Pendekar Romantis 1 - Geger di Kayangan(2)



EMPAT

JIKA Ratu Geladak mengutus dua
orangnya untuk mengusir Nyai Sirih
Dewi dari Bukit Bara, tentu saja orang
itu adalah orang pilihan. Ilmunya
tidak tanggung-tanggung. Percuma saja
dong kalau kelas ilmu utusan itu
sebatas kelas kambing congek, ngapain
ditugaskan mengusir  Nyai Sirih Dewi?
Mendingan diutus mengusir ayam saja.
Iya, kan?
Tetapi petugas penggusuran itu
ternyata kalah sama Yuda Lelana.
Bukannya mengusir Nyai Sirih Dewi tapi
justru diusir Yuda Lelana. Malu nggak
malu deh, mereka pulang dengan babak
belur. Bahkan Kebo Tumang kehilangan
telinga kirinya yang sudah pasti akan
tetanus begitu sampai di tempat.
Keberhasilan Yuda Lelana mengusir
dua utusan Ratu Geladak Hitam membuat
Nyai Sirih Dewi dan murid-muridnya
semakin salut dan menaruh simpati
besar kepada si anak muda ganteng itu.
Sekalipun berpenampilan kumal, tapi
Yuda Lelana sempat dikagumi  beberapa
murid wanita, termasuk Kutilang Manja
dan Peluh Selayang.
Peluh Selayang tak jadi minggat
dari perguruan itu, karena Yuda Lelana
menginap di sana. Nyai Sirih Dewi
sendiri selalu memohon agar Yuda
Lelana jangan tergesa-gesa pulang
karena belum disuguhi minuman dan kue-
kue kecil. Di samping itu Nyai Sirih
Dewi juga tertarik ingin pelajari
ilmunya Yuda Lelana yang aneh dan
fantastis itu.
Dari menginap semalam menjadi dua
malam, dua malam menjadi dua minggu,
dua minggu menjadi dua bulan, pokoknya
Yuda akhirnya melantur dan tinggal di
Perguruan Sekar Bumi sampai berbulan-
bulan. Pikirnya, mumpung dapat
kesempatan menginap gratis, dapat
pelayanan memuaskan, kenapa tidak
dimanfaatkan untuk tinggal lebih lama
lagi? Bahkan belakangan ini Yuda
Lelana diangkat sebagai Guru
Pembimbing yang bertugas mengarahkan
para murid dalam mempermainkan jurus-
jurus kelas tinggi. Banyak variasi
jurus yang diajarkan oleh Yuda kepada
mereka, dan pada umumnya variasi jurus
itu membuat gerakan mereka lebih indah
lagi serta kekuatan tenaga dalam
mereka bertambah lebih besar.
Sekalipun demikian, Yuda belum
menurunkan ilmunya kepada siapa pun.
Apa yang diajarkan kepada mereka hanya
semata-mata pengembangan dari jurus
yang diajarkan Nyai Sirih Dewi
sebelumnya.
Sejak Yuda tinggal di Perguruan
Sekar Bumi, pihak pengganggu selalu
berhasil diusirnya. Bahkan orangnya
Ratu Geladak Hitam tak berani mendekat
lagi. Tapi mereka masih mondar-mandir
dari kejauhan, memantau keadaan di
perguruan tersebut, menunggu
kelengahan, mengharap kepergian Yuda
Lelana. Jika Yuda pergi, berarti
kekuatan di Perguruan Sekar Bumi
berkurang, maka saat itulah orang-
orang Geladak Hitam akan menyerang.
Tapi repotnya, Yuda tidak mau pergi-
pergi. Sekalinya pergi hanya buang
hajat di sungai, sebentar kemudian
balik lagi. Hal ini membuat orang-
orang Geladak Hitam repot menyerang
Nyai Sirih Dewi. Sampai-sampai sang
Ratu sendiri akhirnya ikut mengintai
Perguruan Sekar Bumi dari kejauhan.
"Masa' orang bertampang kusut
seperti itu kau bilang ganteng sih?"
"Maaf, Gusti Ratu..., yang itu
sih bukan Yuda Lelana. Orang itu
adalah Sugana, penjaga gerbang."
"Ooo... lalu, yang namanya Yuda
Lelana itu yang mana?"
"Belum  kelihatan, Gusti Ratu.
Mungkin sedang rujakan dengan Kutilang
Manja."
"Malam-malam begini rujakan?
Rujak apa yang mereka buat?"
"Yah, mungkin... mungkin rujak
bibir, Gusti Ratu!" jawab petugas
mata-mata yang sudah berhari-hari
mengintai kegiatan di perguruan itu
dari atas pohon.
Sang Ratu yang malam ituiIkut
mengintai bertanya dengan nada pelan,
"Apakah kau sering melihat anak
muda itu makan rujak bibir dengan
Kutilang Manja?"
"Belum pernah sih. Cuma, kayaknya
anak muda itu naksir Kutilang  Manja.
Saya sering lihat mereka ber-uaan,
mojok di sudut pekarangan belakang."
"Apa saja yang mereka lakukan di
sana?"
"Mana saya tahu, habis tempatnya
gelap sih."
Ratu Geladak Hitam tarik napas.
Dongkol juga mendengar cerita itu.
Semakin sengit membayangkan wajah Yuda
Lelana yang baru berupa reka-reka
saja, karena sang Ratu memang belum
pernah bertemu dengan Yuda Lelana.
Akibatnya, sang Ratu penasaran sekali.
Baik penasaran kepada Yuda, juga
penasaran kepada kekuatan Perguruan
Sekar Bumi. Hatinya membatin,
"Tinggal perguruan ini yang sukar
digusur. Alot juga mereka. Mungkin
mereka butuh pesangon beberapa nyawa!
Hmmm... sebaiknya besok kutemui saja
Nyai Sirih Dewi dan kugunakan siasat
pamungkasku untuk menaklukkan dia!" 
Tiba-tiba sang pengintai berkata,
"Gusti, Gusti..., itu dia yang namanya
Yuda Lelana!"
"Yang bawa-bawa sapu lidi itu?"
"Bukan. Itu sih petugas
kebersihan. Itu tuh... yang sedang
jalan-jalan di samping bangunan utama
bersama Peluh Selayang!"
"Ooo... itu," gumam sang Ratu
lirih sekali, bagaikan menghayati
betul  apa yang kini telah diketahui.
"Hmmm... tak begitu jelas sih, tapi
menurutku anak muda itu biasa-biasa
saja. Cuma..., kenapa dia berduaan
dengan Peluh Selayang? Kau bilang
tadi, dia sering mojok sama Kutilang
Manja?"
