TUJUH
Nyaris kulit leher Shidarta
terkoyak, kalau dia tak sempat mi-
ringkan kepalanya. Karena hawa
dingin membersit cepat sekali me-
nebas batang leher dari belakang
disaat Shidarta membelakangi. Be-
guk Reksasana telah lancarkan
serangan mematikan dengan pedang
sinar Ungunya! Namun kewaspadaan
Shidarta memang telah diper-
siapkan sejak semula. Disamping
nalurinya yang cukup peka. Akan
tetapi sungguh tak terduga
serangan berikutnya dari Beguk Reksasa-
na membuat dia harus cepat
gulingkan tubuh dengan cepat. Selen-
dang sutera merah laki-laki itu
menyambar-nyambar bagaikan
bayangan merah. Terkadang
mengeras seperti layaknya sebatang
tombak. Terkadang kembali,
lemas, menyambar untuk membelit len-
gan atau kaki Shidarta.
Diam-diam pemuda murid Nini
Candra Gumiantang ini terke-
siap. Karena tak menyangka lawan
mempunyai ilmu dan senjata yang
demikian hebat.
"Hahaha. . . Shidarta!
lebih baik kau buang senjata kapakmu
yang tak berguna itu. Dan
serahkan nyawamu dengan sukarela!"
mengejek Tali Wangsa. Menggerung
gusar Shidarta. Tiba-tiba den-
gan gerakan tak terduga tubuhnya
menggelinding justru menerobos
diantara serangan-serangan maut
Beguk Reksasana. Kali inilah ke-
sempatan dia mempergunakan
sepasang kapaknya untuk menabas
dan menangkis serangan lawan.
Bahkan, diluar dugaan Beguk Reksa-
sana jejakkan kaki! pemuda itu
telah menghantam dadanya dengan
telak. BUK!
Terhuyung laki-laki. Sementara
Shidarta telah melompat berdi-
ri.
"Jahanam keparat! kubunuh
kau...!" membentak dahsyat Shidar-
ta seraya diiringi dengan sambaran
ganas sepasang kapaknya. Suara
berdesin membelah udara...
Trang! Trang...! Sebat sekal Beguk Rek-
sasana menangkis dengan
pedangnya. Ternyata dalam keadaan ter-
huyung demikian, tidak membuat
laki-laki ini kehilangan nalurinya^
untuk menangkis dengan cepat.
"Bedebah! kali ini aku tak
segan-segan mengirim nyawamu ke
Akhirat secepatnya, bocah bau
kencur!" memaki Beguk Reksasana.
Tiba-tiba di gerakkan pedang
memutar. Terlihat cahaya yang bergu-
lung-gulung membersitkan hawa
dingin mencekam. Inilah jurus ber-
bahaya yang bakal dilancarkan
oleh Beguk Reksasana. Terperangah
oleh gulungan sinar ungu itu,
Shidarta kurang jeli matanya. Karena
sedetik dia lengah untuk pasang
mata, tahu-tahu sosok tubuh Beguk
Reksasana lenyap tak ketahuan.
TRRRAAANGNG...!
Satu benturan keras terdengar.
Shidarta terkejut karena rasakan
kedua lengannya kesemutan. Dan
dia tahu-tahu sepasang kapaknya
telah terlepas dari
genggamannya. Saat mana berdesis suara dibela-
kang leher yang menimbulkan hawa
dingin.
"Ah.!?" tersentak
kaget Shidarta. Namun dia masih bisa mampu
membuang tubuhnya untuk
menghindari tabasan maut pedang Sinar
Ungu Beguk Reksasana. Akan
tetapi terdengar suara tertawa mengi-
kik dibelakangnya. Tubuh
Shidarta terdorong lagi kedepan. Ternyata
Nagasari telah hantamkan telapak
tangannya kepunggung pemuda
ini. Berteriak parau Shidarta
menahan rasa sakit. Dan jatuh tersung-
kur dua-tiga tombak ke depan.
"Bagus! Nagasari...!"
berkata Beguk Reksasana dengan menye-
ringai tertawa. "Cepatlah
kau bunuh mampus dia...! teriak Nagasari.
"Sekarang?" tanya
Beguk Reksasana setengah bergurau. Sekarang...!"
sahut Nagasari. Saat itu
Shidarta tengah megap-megap berusaha un-
tuk bangkit. Akan tetapi pukulan
pada punggung pemuda itu telah
membuat dia terluka dalam.
Tampak darah menggelogok berkali-kali
dari mulutnya. Untuk bangkitpun
rasanya sudah tak sanggup. Saat
mana Beguk Reksasana dengan
mengumbar tawa iblisnya telah laku-
kan serangan kilat. Pedang Sinar
Ungunya berkelebat membersit un-
tuk membelah batok kepala
Shidarta. Sedangkan selendang sutera
merahnya menyambar membaringi
sambaran pedang...
Akan tetapi pada saat itu
segelombang angin keras menggebu.
Menerobos terjangan maut itu
dengan kecepatan luar biasa. Dan...
Terperangah Beguk Reksasana
karena telah kehilangan sasarannya.
Tubuh Shidarta bagaikan dibawa
oleh hembusan angin yang lewat,
mendadak lenyap tak berbekas.
Terhenyak Beguk Reksasana Semen-
tara Nagasari belalakkan mata
terperangah. "Angin apakah yang le-
wat barusan?" desis
Nagasari.
"Kemana dia...?"tanya
Beguk Reksasana.
"Dia lenyap! Ah, sungguh
aneh!" gumam Nagasari.
"Yaa...!"
keduanya sama-sama tercenung
saling pandang, setelah putar
tubuh dan sebarkan pandangan ke
sekelilingnya. Akan tetapi Shidarta
lenyap bagaikan ditelan bumi.
Selang sesaat Nagasari cepat Menya-
darkan. "Sudahlah! tak usah
dipikirkan! Mari kita kembali. Harta pu-
saka itu lebih penting dari
segalanya. Tentang kejadian ini lain waktu
kita pikirkan...!"
"Aku membaui bau wangi
semerbak... ketika gelombang angin
itu melintas!" berkata
Beguk Reksasana dengan wajah agak pias.
"Sudahlah! Ayo! Cepat kita kembali...!" ujar Nagasari
alihkan
pembicaraan Walau sebenarnya
diam-diam tengkuknya terasa dingin
meremang. Ternyata kemudian
diketahui, Shidarta telah ditolong oleh
seorang wanita yang bergelar si
Ular Betina Selat Madura. Akan teta-
pi tentu saja Nagasari dan Tali
Wangsa alias Beguk Reksasana tak
mengetahui.
Mereka kembali ke Goa untuk
menjalan rencananya semula.
Sementara didalam goa yang
menjadi tempat persembunyian Lodaya
Seta. LODAYA SETA adalah seorang
laki-laki betampang gagah.
Juga berilmu tinggi. Disamping
ahli dengan segala macam jenis ra-
cun, dia juga pandai ilmu
obat-obatan. Sayangnya dia berakhlak bu-
ruk. Dimasa muda Lodaya Seta
pernah diusir oleh mendiang gurunya
karena kelakuannya yang buruk
dimasa mudanya. Hingga ilmu-ilmu
warisan dari gurunya telah
ditarik lagi oleh sang guru. Dan tidak di-
perkenankan mempergunakan lagi
selama hidupnya. Hal kejadian itu
sudah berkisar antara lebih dari
tiga puluh tahun yang silam.
Itulah sebabnya Nini Candra
Gumintang tak pernah mencerita-
kan tentang bekas saudara
seperguruannya yang bernama Lodaya Se-
ta itu. Bahkan tak menyangka
kalau Lodaya Seta masih hidup.
Lodaya Seta ternyata secara
diam-diam sejak lima tahun yang
lalu telah mengetahui dimana
menetapkan kakak perempuan saudara
seperguruannya itu.
Bahkan dengan diam-diam
dikirimnya NAGASARI (anak ga-
disnya) untuk berguru pada Nini
Candra Gumintang. Yang baru saja
mendirikan pesanggrahan
Perguruan Cempaka Biru. Dia tahu betul
kalau Candra Gumintang telah
menerima warisan Harta Pusaka dari
mendiang guru. Disaat dia diusir
keluar oleh gurunya, Lodanya Seta
tak pergi jauh. Dia selalu
mengintai keadaan dibekas tempat pergu-
runya itu. Di saat sang guru
turun gunung, Lodaya Seta menyatroni
lagi pondok perguruannya.
Terkejut Candra Gumintang
melihat kedatangan Lodaya Seta.
Lodaya Seta pura-pura menangis
menyesali perbuatannya Tentu saja
membuat hati Candra Gumintang
jadi trenyuh. Sebenarnya diapun
amat menyayangi Lodaya Seta yang
sudah dianggap adik kandung-
nya sendiri. Tapi Candra
Gumintang tak menyangka kalau secara di-
am-diam Lodaya seta berbuat
keonaran diluar perguruan. Bahkan
guru Lodaya Setapun tak
mengetahui. Suatu hari telah berdatangan
beberapa tokoh persilatan
golongan putih ke pesanggrahan mereka.
Tentu saja membuat sang guru
jadi tercengang karena mereka datang
mencari Lodaya Seta. Kelakuan
Lodaya Seta diluaran ketika diberi
izin turun gunung beberapa
bulan, telah melakukan berbagai perbua-
tan jahat. Seperti merampas hak
orang lain, menipu, menganiaya,
bahkan juga memperkosa
wanita-wanita dengan mempergunakan ak-
al licik. Yaitu mengkambing
hitamkan orang lain dengan perbuatan-
nya yang telah dilakukan.
Namun akhirnya dia harus
mengalami resiko, ketika suatu saat
perbuatannya ketahuan. Lodaya
Seta melarikan diri. Dengan ilmunya
yang tinggi dia memang telah membuat
si pengejar kehilangan jejak.
Tapi sekecil-kecilnya yang
namanya kejahatan, pasti akan terbong-
kar. Karena secara tak sengaja
Candra Gumintang
justru turun gunung. Tujuannya
adalah mencari Lodaya Seta un-
tuk memanggilnya pulang
berkenaan dengan urusan penting atas tita-
han gurunya. Secara kebetulan
pula justru Lodaya Seta muncul, yang
sedianya akan kembali
keperguruan. Demikianlah, akhirnya diketahui
tempat tinggal Lodaya Seta. Dan
mengetahui pula kalau dia salah
seorang murid Pendekar tua yang
bercokol dipuncak Gunung Karang
Setan pada waktu itu. Tentu saja
dengan menyatroninya belasan pen-
dekar itu membuat terkejut RESI
GENTAYU guru kedua murid itu.
Hampir saja terjadi pertumpahan
darah. Dan hari itu juga Resi Gen-
tayu menyatakan tak mengakui
lagi Lodaya Seta sebagai murid. Bah-
kan mencabut semua ilmu-ilmu
yang telah diberikan pada Lodaya
Seta. Lalu mengusirnya keluar
dari puncak Gunung Karang Setan.
Melihat kemunculan Lodaya Seta
ke pesanggrahan di puncak
gunung Karang Setan itu, Candra
Gumintang jadi serba salah. Apabi-
la adik seperguruannya itu
menangis didepannya menyatakan penye-
salannya.
"Aku tak bisa berbuat
apa-apa, Lodaya...! Semua ini kesala-
hanmu. Dan guru telah mengambil
keputusan. Mengapa kau tidak
pergi dari sini?
Segala tindak-tandukmu kini
diluar tanggung jawab guru kita.
Kukira penyesalan mu sudah terlambat...!" berkata Candra
Gumin-
tang dengan suara lirih.
"Kakang mbok...! aku
mengerti kau tak bisa berbuat apa- apa.
Akan tetapi kita telah seperti
saudara kandung. Apakah kau tega
membiarkan aku sengsara? Guru
pernah bercerita bahwa beliau
mempunyai harta pusaka yang
kelak akan dibagikan kita berdua un-
tuk masing-masing kita
mendirikan pesanggrahan meneruskan cita-
cita guru untuk mengembangkan
ilmu silat aliran guru. Akan tetapi
dengan keluarnya aku dari
perguruan, aku tak mendapatkan apa-apa.
Ooo... alangkah menyesalnya
aku..." berkata Lodaya Seta. Dan kem-
bali air matanya mengalir
bercucuran.
"Sesal itu sudah terlambat,
adik Lodaya...! Dan janganlah kau
mengungkit-ungkit tentang harta
pusaka itu... Aku sendiri tak menge-
tahui dan tak mengharapkannya.
Bahkan guru rasanya tak pernah
menyebut-nyebut lagi tentang hal
yang pernah dibicarakan itu. Semua
keputusan ditangan guru. Akan
diberikan atau tidaknya harta pusaka
itu, ataukah masih ada atau
tidak harta pusaka itu bukanlah urusan ki-
ta. Walaupun seandainya kau
masih tetap menjadi murid beliau. Ka-
rena itu urusan beliau. Kita tak
berhak apa-apa. Apalagi menuntut-
nya...!" ujar Candra
Gumintang. Candra Gumintang seperti telah
menduga maksud tujuan Lodaya
Seta. Yang sebenarnya mengingin-
kan belas kasihannya untuk
membagi sedikit warisan untuk bekalnya.
Benar saja...!
"Jadi kau belum menerima
apa-apa dari guru..?" tanya Lodaya
Seta. Candra Gumintang
menggeleng.
"Baiklah...!"ujar
Lodaya Seta. "Aku akan segera meninggalkan
wilayah ini. Tapi kelak suatu
saat aku pasti akan mencarimu, kakang
mbok!" Setelah berkata
demikian, Lodaya Seta segera putar tubuh.
Lalu bergegas meninggalkan
tempat itu dengan cepat. Namun sejak
itu Lodaya Seta tak pernah
muncul. Bahkan sampai wafatnya Resi
Gentayu, dan sampai Candra
Gumintang mendirikan pesanggrahan
perguruan Cempaka Biru. Padahal
murid pertamanya adalah anak
kandung Lodaya Seta. Candra
Gumintang memang selama hidupnya
tak menikah. Tadinya dia cuma
mau menerima murid-murid wanita
saja. Tapi akhirnya menerima
juga murid laki-laki. Yaitu Tapak Do-
ro, Binangun dan Shidarta.
***
DELAPAN
Selanjutnya Nini Candra Gumintang berikan penuturannya,
bahwa ketika itu dia terkejut
melihat kemunculan Lodaya Seta diha-
dapannya.
"Lodaya... jadi kau...
kaukah tabib yang akan mengobati penya-
kitku?" bertanya Nini
Candra Gumintang dengan suara lemah. Dalam
pandangan samar-samar itu ternyata
wanita tua itu masih bisa men-
genali orang dihadapannya.
"Hehehe... benar! Aku
Lodaya Seta. Bukankah aku pernah bi-
lang bahwa aku kelak pasti akan
datang untuk menemuimu lagi? Kini
sudah saatnya aku menagih
padamu. Aku tahu kau pasti telah mene-
rima warisan Harta Pusaka itu
seluruhnya dari guru. Dan aku yakin
kau akan berbaik hati untuk
memberikannya padaku sebagian...!" ujar
Lodaya Seta dengan menyeringai.
Lodaya Seta telah berubah jadi
seorang kakek bertubuh tegap
dengan kumis dan jenggot yang putih
lebat. Dikala muda memang Lodaya
Seta sudah berewok. Keadaan-
nya memang tak berubah banyak.
Cuma berbeda dari kumis dan
jenggot yang sudah memutih,
serta kerut merut diwajah. Kulit tubuh-
nya walaupun sudah mengendur,
tapi tampak masih tampak kekar.
"Lodaya...! apakah selama
ini kau telah merobah jalan hidupmu
menjadi manusia baik-baik?"
tanya Nini Candra Gumintang.
"Hehehe... tentu saja...!
bukankah aku menjadi seorang tabib?
aku curahkan seluruh hidupku
untuk kemanusiaan. Ku tolong orang
lemah tak berdaya tanpa pamrih
Aku tak mengharapkan imbalan apa-
apa. Aku memang sengaja tak
munculkan diri sebelum aku membu-
tuhkan. Kini aku sangat
membutuhkannya Candra Gumintang...! Se-
mua ini untuk
kemanusiaan...!" sahut Lodaya Seta. Nini Candra Gu-
mintang mengangguk-angguk. Dia
tersenyum. Dan, dari sepasang
mata yang sudah memudar sinarnya
itu menetes air bening.
"Ah... aku bahagia sekali
mendengarnya Lodaya... Sudah kudu-
ga, manusia pasti bisa merobah
wataknya kalau dia mau. Haiiih! ka-
lau guru masih hidup tentu
beliau akan senang mendengarnya..." ujar
Nini Candra Gumintang dengan
terharu.
"Kau sudah menikah.
Lodaya...? Mana istrimu? anakmu...?
atau, cucumu...?" tanya
Ketua Perguruan Cempaka Biru itu.
"Kau sendiri
bagaimana?" balas bertanya. apakah kau sudah
bersuami?" Wanita tua itu
menggeleng. "Aku masih tetap sendiri se-
jak dulu. Mungkin aku takkan
menikah sampai saat habisnya usia-
ku...!" Tabib tua itu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Haiih! kakang mbok!
mengapa kau menyia-nyiakan masa mu-
damu?
Kau dulu cantik, ayu... bahkan
hatiku pernah "Kepincut" pada-
mu. Sayang usiamu lebih tua dan
kau telah menganggap aku adikmu
sendiri..." berkata Lodaya
Seta, seraya menghela napas. Pernyataan
Lodaya Seta itu membuat Nini
Candra Gumintang terperangah. Akan
tetapi tak ditampakkan
diwajahnya. Andaikata sejak dulu sebelum
Lodaya diusir dari perguruan
mengucapkan isi hatinya pada dia, nis-
caya dia bahagia mendengarnya.
Dan takkan ditolak cintanya karena
memang diam-diam dihati Candra
Gumintang pada saat itu memang
telah menanam benih
"cinta" pada Lodaya Seta. Akan tetapi dia tak
berani mengutarakannya,
disamping telah menganggap Lodaya Seta
adiknya sendiri.
Akan tetapi begitu mengetahui pebuatan
dan tingkah laku Lo-
daya Seta, dapat dibayangkan
betapa hancurnya perasaannya. Hingga
kemudian gurunya mengusir pergi
Lodaya Seta dari rumah pergu-
ruan. Sejak saat itu hati Candra
Gumintang tertutup. Cintanya seolah
karam didasar laut. Demikianlah,
hingga sampai saat ini dia tetap tak
pernah bersua ini.
Saat itu mendengar pengakuan
Lodaya Seta, telah membuat dia
terlongong dan tak terasa air
matanya semakin membanjir membasahi
pipinya yang telah keriput.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Lo-
daya..." ujar Nini Candra
Gumintang dengan suara serak, Lalu cepat-
cepat menghapus air matanya.
"Oh... ya...! baiklah akan
kukatakan. Aku memang telah meni-
kah. Tapi istriku mati muda
disaat melahirkan. Aku cuma dikaruniai
seorang anak perempuan. Dialah
yang bernama Nagasari. Dan bu-
kankah selama lima tahun ini
telah menjadi muridmu?"
Membelalak mata Candra
Gumintang. "Hah!? jadi... jadi
NAGASARI itu anakmu...?"
"Benar!" sahut Lodaya
Seta pendek. Lama... dan lama wanita
tua itu tercenung hingga
akhirnya dia berkata.
"Sungguh kau ini manusia
aneh, Lodaya...!" mengapa kau baru
mengatakannya sekarang?"
"Justru itulah, kakang
mbok, aku ingin kau mengerti tentang
aku. Dan kuinginkan Harta Pusaka
warisan guru itu kau berikan pa-
daku. Aku akan memberikannya
pada anakku Nagasari. Anak pe-
rempuanku satu-satunya yang amat
ku sayangi...!" Sampai disini tiba-
tiba meledaklah tawa gembira
Nini Candra Gumintang. Hingga sam-
pai air matanya bercucuran.
"Hihihihi... kau memang
pintar, Lodaya...! tapi aku gembira.
Baiklah! akan kuberikan
sisa harta pusaka warisan guru itu pada-
mu..." Melonjak girang
NAGASARI yang diam-diam sembunyi
mendengarkan pembicaraan ayah
dan gurunya berdua dengan Tali
Wangsa.
"Terima kasih atas kebaikan
hatimu kakang mbok...!" menyahut
Lodaya Seta dengan wajah girang.
"Nah, minumlah ini untuk keseha-
tanmu.
Kau harus dirawat disini
sekurang-kurangnya satu bulan...!"
Lodaya Seta berikan obat ramuan
yang telah diramunya tadi dalam
mangkuk.
"Terima kasih, adik
Lodaya... ujar Candra Gumintang. Lodaya
Seta membantunya untuk duduk.
Lalu dekatkan mangkuk berisi obat
itu yang masih mengepul hangat.
Dan Wanita tua itu segera memi-
numnya. Setelah merebahkan lagi
tubuh wanita tua itu, Lodaya Seta
bertanya.
"Dimana kau simpan harta
pusaka itu, kakang mbok...?"
"Oh ya ...!"* ujar
Candra Gumintang yang terbatuk-batuk se-
saat. Lalu singkapkan ikat
pinggangnya. Setelah loloskan stagen itu,
lalu diberikan pada Lodaya Seta.
"Didalam stagen ini
terdapat sebuah kantong yang dijahit. Bu-
kalah jahitan itu. Didalamnya
ada sebuah kertas kulit yang berisi peta
dimana harta pusaka itu
disimpan!" Ujar wanita tua itu. Lodaya Seta
manggut-manggut gembira.
"Ah, sungguh kakang mbok seorang
yang berbudi luhur. Juga berhati
bersih! membuat aku jadi malu ha-
ti...!"
"Aku telah menganggap kau
adik kandungku sendiri. Dan bu-
kankah kau akan mempergunakan
untuk kepentingan umat manusia?
Kalau aku tak
memberikannya,oo... alangkah naifnya aku...!"
"Benar! benar, kakang mbok.
Sungguh aku menghargai keluhu-
ran budimu...." Lodaya Seta
cepat membuka jahitan pada kain stagen
itu. Dan mendapatkan secarik
kertas kulit berisi sebuah peta.
Sampai disini Candra Gumintang
menghela napas.
"Apakah guru tidak
mencurigai sama sekali pada Naga Sari?
Juga pada paman Lodaya
Seta?" bertanya Windarti. Nini Candra
Gumintang menggeleng.
"Sejak jauh-jauh hari aku memang telah
membagi dua harta pusaka warisan
dari mendiang kakek gurumu itu.
Sebagian telah kupakai untuk
membangun pesanggrahan Cempaka
Biru. Sedangkan sebagian lagi
memang telah kuperuntukkan buat
Lodaya Seta...!" sahut
Wanita tua itu.
"Lalu bagaimanakah
kelanjutannya, guru...?" tanya Windarti.
"Baiklah, aku akan teruskan
ceritanya..." Demikianlah! Nini
Candra Gumintang segera tuturkan
kelanjutan kisahnya. Ternyata
kemudian setelah
Lodaya Seta dapatkan peta rahasia tempat Harta
Pusaka itu, dia lalu
meninggalkan kamar. Sementara Candra Gumin-
tang semakin redup matanya. Obat
ramuan yang diminumnya ternya-
ta tak lain dari obat bius. Dan
sesaat antaranya wanita tua itu telah ti-
dur pulas. Tentu saja membuat
Lodaya Seta dan Nagasari serta Beguk
Reksasana tersenyum. Mereka
berembuk untuk memulai rencana se-
lanjutnya. Dan bisikan-bisikan
itu ternyata tak luput dari pendengaran
Nini Candra Gumintang, yang
sebenarnya cuma pura-pura pulas.
Padahal wanita tua itu telah
kerahkan ilmu kekuatan tenaga dalamnya
untuk melawan pengaruh obat
bius. Kecurigaannya mulai timbul, ka-
rena mendengar kasak-kusuk
Nagasari dan Beguk Reksasana yang
bersembunyi mendengarkan
pembicaraan mereka. Mengapa Nagasari
tak mau munculkan diri
terang-terangan. Dan ada apakah dibalik ke-
janggalan ini...? Ya, Nagasari
memang sering terlihat janggal dalam
perbuatan dan tindak-tanduknya.
Semua sikap itu melalui menjadi
perhatiannya.
"Bagus...! dia sudah
terpulas, ayah...! Bagaimana rencanamu?"
tanya Nagasari pada Lodaya Seta,
Seusai menceritakan kejadian aneh
tentang Shidarta.
"Hm, menurutmu baiknya
bagaimana...! balas bertanya Lodaya
Seta.
"Dia telah berikan peta
harta pusaka itu padaku tanpa bersusah
payah! Apakah kebaikannya akan
kita balas dengan kejahatan...?"
"Ayah benar! Akan tetapi
racun yang setiap hari diminumnya
setiap kali aku membawakan
minuman untuknya, telah membuat pe-
nyakit dalam ditubuh Nini Candra
Gumintang sukar untuk di sem-
buhkan. Bukankah demikian kata
ayah? Juga seandainya ayah mam-
pu mengobatinya lagi, sudah
terlanjur kasip (terlambat). Kelak suatu
saat pasti perbuatan kita bisa
ketahuan. Bahkan akan lebih berabe lagi
seandainya semua saudara-saudara
seperguruan mengetahui. Teruta-
ma Shidarta...! Walau dia masih
hidup, tentu akan membocorkan ra-
hasia ini!" ujar Nagasari.
"Jadi sebaik-baiknya
langkah yang harus kita tempuh adalah
melenyapkannya...!" lanjut
ucapan Nagasari.
"Yah! tak ada jalan lain
...!" akhirnya Lodaya Seta manggut-
manggut menyetujui usul Nagasari
padahal hati laki-laki tua itu amat
menyesali tindakannya. Karena
tak menduga akan semudah itu Can-
dra Gumintang memberikan peta
Harta Pusaka padanya. Nasi telah
menjadi bubur. Apa mau dikata.
Kini tak ada jalan lain selain mele-
nyapkan nyawa wanita tua yang
berbudi luhur itu.
Akhirnya diambil keputusan, Tapak
Doro dan Binangun yang
diperintahkan untuk membunuh
Nini Candra Gumintang.
Kedua orang itu segera datang
menghadap ketika mendapat
panggilan dari Nagasari yang
menemuinya.
"Bawalah wanita tua yang
pernah menjadi guru kita ini ketem-
pat yang jauh. Lalu bunuhlah.
Mayatnya lemparkan saja ke jurang.
"Baik kakang mbok perintah
akan hamba laksanakan, asalkan
kakang mbok tak lupa untuk
membagi harta pusaka itu...!" menyahut
Tapak Doro.
"Hm, jangan khawatir! aku
tak pernah mendustai apa yang telah
kujanjikan itu. Buat apa aku
mempercayai kalian berdua kalau aku
akan berlaku tamak? Aku
membutuhkan tenagamu bukan saat ini sa-
ja. Tapi untuk seterusnya kalian
akan menjadi orang-orang yang pal-
ing aku percaya...!"
Sahut Nagasari dengan tersenyum.
"Nah! Kerjakanlah!"
"Baik kakang mbok...!"
hampir berbareng mereka menyahut.
Selanjutnya Tapak Doro dan
Binangun segera membawa tubuh Nini
Candra Gumintang keluar goa.
Bergantian mereka memanggul wani-
ta tua yang dalam keadaan
terbius itu. Hingga mereka tiba ditepi ju-
rang yang dalam. Disana mereka
berhenti.
"Kukira kita tak perlu
turun tangan membunuhnya terlebih dulu,
Binangun!" ujar Tapak Doro.
"Toh bila kita lemparkan saja kejurang,
tentu dia akan mati!"
"Hm, benar juga pendapatmu,
kakang Tapak Doro! Ayolah! le-
bih cepat lebih baik. Sebenarnya
aku tak tega melakukannya. Akan
tetapi bila tak dijalankan
perintah ini, resikonya amat besar bagi ki-
ta!" sahut Binangun.
Disaksikan elang dan burung-burung gagak
yang bertengger dibatu-batu
cadas tebing itu, Tapak Doro dan Binan-
gun siap melemparkan tubuh Nini
Candra Gumintang sang guru me-
reka dari atas tebing kemulut
jurang, yang sukar diukur dalamnya...
Akan tetapi pada saat itu juga
muncul sesosok tubuh berjubah
serba hitam berwajah mengerikan,
mirip mayat hidup. Berambut pu-
tih beriapan.
"Tahan!" sosok tubuh
itu keluarkan suara bentakan.
"Heh! Siapa Kau...!?"
tersentak kaget Tapak Doro. Tentu saja
dia lantas urungkan niatnya.
Kedua saudara seperguruan ini
saling pandang.
"Bagaimana adik Binangun?
apakah sebaiknya kita bikin mam-
pus dulu penghalang ini?"
bisik Tapak Doro. Binangun mengangguk.
Dan... Sreet! Criing...!
Keduanya telah cabut
masing-masing senjatanya dari pinggang.
"Manusia ataukah hantukah
kau? mengapa menghalangi niat
kami?" bentak Tapak Doro.
"Hmm...!" orang itu perdengarkan suara
dihidung. Dan, tanpa berkata
apa-apa lagi langsung menerjang kearah
kedua murid perguruan Cempaka
Biru itu. Sepasang lengan si Manu-
sia muka mayat itu merentang.
Jari-jari tangannya mengembang, siap
mencengkeram batok kepala
keduanya.
"Awas, adik
Binangun...!" Tapak Doro memperingati. Sementa-
ra dia sendiri segera melompat
menghindar. Bahkan senjata golok be-
sarnya membabat kearah
pergelangan tangan lawan. Binangun mi-
ringkan tubuhnya dengan sigap,
Rantai besi berbandulan tiga mata
tombak, segera digunakan untuk
menyerang lawan. Suara rantainya
bergemerincing. Dan tiga mata
tombak meluncur kearah tubuh si ma-
nusia muka mayat.
Kembali orang misterius itu
perdengarkan dengusnya. Tiba-tiba
tubuhnya meletik ke udara dengan
lakukan salto indah. Dari gerakan
menukik dia telah lancarkan
serangan berikutnya. Sepasang lengan-
nya dengan jari-jari mengembang
itu bagaikan cakar elang yang
kembali menyambar untuk
mencengkeram batok kepala Tapak Doro
dan Binangun.
"Edan...!" maki
Binangun. Serangan senjata rantai berbandulan
tiga mata tombak itu lolos.
Bahkan dia kini harus hindarkan serangan
mendadak yang di luar dugaan.
***
SEMBILAN
Tapi sebagai murid yang sudah
terlatih, tentu saja Binangun
masih bisa hindari serangan
ganas itu. Bahkan lemparkan tubuhnya
kebelakang, dia telah sebarkan
jarum-jarum senjata rahasia kearah si
manusia muka mayat. Sementara
Tapak Doro dengan gerakan sebat
dapat menghindari diri
cengkeraman cakar maut itu. Walau tak urung
baju dibagian pundak kena
tercengkeram sobek.
Terpaksa si manusia muka mayat
gagalkan serangan susulannya
karena harus menyampok mental
senjata rahasia itu dengan jubahnya.
Dan dengan lakukan salto dia
injakkan kakinya ketanah. Tampak gu-
sar Tampak Doro. Manusia
penghalang itu harus cepat dirobohkan.
Kalau sampai terlambat
dikhawatirkan pekerjaan mereka akan gagal
untuk membunuh guru mereka.
Lompatan dengan jurus Macan putih
Menerkam kijang segera
dilakukan. Bahkan golok besarnya sudah
melayang ganas untuk menabas
pinggang lawan. Gerakan cepat ini
seperti membuat si manusia muka
mayat agak terkejut. Kembali dia
menghindar dengan Lompatan
salto. Tapi kali ini Tampak Doro terus
mengejar dan mencecar dengan
tabasan-tabasan golok besarnya.
Binangun segera datang membantu
dengan sambaran tiga mata
tombak dari bandulan rantainya.
Terlihat si manusia muka mayat se-
pertinya terdesak. Dia terus
mundur dengan lompatan-lompatan sal-
tonya. Hingga makin jauh dari
sisi tebing dibibir jurang itu. Suatu ke-
tika si manusia muka mayat
menghindar dari serangan tiga mata
tombak Binangun. Dia berhasil
menyelinap kebalik batu tebing.
"Keparat! kau harus mampus!
karena telah memperlambat uru-
san kami!" bentak Tapak
Doro dengan gusar. Semakin menggebu
niatnya untuk segera
membinasakan lawan yang dilihatnya telah ter-
desak. Namun kedua saudara
seperguruan ini ternyata telah kehilan-
gan jejak. Si manusia muka mayat
lenyap entah menyelinap kemana.
Berlompatan Tapak Doro dan
Binangun mencari. Akhirnya mereka
memutuskan untuk cepat kembali.
Pekerjaan mereka harus segera
diselesaikan.
Demikianlah. Dengan gerakan
cepat mereka segera kembali ke-
tepi tebing. Dibibir jurang itu
masih tampak tergolek tubuh Nini can-
dra Gumintang.
Sesaat kemudian...
"Satu.... dua.... ti...ga
!"
Dan dilemparkannya tubuh wanita
pendekar tua yang malang
itu ke mulut jurang. Tubuhnya
melayang ke bawah untuk kemudian
lenyap tak kelihatan lagi.
Karena dalamnya dasar jurang sukar diukur
dan tertutup kabut.
Tapi tak seorangpun dari dua
saudara seperguruan itu yang
mengetahui kalau yang di
lemparkan mereka tak lain dari sebatang
kayu. Ya, sebatang kayu..!
Karena sebenarnya tubuh Nini Candra
Gumintang telah dibawa
berkelebat dalam pondongan sesosok tubuh
berjubah hitam, yaitu siapa lagi
kalau bukan tubuh si manusia Muka
Mayat yang tadi lenyap dari
kejaran Tampak Doro dan Binangun.
Akhirnya kedua laki-laki yang
telah menunaikan tugasnya itu,
tampak segera bergegas kembali
pulang untuk melaporkan hasil pe-
kerjaannya...
Sampai di sini Nini Candra
Gumintang mengakhiri kisahnya,
yang ditutup dengan kata-kata...
"Nah! Itulah sebabnya aku masih hi-
dup sampai saat ini. Karena di
tolong seseorang...!"
Windarti termangu-mangu
mendengarkan kisah yang dituturkan
itu.
"Siapakah orang yang telah
menolongmu itu, guru...?"
"Entahlah...! Orang itu tak
mau memperkenalkan diri. Wajah-
nya mirip mayat hidup. Kami cuma
mengenal dia dengan julukan si
Manusia Muka Mayat!"
"Ooooh...!?" Ternganga
Windarti.
"Akan tetapi si penolong
misterius itu kenal baik dengan adik
seperguruanku, si Lodaya
Seta.!" ujar nini Candra Gumintang lebih
lanjut.
Dan agar kau ketahui lebih
jelas... si Ular Betina Selat Madura
itu sebenarnya adalah murid
paman Lodaya Seta. Yang telah menye-
lamatkan
nyawaku... !" berkata
Shidarta dengan menatap lekat-lekat pada
Windarti.
Lagi-lagi gadis ini tersentak
kaget. "Aiiih! jadi demikiankah
adanya...?" ucapnya dengan
terbelalak matanya.
"Kini dimanakah paman
Lodaya Seta?" tanya Windarti seraya
palingkan wajahnya menatap pada
sang guru dan Shidarta.
"Beliau ada ditempat
ini...!" ujar Shidarta.
"Guru...! bolehkan aku
mengajaknya untuk menemui paman
guru...?"
"Silahkan Shidarta...!
Jangan lupa perkenalkan pula pada si Ular
Betina Selat Madura...!"
"Baik, guru...!"
menyahut Shidarta. Lalu setelah menjura segera
bangkit berdiri. Windarti
mengikuti. Shidarta ulurkan lengannya un-
tuk meraih tangan dara itu.
"Mari kita ketempat mereka...!"
Windarti mengangguk. Menoleh
sejenak memandang pada Nini
Candra Gumintang.
"Guru...! aku pergi
dulu..."
Wanita tua itu mengangguk sambil
tersenyum.
"Pergilah Windarti!"
ucapnya.
Tak lama dengan bergandengan
tangan kedua remaja itu segera
keluar dari ruangan pondok
sederhana berlantai dan berdinding papan
kayu jati itu.
Ternyata Shidarta membawanya ke
seberang sungai berair
dangkal.
Diseberang sungai pada tempat
ketinggian, tampak berdiri se-
buah rumah panggung yang cukup
besar.
"Itulah tempat tinggal
paman Lodaya Seta. Akan tetapi kini dia
sudah tak memakai nama Lodaya
Seta lagi..."
Windarti manggut-manggut.
"Siapakah nama atau gelarnya ki-
ni?"
"Beliau memakai nama Ki
DONDOMAN dengan gelar Malai-
kat Tangan Sebelas...!"
sahut Shidarta.
"Ah!?" nama yang aneh
dan gelar yang hebat!" puji Windarti.
Ditepi sungai berair dangkal dan
jernih itu mereka berhenti se-
jenak. Shidarta menatap Windarti
dalam-dalam seperti mau menelu-
suri relung hati dara itu.
Sementara lengannya masih mencekal jemari
tangan Windarti. Darah pemuda
ini berdesir, dengan detak jantung
yang berdegupan. Terasa dihati
laki-laki ini ada rasa bahagia. Semen-
tara yang ditatap jadi serba
salah. Dia tak mengerti ada apa dengan
sikap pemuda itu yang menatapnya
lekat-lekat...?
"Windarti...!"
terdengar suara Shidarta. "Bolehkan aku mengu-
tarakan isi hatiku...?"
"Hm, mengapa tidak? kita
kan saudara seperguruan. Kalau kau
punya uneg-uneg dihatimu,
katakan saja...!" sahut Windarti dengan
termenung heran.
"Aneh!" pikir
Shidarta. "Windarti seperti biasa-biasa saja ber-
hadapan denganku. Apakah tak ada
"rasa" dihatinya secuilpun terha-
dapku?"
"Terima kasih,
Windarti..." Hanya itu yang terlontar dari mulut-
nya. Selebihnya diam dengan
menundukkan wajah. Tak tahu lagi apa
yang akan dikatakannya.
"Katanya kau mau
mengutarakan uneg-uneg dihatimu. Menga-
pa tak kau paparkan
padaku?" Pertanyaan Windarti membuat Shidar-
ta tersentak.
"Oh, ya! ya...! aku... aku
sedang berpikir, apakah yang akan ku-
katakan?" ujar Shidarta
tergagap.
"Lho? kok malah berpikir
dulu? langsung saja bicara! Kau tam-
paknya seperti takut
mengatakannya, Shidarta. Tak baik begitu. Aku
lebih suka orang yang
terang-terangan. Nah, katakanlah uneg-uneg
dihatimu...!"
Akhirnya Shidarta bicara juga
setelah menelan ludah berkali-
kali.
"Windarti...! apakah selama
ini tak ada kau simpan nama seo-
rang laki-laki dihatimu?"
"Nama seorang
laki-laki?" Hm, maksudmu...?" tanya Windarti
tak mengerti.
"Ya! nama seorang laki-laki
yang... yang kau cintai...?" ulang
pemuda itu dengan memandang
nanar. Sementara hatinya berdegu-
pan tak keruan.
"Tak ada kusimpan nama
seorang laki-laki pun dihatiku, Shidar-
ta! Walau... ya, walau di
pesanggrahan Melati terlalu banyak laki- la-
ki!" sahut Windarti yang
mulai menebak maksud pertanyaan Shidarta
Tampak Shidarta menghela napas,
seperti merasa lega. "Kalau
tak ada nama laki-laki yang
terukir dihatinya, berarti Windarti belum
terjamah tangan
laki-laki..." pikir Shidarta.
"Windarti...! tahukah kau
bahwa aku... aku telah sejak lama me-
naruh hati padamu. Waktu kita
masih sama-sama di pesanggrahan
Perguruan Cempaka Biru hingga
saat ini pun perasaan sayang pada-
mu itu masih ada.
Kalau kau kurang mengerti,
baiklah kujelaskan. Ya, aku sebe-
narnya amat mencintaimu,
Windarti...!" Serasa terbebas uneg-uneg
dihati Shidarta setelah
mengucapkan kata-kata barusan.
Tercenung sesaat Windarti. Walau
dihatinya mengadakan per-
tentangan dengan pernyataan itu,
namun naluri kewanitaannya ter-
nyata masih berfungsi.
Dia menyadari bahwa satu jalan
lurus terbentang dihadapannya.
Seperti mendapat tempat direlung
hati. Selama ini dia memang me-
nyadari bahwa apa yang terjadi
antara dia dengan Kuntali adalah ke-
tidak wajaran. Kini dia harus
dapat membedakan antara kelurusan
dan kesalahan fatal dalam
mengikuti aluran naluri kewanitaannya.
Dan, dia merasa genggaman lengan
Shidarta begitu mesra meremas
jemari tangannya.
Sesaat hatinya berdegupan. Entah
perasaan apa yang berkeca-
muk di dadanya. bahagiakah? atau
dia harus bersedih. Karena segera
teringat Windarti pada Kuntali,
yang telah tiada. Tiba-tiba dadanya
bergemuruh ketika mengingat akan
kematian Kuntali yang tragis di-
tangan Nagasari.
"Terima kasih atas ucapanmu
itu Shidarta. Aku amat menghar-
gai. Dan... aku tak menolak
cintamu....!" ujar Windarti dengan mata
berkaca-kaca.
"Kau... kau terima cintaku,
Windarti?" tanya Shidarta penasa-
ran. Dia seperti mau mendengar
pengakuan Windarti lebih jelas.
Dara cantik itu mengangguk.
Tanpa ucapan kata-kata. Cuma
sepasang mata sayu itu yang
menatapnya dengan pandangan nanar.
"Ah, terima kasih,
Windarti. Terima kasih...! Ooo... bahagianya
hatiku...!" teriak Shidarta
dengan suara berbisik menggeletar. Dikepa-
lanya erat-erat lengan Windarti
dan didekapnya ke dada.
"Ehmm...!" satu
deheman membuat Shidarta terkejut. Ketika
memandang kedepan, diseberang
sungai tampak berdiri sesosok tu-
buh wanita berparas cantik.
Memakai pakaian dari sutera tipis warna
hitam, "Dialah si Ular
Betina Selat Madura, murid paman Lodaya Se-
ta" Ujar Shidarta. Windarti
manggut-manggut...
***
SEPULUH
Andaikan wanita bernama Andini,
orang baru dari pesanggra-
han Melati yang membunuh
bangsawan tua itu?" tanya Windarti sete-
lah menjabat tangan si Ular
Betina Selat Madura.
"Tidak salah...! aku juga
yang bergelar si Ular Betina Selat Ma-
dura. Julukan itu sebenarnya
bukan aku yang menggelari. Tapi orang-
orang sekitar selat Madura yang
menggunakan nama itu untuk meng-
gelariku!" sahut Wanita
bersuara merdu itu.
"PERAMPOK TENGIK...!
kiranya kau bersembunyi disini?"
tiba-tiba terdengar bentakan
menggeledek. Dan tiga sosok tubuh ber-
loncatan mengurung.
Mereka rata-rata berjubah hitam.
Tak pelak lagi mereka itu tak
lain dari si Tiga Dedemit Gunung
Siung. Yaitu tiga orang guru Beguk
Reksasana dari kaum Rimba Hijau
golongan Hitam.
"Hihihi... bagus! bagus...!
tanganku memang sudah gatal untuk
mengemplang kepala kalian.
Sukurlah kalau kalian tahu diri menyu-
sul kemari!" berkata si
Ular Betina Selat Madura dengan mengikik
tertawa. Sikapnya amat tenang
seperti tak mengenal bahaya maut di
depan mata. Bahkan dengan lagak
yang jumawa dia umbar kata-
katanya seolah telah mengetahui
kedatangan ketiga Dedemit Gunung
Siung itu.
Tentu saja membuat Windarti
melegak heran. Ingin sekali dia
menyaksikan kehebatan wanita
muda yang menghebohkan selat Ma-
dura itu. Dari sikapnya dapat
diketahui kalau si Ular Betina bernama
Andini itu seperti tak memandang
sebelah mata.
Saat mana terdengar suara
tertawa terkekeh. Dan muncul pula
sesosok tubuh. Dialah si manusia
muka mayat. "Heheheheh... Tiga
Dedemit Gunung Siung! akulah
lawanmu....!"
Serentak tiga laki-laki tua
berjubah hitam itu balikkan tubuh.
Langsung salah seorang
membentak. "Huh! Siapakah kau...?"
"Heheheh... aku si Manusia
Muka Mayat!"
"Apakah urusanmu dengan
persoalan kami? Bocah perempuan
edan itu telah merampok harta
benda muridku di Pesanggrahan Mela-
ti! Apakah kau mau membela
maling?" bentak Dedemit Gunung
Siung.
"Huuu!? begitukah? Kudengar
muridmu itu adalah pendiri pe-
sanggrahan edan yang menjadi
komplotan jual-beli perempuan? Ka-
lau dirampok orang kukira itu
wajar! Bukankah harta muridmu itu
harta tak halal?" tukas si
manusia Muka Mayat.
"Dan perlu kalian ketahui,
murid perempuan mu si pendiri pe-
sanggrahan Melati itu adalah
anak kandunganku sendiri. Akan tetapi
karena perbuatannya membuat malu
aku. Juga menyalahi tata tertib
serta membuat kekisruhan di
wilayah Kerajaan dengan mendirikan
komplotan edan itu, maka aku tak
mengakui dia anakku lagi!"
Terhenyak seketika si Tiga
Dedemit Gunung Siung. Ketiganya
saling pandang dengan kawannya
sendiri.
"Heh! siapakah kau ini
sebenarnya?" bertanya salah seorang da-
ri mereka. Si manusia Muka Mayat
tak menjawab. Akan tetapi ge-
rakkan tangannya
"membuka" kulit wajahnya. Ternyata dia menge-
nakan semacam topeng kulit
manusia. "Nah! apakah kalian masih
mengenali wajahku...?"
bertanya si manusia Muka Mayat, yang kini
wajahnya sudah tak seperti mayat
hidup lagi.
"LODAYA SETA...!?"
tersentak kaget ketiga manusia ini.
Memandang laki-laki tua itu yang
tak lain memang Lodaya Seta
adanya.
Sementara ditempat persembunyian
dua pasang mata menatap
dengan membelalak pada laki-laki
yang barusan berganti wajah itu.
Sekonyong-konyong angin keras
menyambar semak belukar
dimana dua manusia itu
bersembunyi, ketika Lodaya Seta alias Ki
Dondoman atau si Malaikat Tangan
Sebelas itu kibaskan lengannya.
"Heheheh... keluarlah
kalian dari tempat sembunyimu, Nagasa-
ri! apakah kau tak mau tanggung
jawab dengan perbuatan terkutuk-
mu?" berkata Ki Dondoman
dengan suara dingin mencekam.
Tentu saja membuat dua manusia
itu melompat ke luar dengan
serempak. Ternyata benarlah
Nagasari adanya, yang sembunyi ber-
sama Beguk Reksasana alias Tali
Wangsa. Ternyata disaat Beguk
Reksasana pergi mencari jejak si
Ular Betina Selat Madura yang telah
kabur dengan hasil rampokannya
itu, Nagasari berkelebat menyusul.
Dalam pelacakan mencari jejak si
Ular Betina Selat Madura, mereka
telah sampai ketempat itu.
"A... a... ayah...!?
benarkah kau tak mengakui aku anak kan-
dungmu lagi?" teriak
Nagasari dengan suara menggetar hebat.
Laki-laki tua ini menatap tak
berkedip dengan sinar mata tajam
seperti anak panah yang mau
menembus jantung perempuan muda
itu.
"Aku telah bilang hitam, ya
hitam. Dan bila aku bilang putih, ya
putih! apakah aku perlu
mengulangi kata-kataku?" membentak Ki
Dondoman.
Nagasari mundur dua langkah.
Wajahnya tak sedap dipandang.
Dadanya tampak turun naik karena
menahan gemuruh didadanya.
Dari menatap wajah ayahnya,
sepasang mata Nagasari beralih
pada dara cantik bergelar di
Ular Betina Selat Madura itu.
"Heh! kalau begitu
keputusan ayah, aku tak dapat menolak.
Ayah ternyata telah punya
seorang murid perempuan yang menggan-
tikan aku. Hingga ayah tega tak
mengakui aku lagi sebagai anakmu!
Pantas kalau aku disisihkan.
Karena murid perempuan ayah itu pan-
dai memfiitnah. Mungkin juga dia
telah mengguna-gunai ayah, agar
ayah membenciku...!"
berkata Nagasari bercampur isak.
Sementara itu Windarti sejak
tadi menatap pada Nagasari den-
gan tak berkedip. Dengan
pancaran mata berapi-api. Sekilas ter-
bayang lagi saat kematian
KUNTALI, yang sebelum dihabisi nya-
wanya oleh Nagasari telah
diperkosa dulu secara bergantian oleh Ta-
pak Doro dan Binangun.
Dendam kesumat di dalam dada
dara ini tampaknya sudah tak
tertahankan lagi. Tiba-tiba dia
membentak keras seraya melompat
kehadapan Nagasari.
"Perempuan bejat! hari ini
aku akan adu jiwa denganmu...!"
Dan tanpa ayal lagi langsung
menerjang ganas. Yang diiringi peki-
kan-pekikan histeris.
Whuuk! Zeb! Zeb...! Whuk!
Whuk!... BRRET!
Tersentak Nagasari yang sedang
dalam keadaan berduka den-
gan keputusan sang ayah. Hatinya
terasa nyeri karena tak diakui lagi
sebagai anak kandung laki-laki
bernama Lodaya Seta itu.
Ketika serangan mendadak Windari
dia agak terperanjat. Na-
mun Nagasari bukanlah wanita
yang mudah dijatuhkan. Karena di
samping dia digembleng lebih
dari lima tahun oleh nini Candra Gu-
mintang, tapi juga telah
mendalami ilmu-ilmu dari si Tiga Dedemit
Gunung Siung.
Namun serangan Windarti yang
kalap itu justru membuat Naga-
sari sukar untuk menduga
jurus-jurusnya. Hingga dia berlaku kurang
gesit.
Sambaran deras dari terjangan
Windarti membuat baju lengan-
nya tersobek. Bahkan kuku dara
itu menggores kulitnya hingga ber-
darah.
"Keparat!" memaki
Nagasari. Kau mau mampus...!" bentaknya
menggledek. Dan... Menerjanglah
Nagasari dengan pukulan-pukulan
dahsyatnya untuk merobohkan dara
yang masih adik seperguruannya
itu.
Buk! Satu hantaman telak
mengenai dada Windarti, membuat
gadis ini terhuyung ke belakang.
"Kau...kau manusia kejam!
penipu...! kau telah mengelabuiku!
mengelabui semua saudara-saudara
seperguruan. Bahkan kau telah
membunuh KUNTALI! Kau racuni
guru kita hanya karena ketama-
kanmu pada harta pusaka milik
guru! apakah kau masih layak untuk
hidup didunia? Kau telah pula
mendirikan komplotan penculik dan
penjual wanita! Kau... kau harus
tebus jiwa Kuntali dengan nyawa ib-
lismu, keparat...!"
Berteriak-teriak dengan suara
lantang dara ini. Bahkan air ma-
tanya tampak mengalir turun!
Dan, disertai bentakan keras melengk-
ing panjang, Windarti kembali
menerjang dengan pukulan-pukulan
ganasnya.
Saat mana Nagasari secepat kilat
sambil mengelak telah laku-
kan serangan menghamburkan
senjata rahasia jarum-jarum berbisa.
Akan tetapi disaat yang gawat
itu, terdengar bentakan keras. Se-
sosok bayangan berkelebat.
"Awas, Windarti...!"
teriakan itu dibarengi dengan mendorong
tubuh dara itu. Akan tetapi
justru sosok tubuh itu sendiri yang terkena
lurukan jarum-jarum beracun
Nagasari.
Terdengar jeritan parau dari si
Ular Betina Selat Madura, alias
ANDINI. Seketika tubuhnya roboh.
Dan berkelojotan ditanah. Tapi
sesaat antaranya tubuh wanita
itupun terkulai...
Windarti melompat memburu
diiringi Shidarta. Sementara Na-
gasari telah berkelebat cepat
melompat dari situ setelah mencekal
lengan Beguk Reksasana.
"Cepat! kita pergi dari
sini...!" bisik Nagasari.
Akan tetapi... "Bocah
murtad! hentikan langkahmu...!" satu ben-
takan keras dari nada yang
dingin mencekam membuat mereka henti-
kan langkahnya. Dan sesosok
tubuh melayang turun dihadapan mere-
ka. Membelalak sepasang mata
Nagasari seperti mau melejit keluar.
Karena melihat siapa yang
berdiri menghadang.
"Hihihi... Nagasari. Dan
kau Tali Wangsa! Lebih baik kalian se-
rahkan diri untuk jadi
tawananku. Aku akan serahkan kalian pada
hamba hukum Kerajaan yang lebih
patut menjatuhkan hukuman un-
tuk kalian, di Kota Raja!"
Ternganga mulut Nagasari.
Pakaian wanita ini amat mirip den-
gan si Ular Betina Selat Madura
yang telah dipastikan tewas terkena
serangan senjata rahasia. Akan
tetapi jelas dia bukan si Ular
Betina itu? Karena wanita yang
terkena luruskan senjata raha-
sianya masih tergeletak disana!
Lalu siapakah wanita ini? pikir Naga-
sari.
Saat mana si manusia Muka Mayat
telah melompat kehadapan
wanita berpakaian sutera tipis
warna hitam ini.
"He? siapakah kau, nona?
mengapa kau menyamar jadi murid-
ku...!" berkata.
"Hihihi... akulah si Ular
Betina Selat Madura yang asli! bukan
aku yang menyamar jadi murid mu,
tapi muridmu itulah yang me-
nyamar menjadi aku! Bukankah dia
bernama KUNTALI...?" bertanya
wanita ini.
Kata-kata wanita yang lantang
ini membuat Windarti dan Shi-
darta jadi melengak heran.
Terlebih lagi Windarti. Karena jelas dia
telah mendengar jeritan kematian
Kuntali yang dibunuh Nagasari di
depan matanya. Walaupun dia tak
melihat tapi suara jerit kematian itu
terdengar jelas. Bahkan dia tahu
Nagasari telah berikan hukuman ma-
ti buat saudara seperguruannya
itu, yang telah dianggapnya berkhia-
nat.
Saat mana tiba-tiba berkelebat
tubuh nini Candra Gumintang
ketempat itu. Sekali lengannya
bergerak, dia telah sentakkan kulit
muka dara yang terkapar itu. Dan... segera terpampang wajah
KUNTALI.
Terpekik seketika Windarti
Langsung merangkul sosok tubuh
yang sudah lepas nyawanya itu
dengan menangis meratap pedih...
"Kuntali...! Kun.. tali...
oh!? kiranya kau... kau..." Tak kuat me-
nahan perasaannya, Windarti
terguling layu. Dia pingsan tak sadar-
kan diri. Shidarta jadi
kebingungan mengurusi dara itu...
***
SEBELAS
"MURID MURTAD! segera kau
akan merasakan kematian-
mu...!" bentak nini Candra
Gumintang dengan suara lengkingan pa-
rau yang memekakkan
telinga. Tubuhnya meluncur bagaikan
alap-
alap. Sepasang lengannya menukik
berbentuk lingkaran dengan jari-
jari mengembang. Inilah Jurus
Rajawali Mencengkeram Naga. Akan
tetapi pada saat itu berkelebat
sinar ungu menyambar ke arah lengan
wanita tua ini. Diiringi
sambaran kilat dari selendang sutera warna
merah, bagaikan sebatang tombak
yang meluncur ke dadanya.
WHHUUK! DHESS...!
Nini Candra Gumintang lakukan
salto dengan lengan bersida-
kep. Ternyata dengan gesit dia
telah tarik serangannya. Tahu-tahu se-
belah kakinya telah meluncur ke
arah dada si penyerang. Terdengar
jerit kesakitan. Tubuh Tali
Wangsa alias Beguk Reksasana terjeng-
kang roboh bergulingan. Bahkan
pedang sinar ungu laki-laki itu telah
tercekal ditangannya. Baru saja
kaki wanita tua itu menjejek tanah.
Langsung melesat lagi memburu ke
arah Tali Wangsa.
DHESS...!
Darah segar menyemburat keudara.
Memercik ke bumi. Dan...
menggelindinglah kepala Tali
Wangsa, diiringi jatuh berdebuk tu-
buhnya yang telah tanpa kepala
lagi.
Terperangah Nagasari. Wajahnya
seketika berulah menjadi pu-
cat pias. Belum lagi hilang
terkejutnya, tahu-tahu sinar ungu melun-
cur pesat mengancam
tenggorokannya. Begitu cepatnya. Tahu-tahu
sudah didepan mata!
Akan tetapi pada detik itu...
TRANG!
Pedang sinar ungu terpental
keudara dan menancap tinggi diatas
dahan pohon. Ternyata sebutir
batu kerikil telah menghantamnya, te-
pat disaat beberapa inci lagi
pedang sinar ungu milik Tali Wangsa itu
menembus tenggorokan Nagasari.
Ternyata si manusia Muka Mayat
alias Lodaya setelah yang me-
lemparkan batu, menangkis
serangan. Sekejap si manusia Muka
Mayat telah melompat kehadapan
nini Candra Gumintang. "Sabar,
kakang mbok! Biarkan aku
menghukum anakku sendiri...!"
Selesai berkata tiba-tiba tubuh
laki-laki tua itu berbalik. Lengan
jubahnya mengibas. Di lain
kejap. Nagasari sudah berdiri tak bergem-
ing dengan keadaan tubuh kaku
karena urat darahnya telah tertotok.
Selanjutnya dengan sekali
bergerak ulurkan lengan, tubuh Na-
gasari telah berpindah ke atas
pundaknya. Dan saat berikutnya Ki
Dondoman alias Lodaya Seta telah
berkelebat pergi melesat cepat da-
ri tempat itu.
Melihat kematian Beguk
Reksasana, tersentak kaget si Tiga De-
demit Gunung Siung.
Serentak mereka mencabut senjata
masing-masing. Agaknya
mereka sudah tak memperdulikan
Nagasari yang dibawa pergi oleh
Lodaya Seta. Sepasang mata
mereka sebentar tertuju pada Nini Can-
dra Gumintang, lalu beralih pada
si Ular Betina Selat Madura. Agak-
nya mereka bingung mengambil
keputusan. Jelas tujuan mereka ada-
lah mengejar si Ular Betina
untuk merebut kembali harta dan uang
milik Nagasari yang dirampok
wanita itu. Akan tetapi melihat kema-
tian Beguk Reksasana (sang
murid) membuat mereka jadi amat gusar.
Salah seorang rupanya sudah
mengambil keputusan.
Tanpa perdengarkan suara, satu
dari Tiga Dedemit Gunung
Siung telah melejit dari
tempatnya berdiri. Senjata ditangannya yang
berupa sebuah Garpu besar
bermata lima dengan ujung runcing ber-
warna kehijauan karena sudah
direndam racun, tiba-tiba ditusukkan
ke punggung Nini Candra
Gumintang. Dua orang lagi masih berdiri
ditempat. Seperti belum niat
bergerak.
BUK...!
Serangan hebat laki-laki jubah
hitam yang berewokan ini luar
biasa. Jurus serangan yang
dipergunakan seperti jurus aneh, karena
bisa menyimpan suara.
Berdesirpun tidak sambaran tombak garpu
mata lima itu. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara teriakan si Garpu
Samber Nyawa. Entail tenaga
darimana yang telah membentur tu-
buhnya hingga terlempar keudara
setinggi lima-enam tombak. Sam-
baran angin itupun seperti tak
menimbulkan suara pula.
Tubuh si Garpu Samber Nyawa
melayang turun dengan kaki
terlebih dulu. Akan tetapi
dengan tubuh terhuyung limbung. Dan...
tampak darah menetes dari
mulutnya. Untung kedua kawan dengan
sigap cepat melompat untuk
menyangganya.
Tampak wajah si laki-laki brewok
ini pucat pias. Sebelah len-
gannya memegangi dadanya.
"Oh.! sudah kuduga...!" ujarnya, Selesai
berkata tiba-tiba dia semburkan
darah segar dari mulutnya.
Kedua pasang mata dua kawan si
Brewok ini jadi mengarah na-
nar pada Si Ular Betina Selat
Madura.
Sementara Nini Candra Gumintang
sendiri seperti terbelalak he-
ran. Pertanda dia tak mengetahui
kalau dibokong orang. Sedangkan si
wanita yang mengaku bergelar
Ular Betina Selat Madura itu tampak
tersenyum-senyum.
Melihat demikian kuatlah dugaan
dua dari si Tiga Dedemit Gu-
nung Siung, kalau si Ular Betina
itulah yang telah melakukan seran-
gan menolak tubuh si Brewok
dengan pukulan tenaga dalam tanpa
suara...
"Bedebah tengil! tolakan
tenaga pukulanmu hebat juga!" mem-
bentak Gantol Mumet yang
berwajah kaku berkulit hitam legam.
Serentak kedua tubuh kakek itu
telah berkelebat melompat. Se-
kejap sudah injakkan kaki di
depan dan dibelakang sang Ular Betina.
"Baik! kalau kau menghendaki
mampus duluan. Kebetulan ka-
mi juga perlu tahu. Kalau kau
mengaku si Ular Betina Selat Madura
yang asli, berarti kaulah yang
telah merampok harta dan uang di pe-
sanggrahan Melati!"
Membentak Gantol Mumet.
"Hihihi... kalau sudah tahu
mengapa bertanya...?" dara ini me-
nyahut seenaknya. Tubuhnya
bergerak memutar kesana-kemari den-
gan melangkah pelahan. Bahkan
dengan menggendong tangan ke be-
lakang. Sikap yang jumawa itu
membuat kedua kakek jubah hitam itu
jadi mendongkol. Bukan main
terhinanya kalau harus "keok" oleh
bocah perempuan yang dinilai
usianya masih remaja ini. Akan tetapi
melihat pukulan tenaga dalam
tanpa ujud dara ini membuat mereka
tampak harus hati-hati.
"Bagus! kalau begitu urusan
akan mudah dibereskan! Segera
tunjukkan dimanakah kau simpan
harta dan uang rampokanmu itu,
nona! Mungkin kau bisa berfikir
lebih jauh. Bukankah harta itu tak
halal? Kalau kau kangkangi akan
per-cuma saja. Lebih baik kau se-
rahkan pada kami...!" bujuk
Kulo Takon yang bertubuh agak jang-
kung berkumis mirip kumis tikus
yang bisa dihitung banyaknya.
"Hihihi... hihihi...
cecurut tua bau apek macam kau mana mem-
pan membujuk aku. Harta tak
halal itu bukan mau aku kangkangi
sendiri. Tapi akan kuserahkan
pada penguasa Kerajaan! Hitung-
hitung uang pajak gelap, yang
diambil cuma sekali Karena setelah
"pajak" itu lunas, aku
jamin perusahaan kalian akan langsung gulung
tikar! Hihihi... hihihi..."
"Kalau begitu kau perlu
diringkus...!" bentak Gantol Mumet.
Dan setelah memberi isyarat,
kedua tokoh golongan hitam itu seren-
tak menerjang si Ular Betina
Selat Madura.
Sambaran-sambaran senjata kedua
laki-laki tua itu meluruk
menghunjam ke arah dara ini.
Bahkan dibarengi pula dengan puku-
lan-pukulan dengan jurus-jurus
berbahaya. Akan tetapi tampak den-
gan mudah wanita itu berhasil
mengelakkan diri, cuma dengan me-
lenggang-lenggok genit. Tubuhnya
meliuk kesana-kemari bagaikan
tengah menyuguhkan satu tarian
yang mempesonakan.
Melengak seketika dua kakek
jubah hitam itu. Dalam serangan
empat jurus barusan dengan mudah
si wanita bergelar Ular Betina Se-
lat Madura itu berhasil
mengelakkan diri dengan tarian istimewanya.
Saat mana tiba-tiba terdengar
suara suitan nyaring. Itulah tanda isya-
rat yang diperuntukkan bagi Tiga
Dedemit Gunung Siung.
Serentak keduanya tiba-tiba
melompat mundur. Sementara se-
sosok tubuh berkelebat kearah
pertarungan yang terhenti itu. Ternyata
si Garpu Samber Nyawa. Mereka
langsung berlompatan untuk berga-
bung, dengan berdiri berjajar
seraya masing-masing menyimpan sen-
jatanya.
Tentu saja hal itu membuat si
Ular Betina Selat Madura jadi
melengak heran. Saat mana
terdengar suara tertawa berkakakan. Di-
iringi dengan berkelebatnya
sesosok tubuh.
"Hebat! hebat...! sungguh
aku si tua bangka ini tak menyangka
kalau anda adalah Nona Pendekar
RORO CENTIL...! Mohon maaf
atas kekeliruan kami!"
Berkata sosok tubuh berjubah hitam itu yang
tak lain dari LODAYA SETA alias
Ki Dondoman, yang bergelar si
Malaikat Tangan Sebelas.
"He? kau muncul lagi?
apakah maumu...?" bertanya Ular Betina
Selat Madura. Akan tetapi Lodaya
Seta tak menjawab. Dia menoleh
pada ketiga kakek tiga berjubah
hitam. "Hai?! mengapa kalian masih
berdiri terpaku? hayo lekas beri
penghormatan pada nona Pendekar
kita...!" membentak Lodaya
Seta. Tak ayal ketiganya segera menjura
pada si Ular Betina Selat
Madura. Dan cepat sekali mereka membuka
jubah masing-masing. Mengkelet
juga kulit muka mereka. Tak lama
tiga Dedemit Gunung Siung itu
telah berubah menjadi tiga orang
Perwira Kerajaan. Sementara
Lodaya Setapun segera tanggalkan ju-
bahnya. Selapis kulit muka
kembali dibuka dari wajahnya. Siapakah
sebenarnya laki-laki ini? Dia
tak lain dari Mahapatih CAKRA
BHUANA dari Kerajaan Mataram.
Tersentak si Ular Betina melihat
dan mengenali orang-orang
Kerajaan itu. Terutama pada
Mahapatih Cakra Bhuana yang pernah
menjamunya ditempat kediaman
pembesar Kerajaan Mataram itu pa-
da beberapa bulan yang lalu.
"Aiiiih! kalau begitu
percuma sudah aku menutupi rahasiaku...!
Selesai sudah petualanganku
sebagai si Ular Betina Selat Madura.!"
Berkata demikian, wanita baju
sutera hitam itu mengkelet kulit wa-
jahnya. Dan... segera terpampang
seraut wajah cantik. Siapa lagi ka-
lau bukan memang RORO CENTIL
adanya.
"Kanjeng Gusti
Patih...!" ujar Roro sambil menjura
hormat.
"Segala sepak terjangku di
wilayah perairan Selat Madura telah ter-
cium oleh anda. Kini aku
serahkan diri padamu. Silahkan memberi
hukuman. Dengan rela dan senang
hati aku akan menerimanya...!"
ujar Roro sambil tersenyum.
"Hahahaha... segala sepak
terjang anda memang sudah lama di-
lacak oleh anak-anak buahku dari
pihak Kerajaan Mataram. Walau
harta-harta haram serta barang
selundupan yang kau rampok dari para
saudagar di kawasan Selat Madura
itu belum kau berikan pada yang
berwenang, namun aku tak
mencurigaimu mau mengangkanginya.
Hehehe... suatu ketika kau pasti
mengantarkannya ke Kota Raja!"
berkata Mahapatih Cakra Bhuana.
"Bagaimana kalau aku
melarikan diri? Hihihi... apakah anda tak
pikirkan kalau tiba-tiba niatku
berubah...?" ujar Roro berseloroh.
"Hahaha... kalau begitu
sekarang anda ku tangkap. Selama se-
pekan anda harus tinggal di
tempat kediamanku untuk menerima su-
guhan kehormatan!"
Mendengar kata-kata itu mau tak mau Roro jadi
mengikik tertawa
terpingkal-pingkal.
Adapun nini Candra Gumitang
sejak tadi terlongong menden-
garkan percakapan. Melihat siapa
adanya si Tiga Dedemit Gunung
Siung serta "Lodaya
Seta", dia jadi terpaku dengan 1001 pertanyaan
dibenaknya.
Sekali bergerak dia telah
melompat kehadapan Mahapatih Ca-
kra Bhuana.
"Maafkan hamba Kanjeng
Gusti Mahapatih...! aku si nenek tua
renta ini tak mengetahui semua
ini. Mohon penjelasan...!" berkata
wanita tua ini dengan menjura
dihadapan Pembesar Kerajaan itu.
"Segalanya akan anda
ketahui, sobat Nini Candra Gumitang...!
Kita mengebumikan dua jenazah
dulu. Dua jenazah yang berbeda ja-
lan hidup yang satu dengan yang
lainnya. Seorang adalah pencari ke-
benaran, seorang lagi adalah
pencari kerusuhan!" ujar Mahapatih Ca-
kra Bhuana. Akan tetapi mereka
kini sudah sama-sama menjadi
mayat, yang perlu kita hormati.
Mari kita memakamkannya...!"
***
DUA BELAS
Lima hari kemudian... di
Kadipaten LAMONGAN. Terperan-
gah Nini Candra Gumintang
melihat sosok tubuh Lodaya Seta yang
terkapar bermandi darah dirumah
tahanan Kedipatian itu. Setelah se-
lesai mengebumikan jenazah Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa,
Mahapatih Cakra Bhuana. mengajak
mereka semua ke Kadipaten.
Kecuali Roro Centil yang mohon
diri untuk menyelesaikan urusan-
nya.
Bukan saja nini Candra Gumintang
yang terkejut, akan tetapi
juga Adipati Donggala, serta
semua yang berada ditempat itu. Karena
tampak dinding kamar tahanan
berlubang besar. Dan Nagasari yang
dijebloskan satu ruangan dengan
Lodaya Seta asli, telah lenyap...
"Celaka...!? Nagasari telah
meloloskan diri...! Apakah yang te-
lah terjadi dengan Lodaya
Seta...?" teriak Adipati Donggala dengan
wajah pucat. "Hai!
pengawal! apakah kalian tak mengetahui tawanan
wanita yang baru masuk itu
meloloskan diri?" membentak Adipati
Donggala pada dua prajurit
Kadipaten yang bertugas menjaga di seki-
tar rumah tahanan itu.
"Ampun Gusti, hamba hanya
mendengar suara gaduh serta run-
tuhnya tembok kamar tahanan.
Dan, hamba dapati laki-laki tua
tahanan kita ini telah terkapar
berlumuran darah. Tahanan wanita
itu sendiri lenyap!" menyahut sa-
lah seorang prajurit seraya
menyembah.
"Apakah kalian tak lihat
ada orang masuk kemari?"
"Rasaya tidak,
Gusti...!" sahut keduanya serempak. Sementara
nini Candra Gumintang telah
melompat untuk memeriksa keadaan
Lodaya Seta. Laki-laki tua ini
masih belum mati. Luka parah berasal
dari lambungnya yang robek
mengeluarkan darah tiada henti.
"Adikku, Lodaya...
katakanlah! apa yang terjadi? siapa yang
melakukan perbuatan ini?"
bertanya wanita tua ini dengan air mata
berkaca-kaca.
"Kau... kakang... mbok...!
oh, bahagia sekali kau datang...! aku
memang merahasiakan tentang
diriku...! Sebenarnya Mahapatih Ca-
kra Bhuana adalah saudara
kembarku...! Aku memilih mendekam da-
lam tahanan ini atas permintaan
ku sendiri. Karena aku merasa berdo-
sa. Aku telah salah memungut
anak! ya, salah yang teramat besar...!"
ucap Lodaya Seta terputus-putus.
Tapi bibirnya menyunggingkan se-
nyum. Walau cuma senyum
kekecewaan.
"Ah...!? jadi Nagasari
bukan anak kandungmu sendiri?" tanya
nini Candra Gumintang. Laki-laki
tua itu menggeleng. "Benar, ka-
kang mbok...! Ketika Nagasari
mengambil keputusan untuk membu-
nuhmu, aku tak berdaya. Karena
Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa
telah menotokku. Kemudian laki-
laki yang sudah kucurigai itu
mengikat sekujur tubuhku dan mena-
wanku di dalam goa! Untuklah
kakang Mahapatih Cakra Bhuana me-
nolongku...!"
Lodaya Seta berikan penjelasan.
Tampak dia kelihatan berse-
mangat. Bahkan merasa agak kuat
untuk bicara. Karena diam-diam
Nini Candra Gumintang kerahkan
tenaga dalamnya yang dialirkan
ketubuh laki-laki itu melalui
telapak tangan untuk membantu kekua-
tan tubuh Lodaya Seta.
Sementara Mahapatih Cakra Bhuana
berjongkok disisi laki-laki
tua itu. Menatap saudara
kembarnya dengan tatapan sedih. Lodaya
Seta tampak tersenyum dan
manggut-manggut pada wanita tua sauda-
ra seperguruannya itu. Lalu
lanjutkan kata-katanya.
Tahukah kau bahwa sebenarnya aku
telah menjadi seorang tan-
pa daksa, kakang mbok...?"
berkata Lodaya Seta. "Sejak ilmuku dile-
nyapkan oleh mendiang guru, aku
cuma mempunyai ilmu dasar saja.
Aneh! semakin lama tenaga dalamku
semakin berkurang. Dan lenyap
sama sekali. Tahulah aku kalau
guru telah menggunakan ilmu puku-
lan tanpa wujud dari jurus
Peluluh Tenaga Dalam yang langka...!"
ujar Lodaya Seta.
Nini Candra Gumintang tersentak
kaget. "Jadi selama ini kau
tak punya ilmu apa-apa, adik
Lodaya...?" bertanya wanita tua ini. Lo-
daya Seta mengangguk.
"Jadi... jadi apakah yang
menolongku waktu itu adalah Gusti
Kanjeng Mahapatih
sendiri...?" tersentak lagi nini Candra Gumintang,
seraya menatap pada laki-laki Pembesar
Kerajaan itu.
Mahapatih Cakra Bhuana
manggut-manggut, tanpa mengu-
capkan sepatah kata. Bahkan
tampak dikedua sudut kelopak mata
Pembesar Kerajaan ini tersembul
dua titik air bening. Tampak dia
sangat berduka sekali dengan
musibah itu. "Adik Lodaya Seta... se-
baiknya kau segera kurawat. Aku
akan panggil pengawal untuk
menggotongmu dengan
tandu..." berkata Mahapatih Cakra Bhuana.
"Tidak usah, kakang
Patih...! ucap Lodaya Seta dengan lirih.
Akhirnya laki-laki Pembesar
Kerajaan itu cuma bisa diam membisu
dengan menundukkan wajah.
Sementara Adipati Donggola segera pe-
rintahkan para pengawal untuk
melacak kesekitar tempat itu. Shidarta
yang tiba-tiba muncul di
Kedipatian bersama Windarti, langsung di-
perintahkan mengejar tawanan
yang meloloskan diri. Tak ayal dan
tanpa bertanya lagi, segera
tarik lengan Windarti dan dibawanya ber-
lari bagaikan terbang, keluar
dari halaman gedung Kedipatian.
Gedung tempat kediaman Mahapatih
Cakra Bhuana tampak di-
padati oleh rakyat, yang ingin
menyaksikan upacara pembakaran
mayat saudara kembar Mahapatih
Kerajaan Mataram itu...
RORO CENTIL tampak berdiri
diantara deretan para undangan.
Mereka yang nampak hadir dalam
upacara itu rata-rata menundukkan
kepala.
Mereka turut bersedih atas
tewasnya adik kembar sang Mahapa-
tih. Ya, Lodaya Seta tak dapat
mempertahankan lagi hidupnya. Dia
tewas dengan tersenyum, setelah
mengguar kisah hidupnya dihada-
pan wanita tua bernama Candra
Gumintang itu. Perempuan yang di-
kala mudanya pernah dicintainya.
Namun tak sempat terutarakan isi
hatinya. Karena dia keburu
diusir dari perguruan.
Pelaku dari kejadian itu
ternyata, masih misterius. Karena Lo-
daya Seta tak sempat menerangkan
siapa pelaku perbuatan terhadap
dirinya yang kemudian merenggut
nyawanya itu. Lodaya Seta yang
memilih hidup di kamar tahanan
itu telah keburu melepaskan nyawa,
diiringi titik air mata
Mahapatih Cakra Bhuana yang mengalir turun
membasahi pipinya...
Asap semakin tebal membumbung
keangkasa. Api berkobar
menebarkan hawa panas. Raga
Lodaya Seta musnah menjadi abu.
Akan tetapi jiwanya tetap hidup.
Dia memang bukan seorang pahla-
wan yang mati dimedan perang.
Akan tetapi keinsyafannya dari me-
nempuh jalan sesat untuk kembali
menjadi manusia yang berguna pa-
tut dihargai. Sayang
cita-citanya untuk meluaskan usaha pertabiban
demi kesejahteraan umat manusia,
gagal ditengah jalan. Karena ulah
dari perbuatan Nagasari anak
angkatnya. Yang justru menempuh ja-
lan sesat. Dan saat itu juga...
Nagasari diputuskan menjadi orang
BURONAN Kerajaan Mataram!
Ketika satu demi satu para tamu
undangan telah mengundurkan
diri. Juga rakyat yang
berjejalan itu sudah sepi. Karena pembakaran
jenazah telah usai. Dua buah
kereta kuda memasuki halaman gedung
Kepatihan. Aneh, memang! Kedua
kereta kuda itu tak bersais. Bah-
kan langsung menerobos pintu
gerbang. Tentu saja membuat para
prajurit pengawal penjaga pintu
jadi mengejar sambil berteriak-teriak.
Adipati Donggala yang hadir dan
belum pulang dalam upacara itu te-
lah memburunya dengan melompat
keluar. Disusul oleh Shidarta dan
Windarti. Juga Mahapatih Cakra
Bhuana, serta nini Candra Gumin-
tang, serta beberapa orang sisa
dari tetamu undangan.
Langsung Adipati Donggala dan
Shidarta beserta prajurit pen-
gawal memeriksa kedua kereta
kuda itu. Yang berhenti tepat di depan
pintu pendopo Kepatihan.
Membelalak mata Adipati Donggala juga
Shidarta melihat isi kereta kuda
itu. Dua buah kotak di dalam kedua
pedati itu setelah dibuka
ternyata satu berisi mayat NAGASARI. Dan
satu lagi berisi ribuan keping
mas dan perak, juga bermacam perhia-
san yang tak ternilai harganya.
Diatas tumpukan uang dalam peti
emas itu terdapat secarik ker-
tas bertulisan besar-besar.
"GUSTI KANJENG MAHAPATIH
CAKRA BHUANA...!
TERIMALAH DUA MACAM BINGKISAN
INI.
SAMPAIKAN SALAMKU PADA BAGINDA
RAJA
KERAJAAN
MATARAM...! BAHWA SATU PETI
UNTUK DITANAM.
DAN... SATU PETI UNTUK
PEMBANGUNAN DEMI
KESEJAHTERAAN RAKYAT!"
Pengirim: RORO CENTIL
GELAR SEMENTARA (ULAR BETINA
SELAT MADURA)
TELAH DICABUT....!
Saat para pengawal gaduh
menurunkan mayat Nagasari dan peti
berisi uang dan harta
"pajak" paksaan kiriman dari Roro Centil, justru
sang pengirimnya sendiri tengah
melangkah melenggang meninggal-
kan wilayah Kota Raja. Dialah si
Ular Betina Selat Madura. Yang te-
lah membuat heboh dan resah para
saudagar kaya yang memper-
mainkan hamba hukum dari
Kerajaan Mataram, tanpa mau mem-
bayar pajak. Justru mereka
memelihara tukang-tukang pukul, atau
pembunuh bayaran demi keamanan
uang dan hartanya.
Kemunculan si Ular Betina Selat
Madura yang mengincar
orang-orang berduit. Telah
menjadi momok yang menakutkan diwi-
layah perairan Selat Madura.
Terutama dari usaha-usaha tak halal.
Tak terbilang dari orang yang
kelebihan harta, tapi menggaji peker-
jaan semuanya saja. Perbuatan
yang memeras rakyat itu telah tercium
oleh si Ular Betina, yang banyak
dilakukan dikalangan para saudagar.
Akibatnya mereka harus
menanggung resiko ditarik "pajak" paksaan
oleh si Ular Betina Selat Madura
yang ternyata tak lain dari RORO
CENTIL adanya. Yaitu... sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang
beradat aneh!
"Nona Pendekar Roro...!
tunggu...!" satu teriakan terdengar.
Dan sesosok tubuh berkelebat
mengejar.
"Hm, Shidarta...? ada
apakah kau menahan langkahku?" ber-
tanya Roro begitu pemuda tampan
ini telah berada dihadapannya.
"Anu... ng..."
"Mau tanya apa?"
"Eh ya, ya...! itu..."
menyahut Shidarta dengan tergagap. "Anu...
nona... Pendekar Roro...! Aku...
aku cuma mau mengucapkan terima
kasih pada anda, atas
pertolongan anda menyelamatkan nyawaku...!"
Roro tersenyum manggut-manggut.
"Hanya itu?"
"Ma... masih ada, nona
Pendekar Roro... tapi yang ini bukan
pertanyaan saya..." sahut
Shidarta, seraya menoleh kebelakang. "Ah,
kemanakah anak itu?"
terdengar suara Shidarta menggumam.
"Aiiih! siapakah yang kau
maksudkan itu Shidarta? Wah,
wah...! kau membawa teman
mengapa tak aku perkenalkan pada-
ku...?"
"Dia... dia malu, nona
Pendekar..."
"Hmm... mengapa malu?"
"Entahlah, dia enggan berhadapan
dengan anda..."
"Oh, ya? He... kau belum
sebutkan siapa si "dia" yang kau mak-
sudkan itu?"
"Eh, maaf, nona Pendekar.
Dia maksudku adalah...
WINDARTI..."
"Windarti...? apakah yang
mau ditanyakannya?" tanya Roro
dengan kerutkan keningnya.
Sementara diam-diam Roro sudah dapat
menerka apa maksud pertanyaan
Windarti, karena segera dia teringat
ketika "nguping"
pembicaraan kasak-kusuk Windarti dengan Shidar-
ta. Yang mempertanyakan soal
kematian Kuntali. Ternyata Kuntali
yang telah diketahuinya dua kali
mati. Ternyata dua kali hidup lagi.
Bahkan sebelum diadakan upacara
pembakaran mayat, tak sengaja
Windarti melihat sekelebatan
sosok tubuh Kuntali berlalu dihadapan-
nya.
Kejadian itu membuat Windarti
tak bisa tidur. Dia memikir ka-
lau-kalau arwah Kuntali menjadi
hantu. Ketika kasak-kusuk dengan
Shidarta, kedua muda-mudi itu
pernah merencanakan untuk mem-
bongkar kuburan Kuntali...
Benar saja dugaan Roro. Ternyata
Shidarta memang memperta-
nyakan peristiwa kematian
Kuntali yang misterius.
"Begitulah perihal yang
ditanyakan Windarti, nona Pendekar."
"Hm, panggil saja aku
dengan panggilan kakak Roro, Shidarta.”
"Ah, eh... ya... ya, kakak
Roro...!" ucap Shidarta agak kaku.
"Nah! aku akan berikan
penjelasan. Tapi khusus untukmu. Pen-
jelasan ini cuma pada kau aku
katakan. Asalkan kau mau berjanji
takkan menceritakan pada
Windarti, tentunya... berkata Roro. Semua
ini adalah demi perbaikan
jiwanya! Seperti kau ketahui, atau mung-
kin belum kau ketahui. Bahwa
Windarti mempunyai "kelainan" pada
jiwanya. Dia menyenangi kaum
sejenisnya sendiri. Dan pada Kuntali
itulah dia boleh di katakan
telah "jatuh Cinta". Hal ini amat berba-
haya. Karena dia telah
menyalurkan kewanitaannya dengan cara yang
salah. Bahkan hal seperti itu
tak bisa dibenarkan dikalangan orang-
orang dijalan lurus...!"
ujar Roro lebih lanjut. Ternyata Shidarta
agaknya sudah mengerti. Dia
tampak manggut-manggut mendengar-
kan dengan serius.
"Aku berjanji, takkan menceritakan
padanya. Asalkan demi ke-
baikan dia tentunya..."
tukas Shidarta.
"Bagus! Nah dengarkanlah!
Sebenarnya... Kuntali telah tewas
mutlak oleh jarum-jarum beracun
Nagasari, ketika dia memperingati
Windarti dengan mendorong
tubuhnya. Mengapa kukatakan tewas
mutlak? Karena kematian yang pertama ditangan
Nagasari seperti
yang kudengar dari pembicaraan
Windarti denganmu, adalah kema-
tian yang aku perbuat untuk
mengelabuhi mata Nagasari dengan il-
muku. Yang dibunuhnya serta
diperkosa oleh kedua saudara sepergu-
ruanmu Tapak Doro dan Binangun
adalah seekor kambing yang telah
kutotok hingga tak mampu
mengembik, sedangkan suara jeritannya
adalah suaraku sendiri!"
jelaskan Roro Centil. "Ilmu itu namanya il-
mu MALIH RAGA! Sedangkan
kemunculan arwah KUNTALI diha-
dapan Windarti adalah aku
sendiri yang menyaru sebagai mendiang
Kuntali. Bukankah aku mempunyai
kedok kulit muka yang serupa
dengan dia?"
"Benar! benar...!"
timpal Shidarta yang telah semakin jelas den-
gan duduk persoalannya.
Penjelasan itu selain membuat Shidarta ter-
perangah, juga membuat dia kagum
luar biasa pada Roro.
"Ah, sungguh mataku buta.
Tak melihat gunung Mahameru di-
depan mata. Pantas kakak Roro
menjadi sanjungan orang disetiap
tempat. Karena kakak Roro
berilmu teramat tinggi...!" berkata Shi-
darta dengan menatap kagum.
"Hihihi... jangan suka
memuji berlebihan! Di atas langit masih
ada langit lagi!" ujar
Roro. "Kalau apa yang kumiliki itu kau katakan
sudah teramat tinggi, wah,
wah...! bisa-bisa aku dianggap dewa oleh
orang! hihihi..."
Shidarta manggut-manggut sambil
tersenyum "Benar, kakak
Roro...! Kini akan kemanakah
anda? mengapa begitu tergesa? Aku
makin kagum
pada kakak Pendekar Roro. Kalau
boleh... aku... aku..." pemuda
ini tak teruskan lagi
kata-katanya.
"Sudahlah! tugasmu kini
adalah membimbing Windarti menjadi
seorang wanita tulen. Kasihan
dia, bukan? Tampaknya kau jatuh hati
pada gadis itu. Aku percaya kau
bukan laki-laki berwatak bejat seper-
ti Tali Wangsa.
Nah! aku akan segera
berangkat...! Ada sedikit pesan untukmu,
Shidarta. Yaitu... sebelum
kepentinganmu, alangkah baiknya bila kau
dahulukan kepentingan orang
lain. Bila ternyata orang lain itu me-
mang perlu didahulukan
kepentingannya! Nah! kau paham, bukan?"
Selesai bicara, tiba-tiba tubuh
Roro melenyap sirna. Hilang tan-
pa krana seolah tubuhnya telah
menyatu dengan angin.
Shidarta jadi terperangah dengan
mata membelalak dan mulut
ternganga. Ketika memandang ke
atas. Terlihat dahan-dahan pohon
bergoyangan, seperti baru
melintas angin keras. Dan samar-samar hi-
dung Shidarta mencium bau harum
semerbak.
"Ah...! sungguh seorang
Pendekar Wanita yang hebat. Gumam-
nya lirih. Segera dia balikkan
tubuh untuk beranjak pergi dari tempat
itu. Kembali pulang ke
kepatihan. Dikejauhan tampak sesosok tubuh
mendatangi.
Dialah Windarti...! Pemuda
tampan ini tersenyum. Hatinya ber-
kata- "Windarti...! cuma
aku yang tahu, bahwa aku tak boleh mence-
ritakan rahasia ini padamu. Juga
aku tak boleh mementingkan diriku
lebih dulu. Kau amat membutuhkan
bimbinganku..."
Ternyata memang hanya Shidarta
yang mengetahui. Bahkan
Mahapatih Mataram itupun tak
mengetahui. Karena rahasia ilmu
MALIH RAGA telah pula
dipergunakan oleh Roro ketika menolong
Nini Candra Gumintang. Yaitu
disaat dilemparkan tubuh wanita tua
itu oleh Tapak Doro dan Binangun
ke dalam jurang. Roro telah
menggantikan tubuh Nini Candra
Gumintang dengan sebatang kayu.
Bagaimanakah nasib Tapak Doro
dan Binangun, diakhir kisah
ini? Sepekan kemudian penduduk
desa di wilayah Kadipaten Lamon-
gan telah menjumpai dua sosok
mayat laki-laki. Tak diketahui siapa
pembunuhnya. Tapi yang jelas
kedua mayat itu adalah mayat Tapak
Doro dan Binangun.
TAMAT
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon