SATU
TUBUH kurus mirip tulang dibungkus
kulit segera naik ke atas sebongkah batu
datar lebar. Rimbunan dedaunan bambu
hutan membentuk lengkung bagai lorong
beratap rimbun. Di bawah rimbunan
dedaunan bambu hutan itulah batu datar
setinggi dada orang dewasa itu tergeletak
berlumut. Dan tubuh kurus tanpa baju
kecuali hanya celana pangsi hitam segera
duduk bersila dl atas batu tersebut.
"Kurasa tempat ini sangat cocok untuk
bertapa! Selain suasananya tenang, hawa
angkernya terasa meniup-niup tengkuk
kepalaku," pikir orang tersebut. Lalu ia
mulai memejamkan mata perlahan-lahan
setelah posisi duduknya terasa enak. Tapi
pikirannya masih sempat bicara pada diri
sendiri,
"Wah, kalau tadi dari rumah bawa
bantal enak juga, ya? Jadi pantatku tidak
sakit duduk di atas batu ini. Sayang
sekali aku tadi lupa membawa bekal nasi
dan oseng-oseng pete. Coba kalau aku tak
lupa membawanya, pasti tempat bersuasana
ini sangat cocok sekali bust dipakai
menikmati nasi putih dan oseng-oseng pete
saja. Ah, lupakan dulu soal itu. Yang
penting aku harus bertapa untuk meminta
bisikan para dewa mengenai cara
melepaskan diri dari tuduhan serong oleh
istriku itu. Moga-moga dewata memberiku
petunjuk bagaimana cara melakukan serong
yang baik agar tak diketahui istri dan
para tetangga di rumah!" Lelaki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun itu segera
menarik napas panjang-panjang.
Suuutttt...!
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar
suara orang berseru dengan keras dan
lantang,
"Banjiiirrr...!"
Lelaki kurus buka mata seketika.
Blaakk...! Bola mata bundar itu segera
melirik lebar ke arah datangnya suara
tersebut. Dahinya berkerut, batinnya
berucap kata, "Banjir...?! Ah, mungkin
itu hanya suara godaan saja. Maklum,
namanya orang lagi mau bertapa pasti ada-
ada saja godaannya. Aku harus tabah!"
Mata bundar beralis tipis itu
terpejam kembali pelan-pelan. Namun baru
saja mau merapat, mata itu kembali
terbelalak karena suara teriakan tadi
terdengar lebih jelas lagi.
"Banjiiirrr...! Banjiiirrr...!"
Batin orang yang bertapa itu
bertanya-tanya, "Sepertinya suara itu
nyata-nyata ada! Bukan halusinasi saja.
Hmmm... bagaimana ini? Apakah aku harus
teruskan tapaku? Bagaimana kalau benar-
benar ada banjir dari selatan? Bisa-bisa
saat aku bertapa disapu banjir?!"
Di sebelah selatan memang ada sungai
yang langganan jebol tanggulnya. Setiap
tahun sedikitnya dua kali desa sebelah
timur itu disapu banjir dari selatan.
Maklum, sungai yang mengalir ke timur
lebih lebar daripada yang mengalir ke
utara. Tak heran jika orang yang mau
bertapa itu menjadi tegang dan was-was.
Ia berdiri di atas batu itu memandang
ke arah datangnya suara. Tampak seorang
pemuda sedang berlari-lari dan berseru
kembali,
"Banjiiir...! Banjiiirr...!"
Orang itu segera lompat dari atas
batu. Wajah si kurus tanpa baju itu
menjadi bertambah tegang. Ia segera
berlari ke arah desanya yang tak seberapa
jauh dari situ. Sambil berlari kencang ia
serukan kata yang sama dengan seruan si
pemuda berpakaian ungu dan berambut
panjang belakang tadi.
"Banjiiir...! Banjiiir...! Lekas
mengungsi, ada banjiiir...!" Suaranya
yang keras mulai didengar oleh para
petani yang ada di sawah. Para petani
kaget dan segera berlari pulang sambil
berseru keras-keras secara ketakutan,
"Banjiiir...! Banjir datang...! Banjir!"
Siapa orang yang tidak kaget
mendengar kabar bencana itu? Hanya orang
tuli saja yang tenang-tenang sambil
bersiul walau orang bertubuh kurus yang
mau bertapa tadi sudah ngotot meneriakkan
kata 'banjir' di seberang kupingnya. Hal
yang wajar jika orang menjadi panik
mendengar kabar datangnya banjir. Pikiran
mereka serempak membayangkan sungai di
sebelah selatan. Bayangan mereka serempak
membentuk gambaran air bah yang
bergulung-gulung mengerikan menyapu
ladang, rumah, dan ternak mereka.
Masyarakat desa tersebut menjadi
tunggang-langgang. Ada yang sibuk memukul
kentongan dengan bernafsu sekali dan ada
yang bingung menyelamatkan ternak, harta,
serta barang-barang lainnya. Bahkan
saking emosinya yang memukul kentongan
tak sadar kalau yang dipukul sudah bukan
lagi kentongan bambu melainkan lengan
anaknya sendiri yang mau diselamatkan.
Tentu saja si anak jejeritan dengan suara
tak kalah lengking dengan suara seruan
'banjir' tersebut.
"Ayo, cepat sedikit, Dul! Sudah tahu
ada banjir mau datang malah enak-enakan
bikin surat cinta kau ini? Konyol!" omel
seorang kakak kepada adik lelakinya.
Pemuda itu pun bergegas mengemasi barang-
barang, terutama surat cintanya untuk
sang kekasih nanti.
"Lepaskan gulingmu itu! Kenapa kau
bawa-bawa ke sana-sini?!"
"Lho, jadi yang kubawa dari tadi ini
guling tong?! Ya, ampuun...! Lalu ke mana
anak bayiku tadi?! Aduh, celaka! Pasti
ketinggalan di atas dipan! Kaaang...
tunggu! Anak kita ketinggalan, Kang?!"
seru seorang istri karena paniknya jadi
salah comot.
Sementara itu, seorang sesepuh desa
dan beberapa orang lainnya menanyai
lelaki kurus yang tadi mau bertapa itu,
"Apa benar kau melihat banjir
datang?!"
"Melihat sih tidak, Wak! Tapi anak
muda berbaju ungu itu berlari dari
selatan dan mengabarkan hal itu. Karena
anak muda itulah yang melihat air sungai
meluap dan tanggul jebol lagi!"
"Anak muda yang mana?!"
Orang itu melongok sebentar, lalu
memandang ke arah perbatasan desa. Ia
menuding ke arah sana, "Nah, itu dia anak
muda yang kumaksudkan, Wak! Dia sedang
berjalan kemari!"
Anak muda yang dimaksud adalah
seorang pemuda berpakaian serba ungu.
Bajunya nyaris tanpa lengan berbintik-
bintik putih bening seperti tetesan
embun, celananya juga demikian tapi
tepian celana berumbai-rumbai mirip
celana jeans belel. Rambutnya panjang
belakang tapi bagian depannya pendek,
potongan punk-rock. Pemuda itu mengenakan
anting putih metalik di kuping kirinya.
Wajahnya, wow... tampan sekali. Mirip
wajah bintang film bule. Badannya tinggi,
tegap dan tampak kekar. Dadanya bertato
gambar bunga mawar merah. Kedua perge-
langan tangannya kenakan gelang kulit
berbintik-bintik paku metalik.
Bagi para tokoh rimba persilatan
tentu merasa tak asing lagi dengan anak
muda tersebut, yang tak lain adalah Pandu
Puber, si Pendekar Romantis. Banyak orang
yang menjulukinya sebagai 'pendekar
penjerat hati wanita', walau julukan itu
sebenarnya tidak diakui oleh para pemuda
lainnya yang bertampang lebih jelek dari
Pandu Puber.
Memasuki desa itu, Pandu Puber
menjadi serba bingung. Ada dua kebi-
ngungan yang menggenang di otaknya;
pertama melihat suasana menjadi kalang
kabut dan serba panik itu, kedua mencari
sesuatu yang ternyata tidak dilihatnya
sejak tadi. Pandu Puber melangkah dengan
tergesa-gesa namun tetap tampak gagah.
Hatinya membatin,
"Mengapa penduduk desa menjadi panik?
Mengapa barang-barang mereka dikeluarkan
semua, sepertinya mau mengungsi? Ada
bencana apa yang terjadi di desa ini?"
Sambil melangkah dan membatin, Pandu
Puber kembali berseru dalam keadaan
menengok ke kiri,
"Banjiirr....!"
Rombongan sesepuh desa dan si orang
kurus mendekati Pandu Puber. Pendekar
Romantis mulai kerutkan dahi sedikit
sebagai tanda bahwa ia menaruh curiga
dengan mendekatnya rombongan orang tua
itu.
"Anak muda, benarkah kau melihat
tanggul sungai jebol?!" sapa sesepuh desa
itu. Pandu Puber makin kerutkan dahinya.
"Jebol?! Siapa bilang tanggul sungai
jebol?!"
Rombongan sesepuh desa saling
pandang. Orang kurus yang tadi mau
bertapa itu jadi sorotan mata mereka.
Orang itu bingung sendiri. Ia berkata
kepada sesepuh desa,
"Sumpah mati, Wak Kober! Pemuda
inilah yang tadi mengabarkan bencana
tersebut pertama kalinya. Aku dengar
sendiri, Wak!"
Sesepuh desa berkata lagi kepada
Pandu Puber, "Anak muda, kumohon kau
jangan berlagak bego, nanti bego tujuh
turunan baru tahu rasa kau! Katakan saja
yang sejujurnya, apa yang telah kau lihat
di daerah selatan sana?!"
Pandu Puber baru saja mau mengatakan
sesuatu kepada sesepuh desa yang tadi
didengarnya bernama Wak Kober itu, tetapi
matanya segera menangkap kedatangan
seorang anak lelaki berusia lima belas
tahun, memakai rompi abu-abu dan celana
abu-abu, berikat kepala merah dengan
wajah polos dan badan agak kurus. Pandu
Puber segera menghampiri anak lelaki itu
dan berseru dengan nada jengkel,
"Sumo Banjir! Sial betul kau ini! Ke
mana saja kau, hah?! Aku mencarimu sampai
puyeng tapi kau meninggalkan aku
seenaknya saja. Ayo kita pergi ke arah
bukit itu, Sumo Banjir! Jangan jauh-jauh
lagi dariku, nanti kalau kau ada apa-apa
aku tak bisa menolongmu!"
Orang kurus yang tadi mau bertapa
terbengong,
"Sumo Banjir?!" ucapnya lirih dengan
nada kesal. Lalu ia bertanya kepada Pandu
Puber yang sedang mau mendengar ucapan
anak lelaki tersebut.
"Jadi, kau tadi berteriak banjir itu
bukan memberitahukan bahwa di selatan ada
banjir datang kemari?!"
"Aku berteriak 'banjir' karena aku
memanggil temanku ini. Anak ini memang
namanya Sumo Banjir?!"
Sesepuh desa menggeram jengkel sambil
menjulekkan kepala orang kurus itu,
"Kampret! Ada orang memanggil nama
temannya dikabarkan ada bencana banjir
datang! Dasar kuping terowongan!"
Pendekar Romantis dan Sumo Banjir
tertawa cekikikan. Orang kurus itu
kemudian diuber-uber orang satu desa
karena dituduh membuat ketegangan yang
menghebohkan masyarakat. Sedangkan Pandu
Puber dan Sumo Banjir segera meninggalkan
desa itu menuju Bukit Jengkal Demit.
Ada apa di Bukit Jengkal Demit?
Para tokoh rimba persilatan dari
aiiran hitam maupun putih saat ini sedang
ramai membicarakan tentang Bukit Jengkal
Demit. Ada yang membicarakannya secara
bisik-bisik, ada pula yang membicara-
kannya secara terang-terangan. Percakapan
mereka seragam, yaitu tentang lahirnya
sebuah pusaka maut yang ditunggu-tunggu
oleh para tokoh rimba persilatan. Pusaka
itu bernama: 'Patung Iblis Banc!'.
Pandu Puber pernah mendengar
percakapan dua-tiga orang di sebuah kedai
yang membicarakan tentang Patung iblis
Banci itu.
"Patung Iblis Banci adalah pusaka
yang mempunyai kekuatan sakti sangat
tinggi. Siapa yang memegang atau memiliki
Patung Iblis Banci, dia akan menjadi
orang kebal."
Temannya menyahut, "Kalau cuma mau
jadi orang kebal sih nggak perlu harus
susah payah mencari pusaka Patung Iblis
Banci. Dengan pelajari ilmu Kulit Baja
sudah bisa bikin tebal tubuh kita.
Dibacok nggak mempan, dikapak nggak
somplak, diclurit nggak menjerit, tapi
kecocok paku tetanus juga sih!"
"Pusaka itu bukan hanya bikin
pemiliknya kebal saja, tapi juga bisa
membunuh lawan dari jarak jauh. Patung
Iblis Banci bisa dijadikan utusan raga
lawan. Dengan membayangkan wajah lawan,
kita bisa membunuh atau melukai lawan
yang ada di tempat jauh, syaratnya kita
harus melukai atau menusukkan sesuatu ke
tubuh Patung Iblis Banci itu. Kalau yang
kita tusuk bagian jantung patung, maka
lawan kita di tempat jauh pun jantungnya
akan pecah karena tertusuk kekuatan gaib
yang tersalurkan melalui patung ter-
sebut."
"Jadi singkatnya, patung itu adalah
wakil dari lawan atau musuh kita, be-
gitu?!"
"Benar. Ke mana pun kita pergi, jika
membawa patung itu, maka sama saja kita
membawa atau menangkap lawan kita."
"Pusaka itu sebenarnya milik siapa
sih?"
"Sebenarnya pusaka itu milik seorang
tokoh sesat berilmu tinggi yang bergelar
si Iblis Banci. Kira-kira dua ratus tahun
yang lalu nama si Iblis Banci sangat
dikenal di rimba persilatan dan sangat
ditakuti. Ilmunya yang tinggi itu
dipertahankan terus dengan cara meminum
darah manusia."
"Ih, apa enak tuh?"
"Yaah... menurutnya sih enak saja.
Mungkin lebih enak lagi kalau diminum
pake sedotan. Sedotan itu ialah...."
"Sudah, sudah... bicara soal Iblis
Banci saja, jangan bicara soal sedotan."
Setelah omongannya dipotong sang
teman, orang itu lanjutkan lagi ceritanya
tentang si Iblis Banci.
"Guruku mendapat cerita itu dari
kakeknya. Katanya sih, yang namanya Iblis
Banci itu benar-benar tokoh sakti yang
banci, lelaki tapi berparas wanita dan
gayanya juga seperti wanita. Dia tidak
pernah mempunyai murid, jadi hidupnya
sepanjang jaman hanya sendirian. Hanya di
akhir hidupnya ia punya seorang kekasih,
pemuda tampan dimasa itu yang bernama
Layang Petir. Kepada kekasihnya itulah
ilmu si Iblis Banci ingin diturunkan.
Namun belum sampai seluruh ilmunya
diturunkan, ia sudah keburu koit, alias
mati."
"Dimakamkannya di mana?"
"Ya di Bukit Jengkal Demit itu. Nah,
menurut kabar yang bocor dari mulut
Layang Petir, jenazah Iblis Banci akan
menggumpal dan menyusut di alam kuburnya.
Jadi raga Iblis Banci tidak akan hancur
dimakan rayap. Pada suatu saat nanti
jenazah itu akan muncul dari makam
tersebut berupa patung sakti. Tanda-tanda
kemunculannya apabila ada rembulan muncul
dengan warna hitam dibayang-bayangi awan.
Jika sampai titik purnama rembulan masih
hitam, berarti saat itulah Patung Iblis
Banci akan muncul sendiri dari alam
kuburnya."
Percakapan itulah yang membuat Pandu
Puber tertarik untuk menyusuri kebenaran
cerita tentang Patung Iblis Banci. Pada
waktu itu sang Pendekar Romantis belum
tahu di mana letak kuburan si Iblis Banci
itu. Bahkan arah Bukit Jengkal Demit pun
belum diketahui. Mau tanya sama orang
yang ngobrol di kedai, Pandu merasa malu.
Sebab dulu ia pernah menanyakan alamat
seseorang tapi dicuekin sama orang yang
ditanya. Pandu jadi trauma untuk bertanya
tentang alamat sesuatu tempat. Pikir
punya pikir, ia segera menghubungi
sahabatnya yang tinggal di desa tempat
kedai itu berada dan dibangun tanpa IMB.
Temannya itu bernama Bocang. Entah
apa maksudnya kok diberi nama Bocang,
mungkin singkatan dari Bohongan Kencang
atau apa, Pandu tak mau tahu soal nama
itu. Yang jelas ia pernah punya kenalan
bernama Bocang dan tinggal di desa
tersebut. Pandu ingat rumahnya, karena
dia pernah datang ke rumah Bocang dua
kali, saat Bocang pingsan dari jatuhnya
dan saat Bocang mengundang Pandu untuk
kondangan dalam rangka sunatan adik
Bocang.
"Lho, apa Nak Pandu belum tahu," kata
tantenya Bocang yang juga tinggal serumah
dengan anak itu.
"Belum tahu soal apa, Bibi?"
"Bocang kan sudah meninggal."
"Hah...? Meninggal?!"
"Iya. Sudah empat puluh hari ini.
Kami mau selametan empat puluh harinya
nanti malam. Kalau Nak Pandu mau hadir,
silakan hadir nanti malam. Kebetulan
nanti malam kami panggil dukun segala un-
tuk menghadirkan rohnya Bocang."
Pandu Puber kerutkan dahi memandangi
bibinya Bocang yang masih berusia sekitar
tiga puluh lima tahun, tapi masih belum
menikah alias perawan tua itu. Pandu
bertanya dalam keraguan ucap, "Buat apa
menghadirkan rohnya Bocang, Bi?"
"Buat mengetahui, siapa yang
membunuhnya di hutan sana!"
"Lho, jadi Bocang matinya dibunuh
orang?"
"Lha iyalah... masa' mati dibunuh
kambing?"
Pada saat menghadiri selamatan empat
puluh harinya Bocang itulah Pandu Puber
kenal dengan anak remaja bernama Sumo
Banjir. Ketika itu Sumo Banjir sedang ada
kasus menegangkan. Ia dikejar-kejar
seseorang hingga lari masuk ke rumah Bo-
cang. Padahal rumah itu masih digunakan
untuk selamatan beberapa orang yang
menghadiri kendurinya almarhum Bocang.
Anak itu langsung saja melompati makanan-
makanan yang ada di tengah lingkaran para
pakar kenduri. Tentu saja perbuatan itu
membuat beberapa orang menjadi marah.
"Siapa anak itu?"
"Tetangga kami, temannya Bocang
juga!" jawab bibinya Bocang.
Sumo Banjir segera dimarahi oleh
sesepuh yang hadir.
"Maa... maafkan saya, Bapak-bapak...!
Saya... saya terpaksa lari bersembunyi di
sini yang banyak orangnya, karena saya
mau dibunuh orang. Saya masih malas mati,
jadi saya lari!" kata Sumo Banjir
memberikan alasan dengan wajah polosnya
yang ketakutan itu.
Orang-orang tak mau percaya, Sumo
Banjir tetap dimarahi dan diperingatkan
agar tidak mengulangi hal itu lagi. Lalu,
Sumo Banjir disuruh pulang oleh bibinya
Bocang, tapi ia tak mau pulang. la takut
pulang ke rumahnya sendiri. Ia ingin
bersembunyi di tempat yang banyak
orangnya. Maka, bersembunyilah Sumo
Banjir di dapur sambil membantu
menyiapkan minuman untuk para pakar
kenduri itu.
Dan kesempatan itu digunakan oleh
Pandu untuk mendekati Sumo Banjir.
"Siapa yang mau membunuhmu Sumo
Banjir?"
"Raga Paksa, Kang."
"Siapa Raga Paksa itu?"
"Orang Perguruan Musang Terbang,"
jawabnya lugu dan mengharukan.
"Kenapa kau sampai berurusan dengan
Raga Paksa?" Pandu mendesak dengan rasa
ingin tahunya yang lebih besar lagi.
"Aku dianggap orang yang melihat
pembunuh si Bocang. Padahal aku tidak
melihatnya sama sekali. Sebab kala itu
aku dan Bocang sedang mencari kayu bakar
tapi beda tempat."
Laporan anak itu segera dibahas oleh
para sesepuh setempat hingga mereka
akhirnya menyimpulkan, pembunuh si Bocang
adalah Raga Paksa, atau setidaknya orang
Perguruan Musang Terbang. Tapi apa alasan
pembunuhan itu, tak ada yang tahu, sebab
tak ada yang berani menanyakan atau
menuntut Raga Paksa. Orang yang bernama
Raga Paksa itu terkenal sadis, bengis,
dan amis. Dia memang salah satu preman
yang menguasai desa tersebut. Karenanya
setelah mengetahui siapa pembunuh Bocang,
mereka tidak pernah mau membahas kematian
Bocang lagi.
Namun tidak begitu halnya dengan
Pandu Puber. Dia tidak mau tetap diam dan
menahan rasa penasarannya. Didekatinya
lagi Sumo Banjir, diajak bicara dengan
persahabatan yang akrab. Akhirnya Sumo
Banjir mengaku juga, "Hanya Bocang dan
aku yang mengetahui di mana letak kuburan
si Iblis Banci itu."
"Aku dan Bocang pernah tersesat di
Bukit Jengkal Demit gara-gara cari
burung, Kang. Lalu, kami temukan kuburan
bercahaya. Kuburan itu mengeluarkan
seberkas sinar membias dari dalam menuju
ke langit. Waktu itu keadaan sudah
remang-remang, petang mau datang. Jadi
bias sinar biru yang menuju ke atas itu
terlihat jelas oleh kami. Lalu kami
ketakutan dan lari meninggalkan tempat
itu. Bocang cerita-cerita sama beberapa
orang. Akhirnya didengar oleh Raga Paksa.
Aku pernah dengar pengaduan Bocang bahwa
ia pernah dipaksa oleh orang Perguruan
Musang Terbang itu untuk beritahukan di
mana letak kuburan tersebut, tapi Bocang
tidak bisa kasih penjelasan arahnya.
Bocang disuruh antarkan mereka ke kuburan
itu, tapi Bocang tidak mau karena takut.
Ia dipaksa dan lari ketakutan. Waktu itu
ia bisa selamat, tapi mungkin waktu cari
kayu bersamaku, ia kepergok Raga Paksa
tapi tetap tak mau antarkan ke kuburan
itu, mungkin merasa jengkel Raga Paksa
pun membunuhnya."
Pendekar Romantis yang bertampang
ganteng itu manggut-manggut mendengarkan
cerita Sumo Banjir. Setelah termenung
sesaat, ia pun segera ajukan tanya kepada
remaja berusia lima belas tahun itu,
"Kau sendiri masih ingat tempat
tersebut, kan?"
"Wah, ya tentu saja masih, Kang.
Sebab sejak aku dan Bocang temukan
kuburan itu, malamnya aku nggak pernah
bisa tidur dengan nyenyak kok, Kang.
Selalu saja dibayang-bayangi suara itu."
Pandu kerutkan dahi, "Suara apa
maksudmu?"
"Suara orang yang tidak kukenal,
nadanya seperti suara perempuan tapi agak
besar seperti suara lelaki."
"Jangan-jangan itu suara banci?"
"Nggak tahu, Kang. Pokoknya kami tak
lihat suara itu. Maksudku, siapa yang
ngomong tidak bisa kami lihat."
"Apa kata suara itu?"
"Suara itu bilang begini: 'Hai,
bocah-bocah bagus..." Sumo Banjir
menirukan gaya suara yang didengarnya
seperti suara perempuan manja. Lanjutnya
lagi, 'jika kalian dengar suaraku,
catatlah kata-kataku ini, bahwa sebentar
lagi rembulan akan menjadi hitam
kesaktianku akan hidup kembali
berkeliaran ke mana-mana. Jika kalian
mau, ambillah kesaktianku dan pergunakan
untuk menjadikan diri kalian sebagai
orang kuat yang tak terkalahkan. Sekian
dan terima kasih'. Nah, kira-kira begitu
suara yang kami dengar, Kang Pandu. Tapi
kami segera lari ngibrit, tak sempat
tanya ini-itu kepada suara gaib
tersebut."
"Tak salah lagi," ucap Pandu Puber
dalam renungan,"... itu pasti suara si
Iblis Banci. Pantas kalau kau pun
dikejar-kejar Raga Paksa, karena sebe-
narnya kau pun akan dipaksa agar
menunjukkan di mana letak kuburan si
Iblis Banci Itu. Bukan sekadar ingin
dibunuhnya!"
"Mungkin saja begitu, sebab Bocang
ceritakan hal itu sampai sekecil-kecilnya
sih. Kalau aku kan nggak pernah cerita
sama siapa-siapa, kecuali hanya kepada
sembilan orang di kedai Ki Somat!" Sumo
Banjir bicara bagai orang tak berdosa,
Pandu hanya tersenyum dan geleng-
gelengkan kepala. Terpesona oleh kebo-
dohan Sumo Banjir.
DUA
BERKAT kelihaian Pendekar Romantis
merayu, akhirnya Sumo Banjir bersedia
antarkan Pandu ke Bukit Jengkal Demit.
Anak itu masih ingat jalan menuju ke
kuburan si Iblis Banci. Memang pada
mulanya Sumo Banjir takut disuruh kembali
ke kuburan itu, maklum wajahnya sendiri
sudah seperti kuburan, jika ia bercermin
sering takut dengan wajah sendiri. Tapi
secara tak langsung Pandu telah tunjukkan
kebolehannya dalam keberanian dan
kehebatan bertarungnya.
Ketika Pandu sedang membujuk Sumo
Banjir sambil ikut membantu mencari kayu
bakar di hutan, tiba-tiba Raga Paksa dan
dua orang temannya datang menemui Sumo
Banjir. Dua orang temannya itu sama-sama
bertubuh gemuk; yang berpakaian kuning
bernama Genjotpati, dan yang berpakaian
hijau bernama Tampar Geni. Raga Paksa
sendiri bertubuh tidak seberapa gemuk,
namun berotot kekar, tinggi, berkumis
tipis, usianya sekitar empat puluh tahun
kurang sedikit, sama dengan usia Genjot-
pati dan Tampar Geni. Ia mengenakan
pakaian serba hitam tapi dari bahan kain
lebih mahal dari kedua temannya.
"Kang, Kang...," bisik Sumo Banjir,
"Itu dia orangnya yang bernama Raga
Paksa. Dia sedang menuju kemari bersama
si Genjotpati dan Tampar Geni, Kang! Ayo,
kita lari! Cepat lari, Kang!" sambil Sumo
Banjir membuang kayunya dan tampak gugup
sekali.
"Tenang aja. Nggak perlu lari."
"Tapi mereka orang-orang bengis dari
Perguruan Musang Terbang! Kalau marah
bisa bunuh siapa saja, Kang! Nanti kalau
kita dibunuh, kita akan kehilangan nyawa,
seperti Bocang!"
Sumo Banjir belum tahu siapa Pandu
Puber sebenarnya. Tak heran kalau ia
cemas dan takut dicelakai Raga Paksa
walau di situ ada Pandu Puber. Tapi
melihat Pandu Puber tenang-tenang saja
ketika beradu wajah dengan tiga orang
Perguruan Musang Terbang itu, Sumo Banjir
merasa heran dan menganggap Pandu Puber
sok jago.
Batin anak itu berkata, "Wah, Kang
Pandu ini agaknya memang orang sombong!
Sok berani. Belum tahu kegalakan Raga
Paksa sih. Sekali tampol bisa rengat
wajah tampannya itu. Uuh... dasar orang
bodoh! Diajak lari malah nyamperin musuh.
Cari penyakit aja dia sih?!"
Singkat cerita, Raga Paksa ingin
menyiksa Sumo Banjir jika anak itu tidak
mau membawa mereka ke kuburan si Iblis
Banci. Pandu hanya berkata pelan, "Kalau
nggak mau ya jangan dipaksa dong! Itu
namanya pelanggaran hak azasi manusia.
Apa di perguruanmu nggak diajarkan
bagaimana menghargai hak azasi manusia?"
"Celeng sunat!" bentak Tampar Geni,
galak. Matanya yang kecil dilebarkan
melotot seperti sepasang kelereng bopak.
Ia hampiri Pandu dengan menghardik lagi,
"Kau berani-beraninya ngomong begitu
kepada kami, apakah kau belum tahu siapa
kami, hah?!"
