Pendekar Romantis 1 - Geger di Kayangan(3)





ENAM

TIGA orang utusan dari Pulau
Iblis nyaris menghancurkan benteng
Geladak Hitam. Hebat juga? Hanya tiga
orang saja bisa bikln Geladak  Hitam
morat-marit, apalagi kalau enam orang?
Mungkin benteng  Geladak  Hitam bisa
didongkel dan diusung ke lautan sana!
"Satu orang Pulau Iblis sama
dengan delapan orang Geladak  Hitam,"
kata Dardanila mengakui kehebatan
lawannya.
Yuda geleng-geleng kepala.
"Padahal satu orang Geladak Hitam sama
dengan dua orang Perguruan Sekar Bumi,
ya? Berarti satu orang Pulau Iblis
sama dengan enam belas orang Perguruan
Sekar Bumi? Wow... luar biasa kuatnya
perbandingan itu."
"Itulah sebabnya aku tak berani
mengejar mereka ke Pulau Iblis. Ilmuku
sama dengan sesendok garam di lautan
bagi Raja Kala Bopak. Tiga orang
seperti aku baru bisa menandingi anak
buah Raja Kala Bopak yang kelas
rendah. Bisa kau bayangkan alangkah
saktinya Raja Kala Bopak itu."
"Tunggu, tunggu... kubayangkan
dulu!"
Tiga hari lamanya Yuda Lelana
tinggal di benteng Geladak  Hitam.  Ia
banyak membicarakan tentang Pulau
Iblis dan Raja Kala Bopak, dan Ratu
Geladak  Hitam tak segan-segan
menceritakan  kekuatan yang ada di
sana. Pengalaman Dardanila diserang
orang-orangnya Raja Kala Bopak membuat
perempuan tua yang awet muda itu
menjadi jera jika mendengar nama Raja
Kala Bopak. Baginya sesuatu yang
sangat beruntung jika ia bisa
terdampar dan mendirikan benteng di
muara itu ketimbang harus menjadi
buronan Raja Kala Bopak.
Teropong batin Raja Kala Bopak
sangat kuat, khususnya jika ia ingin
mengenali pusaka-pusaka dan kitab-
kitab penting yang dimiliki seseorang.
Salah-salah orang yang berhadapan
dengannya dapat buta mendadak jika
kekuatan saktinya meluncur lewat
pandangan mata," tutur Ratu Geladak
Hitam.
Yuda Lelana hanya manggut-manggut
tanpa ada rasa kagum dan takut sedikit
pun. Pada akhir percakapan, Yuda
Lelana mengatakan,
"Bagaimanapun kau harus tanggung
jawab atas kitab itu. Kau yang
mencurinya dari tangan Nyai Sirih
Dewi, kau pula yang harus mengambil
kembali kitab tersebut dari tangan
Raja Kala Bopak."
"Wah, mendlngan aku tarung sama
Nyai Sirih Dewi sampai mati deh,
daripada harus mengambil kitab itu
dari tangan Raja Kala Bopak!"
"Mengapa begitu?"
"Sudah kubilang berulang kali,
Raja Kala Bopak itu sangat sakti. Aku
tak mungkin bisa mengalahkannya. Kalau
aku datang ke sana, sama saja aku
menggali liang kuburku sendiri!"
"Kalau aku yang mendampingimu ke
sana, bagaimana?"
"Ah, percuma!" keluh Ratu Geladak
Hitam. "Sama saja buang-buang nyawa
tampan. Daripada nyawamu kau buang di
sana dengan percuma, mendingan kita
manfaatkan untuk merajut keindahan
dalam pelukan."
Yuda Lelana hanya tarik napas tak
pedulikan senyuman nakal Dardanila.
Seorang penjaga gerbang menemui
Ratu Geladak Hitam dengan membungkuk-
bungkuk penuh rasa takut. Sang Ratu
menatap dengan pandangan tak suka,
karena merasa terganggu oleh kehadiran
orang itu. Hatinya sedikit dongkol,
karena baru saja sang Ratu mau mencium
pipi Yuda, tahu-tahu penjaga gerbang
datang dengan terbatuk-batuk di-
paksakan.
"Ada perlu apa kau kemari, hah?"
gerutu sang Ratu dengan bersungut-
sungut.
"Hanya menyampaikan pesan seorang
tamu, Gusti Ratu."
"Katakan, aku lagi nggak mau
terima tamu!"
"Tamu itu mendesak ingin bertemu,
Gusti."
"Ngotot amat sih tamu itu? Siapa
orangnya?"
"Nyai Sirih Dewi dan dua murid
gadisnya, Gusti!"
"Hah...?l" sang Ratu agak
terperanjat, langsung beradu pandang
dengan Yuda Lelana. Apa persoalannya
sudah dapat ditebak oleh sang Ratu dan
Yuda. Pasti berkaitan dengan Kitab
Jayabadra.
"Kau harus menemuinya dan
mengatakan yang sebenarnya," kata
Yuda.
Perintah itu bagaikan mempunyai
kekuatan magis. Sang Ratu tidak dapat
menolaknya. Maka ia pun segera menemui
Nyai Sirih Dewi yang datang bersama
Kutilang  Manja dan Peluh Selayang.
Mereka diterima di ruang paseban yang
belum selesai diperbaiki. Sisi kiri
atapnya masih keropos dan tampak
hangus bekas terbakar.
"Ada dua hal yang harus kuminta
darimu, Dardanila; kitab dan Yuda!"
kata Nyai Sirih Dewi dengan tegas.
Wajahnya menampakkan amarah yang
dipendam, demikian pula Peluh Selayang
dan  Kutilang  Manja. Mulut manis
Kutilang  Manja jadi seperti tunggir
ayam, bersungut-sungut cemberut sambii
sesekali melirik Yuda Lelana. Yang
dilirik hanya senyum-senyum saja, tapi
segera merenggang jarak dengan
Dardanila, karena posisinya yang
berdekatan dengan Dardanila tidak
disukai  oleh Kutilang Manja dan
gurunya.
"Soal Yuda, itu terserah anaknya.
Apakah dia mau kau bawa pulang ke
perguruanmu atau tidak, atau dia
kerasan tinggal di sini  dalam
pelukanku atau tidak, itu terserah
yang bersangkutan!"
Bibir Kutilang Manja makin
runcing kayak pensil habis diserut.
Bahkan terdengar suara gerutunya yang
samar-samar, "Pantas betah, dikeremin
terus sih! Dasar buaya cap putu
bumbung!"
"Ssst...! Kamu ini ngapain sih,
pakai menggerutu kayak gitu segala.
Tenang sajalah, tenang...!" bisik
Peluh  Selayang. "Gue aja tenang kok,
cuma dada mau meledak juga dengar dia
sering dipeluk sama perempuan itu!"
"Gue nggak kuat menderita
begini!."
"Gue juga nggak kuat. Ntar kita
keroyok aja perempuan itu. Kita bikin
rujak bebek biar kapok!"
Sang Guru menyergah, "Ini apa-
apaan slh kok pada kasak-kusuk
sendiri?! Kasih kesempatan padaku un-
tuk bicara baik-baik dulu dengannya.
Kalau memang dia nggak bisa diajak
bicara baik-baik, baru kita hajar
bareng-bareng!"
Suara kasak-kusuk itu hilang.
Yuda  Lelana  hanya tersenyum karena
telinganya menangkap suara kasak-kusuk
itu.  Ia malahan melangkah mendekati
Kutilang Manja, tapi Kutilang Manja
bergeser plndah ke samping gurunya,
seakan ogah dideketin cowok kumal yang
bikin hati panas-dingin itu.
Dardanila dan Yuda segera
menceritakan peristiwa kedatangan tiga
utusan dari Pulau Iblis. Nyai Sirih
Dewi semula mau tidak percaya. Tapi
dengan melihat atap yang masih hangus
dan beberapa bangunan yang belum
selesai diperbaiki, akhirnya ia
percaya juga bahwa kitab itu dibawa
lari oleh tiga utusan dari Pulau
Iblis.
"Kau harus bertanggung jawab
merebut kembali kitabku itu,
Dardanila! Jika tidak, aku akan bikin
perhitungan denganmu secara pribadi!"
kata Nyai Sirih Dewi dengan hati
gundah.
"Aku bersedia bikin perhitungan
denganmu sekarang juga, daripada kau
paksa aku menemui Raja Kala Bopak!
Sekarang apa maumu akan kulayani!"
"Sabar, sabar...!" seia Yuda
Lelana. Dengan kalem ia berkata, "Soal
bikin perhitungan itu soal  gampang.
Sekarang juga, di sini pun, bisa
kalian lakukan dengan hasil  yang
jelas. Tapi soal merebut kitab itu
dari tangan Raja Kala Bopak itu yang
perlu dipikirkan. Kalian mati di sini,
salah satu atau dua-duanya, percuma
saja jika kitab itu masih ada di Pulau
iblis. Toh kematian kalian di sini
tidak membuat kitab itu pulang
sendiri?"
"Lalu apa maksudmu?" tanya Nyai
Sirih Dewi kepada Yuda yang dicurigai
memihak Ratu Geladak Hitam.
"Aku perlu tahu dulu, kira-kira
apa yang membuat Raja Kala Bopak
menginginkan kitab itu? Coba katakan
perkiraanmu, Nyai."
"Kurasa... kurasa dia punya
maksud yang sama dengan Dardanila."
Yuda  Lelana  memandang Dardanila.
Ratu cantik yang selera cintanya belum
terpenuhi sejak kemarin-kemarin itu
segera berkata,
"Kalau aku sih... cuma ingin
menjadi kitab itu sebagai sandera
supaya Perguruan Sekar Bumi pindah
dari Bukit Bara. Karena... jujur saja
kukatakan kepada kalian, di bawah
tanah yang dipakai berdirinya
Perguruan Sekar Bumi itu tersimpan
tambang emas yang mungkin belum banyak
diketahui orang."
Nyai Sirih Dewi dan dua murid
gadisnya tidak terkejut, karena
sebelumnya mereka sudah mendengar dari
mulut Yuda Lelana. Justru sang Ratu
yang merasa heran melihat mereka tidak
terkejut dan tidak merasa heran.
"Rupanya kalian sudah tahu, ya?"
katanya.
"Mungkin jauh-jauh hari  sebelum
kau mendarat karena terdampar di sini
kami sudah mengetahuinya tentang
tambang emas itu. Cuma kami tak punya
tenaga untuk menggalinya!" kata sang
Nyai sedikit sombongkan diri, padahal
ia baru tahu beberapa hari yang lalu.
Yuda Lelana berkata, "Apakah
menurutmu tujuan Raja Kala Bopak juga
mengarah pada tambang emas itu, Nyai?"
Napas tua yang masih tegar itu
dihela panjang-panjang. Setelah
memandang ke arah kedua muridnya tanpa
reaksi, sang Nyai berkata kepada Yuda,
"Di dalam kitab itu ada satu ilmu
yang sukar dipelajari. Aku pernah
mencobanya berulang kali  tapi justru
hampir mati karena tak kuat menahan
kekuatan ilmu tersebut."
"Ilmu apa itu?" tanya Ratu
Geladak Hitam. Rasa ingin tahunya
membuat ia memandang sang Nyai dengan
kepala menyamping.
"Namanya ilmu 'Pintu Tiga Iblis'.
Seseorang yang bisa menguasai jurus-
jurus 'Pintu Tiga Ibiis' dapat masuk
ke dunia gaib; ke alam kematian, ke
alam siluman, dan ke alam kayangan,
mendekati  Sang Hyang Guru Dewa. Jika
seseorang bisa mendekati  Sang Hyang
Guru Dewa, berarti dia mempunyai
tempat khusus di kayangan, mempunyai
hubungan dekat  dengan para dewa, dan
mampu menimba ilmu maha sakti dari
Sang Hyang Guru Dewa."
Yuda Lelana hanya manggut-manggut
sambil menahan senyum dalam hati.
Sebab dunia yang dibicarakan sang Nyai
itu adalah dunia yang menjadi tempat
tinggalnya sebenarnya. Sekalipun
begitu, toh Yuda tetap tenang dan
berlagak tidak tahu menahu soal alam
kekayangan itu.
Sang Nyai teruskan kata,
"Barangkali  Raja Kala Bopak ingin
pelajari ilmu 'Pintu Tiga Iblis' untuk
dapat menembus tiga alam tersebut.
Mungkin dia ingin bisa mencapai ke
alam kayangan. Tapi mempelajari ilmu
'Pintu Tiga Iblis', adalah hal yang
sulit sekali. Baru sampai pintu
pertama kita sudah mental dan terluka
parah jika tak kuat-kuat tenaga
saktinya."
"Pada waktu itu kau ingin
menembus sampai ke alam kayangan?"
tanya Dardanila dengan antusias se-
kali.
"Ya. Aku Ingin masuk ke alam para
dewa, selain ingin bertemu dengan Sang
Hyang Guru Dewa, juga ingin bertemu
dengan salah satu dewa yang menurut
nenekku adalah dewa tertampan di
antara para dewa. Konon ketampanannya
melebihi tokoh pewayangan yang bernama
Arjuna. Nama dewa itu adalah Batara
Kama!"
Sang Ratu manggut-manggut, dua
murid sang Nyai menyimak secara
sungguh-sungguh karena baru sekarang
ia mendengar cerita tentang isi kitab
itu. Sedang  kan Yuda Lelana  sedikit
salah tingkah ketika namanya
disebutkan sebagai dewa tertampan
melebihi Arjuna. Ia jadi malu sendiri,
karenanya  ia segera melengos dan
lempar pandangan ke tempat orang yang
sedang memperbaiki  kerusakan sebuah
bangunan itu.
"Jika begitu, berarti  Raja Kala
Bopak memang ingin menembus tiga
lapisan gaib itu dengan mempelajari
ilmu yang ada dalam kitab kita, Guru!"
kata Peluh Selayang. "Kita harus bisa
merebutnya sebelum ia menguasai  ilmu
'Pintu Tiga Iblis'. Karena jika ia
berhasil kuasai ilmu itu, maka
tindakannya akan menjadi lebih semena-
mena lagi dan...."
"Tapi tunggu dulu," potong
Dardanila. "Apakah mungkin Raja Kala
Bopak ingin pelajari  ilmu itu untuk
menembus tiga lapisan alam gaib,
sedangkan Kala Bopak sendiri
sebenarnya adalah raja jin?"
Weet...! Kepala Yuda Lelana cepat
berpallng memandang Dardanila begitu
mendengar kata 'raja jin' disebutkan.
Matanya memandang tajam dengan dahi
mulai berkerut. Lalu terdengarlah
suaranya bertanya dalam nada ragu,
"Benarkah... benarkah Kala Bopak
itu sebenarnya adalah raja jin?"
"Ya. Dia menjelma menjadi manusia
karena dia kawin dengan manusia
perempuan. Tapi istrinya sekarang
sudah mati. Tinggal anak gadisnya yang
bernama Murti  Kumala. Anak gadisnya
itu tak mau ikut bapaknya, sedangkan
sang bapak sangat sayang kepada anak-
nya. Murti  Kumala mau hidup bersama
bapaknya jika mereka hidup di  alam
manusia. Maka Raja Jin itu pun
menjelma sebagai manusia dengan nama
tetap Kala Bopak. Karena ia menjelma
menjadi manusia, maka ia membutuhkan
tempat. Tempat yang dipilih adalah
Pulau Iblis. Dan dia datang bersama
pasukannya menggempurku, mengusir
kami, lalu mendiami Pulau Iblis.
Itulah sebabnya kukatakan padamu,
Yuda, bahwa satu orang anak buah Raja
Bopak sama dengan delapan orang
benteng  Geladak  Hitam ini. Karena
kekuatan yang mereka pakai adalah
kekuatan jin!"
Yuda Lelana manggut-manggut dalam
renungannya. Ada percakapan yang
terjadi antara Nyai Sirih Dewi dengan
Ratu Geladak Hitam, tapi Yuda tak men-
dengar percakapan itu. Konsentrasinya
tertuju pada sebaris kalimat yang
pernah dlucapkan oleh Dewa Hakim:
"Batara Kama boleh kemball ke
kayangan dan menjadi dewa lagi apabila
ia sudah kawin dengan putri  raja jin
dan mampu menghasilkan keturunan...."
Setelah merenungi kata-kata itu
berulang kali, maka Yuda Lelana  pun
segera berkata kepada Nyai Sirih Dewi,
"Nyai, kau tak perlu cemas. Aku
akan merebut kitab itu dari tangan
Raja Kala Bopak!"
"Tidak!" sentak Kutilang Manja.
"Kau tidak boleh ke sana! Itu bukan
tanggung jawabmu, Yuda!"
"Aku harus ke sana dan berjanji
membawa pulang kitab itu asal kalian
berdamai. Antara orang Perguruan Sekar
Bumi jangan bermusuhan dengan orang
benteng Geladak Hitam!"
"Aku tetap tidak setuju!"
Kutilang Manja ngotot keras. "Kau
hanya akan menyumbangkan nyawa bagi
raja jin itu jika nekat datang ke
Pulau Iblis!"
"Tidak, Kutilang! Percayalah
padaku, tidak akan  terjadi hal yang
kau bayangkan itu. Jangan menyerah
dulu, Anak Manis," bujuk Yuda Lelana
yang membuat  Kutilang  Manja akhirnya
luluh, tundukkan kepala setelah
ditatap tajam oleh Yuda. Tatapan mata
Yuda itu mengandung kekuatan mistlk
yang mampu meredakan amarah seseorang
dan kekerasan hati siapa pun. itulah
jurus 'Mata Dewata' yang selalu
mengalir dalam diri Yuda Lelana.
"Ratu," katanya kepada Dardanila.
