Roro Centil 26 - Sukma Kala Wrenggi(2)




6

Ditanya siapa yang telah mengajarinya ilmu kedig-
jayaan, Kasmini lagi-lagi tersenyum. "Hm, nantilah aku
ceritakan. Marilah kita tinggalkan tempat ini!" Seraya
berkata Kasmini mendahului berkelebat. Ginanjar tak
dapat  buang waktu lagi untuk segera mengikutinya.
Menyusuri jalan di sisi tembok Keraton kuno itu, me-
reka tiba di belakang bangunan tua itu.
"Nah! tempat ini kurasa cukup aman!" berkata
Kasmini. Tubuhnya melesat ke atas  sebuah batu be-
sar, tepat berada dibawah sebatang pohon rindang.
Mereka telah berlari-lari cepat selama sepenanak nasi,
dan telah cukup jauh dari tempat pemukiman si Datuk
Setan Belang. Ginanjar enjot tubuh untuk menyusul.
Dengan gerak ringan kakinya menginjak batu.
"Rasanya aku sudah tak sabar mendengar ceritamu

dik Kasmini. kau kini telah banyak berubah. Di samp-
ing berilmu tinggi, juga tambah cantik". Berkata Gi-
nanjar sekaligus memuji. Dipuji cantik demikian Kas-
mini jadi tersipu. Wajahnya memerah. Siapa yang tak
bahagia mendapat pujian dari orang yang selama ini
telah merebut hatinya. Dan yang selama ini tengah di-
carinya? Akan tetapi senyumnya yang tersipu itu men-
dadak jadi berubah tatkala tiba-tiba terdengar suara
tertawa terkekeh-kekeh parau menyibak kelenganan di
hutan itu.
"Heheheh... heheh...  alangkah  bahagianya  kalian
anak-anak muda. Main kejar-kejaran dan bercinta di-
dalam hutan yang sunyi sungguh membuat aku jadi
mengiri, yang bukannya mengiri lagi, akan tetapi ra-
sanya aku ingin menjadi salah satu dari kalian. Hehe-
heh... heheheh... hehe...
Terperangah keduanya mendengar suara tanpa wu-
jud itu. Ginanjar dan Kasmini saling pandang dengan
keheranan karena melihat kesana-kemari tak melihat
manusianya. Sementara Ginanjar merasa bulu teng-
kuknya mulai berdiri meremang. Kasmini memandang
Ginanjar dengan perasaan khawatir. Hawa dingin tera-
sa mulai mengembara ke sekitar tempat itu. Kekhawa-
tiran gadis semakin memuncak ketika melihat Ginan-
jar menatapkan matanya ke arah dengan seperti terke-
sima. Apakah yang telah dilihatnya? pikir Kasmini, ka-
rena dia sendiri tak  melihat apa-apa. Kasmini yang
mengkhawatirkan terjadi apa apa dengan pemuda yang
dicintainya itu dengan gerakan secepat kilat telah me-
nyambar lengannya. Seraya mengguncang-  guncang-
kan beberapa kali.
"Kak Nanjar! kak Nanjar!? ayo cepat kita pergi dari
sini!" teriaknya dengan suara agak gemetar. Akan teta-
pi menatap pada wajah Ginanjar, gadis ini jadi terkejut

heran. Karena justru Ginanjar tengah tertawa menye-
ringai menatap padanya. Sinar matanya terasa aneh.
Sinar mata pemuda itu seperti telah berubah jalang.
Begitu seram dan menakutkan, hingga membuat Kas-
mini  jadi bergidik dan menyurut mundur, seraya le-
paskan pegangan pada tangan pemuda itu.
"Kak Nanjar..!" ke.. kenapakah ka.. kau.. ?"
"Heheheheheh.. aku tidak kenapa-kenapa. Mengapa
kau takut padaku, manis?" berkata Ginanjar. Akan te-
tapi suaranya telah berubah serak parau. Bahkan sua-
ra tertawanya mirip tertawa seorang kakek yang terke-
keh-kekeh.
Tersentak gadis ini ketika dengan sebat sekali len-
gan pemuda itu telah menyambar untuk merangkul
pinggang. Dalam terkejutnya Kasmini gerakkan tubuh
dengan reflek untuk menghindar. Tapi sungguh di luar
dugaan, karena tahu-tahu pinggangnya telah kena
disambar.
BRREEET! WEEEK! Terdengar suara kain yang so-
bek ketika sinar pelangi membersit dari arah sisi hu-
tan, dan bagaikan selendang sutra tipis telah membelit
tubuh Kasmini. Selanjutnya menariknya, hingga tubuh
gadis itu meluncur terbetot dan terlepas dari rangku-
lan lengan Ginanjar.
Kasmini rasakan tubuhnya meluncur cepat sekali
akan tetapi segera tertahan berhenti seperti menabrak
segumpal kapas lembut. Ketika kakinya menjejak ta-
nah dihadapannya telah berdiri seorang gadis cantik
berbaju hijau. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil
adanya.
Ginanjar belalakkan mata menatap sobekan baju
Kasmini di tangannya. Sementara Kasmini melihat pa-
da bajunya yang koyak dari sebatas pinggang hingga
kedada. Lalu membelalak menatap pada Ginanjar dan

Roro Centil hinggap di atas batu besar dibekas tempat
berdiri Ginanjar. Ternyata seorang kakek berjubah pu-
tih yang berkaki buntung sebatas lutut. Dialah si Pen-
dekar Gentayangan alias Ki Jagur Wedha. Atau lebih
jelasnya lagi adalah guru dari Joko Sangit.
Sedangkan para pendatang lainnya yang bermuncu-
lan, tak lain dari para tokoh persilatan golongan putih.
Diantaranya terdapat Ki Panunjang Jagat, Gembul So-
ra dan Ki Kutut Praja Setha, serta beberapa tokoh lain.
Roro Centil memandang sekelilingnya. Sungguh dia
tak menyangka kalau dalam waktu sekejapan saja di-
tempat itu telah bermunculan para tokoh Rimba Hijau
golongan putih, yang beberapa orang dikenalnya.
Roro yang memang telah mengetahui siapa yang be-
rada dalam tubuh Ginanjar, segera melompat tinggi
dengan menyambar tubuh Kasmini. Sesaat dia telah
berada dalam kelompok para pengepung itu.
"Sobat-sobat kaum tua Rimba Hijau golongan putih,
sungguh aku Roro Centil merasa bergirang hati kalian
telah berkumpul disini untuk mencegah perbuatan ja-
hat sukma KALA WRENGGI! Akan tetapi kuharap anda
semua tidak turun tangan. Serahkan urusan ini pada-
ku. Karena dengan tindakan yang ceroboh, bisa-bisa
korban berada dipihak kita" berkata Roro dengan sua-
ra berbisik. Satu persatu para tokoh kaum tua golon-
gan putih itu menoleh pada Roro. Ternyata Roro telah
lakukan keahliannya mengirim suara yang masing-
masing dari para tokoh tua itu berganti-ganti. Tahulah
dia kalau gadis baju hijau ini telah menyelamatkannya
dari tangan Ginanjar yang tiba-tiba berubah aneh. Ya!
memang dia merasakan keanehan dari sikap Ginanjar.
Suaranyapun telah berubah parau dan menyeramkan,
mirip dengan suara tanpa wujud yang didengarnya ta-
di.

"Heheheheh... Kasmini! mengapa kau ketakutan
melihatku? Bukankah aku kak Nanjarmu? Dan kau,
gadis baju hijau mengapa merebut kekasihku dari tan-
ganku? Mengapa ikut campur urusan orang yang se-
dang bercintaan?" Berkata demikian Ginanjar telah
melompat dengan gerakan seperti terbang, dan seke-
jap. telah berdiri tegak dihadapan kedua dara cantik
ini.
"Hm, siapa kau nona?" tanya Ginanjar pada Roro
Sinar matanya membersit tajam menatap pendekar
wanita itu.
"Heh! KALA WRENGGI! tinggalkan tubuh pemuda
itu! Jangan kau mengacau ditempat ini!" Tiba-tiba ter-
dengar bentakan keras. Dan beberapa sosok tubuh
berkelebatan mengurung pemuda bernama Ginanjar
itu.
"Benar! hentikanlah kekacauan yang kau lakukan.
Kau telah terkepung!" terdengar lagi suara teriakan ke-
ras dari sosok tubuh terakhir yang muncul dengan ke-
lebatkan tubuhnya. Dengan ringan sekali sosok tubuh
itu telah mendengar bisikannya. Itulah ilmu mengirim
suara yang amat luar biasa. Karena Roro telah men-
demonstrasikan pengiriman suara yang dapat diterima
oleh si pendengarnya lebih dari satu orang.
Pengiriman suara jarak jauh ini telah dibantu den-
gan saluran tenaga batin  yang amat luar biasa, dan
boleh dibilang amat langka. Hingga masing-masing
yang mendengar segera menoleh pada Roro, lalu
manggut-manggut.  Ki Panunjang Jagat melompat
mendekati si Pendekar Gentayangan Ki Jagur Wedha,
lalu berbisik. "Apakah anda mendengar bisikan gadis
pendekar itu?"
"Ya! Dalam waktu bersamaan kita telah mendengar
bisikan jarak jauh gadis pendekar Roro Centil yang

cuma diucapkan satu kali. Bocah yang luar biasa!" bi-
sik Ki Panunjang Jagat dengan kagum. Karena ketika
berpandangan pada para tokoh lainnya, mereka semua
sama menganggukkan kepala.
Saat itu Roro telah berkelebat lagi melompat ke ha-
dapan Ginanjar.
"Hm, Kala Wrenggi! apa sih sebenarnya keinginan-
mu memasuki tubuh pemuda ini? Kau pura-pura tak
mengenalku. Hihihi... apakah kau kira aku tak menge-
tahui kalau kau adalah si Kala Wrenggi?" berkata Roro
dengan bertolak pinggang. Melihat sikap Roro yang
jumawa itu, Kala Wrenggi tertawa terkekeh-kekeh.
"Heheheh... Siapa yang tak mengenalmu, Roro Centil?
Bocah centil macam kau yang berilmu tinggi memang
baru kujumpai sejak aku bangkit lagi dari kematian.
Aku telah merasai kehebatan ilmu pukulan mu yang
terasa panas. Akan tetapi kau keliru kalau kau men-
ganggapku aku telah kalah! Aku memang merencana-
kan untuk mempersatukan tokoh-tokoh persilatan un-
tuk menjadi budak-budakku.
"Kulihat kini telah berkumpul tokoh-tokoh tua
kaum golongan putih.
Hahahahaheheheh... bukankah amat kebetulan se-
kali?" ujar sukma Kala Wrenggi yang berada ditubuh
Ginanjar. Pemuda yang kemasukan roh Kala Wrenggi
itu tertawa menyeringai. Lalu putar pandangan mena-
tap pada jago-jago tua yang mengelilinginya. Roro ter-
cenung sesaat. Diam-diam Roro berfikir untuk menga-
kali sukma Kala Wrenggi.
"Rencana yang bagus!" berkata Roro dengan suara
berdesis yang dibisikkan ke "telinga" sukma Kala
Wrenggi. "Apakah kau tak merencanakan untuk beker-
ja sama, sobat Kala Wrenggi? Rencana itu bagus seka-
li. Dari pada membunuh mereka, lebih baik mempera-

latnya. Ketahuilah, aku sebenarnya amat mencintai
pemuda yang kau masuki tubuhnya itu. Akan tetapi
ternyata dia malah mencintai gadis bernama Kasmini
itu. Walau sebenarnya kau yang berada didalam tubuh
pemuda ini tapi aku tak penasaran. Pemuda yang kau
masuki tubuhnya itu bernama Ginanjar. Aku akan me-
lupakan permusuhan kita asalkan kau mau bekerja
sama. Yang penting Ginanjar tetap bersamaku walau
dalam tubuhnya hakekatnya adalah kau si Kala
Wrenggi..." Bisikan Roro yang hanya ditujukan pada
sukma Kala Wrenggi tak seorangpun diantara jago-jago
tua golongan putih itu yang mendengarnya.
Sejenak "Ginanjar" Tampak termanggu. Akan tetapi
tiba-tiba perdengarkan suara tertawa bergelak-
terkekeh-kekeh hingga tanah serasa bergetar kare-
nanya.
"Bagus! aku setuju dengan pendapatmu, nona cen-
til. Agaknya kita sudah dijodohkan untuk bertemu dan
bersahabat." bisik sukma Kala Wrenggi. "Bagaimana
rencanamu selanjutnya?"
"Hihihi.. tentu saja segera kita tinggalkan tempat
ini. Aku ingin sekali mengetahui tempat jasadmu di
pulau yang baru lahir itu di wilayah Tenggara. Apakah
tak sebaiknya kita kesana?" ujar Roro dengan bisikan
ajaibnya. Sejenak sukma Kala Wrenggi tak menyahut
seperti tengah berpikir.
Tapi tak lama kemudian terdengar lagi suaranya
tertawa terkekeh. menyibak keheningan yang mence-
kam. Sementara para tokoh tua kaum putih itu cuma
saling berpandangan satu sama lain. Tak mengerti
mengapa Roro sebentar-sebentar tertawa dan terse-
nyum, demikian pula Ginanjar yang dimasuki sukma
Kala Wrenggi itu. Memang beberapa hari kemudian se-
jak terjadinya peristiwa yang menimpa dua perguruan

besar  di wilayah  itu, para tokoh tua kaum golongan
putih yang telah bersatu ini telah mencium jejak ca-
haya merah yang segera diketahui adalah sukma Kala
Wrenggi.
Entah apa yang dibisikkan sukma kala Wrenggi pa-
da Roro para tokoh kaum golongan putih itu tak men-
getahui. Selesai tertawa terkekeh-  kekeh "Ginanjar"
berkata keras dengan suara parau.
"Heh! kalian orang-orang tua jompo harap bersabar-
lah untuk segera menjadi budak-budakku!" kemudian
kembali tertawa sekali lagi. Dan selanjutnya sekali ge-
rakkan tubuh, "Ginanjar" melesat  ke udara. Gerakan
kilat itu membuat para jago tua itu terperangah, ter-
masuk Kasmini. Mereka cuma melihat berkelebatnya
bayangan putih yang membersih ke udara. Selanjutnya
tubuh Ginanjar telah lenyap bagaikan terhembus an-
gin.
"Jangan biarkan dia kabur! Kejaaar!" teriak Ki Jagur
Wedha. Tubuhnya sudah melompat tinggi untuk men-
gejar. Akan tetapi satu bayangan hijau segera menyu-
sul. Tak lama dua bayangan putih dan hijau kembali
meluncur  turun. Ternyata Roro yang mencegahnya.
Dara perkasa Pantai Selatan ini berkata.
"Maafkan aku kakek. Kukira dalam waktu sementa-
ra ini sukma Kala Wrenggi tak akan mengganggu. Aku
akan segera menyusulnya ke Tenggara." Pendekar tua
kaki buntung ini yang pernah ditolong Roro dalam ki-
sah:  "Misteri Sepasang Pedang Siluman", cuma bisa
terpaku memandang Roro.
"Jadi kau si bocah centil diam-diam telah mengada-
kan perjanjian dengan sukma si Kala Wrenggi edan
itu?" bertanya Ki Jagur Wedha.
"Benar, kakek..." sahut Roro dengan tersenyum.
Semua jadi membelalak memandang pada Roro

Centil. Akan tetapi pada saat itu juga tiba-tiba terden-
gar suara bentakan menggeledek.
"Bocah sialan! jangan harap kau dapat lolos dari
tanganku!"
WHUUUK!
Tanah menyemburat tepat dibawah kaki kedua to-
koh persilatan yang usianya berbeda jauh itu. Akan te-
tapi kedua tokoh kita dari pihak golongan putih ini te-
lah melesat lebih dulu dari tempat itu.
Sesaat tampak dengan bergandengan tangan, Roro
dan Ki Jagur Wedha baru saja "hinggap" di atas batu
besar. Tepat di sisi Ki Panunjang Jagat. Si kakek ber-
tubuh jangkung ini menghela napas lega.

***

7

Semua mata segera menatap pada sosok tubuh
yang telah berdiri tegak di hadapan mereka. Kiranya
yang barusan menyerang adalah si Datuk alias si Si-
luman Setan Belang. Bagaimana hingga sampai si ka-
kek Datuk dari para harimau jejadian itu bisa sampai
ke tempat ini? Juga Roro? Marilah kita ikuti kisah di
belakang.
Saat pertarungan tengah berlangsung seru di dalam
ruangan Keraton Kuno tempat bercokolnya si Datuk
Siluman Setan Belang, seperti diceritakan Ginanjar
nyaris "diperkosa" oleh Rinjani si manusia harimau je-
jadian.
Akan tetapi muncul Kasmini yang menolong Ginan-
jar. Sementara itu pertarungan Roro dengan sang Da-
tuk semakin seru.

Roro tampaknya terdesak oleh ilmu-ilmu si Datuk
yang dapat merubah tubuhnya menjadi banyak. Se-
dangkan upaya Roro mengakali si Datuk untuk mema-
suki bumbung bambu ternyata menemui  kegagalan.
Karena si Datuk Siluman Setan Belang ternyata masih
berada di luar bumbung. Yang menjelma menjadi asap
putih tipis dan memasuki bumbung bambu itu cuma
ilmu sihirannya belaka. Roro terjerat dalam benang-
benang sutera ciptaan sang Datuk.....
Tampaknya sebentar lagi dapat dipastikan oleh si
Datuk bahwa Roro akan berhasil jadi tawanannya.
Saat Roro tengah sibuk menghalau benang-benang su-
tera ciptaan itu, si kakek berhidung melesak ini berke-
lebat seraya menaburkan serbuk halus berwarna putih
yang berbau harum. Serbuk ini menghalangi pandan-
gan mata Roro. Tampak tubuh dara perkasa Pantai Se-
latan ini terhuyung. Belum lagi tubuhnya roboh karena
hidungnya telah mengendus bau harum yang dapat
membuat orang tak sadarkan diri, lengan sang Datuk
telah bergerak menyambarnya.|
"Hehehehehe... hahaha... cah ayu, ternyata tak begi-
tu sukar menawan mu" berkata Datuk Siluman Setan
Belang dengan tertawa terkekeh.
Dipanggulnya tubuh Roro yang tak berkutik untuk
dibawa masuk ke ruangan kamarnya. Tubuhnya yang
tampaknya telah lemah lunglai tanpa tenaga itu diba-
ringkan di peraduan. Kembali dia tertawa mengekeh.
Sementara sepasang matanya menjalari lekuk-liku tu-
buh korbannya. Sepasang matanya membinar-binar
menimbulkan hawa birahi. Beberapa kali lengannya
menyibak, maka tubuh sang dara perkasa yang cantik
jelita itu telah dalam keadaan tanpa busana.
Dengus napaspun mulai terdengar mengembara di
sekitar ruangan kamar sang Datuk. Sekejap dia sudah

lorotkan jubahnya. Gemetar lengan tua itu ketika men-
jamah kulit pipi  sang korban yang bagaikan seorang
dewi tengah tertidur pulas. "Ohh... cantiknya kau cah
ayu..." menggeletar suara sang Datuk. Perlahan-lahan
direbahkan tubuhnya menindih tubuh Roro....
Akan tetapi tiba-tiba kakek tua ini berteriak terta-
han. Seketika tubuhnya terlompat dari pembaringan-
nya bagaikan dipagut ular. Sepasang matanya membe-
lalak menatap sosok tubuh yang tergolek di pembarin-
gan itu. Datuk tua ini mengucak-ngucak matanya se-
perti tak percaya, karena apa yang dilihatnya adalah...
sebongkah batu terbujur di peraduannya.
"Gila! Setan alas! Dedemit...! Mengapa bisa begi-
ni????" Memaki-maki sang Datuk Siluman Setan  Be-
lang dengan wajah merah padam.
"Aku telah tertipu mentah-mentah!" mendesis si ka-
kek dengan kesal. Segera disambar jubahnya. Dan se-
kali lengannya bergerak, hancurlah batu itu berikut
berderak hancur peraduannya. Selang sesaat dia telah
berkelebat keluar dari ruangan kamar.
Ternyata yang ditujunya adalah kamar Rinjani, se-
telah berteriak-teriak memanggil anak buahnya agar
mencari jejak Roro Centil yang tak ketahuan kemana
lenyapnya. Didapati Rinjani terlentang di lantai kamar
dalam keadaan telanjang bulat. Akibatnya marahnya,
justru Rinjanilah yang jadi korban.
Sekali lengannya bergerak, tubuh Rinjani yang da-
lam keadaan tertotok itu terlempar membentur dinding
kamar. Tak terdengar jeritannya lagi. Karena nyawanya
langsung melayang seiring dengan hancurnya tulang-
tulang tubuh wanita cabul itu dengan suara yang ber-
kelotakan. Darah menyemburat ke setiap penjuru. Dan
sang Datuk telah melompat keluar dari ruangan kamar
dengan, kemarahan yang membludak.....

Melihat di sekeliling tempat itu berkumpul lebih da-
ri lima orang kakek si Datuk Siluman Setan Belang
mendengus.
"Heh! ada apakah kalian sobat-sobat berada di wi-
layah ku  ini?" berkata demikian kembali dia meman-
dang pada Roro Centil yang tersenyum-senyum melihat
si Datuk yang mendelikkan mata ke arah dia.
"Kau bocah sialan, jangan  harapkan dirimu bisa
berlindung di ketiak kakek-kakek moyangmu! huh!
awas kau bocah centil! Kau telah mengelabuiku men-
tah-mentah. Tapi suatu saat aku akan buktikan uca-
panku untuk menawanmu hidup-hidup!"
"Persoalan apakah gerangan antara kau dengan no-
na Pendekar Roro Centil sahabatku ini, sobat? Apakah
kau dapat memberi penjelasan?" Ki Kutut Praja Setha
yang sejak tadi berdiri saja sambil berpeluk tangan
ajukan pertanyaan.
"Maaf, aku tak dapat menjawab pertanyaan itu. Dan
aku tak mau lain orang mencampuri urusanku!" sahut
sang Datuk dengan ketus. Selesai berkata si Datuk ini
balikkan tubuh, dan melompat pergi dari situ.
"Heeei! sobat tua! sungguh sombong benar kau? se-
butkan dulu siapa nama dan gelarmu biar aku tak pe-
nasaran!" teriak Ki Gembul Sona membentak. Tubuh-
nya berkelebatan menyusul. Lengan kakek yang berju-
lukan si Belut Putih ini menjulur jubah si Datuk. Akan
tetapi saat itu berdesir puluhan jarum dari ujung
tongkat Siluman Setan Belang. Kalau saja Ki Gembul
Sona tak memiliki kelincahan, sudah dapat dipastikan
bahaya maut mengancam jiwanya. Untunglah dengan
gerakan gesit dia miringkan tubuh. Lengan jubahnya
yang lebar menghantam jarum-jarum maut itu hingga
buyar, Namun ketika dia jejakkan kakinya ke tanah, si
kakek jubah hitam itu lenyap. Lapat-lapat terdengar

suara tertawanya terkekeh.
"Hehehe... hahaha... nama gelarku adalah si Datuk
Siluman Setan Belang! Harap kau jangan coba-coba
urusan denganku!"
Ketika semua mata memandang ke arah Gembul
Sona dan ke arah tempat berkelebat lenyapnya sosok
tubuh Si Datuk Siluman Setan Belang, saat itu Roro
telah berkelebat cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Para tokoh tua kaum putih itu cuma bisa gelengkan
kepala mengetahui Roro Centil sudah berlalu mening-
galkan mereka tanpa permisi lagi.

***

8

RORO CENTIL telah jejakkan kakinya di satu kota
bernama BOLULAWANG. Dalam perjalanannya ke wi-
layah Tenggara ini ternyata Roro tak begitu tergesa-
gesa. Kota Bolulawang tak seberapa besar. Melangkah
lebih jauh memasuki tengah kota, Roro menampak ke-
ganjilan di dalam kota ini. Karena warung-warung,
penginapan dan toko-toko tak nampak ada yang buka.
Semuanya tutup. Orang-orang yang lalu-lalangpun ter-
lihat sepi. "Aneh! ada apakah yang terjadi?" pikir Roro. 
Di ujung jalan Roro melihat seorang laki-laki tua
yang baru saja mengangkat papan terakhir untuk me-
nutup penginapannya. "Heh! Kebetulan. Aku bisa ta-
nyakan pada orang itu!" desis Roro tersenyum. Laki-
laki tua ini adalah pelayan penginapan itu yang ker-
janya agak lambat.
Sementara dari dalam terdengar suara sang maji-
kan yang memerintahkan si pelayan agar secepatnya

masuk dan mengunci pintu. Ketika tahu-tahu...
"Paman...! maaf, aku mengganggu. Boleh aku num-
pang beristirahat di sini?" Terkejut laki-laki pelayan
mengetahui seorang. gadis entah dari mana muncul-
nya tahu-tahu telah berada disampingnya.
"Oh, ma... maaf noo... nona. Hari ini kami tak me-
nerima tamu..." tergagap pelayan itu menyahut.
"Mengapa?" tanya Roro. Akan tetapi belum lagi sang
pelayan itu menyahuti telah terdengar suara bentakan
dari dalam.
"Cepat masuk! tunggu apa lagi kau Bejo? apa kau
mau mampus siang-siang?" Tentu saja membuat pe-
layan tua ini tak ayal lagi segera melompat masuk tan-
pa pedulikan Roro lagi, dan... Bruk! Dia telah tutup
pintu penginapan dan sekaligus menguncinya dengan
palang pintu.
"Aneh!?" menggumam Roro. Dia jadi terlongong di
muka  pintu. "Mengapa tampaknya orang begitu keta-
kutan?" Roro putar pandangan ke sekeliling tempat.
"Hm, benar-benar tak ada manusia yang berani un-
jukan diri. Apakah ada iblis yang mengincar nyawa
hingga semua penduduk kota ketakutan menyembu-
nyikan diri?" pikir Roro dalam benak.
Sementara itu di balik pintu penginapan terdengar
suara bisik-bisik.
"Sssst! siapa orang yang mau menginap tadi? seper-
ti kudengar suara perempuan?" Suara yang terdengar
agak berat itu adalah suara si pemilik penginapan.
"Seorang gadis, Ndoro..."
"Cantik?"
"Wah! coantiik sekali Ndoro. Dia mau menumpang
beristirahat, katanya tadi. Tapi Ndoro sudah memang-
gilku agar cepat-cepat masuk dan menutup pintu,"
menyahut sang pelayan dengan suara berbisik pula.

"Hm... apa dia masih ada di luar?"
"Entahlah, Ndoro..."
"Coba kau periksa!" perintah sang majikan.
"Baik, Ndoro. Apa disuruh masuk sekalian?" ber-
tanya sang pelayan bernama Bejo itu.
"Pakai tanya, ya maksudku begitu! kasihan kan ga-
dis secantik gitu kalau mau beristirahat masakan bisa
ku tolak?"
Bisik-bisik itupun berakhir. Dan terdengar suara
palang pintu dibuka dari dalam.
Kepala si pelayan tersembul di pintu. Matanya jela-
latan mencari Roro. Akan tetapi dia tak menampak
adanya gadis tadi berada di depan pintu. Dia melang-
kah agak lebih jauh dan memandang ke sekeliling. Tak
nampak bayangan seorang manusiapun
"Ada, Jo... ?" terdengar suara agak keras dari da-
lam. "Ti... tidak, Ndoro...! dia sudah pergi" menyahut
Bejo.
"Huuuuh! sudahlah, ayo cepat kau masuk dan kun-
ci pintu lagi!"
Akan tetapi belum lagi Bejo melangkah, tiba-tiba
terdengar suara tertawa terbahak-bahak, diiringi kata-
kata keras.
"Hahahahha... haha... perutku lapar begini, semua
warung tak ada yang buka. He! aku mau makan di wa-
rung mu, apa kau ada persediaan makanan?" Tentu
saja si pelayan tua bernama Bejo itu jadi gelagapan,
karena tahu-tahu pundaknya telah dicengkeram
orang. Ketika dia balikkan tubuh, seorang laki-laki ke-
kar berambut gondrong telah berada di situ. Menatap
padanya dengan sorot mata seram.
Laki-laki ini berwajah penuh brewok.  Bajunya ter-
buat dari karung goni. Sebelah lengan bajunya yang
panjang dibiarkan menggantung seperti tak berlengan.

Ternyata laki-laki brewok ini memang berlengan satu.
Jelas terlihat tangan yang sebuah lagi telah kutung se-
batas pangkal lengan. Di punggungnya terikat sebuah
buntalan.
"Oh, hari ini kami tak punya persediaan makanan.
Harap maafkan..." menyahut si pelayan.
"Apakah kau berkata betul? Kalau ku geledah ter-
nyata ada makanan, apakah kau mau bertaruh dengan
kepala mu sebagai taruhannya?" bentak si brewok.
"Ampun, Raden...! sebenarnya ada, tapi hari ini ka-
mi tak bisa menerima tetamu, karena... karena..." Ter-
gagap si pelayan mendengar gertakan laki-laki brewok
itu.
"Bagus! hayo, antar aku masuk!" berkata si brewok,
Belum lagi si pelayan mengangguk, tahu-tahu tubuh-
nya serasa terbang. Dan sekejap kemudian telah bera-
da di dalam penginapan. Nyaris bertubrukan dengan si
pemilik penginapan yang mau melongok keluar melihat
apa yang terjadi.
Laki-laki gemuk ini belalakkan mata memandang
pada si laki-laki berewok yang telah masuk ke dalam
penginapan.
"Ndoro, tet.. tetamu ini mau..." berkata si pelayan
dengan gugup. Namun kata-katanya segera dipotong
oleh si brewok.
"Ya! perutku lapar. Aku mau makan. Apa bisa ka-
lian sediakan aku makan?"
"A... ada..! Bejo! segera kau siapkan makanan untuk
tuan ini!" perintah si pemilik penginapan, yang me-
mang juga membuka restoran.
"Tu... tutup pintu itu dulu!" perintahnya lagi pada
Bejo.
"Baik! baik, Ndoro..." Bejo cepat bergegas menutup
pintu dan memalangnya sekaligus.

"Ada apakah? tampaknya kalian seperti ketakutan.
Kulihat semua orang menutup pintu rumah makan
dan tokonya rapat-rapat." berkata si laki-laki brewok.
Si pemilik penginapan menatap wajah laki-laki bre-
wok itu.! Sekali melihat sudah dapat menduga kalau
laki-laki itu adalah orang baik-baik. Walaupun berwa-
jah penuh cambang-bauk tetapi jelas laki-laki itu
punya penampilan gagah. Dan di balik brewoknya me-
nampakkan ketampanan wajahnya.
"Boleh aku mengetahui siapa nama Anda? Aku Sin-
go Wulung pemilik penginapan dan rumah makan ini."
berkata si pemilik penginapan.
"Hahaha... aku tak punya nama. Tapi baiklah kau
panggil aku si BREWOK LENGAN TUNGGAL". Menden-
gar nama itu, Singo Wulung jadi tersenyum manggut-
manggut. Segera dia memaklumi kalau berhadapan
dengan seorang tokoh Rimba Hijau.
"Baiklah sobat Brewok, sebenarnya...." segera Singo
Wulung menceritakan secara singkat apa yang telah
terjadi.
"Laki-laki tua jubah hitam itu memondong seorang
gadis yang tak pernah lepas dari pundaknya. Dia da-
lam keadaan tidak waras!" Singo Wulung mengakhiri
penuturannya.
"Gila! dia telah lakukan pembunuhan pada bebera-
pa orang penduduk?" tanya si brewok.
"Benar, sobat brewok...! menyahut Singo Wulung.
Sementara itu di luar pintu penginapan sesosok tubuh
baru saja menjelma. Siapa lagi kalau bukan Roro Cen-
til. Dara perkasa ini memang sejak tadi berada di tem-
pat itu. Ternyata Roro telah mempergunakan aji Hali-
munan, hingga tubuhnya tak nampak oleh mata biasa.
Kemunculan si Brewok Lengan Tunggal juga telah di-
ketahui Roro, termasuk percakapan dari balik pintu

penginapan. Yang membuat Roro terkejut bukanlah
tentang si manusia laki-laki jubah hitam yang menye-
bar maut di kota itu. Akan tetapi kemunculan si laki-
laki brewok, yang segera dikenalnya adalah JOKO
SANGIT.
Terpanar mata Roro memandang ke pintu pengina-
pan, seolah mata itu berhasil menembus papan pintu.
"Joko... ah, Joko Sangit! Apa yang terjadi denganmu?
Siapakah manusianya yang telah memutuskan tan-
ganmu itu?" berbisik Roro dalam hati.
Akan tetapi Roro tak dapat berpikir lebih jauh, ka-
rena pada saat itu terdengar suara jeritan orang dari
arah ujung jalan. Tak ayal, Roro segera gerakkan tu-
buhnya untuk melesat ke sana.

***

9

APAKAH yang terjadi di ujung jalan kota sunyi itu?
Ternyata seorang laki-laki tua berjubah tengah dike-
pung oleh belasan orang. Para mengepung itu tak lain
dari para prajurit Kadipaten.
Dua orang telah roboh terjungkal dengan jerit men-
gerikan. Sebelas pengeroyoknya melompat mundur.
Sangat mengerikan, karena sekejap kedua tubuh tam-
tama itu telah berubah hijau. Keris berluk tujuh di
tangan laki-laki tinggi besar jubah hitam itu pancarkan
sinar hijau. itulah keris KYAI NOGO IJO. Ternyata laki-
laki tua itu tak lain dari KI BOGOTA adanya.
"Hoahaha... haha... hayo majulah kalian semua ku-
tu kutu Kadipaten. Kyai Nogo Ijo akan menghirup da-
rah kalian semua! hahaha... haha..." tertawa berkaka-

kan Ki Bogota. Wajahnya memerah bagai kepiting dire-
bus. Sebelah tangannya mencekal keris, dan sebelah
lagi memanggul tubuh seorang gadis di pundaknya.
Tersentak Roro ketika mengenali gadis itu adalah
RANDU WANGI. Tiga orang perwira saat itu telah me-
nerjang dari arah kanan. Pedang dan golok berkeleba-
tan. Mereka adalah tiga orang perwira kelas satu dari
pengawal Adipati Bolulawang. Khawatir mengenal ga-
dis yang dalam pondongan laki-laki gila itu, mereka
menerjang dengan hati-hati. Dua orang menabas kaki.
Sedangkan yang seorang lagi menabas lengan.
Akan tetapi Ki Bogota dengan tertawa terbahak se-
gera melompat. Kerisnya digunakan menangkis seran-
gan lawan yang mengarah pangkal lengan.
TRANG..!
WHUUT!
WHUUT!
Dua jeritan kembali terdengar. Dua dari perwira
Kadipaten itu terlempar dengan perut robek. Ternyata
dengan kecepatan kilat Ki Bogota telah lemparkan tu-
buh gadis yang dipondongnya ke udara. Di detik itu
dia berkelebat menyarangkan kerisnya di perut kedua
lawan. Sementara tangkisan tadi telah membuat pe-
dang lawan tertabas putus. Luar biasa memang keris
Kyai Nogo Ijo itu. Tapi juga luar biasa gerakan tubuh
Ki Bogota. Karena saat dua tubuh lawannya terlempar,
dia telah siap kembali menyangga tubuh gadis itu un-
tuk dipondongnya.
Akan tetapi belum sempat lengan Ki Bogota me-
nyentuh tubuh gadis itu satu bayangan telah mener-
jang. BUK!
Ki Bogota terjungkal berguling-guling. Terperanjat
laki-laki tua ini, ketika melompat berdiri sesosok tu-
buh berambut panjang telah berdiri di hadapannya

dengan memanggul tubuh gadis itu.
Roro yang belum mengambil tindakan apa-apa ter-
sentak kaget, karena segera mengenali siapa dia. tu-
buh barusan tak lain dari JOKO SANGIT alias si Bre-
wok Lengan Tunggal.
"Manusia gila! Kau mampuslah!" membentak si
brewok.
WHUUUK!
BHLARRR...!
Semua mata membelalak menatap dengan mulut
ternganga. Karena sukar untuk diduga ketika laki-laki
brewok itu gerakan lengannya, tahu-tahu terdengar le-
dakan dahsyat. Seiring ledakan itu, mereka melihat
tubuh Ki Bogota telah menjadi serpihan-serpihan yang
melambung di udara. Bercampur dengan menyembu-
ratnya tanah dan batu.
Ketika debu menipis, tampak potongan-potongan
tubuh laki-laki  tua bekas ketua Partai Lereng Merapi
itu yang sudah tak berbentuk lagi. Ketika mereka me-
mandang pada si brewok, ternyata orangnya sudah le-
nyap entah kemana...
Roro cuma melihat berkelebatnya bayangan ke arah
utara. Tak ayal lagi Roro segera mengejar. Sementara
sembilan tamtama Kadipaten itu cuma bisa terperan-
gah dengan mulut ternganga tanpa ucapkan sepatah
kata. Berdiri terpaku memandang tubuh manusia edan
yang telah membunuhi penduduk dan menewaskan
beberapa tamtama itu.
Dalam keadaan demikian, tanpa seorangpun yang
melihat. Sepotong lengan yaitu potongan lengan Ki Bo-
gota yang masih erat mencekal keris Kyai Nogo Ijo yang
menggeletak di balik bongkah-bongkah batu, tiba-tiba
bergerak hidup. Potongan lengan yang menggeletak di
balik bongkah-bongkah batu itu melayang ke udara.

Fantastis sekali, karena tiba-tiba potongan lengan itu
meluncur ke arah para tamtama itu. Sinar hijau berke-
lebat, dan....
Terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan membe-
lah udara.
Kesembilan tamtama Kadipaten itu roboh satu per-
satu hampir berbareng. Darah memercik menyiram ta-
nah. Karena dada dan leher mereka telah terkoyak ke-
ris maut Kyai Nogo Ijo. Sekejap saja sembilan tubuh
itu telah roboh dengan nyawa masing-masing lepas da-
ri tubuhnya.
Kejap berikutnya sinar hijau telah berkelebat mem-
belah udara meluncur pesat menuju ke arah utara.
Seperti menyusul kedua bayangan yang telah lebih
dulu melesat dari tempat itu...

***

RORO CENTIL berkelebat mengejar bayangan tubuh
si Brewok yang sudah dapat dipastikan adalah JOKO
SANGIT. Mana Roro bisa melupakan wajah laki-laki
yang telah membuat dia jatuh hati itu? Roro sendiri
tak mengetahui mengapa dia bisa jatuh hati pada be-
kas berandal itu. Apakah karena kebaikan hatinya,
ataukah karena Joko Sangit memang berwajah tam-
pan? Akan tetapi Roro mengetahui banyak laki-laki se-
perti SAMBU RUCI alias si Bujang Nan Elok, atau Raja
Muda tanah Melayu, Ginanjar dan banyak lagi yang
lainnya. Namun justru Roro lebih tertarik pada Joko
Sangit. Dia tak dapat mengelabui isi hatinya untuk
mencintai laki-laki itu. Joko Sangit memang sudah da-
pat dikatakan seorang laki-laki yang amat mudah ja-
tuh ke tangan wanita. Tapi Roro yakin kalau kelakuan
tidak baik itu bisa dihilangkan. Semua itu karena Joko

Sangit seorang laki-laki yang kurang kuat iman. Apa-
kah rasa cintanya itu timbul karena rasa kasihan pada
laki-laki Itu? Entahlah...
Ketika pada beberapa tahun yang lalu Ki Jagur
Wedha guru Joko Sangit bergurau akan mengambil
menantu padanya, Roro cuma tersipu dengan wajah
berubah merah. Biasanya Roro tak ambil peduli
dengan setiap laki-laki. Karena Roro memang masih
mau hidup menyendiri, bebas dari ikatan suami istri.
Yah, memang jiwa kependekaran Roro lebih tampak
menonjol. Roro memang lebih mementingkan urusan
kependekaran ketimbang urusan pribadi. Tapi sebagai
manusia Roro tak mampu menolak apa yang namanya
"Cinta". Walau Roro sendiri tak mengetahui apakah dia
jatuh cinta, apakah cuma rasa kasihan pada laki-laki
itu.
Yang jelas, Roro tengah mengejarnya dengan hati
trenyuh tak menentu. Karena setelah lama tak pernah
berjumpa, Roro melihat laki-laki brewok itu muncul
dengan ilmu yang tinggi. Akan tetapi Joko Sangit telah
kehilangan sebelah lengannya. Dan berjulukan si Bre-
wok Lengan Tunggal.
Saat itu senja hampir merambah alam. Cuaca tidak
lagi terang benderang. Matahari hampir redup. Bebe-
rapa saat lagi akan lenyap terhalang pegunungan. Ge-
rakan Roro memang agak lambat, karena Roro di
samping memikirkan keadaan Joko Sangit, juga memi-
kirkan Ginanjar yang gua garbanya kemasukan sukma
KALA WRENGGI. Dua orang laki-laki muda yang sama-
sama mencintai dirinya itu telah muncul. Yang seorang
adalah masih saudara seperguruannya sendiri, yaitu
Ginanjar. Sedang Joko Sangit masih ada pertalian hu-
bungan antara guru Joko Sangit dengan gurunya, yai-
tu si Manusia Aneh Pantai Selatan. Namun Roro telah

kehilangan jejak ketika mengejar Joko Sangit.
Mendadak cahaya hijau membersit di atas kepa-
lanya. "Hahaha... heheh... RORO CENTIL! untuk apa
kau mengejar dia? Bukankah kau mau ke Tenggara?"
Terkejut Roro melihat sepotong lengan yang mencekal
sebuah Keris bersinar hijau bisa berkata-kata. Nada
suara tertawa dan kata-kata itu membuat Roro segera
mengetahui dengan cepat. Namun membuat Roro jadi
terperanjat, karena dia tahu potongan lengan itu ada-
lah potongan lengan manusia edan yang tubuhnya
mengalami kehancuran akibat benda peledak yang di-
lakukan Joko Sangit alias si Brewok.
"Kala Wrenggi...!?" sentak Roro dengan mata terbe-
lalak. Sekejap dia sudah hentikan langkahnya. Menen-
gadah menatap pada potongan lengan yang mencekal
keris hijau berlumuran darah.
"Benar, aku sukma Kala Wrenggi! Segera hentikan
pengejaranmu, dan ikut aku ke Tenggara!" menyahut
sukma Kala Wrenggi dengan suara seram.
"Mengapa kau masuk ke dalam lengan kutung itu?
Di mana kau tinggalkan tubuh Ginanjar?" bertanya
Roro dengan heran. Akan tetapi diam-diam dia bergi-
rang, karena sukma Kala Wrenggi telah keluar dari gua
garba Ginanjar. "Bagus!" pikir Roro; "Aku  akan beru-
paya agar dia tak memasuki lagi tubuh si tolol itu ..!
Akan tetapi aku terpaksa harus tetap ke Tenggara. Wa-
lau sampai saat ini aku tak tahu bagaimana caranya
melenyapkan manusia iblis pantang mati ini!"
Roro yang memang telah bertekad untuk menghan-
curkan  kebatilan, telah menempuh jalan dengan ca-
ranya sendiri. Tanpa memikirkan resiko lagi, gadis
berwatak aneh ini memang mempunyai keberanian
yang luar biasa. Entah, apakah dia mampu mele-
nyapkan manusia iblis pantang mati itu? Kita ikuti sa-

ja jalan ceritanya.
"Bocah laki-laki itu telah kubunuh mampus!" me-
nyahut sukma Kala Wrenggi.
"HAH!?" tersentak Roro. Keringat dingin mengucur
di dahinya. Sejenak dia terhenyak mendengar kata-
kata itu.
"Mengapa kau lakukan itu? mengapaaa!?" suara Ro-
ro melengking tajam hingga berpantulan di sekitar
tempat itu.
"Kau... kau dasar iblis! Mengapa tak kau tepati jan-
jimu?" Gemuruh dada Roro karena terkejutnya.
"Hohoho... hehehe... dia masih hidup. Aku hanya
menakut-nakuti mu!" tertawa mengekeh sukma Kala
Wrenggi.
"Benarkah demikian?" tanya Roro lirih. Sementara
matanya menatap lengan kutung yang mencekal keris
bersinar hijau itu tak berkedip.
"Percayalah! aku tak berdusta. Aku hanya menakut-
nakuti kau. Dari sikapmu itu aku mengetahui kalau
kau memang benar-benar mencintai dia!" Roro terse-
nyum. Sementara diam-diam dia menarik napas lega.
"Ya! aku memang mencintainya. Tapi pemuda som-
bong itu lebih memperhatikan gadis bernama Kasmini
ketimbang aku..." sahut Roro berdusta.
Diam-diam Roro mulai mencari akal untuk membu-
juk sukma Kala Wrenggi agar tak memasuki lagi gua
garba Ginanjar. Tapi Roro harus melihat bukti dulu
bahwa Ginanjar masih hidup.


***



10

SEMENTARA terjadi percakapan Roro dengan suk-
ma Kala Wrenggi, telah didengar oleh sesosok tubuh di
balik semak belukar. Sepasang matanya yang bersinar
tajam menatap dengan aneh pada Roro dan sepotong
lengan yang mencekal keris bersinar hijau itu. "Sukma
Kala Wrenggi?" berdesis pelahan laki-laki itu yang tak
lain dari si brewok alias Joko Sangit.
Tubuh Randu Sari yang tak sadarkan diri dibaring-
kan tak jauh dari tempat dia bersembunyi. Sementara
dia sendiri mendengarkan percakapan itu dengan se-
rius, dengan hati berdebar. Karena Joko Sangit segera
meraba lengan kiri yang telah kutung.
Lengan yang putus itu telah ditabasnya atas per-
mintaan Roro untuk membuktikan CINTAnya pada da-
ra perkasa Pantai Selatan itu, Joko Sangit telah nekad
memutuskan lengannya sendiri.
Betapa marahnya Joko Sangit ketika ternyata Roro
telah menipunya. Dalam keadaan menderita Joko San-
git menggelepar kesakitan dengan luka pada lengannya
yang putus, hingga dengan kemarahan menggelegak,
dia menerjang Roro. Joko Sangit yang dalam keadaan
mabuk itu akhirnya tergelincir jatuh ke dalam jurang
yang dalamnya susah diukur.
Agaknya nasib baik masih melindungi dia, hingga
masih berumur panjang.
Seorang kakek tua renta telah menolongnya. Dialah
seorang tokoh persilatan dari Negeri Sakura, bernama
MATSUI.
Peruntungan Joko Sangit justru amat baik. Kakek
MATSUI memang bertujuan mencari Roro Centil untuk
mewariskan sebuah Kitab Pusaka. Kitab Pusaka itu

berisi ilmu-ilmu persilatan yang bernama NINJA.
Kakek Matsui yang pernah berhutang budi pada Ro-
ro Centil telah mengarungi lautan untuk menyerahkan
Kitab Pusaka NINJA itu pada dia.
Joko Sangit mengambil kesempatan baik itu, untuk
membantu Matsui menyampaikan Kitab Pusaka itu
pada Roro. Tokoh Negeri Sakura itu percaya pada Joko
Sangit yang memberitahukan bahwa dia adalah saha-
bat baik Roro Centil.
Demikianlah. Hingga kemudian Joko Sangit sendiri-
lah yang mempelajari ilmu NINJA itu.
Joko Sangit memang berniat tak akan memberikan
Kitab Pusaka NINJA itu pada Roro.
Joko Sangit yang bekas si pemuja Roro Dentil itu te-
lah salah menyangka.
Karena sebenarnya yang melakukan perbuatan ja-
hat menipunya itu adalah GIRI MAYANG. Wanita yang
amat mendendam pada Roro Centil. Dengan menggu-
nakan Ilmu Malih Rupa, Giri Mayang telah menyaru
Roro Centil. Bahkan dengan perbuatannya itu, Roro
pernah dituduh sebagai seorang wanita Pendekar be-
rakhlak bejat. Dan banyak melakukan perbuatan-
perbuatan tercela.
Joko Sangit yang tak mengetahui kalau Roro tengah
mengakali sukma Kala Wrenggi, terkejut mendengar
Roro mengatakan bahwa dia amat mencintai pemuda
bernama GINANJAR. Dia memang mengenal Ginanjar,
yang diketahuinya adalah seorang pemuda yang masih
saudara seperguruan Roro. Seperti diketahui Roro per-
nah menjadi murid Jarot Suradilaga alias si Maling
Sakti. Dan Ginanjar adalah murid Ki Bayu Sheta atau
si Pendekar Bayangan, yang punya hubungan antara
mereka adalah menantu dan mertua. (baca: Kisah per-
tama RORO CENTIL, berjudul; Empat Iblis Kali Progo).

Roro sendiri masih terhitung murid Ki Bayu Sheta,
karena kakek tua bekas pejuang dari kaum Partai Pen-
gemis yang berjulukan si Pendekar Bayangan itu me-
nurunkan pula ilmu-ilmu kepandaiannya pada Roro.
Seketika wajah Joko Sangit berubah merah padam.
Dadanya bergetar.
"Pantas dia menipuku! ternyata diam-diam dia telah
mencintai si bocah ingusan itu...!" berdesis Joko Sangit
dengan geram.
Namun di samping geram karena cemburunya, juga
sakit hati pada Roro yang telah memperdayai dia, Joko
Sangit tak habis pikir melihat kejadian di depan ma-
tanya. Jelas lengan yang putus dan masih memegang
keris itu adalah lengan manusia gila yang telah dihabi-
si nyawanya dengan ledakan peluru maut.
Di samping heran dia juga terkejut mengetahui len-
gan kutung yang bisa bicara itu adalah karena dima-
suki sukma KALA WRENGGI. "Siapakah Kala Wrenggi
itu? Sukmanya bisa gentayangan dan dapat masuk ke
tubuh manusia atau kemana saja yang disukainya?"
berpikir Joko Sangit dalam benak dengan 1001 perta-
nyaan.
Sementara sukma Kala Wrenggi telah mulai buka
suara lagi.
"Heh Bocah Centil, apakah kau mau aku memasuki
lagi tubuh pemuda bernama Ginanjar itu lagi?" Roro
Centil merasa mendapat peluang dengan adanya per-
tanyaan itu. Segera dia menjawab.
"Kurasa tidak perlu" sahut Roro. "Masih banyak
pemuda gagah lainnya yang bisa menawan hatiku. Ta-
pi aku lebih menyukai kau Kala Wrenggi. Selain sakti
mandraguna kau juga seorang manusia yang pantang
mati. Aku amat tertarik padamu. Kalau tak keberatan
ingin sekali aku melihat jasadmu di pantai Tenggara..."

rayu Roro dengan tersenyum manis.
Mendengar jawaban Roro Centil sukma Kala Wreng-
gi tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha... hehehe... lucu! sungguh lucu sekali. Ka-
lau gadis secantik dan sehebatmu sampai tak dicintai
oleh pemuda bernama Ginanjar itu saja sudah suatu
hal yang tak mungkin. Kini kau katakan bahwa kau
menyenangi aku yang jasadnya saja belum pernah kau
lihat. Bagaimana kalau jasadku itu cuma sesosok tu-
lang kerangka?" Tersentak Roro mendengar kata-kata
sukma Kala Wrenggi. "Edan! apakah roh manusia se-
tan ini bisa menerka isi hatiku?" bertanya Roro dalam
hati. Namun walaupun demikian Roro tetap mengum-
bar senyum.
"Aku tak perduli apakah jasadmu cuma sesosok ke-
rangka atau segumpal daging busuk. Yang jelas aku
ingin sekali melihat jasadmu. Bukankah punya suami
manusia aneh yang sakti seperti kau banyak sekali
keuntungannya? Kau bisa berpindah pada jasad siapa
saja. Dan kau tak akan pernah tua. Juga tak kan per-
nah mati. Nah aku merasa pilihanku tidak meleset!"
ucap Roro dengan tegas.
Karuan saja Joko Sangit yang mendengarkan pem-
bicaraan Roro jadi belalakkan matanya seperti tak per-
caya. "Jadi si Kala Wrenggi ini adalah manusia setan
yang pantang mati? Gila Edan! si Roro juga edan! Du-
nia Ini memang benar-benar sudah edan!" memaki Jo-
ko Sangit kalang-kabut dalam hati. Sementara sukma
Kala Wrenggi mulai bicara lagi setelah perdengarkan
tertawanya yang terkekeh-kekeh.
"Bagus! bagus! baiklah! aku tak keberatan dengan
keinginanmu itu. Sebaiknya kita berangkat sekarang
ke Tenggara!"
"Tunggu!" berkata Roro. "Bolehkah aku mengetahui

mana adanya pemuda bernama Ginanjar itu kini?" ber-
tanya Roro.
"Hm, segera akan kutunjukkan! Apakah yang akan
kau lakukan? Kalau kau sudah tak menyukainya, aku
akan segera membunuhnya mampus saja sekalian, se-
perti sembilan nyawa para tamtama tadi!"
"He? kau telah membunuh sisa-sisa tamtama Kadi-
paten itu?" terhenyak Roro dengan terkejut. Matanya
membelalak menatap lengan kutung yang mencekal
keris bersinar hijau itu, yang menggantung di udara.
"Hehehe... siapa berhak melarang kemauanku?"
menyahut sukma Kala Wrenggi.
"Benar! benar, siapa yang berhak melarang kemau-
anmu?" timpal Roro. Dia memang tak dapat berbuat
apa-apa selain menelan ludah yang terasa menyangkut
di tenggorokan.
"Tidak! kau tak perlu membunuh pemuda itu. Kalau
sudah kuketahui dia masih hidup, kita langsung be-
rangkat ke Tenggara. Kelak aku punya cara sendiri un-
tuk melakukan apa yang akan kulakukan pada pemu-
da sombong yang angkuh itu!" berkata Roro.
"Kalau begitu segera kutunjukkan di mana dia".
"Tunggu! aku tak bisa jalan bersama sepotong len-
gan yang mengerikan seperti itu. Apakah..." Roro ber-
pikir sejurus,
"Hehehe... apakah kau punya usul bagus?"
"Ya, apakah tak sebaiknya kau masuk saja ke da-
lam cincinku?" ujar Roro seraya mengangkat lengan-
nya dan mengembangkan jemari tangannya. Pada jari
manis Roro melekat sebentuk cincin berbatu Merah
Delima.
Cincin warisan dari gurunya si Manusia Banci, yang
tak pernah lepas melingkar di jari manis Roro.
"Bagus! aku sepenuju dengan usulmu!" sahut suk-

ma Kala Wrenggi.
"Dan keris ini kukira aku tak memerlukannya!" ber-
kata sukma Kala Wrenggi. Selesai berkata, tiba-tiba
lengan kutung itu bergerak mengibas. Jari-jari tan-
gannya mengembang. Dan... meluncurlah keris bersi-
nar hijau itu menembus semak belukar.
Terperanjat Joko Sangit. Keringat dingin merembes
di tengkuknya. Keris maut itu nyaris menembus leher-
nya. Benda itu menancap tepat di dahan kayu semak
belukar tempat dia bersembunyi.
Ketika dia memandang ke arah Roro. Ternyata Roro
Centil baru saja berkelebat meninggalkan tempat itu.
Dia cuma bisa melihat punggung dara Pantai Selatan
itu sesaat sebelum lenyap.
"Edan! benar-benar manusia sudah pada edan!"
memaki si brewok seraya melompat berdiri. Tak ada
niat Joko Sangit untuk menyusul. Segera dia berpaling
memandang pada Randu Wangi yang masih tergeletak
tak sadarkan diri. Terdengar helaan napas laki-laki ini.
Akan tetapi tersentak dia ketika melihat semak belukar
dihadapannya telah menjadi layu.
Jelas terlihat semak yang layu itu adalah yang da-
hannya tertancap keris bersinar hijau itu.
"Keris beracun!?" sentak Joko Sangit dengan mem-
belalak. Dan lagi-lagi di tengkuknya merembes kerin-
gat dingin. "Edan...!" makinya.
Joko Sangit julurkan lengannya mencabut keris itu,
lalu mengamatinya. Tampak cairan darah yang belum
mengering di badan keris itu. Akan tetapi Joko Sangit
bukan memperhatikan bekas-bekas darah itu, melain-
kan ukiran berbentuk seekor Naga yang terdapat di
badan keris. Ukiran Naga itu tergambar sama di kedua
belah badan keris itu.
"Ini pasti sebuah keris Pusaka..." gumam laki-laki

brewok ini dengan kerutkan keningnya. "Entah siapa
manusia gila yang sudah mampus itu. Aku tak menge-
nalinya. Dan aku memang tak perlu mengetahuinya
lagi, karena toh orangnya sudah mampus!" gerutu si
brewok.
Tiba-tiba laki-laki ini balikkan tubuhnya dengan ce-
pat, ketika merasakan ada syiuran angin halus di be-
lakangnya.
"Berikan benda itu padaku, sobat muda...! Kukira
benda itu tak berguna buat anda!" Joko Sangit pentang
matanya lebih lebar. Seorang kakek berjubah putih,
kepalanya terbungkus lilitan kain yang juga berwarna
putih. Seuntai tasbih kuning tergantung di lehernya.
Pada sebelah lengan kakek itu tercekal sebuah pedang
yang masih terbungkus serangkanya. Kakek yang ber-
jenggot dan berkumis tipis ini memandang pada Joko
Sangit dengan tersenyum. Suaranya seperti mengan-
dung wibawa.
"Siapakah anda...?" bertanya Joko Sangit yang me-
natap dengan terpaku.
"Haiiihi namaku sudah hampir tak diingat orang.
Sebenarnya aku enggan menyebutkannya, tapi tak
apalah. Kulihat watakmu baik walau kelihatannya kau
seorang kasar. Baiklah aku akan memberitahukannya
padamu..." menyahut si kakek.
"Sebenarnya aku seorang pertapa dari gunung
Sumbing. Namaku Sujiwo. Tapi aku digelari orang
dengan julukan si Pertapa Tasbih Kuning..." ujar si ka-
kek sambil tersenyum. Tapi belakangan orang menye-
butku KYAI SUMBING"
Joko Sangit manggut-manggut mendengar penjela-
san orang tua itu.
“Terima kasih atas pemberitahuan nama dan gelar
anda. Aku sendiri bernama Joko Sangit." laki-laki bre-

wok itu perkenalkan dirinya seraya menjura hormat
pada kakek tua yang ramah itu.
"Boleh aku tahu, apakah hubungan anda dengan
keris ini?" bertanya Joko Sangit.
"Bukan saja dengan keris itu, akan tetapi juga den-
gan gadis yang kau tolong itu aku memang ada hu-
bungannya." sahut Kyai Sumbing sambil lengannya
menunjuk pada Randu Wangi yang juga masih belum
sadarkan diri. "Oh, ya...?" terkejut Joko Sangit. "Gadis
itu bernama Randu Wangi" ujar Kyai Sumbing. "Dia
adalah anak seorang Empu yang bernama Santri Bu-
bulen. Santri Bubulen adalah masih terhitung kepona-
kanku. Dan gurunya adalah sahabatku sendiri yang
bernama Kyai Nogo Ijo..." Joko Sangit manggut-
manggut.
"Lalu hubungan apakah anda dengan keris ini?" po-
tong Joko Sangit.
"Keris itu menjadi tanggung jawabku untuk me-
musnahkannya. Benda bercahaya itu adalah ciptaan
Santri Bubulen keponakanku itu, atas pesanan orang
yang bernama Bogota. Manusia bernama Bogota itu te-
lah menyandra anak gadisnya yang bernama Randu
Wangi selama belasan tahun karena menginginkan ke-
ris pusaka yang dimiliki Santri Bubulen.
Santri Bubulen memang memiliki sebuah keris pu-
saka dari gurunya yang bernama Kyai Nogo Ijo. Nama
keris itu memang serupa dengan nama si pemiliknya.
Santri Bubulen yang tak mau memberikan pusaka wa-
risan gurunya pada Bogota, telah mengatakan bahwa
keris pusaka itu telah hilang. Tapi dia sanggup mem-
buat keris yang serupa dengan keris Kyai Nogo Ijo jika
Bogota menginginkan. Santri Bubulen memang seo-
rang ahli membuat keris dan boleh disebut sebagai
seorang Empu. Tapi dikatakan oleh Santri Bubulen

bahwa pembuatannya akan memakan waktu lama
hingga mencapai belasan tahun. Karena Bogota men-
ginginkan mutunya yang sama dengan keris Kyai Nogo
Ijo yang asli. Tujuan Santri Bubulen adalah agar Bogo-
ta membatalkan maksudnya memiliki keris itu.
Tak dinyana manusia itu malah menyandera anak
Santri Bubulen.
Dia  akan mengembalikan anak itu kelak sebatas
waktu Santri Bubulen menjanjikan selesainya pem-
buatan keris tiruan Kyai Nogo Ijo. Tak terkira sedih
dan menyesalnya Santri Bubulen. Dengan dendam
yang tersemat di dada dia membuat keris tiruan Kyai
Nogo Ijo dan menunggu waktu sampai Bogota men-
gembalikan anak gadisnya sambil menjemput keris.
Akan tetapi Santri Bubulen telah merendam keris
ciptaannya itu dengan racun yang amat ganas. Tu-
juannya adalah bila anaknya sudah kembali, dia akan
membunuh Bogota dengan keris pesanannya sendiri.
Tak dinyana ketika Bogota muncul, justru tak mem-
bawa anak gadisnya.
Namun tekad Santri Bubulen telah bulat untuk
membunuh Bogota. Tapi ternyata justru Santri Bubu-
lenlah yang terbunuh oleh keris tiruan Kyai Nogo Ijo
itu di tangan Bogota.." tutur Kyai Sumbing.
"Sayang aku tak mengetahui peristiwa penyande-
raan itu sejak awal. Karena Santri Bubulen meraha-
siakannya!" sejenak orang tua itu termenung dan
menghela napas.

