6
Ditanya siapa yang telah
mengajarinya ilmu kedig-
jayaan, Kasmini lagi-lagi
tersenyum. "Hm, nantilah aku
ceritakan. Marilah kita
tinggalkan tempat ini!" Seraya
berkata Kasmini mendahului
berkelebat. Ginanjar tak
dapat buang waktu lagi untuk segera mengikutinya.
Menyusuri jalan di sisi tembok
Keraton kuno itu, me-
reka tiba di belakang bangunan
tua itu.
"Nah! tempat ini kurasa
cukup aman!" berkata
Kasmini. Tubuhnya melesat ke
atas sebuah batu be-
sar, tepat berada dibawah
sebatang pohon rindang.
Mereka telah berlari-lari cepat
selama sepenanak nasi,
dan telah cukup jauh dari tempat
pemukiman si Datuk
Setan Belang. Ginanjar enjot
tubuh untuk menyusul.
Dengan gerak ringan kakinya
menginjak batu.
"Rasanya aku sudah tak
sabar mendengar ceritamu
dik Kasmini. kau kini telah
banyak berubah. Di samp-
ing berilmu tinggi, juga tambah
cantik". Berkata Gi-
nanjar sekaligus memuji. Dipuji
cantik demikian Kas-
mini jadi tersipu. Wajahnya
memerah. Siapa yang tak
bahagia mendapat pujian dari
orang yang selama ini
telah merebut hatinya. Dan yang
selama ini tengah di-
carinya? Akan tetapi senyumnya
yang tersipu itu men-
dadak jadi berubah tatkala
tiba-tiba terdengar suara
tertawa terkekeh-kekeh parau
menyibak kelenganan di
hutan itu.
"Heheheh... heheh... alangkah
bahagianya kalian
anak-anak muda. Main
kejar-kejaran dan bercinta di-
dalam hutan yang sunyi sungguh
membuat aku jadi
mengiri, yang bukannya mengiri
lagi, akan tetapi ra-
sanya aku ingin menjadi salah
satu dari kalian. Hehe-
heh... heheheh... hehe...
Terperangah keduanya mendengar
suara tanpa wu-
jud itu. Ginanjar dan Kasmini
saling pandang dengan
keheranan karena melihat
kesana-kemari tak melihat
manusianya. Sementara Ginanjar
merasa bulu teng-
kuknya mulai berdiri meremang.
Kasmini memandang
Ginanjar dengan perasaan
khawatir. Hawa dingin tera-
sa mulai mengembara ke sekitar
tempat itu. Kekhawa-
tiran gadis semakin memuncak
ketika melihat Ginan-
jar menatapkan matanya ke arah
dengan seperti terke-
sima. Apakah yang telah
dilihatnya? pikir Kasmini, ka-
rena dia sendiri tak melihat apa-apa. Kasmini yang
mengkhawatirkan terjadi apa apa
dengan pemuda yang
dicintainya itu dengan gerakan
secepat kilat telah me-
nyambar lengannya. Seraya
mengguncang- guncang-
kan beberapa kali.
"Kak Nanjar! kak Nanjar!?
ayo cepat kita pergi dari
sini!" teriaknya dengan
suara agak gemetar. Akan teta-
pi menatap pada wajah Ginanjar,
gadis ini jadi terkejut
heran. Karena justru Ginanjar
tengah tertawa menye-
ringai menatap padanya. Sinar
matanya terasa aneh.
Sinar mata pemuda itu seperti
telah berubah jalang.
Begitu seram dan menakutkan,
hingga membuat Kas-
mini jadi bergidik dan menyurut mundur, seraya le-
paskan pegangan pada tangan
pemuda itu.
"Kak Nanjar..!" ke..
kenapakah ka.. kau.. ?"
"Heheheheheh.. aku tidak
kenapa-kenapa. Mengapa
kau takut padaku, manis?"
berkata Ginanjar. Akan te-
tapi suaranya telah berubah
serak parau. Bahkan sua-
ra tertawanya mirip tertawa
seorang kakek yang terke-
keh-kekeh.
Tersentak gadis ini ketika
dengan sebat sekali len-
gan pemuda itu telah menyambar
untuk merangkul
pinggang. Dalam terkejutnya
Kasmini gerakkan tubuh
dengan reflek untuk menghindar.
Tapi sungguh di luar
dugaan, karena tahu-tahu
pinggangnya telah kena
disambar.
BRREEET! WEEEK! Terdengar suara
kain yang so-
bek ketika sinar pelangi
membersit dari arah sisi hu-
tan, dan bagaikan selendang
sutra tipis telah membelit
tubuh Kasmini. Selanjutnya
menariknya, hingga tubuh
gadis itu meluncur terbetot dan
terlepas dari rangku-
lan lengan Ginanjar.
Kasmini rasakan tubuhnya
meluncur cepat sekali
akan tetapi segera tertahan
berhenti seperti menabrak
segumpal kapas lembut. Ketika
kakinya menjejak ta-
nah dihadapannya telah berdiri
seorang gadis cantik
berbaju hijau. Siapa lagi kalau
bukan Roro Centil
adanya.
Ginanjar belalakkan mata menatap
sobekan baju
Kasmini di tangannya. Sementara
Kasmini melihat pa-
da bajunya yang koyak dari
sebatas pinggang hingga
kedada. Lalu membelalak menatap
pada Ginanjar dan
Roro Centil hinggap di atas batu
besar dibekas tempat
berdiri Ginanjar. Ternyata
seorang kakek berjubah pu-
tih yang berkaki buntung sebatas
lutut. Dialah si Pen-
dekar Gentayangan alias Ki Jagur
Wedha. Atau lebih
jelasnya lagi adalah guru dari
Joko Sangit.
Sedangkan para pendatang lainnya
yang bermuncu-
lan, tak lain dari para tokoh
persilatan golongan putih.
Diantaranya terdapat Ki
Panunjang Jagat, Gembul So-
ra dan Ki Kutut Praja Setha,
serta beberapa tokoh lain.
Roro Centil memandang
sekelilingnya. Sungguh dia
tak menyangka kalau dalam waktu
sekejapan saja di-
tempat itu telah bermunculan
para tokoh Rimba Hijau
golongan putih, yang beberapa
orang dikenalnya.
Roro yang memang telah
mengetahui siapa yang be-
rada dalam tubuh Ginanjar,
segera melompat tinggi
dengan menyambar tubuh Kasmini.
Sesaat dia telah
berada dalam kelompok para
pengepung itu.
"Sobat-sobat kaum tua Rimba
Hijau golongan putih,
sungguh aku Roro Centil merasa
bergirang hati kalian
telah berkumpul disini untuk
mencegah perbuatan ja-
hat sukma KALA WRENGGI! Akan
tetapi kuharap anda
semua tidak turun tangan.
Serahkan urusan ini pada-
ku. Karena dengan tindakan yang
ceroboh, bisa-bisa
korban berada dipihak kita"
berkata Roro dengan sua-
ra berbisik. Satu persatu para
tokoh kaum tua golon-
gan putih itu menoleh pada Roro.
Ternyata Roro telah
lakukan keahliannya mengirim
suara yang masing-
masing dari para tokoh tua itu
berganti-ganti. Tahulah
dia kalau gadis baju hijau ini
telah menyelamatkannya
dari tangan Ginanjar yang
tiba-tiba berubah aneh. Ya!
memang dia merasakan keanehan dari
sikap Ginanjar.
Suaranyapun telah berubah parau
dan menyeramkan,
mirip dengan suara tanpa wujud
yang didengarnya ta-
di.
"Heheheheh... Kasmini!
mengapa kau ketakutan
melihatku? Bukankah aku kak
Nanjarmu? Dan kau,
gadis baju hijau mengapa merebut
kekasihku dari tan-
ganku? Mengapa ikut campur
urusan orang yang se-
dang bercintaan?" Berkata
demikian Ginanjar telah
melompat dengan gerakan seperti
terbang, dan seke-
jap. telah berdiri tegak
dihadapan kedua dara cantik
ini.
"Hm, siapa kau nona?"
tanya Ginanjar pada Roro
Sinar matanya membersit tajam
menatap pendekar
wanita itu.
"Heh! KALA WRENGGI!
tinggalkan tubuh pemuda
itu! Jangan kau mengacau
ditempat ini!" Tiba-tiba ter-
dengar bentakan keras. Dan
beberapa sosok tubuh
berkelebatan mengurung pemuda
bernama Ginanjar
itu.
"Benar! hentikanlah
kekacauan yang kau lakukan.
Kau telah terkepung!"
terdengar lagi suara teriakan ke-
ras dari sosok tubuh terakhir
yang muncul dengan ke-
lebatkan tubuhnya. Dengan ringan
sekali sosok tubuh
itu telah mendengar bisikannya.
Itulah ilmu mengirim
suara yang amat luar biasa.
Karena Roro telah men-
demonstrasikan pengiriman suara
yang dapat diterima
oleh si pendengarnya lebih dari
satu orang.
Pengiriman suara jarak jauh ini
telah dibantu den-
gan saluran tenaga batin yang amat luar biasa, dan
boleh dibilang amat langka.
Hingga masing-masing
yang mendengar segera menoleh
pada Roro, lalu
manggut-manggut. Ki Panunjang Jagat melompat
mendekati si Pendekar
Gentayangan Ki Jagur Wedha,
lalu berbisik. "Apakah anda
mendengar bisikan gadis
pendekar itu?"
"Ya! Dalam waktu bersamaan
kita telah mendengar
bisikan jarak jauh gadis
pendekar Roro Centil yang
cuma diucapkan satu kali. Bocah
yang luar biasa!" bi-
sik Ki Panunjang Jagat dengan
kagum. Karena ketika
berpandangan pada para tokoh
lainnya, mereka semua
sama menganggukkan kepala.
Saat itu Roro telah berkelebat
lagi melompat ke ha-
dapan Ginanjar.
"Hm, Kala Wrenggi! apa sih
sebenarnya keinginan-
mu memasuki tubuh pemuda ini?
Kau pura-pura tak
mengenalku. Hihihi... apakah kau
kira aku tak menge-
tahui kalau kau adalah si Kala
Wrenggi?" berkata Roro
dengan bertolak pinggang.
Melihat sikap Roro yang
jumawa itu, Kala Wrenggi tertawa
terkekeh-kekeh.
"Heheheh... Siapa yang tak
mengenalmu, Roro Centil?
Bocah centil macam kau yang
berilmu tinggi memang
baru kujumpai sejak aku bangkit
lagi dari kematian.
Aku telah merasai kehebatan ilmu
pukulan mu yang
terasa panas. Akan tetapi kau keliru
kalau kau men-
ganggapku aku telah kalah! Aku
memang merencana-
kan untuk mempersatukan
tokoh-tokoh persilatan un-
tuk menjadi budak-budakku.
"Kulihat kini telah
berkumpul tokoh-tokoh tua
kaum golongan putih.
