TIGA
PONDOK di dalam hutan, mirip
villa tempat peristirahatan. Pondok
itu berlantai dua, terbuat dari kayu
jati. Kokoh sekali. Pondok itu
berhalaman luas, dipagar dengan kayu-
kayu dolken setinggi perut orang
dewasa. Di halaman yang mengelilingi
pondok itu terdapat pohon cemara
tertanam rapi. Di luar pagar adalah
tanaman hutan liar yang campur aduk,
bukan dari satu jenis tanaman.
Jalanan setapak terdapat di
depan pondok itu, dinaungi pepohonan
bambu hitam. Pondok itu bersuasana
tenang, teduh, nyaman, dan entah
kenapa bisa timbulkan hawa betah bagi
tamu yang singgah. Disela ketenangan
itu, terdengar bunyi gemuruh air
terjun. Berarti pondok itu tak jauh
dari sumber air terjun, yang tentu
saja mempunyai sungai yang mengalir
entah ke mana. Selain gemuruh air
terjun samar-samar juga terdengar
kicau burung di awal pagi dan di awal
petang. Suara macan tak ada. Atau
binatang buas lainnya tak kentara
berseliweran di sana. Mungkin tempat
itu sudah dipasangi ranjau anti
binatang buas, walau pemiliknya
sendiri termasuk perempuan buas.
Pemiliknya adalah si rambut putih
perak dengan wajah cantik yang matang,
bukan kekanak-kanakan.
Si rambut putih perak berjubah
ungu panjang tanpa lengan dengan
pakaian dalam pinjung merah jambu dan
celana longgar tipis transparan itu,
mengaku bernama Janda Keramat. Tentu
saja bukan nama asli. Di mana letak
kekeramatan si janda itu, Pandu Puber
belum mengetahuinya. Tetapi ia tahu
bahwa dirinya dibawa ke pondok itu
untuk diobati oleh sang Janda Keramat.
Ada untungnya Pandu dibawa ke
pondok itu. Karena ramuan yang
diminumkan oleh Janda Keramat membuat
badan Pandu Puber menjadi segar
kembali. Rasa sakit, hawa panas di
dalam tubuh, lenyap setelah meminum
ramuan obat pemberian si Janda Keramat
itu. Sebelum tengah malam, Pandu Puber
sudah bisa berdiri tegak. Maksudnya,
kedua kakinya yang berdiri tegak,
memandang ke arah luar melalui serambi
lantai atas. Yang dipandang hanyalah
cahaya rembulan yang muncul separo
bagian. Barangkali malam itu rembulan
memang sedang pelit, sehingga hanya
muncul separo bagian.
Lantai dua adalah ruangan tempat
untuk tidur atau bersemadi. Barang-
barang yang ada di situ hanya sebuah
meja dan tempat tidur tanpa kaki.
Kasur digelar di lantai papan jati
beralaskan tikar pandan yang masih
utuh. Bau wangi cendana menyebar di
ruangan itu karena di sudut ruangan
ada altar tempat pemujaan, lengkap
dengan tempat pembakaran ratus atau
pedupaan. Bau cendana itu memancing
suasana romantis yang magis.
Ruangan lantai dua itu diterangi
oleh pelita blencong yang biasa untuk
pergelaran wayang kulit. Lampu minyak
itu menggantung di tengah ruangan,
seolah-olah lampu kristal buatan luar
negeri. Sementara di bagian altar juga
ada lampu minyak yang khusus menerangi
suasana sekitar altar pemujaan.
Ruang lantai bawah adalah ruang
untuk dapur, makan, menerima tamu, dan
sebagainya. Bersifat umum, sedangkan
yang di atas bersifat pribadi. Meja
rendah di lantai atas saat itu
digunakan untuk meletakkan dua cangkir
keramik dan satu poci keramik pula.
"Jangan berdiri di situ terus,
minumlah teh penyebar badan ini!
Tubuhmu akan lebih kuat dan segar
dengan meminum teh buatanku, Pandu!"
kata si Janda Keramat sambil mengawali
menuang teh ke dalam dua cangkir
keramik tersebut.
Saat itu Pandu sedang berpikir
tentang Rani Adinda. Hatinya
berkecamuk sendiri dengan lamunan
menyusuri petang.
"Gadis itu digondol ke mana
kira-kira, ya? Ah, kasihan betul dia.
Masalah yang satu belum selesai masih
harus menghadapi masalah lainnya lagi.
Memang si Sawung Seta itu maling!" ia
agak menggeram jengkel membayangkan
Sawung Seta.
"Tapi agaknya Sawung Seta punya
hubungan dekat dengan Janda Keramat
ini. Mungkin perempuan berbibir
menantang inilah yang dimaksud Rani
Adinda sebagai perempuan jalang? Hati
gadis itu cemburu pada perempuan ini.
Hmmm...! Wajar kalau cemburu, sebab
Janda Keramat agaknya pandai memikat
hati lawan jenisnya. Sawung Seta pasti
sempat terbuai oleh rayuan si Janda
Keramat itu. Wajar kalau Sawung Seta
terbuai, karena Janda Keramat punya
kecantikan dan keelokan tubuh yang
menjanjikan surga bagi kaum lelaki.