***

JOKO SANGIT duduk termenung di akar pohon.
Malam telah merayapi sekitar perbukitan itu. Laki-laki
brewok ini seperti tenggelam dalam lamunannya dalam

keheningan yang membisu. Sepotong bulan tampak
mengambang di atas awan menyinari Mayapada den-
gan cahaya yang tak begitu terang. Joko Sangit me-
mang tengah tenggelam dalam lamunan  mengingat
pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini.
Baru muncul lagi setelah menyembunyikan diri un-
tuk mempelajari kitab NINJA. Joko Sangit telah mem-
bunuh orang. Dan orang itu adalah seorang Ketua Par-
tai Besar yang bernama Partai Lereng Merapi, menurut
penuturan Kyai Sumbing. Kyai Sumbing memang ten-
gah mengejar manusia gila bernama Bogota itu, dan
berhasil merampas Pedang Pusaka di tangan bekas Ke-
tua Lereng Merapi itu. Dari penuturan Kyai Sumbing,
Bogota ternyata bukanlah orang yang berhak mendu-
duki jabatan Ketua di partai 
Lereng Merapi yang sudah terpecah belah. Perbua-
tannya banyak yang menyalahi peraturan-peraturan
partai itu.
Kabar yang mengejutkan Joko Sangit adalah bahwa
kemunculan sukma Kala Wrenggi telah membuat ke-
hancuran Partai Lereng Merapi dan sebuah perguruan
lain dengan membantai habis orang-orangnya.
RANDU WANGI gadis yang telah ditolongnya itu ter-
nyata telah ternoda oleh manusia bernama Bogota.
Gadis yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri itu
akan dibawa oleh Kyai Sumbing untuk dipertemukan
dengan ibunya yang masih hidup. Joko Sangit tak da-
pat menghalangi.
Setelah memberikan keris tiruan Kyai Nogo Ijo, Joko
Sangit segera mohon diri untuk pergi meninggalkan
tempat itu. Sementara Kyai Sumbing pun segera be-
rangkat pergi dengan membawa Randu Wangi.....
Terdengar laki-laki brewok itu menghela napas. Dia
belum punya tujuan untuk ke mana dia langkahkan

kakinya. Namun kemunculan RORO dan sukma Kala
Wrenggi membuat dia seperti tak dapat tenangkan ha-
ti. Entah mengapa tampaknya dia seperti mengkhawa-
tirkan keselamatan Roro, ataukah memang ingin tahu
apa yang terjadi di Tenggara, karena Roro dan sukma
Kala Wrenggi tengah menuju kesana.
"Kukira sebaiknya aku menyusul ke Tenggara..."
gumam laki-laki kekar ini, seperti mengambil keputu-
san. "Aku tak dapat mengetahui apakah aku bisa men-
jumpai dia atau tidak, karena aku tak tahu ke mana
mereka pergi. Tapi dengan perjalanan ini kukira
mungkin akan menambah pengalamanku di wilayah
Tenggara...!" demikian keputusan Joko Sangit.
Sesaat dia sudah bangkit berdiri. Kepalanya me-
nengadah menatap bulan sepotong di atas kepala. "Ba-
gus! sekalian aku mencari penginapan di kota. Sudah
lama aku tak mencicipi arak. hahaha..." Joko Sangit
tertawa kecil lalu tubuhnya berkelebat dari atas bukit
itu. Sekejap kemudian sudah tak nampak lagi bayan-
gan tubuhnya.

***

11

Malam semakin melarut, ketika sesosok tubuh be-
rindap-indap mendekati sebuah rumah panggung di
sisi kota.
Di luar cahaya bulan masih cukup menerangi seki-
tar tempat itu walaupun cahayanya remang-remang.
Tetapi berbeda dengan keadaan di dalam rumah pang-
gung itu, karena dari luar tak menampak ada cahaya
pelita.

Terhuyung sosok tubuh itu yang semakin mendeka-
ti rumah panggung.
"Rumah siapakah gerangan?" terdengar suara sosok
tubuh itu bergumam. "Perutku lapar... Apakah yang
punya rumah bisa memberikan sedikit nasi untuk me-
nangsal perutku?" gumamnya lirih. Tampaknya laki-
laki itu amat menderita sekali seperti sudah beberapa
hari tak bertemu makanan. Siapakah gerangan dia?
Ternyata tak lain dari GINANJAR adanya.
Pemuda ini memang dalam keadaan bingung karena
ketika sukma Kala Wrenggi meninggalkan gua gar-
banya, Ginanjar tak mengetahui dia berada di mana.
Apalagi cuaca telah berubah gelap dengan pergan-
tian siang menjadi malam.
Dalam keadaan bingung karena tahu-tahu di hada-
pannya tak ada lagi gadis bernama Kasmini yang dika-
gumi kehebatannya dan telah menyelamatkan dirinya
dari perbuatan mesum Rinjani. Seingatnya dia men-
dengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh dan ber-
suara parau yang tanpa kelihatan ujudnya. Selanjut-
nya sudah tak tahu apa-apa lagi.
Tentu saja Ginanjar tak menyadari kalau sukma
Kala Wrenggi telah memasuki gua  garbanya  dan tu-
buhnya ke mana saja tanpa dia tahu ke arah mana dia
pergi. Bahkan perbuatan apa yang telah dilakukannya
dia tak mengetahui. Baru saja dia mau melangkah ma-
suk, dari dalam rumah yang gelap itu terdengar suara
tertawa mengikik. Tersentak Ginanjar bukan kepalang.
Sebuah bayangan putih tahu-tahu tersembul di pintu
rumah dengan rambut putih yang beriapan mena-
kutkan. Dan yang membuat Ginanjar seperti copot
nyalinya adalah muka sosok tubuh itu amat mengeri-
kan. Sepasang mata yang besar dengan mulut yang
menampakkan taring di kedua sisi bibir. Hidungnya

melesak serta mempunyai kerut-kerut wajah bagaikan
kera.
"Huah!? sse... set... setaaaan!" sentaknya kaget. Su-
ara tertawa makhluk itu semakin menjadi-jadi ketika
Ginanjar lari pontang panting dengan terhuyung-
huyung jatuh bangun seraya berteriak-teriak.
"Tolooong! tolooong...! Kun... kun... kuntilanaaaak!"
Sesaat sosok tubuh Ginanjar telah lenyap di kegelapan
malam.
"Hahahaha... haha... dasar bocah ingusan yang ma-
sih bau kencur! Bocah macam kau baiknya tinggal saja
di dapur, atau menyusu pada ibumu!" berkata "mak-
hluk" itu. Tiba-tiba lengannya bergerak. Rambut kepa-
la dijambret terlepas. Kulit mukanya juga terkelupas.
Ternyata hanya sebuah topeng serta rambut palsu be-
laka. Cahaya rembulan cukup menerangi wajahnya.
Ternyata si brewok, alias Joko Sangit.
Entah bagaimana sampai laki-laki brewok itu bisa
sampai di tempat itu. Sembunyi di dalam pondok dan
menakut-nakuti Ginanjar hingga lari pontang-panting
ketakutan. Joko Sangit tarik buntalannya di pung-
gung. Lalu dengan cepat telah benahi alat-alatnya un-
tuk kembali dibuntal. Dan sekejap kemudian buntalan
itu telah disangkutkan kembali di punggungnya.
"Hm, perutku sudah kenyang menyikat makanan
dalam rumah ini. Aku akan teruskan perjalanan ke ko-
ta..." berkata sendiri Joko Sangit. Selanjutnya dengan
beberapa kali lompatan, beberapa kejap kemudian so-
sok tubuh lak-laki brewok itu telah lenyap di kegela-
pan malam.

***

PULAU terpencil di tengah laut itu masih terhalang

kabut. Tak ada sebuah perahupun yang nampak di
dekat situ. Akan tetapi dalam keremangan pagi yang
masih dinihari, tampak sebuah bayangan berkelebatan
di atas ombak.
Bila diamati orang tak akan percaya kalau sosok
tubuh itu adalah manusia biasa. Karena satu hal yang
tak mungkin bagi pemikiran orang biasa, kalau ada
manusia bisa berlari-lari di atas air seperti menginjak
tanah saja.
Sosok tubuh semampai itu memang manusia biasa,
akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.
Dialah RORO CENTIL, alias si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Tampak senjata Roro si Rantai Genit yang mi-
rip mainan itu tergantung terayun-ayun di pinggang-
nya.
"Di arah sebelah manakah pulau tempat jasadmu
itu, sobat Kala Wrenggi?" terdengar suara Roro seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Hehehehe... teruslah ke arah depan, sesaat lagi
kau akan melihatnya." terdengar suara sahutan tanpa
terlihat ujudnya.
"Aiiiiih, aku sudah tak sabar untuk melihat jasad-
mu!" ujar Roro seraya menatap pada cincin di jari ma-
nisnya. Dari dalam cincin itulah terdengarnya suara
menyahut tadi.
"Hehehehe... sabarlah! Tak lama lagi kau akan me-
lihatnya!" menyahut sukma Kala Wrenggi.
Ketika Kabut mulai melenyap Roro Centil sudah je-
jakkan kaki di pulau yang baru lahir itu. Itulah pulau
yang menyembul dari dasar laut. Pulau baru yang
menjadi tempat tenggelamnya jasad Kala Wrenggi dari
atas permukaan laut, ketika tubuhnya dilemparkan
dalam keadaan terbelenggu oleh musuh-musuhnya.
Roro memandang berkeliling dengan takjub. Ka-

rang-karang yang bertonjolan di sekitar pulau itu se-
perti mempunyai keindahan tersendiri. Akan tetapi ju-
ga seperti menimbulkan kesan menyeramkan. Pulau
yang terlihat seperti mati tanpa penghuni. Bahkan tak
nampak seekor burung camarpun yang mendekati pu-
lau itu. Bau amis mengembara di mana-mana. Bang-
kai-bangkai ikan yang membusuk seperti menyesak-
kan pernapasan. Hal itu di sadari Roro ketika kakinya
mulai melangkah lebih jauh memasuki pulau itu.
"Di mana dapat kutemukan jasadmu, Kala Wreng-
gi?" Roro bertanya lagi. Akan tetapi dengan hati kebat-
kebit. Sementara benaknya terus memikir, akan meng-
gunakan cara bagaimanakah  dia untuk melenyapkan
manusia Iblis yang pantang mati itu? Roro tak men-
dengar sahutan suara sukma Kala Wrenggi.
"He? Kala Wrenggi apakah kau masih berada di da-
lam cincin ku?" sentak Roro terheran. Ditatapnya cin-
cin berbatu Merah Delima yang melingkar di jari ma-
nis. Tetap tak ada sahutan.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di hadapannya.
Batu karang yang menonjol setinggi tiga kali tubuh
manusia depannya telah runtuh. Karang-karang ber-
lumut meluruk bergelundungan.
Roro belalakkan matanya. Sementara dia sudah pa-
sang panca indranya untuk menghadapi segala ke-
mungkinan yang bakal terjadi.
Matanya semakin membelalak lebar, ketika sesosok
tubuh muncul di antara celah-celah batu karang yang
bertimbunan. Sosok tubuh yang mengerikan. Karena
persis mayat hidup. Sosok tubuh yang sekujur tubuh-
nya penuh dengan lumut, dalam keadaan telanjang
bulat. Lumut-lumut itu menutupi aurat dan sekujur
tubuhnya. Wajahnya menampilkan wajah seorang ka-
kek tua yang berusia 70 tahun lebih. Tulang-tulang

