Wwwrrr... bruuk! Pohon itu
roboh, tapi keadaannya
sudah hangus dan berasap.
Sedangkan Sikat Neraka juga
roboh tersungkur menyusuri tanah
dengan wajahnya dan
berhenti di depan kaki Hantu
Congkak. Srruukk...! Deb!
Kepalanya ditahan oleh kaki
Hantu Congkak seupaya tidak
menabraknya. Pandu tersenyum
menahan geli melihat
Hantu Congkak bagai menangkap
bola menggelinding
dengan kakinya.
“Goblok! jangan serang fakai
jurus ‘Kelelawar Sawah’.
Serang dengan jurus ‘Cakar Garuk
Gatal’! Dia tak akan bisa
menghindarinya!”
“Iya. Tapi kakimu jangan
langsung injak kepalaku dong!
Malu dilihat anak muda itu!”
gerutu Sikat Neraka yang
wajahnya menjadi kotor karena
nyerosot di tanah. Untung
bibirnya hanya somplak sedikit.
Perih juga sih, tapi masih
bisa dicuekin oleh Sikat Neraka.
Wuuttt...! Jleg...! Sikat Neraka
yang berbaju warna meah
itu tahu-tahu berdiri dalam
jarak tiga langkah dari Pandu
Puber. Matanya memandang ganas.
Tubuhnya merendah,
kakinya merenggang ke belakang,
tangannya diangkat dua-
duanya membentuk cakar maut.
Itulah sistem kuda-kuda
dari jurus ‘Cakar Garuk Gatal’
yang dikatakan Hantu
Congkak tadi.
“Heeaaat...!” Sikat Neraka
segera bergerak melompat
sambil kedua tangannya
mencakar-cakar dengan amat
cepat. Nyaris tak bisa dilihat
lagi oleh mata manusia biasa.
Pandu Puber sempat bingung
menangkis dan meng-
hidarinya. Gerakan mencakar itu
hampir saja kenai wajah
Pandu kalau wajah itu tak segera
ditarik muncur secara
refleks.
Wuuttt, wuutt...!
“Kukunya pasti beracun ganas.
Aku harus meng-
hindarinya!” pikir Pandu, sambil
segera menjatuhkan diri,
lalu kakinya menyambar kaki
lawan dengan kerasnya.
Wuuttt…! Prookk...! terdengar
mata kaki itu berada dengan
tulang kakinya Pandu Puber.
“Aaaooww...!” teriak Sikat
Neraka sambil hentikan
serangan dan melompat mundur.
Tapi lompatannya terlalu
keras sehingga menabrak Hantu
Congkak.
Bruss...!
“Heengk...!” Hantu Congkak
mendelik karena perutnya
ketiban tubuh Sikat Neraka dalam
keadaan dirinya
terkapar di tanah.
“Babi ganjen kau! Huuh...!”
Hantu Congkak sentakkan
tubuh Sikat Neraka dengan kedua
tangannya. Tubuh itu
melayang tinggi karena
disentakkan dengan tenaga dalam.
Wuuutt...!
“Waaaooo...!” teriak Sikat
Neraka saat melayang naik
dan melayang turun tanpa bisa
menjaga keseimbangan
badan. Hampir saja ia menjatuhi
tubuh Hantu Congkak lagi
kalau sang Hantu Congkak tidak
segera berguling-guling ke
kiri tiga kali. Dan tubuh Sikat
Neraka pun jatuh terhempas
dengan kuat. Buaakk...!
“Mati akuuu...!” rintih Sikat
Neraka secara spontan saat
terhempas. Tulang tubuhnya
bagaikan remuk. Sedangkan
kakinya yang kiri menjadi
bengkak karena mata kakinya
pecah akibat sapuan kaki Pandu
Puber tadi. Sikat Neraka
mengerang-erang bagaikan anak
manja supaya ditolong
kakak seperguruannya. Tapi sang
kakak perguruan malah
membentak.
“Bangun, Tolol!”
Buuhg...! Tongkatnya digebukkan
asal-asalan. Tepat
kenai lambung. Sikat Neraka
makin mengerang kesakitan.
“Kamu itu tokoh sakti afa babi
dikebiri? Tarung kok
ngeringkuk begitu?!” omel Hantu
Congkak dengan mata
congkaknya. “Fercuma funya nama
menakutkan orang
kalau cuma musuh anak kencur
saja keok begitu. Malu-
maluin! Ayo, keluarkan jurus
mautmu. Jangan merasa
sayang. Fakai senjata jurus
maut, kalau habis bisa beli
lagi!”
“Kakiku...uuuhh...! Kakiku...!”
“Kenafa dengan kakimu? Minta
tolong?!” sang kakak
perguruan agaknya tak mau
memanjakan sang adik
perguruan. “Bangun! Ayo,
bangun...!” punggung sang adik
perguruan disodok-sodok dengan
tongkat. “Salurkan hawa
murni ke kakimu biar sakitnya
berkurang. Uuh...fayah kau
ini!”
Sikat Neraka tiba-tiba Mayat Melambaiengejang,
lalu
sekujur tubuhnya gemetar. Pandu
Puber memperhatikan
dengan kedua tangan bersidekap
di dada. Dia tetap tenang
dan mempelajari tiap gerakan
serta ucapan lawan.
“Terus...! Terus...! Salurkan
hawa murni ke betis dulu.
Terus, terus...Kiri, kiri dikit.
Ya cukuf!” seru Hantu Congkak
mirip tukang parkir.
Sikat Neraka segera bangkit
kembali. Masih terasa linu
kakinya, tapi ia langsung melompat dengan ganas dengan
kedua tangan terjulur ke depan.
“Heaaah...!”
Dari kedua tangan keluar sinar
kuning yang menyatu
dan membentuk seperti tombak
memanjang menghantam
tubuh Pandu Puber. Pemuda
ganteng itu hanya melompat
menghidar sinar tersebut. tetapi
telapak kakinya mengeras
dan menukik ke bawah. Dari ujung
jempol kaki kanan
keluar sinar putih perak sebesar
lidi. Claaap...! sinar itu
tepat mengenai sinar kuning
mirip tombakitu. Craas...!
Blegaarrr...!
Tubuh Sikat Neraka yang sedang
melayang gaya
Superman itu terpental balik.
Melayang-layang di udara
dan menghantam pohon yang sedang
bergetar skibat
ledakan dahsyat itu. Braak...!
Kkrrrekk... bruukk! Pohon itu
tumbang seketika. Tubuh Sikat
Neraka terkapar dalam
keadaan memar membiru dari
kepala sampai kaki.
Rupanya gelombang ledakan tadi
memancarkan hawa
panas yang cukup tinggi,
sehingga membuat tubuh si baju
merah itu matang mendadak.
Sementara tubuh Pandu
Puber sendiri terpental ke atas
dan nyangsang di dahan
pohon. Tapi keadaannya tak
parah. Hanya kulitnya menjadi
merah sedikit karena hawa panas
tadi. Sedangkan Hantu
Congkak tetap berdiri di tempat
dengan tangan kiri tegak di
dada, tongkat tergenggam dan
mata terpejam. Kejap
berikutnya ia membuka mata dan
menghembuskan napas
pelan-pelan.
Rupanya Hantu Congkak tadi
segera salurkan kekuatan
hawa dinginnya merembes keluar
melalui tiap lubang pori-
pori. Hawa dinginnya itu yang
digunakan melawan
gelombang hawa panas, sehingga
ia tidak terbakar sedikit-
pun. Rasa panaspun tidak
dirasakannya sedikitpun. Hanya
dia yang masih tetap segar dan
tidak bergeming dari
tempatnya. Tentunya hal itu
dikarenakan ia berilmu tinggi,
lebih tinggi dari Sikat Neraka.
“Wow...! Jurus apa yang tadi
keluar dari ujung jempol
kakiku? Hmm... sebaiknya
kunamakan jurus ‘Jempol
Syahdu’ saja. Biar mudah
kuingat!” pikir Pandu Puber
sambil berusaha bangkit dan
melompat turun dari pohon.
Wuutt...!
Tahu-tahu ia sudah berdiri di
depanHantu Congkak
dalam jarak lima langkah ke
depan. Si Hantu Congkak
menatap dengan angkuh. Tapi
kemudian melirik adik per-
guruannya yang tak berkutik,
hanya terdengar erangannya
yang samar-samar. Hantu Congkak
kembali me-mandang
Pandu Puber sambil berkata
menggeram,
“Siafa gurumu sebenarnya, Jadah
Goreng?!”
“Aku tak punya guru. Mau apa?”
tantang Pandu Puber
rada tengil.
“Usiamu cukuf muda, tapi ilmumu
tinggi juga! Kau bisa
buat adik ferguruanku tumbang,
itu berarti kau funya ilmu
tidak sembarangan, Anak
Singkong!”
“Yang jelas aku tidak membuka
perkara! Dia yang
memulai!”
“Ya, ya....!” Hantu Congkak
manggut-manggut. “Tapi
kau jangan bangga dulu. Aku
kakak ferguruannya akan
membalas kekalahannya. Hati-hati
melawanku, Nak. Hantu
Congkak tak fernah kalah dalam
fertarungan dengan siafa
fun.”
“Aku tidak funya fersoalan
fadamu. jangan fancing
kekurang ajranku, Kek!”
“Jangan ikut-ikutan ngomong
begitu!” bentak Hantu
Congkak yang merasa tersinggung
gaya bicaranya ditirukan
Pandu Puber. Anak muda itu hanya
senyum-senyum kecil
saja. Ia membiarkan Hantu
Congkak maju dua langkah,
lalu diam berdiri dengan tongkat
disentakkan ke tanah.
Jluug...!
Ternyata sentakan tongkat ke
tanah menghadirkan
sinar merah melesat dari dalam
tanah ke tubuh Pandu
Puber. Claapp...! Sinar itu
seperti panah. Cepat sekali. tapi
Pandu Puber punya jurus ‘Angin
Jantan’ dari ayahnya. Ia
mampu bergerak melebihi
kecepatan biasan sinar merah
itu. Zlaap...! Dan sinar merah
dari tanah akhirnya
menghantam dahan pohon.
Blaarr....!
Dahan pohon itu hancur seketika.
Serpihannya
menyebar kemana-mana. Hantu
Congkak terbengong
batinnya. “Gila! Dia bisa
menghindari jurus ‘Lintah Bumi’-
ku? Padahal selama ini jurus itu
tak pernah ada yang bisa
menghindarinya. kalau yang
pernah menangkisnya
memang ada, tapi biasanya jebol
pula pertahanannya.
Cuma, yang bisa menghindari
sinar itu baru bocah songong
ini! Hebat sekali dia?! Coba
dengan jurus lainnya yang tak
penah gagal kugunakan
melumpuhkan lawan, apa dia juga
bisa menghadapinya?”
Hantu Congkak semakin penasaran.
Tongkatnya segear
berkelebat, berdiri tegak tanpa
bungkuk sedikitpun.
Tongkat itu berkelebat memutari
kepala. Lalu tiba-tiba
kakinya ditarik ke belakang
merendah, tongkatnya
dihantamkan ke depan, sejajar
dengan lehernya. Wuutt...!
Slaapp...! Sinar hijau menyembur
dari ujung kepala tongkat
berbentuk kepala monyet itu.
sinar hijau itu menyebar
bagaikan ratusan jarum
kecil-kecil. Sifatnya menyergap
lawan.
Tetapi Pandu Puber tiba-tiba
bergerak sendiri tanpa
kehendak pikirannya. Ia
rendahkan kaki, rapatkan telapak
tangan, dan telapak tangan itu
menyodok ke depan dalam
keadaan terbuka ujungnya.
Woosss...! Ujung telapak
tangan seperti mulut naga yang
menyemburkan api ber-
kobar besar. Api itu membakar
sinar hijau berbentuk
seperti ratusan jarum.
Zrrraaakkk...! Suara aneh
terdengar saat kobaran api
membakar sinar itu. Kejap
kemudian terdengar lagi bunyi
ledakan menggelegar lebih
dahsyat dari yang tadi.
Bleggaarr...!
Bumi bagaika dilanda gempa dari
kedalaman dasarnya.
Pohon-pohon tumbang ke sana-sini
berserakan. Hempasan
gelombang dari daya ledak
dahsyat itu membuat alam
sekelilingnya menjadi porak
poranda dalam waktu sekejap.
Tubuh Pandu Puber terpental dan
terguling-guling masuk
ke semak belukar. Srook...! Tapi
tubuh Hantu Congkak
terlempar terbang ke belakang,
kepalanya sempat
membentur dahan pohon yang mau
tumbang. Duuhg...!
Dahan itu patah seketika. Tubuh
Hantu Congkak jatuh
dalam keadaan mata
terbeliak-beliak bagai orang sedang
sekarat. Bruukk...!
“Setan alas! Badanku dibuat
remuk olehnya!” geram
hati Hantu Congkak. Mulutnya
melelehkan darah, demikian
pula hidungnya. Darah itu kental
warna hitam, itu pertanda
ludahnya sudah dicampuri luka
dalam yang berbahaya.
menyadari hal itu, Hantu Congkak
yang masih bisa berdiri
walau tertatih-tatih itu segear
memungut tongkatnya
kembali.
Pandu Puber keluar dari semak
belukar. Kepalanya
dikibaskan karena merasa sedikit
pusing. Tapi tak ada luka
luar maupun luka dalam pada
dirinya. Ia hanya tertegun
sejenak membayangkan gerakan
yang dilakukan tanpa
kesadarannya itu. Hatinya segera
membatin,
“Jurus edan apa lagi itu tadi?
Aku tak tahu namanya!
Hmm... tapi supaya mudah
kuingat, sebaiknya kunamakan
jurus ‘Naga Bangkis’. Ya, itu
lebih cocok!”
Hantu Congkak masih penasaran. Dia
ingin membalas
lukanya. Maka jurus maut dan
aneh berikutnya digunakan
menyerang Pandu Puber.
Tongkatnya kali ini dilemparkan.
Wuuttt...! Tongkat itu melayang
cepat dalam keadaan
berdiri. Dari mulut kepala
monyet di ujung tongkat keluar
sinar warna warni mengarah
kepada Pandu Puber. Sinar itu
berkelok-kelok dan gerakannya
sangat liar, bagaikan tak
tentu arah. Tapi pada dasarnya
tertuju ke arah Pandu.
Pemuda tampan itu sempat
bergerak bingung
menghindarinya. Dam diluar
dugaan, tiba-tiba segumpal
asap turun dari atas pohon.
Suuut...! Wuusss...! Asap putih
itu bagaikan membentengi Pandu
Puber dari jarak dua
langkah di depannya. Sinar
warna-warni dari mulut ukiran
monyet itu masuk ke dalam asap
tebal setinggi manusia,
bahkan lebih. Tongkat tersebut
juga ikut tertelan ke dalam
gumpalan asap putih tebal.
Beberapa saat kemudian terdengar
suara gaduh di
dalam gumpalan asap. Suara
letupan bercampur dengan
suara derak kayu patah.
Tar, krak, tuus, krak, prak,
taar....turr....krak, prak, dor,
der, dur!
Lalu hening. Kurang dari
sekedipan mata, tiba-tiba
sinarwarna-warni itu bergabung
dengan patahan kayu yang
membentuk bulatan bola, dan
terlempar dari daalm
gumpalan asap tersebut ke arah
Hantu Congkak.
Wuuukk...!
Pandu Puber yang merasa heran
tujuh turunan itu
segera melompat ke samping asap.
Ia mencoba pandangi
asap itu untuk menembus
kedalamannya tapi tidak
berhasil melihat apa-apa.
Sedangkan Hantu Congkak
segera lompat ke atas.
Wuuutt...! Dan bola yang terbuat
dari gumpalan sinar warna-warni
serta patahan tongkat
hitamnya itu menghantam sebuah
pohon besar yang tadi
tak jadi tumbang.
Blaapp...!
Suara letusan sangat pelan.
cahaya warna-warni
terpancar lebar dan cepat hilang
saat menyentuh pohon.
Tubuh Hantu Congkak turun dari
udara. Kaget melihat
pohon yang terhantam bola aneh
itu lenyap tak berbekas.
Sisa akarnya pun tak ada. Yang
tertinggal hanya bentuk
tanah acak-acakan bagaikan pohon
tadi tercabut dengan
raksasa.
“Edan lagi ilmunya?!” gumam
Hantu Congkak. “Ilmu
asap apa yang dipakai anak setan
itu?! Waah...tongkatku?!
Celaka! Tongkatku menjadi
serpihan kecil-kecil begini...?!”
Hantu Congkak memperhatikan
serpihan kayu hitam yang
ada disekitar bekas pohon
berdiri. Bulu kuduknya jadi
merinding, tubuh tuanya pun
bergidik.
“Kalau kulayani, bisa-bisa aku
lenyap tak berbekas
seperti pohon itu! Sebaiknya aku
kabur saja, mumpung tak
ada orang yang melihat
kekalahanku.”
Hantu Congkak segera hempiri
tubuh Sikat Neraka. Ia
bermaksud membawa lari tubuh
adik perguruannya itu.
Tapi setelah diperiksanya
sejenak, ternyata Sikat Neraka
sudah malas bernapas alias mati.
Hantu Congkak makin
panik, akhirnya cepat-cepat
pergi dengan gerakannya yang
mirip menghilang dari pandangan
mata itu. Slaap...! Bras,
bras, bras....! Suara tubuh
Hantu Congkak berlari cepat
menerjang semak belukan.
Pandu Puber ingin mengejarnya,
namun tiba-tiba
terdengar suara berseru,
“Biarkan ia lari! Ia pasti kapok
berhadapan denganmu!”
Pemuda tampan berpaling ke
belakang untuk
memandang si pemilik suara merdu
itu. Dan mata pemuda
itu terpana beberapa saat,
karena yang dilihatnya adalah
seorang wanita muda cantik
jelita. Pakaiannya serba putih,
namun mempunyai hiasan bunga
mawar kecil terselip di
sela gundukan dadanya. Bunga itu
bunga sungguhan.
Masih segar dan menyebarkan bau
harum mawar yang
agak berbeda dengan mawar
biasanya. Aromanya lebih
lembut dan melenakankalbu,
seakan menciptakan sejuta
keindahan di dalam hati.
Wanita muda itu rambutnya
disanggul rapi, tapi
sebagian rambut meriap ke
samping. Tak banyak, tapi
kelihatan indah sekali. Bagaikan
seni rias rambut yang
biasa dipakai oleh para putri
raja. Wajah wanita cantik itu
tiada duanya. Baru sekarang
Pandu Puber melihat
kecantikan yang begitu agung dan
berkharisma tinggi.
Hidungnya langsing mancung,
bibirnya berbentuk indah
sekali, tampak basah seperti
habis berenang. Tapi segar
dan menggairahkan.
Wanita itu sunggingkan senyum
kecil. Ada lesung
pipitnya yang menambah keindahan
raut wajah berkulit
putih mulus itu. Pandu Puber
sempat gemetar ketika
wanita itu melangkah pelan
meninggalkan tempatnya
berdiri yang tadi dipakai
berdiam oleh gumpalan asap
putih. Rupanya gadis itulah yang
tadi berbentuk gumpalan
asap putih itu.
Dalam jarak empat langkah dari
Pandu, gadis itu
hentikan langkah. Pandu Puber
masih belum bisa bicara
karena gadis itulah yang
beberapa hari ini ditemuinya di
alam mimpi. Wajahnya,
pakaiannya, bunga mawarnya,
persis semua dengan yang muncul
di alam mimpi Pandu.
“Sekarang kita bertemu bukan di
dalam mimpi,” ucap
gadis itu bersuara lembut dan
merdu.
“Dian...Ayu... Dayen...?” ucap
Pandu Puber terpatah-
patah karena deg-degan. Lidahnya
sukar sekali digerakkan.
Ia segera menelan ludah, lalu
segala yang di mulut menjadi
lemas, kecuali giginya. Detak
jantungnya tak sekeas
sebelum menelan ludah. Tapi
mtanya masih memandang
penuh rasa kagum dan amat
terpesona.
“Kaukah.....Bidadari Dian Ayu
Dayen?!” tanya Pandu
Puber.
“Tak salah dugaanmu, Pandu.
Akulah sang penguasa
kecantikan itu! Aku hanya ingin
sampaikan pesan padamu,
jangan nakal seperti bapakmu!
Kalau kau nakal kau tak
bisa tinggal di kayangan
bersamaku.”
“Aku tak akan seperti Ayah. Aku
bukan pemuda mata
keranjang. Memang hidupku ingin
kucurahkan untuk
mengabdi kepada hati seorang
wanita, tapi wanita itu tak
lain adalah dirimu, Dian Ayu!”
sambil Pandu Puber
mendekat pelan-pelan. matanya
memandang dalam
kelembutan. Suaranya sedikit
mendesah bernada
romantis.
“Tak kubiarkan kau pergi
meninggalkan sukmaku, Dian
Ayu! Aku tak mau mati dalam
bayangan pelukanmu.”
Dian Ayu Dayen mundur dengan
senyum. “Rayuanmu
romantis sekali, Kasih. Tapi
belum saatnya kita bertemu
dalam satu genggaman. Carilah
aku dalam kecantikan-
kecantikan yang menyebar di
sekelilingmu. Aku ada di
antara mereka. Cabutlah bunga
mawar ini dari dadaku, dan
kau akan kurengut dalam
pelukanku selama-lamanya.”
Setelah berkata demikian, Dian
Ayu Dayen mengangkat
tangan kanannya dalam keadaan
telapak tangan terbuka.
Tangan terangkat lurus, dan seberkas
sinar melesat dari
tengah telapak tangan. Sinar
merah itu melesat ke langit,
lalu menyebar menjadi percikan
bunga api yang
membentuk setangkai bunga mawar indah. Syaarrpp...!
Pandu Puber terpesona melihat
keindahan bentuk
bunga mawar di langit dalam
susunan tata cahaya merah.
Matanya tak berkedip memandang
ke sana. Namun ketika
cahaya berbentuk bunga mawar itu
lenyap, Pandu Puber
kehilangan seraut wajah cantik.
Dian Ayu Dayen lenyap
bagai ditelan bumi. Sang
bidadari pergi tinggalkan dirinya.
Hanya semerbak aroma mawar
lembut yang tercium dan
membekas di lubang hidung Pandu
Puber.
“Dian...?! Dian Ayuuu...!”
panggilnya sambil
memandang ke sana-sini. Yang
dicari tak ada, bahkan
menjawabpun tidak. Pandu Puber
mengeluh kecewa. Ia
duduk melemas di atas sebatang
kayu pohon yang tadi
tumbang itu.
“Kemana perginya?” pikir Pandu
Puber. “Ke mana aku
harus mencarinya? Oh, bunga
mawar itu...ya, aku harus
bisa mencabut bunga mawar di
dadanya, agar aku jatuh ke
dalam pelukannya. Oh, Dian
Ayu.... ke mana aku harus
mencarimu, Sayang....?!”
***
------------------------------------------------------------------------------
TUJUH
------------------------------------------------------------------------------
UCUK dicinta ulampun tiba.
begitulah pepatah yang
serasi untuk nasib Pandu Puber
yang datang ke
koraja untuk temui Lila
Anggraeni. Gadis cantik itu
ada di depan rumahnya yang mewah
bagai istana kecil.
Maklum rumah saudagar kaya,
bisnisnya ke mana-mana,
kalau nggak mewah sih
kebangetan. Rumah itu mem-
punyai pintu gerbang sendiri
dari terali besi anti karat
warna putih mengkilap. Waktu itu
sang gadis sdang berada
di luar gerbang. Bukan
semata-mata ingin mejeng, tapi
agaknya ia punya alasan
tersendiri. Seperti ada yang di-
tunggu. Pandu-kah yang ditunggu?
Oh, bukan. Ternyata yang
ditunggu seekor kuda. Kuda
putih berjambul lebat dan halus,
dituntun oleh seorang
pelayan pengurus kuda. Pelayan
dan kuda muncul dari
samping halaman rumah mewah itu.
Ada bungkusan yang
diikut sertakan di samping
pelana kuda. Wah, kayaknya
cewek itu mau kabur dari rumah.
Wajahnya sendu, bicara
dengan palayannya pelan sekali.
Bahkan sempat salaman
dengan pelayannya sebelum naik
ke punggung kuda.
Pandu Puber memperhatikan dari
sisi tersembunyi. Ia
merasa heran melihat suasana
yang tak beres itu. Maka ia
segera muncul dari balik warung
nasi yang mirip gardu
listrik itu. Pandu Puber datang
dari arah depan kuda. Sang
kuda mulai berjalan pelan, sang
gadis lambaikan tangan
kepada pelayannya. Sang pelayan
buru-buru masuk ke
dalam pagar tembok tinggi itu.
Sang gadis bermaksud
memacu kudanya agar cepat
tinggalkan tempat.
Tentu saja Lila Anggraeni kaget
melihat Pandu Puber
sedang berjalan di depannya
menuju ke arahnya. Kaget itu
membuat senyum ceria Lila
Anggraeni mekar bak jamur di
musim hujan. Sinar matanya
berbinar-binar seperti
petromak penuh minyak.
Jantungnya berdetak-detak bagai
P
irama beduk menjelang lebaran.
“Ikutlah aku...! Cepat, ikutlah
aku...!” katanya tergesa-
gesa. Pandu Puber agak gugup.
Kuda melangkah cepat,
Pandu Puber terpaksa
berlari-lari mengikuti dari samping.
“Ada apa? Kenapa kau tampak
gugup?”
“Ikutlah aku! Kita bicara di
tempat sepi. Ayo...”
“Iya, tapi...tapi masak aku lari
terus sih?”
“Lompatlah!”
“Lompat ke mana? Ke jurang?”
sentak Pandu agak
keki.
Kudapun segera dihentikan
setelah Lila Anggraeni
sadar bahwa larinya sang kuda
terlalu cepat. Pandu segera
naik di belakang Lila Anggraeni,
lalu mereka melesat pergi
bersama dalam iringan musik
sepatu kuda.
Tuk, tik, tak, tik, tuk, tik,
tak, tik, tuk...! Suara sepatu
kuda.
“Aku harus pergi! Harus minggat
dari rumah!” kata Lila
Anggraeni dengan wajah duka dan
hampir menangis.
Mereka ada di lembah yang teduh.
Pandu cepat-cepat
mengingatkan gadis itu.
“Awas, jangan menangis. Aku tak
mau kalau kau
menangis. Aku akan lemas seperti
dulu lagi.”
“Tapi hatiku sedih!”
“Sedih boleh, tapi jangan
menangis!” kata Pandu Puber
tegas-tegas.
Kuda ditambatkan di bawah pohon
tak jauh dari
mereka. Lila Anggraeni bersandar
di pohon, satu kakinya
ditekuk, menempel pohon. Ia
menunduk dalam duka.
Pandu Puber ada di sampingnya.
Satu tangannya
disanggakan ke pohon itu juga.
Lalu dengan nada romantis
pemuda tampan itu berkata
“Kau boleh sedih, tapi harus
punya alasan. Kau boleh
pergi dari rumah, tapi juga
harus punya alasan. Sama
halnya kau mninggalkan hati
seseorang, harus punya
alasan yang kuat. Jangan pergi
begitu saja, nanti sekeping
hati yang kau tinggalkan akan
hancur selembut tepung
terigu.”
“Aku memang punya alasan kuat.
Dan...ah, untunglah
kau datang. Hatiku sedikit
terhibur oleh kedatanganmu,
Pandu.”
“Tak ada penghibur hati wanita
secantik kau kecuali
kehadiranku.”
Pandu Puber mulai ‘menggombal’
di samping telinga
Lila Anggraeni. sang gadis
terbuai, cuping hidungnya
kembang kempis menikmati bunga
indah di hati. Ia diam
saja ketika dagunya dicubit
Pandu. Ia mau tersenyum
ketika Pandu pamerkan
senyumannya yang menjerat hati
itu.
“Ada persoalan apa, Sayang?”
tanya Pandu kia
romantis.
“Ada seseorang ingin datang
untuk melamarku!”
“Oh...!” Pandu Puber berlagak
kaget.
“Ayahku akan menerimanya. Aku
sudah menolak, tapi
ayahku tetap mengharuskan aku
kawin dengan orang itu.
Aku benci! Benci... sakali!”
Buk, buk, buk...! Dada Pandu
dipukul-pukul gadis itu.
Pemuda itu diam saja. Tapi
akhirnya terbatuk-batuk karena
pukulan tadi. dalam hatinya
berkata “Benci sama ayahnya
kok yang remuk dadaku?”
Lila Anggraeni berkata sambil
mulutnya bergerak-gerak
lancip, mirip pinsil alis. Pandu
memperhatikan dengan
gemas. Ingin meremas mesra bibir
itu.
“Sekarang ayahku sedang
menjemput tamu itu di
pantai. Kupikir, daripada aku
nantinya menderita tekanan
batin dapat suami yang tidak
kucintai, lebih baik aku pergi
dari rumah. Minggat ke mana
saja.”
“Kau tinggalkan alamat nggak
untuk ayahmu nanti?”
“Minggat kok pakai ninggalin
alamat?! Itu namanya
ngungsi! Bukan minggat!”
Pandu Puber tertawa, sengaja
memancing suasana
agar tak terlalu tegang.
“Kau pernah bertemu dengan
lelaki itu?”
“Pernah, ketika aku ikut Ayah
berlayar membawa
rempah-rempah.”
“Ganteng?”
“Ahh...ya gitu deh!” Lila
Anggraeni cemberut.
“Sama aku ganteng mana?”
“Mana ada lelaki yang lebih
ganteng darimu?” Lila
Anggraeni berlagak
bersungut-sungut. “Aku bertemu
dengan pria itu ketika ia disewa
Ayah untuk menjadi
pengawal perjalanan. Karena Ayah
takut dibajak oleh
orang-orangnya Sikat Neraka.
Rupanya disitulah pria itu
jatuh hati padaku. Ia
mengirimkan utusan untuk
mengantarkan surat lamaran. Lalu
ayahku menerimanya
tanpa persetujuan denganku lebih
dulu.”
“Dia anak orang kaya?”
“Ah, nggak seberapa kaya!” jawab
gadis itu
meremehkan sang pria yang mau
dikawinkan dengannya
itu. “Buatku kaya atau miskin
sama saja, yang penting hati
saling mencinta dan mau
sehidup-semati. Itu sudah cukup
bagiku.”
“Kau memang gadis yang mulia,
Lila. Kebeningan
hatimu, serasi dengan kecantikan
wajahmu. Tak ada gadis
semulia hatimu di dunia ini.”
“Betulkah?” Lila Anggraeni
menatap lembut.
“Aku berani bertaruh potong
telinga panci, tak ada
gadis semulia hatimu, yang bisa
memandang cinta sebagai
keagunngan hidup, bukan sarana
pemburu harta.”
“Pandu, kenapa baru sekarang
kudengar kata-katamu
itu?” bisik Lila Anggraeni
pelan. Tangan gadis itu
merapikan baju Pandu. Jemari
lentiknya menyentuh-
nyentuh permukaan dada bertato
mawar. Ia berkata lirih
lagi, penuh ungkapan jiwa.
“Kalau saja orang yang akan
melemarku sepertimu,
aku tak akan kabur dari rumah.
Aku akan diam menunggu
dan menyiapkan gaun secantik
mungkin.”
Mata Pandu Puber begitu bening
menembus kelopak
cinta yang diharapkan Lila
Anggraeni. Sang gadis sendiri
tak mau berhenti menikmati
keteduhan di mata si tampan
beranting satu itu. Lalu, ia
memberi isyarat dengan
redupkan mata. Pandu mengerti
maknanya. Bibir yang
merekah itu segera dikecupnya
pelan-pelan.
Ceess...!
Sekujur tubuh Lila Anggraeni
terasa dialiri setrum yang
menerbangkan khayalannya jauh di
awang-awang. Ia
biarkan bibirnya dilumat dengan
sentuhan pelan sekali.
Bahkan Lila Anggraeni semakin
merapatkan badan dan
memeluk pemuda tampan itu
erat-erat. Seakan ia ingin
menenggelamkan seluruh tubuhnya
ke badan Pandu
Puber.
Sayang sekali Pandu Puber segera
melepas
kecupannya dengan gerakan pelan.
Meski bibir itu telah
terpisah, Lila Anggraeni masih
merasa bagai dilumat
dengan lembut. Matanya masih
terpejam mesra. Ketika
napas hangat Pandu terasa
menjauh, barulah Lila
Anggraeni membuka matanya
pelan-pelan. Bibir itu ber-
gerak-gerak mengucapkan kata
berbisik,
“Pandu, bawalah aku lari. Kemana
pun kau pergi,
bawalah aku serta.....”
“Itu bukan cara terbaik.”
“Lalu apa menurutmu cara yang
terbaik untuk kita?”
“Aku akan menemui ayahmu.”
“Jangan!” Lila Anggraeni
tersentak tegang. Pelukanpun
terlepaskan.
“Mengapa takut?”
“Ayahku akan marah besar padamu.
Selain itu, kalau
kau bertemu dengan orang yang melamarku,
kau bisa
dibunuhnya. Aku tak mau kau
mati, Pandu.”
“Aku juga tak mau,” balas Pandu.
“Tapi barangkali,
ayahmu perlu kuajak bicara empat
mata agar terbuka
pikirannya tentang cinta.”
Lila Anggraeni menghempaskan
mapas lemas. “Kurasa
itu jalan yang terburuk Pandu.
Ayahku sudah telanjur silau
oleh nama besar calon suamiku
itu.”
Mulut sang gadis terbungkam
sejenak. Ia termenung,
namun sebentar kemudian
terdengar suaranya lagi,
“Atau...mungkin ayahku takut
menolak lamaran orang
itu. Aku sendiri juga takut
kalau menolaknya secara
langsung, bisa-bisa aku
ditelanjangi di depan umum.
Dia...licik dan jahat menurut
pandanganku.”
“Bangsawankah dia?”
“Ngakunya sih bangsawan. Entah
kenyataannya,
mungkin saja bangkotan! yang
jelas ia orang kesohor dari
Tanah Sakura.”
Pandu mulai terperanjat. “Siapa
namanya?!” sergahnya
bersemangat.
“Gelarnya saja Pendekar Samurai
Cabul. Nama aslinya
Shoguwara!”
“Gila!” sentak Pandu dengan mata
melotot.
“Bukan. Dia bukan orang gila.
Tapi entah juga kalau
Shoguwara itu artinya gila. Aku
tak tahu bahasa tempatnya
sih.”
“Maksudku, peristiwa ini
peristiwa yang gila bagi
diriku.”
“Jadi... kau sekarang punya
penyakit gila?” kata Lila
Anggraeni dengan polosnya. Pandu
Puber sempat jengkel
mendengar kebodohan gadis itu.
“Aku datang menemuimu hari ini
sengaja untuk pamit
padamu.”
“Pamit?”
“Aku akan pergi ke Tahan Sakura
mencari Pendekar
Samurai Cabul. Tak tahunya
justru orang itulah yang akan
datang melamarmu. Itukan gila
namanya? Gila sekali,
kan?”
“Iy...iya sih! Samurai itu
memang gila. Tapi...”
“Aku sengaja mau menemuinya di
Tanah Sakura untuk
menantangnya bertarung. Gelar
pendekarnya akan ku-
rebut, karena tidak sesuai
dengan tingkah lakunya sebagai
seorang pendekar yang gemar
menelanjangi wanita me-
makai samurainya!”
Lila Anggraeni menjadi tegang.
Ia mulai sadar apa
sebenarnya yang dimaksudkan
dalam kata-kata Pandu
Puber itu. Rasa takut mencekam
jiwa, tercermin lewat sorot
mata dan ekspresi wajahnya.
“Kau...kau akan melawannya? Maksudmu
tarung pakai
senjata, gitu?”
“Kau ini kok masih bego aja sih?
Sekarang begini saja
deh....kita pulang ke rumahmu!
Aku akan berpura-pura
menjadi kekasihmu.”
“Maksudmu.....maksudmu
berpura-pura menjadi
kekasihmu.”
“Ya. Kau keberatan?”
“Aku ......hmm.....maksudku,
kenapa hanya berpura-
pura?”
“Kita boleh jatuh cinta tapi
jodoh bukan kita
penentunya!”
Lila Anggraeni menunduk lesu.
Pandu Puber segera
berkata, “Sudahlah, itu bisa
dibicarakan nanti. Yang jelas
aku akan berpura-pura jatuh
cinta padamu dan memancing
Pendekar Samurai Cabul untuk
masuk ke arena per-
tarungan! Kau harus membantuku,
karena aku akan mem-
bantumu meleaskan dirimu dari
perjodohan itu, Lila!”
“Apakah...apakah....apakah kau
sanggup mengalahkan
dia?”
“Kita lihat saja nanti!”
Lila Anggraeni tak punya pilihan
lain. Ia segera pulang
bersama Pandu Puber. Ternyata di
rumahnya sedang
heboh. Semua orang ribut mencari
kemana perginya Lila
Anggraeni. Rupanya saat itu sang
Ayah sudah pulang dari
menjemput ramu agungnya. Sang
Ayah malu mengetahui
anak gadisnya tidak ada di rumah
dan dicari-cari sampai ke
kolong ranjangpun tetap tak ada.
Namun ketika Lila Anggraeni
tampak datang
menunggang kuda berboncengan
dengan seorang pemuda
tampan berbaju ungu
bintik-bintik seperti embun itu,
semua orang dalam rumah keluar
ke depan pintu gerbang.
Sang tamupun ikut keluar dan
segea menggeletuk giginya
melihat Lila Anggraeni naik kuda
dan dipeluk dari belakang
oleh pemuda beranting satu.
Pandu Puber segera lompat dari
punggung kuda
sebelum mereka berjarak dekat
dengan rombongan tamu
dan ayah Lila Anggraeni. Mata
sang tamu tetap me-
mandang tajam ke arah Pandu, dan
Pandupun menatap-
nya dengan tak berkedip, namun
lebih tampak tenang dari
sang tamu.
“Lila...!” seru sang Ayah. “Apa
maksudmu membawa
pulang pemuda itu, hah?!”
Pandu Puber yang menyahut, “Kami
saling mencintai
dan tak rela jika Lila
dikawinkan dengan Pendekar Samurai
Cabul itu!” tuding Pandu. Sang
ayah ingin bergerak maju,
tapi tangan sang tamu merentang,
menahan gerakan
tersebut. Lalu, ia sendiri
bergeark maju menemui Pandu.
Sang ayah menjadi cemas dan
sangat malu, karena saat
itu banyak orang berkumpul di
depan rumahnya karena
ingin melihat seorang pendekar
yang namanya kesohor
dan terkenal sakti itu.
Shoguwara, si pendekar cabul
itu, berdiri tegak dengan
kaki sedikit merenggang.
Orang-orang menyingkir jauh, tak
berani dekat-dekat dengan sang
pendekar yang sedang
marah dan terkenal kecepatan
bermain samurai. Pandu
Puber pandangi orang itu dengan
dada terbusung.
Tepat seperti gambaran yang
pernah diceritakan ayah
Pandu, bahwa Pendekar Samurai
Cabul itu berwajah kaku,
bengis, matanya menandakan
kelicikan yang tersembunyi
di balik kesaktiannya. Jidatnya
lebar, karena rambutnya
dikuncir ke belakang agak
tinggi. Sebilah samurai
disandang di punggungnya. Baju
putihnya yang berlengan
panjang itu dirangkapi pakaian
semacam rompi panjang
warna hitam, sesuai dengan kain
penutup kedua kakinya
yang juga hitam. Pendekar
Samurai Cabul memang masih
kelihatan muda dan sedikit punya
kegantengan. Usianya
berkisar antara tiga puluh
tahun, mungkin lebih sedikit. Ia
mempunyai mata kecil dan alis
naik, berkesan jelas
kelicikannya.
“Jauh-jauh aku datang untuk
melamar Lila Anggraeni,
tahu-tahu kau sudah lebih dulu
membawanya lari. Tak
tahukah kau siapa diriku ini?”
“Aku tahu siapa kamu, Sobat. Dan
inilah yang
dikatakan ‘pucuk dicinta ulam
tiba’. Niatku untuk datang
menemuimu di Tanah Sakura tak
perlu harus kutempuh
dengan perjalanan melelahkan.
Ternyata kita
dipertemukan di sini!”
“Jangan banyak mulut! Pergi
tinggalkan Lila, atau mati
di ujung samuraiku?”
“Aku memilih mati di ujung hati
Lila!” jawab Pandu
Puber seenaknya. Jawaban itu
membuat Pendekar
Samurai Cabul menggeram penuh
luapan amarah.
Matanya meirik sebentar ke
sekeliling. Ternyata kabar
kedatangannya mau melamar Lila
Anggraeni sempat juga
didengar para tokoh dunia
persilatan, sehingga banyak
juga dari para tokoh yang datang
dan diam mengelilinginya,
seakan menyaksikan
pertarungannya dengan Pandu
Puber. Sang pendekar semakin
bernafsu ingin menampak-
kan kehebatan ilmunya.
“Sebutkan namamu supaya bisa
kucatat dalam buku
daftar para korban samuraiku!”
kata Pendekar Samurai
Cabul.
“Namaku Pandu Puber! Akan
kukalahkan kau, dan
kurebut gelar kependakaranmu
hari ini juga!” kata Pandu
tak gentar sedikitpun.
“Keparat! Heeeaah…!” Pendekar
Samurai Cabul me-
lompat dalam gerakan cepat dan
lomptan pendek. Pandu
Puber pun menyambut lompatan
pendek itu dan kedua
tangannya mengadu telapak dengan
sang pendekar.
Plak…! Mereka berdiri di tempat,
saling melepaskan
kekuatan teanga dalam melalui
telapak tangan yang diadu-
kan. Tapi keduanya sama-sama tak
ada ang terdorong
mundur. Bahkan kedua telapak
tangan yang saling beradu
itu mengepulkan asap putih
samar-samar. Tubuh mereka
sama-sama mengears hingga
bergetar dari kaki sampai
kepala.
Tiba-tiba, gerakan Pendekar
Samurai Cabul sangat tak
diduga-duga. Kakinya berkelebat
menendang lutut Pandu
Puber. Wuuttt…! Dees…!
“Uuhg…!” Pandu mengaduh
tertahan, ia jatuh berlutut,
kekuatannya berkurang, dan
tubuhnya terpental karena
dorongan tenaga dalam lawan.
Wuuss…!
Bruusss…! Pandu jatuh
terpelanting dengan
menyeringai. Jauhnya enam
langkah dari tempatnya berdiri
semula. Pendekar Samurai Cabul
melangkah cepat
menghampirinya. Tapi Pandu cepat
bangkitkan badan dan
siap menghadapi lawan. Di sisi
lain, Lila Anggraeni baru
saja membuka kedua tangannya
yang tadi menutup wajah
pada saat Pandu jatuh terpental.
“Pandu Puber! Kuberi kesempatan
sekali lagi padamu
untuk segera pergi dan
tinggalkan Lila Anggraeni! Kalau
kesempatan ini kau sia-siakan,
kau akan mati penuh
penyesalan!”
“Yang ingin kurebut darimu
adalah gelar
kependekaranmu! Sudah tak pantas
tersandang di
namamu, Shoguwara!”
“Biadab!” geramnya dengan gigi
menggeletuk dan
tulang-tulang mengeras. “Hiaaat…!”
Samurai di punggung
tahu-tahu sudah tercabut.
Gerakan mencabutnya tak
sempat dilihat orang. Kini
samurai itu digenggam dengan
dua tangan. Teracung ke depan.
Ia melangkah ke kiri,
memutari Pandu.
“Hiaaahhh…!” teriaknya sambil
berkelebat cepat sekali.
Samurainya ditebaskan ke
sana-sini dan tak bisa dilihat
gerakannya. Tapi Pandu Puber
cepat-cepat jatuhkan diri
dengan menggunakan gereakan
jurus ‘Angin Jantan’.
Dalam sekejap saja ia sudah
berada di tanah, sementara
Shoguwara menebaskan semurainya
ke tempat berdirinya
Pandu tadi.
Kaki Pandu bergerak melebihi
kecepatan angin. Ketika
tubuhnya berguling masuk ke
sela-sela kedua kaki lawan.
Pandupun segera menendang ke
atas. Buuhg…!
Tendangan itu tepat mengenai
‘jimat lelaki’ lawannya.
“Oohg…!” Pendekar Samurai Cabul
mendelik seketika,
diam dalam gerakan ingin
menebaskan samurai dari atas
ke bawah. Ketika lawan terpaku
karena kesakitan itulah,
Pandu Puber segera mengulangi
tendangannya yang
mengenai tempat semula lagi.
Buueehg…!
“Uuhgg…!” suara pekikan tertahan
terdengar dari mulut
Shoguwara. Ia terlempar ke
belakang, jatuh terjungkal.
Pandu Puber segera bangkit dan
bergerak memutar dalam
keadaan jongkok. Kakinya
membabat pergelangan tangan
lawan. Plaakk…! Tendangan kuat
bertenaga dalam tinggi
membuat senjata samurai itu
terlempar lepas dari tangan
lawan.
Pandu mengeraskan dua jari di
masing-masing
tangannya. Lalu masing-masing
jari ditempelkan ke pelipis
kanan-kiri. Kejap berikutnya
kedua tangan itu menyentak
ke depan bagai melempar pisau
secara bersamaan.
Wuuutt…! Ternyata yang keluar
dua sinar merah lurus yang
menghantam samurai di tanah.
Satu sinar kenai mata
samurai, satu lagi kenai gagang
samurai. Claaapp…!
Daarr…! Ledakannya tak seberapa
keras, tapi akibatnya
senjata samurai panjang itu
hancur menjadi kepingan-
kepingan kecil. Pada saat itu,
Shoguwara sudah bangkit
dan mau menerkam samurainya.
Tapi gerakan tersebut tak
jadi karena samurai sudah hancur
lebih dulu. Semakin
murka wajah sang pendekar
berkucir panjang itu. Tapi
Pandu Puber sempat terbengong
sebentar menyadari jurus
yang baru saja digunakan itu.
Lalu dalam hatinya ia
menamakan jurus itu jurus
‘Sepasang Sayap Cinta’. Entah
bagaimana penjabarannya, Pandu
tak perduli.
Pendekar Samurai Cabul segera
menyerang Pandu
kembali dengan lebih ganas. Kali
ini ia menggunakan jurus
tangan kosongnya, namun punya
kekuatan tenaga dalam.
Dalam satu lompatan tangannya
bergerak ke sana-sini
dengan cepat sekali,
membingungkan lawannya. Pandu
sengaja mundur menjauh untuk
hindari jurus itu.
“Haaaiitt…!” Shoguwara
bentangkan kedua tangan
bagai seekor bangau hendak
menggibas mangsa.
Kesempatan itu dipergunakan oleh
Pandu Puber untuk
bergerak cepat menggunakan jurus
‘Angin Jantan’ lagi.
Tapi kali ini telapak tangannya
mengembang rapat, jari-
jarinya mengeras, jempolnya
terlipat. Dan tangan itu
dihantamkan ke arah ulu hati
lawan. Wuuutt…! Plaakkk…!
Lawan bisa menangkisnya walau
pergelangan tangan
menjadi ngilu semua.
Plak, plak, plak bleesss…!
“Uuhg…!” Shoguwara tersentak
mendelik. Keempat jari
Pandu Puber menembus masuk ke
dada kanannya yang
atas, dekat dengan pundak.
Hampir saja kena jantung.
Tapi itupun sudah cukup
berbahaya. Empat jari tangan
menancap hampir seluruh bagian.
Mirip sebilah pisau
dihunjamkan ke tubuh itu. Ketika
dicabut keluar, darahpun
menyembur dengan kentalnya.
“Jurus ‘Jantung Hati’,” kata
Pandu dalam benaknya
menamai jurus itu.
Shoguwara mulai limbung. Darah
yang keluar semakin
menghitam. Ia terkejut dan berucap
tak sadar, “Racun…?!”
Rupanya tangan Pandu yang mampu
menembus dada
lawan itu dapat menyebarkan
racun melalui ujung-ujung
jarinya. Shoguwara tegang
sekali. Wajahnya pucat pasi.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia
segera melesat melarikan
diri sambil tinggalkan ancaman,
“Aku akan kembali
menuntut balas padamu! Akan
kurebut kembali gelar
kependekaranku, Bangsat!”
Para tokoh silat yang ada di
situ tertegun bengong.
Mereka terheran-heran melihat
seorang pendekar tampan
mampu kalahkan Shoguwara tanpa
senjata. Maka berita
itupun cepat menyebar ke
mana-mana. Gelar pendekar
telah berhasil direbut Pandu
Puber. Pemuda tampan itu
segera berkelebat dan berniat
memberitahukan kepada
ayahnya bahwa ia telah berhasil
menumbangkan Pendekar
Samurai Cabul, dan kini ia yang
akan menggunakan gelar
itu sebagai: Pendekar Romantis.
Rasa girangnya membuat Pandu
lupa pada Lila
Anggraeni yang tertegun bengong
memandangi
kepergiannya dengan air mata
keharuan berlinang di pipi.
SELESAI
Emoticon