TIGA
SETELAH Pendekar Romantis mele-
paskan pukulan jarak jauhnya ke arah se-
mak-semak itu, sang semak-semak buyar se-
ketika. Sesosok tubuh melayang bersalto
dari balik semak.
Wukk, wukk...! Jlegg! Kini ia ber-
diri di depan Pandu Puber dan Ken Warok.
Kemunculan itu membuat dua pemuda beda
kwalitas tampang itu sama-sama terbengong
sesaat. Terkesima memandangi wajah ayu di
depan mata mereka.
Wajah ayu itu milik seorang gadis
berusia sekitar dua puluh tahun, matanya
bundar indah, bibirnya mungil, hidungnya
kecil bangir, karena wajah itu memang wa-
jah mungil yang cantik sekali, enak di-
pandang mata. Beda dengan wajahnya Ken
Warok; enak dicolok matanya
Gadis cantik bertubuh seksi dengan
bagian dadanya melenuk mirip mangkok bak-
so itu, mengenakan pakaian serba biru.
Biru muda yang cerah. Kontras dengan war-
na kulitnya yang kuning langsat. Gadis
itu mengenakan ikat pinggang yang punya
pisau cukup banyak. Hampir seluruh ping-
gangnya dilingkari dengan pisau, ada yang
besar ada yang sedang, ada yang kecil.
Andai tak cantik, ia mirip pedagang ke-
liling door to door. Tetapi dengan rambut
disanggul kecil di bagian tengah, sisanya
dibiarkan meriap sepanjang punggung.
Meski wajahnya tanpa senyum tapi
kecantikannya justru tampak menggemaskan
bagi Pandu Puber. Sejak tadi yang dipan-
dangi bagian bibir si gadis dan permukaan
mangkok baksonya itu. Maklum, pendekar
yang satu ini memang punya mata nakal dan
otak sedikit seronok, sehingga hobinya
mengincar tempat-tempat yang mestinya tak
boleh dipegang sembarang orang. Jika su-
dah memandang ke arah sana, Pandu sering
lupa daratan dan lupa lautan. Malah ka-
dang-kadang ia sering lupa berkedip.
"Biar kuhadapi dia. Lama-lama bisa
kurang ajar kalau didiamkan terus," ujar
Ken Warok dengan lagak sok berani.
"Hmmm..., giliran tahu musuhnya ce-
wek mau main seruduk aja!" gumam hati
Pandu. Ia biarkan Ken Warok mendekati ga-
dis cantik itu.
"Nona cantik, apa maksudmu melempar
pisau kepadaku, hah?! Apakah begitu cara-
mu kalau naksir seseorang?!"
Gadis itu masih diam saja. Matanya
memandang makin tajam. Kedua tangannya
dicantolkan pada ikat pinggang, kedua ka-
kinya sedikit merenggang, kelihatan tegar
dan siap tarung. Mata itu sengaja dituju-
kan tajam-tajam ke arah Ken Warok. Makin
lama makin membuat hati Ken Warok ciut
sendiri dan mulai salah tingkah antara
ngeri dan berani, antara takut dan ingin
ikut. Sesekali ia melihat Pandu Puber,
dan hatinya menjadi tenang saat ia tahu
Pandu masih di situ. Pandu sendiri senga-
ja diam, memberi kesempatan pada Ken Wa-
rok sambil pelajari sikap si gadis cantik
itu.
Ken Warok yang salah tingkah itu
akhirnya berkata lagi, "Nona cantik, apa-
kah kau tuli sehingga tak bisa mendengar
pertanyaanku tadi?"
Gadis itu tetap diam, merapatkan
kedua bibirnya yang menggemaskan Pandu
sejak tadi. Matanya sesekali melirik ke
arah Pendekar Romantis. Hanya sekilas-
sekilas saja tapi membuat sang pendekar
tampan berdebar-debar indah.
Ken Warok berkata lagi kepada gadis
itu, "Apa maksudmu datang kemari dengan
lempar-lempar pisau, hah? Kayak anak ke-
cil aja! Apa nggak punya mainan lain?!
Lain kali nggak boleh begitu, ya?" Ken
Warok berlagak seperti guru yang ngomelin
muridnya karena nggak kerjakan 'PR'. Tapi
gadis itu justru berkata dengan nada ke-
tus yang tidak ada hubungannya dengan
pertanyaan Ken Warok tadi.
"Siapa di antara kalian berdua yang
bernama Ken Warok?!"
Ken Warok bertanya pada Pendekar
Romantis, "Siapa nih enaknya? Kau atau
aku yang bernama Ken Warok?"
Senyum di bibir sang pendekar gan-
teng tipis saja, namun sempat bikin mata
si gadis cepat-cepat di lemparkan ke wa-
jah Ken Warok. Lalu terdengar suara Pandu
berkata kepada Ken Warok,
"Jujur sajalah. Nggak perlu pura-
pura, nanti dia malah lebih galak lagi."
"Makin galak makin cantik lho. Sum-
pah kempot deh!"
"Jawab pertanyaanku!" bentak gadis
itu. Ken Warok tersentak hampir lompat di
tempat. Ia jadi makin malu, kemudian
nyengir sambil garuk-garuk kepala. Pandu
tertawa pula sambil tetap gigit-gigit
rumput.
"Akulah orang yang kau cari. Aku
yang bernama Ken Warok!"
"Bohong!" sentak gadis itu lagi.
"Pasti dia, yang pakai anting-anting satu
itu!" sambil menuding Pandu. Tentu saja
Pandu makin geli dalam tawanya yang tanpa
suara itu. Ken Warok memandang Pandu den-
gan bingung, lalu memandang gadis itu la-
gi dengan dahi berkerut dan sedikit ngo-
tot,
"Hei, Nona... yang namanya Ken Wa-
rok itu ya aku ini!" katanya sambil mene-
puk dada.
"Mana pantas wajah sepertimu jadi
kunci rahasia Kitab Panca Longok?! KI
Mangut Pedas nggak akan sudi punya murid
bego kayak kamu!"
"Yeee... nggak percaya nih anak?!"
gumam Ken Warok dengan meringis kecut.
Gadis itu melangkah dekati Pandu
Puber dan berhenti dalam jarak empat
langkah di depan si ganteng berbaju ungu
itu. Lalu suaranya yang ketus terdengar
bernada sok tegas,
"Mengakulah, pasti kau si murid
Mangut Pedas itu, kan?!"
"Bukan aku yang bernama Ken Warok,
melainkan dia!"
"Bohong besar kau! Kiramu aku ini
anak kecil yang mudah ditipu?"
Ken Warok menyahut kata, "Nona...
hei, aku inilah yang bernama Ken Warok
dan tahu seluk-beluk tentang kitab terse-
but!"
"Diam kau!" bentak gadis itu. Bera-
ni sekali ia menuding Ken Warok dengan
mata mendelik lincah dan bikin betah be-
gitu. Agaknya dia benar-benar tidak pedu-
li lagi dengan keberadaan Ken Warok di
situ. Langsung saja ia bergerak lebih de-
kat pada Pandu Puber dan dalam jarak satu
langkah ia berkata tegas,
"Bicaralah! Jangan hanya bengong
saja kayak monyet ompong! Katakan di mana
kitab itu, hah?!"
Dengan tenang dan iringan senyum
menawan, Pandu Puber justru balik ber-
tanya, "Siapa kau sebenarnya, Nona? Men-
gapa kau sekeras itu menganggapku sebagai
Ken Warok?"
"Jangan berlagak pilon!" bentaknya
dengan wajah semakin ketus. "Katakan sa-
ja, di mana kitab itu disimpan oleh ka-
kekmu! Kau pasti tahu, Ken Warok!"
Ken Warok geleng-geleng kepala an-
tara jengkel dan geli. Ia dekati gadis
itu dari belakang dan ia colek punggung-
nya, tapi niat tersebut terpaksa gagal
karena tiba-tiba kaki gadis itu menendang
ke belakang tanpa memandang yang diten-
dang. Wuut...! Buhgg...!
"Heggh...." Ken Warok mendelik, tu-
buhnya mental sejauh empat langkah ke be-
lakang dan jatuh terkapar dalam keadaan
seperti dibanting. Bhaggh...!
Ken Warok diam seketika. Matanya
berkedip-kedip memandang langit. Mulutnya
hanya bisa terbuka, tapi suaranya tak
mampu keluar karena napasnya bagaikan
tersumbat di tenggorokan dan hidung. Pan-
du Puber kian tersenyum geli melihat Ken
Warok terkapar begitu. Si gadis sendiri
tidak memandang Ken Warok sedikit pun.
Seakan begitu cueknya dengan hasil ten-
dangannya tadi. Yang dipandangi adalah
Pandu dan pandangan itu tak mau bergeser
sedikit pun. Tajam, tapi juga menyimpan
tendensi tertentu.
Akhirnya pendekar tampan kembali
pandangi wajah di depannya yang amat de-
kat sekali itu. Hanya satu ayunan maju
saja bibir bisa langsung nyosor bibir si
gadis. Tapi Pandu punya perhitungan, jika
saat itu ia langsung menyosorkan diri ke
bibir si gadis, maka tangan si gadis da-
pat bergerak menghantamnya dengan cepat.
Karena Pandu tahu, gadis itu punya kece-
patan gerak cukup tinggi. Terlihat saat
ia menendang Ken Warok, gerakan kakinya
nyaris tak terlihat menendang ke dada Ken
Warok.
"Baru sekarang aku melihat kecanti-
kan yang sempurna. Ck, ck, ck...!" Pandu
berdecak sambil geleng-geleng kepala. Ga-
dis itu merasa tersanjung, tapi berlagak
tak suka sanjungan itu. Ia mencibir si-
nis, membuang pandangan ke arah lain. Se-
mentara itu Ken Warok bergegas bangkit
perlahan-lahan sambil menyeringai, mera-
sakan sisa sakit yang masih tertinggal di
dada.
Pandu sengaja pandangi gadis itu
dengan sorot pandangan mata yang lembut,
tutur katanya pun terdengar pelan dan pe-
nuh kelembutan, "Kurasa kau orangnya Ratu
Cadar Jenazah, Kuakui sang Ratu cukup
pandai memilih utusan secantik kau, Nona.
Pria mana yang tak akan luluh hatinya me-
lihat kecantikanmu? Sekalipun sebenarnya
hatiku sudah kutahan untuk tidak menyerah
padamu, nyatanya aku tak bisa menahan ke-
kerasan hatiku demi melihat kecantikanmu
dari jarak sedekat ini."
"Aku bukan orangnya Ratu Cadar Je-
nazah!" ketus gadis itu.
"Ah, kau sembunyikan identitasmu,
Nona. Tak perlu berbohong, nanti nilai
kecantikanmu berkurang."
"Aku nggak bohong! Aku memang bukan
orangnya Ratu Cadar Jenazah. Aku utusan
dari Lembah Nirwana. Namaku.... Belati
Binal."
Pandu tertawa seperti orang menggu-
mam. Ia melangkah tinggalkan gadis itu,
namun hanya tiga langkah segera berhenti
dan berbalik lagi, memandang penuh peso-
na, membuat sang gadis menjadi gundah.
"Akhirnya kau mengaku juga siapa
dirimu," kata Pandu pelan bagaikan menge-
jek. Belati Binal kian mengetuskan mulut-
nya pertanda dongkol terhadap pancingan
Pandu tadi. Ia bergegas maju dengan me-
nampakkan kegalakannya yang dipaksakan,
lalu menghardik dengan suara geram,
"Jangan mempermainkan diriku, Ken
Warok!"
Pandu sempat berpikir, "Jangan-
jangan dia bidadari Dian Ayu Dayen, calon
istriku itu? Ah, benarkah dia jelmaan Di-
an Ayu Dayen? Aku kok jadi curiga?"
Dian Ayu Dayen adalah bidadari pen-
guasa kecantikan yang selalu membayang-
bayangi Pandu Puber. Anak Dewa Batara Ka-
ma itu memang ditugaskan oleh sang Ayah
untuk menundukkan Dian Ayu Dayen dan men-
gawininya. Karena jika Pandu Puber menga-
wini Pandu, sang bidadari penguasa kecan-
tikan itu, maka ia akan hidup di kayangan
di antara para dewa dan berhak mengguna-
kan namanya sebagai Dewa Indo. Tapi jika
Pandu kawin dengan perempuan lain, maka
ia tak akan bisa naik ke kayangan dan ia
akan menjadi manusia biasa, tanpa gelar
kebangsaan sebagai Dewa Indo.
Dalam perjalanannya mencari sang
calon istri, Pandu Puber selalu dibayang-
bayangi Dian Ayu Dayen yang dapat menjel-
ma sebagai perempuan dengan seribu macam
kecantikan. Dian Ayu Dayen mempunyai se-
tangkai bunga mawar yang terselip di ce-
lah gumpalan dadanya. Tugas Pandu Puber
adalah mencabut bunga mawar itu sebagai
tanda ditundukkannya kekuatan sang bida-
dari tersebut. Namun Pandu selalu saja
tak berhasil menjebak penyamaran Dian Ayu
Dayen, (Cerita soal bidadari itu nongol-
nya di serial Pendekar Romantis dalam ki-
sah: "Hancurnya Samurai Cabul" - intip
deh sana!).
Karena itu tak heran jika Pandu Pu-
ber mempunyai kecurigaan bahwa Belati Bi-
nal adalah jelmaan Dian Ayu Dayen. Pandu
ingat kata-kata Dian Ayu Dayen kala men-
janjikan sebentuk keindahan yang kira-
kira bunyinya begini:
"Kecantikanku ada di antara wajah-
wajah di sekelilingmu. Kecup keningku dan
aku akan berubah menjadi wujud asliku.
Jika kau dapat cabut bunga mawar yang
tumbuh di dadaku ini, maka kau akan ku-
renggut dalam pelukanku selama-lamanya."
Kira-kira begitu bunyi janji sang bidada-
ri yang cantiknya "wow' sekali itu, (Coba
aja baca serial Pendekar Romantis epi-
sode: "Skandal Hantu Putih" - nggak dosa)
Pandu sadar dari renungannya sete-
lah ia melihat tubuh Ken Warok berkelebat
di depan hidungnya.
Wuuut...! Orang kurus itu jatuh
terbanting lagi. Bruhgg...! Wajahnya me-
nyeringai sambil memandang Pandu yang
terbengong kaget.
"Kenapa lagi kau? Ayan?!"
"Ayan gundulmu! Aku dibanting dia
lagi hanya karena ngajak senyum!"
Geli juga hati Pandu melihat geru-
tuan Ken Warok. Ia pandangi si Belati Bi-
nal, ternyata gadis itu tak punya senyum
sedikit pun. Alangkah kakunya itu bibir?
Tak bisakah, untuk nyengir sedikit saja?
Pikir Pandu.
"Kalau temanmu itu masih kurang
ajar lagi padaku, kubanting nyawanya biar
keluar dari raga!" ancam Belati Binal.
"Kau tak akan berani" ujar Pandu
kalem, sengaja berkesan meremehkan.
"Siapa bilang nggak berani hah?
Siapa bilang?!" Belati Binal sewot dan
segera hampiri Ken Warok. Tapi langkahnya
terhenti setelah Ken Warok lari ke bela-
kang Pandu, punggung Pandu ditaboknya.
"Jangan ngomong gitu, Goblok! Dia
bisa benar-benar membunuhku!"
Pandu hanya tertawa geli. Tawanya
surut karena si gadis buka mulut,
"Ken Warok, aku tak punya waktu la-
gi untuk bertenggang rasa padamu. Kuhi-
tung sampai tiga kali kalau kau tak mau
tunjukkan di mana kitab itu disimpan oleh
kakekmu, aku terpaksa mengirimu ke nera-
ka!"
"Hei, sudah kubilang, namaku bukan
Ken Warok!" kata Pandu agak ngotot.
"Hmmm...! Aku tak mungkin salah.
Saudara sepupumu tadi memberitahukan bah-
wa kau pergi ke arah sini bersama tamu
istimewamu!"
"Siapa yang kasih unjuk aku kemari?
Jaitun?! Kurang ajar dia. Dibilangin jan-
gan ngomong sama siapa-siapa kok malah
ngomong sama kuntilanak ini tuh anak?
Awas nanti kalau aku pulang!" Ken Warok
mencak-mencak.
"Kalau tak kupaksa dengan pukulan
'Racun Kejujuran', tak mungkin ia mau
mengaku!" ucapnya sinis. Lalu katanya la-
gi sambil menatap Pandu dalam-dalam,
"Apakah kau mau kupukul dengan 'Racun Ke-
jujuran'-ku ini?"
"Silakan!" tantang Pandu Puber
Baru saja mulut Pandu berhenti ber-
kata begitu, tiba-tiba pukulan 'Racun Ke-
jujuran' yang berupa seberkas sinar hijau
mirip anak panah kecil itu melesat dari
ujung jari tengah Belati Binal.
Clapp...!
Wuut...! Duarrr...!
Rupanya Pendekar Romantis sudah
siap juga dengan jurus penangkisnya. Ju-
rus 'Salam Sayang' dipergunakan oleh Pan-
du sebagai penangkisnya, yaitu dua kali
sentakan tangan bergelombang tenaga dalam
tinggi menghantam ke arah Belati Binal.
Gelombang tenaga dalam dari tangan kiri
menghantam sinar hijau dan meledak seke-
tika, gelombang tenaga dalam dari tangan
kanan kenai bagian bawah pundak kanannya
Belati Binal. Sentakan gelombang itu mem-
buat tubuh Belati Binal terhempas mundur
tiga tindak. Limbung sesaat, hampir saja
jatuh kalau tak segera berpegangan batang
pohon.
Belati Binal tarik napas. "Sakit
juga dada kananku, Setan! Rupanya dia
punya ilmu yang boleh diperhitungkan. Ge-
rakan begitu saja dapat menghancurkan pu-
kulan 'Racun Kejujuran'ku. Apakah aku ha-
rus gunakan jurus yang lebih tinggi lagi?
Nanti kalau dia mati bagaimana?" pikir-
nya.
"Racun apa lagi yang kau punya? Ka-
lau belum puas dan belum percaya bahwa
aku bukan Ken Warok, keluarkanlah jurus
racunmu lagi," kata Pendekar Romantis
dengan agak jengkel.
"Ayo, keluarkan lagi racunmu, aku
siap mati di tangan gadis secantik kau,
Belati Binal. Aku bangga mati di pelukan-
mu!"
Belati Binal diam. Matanya meman-
dang tajam sekali. Ken Warok cemas, takut
kalau Pandu terluka, maka ia segera le-
paskan pukulan jarak jauh berupa gelom-
bang dingin.
Wusss...!
Clapp...!
Sinar kuning berbentuk bundar se-
perti kelereng lebih dulu menghantam dada
Ken Warok, menerobos pukulan hawa dingin
tersebut. Dess...! Ken Warok jatuh terku-
lai, tulangnya bagaikan dipresto seperti
bandeng. Lunak semua. Napasnya masih ada
dan terengah-engah dalam posisi bersandar
di kaki pohon.
"Pandu... Pandu... kenapa aku jadi
begini?!"
"Bangkit, Tolol!"
"Tak... tak bisa. Tulangku... oh,
tulangku di mana, Pandu?!"
Pandu Puber segera pandangi Belati
Binal dengan serius. Kelembutan sorot
pandangnya berubah tajam bagaikan mata
tombak. Suaranya pun terdengar lebih ber-
wibawa dari yang tadi.
"Kau keterlaluan, Belati Binal! Kau
telah bikin sahabat baruku jadi menderita
begitu! Kau harus merasakan penderitaan
yang sama!"
Keseriusan Pandu Puber membuat hati
Belati Binal berfirasat lain. "Tunggu du-
lu," katanya sambil mendekat. "Kudengar
orang itu memanggilmu Pandu. Apakah...
apakah..."
"Aku yang bernama Pandu Puber, bu-
kan Ken Warok!"
"Ooh...?!" Belati Binal tercengang,
wajahnya menggambarkan rasa sesal dan se-
dikit gentar. Ia pandangi dada Pandu yang
bertato bunga mawar itu, lalu hatinya
membatin,
"Astaga..., kenapa baru sekarang
kuingat cerita orang-orang itu tentang
ciri-ciri Pendekar Romantis yang bernama
Pandu Puber ini?! Ya, ampun... kalau be-
gitu aku tadi benar-benar tolol! Pantas
serangannya sederhana tapi membahayakan.
Pantas wajahnya begitu menawan hatiku.
Pantas... ah, pokoknya apa saja pantas
deh! Aduh, bagaimana sikapku berikutnya,
ya? Aku jadi salting nih!"
Saat mereka beradu pandang dan sal-
ing bungkam, tiba-tiba sekelebat bayangan
terlihat melintas di sekitar situ.
Wuuttt...! Mereka sama-sama kaget, dan
lebih kaget lagi melihat Ken Warok hilang
dari tempatnya.
"Celaka!" geram Pandu Puber.
"Seseorang telah menyambar temanmu
itu! Kulihat ia bergerak ke lereng bu-
kit!" kata Belati Binal.
Pandu Puber berseru memanggil, "Ken
Warok...! Keeen...! Waroook...! Jawab se-
ruanku!"
Tak ada suara apa pun kecuali suara
Belati Binal yang tampak resah dan te-
gang, "Bayangan itu bergerak cepat. Pasti
dia sudah membawa temanmu ke tempat yang
jauh!"
"Aku harus mengejarnya!"
"Aku ikut...!" seru Belati Binal
sambil berkelebat cepat, hampir menyamai
gerakan Pandu yang pergunakan jurus
'Angin Jantan' itu.
EMPAT
MEREKA kehilangan jejak. Gadis yang
mengaku utusan dari Lembah Nirwana itu
sengaja hentikan langkahnya. Tangannya
menyambar lengan Pandu membuat si Pende-
kar Romantis jadi hentikan langkah pula.
"Kita salah arah. Aku yakin orang
itu tidak lari ke arah sini!"
"Dari mana kau tahu?"
"Bau keringat Ken Warok tidak kute-
mukan di daerah ini."
"Bau keringat...?!" Pendekar Roman-
tis heran dan sedikit geli.
"Penciumanku mudah mengenali bau
keringat tiap orang, dan aku bisa hafal
bau keringat satu persatu dari orang yang
pernah kutemui."
"Hebat!" gumam Pandu kagum. "Ilmu
apa yang kau gunakan itu?"
"Ini bukan ilmu, tapi suatu kelebi-
han yang sudah ada padaku sejak lahir.
Bahkan aku masih ingat bau keringat dukun
beranak yang menolong kelahiranku dulu!"
"Ck, ck, ck, ck...," Pandu geleng-
geleng kepala. "Benar-benar kau seorang
gadis pelacak yang cantik!"
"Kau pikir aku anjing? Pakai isti-
lah pelacak segala! Kalau anjing pelacak
memang ada, tapi kalau gadis pelacak...."
"Kaulah orangnya!" sahut Pandu den-
gan senyum tipis menawan. Tapi Belati Bi-
nal tak membalas senyuman sedikit pun.
Mesem sedikit pun tidak, sampai-sampai
Pandu penasaran ingin melihat seperti apa
si mungil yang cantik jelita itu jika
tersenyum?
Belati Binal berdiri di bawah po-
hon, tangan kirinya bersandar di batang
pohon itu, tangan kanannya bertolak ping-
gang, matanya memandang sekeliling. Waktu
itu Pandu Puber sedikit memunggungi Bela-
ti Binal untuk menyapu sekeliling dengan
penglihatannya yang jeli. Kejap kemudian
Pandu Puber berpaling memandang Belati
Binal, tepat waktu gadis itu pandangi
Pandu secara curi-curi. Gadis itu pun
sempat menggeragap dan salah tingkah da-
lam membuang pandangan, namun ia berusaha
agar tetap kelihatan serius dan seakan
berpikir tentang Ken Warok yang hilang
itu.
"Kurasa orangnya Ratu Cadar Jenazah
yang bawa lari Ken Warok," ujar si gadis
yang bajunya berbelahan dada agak lebar,
sehingga sisi atas belahan dada itu ter-
lihat mengintip nakal dan menggemaskan
Pandu Puber.
"Bagaimana kau bisa yakin kalau Ken
Warok dibawa lari oleh orangnya Ratu Ca-
dar Jenazah?"
"Karena tak ada pihak lain yang in-
ginkan kitab itu kecuali pihakku dan pi-
hak Ratu Cadar Jenazah."
Gumam lirih Pandu terdengar di sela
anggukan kepala. Sesaat kemudian ia men-
cabut sehelai rumput berbatang kecil, se-
belum digigit-gigit ia berkata kepada Be-
lati Binal,
"Apakah kau tahu persis tentang Ra-
tu Cadar Jenazah?"
"Sangat tahu, karena dia adalah
adik tiri guruku; Nyai Cemara Langit."
"Ooo...," Pandu manggut-manggut la-
gi. "Apakah dulunya Nyai Cemara Langit
satu perguruan juga dengan Ratu Cadar Je-
nazah dan Ki Mangut Pedas?"
"Tidak. Tapi guruku tahu bahwa Ratu
Cadar Jenazah mengincar Kitab Panca Lon-
gok milik Ki Mangut Pedas. Hal itu sudah
diketahui lama oleh Guru, karena sebelum
peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang
lalu, Ratu Cadar Jenazah pernah terlepas
bicara dengan Guru soal kitab yang diin-
carnya itu. Begitu mendengar Ki Mangut
Pedas wafat, Guru segera menugaskan diri-
ku untuk selamatkan kitab itu agar jangan
sampai jatuh di tangan Ratu Cadar Jena-
zah."
Dahi si tampan beranting-anting sa-
tu itu mulai berkerut. Jaraknya dengan
Belati Binal diperdekat lagi. Suaranya
cukup pelan, tapi jelas didengar telinga
si cantik yang tak budek itu.
"Dari mana gurumu dapat kabar ten-
tang kematian Ki Mangut Pedas? Karena
akulah orang yang menguburkan jenazah Ki
Mangut Pedas! Beliau ditemukan terkapar
sendirian dalam keadaan sekarat. Masa'
gurumu bisa tahu kalau Ki Mangut Pedas
tewas? Padahal aku belum bicara kepada
siapa pun sebelum aku tiba di desanya Ken
Warok."
Gadis tanpa senyum itu bicara ber-
nada ketus, tapi sebenarnya serius, "Se-
habis Tengkorak Tobat yang bertarung den-
gan Ki Mangut Pedas berhasil melukai la-
wannya, ia lari dalam keadaan luka bera-
cun. Ia bertemu dengan Guru yang saat itu
sedang pulang dari lawatannya ke Pulau
Kelambu. Tengkorak Tobat sujud di depan
Guru dan mohon pertolongan atas luka ra-
cunnya, karena menurut perkiraan Tengko-
rak Tobat, racun itu akan merenggut nya-
wanya sebelum ia sampai di Bukit Gulana.
Tengkorak Tobat berjanji akan damaikan
pertikaian lama antara Guru dengan adik
tirinya itu. Guru pun obati Tengkorak To-
bat, lalu ia ceritakan sendiri bagaimana
pertarungannya dengan Ki Mangut Pedas
yang berhasil dilukai dengan golok bera-
cunnya. Golok beracun itu tidak akan bisa
disembuhkan oleh obat apa pun, karena ob-
atnya hanya dimiliki oleh Tengkorak Tobat
sendiri."
Entah yang keberapa kali Pandu Pu-
ber manggut-manggut, antusias sekali den-
gan cerita yang dituturkan si gadis mun-
gil menggemaskan itu. Lalu, Pandu pun
bertanya lagi dengan mata melirik kembali
ke arah belahan dada si gadis yang syuuur
itu,
"Persoalan apa yang terjadi antara
pihak gurumu dengan pihaknya Ratu Cadar
Jenazah? Apakah aku boleh mengetahuinya?"
Belati Binal menengok Pandu seben-
tar, lalu wajah dan matanya menghadap ke
arah lain seperti semula. Agaknya dalam
pertimbangan benak si gadis, tak ada je-
leknya jika ia ceritakan masalah yang
mengakibatkan bentrokan antara pihaknya
dengan pihak Ratu Cadar Jenazah.
"Sebetulnya masalah pribadi, tapi
akhirnya menjadi masalah antar golongan."
Belati Binal menarik napas sebentar, po-
sisi duduknya berubah dengan menyandarkan
punggung ke batang pohon dan kedua tan-
gannya bersidekap di dada. Matanya masih
memandang arah lain, raut wajahnya tanpa
senyum sedikit pun, berkesan cemberut te-
rus.
"Ratu Cadar Jenazah membunuh ayah
tirinya, karena sang ayah tiri tidak mau
turunkan sebuah ilmu andalan yang amat
diidam-idamkan Ratu Cadar Jenazah. Padah-
al ayah tirinya itu adalah ayah kandung-
nya Nyai Cemara Langit. Tentu saja Guru
marah besar dan menantang Ratu Cadar Je-
nazah. Hampir saja Ratu Cadar Jenazah te-
was di tangan Guru. Untung ia disela-
matkan oleh Tengkorak Tobat dan dibawa
lari. Sejak itulah Tengkorak Tobat menja-
di orang kepercayaan Ratu Cadar Jenazah.
Tapi agaknya sang Ratu masih memendam
dendam yang suatu saat. akan dilampiaskan
kepada Guru. Satu-satunya ilmu yang dita-
kuti oleh Guru adalah ilmu dari Kitab
Panca Longok. Maka ketika Guru mendengar
Ki Mangut Pedas tewas di tangan Tengkorak
Tobat, Guru menjadi khawatir kalau Kitab
Panca Longok berhasil dikuasai oleh Ratu
Cadar Jenazah. Maka aku diutus untuk te-
mui Ken Warok, mendesaknya untuk bisa da-
patkan kitab tersebut sebelum sang Ratu
mendahuluinya."
"Lalu, apakah Nyai Cemara Langit
yakin bahwa permasalahannya dengan Ratu
Cadar Jenazah bisa didamaikan oleh si
Tengkorak Tobat?"
"Guru hanya menolong orang yang se-
dang terdesak dan terancam bahaya, tanpa
mengharapkan apa-apa dari si Tengkorak
Tobat. Pada dasarnya, Guru mengikuti saja
apa maunya si Ratu Cadar Jenazah. Berda-
mai mau, meneruskan pertarungan juga
mau!"
"Sikap yang baik itu," puji Pandu
dalam gumam kecil. "Menurut rencana guru-
mu, apa yang akan dilakukan jika Kitab
Panca Longok ada di tangannya? Dipelajari
sendiri atau dihancurkan, atau malah di-
gadaikan ke orang lain?"
Gadis pelacak itu diam saja. Entah
apa yang dipikirkan. Tapi wajahnya tidak
kelihatan seperti sedang memikir sesuatu.
Ia mirip orang sedang melamun. Sebentar
kemudian mirip orang mencium bau nasi
hangus. Hidungnya mengendus-endus. Ma-
tanya melirik Pandu sebentar, lalu meman-
dang lurus ke depan bagaikan sedang mene-
rawang.
Pendekar Romantis memendam kehera-
nan. Mengapa gadis cantik itu kini diam
saja? Apakah karena pertanyaan Pandu me-
nyinggung perasaannya atau merupakan per-
tanyaan yang sangat pribadi? Menurut Pan-
du sendiri, pertanyaannya tidak terlalu
pribadi. Cuma, mungkin gadis pelacak itu
mempertimbangkan : apakah perlu memberi
jawaban jujur atau jawaban palsu? Pandu
Puber mencoba untuk bersabar menunggu,
tapi lama-lama nggak sabar juga. Mau tak
mau Pandu menanyakan hal itu.
"Kenapa diam saja?"
"Aku mencium bau keringat orang
lain; bukan bau keringat kita berdua."
Jawaban pelan itu mengerutkan dahi
Pandu kian tajam.
"Maksudmu bagaimana?"
"Ada orang sedang mencuri percaka-
pan kita."
Pandu mulai melirik ke sana-sini
sambil berbisik, "Di mana orang itu?"
"Di arah belakangku!" jawab Belati
Binal yang tiba-tiba berbalik arah secara
cepat dan melepaskan pukulan bersinar me-
rah dari telapak tangan kanannya yang
disentakkan ke depan.
Wuuutt...! Blaarr...!
Semburan sinar merah terang berpen-
dar menyebar dari semak-semak yang dihan-
tamnya, bersamaan dengan itu meledaklah
tempat tersebut bagai dipasangi granat.
Dari ledakan tersebut melesat sesosok tu-
buh berkelebat dan berjungkir balik di
udara dua kali.
Wuuk... wuukk...!
Sepasang kaki mendarat di depan
Pandu Puber dan Belati Binal. Sepasang,
kaki itu sedikit merenggang, bercelana
putih dengan bajunya yang putih pula, ta-
pi dirangkapi baju jubah lengan panjang
warna abu-abu. Orang itu adalah seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahu-
nan, rambutnya tidak terlalu panjang tapi
diikat memakai kain hitam. Di pinggangnya
yang bersabuk hitam terselip sebilah go-
lok bergagang hitam pula.
Lelaki berwajah sangar dengan badan
besar dan agak tinggi itu memancarkan si-
nar matanya ke arah Belati Binal, karena
gadis itulah yang menyapa kemunculannya
lebih dulu. Sedangkan Pandu Puber masih
tampak kalem, berdiri dalam jarak satu
langkah di samping kanan si gadis pelacak
itu.
"Dupa Dulang, apa maksudmu cari
perkara di depanku, hah?!"
Orang berkumis lebat itu menjawab,
"Aku tak bermaksud cari perkara denganmu,
Belati Binal. Tapi kau sendiri yang cari
masalah dengan cara menyerangku secara
tiba-tiba!"
"Kalau kau tak mencuri dengar per-
cakapanku, aku tak akan menyerangmu, Dupa
Dulang!"
Dupa Dulang diam tak membalas uca-
pan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh
Pandu untuk bertanya kepada Belati Binal
dalam suara berbisik,
"Siapa orang itu?"
"Namanya Dupa Dulang, orang Pergu-
ruan Tanduk Singa. Gurunya yang bernama
Dalang Setan adalah orang yang sedang be-
rusaha menundukkan hati Ratu Cadar Jena-
zah. Tentunya dia ada di pihak Ratu Cadar
Jenazah untuk mengambil perhatian perem-
puan tersebut."
"O, jadi Ratu Cadar Jenazah dapat
bantuan dari Dalang Setan?"
"Benar. Apakah kau ciut nyali?"
Pandu Puber tidak menjawab selain
tersenyum kalem, masih menggigit-gigit
rumput. Ia sempat berbisik,
"Apakah kau merasa sanggup hadapi
dia?"
"Kenapa tidak?! Mundurlah, biar ku-
selesaikan urusan ini dengannya!"
Pendekar Romantis bukan pendekar
yang gila bertarung. Ia selalu memberi
kesempatan kepada pihak lain untuk laku-
kan pertarungan semasa pihak lain itu me-
rasa sanggup selesaikan urusannya. Jika
memang sudah tidak sanggup, Pandu Puber
biasanya tampil tanpa diminta oleh yang
bersangkutan. Itulah sebabnya Pandu Puber
mundur agak jauh dari gadis pelacak itu,
dan menunggu bagaimana hasil kerja si ga-
dis pelacak tersebut.
"Dupa Dulang, sebenarnya apa mak-
sudmu mencuri percakapanku tadi? Jawab
saja dengan jujur!"
Dupa Dulang tarik napas dengan mata
masih tampak sangar dan sesekali melirik
ke arah Pandu Puber. Tak lama kemudian
terdengar suaranya yang besar itu.
"Aku hanya sekadar lewat saja. Tak
bermaksud membayangimu, Belati Binal."
"Kalau memang kau hanya sekadar le-
wat dan kebetulan saja telah mojok di ba-
lik semak tadi, sekarang kuizinkan kau
meneruskan perjalananmu!"
"Lalu bagaimana dengan Kitab Panca
Longok itu?"
Pandu dan Belati Binal sempat sal-
ing pandang sejenak. Belati Binal akhir-
nya berkata,
"Aku tak akan lanjutkan perjalanan
sebelum temukan seorang anak muda yang
bernama Ken Warok!"
"Untuk apa kau mencari Ken Warok?"
"Tanyakan pada guruku sendiri; Si
Dalang Setan. Yang jelas salah satu tugas
perjalananku adalah mencari tahu di mana
Kitab Panca Longok berada."
"Apakah gurumu juga inginkan kitab
itu?"
"Ya. Sebagai mas kawin untuk mela-
mar Ratu Cadar Jenazah."
"Kalau begitu, akulah penghalangmu
dan kau adalah penghalangku, Dupa Du-
lang!" kata Belati Binal dengan tegas se-
kali.
Pandu sendiri memujinya dalam hati,
menilai Belati Binal gadis yang tak punya
rasa takut kepada lawan seperti apa pun.
Kalah-menang ia akan lakukan dulu perta-
rungan tersebut. Jadi tak pernah memikir-
kan hasil akhir dari pertarungannya nan-
ti.
"Aku punya gagasan baru," pikir
Pendekar Romantis. "Mumpung Belati Binal
sedang berhadapan dengan Dupa Dulang, se-
baiknya aku segera menuju ke puncak bukit
itu. Aku harus mencari sebuah gua yang
ciri-cirinya seperti diceritakan Ken Wa-
rok dalam perjalanan tadi. Aku harus sam-
bar dulu kitab itu sebelum disambar orang
yang membawa lari Ken Warok! Sebaiknya
hal ini kulakukan secara diam-diam supaya
kedua orang itu tidak mengejarku dengan
curiga."
Belum sempat bergegas pergi, tahu-
tahu Pandu Puber terpental ke arah bela-
kang sekitar empat tindak dari tempatnya
berdiri. Gara-garanya, Dupa Dulang dan
Belati Binal sama-sama menguji ilmu mere-
ka. Sebuah pukulan bersinar merah dari
tangan Belati Binal dilepaskan. Sinar me-
rah memanjang lurus itu dihantam dengan
sinar merah pula dari tangan Dupa Dulang.
Clap, clap...! Blegar...!
Gelombang daya ledak benturan dua
sinar merah itu membuat kepalanya pun sa-
ma-sama terpental.
Kejap berikutnya, kedua orang itu
sudah sama-sama bangkit pula. Pandu Puber
malah terlambat bangkit karena saat jatuh
tadi kepalanya sempat terbentur batu dan
merasa pusing sedikit. Saat si tampan itu
bangkit, ternyata Belati Binal sudah le-
paskan serangan lagi kepada Dupa Dulang.
Sebuah sentakan kaki ke tanah mem-
buat tubuh gadis cantik yang tak mau ter-
senyum sejak tadi itu melesat ke udara
dan bersalto dua kali. Pada putaran salto
nya yang kedua, ia melemparkan sebilah
pisau yang saat dicabutnya tak ketahuan
gerakannya.
Wuuutt...!
Trang...! Pisau itu mental ke sisi
kiri pupa Dulang, menancap di salah satu
pohon. Jraab...! Sementara itu Pandu Pu-
ber clingak-clinguk cari kesempatan untuk
lari ke arah puncak.
Rupanya Dupa Dulang pun cukup tang-
kas dalam mencabut golok dan mengibaskan-
nya. Pisau itu bisa dibuang di samping
oleh kibasan golok Dupa Dulang. Namun pa-
da saat itu, ketika Belati Binal daratkan
kakinya ke tanah, ia sudah menggenggam
sebilah pisau agak panjang, seukuran dari
siku ke pergelangan tangan. Kedua tangan-
nya berkelebat ke sana-sini dengan lin-
cah, membuat Dupa Dulang sempat bingung
menghadang jurus 'Pisau Kilat'-nya si Be-
lati Binal. Akibatnya, lelaki berwajah
sangar itu melompat mundur sekitar seten-
gah tombak untuk pandangi kelemahan gerak
lawannya.
Selagi sibuk-sibuknya Belati Binal
hadapi Dupa Dulang itulah Pandu Puber me-
lesat pergi dengan pergunakan jurus
'Angin Jantan' yang kecepatannya menyamai
kecepatan badai mengamuk, bahkan terka-
dang bisa melebihi kecepatan kilatan ca-
haya petir.
Trang, trang, breet...!
Belati Binal menangkis sabetan go-
lok lawannya dua kali. Gerakan pisau di
tangannya bagaikan besi panjang yang me-
lapisi setiap tubuhnya. Malahan ketika
golok datang dari atas dan pisau menang-
kis hanya sekelebat, tahu-tahu pisau itu
bergerak menyabet dari bawah ke atas dan
robeklah bagian perut buncit si Dupa Du-
lang.
"Aaahg...!" Dupa Dulang mendelik,
lalu menyeringai menahan rasa sakit. Pada
waktu itu tubuh Belati Binal sempat me-
lenting di udara satu kali kemudian ber-
salto dua kali lagi.
Wuk, wuk...! Jleeg...!
"Kuperingatkan padamu, Dupa Du-
lang," kata Belati Binal menghardik la-
wannya, "... jika kau masih ingin punya
niat merebut kitab itu dari tangan Ken
Warok, maka keselamatan nyawamu tak akan
kujamin. Tapi jika kau pulang dan tidak
ikut campur dalam masalah ini, maka kese-
lamatanmu dalam perjalanan akan kujamin!"
"Persetan dengan kata-katamu! Teri-
malah jurus 'Golok Singasana' ini!
Heaaat." Dupa Dulang berkelebat menerjang
gadis cantik itu. Namun tiba di pertenga-
han jarak ia jatuh sendiri dari keting-
gian gerakan layangnya itu. Brrukk...!
Kulit tubuh Dupa Dulang menjadi
berbintik-bintik hitam seperti berjamur.
Dupa Dulang sendiri tak bisa sembunyikan
lagi kecemasannya. Ia pandangi luka di
bagian perutnya yang memanjang dari bawah
ke atas. Ternyata luka itu cepat menjadi
kehitam-hitaman.
"Celaka! Aku kena racun di ujung
pisau itu. Wah, gawat nih kalau begini!
Oh, badanku jadi menggigil seperti orang
kedinginan. Kulitku..., ya ampun, kulitku
malah jadi seperti kulit kodok?! Hemm...,
sebaiknya aku pulang ke perguruan dulu,
selain melaporkan hal ini juga meminta
obat pada Guru untuk melawan kekuatan ra-
cun yang sudah telanjur mengalir bersama
darahku ini!"
Wuuuts...! Ia melesat seperti see-
kor rusa melesat masuk ke persembunyian-
nya manakala didatangi manusia.
"Hei, jangan lari kau! Tanggung
nih...!" seru Belati Binal, tapi seruan
itu tidak dihiraukan oleh Dupa Dulang.
Lelaki itu tetap berlari dengan secepat-
cepatnya. Kalau bisa sih maunya terbang
saja, tapi mengingat biaya penerbangan
mahal dan tak terjangkau olehnya, maka
Dupa Dulang harus kerahkan tenaga untuk
berlari sambil menahan sakit dalam tubuh-
nya.
Sayang sekali Pandu terburu-buru
pergi. Coba kalau tidak, ia akan dapat
melihat jurus lincahnya si Belati Binal.
Melihat di situ tak ada Pandu, maka Bela-
ti Binal pun pergunakan indera penciuman-
nya untuk segera berlari ke arah bau ke-
ringat Pandu Puber.
Tapi apakah Belati Binal dapat me-
nemukan Pandu dan Pandu sendiri apakah
bisa menemukan gua tempat penyimpanan ki-
tab pusaka tersebut.
Emoticon