? Begitu?!"
Pandu sulit lagi menjawabnya.
Tak sampai hati. Tapi ia punya
diplomasi sendiri untuk membuat gadis
itu menjawab pertanyaannya sendiri.
Dengan kalem dan hati-hati Pandu
berkata,
"Orang yang membuat ibumu
tergila-gila cinta adalah Hantu Putih.
Apakah tak terbayang olehmu bahwa
orang yang berjuluk Hantu Putih itu
adalah orang yang gemar mengenakan
pakaian serba putih?"
"Sawung Seta juga mengenakan
pakaian serba putih, tapi... tapi...,"
Rani Adinda tertegun sejenak, lalu
berkata lagi dengan suara lirih karena
memendam geram.
"Kalau begitu, Sawung itulah si
Hantu Putih yang harus kubunuh?!"
"Jangan mudah menyimpulkan hal
itu. Kita harus bicarakan dulu
kepadanya dan di depan gurunya kita
utarakan kasusmu ini!"
Dada gadis itu sudah naik turun.
Bukan dibuat mainan sepasang tangan,
tapi karena napas amarahnya mulai
menggebu-gebu. Naik turunnya dada itu
menjadi pusat perhatian Pandu sesaat,
tapi hanya sesaat. Karena Pandu tak
membiarkan pikirannya berkelana.
Kemudian Pandu melanjutkan
perjalanannya ke Bukit Gerhana. Kali
ini ia didampingi oleh Rani Adinda.
Hawanya lain. Merasa lebih indah
didampingi Rani Adinda daripada si
Janda Keramat. Debar-debar keindahan
di dalam hati Pandu bukan semata-mata
debar-debar kemesuman, melainkan
debar-debar seni bercinta. Rasa-
rasanya Pandu ingin berjalan lebih
jauh lagi bersama gadis berdada luber
itu ketimbang berjalan bersama seekor
sapi.
Namun tiba-tiba tangan Pendekar
Romantis segera menyambar lengan Rani
Adinda. Bahkan tubuh Rani Adinda
diseret di balik semak-semak, mulutnya
dibekap dengan tangan Pandu.
Rani Adinda sempat gelagapan dan
membatin, "Wah, asyik mau diperkosa!"
"Ssst...! Jangan bicara apa-apa
dulu, dengarkan percakapan di balik
rumpun bambu sebelah timur itu!"
Bisikan Pandu dimengerti, Rani
Adinda manggut-manggut. Tapi tubuh
Rani Adinda tak mau bangkit, masih
merebah saja dalam pelukan Pandu walau
mulutnya telah dilepas dari bekapan
tangan Pandu.
Entah keenakan atau memang lupa
bangkit lagi, yang jelas dahinya jadi
berkerut kala didengarnya suara
percakapan dua orang di balik pohon
bambu yang rimbun itu.
"Tidak! Aku tidak mau kembali
padamu, Sawung Seta! Aku sudah punya
pilihan lain. Sebaiknya kau kembali
saja kepada Rani Adinda, supaya
kekasihmu itu tidak mengganggu
kemesraanku dengan pacar baruku!"
Rani Adinda berbisik kepada
Pandu, "Suaranya seperti suara si
Janda Keramat!"
"Memang dia. Dan lawan bicaranya
adalah Sawung Seta! Rupanya dia tadi
tidak pulang ke pondoknya, tapi
menemui Sawung Seta lewat jalan pintas
lain."
"Iya. Kurasa...."
"Sssst...!" Pandu menempelkan
telunjuknya di bibir gadis itu. Tapi
perhatian Pandu segera terpusat ke
percakapan di balik semak bambu itu.
"Rani Adinda sudah benar-benar
tak mau lagi kujamah. Ia kecewa berat
melihat kita bermesraan tempo hari
itu!"
"Bujuk dia dengan caramu
sendiri. Yang jelas jangan ganggu aku
lagi. Aku tak mau melayani
keinginanmu, Sawung!"
"Ah, kau kejam nian. Satu kali
saja masa' nggak mau sih?"
"Sekali kubilang tidak, tetap
tidak!"
"Apakah kau juga tidak ingin
lagi bercinta dengan Wirayoso?"
"Kepadanya pun aku sudah tak mau
lagi menemuinya!"