Tapi kepadaku, hmmm...! Nggak bisa
deh. Nggak mungkin Janda Keramat mampu
memikatku seperti ia memikat Sawung
Seta. Eh, ngomong-ngomong... apakah
Rani Adinda dulunya pernah jatuh cinta
kepada Sawung Seta? Apakah mereka dulu
pacaran dan akhirnya pisah karena
faktor cemburu?"
"Pandu...," sapa si Janda
Keramat sambil mendekat. Ia sudah
mengenal nama Pandu Puber karena
sebelum diobati mereka sudah saling
kenal. Jadi, jangan heran kalau mereka
saling sebut nama. Jangan protes juga
kalau Pandu Puber tidak mau melarikan
diri dari pondok itu, karena Janda
Keramat tadi menjanjikan akan membantu
kesulitan Pandu dalam berbagai hal
asal Pandu mau menurut untuk tidak
mendendam dan bermusuhan dengannya.
Pandu punya rencana mau bicara tentang
Hantu Putih yang dicari-cari Rani
Adinda itu.
Tak heran jika sikap Pandu Puber
terhadap Janda Keramat menjadi baik,
seakan mereka sudah lama bersahabat,
sebab Janda Keramat tadi sudah meminta
maaf kepada Pandu atas tindakannya
yang melukai Pandu. Karenanya sebagai
tanda penyesalan dan permintaan
maafnya, Janda Keramat berusaha
sembuhkan Pandu dari luka dalamnya.
Kalau tidak segera disembuhkan, maka
tubuh Pandu akan digerogoti belatung
dari dalam. Sebab sinar hijau yang
dilepaskan Janda Keramat saat di
pantai itu jurus 'Rendang Belatung',
yaitu sebuah kekuatan tenaga dalam
yang bisa mempercepat pembusukan dan
menghadirkan bibit belatung di
dalamnya.
"Pandu, mari kita minum teh dan
mulai bicara serius. Jangan melamun
terus di sini. Udara malam tak baik
untuk kesehatanmu, Sayang. Nanti kau
masuk angin, aku susah ngerokinnya,
sebab nggak ada uang logam."
"Dikerokin pakai kapak juga
boleh," kata Pandu Puber melontarkan
canda sebagai sikap pengakraban
dirinya. Janda Keramat tertawa kecil
sambil membawa Pandu masuk,
meninggalkan balkon lantai atas itu.
Sang pemuda tampan menurut karena
merasa perlu bicara serius dengan si
Janda Keramat.
Mereka duduk bersila menghadap
meja. Mulanya Pandu mau ambil posisi
duduk berhadapan. Tapi menurutnya, tak
enak, karena terhalang meja. Walau ia
bisa beradu muka terus, tapi jika
terhalang meja kurang asyik. Jadi ia
memilih duduk bersebelahan dengan si
Janda Keramat yang berpakaian tipis
dan tampak membayang 'perabot'nya itu.
"Mari minum untuk kesehatanmu!"
kata Janda Keramat sambil mengangkat
cangkir keramik. Pandu pun mengangkat
cangkir itu dan kedua cangkir diadu
pelan. Trik...! Maka keduanya segera
menghirup teh hangat yang dibuat dari
rumput laut dan tanaman lainnya.
"Segar sekali teh ini. Rupanya
kau pandai menghidangkan minuman dan
makanan yang lezat-lezat, ya?"
"Aku dulu bekas anak pemilik
kedai," kata Janda Keramat. "Kemudian
aku berguru kepada seorang tabib ahli
ramuan obat-obatan. Maksudku hanya
berguru ilmu silatnya saja, eh... tak
tahunya aku dapat pelajaran kesehatan
juga. Mau tak mau aku juga ahli ramuan
obat-obatan, walaupun tak selihai
guruku."
"Siapa nama gurumu?"
"Tabib Teh Kolak."
Seketika itu juga Pandu tertegun
dalam keheranan yang amat dalam.
Pikirannya segera melayang di masa
kanak-kanaknya. Dulu ia pernah
menghadap Adipati Sihombreng untuk
membebaskan Mirah Duri yang ditawan
oleh sang Adipati. Waktu itu istri
Adipati sedang sakit. Pandu kecil
datang dengan mengaku mendapat amanat
dari seorang tabib untuk sampaikan
obat buat Istri Adipati. Pandu mengaku
nama tabib itu adalah Tabib Teh Kolak.
Padahal nama itu hanya nama karangan
saja, tidak benar-benar ada. Namun
sekarang nama tersebut ternyata memang
ada. Tabib Teh Kolak yang menjadi nama
bohong-bohongan Pandu semasa kecil
itu, ternyata gurunya si Janda
Keramat. Aneh sekali!
"Padahal waktu itu aku hanya
asal sebut saja, kok ya ternyata ada
yang punya nama seperti itu?"
pikirnya. "Sedangkan daun yang
kuberikan kepada Adipati itu hanya
daun sembarangan, entah daun apa waktu
itu yang kuambil, tapi... tapi aneh
sekali. Nyatanya istri Adipati itu
kudengar benar-benar sembuh. Kok bisa
gitu, ya?" gumam hati Pandu sambil
membayangkan masa kecilnya yang
bandelnya melebihi anak setan itu,
(Kebandelan itu bisa ditemukan dalam
serial Pendekar Romantis dalam kisah :
"Hancurnya Samurai Cabul' - nggak
cabul beneran kok).
"Kenapa termenung?" Janda
Keramat bertanya agak curiga.
"Tidak apa-apa. Hmmm... aku cuma
ingin tahu, apakah gurumu itu sekarang
masih hidup?"
"Sudah mati!" jawabnya tegas.
"Sayang sekali."
"Sayang sekali, memang. Tapi dia
sudah turunkan semua ilmunya padaku,
sehingga usianya yang sebenarnya sudah
mencapai cukup banyak ini menjadi
tetap muda dan cantik berkat ramuan
pengawet kecantikan darinya. Dan
semangatku masih seperti perawan baru
dijamah. Pokoknya, panas deh! Hi, hi,
hi, hi...."
Tawa si Janda Keramat sambil
menggelendotkan badan ke dada Pandu
dan hai itu sama saja menyundut api di
tengah ladang bensin. Pandu Puber
buru-buru menegakkan tubuh sang janda.
Pandu segera alihkan perhatian
pada rambut putih peraknya sang Janda
Keramat, "Dan rambutmu menjadi putih
perak begitu apakah juga pengaruh
ramuan awet mudamu?"
"Ini salah minum obat!" jawab
sang janda sambil tertawa lagi.
"Banyak beberapa ramuan yang salah
minum, membuatku punya beberapa
keanehan. Salah satunya adalah
keanehan gairah cintaku yang tak
pernah kunjung reda walau setiap hari
kudapatkan puncak kebahagiaannya. Aku
adalah wanita padang pasir, yang
selalu merasa kering dan butuh air.
Tanpa air kemesraan, tubuhku jadi
lemas dan bisa-bisa jadi linglung.
Karenanya aku selalu merawat badanku,
kecantikanku, biar tiap lelaki yang
kupilih mau kuajak berlayar ke lautan
cinta."
Pandu gelisah.
"Gawat, dia mulai bicara ke arah
sana. Pasti akan menjebakku dalam
pelukan cinta. Oh, jangan sampai deh!
Aku harus bisa menghindar dan
bertahan. Dia tak bakalan bisa
melumpuhkan pertahananku. Sebaiknya
aku tenang saja, seakan tidak
menanggapi kata-katanya itu," pikir
Pandu Puber
Teh sedap diminum kembali oleh
Pandu Puber, pada saat itu ia
mendengar Janda Keramat menyambung
kata-katanya yang tadi.
"Kesaktianku terletak pada
kemesraan yang kudapatkan dari siapa
saja. Bagiku setiap orang dapat
membangkitkan gairah kesaktian. Tapi
aku masih sering pilih-pilih orang,
supaya nggak kena penyakit. Salah satu
ilmuku adalah bisa mengetahui
seseorang itu punya penyakit atau
tidak. Itupun gara-gara aku salah
minum obat jadi peka terhadap getaran
penyakit pada diri seseorang."
Pandu hanya diam saja, dan
sengaja tidak mengomentari kata-kata
tersebut supaya tidak terpancing ke
dalamnya. Ia meneguk teh kembali.
Janda Keramat juga meneguk teh lagi,
tapi segera berkata mendahului niat
Pandu yang ingin tanyakan tentang
Hantu Putih itu.
"Sampai sekarang aku sendiri
masih bingung bagaimana cara
menghilangkan 'kehausanku' terhadap
kemesraan itu. Sangat berbahaya jika
aku terdampar di suatu pulau kosong
tanpa satu orang pun. Oh, bisa-bisa
aku mati lemas tanpa kemesraan."
"Kenapa nggak kawin saja?"
"Bersuami maksudmu? Hm...!"
Janda Keramat mencibir. "Dulu aku
pernah bersuami sampai empat kali,
tapi semua suami hanya bikin pusing
saja, akhirnya mereka selalu mati di
tanganku."
"Kok bisa begitu? Wah, kaco juga
lu kalau gitu, ya?"
"Itulah sebabnya aku memilih
menjadi janda saja. Rahimku kering
gara-gara salah minum obat juga,
akibatnya aku tidak bisa punya anak.
Itu menguntungkan bagiku sebab dengan
begitu aku tidak kerepotan mencari
sumber kekuatanku pada ujung
kemesraan."
"Apa maksudnya mengadukan keluh-
kesah dan rahasia pribadinya padaku?"
pikir Pandu Puber. "Pasti dia punya
tendensi kuat sehingga berani beberkan
rahasia pribadinya. Tapi, biarlah. Aku
ingin tahu sampai di mana kekuatannya
menggodaku. Pasti dia akan jengkel
sendiri karena gairahnya yang tak
tersambut olehku. Tapi... tapi...."
Pandu Puber mulai merasa heran
pada dirinya sendiri. Ia menyimpan
keheranan itu sementara si Janda
Keramat berkata lagi padanya,
"Sekarang aku sering merindukan
seorang suami yang sesuai dengan
idamanku. Kalau aku ingat suami, aku
jadi terbakar lagi. Dan kalau sudah
terbakar, dadaku terasa kencang
sekali. Kalau tak percaya...," tangan
Pandu diraih dan ditempelkan pada
bagian atas tubuhnya. Secara otomatis
tangan Pandu bergerak sendiri
membuktikan ucapan tadi.
"Benar kan?" ujar Janda Keramat
sambil menyeringai. Gemuruh di dalam
dada Pandu bertambah keras.
"Celaka! Kenapa aku jadi
begini?" pikirnya heran. "Kenapa tiba-
tiba semangatku jadi meluap sebelum
tanganku dituntunnya? Dan kalau sudah
begini, ya ampuuun... tentu saja aku
sulit menghindar. Wah, brengsek juga
perempuan ini. Aku... aku... ah,
biarin aja deh."
Cup, cup, cup, cup, wuuuus...!
Jurus kucing mandikan anak
dipergunakan Pandu Puber. Tentu saja
sang janda kegirangan. Polahnya
seperti orang berada di atas kapal
yang diombang-ambingkan ombak.
Suaranya seperti motor di arena
sirkuit. Apa yang diinginkan Janda
Keramat bisa ditandingi Pandu Puber,
sampai-sampai perempuan itu akhirnya
menyerah kalah dan mengaku! Keunggulan
Pendekar Romantis yang memang luar
biasa romantisnya. Kesaktian cintanya
dilepas tanpa tanggung-tanggung.
Dan sang janda pun melawan
dengan tanpa segan-segan lagi.
"Hiaaat...!"
Plak, plak, cruuup...!
"Aaahg...!"
"Heaaat...! Huuh!"
Wees...! Plak, bruuuss...!
Blaaarrr...!
"Aaaaa...!" meledaklah benturan
dua jurus cinta yang beradu itu. Janda
Keramat memekik keras merobek malam.
Pandu Puber pun kerahkan tenaganya
untuk bertahan menghadapi kekuatan
sang janda yang seolah-olah ingin
menjebol rambut kepalanya.
Kejap berikutnya, malam menjadi
lengang. Suara teriakan mereka hilang.
Yang ada hanya hembusan napas-napas
sisa pertarungan sengit yang
menghadirkan sejuta keindahan.
Keringat mengucur dan membasahi tubuh
mereka. Keringat itulah tanda bahwa
pertarungan mereka tidak sekadar main-
main atau uji coba. Mereka sama kuat,
walaupun Janda Keramat merasa kalah di
tangan Pandu Puber. Ia terpaksa
mengakui keunggulan sang Pendekar
Romantis. Namun kekalahannya itu
justru membuat sang janda enggan
lepaskan diri dari Pandu.
"Aku harus bersamamu selamanya."
"Apa...?!" Pandu Puber kaget.
"Aku harus bersamamu ke mana pun
kau pergi."
"Tak ada alasan untuk itu!"
"Ada!"
"Apa alasannya?"
"Karena kau yang terunggul dari
yang paling hebat!"
"Ah, lupakan soal itu tadi!"
"Nggak bisa! Ini benar-benar
istimewa dan aku harus mendapatkannya!
Harus!"
"Apa akibatnya kalau aku
menolak?"
"Kita tarung sampai mati!"
"Gila!" Pandu terbengong
melompong!
EMPAT
SETELAH esok paginya, Pandu
Puber baru sadar bahwa gairahnya yang
menjadi menggebu-gebu itu bukan saja
lantaran godaan nakal Janda Keramat
saja, melainkan juga karena minuman
teh tersebut mempunyai ramuan
pembangkit gairah lelaki.
"Pantas pagi-pagi pun aku
bersemangat sekali, rupanya teh itu
punya ramuan khusus. Gila juga tuh
cewek! Emang antep sih!" gumam Pandu
Puber ketika menyempatkan mandi di
sungai pagi hari.
Janda Keramat sendiri merasa
heran, mengapa ia mempunyai hasrat
yang besarnya dua kali lipat dari
besar hasrat semestinya. Perempuan itu
tidak menyadari kalau dirinya telah
terkena 'Racun Pemikat Surga' yang
dimiliki Pandu Puber dalam darah
kejantanannya. Pengaruh 'Racun Pemikat
Surga' bisa membuat perempuan tergila-
gila cumbuan anak muda itu. Dan racun
tersebut hanya ada dalam darah
kejantanan anak blaster dewa dengan
keturunan jin. Kebetulan Pandu Puber
itulah anak blaster yang dimaksud.
Racun tersebut akan membuat
Janda Keramat mudah tergugah hasratnya
jika melihat sosok Pandu, bahkan hanya
dengan membayangkan saja hasrat itu
dapat berkobar seperti hutan yang
terbakar. Racun itu membuat Janda
Keramat akan 'gila kencan' dan tak mau
melayani lelaki lain. Hanya Pandu saja
yang ada dalam khayal asmaranya. Jika
tak terlayani, maka ia akan sakit,
kurus, TBC, dan akhirnya wassalam
alias mati. Hal ini pernah dialami
oleh Ratu Geladak Hitam; Dardanila,
(Coba baca serial Pendekar Romantis
dalam episode : "Pedang Siluman" -
gawat juga lho).
Ya, memang gawat. Rasa kagum
terhadap kehebatan cinta Pandu, rasa
puas menerima kebahagiaan dari Pandu,
membuat perempuan berambut putih perak
menyediakan diri untuk ikut ke Tanah
Gangga menemui si ahli nujum; Syuka
Nehi.
"Perjalanan ke sana cukup
berbahaya. Kau perlu seorang
pendamping sepertiku, Pandu. Kalau kau
berangkat ke sana sendirian, kau akan
mati nganggur di perjalanan. Nanti
yang mengurus uang sumbanganmu siapa
kalau sampai mati di perjalanan?"
katanya berdalih, padahal maksudnya
supaya bisa berdekatan terus dengan
Pandu Puber.
"Tidak. Aku ingin berangkat
sendiri. Aku hanya mau ditemani oleh
Rani Adinda, karena memang dialah yang
berkepentingan dengan Hantu Putih
itu."
"Lupakanlah tentang Rani Adinda,
dia sudah bahagia bersama Sawung
Setan" bujuk Janda Keramat dengan mata
sayu nakal.
"Jika aku harus melupakan dia,
berarti aku juga harus melupakan Hantu
Putih dong?".
"Itu lebih baik"
"Tidak bisa. Aku tidak bisa
melupakan dia.."
"Kenapa? Apakah kau sangat
mencintainya?"
"Kalau aku mencintainya kau mau
apa?"
"Akan kubunuh Rani Adinda!"
"Ah, lu saraf beneran nih
kayaknya!" gerutu Pandu Puber dengan
mulai hati-hati mengutarakan isi
hatinya. Agaknya Janda Keramat sangat
pencemburu dan kalau sudah cemburu
nggak tanggung-tanggung.
"Saranku, lupakan Rani Adinda
dan lupakan soal Hantu Putih!
Sebaiknya kau tak perlu pergi ke Tanah
Gangga."
"Permintaanmu belum bisa
melunturkan niatku menyingkap tabir
misteri Hantu Putih. Aku dalam
pertimbangan yang belum pasti!"
"Demi kehangatan kita berdua,
sekali lagi kumohon, jangan pergi!"
Tapi dasar pendekar bandel,
nggak bisa dilarang ini-itu, dimohon
jangan pergi, eeeh... malah minggat.
Jurus penyirep yang membuat seseorang
bisa tertidur digunakan oleh Pandu.
Caranya dengan melakukan cumbuan,
kekuatan hawa kantuk dihadirkan oleh
Pandu. Akhirnya ketika Janda Keramat
terkulai lemas dan tertidur dalam
keadaan habis menikmati sebentuk
kebahagiaan yang kesekian kalinya,
Pandu Puber cepat-cepat tinggalkan
pondok tersebut.
"Nurutin dia bisa copot
dengkulku!" pikirnya sambil melesat
cepat menggunakan jurus 'Angin
Jantan'nya. Tentu saja ketika Janda
Keramat bangun di sore hari, ia merasa
kehilangan dan menjadi kelabakan.
Wajah cantiknya berubah menjadi
berang.
"Sampai di mana pun akan kukejar
dia! Kukejar teruuus... tapi jangan
diapa-apakan, ah. Kasihan. Kalau
sampai dia celaka, aku sendiri yang
repot. Nggak punya maskot kehidupan!"
ujarnya dalam hati sambil berkelebat
mencari kepergian Pandu Puber.
Janda Keramat dapat
memperkirakan arah kepergian Pandu.
Pasti menuju ke pantai. Ia bermaksud
mengejar Pandu sebelum pendekar super
power itu melanjutkan perjalanan
menyeberangi lautan menuju Tanah
Gangga. Janda Keramat bertekad menahan
kepergian Pandu. Tapi usaha itu
ternyata tidak mudah.
Seseorang menghadang langkah
Janda Keramat ketika hampir mencapai
sebuah pantai. Orang tersebut adalah
Nyai Perawan Busik. Tokoh tua berusia
sekitar tujuh puluh tahun, berkulit
busik, agak bungkuk, berjubah abu-abu
dengan tongkat hitamnya di tangan
kanan. Tokoh ini pernah hadir dalam
perebutan Patung Iblis Banci.
"Perawan Busik, apa maksudmu
menghadang langkahku, hah?!" hardik
Janda Keramat dengan bertolak pinggang
menandakan keberanian yang tak punya
gentar sedikit pun.
"Masih ingat denganku,
Hapsari?!" tegur Nyai Perawan Busik
dengan menyebutkan nama asli Janda
Keramat.
"Rasa-rasanya sangat sulit
melupakan seseorang yang sempat
kuhancurkan daya pengawet ayunya,
Perawan Busik! Apakah kau ingin
kuhancurkan seluruh ragamu sekalian?!"
Nyai Perawan Busik sunggingkan
senyum sangat tipis dan sinis. Matanya
tak berkedip, lurus ke arah wajah
cantik Janda Keramat yang membuat
hatinya iri.
Empat tahun yang lalu, ia pernah
bertarung melawan si Janda Keramat.
Pertarungan itu membuat aji 'Manter
Ayu'nya sirna dan ia menjadi sosok tua
renta begitu. Sakit hati si Nyai
Perawan Busik masih membekas. Diam-
diam Nyai Perawan Busik perdalam
sebuah ilmu pemunah kecantikan. Jika
ia sudah berani berhadapan kembali
dengan si Janda Keramat, berarti dia
sudah siap bermodal jurus pemunah
kecantikan. Janda Keramat tidak
berpikir sampai di situ, ia hanya
menyangka maksud penghadangan Nyai
Perawan Busik semata-mata hanya ingin
balas dendam atas kekalahannya tempo
hari.
"Hapsari, sudah tiba saatnya
bagimu untuk menikmati kepahitan hidup
sepertiku. Bersiaplah menebus dosamu
empat tahun yang lalu, Janda Keramat!"
"Apa maumu akan kulayani,
Perawan Busik!"
"Terimalah jurus 'Debu Neraka'ku
ini! Hiiih...!"
Wuuut...!
Tangan kiri Nyai Perawan Busik
menyentak ke depan. Dari telapak
tangan tersebut menyembur debu putih
menyerupai tepung.
Wuuss...!
Janda Keramat tetap berdiri
tegak ditempatnya. Tapi kedua
tangannya bergerak menyilang di dada,
hentakannya menimbulkan angin kencang
yang membuat debu-debu itu beterbangan
ke mana-mana. Wuuurs! Debu itu adalah
racun yang mematikan. Terbukti tanaman
yang terkena debu itu langsung menjadi
kering dan tanah di sekitarnya menjadi
hitam bagai habis terbakar.
Janda Keramat hanya tertawa
melihat raut wajah Nyai Perawan Busik
tampak kecewa, menggeram jengkel
dengan mata kian buas.
"Hi, hi, hi, hi...! Sudah tua
kok masih mainan tepung. Pantas
tubuhmu busikan! Apa tak ada mainan
lainnya?" sindir Janda Keramat.
"Jangan girang dulu, Janda
Binal! Boleh saja kau bisa hindari
jurus 'Debu Neraka', tapi belum tentu
kau bisa hindari jurus 'Tumbak Merah'
ini! Hiaaah...!"
Nyai Perawan Busik sentakkan
tongkatnya ke depan dengan kaki kanan
ditarik ke belakang. Tongkat itu bagai
disodokkan ke depan, kepala tongkatnya
menghadap ke depan. Suuut...! Lalu
dari kepala tongkat keluar sinar merah
panjang membentuk tombak berujung
runcing.
Claaap...!
"Heaaah....'" Janda Keramat
sentakkan kedua tangannya ke depan
dada, seperti mendorong batu dengan
satu gerakan tersendat. Maka dari
kedua tapak tangan itu keluar gulungan
sinar hijau sebesar buah kelapa.
Gulungan sinar hijau itu melesat ke
depan, dan dihantam oleh Sinar merah
berbentuk tumbak.
Jraaass...!
Blegaaarr...!
Ledakan itu timbulkan warna
sinar merah kebiruan yang memecah ke
berbagai penjuru. Hentakan sinar merah
kebiruan mengenai tubuh Janda Keramat.
Tak ayal lagi tubuh itu pun terpental
terbang sejauh delapan langkah ke
belakang.
Wuuuus...!
Bruukk...!
"Kucing garing!" umpatnya dengan
wajah menyeringai menahan sakit.
Seluruh kulit terasa panas, warna
putih kulitnya pun berubah menjadi
merah memar dari kepala sampai kaki.
"Boleh juga ilmunya kali ini!"
pikir Janda Keramat sambil berusaha
bangkit berdiri. "Kusangka nggak
begitu kuat, ternyata dua kali dari
kekuatan takaranku. Monyet ngidam!
Kubalas dia dengan memecahkan
kepalanya dari sini!"
Sementara itu, Nyai Perawan
Busik membatin, "Edan! Dia tidak apa-
apa? Mestinya dia hancur menjadi
serpihan kecil jika terkena biasan
sinar merahku ini! Terkena biasannya
saja bisa pecah, apalagi terkena
langsung sinar tombak merah tadi.
Pasti akan lenyap. Tapi, nyatanya dia
masih bisa bangkit walau aku tahu
sekujur tubuhnya menjadi terpanggang
api yang amat panas. Hmm...! Kuat juga
dia menahan kesaktianku! Berarti aku
harus cepat-cepat pergunakan jurus
'Racun Biru Setan', sebelum ia
membalasku dengan jurus andalannya!"
Jlaab...!
Tongkat ditancapkan ke tanah.
Tongkat bisa berdiri sendiri. Tentu
saja, sebab ujung bawah tongkat masuk
ke tanah sampai setengah jengkal
dalamnya. Dan Nyai Perawan Busik
segera sentakkan kakinya menjejak
tanah, Dus... wuuut...! Ia melesat
naik, kemudian hinggap di ujung
tongkatnya dengan satu kaki. Teb...!
Kaki yang satunya lagi ditempelkan
ujungnya ke atas telapak kaki yang
menapak di tongkat. Badannya sedikit
lebih membungkuk lagi. Kedua tangannya
merentang ke samping, lurus, bagai
orang mau main akrobat. Matanya
memandang lurus pada lawan.
"Heaaat...!"
Teriakan itu datang dari mulut
Janda Keramat. Ia melepaskan pukulan
bersinar merah bergelombang dari
pergelangan tangannya. Sinar merah
bergelombang segera dilawan dengan
kilatan cahaya biru yang keluar dari
pertengahan dahi Nyai Perawan Busik.
Claap! Wuuusst...!
Sinar yang keluar dari
pertengahan kedua alis, tepat di atas
batang hidung itu, ternyata berbentuk
seperti senjata bumerang yang melesat
menerabas sinar merahnya Janda
Keramat.
Duaaar...!
Terjadi ledakan cukup keras yang
memudarkan sinar merah itu. Tapi sinar
biru yang mirip senjata bumerang masih
utuh dan tetap melesat ke arah Janda
Keramat.
Wuuut...!
Zrrrab...!
"Aahg...!"
Janda Keramat memekik dan
tersentak mundur sampai membentur
sebatang pohon karena dadanya terkena
sinar biru mirip bumerang itu. Matanya
terpejam kuat-kuat, tubuhnya langsung
terkulai, jatuh berlutut di bawah
pohon tersebut.
Pada mulanya Janda Keramat
merasakan berada di dalam kegelapan
yang sulit ditembus dengan pandangan
mata. Beberapa kejap berikutnya,
pandangan matanya menjadi terang
kembali. Tetapi ia sangat terkejut
melihat keadaan dirinya telah berubah.
"Hahhh...?!"
Kulit tangannya berkeriput dan
berwarna coklat kusam. Tubuhnya yang
sekal montok itu menjadi kempes,
sepertinya tanpa daging lagi. Ketika
ia meraba wajahnya, ternyata wajahnya
menjadi keriput dan pipinya kempot.
Bibirnya pun terasa berkerut-kerut,
pandangan matanya sedikit buram.
"Celaka! Aku telah menjadi tua
seperti wujud asliku?!" pikirnya
dengan tegang. Lebih tegang lagi
ketika dirasakan tulang kakinya tak
sekokoh saat berdiri tadi. Dadanya
yang sekal mengempes seperti balon
berisi air yang kena jarum. Sama
sekali tak ada daya tarik pada diri
Janda Keramat.
Nyai Perawan Busik lompat
bersalto ke belakang, turun dari atas
tongkat. Beet...! Tongkatnya dicabut
kembali. Ia terkekeh-kekeh memandangi
perubahan pada diri lawannya.
"Heh, heh, heh, hen...! Sekarang
kau menjadi seperti aku, Hapsari! Kau
bukan lagi perempuan yang menggiurkan,
melainkan perempuan tua, kempot, peot,
dan keropos!"
"Jahanam kau, Giyanti!
Heeeaaah...!" Janda Keramat yang
berubah wujud setua Nyai Perawan Busik
mencoba berteriak, ternyata suaranya
tak selantang tadi. Gerakannya tak
selincah semula. Pukulannya cukup
lamban ketika menyentakkan kedua
tangan ke depan. Sinar merah yang
keluar dari telapak tangan itu juga
terasa lamban. Sinar itu dapat
dihindari oleh Nyai Perawan Busik
dengan satu lompatan ke samping sambil
terkekeh-kekeh.
Duaaar…!
Pohon jati menjadi sasaran sinar
merah itu. Pohon tersebut retak,
sedangkan Nyai Perawan Busik segera
larikan diri.
"Nikmati dulu hidup dalam
ketuaan, Hapsari! Suatu saat kita akan
bertemu lagi untuk tentukan siapa yang
harus mati lebih dulu!"
"Jangan lari kau, Keparaaatt..!"
Janda Keramat ingin mengejar lawannya.
Tapi apa daya, perubahan dari muda
menjadi setua itu menjadikan otot-
ototnya mengalami shock. Tak bisa
bekerja dengan cepat seperti biasanya.
Maka, Hapsari pun akhirnya hanya bisa
terpuruk di bawah pohon dan menitikkan
air matanya. Ia tampak sebagai seorang
nenek tanpa tongkat yang sedang
dirundung kesedihan amat dalam.
"Hancur! Hancur sudah hidupku
kalau begin!! Kekuatanku sebentar lagi
akan sirna. Daya tarikku lenyap karena
si keparat itu. Padahal gairahku masih
ada. Ooh... Pandu, di manakah kau?
Tidakkah kau kasihan padaku yang
menjadi begini?" pikiran itu tembus ke
hati menjadi ratapan batin sang janda
yang mungkin sudah tidak sekeramat
tadi siang.
"Dalam dukaku ini, yang
terbayang hanyalah dirimu, Pandu! Di
manakah kau? Tolonglah aku, Pandu.
Oooh... gairahku, mengapa semakin
menggebu-gebu jika membayangkan pemuda
itu. Sedangkan keadaanku sudah menjadi
setua ini, sekeropos ini, apakah Pandu
masih mau melayaniku sehangat kemarin
malam? Oh, mati aku! Mati beneran
kalau begini caranya! Aku harus
mencari Pandu. Harus memaksanya.
Badanku harus segar kembali, karenanya
harus segera mendapatkan harapan
batiniahku ini! Panduuu...!"
Ratapan rintih itu dibawanya
melangkah perlahan-lahan. Sebatang
kayu kering dipungutnya, dipakai
sebagai tongkat, lalu langkahnya
dilanjutkan kembali sambil merintih
dalam hati,
"Panduuu... di mana kau? Jangan
pergi dariku, Pandu...!"
Jangankan Pandu Puber, pria
rakus lain pun belum tentu mau
melayani asmara sang nenek keriput
itu. Sosok tanpa daya tarik sedikit
pun telah membuat Janda Keramat nyaris
putus asa. Ia ingin mati bunuh diri,
tapi hati kecilnya menolak.
"Jangan sekarang! Nanti saja
kalau sudah bertemu Pandu dan
mendengar keputusan darinya. Kalau
memang ia tak mau lagi menerimaku,
silakan bunuh diri deh! Habis nggak
ada yang diharapkan lagi?"
Kalau saja Pandu Puber tidak
mengalami hambatan, ia sudah mencapai
desa nelayan dan menyewa perahu untuk
menyeberang ke Tanah Gangga.
Sayangnya, Pandu Puber sendiri
mengalami hambatan dengan munculnya
seorang gadis berambut lurus sepundak
dan mempunyai poni rapi di dahinya.
Gadis Cantik itu menghadang dengan
pakaian baju merah terang dari bahan
kain satin yang mengkilap. Usia gadis
itu sekitar dua puluh tiga tahun. Ia
pernah berhadapan dengan Pandu Puber
dan dibuat kabur oleh Dardanila, si
Ratu Geladak Hitam. Gadis itu tak lain
adalah Awan Sari, murid Hantu Congkak,
(Kalau mau lihat munculnya gadis itu,
silakan baca serial Pendekar Romantis
dalam kisah : "Patung Iblis Banci").
Gadis inilah yang pernah lumpuhkan
Pandu melalui 'Racun Kembang Kubur'
yang keluar dari ujung pedang
tembaganya.
Dulu, Awan Sari ditugaskan oleh
gurunya, Hantu Congkak, untuk membalas
kekalahan Hantu Congkak ketika melawan
Pandu Puber semasa Pandu berusia
remaja, (Yang ini ada dalam serial
Pendekar Romantis episode: "Hancurnya
Samurai Cabul" seru juga
pertarungannya). Tapi sekarang Hantu
Congkak sudah mati. Mati di tangan
Shoguwara, bekas Pendekar Samurai
Cabul yang dapatkan Patung Iblis
Banci. Lalu, sekarang apa maunya Awan
Sari menghadang Pandu Puber?
"Kau harus menebus kematian
guruku!" katanya dengan ketus, masih
seketus dulu juga. Memang tampangnya
cantik-cantik judes sih. Biar sudah
lama nggak ketemu masih saja berkesan
judes.
"Mengapa kau menuntut kematian
gurumu padaku, Awan Sari? Kau salah
tuntut, Sayang!" ujar Pandu tetap
kalem. "Yang membunuh gurumu bukan
aku, melainkan Shoguwara!"
"Omong kosong!" bentaknya. Galak
juga dia. "Naluriku mengatakan kau
yang membunuh guruku. Kau harus
berhadapan denganku, Setan Playboy!"
"Jangan. Jangan memaksa
pertarungan. Kita akan merasa sia-sia
jika ada yang jadi korban salah satu
di antara kita, Awan Sari!"
Pendekar Romantis masih tetap
tenang, namun ia sangat waspada. Dalam
hatinya sempat membatin, "Aku harus
hati-hati dengan pedangnya. Jangan
sampai aku terkena racunnya lagi.
Sebaiknya kugunakan jurus-jurus yang
melumpuhkan, tak perlu main-main dan
coba-coba dengan si cantik yang galak
ini!"
Maka ketika Pandu Puber ingin
berkata lagi, Awan Sari sudah lebih
dulu mencabut pedangnya.
Sreeet...!
Claaap...!
Sepasang sinar merah melesat
dari kedua jari kanan-kiri. Jurus
'Sepasang Sayap Cinta' dilepaskan
Pandu Puber. Sinar itu salah satunya
mengenal pedang tembaga Awan Sari.
Duaaar...!
Sinar yang satu kenai lengan
gadis tersebut.
Craaab...!
"Uuhg...!" terdengar pekikan
berbarengan dengan bunyi ledakan yang
membuat tubuh gadis itu terpental. Ia
jatuh dan menggelepar-gelepar.
Wajahnya pucat, sebentar lagi pasti
mati. Pandu Puber jadi kebingungan
sendiri.
"Wah... gimana nih? Cantik-
cantik kok mati, sayang dong!" Pandu
Puber ingin sembuhkan luka berbahaya
itu, tapi ia ragu-ragu. "Kalau
kusembuhkan nanti menyerangku lagi?
Kalau nggak disembuhkan, wah...
kasihan sekali dia! Pasti belum kawin.
Masa' belum kawin kok sudah mati? Rugi
kan? Tapi... gimana ya?"
Emoticon