"Nggak tahu deh, apa maunya anak
muda itu. Kadang-kadang memang saya
lihat dia mojok sama cewek lainnya.
Kayaknya dia laris di dalam sana.
Banyak yang suka padanya."
Memang begitulah Yuda. Kadang
tampak bersama Kutilang Manja, kadang
juga tampak bersama Peluh Selayang
atau gadis lainnya. Nyai Sirih Dewi
sering menegur Yuda Lelana secara
baik-baik.
"Kalau kau jatuh cinta, jatuhlah
kepada satu orang saja. Jangan setiap
murid perempuanku kau jatuhi cinta,
nanti akibatnya bisa kacau-balau!"
"Aku tidak jatuh cinta kepada
siapa pun kok, Nyai."
"Tapi aku sering melihatmu mojok
dengan mereka secara berganti-
gantian."
"Ah, itu sih hanya sekadar mojok
saja, Nyai. Tukar pikiran dan tukar
pengalaman saja."
"Pengalaman yang bagaimana...?"
sindir sang Nyai. "Pengalaman
bercinta? Atau pengalaman bersilat
lidah?"
Yuda tertawa kecil, malu-malu,
"Itu kan hanya  sekadar seni memojok
saja. Tapi bukan berarti  kami saling
jatuh cinta kok."
"Yuda, terus terang saja,
Kutilang  Manja sudah berkata jujur
padaku."
"Soal apa, Nyai?"
"Dia naksir kamu!" jawab Nyai
Sirih Dewi nyeplos saja.
"Ah, jangan gitulah, Nyai...,"
Yuda Lelana pringas-pringis tak enak
hati.
"Kutilang Manja sering sakit hati
kalau melihat kau jalan dengan Peluh
Selayang atau gadis lainnya. Dia bi-
cara  apa adanya padaku, Yuda. Dia
sangat mengharapkan pengertianmu."
"Aku belum berpikir ke arah situ,
Nyai. Aku malah sedang bingung
memikirkan ketuaanku yang datang
dengan cepat ini."
"Kau belum kelihatan tua, Yuda.
Kau masih pantas punya istri."
"Ya memang sih. Biar rambutku
sudah beruban memang masih pantas
punya istri, tapi kawin dalam usia tua
itu merupakan sesuatu yang
mendatangkan rasa malu, Nyai. Aku
sedang berpikir bagaimana mencegah
proses ketuaanku yang datang dengan
cepat ini."
"Aku punya mantera pengawet muda!
Kalau kau mau akan kuajarkan bagaimana
membaca mantera pengawet muda itu."
"Kenapa tidak kau gunakan sendiri
supaya kau tetap awet muda, Nyai?"
"Mantera itu sudah nggak mempan
untuk diriku."
"Kenapa bisa begitu, Nyai?"
"Karena mantera itu sudah bosan
membuatku awet muda," jawab sang Nyai
seenaknya saja. Yuda Lelana  hanya
tertawa kecil, tidak begitu menanggapi
kata-kata sang Nyai yang dianggap
hanya sekadar kata-kata iseng saja.
Tapi pikirannya lebih menfokus kepada
Kutilang  Manja. Apa benar Kutilang
Manja jatuh cinta padanya? Sebenarnya
Yuda tidak keberatan kalau harus
menerima dan membalas cinta Kutilang
Manja, tapi dia tak mau percintaan itu
berlanjut ke jenjang perkawinan. Sebab
dia punya cita-cita sendiri untuk
mengawini seseorang. Bukan Kutilang
Manja yang menjadi sasaran
perkawinannya, melainkan seseorang
yang dapat mengubah dirinya kembali
menjadi dewa dan bersemayam di
kayangan.
"Kalau aku diam di perguruan ini
terus, aku tak akan bertemu dengan
calon istriku," pikir Yuda Lelana.
"Aku harus pergi dari sini, mengembara
entah ke mana, sampai aku bertemu
dengan calon istriku dan segera bikin
anak, supaya aku bisa cepat-cepat
diakui sebagai dewa lagi. Tapi, gimana
ya...? Kalau perguruan ini
kutinggalkan, kasihan juga. Mereka
pasti akan diserang oleh pihak Ratu
Geladak Hitam. Akhirnya mereka akan
digusur dan entah mau mengungsi ke
mana?"
Tentu saja Yuda punya kecemasan
seperti itu. Soalnya Nyai Sirih Dewi
berkata kepadanya, "Dardanila berilmu
tinggi. Secara jujur kuakui,  ilmunya
tak sebanding dengan ilmuku. Kalau dia
datang kemari dan mengamuk, aku akan
kewalahan melayaninya. Bisa-bisa aku
mati di tangannya. Walau begitu, aku
memang tak takut mati demi
mempertahankan Bukit Bara ini. Yang
kupikirkan cuma nasib murid-muridku
jika kutinggal mati nantinya.
Bagaimana nasib mereka jika tanpa aku
dan tak bisa bertahan di sini?"
Kata-kata itu yang membuat Yuda
Lelana prihatin terhadap nasib
Perguruan Sekar Bumi jika tanpa
dirinya. Niatnya untuk meninggalkan
perguruan itu selalu dipikir-pikir
sampai kadang-kadang ia tertidur
karena lelahnya berpikir. Karena
menurut pendapat Yuda, sampai kapan
pun Ratu Geladak Hitam tetap akan
mengincar tanah perguruan tersebut.
"Mengapa begitu?" tanya sang
Nyai. "Mengapa Dardanila bernafsu
sekali untuk menguasal tanah di Bukit
Bara ini? Apa yang membuatnya sampai
penasaran begitu?"
"Karena sesungguhnya di Bukit
Bara ini terdapat tambang emas!"
"Hahh...?!" Nyai Sirih Dewi
terkejut, matanya membelalak tak takut
kena panah. Ia tertegun beberapa saat,
mencoba mempercayai kata-kata Yuda.
"Apa benar begitu, Yuda?"
"Benar, Nyai. Getaran nadiku
mengisyaratkan adanya setumpuk harta
yang terpendam di dasar bukit ini,
persis di bawah tanah perguruan ini!
Sukmaku pernah keluyuran malam-malam
dan menemukan cahaya gemerlapan warna
kuning di dasar bukit. Ternyata cahaya
itulah tambang emas yang perlu digali
dan dimasak sedikit. Memang masih
kotor, tapi jika kita memasaknya maka
akan terlihat kemilau emasnya dalam
tiap lapisan tanah."