"Juga tak mau lagi bercinta
dengan Nirmala Weni?"
"Tidak. Aku sudah tidak mau
bercinta dan kencan dengan siapa pun
kecuali dengannya!"
"Maksudmu, kau hanya ingin
bercinta dengan Gusti Lesung Dewi?"
"Kepada Gusti Lesung Dewi pun
tidak. Aku hanya inginkan Pandu!"
Rani Adinda berbisik tegang,
"Gusti Lesung Dewi itu ibuku!"
"Ssst...!"
Lalu terdengar lagi kata-kata
Sawung Seta yang merayu penuh harapan
untuk bisa bercumbu.
"Kau tega membiarkan aku
kesepian, Hantu Putih?"
"Aku sudah tidak ada urusan apa-
apa lagi denganmu."
"Tapi, tidakkah kau ingin
memberikan salam perpisahan yang
terakhir kalinya padaku, Hantu
Putih?!"
"Cukup dengan bicara begini
saja!"
Wajah Rani Adinda menjadi merah
bagai terpanggang matahari dari jarak
satu jengkal. Pandu Puber sendiri
menjadi tegang dan terbungkam di
tempat itu. Percakapan mereka yang
masih terus berlangsung sudah tidak
terdengar lagi oleh Pandu dan Rani
Adinda.
"Ternyata Janda Keramat itulah
yang berjuluk Hantu Putih?!" gumam
Rani Adinda dengan suara bisikan
bergetar.
"Mungkin karena rambutnya yang
putih perak dan badannya yang putih
mulus, maka ia dikenal dengan nama
Hantu Putih, khususnya bagi orang-
orang yang menjadi langganan kencan
dengannya. Rupanya pula Janda Keramat
bukan perempuan normal lagi. Selain
dengan lelaki, ia juga gemar bercinta
dengan perempuan. Dan bagi seorang
perempuan yang belum pernah merasakan
kencan dengan sejenis, ia akan
ketagihan karena penyakit kejiwaan dan
kelainan cinta itu dapat menular pada
diri orang yang sebenarnya waras."
"Kalau begitu aku harus segera
membunuhnya!"
"Hei, tunggu...!"
Wuuut...!
Rani Adinda sudah tak bisa
ditahan lagi gerakannya. Ia berkelebat
cepat tanpa pedulikan lagi tentang
Pendekar Romantis. Begitu muncul di
pertengahan jarak antara semak dengan
rimbunan bambu, tangannya menyentak
dan cahaya merah bagai gumpalan api
menghantam pepohonan bambu itu.
Wuuus...! Duaaar...!
Pohon bambu sebegitu banyaknya
buyar mendadak. Pecah ke mana-mana
bagaikan diterjang terpedo. Dua orang
yang ada di balik pepohonan bambu itu
pun terpental dan jatuh tunggang
langgang.
"Gawat! Rani Adinda mengamuk!"
pikir Pandu Puber. "Apa yang harus
kulakukan kalau begini? Mencegah
pertarungan atau membiarkannya? Serba
salah saja rasanya kalau begini!"
"Sekarang terbuka sudah kedokmu,
Hantu Putih!" seru Rani Adinda dengan
lantang. "Kaulah yang selama ini
merusak bayang-bayang masa depanku!
Sekarang kau harus berhadapan
denganku! Majulah!"
Pandu Puber segera dekati Rani
Adinda dan berbisik, "Serahkan padaku.
Aku akan menangkapnya, jangan terjadi
pertumpahan darah."
"Diam kau!" bentak Rani Adinda
bagai tak kenal siapa orang yang
dibentaknya. Pandu Puber maklum,
segera jauhi gadis yang sedang
mengamuk itu. Sementara itu, Janda
Keramat dan Sawung Seta sudah bergegas
bangkit dan kini segera menghampiri
Rani Adinda.
"Kau benar-benar setan yang
perlu kuhancurleburkan, Rani!" geram
Janda Keramat dengan kemarahannya pula
akibat rasa kaget yang membuat
tubuhnya nyaris babak belur kalau tak
segera pergunakan ilmu pelapis diri
dengan tenaga dalamnya.
"Tugasku adalah memenggal
kepalamu, Janda Keramat! Kau telah
mengacak-acak tubuh ibuku seenaknya
dan membuat ayahku kehilangan
kebahagiaan rumah tangga! Sekarang
saatnya aku membalaskan sakit hati
ayahku, Hantu Putih!"
"Bagus! Aku pun ingin memenggal
kepalamu dengan jurus 'Surya Pedang
Malaikat' ini. Hiaaah...!"
Janda Keramat yang berambut
putih perak itu melompat dalam keadaan
rambutnya meriap mekar, mirip seekor
merak. Tapi dari ujung telunjuknya
keluar sinar merah yang bergerak dari
kanan ke kiri dalam keadaan memanjang
mirip besi.
Claaap...! Wuuus...!
Rani Adinda merundukkan badan,
sinar merah berkerliap lewat atas
kepalanya, menghantam pohon dan pohon
itu terpotong seketika tanpa suara apa
pun kecuali suara, craaas...!
Rani Adinda sendiri keluarkan
jurus simpanannya. Ia berguling satu
kali di tanah, lalu bangkit dengan
satu kaki berlutut. Dan tangannya
segera mengambil sesuatu dari belahan
dada lubernya. Lalu sesuatu itu
dilemparkan ke arah Janda Keramat yang
sedang mendarat dari lompatannya tadi.
Ziiing...Ziiing...!
Jurus itu rupanya jurus pelempar
senjata rahasia yang berbentuk
lempengan logam baja putih menyerupai
bunga matahari. Dua senjata rahasia
melesat menghantam tubuh Janda
Keramat. Tetapi si Janda Keramat atau
si Hantu Putih ganti merundukkan badan
dan kepala hingga senjata itu lewat di
atas kepalanya. Di belakang sana ada
pohon, dan senjata itu menghantam
pohon.
Deb, deb...!
Oh, ternyata senjata itu
memantul balik dalam keadaan cepat dan
berubah jumlahnya menjadi empat.
Rupanya senjata itu setiap memantul
balik jumlahnya akan bertambah dengan
sendirinya. Janda Keramat bersalto ke
sana-sini menghindari senjata
tersebut. Tapi keempat senjata itu
akhirnya membentur gugusan batu cadas.
Sraaak...! Weeersss...!
Empat senjata yang memantul
kembali itu kini menjadi delapan buah
dan semuanya menyerang ke arah Janda
Keramat. Pandu Puber dibuat bengong
melihat kehebatan senjata rahasia itu.
Menurutnya Janda Keramat bisa mati
kalau tidak segera hancurkan kedelapan
senjata rahasia tersebut.
Dugaan Pandu memang benar. Janda
Keramat juga berpikir demikian. Maka
dengan satu sentakan bersama, dua
tangannya melepaskan sinar hijau tua
yang menyerupai gumpalan kabut,
semakin jauh dari tangan semakin besar
bentuknya dan kedelapan rombongan
senjata aneh itu dihantamnya dalam
satu hantaman sekaligus.
Praang...! Blegaaar!
Ledakan itu membuat tanah
bagaikan terlonjak naik dan menggeliat
liar. Pohon-pohon banyak yang tumbang
karena akarnya bagaikan terdongkel
dari kedalaman tanah. Tubuh kedua
perempuan itu saling terlempar terbang
karena daya hentak ledakan dahsyat
tadi. Termasuk Pandu dan Sawung Seta
juga ikut terjungkal tak tentu arah.
Ketika dua pemuda itu sama-sama
bangkit berdiri, ternyata jarak mereka
tidak terlalu jauh. Mata mereka saling
pandang. Tapi mata Sawung Seta tampak
lebih tajam dan nanar, bagaikan
memancarkan permusuhan. Pandu Puber
mulai merasakan adanya niat tak beres
di hati Sawung Seta.
Ternyata firasatnya itu memang
benar. Sawung Seta tiba-tiba
menyerangnya dari belakang ketika
Pandu hendak menengahi pertarungan
kedua perempuan itu dengan caranya
sendiri. Tendangan kaki yang
berkelebat cepat bersama raganya itu
membuat Pandu Puber berbalik arah, dan
menangkisnya dengan kedua tangan
berkelebat cepat.
Plak, plak, duuus...! Satu
pukulan pada mata kaki diderita oleh
Sawung Seta yang membuat pemuda itu
tersentak dan jatuh sambil menyeringai
kesakitan, ia tak mampu berteriak
saking sakitnya. Rupanya pukulan Pandu
di mata kaki lawan disertai tenaga
dalam yang mampu membuat mata kaki itu
terasa hampir pecah. Jika yang dipukul
mata kaki orang biasa tanpa ilmu,
pasti sudah pecah menjadi mata sapi
atau menjadi apa, entahlah"
"Mengapa kau menyerangku?!"
hardik Pandu dengan sikap masih
tenang, sebentar-sebentar matanya
melirik ke arah pertarungan Rani
Adinda dengan Janda Keramat yang makin
seru itu.
"Kau adalah penyebab hancurnya
kebahagiaanku!" tuding Sawung Seta
kepada Pandu. "Kau yang membuat hati
Adinda beralih dariku dan juga membuat
kemesraan Hantu Putih itu pergi
dariku! Kau memang iblis yang perlu
dimusnahkan juga rupanya! Heaaat...!"
Pandu Puber segera melenting ke
udara dan bersalto satu kali ketika
Sawung Seta lepaskan pukulan bersinar
merah bagaikan telur angsa. Pukulan
bersinar merah itu akhirnya menghantam
batu dan batu tersebut hancur
seketika. Praaak...! Tak ada ledakan
yang ditimbulkan akibat benturan sinar
merah dengan batu itu,
Pandu Puber segera lepaskan
pukulan jurus 'Salam Sayang'nya. Kedua
tangan menyodok lurus dengan semua
jari mengeras dan dilakukan secara
berturut-turut. Cepat sekali.
Wut, wut, wut, wut...!
Dari ujung jari itu keluar
tenaga dalam yang cukup besar tanpa
sinar. Menghantam telak beberapa kali
di dada Sawung Seta. Akibatnya tubuh
Sawung Seta tersentak-sentak mundur
dengan badan melengkung dan tangan
merenggang lemas. Yang terakhir dari
sentakan lurus tersebut membuat Sawung
Seta jatuh terjungkal dengan keluarnya
erangan tertahan yang memanjang.
"Huuuhgg...!"
Gusrak...! Ia jatuh di bekas
pecahan pepohonan bambu tadi. Matanya
mendelik bagaikan sukar bernapas.
Mulutnya ternganga-nganga. Sikunya
berdarah karena tergores keruncingan
pecahan bambu. Bahkan dari mulutnya
tampak mengalir darah walau tak
banyak.
Pandu Puber ingin segera hampiri
Sawung Seta untuk tanyakan: Mau
diteruskan atau berhenti sampai di
situ saja? Tapi niatnya segera
dibatalkan begitu ia melihat keadaan
Rani Adinda terdesak oleh serangan
Janda Keramat.
Tubuh gadis berdada besar itu
terhempas dan membentur pohon ketika
sinar biru dari lima kuku Janda
Keramat menyergapnya dari samping,
menghantam bagian rusuk si gadis.
Tampak pula asap mengepul dari baju
yang terbakar dan kulit yang hangus
itu. Sedangkan tubuh Rani Adinda
tergeletak tak berkutik lagi di bawah
pohon itu. Keadaannya sangat parah.
"Sekarang saatnya menghancurkan
jasadmu, Kecoa!" teriak Janda Keramat
yang segera merapatkan kedua tangan di
atas kepala. Lalu kedua telapak tangan
yang saling merapat itu disentakkan
secara tiba-tiba sehingga keluarkan
sinar biru besar melesat ke arah tubuh
Rani Adinda.
Wuuusss...!
Namun bertepatan dengan
terbukanya dua telapak tangan itu,
kaki Pandu sudah mendahului menerjang
punggung Janda Keramat dengan gerak
'Angin Jantan'nya.
Druuk...! Wuuus...!
Akibatnya sinar itu melesat
dalam keadaan miring dan meleset
mengenai seonggok batu. Sementara
tubuh si Janda Keramat tersungkur
babak belur.
Blaaam…!
Batu itu menjadi tepung hitam.
Halus sekali. Itulah kedahsyatan sinar
birunya Janda Keramat. Seandainya
tepat kenai tubuh Rani Adinda, entah
apa jadinya gadis itu.
"Hentikan pertarungan ini!"
bentak Pandu kepada Janda Keramat yang
masih bermaksud menyerang Rani Adinda.
Tetapi seruan itu tidak dihiraukan,
sehingga Pandu terpaksa menyerangnya
lagi ketika Janda Keramat ingin
pergunakan jurus sinar biru seperti
tadi.
Wuuut...!
Kedua tangan Pandu menguncup,
lalu dihantamkan ke rusuk, ketiak, dan
leher sang janda.
Des, des, des...! Totokan
bergerak cepat membuat Janda Keramat
jatuh terpuruk bagaikan karung tanpa
beras.
Brruk...! Tubuhnya lemas, tak
bisa bergerak, tak bisa bicara, bahkan
tak bisa berkedip. Ilmu totokan yang
dipergunakan Pandu itu bernama jurus
'Cocor Bebek'. Ia menamakan jurus itu
seenaknya saja karena ia tak tahu nama
aslinya.
Treeet...! Tetet, tetet,
treeeet...! Sawung Seta pergunakan
senjata terompet kecilnya. Suara yang
keluar ternyata mempunyai getaran
tenaga dalam tinggi, hingga Pandu
terpelanting dan jatuh berlutut sambil
pegangi kupingnya, menutup rapat-
rapat. Gendang telinga terasa mau
pecah. Ia menggeliat-geliat kesakitan.
"Treeet... treeet, teet,
teooot!"
Plook! Brruk...!
Ada orang yang menampar Sawung
Seta membuat suara terompetnya hilang
dan pemuda itu terpelanting jatuh,
lalu diam tak bergerak dalam keadaan
terkapar. Sawung Seta pingsan hanya
karena satu tamparan seseorang yang
baru saja muncul di tempat itu. Orang
tersebut adalah gurunya sendiri:
Layang Petir.
"Bocah dogol!" maki si Layang
Petir yang berjubah biru lusuh dan
berambut putih panjang sepunggung tapi
diikat ke belakang. Si tubuh kurus itu
memaki kembali,
"Kayak udah jago aja lu, Tong!
Berani-beraninya melawan anak dewa!
Nggak mampus seketika sudah untung
lu!"
Lalu, tokoh tua yang usianya
sudah mencapai sembilan puluh tahunan
itu segera temui Pandu Puber. Saat itu
Pendekar Romantis sedang salurkan hawa
murninya ke telinga, sehingga rasa
sakit di telinga mulai berkurang.
"Maafkan kelancangan muridku,
Pandu!"
"Pak Tua...," sapa Pandu lirih
bagai sedang sibuk menahan rasa sakit
di kepala dan telinganya walau sudah
berkurang juga, namun masih ada sisa
sakit yang perlu ditahan.
Pandu memanggil Layang Petir
dengan sebutan 'Pak Tua', sebab memang
begitulah permintaan Layang Petir saat
bertemu Pandu dan Dardanila di dalam
gua, (Guanya ada di serial Pendekar
Romantis episode : "Patung Iblis
Banci"). Sejak peristiwa penghancuran
patung itu, Pandu dan Pak Tua
bersahabat dengan baik. Tapi Pandu tak
tahu kalau Pak Tua punya murid Sawung
Seta. Tahunya ya dalam kasus Hantu
Putih ini.
"Apa permasalahannya sampai
muridku berani sok-sokan di depanmu,
Pandu Puber, Pendekar Romantis, Anak
Dewa, Bocah Tampan?!"
"Bagaimana?!" Pandu ganti
bertanya karena telinganya budeg,
masih berdengung-dengung. Layang Petir
bertanya lagi, dan Pandu menjelaskan
masalahnya. Lalu, Layang Petir
berkata,
"Kalau begitu, tangkap dan
bawalah Janda Keramat, si Hantu Putih.
Serahkan kepada Sultan dan biar Sultan
yang memutuskan hukumannya. Sementara
itu, bawa pula putrinya supaya kau
tidak nyasar ke panti pijat!"
"Baik, Pak Tua! Aku pun punya
rencana begitu!" jawab Pandu yang
segera mengobati luka Rani Adinda,
lalu menyerahkan Hantu Putih ke tangan
Sultan Danuwija, babenya si gadis
berdada pabrik.
SELESAI
Segera terbit!!!
KITAB PANCA LONGOK
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon