Pendekar Romantis 3 - Pedang Siluman(1)



SATU
---------------------------------------------------------------------------------------------------


SEPASANG mata kecil seperti biji pete muda, mengintip
dari balik celah dedaunan. Suara gemuruh air terjun
terdengar samar-samar karena jaraknya agak jauh. Tapi
dari tempat pengintaiannya bisa terlihat jelas. Sepasang
mata tua itu menatap ke arah tiga orang penghuni puncak
Gunung Ismaya.

Tiga orang itu adalah seorang pemuda dengan pakaian
ungu muda berbintik-bintik putih seperti tetesan embun.
Rambutnya punk-rock, depan pendek belakang agak
panjang. Pemuda itu berusia sekitar tujuh belas tahun.
Memakai anting cepit warna putih metalik, berukuran kecil,
di telinga kiri. Sabutnya hitam, celananya yang ungu juga
itu bertiras tepiannya. Di dada pemuda itu ada tato gambar
bunga mawar merah sedang mekar, tangkainya biru.
Tato itulah yang menjadi lambang dan cirinya sebagai
Pendekar Romantis yang bernama Pandu Puber. Gelar
pendekarnya baru saja diperoleh setelah menyelesaikan
skripsi pertarungan dengan Pendekar Samurai Cabul.
Beberapa tokoh dunia persilatan sempat nonton per-
tarungan itu, sehingga mereka tahu bahwa orang tertinggi
ilmunya untuk saat itu telah ditumbangkan oleh seorang
pemuda tampan yang bernama Pandu Puber. Otomatis
gelar kependekaran sekarang berpindah ke tangan Pandu
Puber. Dan nama Pendekar Romantis pun mulai menyebar
dari mulut ke mulut, dari kuping ke kuping, dari hidung ke
hidung, pokoknya dari mana saja berita itu tersiar tanpa
selebaran segala.
Tapi ada pula pamflet-pamflet tertempel di setiap pohon,
tabu, dinding cadas, dinding kedai dan di mana-mana.
Pamflet itu berbunyi; “Pendekar Samurai Cabul telah
ditumbangkan. Sekarang orang tertinggi ilmunya dan layak
menjadi pendekar adalah Pandu Puber, bergelar Pendekar


Romantis. Yang tua-tua sih nggak perlu gelar lagi, kan?”
Entah siapa yang bikin pamflet tulisan seperti itu, yang
jelas bukan pekerjaan Pandu Puber sendiri.
“Anak siapa Pandu Puber itu?”
“Anaknya Kang Yuda Lelana itu lho!”
“Yuda Lelana yang mana?”
“Yang jadi suaminya Mbakyu Murti Kumala! Masa’
nggak tahu sih?”
“Murti Kumala itu yang mana?”
“Yang anaknya raja jin Kala Bopak itu lho! Ah, masa’
nggak ngerti juga? Itu tuh…..yang jadi penguasa Pulau
Iblis.”
Kira-kira begitulah percakapan dari mulut ke telinga dan
kembali lagi ke mulut. Banyak yang mendengar, men-
jadikan suasana penasaran, karena banyak yang ingin
melihat seperti apa sih Pendekar Romantis yang bernama
Pandu Puber itu? Pihak yang paling banyak menyimpan
rasa penasaran adalah pihak wanita.
“Yang benar aja….. masa’ ketampanan Shoguwara si
Pendekar Samurai Cabul juga dikalahkan oleh ketampanan
Pandu Puber?”
“Walaaah… mbok ya berani disamber kucing beranak
seribu deh, aku ini lihat sendiri tampangnya. Benar-benar
ganteng dan gagah. Kalau berjalan dadanya maju!”
“Lha kalau dadanya maju lalu pantatnya ada di mana?”
“Ketinggalan di pasar!” jawab yang ngotot dengan kesal.
“Aku nggak bohong kok. Pendekar Romantis itu ganteng-
nya melebihi Arjuna!”
“Hidungnya bagaimana?”
“Hidungnya mancung, matanya kebiru-biruan, kulitnya
bersih, rambutnya antik, pokoknya kayak orang bule deh!”
“Bule itu apa sih?”
“Bule itu Buaiannya Lembut! Pokoknya kalau kamu lihat
dari dekat dan dekat sekali, langsung kamu akan muter
kayak gangsing celeng!”
“Karena kagumnya sampai begitu?”
“Karena ditampar dia!”


“Apa dia galak, kok suka nampar?”
“Dia kalau nampar pakai bibir. Bukan pakai tangan. Ih,
mesra sekali deh kalau hidup berdampingan sama dia.
Nggak tidur tujuh malam juga betah!”
“Ah, jangan-jangan sama bekas pacarku yang mati
tergencet kuda lebih ganteng bekas pacarku itu?”
“Mana bisa?! Nggak mungkinlah, Jreng! Itu sama saja
ada monyet bisa ngomong! Yang namanya Pendekar
Romantis, baru dilihat dadanya saja sudah bikin jantungmu
mpot-mpotan. Dadanya punya tato kembang mawar lho!”
“Masa’ sih?”
“Iya. Kalau bekas pacarmu kan tatonya gambar
kembang api!”
“Ih, aku jadi geregetan, pingin lihat dia deh. Yuk, lihat
yuk…!”
“Harus ke puncak gunung dulu.”
“Lho, kenapa ke sana? Apa dia penghuni hutan di
gunung itu?”
“Iya. Dia tinggal bersama papi dan maminya.”
“Kalau begitu dia orang hutan dong!”
“Nggak gitu sih. Tapi…..iya juga ya? Habis tinggalnya di
hutan sih, maka pantas dibilang orang hutan, ya? Eh, tapi
bukan sejenis pamanmu.”
“Apa maksudmu sejenis pamanku?”
“Maksudku, bukan sejenis kingkong!”
Wah, ramai deh pokoknya. Hampir tiap mulut wanita
baik yang tua maupun yang muda pada berceloteh tentang
Pandu Puber dan ketampanannya. Malahan ada yang
sudah tunangan sengaja mencekcokkan diri dengan
kekasihnya supaya pisahan. Maksudnya kalau sudah
pisahan dia bebas dekatin Pandu Puber. Tapi sayang sang
kekasih tak mau memsihkan diri karena butuh tumpangan
hidup di masa depannya.
Nah, dari beberapa orang yang penasaran, ada salah
seorang yang nekat mendaki Gunung Ismaya. Tapi bukan
perempuan. Yang nekat itu soerang lelaki berusia sekitar
tujuh puluh tahun. Jadi sudah termasuk tua juga. Cuma


karena punya ilmu peringan tubuh seperti kerupuk mekar
di penggorengan, maka dia bisa mencapai puncak Gunung
Ismaya. Orang itu berpakaian kuning dalam bentuk
pakaian jubah, rambutnya kribo tapu beruban tak rata,
kumisnya sedikit, hanya di ujung-ujung saja dan tipis.
Alisnya abu-abu berbentuk lengkung turun. Orang itu di
rimba persilatan dikenal dengan nama Loan Besi. Menurut
kamus bahasa kuno, Loan itu artinya otot, besi artinya…. ya
besi. Jadi Loan Besi sama dengan Otot Besi. Alias robot!
Tapi…..yah, itu hanya nama julukan saja kok. Biar kelihatan
serem, gitu! Maklum, orang zaman dulu kalau bikin nama
kan sengaja diserem-seremkan. Apalagi hidup di rimba per-
silatan kalau namanya tidak diserem-seremkan sering
disepelein musuh.
Loan Besi kala itu melihat sendiri Pandu Puber ber-
hadapan dengan kedua orang tuanya Yuda Lelana dan
Murti Kumala. O, ya Yuda Lelana itu dewa lho. Swear! Dewa
asli yang namanya Batara Kama. Karena dia dituduh
melakukan pelecehan cinta, sering mengganggu para
bidadari, maka dia diusir dari kayangan. Bisa menjadi dewa
lagi kalau sudah kawin dengan putri raja jin dan berhasil
punya keturunan. Itu janji para sesepuh kayangan yang
punya nama Sepeda : Serikat Pengawas Dewa, (Soal siapa
Yuda Lelana dan siapa Murti Kumala, baca serial Pendekar
Romantis yang ceritanya: “Geger Di Kayangan” seru deh!)
Pada waktu Loan Besi mengintip Pandu Puber,
keadaaan wajah Pandu Puber sedang suntuk, murung,
kendor, pokoknya dirundung duka. Apa sebab?
Sebab sang Ayah sudah mendapat ‘panggilan’ dari
Kepala Dinas Kedewaan di kayangan, bahwa masa
hukumannya sudah berakhir. Sikap dan tingkah laku Yuda
Lelana alias Batara Kama selama menjalani hukuman
dinilai baik-baik saja, tidak pernah melakukan usaha
meloloskan diri dari penjara bumi tempat pembungannya
itu, bersikap baik, berhati sabar, tidak pernah tersangkut
masalah hutang kepada siapa saja, dan tidak pernah
mabuk-mabukkan atau menghisap rokok terlarang. Jadi,


masa hukuman di bumi dipersingkat, akhirnya diputuskan
untuk kembali ke kayangan.
Pertimbangan para dewa itupun berdasarkan pula
karena Yuda Lelana atau Batara Kama sudah berhasil
memperistri anak jin, sudah berhasil mempunyai
keturunan, dan keturunannya sudah berhasil meraih gelar
‘pendekar’ dengan cara berbuat baik, bersikap menolong
dan mengalahkan kejahatan. Amal baik seorang anak
ternyata berpengaruh juga kepada peringan hukuman sang
orang tua. Mungkin kalau anaknya brengsek, suka
ngompas sana-sini. Yuda Lelana belum tentu mendapat
‘grasi’ atau pengurangan hukuman.
Karena selama ini, Murti Kumala, sebagai istri Batara
Kama, menunjukkan sikap yang baik, setianya tinggi, tidak
pernah culas, tidak penah ngutang sana-sini, tidak perdah
serong kiri serong kanan, tulus cintanya, murni kasih
sayangnya, maka pihak para dewa pun memberi bonus
istimewa buat Murti Kumala. Bonus itu adalah izin
mengikuti suami hidup di kayangan bersama-sama para
dewa-dewi. Jadi, Murti Kumala juga berhak ikut naik ke
kayangan, demi menjaga agar sang suami di kayangan
jangan colak-colek bidadari lagi. Dengan lain perkataan,
Murti Kumala di kayangan menjadi Satprinya Batara Kama.
Satpri itu artinya Satpam Pribadi.
“Apakah Ibu tidak bisa tinggal bersamaku di bumi,
Ayah?” tanya Pandu Puber yang amat sayang kepada
ibunya.
“Anakku,” kata Yuda Lelana dalam masa perpisahan itu.
“Ibumu bisa-bisa saja tinggal di bumi, tapi dia akan
kehilangan kesempatan untuk hidup di kayangan bersama
para dewa-dewi. Kelak kalau kau akhirnya menikah dengan
bidadari yang bernama Dian Ayu Dayen itu, kalian sendiri
akan naik ke kayangan dan hidup di sana. Lalu ibumu
sama siapa? Kalian tidak bisa membawa Ibu naik ke
kayangan sana, sebab tiket kalian hanya dua. Nah,
sekarang ini, mumpung Ayah punya tiket dua, maka Ibu
akan Ayah ajak naik ke kayangan. Biarlah Ibu dan Ayah


berangkat duluan, kau ikut kloter berikutnya saja!”
“Jika memang begitu kehendak Sang Hyang Guru Dewa,
silakan Ayah dan Ibu berangkat duluan. Nanti saya
menyusul belakangan saja,” ucap Pandu Puber dengan
nada suara sedih. Wajahnya kian murung, seperti mau
menangis.
Sang Ibu berkata, “Anakku, Pandu…… memang berat
bagi Ibu untuk meninggalkan kamu, Nak. Tapi kepergian
Ibu ini bukan kepergian yang tanpa arti. Kita masih tetap
akan bertemu dan hidup bersama di kayangan nanti.
Selain itu, ayahmu ini perlu seorang pendamping dan
penjaga kenakalannya. Kalau Ibu tidak ikut ke kayangan,
ayahmu jadi playboy lagi di sana, nanti dia diusir lagi dan
disuruh kawin sama anak jin lagi. Padahal jin-jin zaman
sekarang sudah malas beranak. Jadi tabahkan hatimu,
Nak. Tataplah jauh ke depan…..masa depan menunggumu,
tanah impian ada di sana, trasnsmigrasilah kau ke dunia
seberang….”
“Kok pakai transmigrasi segala?” bisik ayahnya.
“Maksudnya, pindah dari kehidupan sekarang ke masa
kehidupan mendatang. Kalau biasanya Pandu hidup
didampingi orang tua, sekarang harus berani hidup sendiri.
Kalau biasanya ada kesulitan apa-apa mengadu kepada
orang tua, sekarang harus mengaasi kesulitan itu sendiri.
Niscaya…… menurut para orang tua, kalau kau berani
mandiri berarti kau menuju alam kedewasaan. Trans-
migrasilah dari masa remaja ke masa dewasa, asal jangan
ke masa bodoh!”
Kabut putih mulai merayapi bumi. Seakan keluar dari
tiap celah tanah yang dipijak Yuda Lelana dan Kumala
Murti, eh….kebalik. nggak apa-apalah. Pokoknya, ada
kabut yang merayap sampai menyelusuri kaki Yuda Lelana
dan Murti Kumala. Kabut itu makin lama makin menebal.
Loan Besi memandang penuh keheranan. Hatinya
membatin, “Itu kabut beneran atau dry-ice, kok
semburannya agak aneh?”
Ternyata kabut yang kian menebal itu mengangkat


