Roro Centil 28 - Ulat Betina Selat Madura(2)




TUJUH

Nyaris kulit leher Shidarta terkoyak, kalau dia tak sempat mi-
ringkan kepalanya. Karena hawa dingin membersit cepat sekali me-
nebas batang leher dari belakang disaat Shidarta membelakangi. Be-
guk Reksasana telah lancarkan serangan mematikan dengan pedang
sinar Ungunya! Namun kewaspadaan Shidarta memang telah diper-
siapkan sejak semula. Disamping nalurinya yang cukup peka. Akan
tetapi sungguh tak terduga serangan berikutnya dari Beguk Reksasa-

na membuat dia harus cepat gulingkan tubuh dengan cepat. Selen-
dang sutera merah laki-laki itu menyambar-nyambar bagaikan
bayangan merah. Terkadang mengeras seperti layaknya sebatang
tombak. Terkadang kembali, lemas, menyambar untuk membelit len-
gan atau kaki Shidarta.
Diam-diam pemuda murid Nini Candra Gumiantang ini terke-
siap. Karena tak menyangka lawan mempunyai ilmu dan senjata yang
demikian hebat.
"Hahaha. . . Shidarta! lebih baik kau buang senjata kapakmu
yang tak berguna itu. Dan serahkan nyawamu dengan sukarela!"
mengejek Tali Wangsa. Menggerung gusar Shidarta. Tiba-tiba den-
gan gerakan tak terduga tubuhnya menggelinding justru menerobos
diantara serangan-serangan maut Beguk Reksasana. Kali inilah ke-
sempatan dia mempergunakan sepasang kapaknya untuk menabas
dan menangkis serangan lawan. Bahkan, diluar dugaan Beguk Reksa-
sana jejakkan kaki! pemuda itu telah menghantam dadanya dengan
telak. BUK!
Terhuyung laki-laki. Sementara Shidarta telah melompat berdi-
ri.
"Jahanam keparat! kubunuh kau...!" membentak dahsyat Shidar-
ta seraya diiringi dengan sambaran ganas sepasang kapaknya. Suara
berdesin membelah udara... Trang! Trang...! Sebat sekal Beguk Rek-
sasana menangkis dengan pedangnya. Ternyata dalam keadaan ter-
huyung demikian, tidak membuat laki-laki ini kehilangan nalurinya^
untuk menangkis dengan cepat.
"Bedebah! kali ini aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke
Akhirat secepatnya, bocah bau kencur!" memaki Beguk Reksasana.
Tiba-tiba di gerakkan pedang memutar. Terlihat cahaya yang bergu-
lung-gulung membersitkan hawa dingin mencekam. Inilah jurus ber-
bahaya yang bakal dilancarkan oleh Beguk Reksasana. Terperangah
oleh gulungan sinar ungu itu, Shidarta kurang jeli matanya. Karena
sedetik dia lengah untuk pasang mata, tahu-tahu sosok tubuh Beguk
Reksasana lenyap tak ketahuan.
TRRRAAANGNG...!
Satu benturan keras terdengar. Shidarta terkejut karena rasakan
kedua lengannya kesemutan. Dan dia tahu-tahu sepasang kapaknya

telah terlepas dari genggamannya. Saat mana berdesis suara dibela-
kang leher yang menimbulkan hawa dingin.
"Ah.!?" tersentak kaget Shidarta. Namun dia masih bisa mampu
membuang tubuhnya untuk menghindari tabasan maut pedang Sinar
Ungu Beguk Reksasana. Akan tetapi terdengar suara tertawa mengi-
kik dibelakangnya. Tubuh Shidarta terdorong lagi kedepan. Ternyata
Nagasari telah hantamkan telapak tangannya kepunggung pemuda
ini. Berteriak parau Shidarta menahan rasa sakit. Dan jatuh tersung-
kur dua-tiga tombak ke depan.
"Bagus! Nagasari...!" berkata Beguk Reksasana dengan menye-
ringai tertawa. "Cepatlah kau bunuh mampus dia...! teriak Nagasari.
"Sekarang?" tanya Beguk Reksasana setengah bergurau. Sekarang...!"
sahut Nagasari. Saat itu Shidarta tengah megap-megap berusaha un-
tuk bangkit. Akan tetapi pukulan pada punggung pemuda itu telah
membuat dia terluka dalam. Tampak darah menggelogok berkali-kali
dari mulutnya. Untuk bangkitpun rasanya sudah tak sanggup. Saat
mana Beguk Reksasana dengan mengumbar tawa iblisnya telah laku-
kan serangan kilat. Pedang Sinar Ungunya berkelebat membersit un-
tuk membelah batok kepala Shidarta. Sedangkan selendang sutera
merahnya menyambar membaringi sambaran pedang...
Akan tetapi pada saat itu segelombang angin keras menggebu.
Menerobos terjangan maut itu dengan kecepatan luar biasa. Dan...
Terperangah Beguk Reksasana karena telah kehilangan sasarannya.
Tubuh Shidarta bagaikan dibawa oleh hembusan angin yang lewat,
mendadak lenyap tak berbekas. Terhenyak Beguk Reksasana Semen-
tara Nagasari belalakkan mata terperangah. "Angin apakah yang le-
wat barusan?" desis Nagasari.
"Kemana dia...?"tanya Beguk Reksasana.
"Dia lenyap! Ah, sungguh aneh!" gumam Nagasari.
"Yaa...!"
keduanya sama-sama tercenung saling pandang, setelah putar
tubuh dan sebarkan pandangan ke sekelilingnya. Akan tetapi Shidarta
lenyap bagaikan ditelan bumi. Selang sesaat Nagasari cepat Menya-
darkan. "Sudahlah! tak usah dipikirkan! Mari kita kembali. Harta pu-
saka itu lebih penting dari segalanya. Tentang kejadian ini lain waktu
kita pikirkan...!"

"Aku membaui bau wangi semerbak... ketika gelombang angin
itu melintas!" berkata Beguk Reksasana dengan wajah agak pias.
"Sudahlah! Ayo!  Cepat kita kembali...!" ujar Nagasari alihkan
pembicaraan Walau sebenarnya diam-diam tengkuknya terasa dingin
meremang. Ternyata kemudian diketahui, Shidarta telah ditolong oleh
seorang wanita yang bergelar si Ular Betina Selat Madura. Akan teta-
pi tentu saja Nagasari dan Tali Wangsa alias Beguk Reksasana tak
mengetahui.
Mereka kembali ke Goa untuk menjalan rencananya semula.
Sementara didalam goa yang menjadi tempat persembunyian Lodaya
Seta. LODAYA SETA adalah seorang laki-laki betampang gagah.
Juga berilmu tinggi. Disamping ahli dengan segala macam jenis ra-
cun, dia juga pandai ilmu obat-obatan. Sayangnya dia berakhlak bu-
ruk. Dimasa muda Lodaya Seta pernah diusir oleh mendiang gurunya
karena kelakuannya yang buruk dimasa mudanya. Hingga ilmu-ilmu
warisan dari gurunya telah ditarik lagi oleh sang guru. Dan tidak di-
perkenankan mempergunakan lagi selama hidupnya. Hal kejadian itu
sudah berkisar antara lebih dari tiga puluh tahun yang silam.
Itulah sebabnya Nini Candra Gumintang tak pernah mencerita-
kan tentang bekas saudara seperguruannya yang bernama Lodaya Se-
ta itu. Bahkan tak menyangka kalau Lodaya Seta masih hidup.
Lodaya Seta ternyata secara diam-diam sejak lima tahun yang
lalu telah mengetahui dimana menetapkan kakak perempuan saudara
seperguruannya itu.
Bahkan dengan diam-diam dikirimnya NAGASARI (anak ga-
disnya) untuk berguru pada Nini Candra Gumintang. Yang baru saja
mendirikan pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Dia tahu betul
kalau Candra Gumintang telah menerima warisan Harta Pusaka dari
mendiang guru. Disaat dia diusir keluar oleh gurunya, Lodanya Seta
tak pergi jauh. Dia selalu mengintai keadaan dibekas tempat pergu-
runya itu. Di saat sang guru turun gunung, Lodaya Seta menyatroni
lagi pondok perguruannya.
Terkejut Candra Gumintang melihat kedatangan Lodaya Seta.
Lodaya Seta pura-pura menangis menyesali perbuatannya Tentu saja
membuat hati Candra Gumintang jadi trenyuh. Sebenarnya diapun
amat menyayangi Lodaya Seta yang sudah dianggap adik kandung-

nya sendiri. Tapi Candra Gumintang tak menyangka kalau secara di-
am-diam Lodaya seta berbuat keonaran diluar perguruan. Bahkan
guru Lodaya Setapun tak mengetahui. Suatu hari telah berdatangan
beberapa tokoh persilatan golongan putih ke pesanggrahan mereka.
Tentu saja membuat sang guru jadi tercengang karena mereka datang
mencari Lodaya Seta. Kelakuan Lodaya Seta diluaran ketika diberi
izin turun gunung beberapa bulan, telah melakukan berbagai perbua-
tan jahat. Seperti merampas hak orang lain, menipu, menganiaya,
bahkan juga memperkosa wanita-wanita dengan mempergunakan ak-
al licik. Yaitu mengkambing hitamkan orang lain dengan perbuatan-
nya yang telah dilakukan.
Namun akhirnya dia harus mengalami resiko, ketika suatu saat
perbuatannya ketahuan. Lodaya Seta melarikan diri. Dengan ilmunya
yang tinggi dia memang telah membuat si pengejar kehilangan jejak.
Tapi sekecil-kecilnya yang namanya kejahatan, pasti akan terbong-
kar. Karena secara tak sengaja Candra Gumintang
justru turun gunung. Tujuannya adalah mencari Lodaya Seta un-
tuk memanggilnya pulang berkenaan dengan urusan penting atas tita-
han gurunya. Secara kebetulan pula justru Lodaya Seta muncul, yang
sedianya akan kembali keperguruan. Demikianlah, akhirnya diketahui
tempat tinggal Lodaya Seta. Dan mengetahui pula kalau dia salah
seorang murid Pendekar tua yang bercokol dipuncak Gunung Karang
Setan pada waktu itu. Tentu saja dengan menyatroninya belasan pen-
dekar itu membuat terkejut RESI GENTAYU guru kedua murid itu.
Hampir saja terjadi pertumpahan darah. Dan hari itu juga Resi Gen-
tayu menyatakan tak mengakui lagi Lodaya Seta sebagai murid. Bah-
kan mencabut semua ilmu-ilmu yang telah diberikan pada Lodaya
Seta. Lalu mengusirnya keluar dari puncak Gunung Karang Setan.
Melihat kemunculan Lodaya Seta ke pesanggrahan di puncak
gunung Karang Setan itu, Candra Gumintang jadi serba salah. Apabi-
la adik seperguruannya itu menangis didepannya menyatakan penye-
salannya.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa, Lodaya...! Semua ini kesala-
hanmu. Dan guru telah mengambil keputusan. Mengapa kau tidak
pergi dari sini?
Segala tindak-tandukmu kini diluar tanggung jawab guru kita.

Kukira penyesalan  mu sudah terlambat...!" berkata Candra Gumin-
tang dengan suara lirih.
"Kakang mbok...! aku mengerti kau tak bisa berbuat apa- apa.
Akan tetapi kita telah seperti saudara kandung. Apakah kau tega
membiarkan aku sengsara? Guru pernah bercerita bahwa beliau
mempunyai harta pusaka yang kelak akan dibagikan kita berdua un-
tuk masing-masing kita mendirikan pesanggrahan meneruskan cita-
cita guru untuk mengembangkan ilmu silat aliran guru. Akan tetapi
dengan keluarnya aku dari perguruan, aku tak mendapatkan apa-apa.
Ooo... alangkah menyesalnya aku..." berkata Lodaya Seta. Dan kem-
bali air matanya mengalir bercucuran.
"Sesal itu sudah terlambat, adik Lodaya...! Dan janganlah kau
mengungkit-ungkit tentang harta pusaka itu... Aku sendiri tak menge-
tahui dan tak mengharapkannya. Bahkan guru rasanya tak pernah
menyebut-nyebut lagi tentang hal yang pernah dibicarakan itu. Semua
keputusan ditangan guru. Akan diberikan atau tidaknya harta pusaka
itu, ataukah masih ada atau tidak harta pusaka itu bukanlah urusan ki-
ta. Walaupun seandainya kau masih tetap menjadi murid beliau. Ka-
rena itu urusan beliau. Kita tak berhak apa-apa. Apalagi menuntut-
nya...!" ujar Candra Gumintang. Candra Gumintang seperti telah
menduga maksud tujuan Lodaya Seta. Yang sebenarnya mengingin-
kan belas kasihannya untuk membagi sedikit warisan untuk bekalnya.
Benar saja...!
"Jadi kau belum menerima apa-apa dari guru..?" tanya Lodaya
Seta. Candra Gumintang menggeleng.
"Baiklah...!"ujar Lodaya Seta. "Aku akan segera meninggalkan
wilayah ini. Tapi kelak suatu saat aku pasti akan mencarimu, kakang
mbok!" Setelah berkata demikian, Lodaya Seta segera putar tubuh.
Lalu bergegas meninggalkan tempat itu dengan cepat. Namun sejak
itu Lodaya Seta tak pernah muncul. Bahkan sampai wafatnya Resi
Gentayu, dan sampai Candra Gumintang mendirikan pesanggrahan
perguruan Cempaka Biru. Padahal murid pertamanya adalah anak
kandung Lodaya Seta. Candra Gumintang memang selama hidupnya
tak menikah. Tadinya dia cuma mau menerima murid-murid wanita
saja. Tapi akhirnya menerima juga murid laki-laki. Yaitu Tapak Do-
ro, Binangun dan Shidarta.


***

DELAPAN

Selanjutnya  Nini Candra Gumintang berikan penuturannya,
bahwa ketika itu dia terkejut melihat kemunculan Lodaya Seta diha-
dapannya.
"Lodaya... jadi kau... kaukah tabib yang akan mengobati penya-
kitku?" bertanya Nini Candra Gumintang dengan suara lemah. Dalam
pandangan samar-samar itu ternyata wanita tua itu masih bisa men-
genali orang dihadapannya.
"Hehehe... benar! Aku Lodaya Seta. Bukankah aku pernah bi-
lang bahwa aku kelak pasti akan datang untuk menemuimu lagi? Kini
sudah saatnya aku menagih padamu. Aku tahu kau pasti telah mene-
rima warisan Harta Pusaka itu seluruhnya dari guru. Dan aku yakin
kau akan berbaik hati untuk memberikannya padaku sebagian...!" ujar
Lodaya Seta dengan menyeringai. Lodaya Seta telah berubah jadi
seorang kakek bertubuh tegap dengan kumis dan jenggot yang putih
lebat. Dikala muda memang Lodaya Seta sudah berewok. Keadaan-
nya memang tak berubah banyak. Cuma berbeda dari kumis dan
jenggot yang sudah memutih, serta kerut merut diwajah. Kulit tubuh-
nya walaupun sudah mengendur, tapi tampak masih tampak kekar.
"Lodaya...! apakah selama ini kau telah merobah jalan hidupmu
menjadi manusia baik-baik?" tanya Nini Candra Gumintang.
"Hehehe... tentu saja...! bukankah aku menjadi seorang tabib?
aku curahkan seluruh hidupku untuk kemanusiaan. Ku tolong orang
lemah tak berdaya tanpa pamrih Aku tak mengharapkan imbalan apa-
apa. Aku memang sengaja tak munculkan diri sebelum aku membu-
tuhkan. Kini aku sangat membutuhkannya Candra Gumintang...! Se-
mua ini untuk kemanusiaan...!" sahut Lodaya Seta. Nini Candra Gu-
mintang mengangguk-angguk. Dia tersenyum. Dan, dari sepasang
mata yang sudah memudar sinarnya itu menetes air bening.
"Ah... aku bahagia sekali mendengarnya Lodaya... Sudah kudu-

ga, manusia pasti bisa merobah wataknya kalau dia mau. Haiiih! ka-
lau guru masih hidup tentu beliau akan senang mendengarnya..." ujar
Nini Candra Gumintang dengan terharu.
"Kau sudah menikah. Lodaya...? Mana istrimu? anakmu...?
atau, cucumu...?" tanya Ketua Perguruan Cempaka Biru itu.
"Kau sendiri bagaimana?" balas bertanya. apakah kau sudah
bersuami?" Wanita tua itu menggeleng. "Aku masih tetap sendiri se-
jak dulu. Mungkin aku takkan menikah sampai saat habisnya usia-
ku...!" Tabib tua itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Haiih! kakang mbok! mengapa kau menyia-nyiakan masa mu-
damu?
Kau dulu cantik, ayu... bahkan hatiku pernah "Kepincut" pada-
mu. Sayang usiamu lebih tua dan kau telah menganggap aku adikmu
sendiri..." berkata Lodaya Seta, seraya menghela napas. Pernyataan
Lodaya Seta itu membuat Nini Candra Gumintang terperangah. Akan
tetapi tak ditampakkan diwajahnya. Andaikata sejak dulu sebelum
Lodaya diusir dari perguruan mengucapkan isi hatinya pada dia, nis-
caya dia bahagia mendengarnya. Dan takkan ditolak cintanya karena
memang diam-diam dihati Candra Gumintang pada saat itu memang
telah menanam benih "cinta" pada Lodaya Seta. Akan tetapi dia tak
berani mengutarakannya, disamping telah menganggap Lodaya Seta
adiknya sendiri.
Akan tetapi begitu mengetahui pebuatan dan tingkah laku Lo-
daya Seta, dapat dibayangkan betapa hancurnya perasaannya. Hingga
kemudian gurunya mengusir pergi Lodaya Seta dari rumah pergu-
ruan. Sejak saat itu hati Candra Gumintang tertutup. Cintanya seolah
karam didasar laut. Demikianlah, hingga sampai saat ini dia tetap tak
pernah bersua ini.
Saat itu mendengar pengakuan Lodaya Seta, telah membuat dia
terlongong dan tak terasa air matanya semakin membanjir membasahi
pipinya yang telah keriput. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Lo-
daya..." ujar Nini Candra Gumintang dengan suara serak, Lalu cepat-
cepat menghapus air matanya.
"Oh... ya...! baiklah akan kukatakan. Aku memang telah meni-
kah. Tapi istriku mati muda disaat melahirkan. Aku cuma dikaruniai
seorang anak perempuan. Dialah yang bernama Nagasari. Dan bu-

kankah selama lima tahun ini telah menjadi muridmu?"
Membelalak mata Candra Gumintang. "Hah!? jadi... jadi
NAGASARI itu anakmu...?"
"Benar!" sahut Lodaya Seta pendek. Lama... dan lama wanita
tua itu tercenung hingga akhirnya dia berkata.
"Sungguh kau ini manusia aneh, Lodaya...!" mengapa kau baru
mengatakannya sekarang?"
"Justru itulah, kakang mbok, aku ingin kau mengerti tentang
aku. Dan kuinginkan Harta Pusaka warisan guru itu kau berikan pa-
daku. Aku akan memberikannya pada anakku Nagasari. Anak pe-
rempuanku satu-satunya yang amat ku sayangi...!" Sampai disini tiba-
tiba meledaklah tawa gembira Nini Candra Gumintang. Hingga sam-
pai air matanya bercucuran.
"Hihihihi... kau memang pintar, Lodaya...! tapi aku gembira.
Baiklah! akan kuberikan sisa  harta pusaka warisan guru itu pada-
mu..." Melonjak girang NAGASARI yang diam-diam sembunyi
mendengarkan pembicaraan ayah dan gurunya berdua dengan Tali
Wangsa.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu kakang mbok...!" menyahut
Lodaya Seta dengan wajah girang. "Nah, minumlah ini untuk keseha-
tanmu.
Kau harus dirawat disini sekurang-kurangnya satu bulan...!"
Lodaya Seta berikan obat ramuan yang telah diramunya tadi dalam
mangkuk.
"Terima kasih, adik Lodaya... ujar Candra Gumintang. Lodaya
Seta membantunya untuk duduk. Lalu dekatkan mangkuk berisi obat
itu yang masih mengepul hangat. Dan Wanita tua itu segera memi-
numnya. Setelah merebahkan lagi tubuh wanita tua itu, Lodaya Seta
bertanya.
"Dimana kau simpan harta pusaka itu, kakang mbok...?"
"Oh ya ...!"* ujar Candra Gumintang yang terbatuk-batuk se-
saat. Lalu singkapkan ikat pinggangnya. Setelah loloskan stagen itu,
lalu diberikan pada Lodaya Seta.
"Didalam stagen ini terdapat sebuah kantong yang dijahit. Bu-
kalah jahitan itu. Didalamnya ada sebuah kertas kulit yang berisi peta
dimana harta pusaka itu disimpan!" Ujar wanita tua itu. Lodaya Seta