Hahahahaheheheh... bukankah amat
kebetulan se-
kali?" ujar sukma Kala
Wrenggi yang berada ditubuh
Ginanjar. Pemuda yang kemasukan
roh Kala Wrenggi
itu tertawa menyeringai. Lalu
putar pandangan mena-
tap pada jago-jago tua yang
mengelilinginya. Roro ter-
cenung sesaat. Diam-diam Roro
berfikir untuk menga-
kali sukma Kala Wrenggi.
"Rencana yang bagus!"
berkata Roro dengan suara
berdesis yang dibisikkan ke
"telinga" sukma Kala
Wrenggi. "Apakah kau tak
merencanakan untuk beker-
ja sama, sobat Kala Wrenggi?
Rencana itu bagus seka-
li. Dari pada membunuh mereka,
lebih baik mempera-
latnya. Ketahuilah, aku
sebenarnya amat mencintai
pemuda yang kau masuki tubuhnya
itu. Akan tetapi
ternyata dia malah mencintai
gadis bernama Kasmini
itu. Walau sebenarnya kau yang
berada didalam tubuh
pemuda ini tapi aku tak
penasaran. Pemuda yang kau
masuki tubuhnya itu bernama
Ginanjar. Aku akan me-
lupakan permusuhan kita asalkan
kau mau bekerja
sama. Yang penting Ginanjar
tetap bersamaku walau
dalam tubuhnya hakekatnya adalah
kau si Kala
Wrenggi..." Bisikan Roro
yang hanya ditujukan pada
sukma Kala Wrenggi tak
seorangpun diantara jago-jago
tua golongan putih itu yang
mendengarnya.
Sejenak "Ginanjar"
Tampak termanggu. Akan tetapi
tiba-tiba perdengarkan suara
tertawa bergelak-
terkekeh-kekeh hingga tanah
serasa bergetar kare-
nanya.
"Bagus! aku setuju dengan
pendapatmu, nona cen-
til. Agaknya kita sudah
dijodohkan untuk bertemu dan
bersahabat." bisik sukma
Kala Wrenggi. "Bagaimana
rencanamu selanjutnya?"
"Hihihi.. tentu saja segera
kita tinggalkan tempat
ini. Aku ingin sekali mengetahui
tempat jasadmu di
pulau yang baru lahir itu di
wilayah Tenggara. Apakah
tak sebaiknya kita kesana?"
ujar Roro dengan bisikan
ajaibnya. Sejenak sukma Kala
Wrenggi tak menyahut
seperti tengah berpikir.
Tapi tak lama kemudian terdengar
lagi suaranya
tertawa terkekeh. menyibak
keheningan yang mence-
kam. Sementara para tokoh tua
kaum putih itu cuma
saling berpandangan satu sama
lain. Tak mengerti
mengapa Roro sebentar-sebentar
tertawa dan terse-
nyum, demikian pula Ginanjar
yang dimasuki sukma
Kala Wrenggi itu. Memang
beberapa hari kemudian se-
jak terjadinya peristiwa yang
menimpa dua perguruan
besar di wilayah
itu, para tokoh tua kaum golongan
putih yang telah bersatu ini
telah mencium jejak ca-
haya merah yang segera diketahui
adalah sukma Kala
Wrenggi.
Entah apa yang dibisikkan sukma
kala Wrenggi pa-
da Roro para tokoh kaum golongan
putih itu tak men-
getahui. Selesai tertawa
terkekeh- kekeh "Ginanjar"
berkata keras dengan suara
parau.
"Heh! kalian orang-orang
tua jompo harap bersabar-
lah untuk segera menjadi
budak-budakku!" kemudian
kembali tertawa sekali lagi. Dan
selanjutnya sekali ge-
rakkan tubuh,
"Ginanjar" melesat ke udara.
Gerakan
kilat itu membuat para jago tua
itu terperangah, ter-
masuk Kasmini. Mereka cuma
melihat berkelebatnya
bayangan putih yang membersih ke
udara. Selanjutnya
tubuh Ginanjar telah lenyap
bagaikan terhembus an-
gin.
"Jangan biarkan dia kabur!
Kejaaar!" teriak Ki Jagur
Wedha. Tubuhnya sudah melompat
tinggi untuk men-
gejar. Akan tetapi satu bayangan
hijau segera menyu-
sul. Tak lama dua bayangan putih
dan hijau kembali
meluncur turun. Ternyata Roro yang mencegahnya.
Dara perkasa Pantai Selatan ini
berkata.
"Maafkan aku kakek. Kukira
dalam waktu sementa-
ra ini sukma Kala Wrenggi tak
akan mengganggu. Aku
akan segera menyusulnya ke
Tenggara." Pendekar tua
kaki buntung ini yang pernah
ditolong Roro dalam ki-
sah: "Misteri Sepasang Pedang Siluman",
cuma bisa
terpaku memandang Roro.
"Jadi kau si bocah centil
diam-diam telah mengada-
kan perjanjian dengan sukma si
Kala Wrenggi edan
itu?" bertanya Ki Jagur
Wedha.
"Benar, kakek..."
sahut Roro dengan tersenyum.
Semua jadi membelalak memandang
pada Roro
Centil. Akan tetapi pada saat
itu juga tiba-tiba terden-
gar suara bentakan menggeledek.
"Bocah sialan! jangan harap
kau dapat lolos dari
tanganku!"
WHUUUK!
Tanah menyemburat tepat dibawah
kaki kedua to-
koh persilatan yang usianya
berbeda jauh itu. Akan te-
tapi kedua tokoh kita dari pihak
golongan putih ini te-
lah melesat lebih dulu dari
tempat itu.
Sesaat tampak dengan
bergandengan tangan, Roro
dan Ki Jagur Wedha baru saja
"hinggap" di atas batu
besar. Tepat di sisi Ki
Panunjang Jagat. Si kakek ber-
tubuh jangkung ini menghela
napas lega.
***
7
Semua mata segera menatap pada
sosok tubuh
yang telah berdiri tegak di
hadapan mereka. Kiranya
yang barusan menyerang adalah si
Datuk alias si Si-
luman Setan Belang. Bagaimana
hingga sampai si ka-
kek Datuk dari para harimau
jejadian itu bisa sampai
ke tempat ini? Juga Roro?
Marilah kita ikuti kisah di
belakang.
Saat pertarungan tengah
berlangsung seru di dalam
ruangan Keraton Kuno tempat
bercokolnya si Datuk
Siluman Setan Belang, seperti
diceritakan Ginanjar
nyaris "diperkosa"
oleh Rinjani si manusia harimau je-
jadian.
Akan tetapi muncul Kasmini yang
menolong Ginan-
jar. Sementara itu pertarungan
Roro dengan sang Da-
tuk semakin seru.
Roro tampaknya terdesak oleh
ilmu-ilmu si Datuk
yang dapat merubah tubuhnya
menjadi banyak. Se-
dangkan upaya Roro mengakali si
Datuk untuk mema-
suki bumbung bambu ternyata
menemui kegagalan.
Karena si Datuk Siluman Setan
Belang ternyata masih
berada di luar bumbung. Yang
menjelma menjadi asap
putih tipis dan memasuki bumbung
bambu itu cuma
ilmu sihirannya belaka. Roro
terjerat dalam benang-
benang sutera ciptaan sang
Datuk.....
Tampaknya sebentar lagi dapat
dipastikan oleh si
Datuk bahwa Roro akan berhasil
jadi tawanannya.
Saat Roro tengah sibuk menghalau
benang-benang su-
tera ciptaan itu, si kakek
berhidung melesak ini berke-
lebat seraya menaburkan serbuk
halus berwarna putih
yang berbau harum. Serbuk ini
menghalangi pandan-
gan mata Roro. Tampak tubuh dara
perkasa Pantai Se-
latan ini terhuyung. Belum lagi
tubuhnya roboh karena
hidungnya telah mengendus bau
harum yang dapat
membuat orang tak sadarkan diri,
lengan sang Datuk
telah bergerak menyambarnya.|
"Hehehehehe... hahaha...
cah ayu, ternyata tak begi-
tu sukar menawan mu"
berkata Datuk Siluman Setan
Belang dengan tertawa terkekeh.
Dipanggulnya tubuh Roro yang tak
berkutik untuk
dibawa masuk ke ruangan
kamarnya. Tubuhnya yang
tampaknya telah lemah lunglai
tanpa tenaga itu diba-
ringkan di peraduan. Kembali dia
tertawa mengekeh.
Sementara sepasang matanya
menjalari lekuk-liku tu-
buh korbannya. Sepasang matanya
membinar-binar
menimbulkan hawa birahi.
Beberapa kali lengannya
menyibak, maka tubuh sang dara
perkasa yang cantik
jelita itu telah dalam keadaan
tanpa busana.
Dengus napaspun mulai terdengar
mengembara di
sekitar ruangan kamar sang
Datuk. Sekejap dia sudah
lorotkan jubahnya. Gemetar
lengan tua itu ketika men-
jamah kulit pipi sang korban yang bagaikan seorang
dewi tengah tertidur pulas.
"Ohh... cantiknya kau cah
ayu..." menggeletar suara
sang Datuk. Perlahan-lahan
direbahkan tubuhnya menindih
tubuh Roro....
Akan tetapi tiba-tiba kakek tua
ini berteriak terta-
han. Seketika tubuhnya terlompat
dari pembaringan-
nya bagaikan dipagut ular.
Sepasang matanya membe-
lalak menatap sosok tubuh yang
tergolek di pembarin-
gan itu. Datuk tua ini
mengucak-ngucak matanya se-
perti tak percaya, karena apa
yang dilihatnya adalah...
sebongkah batu terbujur di
peraduannya.
"Gila! Setan alas!
Dedemit...! Mengapa bisa begi-
ni????" Memaki-maki sang
Datuk Siluman Setan Be-
lang dengan wajah merah padam.
"Aku telah tertipu
mentah-mentah!" mendesis si ka-
kek dengan kesal. Segera
disambar jubahnya. Dan se-
kali lengannya bergerak,
hancurlah batu itu berikut
berderak hancur peraduannya.
Selang sesaat dia telah
berkelebat keluar dari ruangan
kamar.
Ternyata yang ditujunya adalah
kamar Rinjani, se-
telah berteriak-teriak memanggil
anak buahnya agar
mencari jejak Roro Centil yang tak
ketahuan kemana
lenyapnya. Didapati Rinjani
terlentang di lantai kamar
dalam keadaan telanjang bulat.
Akibatnya marahnya,
justru Rinjanilah yang jadi
korban.
Sekali lengannya bergerak, tubuh
Rinjani yang da-
lam keadaan tertotok itu
terlempar membentur dinding
kamar. Tak terdengar jeritannya
lagi. Karena nyawanya
langsung melayang seiring dengan
hancurnya tulang-
tulang tubuh wanita cabul itu
dengan suara yang ber-
kelotakan. Darah menyemburat ke
setiap penjuru. Dan
sang Datuk telah melompat keluar
dari ruangan kamar
dengan, kemarahan yang
membludak.....
Melihat di sekeliling tempat itu
berkumpul lebih da-
ri lima orang kakek si Datuk
Siluman Setan Belang
mendengus.
"Heh! ada apakah kalian
sobat-sobat berada di wi-
layah ku ini?" berkata demikian kembali dia
meman-
dang pada Roro Centil yang
tersenyum-senyum melihat
si Datuk yang mendelikkan mata
ke arah dia.
"Kau bocah sialan,
jangan harapkan dirimu bisa
berlindung di ketiak kakek-kakek
moyangmu! huh!
awas kau bocah centil! Kau telah
mengelabuiku men-
tah-mentah. Tapi suatu saat aku
akan buktikan uca-
panku untuk menawanmu
hidup-hidup!"
"Persoalan apakah gerangan
antara kau dengan no-
na Pendekar Roro Centil
sahabatku ini, sobat? Apakah
kau dapat memberi
penjelasan?" Ki Kutut Praja Setha
yang sejak tadi berdiri saja
sambil berpeluk tangan
ajukan pertanyaan.
"Maaf, aku tak dapat
menjawab pertanyaan itu. Dan
aku tak mau lain orang
mencampuri urusanku!" sahut
sang Datuk dengan ketus. Selesai
berkata si Datuk ini
balikkan tubuh, dan melompat
pergi dari situ.
"Heeei! sobat tua! sungguh
sombong benar kau? se-
butkan dulu siapa nama dan
gelarmu biar aku tak pe-
nasaran!" teriak Ki Gembul
Sona membentak. Tubuh-
nya berkelebatan menyusul.
Lengan kakek yang berju-
lukan si Belut Putih ini
menjulur jubah si Datuk. Akan
tetapi saat itu berdesir puluhan
jarum dari ujung
tongkat Siluman Setan Belang.
Kalau saja Ki Gembul
Sona tak memiliki kelincahan,
sudah dapat dipastikan
bahaya maut mengancam jiwanya.
Untunglah dengan
gerakan gesit dia miringkan
tubuh. Lengan jubahnya
yang lebar menghantam
jarum-jarum maut itu hingga
buyar, Namun ketika dia jejakkan
kakinya ke tanah, si
kakek jubah hitam itu lenyap.
Lapat-lapat terdengar
suara tertawanya terkekeh.
"Hehehe... hahaha... nama
gelarku adalah si Datuk
Siluman Setan Belang! Harap kau
jangan coba-coba
urusan denganku!"
Ketika semua mata memandang ke
arah Gembul
Sona dan ke arah tempat
berkelebat lenyapnya sosok
tubuh Si Datuk Siluman Setan
Belang, saat itu Roro
telah berkelebat cepat sekali
meninggalkan tempat itu.
Para tokoh tua kaum putih itu
cuma bisa gelengkan
kepala mengetahui Roro Centil
sudah berlalu mening-
galkan mereka tanpa permisi
lagi.
***
8
RORO CENTIL telah jejakkan
kakinya di satu kota
bernama BOLULAWANG. Dalam
perjalanannya ke wi-
layah Tenggara ini ternyata Roro
tak begitu tergesa-
gesa. Kota Bolulawang tak
seberapa besar. Melangkah
lebih jauh memasuki tengah kota,
Roro menampak ke-
ganjilan di dalam kota ini.
Karena warung-warung,
penginapan dan toko-toko tak
nampak ada yang buka.
Semuanya tutup. Orang-orang yang
lalu-lalangpun ter-
lihat sepi. "Aneh! ada
apakah yang terjadi?" pikir Roro.
Di ujung jalan Roro melihat
seorang laki-laki tua
yang baru saja mengangkat papan
terakhir untuk me-
nutup penginapannya. "Heh!
Kebetulan. Aku bisa ta-
nyakan pada orang itu!"
desis Roro tersenyum. Laki-
laki tua ini adalah pelayan
penginapan itu yang ker-
janya agak lambat.
Sementara dari dalam terdengar
suara sang maji-
kan yang memerintahkan si
pelayan agar secepatnya
masuk dan mengunci pintu. Ketika
tahu-tahu...
"Paman...! maaf, aku
mengganggu. Boleh aku num-
pang beristirahat di sini?"
Terkejut laki-laki pelayan
mengetahui seorang. gadis entah
dari mana muncul-
nya tahu-tahu telah berada
disampingnya.
"Oh, ma... maaf noo...
nona. Hari ini kami tak me-
nerima tamu..." tergagap
pelayan itu menyahut.
"Mengapa?" tanya Roro.
Akan tetapi belum lagi sang
pelayan itu menyahuti telah
terdengar suara bentakan
dari dalam.
"Cepat masuk! tunggu apa
lagi kau Bejo? apa kau
mau mampus siang-siang?"
Tentu saja membuat pe-
layan tua ini tak ayal lagi
segera melompat masuk tan-
pa pedulikan Roro lagi, dan...
Bruk! Dia telah tutup
pintu penginapan dan sekaligus
menguncinya dengan
palang pintu.
"Aneh!?" menggumam
Roro. Dia jadi terlongong di
muka pintu. "Mengapa tampaknya orang begitu
keta-
kutan?" Roro putar
pandangan ke sekeliling tempat.
"Hm, benar-benar tak ada
manusia yang berani un-
jukan diri. Apakah ada iblis
yang mengincar nyawa
hingga semua penduduk kota
ketakutan menyembu-
nyikan diri?" pikir Roro
dalam benak.
Sementara itu di balik pintu
penginapan terdengar
suara bisik-bisik.
"Sssst! siapa orang yang
mau menginap tadi? seper-
ti kudengar suara
perempuan?" Suara yang terdengar
agak berat itu adalah suara si
pemilik penginapan.
"Seorang gadis,
Ndoro..."
"Cantik?"
"Wah! coantiik sekali
Ndoro. Dia mau menumpang
beristirahat, katanya tadi. Tapi
Ndoro sudah memang-
gilku agar cepat-cepat masuk dan
menutup pintu,"
menyahut sang pelayan dengan
suara berbisik pula.
"Hm... apa dia masih ada di
luar?"
"Entahlah, Ndoro..."
"Coba kau periksa!"
perintah sang majikan.
"Baik, Ndoro. Apa disuruh
masuk sekalian?" ber-
tanya sang pelayan bernama Bejo
itu.
"Pakai tanya, ya maksudku
begitu! kasihan kan ga-
dis secantik gitu kalau mau
beristirahat masakan bisa
ku tolak?"
Bisik-bisik itupun berakhir. Dan
terdengar suara
palang pintu dibuka dari dalam.
Kepala si pelayan tersembul di
pintu. Matanya jela-
latan mencari Roro. Akan tetapi
dia tak menampak
adanya gadis tadi berada di
depan pintu. Dia melang-
kah agak lebih jauh dan
memandang ke sekeliling. Tak
nampak bayangan seorang
manusiapun
"Ada, Jo... ?"
terdengar suara agak keras dari da-
lam. "Ti... tidak,
Ndoro...! dia sudah pergi" menyahut
Bejo.
"Huuuuh! sudahlah, ayo
cepat kau masuk dan kun-
ci pintu lagi!"
Akan tetapi belum lagi Bejo
melangkah, tiba-tiba
terdengar suara tertawa
terbahak-bahak, diiringi kata-
kata keras.
"Hahahahha... haha...
perutku lapar begini, semua
warung tak ada yang buka. He!
aku mau makan di wa-
rung mu, apa kau ada persediaan
makanan?" Tentu
saja si pelayan tua bernama Bejo
itu jadi gelagapan,
karena tahu-tahu pundaknya telah
dicengkeram
orang. Ketika dia balikkan
tubuh, seorang laki-laki ke-
kar berambut gondrong telah
berada di situ. Menatap
padanya dengan sorot mata seram.
Laki-laki ini berwajah penuh
brewok. Bajunya ter-
buat dari karung goni. Sebelah
lengan bajunya yang
panjang dibiarkan menggantung
seperti tak berlengan.
Ternyata laki-laki brewok ini
memang berlengan satu.
Jelas terlihat tangan yang
sebuah lagi telah kutung se-
batas pangkal lengan. Di
punggungnya terikat sebuah
buntalan.
"Oh, hari ini kami tak
punya persediaan makanan.
Harap maafkan..." menyahut
si pelayan.
"Apakah kau berkata betul?
Kalau ku geledah ter-
nyata ada makanan, apakah kau
mau bertaruh dengan
kepala mu sebagai
taruhannya?" bentak si brewok.
"Ampun, Raden...!
sebenarnya ada, tapi hari ini ka-
mi tak bisa menerima tetamu,
karena... karena..." Ter-
gagap si pelayan mendengar
gertakan laki-laki brewok
itu.
"Bagus! hayo, antar aku
masuk!" berkata si brewok,
Belum lagi si pelayan mengangguk,
tahu-tahu tubuh-
nya serasa terbang. Dan sekejap
kemudian telah bera-
da di dalam penginapan. Nyaris
bertubrukan dengan si
pemilik penginapan yang mau
melongok keluar melihat
apa yang terjadi.
Laki-laki gemuk ini belalakkan
mata memandang
pada si laki-laki berewok yang
telah masuk ke dalam
penginapan.
"Ndoro, tet.. tetamu ini
mau..." berkata si pelayan
dengan gugup. Namun kata-katanya
segera dipotong
oleh si brewok.
"Ya! perutku lapar. Aku mau
makan. Apa bisa ka-
lian sediakan aku makan?"
"A... ada..! Bejo! segera
kau siapkan makanan untuk
tuan ini!" perintah si
pemilik penginapan, yang me-
mang juga membuka restoran.
"Tu... tutup pintu itu
dulu!" perintahnya lagi pada
Bejo.
"Baik! baik, Ndoro..."
Bejo cepat bergegas menutup
pintu dan memalangnya sekaligus.
"Ada apakah? tampaknya
kalian seperti ketakutan.
Kulihat semua orang menutup
pintu rumah makan
dan tokonya rapat-rapat."
berkata si laki-laki brewok.
Si pemilik penginapan menatap
wajah laki-laki bre-
wok itu.! Sekali melihat sudah
dapat menduga kalau
laki-laki itu adalah orang
baik-baik. Walaupun berwa-
jah penuh cambang-bauk tetapi
jelas laki-laki itu
punya penampilan gagah. Dan di
balik brewoknya me-
nampakkan ketampanan wajahnya.
"Boleh aku mengetahui siapa
nama Anda? Aku Sin-
go Wulung pemilik penginapan dan
rumah makan ini."
berkata si pemilik penginapan.
"Hahaha... aku tak punya
nama. Tapi baiklah kau
panggil aku si BREWOK LENGAN
TUNGGAL". Menden-
gar nama itu, Singo Wulung jadi
tersenyum manggut-
manggut. Segera dia memaklumi
kalau berhadapan
dengan seorang tokoh Rimba
Hijau.
"Baiklah sobat Brewok,
sebenarnya...." segera Singo
Wulung menceritakan secara
singkat apa yang telah
terjadi.
