EMPAT
JIKA Ratu Geladak mengutus dua
orangnya untuk mengusir Nyai
Sirih
Dewi dari Bukit Bara, tentu saja
orang
itu adalah orang pilihan.
Ilmunya
tidak tanggung-tanggung. Percuma
saja
dong kalau kelas ilmu utusan itu
sebatas kelas kambing congek, ngapain
ditugaskan mengusir Nyai Sirih Dewi?
Mendingan diutus mengusir ayam
saja.
Iya, kan?
Tetapi petugas penggusuran itu
ternyata kalah sama Yuda Lelana.
Bukannya mengusir Nyai Sirih
Dewi tapi
justru diusir Yuda Lelana. Malu
nggak
malu deh, mereka pulang dengan
babak
belur. Bahkan Kebo Tumang
kehilangan
telinga kirinya yang sudah pasti
akan
tetanus begitu sampai di tempat.
Keberhasilan Yuda Lelana
mengusir
dua utusan Ratu Geladak Hitam
membuat
Nyai Sirih Dewi dan
murid-muridnya
semakin salut dan menaruh
simpati
besar kepada si anak muda
ganteng itu.
Sekalipun berpenampilan kumal,
tapi
Yuda Lelana sempat dikagumi beberapa
murid wanita, termasuk Kutilang
Manja
dan Peluh Selayang.
Peluh Selayang tak jadi minggat
dari perguruan itu, karena Yuda
Lelana
menginap di sana. Nyai Sirih
Dewi
sendiri selalu memohon agar Yuda
Lelana jangan tergesa-gesa
pulang
karena belum disuguhi minuman
dan kue-
kue kecil. Di samping itu Nyai
Sirih
Dewi juga tertarik ingin
pelajari
ilmunya Yuda Lelana yang aneh
dan
fantastis itu.
Dari menginap semalam menjadi
dua
malam, dua malam menjadi dua
minggu,
dua minggu menjadi dua bulan,
pokoknya
Yuda akhirnya melantur dan
tinggal di
Perguruan Sekar Bumi sampai
berbulan-
bulan. Pikirnya, mumpung dapat
kesempatan menginap gratis,
dapat
pelayanan memuaskan, kenapa
tidak
dimanfaatkan untuk tinggal lebih
lama
lagi? Bahkan belakangan ini Yuda
Lelana diangkat sebagai Guru
Pembimbing yang bertugas
mengarahkan
para murid dalam mempermainkan
jurus-
jurus kelas tinggi. Banyak
variasi
jurus yang diajarkan oleh Yuda
kepada
mereka, dan pada umumnya variasi
jurus
itu membuat gerakan mereka lebih
indah
lagi serta kekuatan tenaga dalam
mereka bertambah lebih besar.
Sekalipun demikian, Yuda belum
menurunkan ilmunya kepada siapa
pun.
Apa yang diajarkan kepada mereka
hanya
semata-mata pengembangan dari
jurus
yang diajarkan Nyai Sirih Dewi
sebelumnya.
Sejak Yuda tinggal di Perguruan
Sekar Bumi, pihak pengganggu selalu
berhasil diusirnya. Bahkan
orangnya
Ratu Geladak Hitam tak berani
mendekat
lagi. Tapi mereka masih
mondar-mandir
dari kejauhan, memantau keadaan
di
perguruan tersebut, menunggu
kelengahan, mengharap kepergian
Yuda
Lelana. Jika Yuda pergi, berarti
kekuatan di Perguruan Sekar Bumi
berkurang, maka saat itulah
orang-
orang Geladak Hitam akan
menyerang.
Tapi repotnya, Yuda tidak mau
pergi-
pergi. Sekalinya pergi hanya
buang
hajat di sungai, sebentar
kemudian
balik lagi. Hal ini membuat
orang-
orang Geladak Hitam repot
menyerang
Nyai Sirih Dewi. Sampai-sampai
sang
Ratu sendiri akhirnya ikut
mengintai
Perguruan Sekar Bumi dari
kejauhan.
"Masa' orang bertampang
kusut
seperti itu kau bilang ganteng
sih?"
"Maaf, Gusti Ratu..., yang
itu
sih bukan Yuda Lelana. Orang itu
adalah Sugana, penjaga
gerbang."
"Ooo... lalu, yang namanya
Yuda
Lelana itu yang mana?"
"Belum kelihatan, Gusti Ratu.
Mungkin sedang rujakan dengan
Kutilang
Manja."
"Malam-malam begini
rujakan?
Rujak apa yang mereka
buat?"
"Yah, mungkin... mungkin
rujak
bibir, Gusti Ratu!" jawab
petugas
mata-mata yang sudah
berhari-hari
mengintai kegiatan di perguruan
itu
dari atas pohon.
Sang Ratu yang malam ituiIkut
mengintai bertanya dengan nada
pelan,
"Apakah kau sering melihat
anak
muda itu makan rujak bibir
dengan
Kutilang Manja?"
"Belum pernah sih. Cuma,
kayaknya
anak muda itu naksir
Kutilang Manja.
Saya sering lihat mereka
ber-uaan,
mojok di sudut pekarangan
belakang."
"Apa saja yang mereka
lakukan di
sana?"
"Mana saya tahu, habis
tempatnya
gelap sih."
Ratu Geladak Hitam tarik napas.
Dongkol juga mendengar cerita
itu.
Semakin sengit membayangkan
wajah Yuda
Lelana yang baru berupa
reka-reka
saja, karena sang Ratu memang
belum
pernah bertemu dengan Yuda
Lelana.
Akibatnya, sang Ratu penasaran
sekali.
Baik penasaran kepada Yuda, juga
penasaran kepada kekuatan
Perguruan
Sekar Bumi. Hatinya membatin,
"Tinggal perguruan ini yang
sukar
digusur. Alot juga mereka.
Mungkin
mereka butuh pesangon beberapa
nyawa!
Hmmm... sebaiknya besok kutemui
saja
Nyai Sirih Dewi dan kugunakan
siasat
pamungkasku untuk menaklukkan
dia!"
Tiba-tiba sang pengintai
berkata,
"Gusti, Gusti..., itu dia
yang namanya
Yuda Lelana!"
"Yang bawa-bawa sapu lidi
itu?"
"Bukan. Itu sih petugas
kebersihan. Itu tuh... yang
sedang
jalan-jalan di samping bangunan
utama
bersama Peluh Selayang!"
"Ooo... itu," gumam
sang Ratu
lirih sekali, bagaikan
menghayati
betul apa yang kini telah diketahui.
"Hmmm... tak begitu jelas
sih, tapi
menurutku anak muda itu
biasa-biasa
saja. Cuma..., kenapa dia
berduaan
dengan Peluh Selayang? Kau
bilang
tadi, dia sering mojok sama
Kutilang
Manja?"
