Pendekar Romantis 6 - Kitab Panca Longok(2)




TIGA 
SETELAH Pendekar Romantis mele-
paskan pukulan jarak jauhnya ke arah se-
mak-semak itu, sang semak-semak buyar se-
ketika. Sesosok tubuh melayang bersalto 
dari balik semak.  
Wukk, wukk...! Jlegg! Kini ia ber-
diri di depan Pandu Puber dan Ken Warok. 
Kemunculan itu membuat dua pemuda beda 
kwalitas tampang itu sama-sama terbengong 
sesaat. Terkesima memandangi wajah ayu di 
depan mata mereka. 
Wajah ayu itu milik seorang gadis 
berusia sekitar dua puluh tahun, matanya 
bundar indah, bibirnya mungil, hidungnya 
kecil bangir, karena wajah itu memang wa-
jah mungil yang cantik sekali, enak di-
pandang mata. Beda dengan wajahnya Ken 
Warok; enak dicolok matanya 
Gadis cantik bertubuh seksi dengan 
bagian dadanya melenuk mirip mangkok bak-
so itu, mengenakan pakaian serba biru. 
Biru muda yang cerah. Kontras dengan war-
na kulitnya yang kuning langsat. Gadis 
itu mengenakan ikat pinggang yang punya 
pisau cukup banyak. Hampir seluruh ping-
gangnya dilingkari dengan pisau, ada yang 
besar ada yang sedang, ada yang kecil. 
Andai tak cantik, ia mirip pedagang ke-
liling door to door. Tetapi dengan rambut 
disanggul kecil di bagian tengah, sisanya 
dibiarkan meriap sepanjang punggung. 
Meski wajahnya tanpa senyum tapi 
kecantikannya justru tampak menggemaskan 
bagi Pandu Puber. Sejak tadi yang dipan-
dangi bagian bibir si gadis dan permukaan 
mangkok baksonya itu. Maklum, pendekar 
yang satu ini memang punya mata nakal dan 
otak sedikit seronok, sehingga hobinya 
mengincar tempat-tempat yang mestinya tak 
boleh dipegang sembarang orang. Jika su-
dah memandang ke arah sana, Pandu sering 
lupa daratan dan lupa lautan. Malah ka-
dang-kadang ia sering lupa berkedip. 
"Biar kuhadapi dia. Lama-lama bisa 
kurang ajar kalau didiamkan terus," ujar 
Ken Warok dengan lagak sok berani. 

"Hmmm..., giliran tahu musuhnya ce-
wek mau main seruduk aja!" gumam hati 
Pandu. Ia biarkan Ken Warok mendekati ga-
dis cantik itu. 
"Nona cantik, apa maksudmu melempar 
pisau kepadaku, hah?! Apakah begitu cara-
mu kalau naksir seseorang?!" 
Gadis itu masih diam saja. Matanya 
memandang makin tajam. Kedua tangannya 
dicantolkan pada ikat pinggang, kedua ka-
kinya sedikit merenggang, kelihatan tegar 
dan siap tarung. Mata itu sengaja dituju-
kan tajam-tajam ke arah Ken Warok. Makin 
lama makin membuat hati Ken Warok ciut 
sendiri dan mulai salah tingkah antara 
ngeri dan berani, antara takut dan ingin 
ikut. Sesekali ia melihat Pandu Puber, 
dan hatinya menjadi tenang saat ia tahu 
Pandu masih di situ. Pandu sendiri senga-
ja diam, memberi kesempatan pada Ken Wa-
rok sambil pelajari sikap si gadis cantik 
itu. 
Ken Warok yang salah tingkah itu 
akhirnya berkata lagi, "Nona cantik, apa-
kah kau tuli sehingga tak bisa mendengar 
pertanyaanku tadi?" 
Gadis itu tetap diam, merapatkan 
kedua bibirnya yang menggemaskan Pandu 
sejak tadi. Matanya sesekali melirik ke 
arah Pendekar Romantis. Hanya sekilas-
sekilas  saja tapi membuat sang pendekar 
tampan berdebar-debar indah. 
Ken Warok berkata lagi kepada gadis 
itu, "Apa maksudmu datang kemari dengan 
lempar-lempar pisau, hah? Kayak anak ke-
cil aja! Apa nggak punya mainan lain?! 
Lain kali nggak boleh begitu, ya?" Ken 
Warok berlagak seperti guru yang ngomelin 
muridnya karena nggak kerjakan 'PR'. Tapi 
gadis itu justru berkata dengan nada ke-
tus yang tidak ada hubungannya dengan 
pertanyaan Ken Warok tadi. 
"Siapa di antara kalian berdua yang 
bernama Ken Warok?!" 
Ken Warok bertanya pada Pendekar 
Romantis, "Siapa nih enaknya? Kau atau 
aku yang bernama Ken Warok?" 
Senyum di bibir sang pendekar gan-
teng tipis saja, namun sempat bikin mata 
si gadis cepat-cepat di lemparkan ke wa-
jah Ken Warok. Lalu terdengar suara Pandu 
berkata kepada Ken Warok, 
"Jujur sajalah. Nggak perlu pura-
pura, nanti dia malah lebih galak lagi." 
"Makin galak makin cantik lho. Sum-
pah kempot deh!" 
"Jawab pertanyaanku!" bentak gadis 
itu. Ken Warok tersentak hampir lompat di 
tempat. Ia jadi makin malu, kemudian 
nyengir sambil garuk-garuk kepala. Pandu 
tertawa pula sambil tetap gigit-gigit 
rumput. 
"Akulah orang yang kau cari. Aku 
yang bernama Ken Warok!" 
"Bohong!" sentak gadis itu lagi. 
"Pasti dia, yang pakai anting-anting satu 
itu!" sambil menuding Pandu. Tentu saja 
Pandu makin geli dalam tawanya yang tanpa 
suara itu. Ken Warok memandang Pandu den-
gan bingung, lalu memandang gadis itu la-
gi dengan dahi berkerut dan sedikit ngo-
tot, 
"Hei, Nona... yang namanya Ken Wa-
rok itu ya aku ini!" katanya sambil mene-
puk dada. 
"Mana pantas wajah sepertimu jadi 
kunci rahasia Kitab Panca Longok?! KI 
Mangut Pedas nggak akan sudi punya murid 
bego kayak kamu!" 
"Yeee... nggak percaya nih anak?!" 
gumam Ken Warok dengan meringis kecut. 
Gadis itu melangkah dekati Pandu 
Puber dan berhenti dalam jarak empat 
langkah di depan si ganteng berbaju ungu 
itu. Lalu suaranya yang ketus terdengar 
bernada sok tegas, 
"Mengakulah, pasti kau si murid 
Mangut Pedas itu, kan?!" 
"Bukan aku yang bernama Ken Warok, 
melainkan dia!" 
"Bohong besar kau! Kiramu aku ini 
anak kecil yang mudah ditipu?" 
Ken Warok menyahut kata, "Nona... 
hei, aku inilah yang bernama Ken Warok 
dan tahu seluk-beluk tentang kitab terse-
but!" 
"Diam kau!" bentak gadis itu. Bera-
ni sekali ia menuding Ken Warok dengan 
mata mendelik lincah dan bikin betah be-
gitu. Agaknya dia benar-benar tidak pedu-
li lagi dengan keberadaan Ken Warok di 
situ. Langsung saja ia bergerak lebih de-
kat pada Pandu Puber dan dalam jarak satu 
langkah ia berkata tegas, 
"Bicaralah! Jangan hanya bengong 
saja kayak monyet ompong! Katakan di mana 
kitab itu, hah?!" 
Dengan tenang dan iringan senyum 
menawan, Pandu Puber justru balik ber-
tanya, "Siapa kau sebenarnya, Nona? Men-
gapa kau sekeras itu menganggapku sebagai 
Ken Warok?" 
"Jangan berlagak pilon!" bentaknya 
dengan wajah semakin ketus. "Katakan sa-
ja, di mana kitab itu disimpan oleh ka-
kekmu! Kau pasti tahu, Ken Warok!" 
Ken Warok geleng-geleng kepala an-
tara jengkel dan geli. Ia dekati gadis 
itu dari belakang dan ia colek punggung-
nya, tapi niat tersebut terpaksa gagal 
karena tiba-tiba kaki gadis itu menendang 
ke belakang tanpa memandang yang diten-
dang. Wuut...! Buhgg...! 
"Heggh...." Ken Warok mendelik, tu-
buhnya mental sejauh empat langkah ke be-
lakang dan jatuh terkapar dalam keadaan 
seperti dibanting. Bhaggh...! 
Ken Warok diam seketika. Matanya 
berkedip-kedip memandang langit. Mulutnya 
hanya bisa terbuka, tapi suaranya tak 
mampu keluar karena napasnya bagaikan 
tersumbat di tenggorokan dan hidung. Pan-
du Puber kian tersenyum geli melihat Ken 
Warok terkapar begitu. Si gadis sendiri 
tidak memandang Ken Warok sedikit pun. 
Seakan begitu cueknya dengan hasil ten-
dangannya tadi. Yang dipandangi adalah 
Pandu dan pandangan itu tak mau bergeser 
sedikit pun. Tajam, tapi juga menyimpan 
tendensi tertentu. 
Akhirnya pendekar tampan kembali 
pandangi wajah di depannya yang amat de-
kat sekali itu. Hanya satu ayunan maju 
saja bibir bisa langsung nyosor bibir si 
gadis. Tapi Pandu punya perhitungan, jika 
saat itu ia langsung menyosorkan diri ke 
bibir si gadis, maka tangan si gadis da-
pat bergerak menghantamnya dengan cepat. 
Karena Pandu tahu, gadis itu punya kece-
patan gerak cukup tinggi. Terlihat saat 
ia menendang Ken Warok, gerakan kakinya 
nyaris tak terlihat menendang ke dada Ken 
Warok. 
"Baru sekarang aku melihat kecanti-
kan yang sempurna. Ck, ck, ck...!" Pandu 
berdecak sambil geleng-geleng kepala. Ga-
dis itu merasa tersanjung, tapi berlagak 
tak suka sanjungan itu. Ia mencibir si-
nis, membuang pandangan ke arah lain. Se-
mentara itu Ken Warok bergegas bangkit 
perlahan-lahan sambil menyeringai, mera-
sakan sisa sakit yang masih tertinggal di 
dada. 
Pandu sengaja pandangi gadis itu 
dengan sorot pandangan mata yang lembut, 
tutur katanya pun terdengar pelan dan pe-
nuh kelembutan, "Kurasa kau orangnya Ratu 
Cadar Jenazah, Kuakui sang Ratu cukup 
pandai memilih utusan secantik kau, Nona. 
Pria mana yang tak akan luluh hatinya me-
lihat kecantikanmu? Sekalipun sebenarnya 
hatiku sudah kutahan untuk tidak menyerah 
padamu, nyatanya aku tak bisa menahan ke-
kerasan hatiku demi melihat kecantikanmu 
dari jarak sedekat ini." 
"Aku bukan orangnya Ratu Cadar Je-
nazah!" ketus gadis itu. 
"Ah, kau sembunyikan identitasmu, 
Nona. Tak perlu berbohong, nanti nilai 
kecantikanmu berkurang." 
"Aku nggak bohong! Aku memang bukan 
orangnya Ratu Cadar Jenazah. Aku utusan 
dari Lembah Nirwana. Namaku.... Belati 
Binal." 
Pandu tertawa seperti orang menggu-
mam. Ia melangkah tinggalkan gadis itu, 
namun hanya tiga langkah segera berhenti 
dan berbalik lagi, memandang penuh peso-
na, membuat sang gadis menjadi gundah. 
"Akhirnya kau mengaku juga siapa 
dirimu," kata Pandu pelan bagaikan menge-
jek. Belati Binal kian mengetuskan mulut-
nya pertanda dongkol terhadap pancingan 
Pandu tadi. Ia bergegas maju dengan me-
nampakkan kegalakannya yang dipaksakan, 
lalu menghardik dengan suara geram, 
"Jangan mempermainkan diriku, Ken 
Warok!" 
Pandu sempat berpikir, "Jangan-
jangan dia bidadari Dian Ayu Dayen, calon 
istriku itu? Ah, benarkah dia jelmaan Di-
an Ayu Dayen? Aku kok jadi curiga?" 
Dian Ayu Dayen adalah bidadari pen-
guasa kecantikan yang selalu membayang-
bayangi Pandu Puber. Anak Dewa Batara Ka-
ma itu memang ditugaskan oleh sang Ayah 
untuk menundukkan Dian Ayu Dayen dan men-
gawininya. Karena jika Pandu Puber menga-
wini Pandu, sang bidadari penguasa kecan-
tikan itu, maka ia akan hidup di kayangan 
di antara para dewa dan berhak mengguna-
kan namanya sebagai Dewa Indo. Tapi jika 
Pandu kawin dengan perempuan lain, maka 
ia tak akan bisa naik ke kayangan dan ia 
akan menjadi manusia biasa, tanpa gelar 
kebangsaan sebagai Dewa Indo. 
Dalam perjalanannya mencari sang 
calon istri, Pandu Puber selalu dibayang-
bayangi Dian Ayu Dayen yang dapat menjel-
ma sebagai perempuan dengan seribu macam 
kecantikan. Dian Ayu Dayen mempunyai se-
tangkai bunga mawar yang terselip di ce-
lah gumpalan dadanya. Tugas Pandu Puber 
adalah mencabut bunga mawar itu sebagai 
tanda ditundukkannya kekuatan sang bida-
dari tersebut. Namun Pandu selalu saja 
tak berhasil menjebak penyamaran Dian Ayu 
Dayen, (Cerita soal bidadari itu nongol-
nya di serial Pendekar Romantis dalam ki-
sah: "Hancurnya Samurai Cabul" -  intip 
deh sana!). 
Karena itu tak heran jika Pandu Pu-
ber mempunyai kecurigaan bahwa Belati Bi-
nal adalah jelmaan Dian Ayu Dayen. Pandu 
ingat kata-kata Dian Ayu Dayen kala men-
janjikan sebentuk keindahan yang kira-
kira bunyinya begini: 
"Kecantikanku ada di antara wajah-
wajah di sekelilingmu. Kecup keningku dan 
aku akan berubah menjadi wujud asliku. 
Jika kau dapat cabut bunga mawar yang 
tumbuh di dadaku ini, maka kau akan ku-
renggut dalam pelukanku selama-lamanya." 
Kira-kira begitu bunyi janji sang bidada-
ri yang cantiknya "wow' sekali itu, (Coba 
aja baca serial Pendekar Romantis epi-
sode: "Skandal Hantu Putih" - nggak dosa) 
Pandu sadar dari renungannya sete-
lah ia melihat tubuh Ken Warok berkelebat 
di depan hidungnya. 
Wuuut...! Orang kurus itu jatuh 
terbanting lagi. Bruhgg...! Wajahnya me-
nyeringai sambil memandang Pandu yang 
terbengong kaget. 
"Kenapa lagi kau? Ayan?!" 
"Ayan gundulmu! Aku dibanting dia 
lagi hanya karena ngajak senyum!" 
Geli juga hati Pandu melihat geru-
tuan Ken Warok. Ia pandangi si Belati Bi-
nal, ternyata gadis itu tak punya senyum 
sedikit pun. Alangkah kakunya itu bibir? 
Tak bisakah, untuk nyengir sedikit saja? 
Pikir Pandu. 

"Kalau temanmu itu masih kurang 
ajar lagi padaku, kubanting nyawanya biar 
keluar dari raga!" ancam Belati Binal.         
"Kau tak akan  berani"  ujar Pandu 
kalem, sengaja berkesan meremehkan. 
"Siapa bilang nggak berani hah? 
Siapa  bilang?!" Belati Binal  sewot dan 
segera hampiri Ken Warok. Tapi langkahnya 
terhenti setelah Ken Warok lari ke bela-
kang Pandu, punggung Pandu ditaboknya. 
"Jangan ngomong gitu, Goblok! Dia 
bisa benar-benar membunuhku!" 
Pandu hanya tertawa geli. Tawanya 
surut karena si gadis buka mulut, 
"Ken Warok, aku tak punya waktu la-
gi untuk bertenggang rasa padamu. Kuhi-
tung sampai tiga kali kalau kau tak mau 
tunjukkan di mana kitab itu disimpan oleh 
kakekmu, aku terpaksa mengirimu ke nera-
ka!" 
"Hei, sudah kubilang, namaku bukan 
Ken Warok!" kata Pandu agak ngotot.      
"Hmmm...! Aku tak mungkin salah. 
Saudara sepupumu tadi memberitahukan bah-
wa kau pergi ke arah sini bersama tamu 
istimewamu!" 
"Siapa yang kasih unjuk aku kemari? 
Jaitun?! Kurang ajar dia. Dibilangin jan-
gan ngomong sama siapa-siapa kok malah 
ngomong sama kuntilanak ini tuh anak? 
Awas nanti kalau aku pulang!" Ken Warok 
mencak-mencak. 
"Kalau tak kupaksa dengan pukulan 
'Racun Kejujuran', tak mungkin ia mau 
mengaku!" ucapnya sinis. Lalu katanya la-
gi sambil menatap Pandu dalam-dalam, 
"Apakah kau mau kupukul dengan 'Racun Ke-
jujuran'-ku ini?" 
"Silakan!" tantang Pandu Puber 
Baru saja mulut Pandu berhenti ber-
kata begitu, tiba-tiba pukulan 'Racun Ke-
jujuran' yang berupa seberkas sinar hijau 
mirip anak panah kecil itu melesat dari 
ujung jari tengah Belati Binal.  
Clapp...! 
Wuut...! Duarrr...! 
Rupanya Pendekar Romantis sudah 
siap juga dengan jurus penangkisnya. Ju-
rus 'Salam Sayang' dipergunakan oleh Pan-
du sebagai penangkisnya, yaitu dua kali 
sentakan tangan bergelombang tenaga dalam 
tinggi menghantam ke arah Belati Binal. 
Gelombang tenaga dalam dari tangan kiri 
menghantam sinar hijau dan meledak seke-
tika, gelombang tenaga dalam dari tangan 
kanan kenai bagian bawah pundak kanannya 
Belati Binal. Sentakan gelombang itu mem-
buat tubuh Belati Binal terhempas mundur 
tiga tindak. Limbung sesaat, hampir saja 
jatuh kalau tak segera berpegangan batang 
pohon. 
Belati Binal tarik napas. "Sakit 
juga dada kananku, Setan! Rupanya dia 
punya ilmu yang boleh diperhitungkan. Ge-
rakan begitu saja dapat menghancurkan pu-
kulan 'Racun Kejujuran'ku. Apakah aku ha-
rus gunakan jurus yang lebih tinggi lagi? 
Nanti kalau dia mati bagaimana?" pikir-
nya. 
"Racun apa lagi yang kau punya? Ka-
lau belum puas dan belum percaya bahwa 
aku bukan Ken Warok, keluarkanlah jurus 
racunmu lagi," kata Pendekar Romantis 
dengan agak jengkel. 
"Ayo, keluarkan lagi racunmu, aku 
siap mati di tangan gadis secantik kau, 
Belati Binal. Aku bangga mati di pelukan-
mu!" 
Belati Binal diam. Matanya meman-
dang tajam sekali. Ken Warok cemas, takut 
kalau Pandu terluka, maka ia segera le-
paskan pukulan jarak jauh berupa gelom-
bang dingin.  
Wusss...!  
Clapp...! 
Sinar kuning berbentuk bundar se-
perti kelereng lebih dulu menghantam dada 
Ken Warok, menerobos pukulan hawa dingin 
tersebut. Dess...! Ken Warok jatuh terku-
lai, tulangnya bagaikan dipresto seperti 
bandeng. Lunak semua. Napasnya masih ada 
dan terengah-engah dalam posisi bersandar 
di kaki pohon. 
"Pandu... Pandu... kenapa aku jadi 
begini?!" 
"Bangkit, Tolol!" 
"Tak... tak bisa. Tulangku... oh, 
tulangku di mana, Pandu?!" 
Pandu Puber segera pandangi Belati 
Binal dengan serius. Kelembutan sorot 
pandangnya berubah tajam bagaikan mata 
tombak. Suaranya pun terdengar lebih ber-
wibawa dari yang tadi. 
"Kau keterlaluan, Belati Binal! Kau 
telah bikin sahabat baruku jadi menderita 
begitu! Kau harus merasakan penderitaan 
yang sama!" 
Keseriusan Pandu Puber membuat hati 
Belati Binal berfirasat lain. "Tunggu du-
lu," katanya sambil mendekat. "Kudengar 
orang itu memanggilmu Pandu. Apakah... 
apakah..." 
"Aku yang bernama Pandu Puber, bu-
kan Ken Warok!" 
"Ooh...?!" Belati Binal tercengang, 
wajahnya menggambarkan rasa sesal dan se-
dikit gentar. Ia pandangi dada Pandu yang 
bertato bunga mawar itu, lalu hatinya 
membatin, 
"Astaga..., kenapa baru sekarang 
kuingat cerita orang-orang itu tentang 
ciri-ciri Pendekar Romantis yang bernama 
Pandu Puber ini?! Ya, ampun... kalau be-
gitu aku tadi benar-benar tolol! Pantas 
serangannya sederhana tapi membahayakan. 
Pantas wajahnya begitu menawan hatiku. 
Pantas...  ah, pokoknya apa saja pantas 
deh! Aduh, bagaimana sikapku berikutnya, 
ya? Aku jadi salting nih!"   
Saat mereka beradu pandang dan sal-
ing bungkam, tiba-tiba sekelebat bayangan 
terlihat melintas di sekitar situ. 
Wuuttt...! Mereka sama-sama kaget, dan 
lebih kaget lagi melihat Ken Warok hilang 
dari tempatnya. 
"Celaka!" geram Pandu Puber. 
"Seseorang telah menyambar temanmu 
itu! Kulihat ia bergerak ke lereng bu-
kit!" kata Belati Binal. 
Pandu Puber berseru memanggil, "Ken 
Warok...! Keeen...! Waroook...! Jawab se-
ruanku!" 
Tak ada suara apa pun kecuali suara 
Belati Binal yang tampak resah dan te-
gang, "Bayangan itu bergerak cepat. Pasti 
dia sudah membawa temanmu ke tempat yang 
jauh!" 
"Aku harus mengejarnya!" 
"Aku ikut...!" seru Belati Binal 
sambil berkelebat cepat, hampir menyamai 
gerakan Pandu yang pergunakan jurus 
'Angin Jantan' itu. 
EMPAT 
MEREKA kehilangan jejak. Gadis yang 
mengaku utusan dari Lembah Nirwana itu 
sengaja hentikan langkahnya. Tangannya 
menyambar lengan Pandu membuat si Pende-
kar Romantis jadi hentikan langkah pula. 
"Kita salah arah. Aku yakin orang 
itu tidak lari ke arah sini!" 
"Dari mana kau tahu?" 
"Bau keringat Ken Warok tidak kute-
mukan di daerah ini." 
"Bau keringat...?!" Pendekar Roman-
tis heran dan sedikit geli. 
"Penciumanku mudah mengenali bau 
keringat tiap orang, dan aku bisa hafal 
bau keringat satu persatu dari orang yang 
pernah kutemui." 
"Hebat!" gumam Pandu kagum. "Ilmu 
apa yang kau gunakan itu?" 
"Ini bukan ilmu, tapi suatu kelebi-
han yang sudah ada padaku sejak lahir. 
Bahkan aku masih ingat bau keringat dukun 
beranak yang menolong kelahiranku dulu!" 
"Ck, ck, ck, ck...," Pandu geleng-
geleng kepala. "Benar-benar kau seorang 
gadis pelacak yang cantik!" 
"Kau pikir aku anjing? Pakai isti-
lah pelacak segala! Kalau anjing pelacak 
memang ada, tapi kalau gadis pelacak...." 
"Kaulah orangnya!" sahut Pandu den-
gan senyum tipis menawan. Tapi Belati Bi-
nal tak membalas senyuman sedikit pun. 
Mesem sedikit pun tidak, sampai-sampai 
Pandu penasaran ingin melihat seperti apa 
si mungil yang cantik jelita itu jika 
tersenyum? 
Belati Binal berdiri di bawah po-
hon, tangan kirinya bersandar di batang 
pohon itu, tangan kanannya bertolak ping-
gang, matanya memandang sekeliling. Waktu 
itu Pandu Puber sedikit memunggungi Bela-
ti Binal untuk menyapu sekeliling dengan 
penglihatannya yang jeli. Kejap kemudian 
Pandu Puber berpaling memandang Belati 
Binal, tepat waktu gadis itu pandangi 
Pandu secara curi-curi. Gadis itu pun 
sempat menggeragap dan salah tingkah da-
lam membuang pandangan, namun ia berusaha 
agar tetap kelihatan serius dan  seakan 
berpikir tentang Ken Warok yang hilang 
itu. 
"Kurasa orangnya Ratu Cadar Jenazah 
yang bawa lari Ken Warok," ujar si gadis 
yang bajunya berbelahan dada agak lebar, 
sehingga sisi atas belahan dada itu ter-
lihat mengintip nakal dan menggemaskan 
Pandu Puber. 
"Bagaimana kau bisa yakin kalau Ken 
Warok dibawa lari oleh orangnya Ratu Ca-
dar Jenazah?" 
"Karena tak ada pihak lain yang in-
ginkan kitab itu kecuali pihakku dan pi-
hak Ratu Cadar Jenazah." 
Gumam lirih Pandu terdengar di sela 
anggukan kepala. Sesaat kemudian ia men-
cabut sehelai rumput berbatang kecil, se-
belum digigit-gigit ia berkata kepada Be-
lati Binal, 

"Apakah kau tahu persis tentang Ra-
tu Cadar Jenazah?" 
"Sangat tahu, karena dia adalah 
adik tiri guruku; Nyai Cemara Langit." 
"Ooo...," Pandu manggut-manggut la-
gi. "Apakah dulunya Nyai Cemara Langit 
satu perguruan juga dengan Ratu Cadar Je-
nazah dan Ki Mangut Pedas?" 
"Tidak. Tapi guruku tahu bahwa Ratu 
Cadar Jenazah mengincar Kitab Panca Lon-
gok milik Ki Mangut Pedas. Hal itu sudah 
diketahui lama oleh Guru, karena sebelum 
peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang 
lalu, Ratu Cadar Jenazah pernah terlepas 
bicara dengan Guru soal kitab yang diin-
carnya itu. Begitu mendengar Ki Mangut 
Pedas wafat, Guru segera menugaskan diri-
ku untuk selamatkan kitab itu agar jangan 
sampai jatuh di tangan Ratu Cadar Jena-
zah." 
Dahi si tampan beranting-anting sa-
tu itu mulai berkerut. Jaraknya dengan 
Belati Binal diperdekat lagi. Suaranya 
cukup pelan, tapi jelas didengar telinga 
si cantik yang tak budek itu. 
"Dari mana gurumu dapat kabar  ten-
tang kematian Ki Mangut Pedas? Karena 
akulah orang yang menguburkan jenazah Ki 
Mangut Pedas! Beliau ditemukan terkapar 
sendirian dalam keadaan sekarat. Masa' 
gurumu bisa tahu kalau Ki Mangut Pedas 
tewas? Padahal aku belum bicara kepada 
siapa pun sebelum aku tiba di desanya Ken 
Warok." 
Gadis tanpa senyum itu bicara ber-
nada ketus, tapi sebenarnya serius, "Se-
habis Tengkorak Tobat yang bertarung den-
gan Ki Mangut Pedas berhasil melukai la-
wannya, ia lari dalam keadaan luka bera-
cun. Ia bertemu dengan Guru yang saat itu 
sedang pulang dari lawatannya ke Pulau 
Kelambu. Tengkorak Tobat sujud di depan 
Guru dan mohon pertolongan atas luka ra-
cunnya, karena menurut perkiraan Tengko-
rak Tobat, racun itu akan merenggut nya-
wanya sebelum ia sampai di Bukit Gulana. 
Tengkorak  Tobat berjanji akan damaikan 
pertikaian lama antara Guru dengan adik 
tirinya itu. Guru pun obati Tengkorak To-
bat, lalu ia ceritakan sendiri bagaimana 
pertarungannya dengan Ki Mangut Pedas 
yang berhasil dilukai dengan golok bera-
cunnya. Golok beracun itu tidak akan bisa 
disembuhkan oleh obat apa pun, karena ob-
atnya hanya dimiliki oleh Tengkorak Tobat 
sendiri." 
Entah yang keberapa kali Pandu Pu-
ber manggut-manggut, antusias sekali den-
gan cerita yang dituturkan si gadis mun-
gil menggemaskan itu. Lalu, Pandu pun 
bertanya lagi dengan mata melirik kembali 
ke arah belahan dada si gadis yang syuuur 
itu, 
"Persoalan apa yang terjadi antara 
pihak gurumu dengan pihaknya Ratu Cadar 
Jenazah? Apakah aku boleh mengetahuinya?" 
Belati Binal menengok Pandu seben-
tar, lalu wajah dan matanya menghadap ke 
arah lain seperti semula. Agaknya dalam 
pertimbangan benak si gadis, tak ada je-
leknya jika ia ceritakan masalah yang 
mengakibatkan bentrokan antara pihaknya 
dengan pihak Ratu Cadar Jenazah. 
"Sebetulnya masalah pribadi, tapi 
akhirnya menjadi masalah antar golongan." 
Belati Binal menarik napas sebentar, po-
sisi duduknya berubah dengan menyandarkan 
punggung ke batang pohon dan kedua tan-
gannya bersidekap di dada. Matanya masih 
memandang arah lain, raut wajahnya tanpa 
senyum sedikit pun, berkesan cemberut te-
rus. 
"Ratu Cadar Jenazah membunuh ayah 
tirinya, karena sang ayah tiri tidak mau 
turunkan sebuah ilmu andalan yang amat 
diidam-idamkan Ratu Cadar Jenazah. Padah-
al ayah tirinya itu adalah ayah kandung-
nya Nyai Cemara Langit. Tentu saja Guru 
marah besar dan menantang Ratu Cadar Je-
nazah. Hampir saja Ratu Cadar Jenazah te-
was di tangan Guru. Untung ia disela-
matkan oleh Tengkorak Tobat dan dibawa 
lari. Sejak itulah Tengkorak Tobat menja-
di orang kepercayaan Ratu Cadar Jenazah. 
Tapi agaknya sang Ratu masih memendam 
dendam yang suatu saat. akan dilampiaskan 
kepada Guru. Satu-satunya ilmu yang dita-
kuti oleh Guru adalah ilmu dari Kitab 
Panca Longok. Maka ketika Guru mendengar 
Ki Mangut Pedas tewas di tangan Tengkorak 
Tobat, Guru menjadi khawatir kalau Kitab 
Panca Longok berhasil dikuasai oleh Ratu 
Cadar Jenazah. Maka aku diutus untuk te-
mui Ken Warok, mendesaknya untuk bisa da-
patkan kitab tersebut sebelum sang Ratu 
mendahuluinya." 
"Lalu, apakah Nyai Cemara Langit 
yakin bahwa permasalahannya dengan Ratu 
Cadar Jenazah bisa didamaikan oleh si 
Tengkorak Tobat?" 
"Guru hanya menolong orang yang se-
dang terdesak dan terancam bahaya, tanpa 
mengharapkan apa-apa dari si Tengkorak 
Tobat. Pada dasarnya, Guru mengikuti saja 
apa maunya si Ratu Cadar Jenazah. Berda-
mai mau, meneruskan pertarungan juga 
mau!" 
"Sikap yang baik itu," puji Pandu 
dalam gumam kecil. "Menurut rencana guru-
mu, apa yang akan dilakukan jika Kitab 
Panca Longok ada di tangannya? Dipelajari 
sendiri atau dihancurkan, atau malah di-
gadaikan ke orang lain?" 
Gadis pelacak itu diam saja. Entah 
apa yang dipikirkan. Tapi wajahnya tidak 
kelihatan seperti sedang memikir sesuatu. 
Ia mirip orang sedang melamun. Sebentar 
kemudian mirip orang mencium bau nasi 
hangus. Hidungnya mengendus-endus. Ma-
tanya melirik Pandu sebentar, lalu meman-
dang lurus ke depan bagaikan sedang mene-
rawang. 
Pendekar Romantis memendam kehera-
nan. Mengapa gadis cantik itu kini diam 
saja? Apakah karena pertanyaan Pandu me-
nyinggung perasaannya atau merupakan per-
tanyaan yang sangat pribadi? Menurut Pan-
du sendiri, pertanyaannya tidak terlalu 
pribadi. Cuma, mungkin gadis pelacak itu 
mempertimbangkan : apakah perlu memberi 
jawaban jujur atau jawaban palsu? Pandu 
Puber mencoba untuk bersabar menunggu, 
tapi lama-lama nggak sabar juga. Mau tak 
mau Pandu menanyakan hal itu. 
"Kenapa diam saja?" 
"Aku mencium bau keringat orang 
lain; bukan bau keringat kita berdua." 
Jawaban pelan itu mengerutkan dahi 
Pandu kian tajam.  
"Maksudmu bagaimana?" 
"Ada orang sedang mencuri percaka-
pan kita." 
Pandu mulai melirik ke sana-sini 
sambil berbisik, "Di mana orang itu?" 
"Di arah belakangku!" jawab Belati 
Binal yang tiba-tiba berbalik arah secara 
cepat dan melepaskan pukulan bersinar me-
rah dari telapak tangan kanannya yang 
disentakkan ke depan. 
Wuuutt...! Blaarr...! 
Semburan sinar merah terang berpen-
dar menyebar dari semak-semak yang dihan-
tamnya, bersamaan dengan itu meledaklah 
tempat tersebut bagai dipasangi granat. 
Dari ledakan tersebut melesat sesosok tu-
buh berkelebat dan berjungkir balik di 
udara dua kali.  
Wuuk... wuukk...! 
Sepasang kaki mendarat di depan 
Pandu Puber dan Belati Binal. Sepasang, 
kaki itu sedikit merenggang, bercelana 
putih dengan bajunya yang putih pula, ta-
pi dirangkapi baju jubah lengan panjang 
warna abu-abu. Orang itu adalah seorang 
lelaki berusia sekitar empat puluh tahu-
nan, rambutnya tidak terlalu panjang tapi 
diikat memakai kain hitam. Di pinggangnya 
yang bersabuk hitam terselip sebilah go-
lok bergagang hitam pula. 
Lelaki berwajah sangar dengan badan 
besar dan agak tinggi itu memancarkan si-
nar matanya ke arah Belati Binal, karena 
gadis itulah yang menyapa kemunculannya 
lebih dulu. Sedangkan Pandu Puber masih 
tampak kalem, berdiri dalam jarak satu 
langkah di samping kanan si gadis pelacak 
itu. 
"Dupa Dulang, apa maksudmu cari 
perkara di depanku, hah?!" 
Orang berkumis lebat itu menjawab, 
"Aku tak bermaksud cari perkara denganmu, 
Belati Binal. Tapi kau sendiri yang cari 
masalah dengan cara menyerangku secara 
tiba-tiba!" 
"Kalau kau tak mencuri dengar per-
cakapanku, aku tak akan menyerangmu, Dupa 
Dulang!" 
Dupa Dulang diam tak membalas uca-
pan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh 
Pandu untuk bertanya kepada Belati Binal 
dalam suara berbisik, 
"Siapa orang itu?"  
"Namanya Dupa Dulang, orang Pergu-
ruan Tanduk Singa. Gurunya yang bernama 
Dalang Setan adalah orang yang sedang be-
rusaha menundukkan hati Ratu Cadar Jena-
zah. Tentunya dia ada di pihak Ratu Cadar 
Jenazah untuk mengambil perhatian perem-
puan tersebut." 
"O, jadi Ratu Cadar Jenazah dapat 
bantuan dari Dalang Setan?" 
"Benar. Apakah kau ciut nyali?" 
Pandu Puber tidak menjawab selain 
tersenyum kalem, masih menggigit-gigit 
rumput. Ia sempat berbisik, 
"Apakah kau merasa sanggup hadapi 
dia?" 
"Kenapa tidak?! Mundurlah, biar ku-
selesaikan urusan ini dengannya!" 
Pendekar Romantis bukan pendekar 
yang gila bertarung. Ia selalu memberi 
kesempatan kepada pihak lain untuk laku-
kan pertarungan semasa pihak lain itu me-
rasa sanggup selesaikan urusannya. Jika 
memang sudah tidak sanggup, Pandu Puber 
biasanya tampil tanpa diminta oleh yang 
bersangkutan. Itulah sebabnya Pandu Puber 
mundur agak jauh dari gadis pelacak itu, 
dan menunggu bagaimana hasil kerja si ga-
dis pelacak tersebut. 
"Dupa Dulang, sebenarnya apa mak-
sudmu mencuri percakapanku tadi? Jawab 
saja dengan jujur!" 
Dupa Dulang tarik napas dengan mata 
masih tampak sangar dan sesekali melirik 
ke  arah Pandu Puber. Tak lama kemudian 
terdengar suaranya yang besar itu. 

"Aku hanya sekadar lewat saja. Tak 
bermaksud membayangimu, Belati Binal." 
"Kalau memang kau hanya sekadar le-
wat dan kebetulan saja telah mojok di ba-
lik semak tadi, sekarang kuizinkan kau 
meneruskan perjalananmu!" 
"Lalu bagaimana dengan Kitab Panca 
Longok itu?"  
Pandu dan Belati Binal sempat sal-
ing pandang sejenak. Belati Binal akhir-
nya berkata, 
"Aku tak akan lanjutkan perjalanan 
sebelum temukan seorang anak muda yang 
bernama Ken Warok!" 
"Untuk apa kau mencari Ken Warok?" 
"Tanyakan pada guruku sendiri; Si 
Dalang Setan. Yang jelas salah satu tugas 
perjalananku adalah mencari tahu di mana 
Kitab Panca Longok berada." 
"Apakah gurumu juga inginkan kitab 
itu?" 
"Ya. Sebagai mas kawin untuk mela-
mar Ratu Cadar Jenazah." 
"Kalau begitu, akulah penghalangmu 
dan kau adalah penghalangku, Dupa Du-
lang!" kata Belati Binal dengan tegas se-
kali. 
Pandu sendiri memujinya dalam hati, 
menilai Belati Binal gadis yang tak punya 
rasa takut kepada lawan seperti apa pun. 
Kalah-menang ia akan lakukan dulu perta-
rungan tersebut. Jadi tak pernah memikir-
kan hasil akhir dari pertarungannya nan-
ti. 
"Aku punya gagasan baru," pikir 
Pendekar Romantis. "Mumpung Belati Binal 
sedang berhadapan dengan Dupa Dulang, se-
baiknya aku segera menuju ke puncak bukit 
itu. Aku harus mencari sebuah gua yang 
ciri-cirinya seperti diceritakan Ken Wa-
rok dalam perjalanan tadi. Aku harus sam-
bar dulu kitab itu sebelum disambar orang 
yang membawa lari Ken Warok! Sebaiknya 
hal ini kulakukan secara diam-diam supaya 
kedua orang itu tidak mengejarku dengan 
curiga." 
Belum sempat bergegas pergi, tahu-
tahu Pandu Puber terpental ke arah bela-
kang sekitar empat tindak dari tempatnya 
berdiri. Gara-garanya, Dupa Dulang dan 
Belati Binal sama-sama menguji ilmu mere-
ka. Sebuah pukulan bersinar merah dari 
tangan Belati Binal dilepaskan. Sinar me-
rah memanjang lurus itu dihantam dengan 
sinar merah pula dari tangan Dupa Dulang. 
Clap, clap...! Blegar...! 
Gelombang daya ledak benturan dua 
sinar merah itu membuat kepalanya pun sa-
ma-sama terpental. 
Kejap berikutnya, kedua orang itu 
sudah sama-sama bangkit pula. Pandu Puber 
malah terlambat bangkit karena saat jatuh 
tadi kepalanya sempat terbentur batu dan 
merasa pusing sedikit. Saat si tampan itu 
bangkit, ternyata Belati Binal sudah le-
paskan serangan lagi kepada Dupa Dulang. 
Sebuah sentakan kaki ke tanah mem-
buat tubuh gadis cantik yang tak mau ter-
senyum sejak tadi itu melesat ke udara 
dan bersalto dua kali. Pada putaran salto 
nya yang kedua, ia melemparkan sebilah 
pisau yang saat dicabutnya tak ketahuan 
gerakannya. 
Wuuutt...! 
Trang...! Pisau itu mental ke sisi 
kiri pupa Dulang, menancap di salah satu 
pohon. Jraab...! Sementara itu Pandu Pu-
ber clingak-clinguk cari kesempatan untuk 
lari ke arah puncak. 
Rupanya Dupa Dulang pun cukup tang-
kas dalam mencabut golok dan mengibaskan-
nya. Pisau itu bisa dibuang di samping 
oleh kibasan golok Dupa Dulang. Namun pa-
da saat itu, ketika Belati Binal daratkan 
kakinya ke tanah, ia sudah menggenggam 
sebilah pisau agak panjang, seukuran dari 
siku ke pergelangan tangan. Kedua tangan-
nya berkelebat ke sana-sini dengan lin-
cah, membuat Dupa Dulang sempat bingung 
menghadang jurus 'Pisau Kilat'-nya si Be-
lati Binal. Akibatnya, lelaki berwajah 
sangar itu melompat mundur sekitar seten-
gah tombak untuk pandangi kelemahan gerak 
lawannya. 
Selagi sibuk-sibuknya Belati Binal 
hadapi Dupa Dulang itulah Pandu Puber me-
lesat pergi dengan pergunakan jurus 
'Angin Jantan' yang kecepatannya menyamai 
kecepatan badai mengamuk, bahkan terka-
dang bisa melebihi kecepatan kilatan ca-
haya petir. 
Trang, trang, breet...! 
Belati Binal menangkis sabetan go-
lok lawannya dua kali. Gerakan pisau di 
tangannya bagaikan besi panjang yang me-
lapisi setiap tubuhnya. Malahan ketika 
golok datang dari atas dan pisau menang-
kis hanya sekelebat, tahu-tahu pisau itu 
bergerak menyabet dari bawah ke atas dan 
robeklah bagian perut buncit si Dupa Du-
lang. 
"Aaahg...!" Dupa Dulang mendelik, 
lalu menyeringai menahan rasa sakit. Pada 
waktu itu tubuh Belati Binal sempat me-
lenting di udara satu kali kemudian ber-
salto dua kali lagi.  
Wuk, wuk...! Jleeg...! 
"Kuperingatkan padamu, Dupa Du-
lang," kata Belati Binal menghardik la-
wannya, "... jika kau masih ingin punya 
niat merebut kitab itu dari tangan Ken 
Warok, maka keselamatan nyawamu tak akan 
kujamin. Tapi jika kau pulang dan tidak 
ikut campur dalam masalah ini, maka kese-
lamatanmu dalam perjalanan akan kujamin!" 
"Persetan dengan kata-katamu! Teri-
malah jurus 'Golok Singasana' ini! 
Heaaat." Dupa Dulang berkelebat menerjang 
gadis cantik itu. Namun tiba di pertenga-
han jarak ia jatuh sendiri dari keting-
gian gerakan layangnya itu. Brrukk...! 
Kulit tubuh Dupa Dulang menjadi 
berbintik-bintik hitam seperti berjamur. 
Dupa Dulang sendiri tak bisa sembunyikan 
lagi kecemasannya. Ia pandangi luka di 
bagian perutnya yang memanjang dari bawah 
ke atas. Ternyata luka itu cepat menjadi 
kehitam-hitaman. 
"Celaka! Aku kena racun di ujung 
pisau itu. Wah, gawat nih kalau begini! 
Oh, badanku jadi menggigil seperti orang 
kedinginan. Kulitku..., ya ampun, kulitku 
malah jadi seperti kulit kodok?! Hemm..., 
sebaiknya aku pulang ke perguruan dulu, 
selain melaporkan hal ini juga meminta 
obat pada Guru untuk melawan kekuatan ra-
cun yang sudah telanjur mengalir bersama 
darahku ini!" 
Wuuuts...! Ia melesat seperti see-
kor rusa melesat masuk ke persembunyian-
nya manakala didatangi manusia. 
"Hei, jangan lari kau! Tanggung 
nih...!" seru Belati Binal, tapi seruan 
itu tidak dihiraukan oleh Dupa Dulang. 
Lelaki itu tetap berlari dengan secepat-
cepatnya. Kalau bisa sih maunya terbang 
saja, tapi mengingat biaya penerbangan 
mahal dan tak terjangkau olehnya, maka 
Dupa Dulang harus kerahkan tenaga untuk 
berlari sambil menahan sakit dalam tubuh-
nya. 

Sayang sekali Pandu terburu-buru 
pergi. Coba kalau tidak, ia akan dapat 
melihat jurus lincahnya si Belati Binal. 
Melihat di situ tak ada Pandu, maka Bela-
ti Binal pun pergunakan indera penciuman-
nya untuk segera berlari ke arah bau ke-
ringat Pandu Puber. 
Tapi apakah Belati Binal dapat me-
nemukan Pandu dan Pandu sendiri apakah 
bisa menemukan gua tempat penyimpanan ki-
tab pusaka tersebut.