"Laki-laki tua jubah hitam
itu memondong seorang
gadis yang tak pernah lepas dari
pundaknya. Dia da-
lam keadaan tidak waras!"
Singo Wulung mengakhiri
penuturannya.
"Gila! dia telah lakukan
pembunuhan pada bebera-
pa orang penduduk?" tanya
si brewok.
"Benar, sobat brewok...!
menyahut Singo Wulung.
Sementara itu di luar pintu
penginapan sesosok tubuh
baru saja menjelma. Siapa lagi
kalau bukan Roro Cen-
til. Dara perkasa ini memang
sejak tadi berada di tem-
pat itu. Ternyata Roro telah
mempergunakan aji Hali-
munan, hingga tubuhnya tak
nampak oleh mata biasa.
Kemunculan si Brewok Lengan
Tunggal juga telah di-
ketahui Roro, termasuk
percakapan dari balik pintu
penginapan. Yang membuat Roro
terkejut bukanlah
tentang si manusia laki-laki
jubah hitam yang menye-
bar maut di kota itu. Akan
tetapi kemunculan si laki-
laki brewok, yang segera
dikenalnya adalah JOKO
SANGIT.
Terpanar mata Roro memandang ke
pintu pengina-
pan, seolah mata itu berhasil
menembus papan pintu.
"Joko... ah, Joko Sangit!
Apa yang terjadi denganmu?
Siapakah manusianya yang telah
memutuskan tan-
ganmu itu?" berbisik Roro
dalam hati.
Akan tetapi Roro tak dapat
berpikir lebih jauh, ka-
rena pada saat itu terdengar
suara jeritan orang dari
arah ujung jalan. Tak ayal, Roro
segera gerakkan tu-
buhnya untuk melesat ke sana.
***
9
APAKAH yang terjadi di ujung
jalan kota sunyi itu?
Ternyata seorang laki-laki tua
berjubah tengah dike-
pung oleh belasan orang. Para
mengepung itu tak lain
dari para prajurit Kadipaten.
Dua orang telah roboh terjungkal
dengan jerit men-
gerikan. Sebelas pengeroyoknya
melompat mundur.
Sangat mengerikan, karena
sekejap kedua tubuh tam-
tama itu telah berubah hijau.
Keris berluk tujuh di
tangan laki-laki tinggi besar
jubah hitam itu pancarkan
sinar hijau. itulah keris KYAI
NOGO IJO. Ternyata laki-
laki tua itu tak lain dari KI
BOGOTA adanya.
"Hoahaha... haha... hayo
majulah kalian semua ku-
tu kutu Kadipaten. Kyai Nogo Ijo
akan menghirup da-
rah kalian semua! hahaha...
haha..." tertawa berkaka-
kan Ki Bogota. Wajahnya memerah
bagai kepiting dire-
bus. Sebelah tangannya mencekal
keris, dan sebelah
lagi memanggul tubuh seorang
gadis di pundaknya.
Tersentak Roro ketika mengenali
gadis itu adalah
RANDU WANGI. Tiga orang perwira
saat itu telah me-
nerjang dari arah kanan. Pedang
dan golok berkeleba-
tan. Mereka adalah tiga orang
perwira kelas satu dari
pengawal Adipati Bolulawang.
Khawatir mengenal ga-
dis yang dalam pondongan
laki-laki gila itu, mereka
menerjang dengan hati-hati. Dua
orang menabas kaki.
Sedangkan yang seorang lagi
menabas lengan.
Akan tetapi Ki Bogota dengan
tertawa terbahak se-
gera melompat. Kerisnya
digunakan menangkis seran-
gan lawan yang mengarah pangkal
lengan.
TRANG..!
WHUUT!
WHUUT!
Dua jeritan kembali terdengar.
Dua dari perwira
Kadipaten itu terlempar dengan
perut robek. Ternyata
dengan kecepatan kilat Ki Bogota
telah lemparkan tu-
buh gadis yang dipondongnya ke
udara. Di detik itu
dia berkelebat menyarangkan
kerisnya di perut kedua
lawan. Sementara tangkisan tadi
telah membuat pe-
dang lawan tertabas putus. Luar
biasa memang keris
Kyai Nogo Ijo itu. Tapi juga
luar biasa gerakan tubuh
Ki Bogota. Karena saat dua tubuh
lawannya terlempar,
dia telah siap kembali menyangga
tubuh gadis itu un-
tuk dipondongnya.
Akan tetapi belum sempat lengan
Ki Bogota me-
nyentuh tubuh gadis itu satu
bayangan telah mener-
jang. BUK!
Ki Bogota terjungkal
berguling-guling. Terperanjat
laki-laki tua ini, ketika
melompat berdiri sesosok tu-
buh berambut panjang telah
berdiri di hadapannya
dengan memanggul tubuh gadis
itu.
Roro yang belum mengambil
tindakan apa-apa ter-
sentak kaget, karena segera
mengenali siapa dia. tu-
buh barusan tak lain dari JOKO
SANGIT alias si Bre-
wok Lengan Tunggal.
"Manusia gila! Kau
mampuslah!" membentak si
brewok.
WHUUUK!
BHLARRR...!
Semua mata membelalak menatap
dengan mulut
ternganga. Karena sukar untuk
diduga ketika laki-laki
brewok itu gerakan lengannya,
tahu-tahu terdengar le-
dakan dahsyat. Seiring ledakan
itu, mereka melihat
tubuh Ki Bogota telah menjadi
serpihan-serpihan yang
melambung di udara. Bercampur
dengan menyembu-
ratnya tanah dan batu.
Ketika debu menipis, tampak
potongan-potongan
tubuh laki-laki tua bekas ketua Partai Lereng Merapi
itu yang sudah tak berbentuk
lagi. Ketika mereka me-
mandang pada si brewok, ternyata
orangnya sudah le-
nyap entah kemana...
Roro cuma melihat berkelebatnya
bayangan ke arah
utara. Tak ayal lagi Roro segera
mengejar. Sementara
sembilan tamtama Kadipaten itu
cuma bisa terperan-
gah dengan mulut ternganga tanpa
ucapkan sepatah
kata. Berdiri terpaku memandang
tubuh manusia edan
yang telah membunuhi penduduk
dan menewaskan
beberapa tamtama itu.
Dalam keadaan demikian, tanpa
seorangpun yang
melihat. Sepotong lengan yaitu
potongan lengan Ki Bo-
gota yang masih erat mencekal
keris Kyai Nogo Ijo yang
menggeletak di balik
bongkah-bongkah batu, tiba-tiba
bergerak hidup. Potongan lengan
yang menggeletak di
balik bongkah-bongkah batu itu
melayang ke udara.
Fantastis sekali, karena
tiba-tiba potongan lengan itu
meluncur ke arah para tamtama
itu. Sinar hijau berke-
lebat, dan....
Terdengarlah teriakan-teriakan
mengerikan membe-
lah udara.
Kesembilan tamtama Kadipaten itu
roboh satu per-
satu hampir berbareng. Darah
memercik menyiram ta-
nah. Karena dada dan leher
mereka telah terkoyak ke-
ris maut Kyai Nogo Ijo. Sekejap
saja sembilan tubuh
itu telah roboh dengan nyawa
masing-masing lepas da-
ri tubuhnya.
Kejap berikutnya sinar hijau
telah berkelebat mem-
belah udara meluncur pesat
menuju ke arah utara.
Seperti menyusul kedua bayangan
yang telah lebih
dulu melesat dari tempat itu...
***
RORO CENTIL berkelebat mengejar
bayangan tubuh
si Brewok yang sudah dapat
dipastikan adalah JOKO
SANGIT. Mana Roro bisa melupakan
wajah laki-laki
yang telah membuat dia jatuh
hati itu? Roro sendiri
tak mengetahui mengapa dia bisa
jatuh hati pada be-
kas berandal itu. Apakah karena
kebaikan hatinya,
ataukah karena Joko Sangit
memang berwajah tam-
pan? Akan tetapi Roro mengetahui
banyak laki-laki se-
perti SAMBU RUCI alias si Bujang
Nan Elok, atau Raja
Muda tanah Melayu, Ginanjar dan
banyak lagi yang
lainnya. Namun justru Roro lebih
tertarik pada Joko
Sangit. Dia tak dapat mengelabui
isi hatinya untuk
mencintai laki-laki itu. Joko
Sangit memang sudah da-
pat dikatakan seorang laki-laki
yang amat mudah ja-
tuh ke tangan wanita. Tapi Roro
yakin kalau kelakuan
tidak baik itu bisa dihilangkan.
Semua itu karena Joko
Sangit seorang laki-laki yang
kurang kuat iman. Apa-
kah rasa cintanya itu timbul karena
rasa kasihan pada
laki-laki Itu? Entahlah...
Ketika pada beberapa tahun yang
lalu Ki Jagur
Wedha guru Joko Sangit bergurau
akan mengambil
menantu padanya, Roro cuma
tersipu dengan wajah
berubah merah. Biasanya Roro tak
ambil peduli
dengan setiap laki-laki. Karena
Roro memang masih
mau hidup menyendiri, bebas dari
ikatan suami istri.
Yah, memang jiwa kependekaran
Roro lebih tampak
menonjol. Roro memang lebih
mementingkan urusan
kependekaran ketimbang urusan
pribadi. Tapi sebagai
manusia Roro tak mampu menolak
apa yang namanya
"Cinta". Walau Roro
sendiri tak mengetahui apakah dia
jatuh cinta, apakah cuma rasa
kasihan pada laki-laki
itu.
Yang jelas, Roro tengah
mengejarnya dengan hati
trenyuh tak menentu. Karena
setelah lama tak pernah
berjumpa, Roro melihat laki-laki
brewok itu muncul
dengan ilmu yang tinggi. Akan
tetapi Joko Sangit telah
kehilangan sebelah lengannya.
Dan berjulukan si Bre-
wok Lengan Tunggal.
Saat itu senja hampir merambah
alam. Cuaca tidak
lagi terang benderang. Matahari
hampir redup. Bebe-
rapa saat lagi akan lenyap
terhalang pegunungan. Ge-
rakan Roro memang agak lambat,
karena Roro di
samping memikirkan keadaan Joko
Sangit, juga memi-
kirkan Ginanjar yang gua
garbanya kemasukan sukma
KALA WRENGGI. Dua orang laki-laki
muda yang sama-
sama mencintai dirinya itu telah
muncul. Yang seorang
adalah masih saudara
seperguruannya sendiri, yaitu
Ginanjar. Sedang Joko Sangit
masih ada pertalian hu-
bungan antara guru Joko Sangit
dengan gurunya, yai-
tu si Manusia Aneh Pantai
Selatan. Namun Roro telah
kehilangan jejak ketika mengejar
Joko Sangit.
Mendadak cahaya hijau membersit
di atas kepa-
lanya. "Hahaha... heheh...
RORO CENTIL! untuk apa
kau mengejar dia? Bukankah kau
mau ke Tenggara?"