"Edan!" sentak sang Nyai.
"Dikasih tahu ada tambang emas
kok malah ngatain aku edan?!"
"Maksudku, kenapa baru sekarang
aku mengetahuinya? Padahal aku sudah
bertahun-tahun menempati Bukit Bara
ini. Dardanila baru beberapa tahun
berkuasa di daerah muara sungai. Itu
pun karena ia terdampar di sana ketika
kapalnya diserang badai."
"Dardanila  tahu, karena ia
perhatikan air sungai yang mengandung
warna kuning samar-samar itu. Warna
kuning tersebut bukan karena belerang
atau larutan lumpur, melainkan karena
larutan tanah berkadar emas."
Kabar itulah yang membuat Nyai
Sirih Dewi mengurung diri di dalam
kamar semadinya sampai beberapa hari
ini.  Ia bermaksud meminta petunjuk
dewa tentang bagaimana caranya
mengatasi masalahnya terutama tentang
serangan Ratu Geladak Hitam dan
hiiangnya Kitab Jayabadra. Sampai saat
itu ia belum tahu bahwa belakangan ini
ia sudah bergaul dengan dewa yang
menjelma menjadi manusia tampan itu.
Yuda Lelana memang tak pernah
menceritakan kepada siapa pun tentang
siapa dirinya sebenarnya. Dia takut
disangka ngibul. Bisa-bisa bukannya
dipercaya, tapi  malah ditertawakan.
Karenanya Yuda menutup diri  kepada
siapa pun.
Semadi sang Nyai terpaksa
dibangunkan oleh Kutilang Manja. Nyai
Sirih Dewi keluar dari kamar semadi
dengan agak sewot.
"Ngapain sih mengganggu semadiku?
Aku belum ketemu dewa nih!"
"Maaf, Guru. Di luar ada tamu
yang ingin bertemu dengan Guru."
"Siapa?"
"Ratu  Geladak  Hitam sendiri yang
datang!"
"Wah, kacau deh kalau begini?"
gumamnya tegang. "Yuda ke mana?"
"Memancing ikan di sungai. Sejak
tadi pagi belum pulang."
"Wah, makin kacau nih! Susul dia
dan suruh dia pulang. Kasih tahu kalau
kita dalam bahaya!"
"Saya sudah mencoba mencarinya
tadi, sebelum ada tamu datang, tapi ia
tidak saya temukan, Guru!"
"Jangan-jangan anak itu dimakan
buaya sungai?" gumamnya dalam
ketegangan yang menggelisahkan.
"Sebaiknya Guru temui  dulu
Dardanila itu supaya tidak menjadi
berang dan membuat beberapa murid
menjadi sasaran kemarahannya."
"Berapa orang kekuatannya?"
"Mereka cuma sebelas orang kok,
Nyai."
"Sebelas orang?! Itu sih sangat
bahaya!" bentak Nyai Sirih Dewi.
"Dardanila datang sendirian saja sudah
berbahaya, apalagi  dengan kesepuluh
pengawalnya. Waaah... kacau deh! Kacau
bener kalau begini!"
Nyai Sirih Dewi mondar-mandir.
Belum-belum sudah ciut nyali.
Masalahnya Yuda tidak ada di tempat,
jadi ia deg-degan sekali. Kalau Yuda
ada di tempat sih bisa tenang-tenang
saja, sebab ia sangat yakin dengan
kekuatan Yuda. Pikiran Nyai Sirih Dewi
bercabang-cabang antara Dardanila dan
Yuda Lelana.
"Aku cemas sekali, takutnya Yuda
dimakan buaya sungai?!"
"Mana mungkin buaya makan buaya,
Guru?!" ujar Kutilang  Manja dengan
wajah cemberut.
"Husy, jangan ngomong begitu.
Yuda bukan buaya!"
"Memang sih, bukan buaya tapi
komodo!" tambah  Kutilang  Manja makin
cemberut kesal karena sikap Yuda yang
sering menclok saja, menclok sini,
ganti teman ngobrol. Rasa cemburu itu
dimuntahkan  dalam  bentuk ejekan di
depan sang Guru. Padahal  sang Guru
sedang bingung mengatasi kedatangan
Dardanila.
Peluh  Selayang  muncul dengan
terburu-buru. "Guru, cepatlah keluar!
Yuda sudah datang dan sekarang sedang
berhadapan dengan Ratu Geladak Hitam."
"Hah...?! Sudah datang?! Syukur,
syukur...!" Nyai Sirih Dewi mengelus
dada sendiri merasa lega. Wajahnya
cerah kembali, dan ia langsung
bergegas menuju pekarangan depan,
menembus keluar melalui pintu gerbang
yang memang sudah dibuka oleh
petugasnya. Dan di sana dilihatnya
Yuda Lelana sedang bicara dengan Ratu
Geladak Hitam yang masih diam di atas
punggung kuda. Sepuluh  anak buahnya,
termasuk Adu Polo, mengelilinginya
bagai mengurung pertemuan  tersebut.
Mereka sudah siap dengan senjata
masing-masing.
Ratu  Geladak  Hitam ternyata
seorang wanita yang cantik jelita.
Usianya seperti masih sekitar tiga
puluh tahunan. Yah, lewat sedikitlah.
Yang jelas rupanya masih semarak ayu.
Matanya sedikit nakal, namun indah.
Hidungnya bangir, bibirnya sensuai.
Dadanya, wah.... Pokoknya bikin lelaki
berkepala nyut-nyutan kalau kelamaan
memandang dadanya. Sebab bisa digetok
dari belakang oleh pengawainya.
Lehernya termasuk jenjang, putih
mulus tanpa cupang. Ia mengenakan
kalung permata bersusun dua. Dengan
rambut disanggul  rapi sisa rambut
ngelewer ke samping kanan kiri
berbentuk spiral, ia tampak anggun dan
berwibawa. Pakaian hijau yang membalut
tubuh sexy-nya itu dibungkus dengan
kain jubah dari bahan sutera warna
merah jambu. Segar dan menggairahkan,
sama dengan bentuk bibirnya yang,
iiih... enak dikecup deh rasanya.
Yuda bergidik membayangkan bibir
itu. Hatinya gemas dan  geregetan.
Kalau saja giginya bisa mulur maju, ia
akan gigit bibir itu dari tempatnya
berdiri. Mata Yuda tak mau berkedip,
dan ternyata mata Ratu Geladak  Hitam
juga tidak mau berkedip. Mereka saling
pandang beberapa saat dengan kecamuk
hati masing-masing.  Para pengawalnya
sempat bingung, mengapa ratunya
menjadi terpaku bagaikan patung
bernyawa?