manggut-manggut gembira. "Ah, sungguh kakang mbok seorang
yang berbudi luhur. Juga berhati bersih! membuat aku jadi malu ha-
ti...!"
"Aku telah menganggap kau adik kandungku sendiri. Dan bu-
kankah kau akan mempergunakan untuk kepentingan umat manusia?
Kalau aku tak memberikannya,oo... alangkah naifnya aku...!"
"Benar! benar, kakang mbok. Sungguh aku menghargai keluhu-
ran budimu...." Lodaya Seta cepat membuka jahitan pada kain stagen
itu. Dan mendapatkan secarik kertas kulit berisi sebuah peta.
Sampai disini Candra Gumintang menghela napas.
"Apakah guru tidak mencurigai sama sekali pada Naga Sari?
Juga pada paman Lodaya Seta?" bertanya Windarti. Nini Candra
Gumintang menggeleng. "Sejak jauh-jauh hari aku memang telah
membagi dua harta pusaka warisan dari mendiang kakek gurumu itu.
Sebagian telah kupakai untuk membangun pesanggrahan Cempaka
Biru. Sedangkan sebagian lagi memang telah kuperuntukkan buat
Lodaya Seta...!" sahut Wanita tua itu.
"Lalu bagaimanakah kelanjutannya, guru...?" tanya Windarti.
"Baiklah, aku akan teruskan ceritanya..." Demikianlah! Nini
Candra Gumintang segera tuturkan kelanjutan kisahnya. Ternyata
kemudian  setelah  Lodaya Seta dapatkan peta rahasia tempat Harta
Pusaka itu, dia lalu meninggalkan kamar. Sementara Candra Gumin-
tang semakin redup matanya. Obat ramuan yang diminumnya ternya-
ta tak lain dari obat bius. Dan sesaat antaranya wanita tua itu telah ti-
dur pulas. Tentu saja membuat Lodaya Seta dan Nagasari serta Beguk
Reksasana tersenyum. Mereka berembuk untuk memulai rencana se-
lanjutnya. Dan bisikan-bisikan itu ternyata tak luput dari pendengaran
Nini Candra Gumintang, yang sebenarnya  cuma pura-pura pulas.
Padahal wanita tua itu telah kerahkan ilmu kekuatan tenaga dalamnya
untuk melawan pengaruh obat bius. Kecurigaannya mulai timbul, ka-
rena mendengar kasak-kusuk Nagasari dan Beguk Reksasana yang
bersembunyi mendengarkan pembicaraan mereka. Mengapa Nagasari
tak mau munculkan diri terang-terangan. Dan ada apakah dibalik ke-
janggalan ini...? Ya, Nagasari memang sering terlihat janggal dalam
perbuatan dan tindak-tanduknya. Semua sikap itu melalui menjadi
perhatiannya.

"Bagus...! dia sudah terpulas, ayah...! Bagaimana rencanamu?"
tanya Nagasari pada Lodaya Seta, Seusai menceritakan kejadian aneh
tentang Shidarta.
"Hm, menurutmu baiknya bagaimana...! balas bertanya Lodaya
Seta.
"Dia telah berikan peta harta pusaka itu padaku tanpa bersusah
payah! Apakah kebaikannya akan kita balas dengan kejahatan...?"
"Ayah benar! Akan tetapi racun yang setiap hari diminumnya
setiap kali aku membawakan minuman untuknya, telah membuat pe-
nyakit dalam ditubuh Nini Candra Gumintang sukar untuk di sem-
buhkan. Bukankah demikian kata ayah? Juga seandainya ayah mam-
pu mengobatinya lagi, sudah terlanjur kasip (terlambat). Kelak suatu
saat pasti perbuatan kita bisa ketahuan. Bahkan akan lebih berabe lagi
seandainya semua saudara-saudara seperguruan mengetahui. Teruta-
ma Shidarta...! Walau dia masih hidup, tentu akan membocorkan ra-
hasia ini!" ujar Nagasari.
"Jadi sebaik-baiknya langkah yang harus kita tempuh adalah
melenyapkannya...!" lanjut ucapan Nagasari.
"Yah! tak ada jalan lain ...!" akhirnya Lodaya Seta manggut-
manggut menyetujui usul Nagasari padahal hati laki-laki tua itu amat
menyesali tindakannya. Karena tak menduga akan semudah itu Can-
dra Gumintang memberikan peta Harta Pusaka padanya. Nasi telah
menjadi bubur. Apa mau dikata. Kini tak ada jalan lain selain mele-
nyapkan nyawa wanita tua yang berbudi luhur itu.
Akhirnya diambil keputusan, Tapak Doro dan Binangun yang
diperintahkan untuk membunuh Nini Candra Gumintang.
Kedua orang itu segera datang menghadap ketika mendapat
panggilan dari Nagasari yang menemuinya.
"Bawalah wanita tua yang pernah menjadi guru kita ini ketem-
pat yang jauh. Lalu bunuhlah. Mayatnya lemparkan saja ke jurang.
"Baik kakang mbok perintah akan hamba laksanakan, asalkan
kakang mbok tak lupa untuk membagi harta pusaka itu...!" menyahut
Tapak Doro.
"Hm, jangan khawatir! aku tak pernah mendustai apa yang telah
kujanjikan itu. Buat apa aku mempercayai kalian berdua kalau aku
akan berlaku tamak? Aku membutuhkan tenagamu bukan saat ini sa-

ja. Tapi untuk seterusnya kalian akan menjadi orang-orang yang pal-
ing aku percaya...!"
Sahut Nagasari dengan tersenyum. "Nah! Kerjakanlah!"
"Baik kakang mbok...!" hampir berbareng mereka menyahut.
Selanjutnya Tapak Doro dan Binangun segera membawa tubuh Nini
Candra Gumintang keluar goa. Bergantian mereka memanggul wani-
ta tua yang dalam keadaan terbius itu. Hingga mereka tiba ditepi ju-
rang yang dalam. Disana mereka berhenti.
"Kukira kita tak perlu turun tangan membunuhnya terlebih dulu,
Binangun!" ujar Tapak Doro. "Toh bila kita lemparkan saja kejurang,
tentu dia akan mati!"
"Hm, benar juga pendapatmu, kakang Tapak Doro! Ayolah! le-
bih cepat lebih baik. Sebenarnya aku tak tega melakukannya. Akan
tetapi bila tak dijalankan perintah ini, resikonya amat besar bagi ki-
ta!" sahut Binangun. Disaksikan elang dan burung-burung gagak
yang bertengger dibatu-batu cadas tebing itu, Tapak Doro dan Binan-
gun siap melemparkan tubuh Nini Candra Gumintang sang guru me-
reka dari atas tebing kemulut jurang, yang sukar diukur dalamnya...
Akan tetapi pada saat itu juga muncul sesosok tubuh berjubah
serba hitam berwajah mengerikan, mirip mayat hidup. Berambut pu-
tih beriapan.
"Tahan!" sosok tubuh itu keluarkan suara bentakan.
"Heh! Siapa Kau...!?" tersentak kaget Tapak Doro. Tentu saja
dia lantas urungkan niatnya.
Kedua saudara seperguruan ini saling pandang.
"Bagaimana adik Binangun? apakah sebaiknya kita bikin mam-
pus dulu penghalang ini?" bisik Tapak Doro. Binangun mengangguk.
Dan... Sreet! Criing...!
Keduanya telah cabut masing-masing senjatanya dari pinggang.
"Manusia ataukah hantukah kau? mengapa menghalangi niat
kami?" bentak Tapak Doro. "Hmm...!" orang itu perdengarkan suara
dihidung. Dan, tanpa berkata apa-apa lagi langsung menerjang kearah
kedua murid perguruan Cempaka Biru itu. Sepasang lengan si Manu-
sia muka mayat itu merentang. Jari-jari tangannya mengembang, siap
mencengkeram batok kepala keduanya.
"Awas, adik Binangun...!" Tapak Doro memperingati. Sementa-

ra dia sendiri segera melompat menghindar. Bahkan senjata golok be-
sarnya membabat kearah pergelangan tangan lawan. Binangun mi-
ringkan tubuhnya dengan sigap, Rantai besi berbandulan tiga mata
tombak, segera digunakan untuk menyerang lawan. Suara rantainya
bergemerincing. Dan tiga mata tombak meluncur kearah tubuh si ma-
nusia muka mayat.
Kembali orang misterius itu perdengarkan dengusnya. Tiba-tiba
tubuhnya meletik ke udara dengan lakukan salto indah. Dari gerakan
menukik dia telah lancarkan serangan berikutnya. Sepasang lengan-
nya dengan jari-jari mengembang itu bagaikan cakar elang yang
kembali menyambar untuk mencengkeram batok kepala Tapak Doro
dan Binangun.
"Edan...!" maki Binangun. Serangan senjata rantai berbandulan
tiga mata tombak itu lolos. Bahkan dia kini harus hindarkan serangan
mendadak yang di luar dugaan.

***

SEMBILAN

Tapi sebagai murid yang sudah terlatih, tentu saja Binangun
masih bisa hindari serangan ganas itu. Bahkan lemparkan tubuhnya
kebelakang, dia telah sebarkan jarum-jarum senjata rahasia kearah si
manusia muka mayat. Sementara Tapak Doro dengan gerakan sebat
dapat menghindari diri cengkeraman cakar maut itu. Walau tak urung
baju dibagian pundak kena tercengkeram sobek.
Terpaksa si manusia muka mayat gagalkan serangan susulannya
karena harus menyampok mental senjata rahasia itu dengan jubahnya.
Dan dengan lakukan salto dia injakkan kakinya ketanah. Tampak gu-
sar Tampak Doro. Manusia penghalang itu harus cepat dirobohkan.
Kalau sampai terlambat dikhawatirkan pekerjaan mereka akan gagal
untuk membunuh guru mereka. Lompatan dengan jurus Macan putih
Menerkam kijang segera dilakukan. Bahkan golok besarnya sudah
melayang ganas untuk menabas pinggang lawan. Gerakan cepat ini

seperti membuat si manusia muka mayat agak terkejut. Kembali dia
menghindar dengan Lompatan salto. Tapi kali ini Tampak Doro terus
mengejar dan mencecar dengan tabasan-tabasan golok besarnya.
Binangun segera datang membantu dengan sambaran tiga mata
tombak dari bandulan rantainya. Terlihat si manusia muka mayat se-
pertinya terdesak. Dia terus mundur dengan lompatan-lompatan sal-
tonya. Hingga makin jauh dari sisi tebing dibibir jurang itu. Suatu ke-
tika si manusia muka mayat menghindar dari serangan tiga mata
tombak Binangun. Dia berhasil menyelinap kebalik batu tebing.
"Keparat! kau harus mampus! karena telah memperlambat uru-
san kami!" bentak Tapak Doro dengan gusar. Semakin menggebu
niatnya untuk segera membinasakan lawan yang dilihatnya telah ter-
desak. Namun kedua saudara seperguruan ini ternyata telah kehilan-
gan jejak. Si manusia muka mayat lenyap entah menyelinap kemana.
Berlompatan Tapak Doro dan Binangun mencari. Akhirnya mereka
memutuskan untuk cepat kembali. Pekerjaan mereka harus segera
diselesaikan.
Demikianlah. Dengan gerakan cepat mereka segera kembali ke-
tepi tebing. Dibibir jurang itu masih tampak tergolek tubuh Nini can-
dra Gumintang.
Sesaat kemudian...
"Satu.... dua.... ti...ga !"
Dan dilemparkannya tubuh wanita pendekar tua yang malang
itu ke mulut jurang. Tubuhnya melayang ke bawah untuk kemudian
lenyap tak kelihatan lagi. Karena dalamnya dasar jurang sukar diukur
dan tertutup kabut.
Tapi tak seorangpun dari dua saudara seperguruan itu yang
mengetahui kalau yang di lemparkan mereka tak lain dari sebatang
kayu. Ya, sebatang kayu..! Karena sebenarnya tubuh Nini Candra
Gumintang telah dibawa berkelebat dalam pondongan sesosok tubuh
berjubah hitam, yaitu siapa lagi kalau bukan tubuh si manusia Muka
Mayat yang tadi lenyap dari kejaran Tampak Doro dan Binangun.
Akhirnya kedua laki-laki yang telah menunaikan tugasnya itu,
tampak segera bergegas kembali pulang untuk melaporkan hasil pe-
kerjaannya...
Sampai di sini Nini Candra Gumintang mengakhiri kisahnya,