"Kuambil alih tanggung jawabmu merebut
kembali kitab itu, tapi  kau harus
berjanji untuk tidak mengganggu orang
Perguruan Sekar Bumi lagi. Jika kau
masih  ingin mengganggu mereka, kau
akan berurusan denganku lebih parah.
Dalam sekejap tempat ini bisa
kuratakan dengan tanah. Jika kau mau
berdamai, itu lebih baik, dan aku akan
membantu kalian untuk menggali tambang
emas. Hasilnya bisa kalian manfaatkan
bersama tanpa keserakahan."
Sang Ratu diam tak berkata karena
terpaku mendengar kata-kata itu dan
terpukau menerima tatapan mata Yuda.
Nyai Sirih Dewi juga ditatapnya, dan
saat itu Yuda bertanya, "Apakah kau
keberatan untuk berdamai, Nyai?"
Setelah diam beberapa saat,
barulah sang Nyai menjawab, "Tidak!"
"Bagaimana dengan kau, Ratu?"
"Hmmm... hmmm... ya, baiklah. Aku
akan turuti kata-katamu!"
"Nah, jika begitu... aku akan
berangkat ke Pulau Iblis sekarang
juga."
"Tunggu, kuperintahkan anak
buahku untuk mempersiapkan kapal  dan
pengawalnya," kata Dardanila.
"Tak perlu serepot itu, Ratu. Aku
akan berangkat sendiri."
Yuda Lelana tempelkan kedua
telapak tangannya di dada. Berdirinya
lurus dan tegak. Tiba-tiba, claaap...! 
Ia berubah menjadi sinar terang
yang menyilaukan, membuat mereka
tersentak mundur sambil menyilangkan
lengan di  atas kepala, menahan
silaunya sinar putih itu. Dan ketka
sinar putih itu lenyap, sosok Yuda Le-
lana yang kumal pun lenyap tak
berbekas.
"Dia hilang...?!" sentak Kutilang
Manja. Mereka terbelalak dan ter-
bengong. Lebih terbengong lagi setelah
melihat atap ruang paseban yang rusak
hangus itu ternyata telah berubah
menjadi seperti semula. Bangunan yang
sedang dlperbaiki  itu tiba-tiba utuh
kembali tanpa cacat sedikit pun.
Keadaan yang porak poranda, bekas sisa
kebakaran, menjadi mulus bagaikan tak
pernah terjadi peristiwa maut di situ.
"Siapa sebenarnya bocah kumal
itu?!" gumam Ratu Geladak Hitam. Rasa
kagum, heran, takjub, takut, sungkan,
semua bergumul menjadi satu di  dalam
hati setlap manusia yang ada di situ.
Hal yang mengejutkan sekali adalah
munculnya para korban yang telah
dimakamkan akibat pertarungan dengan
tiga orang utusan Pulau Iblis itu.
Sang Ratu tidak bicara sedikit pun
melihat mereka datang dalam keadaan
segar bugar tanpa luka sedikit pun.
Bahkan tangan Adu Polo yang buntung
itu menjadi pulih seperti sediakala.
Utuh tanpa luka, kecuali tiga panu
yang di lengannya dari dulu itu.
Telinga Kebo Tumang sendiri menjadi
seperti semula,  seperti tak pernah
terpotong oleh kekuatan dahsyat tangan
Yuda Lelana.
"Gusti, Gusti... telinga saya
tumbuh lagi! Lihat... telinga saya
tumbuh lagi," teriak Kebo Tumang yang
berlari  mendekati  ratunya dengan
gemblra.  Ia tak sadar memamerkan
kegembiraannya  itu kepada Kutilang
Manja,
"Telingaku tumbuh lagi.
Lihatlah...! Tumbuh lagi, kan?"
Kutilang Manja bersungut-sungut,
"Tumbuh lagi, tumbuh lagi...,
memangnya batang singkong?"
Lalu terdengar suara Nyai Sirih
Dewi yang telah sadar dari rasa
shocknya.
"Firasatku mengatakan, Yuda
Lelana itu sebenarnya adalah dewa...."
"Dewa...?!" ucap mereka dengan
kompak, seperti paduan suara.
Ratu  Geladak  Hitam segera
berlutut di tempat Yuda berdiri tadi.
Bekasnya dicium penuh hormat dan rasa
takut. Peluh Selayang ikut-ikutan
berlutut, mencium lantai tempat
berdiri Yuda tadi. Kutilang Manja
bahkan sempat menangis dengan tubuh
gemetar dan berucap lirih, "Ampunilah
saya yang telah berani menaruh  hati
padamu, Sang Hyang Dewa Yuda...." Hal
itu dilakukan Kutilang Manja karena
gurunya sendiri berlutut dan bersujud
di depan bekas tempat Yuda berdiri dan
menghilang. Kebo Tumang dan Adu Polo
serta anak buah Dardanila lainnya juga
ikut bersujud seperti ratunya tadi.
Tiba-tiba kejadian aneh dialami
oleh mereka. Seluruh ruangan paseban
bercahaya putih menyilaukan, tapi
tidak sakit dipandang mata. Tiang-
tiangnya, dinding-dindingnya, atapnya,
semua bercahaya berbinar-binar. Cahaya
itu menghadirkan hawa sejuk yang enak
dirasakan di hati. Hawa sejuk itu
bagaikan menyapu seluruh kebencian,
kecemburuan, kedongkolan bahkan dendam
pun enyap bagai tak berbekas sama
sekali di hati mereka. Yang mereka
rasakan hanyalah  kedamaian,  kete-
nangan, dan perasaan bahagia tak jelas
maknanya. Perasaan bahagia itu
mengharukan sekali, hingga mereka
saling menltlkkan air mata, tak peduli
pria maupun wanita yang ada di ruangan
tersebut.
Tak lama kemudian, terdengar
suara Yuda Lelana  yang amat dikenali
oleh mereka. Suara itu berkata,
"Aku sudah sampai di Pulau Iblis,
tapi... entah nyasar atau tidak nih?
Kok keadaannya sepi-sepi saja? Apakah
karena aku masih berada di pantainya?
Ratu, apa ciri-clri Pulau Iblis?"
Tiba-tiba mulut sang Ratu
menjawab sendiri, "Tiga pohon kelapa
kipas."
Suara menggema itu terdengar
lagi, "Oh, kalau begitu aku tak salah
alamat. Aku melihat tiga pohon kelapa
kipas. Buahnya berjejer-jejer.
Baiklah, aku akan pergi ke pedalaman
mencari istana si Bopak. Damailah
kalian bersama!"
Setelah suara itu hilang, cahaya
pendar-pendar menyilaukan itu pun
lenyap. Tapi mereka terkejut ketika
melihat beberapa anak buah mengurung
tempat itu dengan mata terbelalak.
Kebo Tumang berseru kepada
mereka, "Hei, mengapa kalian mengurung
kami dengan senjata lengkap?"
"Tuan Kebo... tempat ini tadi
kosong, kami mencarinya dengan siaga
perang! Tapi tahu-tahu ruang paseban
ini muncul kembali. Padahal tadi kami
lihat ruang paseban hilang tak
berbekas!"
Orang yang ada di dalam ruang
paseban tak bisa bicara sepatah kata
pun.  Mereka saling tertegun hingga
Kebo Tumang membubarkan anak buahnya.
Lalu terdengar suara Nyai Sirih Dewi
berkata kepada Dardanila,
"Peristiwa ajaib ini tak mungkin
kulupakan sepanjang hidupku! Kita
telah dibawa ke dalam suasana
kedamaian yang sejati. Dan  ini
merupakan keberuntungan kita bersama
yang belum tentu bisa dialami  oleh
orang lain."
"Memang," kata sang Ratu.
"Sekarang yang ada dalam pikiranku
adalah, bagaimana dengan nasib Raja
Kala Bopak Itu? Dapatkah Dewa Yuda
Lelana mengalahkan kekuatan jin yang
ada pada Raja Kala Bopak?"
"Dia berjanji akan datang lagi
membawakan kitab itu. Kita tunggu saja
hasilnya," kata Nyai Sirih Dewi dengan
suara rendah, tanpa nada permusuhan.





TUJUH


SINAR putih perak melayang-layang
dl sekeliling taman keputren, artinya
taman untuk putri raja. Cahaya itu
besarnya seukuran bola bekel, mem-
punyai ekor sinar panjang sekitar dua
jengkal. Cahaya itu bergerak terbang
ke sana-sini sampai akhirnya berubah
menjadi seekor kupu-kupu warna putih
perak. Kupu-kupu itu hinggap di atas
daun, padahal di sampingnya ada bunga
bermadu, tapi kupu-kupu itu memilih
hinggap di daun. Jelas itu kupu-kupu
bego namanya. Tapi biarlah, itu urusan
si kupu-kupu.
