SATU
PERAHU PESIAR itu melaju pelahan
membelah ombak, me-
ninggalkan anjungan di depan
pesanggrahan mewah ditepi pantai itu.
Udara malam itu agak dingin.
Langit cerah tak berawan. Rembulan
tak begitu penuh, mengambang di
langit menerangi pesisir pantai
yang indah itu. Dari dalam
perahu pesiar yang semakin menjauh ke
tengah laut itu terdengar suara
tertawa perempuan cekikikan. Di pe-
rahu pesiar itu duduk diburitan
perahu, seorang gadis berbaju merah.
Dialah si pendayung perahu.
Laki-laki gendut yang belum
begitu tua tampak tengah ber-
cengkrama dengan seorang wanita
muda berbaju sutera warna hijau.
Berwajah cantik dengan dandanan
yang mempesona. Pakaiannya dari
sutra yang tipis. Mengenakan
untaian kalung menghias di lehernya
yang jenjang.
Sebentar-sebentar terdengar
tawanya yang mengikik, ketika
dengan binal lengan si laki-laki
gendut itu menggerayang kecelah da-
danya, atau menggelitik ke
pinggang dara cantik itu. Sementara si
pendayung perahu seolah tak
peduli dengan semua itu. Dia tetap
menjalankan tugas mengayuh
perahu. Wanita pendayung perahu itu
adalah pegawai dari pesanggrahan
"MELATI" yang berdiri tegar
dengan memewahannya di pesisir
pantai utara itu. Dia tahu kalau wa-
nita muda dan cantik itu adalah
orang baru. Dan bahkan baru malam
ini dia menerima tetamu dari
majikannya. Dan dia disamping sebagai
pendayung perahu pesiar itu,
juga sebagai pengawal yang telah diberi
tugas untuk "menjaga"
sang tamu. Karena banyak kejadian sang te-
tamu sehabis melakukan kencan,
tak membayar dan lenyap tak keta-
huan kemana perginya. Juga
pernah ada yang membawa kabur pera-
hu pesiar.
Kalau si pendayung perahu yang
juga pengawal pesanggrahan
itu seorang wanita, tentu dapat
dibayangkan dan diduga si wanita itu
seorang yang punya ilmu
kedigjayaan. Menilai dari pakaiannya serta
potongan tubuhnya setidak-tidaknya si laki-laki gendut
itu seorang
saudagar kaya. Untuk bercuriga
dengan bangsawan ini adalah tidak
mungkin. Bahkan orang yang
dikenal telah menjadi langganan tetap,
yang sering berkunjung ke
Pesanggrahan Melati itu. Itulah sebabnya
si gadis pendayung perahu tampak
tenang- tenang saja bahkan dari
mulutnya terdengar suara
siulannya yang terdengar pelahan melagu-
kan nada-nada dalam satu
nyanyian.
Sreeek! Sreeek...! Tirai jendela
di perahu pesiar itu telah ditu-
tupkan. Si wanita pendayung
perahu telah hentikan gerakan tangan-
nya mendayung. Kini perahu
pesiar itu terombang-ambing perlahan
diatas ombak yang tenang.
Sementara didalam ruangan perahu pesiar
itu.
"Hihihi... mengapa tuan
terlalu terburu-buru ... ah, masih sore
begini. Apakah tak sebaiknya
kita melihat pemandangan indah dima-
lam hari ini lebih dulu?"
berkata si wanita.
"Pemandangan diluar sudah
terlalu sering kunikmati, sayang...!
Aku merasa pemandangan didalam
ruangan ini lebih indah!" menya-
hut si bangsawan. Sementara
lengannya telah bergerak membuka
kancing bajunya. Terlihat
dadanya yang gemuk berisi. Perut yang
buncit. Dan dari atas pusar
sampai kecelah dada laki-laki bangsawan
itu tampak ditumbuhi bulu-bulu
yang lebat.
"Oh, ya...! Kau bernama
Andini, bukan...? Tampaknya kau se-
perti malu-malu atau takut
menghadapiku? Hehehe... jangan begitu,
sayang...! Aku telah membayar
mahal. Layanilah aku seperti melaya-
ni suamimu sendiri..."
berkata si bangsawan. Seraya rebahkan tubuh-
nya disisi wanita itu. Lengannya
bergerak untuk memeluk. Akan te-
tapi wanita itu segera menangkap
tangannya dengan lembut.
"Ih, siapa yang tidak
takut? Aku baru sekali ini melayani teta-
mu. Kalau aku takut adalah wajar
menyahut si wanita.
"Kau masih perawan?" bertanya
laki-laki bangsawan itu. Pan-
dangannya semakin nanar melihat
kebalik pakaian tembus yang
memperlihatkan bagian-bagian
tubuh wanita itu. Jelas terpandang
kemontokan tubuh wanita.
Sementara napasnya semakin menggebu
menahan hawa rangsangan yang semakin
menggelutinya.
"Aku sudah pernah bersuami,
walaupun suamiku belum sempat
menjamah tubuhku!"
Terhenyak laki-laki gendut itu
mendengar jawaban si wanita.
"Mengapa dengan
suamimu?" tanyanya.
"Dia mati mendadak..."
"Ooooh ...! Serangan
penyakit?"
"Tidak! Dia mati dibunuh
orang!" sahut si wanita.
Terdiam sejenak laki-laki
bangsawan itu.
"Kasihan..." ucapnya
lirih. "Dan... kau lari ke Pesanggrahan ini
karena kesepian ...?"
pancing laki-laki itu.
"Apakah tuan-pun datang
kemari karena kesepian...?" balik ber-
tanya wanita itu.
Laki-laki bangsawan itu tertawa
hambar.
"Hahaha... benar! Benar
sekali ucapanmu, Andini...! Kau... kau
teramat cantik. Kaulah pengobat
kesepianku malam ini..."
Sekonyong-konyong laki-laki itu
bangkit. Dan tak sabar lagi
lengannya sudah memeluk tubuh
wanita itu. Dengus napasnya sema-
kin nyata. Matanya semakin
nyalang. Tertegun wanita ini dengan ma-
ta membelalak. Hatinya memaki.
"Ooo, laki-laki jalang, pengumbar
nafsu terkutuk! Kau telah jadi
budak nafsumu sendiri...!"
Perahu pesiar itu yang
terombang-ambing pelahan, kini jadi
bergoyang keras
terguncang-guncang. Gadis pendayung perahu itu
tersenyum.
Matanya cuma melirik ketirai
jendela kamar perahu. Lalu di-
alihkan menatap ke laut lepas.
Lengannya meraih kendi berisi arak.
Diteguknya beberapa tegukan. Dia
perdengarkan tertawa kecil. Sisa
arak dituangkannya kelaut...
***
Semilir angin malam yang
berhembus membuat mata menjadi
mengantuk. Wanita pendayung
perahu itu sandarkan punggungnya
kesisi perahu diburitan itu.
Sepasang matanya seperti malas untuk di-
pentang. Dan kelopak mata itupun
digerakkan untuk mengatup.
Goyangan perahu telah kembali
tenang. Agak lama dia pejamkan ma-
ta. Dan tak terasa dia telah
tertidur sejenak. Akan tetapi sepasang ma-
ta gadis pendayung perahu itu
jadi membelalak terbuka. Dan dia ter-
lonjak kaget seperti dipagut
ular. Apakah gerangan yang membuat
dia terkejut? Kiranya air laut
yang dingin itu telah meresap dari dasar
perahu membasahi kakinya.
Tersentak dia karena melihat
perahu sudah terendam air hingga
sepertiga bagian.
"Celaka...!? Perahu
tenggelam!" terdengar teriakannya tertahan.
Wanita pendayung perahu ini
sudah melompat untuk membuka tirai
pintu perahu.
Apakah yang dilihatnya didalam
ruangan itu? Si bangsawan se-
tengah tua itu tertelungkup
dipembaringan yang sudah tergenang air
tanpa bergerak-gerak dalam
keadaan telanjang bulat. Sekitar tubuh-
nya tampak ada bercak darah
bersimbahan, yang telah bercampur
dengan air laut yang menggenangi
pembaringan. Membasahi kasur
dan bantal. Dan yang membuat dia
terkejut adalah, wanita muda yang
menjadi "gula-gula"
dari Pesanggrahan Melati itu telah lenyap tak ke-
lihatan batang hidungnya.
"Hah!? Apakah yang telah terjadi?"
sentaknya kaget. Sekali
bergerak dia telah melompat
kepembaringan. Ketika membalikan tu-
buh laki-laki gendut itu,
ternyata si bangsawan setengah tua telah tak
bernyawa lagi. Karena tulang
lehernya telah patah. Tentu saja mem-
buat si wanita pendayung perahu
jadi membeliakkan mata dengan
terkejut. Namun tak bisa
berlama-lama untuk berada diruangan kamar
perahu pesiar itu. Tampak air
bergolak dari lantai ruangan yang pa-
pannya telah ambrol.
"Celaka...!? Perahu
sebentar lagi akan karam. Aku harus me-
nyelamatkan diri...!"
berdesis wanita pendayung perahu itu. Segera
dia melompat lagi keluar. Tak
ada jalan lain selain harus berenang.
Maka... BYUUURRR! Wanita itu
telah terjun ke air. Selanjutnya dia
harus kerahkan tenaga untuk
berenang ketepi. Jarak dari perahu yang
mulai karam itu dengan anjungan
disisi laut cukup jauh. Namun ter-
paksa ditempuhnya dengan
berenang. Karena tak ada jalan lain lagi..
Terengah-engah dia sampai
ketepi, dengan lemah lunglai. Te-
naganya serasa hilang terkuras
seluruhnya. Ketika dia palingkan mu-
ka untuk melihat ke tengah,
perahu pesiar itu telah lenyap tenggelam.