"Nggak tahu deh, apa maunya
anak
muda itu. Kadang-kadang memang
saya
lihat dia mojok sama cewek
lainnya.
Kayaknya dia laris di dalam
sana.
Banyak yang suka padanya."
Memang begitulah Yuda. Kadang
tampak bersama Kutilang Manja,
kadang
juga tampak bersama Peluh
Selayang
atau gadis lainnya. Nyai Sirih
Dewi
sering menegur Yuda Lelana
secara
baik-baik.
"Kalau kau jatuh cinta,
jatuhlah
kepada satu orang saja. Jangan
setiap
murid perempuanku kau jatuhi
cinta,
nanti akibatnya bisa
kacau-balau!"
"Aku tidak jatuh cinta
kepada
siapa pun kok, Nyai."
"Tapi aku sering melihatmu
mojok
dengan mereka secara berganti-
gantian."
"Ah, itu sih hanya sekadar
mojok
saja, Nyai. Tukar pikiran dan
tukar
pengalaman saja."
"Pengalaman yang
bagaimana...?"
sindir sang Nyai.
"Pengalaman
bercinta? Atau pengalaman
bersilat
lidah?"
Yuda tertawa kecil, malu-malu,
"Itu kan hanya sekadar seni memojok
saja. Tapi bukan berarti kami saling
jatuh cinta kok."
"Yuda, terus terang saja,
Kutilang Manja sudah berkata jujur
padaku."
"Soal apa, Nyai?"
"Dia naksir kamu!"
jawab Nyai
Sirih Dewi nyeplos saja.
"Ah, jangan gitulah,
Nyai...,"
Yuda Lelana pringas-pringis tak
enak
hati.
"Kutilang Manja sering
sakit hati
kalau melihat kau jalan dengan
Peluh
Selayang atau gadis lainnya. Dia
bi-
cara apa adanya padaku, Yuda. Dia
sangat mengharapkan
pengertianmu."
"Aku belum berpikir ke arah
situ,
Nyai. Aku malah sedang bingung
memikirkan ketuaanku yang datang
dengan cepat ini."
"Kau belum kelihatan tua,
Yuda.
Kau masih pantas punya
istri."
"Ya memang sih. Biar
rambutku
sudah beruban memang masih
pantas
punya istri, tapi kawin dalam
usia tua
itu merupakan sesuatu yang
mendatangkan rasa malu, Nyai.
Aku
sedang berpikir bagaimana
mencegah
proses ketuaanku yang datang
dengan
cepat ini."
"Aku punya mantera pengawet
muda!
Kalau kau mau akan kuajarkan
bagaimana
membaca mantera pengawet muda
itu."
"Kenapa tidak kau gunakan
sendiri
supaya kau tetap awet muda,
Nyai?"
"Mantera itu sudah nggak
mempan
untuk diriku."
"Kenapa bisa begitu,
Nyai?"
"Karena mantera itu sudah bosan
membuatku awet muda," jawab
sang Nyai
seenaknya saja. Yuda Lelana hanya
tertawa kecil, tidak begitu
menanggapi
kata-kata sang Nyai yang
dianggap
hanya sekadar kata-kata iseng
saja.
Tapi pikirannya lebih menfokus
kepada
Kutilang Manja. Apa benar Kutilang
Manja jatuh cinta padanya?
Sebenarnya
Yuda tidak keberatan kalau harus
menerima dan membalas cinta
Kutilang
Manja, tapi dia tak mau
percintaan itu
berlanjut ke jenjang perkawinan.
Sebab
dia punya cita-cita sendiri
untuk
mengawini seseorang. Bukan
Kutilang
Manja yang menjadi sasaran
perkawinannya, melainkan
seseorang
yang dapat mengubah dirinya
kembali
menjadi dewa dan bersemayam di
kayangan.
"Kalau aku diam di
perguruan ini
terus, aku tak akan bertemu
dengan
calon istriku," pikir Yuda
Lelana.
"Aku harus pergi dari sini,
mengembara
entah ke mana, sampai aku
bertemu
dengan calon istriku dan segera
bikin
anak, supaya aku bisa
cepat-cepat
diakui sebagai dewa lagi. Tapi,
gimana
ya...? Kalau perguruan ini
kutinggalkan, kasihan juga.
Mereka
pasti akan diserang oleh pihak
Ratu
Geladak Hitam. Akhirnya mereka
akan
digusur dan entah mau mengungsi
ke
mana?"
Tentu saja Yuda punya kecemasan
seperti itu. Soalnya Nyai Sirih
Dewi
berkata kepadanya,
"Dardanila berilmu
tinggi. Secara jujur
kuakui, ilmunya
tak sebanding dengan ilmuku.
Kalau dia
datang kemari dan mengamuk, aku
akan
kewalahan melayaninya. Bisa-bisa
aku
mati di tangannya. Walau begitu,
aku
memang tak takut mati demi
mempertahankan Bukit Bara ini.
Yang
kupikirkan cuma nasib
murid-muridku
jika kutinggal mati nantinya.
Bagaimana nasib mereka jika
tanpa aku
dan tak bisa bertahan di
sini?"
Kata-kata itu yang membuat Yuda
Lelana prihatin terhadap nasib
Perguruan Sekar Bumi jika tanpa
dirinya. Niatnya untuk
meninggalkan
perguruan itu selalu
dipikir-pikir
sampai kadang-kadang ia tertidur
karena lelahnya berpikir. Karena
menurut pendapat Yuda, sampai
kapan
pun Ratu Geladak Hitam tetap
akan
mengincar tanah perguruan
tersebut.
"Mengapa begitu?"
tanya sang
Nyai. "Mengapa Dardanila
bernafsu
sekali untuk menguasal tanah di
Bukit
Bara ini? Apa yang membuatnya
sampai
penasaran begitu?"
"Karena sesungguhnya di
Bukit
Bara ini terdapat tambang
emas!"
"Hahh...?!" Nyai Sirih
Dewi
terkejut, matanya membelalak tak
takut
kena panah. Ia tertegun beberapa
saat,
mencoba mempercayai kata-kata
Yuda.
"Apa benar begitu,
Yuda?"
"Benar, Nyai. Getaran
nadiku
mengisyaratkan adanya setumpuk
harta
yang terpendam di dasar bukit
ini,
persis di bawah tanah perguruan
ini!
Sukmaku pernah keluyuran
malam-malam
dan menemukan cahaya gemerlapan
warna
kuning di dasar bukit. Ternyata
cahaya
itulah tambang emas yang perlu
digali
dan dimasak sedikit. Memang
masih
kotor, tapi jika kita memasaknya
maka
akan terlihat kemilau emasnya
dalam
tiap lapisan tanah."