Seorang murid Nyai Sirih Dewi
keluar dan  tergesa-gesa ingin ikut
ambil bagian dalam penjagaan ketat di
depan gerbang. Larinya terlalu cepat
hingga sukar direm dan akhirnya
menabrak Yuda Lelana. Bruuus...!
"Gendeng kamu ini?! Ada orang
masih bengong ditabrak saja!"
"Maaf, maaf... Tuan Yuda," kata
murid itu sambii mundur dan ambil
posisi berjajar dengan teman-temannya.
Saat itulah adu pandang mereka
terhenti, ketermenungan sang Ratu pun
menjadi buyar. Lalu, terdengar
suaranya menyapa dengan wibawa
dipaksakan.
"Kaukah yang bernama Yuda
Lelana?"
"Begitulah kira-kira," jawab Yuda
Lelana  sambii sunggingkan senyum
tipis. Tapi tiba-tiba ia harus
berkelebat cepat karena seorang anak
buah sang Ratu melemparkan tombaknya
dari arah samping kiri. Wuuut...!
Teeb...! Tombak itu disambar oleh
tangan kiri Yuda sambii badannya
sedikit melengkung ke belakang. Secara
tak  langsung Yuda telah pamerkan
ketangkasannya di depan sang Ratu.
Bahkan  kali  ini jempol kirinya
menekan tombak itu dan, traak...!
Tombak tersebut patah dengan sentakan
jempolnya. Ratu Geladak  Hitam
memandangnya dengan diam, menyimpan
rasa kagum terhadap kemampuan Yuda;
menangkap dan mematahkan tombak
memakai satu tangan. Tangan kiri,
lagi!
Seorang anak buahnya yang ada di
sebelah kirinya juga ingin lemparkan
pisau ke arah Yuda, tapi tangan kiri
sang Ratu yang bergelang kerincing
tujuh biji itu diangkat. Gemerincing
suara gelang membuat orang itu tak
jadi lemparkan pisaunya.  Kejap
berikutnya, Nyai Sirih Dewi muncul di
belakang Yuda bersama Peluh Selayang
dan Kutilang Manja.
"Pantas kau sekarang betah
tinggal di tempatmu ini, karena kau
punya mainan baru yang tentunya
mengasyikkan, Sirih Dewi!" ujar sang
Ratu menyindir dengan senyum sinisnya.
"Aku tak jeias maksud bicaramu,
Dardanila!" kata sang Nyai dengan
tenang.
"Tak perlu diperjelas. Yang perlu
kau mengerti adalah perintahku yang
terakhir kali ini; kau harus cepat
pergi dan tinggalkan perguruanmu ini.
Aku tak peduli kau sudah lama atau
baru saja menempati tanah ini, yang
pasti kau harus segera pindah ke
tempat  lain! Bukit ini dalam wilayah
kekuasaanku; Ratu Geladak Hitam!"
Sambil masih berdiri di belakang
Yuda, Nyai Sirih Dewi berseru, "Apa
pun perintahmu aku tak perlu  tunduk!
Kau pikir siapa dirimu sehingga berani
memerintahkan begitu, hah?!"
"Kau belum tahu siapa aku
sebenarnya, Sirih Dewi!"
"Aku tahu! Aku cukup tahu siapa
dirimu, Dardanila. Kau seorang ratu
sesat yang hidup di Pulau  Iblis, dan
dikalahkan  oleh  Raja Kala Bopak
sehingga kau lari dari Pulau Iblis dan
hidupmu bertahun-tahun hanya di atas
geladak kapai bangkai. Karena kapal
itu kini pecah dihantam ombak badai,
maka kau tak  punya tempat tinggal
lagi, lalu kau ingin menguasai  bukit
ini! Aku pun tahu kau punya ilmu yang
yaaah... lumayan tinggilah," kata sang
Nyai berkesan menyepelekan.
Lanjutnya lagi, "Ilmumu itu yang
membuat kau masih tampak muda, tak ada
yang tahu kalau usiamu sendiri
sebenarnya sebaya denganku, sekitar
delapan puluh tahun!"
"Tutup mulutmu, Setan!" bentak
Ratu Geladak Hitam sambii matanya
melirik sekiias ke arah Yuda  Lelana.
Rupanya ia tak suka rahasia itu
diketahui oleh Yuda Lelana.
"Kau tak perlu  banyak bicara
tentang diriku, Sirih Dewi! Yang perlu
kau lakukan adalah minggat dari tempat
ini, bila perlu sekarang juga!"
"Aku tidak akan pergi ke mana
pun!" tegas Nyai Sirih Dewi.
Wajah cantik sang Ratu tampak
memerah pertanda menahan amarah.
"Sirih Dewi, ini peringatan
terakhir dariku!" katanya, lalu ia
segera memberi aba-aba kepada anak
buahnya untuk tinggalkan tempat ini
dengan seruan tertahan, "Jalan...!"
Mereka berbalik arah dan saling
meninggalkan tempat. Tapi di kejauhan
mata sang Ratu sempat berteriak dari
sana sambil berpaling ke belakang.
"Sirih Dewi! Kalau kau tak mau
tinggalkan tempat ini, kau tidak akan
dapatkan Kitab Jayabadramu lagi
selamanya! Tapi jika kau mau ting-
galkan tempat ini, suruh anak muda itu
mengambil kitab pusakamu ke tempatku!"
"Jahanaaam...!" geram Nyai Sirih
Dewi dengan bergegas ingin mengejar.
Tangan Yuda segera mencekal lengan
sang Nyai, menahan gerakan murkanya.
"Jangan sekarang, Nyai!"
"Dia harus kuhajar habis, karena
ternyata orangnya itulah yang mencuri
Kitab Jayabadra sebagai sanderanya!"
Kutilang Manja dan Peluh Selayang
juga tampak gusar. Yuda Lelana
menenangkan mereka dengan berkata,
"Jangan terpancing emosi. Kalem
saja. Kalem...!" 
"Bagaimana bisa kalem kalau Kitab
Pusaka itu ternyata ada di
tangannya?!" sentak Kutilang Manja.
Nyai Sirih Dewi berkata dalam
geram, "Aku harus bisa mengambil kitab
itu lagi tanpa harus pergi dari Bukit
Bara!"
"Biar aku yang mengambilnya ke
sana, Nyai!" kata Yuda Lelana.
"Jangan! Kau tak boleh  ke sana!"
tukas  Kutilang  Manja. "Dia pandai
menjerat hati lelaki."