"Edan! Apakah yang telah
terjadi? Apakah perbuatan perem-
puan bernama Andini itu ataukah
ada orang lain yang telah melaku-
kannya dari bawah air?"
menggumam wanita pendayung ini. Sukar
untuk menerka pelaku kejadian
itu. Bisa saja Andini telah ditolong
orang berilmu tinggi dan
melarikannya. Bisa juga Andini yang telah
melakukan semua itu. Tapi yang
jelas dia harus melaporkan kejadian
itu pada sang Ketua, majikannya.
Dan yang jelas pula dia pasti akan
kena dampratan. Mungkin juga
hukuman. Karena dia tahu persis adat
sang Ketua Pesanggrahan Melati
yang berwatak kejam.
"Apa boleh buat! Aku tak
bisa berbuat apa-apa..." bisiknya ber-
desis. Dan dia segera merayap ke
darat. Cahaya rembulan agak re-
mang-remang ketika segumpal awan
hitam melintas. Gadis pen-
dayung perahu ini tak
mempedulikan cuaca lagi. Karena hatinya ten-
gah dilanda kemelut.
Akan tetapi baru dua tiga tindak
dia melangkah. Sesosok tubuh
tahu-tahu berkelebat
dihadapannya. Tersentak kaget wanita pen-
dayung perahu ini. Namun dia
mengeluh. tubuhnya terkulai serasa
lumpuh. Karena dengan gerakan
cepat sosok tubuh itu telah meno-
toknya. Untuk berbuat sesuatu
sudah tak mungkin lagi, karena den-
gan gerakan cepat sosok tubuh
itu telah memondongnya. Dan melari-
kannya dengan cepat. Ternyata
sosok tubuh berbaju serba hitam yang
tak kelihatan wajahnya karena
mengenakan topeng. Apalagi cuaca
sedang gelap. Si wanita
pendayung perahu dibawa berkelebat, dengan
meletakkan tubuhnya pada
pundaknya. Sekejap antaranya sosok tu-
buh itu telah lenyap disisi
pantai laut utara itu diantara semak belukar.
***
DUA
"HAH!? KAU...
KUNTALI...?" tersentak si wanita pendayung
perahu ketika sosok tubuh itu
membuka topeng penutup wajahnya.
Ternyata dia seorang wanita.
Bahkan sudah dikenal baik oleh wanita
pendayung perahu itu.
"Benar, aku sengaja
menolongmu, Windarti, karena aku tak
mau melihat kau mendapat hukuman
dari Ketua!" menyahut wanita
berbaju hitam itu, yang ternyata
orang Pesanggrahan Melati juga.
"Oh, mengapa kau lakukan
ini? Kau akan mendapat kesulitan
bila diketahui oleh Ketua. Bukan
saja kau, akupun akan susah ja-
dinya. Ketua takkan membiarkan
kita meloloskan diri begitu saja!"
Ujar Windarti sesali tindakan
sahabatnya.
"Hm, tak perlu khawatir!
Aku memang sudah tidak betah ting-
gal ditempat maksiat itu. Kita
cuma dijadikan alat saja untuk kepen-
tingan Ketua! Aku memang telah
merencanakan untuk melarikan di-
ri!" berkata tegas Kuntali
yang cetuskan isi hatinya.
"Sebenarnya akupun demikian
Kuntali, tapi aku tak berani me-
lakukannya. Kau tahu sendiri
betapa bengisnya Ketua bila anak
buahnya ada yang berani
melarikan diri. Cuma satu jalan bagi si pe-
laku, yaitu kematian!"
menyahut Windarti.
Seraya bangkit untuk duduk,
ketika Kuntali membebaskannya
dari totokan.
"Apa rencanamu kini
Kuntali? Dan kita berada diwilayah ma-
na? Pondok siapakah ini?"
tanya gadis pendayung perahu itu mem-
perhatikan isi ruangan kamar
persegi yang tak seberapa lebar, itu.
"Tenanglah sobatku. Tempat
ini aman. Tak mudah orang men-
getahuinya. Sekarang gantilah
pakaianmu yang basah itu!" ujar Kun-
tali seraya buka buntalan yang
diambilnya dari sudut ruangan, dan
berikan satu setel pakaian
untuknya.
"Kau membawa serta
pakaianmu?"
"Ya! Telah lama
kupersiapkan...!"
Bergegas gadis pendayung perahu
itu membuka pakaiannya.
Lalu menggantinya dengan pakaian
kering dan bersih dari sang ka-
wan. Seraya mengenakan baju,
Windarti bertanya.
"Apakah kau telah
mengetahui kejadian tenggelamnya perahu
pesiar dalam kawalanku
itu?"
"Bukan saja mengetahui,
bahkan rencana penenggelaman pera-
hu itu aku mengetahui...!"
menyahut Kuntali.
"Hah!? Kau yang telah
membolongi perahu itu dari bawah air?"
tanya Windarti dengan terkejut.
Akan tetapi Kuntali hanya tertawa
kecil.
"Hihihi... bukan aku yang
melakukan, tapi kawanku!"
"Kawanmu? Siapakah...?
Apakah dia yang
telah melarikan orang baru yang
diumpankan Den Bei Simo
Kromo itu?" tersentak
Windarti si wanita pendayung.
"Bukannya orang baru itu
yang dilarikan kawanku. Tapi ka-
wanku itulah si orang baru yang
menjadi umpan laki-laki tua hidung
belang itu!" menyahut
Kuntali dengan tersenyum. "Dia bernama Pu-
kat Inten yang bergelar si ULAR
BETINA SELAT MADURA....!"
Membelalak sepasang mata
Windarti. Tentu saja penjelasan
kawannya itu membuat dia
terperangah.
"Ular Betina Selat
Madura...?" desisnya tersentak. "Jadi si pe-
rempuan anggota baru dari
Pesanggrahan Melati yang kukawal itu
adalah dia?" berkata dalam
hati wanita bernama Windarti ini. Win-
darti memang telah mendengar
nama gelar yang pernah membuat he-
boh dikalangan para saudagar di
Selat Madura. Wanita berkepandaian
tinggi itu gerak-gerik serta
sepak terjangnya sukar diduga. Berita ten-
tang munculnya si Ular Betina
Selat Madura baru muncul beberapa
bulan yang lalu. Namun sejak
lebih dari dua bulan terakhir ini tak
terdengar lagi beritanya.
"Kau... kau bisa bersahabat
dengan dia...? Sejak kapan kalian
menjalin persahabatan
dengannya?" tanya Windarti ingin tahu. Se-
mentara diam-diam hatinya
bergidik melihat kekejaman si Ular Beti-
na itu yang telah membunuh
bangsawan tua itu dengan mematahkan
lehernya. Namun diam-diam dia
bersyukur karena terhindar dari ben-
cana. Karena secara akal sehat
dia adalah anggota komplotan dari Pe-
sanggrahan Melati yang diketuai
oleh sepasang suami-istri yang be-
rada di jalur sesat! Komplotan
itu secara sembunyi-sembunyi mela-
kukan kejahatan menculik
wanita-wanita cantik. Untuk diumpankan
atau dijual pada para bangsawan
kaya, atau orang-orang asing. Pe-
sanggrahan itu bahkan merupakan
tempat berkumpulnya para penja-
hat yang memperjual-belikan
wanita cantik, untuk dikirim keperbagai
wilayah.
Bahkan pesanggrahan itu
merupakan satu tempat yang tersem-
bunyi yang melayani pesanan dari
perbagai kalangan. Adapun gadis
pendayung perahu bernama
Windarti dan kawannya yang bernama
Kuntali itu bisa terperosok
menjadi orang-orang atau anak buah Pe-
sanggrahan Melati adalah karena
secara tidak langsung mereka telah
menjadi murid-murid dari sang
guru mereka yang menjadi Ketua
perguruan. Kisahnya adalah
sebagai berikut:
Windarti dan Kuntali serta
beberapa rekan wanita lainnya ada-
lah murid wanita dari Perguruan
CEMPAKA BIRU, sebelum adanya
Pesanggrahan Melati. Guru mereka
seorang wanita tua yang berilmu
tinggi bernama Nini CANDRA
GUMINTANG. Wanita tua itu me-
nyembunyikan gelarnya pada
murid-murid mereka. Hingga tak seo-
rangpun dari para muridnya
mengetahui gelarnya dalam dunia Rimba
Hijau.
Windarti dan Kuntali adalah dua
sahabat yang paling akrab se-
jak mereka sama-sama berguru
pada wanita kosen itu. Diantara enam
murid-murid wanita, (cuma ada
tiga orang murid laki-laki) salah seo-
rang adalah murid yang paling
tua, bernama NAGASARI. Wanita
itulah murid utama dalam
Perguruan Cempaka Biru yang paling di-
andalkan oleh sang guru.
Terkadang dia mewakilkan gurunya untuk
memberi pelajaran pada
mereka-mereka yang tingkatannya dibawa-
hannya.
Selama dua tahun mereka berguru,
suatu ketika sang guru jatuh
sakit. Tentu saja membuat
murid-murid menjadi gelisah. Secara tak
langsung pimpinan Perguruan
diserahkan sementara kepada Nagasa-
ri. Penyakit sang Guru semakin
parah tampaknya. Hal mana mem-
buat Nagasari mengusulkan untuk
membawa gurunya kesuatu tempat
dimana terdapat seorang tabib.
Konon khabarnya tabib itu seorang
yang ahli yang dapat
menyembuhkan perbagai penyakit yang berat
sekalipun. Berita adanya tabib
itu datangnya dari seorang laki-laki
muda bertampang gagah yang telah
menjalin hubungan intim dengan
Nagasari. Dia bernama BEGUK
REKSASANA. Seorang laki-laki
bangsawan yang khabarnya bekas
seorang Adipati yang mengundur-
kan diri dari jabatannya.