telapak kaki Yuda Lelana dan Murti Kumala. Kedua orang
itu makin lama semakin naik, tapi gerakannya sangat
pelan. Sang Ayah segera berkata
“Pandu, jangan sedih dan jangan loyo! Kau bukan
wayang golek, makanya jangan loyo! Tegak berdiri dan
hadapi kenyataan dengan tegar!”
Pandu Puber bagaikan tergugah semangatnya, ter-
cambuk jiwanya. Ia segera menegakkan sikap berdirinya.
Dadanya sedikit terbusung, napasnya tertarik panjang-
panjang, tapi tak sampai putus.
“Jangan cengeng anakku! Ada masa pertemuan, ada
masa perpisahan pula. Dapat suguhan atau tidak, seorang
tamu harus tetap pulang. Dan Ayah inilah tamu yang sudah
dapat banyak suguhan dari bumi. Satu suguhan terpaksa
Ayah bawa pulang sebagai oleh-oleh masyarakat kayangan.
Suguhan itu adalah ibumu!”
“Anakku,” kata sang ibu. “Benar apa kata ayahmu itu.
jaga dirimu baik-baik. Jangan menjadi cengeng karena
perpisahan ini. Kelak kita akan punya masa-masa reuni
sendiri! Selamat tinggal, Pandu anakku…..jangan
menangis….. jangan, Nak….!”
“Siapa yang menangis?” bisik ayah Pandu Puber.
“Matanya sudah merah tuh.”
“Itu karena dia begadang semalaman. Ngobrol dengan-
ku.”
Kabut tebal mulai mengangkat mereka berdua. Posisi
berdiri mereka sebatas perut Pandu Puber. Sang Pendekar
Romantis masih tetap tegakkan badan, tabahkan hati,
pandangi kepergian kedua orang tuanya dengan tegas dan
tegar. Tak ada tangis, tak ada air mata.
Sang Ayah kembali berkata, “Ingat, Pandu… kau akan
menyusul kami ke kayangan jika menikah dengan seorang
bidadari. Karena itu, jaga dirimu, jangan sampai kau nikah
dengan perempuan biasa. Kalau hanya sekadar ‘cuci mata’
saja tak apa. Tapi jangan sampai menikah. Dan ingat pula,
siapapun yang manjadi pelayanmu atau gurumu nanti,
maka dia punya free-pass untuk naik ke kayangan, hidup di


sana bersama para dewa-dewi. Karena itu, hati-hatilah
memilih pelayan atau guru, jangan sembarang orang kau
jadikan pelaan atau gurumu! Supaya kalak kau tidak
menjadi malu jika gurumu bikin masalah di kayangan. Ingat
itu, Pandu…!”
“Aku akan ingat, Ayah…!” kata Pandu tegas sampai
mendongak, karena ayah dan ibunya sudah semakin tinggi,
sebatas lehernya. Kabut tebal itu membentuk mega yang
menopang kaki kedua orang tua Pandu Puber.
“Satu lagi pesan Ibu, Nak…”
“Apa pesan itu, Bu!”
“Jangan lupa….sekali lagi jangan lupa….jemuran di-
angkat sebelum hujan turun, ya?”
“Baik, Ibu. Selamat jalan Ayah dan Ibu, selamat ber-
pisah, sampai bertemu lagi…!”  melambai-lambaikan
tangan. Kedua orang tuanya membalas dengan tubuh
makin naik lagi. Sang Ibu menangis, tapi sang Ayah berkata
pelan.
“Jangan menangis! Nanti dia pingsan! Tersenyumlah…
ayo, tersenyum…!”
Sang Ibu memaksakan diri untuk tersenyum walau kaku.
Air matanya dibendung di tepian kelopak mata. Pandu
Puber sendiri hampir saja menitikkan air mata karena
kedukaannya. Tapi ia masih mampu menahan tangis itu di
dalam hati, sehingga hatinya menjadi kembung karena
penuh air yang menggenang.
Ayahnya berseru ketika mereka lebih tinggi lagi, “Jangan
lupa, Ayah menjemur nasi kerak di atas genteng, nanti
diangkat ya…?!”
“Baik, Ayah….! Ibu, nanti kalau sudah sampai sana
sering-sering kirim surat, ya?!” seru Pandu menghibur diri.
Asap tebal membentuk gumpalan mega itu tiba-tiba
memancarkan sinar putih terang menyilaukan. Sinar putih
itu membungkus tubuh Yuda Lelana dan istrinya. Pandu
Puber tak bisa melihat sosok kedua orang tuanya lagi
karena silaunya. Dan tiba-tiba, dari langit mundul sinar biru
membias ke arah sinar putih terang itu. Sinar itu bagaikan


menyembur membentuk jalur tersendiri yang membuat
gumpalan asap bercahaya itu tersedot masuk ke jalur sinar
biru bening tersebut.
Sang matahari redupkan cahayanya, seakan takut
melihat sinar biru bening yang merupakan cahaya
kekuatan sinar pandangan mata para dewa di kayangan.
Rupanya para dewa pun membukakan pintu  masuk
menuju kayangan dan menyambut kepulangan Yuda
Lelana alias Batara Kama dengan upacara adat sesuai
tradisi para dewa. Taburan bunga warna-warni yang harum
semerbak memenuhi alam kedewaan menyambut ke-
datangan Batara Kama dan istri. Tarian adat disiapkan
pula, pawai para bidadari yang lengkap dengan drumband-
nya juga memeriahkan kedatangan Batara Kama. Di mana-
mana terpasang spanduk bertuliskan “Welcome Batara
Kama and Bojonya.”
Pandu Puber tidak bisa melihat kemeriahan sambutan
para dewa itu. Tapi mata hatinya bagaikan bisa merasakan
kebahagiaan dan suka-cita yang terjadi di lingkungan para
dewa. Senyum pemuda tampan itu mekar dalam lambaian
tangan yang belum juga usai, sampai sinar biru itu lenyap
dan matahari mulai bersinar terang lagi Pandu Puber
masih melambaikan tangan. Duka di hati berganti suka-cita
yang tak terlukiskan.
Tapi tidak demikian sang pengintai Loan Besi menangis
terisak-isak karena terharu melihat perpisahan anak
dengan kedua orang tuanya itu. Loan Besi tak bisa
menahan isak tangisnya, sehingga terdengar sampai di
telinga Pendekar Romantis. Tentu saja sang pendekar jadi
heran dan berkerut dahi. Hatinya membatin, “Aku seperti
mendengar suara desis ular naga? Hmm… rupanya ada
ular naga di sekitar sini?”
Pandu Puber segera mencari dengan mata melirik
tegang dan langkahnya tak terdengar. Ia menuju ke
sumber suara. Akhirnya ia temukan sesosok tubuh tua ber-
jubah kuning sedang berlutut dan tersengguk-sengguk
karena tangis. Pendekar Romantis kian heran melihat


orang itu menangis. Maka disapanya dengan pelan dan
penuh hati-hati, seperti mendekati seekor singa sedang
bertelur.
“Mengapa kau menangis, Ki?” tanya Pandu Puber
setelah dalam jarak dekat.
Loan Besi kian tersengguk-sengguk waktu melihat wajah
bocah yang ditinggal pergi kedua orang tuanya itu. Alisnya
yang turun bagaikan kain melengkung ke bawah membuat
wajah itu tak punya gairah untuk dipandang. Tapi Pandu
Puber paksakan diri untuk memandang dan menyapa
kembali.
“Mengapa kau menangis, Ki? Apakah kau terharu
karena melihat kepergian ayah dan ibuku?”
“Oooh…!” Loan Besi yang tua hanya bisa bilang ‘oh’
sambil menggeleng.
“Atau… karena kau kasihan melihat ayah dan ibuku
pergi?”
“Ak…aku…aku….oooh…” kembali Loan Besi gelengkan
kepala dan tak bisa memberikan jawaban apa-apa. Ia ter-
tunduk lagi dan kian terisak-isak.
“Mungkin…..mungkin karena kau merasa kasihan
kepadaku yang kini menjadi anak yatim piatu, Ki?”
Loan Besi gelengkan kepala lagi.
“Habis kenapa kau menangis di sini?”
“Kakiku…. disengat kalajengking!” jawabnya parau,
membuat Pendekar Romantis terbelalak sambil menahan
geli. Dan dilihatnya kaki itu bengkak. Jempol kaki Pak Tua
itu membiru serta lebih besar dari jempol kaki yang
satunya.
“Yang mana jempol aslinya sih? Ini kaki kok jempol
semua bagini sih?” pikir Pandu Puber. Lalu ia berkata,
“Luruskan kakimu, biar kusembuhkan racun sengatan
kalajengking itu!”
“Ba…baik…!” Loan Besi bergerak pelan-pelan. Kedua
tangannya bertumpu di tanah, satu lututnya juga menapak
di tanah, dalam keadaan nungging bagitu kaki kanannya
diluruskan. Kaki itulah yang tersengat kalajengking.


Plok…! Pandu Puber menepuk pantat Loan Besi.
“Nggak usah pakai nungging begitu. Duduk saja dan
luruskan kakimu!”
“O, iya. Maaf, aku….aku grogi…!”
Loan Besi duduk, kedua kakinya diluruskan. Pandu
Puber menangkap jempol yang bengkak itu dan meremas-
nya kuat-kuat hingga darah muncrat dari luka sengat.
“Wuaaadooow…!” teriak Loan Besi kesakitan. “Edan
kamu ini! Edan…!”
“Aku mencoba mengobatimu, Ki. Jangan diedan-
edankan!”
“Jempol bengkak sakitnya nggak ketulungan malah
diremas seenaknya saja! Memangnya buah duku?!”
“Racun itu harus dikeluarkan supaya tidak mem-
busukkan darah dagingmu!”
“Iya, tapi jangan asal remas begitu saja dong!” sentak
Loan Besi.
“Biar darahnya keluar, dan racunnya terbawa keluar
juga!”
“Sudah, sudah…! Tak usah kau jamah! Aku bisa obati
lukaku sendiri dengan hawa saktiku!”
“Lho, punya hawa sakti segala toh?”
“Kau pikir aku gelandangan kecil?! Eh, biar tua-tua
begini aku adalah Ketua Perguruan Pengembara Sakti!”
“O, maaf! Maafkan aku, Ki!” Pandu menampakkan
hormatnya.
“Anak buahku lebih dari seribu orang!”
“Wah, wah, wah… hebat sekali? Lalu, kenapa kau
sendirian? Mana anak buahmu, Ki?”
“Ya pada pergi mengembara semua!”
“Ooo….boleh kutahu namamu?”
“Namaku Loan Besi!”
“O, namaku Pandu Puber, Ki Loan Besi.”
“Apa….?! Ki Loan Besi? Memangnya aku timbangan?!”
tokoh tua itu marah dan tak suka dipanggil Ki Loan Besi.
Tapi kemarahan itu hanya ditertawakan Pandu Puber.
“Apakah kau tadi melihat perpisahanku dengan ayah


dan ibuku, Ki?”
“Ti…tidak. Eh, anu…iya, memang tidak!” jawab Loan
Besi. “Aku tersesat di hutan ini. Lalu tersengat kalajengking
dan tak bisa teruskan perjalanan untuk sesaat. Tapi…tak
apa. Aku bisa sembuhkan sendiri luka ini. Kau tak perlu
ikut campur, sebab…”
“Sampai ketemu lagi, Ki Loan Besi!” kata  memotong.
Zlaapp…! Pandu Puber pergi dengan begitu cepatnya
karena pergunakan jurus ‘Angin Jantan’. Loan Besi yang
masih bicara hanya bisa terbengong melompong penuh
kagum melihat kecepatan gerak anak muda tampan itu.
***



---------------------------------------------------------------------------------------------------- 
DUA
----------------------------------------------------------------------------------------------------


ANGIN aneh menerpa alam sekitar Pulau Iblis. Seperti
diceritakan di depan tadi, Pulau Iblis merupakan wilayah
kekuasaan raja jin yang bernama Kala Bopak, ayah, yang
berarti mertuanya Batara Kama sekaligus kakeknya
Pendekar Romantis. Orangnya tinggi, besar, wajahnya
menyeramkan karena serba besar sampai pada giginya
pun besar-besar. Kepalanya gundul berkuncir segepok
melengkung ke belakang. Untung ditutup dengan mahkota
sehingga tak kelihatan gundul total.
Sekalipun dia adalah raja jin, tapi sejak menikah dengan
mendiang ibunya Murti Kumala, ia mengurangi sifat-sifat
jahatnya, sejak punya cucu, ia malah menjadi jin yang baik
hati. Suka menasehati orang, walau kadang dirinya sendiri
kurang sehat. Gemar menolong orang walau ia sendiri
sering mengharapkan balasannya. Rajin menabung supaya
tua beruntung, katanya.
Kala Bopak bukan jin sembarang jin. Jin belel pun
bukan. Jin murahan juga bukan. Kesaktiannya sudah tentu
sangat tinggi. Kalau tak tinggi, tak akan menjadi raja jin.
Mungkin hanya menjadi raja singa.
Ia mempunyai anak buah atau perajurit jin juga. Tapi jin
yang sudah menjelma menjadi manusia. Walau demikian,
ciri-ciri jin masih ada pada mereka; tubuh tinggi, besar,
sangar dan punya kekuatan besar juga. Peristiwa
hancurnya sebuah gunung berapi beberapa tahun silam
melibatkan beberapa nama anak buah Kala Bopak, yaitu
sebagai jin yang menjadi korban bencana alam meletusnya
gunung tersebut. Bukan sebagai jin yang menghancurkan
gunung. Nama Kala Bopak sendiri cukup dikenal di
kalangan para tokoh tingkat tinggi.
Pulau Iblis sendiri awalnya milik Ratu Geladak Hitam. Ia
diserang Kala Bopak dan kalah, lalu hidup mengembara di


lautan dengan kapalnya, dan terdampar di pantai utara,
lalu hidup sebagai kelompok masyarakat sendiri yang kini
berdamai dengan Nyai Sirih Dewi sebagai pemilik Bukit
Bara, karena di sana terdapat tambang emas, (Baca deh
serial Pendekar Romantis dalam cerita: “Geger Di
Kayangan” asyik diikuti kok)
Setelah Pulau Iblis dikuasai Raja Kala Bopak, dibangun-
lah Istana yang maha megah. Dulu istana itu pernah dibuat
hancur karena pertarungan Kala Bopak dengan Yuda
Lelana, sebelum akhirnya diangkat sebagai menantunya
dengan amat terpaksa. Di dalam istana itu, tentu saja
dihuni oleh para jin, dari pelayannya sampai kokinya, jin
semua. Tapi ada dua orang yang statusnya bukan jin
melainkan manusia. Mereka adalah Ki Panut Palipuh dan
muridnya yang bernama Mirah Duri. Gadis ini dulu pernah
diselamatkan Pandu Puber saat ditawan Adipati
Sihombreng, yaitu ketika Pandu Puber masih berusia anak-
anak. Ki Panut Palipuh bisa mendarat di Pulau Iblis karena
mendapat suaka perlindungan dari Kala Bopak atas
kejaran dendam Adipati Sihombreng. Biar mereka beda
status, tapi Ki Panut Palipuh adalah sahabat baik Kala
Bopak. Jadi sang guru itu ditampung dengan suka rela oleh
Kala Bopak, bahkan ia dan muridnya sekarang dijadikan
pejabat istana Pulau Iblis, (Kalau nggak percaya, coba baca
serial Pendekar Romantis dalam kisah: “Hancurnya
Samurai Cabul” nggak jorok kok.)
Angin aneh yang bertiup di Pulau Iblis itu membuat Raja
Kala Bopak menjadi gelisah. Indera keenamnya mengata-
kan, ada sesuatu yang terjadi dan akan dihadapi. Indera
ketujuhnya menggiring alam pikirannya kepada wajah putri
tunggalnya yang semata wayang itu; Murti Kumala.
“Ada apa dengan anakku, ya?” pikirnya saat duduk di
singgasana. Ia melamun sambil terbengong sampai tak
sadar ada lalat masuk ke mulutnya dan keluar lagi dengan
bangga karena pernah masuk mulut jin dengan selamat.
Kegelisahan hatinya itu menelorkan ide untuk segera
pergi ke Gunung Ismaya. Biasanya ia menengok anak,


menantu dan cucunya sendirian, tapi kali ini ia ingin
mengajak Mirah Duri untuk pergi ke puncak Gunung
Ismaya. Entah kenapa tiba-tiba hati kecil jin besar itu
berkeinginan begitu. Apakah mungkin selama ini ia sering
memandangi wajah Mirah Duri yang cantik dan berandai-
andai tak beres dalam hatinya? Atau karena ada getaran
gaib yang menyuruhnya membawa serta si gadis cantik
yang pernah kasih sun sama Pandu Puber itu? Tak jelas
alasan hati Kala Bopak, pokoknya dia ingin didampingi oleh
murid Ki Panut Palipuh itu.
“Kali ini, tugasmu sebagai public relation dan mandor
pelayan kau limpahkan dulu kepada pegawai lainnya,” kata
Kala Bopak kepada Mirah Duri. “Kau ikut aku ke Gunung
Ismaya.”
“Baik, Paduka!” jawab Mirah Duri menghormat. Karena
biar wajah Kala Bopak seperti semprong kapal bertenaga
kayu bakar, tapi ia adalah raja yang patut dihormati. Hidup-
matinya Mirah Duri terletak di ujung lidah Kala Bopak.
Bukan berarti Kala Bopak berlidah kapak, tapi karena satu
kali keluarkan perintah dapat memenggal kepala Mirah
Duri.
“Aku ingin kau mengenakan pakaian serba putih,” kata
Kala Bopak.
“Kenapa begitu, Paduka?”
“Entahlah. Aku sendiri tak tahu kenapa aku ber-
keinginan seperti itu? Pokoknya pakai saja pakaian serba
putih, akupun mau ganti jubah putih.”
“Saya tidak punya pakaian putih, Paduka.”
“Seprai saja deh! Seprai kasur kau lilitkan di tubuhmu
kan jadi pakaian serba putih. Kalau tak ada seprai, perban
juga boleh.”
“Perban itu apa, Paduka?”
“Perban itu Perawan Bantingan!” jawab Kala Bopak
dengan jengkel karena ditanyai terus. Mirah Duri ter-
senyum-senyum geli. Kala Bopak berkata lagi.
“Apa saja yang serba putih, pakailah! Jangan banyak
tanya!”


Kepergian Kala Bopak dengan Mirah Duri atas seizin Ki
Panut Palipuh. Sekalipun Kala Bopak seorang raja, tapi ia
menghargai nilai persahabatannya dengan Ki Panut
Palipuh. Maka iapun berkata,
“Panut Palipuh, aku mau ajak muridmu menengok
cucuku Pandu Puber. Apakah kau keberatan?”
“Tidak! Asal kau jangan macam-macam sama muridku.
Dia masih perawan!”
“Itu tidak mungkin tejadi kalau tak kepepet sekali, Panut
Palipuh. Aku masih menghargai nilai persahabatan kita.
Hanya karena merusak satu perawan bisa-bisa nilai per-
sahabatan yang kita rintis selama ini menjadi hancur. Itu
tidak baik! Jangan sekali-kali begitu, ya?!”
“Lho, aku tadi mengingatkan kamu. Kok sekarang kamu
ganti mengingatkan aku? Kalau mau pergi yang pergilah
sana. Kebetulan belakangan ini Mirah Duri sering bicara
tentang Pandu Puber padaku. Rupanya ia menyimpan
kangen pada Pandu Puber cucumu itu, Kala Bopak!”
“Kangen bagaimana? Mirah Duri dan Pandu Puber usia-
nya jauh berbeda lho! Jangan kangen yang nggak-nggak
dia!”
“Usia memang jauh berbeda, tapi Mirah Duri tetap awet
muda dan cantik, kan?”
“Iya. Itu juga karena kuberi ilmu awet muda padanya.
Kalau tidak, ia sudah jadi perempuan tua! Cuma, aku
nggak suka kalau Mirah Duri naksir cucuku.”
“Alasannya apa? Toh mereka berlainan jenis?”
“Oke deh. Naksir saja boleh, tapi jangan sampai kawin.
Sebab cucuku itu calon dewa. Dia harus kawin dengan
bidadari supaya bisa hidup di kayangan. Apalagi cucuku
sekarang adalah seorang pendekar, dia tidak kuizinkan
jatuh cinta kepada sembarang wanita!” Kala Bopak mem-
banggakan cucunya.
“Itu urusan pribadi mereka masing-masing, Kala Bopak.
Kau tak boleh ikut campur. Sekadar memberi saran
kepada cucumu sih boleh-boleh saja tapi tidak boleh
memvonis konsep hidupnya!”


“Hmmm… begitu, ya? Oke, deh… itu masalah nanti. Kita
bisa bicarakan setelah aku pulang dari Gunung Ismaya!”
“Berangkatlah dan jaga diri baik-baik, tak lupa jaga juga
muridku itu!”
Mirah Duri tak bisa mengenakan pakaian serba putih
yang dikehendaki Kala Bopak, karena semua seprai putih
sedang dicuci dan belum kering. Hanya Kala Bopak yang
menukar pakaiannya. Jubah hitam diganti jubah putih.
Semua pakaian dan assesoris diganti serba putih. Karena
kulitnya hitam, maka Kala Bopak jadi seperti pinsil alis
dibungkus kapas.
“Kita terbang, Mirah Duri!”
“Jangan, Paduka. Saya takut kalau dibawa terbang. Kita
jalan kaki saja.”
“Aku ini rajaj jin, masa’ jalan kaki? Gengsi, tahu?!”
“Tapi saya tak bisa terbang, Paduka.”
“Naik di punggungku, pegangan kuncirku!”
“Ogah, ah!”
“Kenapa?”
“Nanti kalau ada orang melihat, disangkanya saya
sedang naik onta!”
“Eh, ini rajamu, ya? Jangan kau samakan dengan onta!”
hardik Kala Bopak.
Akhirnya diputuskan untuk menggunakan jalur gaib.
Maksudnya jalur gaib adalah perjalanan melintasi alam
gaib agar mudah sampai tujuan. Apa bisa?
Bisa dong! Kala Bopak kan raja jin, kalau nggak bisa
melintasi jalur gaib sama juga bohong, kan? Tapi bagai-
mana dengan Mirah Duri, yang sampai sekarang masih
sering bersikap manja dan kekanak-kanakan itu? Diakan
bukan keluarga jin, tidak punya kekuatan menembus jalur
gaib?
O, itu soal mudah selama ia berada di sebelah Kala
Bopak. Raja jin yang bermata lebar dan berkulit wajah
hitam tebal seperti terpal itu menebarkan jubah putihnya,
menyelubungi Mirah Duri. Wuuusss…! Saat itu asap
menebar. Mirah Duri terbatuk-batuk dalam selimut jubah


putih lebar itu.
“Saya sesak napas, Paduka!” katanya.
“Diam lu! Kita sedang memasuki jalur gaib nih! Jangan
banyak omong nanti ada orang dengan suara tanpa rupa
dia bisa pingsan terkencing-kencing!”
“Tapi jubah ini baunya tujuh rupa, Paduka!”
“Memang sudah bertahun-tahun tidak dicuci. Tak usah
mengeluh, terima saja apa adanya, Mirah Duri.”
“Kepala saya pusing, Paduka.”
“Cerewet lu! Tahan sebentar, itu cuma bau keringatku
saja!”
“Tapi…”
Buhhg…! Blaaamm…!
“Apa itu?!”
Kala Bopak dan Mirah Duri keluar dari jalur gaib. Nah,
luh…! Kenapa bisa keluar dari jalur gaib?
Suatu kekuatan gaib menghantam mereka dan mem-
buat mereka terpental jatuh di alam nyata. Tubuh besar
Kala Bopak yang jatuh ke alam nyata itu membentur
dinding bukit cadas dan menggetarkan bukit itu, menimbul-
kan suara gema menggelegar. Untung saja Mirah Duri tidak
kejatuhan badan Kala Bopak. Kalau saja sampai kejatuhan
tubuh hitam besar berperut buncit itu, maka tubuh sekal
dan sexy milik Mirah Duri itu kontan akan menjadi kempes
dan gepeng seperti sele pisang yang dijual di stasiun-
stasiun itu. Terpental jauh dari tubuh Kala Bopak adalah
suatu keberuntungan besar bagi Mirah Duri.
“Biarlah punggungku terasa remuk, tapi aku masih bisa
bernapas. Dari pada harus ketiban tubuh Kala Bopak, aku
akan kebingungan mencari di mana letak napasku,” pikir
Mirah Duri sambil menggeliat pelan-pelan berusaha untuk
bangkit dari jatuhnya. Mirah Duri pejamkan mata sejenak,
menahan napasnya beberapa saat, lalu disalurkanlah
hawa murni di daerah punggung, sehingga rasa sakit di
punggungnya itu mulai berkurang.
Raja Kala Bopak mengumpat dengan sebaris maki-
makian yang tak jelas karena suaranya menggelegar meng-


getarkan pepohonan dan bebatuan sekelilingnya. Yang
jelas, Mirah Duri segera kerutkan dahi melihat sesosok
tubuh asing yang berdiri dalam jarak delapan langkah dari
Kala Bopak.
“Monyet gabuk! Rupanya kau yang mengganggu per-
jalananku, Ratu Peri Sore!”
Mirah Duri terperangah. “Rupanya perempuan cantik
itulah yang bernama Ratu Peri Sore?! Ya, ampuuun…?
Alangkah cantiknya dia! Tak pantas menggunakan julukan
Ratu Peri. Tapi, apa yang pernah diceritakan Guru memang
benar. Ratu penguasa para peri yang munculnya tiap sore
sampai menjelang fajar itu ternyata memang benar-benar
memiliki rupa tercantik di dunia.”
Memang dulu Ki Panut Palipuh pernah bercerita kepada
murid-muridnya, bahwa kecantikan yang tertinggi di dunia
adalah kecantikan milik Ratu Peri Sore. Perempuan itu
adalah benar-benar seorang ratu di kalangan para peri.
Sore hari dia sudah muncul lebih dulu, lalu membagi tugas
kepada para pengikutnya untuk lakukan kegiatan malam.
Ratu Peri Sore konon jarang muncul siang hari kalau tidak
ada masalah amat penting. Konon Ratu Peri Sore ber-
semayam di Hutan Kulit Setan. Letak hutan itu, kabar-
kabarnya, ada di bukit tepi laut, yang bernama Bukit
Tengkuk Hantu, tepatnya sisi lerng timur bukit itu.
Ratu Peri Sore selain cantik juga berpakaian sexy sekali.
Jubah tipis warna biru transparan. Jubah itu mempunyai
belahan dada lebar, dan tak punya pelapis apa-apa lagi di
balik jubah tipis transparan itu, jadi ‘perabotnya’ dapat
terlihat samar-samar dan mempunyai daya goda luar biasa
besarnya. Rambutnya teriap panjang sepunggung, bagian
atas dijepit mahkota kecil. Jubah berlengan panjang itu
terbuka lepas bagian depannya, sedangkan tubuh dari
pusar ke bawah dibungkus celana longgar sekali mirip kain
dari bahan sangat transparan, sehingga ‘perabotnya’pun
juga tampak samar-samar. Celana mirip kain itu berwarna
merah jambu, punya kancing tali memanjang dari tengah
pusar ke bawah. Satu kali sentak tali itu akan lepas dan


plos….kain merah jambu itu akan terbuka bebas. Sang ratu
juga memakai perhiasan lengkap, tapi tidak dalam ukuran
berlebihan.
Mirah Duri tak berani mendekat, karena ia tahu
perempuan itu sangat berbahaya dan ilmunya tinggi. Mirah
Duri hanya memperhatikan dari suatu tempat yang ter-
sembunyi. Jantungnya berdebar takut, namun penasaran
ingin melihat apa yang dilakukan raja jin dalam ber-
hadapan dengan Ratu Peri Sore itu.
“Maaf, aku mengganggu perjalananmu, Kala Bopak. Kau
harus menyelesaikan urusan masa lalu denganku yang
waktu itu tertangguhkan!” kata Ratu Peri Sore dengan
suaranya yang merdu dan tenang bagaikan air sendang
bening.
“Masih belum kapok juga kau, hah?! Kau tetap ingin
menguasai negeri alam gaib dan menundukkan rakyat jin
dalam penguasaanku?!”
“Perkaranya sudah berubah, Kala Bopak!”
“Berubah bagaimana? Dasar Peri plin-plan!”
“Aku harus menebus kekalahanku waktu lalu. Kau
hampir saja membuat aku tak bisa menjelma dengan raga
berjasad kasar! Orang bisa menyentuhku dan aku bisa
menyentuhmu! Sekarang ganti kau yang akan kubuat mati,
tak bisa berjasad kasar lagi seperti saat ini!”
“Monyong jeber! Hati-hati bicara di depanku, Peri Sore!”
“Mengapa harus hati-hati? Kau pikir aku takut melawan-
mu lagi? Hmm…!” Ratu Peri Sore sunggingkan senyum
sinis, berjalan menyamping tiga tindak. Raja jin diam saja,
pandangi wanita super cantik itu dengan mata ganas. Ratu
Peri Sore kembali perdengarkan suaranya yang pantas
untuk suara penyanyi kroncong itu.
“Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Kala Bopak!
Kutahu kau sekarang punya cucu yang bergelar Pendekar
Romantis. Kutahu cucumu itu tampan, gagah dan perkasa.
Dia akan kulebur dalam hatiku dan kujadikan suamiku
sepanjang kebosananku belum tiba!”
“Keparat kauuuu….!” gerak Kala Bopak memanjang,


membuat pohon-pohon bergetar kembali, daun-daun
rontok sebagian. “Jangan kau sentuh cucuku itu kalau kau
ingin murkaku tak membantai habis rakyatmu, Peri Sore!”
“Satu bukti atas kemenanganku nanti adalah
menguasai ketampanan dan keperkasaan cucumu; si
Pandu Puber itu!”
“Babi salto, monyet nungging, kadal batuk…! Kuremuk-
kan seluruh jasad yang ada padamu, Peri Sore!
Heeeeaaaahhh…!”
Ya ampuuun…! Suara teriakannya benar-benar
menyamai seratus petir meledak bersamaan. Gemuruh
menggelegar itu adalah gelombang hentakan suara Kala
Bopak yang membuat alam disapu badai. Pohon-pohon
tumbang tak beraturan. Batu-batu besar pecah terbelah.
Bukit cadas itu pun longsor sebagian. Tanah meretak di
sana-sini karena guncangan bumi. Awan hitam bagai keluar
dari pori-pori langit. Menggumpal menutupi sinar matahari.
Mirah Duri menutup telinganya kuat-kuat sambil
memejamkan mata dan menyeringai kesakitan. Jika tidak
begitu, gendang telinganya pasti pecah karena suara
teriakan raja jin itu. Tapi sepasang mata yang terpejam
kuat itu segera terbuka sedikit untuk melihat apa yang
dilakukan Kala Bopak.
Ternyata raja jin itu menyerang Ratu Peri Sore dengan
lompatan mengerikan. Mirip seekor kuda nil terbang dan
hendak menghantam tubuh mulus yang begitu sexy itu.
Tapi rupanya Ratu Peri Sore sudah siap dengan
serangan tersebut. Ia melompat bagaikan terbang,
membentangkan kedua tangannya, meluruskan kedua
kakinya. Jubahnya berkibar mirip sayap seekor garuda
betina. Tubuhnya akan diadu dengan tubuh besarnya Kala
Bopak. Mirah Duri sudah ngeri saja melihat kedua tubuh
tak seimbang itu saling meluncur.
Tiba-tiba dari mulut Ratu Peri Sore tersembur cahaya
merah bagaikan bunga api menebar ke arah tubuh hitam
Kala Bopak. Zrrraab…! Joorrss!
Tangan Kala Bopak menyentak ke depan dan dari


telapak tangan itu keluar cahaya kuning menyilaukan
seperti emas. Cahaya kuning itulah yang digunakan
menangkis semburan bunga api merah ganas dari mulut
Ratu Peri Sore.
Jraaabbb…! Aaaauubbb…! Blegaarrr…!
“Huaaah…!” Kala Bopak terpental sambil memekik liar.
Bayangkan saja, tubuh sebesar itu terpental tinggi dan
melayang-layang, lalu jatuh meniban sebatang pohon yang
miring karena tadi mau tumbang tak jadi.
Blaammm…! Kraakkk…! Brraakk…!
Guncangnya hebat terasa jelas. Bumi bagai ingin
tenggelam atau terjungkir balik tak karuan. Ledakan tadi
yang membuat alam porak poranda. Ditambah lagi getaran
jatuhnya tubuh Kala Bopak seakan kian membuat tanah di
sekelilingnya melesak ke dalam. Bukir cadas itu longsor
hampir separuh bagian. Salah satu sisi puncaknya
menyembur ke atas. Braaasss…! Udara menjadi kotor
karena badai menerbangkan serpihan tanah cadas.
Mirah Duri sendiri yang jaraknya cukup jauh bisa ter-
pental ke belakang, masuk ke semak-semak dan terkapar
di sana. Begitupun tubuh langsing sekal milik Ratu Peri
Sore. Tubuh itu melayang-layang akibat daya ledak super
dahysat tadi. Hanya bedanya, Ratu Peri Sore bisa cepat
kuasai diri dan mengatur keseimbangan tubuhnya,
sehingga ia tidak terhempas seperti Kala Bopak. Ratu Peri
Sore hinggap di salah satu dahan pohon yang belum
tumbang tapi sedang meliuk-liuk akibat sisa badai yang
menghempas tadi.
“Hik, hik, hi, hi, hi, hi….!” Tawa sang Ratu Peri Sore
mengikik mirip kuntilanak. Dasar ratunya kuntilanak juga,
jadi tawanya ya nggak beda jauh dengan kuntilanak.
Malahan dia bisa disebut kuntilibu, bukan kuntilanak lagi.
Sebab ia juga termasuk ibunya para kuntilanak.
Kala Bopak menggeram-geram sambil berusaha bangkit,
mengguncangkan tanah sekitarnya. Ia tampak terluka
akibat adu kekuatan tenaga dalam tadi. Hidungnya
keluarkan darah. Darah jin adalah hitam. Mirip aspal


panas. Darah itu berasap tipis. Pakaian putihnya ternoda
darah hitam. Pakaian itu bolong karena hangus terkena
tetesan darah yang ternyata memang panas. Tapi agaknya
Kala Bopak tak mau menyerah begitu saja. Ratu Peri Sore
dihampirinya.
“Turun kau kalau memang ingin mengadu kesaktian
denganku!” bentak raja jin.
“Hiak, hiak, hii… hik, hik, hik, hik…!” tawa sang Ratu Peri
Sore berkepanjangan menyakitkan telinga. Ia turun dari
ketinggian dengan satu lompatan cepat menuju ke arah
Kala Bopak berdiri. Lompatan itu berputar tegak, cepat dan
kuat, sehingga tubuhnya bagaikan tonggak melayang
berdiri.
Wuuurrrsss…!
Putaran tubuhnya menyebarkan angin panas. Beberapa
pohon langsung menjadi layu, bahkan ada yang mengering
dan kulit pohon mengelupas secara serempak. Mirah Duri
segera menenggelamkan diri ke dalam rimbunan semak
yang ada di belakang tiga pohon berjajar rapat. Kalau tidak
begitu ia akan terserang hawa panas yang menyebar itu.
Bahkan ilalang di depannya langsung menjadi keriting
dihempas gelombang panas yang hebat. Kala Bopak
segera lepaskan jurus ‘Pelebur Nyawa’ andalannya.
Sepasang sinar merah masing-masing sekepalan tangan
bayi, keluar melesat cepat dari mata besar Kala Bopak.
Zlaarrtb…! Jurus itu seharusnya membuat tubuh elok Ratu
Peri Sore menjadi bubur, mengental dan tentu saja tanpa
nyawa.
Tetapi sayang sekali jurus itu tidak bisa mendekati
tubuh Ratu Peri Sore yang berputar di udara. Bahkan
kedua sinar merah bagai kepalan tangan bayi itu terpental
beda arah dan menghantam sisa bukit cadas. Blaamm…!
Satunya lagi kenai sebuah pohon besar yang kira-kira
berjarak dua puluh tombak dari tempat mereka bertempur.
Bluum…! Craaat…!
Cairan hijau kental bercampur coklat tampak muncrat
ke atas pohon yang terkena sinar merah tersebut. Cairan


itulah yang dinamakan ‘bubur pohon’ yang berubah
seketika itu juga. Sedangkan bukit cadas yang besar dan
tingginya seukuran istana di Pulau Iblis, ternyata memercik-
kan warna coklat, karena bukit itu berubah menjadi
genangan lumpur yang menyerupai bubur.
Tubuh sang Ratu Peri Sore masih di udara dalam
keadaan memutar begitu cepat, menyebarkan hawa panas.
Dan tiba-tiba gerakan tubuhnya turun ke bumi, lalu
tampaklah sosok kecantikan diam dengan kaki merentang
rendah. Seakan dipamerkan di depan mata Kala Bopak
apa yang selama ini diincar oleh kaum lelaki. Dan tiba-tiba
ketika mata Kala Bopak terpana sebentar menatap
pameran ‘perabot’ olah raganya sang Ratu, tangan kanan
perempuan itu menyentak ke depan. Lalu bintik-bintik
emas lembut bagaikan tepung mengkilap itu keluar dari
telapak tangan, menerjang dada lebar Kala Bopak.
Jraass…! Suaranya seperti bara api tersiram air.
“Huaahg…!” Kala Bopak tersentak dengan mata
mendelik. Tubuhnya segera berasap. Ia jatuh berlutut
dengan tubuh gemetar dan suara menggeram seperti
orang kesurupan. Matanya terbeliak-beliak, kulit wajahnya
mengendur dan terguncang-guncang. Keadaan itu dilihat
jelas oleh Mirah Duri dari tempat persembunyiannya.
Ratu Peri Sore perdengarkan suaranya dengan sikap
kalem dan senyum sinis simbol kemenangan.
“Kau tak akan bisa terlepas dari jurus ‘Keringat
Matahari’, Kala Bopak. Ragamu akan lenyap, tak akan bisa
berwujud diri lagi. Selamanya kau akan menjadi mahluk
tanpa jasad. Selamat tinggal, Kala Bopak. Kau tak akan
bisa menyentuhku lagi, dan siapapun tak akan bisa kau
sentuh! Tiba giliranku untuk menguasai cucumu yang
perkasa dan menawan hatiku itu! hi, hi, hi, hi…!”
Ratu Peri Sore sentakkan kaki dan tubuhnya melesat ke
atas, naik terus sambil serukan tawa mengikik. Lalu ia
berlari melalui pucuk-pucuk dedaunan. Suara tawanya
makin lama semakin jauh dan lenyap bagai kehabisan
baterai.


Mirah Duri buru-buru menemui Kala Bopak dan
berusaha untuk mengguncang pundak Kala Bopak. Sebab
ketika itu sang raja jin tundukkan kepala dengan napas tak
tampak terhela, tubuh tak lagi gemetar, asap lenyap, tapi
badannya yang hitam telah berubah menjadi kuning emas.
Tampak samar-samar dalam pandangan. Kenyataannya
tubuh itu ternyata tak bisa disentuh oleh tangan muris Ki
Panut Palipuh.
“Paduka…?! Oh, kau tak bisa disentuh, Paduka?!” seru
Mirah Duri dengan tegang dan sedih.
Kala Bopak perlahan-lahan angkat wajahnya dalam
posisi masih berlutut. Matanya menjadi sayu memandangi
Mirah Duri. Sayu dan menyedihkan, mirip orang sedang
cacingan.
“Mirah Duri…” ucapnya lirih sekali, menghiba hati.
“Rupanya inilah firasat yang membuatku ingin
mengajakmu dan mengenakan pakaian serba putih.
Aku….tak bisa mewujudkan raga lagi. Aku kalah dengan
Ratu Peri Sore yang dulu pernah kukalahkan sebelum ia
mempunyai jurus ‘Keringat Matahari’ itu.”
“Paduka, jangan putus asa! Ayo, bangkit! Bangkit dan
kejar dia, Paduka!”
“Percuma, Mirah Duri. Aku tak bisa menyentuh siapa-
siapa lagi. Jasadku telah dileburkan ke alam gaib. Satu-
satunya cara untuk bisa disentuh dan menyentuh adalah
menggunakan aji silumanku.”
“Ya, ya….gunakan saja! Mari saya bantu, Paduka. Ayo,
gunakan aji siluman itu! Hmmm….saya….saya harus bagai-
mana ini, Paduka?”
“Diam di depanku, jangan mondar-mandir kayak
setrikaan begitu!” geram suara bernada sedih itu. Mirah
Duri pun akhirnya berlutut di depan raja jin yang jasadnya
semakin tampak membayang.
“Mirah Duri, sampaikan salamku kepada gurumu.
Ceritakan semuanya ini kepada Ki Panut Palipuh. Cari dulu
cucuku, ingatkan bahwa ia perlu hati-hati dan jangan
terbujuk rayuan Ratu Peri Sore! Ia tak boleh kawin dengan


Ratu Peri Sore…”
“Ya, ya… saya akan ingatkan. Aku…eh, saya…. Saya
akan cari Pandu Puber  dan … dan…. apa tadi?”
“Ceritakan…”
“Ya, ceritakan! Saya akan ceritakan. Oh, Paduka saya
sedih sekalu! Boleh saya menangis?”
“Prajuritku tak boleh menangis!” kata Kala Bopak
dengan tegas tapi berkesan lembut, sekalipun masih
bersuara besar.
“Ba… baiklah, saya batalkan saja acara menangis saya.
Lalu, bagaimana?”
“Ingatkan pula pada Pandu, bahwa aku telah menjelma
menjadi Pedang Siluman dan bermukim di kaki kanannya.
Dengan cara itulah aku bisa menyentuh tubuh siapa saja
dan bisa disentuh oleh cucuku. Katakan kepada Pandu,
jika ia ingin menggunakan diriku dalam wujud Pedang
Siluman, suruh dia menepak pahanya satu kali, aku akan
keluar dalam wujud pedang bercahaya ungu dan ia harus
siap menangkapku, lalu menggunakan dengan jurus
pedang apapun.”
“Baik, saya akan sampaikan begitu kepadanya,
Paduka.”
“Jelaskan pula, Pedang Siluman tak boleh digunakan
untuk memotong kukunya. Pedang Siluman bisa me-
motong  benda apa saja, termasuk baja. Dan jika mengenai
tubuh lawan, maka lawan akan mati dengan tersenyum
atau tertawa. Tawa dan senyum itu adalah milikku. Tak
akan ada darah di tubuh lawan, karena luka itu hanya akan
keluarkan asap saja. Asap ungu yang indah dipandang
mata orang yang tidak buta. Selebihnya, kehebatan itu
akan ditemui sendiri oleh Pandu manakala ia pergunakan
Pedang Siluman.”
“Ya, saya…. Saya paham. Semuanya akan saya tuturkan
kepada Pandu….”

“Nah, kiranya cukup sampai di sini perjumpaan kita.
Sampai bertemu di lain kesempatan. Sayonara!”
Zzzz… Tubuh Kala Bopak keluarkan suara desis yang


membuat Mirah Duri mundur ketakutan, disangka mau
berubah menjadi naga. Tiba-tiba tubuh Kala Bopak
berubah menjadi bias cahaya ungu memancar ke atas.
Zlap! Cahaya besar itu menciut, sluub…! Dan di tanah telah
tergeletak sebilah pedang bercahaya ungu, gagangnya dari
emas, ujung gagangnya ada hiasan gambar jantung hati.
Zuueeess…! Pedang itu melesat sendiri terbang ke
angkasa, lalu menghilang dari pandangan mata Mirah Duri.
Gadis itu masih tertegun bengong dengan kepala
terdongak dan mata tak berkedip.
“Selamat jalan, Paduka. Semoga kau tidak tersesat
masuk ke paha wanita!” ucap batin Mirah Duri dengan
serius.
***

Page   1