Terkejut Roro melihat sepotong
lengan yang mencekal
sebuah Keris bersinar hijau bisa
berkata-kata. Nada
suara tertawa dan kata-kata itu
membuat Roro segera
mengetahui dengan cepat. Namun
membuat Roro jadi
terperanjat, karena dia tahu
potongan lengan itu ada-
lah potongan lengan manusia edan
yang tubuhnya
mengalami kehancuran akibat
benda peledak yang di-
lakukan Joko Sangit alias si
Brewok.
"Kala Wrenggi...!?"
sentak Roro dengan mata terbe-
lalak. Sekejap dia sudah
hentikan langkahnya. Menen-
gadah menatap pada potongan
lengan yang mencekal
keris hijau berlumuran darah.
"Benar, aku sukma Kala
Wrenggi! Segera hentikan
pengejaranmu, dan ikut aku ke
Tenggara!" menyahut
sukma Kala Wrenggi dengan suara
seram.
"Mengapa kau masuk ke dalam
lengan kutung itu?
Di mana kau tinggalkan tubuh
Ginanjar?" bertanya
Roro dengan heran. Akan tetapi
diam-diam dia bergi-
rang, karena sukma Kala Wrenggi
telah keluar dari gua
garba Ginanjar.
"Bagus!" pikir Roro; "Aku
akan beru-
paya agar dia tak memasuki lagi tubuh
si tolol itu ..!
Akan tetapi aku terpaksa harus
tetap ke Tenggara. Wa-
lau sampai saat ini aku tak tahu
bagaimana caranya
melenyapkan manusia iblis
pantang mati ini!"
Roro yang memang telah bertekad
untuk menghan-
curkan kebatilan, telah menempuh jalan dengan ca-
ranya sendiri. Tanpa memikirkan
resiko lagi, gadis
berwatak aneh ini memang
mempunyai keberanian
yang luar biasa. Entah, apakah
dia mampu mele-
nyapkan manusia iblis pantang
mati itu? Kita ikuti sa-
ja jalan ceritanya.
"Bocah laki-laki itu telah
kubunuh mampus!" me-
nyahut sukma Kala Wrenggi.
"HAH!?" tersentak
Roro. Keringat dingin mengucur
di dahinya. Sejenak dia
terhenyak mendengar kata-
kata itu.
"Mengapa kau lakukan itu?
mengapaaa!?" suara Ro-
ro melengking tajam hingga
berpantulan di sekitar
tempat itu.
"Kau... kau dasar iblis!
Mengapa tak kau tepati jan-
jimu?" Gemuruh dada Roro
karena terkejutnya.
"Hohoho... hehehe... dia
masih hidup. Aku hanya
menakut-nakuti mu!" tertawa
mengekeh sukma Kala
Wrenggi.
"Benarkah demikian?"
tanya Roro lirih. Sementara
matanya menatap lengan kutung
yang mencekal keris
bersinar hijau itu tak berkedip.
"Percayalah! aku tak
berdusta. Aku hanya menakut-
nakuti kau. Dari sikapmu itu aku
mengetahui kalau
kau memang benar-benar mencintai
dia!" Roro terse-
nyum. Sementara diam-diam dia
menarik napas lega.
"Ya! aku memang
mencintainya. Tapi pemuda som-
bong itu lebih memperhatikan
gadis bernama Kasmini
ketimbang aku..." sahut
Roro berdusta.
Diam-diam Roro mulai mencari
akal untuk membu-
juk sukma Kala Wrenggi agar tak
memasuki lagi gua
garba Ginanjar. Tapi Roro harus
melihat bukti dulu
bahwa Ginanjar masih hidup.
***
10
SEMENTARA terjadi percakapan
Roro dengan suk-
ma Kala Wrenggi, telah didengar
oleh sesosok tubuh di
balik semak belukar. Sepasang
matanya yang bersinar
tajam menatap dengan aneh pada
Roro dan sepotong
lengan yang mencekal keris
bersinar hijau itu. "Sukma
Kala Wrenggi?" berdesis
pelahan laki-laki itu yang tak
lain dari si brewok alias Joko
Sangit.
Tubuh Randu Sari yang tak
sadarkan diri dibaring-
kan tak jauh dari tempat dia
bersembunyi. Sementara
dia sendiri mendengarkan
percakapan itu dengan se-
rius, dengan hati berdebar.
Karena Joko Sangit segera
meraba lengan kiri yang telah
kutung.
Lengan yang putus itu telah
ditabasnya atas per-
mintaan Roro untuk membuktikan
CINTAnya pada da-
ra perkasa Pantai Selatan itu,
Joko Sangit telah nekad
memutuskan lengannya sendiri.
Betapa marahnya Joko Sangit
ketika ternyata Roro
telah menipunya. Dalam keadaan
menderita Joko San-
git menggelepar kesakitan dengan
luka pada lengannya
yang putus, hingga dengan
kemarahan menggelegak,
dia menerjang Roro. Joko Sangit
yang dalam keadaan
mabuk itu akhirnya tergelincir
jatuh ke dalam jurang
yang dalamnya susah diukur.
Agaknya nasib baik masih
melindungi dia, hingga
masih berumur panjang.
Seorang kakek tua renta telah
menolongnya. Dialah
seorang tokoh persilatan dari
Negeri Sakura, bernama
MATSUI.
Peruntungan Joko Sangit justru
amat baik. Kakek
MATSUI memang bertujuan mencari
Roro Centil untuk
mewariskan sebuah Kitab Pusaka.
Kitab Pusaka itu
berisi ilmu-ilmu persilatan yang
bernama NINJA.
Kakek Matsui yang pernah
berhutang budi pada Ro-
ro Centil telah mengarungi
lautan untuk menyerahkan
Kitab Pusaka NINJA itu pada dia.
Joko Sangit mengambil kesempatan
baik itu, untuk
membantu Matsui menyampaikan
Kitab Pusaka itu
pada Roro. Tokoh Negeri Sakura
itu percaya pada Joko
Sangit yang memberitahukan bahwa
dia adalah saha-
bat baik Roro Centil.
Demikianlah. Hingga kemudian
Joko Sangit sendiri-
lah yang mempelajari ilmu NINJA
itu.
Joko Sangit memang berniat tak
akan memberikan
Kitab Pusaka NINJA itu pada
Roro.
Joko Sangit yang bekas si pemuja
Roro Dentil itu te-
lah salah menyangka.
Karena sebenarnya yang melakukan
perbuatan ja-
hat menipunya itu adalah GIRI
MAYANG. Wanita yang
amat mendendam pada Roro Centil.
Dengan menggu-
nakan Ilmu Malih Rupa, Giri
Mayang telah menyaru
Roro Centil. Bahkan dengan
perbuatannya itu, Roro
pernah dituduh sebagai seorang
wanita Pendekar be-
rakhlak bejat. Dan banyak
melakukan perbuatan-
perbuatan tercela.
Joko Sangit yang tak mengetahui
kalau Roro tengah
mengakali sukma Kala Wrenggi,
terkejut mendengar
Roro mengatakan bahwa dia amat
mencintai pemuda
bernama GINANJAR. Dia memang
mengenal Ginanjar,
yang diketahuinya adalah seorang
pemuda yang masih
saudara seperguruan Roro.
Seperti diketahui Roro per-
nah menjadi murid Jarot
Suradilaga alias si Maling
Sakti. Dan Ginanjar adalah murid
Ki Bayu Sheta atau
si Pendekar Bayangan, yang punya
hubungan antara
mereka adalah menantu dan
mertua. (baca: Kisah per-
tama RORO CENTIL, berjudul;
Empat Iblis Kali Progo).
Roro sendiri masih terhitung
murid Ki Bayu Sheta,
karena kakek tua bekas pejuang
dari kaum Partai Pen-
gemis yang berjulukan si
Pendekar Bayangan itu me-
nurunkan pula ilmu-ilmu
kepandaiannya pada Roro.
Seketika wajah Joko Sangit
berubah merah padam.
Dadanya bergetar.
"Pantas dia menipuku!
ternyata diam-diam dia telah
mencintai si bocah ingusan
itu...!" berdesis Joko Sangit
dengan geram.
Namun di samping geram karena
cemburunya, juga
sakit hati pada Roro yang telah
memperdayai dia, Joko
Sangit tak habis pikir melihat
kejadian di depan ma-
tanya. Jelas lengan yang putus
dan masih memegang
keris itu adalah lengan manusia
gila yang telah dihabi-
si nyawanya dengan ledakan
peluru maut.
Di samping heran dia juga
terkejut mengetahui len-
gan kutung yang bisa bicara itu
adalah karena dima-
suki sukma KALA WRENGGI.
"Siapakah Kala Wrenggi
itu? Sukmanya bisa gentayangan
dan dapat masuk ke
tubuh manusia atau kemana saja
yang disukainya?"
berpikir Joko Sangit dalam benak
dengan 1001 perta-
nyaan.
Sementara sukma Kala Wrenggi
telah mulai buka
suara lagi.
"Heh Bocah Centil, apakah
kau mau aku memasuki
lagi tubuh pemuda bernama
Ginanjar itu lagi?" Roro
Centil merasa mendapat peluang
dengan adanya per-
tanyaan itu. Segera dia
menjawab.
"Kurasa tidak perlu"
sahut Roro. "Masih banyak
pemuda gagah lainnya yang bisa
menawan hatiku. Ta-
pi aku lebih menyukai kau Kala
Wrenggi. Selain sakti
mandraguna kau juga seorang
manusia yang pantang
mati. Aku amat tertarik padamu.
Kalau tak keberatan
ingin sekali aku melihat jasadmu
di pantai Tenggara..."
rayu Roro dengan tersenyum
manis.
Mendengar jawaban Roro Centil
sukma Kala Wreng-
gi tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha... hehehe... lucu!
sungguh lucu sekali. Ka-
lau gadis secantik dan sehebatmu
sampai tak dicintai
oleh pemuda bernama Ginanjar itu
saja sudah suatu
hal yang tak mungkin. Kini kau
katakan bahwa kau
menyenangi aku yang jasadnya
saja belum pernah kau
lihat. Bagaimana kalau jasadku
itu cuma sesosok tu-
lang kerangka?" Tersentak
Roro mendengar kata-kata
sukma Kala Wrenggi. "Edan!
apakah roh manusia se-
tan ini bisa menerka isi
hatiku?" bertanya Roro dalam
hati. Namun walaupun demikian
Roro tetap mengum-
bar senyum.
"Aku tak perduli apakah
jasadmu cuma sesosok ke-
rangka atau segumpal daging
busuk. Yang jelas aku
ingin sekali melihat jasadmu.
Bukankah punya suami
manusia aneh yang sakti seperti
kau banyak sekali
keuntungannya? Kau bisa
berpindah pada jasad siapa
saja. Dan kau tak akan pernah
tua. Juga tak kan per-
nah mati. Nah aku merasa
pilihanku tidak meleset!"
ucap Roro dengan tegas.
Karuan saja Joko Sangit yang
mendengarkan pem-
bicaraan Roro jadi belalakkan
matanya seperti tak per-
caya. "Jadi si Kala Wrenggi
ini adalah manusia setan
yang pantang mati? Gila Edan! si
Roro juga edan! Du-
nia Ini memang benar-benar sudah
edan!" memaki Jo-
ko Sangit kalang-kabut dalam
hati. Sementara sukma
Kala Wrenggi mulai bicara lagi
setelah perdengarkan
tertawanya yang terkekeh-kekeh.
"Bagus! bagus! baiklah! aku
tak keberatan dengan
keinginanmu itu. Sebaiknya kita
berangkat sekarang
ke Tenggara!"
"Tunggu!" berkata
Roro. "Bolehkah aku mengetahui
mana adanya pemuda bernama
Ginanjar itu kini?" ber-
tanya Roro.
"Hm, segera akan
kutunjukkan! Apakah yang akan
kau lakukan? Kalau kau sudah tak
menyukainya, aku
akan segera membunuhnya mampus
saja sekalian, se-
perti sembilan nyawa para
tamtama tadi!"
"He? kau telah membunuh
sisa-sisa tamtama Kadi-
paten itu?" terhenyak Roro
dengan terkejut. Matanya
membelalak menatap lengan kutung
yang mencekal
keris bersinar hijau itu, yang
menggantung di udara.
"Hehehe... siapa berhak
melarang kemauanku?"
menyahut sukma Kala Wrenggi.
"Benar! benar, siapa yang
berhak melarang kemau-
anmu?" timpal Roro. Dia
memang tak dapat berbuat
apa-apa selain menelan ludah
yang terasa menyangkut
di tenggorokan.
"Tidak! kau tak perlu
membunuh pemuda itu. Kalau
sudah kuketahui dia masih hidup,
kita langsung be-
rangkat ke Tenggara. Kelak aku
punya cara sendiri un-
tuk melakukan apa yang akan
kulakukan pada pemu-
da sombong yang angkuh
itu!" berkata Roro.
"Kalau begitu segera
kutunjukkan di mana dia".
"Tunggu! aku tak bisa jalan
bersama sepotong len-
gan yang mengerikan seperti itu.
Apakah..." Roro ber-
pikir sejurus,
"Hehehe... apakah kau punya
usul bagus?"
"Ya, apakah tak sebaiknya
kau masuk saja ke da-
lam cincinku?" ujar Roro
seraya mengangkat lengan-
nya dan mengembangkan jemari
tangannya. Pada jari
manis Roro melekat sebentuk
cincin berbatu Merah
Delima.
Cincin warisan dari gurunya si
Manusia Banci, yang
tak pernah lepas melingkar di
jari manis Roro.
"Bagus! aku sepenuju dengan
usulmu!" sahut suk-
ma Kala Wrenggi.
"Dan keris ini kukira aku
tak memerlukannya!" ber-
kata sukma Kala Wrenggi. Selesai
berkata, tiba-tiba
lengan kutung itu bergerak
mengibas. Jari-jari tan-
gannya mengembang. Dan...
meluncurlah keris bersi-
nar hijau itu menembus semak
belukar.
Terperanjat Joko Sangit.
Keringat dingin merembes
di tengkuknya. Keris maut itu
nyaris menembus leher-
nya. Benda itu menancap tepat di
dahan kayu semak
belukar tempat dia bersembunyi.
Ketika dia memandang ke arah
Roro. Ternyata Roro
Centil baru saja berkelebat
meninggalkan tempat itu.
Dia cuma bisa melihat punggung
dara Pantai Selatan
itu sesaat sebelum lenyap.
"Edan! benar-benar manusia
sudah pada edan!"
memaki si brewok seraya melompat
berdiri. Tak ada
niat Joko Sangit untuk menyusul.
Segera dia berpaling
memandang pada Randu Wangi yang
masih tergeletak
tak sadarkan diri. Terdengar
helaan napas laki-laki ini.
Akan tetapi tersentak dia ketika
melihat semak belukar
dihadapannya telah menjadi layu.
Jelas terlihat semak yang layu
itu adalah yang da-
hannya tertancap keris bersinar
hijau itu.
"Keris beracun!?"
sentak Joko Sangit dengan mem-
belalak. Dan lagi-lagi di
tengkuknya merembes kerin-
gat dingin. "Edan...!"
makinya.
Joko Sangit julurkan lengannya
mencabut keris itu,
lalu mengamatinya. Tampak cairan
darah yang belum
mengering di badan keris itu.
Akan tetapi Joko Sangit
bukan memperhatikan bekas-bekas
darah itu, melain-
kan ukiran berbentuk seekor Naga
yang terdapat di
badan keris. Ukiran Naga itu
tergambar sama di kedua
belah badan keris itu.
"Ini pasti sebuah keris
Pusaka..." gumam laki-laki
brewok ini dengan kerutkan
keningnya. "Entah siapa
manusia gila yang sudah mampus
itu. Aku tak menge-
nalinya. Dan aku memang tak
perlu mengetahuinya
lagi, karena toh orangnya sudah
mampus!" gerutu si
brewok.
Tiba-tiba laki-laki ini balikkan
tubuhnya dengan ce-
pat, ketika merasakan ada
syiuran angin halus di be-
lakangnya.
"Berikan benda itu padaku,
sobat muda...! Kukira
benda itu tak berguna buat
anda!" Joko Sangit pentang
matanya lebih lebar. Seorang
kakek berjubah putih,
kepalanya terbungkus lilitan
kain yang juga berwarna
putih. Seuntai tasbih kuning
tergantung di lehernya.
Pada sebelah lengan kakek itu
tercekal sebuah pedang
yang masih terbungkus
serangkanya. Kakek yang ber-
jenggot dan berkumis tipis ini
memandang pada Joko
Sangit dengan tersenyum.
Suaranya seperti mengan-
dung wibawa.
"Siapakah anda...?"
bertanya Joko Sangit yang me-
natap dengan terpaku.
"Haiiihi namaku sudah
hampir tak diingat orang.
Sebenarnya aku enggan
menyebutkannya, tapi tak
apalah. Kulihat watakmu baik
walau kelihatannya kau
seorang kasar. Baiklah aku akan
memberitahukannya
padamu..." menyahut si
kakek.
"Sebenarnya aku seorang
pertapa dari gunung
Sumbing. Namaku Sujiwo. Tapi aku
digelari orang
dengan julukan si Pertapa Tasbih
Kuning..." ujar si ka-
kek sambil tersenyum. Tapi
belakangan orang menye-
butku KYAI SUMBING"
Joko Sangit manggut-manggut
mendengar penjela-
san orang tua itu.
“Terima kasih atas pemberitahuan
nama dan gelar
anda. Aku sendiri bernama Joko
Sangit." laki-laki bre-
wok itu perkenalkan dirinya
seraya menjura hormat
pada kakek tua yang ramah itu.
"Boleh aku tahu, apakah
hubungan anda dengan
keris ini?" bertanya Joko
Sangit.
"Bukan saja dengan keris
itu, akan tetapi juga den-
gan gadis yang kau tolong itu
aku memang ada hu-
bungannya." sahut Kyai Sumbing
sambil lengannya
menunjuk pada Randu Wangi yang
juga masih belum
sadarkan diri. "Oh,
ya...?" terkejut Joko Sangit. "Gadis
itu bernama Randu Wangi"
ujar Kyai Sumbing. "Dia
adalah anak seorang Empu yang
bernama Santri Bu-
bulen. Santri Bubulen adalah
masih terhitung kepona-
kanku. Dan gurunya adalah
sahabatku sendiri yang
bernama Kyai Nogo Ijo..."
Joko Sangit manggut-
manggut.
"Lalu hubungan apakah anda
dengan keris ini?" po-
tong Joko Sangit.
"Keris itu menjadi tanggung
jawabku untuk me-
musnahkannya. Benda bercahaya
itu adalah ciptaan
Santri Bubulen keponakanku itu,
atas pesanan orang
yang bernama Bogota. Manusia
bernama Bogota itu te-
lah menyandra anak gadisnya yang
bernama Randu
Wangi selama belasan tahun
karena menginginkan ke-
ris pusaka yang dimiliki Santri
Bubulen.
Santri Bubulen memang memiliki
sebuah keris pu-
saka dari gurunya yang bernama
Kyai Nogo Ijo. Nama
keris itu memang serupa dengan
nama si pemiliknya.
Santri Bubulen yang tak mau
memberikan pusaka wa-
risan gurunya pada Bogota, telah
mengatakan bahwa
keris pusaka itu telah hilang.
Tapi dia sanggup mem-
buat keris yang serupa dengan
keris Kyai Nogo Ijo jika
Bogota menginginkan. Santri
Bubulen memang seo-
rang ahli membuat keris dan
boleh disebut sebagai
seorang Empu. Tapi dikatakan
oleh Santri Bubulen
bahwa pembuatannya akan memakan
waktu lama
hingga mencapai belasan tahun.
Karena Bogota men-
ginginkan mutunya yang sama
dengan keris Kyai Nogo
Ijo yang asli. Tujuan Santri
Bubulen adalah agar Bogo-
ta membatalkan maksudnya
memiliki keris itu.
Tak dinyana manusia itu malah
menyandera anak
Santri Bubulen.
Dia akan mengembalikan anak itu kelak sebatas
waktu Santri Bubulen menjanjikan
selesainya pem-
buatan keris tiruan Kyai Nogo
Ijo. Tak terkira sedih
dan menyesalnya Santri Bubulen.
Dengan dendam
yang tersemat di dada dia
membuat keris tiruan Kyai
Nogo Ijo dan menunggu waktu
sampai Bogota men-
gembalikan anak gadisnya sambil
menjemput keris.
Akan tetapi Santri Bubulen telah
merendam keris
ciptaannya itu dengan racun yang
amat ganas. Tu-
juannya adalah bila anaknya
sudah kembali, dia akan
membunuh Bogota dengan keris
pesanannya sendiri.
Tak dinyana ketika Bogota
muncul, justru tak mem-
bawa anak gadisnya.
Namun tekad Santri Bubulen telah
bulat untuk
membunuh Bogota. Tapi ternyata
justru Santri Bubu-
lenlah yang terbunuh oleh keris
tiruan Kyai Nogo Ijo
itu di tangan Bogota.."
tutur Kyai Sumbing.
"Sayang aku tak mengetahui
peristiwa penyande-
raan itu sejak awal. Karena
Santri Bubulen meraha-
siakannya!" sejenak orang
tua itu termenung dan
menghela napas.
***
JOKO SANGIT duduk termenung di
akar pohon.
Malam telah merayapi sekitar
perbukitan itu. Laki-laki
brewok ini seperti tenggelam
dalam lamunannya dalam
keheningan yang membisu.
Sepotong bulan tampak
mengambang di atas awan
menyinari Mayapada den-
gan cahaya yang tak begitu
terang. Joko Sangit me-
mang tengah tenggelam dalam
lamunan mengingat
pengalaman-pengalaman hidupnya
selama ini.
Baru muncul lagi setelah
menyembunyikan diri un-
tuk mempelajari kitab NINJA.