Laki-laki gagah itu diketahui
sering datang dan banyak mem-
bantu penyembuhan penyakit sang
guru dengan memberikan berma-
cam obat-obatan. Akan tetapi
penyakit guru mereka semakin hari se-
makin parah. Bermacam obat dan
jamu telah diminum. Namun hasil-
nya tiada kelihatan. Hal mana
membuat Nagasari juga para murid
lainnya menjadi cemas.
Demikianlah, Beguk Reksasana memberi sa-
ran untuk membawa sang guru
keseorang tabib yang cuma dia yang
mengetahui tempatnya. Bahkan dia
akan berusaha sekuat tenaga un-
tuk membantu penyembuhan
penyakit sang guru mereka.
Wanita tua bernama Candra
Gumintang itu cuma pasrah akan
apa yang diperbuat muridnya.
Karena dia sudah tak berdaya apa-apa.
Bahkan untuk bicara pun dia
sudah tak sanggup. Keadaannya sung-
guh amat mengkhawatirkan. Dengan
sebuah tandu sang guru di-
usung. Cuma dua orang murid laki-laki saja yang
turut serta untuk
bantu menggotong tandu, karena
selebihnya harus tinggal menjaga
pesanggrahan. Juga perintah dari
Nagasari tak bisa dibantah, karena
tak menginginkan terlalu banyak
orang yang turut serta.
Sebulan kemudian Nagasari
kembali lagi bersama Beguk Rek-
sasana juga kedua murid
laki-laki saudara Seperguruan mereka. Na-
gasari berkata dengan air mata
menitik, mengatakan bahwa sang guru
telah meninggal dunia.
Penyakitnya terlalu berat. Hingga sukar dioba-
ti lagi. Terkejut Windarti juga
rekan-rekannya yang memang telah
gelisah karena tak seorangpun
dari saudara seperguruan mereka yang
datang memberi khabar mengenai
kesehatan sang guru sejak dibawa
ke tempat tabib itu.
Tentu saja membuat mereka jadi
berdesih, juga terkejut. "Kita
tak bisa menentang takdir,
saudara-saudaraku...! Kematian adalah di-
tangan Yang Maha Kuasa. Walau
kami telah berdaya sekuat tenaga
untuk menyelamatkan nyawa guru
namun apa mau dikata kalau ki-
ranya umur sang guru kita yang
amat kita cintai itu cuma sampai dis-
itu! Tiga pekan sejak beliau
dirawat oleh tabib sakti itu, sang guru
berpulang dengan
tenang...!" ucap Nagasari dengan suara menggetar.
Windarti dan sesama saudara
seperguruannya tertunduk dengan
hati mencelos. Harapan mereka
sia-sia belaka. Wajah-wajah duka
tampak membayang disetiap
murid-murid yang amat mencintai gu-
runya itu.
"Apakah beliau tak
meninggalkan pesan terakhir...?" bertanya
Kuntali, gadis yang amat akrab
sekali dengan Windarti itu.
"Ada...! Beliau menyerahkan
pimpinan di perguruan Cempaka
Biru ini padaku. Dan, beliau ada
pula menulis dalam surat wasiat,
yang agaknya telah lama dibuat
ketika sakitnya belum parah. Nah,
kalian dapat membacanya
bergantian...!" sahut Nagasari. Seraya beri-
kan sehelai kertas kulit pada
Kuntali.
Pada surat itu benar tertera
tulisan tangan sang guru sendiri
yang mengatakan pimpinan pada
perguruan Cempaka Biru diserah-
kan pada Nagasari. Dan mereka
diharuskan tunduk dan patuh pada
pimpinan yang baru, walaupun
yang memimpin perguruan adalah
kakak tertua seperguruan mereka.
Dibagian bawah tulisan surat wa-
siat itu tertera tanda-tangan
guru mereka.
Berganti-ganti mereka membaca
hingga semua kebagian. De-
mikianlah! Mau tak mau mereka
harus mempercayai surat wasiat itu.
Walau sebenarnya Kuntali merasa
agak curiga dengan Nagasari. Na-
mun dua laki-laki saudara seperguruan
mereka yang turut serta me-
nyaksikan pemberian surat wasiat
itu melenyapkan kecurigaan Kun-
tali, yang selalu dibisikkan
pada Windarti. Bahkan kedua laki-laki
saudara seperguruan itu berani
bersumpah akan kebenaran yang telah
dilihatnya dengan mata-kepala
mereka sendiri.
Begitulah...! Pesanggrahan
Cempaka Biru tak lama segera ditu-
tup oleh Nagasari. Dan diganti
dengan nama Pesanggrahan MELATI.
Juga lokasi pesanggrahan telah
dipindahkan kepesisir pantai laut di-
wilayah utara Pulau Jawa. Disana
ada sebuah Gedung Pesanggrahan
kuno yang khabarnya telah dibeli
dan diperbaharui oleh Beguk Rek-
sasana yang telah menjadi suami
Nagasari. Pernikahan mereka di-
langsungkan didepan jenazah Nini
Candra Gumintang yang tanpa
disaksikan Windarti, dan
rekan-rekannya. Kecuali dua laki-laki sau-
dara seperguruan mereka yang
menjadi saksi-saksi nyata...
***
TIGA
"KATAKANLAH Kuntali, sejak
kapan kau bersahabat dengan
dia... ?" Rasa penasaran
karena ingin tahu, juga seperti mau menye-
lami hati sang kawan Windarti
kembali ajukan pertanyaan. Seper-
tinya ada nada
"kecemburuan" dari kata-kata yang diucapkan gadis
ini. Apakah sebenarnya yang
terkandung dihati wanita pendayung
ini.?" Dan
"persahabatan" macam apakah antara kedua saudara se-
perguruan ini...?
"Windarti...!"
terdengar menyahut Kuntali. Sepasang matanya
menjalari tubuh gadis
dihadapannya yang tengah bersalin pakaian.
"Jangan khawatir! kita
tetap bersahabat. Persahabatanku dengannya
tak lebih dari persahabatan
biasa! Percayalah! kulakukan semua ini
karena aku... aku amat
mengkhawatirkan keselamatanmu...!" Seraya
berkata. Kuntali melangkah dua
tindak mendekati Windarti. Lengan-
nya meraih dagu gadis pendayung
itu.
"Sungguhkah
ucapanmu...?" berkata Windarti, sementara ha-
tinya tergetar. Dan terasa
begitu bahagianya mendengar kata-kata itu.
Kuntali mengangguk. Bibirnya
tersenyum.
"Ah, Kuntali...! Serasa aku
tak sanggup berpisah denganmu...!"
suara Windarti mendesah. Pakaian
yang baru mau dikenakan itu me-
rosot kembali. Dan... tiba-tiba
saja Windarti telah mendekap Kuntali
erat-erat. Kedua gadis itu
berpelukan seperti sepasang sejoli. Tapi ini
lain. Karena mereka sama-sama
satu jenis. Yaitu wanita... Sungguh
sukar diduga kalau kiranya
"persahabatan" Windarti dan Kuntali se-
perti layaknya sepasang
suami-istri. Kuntali yang telah mulai dijalari
hawa rangsangan seperti juga
saat-saat dimana mereka sering menga-
dakan pertemuan, segera
meloloskan pakaiannya. Kelanjutannya me-
reka bagaikan
"bayi-bayi" yang baru saja dilahirkan. Tanpa sehelai
benang melekat ditubuh. Dan...
sukar untuk diceritakan. Karena me-
reka tak ubahnya bagaikan dua
ekor ular yang saling menggeliat den-
gan memperdengarkan
desahan-desahannya...
Pintu pondok itu tiba-tiba
berderit terbuka. Dan..., satu suara
dingin terdengar mencengkam.
"Bagus! kiranya kalian
bersembunyi disini...?" Tersentak kedua
gadis itu bagaikan dipagut ular berbisa. Seketika melompat untuk
masing-masing menyambar pakaiannya.
Dan tertegun menatap keha-
dapannya, karena sang Ketua
alias NAGASARI telah berdiri bertolak
pinggang dengan senyum sinis
menghias dibibir. Akan tetapi saat itu
juga lengan Windarti disambar
oleh Kuntali. "Cepat kita melarikan
diri...!" desis gadis itu.
BRRAAK! lengannya menghantam
jendela. Dan detik berikut-
nya, Kuntali telah mendahului
melompat. Tak ayal Windarti segera
menyusul. Selanjutnya kembali
Kuntali mencekal lengan "saha-
bat"nya itu untuk diajak
berlari cepat menyelamatkan diri. Tapi pada
saat itu tiba-tiba terdengar
suara bentakan.
"Berhenti! kalian telah
terkepung! lebih baik menyerah. Mung-
kin hukuman bagi kalian tidak
terlalu berat!" Bersamaan dengan sua-
ra itu, dua sosok tubuh telah
melompat menghadang didepan mereka.
Tersentak kaget kedua gadis ini,
karena dalam sorotan cahaya rembu-
lan segera diketahui siapa
mereka yang menghadang.
"Tapak Doro,
Binangun...!" menyingkirlah! jangan halangi ka-
mi!" membentak Kuntali
dengan sengit. Betapa amat mendongkolnya
dia karena dicegat kedua orang
saudara seperguruannya itu.
"Hahaha ... kami hanya
menjalankan perintah Ketua!" menya-
hut salah seorang dari dua
laki-laki itu. Sementara kedua pasang mata
mereka jadi membinar menatap
kedua tubuh gadis dihadapannya
yang tak berpakaian. Aurat
mereka ditutupi dengan pakaian mereka
sebatas dada kebawah.
Tapak Doro dan Binangun saling
pandang sejenak, lalu tertawa.
"Hahahaha... dalam keadaan
melarikan diri, masih sempat-
sempatnya kalian mengadakan
hubungan. Kalian memang gadis-
gadis aneh! mengapa tak
menyenangi laki-laki?" berkata Tapak Doro
"Benar! kami bisa memberi
kepuasan lebih penuh terhadap ka-
lian. Sayang kalian tak pernah
memberi kesempatan...!" timpal Bi-
nangun dengan tertawa
menyeringai. Panas rasanya muka Kuntali.
Tapi dia cepat menarik lengan
Windarti untuk diseret cepat, melesat
pergi dari situ. Situasi tak
memungkinkan untuk Kuntali adu mulut.
Baginya keselamatan diri mereka
lebih penting saat itu. Melihat ke-
dua gadis itu melarikan diri,
tentu saja dua laki-laki satu perguruan ini
segera mengejar.
Bahkan salah seorang telah
lemparkan tali laso yang telah di-
persiapkan.
WHUUT!... Krep! Luncuran tali
laso yang memang sudah di-
kuasai secara matang oleh Tapak
Doro berhasil menjerat tubuh Win-
darti. Tentu saja cekalan tangan
Kuntali pada lengan Windarti terle-
pas seketika. Karena dia berada
dibagian belakang. Apalagi Windarti
dalam keadaan panik yang
menuruti saja tarikan tangan Kuntali hing-
ga dia sukar untuk membuat
gerakan. Itulah sebabnya dia dengan
mudah terkena jeratan tali laso.
Padahal dalam keadaan biasa Win-
darti tentu dapat menghindari
serangan tali laso itu. Seperti diketahui
Kuntali bukanlah seorang wanita
berkepandaian rendah.
"Bedebah...!" memaki
Kuntali dengan terkesiap kaget. Secepat
kilat melompat untuk meraih lagi
tubuh Windarti. Tapi sekali sentak
tubuh Windarti jatuh
bergulingan. "Keparat kalian...!" membentak
gadis ini dengan geram juga
dengan hati trenyuh. Betapa tidak. Dia
gagal melarikan diri karena
tertahan oleh kedua laki-laki saudara se-
perguruannya itu. Apalagi
didengarnya Windarti mengeluh panjang
dan jatuh terjerembab
bergulingan.
"Lepaskan dia...! aku akan
adu jiwa denganmu!" teriak Kuntali
dengan kalap. Lalu kembali
melompat dengan menggerung bagai
singa. Tapi... BUK! menjerit
wanita muda ini karena satu pukulan te-
lak telah lebih dulu menghantam
punggungnya. Terguling- guling dia
ditanah. Satu suara dingin yang
mencekam terdengar bagaikan men-
giris jantung.
"Bocah tak tahu adat!
kuberi kebebasan padamu di Pesanggra-
han Melati malah mau melarikan
diri...! kau akan menyesal dengan
ulahmu itu Kuntali!" Itulah
suara Nagasari yang telah berada ditem-
pat itu. Sejak bersuamikan Beguk
Reksasana wanita murid tertua dari
Nini Candra Gumintang ini
semakin tinggi ilmu kedigjayaannya. Ka-
rena Beguk Reksasana juga
seorang laki-laki yang memiliki ilmu ke-
digjayaan tinggi. Apalagi sang
suami punya banyak kenalan tokoh-
tokoh golongan hitam yang
menjadi langganan di Pesanggrahan Me-
lati, yang juga terdapat disana
tiga orang gurunya. Yaitu yang berge-
lar si Tiga Dedemit Gunung
Siung.
Pucat seketika wajah Kuntali.
Belum lagi dia berusaha untuk
bangkit dengan menyeringai
kesakitan, Binangun telah melompat ke-
hadapannya untuk segera
menotoknya dan meringkusnya dengan ce-
pat. Sementara Windarti dengan
mudah sudah lantas kenal diringkus
oleh Tapak Doro.
"Bagus! kalian bekerja
cukup cekatan. Untuk itu aku akan beri
kalian kesempatan baik...!"
berkata Nagasari dengan tersenyum. Bi-
nangun dan Tapak Doro
cepat-cepat menjura hormat, seraya ucap
mereka hampir berbareng.
"Terima kasih, Ketua...!"
"Terima kasih Ketua. Dengan
segala senang hati tentu kami
akan menerimanya..."
"Hihihi... tampaknya kalian
sangat penasaran pada gadis-gadis
manis ini. Kuhadiahkan satu
untuk kalian berdua. Akan tetapi jangan
Windarti!" ujar Nagasari
dengan tertawa.
"Mengapa, Ketua...?"
tanya Tapak Doro.
"Dia sudah ada yang
memesan!" sahut Nagasari pendek. "Nah!
kuberi kesempatan buat kalian.
Terserah pada kalian untuk menga-
turnya, siapa yang lebih dulu!
Karena begitu kalian selesai dengan
urusanmu, aku akan mengirim
nyawanya ke Akhirat! Kesalahan
Kuntali terlalu besar untuk
diampuni. Karena dia telah bersekutu
dengan si Ular Betina Selat
Madura! Dan aku telah rugi besar akibat-
nya. Seorang langgananku tewas
dan perahu pesiarku yang berharga
mahal telah dibuatnya
tenggelam...!" Diam-diam tersentak kaget
Kuntali, karena Nagasari telah
mengetahui pengkhianatannya. Wajah
wanita ini jadi berubah semakin
pias. Tak ada lagi baginya kesempa-
tan selain menanti datangnya
Dewi Penolong, yaitu si Ular Betina Se-
lat Madura yang menjadi
sahabatnya itu.
Menyeringai tertawa kedua
laki-laki itu. Akan tetapi mereka ja-
di serba salah karena sang Ketua
masih tetap berdiri ditempatnya. Ju-
ga mereka belum mengambil
keputusan siapa yang akan memulai ter-
lebih dulu.
"Hm, lakukanlah
dihadapanku! mengapa kau malu? Tak usah
ragu- ragu. Bukankah hal seperti
ini sudah bukan hal yang aneh lagi
di Pesanggrahan Melati?"
berkata Nagasari, seraya mengambil tem-
pat duduk diatas sebatang kayu.
"Cepatlah! karena aku
takkan berlama-lama untuk segera men-
jatuhkan hukuman mati pada si
Kuntali ini!" ujar Nagasari.
"Baik! baik...!
Ketua..." ucap Tapak Doro dan Binangun seren-
tak. Segera mereka mengambil
keputusan. Ternyata Tapak Doro yang
akan melakukan terlebih dulu,
Setelah mereka adakan undian dengan
permainan jari-jari tangan ternyata
Tapak Doro yang menang. Maka,
tak ayal Tapak Doro segera
loloskan pakaiannya tanpa ragu-ragu lagi.
Sementara Windarti terperangah
memandang dengan hati mencelos.
Air matanya menitik mendengar
keputusan sang Ketua yang membe-
rikan hukuman mati pada Kuntali.
Dan seperti kata Nagasari, dia juga
akan diumpankan pada seorang
langganan pesanggrahan Melati yang
telah memesannya.
Kuntali terbaring terlentang
dengan tubuh yang sudah tak bertu-
tupkan apa-apa. Ikatan pada
lengannya segera dibuka oleh Tapak Do-
ro. Tak perlu lagi. Karena gadis
itu sudah dalam keadaan tertotok.
Membelalak sepasang mata gadis
ini dengan pancaran mata tajam,
namun jelas terlihat sepasang
mata itu berkaca-kaca. Sementara Win-
darti telah menggigit bibirnya
sampai berdarah. Betapa perih hatinya
menyaksikan apa yang sebentar
lagi terpampang dihadapannya. Na-
mun dia tak berdaya. Dan setitik
air bening kembali merayap turun
membasahi pipinya. Angin malam
yang dingin seperti meresap ketu-
lang. Dan... batang-batang pohon
itu bergoyangan tersibak angin.
Sementara desah-desah ombak
sesekali terdengar dari arah pantai.
Nagasari tersenyum memandang
dengan mata membinar. Tontonan
yang menyenangkan hati itu
seperti melenyapkan kemendongkolan
hatinya atas tewasnya si
bangsawan tua langganannya. Dan lenyap-
nya salah satu perahu pesiarnya,
yang tenggelam dilautan lokasi Pe-
sanggrahan Melati...
***
EMPAT
Sementara itu penjagaan disekeliling Pesanggrahan Melati te-
lah diperketat. Tak sedikit
kiranya orang-orang yang menjadi kaki-
tangan Ketua Pesanggrahan
Melati. Terlihat orang-orang yang berke-
pandaian tinggi simpang-siur
membagi tugas. Karena mereka telah
mendengar adanya si Ular Betina
Selat Madura yang mengacau ke-
tempat itu. Didepan Pesanggrahan
tampak seorang laki-laki berusia
lebih dari 35 tahun, berdiri
dihadapan tiga laki-laki berjubah hijau.
Dialah Beguk Reksasana.
Sedangkan ketiga laki-laki tua yang rata-
rata bertampang seram itu adalah
si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Yaitu ketiga orang guru Beguk
Reksasana.
"Pergilah cari istrimu!
Jangan khawatir. Kami bertiga akan
menjaga di Pesanggrahan. Kalau
perlu menangkap hidup-hidup si
Ular Betina itu. Bila dia
munculkan diri...!" ujar salah satu gurunya
yang bertubuh tinggi besar.
Orang ini berkulit hitam dengan cambang
bauk yang lebat. Berbeda dengan
dua orang lagi. Walau mereka tanpa
kumis dan jenggot, tapi wajahnya
bertampang angker.
"Sebenarnya istriku bisa
menjaga diri sendiri, aku tak perlu
khawatir. Tapi baiklah aku
menyusulnya, karena siapa tahu si Ular
Betina itu menggunakan akal
licik dengan memancing keluarnya is-
triku...!" berkata Beguk
Reksasana. Lalu setelah berkata segera men-
jura pada ketiga gurunya. Seraya
berkata. "Syukurlah, kebetulan guru
semua datang kemari disaat yang
genting ini. Si Ular Betina itu me-
mang perlu diringkus. Bahkan
seorang anak buahku secara diam-
diam telah berkomplot dengan
dia!" Tiga Dedemit Gunung Siung
manggut-manggut mendengar
penuturan muridnya.
"Apakah diantara para anak
buahmu ada yang perlu dicurigai?"
tanya laki-laki yang berwajah
kaku dengan sepasang mata yang sipit.
Hidungnya mencuat naik menghadap
kelangit.
"Kukira tidak. Cuma satu
orang yang berkhianat. Tapi telah di-
ketahui tempat persembunyiannya.
Saat ini istriku tentu telah berhasil
meringkusnya. Baiklah, aku
berangkat dulu, guru...!" ujar Beguk
Reksasana. Ketiga orang gurunya
mengangguk. Dan Beguk Reksasa-
na segera beranjak keluar dari
pesanggrahan dengan gerakan cepat.
Lalu berkelebat lenyap dibalik
pepohonan disebelah barat pesanggra-
han di pesisir pantai itu.
Sementara itu ditempat
persembunyian, dibalik perahu-perahu
pesiar yang tertambat
dipangkalan, sejak mata dari sesosok tubuh
wanita tampak mengintai. Seorang
wanita dari anak buah Nagasari
datang mendekat untuk memeriksa
sekitar pangkalan perahu itu. Wa-
nita ini beringsut mundur.
Ketika gadis itu mendekat, dengan gerakan
cepat sekali dia telah
menyergapnya. Mulutnya dibekap hingga tak
mengeluarkan suara. Dan sekali
totok, tubuh gadis itu terkulai meng-
gelosoh. Bahkan langsung merokok
urat suaranya. Kemudian apakah
yang dilakukan wanita ini? Dia
membukai seluruh pakaian penjaga
wanita ini. Setelah membuka
pakaiannya yang basah kuyup, dia
mengganti bajunya dengan pakaian
wanita penjaga itu.
Sebentar saja dia sudah seperti
seorang penjaga wanita itu. Lalu
tanpa ragu-ragu dia segera
"tongolkan diri. Rambutnya yang basah
diuraikan. Persislah kini dengan
si penjaga wanita tadi. Tentu saja
dengan "bebas" dia
bisa bergerak masuk. Sementara matanya menca-
ri-cari seseorang diantara para
penjaga yang dilihatnya. Lalu mema-
suki gedung Pesanggrahan melalui
jalan samping. Sebuah pintu ka-
mar dibukanya. Tapi kamar itu
kosong. "Heh!? kemanakah Kuntali?
Juga aku tak menemui
Windarti...? Hm, jangan-jangan mereka sudah
berangkat duluan kepondok
tersembunyi itu?" berdesis suara gadis ini
pelahan.
Segera dia tutupkan lagi pintu
kamar. Lalu dengan gerakan gesit
segera melompat berindap-indap mencari
kamar si saudagar tua. Tak
lama dia telah membuka lagi
pintu sebuah kamar. Itulah memang
kamar si saudagar tua. Pintu
kembali dirapatkan dengan cepat dari
dalam... Apakah yang
dikerjakannya didalam? Ternyata wanita ini
menguras uang si saudagar tua
dari dalam laci mejanya. Memasuk-
kannya ke dalam pakaiannya.
Hingga tampak perutnya agak meng-
gembung.
Tak lama dia telah keluar lagi.
Beruntung tak ada seorangpun
didalam Memang Pesanggrahan
Melati belum lama ini telah menjual
wanita-wanita culikan yang
kebanyakan telah dipesan terlebih dulu.
Hampir semua pintu kamar
dimasuki. Bahkan kali ini adalah kamar
khusus tempat tidur Nagasari
yang telah dimasukinya. Pintu kamar
itu terkunci. Namun baginya hal
itu bukan halangan. dengan kunci
palsu dimilikinya pintu bisa
dibuka. Sekejap dia sudah melompat ke-
dalam. Lalu tutupkan pintu dari
dalam. Habislah uang dan perhiasan
Nagasari dikurasnya hingga ludas
bersih. Saat itu terdengar suara-
suara diluar kamar.
Langkah-langkah kaki terdengar memasuki ruan-
gan Pesanggrahan. Tersentak dara
ini. Onggokan terakhir dari perhia-
san mahal milik Nagasari cepat
diraupnya. Lalu dimasukkan dalam
baju. Terlihat semakin
menggembung bagian pinggang dan perut da-
ra ini karena penuh dengan
perhiasan dan uang.
"Aku harus cepat minggat
dari sini. Dan menyusul Kuntali! Ku-
kira dia sudah disana..."
desis wanita ini. Dengan gerak cepat jendela
segera dibuka. Akan tetapi saat
itu pintu kamar terbuka menjeblak.
"Haiii!? siapa
kau...?" satu bentakan menggema diruangan itu. Akan
tetapi wanita ini telah melompat
dengan cekatan dari jendela. Yang
membentak tak lain dari
Nagasari.
Terbelalak matanya melihat ada
orang didalam kamarnya. Bah-
kan bukan main terkejutnya
ketika dia membuka pintu kamar dengan
mudah. Melihat bayangan sosok
tubuh itu melompat keluar dari jen-
dela tak ayal dia sudah
mengejar. Akan tetapi.
WHUUUK!... CRIIING!
Hampir saja dia kena sambaran
"senjata rahasia" wanita ini
yang meluruk kearahnya, kalau
dia tak berlaku gesit mengelakkan di-
ri. Ternyata senjata rahasia itu
adalah segenggam uang logam milik-
nya yang dihamburkan untuk
menyerangnya.
"Bedebah!" memaki
Nagasari. Namun kembali dia melompat
untuk mengejar seraya berteriak.
"Pencuriii! tangkap dia! tang-
kaaap...!" Tentu saja
teriakan itu membuat seisi Pesanggrahan Melati
menjadi gaduh. Saling terjang
mereka bermunculan dengan senjata-
senjata ditangan. "Dimana
pencurinya!?"
"Pencurinya
dimana...?" Mereka saling mempertanyakan. Seba-
gian lagi menghambur keluar
melalui jalan samping, karena teriakan
itu terdengar disana. Akan
tetapi yang "kepergok" adalah Nagasari
sang Ketua.
"Apa yang terjadi
Ketua...?"
"Goblok semua! Cepat kejar!
dia berlari kearah sana! Nagasari
sambil menunjuk. Sementara dia
sendiri berkelebat lebih dulu. Tak
ayal para anak buah wanita itu
segera menghambur berloncatan untuk
mengejar disertai
teriakan-teriakan gaduh.
"Kejaaar! tangkap pencuri
itu...!" "Kepuuung! Bunuuuh...!" ber-
teriak-teriak mereka.
Tiga Dedemit Gunung Siung segera
muncul. Melihat banyak
anak buah Pesanggrahan Melati
yang menghambur kearah depan, se-
jenak mereka saling pandang.
Namun cuma sesaat. Karena dengan
gerakan bagaikan bayangan mereka
telah melesat cepat untuk men-
dahului para anak buah itu.
Tentu saja gerakan tiga tokoh kosen ini
sepuluh kali lipat dari gerakan
mereka. Sekejap mereka telah tersusul.
Lalu ketiga tokoh kawakan Rimba
Hijau itu berpencar ketiga arah.
Sementara itu Nagasari yang
mengejar terlebih dulu ternyata te-
lah kehilangan jejak.
"Bedebah! kemana larinya bangsat perempuan
itu? memaki dia dengan wajah
menampakkan kegusaran. "Celaka...!
Oh, ludaslah sudah harta
bendaku!
Dari mana dia bisa masuk
kekamarku? Bukan pintu kamarku
terkunci dan penjagaan di
Pesanggrahan begitu ketat?" berdesis wani-
ta ini dengan tersentak kaget
karena segera teringat akan kejadian
waktu memergoki sosok tubuh
yang, luput dari kejarannya itu. Berpi-
kir demikian, Nagasari segera
balikkan tubuh. Semangatnya serasa
lenyap untuk mengejar lebih
jauh.
Apalagi dia telah kehilangan
jejak. Tak tahu lagi kemana larinya
orang yang dikejarnya. Namun
hatinya telah meyakinkan siapa
adanya orang itu. Ya! siapa lagi
kalau bukan si Ular Betina Selat
Madura? Pikirnya. Sekejap kemudian, Nagasari telah kembali
lagi menuju kearah Pesanggrahan.
Benaknya berkecamuk memikir-
kan uang dan harta bendanya yang
amat perlu sekali untuk dilihatnya.
Apakah si Ular Betina itu telah
merampok habis, meludaskan isi le-
mari perhiasannya...? Hal itulah
yang membuat dia tak tenang hati.
Karena susah payah Nagasari
mengumpulkan, bahkan sampai mema-
kan waktu lebih dari dua tahun.
Baru beberapa belas kali kakinya
melangkah tiba-tiba... "Itu
dia...! tangkap!
kejaar!"
"Bunuuuh!"
Teriakan-teriakan terdengar
ramai. Tersentak Nagasari. Tentu
saja sekejap dia telah hentikan
tindakannya. Sementara orang-
orangnya sendiri telah
berkelebatan menghadang.
"GOBLOK! mata kalian sudah
buta semua...? Apakah tak men-
genali aku?" membentak
Nagasari dengan suara mengeledek.
"Hah!? KET... KETTT...
KETUA...?" hampir berbareng mereka
melompat mundur dengan suara
tertahan.
"Oh, maafkan kami Ketua...!
Keadaan cuaca agak gelap. Kami
tak mengenali orang..."
menyahut salah seorang dari anak buahnya.
"Huh! dasar kalian bakul
nasi semua!" maki Nagasari dengan
mendongkol. Hampir menangis
Nagasari karena jengkelnya. Dan
tanpa bersuara lagi langsung
berkelebat cepat untuk kembali pulang.
Pikirannya hanya tertuju pada
uang dan perhiasan simpanannya. Baru
saja menginjakkan kaki didepan
Pesanggrahan, sudah ada yang me-
nyongsongnya. Langsung lakukan
pertanyaan.
"Ada apa Nagasari...?
Apakah yang telah terjadi istriku?" Men-
delik sepasang mata wanita ini.
"Kau...?! apa saja kerjamu,
kakang...? sampai tak tahu kejadian
ini...?" membentak Nagasari
dengan hati kesal. "kemana saja kau...?"
"Aku baru saja tiba setelah
menyusulmu kepantai sebelah barat
itu. Bukankah kau mengatakan
disana ada sebuah pondok tersem-
bunyi yang telah di jadikan
tempat persembunyian Kuntali untuk me-
laksanakan niatnya melarikan
diri? Tapi aku tak menjumpaimu, ke-
cuali mayat Kuntali! Cepat-cepat
aku kembali. Dan baru saja tiba...!"
menyahut Beguk Reksasana.
"Aku memang telah
mengirimkan nyawanya ke Akhirat!" ujar
Nagasari dengan mendengus.
"Tak tahukah bahwa kamar kita telah
kemasukan maling? Oooo...
ludaslah semua harta bendaku..." teriak
Nagasari, seraya melompat cepat
memasuki Pesanggrahan untuk me-
nuju ke arah kamarnya. Beguk
Reksasana naikkan alisnya, terkejut.
Lalu bergerak melompat menyusul
istrinya. Didapati Nagasari tengah
tertegun menatap isi lemari yang
lacinya telah terbuka. Laci tempat
menyimpan uang dan perhiasannya.
"Keparrat! dia telah
menggondolnya semua... Oh, terkutuklah si
Ular Betina itu. Apa yang telah
aku kumpulkan ludas dalam sekejap
mata!" Maki Nagasari dengan
keluhnya setengah menangis.
"Ini semua gara-gara
kau...!" tiba-tiba membentak Nagasari se-
raya putarkan tubuh. Tampak
sepasang mata wanita ini berkaca-kaca
menatap pada Beguk Reksasana yang
tertegun bagai arca.
"Gara-gara aku...? He? aku
tak tahu menahu dengan semua ini!
Ketika aku pergi mencarimu,
pesanggrahan dijaga ketat. Bahkan dis-
ini ada pula tiga orang guru
kita...!" bela Beguk Reksasana sang sua-
mi.
"Cih! kalau. tidak
gara-gara kau menerima wanita muda berna-
ma Andini itu untuk bekerja
disini tak mungkin hal ini terjadi!" ber-
kata Nagasari dengan ketus
seraya bantingkan pantatnya dipembarin-
gan.
"Tahukah kau siapa adanya
si Andini itu? Dialah si Ular Betina
Selat Madura. Kedatangannya
kemari dengan menyamar dan pura-
pura mau bekerja ditempat ini
adalah siasatnya saja. Kalau kau tak
mata keranjang dan sebelumnya
waspada tentu takkan menerimanya.
Tapi aku tahu kau memang merasa
dapat kesempatan untuk meniduri
wanita sialan itu. Makanya kau
menerimanya!" semakin ketus kata-
kata Nagasari yang tetap
mempersalahkan suaminya.
"Aku... aku..."
Tergagap laki-laki ini dengan wajah memerah.
"Sudah. sudah! SUDAH!!! tak
usah kau mencari-cari alasan!
Lebih baik kau bantu ketiga
gurumu dan anak-anak buah kita mem-
bekuk si Ular Betina keparat
itu!" potong Nagasari dengan bentakan
ketus. Lalu bantingkan tubuhnya
menelungkup dipembaringan. Dan...
terisak-isak wanita ini
menyusupkan mukanya kebantal. Terhenyak
Beguk Reksasana. Tapi lalu
berkata. "Baiklah, istriku! Kelak akan ku
seret maling tengik itu
kehadapanmu bila kuberhasil membekuknya!"
Beguk Reksasana balikkan tubuh,
dan melompat keluar dari ruangan
kamar itu...
***
LIMA
Di dalam kamar dengan lengan dan
kaki terikat, Windari ter-
golek dipembaringan. Mendengar ribut-ribut tadi
gadis ini membela-
lakkan matanya.
"Ada apakah yang telah
terjadi di Pesanggrahan?" tersentak
Windarti berkata dalam hati.
Lama dia termangu dengan benak me-
mutar. Selain berfikir tentang
kejadian di Pesanggrahan Melati yang
tak diketahuinya, juga
memikirkan nasibnya yang dalam keadaan se-
bagai tawanan. Kali ini berbeda
dengan dahulu. Kalau dahulu dia se-
perti tawanan, tapi dalam
keadaan bebas bergerak. Bahkan ditu-
gaskan mengawal perahu pesiar
bila ada tetamu yang mau melancong
untuk berkencan ditengah laut.
Tapi kali ini dia tak bisa bebas berge-
rak. Karena tangan dan kakinya
terikat erat oleh tali laso. Bahkan ma-
sih dalam keadaan membugil.
Pesanggrahan Melati itu kembali
lengang. Karena suara-suara
gaduh itu lenyap lagi. Windarti
cuma mendengar teriakan-teriakan
yang gaduh tadi dengan suara
yang kurang jelas. Tapi lapat-lapat dia
ada mendengar teriakan
"Kejaar! Tangkaaap...!. Bunuuh...!" Cuma itu
yang terdengar diantara
hiruk-pikuk suara-suara orang. Sementara ha-
tinya mulai menduga-duga.
"Apakah si manusia misterius yang me-
namakan dirinya Ular Betina
Selat Madura itu yang tengah dike-
jar...?"
Namun pertanyaan dalam hati itu
segera lenyap lagi. Yang ter-
bayang justru kejadian tadi.
Kejadian yang telah membuat bulu ro-
manya berdiri dan tubuhnya
bergidik seram. Hatinya terasa disayat-
sayat manakala menyaksikan
sahabat setianya Kuntali dijadikan pe-
lampiasan nafsu berahi Tapak
Doro dan Binangun. Dua orang sauda-
ra seperguruannya sendiri, yang
telah menjadi anak buah dari Naga-
sari alias sang Ketua
Pesangrahan Melati.
Walaupun sebenarnya Nagasari
juga saudara seperguruan me-
reka ketika masih menjadi anak
didik Nini Candra Gumintang, na-
mun apa mau dikata kalau kini
persoalan sudah lain. Nagasari telah
menjadi Ketua mereka yang setiap
perintahnya harus dipatuhi. Dan
bagi setiap pengkhianatan, akan
membawa kematian.
Seperti juga dengan nasib tragis
Kuntali, yang harus menemui
kematian ditangan Nagasari.
Sebagai tebusan atas antara pengkhiana-
tannya.
Tak terasa air mata dara ini
kembali mengalir membasahi pi-
pinya. Tak tega dia membayangkan
bagaimana Nagasari menghabisi
nyawa Kuntali, karena dia telah
palingkan Wajahnya. Cuma jeritan
pendek dari sahabat tercintanya
itu yang terdengar ditelinga.
Windarti memang tak mau melihat.
Dan tak akan melihat, kare-
na segera dia telah diboyong
pergi berlari untuk diantarkan lagi ke
pesanggrahan Melati oleh Tapak Doro dan Binangun. Dan
selanjut-
nya menempati kamar tahanan ini
dengan keadaan tangan dan kaki
terbelenggu...
Kini keheningan merayapi ruangan
itu. Cuma desah napasnya
dan suara detak-detak jantungnya
yang terdengar ditelinga. Sunyi!
Sunyi...! Seperti juga sunyinya
sang hati Dia telah kehilangan orang
yang paling dikasihi. Seorang
sahabat yang lebih menyerupai jiwanya
sendiri. Walau setitik naluri
kwanitaannya mengatakan bahwa dia te-
lah menempuh jalan salah. Ya! tak
semustinya dia mencintai sesama
jenis. Persahabatan yang terlalu
akrab itu ternyata membuat ketidak
wajaran jiwa mereka yang
sama-sama menyenangi sesama kaumnya.
Namun segalanya terputus sudah.
Kuntali telah mati! Dan takkan hi-
dup lagi...
Namun dihati gadis ini timbul
benih-benih dendam yang amat
luar biasa pada Nagasari. Dendam
yang tak pupus tersiram hujan dan
tak lekang terkena panas!
"Nagasari...! tunggulah
saat pembalasanku! Sakit hati ini takkan
puas belum terbalaskan...!"
berdesis Windarti dengan sepasang len-
gan mengepal dalam belenggu.
Tiba-tiba tersentak dara ini
ketika terdengar suara berdetik anak
kunci. Dan pintu kamar tahanan
itu terbuka. Sesosok tubuh muncul di
hadapannya.
"Ssssst!" Sosok tubuh
itu tempelkan jari telunjuknya ke mulut
memberi isyarat. Terkejut
Windarti "Siapakah orang ini?" Sentaknya
dalam hati, karena orang itu
mengenakan topeng menutupi wajahnya.
Cuma sepasang matanya saja yang
terlihat, menatapnya dengan ta-
jam.
Dan... tanpa ayal laki-laki itu
keluarkan pisau belati dari balik
bajunya. Lalu dengan cepat
segera memutuskan tali-tali pengikat
yang membelenggu tangan dan kaki
gadis ini.
Bahkan segera membuka
totokannya. Selesai itu, si orang ber-
topeng segera balikkan tubuhnya
membelakangi. Tampak lengannya
merogoh lagi kebalik baju. Dan
melemparkan "sesuatu" kearahnya.
Windarti rasakan benda lunak
dari bahan pakaian. Tentu saja
membuat wajah si gadis ini jadi
berubah gembira. Tak ayal segera dia
beringsut, untuk segera melompat
bangun. Ternyata satu stel pakaian
dari sutera warna hitam. Dan...
cepat dikenakannya. Sepasang mata si
orang bertopeng melirik untuk
melihat apakah si gadis sudah selesai
berpakaian?
Windarti ternyata cukup mengerti
untuk mengenakannya den-
gan cepat. Sebentar saja sudah
rapih berpakaian. Cepat si orang ber-
topeng putar tubuh. Lalu beri
isyarat untuk mengikutinya. Dengan be-
rindap-indap, mereka keluar dari
kamar tahanan itu. Melompat gesit
dengan hati-hati agar tak
menimbulkan suara. Tiba dibagian belakang
Pesanggrahan, lengan si orang
bertopeng mencekal pergelangan tan-
gan Windarti. Dan Cepat sekali
telah berpindah meraih pinggang. Se-
lanjutnya... WHUT! si orang
bertopeng telah melesat ke arah timur.
Dan sekejap sudah tak terlihat
lagi bayangannya bersama gadis itu.
"GURUUU...!? Oh,
guruuu...!" berteriak Windarti dengan ter-
sentak antara terkejut dan
girang. Dan menghambur dia untuk kemu-
dian berlutut dan bersimpuh
memeluk kaki seorang wanita tua yang
berdiri tegak diambang pintu
pondok sederhana itu. Wanita tua itu tak
lain dari Nini CANDRA GUMINTANG.
Sang guru yang dikhabar-
kan Nagasari telah tewas tak
tertolong jiwanya lagi dalam pengobatan
seorang tabib karena penyakit
yang dideritanya.
Sebelumnya Windarti tak percaya
kalau yang dihadapannya itu
adalah gurunya tercinta. Yaitu
Ketua Perguruan CEMPAKA BIRU.
Tapi karena saat itu adalah
sudah menjelang pagi. Bahkan Matahari
telah membersitkan sinarnya dari
ufuk timur. Juga melihat jelas sepa-
sang kaki sang guru telapaknya
menginjak tanah. Yakinlah dia kalau
yang dihadapannya itu bukan
hantu. Ya! dia memang Nini Candra
Gumintang Pendiri Perguruan
Cempaka Biru, gurunya. Juga guru
Nagasari, yang selama ini
menggantikan jabatan sang guru menjadi
Ketua. Tapi bukan lagi Ketua
Perguruan Cempaka Biru, melainkan
sebuah Pesanggrahan bernama
Pesanggrahan MELATI. Yang ber-
fungsi pada penyelundupan,
penculikan dan penjualan serta penam-
pungan wanita-wanita cantik.
Merupakan bisnis besar yang dikelola
secara tersembunyi oleh Nagasari
yang tamak serta rakus akan uang
dan harta benda.
Air mata dara ini bersimbahan
membasahi jubah dan kaki wani-
ta tua itu. Wanita ini
cepat-cepat mengangkat pundak Windarti, se-
raya berkata.
"Sudahlah muridku...! mari
kita berbincang-bincang dida-
lam...!" Lalu paling pada
si laki-laki bertopeng itu.
"Shidarta! kau belum juga
membuka topeng mu?"
Tersentak laki-laki bertopeng
itu. "Haih! ya...! aku sampai lupa,
guru...!" Cepat-cepat si
laki-laki bertopeng itu. lepaskan cadar penu-
tup wajahnya. Karena memandangi
pertemuan yang mengharukan
antara guru dan murid itu
membuat dia sampai-sampai tertegun lama.
Menatap dengan mata mendelong.
Adapun Windarti jadi terlongong
mendengar sebutan sang guru pada
si laki-laki bertopeng. Apalagi se-
telah melihat jelas wajah
laki-laki dihadapannya yang telah membuka
topengnya.
"Kau..., kau
SHIDARTA...?" sentak Windarti terkejut.
Laki-laki itu mengangguk sambil
tersenyum, "Marilah kita du-
duk didalam, Windarti...!
Tampaknya banyak yang akan kami cerita-
kan padamu mengenai guru kita.
Juga riwayatku! Tentunya kau me-
nyangka kami adalah hantu-hantu
yang hidup lagi, bukan...?"
"Benar, Shidarta..."
menyahut dara ini. "Apakah sebenarnya
yang telah terjadi? Aku serasa
mimpi."
"Marilah kita bicara
didalam...!" ujar Shidarta seraya mengga-
mit lengan Windarti. Sementara
Nini Candra Gumintang telah duduk
diatas tikar bersih yang
digelarkan ditengah ruangan. Cukup besar
pondok sederhana itu. Shidarta
beranjak melangkah kearah meja. La-
lu bawa sekendi air dan dua buah
gelas, untuk diletakkan diatas tikar
dihadapan sang guru.
Windarti segera duduk bersimpuh
dihadapan gurunya. Tak sa-
bar rasanya untuk lakukan
pertanyaan, segera Windarti berkata.
"Guru...! ceritakanlah...!
apa sebenarnya yang telah terjadi?
Kami selama ini merasa hidup
tertekan setelah Nagasari mengambil
alih jabatan Ketua yang
perintahnya harus dituruti. apakah memang
Nagasari telah berdusta dengan
penu-turannya yang mengatakan guru
telah tiada...? Bagaimana dengan
surat wasiat yang ditanda tangani
oleh guru sendiri itu? Juga
apakah artinya semua ini...? Pertanyaan
Windarti bertubi-tubi yang
dikemukakan terhadap sang guru itu.
Namun dengan tersenyum Nini
Candra Gumintang segera men-
jawab satu persatu pertanyaan
muridnya. Diceritakannya bahwa, ke-
tika pada lebih dua tahun yang
lalu disaat dia sakit parah, adalah aki-
bat perbuatan Nagasari yang
sengaja menaruh semacam racun pada
makanan yang di suguhkan
padanya. Racun itu mempunyai proses
lambat, yang memang sudah
direncanakan Nagasari untuk membu-
nuhnya. Nagasari adalah seorang
murid terlama dan paling dulu men-
jadi murid pada Nini Candra
Gumintang. Perbuatan jahatnya itu baru
diketahui setelah Nagasari
membawanya kesatu tempat, yang menu-
rut apa yang didengar oleh
wanita tua itu dirinya akan diobati dan di-
bawa keseorang tabib yang pandai
mengobati bermacam penyakit.
Perbuatan jahat itu ternyata
telah direncanakan oleh Nagasari
berdua dengan Beguk Reksasana.
Beguk Reksasana adalah seorang
buronan Kerajaan yang pernah
melakukan pengkhianatan mau mem-
bunuh Adipati Donggala. Justru
dia orang bawahan Adipati itu sendi-
ri. Tentu saja tujuannya mau
menggantikan kedudukan Adipati itu,
karena dia telah diangkat
saudara oleh Adipati Donggala. Ternyata
kebaikan Adipati Donggala
dibalas dengan air tuba. Dengan rayuan
serta tutur kata yang manis,
juga dengan modal ketampanan wajah-
nya dia telah pula berniat jahat
mau menodai istri sang Adipati.
Untunglah hal itu tercium oleh adik
iparnya, yaitu adik istri
Adipati Donggala. Adik ipar
Adipati Donggala tak lain dari
SHIDARTA. Yaitu yang menjadi
murid termuda (murid terakhir)
Nini Candra Gumintang.
***
ENAM
SHIDARTA memang
"menghilang" ketika Beguk Reksasana
muncul di pesanggrahan Perguruan
Cempaka Biru. Karena dia telah
segera mengenali laki-laki itu.
Laporan Shidarta pada Adipati Dong-
gala mengenai kejahatan yang
telah direncanakan. Serta niat perbua-
tan jahatnya pada kakak
perempuannya telah pula dilaporkan. Shidar-
ta memang telah mulai mencurigai
kasak-kusuk ditempat-tempat ra-
hasia mengenai adanya rencana
busuk Beguk Reksasana, yang nama
sebenarnya adalah, TALI WANGSA.
Begundal-begundalnya berhasil
dibekuk, yang juga terdiri dari
para prajurit Kadipaten yang
telah kena dihasut. Tentu saja dengan
janji akan mendapat imbalan dan
kedudukan serta kekuasaan yang
lumayan, bila kelak Tali Wangsa
berhasil menjadi Adipati. Bukan sa-
ja untuk merebut kedudukannya,
tapi juga merebut istrinya.
Sayang Tali Wangsa berhasil
melarikan diri. Hal kejadian itu
segera dilaporkan pada Raja.
Hingga kemudian pihak Kerajaan me-
netapkan Tali Wngsa menjadi
buronan Kerajaan. Pelacakan dalam
mencari jejak Tali membawa
hasil. Namun ada berita ditemui seso-
sok mayat oleh para prajurit
kadipaten. Mayat yang mirip dengan Tali
Wangsa dalam perawakannya.
Sayangnya mayat itu sudah dalam
keadaan hancur mukanya. Juga
serpihan daging yang sudah hampir
hancur membusuk. Hingga sukar
dipastikan apakah benar dia Tali
Wangsa adanya. Namun dugaan
cukup kuat kalau menilik dari pa-
kaian yang dikenakannya. Sosok
mayat itu ditemukan mengambang
disungai yang mengalir disebelah
barat gedung Kedipatian. Agak le-
ga hati Shidarta mendengar
berita itu.
Akan tetapi sungguh tak dinyana
kalau Tali Wangsa muncul di
Pesanggrahan Cempaka Biru.
Bahkan bersahabat baik dengan Naga-
sari. Namun dengan nama Beguk
Reksasana. Hal mana membuat
Shidarta berpikir kalau Tali
Wangsa telah melakukan penipuan
mayat, yang sengaja dilakukan
demi keamanannya bergerak. Walau-
pun Tali Wangsa mengganti
namanya dengan nama Beguk Reksasa-
na tentu tak mudah menipu mata
Shidarta saat itu.
Rencana Beguk Reksasana dan
Nagasari untuk membawa sang
guru keseorang tabib agak
membuatnya curiga. Seperti dibisikkan
Kuntali padanya Namun tampaknya
mereka tak bisa berbuat apa-apa,
karena keputusan Nagasari
sebagai murid tertua. Mereka merasa tak
punya hak untuk melarang niat baik Nagasari.
Apalagi dua orang
saudara seperguruannya tentang
siapa sebenarnya Beguk Reksasana,
diam-diam menguntit kepergian
mereka. Tentu saja dengan alasan
minta izin pulang ke Kadipatian,
disaat kira-kira sepenanak nasi rom-
bongan mereka berangkat. Sebagai
murid termuda. Apalagi masih
adik dari istri Adipati Donggala
yang punya wewenang mengatur wi-
layah tempat itu. Mereka tak
dapat melarang. Cuma Kuntali yang
berpesan agar tidak terlalu
lama. Shidarta mengangguk, dan menga-
takan akan cepat kembali bila
urusannya sudah selesai. Lalu cepat be-
rangkat pergi. tapi diam-diam
membelok untuk berlari cepat menyu-
sul pengangkut tandu yang
membawa sang guru.
Demikianlah, Shidarta berhasil
mengetahui kemana Nagasari
dan Beguk Reksasana membawa Nini
Candra Gumintang. Yaitu ke-
sebuah tempat dilereng bukit,
yang dalam perjalanan dengan tandu
memakan waktu satu hari penuh.
Tempat itu tersembunyi. Dan disana
ada sebuah goa yang menghadap
kearah sisi laut.
Apa mau dikata dia kepergok oleh
Nagasari. Tentu saja saudara
seperguruan tertua itu
mendapratnya. Karena Shidarta melanggar pe-
sannya untuk ikut serta.
Nagasari hanya membolehkan dua orang saja
yang turut serta. Yaitu Tapak
Doro dan Binangun. Saat itu Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa
muncul pula. Tersentak kaget buronan
Kerajaan ini melihat adik ipar
Adipati Donggala ternyata adalah sau-
dara seperguruan Nagasari. Namun
Tali Wangsa berbuat seolah-olah
tak mengenai Shidarta. Begitu
pula Shidarta seolah telah lupa dengan
wajah Tali Wangsa, yang memang
agak banyak perubahan sejak
hampir setahun tak menampakkan
diri. Bahkan orang-orang Kadipa-
ten telah menganggap Tali Wangsa
telah tewas, dengan ditemuinya
mayat laki-laki itu disungai.
"Aku tetap tak mengizinkan
kau disini, Shidarta..." ujar Nagasa-
ri. Walau kau adik dari istri
Adipati Donggala, namun kau telah men-
jadi murid dari Perguruan
Cempaka Biru. Kau harus tunduk dan pa-
tuh pada perintah kakak tertua
seperguruanmu. Sebabnya kau kula-
rang disini adalah karena di
Pesanggrahan Cempaka Biru tak ada sa-
tupun laki-laki. Kau adalah
murid termuda. Tapi kalau kau merasa
sungkan untuk berdiam
dipesanggrahan, sementara menunggu ke-
sembuhan guru kita, baiklah! Kau
kuizinkan pulang ke Kedipatian.
Tapi cuma kuberi waktu satu
bulan. Tepat tiga puluh hari kau harus
sudah berada di Pesanggrahan
Cempaka Biru lagi...!"
"Baiklah kakang mbok. Aku
turut perintahmu...!" menyahut
Shidarta dengan tundukkan
wajahnya.
"Tapi ingat pesanku. Jangan
kau kembali ke pesanggrahan.
Apalagi menceritakan pada
saudara-saudara seperguruanmu letak
tempat mengobati penyakit guru
kita ini. Dan perlu kuingatkan kau
akan kata-kata guru. Beliau
mengizinkan aku memberi hukuman pa-
da setiap murid yang melanggar
aturan perguruan. Dan aku telah di-
beri wewenang untuk
itu...!" lanjut ucapan Nagasari memberi perin-
gatan. Shidarta tak bisa berkata
apa-apa selain mengangguk.
"Aku akan ingat pesan itu,
kakang mbok...!" sahutnya lirih. Lalu
setelah berpamitan dan tanpa
melirik lagi pada Beguk Reksasana,
Shidarta segera beranjak bangkit
berdiri Setelah putar tubuh lalu se-
gera angkat kaki bergegas
meninggalkan tempat itu.
Shidarta langkahkan kaki dengan
cepat menuruni lereng bukit.
Akan tetapi kira-kira dua kali
sepeminuman teh dia memperlambat
larinya. Hatinya membatin.
"Hm, tak nantinya si Tali Wangsa akan
membiarkan aku pergi begitu
saja...!" Dugaannya benar. Ketika
membelok kesatu tikungan jalan,
dihadapannya berdiri tegak sesosok
tubuh. Siapa lagi kalau bukan
Beguk Reksasana alias Tali Wangsa.
Laki-laki ini menatap Shidarta
dengan tatapan tajam seperti mau me-
nembus jantung. Bibirnya
tampakkan senyum sinis.
Adapun Shidarta tampak
tenang-tenang saja. Seperti tak merasa
terkejut. Karena justru hal
inilah yang diinginkannya. Tetap melang-
kah dengan tegar. Kira-kira
jarak 10 langkah dia berhenti. Sementara
Shidarta telah siapkan diri
untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ada apakah, kau
menghadangku, sobat Beguk Reksasana...?
Apakah ada lagi pesan yang lain
dari kakak seperguruanku...?" Shi-
darta pura-pura bertanya.
Laki-laki itu perdengarkan suara dengusan
dihidung. Lalu menjawab.
"Benar! Kakak seperguruanmu
perintahkan aku membunuhmu
saat ini juga. Dan sebagai
seorang murid dari Perguruan Cempaka Bi-
ru yang patuh, kau tentu tak
keberatan untuk segera memasrahkan
nyawamu...!" Melotot
sepasang mata Shidarta. Tapi dia tertawa ham-
bar.
"Hahaha... sudah kuduga
sejak semula kau akan ucapkan kata-
kata itu. Karena aku tahu siapa
sebenarnya dirimu TALI WANGSA!
Nasibmu masih bagus bisa lolos
dari tangan kakak iparku Adipati
Donggala, juga dari kejaran
lasykar Kadipaten. Tapi jangan harap kau
bisa hidup tenang. Perbuatanmu
mengelabui hamba Kerajaan dengan
penipuan mayat telah tersingkap.
Aku curiga dengan "niat baik" mu
untuk mengobati guruku, makanya
aku menyusul dengan diam-diam.
Kalau kau mau membunuhku itu
adalah wajar, karena kau tak mau
ketahuan belang mu oleh kakang
mbok Nagasari. Juga kau khawatir
aku melaporkan pada Adipati.
Heh! kau kira aku takut pada seorang
buronan macam kau? Justru aku
amat penasaran untuk membekuk
mu. Kalau perlu mengirim nyawamu
ke Akhirat!" berkata Shidarta
dengan lantang. Dia memang amat
mendendam pada laki-laki ini
yang pernah mau memperkosa kakak
perempuannya. Bahkan mau
merebut kedudukan Adipati kakak
iparnya. Laki-laki yang pernah di-
angkat saudara oleh Adipati
Donggala ini memang manusia tak men-
genai budi. Sudah sepatutnya
diberi hukuman setimpal dengan perbu-
atannya.
"Bagus! kalau kau sudah
tahu! Kekhawatiran mu memang cu-
kup beralasan, Shidarta! Baiklah
aku ungkapkan padamu, karena toh
kau segera akan mampus. Kuakui
cukup tebal nyalimu, karena kau
murid dari Perguruan Cempaka
Biru. Tapi bagiku kau bukanlah apa-
apa! Apakah kau kira kakang
mbokmu mau membelamu walaupun
dia tahu siapa aku? Hahaha...
kau salah duga! Perencanaan kami ber-
dua telah cukup matang. Karena
sudah sejak lama kami mencari saat
seperti ini. Yaitu membawa
gurumu kemari, setelah meracuninya se-
cara diam-diam. Ketahuilah!
Kakang mbokmu itulah yang telah
memperbuatnya atas usulku.
Karena aku tahu gurumu memiliki harta
pusaka yang disembunyikan secara
diam-diam. Tabib yang kukata-
kan itu adalah saudara
seperguruannya sendiri. Dia bernama
LODAYA SETA...!"
"Keparat! jadi kalian
lakukan ini karena harta Pusaka itu?"
membentak Shidarta dengan wajah
merah padam.
"Benar! Shidarta...!
Sebenarnya aku adalah anak paman guru-
mu, alias Lodaya Seta itu!
Hihihi... wajar bukan kalau aku berkhia-
nat? Karena harta Pusaka itu
bisa jatuh ketanganku bila ayahku me-
maksa guru membuka mulut!"
Satu suara terdengar dibelakang Shi-
darta membuat pemuda ini
menoleh. Dan... Nagasari telah berdiri te-
gak bertolak pinggang menatapnya
dengan tersenyum. Senyuman ib-
lis!
"Edan! kalian memang
benar-benar bukan manusia!" memaki
Shidarta dengan wajah berubah
bringas. Dan... Srreek! Dia telah
mencabut senjatanya. Sepasang
tombak pendek bergagang perak.
Nagasari berikan isyarat pada
Beguk Reksasana alias Tali wangsa
agar membinasakan pemuda itu
secepatnya. Laki-laki buronan kera-
jaan ini tarik keluar sebuah
pedang bersinar ungu. Dan sehelai selen-
dang sutera warna merah dari
balik pakaiannya...
***
Emoticon