Yang jelas dari sudut istana
muncul seorang gadis cantik berjalan
bersama seorang lelaki bertubuh tinggi
besar, gemuk, hitam, keling, mukanya
lebar, hidungnya besar, matanya juga
besar, mulutnya lebar, wah... pokoknya
jelek sekali deh. Tapi orang itu
mengenakan mahkota dan jubah mengkilap
berwarna hitam. Jubahnya itu tampak
keren, disulam dengan benang emas
gambar kepala iblis bertanduk satu.
Kepala wajah iblis itu sedang julurkan
lidah. Di atas sulaman gambar kepala
iblis di bagian dada kirinya itu ada
tulisan sulam juga dari bahan benang
putih berbunyi: JAGALAH KEBERSIHAN.
Dari jauh memang terbaca begitu,
tapi begitu didekati  tulisan itu
ternyata berbunyi: 'Sang Pelebur
Nyawa'. Serem juga makna tulisan itu.
Sesuai dengan wajah angker si pemakai
jubah hitam mengkilap itu. Lebih
menyeramkan lagi jika mahkotanya
dibuka, maka tampaklah kepala
gundulnya yang mengkilap dengan sisa
rambut berkuncir di bagian agak
belakang.
Orang bermahkota dan berkalung
rantai emas batuan merah berbentuk
kepala manusia kecil itu tak lain
adalah penguasa Pulau Iblis yang
disebut-sebut sebagai Raja Kala Bopak.
Jin yang berubah wujud menjadi manusia
ltu ternyata tetap saja kelihatan
jelek dan menyeramkan. Tapi anehnya
anak gadisnya yang didampinginya kala
itu tampak cantik sekali!
Putri raja jin itu bernama  Murti
Kumala. Sangat sesuai dengan keelokan
wajahnya. Tak sia-sia nama itu
tersemat di  hati dan jiwa si gadis.
Usianya sekitar dua puluh tahun. Masih
bertingkah centil dan manja. Rambutnya
digulung menjadi dua bagian, melingkar
di  kanan-kiri kepala.  Rambut  itu
diikat dengan tali pita warna ungu,
sebab ia mengenakan pakalan serba
ungu. Pakaiannya tipis sekali,
transparan, sehingga bentuk keelokan
pinggulnya tampak nyata, bentuk
dadanya yang tanpa pelapis lagi tampak
menantang jantung untuk berdetak lebih
cepat lagi.
Ia mengenakan perhiasan lengkap.
Dua cincin indah melingkar di  jari-
jarinya yang lentik. Perhiasan itu
menambah kecantikan wajahnya.
Hidungnya mancung, bibirnya mirip
kuncup mawar yang siap dicaplok,
sesuai dengan wajah imut-imutnya.
Matanya bundar indah, bulunya lentik,
(maksudnya bulu mata), alisnya lebat
dan berbentuk indah. Sungguh wajah itu
mirip wajah boneka yang menggemaskan,
enak diremas-remas.
Kulit tubuhnya kuning langsat,
tapi  mulus tanpa cacat tanpa goresan
apa pun. Jubahnya yang tanpa lengan
menampakkan kulit tangannya yang
lembut seperti kulit bayi, tanpa ada
bekas suntikan cacar di  ujung
lengannya. Tinggi gadis itu lumayan,
tidak terlalu jangkung, tidak terlalu
pendek. Pokoknya serasi dengan bentuk
tubuhnya yang sekal, padat, dan
kencang.
Sangat kontras dengan wujud sang
ayah yang angker mirip kuburan para
zombi.
"Kamu nggak perlu murung lagi,
Murti  Kumala. Sekarang kita sudah
punya kunci menuju keinginanmu. Kitab
Jayabadra sudah kita peroleh. Tinggal
bagaimana ketekunanmu mempelajari Ilmu
'Pintu Tiga Ibiis' itu. Nanti Ayah
akan membantumu dalam mempelajari ilmu
tersebut."
Sang putri berkata, "Terima
kasih, Ayah. Ayah selalu menuruti
keinginanku."
"Karena sejak kematian Ibumu,
kaulah satu-satunya buah hatiku, Murti
Kumala. Anak semata sapi harus
disayang setulus hati," kata Raja Kala
Bopak dengan suaranya yang besar.
Mereka duduk di bangku taman yang
terbuat dari batu bening tembus cahaya
itu. Letaknya berdekatan dengan
tanaman bunga kuning yang daunnya
dipakai hinggap seekor kupu-kupu
perak.
"Tapi sebenarnya Ayah merasa
heran sekali, mengapa kamu ingin
sekali pelajari  ilmu 'Pintu Tiga
Iblis', apakah itu tidak menyindir
ayahmu, Nak?"
"Ayah jangan tersinggung," kata
Murti Kumala dengan lagak manjanya.
"Murti hanya ingin pelajari ilmu saja
itu kok. Sebab Murti kepingin bisa
menembus tiga lapisan alam."
"Lho, kamu kan anak jin, kamu
sudah bisa keluar masuk alam siluman."
"Iya, tapi  kan nggak bisa masuk
ke alam kayangan, Ayah."
"Ooo... jadi kau ingin masuk ke
alam para dewa?"
"Iya dong. Murti kan kepingin
ketemu dewa yang bernama Batara Kama.
Katanya dia itu dewa terganteng di
seluruh kayangan."
"Katanya sih memang begitu, tapi
Ayah sendiri belum pernah melihatnya.
Habis Ayah selalu diusir kalau mau
masuk ke kayangan. Ayah tak bisa
mengalahkan penjaga kayangan."
"Makanya biar Murti saja deh yang
ke sana. Murti cuma ingin buktikan
cerita almarhumah Ibu yang bilang
bahwa dewa terganteng itu adalah
Batara Kama. Kata mendiang Ibu sih,
ketampanan Batara Kama tidak ada yang
mengalahkan. Makanya Murti jadi
penasaran banget deh sama yang namanya
Batara Kama itu, Ayah!"
"Ya, sudah. Nanti Ayah bantu kamu
pelajari kitab itu. Sekarang Ayah
ingin kembali ke istana, ada yang
harus Ayah bicarakan dengan Panglima
Marong!"
"Baiklah. Silakan Ayah ke istana,
Murti mau duduk di sini mengkhayalkan
pertemuan dengan Batara Kama nanti."
"Hah, hah, hah, hah, hah... !"
Raja Kala Bopak tertawa sambil
mengusap punggung putrinya. Saat itu
tanaman-tanaman bergetar karena bumi
pun bergetar mendapat sentakan
gelombang suara tawa Sang Pelebur
Nyawa itu. Putrinya memejamkan mata,
menahan rasa sakit di telinganya.
"Ayah kalau tertawa jangan di
dekat Murti! Kuping Murti bisa budek
nih!"
"Iya, iya... maafin Ayah deh!"
sang Ayah bersikap sabar, penuh
curahan kasih sayang kepada anaknya.
Setelah sang Ayah pergi, Putri Murti
Kumala duduk sendirian dengan kaki
kiri ditumpangkan ke kaki kanan,
jubahnya menyingkap, sehingga betis
yang mulus indah terlihat jelas sampai
ke paha. Seekor kupu-kupu perak
menjadi gelisah, lalu terbang dan
hingga di paha yang tersingkap itu.
Sang putri tertawa geli dan cekikikan.
"Aduh, lucunya... kupu-kupu
bersayap perak. Iiih... bagus sekali!
Akan kurawat di kamar tidurku, ah!"
Sang kupu-kupu ditangkap, lalu
dibawa lari  masuk ke kamar tidurnya.
Kamar tidur Murti Kumala berkesan
mewah. Ada tanaman pot yang mempunyai
bunga merah jambu bening seperti kaca.
Kupu-kupu perak itu diletakkan di
tanaman bunga itu dengan hati-hati.
"Kupu-kupu, kamu di sini saja ya?
Jangan terbang ke mana-mana. Aku suka
melihat kecantikan rupamu. Jangan
nakal, ya?" ujarnya dengan manja.
Sang kupu-kupu diam saja. Ruang
tidur itu cukup sejuk karena Raja Kala
Bopak menyalurkan hawa salju yang
mengembang di atas langit-langit kamar
tersebut. Hawa salju itu tak bisa
hilang jika tidak diambil oleh si
pemiliknya. Hawa sejuk itu membuat
sang putri betah tlnggal di kamar,
apalagi sekarang ada kupu-kupu lucu,
pasti akan lebih betah lagi. Bahkan
ketika ayahnya menyarankan agar segera
mempelajari ilmu 'Pintu Tiga Iblis',
Murti Kumala menangguhkan niatnya itu,
sebab ia masih senang bermain dengan
kupu-kupu perak.
Tentu saja keadaan di kamar
membuat sang kupu-kupu juga menjadi
betah.  Tapi  ia sering dibuat gelisah
manakala  Murti  Kumala masuk ke dalam
kamar, selesai mandi sore dan melepas
pakaiannya untuk ganti dengan pakaian
yang bersih, juga berwarna ungu.
Agaknya cewek itu memang suka warna
ungu sebagai warna favoritnya.
Buktinya ranjang tidurnya berlapis
seprai warna ungu juga. Selimut
tebalnya juga berwarna ungu.