Joko Sangit telah mem-
bunuh orang. Dan orang itu
adalah seorang Ketua Par-
tai Besar yang bernama Partai
Lereng Merapi, menurut
penuturan Kyai Sumbing. Kyai
Sumbing memang ten-
gah mengejar manusia gila
bernama Bogota itu, dan
berhasil merampas Pedang Pusaka
di tangan bekas Ke-
tua Lereng Merapi itu. Dari
penuturan Kyai Sumbing,
Bogota ternyata bukanlah orang
yang berhak mendu-
duki jabatan Ketua di
partai
Lereng Merapi yang sudah
terpecah belah. Perbua-
tannya banyak yang menyalahi
peraturan-peraturan
partai itu.
Kabar yang mengejutkan Joko
Sangit adalah bahwa
kemunculan sukma Kala Wrenggi
telah membuat ke-
hancuran Partai Lereng Merapi
dan sebuah perguruan
lain dengan membantai habis
orang-orangnya.
RANDU WANGI gadis yang telah
ditolongnya itu ter-
nyata telah ternoda oleh manusia
bernama Bogota.
Gadis yang masih dalam keadaan
tak sadarkan diri itu
akan dibawa oleh Kyai Sumbing
untuk dipertemukan
dengan ibunya yang masih hidup.
Joko Sangit tak da-
pat menghalangi.
Setelah memberikan keris tiruan
Kyai Nogo Ijo, Joko
Sangit segera mohon diri untuk
pergi meninggalkan
tempat itu. Sementara Kyai
Sumbing pun segera be-
rangkat pergi dengan membawa
Randu Wangi.....
Terdengar laki-laki brewok itu
menghela napas. Dia
belum punya tujuan untuk ke mana
dia langkahkan
kakinya. Namun kemunculan RORO
dan sukma Kala
Wrenggi membuat dia seperti tak
dapat tenangkan ha-
ti. Entah mengapa tampaknya dia
seperti mengkhawa-
tirkan keselamatan Roro, ataukah
memang ingin tahu
apa yang terjadi di Tenggara,
karena Roro dan sukma
Kala Wrenggi tengah menuju
kesana.
"Kukira sebaiknya aku
menyusul ke Tenggara..."
gumam laki-laki kekar ini,
seperti mengambil keputu-
san. "Aku tak dapat
mengetahui apakah aku bisa men-
jumpai dia atau tidak, karena
aku tak tahu ke mana
mereka pergi. Tapi dengan
perjalanan ini kukira
mungkin akan menambah
pengalamanku di wilayah
Tenggara...!" demikian
keputusan Joko Sangit.
Sesaat dia sudah bangkit
berdiri. Kepalanya me-
nengadah menatap bulan sepotong
di atas kepala. "Ba-
gus! sekalian aku mencari
penginapan di kota. Sudah
lama aku tak mencicipi arak.
hahaha..." Joko Sangit
tertawa kecil lalu tubuhnya
berkelebat dari atas bukit
itu. Sekejap kemudian sudah tak
nampak lagi bayan-
gan tubuhnya.
***
11
Malam semakin melarut, ketika
sesosok tubuh be-
rindap-indap mendekati sebuah
rumah panggung di
sisi kota.
Di luar cahaya bulan masih cukup
menerangi seki-
tar tempat itu walaupun
cahayanya remang-remang.
Tetapi berbeda dengan keadaan di
dalam rumah pang-
gung itu, karena dari luar tak
menampak ada cahaya
pelita.
Terhuyung sosok tubuh itu yang
semakin mendeka-
ti rumah panggung.
"Rumah siapakah gerangan?"
terdengar suara sosok
tubuh itu bergumam.
"Perutku lapar... Apakah yang
punya rumah bisa memberikan
sedikit nasi untuk me-
nangsal perutku?" gumamnya
lirih. Tampaknya laki-
laki itu amat menderita sekali
seperti sudah beberapa
hari tak bertemu makanan.
Siapakah gerangan dia?
Ternyata tak lain dari GINANJAR
adanya.
Pemuda ini memang dalam keadaan
bingung karena
ketika sukma Kala Wrenggi
meninggalkan gua gar-
banya, Ginanjar tak mengetahui
dia berada di mana.
Apalagi cuaca telah berubah
gelap dengan pergan-
tian siang menjadi malam.
Dalam keadaan bingung karena
tahu-tahu di hada-
pannya tak ada lagi gadis
bernama Kasmini yang dika-
gumi kehebatannya dan telah
menyelamatkan dirinya
dari perbuatan mesum Rinjani.
Seingatnya dia men-
dengar suara orang tertawa
terkekeh-kekeh dan ber-
suara parau yang tanpa kelihatan
ujudnya. Selanjut-
nya sudah tak tahu apa-apa lagi.
Tentu saja Ginanjar tak
menyadari kalau sukma
Kala Wrenggi telah memasuki
gua garbanya dan tu-
buhnya ke mana saja tanpa dia
tahu ke arah mana dia
pergi. Bahkan perbuatan apa yang
telah dilakukannya
dia tak mengetahui. Baru saja
dia mau melangkah ma-
suk, dari dalam rumah yang gelap
itu terdengar suara
tertawa mengikik. Tersentak
Ginanjar bukan kepalang.
Sebuah bayangan putih tahu-tahu
tersembul di pintu
rumah dengan rambut putih yang
beriapan mena-
kutkan. Dan yang membuat
Ginanjar seperti copot
nyalinya adalah muka sosok tubuh
itu amat mengeri-
kan. Sepasang mata yang besar
dengan mulut yang
menampakkan taring di kedua sisi
bibir. Hidungnya
melesak serta mempunyai
kerut-kerut wajah bagaikan
kera.
"Huah!? sse... set...
setaaaan!" sentaknya kaget. Su-
ara tertawa makhluk itu semakin
menjadi-jadi ketika
Ginanjar lari pontang panting
dengan terhuyung-
huyung jatuh bangun seraya
berteriak-teriak.
"Tolooong! tolooong...!
Kun... kun... kuntilanaaaak!"
Sesaat sosok tubuh Ginanjar
telah lenyap di kegelapan
malam.
"Hahahaha... haha... dasar
bocah ingusan yang ma-
sih bau kencur! Bocah macam kau
baiknya tinggal saja
di dapur, atau menyusu pada
ibumu!" berkata "mak-
hluk" itu. Tiba-tiba
lengannya bergerak. Rambut kepa-
la dijambret terlepas. Kulit
mukanya juga terkelupas.
Ternyata hanya sebuah topeng
serta rambut palsu be-
laka. Cahaya rembulan cukup
menerangi wajahnya.
Ternyata si brewok, alias Joko
Sangit.
Entah bagaimana sampai laki-laki
brewok itu bisa
sampai di tempat itu. Sembunyi
di dalam pondok dan
menakut-nakuti Ginanjar hingga
lari pontang-panting
ketakutan. Joko Sangit tarik
buntalannya di pung-
gung. Lalu dengan cepat telah
benahi alat-alatnya un-
tuk kembali dibuntal. Dan
sekejap kemudian buntalan
itu telah disangkutkan kembali
di punggungnya.
"Hm, perutku sudah kenyang
menyikat makanan
dalam rumah ini. Aku akan
teruskan perjalanan ke ko-
ta..." berkata sendiri Joko
Sangit. Selanjutnya dengan
beberapa kali lompatan, beberapa
kejap kemudian so-
sok tubuh lak-laki brewok itu
telah lenyap di kegela-
pan malam.
***
PULAU terpencil di tengah laut
itu masih terhalang
kabut. Tak ada sebuah perahupun
yang nampak di
dekat situ. Akan tetapi dalam
keremangan pagi yang
masih dinihari, tampak sebuah
bayangan berkelebatan
di atas ombak.
Bila diamati orang tak akan
percaya kalau sosok
tubuh itu adalah manusia biasa.
Karena satu hal yang
tak mungkin bagi pemikiran orang
biasa, kalau ada
manusia bisa berlari-lari di
atas air seperti menginjak
tanah saja.
Sosok tubuh semampai itu memang
manusia biasa,
akan tetapi memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa.
Dialah RORO CENTIL, alias si
Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Tampak senjata Roro si
Rantai Genit yang mi-
rip mainan itu tergantung
terayun-ayun di pinggang-
nya.
"Di arah sebelah manakah
pulau tempat jasadmu
itu, sobat Kala Wrenggi?"
terdengar suara Roro seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Hehehehe... teruslah ke
arah depan, sesaat lagi
kau akan melihatnya."
terdengar suara sahutan tanpa
terlihat ujudnya.
"Aiiiiih, aku sudah tak
sabar untuk melihat jasad-
mu!" ujar Roro seraya
menatap pada cincin di jari ma-
nisnya. Dari dalam cincin itulah
terdengarnya suara
menyahut tadi.
"Hehehehe... sabarlah! Tak
lama lagi kau akan me-
lihatnya!" menyahut sukma
Kala Wrenggi.
Ketika Kabut mulai melenyap Roro
Centil sudah je-
jakkan kaki di pulau yang baru
lahir itu. Itulah pulau
yang menyembul dari dasar laut.
Pulau baru yang
menjadi tempat tenggelamnya
jasad Kala Wrenggi dari
atas permukaan laut, ketika
tubuhnya dilemparkan
dalam keadaan terbelenggu oleh
musuh-musuhnya.
Roro memandang berkeliling
dengan takjub. Ka-
rang-karang yang bertonjolan di
sekitar pulau itu se-
perti mempunyai keindahan
tersendiri. Akan tetapi ju-
ga seperti menimbulkan kesan
menyeramkan. Pulau
yang terlihat seperti mati tanpa
penghuni. Bahkan tak
nampak seekor burung camarpun
yang mendekati pu-
lau itu. Bau amis mengembara di
mana-mana. Bang-
kai-bangkai ikan yang membusuk
seperti menyesak-
kan pernapasan. Hal itu di
sadari Roro ketika kakinya
mulai melangkah lebih jauh
memasuki pulau itu.
"Di mana dapat kutemukan
jasadmu, Kala Wreng-
gi?" Roro bertanya lagi.
Akan tetapi dengan hati kebat-
kebit. Sementara benaknya terus
memikir, akan meng-
gunakan cara bagaimanakah dia untuk melenyapkan
manusia Iblis yang pantang mati
itu? Roro tak men-
dengar sahutan suara sukma Kala
Wrenggi.
"He? Kala Wrenggi apakah
kau masih berada di da-
lam cincin ku?" sentak Roro
terheran. Ditatapnya cin-
cin berbatu Merah Delima yang
melingkar di jari ma-
nis. Tetap tak ada sahutan.
Tiba-tiba terdengar suara
gemuruh di hadapannya.
Batu karang yang menonjol
setinggi tiga kali tubuh
manusia depannya telah runtuh.
Karang-karang ber-
lumut meluruk bergelundungan.
Roro belalakkan matanya.
Sementara dia sudah pa-
sang panca indranya untuk
menghadapi segala ke-
mungkinan yang bakal terjadi.