"Tenang saja, Kutilang  Manja,"
kata Yuda. "Dia tak akan menjeratku
karena hatinya tadi sudah terjerat
sendiri olehku."
"Uuh...! Dasar buaya!" geram
Kutilang Manja, lalu bergegas masuk.


LIMA

YUDA Lelana tak mau didampingi
oleh siapa pun. Masa' jagoan mau
melabrak musuh kok harus didampingi
seseorang, malu kan? Makanya Yuda
tetap ngotot ketika Nyai Sirih Dewi
memerintahkan  Kutilang  Manja untuk
mendampinginya ke Geladak Hitam.
"Kalau ada yang nekat
mendampingiku, aku tidak mau pergi ke
sana!" ancam Yuda Lelana. Akhirnya
sang Nyai memutuskan untuk menuruti
kemauan Yuda. Ia percayakan kitab itu
kepada si tampan kumal dengan catatan:
"Jika kau terpikat oleh
kecantikannya, pulangkan dulu kitab
itu selebihnya kau boleh  pulang
kembali melanjutkan percintaanmu
dengan Dardanila!"
"Ah, pikiranmu yang nggak-nggak
aja, Nyai. Kalem sajalah!"
Sebenarnya hati Yuda Lelana
merasa kikuk, karena sang Nyai
bagaikan mengetahui jalan pikirannya.
Diam diam Yuda Lelana memang ingin
bertemu  lebih dekat lagi dengan Ratu
Geladak Hitam. Pertemuan empat mata
sangat diharapkan. Karena sifatnya
sangat pribadi,  maka Yuda menolak
keras didampingi oleh siapa pun.
Bahkan seekor kuda pun tak mau
dibawanya, takut mengganggu acara
tatap muka empat mata itu. Yuda hanya
diantar  oleh  sang Nyai sampai di
tebing, setelah itu dilepas sendirian
menuju benteng Geladak  Hitam yang
tampak dari tebing.
Sampai di  benteng Geladak Hitam,
Yuda Lelana dibuat kelinci percobaan
oleh anak buah Ratu Geladak Hitam. Ia
diserang empat orang berkekuatan
tenaga dalam tinggi. Kala itu ia masih
berada di depan gerbang. Tetapi empat
orang tersebut dapat ditumbangkan
dalam satu jurus saja. Hentakan kaki
ke bumi membuat keempat orang itu
mental ke atas, ada yang kepalanya
membentur dahan pohon, ada yang
nyangsang di atas pohon, ada yang
jatuh kepala duluan, ada pula yang
tertancap patahan dahan runcing.
Jurus 'Sentak Bumi'-nya terpaksa
digunakan lagi ketika empat orang
muncul lagi dari dalam benteng
membantu temannya yang sudah tak
berdaya. Dengan sekali hentakkan kaki
ke bumi, keempat orang itu terpental
lagi ke atas dan jatuh dengan
kehilangan keseimbangan badan. Kali
ini ada yang meluncur kepala duluan
dan masuk ke sebuah kubangan
berlumpur. Jruub...! Kepala terbenam
sampai dada, kakinya masih bergerak-
gerak di atas.
Yuda tidak pedulikan keadaan
mereka yang menderita akibat jurus
'Sentak Bumi'-nya.  Ia langsung masuk
ke dalam benteng berbatu hitam. Di
sana ia disambut dengan lemparan enam
tombak dari arah depan dan samping
kanan-kiri. Yuda Lelana tak perlu
merasa kaget, karena hal-hal seperti
itu sudah diduga sebelumnya.
Zraaab...! Enam tombak yang
melayang cepat ke arahnya itu hanya
dihindari dengan melompat ke atas dan
bersalto di udara satu kali. Tombak-
tombak itu saling berbenturan sendiri
ketika tak mendapatkan tempat untuk
menancap. Trak, trak, praak...!
Yuda Lelana melayang turun dengan
kakinya menghentak ke kumpulan tombak-
tombak tersebut. Dengan kekuatan
tenaga dalam terkendali, tombak-tombak
yang ditendang itu berbalik ke arah
pelemparnya. Zraaab...! Mereka kebi-
ngungan melihat tombaknya berbalik
menyerangnya. Mereka lari tunggang
langgang, ada yang tersungkur karena
tersandung batu, ada yang nungging
karena menghindari  kelebatan tombak,
ada pula yang menabrak pohon dan
akhirnya tombak itu menancap di paha.
Jruuub...! 
"Waooow...!"
"Keren!" ada yang menambahkan
teriakan  itu, entah dari sisi mana,
karena pada saat itu Yuda Lelana sibuk
menghadapi  tujuh orang penyerang
bersenjata golok. Mereka berbadan
kekar dan besar. Tapi dengan sekali
sentakkan kedua tangan ke samping,
cahaya putih menyebar dari tubuh Yuda
Lelana ke berbagai arah. Cahaya putih
itulah yang membuat tubuh mereka
terpental terbang bagaikan dihempas
badai super kuat. Ada yang kepalanya
bocor karena membentur dinding, ada
yang punggungnya patah karena menabrak
tiang jati, ada pula yang saling
mencaci karena kepalanya beradu dengan
kepala teman sendiri.
"Hentikan...!" seru sebuah suara
yang mampu membuat semua gerakan
terhenti seketika. Suara itu tak lain
adalah suara Ratu Geladak Hitam.
Mata Yuda saling beradu pandang
dengan mata sang Ratu. Tiga helaan
napas kemudian, barulah sang Ratu yang
bagai orang terkesima itu mampu
perdengarkan suaranya.
"Setelah lima hari aku menunggu,
akhirnya kau datang juga!"
Yuda  Lelana  membalas ucapan
tersebut, "Apakah yang kau tunggu
adalah sang ajal yang datang bersama
El Maut?"
Ratu  Geladak  Hitam tersenyum
meremehkan. "Apakah kau datang untuk
membunuhku, Anak Muda?"
"Jika terpaksa, mungkin memang
begitu. Tapi aku datang dengan maksud
baik dan punya tujuan tertentu."
"Apa tujuanmu?"
"Bicara empat mata denganmu,
Ratu!" 
"Bagaimana  kalau aku tidak mau
bicara empat mata denganmu?"
"Terpaksa mata kirimu kucolok
biar kita bicara tiga mata!" jawab
Yuda Lelana seenaknya saja, seakan tak
punya rasa takut atau niat hormat sama
sekali. Hal itu membuat pengawal Ratu
menjadi tersinggung. Adu Polo yang ada
di samping kanan sang Ratu segera
lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa
sinar ke arah Yuda Lelana.