"Edan!" sentak sang
Nyai.
"Dikasih tahu ada tambang
emas
kok malah ngatain aku
edan?!"
"Maksudku, kenapa baru
sekarang
aku mengetahuinya? Padahal aku
sudah
bertahun-tahun menempati Bukit
Bara
ini. Dardanila baru beberapa
tahun
berkuasa di daerah muara sungai.
Itu
pun karena ia terdampar di sana
ketika
kapalnya diserang badai."
"Dardanila tahu, karena ia
perhatikan air sungai yang
mengandung
warna kuning samar-samar itu.
Warna
kuning tersebut bukan karena
belerang
atau larutan lumpur, melainkan
karena
larutan tanah berkadar
emas."
Kabar itulah yang membuat Nyai
Sirih Dewi mengurung diri di
dalam
kamar semadinya sampai beberapa
hari
ini. Ia bermaksud meminta petunjuk
dewa tentang bagaimana caranya
mengatasi masalahnya terutama
tentang
serangan Ratu Geladak Hitam dan
hiiangnya Kitab Jayabadra.
Sampai saat
itu ia belum tahu bahwa
belakangan ini
ia sudah bergaul dengan dewa
yang
menjelma menjadi manusia tampan
itu.
Yuda Lelana memang tak pernah
menceritakan kepada siapa pun
tentang
siapa dirinya sebenarnya. Dia
takut
disangka ngibul. Bisa-bisa
bukannya
dipercaya, tapi malah ditertawakan.
Karenanya Yuda menutup diri kepada
siapa pun.
Semadi sang Nyai terpaksa
dibangunkan oleh Kutilang Manja.
Nyai
Sirih Dewi keluar dari kamar
semadi
dengan agak sewot.
"Ngapain sih mengganggu
semadiku?
Aku belum ketemu dewa nih!"
"Maaf, Guru. Di luar ada
tamu
yang ingin bertemu dengan
Guru."
"Siapa?"
"Ratu Geladak
Hitam sendiri yang
datang!"
"Wah, kacau deh kalau
begini?"
gumamnya tegang. "Yuda ke
mana?"
"Memancing ikan di sungai.
Sejak
tadi pagi belum pulang."
"Wah, makin kacau nih!
Susul dia
dan suruh dia pulang. Kasih tahu
kalau
kita dalam bahaya!"
"Saya sudah mencoba
mencarinya
tadi, sebelum ada tamu datang,
tapi ia
tidak saya temukan, Guru!"
"Jangan-jangan anak itu
dimakan
buaya sungai?" gumamnya
dalam
ketegangan yang menggelisahkan.
"Sebaiknya Guru temui dulu
Dardanila itu supaya tidak
menjadi
berang dan membuat beberapa
murid
menjadi sasaran
kemarahannya."
"Berapa orang
kekuatannya?"
"Mereka cuma sebelas orang
kok,
Nyai."
"Sebelas orang?! Itu sih
sangat
bahaya!" bentak Nyai Sirih
Dewi.
"Dardanila datang sendirian
saja sudah
berbahaya, apalagi dengan kesepuluh
pengawalnya. Waaah... kacau deh!
Kacau
bener kalau begini!"
Nyai Sirih Dewi mondar-mandir.
Belum-belum sudah ciut nyali.
Masalahnya Yuda tidak ada di
tempat,
jadi ia deg-degan sekali. Kalau
Yuda
ada di tempat sih bisa
tenang-tenang
saja, sebab ia sangat yakin
dengan
kekuatan Yuda. Pikiran Nyai
Sirih Dewi
bercabang-cabang antara
Dardanila dan
Yuda Lelana.
"Aku cemas sekali, takutnya
Yuda
dimakan buaya sungai?!"
"Mana mungkin buaya makan
buaya,
Guru?!" ujar Kutilang Manja dengan
wajah cemberut.
"Husy, jangan ngomong
begitu.
Yuda bukan buaya!"
"Memang sih, bukan buaya
tapi
komodo!" tambah Kutilang
Manja makin
cemberut kesal karena sikap Yuda
yang
sering menclok saja, menclok
sini,
ganti teman ngobrol. Rasa
cemburu itu
dimuntahkan dalam
bentuk ejekan di
depan sang Guru. Padahal sang Guru
sedang bingung mengatasi
kedatangan
Dardanila.
Peluh Selayang
muncul dengan
terburu-buru. "Guru,
cepatlah keluar!
Yuda sudah datang dan sekarang
sedang
berhadapan dengan Ratu Geladak
Hitam."
"Hah...?! Sudah datang?!
Syukur,
syukur...!" Nyai Sirih Dewi
mengelus
dada sendiri merasa lega.
Wajahnya
cerah kembali, dan ia langsung
bergegas menuju pekarangan
depan,
menembus keluar melalui pintu
gerbang
yang memang sudah dibuka oleh
petugasnya. Dan di sana
dilihatnya
Yuda Lelana sedang bicara dengan
Ratu
Geladak Hitam yang masih diam di
atas
punggung kuda. Sepuluh anak buahnya,
termasuk Adu Polo,
mengelilinginya
bagai mengurung pertemuan tersebut.
Mereka sudah siap dengan senjata
masing-masing.
Ratu Geladak
Hitam ternyata
seorang wanita yang cantik
jelita.
Usianya seperti masih sekitar
tiga
puluh tahunan. Yah, lewat sedikitlah.
Yang jelas rupanya masih semarak
ayu.
Matanya sedikit nakal, namun
indah.
Hidungnya bangir, bibirnya
sensuai.
Dadanya, wah.... Pokoknya bikin
lelaki
berkepala nyut-nyutan kalau
kelamaan
memandang dadanya. Sebab bisa
digetok
dari belakang oleh pengawainya.
Lehernya termasuk jenjang, putih
mulus tanpa cupang. Ia
mengenakan
kalung permata bersusun dua.
Dengan
rambut disanggul rapi sisa rambut
ngelewer ke samping kanan kiri
berbentuk spiral, ia tampak
anggun dan
berwibawa. Pakaian hijau yang
membalut
tubuh sexy-nya itu dibungkus
dengan
kain jubah dari bahan sutera
warna
merah jambu. Segar dan
menggairahkan,
sama dengan bentuk bibirnya
yang,
iiih... enak dikecup deh
rasanya.
Yuda bergidik membayangkan bibir
itu. Hatinya gemas dan geregetan.
Kalau saja giginya bisa mulur
maju, ia
akan gigit bibir itu dari
tempatnya
berdiri. Mata Yuda tak mau
berkedip,
dan ternyata mata Ratu
Geladak Hitam
juga tidak mau berkedip. Mereka
saling
pandang beberapa saat dengan
kecamuk
hati masing-masing. Para pengawalnya
sempat bingung, mengapa ratunya
menjadi terpaku bagaikan patung
bernyawa?
Seorang murid Nyai Sirih Dewi
keluar dan tergesa-gesa ingin ikut
ambil bagian dalam penjagaan
ketat di
depan gerbang. Larinya terlalu
cepat
hingga sukar direm dan akhirnya
menabrak Yuda Lelana. Bruuus...!
"Gendeng kamu ini?! Ada
orang
masih bengong ditabrak
saja!"
"Maaf, maaf... Tuan
Yuda," kata
murid itu sambii mundur dan
ambil
posisi berjajar dengan
teman-temannya.
Saat itulah adu pandang mereka
terhenti, ketermenungan sang
Ratu pun
menjadi buyar. Lalu, terdengar
suaranya menyapa dengan wibawa
dipaksakan.
"Kaukah yang bernama Yuda
Lelana?"
"Begitulah kira-kira,"
jawab Yuda
Lelana sambii sunggingkan senyum
tipis. Tapi tiba-tiba ia harus
berkelebat cepat karena seorang
anak
buah sang Ratu melemparkan
tombaknya
dari arah samping kiri.
Wuuut...!
Teeb...! Tombak itu disambar
oleh
tangan kiri Yuda sambii badannya
sedikit melengkung ke belakang.
Secara
tak langsung Yuda telah pamerkan
ketangkasannya di depan sang
Ratu.
Bahkan kali
ini jempol kirinya
menekan tombak itu dan,
traak...!
Tombak tersebut patah dengan
sentakan
jempolnya. Ratu Geladak Hitam
memandangnya dengan diam,
menyimpan
rasa kagum terhadap kemampuan
Yuda;
menangkap dan mematahkan tombak
memakai satu tangan. Tangan
kiri,
lagi!
Seorang anak buahnya yang ada di
sebelah kirinya juga ingin
lemparkan
pisau ke arah Yuda, tapi tangan
kiri
sang Ratu yang bergelang
kerincing
tujuh biji itu diangkat.
Gemerincing
suara gelang membuat orang itu
tak
jadi lemparkan pisaunya. Kejap
berikutnya, Nyai Sirih Dewi
muncul di
belakang Yuda bersama Peluh
Selayang
dan Kutilang Manja.
"Pantas kau sekarang betah
tinggal di tempatmu ini, karena
kau
punya mainan baru yang tentunya
mengasyikkan, Sirih Dewi!"
ujar sang
Ratu menyindir dengan senyum
sinisnya.
"Aku tak jeias maksud
bicaramu,
Dardanila!" kata sang Nyai
dengan
tenang.
"Tak perlu diperjelas. Yang
perlu
kau mengerti adalah perintahku
yang
terakhir kali ini; kau harus
cepat
pergi dan tinggalkan perguruanmu
ini.
Aku tak peduli kau sudah lama
atau
baru saja menempati tanah ini,
yang
pasti kau harus segera pindah ke
tempat lain! Bukit ini dalam wilayah
kekuasaanku; Ratu Geladak
Hitam!"
Sambil masih berdiri di belakang
Yuda, Nyai Sirih Dewi berseru,
"Apa
pun perintahmu aku tak
perlu tunduk!
Kau pikir siapa dirimu sehingga
berani
memerintahkan begitu,
hah?!"
"Kau belum tahu siapa aku
sebenarnya, Sirih Dewi!"
"Aku tahu! Aku cukup tahu
siapa
dirimu, Dardanila. Kau seorang
ratu
sesat yang hidup di Pulau Iblis, dan
dikalahkan oleh
Raja Kala Bopak
sehingga kau lari dari Pulau
Iblis dan
hidupmu bertahun-tahun hanya di
atas
geladak kapai bangkai. Karena
kapal
itu kini pecah dihantam ombak
badai,
maka kau tak punya tempat tinggal
lagi, lalu kau ingin
menguasai bukit
ini! Aku pun tahu kau punya ilmu
yang
yaaah... lumayan
tinggilah," kata sang
Nyai berkesan menyepelekan.
Lanjutnya lagi, "Ilmumu itu
yang
membuat kau masih tampak muda,
tak ada
yang tahu kalau usiamu sendiri
sebenarnya sebaya denganku,
sekitar
delapan puluh tahun!"
"Tutup mulutmu,
Setan!" bentak
Ratu Geladak Hitam sambii
matanya
melirik sekiias ke arah
Yuda Lelana.
Rupanya ia tak suka rahasia itu
diketahui oleh Yuda Lelana.
"Kau tak perlu banyak bicara
tentang diriku, Sirih Dewi! Yang
perlu
kau lakukan adalah minggat dari
tempat
ini, bila perlu sekarang
juga!"
"Aku tidak akan pergi ke
mana
pun!" tegas Nyai Sirih
Dewi.
Wajah cantik sang Ratu tampak
memerah pertanda menahan amarah.
"Sirih Dewi, ini peringatan
terakhir dariku!" katanya,
lalu ia
segera memberi aba-aba kepada
anak
buahnya untuk tinggalkan tempat
ini
dengan seruan tertahan,
"Jalan...!"
Mereka berbalik arah dan saling
meninggalkan tempat. Tapi di
kejauhan
mata sang Ratu sempat berteriak
dari
sana sambil berpaling ke
belakang.
"Sirih Dewi! Kalau kau tak
mau
tinggalkan tempat ini, kau tidak
akan
dapatkan Kitab Jayabadramu lagi
selamanya! Tapi jika kau mau
ting-
galkan tempat ini, suruh anak
muda itu
mengambil kitab pusakamu ke
tempatku!"
"Jahanaaam...!" geram
Nyai Sirih
Dewi dengan bergegas ingin
mengejar.
Tangan Yuda segera mencekal
lengan
sang Nyai, menahan gerakan
murkanya.
"Jangan sekarang,
Nyai!"
"Dia harus kuhajar habis,
karena
ternyata orangnya itulah yang
mencuri
Kitab Jayabadra sebagai
sanderanya!"
Kutilang Manja dan Peluh
Selayang
juga tampak gusar. Yuda Lelana
menenangkan mereka dengan
berkata,
"Jangan terpancing emosi.
Kalem
saja. Kalem...!"
"Bagaimana bisa kalem kalau
Kitab
Pusaka itu ternyata ada di
tangannya?!" sentak
Kutilang Manja.
Nyai Sirih Dewi berkata dalam
geram, "Aku harus bisa
mengambil kitab
itu lagi tanpa harus pergi dari
Bukit
Bara!"
"Biar aku yang mengambilnya
ke
sana, Nyai!" kata Yuda
Lelana.
"Jangan! Kau tak boleh ke sana!"
tukas Kutilang
Manja. "Dia pandai
menjerat hati lelaki."
"Tenang saja, Kutilang Manja,"
kata Yuda. "Dia tak akan
menjeratku
karena hatinya tadi sudah
terjerat
sendiri olehku."
"Uuh...! Dasar buaya!"
geram
Kutilang Manja, lalu bergegas
masuk.
LIMA
YUDA Lelana tak mau didampingi
oleh siapa pun. Masa' jagoan mau
melabrak musuh kok harus
didampingi
seseorang, malu kan? Makanya
Yuda
tetap ngotot ketika Nyai Sirih
Dewi
memerintahkan Kutilang
Manja untuk
mendampinginya ke Geladak Hitam.
"Kalau ada yang nekat
mendampingiku, aku tidak mau
pergi ke
sana!" ancam Yuda Lelana.
Akhirnya
sang Nyai memutuskan untuk
menuruti
kemauan Yuda. Ia percayakan
kitab itu
kepada si tampan kumal dengan
catatan:
"Jika kau terpikat oleh
kecantikannya, pulangkan dulu
kitab
itu selebihnya kau boleh pulang
kembali melanjutkan percintaanmu
dengan Dardanila!"
"Ah, pikiranmu yang
nggak-nggak
aja, Nyai. Kalem sajalah!"
Sebenarnya hati Yuda Lelana
merasa kikuk, karena sang Nyai
bagaikan mengetahui jalan
pikirannya.
Diam diam Yuda Lelana memang
ingin
bertemu lebih dekat lagi dengan Ratu
Geladak Hitam. Pertemuan empat
mata
sangat diharapkan. Karena
sifatnya
sangat pribadi, maka Yuda menolak
keras didampingi oleh siapa pun.
Bahkan seekor kuda pun tak mau
dibawanya, takut mengganggu
acara
tatap muka empat mata itu. Yuda
hanya
diantar oleh
sang Nyai sampai di
tebing, setelah itu dilepas
sendirian
menuju benteng Geladak Hitam yang
tampak dari tebing.
Sampai di benteng Geladak Hitam,
Yuda Lelana dibuat kelinci
percobaan
oleh anak buah Ratu Geladak
Hitam. Ia
diserang empat orang berkekuatan
tenaga dalam tinggi. Kala itu ia
masih
berada di depan gerbang. Tetapi
empat
orang tersebut dapat
ditumbangkan
dalam satu jurus saja. Hentakan
kaki
ke bumi membuat keempat orang
itu
mental ke atas, ada yang
kepalanya
membentur dahan pohon, ada yang
nyangsang di atas pohon, ada
yang
jatuh kepala duluan, ada pula
yang
tertancap patahan dahan runcing.
Jurus 'Sentak Bumi'-nya terpaksa
digunakan lagi ketika empat
orang
muncul lagi dari dalam benteng
membantu temannya yang sudah tak
berdaya. Dengan sekali hentakkan
kaki
ke bumi, keempat orang itu
terpental
lagi ke atas dan jatuh dengan
kehilangan keseimbangan badan.
Kali
ini ada yang meluncur kepala
duluan
dan masuk ke sebuah kubangan
berlumpur. Jruub...! Kepala
terbenam
sampai dada, kakinya masih
bergerak-
gerak di atas.
Yuda tidak pedulikan keadaan
mereka yang menderita akibat
jurus
'Sentak Bumi'-nya. Ia langsung masuk
ke dalam benteng berbatu hitam.
Di
sana ia disambut dengan lemparan
enam
tombak dari arah depan dan
samping
kanan-kiri. Yuda Lelana tak
perlu
merasa kaget, karena hal-hal
seperti
itu sudah diduga sebelumnya.
Zraaab...! Enam tombak yang
melayang cepat ke arahnya itu
hanya
dihindari dengan melompat ke
atas dan
bersalto di udara satu kali.
Tombak-
tombak itu saling berbenturan
sendiri
ketika tak mendapatkan tempat
untuk
menancap. Trak, trak, praak...!
Yuda Lelana melayang turun
dengan
kakinya menghentak ke kumpulan
tombak-
tombak tersebut. Dengan kekuatan
tenaga dalam terkendali,
tombak-tombak
yang ditendang itu berbalik ke
arah
pelemparnya. Zraaab...! Mereka
kebi-
ngungan melihat tombaknya
berbalik
menyerangnya. Mereka lari
tunggang
langgang, ada yang tersungkur
karena
tersandung batu, ada yang
nungging
karena menghindari kelebatan tombak,
ada pula yang menabrak pohon dan
akhirnya tombak itu menancap di
paha.
Jruuub...!
"Waooow...!"
"Keren!" ada yang
menambahkan
teriakan itu, entah dari sisi mana,
karena pada saat itu Yuda Lelana
sibuk
menghadapi tujuh orang penyerang
bersenjata golok. Mereka
berbadan
kekar dan besar. Tapi dengan
sekali
sentakkan kedua tangan ke
samping,
cahaya putih menyebar dari tubuh
Yuda
Lelana ke berbagai arah. Cahaya
putih
itulah yang membuat tubuh mereka
terpental terbang bagaikan
dihempas
badai super kuat. Ada yang
kepalanya
bocor karena membentur dinding,
ada
yang punggungnya patah karena
menabrak
tiang jati, ada pula yang saling
mencaci karena kepalanya beradu
dengan
kepala teman sendiri.
"Hentikan...!" seru
sebuah suara
yang mampu membuat semua gerakan
terhenti seketika. Suara itu tak
lain
adalah suara Ratu Geladak Hitam.
Mata Yuda saling beradu pandang
dengan mata sang Ratu. Tiga
helaan
napas kemudian, barulah sang
Ratu yang
bagai orang terkesima itu mampu
perdengarkan suaranya.
"Setelah lima hari aku menunggu,
akhirnya kau datang juga!"
Yuda Lelana
membalas ucapan
tersebut, "Apakah yang kau
tunggu
adalah sang ajal yang datang
bersama
El Maut?"
Ratu Geladak
Hitam tersenyum
meremehkan. "Apakah kau
datang untuk
membunuhku, Anak Muda?"
"Jika terpaksa, mungkin
memang
begitu. Tapi aku datang dengan
maksud
baik dan punya tujuan
tertentu."
"Apa tujuanmu?"
"Bicara empat mata
denganmu,
Ratu!"
"Bagaimana kalau aku tidak mau
bicara empat mata
denganmu?"
"Terpaksa mata kirimu
kucolok
biar kita bicara tiga
mata!" jawab
Yuda Lelana seenaknya saja,
seakan tak
punya rasa takut atau niat
hormat sama
sekali. Hal itu membuat pengawal
Ratu
menjadi tersinggung. Adu Polo
yang ada
di samping kanan sang Ratu
segera
lepaskan pukulan tenaga dalam
tanpa
sinar ke arah Yuda Lelana.
Wuuut...! Tapi dengan mudah Yuda
Lelana menahannya. Tangan kanan
dibentangkan di depan dada,
pukulan
bergelombang panas itu
tertangkis dan
bagaikan dikembalikan ke arah
pemiliknya. Adu Polo melompat
karena
hawa panas terasa sedang
menyerangnya.
Wuuusss...! Sang Ratu
mengibaskan
tangannya bagai membuang bunga,
ternyata yang keluar asap putih
penahan gelombang hawa panas
itu.
Blaaar...! Ledakan itu timbul
karena
dua gelombang beradu dan membuat
Adu
Polo tersentak ke belakang,
jatuh
terduduk.
Bruuk...!
"Anak ini memang
bangsaaat...!"
teriak Kebo Tumang yang baru
saja
muncul dan mengetahui tindakan
itu. Ia
segera mencabut kapak dua mata
berukuran besar yang menjadi
senjata
andalannya. Tapi baru saja ia
ingin
bergerak, sang Ratu rentangkan
tangannya dan berseru,
"Hentikan, Kebo
Tumang!"
"Gggrr...!" Kebo
Tumang menggeram
jengkel. "Dia memotong
telingaku,
Gusti!"
"Toh kamu masih punya
telinga
yang kanan? Kenapa harus marah?
Kalau
mau marah, urusannya sama
aku!" kata
sang Ratu sambil tolak pinggang.
"Wah... kalau... kalau
begitu ya
sudahlah, saya ke dapur saja
jadi juru
masak," ujar Kebo Tumang
dengan
bersungut-sungut menahan
kejengkelan.
Ia pun ngeloyor pergi dan
dibiarkan
oleh Ratu Geladak Hitam.
Sang Ratu kembali berkata kepada
si tampan kumal itu,
"Apakah kau
benar-benar ingin bicara empat
mata
denganku?"
"Tak perlu kau sangsikan
lagi
keinginanku, Ratu,"
jawabnya dengan
lembut, diiringi senyum tipis
menggetarkan hati.
"Baik. Aku bersedia, tapi
tidak
di sini. Aku punya tempat
sendiri
untuk bicara empat mata. Tentunya
pembicaraan kita nanti bersifat
rahasia, bukan?"
"Ya, tepat sekali
dugaanmu."
"Ikutlah aku!" katanya
tegas
sekali, lalu sang Ratu melangkah
melalui samping ruang paseban.
Yuda
Lelana mengikutinya dengan
memandang
sinis ke sana-sini karena ia pun
dipandangi dengan sinis oleh
orang-
orang sang Ratu.
Ratu Geladak Hitam dan Yuda
sampai di taman belakang
bangunan
utama. Taman itu tertata rapi dan
indah. Ada serumpun bambu kuning
di
pojokan. Bentuk bambu itu
menyerupai
lorong karena kelebatannya.
Ternyata
Yuda dibawa masuk ke lorong
bambu yang
mempunyai jalan setapak itu.
"Mau ke mana kita,
Ratu?"
"Ke mana saja itu urusanku.
Kau
ikuti saja langkahku,"
jawabnya tanpa
menengok ke belakang.
Oh, ternyata di balik kerimbunan
bambu itu ada tangga batu menuju ke
bawah tanah. Ratu menuruni
tangga batu
itu, demikian pula Yuda Lelana.
Di
ujung bawa tangga batu yang
terdiri
dari sepuluh baris itu ada
lorong gua
yang lebarnya sekitar dua
tombak.
Dinding lorong itu mempunyai
obor-obor
penerang jalan. Yuda menyusuri
lorong
itu, kali ini berdampingan
dengan sang
Ratu karena jalannya cukup untuk
melangkah dua orang berjajar.
"Tempat apa ini
sebenarnya?"
tanya Yuda sambil memandang
sana-sini.
"Tempat rahasia,"
jawab Ratu
Geladak Hitam. "Di sinilah segala
rahasia dibicarakan atau
dilakukan."
"Pasti tempat ini kau
gunakan
untuk bersembunyi dari serangan
lawan
yang tak mampu kau hadapi."
Ratu Geladak
Hitam hanya
tersenyum, ia tak memberikan
komentar
apa-apa. Langkah kakinya tetap
tegap,
agak cepat, wewangian yang
disemprotkan ke pakaian dan
tubuhnya
tercium jelas oleh hidung Yuda
Lelana.
Tapi Yuda tetap tidak mau
lontarkan
pujian atas keharuman yang
lembut dan
enak dihirup itu. Matanya masih
memandangi tiap dinding penuh
waspada,
karena ia tak ingin termakan
jebakan
yang mungkin dipasang pada
dinding
lorong yang kini telah membelok
ke
kiri itu.
"Kenapa tidak ke
kanan?"
tanyanya.
"Lorong yang ke kanan
menuju ke
sarang ular piton. Aku punya
delapan
ular piton di sana. Tapi mereka
tak
akan bisa menyeberang ke lorong
kiri
ini, karena sudah kubatasi
dengan
racun yang ditakuti setiap
ular."
"Jadi lorong kanan adalah
lorong
jebakan?"
"Begitulah," jawab
sang latu
dengan singkat.
Lorong yang sedang dilalui Yuda
makin lama tampak semakin
terang. Di
depan sana cahayanya lebih
terang
lagi. Yuda memandang dengan mata
sedikit mengecil untuk melihat
ruangan
terang yang ada di depannya.
Agaknya
ruangan terang itulah yang
sedang
dituju oleh Ratu Geladak Hitam.
Dugaan Yuda ternyata benar juga,
ia dibawa ke ruangan terang yang
berbentuk lingkaran itu. Cahaya
terang
datang dari jumlah obor yang
semakin
banyak. Ruangan itu cukup lebar,
karena di tengahnya terdapat
kolam
berair mancur pendek tapi
jernih.
Ruangan itu juga mempunyai
tanaman
hias pada tepiannya. Berkesan
bersih
dan punya nilai seni tinggi. Ada
lempengan batu di tepi kolam yang
menjadi tempat duduk cukup
nyaman,
karena di atas lempengan batu
marmer
putih itu terdapat bantalan
pelapis
yang cukup empuk.
Aroma wangi menyebur kian tajam,
karena tanaman bunga yang ada di
ruangan tersebut sedang bermekaran.
Warnanya bunga dan bentuknya
sungguh
indah dipandang mata. Pasti
tempat itu
punya tenaga perawat sendiri
yang
selalu merapikan keadaan di
situ.
Ada meja dari batuan marmer
hitam. Di atas meja itu ada
tempat
anggur dari logam emas,
cangkirnya pun
dari emas murni berbatu-batu
indah. Di
samping meja minuman terdapat
tempat
buah. Keranjang rotan diletakkan
di
atas meja rendah itu penuh
dengan
buah-buahan segar. Tak jauh dari
situ
ada tempat tidur dari batuan
marmer
juga yang dilapisi kain empuk serta
nyaman. Seprai dan sarung
bantalnya
dari kain sutera biru muda.
Sedangkan
di samping ranjang itu terdapat
meja
rias, lengkap dengan cermin
ovalnya
dan tempat pedupaan yang
terpisah dari
meja rias.
"Tempat ini berudara sejuk.
Kurasa tempat ini menjadi tempat
peristirahatanmu,
Ratu!"
"Memang. Tapi juga kugunakan
sebagai tempat bertapa atau
melakukan
suatu kegiatan yang bersifat
ritual,"
jawab Dardanila sambil mendekati
meja
minuman. Ia menuang anggur dari teko
tinggi langsing bermulut kecil.
Ia
mengambil cangkir berisi anggur
merah,
satu untuknya, satu lagi
diberikan
kepada Yuda Lelana.
"Minumlah sebagai suguhan
awal
dariku," kata sang Ratu.
"Aku tak biasa minum
anggur,"
kata Yuda Lelana sambil tersenyum
indah.
"Coba sedikit, kau akan
ketagihan."
"Begitukah nantinya?"
Dardanila mengangguk. Ia
mengawali minum anggur itu. Yuda
Lelana ikut-ikutan meminumnya
pula.
Sruup...! Sedikit, tapi
benar-benar
dirasakan kenikmatannya,
dikecap-
kecapnya sebentar, lalu berkata
pelan,
"Lumayan juga rasanya.
Kurasa
anggur ini baru dua tahun kau
simpan,
jadi belum terlalu tajam
menyentuh
ujung lidah."
"Kau bilang tak biasa minum
anggur, tapi nyatanya kau bisa
menilai
mutu anggurku dan tebakanmu
memang
tepat, baru dua tahun kusimpan
di
tempatnya."
Yuda Lelana tersenyum malu,
terjebak omongannya sendiri. Ia
tinggalkan sang Ratu, berjalan
mengelilingi tempat itu dengan mata
memandang penuh perasaan salut
terhadap nilai seni yang dibangun di
bawah tanah itu. Sang Ratu ikut
mendampinginya karena ia segera
mengajukan tanya,
"Apakah menurutmu tempat
ini
benar-benar nyaman?"
"Bukan hanya nyaman, namun
cukup
romantis," jawab Yuda.
"Ruangan ini
menimbulkan sejuta khayalan indah.
Pasti kau menyebarkan kekuatan
gaib di
tempat ini yang dapat
menimbulkan
hasrat manusia untuk
berandai-andai
dalam khayalan indahnya."
"Kau cukup peka terhadap
hal-hal
seperti itu rupanya. Siapa
gurumu,
Yuda? Boleh aku tahu?"
"Aku tak punya guru,"
jawabnya.
"Tak mungkin. Karena kau
punya
gerakan dan jurus-jurus yang
aneh
bagiku. Hampir mendekati
kesempurnaan
dalam gerak. Aku kagum
sekali."
Sengaja kata-kata itu tak
dikomentari oleh Yuda kecuali
hanya
senyum tipis menjerat kalbu.
Yuda
Lelana duduk di bangku dari batu
marmer yang dilapisi kain empuk
itu.
Cangkir emas diletakkan. Sang
Ratu
ikut-ikutan duduk pula sambil
meletakkan cangkir emas di
samping
cangkirnya Yuda.
"Aku ke sini untuk
mengambil
Kitab Jayabadra!" kata Yuda
dengan
tegas.
"Apakah Sirih Dewi sudah
berniat
pergi dari Bukit Bara?"
"Tidak akan pergi
selamanya!"
"Bukankah tempo hari aku
berjanji
akan memberikan kitab itu jika
ia mau
pergi dari Bukit Bara?"
"Aku tidak mendengar
perjanjianmu
dan kalau toh mendengarnya aku
tidak
mau ikuti perjanjian itu. Boleh
atau
tidak, Kitab Jayabadra harus
kubawa
pulang ke Bukit Bara!"
Ketegasan pemuda tampan yang
kumal itu justru ditertawakan
oleh
Dardanila. Tawanya lirih,
berkesan
mengikik geli. Yuda Lelana tetap
tenang dan senyumnya tetap
menghiasi
rupa tampannya. Jarak duduknya
yang
kurang dari satu jangkauan itu
membuat
matanya dapat memandang jelas
sampai
ke pori-pori kulit putih mulus
itu.
"Kalau aku tidak mau
memberikan
kitab itu bagaimana?"
"Aku akan merebutnya!"
jawab Yuda
Lelana kalem tapi berkesan
pasti.
"Kalau aku mempertahankan
bagaimana?"
"Aku akan
menyerangmu."
"Seranglah sekarang kalau
kau
berani," ujarnya
sambil menyodorkan
wajah, seakan menyuruh menampar
wajah
itu, tapi mulutnya sedikit
merekah
sehingga artinya menjadi beda
lagi.
Bibirnya yang menggemaskan itu
dijilati sesaat, hati Yuda
Lelana
tergelitik melihat lidah itu
berkelebat membasahi bibir.
"Jangan begitulah...,"
katanya
dengan lemah, membuat sang Ratu
kian
menggoda.
"Seranglah kalau kau
berani...,"
wajah itu makin didekatkan lagi.
Matanya sedikit terpejam. Bibir
merekah menantang gairah. Yuda
Lelana
memandanginya dengan jantung
berdetak-
detak. Ia ditantang, tapi ia bingung
menyerang.
"Dardanila, kau musuhku.
Kau tak
boleh begitu."
"Iya. Kau dan aku
bermusuhan.
Makanya kalau kau mau menyerang
silakan! Nih, serang
nih...!" bibir
itu makin disodorkan. Dengus
napasnya
terasa menghangat di wajah Yuda
Lelana
yang salah tingkah.
"Aku... aku harus
menyerangmu
bagaimana?"
"Ya, bagaimana sajalah.
Terserah!
Mau pakai tangan boleh, mau
pakai kaki
boleh, mau pakai bibir juga
boleh."
"Pa... pakai... pakai bibir
saja,
ya?"
"He'eh...," jawab Ratu
Geladak
Hitam dalam desah. Yuda
Lelana tak
kuat ditantang begitu. Maka
pelanpelan
ia menempelkan bibirnya ke bibir
Dardanila. Hangat. Nikmat. Dan
Yuda
segera mengecup bibir itu
pelan-pelan.
Gerakannya sangat pelan,
sehingga
setiap sentuhan bagaikan
mengalirkan
gelombang keindahan ke sekujur
tubuh.
Yang disentuh lembut bibir tapi
yang
dirasakan sampai ke telapak
kaki.
"Oh, Yuda...," bisik
sang Ratu
ketika kecupan lembut itu
dilepaskan.
Yuda Lelana
tak bisa menolak
permintaan itu, maka dilumatnya
lagi
bibir yang menggemaskan itu.
Celakanya, sang Ratu membalas
memberi-
kan lumatan yang tak kalah
ganas.
Bahkan tangan sang Ratu mulai
menari-
nari di atas tubuh Yuda Lelana.
Jearinya begitu lincah memainkan
irama
mesra.
"Yuda, ooh... mati aku kalau
begini," bisik sang Ratu bernada
rintih. Ia jatuh dalam pelukan Yuda
Lelana. Ia menggigit dada Yuda
dengan
lembut, menahan ledakan dahsyat
dalam
jiwanya.
Kolam di tengah ruangan luas itu
mempunyai air mancur. Air kolam
boleh
mancur tapi Yuda tak boleh
mancur.
Jika Yuda menuruti tuntutan
batin sang
Ratu, ia akan mempunyai risiko
yang
lebih kusut lagi dalam hidupnya.
Tapi
sang Ratu tetap merengek, bahkan
berkata, "Beri aku
setengguk anggur,
maka akan kuserahkan kitab itu padamu
sekarang juga. Oh, aku tak
tahan. Beri
aku seteguk anggur, Yuda!"
Maka Yuda menyodorkan minuman
anggur dari cangkirnya. Sang
Ratu
merengek.
"Iiih...! Bukan anggur yang
itu!"
sambil tangannya mencubit lengan
Yuda.
Anak muda yang mulai tampak menua
itu
berlagak bego.
"Habis anggur yang
mana?"
"Anggur kemesraanmu.
Oooh...
Yuda, peluklah aku erat-erat,
Sayang...!"
"Akan kupeluk kau, akan
kuberikan
anggur yang kau pinta, tapi
serahkan
dulu kitab itu padaku. Aku tak
mau
tertipu olehmu, Ratu."
"Tidak, aku tidak akan
menipumu.
Berikanlah, Yuda. Kita akan
bertukar
pemberian. Kitab itu benar-benar
akan
kuberikan padamu jika kau telah
menuruti dahaga batinku
ini!" Ratu
Geladak Hitam mengacungkan dua
jarinya
sebagai tanda sumpah dalam
janjinya.
Tapi Yuda Lelana tetap tidak mau
memberikan apa yang diinginkan
sang
Ratu.
"Aku tak bisa melakukan
tugasku
sebagai seorang lelaki jika
Kitab
Jayabadra belum kau berikan
padaku.
Kitab itu mempunyai mantera yang
dapat
membangkitkan semangat
kejantananku.
Jika semangatku sudah tergugah,
kau
bisa menikmatinya sampai esok
pagi."
"Sungguh...?!"
"Sangat sungguh."
"Janji?"
"Janji."
"Kalau nanti kau bohong
diapain"
"Dicium tujuh tahun juga
nggak
apa-apa!" jawab Yuda Lelana
makin
membuat sang Ratu gemas sekali.
Ia
memeluk dan meremas tubuh Yuda
kuat-
kuat sambil menenggelamkan
wajahnya ke
leher Yuda.
Kejap berikut ia berkata dengan
mendusal-dusalkan ciumannya ke
leher
dan belakang telinga Yuda,
"Baiklah!
Kita ambil dulu kitab itu di
ruang
tidurku, di atas sana. Tapi... tapi
sebaiknya kau tetap di sini
saja. Biar
aku yang mengambilnya.
Secepatnya aku
kembali membawa kitab itu dan gelora
cinta yang lebih berkobar-kobar
lagi."
"Baiklah. Aku menunggu di
sini.
Lekas ambil kitab itu!"
Pancingan Yuda Lelana kena pada
sasaran. Siasat romantisnya
melumpuhkan kekerasan hati sang
Ratu
yang ingin menahan kitab
tersebut.
Sang Ratu pergi mengambil kitab,
keluar dari ruang bawah tanah
ter-
sebut, sedangkan Yuda Lelana
masih
tinggal sendirian di situ, ia
bahkan
berbaring dengan santai di atas
ranjang berseprai biru lembut
itu. Tak
peduli pakaiannya kumal, ia
merebah
dengan cueknya. Bayangan indah
tubuh
sang Ratu tanpa busana
menari-nari di
benak Yuda Lelana.
"Jika memang kitab itu
diberikan
dan ia mau mengurungkan niatnya
untuk
tidak mengganggu Nyai Sirih Dewi
lagi,
tak keberatan aku memberi kehangatan
padanya asal saja jangan sampai
seperti kolam itu," katanya
dalam hati
sambil matanya melirik ke kolam
bening
berair mancur.
Namun beberapa saat kemudian,
Yuda Lelana dikejutkan dengan
suara
gemuruh yang datang dari arah
lorong
jalan menuju keluar. Yuda
melompat dan
bersiap siaga.
"Suara ular pitonkah itu?
Tapi
kenapa bergedebuk? Apakah ular
piton
bisa lari secara
bersama-sama?"
Yuda Lelana mendekati lorong,
ternyata segera muncul wajah
cantik
Dardanila yang tampak tegang dan
memucat.
"Ratu?! Ada apa?!"
Yuda segera
menyambut dengan keheranan
tinggi.
"Orang-orang Pulau Iblis
menyerangku...!" ia
terengah-engah.
"Apa persoalannya?"
Ratu Geladak Hitam meredakan
napasnya. Setelah itu baru bisa
bercerita.
"Baru saja aku mau menaiki
tangga, seorang anak buahku
menyusul.
Ia jatuh berlumur darah. Sebelum
menghembuskan napas terakhir, ia
sempat memberitahukan bahwa
orang-
orang Pulau Iblis menyerang
kami.
Kitab Jayabadra berhasil diambil
dan
dibawa lari ke Pulau
Iblis."
"Hahhh...?!" Yuda
terkejut.
"Kalau tak percaya,
cepatlah
keluar dari sini! Mereka
membakar
sebagian bangunan utama,
membantai
beberapa anak buahku!"
Yuda Lelana
penasaran. Ia segera
keluar dari ruangan bawah tanah
itu.
Ternyata apa yang diceritakan
sang
Ratu memang benar. Mayat
bergelim-
pangan di sana-sini. Bangunan
utama
masih mengepulkan asap, tapi
apinya
sudah padam. Adu Polo menemui
sang
Ratu dalam keadaan tangannya
buntung
sebelah.
"Kitab itu... di...
dibawanya,
Gusti...!"
Bruuuk...! Adu Polo jatuh
pingsan
karena terlalu banyak
mengeluarkan
darah.
Emoticon