yang ditutup dengan kata-kata... "Nah! Itulah sebabnya aku masih hi-
dup sampai saat ini. Karena di tolong seseorang...!"
Windarti termangu-mangu mendengarkan kisah yang dituturkan
itu.
"Siapakah orang yang telah menolongmu itu, guru...?"
"Entahlah...! Orang itu tak mau memperkenalkan diri. Wajah-
nya mirip mayat hidup. Kami cuma mengenal dia dengan julukan si
Manusia Muka Mayat!"
"Ooooh...!?" Ternganga Windarti.
"Akan tetapi si penolong misterius itu kenal baik dengan adik
seperguruanku, si Lodaya Seta.!" ujar nini Candra Gumintang lebih
lanjut.
Dan agar kau ketahui lebih jelas... si Ular Betina Selat Madura
itu sebenarnya adalah murid paman Lodaya Seta. Yang telah menye-
lamatkan
nyawaku... !" berkata Shidarta dengan menatap lekat-lekat pada
Windarti.
Lagi-lagi gadis ini tersentak kaget. "Aiiih! jadi demikiankah
adanya...?" ucapnya dengan terbelalak matanya.
"Kini dimanakah paman Lodaya Seta?" tanya Windarti seraya
palingkan wajahnya menatap pada sang guru dan Shidarta.
"Beliau ada ditempat ini...!" ujar Shidarta.
"Guru...! bolehkan aku mengajaknya untuk menemui paman
guru...?"
"Silahkan Shidarta...! Jangan lupa perkenalkan pula pada si Ular
Betina Selat Madura...!"
"Baik, guru...!" menyahut Shidarta. Lalu setelah menjura segera
bangkit berdiri. Windarti mengikuti. Shidarta ulurkan lengannya un-
tuk meraih tangan dara itu. "Mari kita ketempat mereka...!"
Windarti mengangguk. Menoleh sejenak memandang pada Nini
Candra Gumintang.
"Guru...! aku pergi dulu..."
Wanita tua itu mengangguk sambil tersenyum.
"Pergilah Windarti!" ucapnya.
Tak lama dengan bergandengan tangan kedua remaja itu segera
keluar dari ruangan pondok sederhana berlantai dan berdinding papan

kayu jati itu.
Ternyata Shidarta membawanya ke seberang sungai berair
dangkal.
Diseberang sungai pada tempat ketinggian,  tampak berdiri se-
buah rumah panggung yang cukup besar.
"Itulah tempat tinggal paman Lodaya Seta. Akan tetapi kini dia
sudah tak memakai nama Lodaya Seta lagi..."
Windarti manggut-manggut. "Siapakah nama atau gelarnya ki-
ni?"
"Beliau memakai nama Ki DONDOMAN dengan gelar Malai-
kat Tangan Sebelas...!" sahut Shidarta.
"Ah!?" nama yang aneh dan gelar yang hebat!" puji Windarti.
Ditepi sungai berair dangkal dan jernih itu mereka berhenti se-
jenak. Shidarta menatap Windarti dalam-dalam seperti mau menelu-
suri relung hati dara itu. Sementara lengannya masih mencekal jemari
tangan Windarti. Darah pemuda ini  berdesir, dengan detak jantung
yang berdegupan. Terasa dihati laki-laki ini ada rasa bahagia. Semen-
tara yang ditatap jadi serba salah. Dia tak mengerti ada apa dengan
sikap pemuda itu yang menatapnya lekat-lekat...?
"Windarti...!" terdengar suara Shidarta. "Bolehkan aku mengu-
tarakan isi hatiku...?"
"Hm, mengapa tidak? kita kan saudara seperguruan. Kalau kau
punya uneg-uneg dihatimu, katakan saja...!" sahut Windarti dengan
termenung heran.
"Aneh!" pikir Shidarta. "Windarti seperti biasa-biasa saja ber-
hadapan denganku. Apakah tak ada "rasa" dihatinya secuilpun terha-
dapku?"
"Terima kasih, Windarti..." Hanya itu yang terlontar dari mulut-
nya. Selebihnya diam dengan menundukkan wajah. Tak tahu lagi apa
yang akan dikatakannya.
"Katanya kau mau mengutarakan uneg-uneg dihatimu. Menga-
pa tak kau paparkan padaku?" Pertanyaan Windarti membuat Shidar-
ta tersentak.
"Oh, ya! ya...! aku... aku sedang berpikir, apakah yang akan ku-
katakan?" ujar Shidarta tergagap.
"Lho? kok malah berpikir dulu? langsung saja bicara! Kau tam-

paknya seperti takut mengatakannya, Shidarta. Tak baik begitu. Aku
lebih suka orang yang terang-terangan. Nah, katakanlah uneg-uneg
dihatimu...!"
Akhirnya Shidarta bicara juga setelah  menelan ludah berkali-
kali.
"Windarti...! apakah selama ini tak ada kau simpan nama seo-
rang laki-laki dihatimu?"
"Nama seorang laki-laki?" Hm, maksudmu...?" tanya Windarti
tak mengerti.
"Ya! nama seorang laki-laki yang... yang kau cintai...?" ulang
pemuda itu dengan memandang nanar. Sementara hatinya berdegu-
pan tak keruan.
"Tak ada kusimpan nama seorang laki-laki pun dihatiku, Shidar-
ta! Walau... ya, walau di pesanggrahan Melati terlalu banyak laki- la-
ki!" sahut Windarti yang mulai menebak maksud pertanyaan Shidarta
Tampak Shidarta menghela napas, seperti merasa lega. "Kalau
tak ada nama laki-laki yang terukir dihatinya, berarti Windarti belum
terjamah tangan laki-laki..." pikir Shidarta.
"Windarti...! tahukah kau bahwa aku... aku telah sejak lama me-
naruh hati padamu. Waktu kita masih sama-sama di pesanggrahan
Perguruan Cempaka Biru hingga saat ini pun perasaan sayang pada-
mu itu masih ada.
Kalau kau kurang mengerti, baiklah kujelaskan. Ya, aku sebe-
narnya amat mencintaimu, Windarti...!" Serasa terbebas uneg-uneg
dihati Shidarta setelah mengucapkan kata-kata barusan.
Tercenung sesaat Windarti. Walau dihatinya mengadakan per-
tentangan dengan pernyataan itu, namun naluri kewanitaannya ter-
nyata masih berfungsi.
Dia menyadari bahwa satu jalan lurus terbentang dihadapannya.
Seperti mendapat tempat direlung hati. Selama ini dia memang me-
nyadari bahwa apa yang terjadi antara dia dengan Kuntali adalah ke-
tidak wajaran. Kini dia harus dapat membedakan antara kelurusan
dan kesalahan fatal dalam mengikuti aluran naluri kewanitaannya.
Dan, dia merasa genggaman lengan Shidarta begitu mesra meremas
jemari tangannya.
Sesaat hatinya berdegupan. Entah perasaan apa yang berkeca-

muk di dadanya. bahagiakah? atau dia harus bersedih. Karena segera
teringat Windarti pada Kuntali, yang telah tiada. Tiba-tiba dadanya
bergemuruh ketika mengingat akan kematian Kuntali yang tragis di-
tangan Nagasari.
"Terima kasih atas ucapanmu itu Shidarta. Aku amat menghar-
gai. Dan... aku tak menolak cintamu....!" ujar Windarti dengan mata
berkaca-kaca.
"Kau... kau terima cintaku, Windarti?" tanya Shidarta penasa-
ran. Dia seperti mau mendengar pengakuan Windarti lebih jelas.
Dara cantik itu mengangguk. Tanpa ucapan kata-kata. Cuma
sepasang mata sayu itu yang menatapnya dengan pandangan nanar.
"Ah, terima kasih, Windarti. Terima kasih...! Ooo... bahagianya
hatiku...!" teriak Shidarta dengan suara berbisik menggeletar. Dikepa-
lanya erat-erat lengan Windarti dan didekapnya ke dada.
"Ehmm...!" satu deheman membuat Shidarta terkejut. Ketika
memandang kedepan, diseberang sungai tampak berdiri sesosok tu-
buh wanita berparas cantik. Memakai pakaian dari sutera tipis warna
hitam, "Dialah si Ular Betina Selat Madura, murid paman Lodaya Se-
ta" Ujar Shidarta. Windarti manggut-manggut...

***

SEPULUH

Andaikan wanita bernama Andini, orang baru dari pesanggra-
han Melati yang membunuh bangsawan tua itu?" tanya Windarti sete-
lah menjabat tangan si Ular Betina Selat Madura.
"Tidak salah...! aku juga yang bergelar si Ular Betina Selat Ma-
dura. Julukan itu sebenarnya bukan aku yang menggelari. Tapi orang-
orang sekitar selat Madura yang menggunakan nama itu untuk meng-
gelariku!" sahut Wanita bersuara merdu itu.
"PERAMPOK TENGIK...! kiranya kau bersembunyi disini?"
tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek. Dan tiga sosok tubuh ber-
loncatan mengurung.

Mereka rata-rata berjubah hitam. Tak pelak lagi mereka itu tak
lain dari si Tiga Dedemit Gunung Siung. Yaitu tiga orang guru Beguk
Reksasana dari kaum Rimba Hijau golongan Hitam.
"Hihihi... bagus! bagus...! tanganku memang sudah gatal untuk
mengemplang kepala kalian. Sukurlah kalau kalian tahu diri menyu-
sul kemari!" berkata si Ular Betina Selat Madura dengan mengikik
tertawa. Sikapnya amat tenang seperti tak mengenal bahaya maut di
depan mata. Bahkan dengan lagak yang jumawa dia umbar kata-
katanya seolah telah mengetahui kedatangan ketiga Dedemit Gunung
Siung itu.
Tentu saja membuat Windarti melegak heran. Ingin sekali dia
menyaksikan kehebatan wanita muda yang menghebohkan selat Ma-
dura itu. Dari sikapnya dapat diketahui kalau si Ular Betina bernama
Andini itu seperti tak memandang sebelah mata.
Saat mana terdengar suara tertawa terkekeh. Dan muncul pula
sesosok tubuh. Dialah si manusia muka mayat. "Heheheheh... Tiga
Dedemit Gunung Siung! akulah lawanmu....!"
Serentak tiga laki-laki tua berjubah hitam itu balikkan tubuh.
Langsung salah seorang membentak. "Huh! Siapakah kau...?"
"Heheheh... aku si Manusia Muka Mayat!"
"Apakah urusanmu dengan persoalan kami? Bocah perempuan
edan itu telah merampok harta benda muridku di Pesanggrahan Mela-
ti! Apakah kau mau membela maling?" bentak Dedemit Gunung
Siung.
"Huuu!? begitukah? Kudengar muridmu itu adalah pendiri pe-
sanggrahan edan yang menjadi komplotan jual-beli perempuan? Ka-
lau dirampok orang kukira itu wajar! Bukankah harta muridmu itu
harta tak halal?" tukas si manusia Muka Mayat.
"Dan perlu kalian ketahui, murid perempuan mu si pendiri pe-
sanggrahan Melati itu adalah anak kandunganku sendiri. Akan tetapi
karena perbuatannya membuat malu aku. Juga menyalahi tata tertib
serta membuat kekisruhan di wilayah Kerajaan dengan mendirikan
komplotan edan itu, maka aku tak mengakui dia anakku lagi!"
Terhenyak seketika si Tiga Dedemit Gunung Siung. Ketiganya
saling pandang dengan kawannya sendiri.
"Heh! siapakah kau ini sebenarnya?" bertanya salah seorang da-

ri mereka. Si manusia Muka Mayat tak menjawab. Akan tetapi ge-
rakkan tangannya "membuka" kulit wajahnya. Ternyata dia menge-
nakan semacam topeng kulit manusia. "Nah! apakah kalian masih
mengenali wajahku...?" bertanya si manusia Muka Mayat, yang kini
wajahnya sudah tak seperti mayat hidup lagi.
"LODAYA SETA...!?" tersentak kaget ketiga manusia ini.
Memandang laki-laki tua itu yang tak lain memang Lodaya Seta
adanya.
Sementara ditempat persembunyian dua pasang mata menatap
dengan membelalak pada laki-laki yang barusan berganti wajah itu.
Sekonyong-konyong angin keras menyambar semak belukar
dimana dua manusia itu bersembunyi, ketika Lodaya Seta alias Ki
Dondoman atau si Malaikat Tangan Sebelas itu kibaskan lengannya.
"Heheheh... keluarlah kalian dari tempat sembunyimu, Nagasa-
ri! apakah kau tak mau tanggung jawab dengan perbuatan terkutuk-
mu?" berkata Ki Dondoman dengan suara dingin mencekam.
Tentu saja membuat dua manusia itu melompat ke luar dengan
serempak. Ternyata benarlah Nagasari adanya, yang sembunyi ber-
sama Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. Ternyata disaat Beguk
Reksasana pergi mencari jejak si Ular Betina Selat Madura yang telah
kabur dengan hasil rampokannya itu, Nagasari berkelebat menyusul.
Dalam pelacakan mencari jejak si Ular Betina Selat Madura, mereka
telah sampai ketempat itu.
"A... a... ayah...!? benarkah kau tak mengakui aku anak kan-
dungmu lagi?" teriak Nagasari dengan suara menggetar hebat.
Laki-laki tua ini menatap tak berkedip dengan sinar mata tajam
seperti anak panah yang mau menembus jantung perempuan muda
itu.
"Aku telah bilang hitam, ya hitam. Dan bila aku bilang putih, ya
putih! apakah aku perlu mengulangi kata-kataku?" membentak Ki
Dondoman.
Nagasari mundur dua langkah. Wajahnya tak sedap dipandang.
Dadanya tampak turun naik karena menahan gemuruh didadanya.
Dari menatap wajah ayahnya, sepasang mata Nagasari beralih
pada dara cantik bergelar di Ular Betina Selat Madura itu.
"Heh! kalau begitu keputusan ayah, aku tak dapat menolak.

Ayah ternyata telah punya seorang murid perempuan yang menggan-
tikan aku. Hingga ayah tega tak mengakui aku lagi sebagai anakmu!
Pantas kalau aku disisihkan. Karena murid perempuan ayah itu pan-
dai memfiitnah. Mungkin juga dia telah mengguna-gunai ayah, agar
ayah membenciku...!" berkata Nagasari bercampur isak.
Sementara itu Windarti sejak tadi menatap pada Nagasari den-
gan tak berkedip. Dengan pancaran mata berapi-api. Sekilas ter-
bayang lagi saat kematian KUNTALI, yang sebelum dihabisi nya-
wanya oleh Nagasari telah diperkosa dulu secara bergantian oleh Ta-
pak Doro dan Binangun.
Dendam kesumat di dalam dada dara ini tampaknya sudah tak
tertahankan lagi. Tiba-tiba dia membentak keras seraya melompat
kehadapan Nagasari.
"Perempuan bejat! hari ini aku akan adu jiwa denganmu...!"
Dan tanpa ayal lagi langsung menerjang ganas. Yang diiringi peki-
kan-pekikan histeris.
Whuuk! Zeb! Zeb...! Whuk! Whuk!... BRRET!
Tersentak Nagasari yang sedang dalam keadaan berduka den-
gan keputusan sang ayah. Hatinya terasa nyeri karena tak diakui lagi
sebagai anak kandung laki-laki bernama Lodaya Seta itu.
Ketika serangan mendadak Windari dia agak terperanjat. Na-
mun Nagasari bukanlah wanita yang mudah dijatuhkan. Karena di
samping dia digembleng lebih dari lima tahun oleh nini Candra Gu-
mintang, tapi juga telah mendalami ilmu-ilmu dari si Tiga Dedemit
Gunung Siung.
Namun serangan Windarti yang kalap itu justru membuat Naga-
sari sukar untuk menduga jurus-jurusnya. Hingga dia berlaku kurang
gesit.
Sambaran deras dari terjangan Windarti membuat baju lengan-
nya tersobek. Bahkan kuku dara itu menggores kulitnya hingga ber-
darah.
"Keparat!" memaki Nagasari. Kau mau mampus...!" bentaknya
menggledek. Dan... Menerjanglah Nagasari dengan pukulan-pukulan
dahsyatnya untuk merobohkan dara yang masih adik seperguruannya
itu.
Buk! Satu hantaman telak mengenai dada Windarti, membuat

gadis ini terhuyung ke belakang.
"Kau...kau manusia kejam! penipu...! kau telah mengelabuiku!
mengelabui semua saudara-saudara seperguruan. Bahkan kau telah
membunuh KUNTALI! Kau racuni guru kita hanya karena ketama-
kanmu pada harta pusaka milik guru! apakah kau masih layak untuk
hidup didunia? Kau telah pula mendirikan komplotan penculik dan
penjual wanita! Kau... kau harus tebus jiwa Kuntali dengan nyawa ib-
lismu, keparat...!"
Berteriak-teriak dengan suara lantang dara ini. Bahkan air ma-
tanya tampak mengalir turun! Dan, disertai bentakan keras melengk-
ing panjang, Windarti kembali menerjang dengan pukulan-pukulan
ganasnya.
Saat mana Nagasari secepat kilat sambil mengelak telah laku-
kan serangan menghamburkan senjata rahasia jarum-jarum berbisa.
Akan tetapi disaat yang gawat itu, terdengar bentakan keras. Se-
sosok bayangan berkelebat.
"Awas, Windarti...!" teriakan itu dibarengi dengan mendorong
tubuh dara itu. Akan tetapi justru sosok tubuh itu sendiri yang terkena
lurukan jarum-jarum beracun Nagasari.
Terdengar jeritan parau dari si Ular Betina Selat Madura, alias
ANDINI. Seketika tubuhnya roboh. Dan berkelojotan ditanah. Tapi
sesaat antaranya tubuh wanita itupun terkulai...
Windarti melompat memburu diiringi Shidarta. Sementara Na-
gasari telah berkelebat cepat melompat dari situ setelah  mencekal
lengan Beguk Reksasana.
"Cepat! kita pergi dari sini...!" bisik Nagasari.
Akan tetapi... "Bocah murtad! hentikan langkahmu...!" satu ben-
takan keras dari nada yang dingin mencekam membuat mereka henti-
kan langkahnya. Dan sesosok tubuh melayang turun dihadapan mere-
ka. Membelalak sepasang mata Nagasari seperti mau melejit keluar.
Karena melihat siapa yang berdiri menghadang.
"Hihihi... Nagasari. Dan kau Tali Wangsa! Lebih baik kalian se-
rahkan diri untuk jadi tawananku. Aku akan serahkan kalian pada
hamba hukum Kerajaan yang lebih patut menjatuhkan hukuman un-
tuk kalian, di Kota Raja!"
Ternganga mulut Nagasari. Pakaian wanita ini amat mirip den-

gan si Ular Betina Selat Madura yang telah dipastikan tewas terkena
serangan senjata rahasia. Akan tetapi jelas dia bukan si Ular
Betina itu? Karena wanita yang terkena luruskan senjata raha-
sianya masih tergeletak disana! Lalu siapakah wanita ini? pikir Naga-
sari.
Saat mana si manusia Muka Mayat telah melompat kehadapan
wanita berpakaian sutera tipis warna hitam ini.
"He? siapakah kau, nona? mengapa kau menyamar jadi murid-
ku...!" berkata.
"Hihihi... akulah si Ular Betina Selat Madura yang asli! bukan
aku yang menyamar jadi murid mu, tapi muridmu itulah yang me-
nyamar menjadi aku! Bukankah dia bernama KUNTALI...?" bertanya
wanita ini.
Kata-kata wanita yang lantang ini membuat Windarti dan Shi-
darta jadi melengak heran. Terlebih lagi Windarti. Karena jelas dia
telah mendengar jeritan kematian Kuntali yang dibunuh Nagasari di
depan matanya. Walaupun dia tak melihat tapi suara jerit kematian itu
terdengar jelas. Bahkan dia tahu Nagasari telah berikan hukuman ma-
ti buat saudara seperguruannya itu, yang telah dianggapnya berkhia-
nat.
Saat mana tiba-tiba berkelebat tubuh nini Candra Gumintang
ketempat itu. Sekali lengannya bergerak, dia telah sentakkan kulit
muka dara yang terkapar  itu. Dan... segera terpampang wajah
KUNTALI.
Terpekik seketika Windarti Langsung merangkul sosok tubuh
yang sudah lepas nyawanya itu dengan menangis meratap pedih...
"Kuntali...! Kun.. tali... oh!? kiranya kau... kau..." Tak kuat me-
nahan perasaannya, Windarti terguling layu. Dia pingsan tak sadar-
kan diri. Shidarta jadi kebingungan mengurusi dara itu...


***

SEBELAS


"MURID MURTAD! segera kau akan merasakan kematian-
mu...!" bentak nini Candra Gumintang dengan suara lengkingan pa-
rau yang memekakkan telinga.  Tubuhnya meluncur bagaikan alap-
alap. Sepasang lengannya menukik berbentuk lingkaran dengan jari-
jari mengembang. Inilah Jurus Rajawali Mencengkeram Naga. Akan
tetapi pada saat itu berkelebat sinar ungu menyambar ke arah lengan
wanita tua ini. Diiringi sambaran kilat dari selendang sutera warna
merah, bagaikan sebatang tombak yang meluncur ke  dadanya.
WHHUUK! DHESS...!
Nini Candra Gumintang lakukan salto dengan lengan bersida-
kep. Ternyata dengan gesit dia telah tarik serangannya. Tahu-tahu se-
belah kakinya telah meluncur ke arah dada si penyerang. Terdengar
jerit kesakitan. Tubuh Tali Wangsa alias Beguk Reksasana terjeng-
kang roboh bergulingan. Bahkan pedang sinar ungu laki-laki itu telah
tercekal ditangannya. Baru saja kaki wanita tua itu menjejek tanah.
Langsung melesat lagi memburu ke arah Tali Wangsa.
DHESS...!
Darah segar menyemburat keudara. Memercik ke bumi. Dan...
menggelindinglah kepala Tali Wangsa, diiringi jatuh berdebuk tu-
buhnya yang telah tanpa kepala lagi.
Terperangah Nagasari. Wajahnya seketika berulah menjadi pu-
cat pias. Belum lagi hilang terkejutnya, tahu-tahu sinar ungu melun-
cur pesat mengancam tenggorokannya. Begitu cepatnya. Tahu-tahu
sudah didepan mata!
Akan tetapi pada detik itu... TRANG!
Pedang sinar ungu terpental keudara dan menancap tinggi diatas
dahan pohon. Ternyata sebutir batu kerikil telah menghantamnya, te-
pat disaat beberapa inci lagi pedang sinar ungu milik Tali Wangsa itu
menembus tenggorokan Nagasari.
Ternyata si manusia Muka Mayat alias Lodaya setelah yang me-
lemparkan batu, menangkis serangan. Sekejap si manusia Muka
Mayat telah melompat kehadapan nini Candra Gumintang. "Sabar,
kakang mbok! Biarkan aku menghukum anakku sendiri...!"
Selesai berkata tiba-tiba tubuh laki-laki tua itu berbalik. Lengan

jubahnya mengibas. Di lain kejap. Nagasari sudah berdiri tak bergem-
ing dengan keadaan tubuh kaku karena urat darahnya telah tertotok.
Selanjutnya dengan sekali bergerak ulurkan lengan, tubuh Na-
gasari telah berpindah ke atas pundaknya. Dan saat berikutnya Ki
Dondoman alias Lodaya Seta telah berkelebat pergi melesat cepat da-
ri tempat itu.
Melihat kematian Beguk Reksasana, tersentak kaget si Tiga De-
demit Gunung Siung.
Serentak mereka mencabut senjata masing-masing. Agaknya
mereka sudah tak memperdulikan Nagasari yang dibawa pergi oleh
Lodaya Seta. Sepasang mata mereka sebentar tertuju pada Nini Can-
dra Gumintang, lalu beralih pada si Ular Betina Selat Madura. Agak-
nya mereka bingung mengambil keputusan. Jelas tujuan mereka ada-
lah mengejar si Ular Betina untuk merebut kembali harta dan uang
milik Nagasari yang dirampok wanita itu. Akan tetapi melihat kema-
tian Beguk Reksasana (sang murid) membuat mereka jadi amat gusar.
Salah seorang rupanya sudah mengambil keputusan.
Tanpa perdengarkan suara, satu dari Tiga Dedemit Gunung
Siung telah melejit dari tempatnya berdiri. Senjata ditangannya yang
berupa sebuah Garpu besar bermata lima dengan ujung runcing ber-
warna kehijauan karena sudah direndam racun, tiba-tiba ditusukkan
ke punggung Nini Candra Gumintang. Dua orang lagi masih berdiri
ditempat. Seperti belum niat bergerak.
BUK...!
Serangan hebat laki-laki jubah hitam yang berewokan ini luar
biasa. Jurus serangan yang dipergunakan seperti jurus aneh, karena
bisa menyimpan suara. Berdesirpun tidak sambaran tombak garpu
mata lima itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan si Garpu
Samber Nyawa. Entail tenaga darimana yang telah membentur tu-
buhnya hingga terlempar keudara setinggi lima-enam tombak. Sam-
baran angin itupun seperti tak menimbulkan suara pula.
Tubuh si Garpu Samber Nyawa melayang turun dengan kaki
terlebih dulu. Akan tetapi dengan tubuh terhuyung  limbung. Dan...
tampak darah menetes dari mulutnya. Untung kedua kawan dengan
sigap cepat melompat untuk menyangganya.
Tampak wajah si laki-laki brewok ini pucat pias. Sebelah len-

gannya memegangi dadanya. "Oh.! sudah kuduga...!" ujarnya, Selesai
berkata tiba-tiba dia semburkan darah segar dari mulutnya.
Kedua pasang mata dua kawan si Brewok ini jadi mengarah na-
nar pada Si Ular Betina Selat Madura.
Sementara Nini Candra Gumintang sendiri seperti terbelalak he-
ran. Pertanda dia tak mengetahui kalau dibokong orang. Sedangkan si
wanita yang mengaku bergelar Ular Betina Selat Madura itu tampak 
tersenyum-senyum.
Melihat demikian kuatlah dugaan dua dari si Tiga Dedemit Gu-
nung Siung, kalau si Ular Betina itulah yang telah melakukan seran-
gan menolak tubuh si Brewok dengan pukulan tenaga dalam tanpa
suara...
"Bedebah tengil! tolakan tenaga pukulanmu hebat juga!" mem-
bentak Gantol Mumet yang berwajah kaku berkulit hitam legam.
Serentak kedua tubuh kakek itu telah berkelebat melompat. Se-
kejap sudah injakkan kaki di depan dan dibelakang sang Ular Betina.
"Baik! kalau kau menghendaki mampus duluan. Kebetulan ka-
mi juga perlu tahu. Kalau kau mengaku si Ular Betina Selat Madura
yang asli, berarti kaulah yang telah merampok harta dan uang di pe-
sanggrahan Melati!" Membentak Gantol Mumet.
"Hihihi... kalau sudah tahu mengapa bertanya...?" dara ini me-
nyahut seenaknya. Tubuhnya bergerak memutar kesana-kemari den-
gan melangkah pelahan. Bahkan dengan menggendong tangan ke be-
lakang. Sikap yang jumawa itu membuat kedua kakek jubah hitam itu
jadi mendongkol. Bukan main terhinanya kalau harus "keok" oleh
bocah perempuan yang dinilai usianya masih remaja ini. Akan tetapi
melihat pukulan tenaga dalam tanpa ujud dara ini membuat mereka
tampak harus hati-hati.
"Bagus! kalau begitu urusan akan mudah dibereskan! Segera
tunjukkan dimanakah kau simpan harta dan uang rampokanmu itu,
nona! Mungkin kau bisa berfikir lebih jauh. Bukankah harta itu tak
halal? Kalau kau kangkangi akan per-cuma saja. Lebih baik kau se-
rahkan pada kami...!" bujuk Kulo Takon yang bertubuh agak jang-
kung berkumis mirip kumis tikus yang bisa dihitung banyaknya. 
"Hihihi... hihihi... cecurut tua bau apek macam kau mana mem-
pan membujuk aku. Harta tak halal itu bukan mau aku kangkangi

sendiri. Tapi akan kuserahkan pada penguasa Kerajaan! Hitung-
hitung uang pajak gelap, yang diambil cuma sekali Karena setelah
"pajak" itu lunas, aku jamin perusahaan kalian akan langsung gulung
tikar! Hihihi... hihihi..."
"Kalau begitu kau perlu diringkus...!" bentak Gantol Mumet.
Dan setelah memberi isyarat, kedua tokoh golongan hitam itu seren-
tak menerjang si Ular Betina Selat Madura.
Sambaran-sambaran senjata kedua laki-laki tua itu meluruk
menghunjam ke arah dara ini. Bahkan dibarengi pula dengan puku-
lan-pukulan dengan jurus-jurus berbahaya. Akan tetapi tampak den-
gan mudah wanita itu berhasil mengelakkan diri, cuma dengan me-
lenggang-lenggok genit. Tubuhnya meliuk kesana-kemari bagaikan
tengah menyuguhkan satu tarian yang mempesonakan.
Melengak seketika dua kakek jubah hitam itu. Dalam serangan
empat jurus barusan dengan mudah si wanita bergelar Ular Betina Se-
lat Madura itu berhasil mengelakkan diri dengan tarian istimewanya.
Saat mana tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Itulah tanda isya-
rat yang diperuntukkan bagi Tiga Dedemit Gunung Siung.
Serentak keduanya tiba-tiba melompat mundur. Sementara se-
sosok tubuh berkelebat kearah pertarungan yang terhenti itu. Ternyata
si Garpu Samber Nyawa. Mereka langsung berlompatan untuk berga-
bung, dengan berdiri berjajar seraya masing-masing menyimpan sen-
jatanya.
Tentu saja hal itu membuat si Ular Betina Selat Madura jadi
melengak heran. Saat mana terdengar suara tertawa berkakakan. Di-
iringi dengan berkelebatnya sesosok tubuh.
"Hebat! hebat...! sungguh aku si tua bangka ini tak menyangka
kalau anda adalah Nona Pendekar RORO CENTIL...! Mohon maaf
atas kekeliruan kami!" Berkata sosok tubuh berjubah hitam itu yang
tak lain dari LODAYA SETA alias Ki Dondoman, yang bergelar si
Malaikat Tangan Sebelas.
"He? kau muncul lagi? apakah maumu...?" bertanya Ular Betina
Selat Madura. Akan tetapi Lodaya Seta tak menjawab. Dia menoleh
pada ketiga kakek tiga berjubah hitam. "Hai?! mengapa kalian masih
berdiri terpaku? hayo lekas beri penghormatan pada nona Pendekar
kita...!" membentak Lodaya Seta. Tak ayal ketiganya segera menjura

pada si Ular Betina Selat Madura. Dan cepat sekali mereka membuka
jubah masing-masing. Mengkelet juga kulit muka mereka. Tak lama
tiga Dedemit Gunung Siung itu telah berubah menjadi tiga orang
Perwira Kerajaan. Sementara Lodaya Setapun segera tanggalkan ju-
bahnya. Selapis kulit muka kembali dibuka dari wajahnya. Siapakah
sebenarnya laki-laki ini? Dia tak lain dari Mahapatih CAKRA
BHUANA dari Kerajaan Mataram.
Tersentak si Ular Betina melihat dan mengenali orang-orang
Kerajaan itu. Terutama pada Mahapatih Cakra Bhuana yang pernah
menjamunya ditempat kediaman pembesar Kerajaan Mataram itu pa-
da beberapa bulan yang lalu.
"Aiiiih! kalau begitu percuma sudah aku menutupi rahasiaku...!
Selesai sudah petualanganku sebagai si Ular Betina Selat Madura.!"
Berkata demikian, wanita baju sutera hitam itu mengkelet kulit wa-
jahnya. Dan... segera terpampang seraut wajah cantik. Siapa lagi ka-
lau bukan memang RORO CENTIL adanya.
"Kanjeng Gusti Patih...!" ujar Roro sambil  menjura hormat.
"Segala sepak terjangku di wilayah perairan Selat Madura telah ter-
cium oleh anda. Kini aku serahkan diri padamu. Silahkan memberi
hukuman. Dengan rela dan senang hati aku akan menerimanya...!"
ujar Roro sambil tersenyum.
"Hahahaha... segala sepak terjang anda memang sudah lama di-
lacak oleh anak-anak buahku dari pihak Kerajaan Mataram. Walau
harta-harta haram serta barang selundupan yang kau rampok dari para
saudagar di kawasan Selat Madura itu belum kau berikan pada yang
berwenang, namun aku tak mencurigaimu mau mengangkanginya.
Hehehe... suatu ketika kau pasti mengantarkannya ke Kota Raja!"
berkata Mahapatih Cakra Bhuana.
"Bagaimana kalau aku melarikan diri? Hihihi... apakah anda tak
pikirkan kalau tiba-tiba niatku berubah...?" ujar Roro berseloroh.
"Hahaha... kalau begitu sekarang anda ku tangkap. Selama se-
pekan anda harus tinggal di tempat kediamanku untuk menerima su-
guhan kehormatan!" Mendengar kata-kata itu mau tak mau Roro jadi
mengikik tertawa terpingkal-pingkal.
Adapun nini Candra Gumitang sejak tadi terlongong menden-
garkan percakapan. Melihat siapa adanya si Tiga Dedemit Gunung

Siung serta "Lodaya Seta", dia jadi terpaku dengan 1001 pertanyaan
dibenaknya.
Sekali bergerak dia telah melompat kehadapan Mahapatih Ca-
kra Bhuana.
"Maafkan hamba Kanjeng Gusti Mahapatih...! aku si nenek tua
renta ini tak mengetahui semua ini. Mohon penjelasan...!" berkata
wanita tua ini dengan menjura dihadapan Pembesar Kerajaan itu.
"Segalanya akan anda ketahui, sobat Nini Candra Gumitang...!
Kita mengebumikan dua jenazah dulu. Dua jenazah yang berbeda ja-
lan hidup yang satu dengan yang lainnya. Seorang adalah pencari ke-
benaran, seorang lagi adalah pencari kerusuhan!" ujar Mahapatih Ca-
kra Bhuana. Akan tetapi mereka kini sudah sama-sama menjadi
mayat, yang perlu kita hormati. Mari kita memakamkannya...!"

***

DUA BELAS

Lima hari kemudian... di Kadipaten LAMONGAN. Terperan-
gah Nini Candra Gumintang melihat sosok tubuh Lodaya Seta yang
terkapar bermandi darah dirumah tahanan Kedipatian itu. Setelah se-
lesai mengebumikan jenazah Beguk Reksasana alias Tali Wangsa,
Mahapatih Cakra Bhuana. mengajak mereka semua ke Kadipaten.
Kecuali Roro Centil yang mohon diri untuk menyelesaikan urusan-
nya.
Bukan saja nini Candra Gumintang yang terkejut, akan tetapi
juga Adipati Donggala, serta semua yang berada ditempat itu. Karena
tampak dinding kamar tahanan berlubang besar. Dan Nagasari yang
dijebloskan satu ruangan dengan Lodaya Seta asli, telah lenyap...
"Celaka...!? Nagasari telah meloloskan diri...! Apakah yang te-
lah terjadi dengan Lodaya Seta...?" teriak Adipati Donggala dengan
wajah pucat. "Hai! pengawal! apakah kalian tak mengetahui tawanan
wanita yang baru masuk itu meloloskan diri?" membentak Adipati
Donggala pada dua prajurit Kadipaten yang bertugas menjaga di seki-

tar rumah tahanan itu.
"Ampun Gusti, hamba hanya mendengar suara gaduh serta run-
tuhnya tembok kamar tahanan.
Dan, hamba dapati laki-laki tua tahanan kita ini telah terkapar
berlumuran darah. Tahanan wanita itu sendiri lenyap!" menyahut sa-
lah seorang prajurit seraya menyembah.
"Apakah kalian tak lihat ada orang masuk kemari?"
"Rasaya tidak, Gusti...!" sahut keduanya serempak. Sementara
nini Candra Gumintang telah melompat untuk memeriksa keadaan
Lodaya Seta. Laki-laki tua ini masih belum mati. Luka parah berasal
dari lambungnya yang robek mengeluarkan darah tiada henti.
"Adikku, Lodaya... katakanlah! apa yang terjadi? siapa yang
melakukan perbuatan ini?" bertanya wanita tua ini dengan air mata
berkaca-kaca.
"Kau... kakang... mbok...! oh, bahagia sekali kau datang...! aku
memang merahasiakan tentang diriku...! Sebenarnya Mahapatih Ca-
kra Bhuana adalah saudara kembarku...! Aku memilih mendekam da-
lam tahanan ini atas permintaan ku sendiri. Karena aku merasa berdo-
sa. Aku telah salah memungut anak! ya, salah yang teramat besar...!"
ucap Lodaya Seta terputus-putus. Tapi bibirnya menyunggingkan se-
nyum. Walau cuma senyum kekecewaan.
"Ah...!? jadi Nagasari bukan anak kandungmu sendiri?" tanya
nini Candra Gumintang. Laki-laki tua itu menggeleng. "Benar, ka-
kang mbok...! Ketika Nagasari mengambil keputusan untuk membu-
nuhmu, aku tak berdaya. Karena Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa telah menotokku. Kemudian laki-
laki yang sudah kucurigai itu mengikat sekujur tubuhku dan mena-
wanku di dalam goa! Untuklah kakang Mahapatih Cakra Bhuana me-
nolongku...!"
Lodaya Seta berikan penjelasan. Tampak dia kelihatan berse-
mangat. Bahkan merasa agak kuat untuk bicara. Karena diam-diam
Nini Candra Gumintang kerahkan tenaga dalamnya yang dialirkan
ketubuh laki-laki itu melalui telapak tangan untuk membantu kekua-
tan tubuh Lodaya Seta.
Sementara Mahapatih Cakra Bhuana berjongkok disisi laki-laki
tua itu. Menatap saudara kembarnya dengan tatapan sedih. Lodaya

Seta tampak tersenyum dan manggut-manggut pada wanita tua sauda-
ra seperguruannya itu. Lalu lanjutkan kata-katanya.
Tahukah kau bahwa sebenarnya aku telah menjadi seorang tan-
pa daksa, kakang mbok...?" berkata Lodaya Seta. "Sejak ilmuku dile-
nyapkan oleh mendiang guru, aku cuma mempunyai ilmu dasar saja.
Aneh! semakin lama tenaga dalamku semakin berkurang. Dan lenyap
sama sekali. Tahulah aku kalau guru telah menggunakan ilmu puku-
lan tanpa wujud dari jurus Peluluh Tenaga Dalam yang langka...!"
ujar Lodaya Seta.
Nini Candra Gumintang tersentak kaget. "Jadi selama ini kau
tak punya ilmu apa-apa, adik Lodaya...?" bertanya wanita tua ini. Lo-
daya Seta mengangguk.
"Jadi... jadi apakah yang menolongku waktu itu adalah Gusti
Kanjeng Mahapatih sendiri...?" tersentak lagi nini Candra Gumintang,
seraya menatap pada laki-laki Pembesar Kerajaan itu.
Mahapatih Cakra Bhuana manggut-manggut, tanpa mengu-
capkan sepatah kata. Bahkan tampak dikedua sudut kelopak mata
Pembesar Kerajaan ini tersembul dua titik air bening. Tampak dia
sangat berduka sekali dengan musibah itu. "Adik Lodaya Seta... se-
baiknya kau segera kurawat. Aku akan panggil pengawal untuk
menggotongmu dengan tandu..." berkata Mahapatih Cakra Bhuana.
"Tidak usah, kakang Patih...! ucap Lodaya Seta dengan lirih.
Akhirnya laki-laki Pembesar Kerajaan itu cuma bisa diam membisu
dengan menundukkan wajah. Sementara Adipati Donggola segera pe-
rintahkan para pengawal untuk melacak kesekitar tempat itu. Shidarta
yang tiba-tiba muncul di Kedipatian bersama Windarti, langsung di-
perintahkan mengejar tawanan yang meloloskan diri. Tak ayal dan
tanpa bertanya lagi, segera tarik lengan Windarti dan dibawanya ber-
lari bagaikan terbang, keluar dari halaman gedung Kedipatian.
Gedung tempat kediaman Mahapatih Cakra Bhuana tampak di-
padati oleh rakyat, yang ingin menyaksikan upacara pembakaran
mayat saudara kembar Mahapatih Kerajaan Mataram itu...
RORO CENTIL tampak berdiri diantara deretan para undangan.
Mereka yang nampak hadir dalam upacara itu rata-rata menundukkan
kepala.
Mereka turut bersedih atas tewasnya adik kembar sang Mahapa-

tih. Ya, Lodaya Seta tak dapat mempertahankan lagi hidupnya. Dia
tewas dengan tersenyum, setelah mengguar kisah hidupnya dihada-
pan wanita tua bernama Candra Gumintang itu. Perempuan yang di-
kala mudanya pernah dicintainya. Namun tak sempat terutarakan isi
hatinya. Karena dia keburu diusir dari perguruan.
Pelaku dari kejadian itu ternyata, masih misterius. Karena Lo-
daya Seta tak sempat menerangkan siapa pelaku perbuatan terhadap
dirinya yang kemudian merenggut nyawanya itu. Lodaya Seta yang
memilih hidup di kamar tahanan itu telah keburu melepaskan nyawa,
diiringi titik air mata Mahapatih Cakra Bhuana yang mengalir turun
membasahi pipinya...
Asap semakin tebal membumbung keangkasa. Api berkobar
menebarkan hawa panas. Raga Lodaya Seta musnah menjadi abu.
Akan tetapi jiwanya tetap hidup. Dia memang bukan seorang pahla-
wan yang mati dimedan perang. Akan tetapi keinsyafannya dari me-
nempuh jalan sesat untuk kembali menjadi manusia yang berguna pa-
tut dihargai. Sayang cita-citanya untuk meluaskan usaha pertabiban
demi kesejahteraan umat manusia, gagal ditengah jalan. Karena ulah
dari perbuatan Nagasari anak angkatnya. Yang justru menempuh ja-
lan sesat. Dan saat itu juga... Nagasari diputuskan menjadi orang
BURONAN Kerajaan Mataram!
Ketika satu demi satu para tamu undangan telah mengundurkan
diri. Juga rakyat yang berjejalan itu sudah sepi. Karena pembakaran
jenazah telah usai. Dua buah kereta kuda memasuki halaman gedung
Kepatihan. Aneh, memang! Kedua kereta kuda itu tak bersais. Bah-
kan langsung menerobos pintu gerbang. Tentu saja membuat para
prajurit pengawal penjaga pintu jadi mengejar sambil berteriak-teriak.
Adipati Donggala yang hadir dan belum pulang dalam upacara itu te-
lah memburunya dengan melompat keluar. Disusul oleh Shidarta dan
Windarti. Juga Mahapatih Cakra Bhuana, serta nini Candra Gumin-
tang, serta beberapa orang sisa dari tetamu undangan.
Langsung Adipati Donggala dan Shidarta beserta prajurit pen-
gawal memeriksa kedua kereta kuda itu. Yang berhenti tepat di depan
pintu pendopo Kepatihan. Membelalak mata Adipati Donggala juga
Shidarta melihat isi kereta kuda itu. Dua buah kotak di dalam kedua
pedati itu setelah dibuka ternyata satu berisi mayat NAGASARI. Dan

satu lagi berisi ribuan keping mas dan perak, juga bermacam perhia-
san yang tak ternilai harganya.
Diatas tumpukan uang dalam peti emas itu terdapat secarik ker-
tas bertulisan besar-besar.

"GUSTI KANJENG MAHAPATIH CAKRA BHUANA...!
TERIMALAH DUA MACAM BINGKISAN INI.
SAMPAIKAN SALAMKU PADA BAGINDA RAJA
KERAJAAN
MATARAM...! BAHWA SATU PETI UNTUK DITANAM.
DAN... SATU PETI UNTUK PEMBANGUNAN DEMI
KESEJAHTERAAN RAKYAT!"
Pengirim: RORO CENTIL
GELAR SEMENTARA (ULAR BETINA SELAT MADURA)
TELAH DICABUT....!

Saat para pengawal gaduh menurunkan mayat Nagasari dan peti
berisi uang dan harta "pajak" paksaan kiriman dari Roro Centil, justru
sang pengirimnya sendiri tengah melangkah melenggang meninggal-
kan wilayah Kota Raja. Dialah si Ular Betina Selat Madura. Yang te-
lah membuat heboh dan resah para saudagar kaya yang memper-
mainkan hamba hukum dari Kerajaan Mataram, tanpa mau mem-
bayar pajak. Justru mereka memelihara tukang-tukang pukul, atau
pembunuh bayaran demi keamanan uang dan hartanya.
Kemunculan si Ular Betina Selat Madura yang mengincar
orang-orang berduit. Telah menjadi momok yang menakutkan diwi-
layah perairan Selat Madura. Terutama dari usaha-usaha tak halal.
Tak terbilang dari orang yang kelebihan harta, tapi menggaji peker-
jaan semuanya saja. Perbuatan yang memeras rakyat itu telah tercium
oleh si Ular Betina, yang banyak dilakukan dikalangan para saudagar.
Akibatnya mereka harus menanggung resiko ditarik "pajak" paksaan
oleh si Ular Betina Selat Madura yang ternyata tak lain dari RORO
CENTIL adanya. Yaitu... sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang
beradat aneh!
"Nona Pendekar Roro...! tunggu...!" satu teriakan terdengar.

Dan sesosok tubuh berkelebat mengejar.
"Hm, Shidarta...? ada apakah kau menahan langkahku?" ber-
tanya Roro begitu pemuda tampan ini telah berada dihadapannya.
"Anu... ng..."
"Mau tanya apa?"
"Eh ya, ya...! itu..." menyahut Shidarta dengan tergagap. "Anu...
nona... Pendekar Roro...! Aku... aku cuma mau mengucapkan terima
kasih pada anda, atas pertolongan anda menyelamatkan nyawaku...!"
Roro tersenyum manggut-manggut. "Hanya itu?"
"Ma... masih ada, nona Pendekar Roro... tapi yang ini bukan
pertanyaan saya..." sahut Shidarta, seraya menoleh kebelakang. "Ah,
kemanakah anak itu?" terdengar suara Shidarta menggumam.
"Aiiih! siapakah yang kau maksudkan itu Shidarta? Wah,
wah...! kau membawa teman mengapa tak aku perkenalkan pada-
ku...?"
"Dia... dia malu, nona Pendekar..."
"Hmm... mengapa malu?" "Entahlah, dia enggan berhadapan
dengan anda..."
"Oh, ya? He... kau belum sebutkan siapa si "dia" yang kau mak-
sudkan itu?"
"Eh, maaf, nona Pendekar. Dia maksudku adalah...
WINDARTI..."
"Windarti...? apakah yang mau ditanyakannya?" tanya Roro
dengan kerutkan keningnya. Sementara diam-diam Roro sudah dapat
menerka apa maksud pertanyaan Windarti, karena segera dia teringat
ketika "nguping" pembicaraan kasak-kusuk Windarti dengan Shidar-
ta. Yang mempertanyakan soal kematian Kuntali. Ternyata Kuntali
yang telah diketahuinya dua kali mati. Ternyata dua kali hidup lagi.
Bahkan sebelum diadakan upacara pembakaran mayat, tak sengaja
Windarti melihat sekelebatan sosok tubuh Kuntali berlalu dihadapan-
nya.
Kejadian itu membuat Windarti tak bisa tidur. Dia memikir ka-
lau-kalau arwah Kuntali menjadi hantu. Ketika kasak-kusuk dengan
Shidarta, kedua muda-mudi itu pernah merencanakan untuk mem-
bongkar kuburan Kuntali...
Benar saja dugaan Roro. Ternyata Shidarta memang memperta-

nyakan peristiwa kematian Kuntali yang misterius.
"Begitulah perihal yang ditanyakan Windarti, nona Pendekar."
"Hm, panggil saja aku dengan panggilan kakak Roro, Shidarta.”
"Ah, eh... ya... ya, kakak Roro...!" ucap Shidarta agak kaku.
"Nah! aku akan berikan penjelasan. Tapi khusus untukmu. Pen-
jelasan ini cuma pada kau aku katakan. Asalkan  kau mau berjanji
takkan menceritakan pada Windarti, tentunya... berkata Roro. Semua
ini adalah demi perbaikan jiwanya! Seperti kau ketahui, atau mung-
kin belum kau ketahui. Bahwa Windarti mempunyai "kelainan" pada
jiwanya. Dia menyenangi kaum sejenisnya sendiri. Dan pada Kuntali
itulah dia boleh di katakan telah "jatuh Cinta". Hal ini amat berba-
haya. Karena dia telah menyalurkan kewanitaannya dengan cara yang
salah. Bahkan hal seperti itu tak bisa dibenarkan dikalangan orang-
orang dijalan lurus...!" ujar Roro lebih lanjut. Ternyata Shidarta
agaknya sudah mengerti. Dia tampak manggut-manggut mendengar-
kan dengan serius.
"Aku berjanji, takkan menceritakan padanya. Asalkan demi ke-
baikan dia tentunya..." tukas Shidarta.
"Bagus! Nah dengarkanlah! Sebenarnya... Kuntali telah tewas
mutlak oleh jarum-jarum beracun Nagasari, ketika dia memperingati
Windarti dengan mendorong tubuhnya. Mengapa kukatakan tewas
mutlak?  Karena kematian yang pertama ditangan Nagasari seperti
yang kudengar dari pembicaraan Windarti denganmu, adalah kema-
tian yang aku perbuat untuk mengelabuhi mata Nagasari dengan il-
muku. Yang dibunuhnya serta diperkosa oleh kedua saudara sepergu-
ruanmu Tapak Doro dan Binangun adalah seekor kambing yang telah
kutotok hingga tak mampu mengembik, sedangkan suara jeritannya
adalah suaraku sendiri!" jelaskan Roro Centil. "Ilmu itu namanya il-
mu MALIH RAGA! Sedangkan kemunculan arwah KUNTALI diha-
dapan Windarti adalah aku sendiri yang menyaru sebagai mendiang
Kuntali. Bukankah aku mempunyai kedok kulit muka yang serupa
dengan dia?"
"Benar! benar...!" timpal Shidarta yang telah semakin jelas den-
gan duduk persoalannya. Penjelasan itu selain membuat Shidarta ter-
perangah, juga membuat dia kagum luar biasa pada Roro.
"Ah, sungguh mataku buta. Tak melihat gunung Mahameru di-

depan mata. Pantas kakak Roro menjadi sanjungan orang disetiap
tempat. Karena kakak Roro berilmu teramat tinggi...!" berkata Shi-
darta dengan menatap kagum.
"Hihihi... jangan suka memuji berlebihan! Di atas langit masih
ada langit lagi!" ujar Roro. "Kalau apa yang kumiliki itu kau katakan
sudah teramat tinggi, wah, wah...! bisa-bisa aku dianggap dewa oleh
orang! hihihi..."
Shidarta manggut-manggut sambil tersenyum "Benar, kakak
Roro...! Kini akan kemanakah anda? mengapa begitu tergesa? Aku
makin kagum
pada kakak Pendekar Roro. Kalau boleh... aku... aku..." pemuda
ini tak teruskan lagi kata-katanya.
"Sudahlah! tugasmu kini adalah membimbing Windarti menjadi
seorang wanita tulen. Kasihan dia, bukan? Tampaknya kau jatuh hati
pada gadis itu. Aku percaya kau bukan laki-laki berwatak bejat seper-
ti Tali Wangsa.
Nah! aku akan segera berangkat...! Ada sedikit pesan untukmu,
Shidarta. Yaitu... sebelum kepentinganmu, alangkah baiknya bila kau
dahulukan kepentingan orang lain. Bila ternyata orang lain itu me-
mang perlu didahulukan kepentingannya! Nah! kau paham, bukan?"
Selesai bicara, tiba-tiba tubuh Roro melenyap sirna. Hilang tan-
pa krana seolah tubuhnya telah menyatu dengan angin.
Shidarta jadi terperangah dengan mata membelalak dan mulut
ternganga. Ketika memandang ke atas. Terlihat dahan-dahan pohon
bergoyangan, seperti baru melintas angin keras. Dan samar-samar hi-
dung Shidarta mencium bau harum semerbak.
"Ah...! sungguh seorang Pendekar Wanita yang hebat. Gumam-
nya lirih. Segera dia balikkan tubuh untuk beranjak pergi dari tempat
itu. Kembali pulang ke kepatihan. Dikejauhan tampak sesosok tubuh
mendatangi.
Dialah Windarti...! Pemuda tampan ini tersenyum. Hatinya ber-
kata- "Windarti...! cuma aku yang tahu, bahwa aku tak boleh mence-
ritakan rahasia ini padamu. Juga aku tak boleh mementingkan diriku
lebih dulu. Kau amat membutuhkan bimbinganku..."
Ternyata memang hanya Shidarta yang mengetahui. Bahkan
Mahapatih Mataram itupun tak mengetahui. Karena rahasia ilmu

MALIH RAGA telah pula dipergunakan oleh Roro ketika menolong
Nini Candra Gumintang. Yaitu disaat dilemparkan tubuh wanita tua
itu oleh Tapak Doro dan Binangun ke dalam jurang. Roro telah
menggantikan tubuh Nini Candra Gumintang dengan sebatang kayu.
Bagaimanakah nasib Tapak Doro dan Binangun, diakhir kisah
ini? Sepekan kemudian penduduk desa di wilayah Kadipaten Lamon-
gan telah menjumpai dua sosok mayat laki-laki. Tak diketahui siapa
pembunuhnya. Tapi yang jelas kedua mayat itu adalah mayat Tapak
Doro dan Binangun.


TAMAT




convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com