Ketika Murti Kumala salin busana
tanpa canggung-canggung, sayap kupu-
kupu itu bergetar menandakan hatinya
sedang gundah dicekam kegelisahan. Eh,
ternyata kupu-kupu perak itu nekat
terbang berkeliling sebentar
dipandangi Murti Kumala yang berhenti
mengenakan busananya  kupu-kupu itu
lalu hinggap di ujung dada Murti
Kumala. Sang putri cekikikan geli,
lalu mengangkat kupu-kupu perak.
"Ih, nakal kamu ya? Nggak boleh
begitu, ah!  Kamu istirahat di sini
saja, ya?" sambil meletakkan kupu-kupu
ke daun tanaman pot itu. "Kalau kau
ingin mimik, mimiklah madu di  bunga
itu. Kamu kan kupu-kupu, mimiknya ya
madu. Nggak boleh mimik lainnya."
Murti Kumala tertawa cekikikan
sendiri.
Pada malam  hari, menjelang Murti
Kumala tidur, kupu-kupu perak
dlambilnya dari tanaman bunga. Kupu-
kupu itu diletakkan di atas bantal dan
sayapnya dibuat mainan dengan jari
lentik sang putri. Sungutnya juga
dibuat mainan seraya diajak bicara
macam-macam. Murti Kumala tampak
senang sekali bermainkan kupu-kupu
itu, sampai tak terasa malam semakin
larut dan akhirnya rasa kantuk pun
tiba.
"Nah, sekarang aku mau tidur.
Kamu tidur di bantal sampingku saja,
ya? Besok pagi kita main kembali. Kamu
juga harus tidur lho, jangan begadang.
Kalau kamu begadang, nanti  masuk
angin. Kalau kamu masuk angin, aku
susah ngerokinnya. Habis tubuhmu kecil
sih. Hi, hi, hi, hi...!"
Sang putri pun tidur. Cantik
sekali dalam keadaan tidur begitu.
Bibirnya sedikit merenggang bak delima
merekah. Tanpa disadarinya, kupu-kupu
perak itu memancarkan cahaya putih
menyilaukan. Semakin lama cahayanya
semakin terang dan bertambah besar.
Akhirnya, blaaab...! Cahaya itu padam,
wujud kupu-kupu berubah menjadi Yuda
Lelana.
Pemuda itu cengar-cengir, duduk
di atas ranjang di samping sang putri.
Tangannya memainkan ujung hidung sang
putri. Bibirnya disentuh-sentuh oleh
jari telunjuk Yuda. Dagunya juga
dimainkan, dan akhirnya merayap sampai
ke dada. Sang putri kaget lalu
terbangun.
"Hahh...?!" ia terpekik tertahan
den lompat dari tempat tidur. Matanya
membelalak tegang melihat sesosok
pemuda berpakaian kumal ada di atas
ranjangnya. Tentu saja sang putri
berdebar-debar ketakutan dan merasa
dongkol.
"Siii... siapa kau?"
"Namaku Yuda Lelana," jawab Yuda
dengan kalem. Ia turun dari ranjang,
Murti Kumala mundur ketakutan.
"Keluar, atau kupanggilkan
pengawal biar kau ditangkap?!"
"Jangan dong. Aku suka di sini
kok."
"Nggak bisa! Nggak bisa! Keluar
sana! Kalau ayahku tahu kau ada di
sini, kau akan dipancung, tahu?!"
"Iya. Tahu. Bapakmu sadis sih!"
jawab Yuda Lelana seenaknya saja.
"Dari mana kau masuk? Bagaimana
kau bisa sampai di sini? Penjagaan
sangat ketat. Jangankan menuju ke
kamarku, masuk ke istana saja sulitnya
bukan main. Tapi... tapi kau bisa
berada di sini dengan tanpa luka apa
pun? Aneh sekali. Siapa kau
sebenarnya?!"
"Aku adalah kupu-kupu yang kau
bawa dari taman itu."
"Ah...!" Murti Kumala tak
percaya. Tapi matanya segera pandangi
sekeliling mencari kupu-kupu itu.
Ternyata memang tak ada. Barulah Murti
Kumala tertegun dan mengurangi
ketegangannya.
"Kalau begitu... kalau begitu kau
bukan pemuda sembarangan!"
"Memang bukan. Aku adalah pemuda
idola," kata Yuda Lelana. Ia mendekati
Murti  Kumala yang telah bersandar di
dinding. Matanya memandangi Yuda tak
berkedip, lalu sadarlah sang putri
bahwa pemuda yang ada di depannya itu
ternyata berparas rupawan. Hanya ka-
rena pakaiannya kumal dan tubuhnya
kurang terawat saja sehingga tampak
kurang menawan.
"Oh, hatiku kenapa jadi berdebar-
debar  indah?" pikir  Murti  Kumala.
"Pandangan matanya begitu lembut
membelai kalbuku. Aduh, mati aku,
Mak...! Kenapa tiba-tiba aku merasa
ingin dipeluknya? Celaka. Tubuhku
menggigil penuh harapan mesra. Oh,
haruskah kubiarkan dia mendekatiku
terus? Haruskah? Ya, harus."
Yuda  Lelana  nekat mepet gadis
itu. Sang gadis yang merasa terpepet
tak bisa berbuat apa-apa. Kepalanya
rapat dengan dinding, matanya masih
menatap nanar pada seraut wajah tampan
di depannya.
"Gagah sekali dia," pikir  Murti
Kumala dengan masih diam tak berkutik.
Ketika jarak wajah tinggal dua
jengkal, Yuda Lelana  ucapkan kata
lembut yang lirih sekali, membuat
telinga penasaran ingin menyimak lebih
jelas.
"Cantik sekali kau, Murti Kumala.
Baru sekarang kutemukan kecantikan
yang sempurna pada seraut wajah
seorang gadis sepertimu. Oh, rasa-
rasanya aku tak ingin malam cepat
berlalu, biar kupuas memandangi
wajahmu yang membekas lengket di
hatiku."
Sebaris rayuan mulai diluncurkan
lewat ucapan lirih. Rayuan itu membuat
Murti Kumala makin tak berkutik. Kini
Yuda Lelana sunggingkan senyum lebar.
Dada Murti Kumala terguncang hebat
karena senyuman itu.
Setangkai bunga merah jambu
bertangkai  hijau  dipetiknya. Yuda
Lelana menyematkan setangkai bunga itu
di rambut Murti Kumala, di  atas
telinga.
"Bunga ini sebagai lambang
kebahagiaanku bisa bertemu denganmu,
Murti Kumala. Kebahagiaan ini melebihi
segala kebahagiaan yang pernah
kujumpa. Ingin rasanya aku membawamu
terbang  dan duduk di gumpalan mega
putih menikmati malam terang bulan
purnama."
"Ba... bawalah... bawalah aku
pergi, Yuda," ucap Murti Kumala sambil
sesekali menelan napas untuk
menenangkan kegundahan hatinya yang
diterkam seribu kemesraan asmara.
Yuda  Lelana  hanya sunggingkan
senyum. Lalu pelan-pelan didekatinya
wajah  itu, dibisikkan kata lirih,
"Aku... kagum padamu, Murti Kumala.
Bolehkah kusentuh ujung bibirmu?"
"He'eh...," gadis itu hanya bisa
menjawab dengan napas mendesah.
Kepalanya mengangguk samar. Kemudian
karena takut jantungnya meledak saat
didekati wajah tampan, Murti Kumala
pejamkan mata dengan tangan
menggenggam gemetar. Mulutnya sedikit
ternganga, seakan pasrah. Dan Yuda
Lelana  segera tempelkan bibirnya ke
bibir sang gadis.
Plek...! Nyuuuut...! Nyawa  Murti
Kumala bagaikan melayang tinggi,
nyantel di awang-awang. Karena saat
itu bibirnya dikecup pelan dan lembut
sekali. Tak bisa dilukiskan lagi
kelembutannya, sehingga roh Murti Ku-
mala bagaikan diterbangkan tinggi-
tinggi.
"Dun Gusti... indah nian pagutan
bibirnya. Nasib apa yang akan kutemui
selanjutnya sehingga aku menerima
kebahagiaan yang begitu tinggi dan tak
tertandingi lagi?" pikir Murti Kumala
sambil tetap biarkan bibirnya menerima
kelembut Yuda Lelana.
Malam itu, jatuhlah hati sang
putri kepada pemuda kumal yang
menjelma menjadi kupu-kupu di siang
harinya. Murti Kumala tak bisa lari
dari kenyataan, bahwa hatinya terpaku
di tempat sang pemuda memeluknya.
Kemesraan  itu membuat Murti Kumala
terlena di alam mimpi. Sekalipun Yuda
Lelana  hanya memangku  kepala sang
putri hingga sang putri tertidur dalam
usapan lembut tangan Yuda, tapi mimpi
yang hadir adalah mimpi pembawa sejuta
kenikmatan. Murti Kumala menerima
kehangatan cinta, terpenuhi hasrat
wanitanya di alam mimpi. Dan pemuda
yang hadir di  alam mimpinya itu tak
lain adalah Yuda Lelana.
Raja Kala Bopak heran melihat
perubahan anak gadisnya. Setiap siang
hanya bermain kupu-kupu, sedangkan
kalau malam lebih sering mengeram diri
di dalam kamar. Kitab Jayabadra
menjadi bahan cuekan. Sama sekali tak
dibaca dan tak disentuh oleh Murti
Kumala.
"Kau ini bagaimana? Berbulan-
bulan murung hanya  ingin dapatkan
Kitab Jayabadra, giliran sudah dapat
nggak mau dipelajari? Apa sih maumu
sebenarnya, Anakku?" tanya sang ayah
dengan nada jengkel.
"Seleraku sedang turun, Ayah,"
hanya itu jawab sang anak. Karena
memang dimanja, maka sang ayah tidak
mau memaksa putrinya untuk pelajari
isi Kitab Jayabadra. Pikirnya, nanti-
nanti pasti kitab itu akan
dipelajarinya. Buat Raja Kala Bopak,
yang penting wajah sang anak selalu
ceria dan tidak murung seperti bulan-
bulan kemarin.
Tiga malam berturut-turut Yuda
Lelana  tinggal sekamar dengan Murti
Kumala. Tiga malam berturut-turut
tidur sang putri amat nyenyak. Terang
saja, sebab sang kekasih selalu
menenggelamkan buaian indah dalam
pelukan. Bahkan kalau perlu satu hari
itu tanpa ada siang. Malam terus. Biar
kebahagiaan batin selalu terpenuhi.
Sebab sekalipun mereka tidak lakukan
percumbuan yang paling dalam, tapi
jika berada dalam pelukan Yuda mimpi
sang putri selalu indah, selalu mimpi
mendapat kehangatan yang memuaskan
batin.
Sampai pada malam keempat,
akhirnya sang putri berkata dengan
sangat terpaksa, sebab didesak oleh
kebutuhan batiniahnya.
"Aku tak mau hanya dalam mimpi.
Aku ingin mimpi itu menjadi
kenyataan."
"Berarti kita harus menikah."
"Aku bersedia. Sangat bersedia!"
jawabnya menggebu-gebu, sudah tak
memikirkan malu-maluin lagi. "Kapan
kau akan melamarku?"
"Esok siang aku akan menghadap
ayahmu," jawab Yuda Lelana.
"Apakah kau berani? Ayahku raja
preman!"
"Demi mendapatkan dirimu, tak ada
yang membuatku takut sedikit pun! Biar
ayahmu raja jin, malaikat sekalipun,
aku tak gentar melamarmu."
"Oh, Yuda...," Murti Kumala
jatuhkan kepala ke dada Yuda. "Kau
memang pria idaman yang mampu
membangkitkan semangat cintaku.
Lamarlah aku secepatnya! Jika ayahku
tak izinkan kita kawin, kita lari dari
Pulau Iblis!"
Maka Yuda Lelana  memberanikan
diri menghadap Raja Kala Bopak. Ia
muncul bukan dari kamar sang putri,
melainkan berubah menjadi kupu-kupu
dulu, kemudian terbang keluar benteng
istana, lalu menjelma menjadi manusia
dan datang ke istana dalam keadaan
pakaian tetap kumal.
Penjaga gerbang berkumis lebat
dan berwajah seram menahannya.
"Siapa kau, dan mau apa datang
kemari?"
"Namaku Yuda Lelana. Aku mau
menghadap Raja Kala Bopak."
"Apa perlumu?"
"Melamar Putri Murti Kumala."
"Hah...?! Lancang betul mulutmu?!
Putri raja kami mau dilamar pemuda
kumal sepertimu? Wah, ini sih sudah
kurang ajar namanya! Perlu dibobok
dulu mulut dan gigimu itu! Heaaah...!"
Wuuus...! Sekelebat tangan besar
menghantam wajah Yuda Lelana. Tapi
karena Yuda Lelana sebenarnya adalah
dewa, dan penjaga gerbang itu hanya
prajurit jin kelas kambing, maka
pukulan itu hanya ditahan dengan satu
jari. Pukulan itu  menghantam ujung
jari telunjuk Yuda yang mengeras.
Dess...!
"Aaaauh...!" penjaga gerbang
memekik kesakitan. Tubuhnya berasap.
Matanya terpejam kuat-kuat, giginya
meringis. Sekujur tubuhnya yang
berasap menjadi gemetaran. Tangan yang
memukul mau ditarik susahnya setengah
mati. Badan besar itu bagaikan dibakar
api dari dalam tubuh. Panasnya
bagaikan panas lahar gunung berapi.
"Ampuuun...!" ratapnya sambil
menggeliat-geliat. Lalu, Yuda Lelana
menarik jari telunjuknya. Seet...!
Orang itu pun roboh dengan terkulai
lemas, seperti karung beras basah.
Brruk...! Tetapi teriakannya yang
keras tadi telah mengundang perhatian
anak buah Raja Kala Bopak. Mereka
segera menyerang Yuda Lelana dengan
kesaktian masing-masing. Mereka dapat
menghilang silih berganti, membuat
raganya bagai  bayangan yang tak bisa
disentuh.
Tetapi ilmu kedewaan Yuda Lelana
mampu mengimbangi ilmu jin mereka.
Yuda Lelana juga mampu menghilang
dalam sekejap dan bertarung dengan me-
reka di alam gaib. Tahu-tahu mereka
terlempar ke alam nyata dalam keadaan
babak belur. Ada yang hidungnya
somplak, ada yang tangannya patah, ada
pula yang giginya rontok bagian depan,
dan yang jelas hal itu menimbulkan
kehebohan yang memancing perhatian
Raja Kala Bopak.
"Ada apa itu di luar?!" tanyanya
kepada pengawal istana.
"Seorang tamu mengamuk, Paduka!"
"Apa maksudnya datang-datang
mengamuk?"
"Ingin menghadap Paduka tapi kami
cegah."
"Hmmm! Biarkan dia menghadapku,
aku ingin jajal ilmunya yang sok-sokan
itu! Suruh dia masuk!"
Tiga belas prajurit jin bonyok
semua melawan Yuda Lelana. Akhirnya
pertarungan itu dihentikan. Yuda Lela-
na dibawa masuk ke istana dan
menghadap Raja Kala Bopak yang
kupingnya sudah naik, wajahnya
semburat merah karena menahan marah.
Sebentar-sebentar terdengar suara
gemeretak menggema, itulah saatnya ra-
ja jin menggeletukkan giginya.
Krak, krrrruk, kraak, kriuuuk...!
"Gila! Menggeletukkan gigi apa
makan tulang kambing tuh?" pikir Yuda
Lelana dengan santai sekali. Seakan
ketegangan yang menyeramkan di
sekelilingnya dicuekin begitu saja. Ia
tetap berdiri di depan Raja Kala Bopak
yang matanya melotot lebar nyaris
lompat keluar.
"Apa maksudmu bikin keributan di
wilayahku,  hah?!" bentak Raja Kala
Bopak.
"Aku ingin melamar anakmu; Murti
Kumala."
"Apa...?! Edan!" sentak Raja Kala
Bopak. Sentakan itu membuat pilar
bergetar dan salah satu sisi dinding
retak.
"Hei, manusia kumal!" katanya
penuh geram kemarahan. "Tidak tahukah
kau bahwa Murti Kumala adalah anak
semata sapi bagi diriku?! Biar jelek-
jelek aku ini raja! Raja Jin!" sambii
menepuk dada sendiri. 
Buuhg, buhg, bung...!
"Kalau anak raja jin apa tak
boleh dilamar?" kata Yuda Lelana tetap
kalem."Apa yang kau andalkan sih,
sehingga kau berani melamar anakku?!
Apa?!"
"Yang kuandalkan hanya cinta  dan
kesetiaan yang kumiliki. Semuanya akan
kuberikan kepada anakmu, Raja!"
"Gombal!" bentaknya, kembali
menggetarkan pilar-pilar besar.
"Anakku tidak butuh cinta semata.
Keberanianmu melamar anakku sama saja
keberanianmu menantangku! Kusarankan
pulanglah  dan jangan mencoba melamar
anakku untuk yang kedua kalinya!"
"Aku tidak mau pulang sebelum
memboyong anakmu!"
"Dasar wedus kurap! Panglima
Morang...! Remukkan tulangnya!" teriak
Raja Kaia Bopak, dan sang Panglima pun
datang, langsung menendang pemuda yang
tingginya hanya sebatas ulu hati si
panglima itu. 
Wuukkk...! Weees...!
Yuda  Lelana  terpental  jauh.
Padahal tidak terkena tendangan itu.
Baru terkena anginnya. Dia sampai
terguling-guling keluar istana.
Wajahnya bercampur dengan tanah
berdebu.
Tapi Yuda tak merasa jera. Ia
segera bangkit dengan tarik napas
dalam-dalam. Hatinya sempat membatin,
"Gila! Anginnya saja sudah membuat
tubuhku terpentai, apalagi jika
terkena tendangannya. Itu pun baru
panglimanya, belum rajanya sendiri!"
Sebuah suara tak terlihat wujud
orangnya terdengar bagaikan berbisik
di telinga Yuda Lelana. Suara itu
dikenal  sebagai suara Begawan Dewa
Gesang.
"Jangan mundur! Maju  terus,
Anakku! Hajar dia dalam satu gebrakan
saja! Jangan lama-lama, supaya kau
cepat kembaii ke kayangan. Aku
membantumu, Nak!"
Panglima Morang yang rambutnya
panjang, berwajah seram dan bertaring,
segera lompat keluar dari istana dan
menerjang Yuda Lelana.
"Heeeeaaaahhhh...!" suara
teriakannya memekakkan telinga karena
keras sekali. Tapi Yuda tidak merasa
gentar sedikit pun. Ia segera
merapatkan telapak tangannya. Kedua
telapak tangan yang merapat di dada
itu segera disentakkan ke arah
Pangiima Morang. Wuuut...! Dari
telapak tangan itu keluar selarik
sinar warna putlh perak. Bentuknya
panjang, lurus, kaku.
Zlaaab...!
Sinar itu menghantam tubuh besar
Panglima Morang yang sedang melompat
di udara. Cepat sekali gerakan sinar,
sehingga Pangiima Morang tak sempat
menghindar. Tapi dadanya segera
bersinar merah membara. Dada itulah
yang dihantam sinar putihnya Yuda
Lelana.
Blegaarrr...!
Suara ledakan dahsyat sekali
menggelegar bagai memenuhi seluruh
bumi. Tanah bergetar keras, bangunan
istana ada yang retak terutama bagian
atap. Bangunan lainnya sempat roboh.
Tembok benteng istana jebol sebelah
timur. Pintu gerbang yang kokoh pun
pecah akibat gelombang ledakan dahsyat
tadi. Semua masyarakat jin kaget dan
menjadi tegang. Pilar istana roboh
satu, yang sebelah kanan dekat dapur.
Tangga teras istana retak nyaris
terbelah.
Panglima Morang terkapar di atas
pohon besar, tersangkut di sana tak
bergerak. Tapi suara erangannya
terdengar samar-samar. Tubuhnya yang
hitam menjadi putih karena kulitnya
terkelupas saat terkena hantaman sinar
putih perak tadi. Sinar itulah yang
dinamakan sinar pukulan 'Inti Dewa'.
Kalau orang biasa kena sinar itu,
habis sudah. Bukan hanya mati, tapi
malah sulit dikubur karena menjadi
serpihan-serpihan kecil seperti serat
abon.
Raja Kala Bopak merinding melihat
panglimanya tersangkut di atas pohon
besar tanpa daya lagi. Ia segera
dekati Yuda Lelana dan memandang
dengan mata menjadi merah.
"Kurang ajar! Kau mampu membuat
panglimaku tumbang begitu, ya?!
Sekarang kau berhadapan denganku!
Kalau kau bisa kalahkan aku, kau boleh
kawini putriku itu! Tapi kalau kau
kalah, kau harus rela  mati di
tanganku!"
Murti Kumala yang muncul dari
istana mendengar ucapan itu. Wajahnya
tampak cemas, karena ia tahu persis
kesaktian ayahnya sangat besar. Selama
ini tak pernah ada manusia yang bisa
menandingi kesaktian ayahnya. Diam-
diam Murti Kumala berharap agar ayah-
nya kalah tapi jangan sampai mati.
Sorot mata sendunya yang memandang ke
arah Yuda diterima pemuda itu sebagai
sorot mata mohon pengertian akan sifat
ayahnya yang buas itu. Yuda Lelana
paham dengan bahasa mata itu.
"Yuda Lelana...! Terimalah jurus
'Pelebur Nyawa' ini!" teriak Raja Kala
Bopak.
Claaap...! Tiba-tiba dari kedua
mata Raja Kala Bopak keluar sinar
terang warna merah. Sinar itu berben-
tuk bulat sebesar genggaman tangan
bayi. Melesat cepat sepasang berjajar,
menghantam tubuh Yuda Lelana. Jurus
'Pelebur Nyawa' adalah jurus andalan
Raja Kala Bopak yang mampu membuat
raga manusia menjadi bubur seketika
jika terkena salah satu dari sepasang
sinar merah itu.
Tetapi Yuda Lelana juga mempunyai
jurus tandingan yang dimiliki oleh
setiap dewa di kayangan. Jurus itu
bernama jurus 'Surya Pamungkas'.
Bentuknya sinar ungu sebesar lidi,
panjangnya tiga jengkal. Melesat dari
kedua mata Yuda Lelana. Sinar ungu itu
begitu melesat langsung berputar
cepat, makin lama semakin besar,
memercikkan bunga api warna merah. 
Woos, wooos, woos, woos...!
Sinar-sinar itu akhirnya
bertabrakan di pertengahan jarak.
Buuumm...! Glegaaarrr...!
Hampir semua yang ada di sekitar
situ terjungkal jatuh karena ledakan
maha dahsyat itu. Tanah bagaikan
dijungkir  balikkan.  Istana ambruk.
Pilar-pilarnya pecah. Untung Murti
Kumala cepat melompat keluar dari
serambi istana sehingga selamat. Tapi
ikut terpelanting sampai ke pintu
gerbang.
Ledakan maha dahsyat itu membuat
langit merah membara. Kilatan petir
menyambar-nyambar. Seolah-olah langit
ingin retak menjadi beberapa bagian.
Matahari langsung surutkan sinarnya.
Awan hitam tebal menutup permukaan
matahari. Air laut muncrat dalam
pergolakannya, tingginya melebihi
pohon kelapa, nyaris menelan Pulau
Iblis. Pohon-pohon tumbang, lebih dari
sepuluh pohon. Bangunan-bangunan rusak
berat. Pulau itu sendiri bagaikan
hendak dijungkir  balikkan oleh suatu
kekuatan dahsyat dari dasar laut.
Gema ledakan maha dahsyat cukup
lama, seakan menyebar seluruh
permukaan bumi. Padahal gelombang
hentakan dahsyat itu mencapai lapisan
alam ketiga, mengguncangkan kayangan,
sehingga para dewa dibuat tunggang
langgang. Para bidadari jejeritan,
membuat suasana gempar dan heboh di
kayangan. Tapi mereka segera maklum,
karena mereka tahu sang mantan dewa
sedang adu kesaktian dengan raja jin
yang seiama ini sukar dikalahkan oleh
manusia sesakti apa pun.
Hutan di sekitar tempat itu
terbakar. Apinya membubung tinggi.
Pulau Ibiis bagaikan dilanda kiamat.
Pulau-pulau lainnya pun demikian.
Gelombang getaran maha dahsyat itu
terbawa angin sehingga mencipta
bencana di mana-mana. Tanggul sungai
jebol, lereng pegunungan longsor.
Hewan-hewan menjadi liar, berlarian
tak punya tujuan.
Pokoknya mengerikan sekali akibat
adu kesaktian jin dengan dewa itu.
Raja Kala Bopak terkapar dalam
keadaan pakaian rusak total. Tercabik-
cabik bagai dirajang puluhan cakar
singa ganas. Tubuhnya telentang di
pantai, jauh dari istana. Yang
menemukan prajurit penjaga pantai,
yang kala itu hampir saja tersapu
ombak besar. Keadaan Raja Kala Bopak
tak sadarkan diri selama tiga hari.
Itu masih untung. Jika dia bukan
berilmu tinggi, pasti tubuhnya akan
menyebar menjadi serpihan-serpihan
yang sulit dikumpulkan kembali.
Yuda  Lelana  sendiri juga
terpental keluar dari benteng istana,
sempat menabrak sisa tembok benteng
dan tembok itu akhirnya jebol juga.
Yuda dalam keadaan terkulai  lemas.
Wajahnya memar membiru. Mulutnya
berdarah. Matanya bengkak. Pakaiannya
semakin compang-camping. Maklum,
pertarungan tenaga maha sakti yang
terjadi kontak langsung kepada
pelakunya lebih memberatkan beban si
pelaku itu sendiri. Yang terkena angin
hentakannya saja bisa parah, apalagi
yang melakukan kontak langsung adu
kesaktian. Tapi itu masih untung.
Biasanya lawan yang terkena jurus
'Pelebur Nyawa' milik Raja Kala Bopak
langsung menjadi cair, kental, seperti
bubur.
Raja Kala Bopak sempat pingsan
tiga hari, tapi Yuda Lelana  hari itu
juga bisa bangkit dan berjalan
sempoyongan mencari kekasihnya; Murti
Kumala. Sang putri sendiri keadaannya
juga menderita. Dadanya terasa panas,
tulang-tulangnya bagaikan remuk.