rusuknya tampak menonjol. Rambutnya hampir me-
nyerupai lumut yang hijau. Sepasang matanya cekung
ke dalam, dengan sorot mata memerah bagaikan api.
Tangan dan kakinya terbelenggu oleh rantai yang baru
saja putus. Inilah jasad Kala Wrenggi. Jasad yang telah
terkubur di dasar laut selama dua puluh tahun.
Roro terperangah memandang. Tak terasa kakinya
melangkah mundur. "Owh? betapa mengerikan..." ber-
desis suara dara Pantai Selatan ini, "Inikah jasad Kala
Wrenggi?" sentaknya dengan mata membelalak.
"Hehehehe... hoho... RORO CENTIL! Jangan terke-
jut! Akulah Kala Wrenggi yang telah menyatu lagi den-
gan sukmanya! Kau telah datang di pulau gersang ini
untuk mengantar KEMATIAN!" Makhluk berlumut
itu tertawa seram, mengumbar kata-kata. Roro kemba-
li mundur dua tindak. Jantungnya berdetak keras. "In-
ilah agaknya yang bakal terjadi...?" desisnya tersentak.
Roro memang tak menduga kalau justru Kala Wrenggi
akan bersikap demikian mendadak. Namun lambat
atau cepat toh dia memang harus mengalami perta-
rungan maut. Karena dia telah bertekad untuk me-
numpas manusia iblis yang bakal membawa bencana
dan sudah menyebar maut itu!
Sampai saat ini Roro belum tahu akan mempergu-
nakan cara bagaimana untuk memusnahkan manusia
yang pantang mati itu. Agaknya waktu untuk berpikir
sudah tak ada lagi. Karena tiba-tiba di sekeliling Roro
telah bersembulan kobaran api. Terperanjat Roro meli-
hat dalam sekejap saja dia telah terkurung oleh koba-
ran api yang menghalangi pandangan matanya ke seki-
tar pulau.
"Hah!? Edan! dia memang benar-benar mau mem-
buat aku terkubur di pulau ini tanpa jasad" gumam
Roro dengan mata membelalak.

"Hoahaha... hahahaha... RORO CENTIL! Hari ini
akan kau rasakan kematian! Kau takkan dapat meni-
puku, atau mengakali aku. Juga membunuhku! Tak
ada lagi jalan keluar bagimu, karena api neraka ini
akan membakar tubuhmu sampai luluh!" Kala Wrenggi
gerakkan tubuhnya seperti terbang. Dan...
WHUUUK! lengannya bergerak menghantam Roro.
Dari telapak tangan Kala Wrenggi keluar cahaya merah
yang mengeluarkan hawa panas seperti lahar.
BHLARRR! Gemuruh terdengar suara ledakan. Batu
karang itu seperti luluh mencair terkena sinar merah.
Akan tetapi Roro telah melambung ke atas sejarak 10
tombak. Kakinya hinggap di atas batu karang lainnya.
Wajah Roro tampak berubah tegang. Tiada lagi rasanya
pertarungan dahsyat yang dialaminya selain melawan
manusia iblis pantang mati ini.
Akan mampukah Roro membunuh Kala Wrenggi si
manusia iblis ini? Ikuti saja pertarungannya.
Roro telah gunakan tenaga dalam Inti Es untuk me-
lindungi tubuhnya dari hawa panas luar biasa. Hingga
tampak keringat membasahi sekujur tubuhnya. Inilah
saat penentuan mati dan hidup Roro. Sementara itu
api berkobar-kobar mengitari seluruh pulau. Kala
Wrenggi keluarkan suara menggeram  menyeramkan.
Kembali manusia setan itu menerjang Roro. Sepasang
lengannya terpentang menyambar dibarengi melun-
curnya tubuh Kala Wrenggi bagaikan terbang. Roro te-
lah waspada dan bertekad akan menempur manusia
iblis itu mati-matian.
Dengan membentak nyaring Roro telah gunakan ju-
rus pukulannya.
BHLARRR! BHLARRR!
Cahaya perak dan pelangi berkelebatan menyam-
bar. Roro yang sudah bertekad menghancurkan manu-

sia iblis itu telah menghantamnya dengan pukulan-
pukulan saktinya, yaitu jurus pukulan warisan Muri
Asih. Tubuh Kala Wrenggi lenyap terbungkus sinar pe-
langi yang berkelebatan di udara. Roro segera gunakan
mata batinnya untuk mengetahui ke mana lenyapnya
tubuh Kala Wrenggi. Sementara api semakin berkobar
dan kian menyempit mengurung Roro.
Tenaga Inti Esnya mulai mengendur. Dan Roro mu-
lai rasakan hawa panas yang menyengat kulit.
"Celaka...!" tersentak Roro. Segera dia gunakan ke-
kuatan tenaga dalamnya untuk menambah tenaga Inti
Esnya. Cepat-cepat dia silangkan tangan dl depan da-
da seperti sikap orang yang bersemadi. Sepasang ma-
tanya terpejam. Sekejap tubuh dara perkasa Pantai Se-
latan itu seperti dipenuhi butir-butir salju. Mengem-
bun dan keluarkan hawa dingin luar biasa.
WHUUUUUS... BUK! Menjerit Roro Centil ketika me-
rasai tubuhnya terlempar. Satu hantaman pukulan se-
rasa membuat isi tubuhnya serasa remuk. Tapi Roro
belum hilang kesadarannya. Sebelum tubuhnya ter-
banting ke batu karang dan tertambus api, dia guna-
kan hantaman ke bumi. itulah jurus "Kosongkan Perut
Menahan Lapar". Tubuh Roro melambung ke udara se-
tinggi dua puluh tombak. Dan mengambang di udara.
Tampak Kala Wrenggi tengah menengadah ke atas. Se-
pasang matanya memancarkan sinar merah yang me-
nyala.
BHLARRRR!
Terdengar ledakan dahsyat. Apakah yang terjadi?
Cahaya merah itu membalik menghantam ke arah pe-
nyerangnya. Ledakan dahsyat itu telah membuat keja-
dian mengerikan. Karena tampak batok kepala Kala
Wrenggi hancur lumat terhantam sinar merah.
Melihat keberhasilan pukulannya, Roro bersorak gi-

rang dalam hati. Dan... dengan dibarengi melesatnya
tubuh Roro bagaikan anak panah, Roro segera guna-
kan pukulan-pukulan "Malaikat Gurun Pasir Meram-
bah Iblis" dengan bertubi-tubi. Ledakan-ledakan dah-
syat terdengar beberapa kali.
Tak menampak lagi adanya tubuh Kala Wrenggi,
karena telah hancur lumat menjadi abu.
Saat itu langit tampak berubah kehitaman. Angin
bersyiur keras. Cahaya petir menyambar-nyambar di
angkasa. Mendadak api yang mengelilingi pulau itu
padam. Bayangan hitam dan cahaya merah itu sirna.
Cuaca segera berangsur-angsur berubah menjadi te-
rang benderang.
Dan terjadilah pemandangan yang aneh. Pulau mis-
terius itu mendadak berguncang hebat. Ombak laut
berdeburan keras. Menggelombang dan menyemburat
setinggi beberapa kaki. Apakah yang terjadi? Ternyata
pulau yang baru lahir itu telah tenggelam lagi ke dasar
laut. Hanya beberapa saat saja di hamparan air itu su-
dah tak menampak lagi adanya sebuah pulau. Pulau
itu telah kembali ke asalnya.
Sesosok tubuh manusia tertelungkup di atas per-
mukaan air. Saat mana sebuah perahu meluncur pesat
membelah ombak. Dikemudikan oleh si Brewok Lengan
Tunggal. Matanya jelalatan memandang ke sekeliling-
nya. Perahu itu berputar-putar mengelilingi perairan
itu.
"Hah? RORO...? tersentak Joko Sangit mengetahui
siapa adanya sosok tubuh itu. Pucat seketika wajah
Joko Sangit bagaikan kertas. Tak lama Roro keluarkan
keluhan lirih..
Wajah Joko Sangit berubah cerah. Tampak dia amat
girang sekali.
"Roro...! RORO...!" teriaknya lirih, seraya menggun-

cang-guncang tubuh dara itu.
Akan tetapi Roro Centil tak menyahut. Namun tam-
pak bibirnya tersenyum. Dan perlahan kelopak ma-
tanya terbuka. Menatap wajah di dekatnya dengan ta-
tapan redup.
"Roro...! aku masih mencintaimu, Roro...! Aku tak
akan mendendam padamu walau aku telah kehilangan
sebelah lenganku! Aku akan memaafkan kelakuanmu
tempo hari!" ucap Joko Sangit dengan suara mengge-
tar. Tapi suara itu tersekat di kerongkongannya. Dia
cuma ucapkan dalam hati.
"Joko... siapakah manusianya yang telah memu-
tuskan lenganmu? Katakanlah. Demi langit dan bumi
aku akan melumatkan manusia jahanam itu!" ucap
Roro dengan suara lirih.
"Roro, nanti akan kuceritakan siapa orangnya. Apa-
kah yang terjadi denganmu, Roro? Bagaimana dengan
sukma Kala Wrenggi?"
"Dia telah kembali ke asalnya, Joko...! Iblis boleh ti-
dak mati, dan tak akan pernah mati sampai hari kia-
mat. Tapi sukma yang gentayangan akan tetap kembali
pada Tuhan, bila telah tiba waktunya. Kesaktian apa-
pun akan punah. Dan keangkara-murkaan tetap tak
akan bisa bertahan lama di atas dunia ini...!" ucap Ro-
ro Centil dengan tersenyum. Roro Centil katupkan lagi
kelopak matanya. Bibirnya  masih tersenyum. Tapi
tampak seperti mengharap. "Joko...! ah, Joko...! kau
tak tahu betapa aku mencintai mu..." bisikan itu tera-
mat lirih. Hampir-hampir Joko Sangit tak mendengar-
nya.
Camar-camar semakin banyak beterbangan di atas
permukaan laut.
Joko Sangit semakin mendekatkan wajahnya. Bi-
birnya mendesah.

"Roro...! Roro... aku cinta padamu...!

T A M A T





convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com