Wuuut...! Tapi dengan mudah Yuda
Lelana menahannya. Tangan kanan
dibentangkan di depan dada, pukulan
bergelombang panas itu tertangkis dan
bagaikan dikembalikan ke arah
pemiliknya. Adu Polo melompat karena
hawa panas terasa sedang menyerangnya.
Wuuusss...! Sang Ratu mengibaskan
tangannya bagai membuang bunga,
ternyata yang keluar asap putih
penahan gelombang hawa panas itu.
Blaaar...! Ledakan itu timbul karena
dua gelombang beradu dan membuat Adu
Polo tersentak ke belakang, jatuh
terduduk.
Bruuk...!
"Anak ini memang bangsaaat...!"
teriak Kebo Tumang yang baru saja
muncul dan mengetahui tindakan itu. Ia
segera mencabut kapak dua mata
berukuran besar yang menjadi senjata
andalannya. Tapi baru saja ia ingin
bergerak, sang Ratu rentangkan
tangannya dan berseru, "Hentikan, Kebo
Tumang!"
"Gggrr...!" Kebo Tumang menggeram
jengkel. "Dia memotong telingaku,
Gusti!"
"Toh kamu masih punya telinga
yang kanan? Kenapa harus marah? Kalau
mau marah, urusannya sama aku!" kata
sang Ratu sambil tolak pinggang.
"Wah... kalau... kalau begitu ya
sudahlah, saya ke dapur saja jadi juru
masak," ujar Kebo Tumang dengan
bersungut-sungut menahan kejengkelan.
Ia pun ngeloyor pergi dan dibiarkan
oleh Ratu Geladak Hitam.
Sang Ratu kembali berkata kepada
si tampan kumal itu, "Apakah kau
benar-benar ingin bicara empat mata
denganku?"
"Tak perlu kau sangsikan lagi
keinginanku, Ratu," jawabnya dengan
lembut, diiringi senyum tipis
menggetarkan hati.
"Baik. Aku bersedia, tapi tidak
di sini. Aku punya tempat sendiri
untuk  bicara empat mata. Tentunya
pembicaraan kita nanti bersifat
rahasia, bukan?"
"Ya, tepat sekali dugaanmu."
"Ikutlah aku!" katanya tegas
sekali, lalu sang Ratu melangkah
melalui samping ruang paseban. Yuda
Lelana mengikutinya dengan memandang
sinis ke sana-sini karena ia pun
dipandangi dengan sinis oleh orang-
orang sang Ratu.
Ratu Geladak Hitam dan Yuda
sampai di taman belakang bangunan
utama. Taman itu tertata rapi dan
indah. Ada serumpun bambu kuning di
pojokan. Bentuk bambu itu menyerupai
lorong karena kelebatannya. Ternyata
Yuda dibawa masuk ke lorong bambu yang
mempunyai jalan setapak itu.
"Mau ke mana kita, Ratu?"
"Ke mana saja itu urusanku. Kau
ikuti saja langkahku," jawabnya tanpa
menengok ke belakang.
Oh, ternyata di balik kerimbunan
bambu itu ada  tangga batu menuju ke
bawah tanah. Ratu menuruni tangga batu
itu, demikian pula Yuda Lelana. Di
ujung bawa tangga batu yang terdiri
dari sepuluh baris itu ada lorong gua
yang lebarnya sekitar dua tombak.
Dinding lorong itu mempunyai obor-obor
penerang jalan. Yuda menyusuri lorong
itu, kali ini berdampingan dengan sang
Ratu karena jalannya cukup untuk
melangkah dua orang berjajar.
"Tempat apa ini sebenarnya?"
tanya Yuda sambil memandang sana-sini.
"Tempat rahasia," jawab Ratu
Geladak  Hitam. "Di sinilah segala
rahasia dibicarakan atau dilakukan."
"Pasti tempat ini kau gunakan
untuk bersembunyi dari serangan lawan
yang tak mampu kau hadapi."
Ratu  Geladak  Hitam hanya
tersenyum, ia tak memberikan komentar
apa-apa. Langkah kakinya tetap tegap,
agak cepat, wewangian yang
disemprotkan ke pakaian dan tubuhnya
tercium jelas oleh hidung Yuda Lelana.
Tapi Yuda tetap tidak mau lontarkan
pujian atas keharuman yang lembut dan
enak dihirup itu. Matanya masih
memandangi tiap dinding penuh waspada,
karena ia tak ingin termakan jebakan
yang mungkin dipasang pada dinding
lorong yang kini telah membelok ke
kiri itu.
"Kenapa tidak ke kanan?"
tanyanya.
"Lorong yang ke kanan menuju ke
sarang ular piton. Aku punya delapan
ular piton di sana. Tapi mereka tak
akan bisa menyeberang ke lorong kiri
ini, karena sudah kubatasi dengan
racun yang ditakuti setiap ular."
"Jadi lorong kanan adalah lorong
jebakan?"
"Begitulah," jawab sang latu
dengan singkat.
Lorong yang sedang dilalui Yuda
makin lama tampak semakin terang. Di
depan sana cahayanya lebih terang
lagi. Yuda memandang dengan mata
sedikit mengecil untuk melihat ruangan
terang yang ada di depannya. Agaknya
ruangan terang itulah yang sedang
dituju oleh Ratu Geladak Hitam.
Dugaan Yuda ternyata benar juga,
ia dibawa ke ruangan terang yang
berbentuk lingkaran itu. Cahaya terang
datang dari jumlah obor yang semakin
banyak. Ruangan itu cukup lebar,
karena di tengahnya terdapat kolam
berair mancur pendek tapi jernih.
Ruangan itu juga mempunyai tanaman
hias pada tepiannya. Berkesan bersih
dan punya nilai seni tinggi. Ada
lempengan batu di  tepi kolam yang
menjadi tempat duduk cukup nyaman,
karena di atas lempengan batu marmer
putih itu terdapat bantalan pelapis
yang cukup empuk.
Aroma wangi menyebur kian tajam,
karena tanaman bunga yang ada di
ruangan tersebut sedang bermekaran.
Warnanya bunga dan bentuknya sungguh
indah dipandang mata. Pasti tempat itu
punya tenaga perawat sendiri yang
selalu merapikan keadaan di situ.