Untung Yuda Lelana  segera dapat
salurkan hawa murni untuk sembuhkan
luka beratnya sendiri, setelah itu
baru menyembuhkan Murti Kumala dengan
jurus 'Hawa Bering' yang ajaib itu
Ketika Raja Kala Bopak sadar dari
pingsannya,  langsung disembuhkan oleh
Yuda Lelana. Tapi anak muda bengal itu
mencoba menantangnya lagi. Raja Kala
Bopak hanya bilang, "Aku tak sanggup!
Lebih baik kalian menikah secepatnya,
lalu pergi dari Pulau iblis dan jangan
kelihatan aku lagi, supaya di antara
kita tidak ada yang saling membunuh!"
"Ayah merestui perkawinanku
dengan Yuda Lelana?!" 
"Mau nggak mau merestui juga!"
jawab Raja Kala Bopak dengan pasrah.
"Tapi aku tidak suka dengan calon
suamimu itu! Dia telah mengalahkan
aku. Aku tidak suka! Makanya, habis
kawin nanti, kalian langsung minggat
dan cari tempat sendiri untuk berbulan
madu. Jangan temui aku lagi. Kalau kau
rindu, kau saja yang datang temui aku.
Suamimu jangan diajak!"
Perkawinan Yuda Lelana dengan
Murti Kumala berlangsung cukup meriah.
Kebanyakan yang datang menghadiri
perkawinan itu para jin dengan
berbagai macam rupa dan bentuknya.
Perkawinan itu dilakukan setelah Yuda
berhasil meminta kembali Kitab Jaya-
badra dan diserahkan kepada Nyai Sirih
Dewi.  Kutilang  Manja tak berani lagi
menampakkan  cintanya karena ia takut
dikutuk sang dewa yang menjelma
manusia.
Yuda Lelana mendapat tempat untuk
berbulan madu.  Ia membangun gubuk
sederhana di  Puncak Gunung Ismaya.
Pengertian gubuk di sini sebenarnya
adalah sebuah bangunan menyerupai
candi yang terbuat dari susunan batu
tanpa perekat. Orang awam akan merasa
heran, bagaimana mungkin seseorang
membangun candi atau bangunan rumah
menyerupai candi  di puncak gunung,
sedangkan batu-batunya cukup besar,
puncak itu pun cukup tinggi. Bagaimana
para kuli mengangkat batu-batuan besar
itu?
Masyarakat jin dikerahkan oleh
Raja Kala Bopak. Rakyat jin dan warga
siluman itulah yang membangun candi
tersebut dalam tempo hanya satu malam.
Fantastis sekali, tapi memang
begitulah jika raja jin bekerja.
Kepindahan mereka dari Pulau Iblis ke
Puncak Ismaya juga tidak melalui jalan
darat atau laut, melalui jalan udara.
Menembus lapisan dimensi dengan
kekuatan gaib, sepasang mempelai  itu
mampu pindah tempat dalam satu kedipan
mata.
Sembilan  bulan kemudian, Murti
Kumala melahirkan seorang bayi. Proses
kelahiran bayi itu tidak keluar begitu
saja. Sejak  tujuh hari tujuh malam
sudah diawali dengan datangnya hujan
tanpa henti. Tanah longsor terjadi di
sekitar lereng gunung itu.
Pada saat sang jabang bayi hendak
nongol  dari rahim sang ibu, hujan
deras disertai dengan amukan badai
cukup dahsyat. Lebih dari tiga puluh
pohon tumbang, puluhan batu
menggelinding dari ketinggian, kilatan
cahaya petir ikut menghujani gunung
itu. Badai mengamuk hanya di puncak
gunung, sedangkan di kaki Gunung
Ismaya hanya terjadi angin kencang
biasa-biasa saja. Bahkan hujannya tak
terlalu lebat.
Kabut pun hadir membungkus puncak
Gunung Ismaya. Tebal sekali, seperti
selimut domba. Yuda Lelana sudah
memanggil seorang dukun bayi untuk
menolong kelahiran sang jabang bayi.
Tapi dukun bayi itu tersesat di
perjalanan. Terpaksa ia kembali lagi
ke rumahnya menunggu hujan badai reda.
Tapi sang hujan tiada kunjung reda
juga, bahkan semakin deras. Puncak
Gunung Ismaya  bagai lenyap ditelan
langit. Kilatan cahaya biru
menggelegar menyambar-nyambar puncak
gunung itu.
Akhirnya, suara tangis bayi itu
pun terdengar melengking tinggi.
Seakan ingin mengalahkan deru badai
dan ledakan guntur di sana-sini.
Tangis sang bayi menggetarkan dinding-
dinding batu, seolah-olah bangunan
candi itu akan runtuh karena getaran
suara si jabang bayi. Bahkan dari
puncak hingga kaki gunung terjadi
getaran hebat, sepertinya gunung itu
akan meletus atau tumbang  entah ke
mana. Rumah-rumah penduduk di kaki
gunung ikut bergetar, gentengnya
melorot dan pada pecah. Hewan-hewan
ternak saling menjerit ketakutan, ada
yang sampai lepas dari kandangnya dan
mengamuk di sana-sini.
Bayi itu adalah bayi lelaki. Tali
pusarnya digunting oleh dua jari sang
ayah, tanpa senjata apa pun. Yuda
Lelana  tampak gembira sekali ketika
berhasil menolong kelahiran anaknya
sendiri. Tapi beberapa saat kemudian
ia menjadi lemas, terpuruk sambil
memeluk bayi itu. Murti Kumala
terpaksa mengambil alih sang jabang
bayi dan memeriksanya.
Murti Kumala agak  terkejut,
karena bayi itu ternyata tidak
mempunyai garis tangan sedikit pun.
Lebih terkejut lagi setelah mengetahui
dada sang bayi mempunyai noda tato
bergambar setangkai bunga mawar merah
kuncup.
"Suamiku, apakah tato di dada
anak kita ini yang membuatmu lemas?"
Yuda  Lelana  menjawab dengan
gelengan kepala, setelah bangkit
merayap dan duduk di tepi pembaringan
baru berkata,
"Kekuatanku telah hilang! Semua
ilmuku telah menitis ke kayangan
atau... entahlah. Aku tak tahu apa
yang akan terjadi berikutnya." Yuda
Lelana terengah-engah. Sang bayi masih
menjerit dalam tangisnya. Baru
berhenti setelah disusui oleh sang
ibu. Bayi itu tampak riang, ceria,
mulutnya lahap sekali  menikmati air
susu sang ibu.
"Ilmuku sudah menitis ke dalam
ragamu, Nak! Jaga dan pelihara baik-
baik. Kau harus menjadi pemandu
kebenaran dan keadilan. Karena itu
kunamakan dirimu: Pandu Puber. Artinya
'Puber': Punya Keberanian! Kalau mau
menjadi pemandu kebenaran dan keadilan
harus punya keberanian! Keberanian
menentang si angkara murka, keberanian
melawan tindakan sesat, juga
keberanian mengakui kesalahan diri
sendiri."
"Kau ngomong sama siapa? Bocah
baru lahir kok diajak ngomong," kata
Murti Kumala. Tiba-tiba sang jabang
bayi melepas nenennya. Mata bayi itu
bisa terbuka jelas-jelas. Ini suatu
keanehan, karena biasanya bayi baru
lahir tak bisa membuka mata. Mata itu
memandangi ibunya, ada senyum tipis di
bibir mungil sang bayi yang sewajarnya
tak bisa tersenyum. Sang ibu mulai
tegang dan terheran-heran.
Tangan sang bayi bergerak-gerak
menepuk-nepuk air minumnya yang ada di
dada sang ibu. Ia bagaikan bermain
'tempat minuman' tersebut. Ia tampak
girang, sehingga sang ibu yang
memandangi dadanya ditepuk-tepuk sang
anak menjadi sedikit cemas. Ia berkata
kepada suaminya,
"Gawat anakmu ini! Masih kecil
sudah senang bermain 'tempat
minumnya', bagaimana kalau sudah besar
nanti?"
"Mudah-mudahan gerakan itu hanya
suatu kebetulan saja. Jangan terbawa
menjadi kebiasaan sampai dewasa.
Kasihan para gadis yang kasmaran
padanya," ujar Yuda Lelana  sambil
tersenyum-senyum.
"Jangan-jangan kebiasaanmu
menurun pada anak ini?"
"Kebiasaan yang mana?"
"Kebiasaan romantismu!" jawab
Murti Kumala agak ketus. Yuda menjadi
tertawa pelan. Tapi dalam hatinya
bertanya-tanya,
"Jika seluruh ilmuku menitis
kepadanya, apakah anak ini kelak juga
akan ikut-ikutan suka merayu wanita?
Wah, kacau juga kalau dia begitu...."
Hujan pun berhenti, badai reda,
petir sembunyikan diri, kabut sirna
dan alam menjadi terang. Seakan mereka
takut dengan kemunculan sang jabang
bayi yang kelak akan melanglang buana,
menembus  belantara persilatan dan
cinta.


SELESAI


Scan/E-Book: Abu Keisel

Juru Edit: Fujidenkikagawa







convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com