Pendekar Romantis 4 - Patung Iblis Banci(1)




SATU 
TUBUH kurus mirip tulang dibungkus 
kulit segera naik ke atas sebongkah batu 
datar lebar. Rimbunan dedaunan bambu 
hutan membentuk lengkung bagai lorong 
beratap rimbun. Di bawah rimbunan 
dedaunan bambu hutan itulah batu datar 
setinggi dada orang dewasa itu tergeletak 
berlumut.  Dan tubuh kurus tanpa baju 
kecuali hanya celana pangsi hitam segera 
duduk bersila dl atas batu tersebut. 
"Kurasa tempat ini sangat cocok untuk 
bertapa! Selain suasananya tenang, hawa 
angkernya terasa meniup-niup tengkuk 
kepalaku," pikir orang tersebut. Lalu ia 
mulai memejamkan mata perlahan-lahan 
setelah posisi duduknya terasa enak. Tapi 
pikirannya masih sempat bicara pada diri 
sendiri, 
"Wah, kalau tadi dari rumah bawa 
bantal enak juga, ya? Jadi pantatku tidak 
sakit duduk di atas batu ini. Sayang 
sekali aku  tadi lupa membawa bekal nasi 
dan oseng-oseng pete. Coba kalau aku tak 
lupa membawanya, pasti tempat bersuasana 
ini sangat cocok sekali bust dipakai 
menikmati nasi putih dan oseng-oseng pete 
saja. Ah, lupakan dulu soal itu. Yang 
penting aku harus bertapa untuk meminta 
bisikan para dewa mengenai cara 
melepaskan diri dari tuduhan serong oleh 
istriku itu. Moga-moga dewata memberiku 
petunjuk bagaimana cara melakukan serong 
yang baik agar tak diketahui istri dan 
para tetangga di rumah!" Lelaki berusia 
sekitar tiga puluh lima tahun itu segera 
menarik napas panjang-panjang.  
Suuutttt...! 
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar 
suara orang berseru dengan keras dan 
lantang, 
"Banjiiirrr...!" 
Lelaki kurus buka mata seketika. 
Blaakk...! Bola mata bundar itu segera 
melirik lebar ke arah datangnya suara 
tersebut. Dahinya berkerut, batinnya 
berucap kata, "Banjir...?! Ah, mungkin 
itu hanya suara godaan saja. Maklum, 
namanya orang lagi mau bertapa pasti ada-
ada saja godaannya. Aku harus tabah!" 
Mata bundar beralis tipis itu 
terpejam kembali pelan-pelan. Namun baru 
saja mau merapat, mata itu kembali 
terbelalak karena suara teriakan tadi 
terdengar lebih jelas lagi. 
"Banjiiirrr...! Banjiiirrr...!" 
Batin orang yang bertapa itu 
bertanya-tanya, "Sepertinya suara itu 
nyata-nyata  ada! Bukan halusinasi saja. 
Hmmm... bagaimana ini? Apakah aku harus 
teruskan tapaku? Bagaimana kalau benar-
benar ada banjir dari selatan? Bisa-bisa 
saat aku bertapa disapu banjir?!" 
Di sebelah selatan memang ada sungai 
yang langganan jebol tanggulnya. Setiap 
tahun sedikitnya dua kali desa sebelah 
timur itu disapu banjir dari selatan. 
Maklum, sungai yang mengalir ke timur 
lebih lebar daripada yang mengalir ke 
utara. Tak heran jika orang yang mau 
bertapa itu menjadi tegang dan was-was. 
Ia berdiri di atas batu itu memandang 
ke arah datangnya suara. Tampak seorang 
pemuda sedang berlari-lari dan berseru 
kembali, 


"Banjiiir...! Banjiiirr...!" 
Orang itu segera lompat dari atas 
batu. Wajah si kurus tanpa baju itu 
menjadi bertambah tegang. Ia segera 
berlari ke arah desanya yang tak seberapa 
jauh dari situ. Sambil berlari kencang ia 
serukan kata yang sama dengan seruan si 
pemuda berpakaian ungu dan berambut 
panjang belakang tadi. 
"Banjiiir...! Banjiiir...! Lekas 
mengungsi, ada banjiiir...!" Suaranya 
yang keras mulai didengar oleh para 
petani yang ada di sawah. Para petani 
kaget dan segera berlari pulang sambil 
berseru keras-keras secara ketakutan, 
"Banjiiir...! Banjir datang...! Banjir!" 
Siapa orang yang tidak kaget 
mendengar kabar bencana itu? Hanya orang 
tuli saja yang tenang-tenang sambil 
bersiul walau orang bertubuh kurus yang 
mau bertapa tadi sudah ngotot meneriakkan 
kata 'banjir' di seberang kupingnya. Hal 
yang wajar jika orang menjadi panik 
mendengar kabar datangnya banjir. Pikiran 
mereka serempak membayangkan sungai di 
sebelah selatan. Bayangan mereka serempak 
membentuk gambaran air bah yang 
bergulung-gulung mengerikan menyapu 
ladang, rumah, dan ternak mereka. 
Masyarakat desa tersebut menjadi 
tunggang-langgang. Ada yang sibuk memukul 
kentongan dengan bernafsu sekali dan ada 
yang bingung menyelamatkan ternak, harta, 
serta barang-barang lainnya. Bahkan 
saking emosinya yang memukul kentongan 
tak sadar kalau yang dipukul sudah bukan 
lagi kentongan bambu melainkan lengan 
anaknya sendiri yang mau diselamatkan. 
Tentu saja si anak jejeritan dengan suara 
tak kalah lengking dengan suara seruan 
'banjir' tersebut. 
"Ayo, cepat sedikit, Dul! Sudah tahu 
ada banjir mau datang malah enak-enakan 
bikin surat cinta kau ini? Konyol!" omel 
seorang kakak kepada adik  lelakinya. 
Pemuda itu pun bergegas mengemasi barang-
barang, terutama surat cintanya untuk 
sang kekasih nanti. 
"Lepaskan gulingmu itu! Kenapa kau 
bawa-bawa ke sana-sini?!" 
"Lho, jadi yang kubawa dari tadi ini 
guling tong?! Ya, ampuun...! Lalu ke mana 
anak bayiku tadi?! Aduh, celaka! Pasti 
ketinggalan di atas dipan! Kaaang... 
tunggu! Anak kita ketinggalan, Kang?!" 
seru seorang istri karena paniknya jadi 
salah comot. 
Sementara itu, seorang sesepuh desa 
dan beberapa orang lainnya menanyai 
lelaki kurus yang tadi mau bertapa itu, 
"Apa benar kau melihat banjir 
datang?!" 
"Melihat sih  tidak, Wak! Tapi anak 
muda berbaju ungu itu berlari dari 
selatan  dan mengabarkan hal itu. Karena 
anak muda itulah yang melihat air sungai 
meluap dan tanggul jebol lagi!" 
"Anak muda yang mana?!" 
Orang itu melongok sebentar, lalu 
memandang  ke arah perbatasan desa. Ia 
menuding ke arah sana, "Nah, itu dia anak 
muda yang kumaksudkan, Wak! Dia sedang 
berjalan kemari!" 
Anak muda yang dimaksud adalah 
seorang pemuda berpakaian serba ungu. 
Bajunya nyaris tanpa lengan  berbintik-
bintik putih bening seperti tetesan 
embun, celananya juga demikian tapi 
tepian celana berumbai-rumbai mirip 
celana jeans belel. Rambutnya panjang 
belakang tapi bagian depannya pendek, 
potongan punk-rock. Pemuda itu mengenakan 
anting putih metalik di kuping kirinya. 
Wajahnya, wow... tampan sekali. Mirip 
wajah bintang film bule. Badannya tinggi, 
tegap dan tampak kekar. Dadanya bertato 
gambar bunga mawar merah. Kedua perge-
langan tangannya kenakan gelang kulit 
berbintik-bintik paku metalik. 
Bagi para  tokoh rimba persilatan 
tentu merasa tak asing lagi dengan anak 
muda tersebut, yang tak lain adalah Pandu 
Puber, si Pendekar Romantis. Banyak orang 
yang menjulukinya sebagai 'pendekar 
penjerat hati wanita', walau julukan itu 
sebenarnya tidak diakui oleh para pemuda 
lainnya yang bertampang lebih jelek dari 
Pandu Puber. 
Memasuki desa itu, Pandu Puber 
menjadi serba bingung. Ada dua kebi-
ngungan yang menggenang di otaknya; 
pertama melihat suasana menjadi kalang 
kabut dan serba panik itu, kedua mencari 
sesuatu yang ternyata tidak dilihatnya 
sejak tadi. Pandu Puber melangkah dengan 
tergesa-gesa namun tetap tampak gagah. 
Hatinya membatin, 
"Mengapa penduduk desa menjadi panik? 
Mengapa barang-barang mereka dikeluarkan 
semua, sepertinya mau mengungsi? Ada 
bencana apa yang terjadi di desa ini?" 
Sambil melangkah dan membatin, Pandu 
Puber kembali berseru dalam keadaan 
menengok ke kiri, 
"Banjiirr....!" 
Rombongan sesepuh desa dan si orang 
kurus mendekati Pandu Puber. Pendekar 
Romantis mulai kerutkan  dahi sedikit 
sebagai tanda bahwa ia menaruh curiga 
dengan mendekatnya rombongan orang tua 
itu. 
"Anak muda, benarkah kau melihat 
tanggul sungai jebol?!" sapa sesepuh desa 
itu. Pandu Puber makin kerutkan dahinya. 
"Jebol?! Siapa bilang tanggul sungai 
jebol?!" 
Rombongan sesepuh desa  saling 
pandang. Orang kurus yang tadi mau 
bertapa itu jadi sorotan mata mereka. 
Orang itu bingung sendiri. Ia berkata 
kepada sesepuh desa, 
"Sumpah mati, Wak Kober! Pemuda 
inilah yang tadi mengabarkan bencana 
tersebut pertama kalinya. Aku dengar 
sendiri, Wak!" 
Sesepuh desa berkata lagi kepada 
Pandu Puber, "Anak muda, kumohon kau 
jangan berlagak bego, nanti bego tujuh 
turunan baru tahu rasa kau! Katakan saja 
yang sejujurnya, apa yang telah kau lihat 
di daerah selatan sana?!" 
Pandu Puber baru saja mau mengatakan 
sesuatu kepada sesepuh desa yang tadi 
didengarnya bernama Wak Kober itu, tetapi 
matanya segera menangkap kedatangan 
seorang anak lelaki berusia lima belas 
tahun, memakai rompi abu-abu dan celana 
abu-abu, berikat kepala merah dengan 
wajah polos dan badan agak kurus. Pandu 
Puber segera menghampiri anak lelaki itu 
dan berseru dengan nada jengkel, 
"Sumo Banjir! Sial betul kau ini! Ke 
mana saja kau, hah?! Aku mencarimu sampai 
puyeng tapi kau meninggalkan aku 
seenaknya saja.  Ayo kita pergi ke arah 
bukit itu, Sumo Banjir! Jangan jauh-jauh 
lagi dariku, nanti kalau kau ada apa-apa 
aku tak bisa menolongmu!" 
Orang kurus yang tadi mau bertapa 
terbengong,  
"Sumo Banjir?!" ucapnya lirih dengan 
nada kesal. Lalu ia bertanya kepada Pandu 
Puber yang sedang mau mendengar ucapan 
anak lelaki tersebut. 
"Jadi, kau tadi berteriak banjir itu 
bukan memberitahukan bahwa di selatan ada 
banjir datang kemari?!" 
"Aku berteriak 'banjir' karena aku 
memanggil temanku ini. Anak ini memang 
namanya Sumo Banjir?!" 
Sesepuh desa menggeram jengkel sambil 
menjulekkan kepala orang kurus itu, 
"Kampret! Ada orang memanggil nama 
temannya dikabarkan ada bencana banjir 
datang! Dasar kuping terowongan!" 
Pendekar Romantis dan Sumo Banjir 
tertawa cekikikan. Orang kurus itu 
kemudian diuber-uber orang satu desa 
karena dituduh membuat ketegangan yang 
menghebohkan masyarakat. Sedangkan  Pandu 
Puber dan Sumo Banjir segera meninggalkan 
desa itu menuju Bukit Jengkal Demit. 
Ada apa di Bukit Jengkal Demit? 
Para tokoh rimba persilatan dari 
aiiran hitam maupun putih saat ini sedang 
ramai membicarakan tentang Bukit Jengkal 
Demit. Ada yang membicarakannya secara 
bisik-bisik, ada pula yang membicara-
kannya secara terang-terangan. Percakapan 
mereka seragam, yaitu tentang lahirnya 
sebuah pusaka maut yang ditunggu-tunggu 
oleh para tokoh rimba persilatan. Pusaka 
itu bernama: 'Patung Iblis Banc!'. 
Pandu Puber pernah mendengar 
percakapan dua-tiga orang di sebuah kedai 
yang membicarakan tentang Patung iblis 
Banci itu. 
"Patung Iblis Banci adalah pusaka 
yang mempunyai kekuatan sakti sangat 
tinggi. Siapa yang memegang atau memiliki 
Patung Iblis Banci, dia akan menjadi 
orang kebal." 
Temannya menyahut, "Kalau cuma mau 
jadi orang kebal sih nggak perlu harus 
susah payah mencari pusaka Patung Iblis 
Banci. Dengan pelajari ilmu Kulit Baja 
sudah bisa bikin tebal tubuh kita. 
Dibacok nggak mempan, dikapak nggak 
somplak, diclurit nggak menjerit, tapi 
kecocok paku tetanus juga sih!" 
"Pusaka itu bukan hanya bikin 
pemiliknya kebal saja, tapi juga bisa 
membunuh lawan dari jarak jauh. Patung 
Iblis Banci bisa dijadikan utusan raga 
lawan. Dengan membayangkan wajah lawan, 
kita bisa membunuh atau melukai lawan 
yang ada di tempat  jauh, syaratnya kita 
harus melukai atau menusukkan sesuatu ke 
tubuh Patung Iblis Banci itu. Kalau yang 
kita tusuk bagian jantung patung, maka 
lawan kita di tempat jauh pun jantungnya 
akan pecah karena tertusuk kekuatan gaib 
yang tersalurkan melalui patung ter-
sebut." 
"Jadi singkatnya, patung itu adalah 
wakil dari lawan atau musuh kita, be-
gitu?!" 
"Benar. Ke mana pun kita pergi, jika 
membawa patung itu, maka sama saja kita 
membawa atau menangkap lawan kita." 
"Pusaka itu sebenarnya milik siapa 
sih?" 
"Sebenarnya pusaka itu milik seorang 
tokoh sesat berilmu tinggi yang bergelar 
si Iblis Banci. Kira-kira dua ratus tahun 
yang lalu nama si Iblis Banci sangat 
dikenal di rimba persilatan dan sangat 
ditakuti. Ilmunya yang tinggi itu 
dipertahankan terus dengan cara meminum 
darah manusia." 
"Ih, apa enak tuh?" 
"Yaah... menurutnya sih enak saja. 
Mungkin lebih enak lagi kalau diminum 
pake sedotan. Sedotan itu ialah...." 
"Sudah, sudah... bicara soal  Iblis 
Banci saja, jangan bicara soal sedotan." 
Setelah omongannya dipotong sang 
teman, orang itu lanjutkan lagi ceritanya 
tentang si Iblis Banci. 
"Guruku mendapat cerita itu dari 
kakeknya. Katanya sih, yang namanya Iblis 
Banci itu benar-benar tokoh sakti yang 
banci, lelaki tapi  berparas wanita  dan 
gayanya juga seperti wanita. Dia tidak 
pernah mempunyai murid, jadi hidupnya 
sepanjang jaman hanya sendirian. Hanya di 
akhir hidupnya ia punya seorang kekasih, 
pemuda tampan dimasa itu yang bernama 
Layang Petir. Kepada kekasihnya itulah 
ilmu si Iblis Banci ingin diturunkan. 
Namun belum sampai seluruh ilmunya 
diturunkan, ia sudah keburu koit, alias 
mati." 
"Dimakamkannya di mana?"  
"Ya di Bukit Jengkal Demit itu. Nah, 
menurut kabar yang bocor dari mulut 
Layang Petir, jenazah Iblis Banci akan 
menggumpal dan menyusut di alam kuburnya. 
Jadi raga Iblis Banci tidak akan hancur 
dimakan rayap. Pada suatu saat nanti 
jenazah itu akan muncul dari makam 
tersebut berupa patung sakti. Tanda-tanda 
kemunculannya apabila ada rembulan muncul 
dengan warna hitam dibayang-bayangi awan. 
Jika sampai titik purnama rembulan masih 
hitam, berarti saat itulah Patung Iblis 
Banci akan muncul sendiri dari alam 
kuburnya." 
Percakapan itulah yang membuat Pandu 
Puber tertarik untuk menyusuri kebenaran 
cerita tentang Patung Iblis Banci. Pada 
waktu itu sang Pendekar Romantis belum 
tahu di mana letak kuburan si Iblis Banci 
itu. Bahkan arah Bukit Jengkal Demit pun 
belum diketahui. Mau tanya sama orang 
yang ngobrol di kedai, Pandu merasa malu. 
Sebab dulu ia pernah menanyakan alamat 
seseorang tapi dicuekin sama orang yang 
ditanya. Pandu jadi trauma untuk bertanya 
tentang  alamat sesuatu tempat. Pikir 
punya pikir, ia segera menghubungi 
sahabatnya yang tinggal di desa tempat 
kedai itu berada dan dibangun tanpa IMB. 
Temannya itu bernama Bocang. Entah 
apa maksudnya kok diberi nama Bocang, 
mungkin singkatan dari Bohongan Kencang 
atau apa, Pandu tak mau tahu soal nama 
itu. Yang jelas ia pernah punya kenalan 
bernama Bocang dan tinggal di desa 
tersebut. Pandu ingat rumahnya, karena 
dia pernah datang ke rumah Bocang dua 
kali, saat Bocang pingsan dari jatuhnya 
dan saat Bocang mengundang Pandu untuk 
kondangan dalam rangka sunatan adik 
Bocang. 
"Lho, apa Nak Pandu belum tahu," kata 
tantenya Bocang yang juga tinggal serumah 
dengan anak itu. 
"Belum tahu soal apa, Bibi?" 
"Bocang kan sudah meninggal." 
"Hah...? Meninggal?!" 
"Iya. Sudah empat  puluh hari ini. 
Kami mau selametan empat puluh harinya 
nanti malam. Kalau Nak Pandu mau hadir, 
silakan hadir nanti malam. Kebetulan 
nanti malam kami panggil dukun segala un-
tuk menghadirkan rohnya Bocang." 
Pandu Puber kerutkan dahi memandangi 
bibinya Bocang yang masih berusia sekitar 
tiga puluh lima tahun, tapi masih belum 
menikah alias perawan tua itu. Pandu 
bertanya dalam keraguan ucap, "Buat apa 
menghadirkan rohnya Bocang, Bi?"  
"Buat mengetahui, siapa yang 
membunuhnya di hutan sana!" 
"Lho, jadi Bocang matinya dibunuh 
orang?"  
"Lha iyalah... masa' mati dibunuh 
kambing?" 
Pada saat menghadiri selamatan empat 
puluh harinya Bocang itulah Pandu Puber 
kenal dengan anak remaja bernama Sumo 
Banjir. Ketika itu Sumo Banjir sedang ada 
kasus menegangkan. Ia dikejar-kejar 
seseorang hingga lari masuk ke rumah Bo-
cang. Padahal rumah itu masih digunakan 
untuk selamatan beberapa orang yang 
menghadiri kendurinya almarhum Bocang. 
Anak itu langsung saja melompati makanan-
makanan yang ada di tengah lingkaran para 
pakar kenduri. Tentu saja perbuatan itu 
membuat beberapa orang menjadi marah.  
"Siapa anak itu?" 
"Tetangga kami, temannya Bocang 
juga!" jawab bibinya Bocang. 
Sumo Banjir segera dimarahi oleh 
sesepuh yang hadir. 
"Maa... maafkan saya, Bapak-bapak...! 
Saya... saya terpaksa lari bersembunyi di 
sini yang banyak orangnya, karena saya 
mau dibunuh orang. Saya masih malas mati, 
jadi saya lari!" kata Sumo Banjir 
memberikan alasan dengan wajah polosnya 
yang ketakutan itu. 
Orang-orang tak mau percaya, Sumo 
Banjir tetap dimarahi dan diperingatkan 
agar tidak mengulangi hal itu lagi. Lalu, 
Sumo Banjir disuruh pulang oleh  bibinya 
Bocang, tapi ia tak mau pulang. la takut 
pulang ke rumahnya sendiri. Ia  ingin 
bersembunyi di tempat yang banyak 
orangnya. Maka, bersembunyilah Sumo 
Banjir di dapur sambil membantu 
menyiapkan minuman untuk para pakar 
kenduri itu. 
Dan kesempatan itu digunakan oleh 
Pandu untuk mendekati Sumo Banjir. 
"Siapa yang mau membunuhmu Sumo 
Banjir?" 
"Raga Paksa, Kang." 
"Siapa Raga Paksa itu?" 
"Orang Perguruan Musang Terbang," 
jawabnya lugu dan mengharukan. 
"Kenapa kau sampai berurusan dengan 
Raga Paksa?" Pandu mendesak dengan rasa 
ingin tahunya yang lebih besar lagi. 
"Aku dianggap orang yang melihat 
pembunuh si Bocang.  Padahal  aku tidak 
melihatnya sama sekali. Sebab kala itu 
aku dan Bocang sedang mencari kayu bakar 
tapi beda tempat." 
Laporan anak itu segera dibahas oleh 
para sesepuh setempat hingga mereka 
akhirnya menyimpulkan, pembunuh si Bocang 
adalah Raga Paksa, atau setidaknya orang 
Perguruan Musang Terbang. Tapi apa alasan 
pembunuhan itu, tak ada yang tahu, sebab 
tak ada yang berani menanyakan atau 
menuntut Raga Paksa. Orang yang bernama 
Raga Paksa itu terkenal sadis, bengis, 
dan amis. Dia memang salah satu preman 
yang menguasai desa tersebut. Karenanya 
setelah mengetahui siapa pembunuh Bocang, 
mereka tidak pernah mau membahas kematian 
Bocang lagi. 
Namun tidak begitu halnya dengan 
Pandu Puber. Dia tidak mau tetap diam dan 
menahan rasa penasarannya. Didekatinya 
lagi Sumo Banjir, diajak bicara dengan 
persahabatan yang akrab. Akhirnya Sumo 
Banjir mengaku juga, "Hanya Bocang dan 
aku yang mengetahui di mana letak kuburan 
si Iblis Banci itu." 
"Aku dan Bocang pernah tersesat di 
Bukit Jengkal Demit gara-gara cari 
burung, Kang. Lalu, kami temukan kuburan 
bercahaya. Kuburan itu mengeluarkan 
seberkas sinar membias dari dalam menuju 
ke langit. Waktu itu keadaan sudah 
remang-remang, petang mau datang. Jadi 
bias sinar biru yang menuju ke atas itu 
terlihat jelas oleh  kami. Lalu kami 
ketakutan dan lari meninggalkan tempat 
itu. Bocang cerita-cerita sama beberapa 
orang. Akhirnya didengar oleh Raga Paksa. 
Aku pernah dengar pengaduan Bocang bahwa 
ia pernah dipaksa oleh  orang Perguruan 
Musang Terbang itu untuk beritahukan di 
mana letak kuburan tersebut, tapi Bocang 
tidak bisa kasih penjelasan arahnya. 
Bocang disuruh antarkan mereka ke kuburan 
itu, tapi Bocang tidak mau karena takut. 
Ia dipaksa dan lari ketakutan. Waktu itu 
ia bisa selamat, tapi mungkin waktu cari 
kayu bersamaku, ia kepergok Raga Paksa 
tapi tetap tak mau antarkan ke kuburan 
itu, mungkin merasa jengkel Raga Paksa 
pun membunuhnya." 
Pendekar Romantis yang bertampang 
ganteng itu manggut-manggut mendengarkan 
cerita Sumo Banjir. Setelah termenung 
sesaat, ia pun segera ajukan tanya kepada 
remaja berusia lima belas tahun itu, 
"Kau sendiri masih ingat tempat 
tersebut, kan?"  
"Wah, ya tentu saja masih, Kang. 
Sebab sejak  aku dan Bocang temukan 
kuburan itu, malamnya aku nggak pernah 
bisa tidur dengan nyenyak kok, Kang. 
Selalu saja dibayang-bayangi suara itu." 
Pandu kerutkan dahi, "Suara apa 
maksudmu?" 


"Suara orang yang tidak kukenal, 
nadanya seperti suara perempuan tapi agak 
besar seperti suara lelaki." 
"Jangan-jangan itu suara banci?" 
"Nggak tahu, Kang. Pokoknya kami tak 
lihat suara itu. Maksudku, siapa yang 
ngomong tidak bisa kami lihat." 
"Apa kata suara itu?" 
"Suara itu bilang begini: 'Hai, 
bocah-bocah bagus..." Sumo Banjir 
menirukan gaya suara yang didengarnya 
seperti suara perempuan manja. Lanjutnya 
lagi,  'jika kalian dengar suaraku, 
catatlah kata-kataku ini, bahwa sebentar 
lagi rembulan akan menjadi hitam 
kesaktianku akan hidup kembali 
berkeliaran ke mana-mana. Jika kalian 
mau, ambillah kesaktianku dan pergunakan 
untuk menjadikan diri kalian sebagai 
orang  kuat yang tak terkalahkan. Sekian 
dan terima kasih'. Nah, kira-kira begitu 
suara yang kami dengar, Kang Pandu. Tapi 
kami segera lari ngibrit, tak sempat 
tanya ini-itu kepada suara gaib 
tersebut." 
"Tak salah lagi," ucap Pandu Puber 
dalam renungan,"... itu pasti suara si 
Iblis Banci. Pantas kalau kau pun 
dikejar-kejar Raga Paksa, karena sebe-
narnya kau pun akan dipaksa agar 
menunjukkan di mana letak kuburan si 
Iblis Banci Itu. Bukan sekadar  ingin 
dibunuhnya!"  
"Mungkin saja begitu, sebab Bocang 
ceritakan hal itu sampai sekecil-kecilnya 
sih. Kalau aku kan nggak pernah cerita 
sama siapa-siapa, kecuali hanya kepada 
sembilan orang di kedai Ki Somat!" Sumo 
Banjir bicara bagai orang tak berdosa, 
Pandu hanya tersenyum dan geleng-
gelengkan kepala. Terpesona oleh  kebo-
dohan Sumo Banjir. 
DUA 
BERKAT kelihaian Pendekar Romantis 
merayu, akhirnya Sumo Banjir bersedia 
antarkan Pandu ke Bukit Jengkal  Demit. 
Anak itu masih ingat jalan menuju ke 
kuburan si Iblis Banci. Memang pada 
mulanya Sumo Banjir takut disuruh kembali 
ke kuburan itu, maklum wajahnya sendiri 
sudah seperti kuburan, jika ia bercermin 
sering takut dengan wajah sendiri. Tapi 
secara tak langsung Pandu telah tunjukkan 
kebolehannya dalam keberanian dan 
kehebatan bertarungnya. 
Ketika Pandu sedang membujuk Sumo 
Banjir sambil ikut membantu mencari kayu 
bakar di hutan, tiba-tiba Raga Paksa dan 
dua orang temannya datang menemui Sumo 
Banjir. Dua orang temannya itu sama-sama 
bertubuh gemuk; yang berpakaian kuning 
bernama Genjotpati, dan yang berpakaian 
hijau bernama Tampar Geni. Raga Paksa 
sendiri bertubuh tidak seberapa gemuk, 
namun berotot kekar, tinggi, berkumis 
tipis, usianya sekitar empat puluh tahun 
kurang sedikit, sama dengan usia Genjot-
pati dan Tampar Geni. Ia mengenakan 
pakaian serba hitam tapi dari bahan kain 
lebih mahal dari kedua temannya. 
"Kang, Kang...," bisik Sumo Banjir, 
"Itu dia orangnya yang bernama Raga 
Paksa. Dia sedang menuju  kemari bersama 
si Genjotpati dan Tampar Geni, Kang! Ayo, 
kita lari! Cepat lari, Kang!" sambil Sumo 
Banjir membuang kayunya dan tampak gugup 
sekali. 
"Tenang aja. Nggak perlu lari." 
"Tapi mereka orang-orang bengis dari 
Perguruan Musang Terbang! Kalau marah 
bisa bunuh siapa saja, Kang! Nanti kalau 
kita dibunuh, kita akan kehilangan nyawa, 
seperti Bocang!" 
Sumo Banjir belum tahu siapa Pandu 
Puber sebenarnya. Tak heran kalau ia 
cemas dan takut dicelakai Raga Paksa 
walau di situ ada Pandu Puber. Tapi 
melihat  Pandu Puber tenang-tenang saja 
ketika beradu wajah dengan tiga orang 
Perguruan Musang Terbang itu, Sumo Banjir 
merasa heran dan menganggap Pandu Puber 
sok jago. 
Batin anak itu berkata, "Wah, Kang 
Pandu ini agaknya memang orang sombong! 
Sok berani. Belum tahu kegalakan Raga 
Paksa sih. Sekali tampol bisa rengat 
wajah tampannya itu. Uuh... dasar orang 
bodoh! Diajak lari malah nyamperin musuh. 
Cari penyakit aja dia sih?!" 
Singkat cerita, Raga Paksa ingin 
menyiksa Sumo Banjir jika anak itu tidak 
mau membawa mereka ke kuburan si Iblis 
Banci. Pandu hanya berkata pelan, "Kalau 
nggak mau ya jangan dipaksa dong! Itu 
namanya pelanggaran  hak azasi manusia. 
Apa di perguruanmu nggak diajarkan 
bagaimana menghargai hak azasi manusia?" 
"Celeng sunat!" bentak Tampar Geni, 
galak. Matanya yang kecil dilebarkan 
melotot seperti sepasang kelereng bopak. 
Ia hampiri Pandu dengan menghardik lagi, 
"Kau berani-beraninya ngomong begitu 
kepada kami, apakah kau belum tahu siapa 
kami, hah?!" 
"Wah, napas jengkolnya ini yang 
baunya nggak tahan disedot...," pikir 
Pandu sambil melengos saat Tampar Geni 
membentak 'hah' tadi. Ia menepiskan 
hidungnya yang mancung untuk hilangkan 
bau jengkol dari mulut Tampar Geni. 
Setelah itu baru berkata kepada orang 
berambut botak tengahnya itu. 
"Kami tahu, kalian orang Perguruan 
Musang Terbang. Justru kami heran, 
mengapa kalian tidak bisa menghargai hak 
azasi manusia, sehingga mau menyiksa Sumo 
Banjir hanya untuk diantarkan ke kuburan 
si Iblis Banci saja? Itu kan kelewatan 
namanya, Oom!" 
"E, eh... masih berani  menasihati 
orangtua hah?! Nih, rasakan tapak 
tanganku yang bisa bikin matang telur 
dadar! Heaahh...!" 
Wuuuttt...!  
Tangan si Tampar Geni yang kondang 
bisa bikin hangus pohon itu berkelebat ke 
wajah Pandu Puber. Tapi dengan cekatan 
Pandu kelebatkan tangannya juga hingga 
tamparan tersebut tertangkis oleh  tangan 
kirinya. Plaakk...! Dan pada saat itu 
juga telapak tangan sang Pendekar Roman-
tis menyodok ke depan, tepat kenai dada 
lawannya yang gemuk.  
Buugh...! 
Wuusss...! Bruugh...! 
Semua mata melebar, walau tidak lebar 
sekali. Jelasnya, semua orang merasa 
heran dan kaget melihat tubuh gemuk Tapak 
Geni bisa terhempas bagai  terbang ke 
belakang saat disodok oleh tangan Pandu. 
Padahal sodokan tangan Pandu tidak tampak 
keras dan penuh kerahan tenaga. Hanya 
tampak biasa-biasa saja dan cepat. 
Sumo Banjir terheran-heran melihat 
tubuh gemuk itu bagaikan daun kering yang 
dihempaskan angin kencang. Jatuhnya 
sekitar lima tombak ke belakang. Bahkan 
tangan Tampar Geni yang terpental terbang 
itu sempat mengenai wajah Genjotpati tan-
pa disengaja. 
Plok! 
"Wadow...!" Genjotpati menjerit 
spontanitas. Tubuhnya yang gemuk dan 
berperut buncit itu melintir ke kiri, 
muter dua kali dan jatuh terpelanting 
membentur pohon. Wajah yang terkena 
benturan tangan temannya itu menjadi 
merah pertanda panas dan sakit. 
"O, rupanya bocah ganteng ini punya 
mainan juga? Hmm... boleh, boleh, 
boleh...," pikir Raga Paksa sambil 
manggut-manggut. 
Genjotpati bangkit dengan marah. 
Matanya yang lebar membelalak mendelik 
makin lebar seperti sepasang onde-onde 
mau lompat. Ia bergegas hampiri Pandu, 
tapi pemuda beranting satu itu tak mau 
pergi, malah berdiri dengan tenang. 
Menunggu kedatangan lawan. 
"Kau benar-benar anak monyet!" maki 
Genjotpati dalam jarak satu jangkauan di 
depan Pandu. "Kau buat wajahku jadi 
bengkak begini, hah?! Lihat... sakit nih! 
Sakiiit...!" sambil menuding wajahnya 
sendiri. Pandu Puber sempat-sempatnya 
nyengir. 
"Yang mengenai bukan aku, kok yang 
kena marah aku sih?!" 
"Iya, tapi ini gara-gara pukulanmu 
yang membuat Tampar Geni terbang dan 
membentur wajahku! Aku harus membalas 
padamu! Hiaat...!" 
Orang berambut ikal itu mengandalkan 
genjotannya. Makanya ia berjuluk 
Genjotpati, cita-citanya sekali genjot 
orang pasti mati. Maka tak heran jika ia 
segera lepaskan kepalan tinjunya ke wajah 
Pandu Puber. Kepalan itu cukup besar dan 
keras. Kabarnya bisa untuk memecahkan 
batu sebesar anak sapi. 
Wuuutt...! 
Tab...!  
Pandu Puber menangkap genggaman tinju 
lawannya dengan satu tangan. Genggaman 
itu bagai ingin diremas oleh tangan Pandu 
Puber. Hal itu cukup mencengangkan mata 
Sumo Banjir, bahkan mata Raga Paksa 
sendiri ikut terbelalak lebar. 
"Belum pernah ada yang bisa menangkap 
pukulan si Genjotpati selama ini. 
Biasanya  pukulan  itu menghancurkan benda 
apa saja yang dihantamnya. Tapi tulang 
tangan anak muda itu tidak menjadi remuk, 
dan bahkan ia kelihatan ingin meremukkan 
genggaman si Genjotpati. Alangkah 
hebatnya! Murid dari perguruan mana dia 
sebenarnya?!" 
Kecamuk batin Raga Paksa terhenti, 
berubah menjadi sentakan mengagetkan 
ketika ia melihat  wajah Genjotpati 
menyeringai kesakitan sambil memekik 
panjang. Terdengar pula suara tulang 
berderak.  
Krakk! 
"Waooow...!" pekik Genjotpati kelo-
jotan di tempat. Karena sakitnya maka ia 
pun  segera lepaskan pukulan tangan 
kirinya yang bertelapak tangan membuka. 
Wuuuttt..! Pandu menadah pukulan itu 
dengan tangan kanan membuka pula.  
Plaakkk...! Blaarr...! 
Ledakan itulah yang mengagetkan Raga 
Paksa dan Sumo Banjir. Kilatan cahaya 
merah yang memercik dari benturan dua 
telapak tangan itu menimbulkan gelombang 
hentak cukup kuat, sehingga Genjotpati 
terlempar ke belakang tak beraturan, lalu 
jatuh terkapar dalam jarak enam langkah 
dari tempatnya berdiri tadi, sedangkan 
Pandu Puber hanya tersentak mundur dua 
langkah dan tetap berdiri tegak. 
"Edan benar nih anak!" gumam Raga 
Paksa, lalu ia berseru kepada Genjotpati 
dan Tampar Geni, "Serang dia! Keroyok 
berdua!" 
Perintah itu seperti perintah seorang 
komandan yang harus dipatuhi anak 
buahnya. Maka kedua orang gemuk itu pun 
segera menyerang bersama dengan lompatan 
dari arah kanan-kiri. Tapi Pandu Puber 
segera sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya 
melayang ke atas pada saat kedua orang 
gemuk itu hendak menerjangnya. Dalam 
seketika itu, kedua kaki Pendekar 
Romantis menendang ke samping kanan-kiri 
secara bersamaan.  
Wuuutt...! Prookkk...! 
Lompatan Pandu yang sedikit lebih 
tinggi dari posisi layang kedua lawannya 
membuat kedua kakinya dapat menendang 
telak di wajah masing-masing lawan. 
Tendangan itu bertenaga dalam cukup 
besar, sehingga kedua orang gemuk yang 
terkena tendangannya terjungkir balik  di 
udara, kemudian saling jatuh seperti dua 
buah nangka busuk. 
Sumo Banjir yang melihat adegan itu 
dari balik pohon tempatnya bersembunyi, 
ternyata sejak tadi tak bisa kedipkan 
mata lagi akibat terkagum-kagum dengan 
kehebatan Pandu Puber. 
"Wow...! Hebat sekali?! Pantas Kang 
Pandu berani berhadapan dengan kedua 
orang gemuk itu, rupanya dia punya ilmu 
yang mengagumkan. Tapi jika melawan Raga 
Paksa apakah dia bisa menang?!" 
Melihat wajah kedua temannya menjadi 
bonyok, Raga Paksa mulai menggeram tak 
sabar. Kedua tangannya menggenggam kuat-
kuat. Otot di lengannya tampak mengeras 
dan bertonjolan. Sementara itu, Tampar 
Geni yang bocor hidungnya dan Genjotpati 
yang pecah bibirnya sudah mulai mencabut 
senjata masing-masing : kapak dan golok. 
Tetapi Raga Paksa memberi kode dengan 
gerakkan tangannya yang membuat kedua 
orang gemuk itu mundur, tak jadi 
menyerang dengan senjata. Sebab mereka 
merasa kalah tinggi tingkatannya dengan 
Raga  Paksa. Mereka percaya, jika Raga 
Paksa yang maju pasti  lawan dibuat 
tumbang dalam satu gebrakan. 
"Sudah waktunya kau menghadapiku, 
Bocah Konyol!" kata Raga Paksa dengan 
suara berat pertanda menahan kejengkelan 
hati. "Tapi sebelumnya mengakulah, dari 
perguruan mana kau sebenarnya? Siapa 
gurumu?" 
Pendekar Romantis merapikan rambut 
depannya dan tersenyum tenang. Setelah 
merapikan rambut, menggosokkan kedua 
telapak tangan bagaikan siap menghadapi 
pertarungan dengan lebih serius lagi. 
"Kau tak akan tahu nama perguruanku 
dan juga nama guruku, sebab aku tidak 
punya perguruan dan tidak punya guru!" 
"Mustahil kau tidak punya guru!" 
sentak Raga Paksa sudah sangat tak sabar. 
"Katakan, supaya aku puas menumbang-
kanmu!" 
"Kau memang pantas dinamakan Raga 
Paksa, karena kau suka memaksa orang 
dalam hal apa pun! Sekarang kalau aku tak 
sebutkan siapa guruku, lantas kau mau 
apa?!" 
Raga Paksa makin dibakar amarah 
mendengar nada ucapan si ganteng yang 
berlagak menantang itu. Namun orang 
berpakaian serba hitam itu masih 
penasaran sekali, karena ia sangat ingin 
tahu siapa guru Pandu Puber sebenarnya. 
Ia tak tahu bahwa Pandu Puber adalah anak 
dewa yang ilmunya merupakan ilmu titisan, 
mewaris dengan sendirinya pada saat ia 
lahir dari kandungan ibunya, (Kalau nggak 
percaya, baca deh serial Pendekar 
Romantis dalam kisah: "Hancurnya Samurai 
Cabul"-seru juga lho). 
"Sebutkan namamu, dan akan kukirim ke 
neraka nama itu secepatnya!" bentak Raga 
Paksa setelah tak berhasil mendesak Pandu 
untuk sebutkan nama gurunya. 
"Kalau nama, aku punya. Namaku Pandu 
Puber! Jelas? Puas?" 
"Lagakmu sudah kayak jagoan saja! 
Benci aku  melihatmu! Heaaah...!" Raga 
Paksa lepaskan pukulan tenaga dalam jarak 
jauh dari hentakkan kedua tangannya yang 
membentuk cakar ke depan. Pukulan tanpa 
sinar itu datang dengan tiba-tiba sekali, 
mengejutkan Pandu, sehingga Pendekar 
Romantis sedikit telat menangkis. 
Akibatnya ia terpental berjungkir balik 
ke belakang karena hempasan tenaga dalam 
lawan itu. 
Wuuuttt...! Brruusss...!  
Pandu Puber masuk ke semak-semak. 
Sebelum disusul Raga Paksa untuk diserang 
kembali, Pendekar Romantis sudah lompat 
dari kedalaman semak. Braasss...! 
Tubuhnya melenting ke atas bersalto satu 
kali. Gerakan itu disambut oleh  Raga 
Paksa dengan pukulan bersinar hijau dari 
telapak tangan kanan yang disentakkan ke 
depan.  
Wuuuttt...! Claappp...! Sinar hijau 
itu seperti gumpalan kapas yang melesat 
cepat ke tubuh Pandu Puber. 
Dalam keadaan bersalto, Pendekar 
Romantis masih sempat melihat kelebatan 
sinar hijau tersebut. Maka serta-merta ia 
lepaskan jurus 'Jempol Syahdu', berupa 
sinar putih perak yang melesat dari 
jempol kakinya. Sinar putih perak 
menghantam tepat sinar hijau dan ter-
jadilah dentuman menggelegar yang sempat 
mengguncangkan pepohonan di sekeliling 
mereka. 
Blegeerrr...! 
Gelombang hentak dari dentuman itu 
menyebarkan hawa panas dan kekuatan daya 
sentak cukup kuat. Dua pohon saja hampir 
tumbang karena daya sentak gelombang 
tersebut. Pohon itu hanya  retak dan 
terkelupas sebagian kulitnya. Sedangkan 
Raga Paksa sendiri terpelanting ke 
belakang dan jatuh tersungkur di depan 
Tampar Geni yang terbentur sebuah pohon 
dalam keadaan berdiri.  
Buuhg...! 
Genjotpati terguling-guling di tanah 
karena terkena hentakan agak kuat, 
posisinya waktu itu ada di dekat Raga 
Paksa, Pandu Puber sendiri terpental tak 
seberapa jauh, tapi ia masih mampu kuasai 
keseimbangannya sehingga masih mampu 
berdiri tegak saat daratkan kaki ke 
tanah. Matanya memandang tajam kepada 
lawan-lawannya.  Ia tersenyum tipis 
melihat Raga Paksa mengeluarkan  darah 
pada hidung dan telinganya. Sementara 
itu, Sumo Banjir tampak aman di 
persembunyiannya, tapi masih belum bisa 
kedipkan mata melihat kehebatan 
pertarungan tokoh-tokoh yang menurut 
anggapannya berilmu tinggi itu. 
"Baru sekarang ada orang berani 
melawan Raga Paksa dan bisa membuat Raga 
Paksa berdarah!" pikirnya dengan polos. 
"Kalau begitu, Kang Pandu ini sebenarnya 
orang sakti dong? Tapi kok nggak punya 
kumis dan jenggot panjang, ya?" 
Preman yang ditakuti penduduk desa 
itu membatin, "Dadaku panas sekali! 
Sialan, jurusnya mampu membuat jurusku 
pecah menjadi dua kali lipat lebih 
kekuatannya! Kalau kuteruskan, dadaku 
bisa jebol dan nyawaku tinggal seupil 
nih? Sebenarnya aku mau muntah, tapi... 
tahan dulu, ah! Gengsi kalau muntah di 
depan anak itu!" 
Genjotpati berkata pelan, "Bagaimana 
kalau kita serang bertiga memakai 
senjata?! Pasti dia tidak berkutik lagi!" 
Raga Paksa berpikir sebentar, lalu 
berkata dalam bisikan pula, 
"Sia-sia. Dia punya jurus yang sulit 
dicari kelemahannya. Gerakannya selalu 
bersifat mendadak dan tiba-tiba, diluar 
dugaan pikiran kita.... Sebaiknya, bawa 
kabur saja si Sumo Banjir itu dan kita 
paksa anak itu di tempat lain. Culik dia, 
aku dan Tampar Geni akan menghalangi 
langkah si pemuda setan itu!" 
"Baik! Akan kubawa kabur anak itu. 
Alihkan perhatian Pandu Puber agar 
matanya tidak mengawasi ke arah Sumo 
Banjir!" 
Raga Paksa segera dekati Tampar Geni 
dan membisikkan rencana tersebut. Tetapi 
mata Pandu mulai menaruh kecurigaan dan 
hatinya berkata pada diri sendiri, "Hati-
hati, dia mau gunakan siasat. Mungkin mau 
menyerang bersama-sama atau entah 
melakukan siasat apa? Kayaknya Raga Paksa 
membisikkan sesuatu kepada Tampar Geni." 
Sebentar kemudian terdengar suara 
Raga Paksa berseru lantang, 
"Anak tikus! Sudah tak ada waktu lagi 
buatmu. Kami tak akan main-main lagi. 
Sekarang tinggal giliran mencabut nyawamu 
yang sok usil  mau ikut campur urusan 
orang itu. Hiaaah...!" 
"Hiaaatt...!" Tampar Geni ikut 
berteriak sambil lepaskan jurus 
andalannya. Telapak tangannya dapat 
menyemburkan api yang bergulung-gulung 
menyerang Pandu, sedangkan telapak tangan 
Raga  Paksa keluarkan angin kencang, 
seakan mengobarkan  gumpalan apinya si 
Tampar Geni. Wooosss...! 
Jurus 'Inti Dewa' dilepaskan. 
Pendekar Romantis berwajah ganteng itu 
segera rapatkan kedua telapak tangannya 
di dada, lalu  disentakkan membuka ke 
depan secara bersamaan dengan kedua kaki 
merenggang rendah. Wuuutt...! Slaaapp ..! 
Sinar putih perak berukuran besar 
melesat dari kedua telapak tangan Pandu 
Puber. Sinar putih perak besar itu 
menghantam gulungan api bercampur angin 
kencang. Maka, menggelegarlah dentum 
tabrakan kedua kekuatan tersebut. 
Bleggeerrr...! 
Daya sentaknya lebih kuat dan lebih 
besar. Melebar ke berbagai penjuru. 
Menumbangkan Tampar Geni dan Raga Paksa 
hingga mereka terpelanting-pelanting 
saling berbenturan. Sedangkan Genjotpati 
yang sedang mendekati Sumo Banjir ingin 
menyambarnya juga terpental ke arah lain, 
kepalanya membentur pohon dengan sangat 
keras.  
Praakkk...! 
"Aaaaow...!" teriaknya  kesakitan. 
Kepala itu pun retak dan tak ayal  lagi 
kalau menjadi bocor. 
Sumo Banjir merasa ketakutan, sebab 
saat ia melihat Genjotpati mendekatinya, 
anak itu tahu kalau dirinya akan dibawa 
lari. Maka sebelum rencana itu terulang 
kembali, Sumo Banjir segera larikan diri 
tak peduli  lagi dengan ketiga orang 
Perguruan Musang Terbang. Karena tubuhnya 
sendiri terlempar tinggi saat terjadi 
ledakan besar tadi, tapi untung jatuh di 
semak-semak. 


"Tinggalkan tempat ini! Cepat, 
laporkan pada Guru!" teriak Raga Paksa, 
sehingga mereka bertiga berlarian 
menghindari Pandu Puber dalam keadaan 
berdarah. Pandu Puber sendiri menjadi 
tegang karena ia kehilangan Sumo Banjir. 
Ia pun segera lari mencari Sumo Banjir 
sambil memanggil-manggil, "Banjiiirr... 
Banjiiirr... Banjiiirr...!" 

Page  1