Ada meja dari batuan marmer
hitam. Di atas meja itu ada tempat
anggur dari logam emas, cangkirnya pun
dari emas murni berbatu-batu indah. Di
samping meja minuman terdapat tempat
buah. Keranjang rotan diletakkan di
atas meja rendah itu penuh dengan
buah-buahan segar. Tak jauh dari situ
ada tempat tidur dari batuan marmer
juga yang dilapisi  kain empuk serta
nyaman. Seprai dan sarung bantalnya
dari kain sutera biru muda. Sedangkan
di samping ranjang itu terdapat meja
rias, lengkap dengan cermin ovalnya
dan tempat pedupaan yang terpisah dari
meja rias.
"Tempat  ini berudara sejuk.
Kurasa tempat ini menjadi tempat
peristirahatanmu, Ratu!" 
"Memang. Tapi  juga kugunakan
sebagai tempat bertapa atau melakukan
suatu kegiatan yang bersifat ritual,"
jawab Dardanila sambil mendekati meja
minuman.  Ia menuang anggur dari teko
tinggi langsing bermulut kecil. Ia
mengambil cangkir berisi anggur merah,
satu untuknya, satu lagi diberikan
kepada Yuda Lelana.
"Minumlah sebagai suguhan awal
dariku," kata sang Ratu.
"Aku tak biasa minum anggur,"
kata Yuda Lelana sambil tersenyum
indah.
"Coba sedikit, kau akan
ketagihan." 
"Begitukah nantinya?"
Dardanila mengangguk. Ia
mengawali minum anggur itu. Yuda
Lelana ikut-ikutan meminumnya pula.
Sruup...! Sedikit, tapi benar-benar
dirasakan kenikmatannya, dikecap-
kecapnya sebentar, lalu berkata pelan,
"Lumayan juga rasanya. Kurasa
anggur ini baru dua tahun kau simpan,
jadi belum terlalu tajam menyentuh
ujung lidah."
"Kau bilang tak biasa minum
anggur, tapi nyatanya kau bisa menilai
mutu anggurku dan tebakanmu memang
tepat, baru dua tahun kusimpan di
tempatnya."
Yuda Lelana tersenyum malu,
terjebak omongannya sendiri. Ia
tinggalkan sang Ratu, berjalan
mengelilingi  tempat itu dengan mata
memandang penuh perasaan salut
terhadap nilai seni  yang dibangun di
bawah tanah itu. Sang Ratu ikut
mendampinginya karena ia segera
mengajukan tanya,
"Apakah menurutmu tempat ini
benar-benar nyaman?"
"Bukan hanya nyaman, namun cukup
romantis," jawab Yuda. "Ruangan ini
menimbulkan sejuta khayalan  indah.
Pasti kau menyebarkan kekuatan gaib di
tempat ini yang dapat menimbulkan
hasrat manusia untuk berandai-andai
dalam khayalan indahnya."
"Kau cukup peka terhadap hal-hal
seperti itu rupanya. Siapa gurumu,
Yuda? Boleh aku tahu?"
"Aku tak punya guru," jawabnya.
"Tak mungkin. Karena kau punya
gerakan dan jurus-jurus yang aneh
bagiku. Hampir mendekati kesempurnaan
dalam gerak. Aku kagum sekali."
Sengaja kata-kata itu tak
dikomentari oleh Yuda kecuali hanya
senyum tipis menjerat kalbu. Yuda
Lelana duduk di bangku dari batu
marmer yang dilapisi kain empuk itu.
Cangkir emas diletakkan. Sang Ratu
ikut-ikutan duduk pula sambil
meletakkan cangkir emas di samping
cangkirnya Yuda.
"Aku ke sini untuk mengambil
Kitab Jayabadra!" kata Yuda dengan
tegas.
"Apakah Sirih Dewi sudah berniat
pergi dari Bukit Bara?"
"Tidak akan pergi selamanya!"
"Bukankah tempo hari aku berjanji
akan memberikan kitab itu jika ia mau
pergi dari Bukit Bara?"
"Aku tidak mendengar perjanjianmu
dan kalau toh mendengarnya aku tidak
mau ikuti perjanjian itu. Boleh atau
tidak, Kitab Jayabadra harus kubawa
pulang ke Bukit Bara!"
Ketegasan pemuda tampan yang
kumal itu justru ditertawakan oleh
Dardanila. Tawanya lirih, berkesan
mengikik geli. Yuda Lelana tetap
tenang dan senyumnya tetap menghiasi
rupa tampannya. Jarak duduknya yang
kurang dari satu jangkauan itu membuat
matanya dapat memandang jelas sampai
ke pori-pori kulit putih mulus itu.
"Kalau aku tidak mau memberikan
kitab itu bagaimana?"
"Aku akan merebutnya!" jawab Yuda
Lelana kalem tapi berkesan pasti.
"Kalau aku mempertahankan
bagaimana?" 
"Aku akan menyerangmu."
"Seranglah sekarang kalau kau
berani," ujarnya sambil  menyodorkan
wajah, seakan menyuruh menampar wajah
itu, tapi mulutnya sedikit merekah
sehingga artinya menjadi beda lagi.
Bibirnya yang menggemaskan itu
dijilati sesaat, hati  Yuda  Lelana
tergelitik melihat lidah itu
berkelebat membasahi bibir.
"Jangan begitulah...," katanya
dengan lemah, membuat sang Ratu kian
menggoda.
"Seranglah kalau kau berani...,"
wajah itu makin didekatkan lagi.
Matanya sedikit terpejam. Bibir
merekah menantang gairah. Yuda Lelana
memandanginya dengan jantung berdetak-
detak.  Ia ditantang, tapi ia bingung
menyerang.
"Dardanila, kau musuhku. Kau tak
boleh begitu."
"Iya. Kau dan aku bermusuhan.
Makanya kalau kau mau menyerang
silakan! Nih, serang nih...!" bibir
itu makin disodorkan. Dengus napasnya
terasa menghangat di wajah Yuda Lelana
yang salah tingkah.
"Aku... aku harus menyerangmu
bagaimana?"
"Ya, bagaimana sajalah. Terserah!
Mau pakai tangan boleh, mau pakai kaki
boleh, mau pakai bibir juga boleh."
"Pa... pakai... pakai bibir saja,
ya?" 
"He'eh...," jawab Ratu Geladak
Hitam dalam desah. Yuda Lelana  tak
kuat ditantang begitu. Maka pelanpelan
ia menempelkan bibirnya ke bibir
Dardanila. Hangat. Nikmat. Dan Yuda
segera mengecup bibir itu pelan-pelan.
Gerakannya sangat pelan, sehingga
setiap sentuhan bagaikan mengalirkan
gelombang keindahan ke sekujur tubuh.
Yang disentuh lembut bibir tapi yang
dirasakan sampai ke telapak kaki.
"Oh, Yuda...," bisik sang Ratu
ketika kecupan lembut itu dilepaskan.
Yuda  Lelana  tak bisa menolak
permintaan itu, maka dilumatnya lagi
bibir yang menggemaskan itu.
Celakanya, sang Ratu membalas memberi-
kan lumatan yang tak kalah ganas.
Bahkan tangan sang Ratu mulai menari-
nari di atas tubuh Yuda Lelana.
Jearinya begitu lincah memainkan irama
mesra.
"Yuda, ooh... mati  aku kalau
begini," bisik sang  Ratu bernada
rintih.  Ia jatuh dalam pelukan Yuda
Lelana. Ia menggigit dada Yuda dengan
lembut, menahan ledakan dahsyat dalam
jiwanya.
Kolam di tengah ruangan luas itu
mempunyai air mancur. Air kolam boleh
mancur tapi Yuda tak boleh mancur.
Jika Yuda menuruti tuntutan batin sang
Ratu, ia akan mempunyai risiko yang
lebih kusut lagi dalam hidupnya. Tapi
sang Ratu tetap merengek, bahkan
berkata, "Beri aku setengguk anggur,
maka akan kuserahkan kitab itu padamu
sekarang juga. Oh, aku tak tahan. Beri
aku seteguk anggur, Yuda!"
Maka Yuda menyodorkan minuman
anggur dari cangkirnya. Sang Ratu
merengek.
"Iiih...! Bukan anggur yang itu!"
sambil tangannya mencubit lengan Yuda.
Anak muda yang mulai tampak menua itu
berlagak bego.
"Habis anggur yang mana?"
"Anggur kemesraanmu. Oooh...
Yuda, peluklah aku erat-erat,
Sayang...!"
"Akan kupeluk kau, akan kuberikan
anggur yang kau pinta, tapi serahkan
dulu kitab itu padaku. Aku tak mau
tertipu olehmu, Ratu."
"Tidak, aku tidak akan menipumu.
Berikanlah, Yuda. Kita akan bertukar
pemberian. Kitab itu benar-benar akan
kuberikan padamu jika kau telah
menuruti dahaga batinku ini!" Ratu
Geladak Hitam mengacungkan dua jarinya
sebagai tanda sumpah dalam janjinya.
Tapi Yuda Lelana tetap tidak mau
memberikan apa yang diinginkan sang
Ratu.
"Aku tak bisa melakukan tugasku
sebagai seorang lelaki jika Kitab
Jayabadra belum kau berikan padaku.
Kitab itu mempunyai mantera yang dapat
membangkitkan semangat kejantananku.
Jika semangatku sudah tergugah, kau
bisa menikmatinya sampai esok pagi."
"Sungguh...?!"
"Sangat sungguh."
"Janji?"
"Janji."
"Kalau nanti kau bohong diapain"
"Dicium tujuh tahun juga nggak
apa-apa!" jawab Yuda Lelana makin
membuat sang Ratu gemas sekali. Ia
memeluk dan meremas tubuh Yuda kuat-
kuat sambil menenggelamkan wajahnya ke
leher Yuda.
Kejap berikut ia berkata dengan
mendusal-dusalkan ciumannya ke leher
dan belakang telinga Yuda, "Baiklah!
Kita ambil dulu kitab itu di ruang
tidurku, di  atas sana. Tapi... tapi
sebaiknya kau tetap di sini saja. Biar
aku yang mengambilnya. Secepatnya aku
kembali  membawa kitab itu dan gelora
cinta yang lebih berkobar-kobar lagi."
"Baiklah. Aku menunggu di sini.
Lekas ambil kitab itu!"
Pancingan  Yuda Lelana kena pada
sasaran. Siasat romantisnya
melumpuhkan kekerasan hati sang Ratu
yang ingin menahan kitab tersebut.
Sang Ratu pergi mengambil kitab,
keluar dari ruang bawah tanah ter-
sebut, sedangkan Yuda Lelana masih
tinggal sendirian di situ, ia bahkan
berbaring dengan santai  di atas
ranjang berseprai biru lembut itu. Tak
peduli pakaiannya kumal, ia merebah
dengan cueknya. Bayangan indah tubuh
sang Ratu tanpa busana menari-nari di
benak Yuda Lelana.
"Jika memang kitab itu diberikan
dan ia mau mengurungkan niatnya untuk
tidak mengganggu Nyai Sirih Dewi lagi,
tak keberatan aku memberi  kehangatan
padanya asal saja jangan sampai
seperti kolam itu," katanya dalam hati
sambil matanya melirik ke kolam bening
berair mancur.
Namun beberapa saat kemudian,
Yuda Lelana dikejutkan dengan suara
gemuruh yang datang dari arah lorong
jalan menuju keluar. Yuda melompat dan
bersiap siaga.
"Suara ular pitonkah itu? Tapi
kenapa bergedebuk? Apakah ular piton
bisa lari secara bersama-sama?"
Yuda Lelana mendekati lorong,
ternyata segera muncul wajah cantik
Dardanila yang tampak tegang dan
memucat.
"Ratu?! Ada apa?!" Yuda segera
menyambut dengan keheranan tinggi.
"Orang-orang Pulau Iblis
menyerangku...!" ia terengah-engah.
"Apa persoalannya?"
Ratu Geladak Hitam meredakan
napasnya. Setelah  itu baru bisa
bercerita.
"Baru saja aku mau menaiki
tangga, seorang anak buahku menyusul.
Ia  jatuh berlumur darah. Sebelum
menghembuskan napas terakhir, ia
sempat memberitahukan bahwa orang-
orang Pulau Iblis menyerang kami.
Kitab Jayabadra berhasil diambil dan
dibawa lari ke Pulau Iblis."
"Hahhh...?!" Yuda terkejut.
"Kalau tak percaya, cepatlah
keluar dari sini! Mereka membakar
sebagian bangunan utama, membantai
beberapa anak buahku!"
Yuda  Lelana  penasaran.  Ia segera
keluar dari ruangan bawah tanah itu.
Ternyata apa yang diceritakan sang
Ratu memang benar. Mayat bergelim-
pangan di sana-sini. Bangunan utama
masih mengepulkan asap, tapi apinya
sudah padam. Adu Polo menemui sang
Ratu dalam keadaan tangannya buntung
sebelah.
"Kitab itu... di... dibawanya,
Gusti...!" 
Bruuuk...! Adu Polo jatuh pingsan
karena terlalu banyak mengeluarkan
darah.