"Wah, napas jengkolnya ini yang
baunya nggak tahan disedot...," pikir
Pandu sambil melengos saat Tampar Geni
membentak 'hah' tadi. Ia menepiskan
hidungnya yang mancung untuk hilangkan
bau jengkol dari mulut Tampar Geni.
Setelah itu baru berkata kepada orang
berambut botak tengahnya itu.
"Kami tahu, kalian orang Perguruan
Musang Terbang. Justru kami heran,
mengapa kalian tidak bisa menghargai hak
azasi manusia, sehingga mau menyiksa Sumo
Banjir hanya untuk diantarkan ke kuburan
si Iblis Banci saja? Itu kan kelewatan
namanya, Oom!"
"E, eh... masih berani menasihati
orangtua hah?! Nih, rasakan tapak
tanganku yang bisa bikin matang telur
dadar! Heaahh...!"
Wuuuttt...!
Tangan si Tampar Geni yang kondang
bisa bikin hangus pohon itu berkelebat ke
wajah Pandu Puber. Tapi dengan cekatan
Pandu kelebatkan tangannya juga hingga
tamparan tersebut tertangkis oleh tangan
kirinya. Plaakk...! Dan pada saat itu
juga telapak tangan sang Pendekar Roman-
tis menyodok ke depan, tepat kenai dada
lawannya yang gemuk.
Buugh...!
Wuusss...! Bruugh...!
Semua mata melebar, walau tidak lebar
sekali. Jelasnya, semua orang merasa
heran dan kaget melihat tubuh gemuk Tapak
Geni bisa terhempas bagai terbang ke
belakang saat disodok oleh tangan Pandu.
Padahal sodokan tangan Pandu tidak tampak
keras dan penuh kerahan tenaga. Hanya
tampak biasa-biasa saja dan cepat.
Sumo Banjir terheran-heran melihat
tubuh gemuk itu bagaikan daun kering yang
dihempaskan angin kencang. Jatuhnya
sekitar lima tombak ke belakang. Bahkan
tangan Tampar Geni yang terpental terbang
itu sempat mengenai wajah Genjotpati tan-
pa disengaja.
Plok!
"Wadow...!" Genjotpati menjerit
spontanitas. Tubuhnya yang gemuk dan
berperut buncit itu melintir ke kiri,
muter dua kali dan jatuh terpelanting
membentur pohon. Wajah yang terkena
benturan tangan temannya itu menjadi
merah pertanda panas dan sakit.
"O, rupanya bocah ganteng ini punya
mainan juga? Hmm... boleh, boleh,
boleh...," pikir Raga Paksa sambil
manggut-manggut.
Genjotpati bangkit dengan marah.
Matanya yang lebar membelalak mendelik
makin lebar seperti sepasang onde-onde
mau lompat. Ia bergegas hampiri Pandu,
tapi pemuda beranting satu itu tak mau
pergi, malah berdiri dengan tenang.
Menunggu kedatangan lawan.
"Kau benar-benar anak monyet!" maki
Genjotpati dalam jarak satu jangkauan di
depan Pandu. "Kau buat wajahku jadi
bengkak begini, hah?! Lihat... sakit nih!
Sakiiit...!" sambil menuding wajahnya
sendiri. Pandu Puber sempat-sempatnya
nyengir.
"Yang mengenai bukan aku, kok yang
kena marah aku sih?!"
"Iya, tapi ini gara-gara pukulanmu
yang membuat Tampar Geni terbang dan
membentur wajahku! Aku harus membalas
padamu! Hiaat...!"
Orang berambut ikal itu mengandalkan
genjotannya. Makanya ia berjuluk
Genjotpati, cita-citanya sekali genjot
orang pasti mati. Maka tak heran jika ia
segera lepaskan kepalan tinjunya ke wajah
Pandu Puber. Kepalan itu cukup besar dan
keras. Kabarnya bisa untuk memecahkan
batu sebesar anak sapi.
Wuuutt...!
Tab...!
Pandu Puber menangkap genggaman tinju
lawannya dengan satu tangan. Genggaman
itu bagai ingin diremas oleh tangan Pandu
Puber. Hal itu cukup mencengangkan mata
Sumo Banjir, bahkan mata Raga Paksa
sendiri ikut terbelalak lebar.
"Belum pernah ada yang bisa menangkap
pukulan si Genjotpati selama ini.
Biasanya pukulan itu menghancurkan benda
apa saja yang dihantamnya. Tapi tulang
tangan anak muda itu tidak menjadi remuk,
dan bahkan ia kelihatan ingin meremukkan
genggaman si Genjotpati. Alangkah
hebatnya! Murid dari perguruan mana dia
sebenarnya?!"
Kecamuk batin Raga Paksa terhenti,
berubah menjadi sentakan mengagetkan
ketika ia melihat wajah Genjotpati
menyeringai kesakitan sambil memekik
panjang. Terdengar pula suara tulang
berderak.
Krakk!
"Waooow...!" pekik Genjotpati kelo-
jotan di tempat. Karena sakitnya maka ia
pun segera lepaskan pukulan tangan
kirinya yang bertelapak tangan membuka.
Wuuuttt..! Pandu menadah pukulan itu
dengan tangan kanan membuka pula.
Plaakkk...! Blaarr...!
Ledakan itulah yang mengagetkan Raga
Paksa dan Sumo Banjir. Kilatan cahaya
merah yang memercik dari benturan dua
telapak tangan itu menimbulkan gelombang
hentak cukup kuat, sehingga Genjotpati
terlempar ke belakang tak beraturan, lalu
jatuh terkapar dalam jarak enam langkah
dari tempatnya berdiri tadi, sedangkan
Pandu Puber hanya tersentak mundur dua
langkah dan tetap berdiri tegak.
"Edan benar nih anak!" gumam Raga
Paksa, lalu ia berseru kepada Genjotpati
dan Tampar Geni, "Serang dia! Keroyok
berdua!"
Perintah itu seperti perintah seorang
komandan yang harus dipatuhi anak
buahnya. Maka kedua orang gemuk itu pun
segera menyerang bersama dengan lompatan
dari arah kanan-kiri. Tapi Pandu Puber
segera sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya
melayang ke atas pada saat kedua orang
gemuk itu hendak menerjangnya. Dalam
seketika itu, kedua kaki Pendekar
Romantis menendang ke samping kanan-kiri
secara bersamaan.
Wuuutt...! Prookkk...!
Lompatan Pandu yang sedikit lebih
tinggi dari posisi layang kedua lawannya
membuat kedua kakinya dapat menendang
telak di wajah masing-masing lawan.
Tendangan itu bertenaga dalam cukup
besar, sehingga kedua orang gemuk yang
terkena tendangannya terjungkir balik di
udara, kemudian saling jatuh seperti dua
buah nangka busuk.
Sumo Banjir yang melihat adegan itu
dari balik pohon tempatnya bersembunyi,
ternyata sejak tadi tak bisa kedipkan
mata lagi akibat terkagum-kagum dengan
kehebatan Pandu Puber.
"Wow...! Hebat sekali?! Pantas Kang
Pandu berani berhadapan dengan kedua
orang gemuk itu, rupanya dia punya ilmu
yang mengagumkan. Tapi jika melawan Raga
Paksa apakah dia bisa menang?!"
Melihat wajah kedua temannya menjadi
bonyok, Raga Paksa mulai menggeram tak
sabar. Kedua tangannya menggenggam kuat-
kuat. Otot di lengannya tampak mengeras
dan bertonjolan. Sementara itu, Tampar
Geni yang bocor hidungnya dan Genjotpati
yang pecah bibirnya sudah mulai mencabut
senjata masing-masing : kapak dan golok.
Tetapi Raga Paksa memberi kode dengan
gerakkan tangannya yang membuat kedua
orang gemuk itu mundur, tak jadi
menyerang dengan senjata. Sebab mereka
merasa kalah tinggi tingkatannya dengan
Raga Paksa. Mereka percaya, jika Raga
Paksa yang maju pasti lawan dibuat
tumbang dalam satu gebrakan.
"Sudah waktunya kau menghadapiku,
Bocah Konyol!" kata Raga Paksa dengan
suara berat pertanda menahan kejengkelan
hati. "Tapi sebelumnya mengakulah, dari
perguruan mana kau sebenarnya? Siapa
gurumu?"
Pendekar Romantis merapikan rambut
depannya dan tersenyum tenang. Setelah
merapikan rambut, menggosokkan kedua
telapak tangan bagaikan siap menghadapi
pertarungan dengan lebih serius lagi.
"Kau tak akan tahu nama perguruanku
dan juga nama guruku, sebab aku tidak
punya perguruan dan tidak punya guru!"
"Mustahil kau tidak punya guru!"
sentak Raga Paksa sudah sangat tak sabar.
"Katakan, supaya aku puas menumbang-
kanmu!"
"Kau memang pantas dinamakan Raga
Paksa, karena kau suka memaksa orang
dalam hal apa pun! Sekarang kalau aku tak
sebutkan siapa guruku, lantas kau mau
apa?!"
Raga Paksa makin dibakar amarah
mendengar nada ucapan si ganteng yang
berlagak menantang itu. Namun orang
berpakaian serba hitam itu masih
penasaran sekali, karena ia sangat ingin
tahu siapa guru Pandu Puber sebenarnya.
Ia tak tahu bahwa Pandu Puber adalah anak
dewa yang ilmunya merupakan ilmu titisan,
mewaris dengan sendirinya pada saat ia
lahir dari kandungan ibunya, (Kalau nggak
percaya, baca deh serial Pendekar
Romantis dalam kisah: "Hancurnya Samurai
Cabul"-seru juga lho).
"Sebutkan namamu, dan akan kukirim ke
neraka nama itu secepatnya!" bentak Raga
Paksa setelah tak berhasil mendesak Pandu
untuk sebutkan nama gurunya.
"Kalau nama, aku punya. Namaku Pandu
Puber! Jelas? Puas?"
"Lagakmu sudah kayak jagoan saja!
Benci aku melihatmu! Heaaah...!" Raga
Paksa lepaskan pukulan tenaga dalam jarak
jauh dari hentakkan kedua tangannya yang
membentuk cakar ke depan. Pukulan tanpa
sinar itu datang dengan tiba-tiba sekali,
mengejutkan Pandu, sehingga Pendekar
Romantis sedikit telat menangkis.
Akibatnya ia terpental berjungkir balik
ke belakang karena hempasan tenaga dalam
lawan itu.
Wuuuttt...! Brruusss...!
Pandu Puber masuk ke semak-semak.
Sebelum disusul Raga Paksa untuk diserang
kembali, Pendekar Romantis sudah lompat
dari kedalaman semak. Braasss...!
Tubuhnya melenting ke atas bersalto satu
kali. Gerakan itu disambut oleh Raga
Paksa dengan pukulan bersinar hijau dari
telapak tangan kanan yang disentakkan ke
depan.
Wuuuttt...! Claappp...! Sinar hijau
itu seperti gumpalan kapas yang melesat
cepat ke tubuh Pandu Puber.
Dalam keadaan bersalto, Pendekar
Romantis masih sempat melihat kelebatan
sinar hijau tersebut. Maka serta-merta ia
lepaskan jurus 'Jempol Syahdu', berupa
sinar putih perak yang melesat dari
jempol kakinya. Sinar putih perak
menghantam tepat sinar hijau dan ter-
jadilah dentuman menggelegar yang sempat
mengguncangkan pepohonan di sekeliling
mereka.
Blegeerrr...!
Gelombang hentak dari dentuman itu
menyebarkan hawa panas dan kekuatan daya
sentak cukup kuat. Dua pohon saja hampir
tumbang karena daya sentak gelombang
tersebut. Pohon itu hanya retak dan
terkelupas sebagian kulitnya. Sedangkan
Raga Paksa sendiri terpelanting ke
belakang dan jatuh tersungkur di depan
Tampar Geni yang terbentur sebuah pohon
dalam keadaan berdiri.
Buuhg...!
Genjotpati terguling-guling di tanah
karena terkena hentakan agak kuat,
posisinya waktu itu ada di dekat Raga
Paksa, Pandu Puber sendiri terpental tak
seberapa jauh, tapi ia masih mampu kuasai
keseimbangannya sehingga masih mampu
berdiri tegak saat daratkan kaki ke
tanah. Matanya memandang tajam kepada
lawan-lawannya. Ia tersenyum tipis
melihat Raga Paksa mengeluarkan darah
pada hidung dan telinganya. Sementara
itu, Sumo Banjir tampak aman di
persembunyiannya, tapi masih belum bisa
kedipkan mata melihat kehebatan
pertarungan tokoh-tokoh yang menurut
anggapannya berilmu tinggi itu.
"Baru sekarang ada orang berani
melawan Raga Paksa dan bisa membuat Raga
Paksa berdarah!" pikirnya dengan polos.
"Kalau begitu, Kang Pandu ini sebenarnya
orang sakti dong? Tapi kok nggak punya
kumis dan jenggot panjang, ya?"
Preman yang ditakuti penduduk desa
itu membatin, "Dadaku panas sekali!
Sialan, jurusnya mampu membuat jurusku
pecah menjadi dua kali lipat lebih
kekuatannya! Kalau kuteruskan, dadaku
bisa jebol dan nyawaku tinggal seupil
nih? Sebenarnya aku mau muntah, tapi...
tahan dulu, ah! Gengsi kalau muntah di
depan anak itu!"
Genjotpati berkata pelan, "Bagaimana
kalau kita serang bertiga memakai
senjata?! Pasti dia tidak berkutik lagi!"
Raga Paksa berpikir sebentar, lalu
berkata dalam bisikan pula,
"Sia-sia. Dia punya jurus yang sulit
dicari kelemahannya. Gerakannya selalu
bersifat mendadak dan tiba-tiba, diluar
dugaan pikiran kita.... Sebaiknya, bawa
kabur saja si Sumo Banjir itu dan kita
paksa anak itu di tempat lain. Culik dia,
aku dan Tampar Geni akan menghalangi
langkah si pemuda setan itu!"
"Baik! Akan kubawa kabur anak itu.
Alihkan perhatian Pandu Puber agar
matanya tidak mengawasi ke arah Sumo
Banjir!"
Raga Paksa segera dekati Tampar Geni
dan membisikkan rencana tersebut. Tetapi
mata Pandu mulai menaruh kecurigaan dan
hatinya berkata pada diri sendiri, "Hati-
hati, dia mau gunakan siasat. Mungkin mau
menyerang bersama-sama atau entah
melakukan siasat apa? Kayaknya Raga Paksa
membisikkan sesuatu kepada Tampar Geni."
Sebentar kemudian terdengar suara
Raga Paksa berseru lantang,
"Anak tikus! Sudah tak ada waktu lagi
buatmu. Kami tak akan main-main lagi.
Sekarang tinggal giliran mencabut nyawamu
yang sok usil mau ikut campur urusan
orang itu. Hiaaah...!"
"Hiaaatt...!" Tampar Geni ikut
berteriak sambil lepaskan jurus
andalannya. Telapak tangannya dapat
menyemburkan api yang bergulung-gulung
menyerang Pandu, sedangkan telapak tangan
Raga Paksa keluarkan angin kencang,
seakan mengobarkan gumpalan apinya si
Tampar Geni. Wooosss...!
Jurus 'Inti Dewa' dilepaskan.
Pendekar Romantis berwajah ganteng itu
segera rapatkan kedua telapak tangannya
di dada, lalu disentakkan membuka ke
depan secara bersamaan dengan kedua kaki
merenggang rendah. Wuuutt...! Slaaapp ..!
Sinar putih perak berukuran besar
melesat dari kedua telapak tangan Pandu
Puber. Sinar putih perak besar itu
menghantam gulungan api bercampur angin
kencang. Maka, menggelegarlah dentum
tabrakan kedua kekuatan tersebut.
Bleggeerrr...!
Daya sentaknya lebih kuat dan lebih
besar. Melebar ke berbagai penjuru.
Menumbangkan Tampar Geni dan Raga Paksa
hingga mereka terpelanting-pelanting
saling berbenturan. Sedangkan Genjotpati
yang sedang mendekati Sumo Banjir ingin
menyambarnya juga terpental ke arah lain,
kepalanya membentur pohon dengan sangat
keras.
Praakkk...!
"Aaaaow...!" teriaknya kesakitan.
Kepala itu pun retak dan tak ayal lagi
kalau menjadi bocor.
Sumo Banjir merasa ketakutan, sebab
saat ia melihat Genjotpati mendekatinya,
anak itu tahu kalau dirinya akan dibawa
lari. Maka sebelum rencana itu terulang
kembali, Sumo Banjir segera larikan diri
tak peduli lagi dengan ketiga orang
Perguruan Musang Terbang. Karena tubuhnya
sendiri terlempar tinggi saat terjadi
ledakan besar tadi, tapi untung jatuh di
semak-semak.
"Tinggalkan tempat ini! Cepat,
laporkan pada Guru!" teriak Raga Paksa,
sehingga mereka bertiga berlarian
menghindari Pandu Puber dalam keadaan
berdarah. Pandu Puber sendiri menjadi
tegang karena ia kehilangan Sumo Banjir.
Ia pun segera lari mencari Sumo Banjir
sambil memanggil-manggil, "Banjiiirr...
Banjiiirr... Banjiiirr...!"
Emoticon