Matanya semakin membelalak
lebar, ketika sesosok
tubuh muncul di antara
celah-celah batu karang yang
bertimbunan. Sosok tubuh yang
mengerikan. Karena
persis mayat hidup. Sosok tubuh
yang sekujur tubuh-
nya penuh dengan lumut, dalam
keadaan telanjang
bulat. Lumut-lumut itu menutupi
aurat dan sekujur
tubuhnya. Wajahnya menampilkan
wajah seorang ka-
kek tua yang berusia 70 tahun
lebih. Tulang-tulang
rusuknya tampak menonjol.
Rambutnya hampir me-
nyerupai lumut yang hijau.
Sepasang matanya cekung
ke dalam, dengan sorot mata
memerah bagaikan api.
Tangan dan kakinya terbelenggu
oleh rantai yang baru
saja putus. Inilah jasad Kala
Wrenggi. Jasad yang telah
terkubur di dasar laut selama
dua puluh tahun.
Roro terperangah memandang. Tak
terasa kakinya
melangkah mundur. "Owh?
betapa mengerikan..." ber-
desis suara dara Pantai Selatan
ini, "Inikah jasad Kala
Wrenggi?" sentaknya dengan
mata membelalak.
"Hehehehe... hoho... RORO
CENTIL! Jangan terke-
jut! Akulah Kala Wrenggi yang
telah menyatu lagi den-
gan sukmanya! Kau telah datang
di pulau gersang ini
untuk mengantar KEMATIAN!"
Makhluk berlumut
itu tertawa seram, mengumbar
kata-kata. Roro kemba-
li mundur dua tindak. Jantungnya
berdetak keras. "In-
ilah agaknya yang bakal
terjadi...?" desisnya tersentak.
Roro memang tak menduga kalau
justru Kala Wrenggi
akan bersikap demikian mendadak.
Namun lambat
atau cepat toh dia memang harus
mengalami perta-
rungan maut. Karena dia telah
bertekad untuk me-
numpas manusia iblis yang bakal
membawa bencana
dan sudah menyebar maut itu!
Sampai saat ini Roro belum tahu
akan mempergu-
nakan cara bagaimana untuk
memusnahkan manusia
yang pantang mati itu. Agaknya
waktu untuk berpikir
sudah tak ada lagi. Karena
tiba-tiba di sekeliling Roro
telah bersembulan kobaran api.
Terperanjat Roro meli-
hat dalam sekejap saja dia telah
terkurung oleh koba-
ran api yang menghalangi
pandangan matanya ke seki-
tar pulau.
"Hah!? Edan! dia memang
benar-benar mau mem-
buat aku terkubur di pulau ini
tanpa jasad" gumam
Roro dengan mata membelalak.
"Hoahaha... hahahaha...
RORO CENTIL! Hari ini
akan kau rasakan kematian! Kau
takkan dapat meni-
puku, atau mengakali aku. Juga membunuhku!
Tak
ada lagi jalan keluar bagimu,
karena api neraka ini
akan membakar tubuhmu sampai
luluh!" Kala Wrenggi
gerakkan tubuhnya seperti
terbang. Dan...
WHUUUK! lengannya bergerak
menghantam Roro.
Dari telapak tangan Kala Wrenggi
keluar cahaya merah
yang mengeluarkan hawa panas
seperti lahar.
BHLARRR! Gemuruh terdengar suara
ledakan. Batu
karang itu seperti luluh mencair
terkena sinar merah.
Akan tetapi Roro telah melambung
ke atas sejarak 10
tombak. Kakinya hinggap di atas
batu karang lainnya.
Wajah Roro tampak berubah
tegang. Tiada lagi rasanya
pertarungan dahsyat yang
dialaminya selain melawan
manusia iblis pantang mati ini.
Akan mampukah Roro membunuh Kala
Wrenggi si
manusia iblis ini? Ikuti saja
pertarungannya.
Roro telah gunakan tenaga dalam
Inti Es untuk me-
lindungi tubuhnya dari hawa
panas luar biasa. Hingga
tampak keringat membasahi
sekujur tubuhnya. Inilah
saat penentuan mati dan hidup
Roro. Sementara itu
api berkobar-kobar mengitari
seluruh pulau. Kala
Wrenggi keluarkan suara
menggeram menyeramkan.
Kembali manusia setan itu
menerjang Roro. Sepasang
lengannya terpentang menyambar
dibarengi melun-
curnya tubuh Kala Wrenggi
bagaikan terbang. Roro te-
lah waspada dan bertekad akan
menempur manusia
iblis itu mati-matian.
Dengan membentak nyaring Roro
telah gunakan ju-
rus pukulannya.
BHLARRR! BHLARRR!
Cahaya perak dan pelangi
berkelebatan menyam-
bar. Roro yang sudah bertekad
menghancurkan manu-
sia iblis itu telah
menghantamnya dengan pukulan-
pukulan saktinya, yaitu jurus
pukulan warisan Muri
Asih. Tubuh Kala Wrenggi lenyap
terbungkus sinar pe-
langi yang berkelebatan di
udara. Roro segera gunakan
mata batinnya untuk mengetahui
ke mana lenyapnya
tubuh Kala Wrenggi. Sementara
api semakin berkobar
dan kian menyempit mengurung
Roro.
Tenaga Inti Esnya mulai
mengendur. Dan Roro mu-
lai rasakan hawa panas yang
menyengat kulit.
"Celaka...!" tersentak
Roro. Segera dia gunakan ke-
kuatan tenaga dalamnya untuk
menambah tenaga Inti
Esnya. Cepat-cepat dia silangkan
tangan dl depan da-
da seperti sikap orang yang
bersemadi. Sepasang ma-
tanya terpejam. Sekejap tubuh
dara perkasa Pantai Se-
latan itu seperti dipenuhi
butir-butir salju. Mengem-
bun dan keluarkan hawa dingin
luar biasa.
WHUUUUUS... BUK! Menjerit Roro
Centil ketika me-
rasai tubuhnya terlempar. Satu
hantaman pukulan se-
rasa membuat isi tubuhnya serasa
remuk. Tapi Roro
belum hilang kesadarannya.
Sebelum tubuhnya ter-
banting ke batu karang dan
tertambus api, dia guna-
kan hantaman ke bumi. itulah
jurus "Kosongkan Perut
Menahan Lapar". Tubuh Roro
melambung ke udara se-
tinggi dua puluh tombak. Dan
mengambang di udara.
Tampak Kala Wrenggi tengah
menengadah ke atas. Se-
pasang matanya memancarkan sinar
merah yang me-
nyala.
BHLARRRR!
Terdengar ledakan dahsyat.
Apakah yang terjadi?
Cahaya merah itu membalik
menghantam ke arah pe-
nyerangnya. Ledakan dahsyat itu
telah membuat keja-
dian mengerikan. Karena tampak
batok kepala Kala
Wrenggi hancur lumat terhantam
sinar merah.
Melihat keberhasilan pukulannya,
Roro bersorak gi-
rang dalam hati. Dan... dengan
dibarengi melesatnya
tubuh Roro bagaikan anak panah,
Roro segera guna-
kan pukulan-pukulan
"Malaikat Gurun Pasir Meram-
bah Iblis" dengan
bertubi-tubi. Ledakan-ledakan dah-
syat terdengar beberapa kali.
Tak menampak lagi adanya tubuh
Kala Wrenggi,
karena telah hancur lumat
menjadi abu.
Saat itu langit tampak berubah
kehitaman. Angin
bersyiur keras. Cahaya petir
menyambar-nyambar di
angkasa. Mendadak api yang
mengelilingi pulau itu
padam. Bayangan hitam dan cahaya
merah itu sirna.
Cuaca segera berangsur-angsur
berubah menjadi te-
rang benderang.
Dan terjadilah pemandangan yang
aneh. Pulau mis-
terius itu mendadak berguncang
hebat. Ombak laut
berdeburan keras. Menggelombang
dan menyemburat
setinggi beberapa kaki. Apakah
yang terjadi? Ternyata
pulau yang baru lahir itu telah
tenggelam lagi ke dasar
laut. Hanya beberapa saat saja
di hamparan air itu su-
dah tak menampak lagi adanya
sebuah pulau. Pulau
itu telah kembali ke asalnya.
Sesosok tubuh manusia
tertelungkup di atas per-
mukaan air. Saat mana sebuah
perahu meluncur pesat
membelah ombak. Dikemudikan oleh
si Brewok Lengan
Tunggal. Matanya jelalatan
memandang ke sekeliling-
nya. Perahu itu berputar-putar
mengelilingi perairan
itu.
"Hah? RORO...? tersentak
Joko Sangit mengetahui
siapa adanya sosok tubuh itu.
Pucat seketika wajah
Joko Sangit bagaikan kertas. Tak
lama Roro keluarkan
keluhan lirih..
Wajah Joko Sangit berubah cerah.
Tampak dia amat
girang sekali.
"Roro...! RORO...!"
teriaknya lirih, seraya menggun-
cang-guncang tubuh dara itu.
Akan tetapi Roro Centil tak
menyahut. Namun tam-
pak bibirnya tersenyum. Dan
perlahan kelopak ma-
tanya terbuka. Menatap wajah di
dekatnya dengan ta-
tapan redup.
"Roro...! aku masih
mencintaimu, Roro...! Aku tak
akan mendendam padamu walau aku
telah kehilangan
sebelah lenganku! Aku akan
memaafkan kelakuanmu
tempo hari!" ucap Joko
Sangit dengan suara mengge-
tar. Tapi suara itu tersekat di
kerongkongannya. Dia
cuma ucapkan dalam hati.
"Joko... siapakah
manusianya yang telah memu-
tuskan lenganmu? Katakanlah.
Demi langit dan bumi
aku akan melumatkan manusia
jahanam itu!" ucap
Roro dengan suara lirih.
"Roro, nanti akan
kuceritakan siapa orangnya. Apa-
kah yang terjadi denganmu, Roro?
Bagaimana dengan
sukma Kala Wrenggi?"
"Dia telah kembali ke
asalnya, Joko...! Iblis boleh ti-
dak mati, dan tak akan pernah
mati sampai hari kia-
mat. Tapi sukma yang gentayangan
akan tetap kembali
pada Tuhan, bila telah tiba
waktunya. Kesaktian apa-
pun akan punah. Dan
keangkara-murkaan tetap tak
akan bisa bertahan lama di atas
dunia ini...!" ucap Ro-
ro Centil dengan tersenyum. Roro
Centil katupkan lagi
kelopak matanya. Bibirnya masih tersenyum. Tapi
tampak seperti mengharap.
"Joko...! ah, Joko...! kau
tak tahu betapa aku mencintai
mu..." bisikan itu tera-
mat lirih. Hampir-hampir Joko
Sangit tak mendengar-
nya.
Camar-camar semakin banyak
beterbangan di atas
permukaan laut.
Joko Sangit semakin mendekatkan
wajahnya. Bi-
birnya mendesah.
"Roro...! Roro... aku cinta
padamu...!
T A M A T
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon