Pendekar Romantis 5 - Skandal Hantu Putih(2)


TIGA 
PONDOK di dalam hutan, mirip 
villa tempat peristirahatan. Pondok 
itu berlantai dua, terbuat dari kayu 
jati. Kokoh sekali. Pondok itu 
berhalaman luas, dipagar dengan kayu-
kayu dolken setinggi perut orang 
dewasa. Di halaman yang mengelilingi 
pondok itu terdapat pohon cemara 
tertanam rapi. Di luar pagar adalah 
tanaman hutan liar yang campur aduk, 
bukan dari satu jenis tanaman. 
Jalanan setapak terdapat di 
depan pondok itu, dinaungi pepohonan 
bambu hitam. Pondok itu bersuasana 
tenang, teduh, nyaman, dan entah 
kenapa bisa timbulkan hawa betah bagi 
tamu yang singgah. Disela  ketenangan 
itu, terdengar bunyi gemuruh air 
terjun. Berarti pondok itu tak jauh 
dari sumber air terjun, yang tentu 
saja mempunyai sungai yang mengalir 
entah ke mana. Selain gemuruh air 
terjun  samar-samar juga terdengar 
kicau burung di awal pagi dan di awal 
petang. Suara macan tak ada. Atau 
binatang buas lainnya tak kentara 
berseliweran di sana. Mungkin tempat 
itu sudah dipasangi ranjau anti 
binatang buas, walau pemiliknya 
sendiri termasuk perempuan buas. 


Pemiliknya adalah si rambut putih 
perak dengan wajah cantik yang matang, 
bukan kekanak-kanakan. 
Si rambut putih perak berjubah 
ungu panjang tanpa lengan dengan 
pakaian dalam pinjung merah jambu dan 
celana longgar tipis transparan itu, 
mengaku bernama Janda Keramat. Tentu 
saja bukan nama asli. Di mana letak 
kekeramatan si janda itu, Pandu Puber 
belum mengetahuinya. Tetapi ia tahu 
bahwa dirinya dibawa ke pondok itu 
untuk diobati oleh sang Janda Keramat. 
Ada untungnya Pandu dibawa ke 
pondok itu. Karena ramuan yang 
diminumkan oleh Janda Keramat membuat 
badan Pandu Puber menjadi segar 
kembali. Rasa sakit, hawa panas di 
dalam tubuh, lenyap setelah meminum 
ramuan obat pemberian si Janda Keramat 
itu. Sebelum tengah malam, Pandu Puber 
sudah bisa berdiri tegak. Maksudnya, 
kedua kakinya yang berdiri tegak, 
memandang ke arah luar melalui serambi 
lantai atas. Yang dipandang hanyalah 
cahaya rembulan yang muncul separo 
bagian. Barangkali malam itu rembulan 
memang sedang pelit, sehingga hanya 
muncul separo bagian. 
Lantai dua adalah ruangan tempat 
untuk tidur atau bersemadi. Barang-
barang yang ada di situ hanya sebuah 
meja dan tempat tidur tanpa kaki. 
Kasur digelar di lantai papan jati 
beralaskan tikar pandan yang masih 
utuh. Bau wangi cendana menyebar di 
ruangan itu karena di sudut ruangan 
ada altar tempat pemujaan, lengkap 
dengan tempat pembakaran ratus atau 
pedupaan. Bau cendana itu memancing 
suasana romantis yang magis. 
Ruangan lantai dua itu diterangi 
oleh pelita blencong yang biasa untuk 
pergelaran wayang kulit. Lampu minyak 
itu menggantung di tengah ruangan, 
seolah-olah lampu kristal buatan luar 
negeri. Sementara di bagian altar juga 
ada lampu minyak yang khusus menerangi 
suasana sekitar altar pemujaan. 
Ruang lantai bawah adalah ruang 
untuk dapur, makan, menerima tamu, dan 
sebagainya. Bersifat umum, sedangkan 
yang di atas bersifat pribadi. Meja 
rendah di lantai atas saat itu 
digunakan untuk meletakkan dua cangkir 
keramik dan satu poci keramik pula. 
"Jangan berdiri di situ terus, 
minumlah teh penyebar badan ini! 
Tubuhmu akan lebih kuat dan segar 
dengan meminum teh buatanku, Pandu!" 
kata si Janda Keramat sambil mengawali 
menuang teh ke dalam dua cangkir 
keramik tersebut. 
Saat itu Pandu sedang berpikir 
tentang Rani Adinda. Hatinya 
berkecamuk sendiri dengan lamunan 
menyusuri petang. 
"Gadis itu digondol ke mana 
kira-kira, ya? Ah, kasihan betul dia. 
Masalah yang satu belum selesai masih 
harus menghadapi masalah lainnya lagi. 
Memang si Sawung Seta itu maling!" ia 
agak menggeram jengkel membayangkan 
Sawung Seta. 
"Tapi agaknya Sawung Seta punya 
hubungan dekat dengan Janda Keramat 
ini. Mungkin perempuan berbibir 
menantang inilah yang dimaksud Rani 
Adinda sebagai perempuan jalang? Hati 
gadis itu cemburu pada perempuan ini. 
Hmmm...! Wajar kalau cemburu, sebab 
Janda Keramat agaknya pandai memikat 
hati lawan jenisnya. Sawung Seta pasti 
sempat terbuai oleh rayuan si Janda 
Keramat itu. Wajar kalau Sawung Seta 
terbuai, karena Janda Keramat punya 
kecantikan dan keelokan tubuh yang 
menjanjikan surga bagi kaum lelaki. 
Tapi kepadaku, hmmm...! Nggak bisa 
deh. Nggak mungkin Janda Keramat mampu 
memikatku seperti ia memikat Sawung 
Seta. Eh, ngomong-ngomong... apakah 
Rani Adinda dulunya pernah jatuh cinta 
kepada Sawung Seta? Apakah mereka dulu 
pacaran dan akhirnya pisah karena 
faktor cemburu?"     
"Pandu...," sapa si Janda 
Keramat sambil mendekat. Ia sudah 
mengenal nama Pandu Puber karena 
sebelum diobati mereka sudah saling 
kenal. Jadi, jangan heran kalau mereka 
saling sebut nama. Jangan protes juga 
kalau Pandu Puber tidak mau melarikan 
diri  dari pondok itu, karena Janda 
Keramat tadi menjanjikan akan membantu 
kesulitan Pandu dalam berbagai hal 
asal Pandu mau menurut untuk tidak 
mendendam dan bermusuhan dengannya. 
Pandu punya rencana mau bicara tentang 
Hantu Putih yang dicari-cari Rani 
Adinda itu. 
Tak heran jika sikap Pandu Puber 
terhadap Janda Keramat menjadi baik, 
seakan mereka sudah lama bersahabat, 
sebab Janda Keramat tadi sudah meminta 
maaf kepada Pandu atas tindakannya 
yang melukai Pandu. Karenanya sebagai 
tanda penyesalan dan permintaan 
maafnya, Janda Keramat berusaha 
sembuhkan Pandu dari luka dalamnya. 
Kalau tidak segera disembuhkan, maka 
tubuh Pandu akan digerogoti belatung 
dari dalam. Sebab sinar hijau yang 
dilepaskan Janda Keramat saat di 
pantai itu jurus 'Rendang Belatung', 
yaitu sebuah kekuatan tenaga dalam 
yang bisa mempercepat pembusukan dan 
menghadirkan bibit belatung di 
dalamnya. 
"Pandu, mari kita minum teh dan 
mulai bicara serius. Jangan melamun 
terus di sini. Udara malam tak baik 
untuk kesehatanmu, Sayang. Nanti kau 
masuk angin, aku susah ngerokinnya, 
sebab nggak ada uang logam."   
"Dikerokin pakai kapak juga 
boleh," kata Pandu Puber melontarkan 
canda sebagai sikap pengakraban 
dirinya. Janda Keramat tertawa kecil 
sambil membawa Pandu masuk, 
meninggalkan balkon lantai atas itu. 
Sang pemuda tampan menurut karena 
merasa perlu bicara serius dengan si 
Janda Keramat. 
Mereka duduk bersila menghadap 
meja. Mulanya Pandu mau ambil posisi 
duduk berhadapan. Tapi menurutnya, tak 
enak, karena terhalang meja. Walau ia 
bisa beradu muka terus, tapi jika 
terhalang meja kurang asyik. Jadi ia 
memilih duduk bersebelahan dengan si 
Janda Keramat yang berpakaian tipis 
dan tampak membayang 'perabot'nya itu. 
"Mari minum untuk kesehatanmu!" 
kata Janda Keramat sambil mengangkat 
cangkir keramik. Pandu pun mengangkat 
cangkir itu dan kedua cangkir diadu 
pelan. Trik...! Maka keduanya segera 
menghirup teh hangat yang dibuat dari 
rumput laut dan tanaman lainnya. 
"Segar sekali teh ini. Rupanya 
kau pandai menghidangkan minuman dan 
makanan yang lezat-lezat, ya?"  
"Aku  dulu bekas anak pemilik 
kedai," kata Janda Keramat. "Kemudian 
aku berguru kepada seorang tabib ahli 
ramuan obat-obatan. Maksudku hanya 
berguru ilmu silatnya saja, eh... tak 
tahunya aku dapat pelajaran kesehatan 
juga. Mau tak mau aku juga ahli ramuan 
obat-obatan, walaupun tak selihai 
guruku." 
"Siapa nama gurumu?"  
"Tabib Teh Kolak." 
Seketika itu juga Pandu tertegun 
dalam keheranan yang amat dalam. 
Pikirannya segera melayang di masa 
kanak-kanaknya. Dulu ia pernah 
menghadap Adipati Sihombreng untuk 
membebaskan Mirah Duri yang ditawan 
oleh sang Adipati. Waktu itu istri 
Adipati sedang sakit. Pandu kecil 
datang dengan mengaku mendapat amanat 
dari seorang tabib untuk sampaikan 
obat buat Istri Adipati. Pandu mengaku 
nama tabib itu adalah Tabib Teh Kolak. 
Padahal nama itu hanya nama karangan 
saja, tidak benar-benar ada. Namun 
sekarang nama tersebut ternyata memang 
ada. Tabib Teh Kolak yang menjadi nama 
bohong-bohongan Pandu semasa kecil 
itu, ternyata gurunya si Janda 
Keramat. Aneh sekali! 
"Padahal waktu itu aku hanya 
asal sebut saja, kok ya ternyata ada 
yang punya nama seperti itu?" 
pikirnya. "Sedangkan daun yang 
kuberikan kepada Adipati itu hanya 
daun sembarangan, entah daun apa waktu 
itu yang kuambil, tapi... tapi aneh 


sekali. Nyatanya istri Adipati itu 
kudengar benar-benar sembuh. Kok bisa 
gitu, ya?" gumam hati Pandu sambil 
membayangkan masa kecilnya yang 
bandelnya melebihi anak setan itu, 
(Kebandelan itu bisa ditemukan dalam 
serial Pendekar Romantis dalam kisah : 
"Hancurnya Samurai Cabul' -  nggak 
cabul beneran kok).  
"Kenapa termenung?" Janda 
Keramat bertanya agak curiga. 
"Tidak apa-apa. Hmmm... aku cuma 
ingin tahu, apakah gurumu itu sekarang 
masih hidup?"  
"Sudah mati!" jawabnya tegas. 
"Sayang sekali." 
"Sayang sekali, memang. Tapi dia 
sudah turunkan semua ilmunya padaku, 
sehingga usianya yang sebenarnya sudah 
mencapai cukup banyak ini menjadi 
tetap muda dan cantik berkat ramuan 
pengawet kecantikan darinya. Dan 
semangatku masih seperti perawan baru 
dijamah. Pokoknya, panas deh! Hi, hi, 
hi, hi...." 
Tawa si Janda Keramat sambil 
menggelendotkan badan ke dada Pandu 
dan hai itu sama saja menyundut api di 
tengah ladang bensin. Pandu Puber 
buru-buru menegakkan tubuh sang janda. 
Pandu segera alihkan perhatian 
pada rambut putih peraknya sang Janda 
Keramat, "Dan rambutmu menjadi putih 
perak begitu apakah juga pengaruh 
ramuan awet mudamu?" 
"Ini salah minum obat!" jawab 
sang janda sambil tertawa lagi. 
"Banyak beberapa ramuan yang salah 
minum, membuatku punya beberapa 
keanehan. Salah satunya adalah 
keanehan gairah cintaku yang tak 
pernah kunjung reda walau setiap hari 
kudapatkan puncak kebahagiaannya. Aku 
adalah wanita padang pasir, yang 
selalu merasa kering dan butuh air. 
Tanpa air kemesraan, tubuhku jadi 
lemas dan bisa-bisa jadi linglung. 
Karenanya aku selalu merawat badanku, 
kecantikanku, biar tiap lelaki yang 
kupilih mau kuajak berlayar ke lautan 
cinta." 
Pandu gelisah.  
"Gawat, dia mulai bicara ke arah 
sana. Pasti akan menjebakku dalam 
pelukan cinta. Oh, jangan sampai deh! 
Aku harus bisa menghindar dan 
bertahan. Dia tak bakalan bisa 
melumpuhkan pertahananku. Sebaiknya 
aku tenang saja, seakan tidak 
menanggapi kata-katanya itu," pikir 
Pandu Puber 
Teh sedap diminum kembali oleh 
Pandu Puber, pada saat itu ia 
mendengar Janda Keramat menyambung 
kata-katanya yang tadi. 
"Kesaktianku terletak pada 
kemesraan yang kudapatkan dari siapa 
saja. Bagiku setiap orang dapat 
membangkitkan gairah kesaktian. Tapi 
aku masih sering pilih-pilih  orang, 
supaya nggak kena penyakit. Salah satu 
ilmuku adalah bisa mengetahui 
seseorang itu punya penyakit atau 
tidak. Itupun gara-gara  aku salah 
minum obat jadi peka terhadap getaran 
penyakit pada diri seseorang." 
Pandu hanya diam saja, dan 
sengaja tidak mengomentari kata-kata 
tersebut supaya tidak terpancing ke 
dalamnya. Ia meneguk teh kembali. 
Janda Keramat juga meneguk teh lagi, 
tapi segera berkata mendahului niat 
Pandu yang ingin tanyakan tentang 
Hantu Putih itu. 
"Sampai sekarang aku sendiri 
masih bingung bagaimana cara 
menghilangkan 'kehausanku' terhadap 
kemesraan itu. Sangat berbahaya jika 
aku terdampar di suatu pulau kosong 
tanpa satu orang pun. Oh, bisa-bisa 
aku mati lemas tanpa kemesraan." 
"Kenapa nggak kawin saja?" 
"Bersuami maksudmu? Hm...!" 
Janda Keramat mencibir. "Dulu aku 
pernah bersuami sampai empat kali, 
tapi semua suami hanya bikin pusing 
saja, akhirnya mereka selalu mati di 
tanganku." 
"Kok bisa begitu? Wah, kaco juga 
lu kalau gitu, ya?" 
"Itulah sebabnya aku memilih 
menjadi janda saja. Rahimku kering 
gara-gara salah minum obat juga, 
akibatnya aku tidak bisa punya anak. 
Itu menguntungkan bagiku sebab dengan 
begitu aku tidak kerepotan mencari 
sumber kekuatanku pada ujung 
kemesraan." 
"Apa maksudnya mengadukan keluh-
kesah dan rahasia pribadinya padaku?" 
pikir Pandu Puber. "Pasti dia punya 
tendensi kuat sehingga berani beberkan 
rahasia pribadinya. Tapi, biarlah. Aku 
ingin tahu sampai di mana kekuatannya 
menggodaku. Pasti dia akan jengkel 
sendiri karena gairahnya yang tak 
tersambut olehku. Tapi... tapi...." 
Pandu  Puber mulai merasa heran 
pada dirinya sendiri. Ia menyimpan 
keheranan itu sementara si Janda 
Keramat berkata lagi padanya, 
"Sekarang aku sering merindukan 
seorang suami yang sesuai dengan 
idamanku. Kalau aku ingat suami, aku 
jadi terbakar lagi. Dan kalau sudah 
terbakar, dadaku terasa kencang 
sekali. Kalau tak percaya...," tangan 
Pandu diraih dan ditempelkan pada 
bagian atas tubuhnya. Secara otomatis 
tangan Pandu bergerak sendiri 
membuktikan ucapan tadi. 
"Benar kan?" ujar Janda Keramat 
sambil menyeringai. Gemuruh di dalam 
dada Pandu bertambah keras. 
"Celaka! Kenapa aku jadi 
begini?" pikirnya heran. "Kenapa tiba-
tiba semangatku jadi meluap sebelum 
tanganku dituntunnya? Dan kalau sudah 
begini, ya ampuuun... tentu saja aku 
sulit menghindar. Wah, brengsek juga 
perempuan ini. Aku... aku... ah, 
biarin aja deh." 
Cup, cup, cup, cup, wuuuus...! 
Jurus kucing mandikan anak 
dipergunakan Pandu Puber. Tentu saja 
sang janda kegirangan. Polahnya 
seperti orang berada di atas kapal 
yang diombang-ambingkan ombak. 
Suaranya seperti motor di arena 
sirkuit. Apa yang diinginkan Janda 
Keramat bisa ditandingi Pandu Puber, 
sampai-sampai perempuan itu akhirnya 
menyerah kalah dan mengaku! Keunggulan 
Pendekar Romantis yang memang luar 
biasa romantisnya. Kesaktian cintanya 
dilepas tanpa tanggung-tanggung. 
Dan sang janda pun melawan 
dengan tanpa segan-segan lagi. 
"Hiaaat...!"  
Plak, plak, cruuup...! 
"Aaahg...!"  
"Heaaat...! Huuh!"  
Wees...! Plak, bruuuss...! 
Blaaarrr...! 
"Aaaaa...!" meledaklah benturan 
dua jurus cinta yang beradu itu. Janda 
Keramat memekik keras merobek malam. 
Pandu Puber pun kerahkan tenaganya 
untuk bertahan menghadapi kekuatan 
sang janda yang seolah-olah ingin 
menjebol rambut kepalanya. 
Kejap berikutnya, malam menjadi 
lengang. Suara teriakan mereka hilang. 
Yang ada hanya hembusan napas-napas 
sisa pertarungan sengit yang 
menghadirkan sejuta keindahan. 
Keringat mengucur dan membasahi tubuh 
mereka. Keringat itulah tanda bahwa 
pertarungan mereka tidak sekadar main-
main atau uji coba. Mereka sama kuat, 
walaupun Janda Keramat merasa kalah di 
tangan Pandu Puber. Ia terpaksa 
mengakui keunggulan sang Pendekar 
Romantis. Namun kekalahannya itu 
justru membuat sang janda enggan 
lepaskan diri dari Pandu. 


"Aku harus bersamamu selamanya." 
"Apa...?!" Pandu Puber kaget. 
"Aku harus bersamamu ke mana pun 
kau pergi." 
"Tak ada alasan untuk itu!" 
"Ada!" 
"Apa alasannya?" 
"Karena kau yang terunggul dari 
yang paling hebat!" 
"Ah, lupakan soal itu tadi!" 
"Nggak bisa! Ini benar-benar 
istimewa dan aku harus mendapatkannya! 
Harus!" 
"Apa akibatnya kalau aku 
menolak?" 
"Kita tarung sampai mati!" 
"Gila!" Pandu terbengong 
melompong! 
EMPAT 
SETELAH esok paginya, Pandu 
Puber baru sadar bahwa gairahnya yang 
menjadi menggebu-gebu itu bukan saja 
lantaran godaan nakal Janda Keramat 
saja,  melainkan  juga karena minuman 
teh tersebut mempunyai ramuan 
pembangkit gairah lelaki. 
"Pantas pagi-pagi pun aku 
bersemangat sekali, rupanya teh itu 
punya ramuan khusus. Gila juga tuh 
cewek! Emang antep sih!" gumam Pandu 
Puber ketika menyempatkan mandi di 
sungai pagi hari. 
Janda Keramat sendiri merasa 
heran, mengapa ia mempunyai hasrat 
yang besarnya dua kali lipat dari 
besar hasrat semestinya. Perempuan itu 
tidak menyadari kalau dirinya telah 
terkena 'Racun Pemikat Surga' yang 
dimiliki Pandu Puber dalam darah 
kejantanannya. Pengaruh 'Racun Pemikat 
Surga' bisa membuat perempuan tergila-
gila cumbuan anak muda itu. Dan racun 
tersebut  hanya ada dalam darah 
kejantanan anak blaster dewa dengan 
keturunan jin. Kebetulan Pandu Puber 
itulah anak blaster yang dimaksud.  
Racun tersebut akan membuat 
Janda Keramat mudah tergugah hasratnya 
jika melihat sosok Pandu, bahkan hanya 
dengan membayangkan  saja hasrat itu 
dapat berkobar seperti hutan yang 
terbakar. Racun itu membuat Janda 
Keramat akan 'gila kencan' dan tak mau 
melayani lelaki lain. Hanya Pandu saja 
yang ada dalam khayal asmaranya. Jika 
tak terlayani, maka ia akan sakit, 
kurus, TBC, dan akhirnya wassalam 
alias mati. Hal ini pernah dialami 
oleh Ratu Geladak Hitam; Dardanila, 
(Coba baca serial Pendekar Romantis 
dalam episode : "Pedang Siluman" -
gawat juga lho).  
Ya, memang gawat. Rasa kagum 
terhadap kehebatan cinta Pandu, rasa 
puas menerima kebahagiaan dari Pandu, 
membuat perempuan berambut putih perak 
menyediakan diri untuk ikut ke Tanah 
Gangga menemui si ahli nujum; Syuka 
Nehi. 
"Perjalanan ke sana cukup 
berbahaya. Kau perlu seorang 
pendamping sepertiku, Pandu. Kalau kau 
berangkat ke sana sendirian, kau akan 
mati nganggur di perjalanan. Nanti 
yang mengurus uang sumbanganmu siapa 
kalau sampai mati di perjalanan?" 
katanya berdalih, padahal maksudnya 
supaya bisa berdekatan terus dengan 
Pandu Puber. 
"Tidak. Aku ingin berangkat 
sendiri. Aku hanya mau  ditemani oleh 
Rani Adinda, karena memang dialah yang 
berkepentingan dengan Hantu Putih 
itu." 
"Lupakanlah tentang Rani Adinda, 
dia sudah bahagia bersama Sawung 
Setan" bujuk Janda Keramat dengan mata 
sayu nakal. 
"Jika aku harus melupakan dia, 
berarti aku juga harus melupakan Hantu 
Putih dong?".  
"Itu lebih baik"  
"Tidak bisa. Aku tidak bisa 
melupakan dia.."  
"Kenapa? Apakah kau sangat 
mencintainya?"  
"Kalau aku mencintainya kau mau 
apa?" 
"Akan kubunuh Rani Adinda!" 
"Ah,  lu  saraf beneran nih 
kayaknya!" gerutu  Pandu Puber dengan 
mulai hati-hati mengutarakan isi 
hatinya. Agaknya Janda Keramat sangat 
pencemburu dan kalau sudah cemburu 
nggak tanggung-tanggung. 
"Saranku, lupakan Rani Adinda 
dan lupakan soal Hantu Putih! 
Sebaiknya kau tak perlu pergi ke Tanah 
Gangga." 
"Permintaanmu belum bisa 
melunturkan niatku menyingkap tabir 
misteri Hantu Putih. Aku dalam 
pertimbangan yang belum pasti!" 
"Demi kehangatan kita berdua, 
sekali lagi kumohon, jangan pergi!" 
Tapi dasar pendekar bandel, 
nggak bisa dilarang ini-itu, dimohon 
jangan pergi, eeeh... malah minggat. 
Jurus penyirep yang membuat seseorang 
bisa tertidur digunakan oleh Pandu. 
Caranya dengan melakukan cumbuan, 
kekuatan hawa kantuk dihadirkan oleh 
Pandu. Akhirnya ketika Janda Keramat 
terkulai lemas dan tertidur dalam 
keadaan habis menikmati sebentuk 
kebahagiaan yang kesekian kalinya, 
Pandu Puber cepat-cepat tinggalkan 
pondok tersebut. 
"Nurutin dia bisa copot 
dengkulku!" pikirnya sambil melesat 
cepat menggunakan jurus 'Angin 
Jantan'nya. Tentu saja ketika Janda 
Keramat bangun di sore hari, ia merasa 
kehilangan dan menjadi kelabakan. 
Wajah cantiknya berubah menjadi 
berang. 
"Sampai di mana pun akan kukejar 
dia! Kukejar teruuus... tapi jangan 
diapa-apakan, ah. Kasihan. Kalau 
sampai dia celaka, aku sendiri yang 
repot. Nggak punya maskot kehidupan!" 
ujarnya dalam hati sambil berkelebat 
mencari kepergian Pandu Puber. 
Janda Keramat dapat 
memperkirakan arah kepergian Pandu. 
Pasti menuju ke pantai. Ia bermaksud 
mengejar Pandu sebelum pendekar super 
power itu melanjutkan perjalanan 
menyeberangi lautan menuju Tanah 
Gangga. Janda Keramat bertekad menahan 
kepergian Pandu. Tapi usaha itu 
ternyata tidak mudah. 
Seseorang menghadang langkah 
Janda Keramat ketika hampir mencapai 
sebuah pantai. Orang tersebut adalah 
Nyai Perawan Busik. Tokoh tua berusia 
sekitar tujuh puluh tahun, berkulit 
busik, agak bungkuk, berjubah abu-abu 
dengan tongkat hitamnya di tangan 
kanan. Tokoh ini pernah hadir dalam 
perebutan Patung Iblis Banci. 
"Perawan Busik, apa maksudmu 
menghadang langkahku, hah?!" hardik 
Janda Keramat dengan bertolak pinggang 
menandakan keberanian yang tak punya 
gentar sedikit pun. 
"Masih ingat denganku, 
Hapsari?!" tegur Nyai Perawan Busik 
dengan menyebutkan nama asli Janda 
Keramat. 
"Rasa-rasanya sangat sulit 
melupakan seseorang yang sempat 
kuhancurkan daya pengawet ayunya, 
Perawan Busik! Apakah kau ingin 
kuhancurkan seluruh ragamu sekalian?!" 
Nyai Perawan Busik sunggingkan 
senyum sangat tipis dan sinis. Matanya 
tak berkedip, lurus ke arah wajah 
cantik Janda Keramat yang membuat 
hatinya iri. 
Empat tahun yang lalu, ia pernah 
bertarung melawan si Janda Keramat. 

Pertarungan itu membuat aji 'Manter 
Ayu'nya sirna dan ia menjadi sosok tua 
renta begitu. Sakit hati si Nyai 
Perawan Busik masih membekas. Diam-
diam Nyai Perawan Busik perdalam 
sebuah ilmu pemunah kecantikan. Jika 
ia sudah berani berhadapan kembali 
dengan si Janda Keramat, berarti dia 
sudah siap bermodal jurus pemunah 
kecantikan. Janda Keramat tidak 
berpikir sampai di situ, ia hanya 
menyangka maksud penghadangan Nyai 
Perawan Busik semata-mata hanya ingin 
balas dendam atas kekalahannya tempo 
hari. 
"Hapsari, sudah tiba saatnya 
bagimu untuk menikmati kepahitan hidup 
sepertiku. Bersiaplah menebus dosamu 
empat tahun yang lalu, Janda Keramat!" 
"Apa maumu akan kulayani, 
Perawan Busik!"  
"Terimalah jurus 'Debu Neraka'ku 
ini! Hiiih...!"  
Wuuut...! 
Tangan kiri Nyai Perawan Busik 
menyentak ke depan. Dari telapak 
tangan tersebut menyembur debu putih 
menyerupai tepung.  
Wuuss...! 
Janda Keramat tetap berdiri 
tegak ditempatnya. Tapi kedua 
tangannya bergerak menyilang di dada, 
hentakannya menimbulkan angin kencang 
yang membuat debu-debu itu beterbangan 
ke mana-mana. Wuuurs! Debu itu adalah 
racun yang mematikan. Terbukti tanaman 
yang terkena debu itu langsung menjadi 
kering dan tanah di sekitarnya menjadi 
hitam bagai habis terbakar. 
Janda Keramat hanya tertawa 
melihat raut wajah Nyai Perawan Busik 
tampak kecewa, menggeram jengkel 
dengan mata kian buas. 
"Hi, hi, hi, hi...! Sudah tua 
kok masih mainan tepung. Pantas 
tubuhmu busikan! Apa tak ada mainan 
lainnya?" sindir Janda Keramat. 
"Jangan girang dulu, Janda 
Binal! Boleh saja kau bisa hindari 
jurus 'Debu Neraka', tapi belum tentu 
kau bisa hindari jurus 'Tumbak Merah' 
ini! Hiaaah...!" 
Nyai Perawan Busik sentakkan 
tongkatnya ke depan dengan kaki kanan 
ditarik ke belakang. Tongkat itu bagai 
disodokkan ke depan, kepala tongkatnya 
menghadap ke depan. Suuut...! Lalu 
dari kepala tongkat keluar sinar merah 
panjang membentuk tombak berujung 
runcing.  
Claaap...! 
"Heaaah....'" Janda Keramat 
sentakkan kedua tangannya ke depan 
dada,  seperti mendorong batu dengan 
satu gerakan tersendat. Maka dari 
kedua tapak tangan itu keluar gulungan 
sinar hijau sebesar buah kelapa. 
Gulungan sinar hijau itu melesat ke 
depan, dan dihantam oleh Sinar merah 
berbentuk tumbak.  
Jraaass...!  
Blegaaarr...! 
Ledakan itu timbulkan warna 
sinar merah kebiruan yang memecah ke 
berbagai penjuru. Hentakan sinar merah 
kebiruan mengenai tubuh Janda Keramat. 
Tak ayal lagi tubuh itu pun terpental 
terbang sejauh delapan langkah ke 
belakang.  
Wuuuus...!  
Bruukk...! 
"Kucing garing!" umpatnya dengan 
wajah menyeringai menahan sakit. 
Seluruh kulit terasa panas, warna 
putih kulitnya pun berubah menjadi 
merah memar dari kepala sampai kaki. 
"Boleh juga ilmunya kali ini!" 
pikir Janda Keramat sambil berusaha 
bangkit berdiri. "Kusangka nggak 
begitu kuat, ternyata dua kali dari 
kekuatan takaranku. Monyet ngidam! 
Kubalas dia dengan memecahkan 
kepalanya dari sini!" 
Sementara itu, Nyai Perawan 
Busik membatin, "Edan! Dia tidak apa-
apa? Mestinya dia hancur menjadi 
serpihan kecil jika terkena biasan 
sinar merahku ini! Terkena biasannya 
saja bisa pecah, apalagi terkena 
langsung sinar tombak merah tadi. 
Pasti akan lenyap. Tapi, nyatanya dia 
masih bisa bangkit walau aku tahu 
sekujur tubuhnya menjadi terpanggang 
api yang amat panas. Hmm...! Kuat juga 
dia menahan kesaktianku! Berarti aku 
harus cepat-cepat pergunakan jurus 
'Racun Biru Setan', sebelum ia 
membalasku dengan jurus andalannya!" 
Jlaab...!  
Tongkat ditancapkan ke tanah. 
Tongkat bisa berdiri sendiri. Tentu 
saja, sebab ujung bawah tongkat masuk 
ke tanah sampai setengah jengkal 
dalamnya. Dan Nyai Perawan Busik 
segera sentakkan kakinya menjejak 
tanah, Dus... wuuut...! Ia melesat 
naik, kemudian hinggap di ujung 
tongkatnya dengan satu kaki. Teb...! 
Kaki yang satunya lagi ditempelkan 
ujungnya ke atas telapak kaki yang 
menapak di tongkat. Badannya sedikit 
lebih membungkuk lagi. Kedua tangannya 
merentang ke samping, lurus, bagai 
orang mau main akrobat. Matanya 
memandang lurus pada lawan. 
"Heaaat...!" 
Teriakan itu datang dari mulut 
Janda Keramat. Ia melepaskan pukulan 
bersinar merah bergelombang dari 
pergelangan  tangannya. Sinar merah 
bergelombang segera dilawan dengan 
kilatan cahaya biru yang keluar dari 
pertengahan dahi Nyai Perawan Busik. 
Claap! Wuuusst...! 
Sinar yang keluar dari 
pertengahan kedua alis, tepat di atas 
batang hidung itu, ternyata berbentuk 
seperti senjata bumerang yang melesat 
menerabas sinar merahnya Janda 
Keramat. 
Duaaar...! 
Terjadi ledakan cukup keras yang 
memudarkan sinar merah itu. Tapi sinar 
biru yang mirip senjata bumerang masih 
utuh dan tetap melesat ke arah Janda 
Keramat.  
Wuuut...!  
Zrrrab...! 
"Aahg...!" 
Janda Keramat memekik dan 
tersentak mundur sampai membentur 
sebatang pohon karena dadanya terkena 
sinar biru mirip bumerang itu. Matanya 
terpejam kuat-kuat, tubuhnya langsung 
terkulai, jatuh berlutut di bawah 
pohon tersebut. 
Pada mulanya Janda Keramat 
merasakan berada di dalam kegelapan 
yang sulit ditembus dengan pandangan 
mata. Beberapa kejap berikutnya, 
pandangan matanya menjadi terang 
kembali. Tetapi ia sangat terkejut 
melihat keadaan dirinya telah berubah. 
"Hahhh...?!" 
Kulit tangannya berkeriput dan 
berwarna coklat kusam. Tubuhnya yang 
sekal montok itu menjadi kempes, 
sepertinya tanpa daging lagi. Ketika 
ia meraba wajahnya, ternyata wajahnya 
menjadi keriput dan pipinya kempot. 
Bibirnya pun terasa berkerut-kerut, 
pandangan matanya sedikit buram. 
"Celaka! Aku telah menjadi tua 
seperti wujud asliku?!" pikirnya 
dengan tegang. Lebih tegang lagi 
ketika dirasakan tulang kakinya tak 
sekokoh saat berdiri tadi. Dadanya 
yang sekal mengempes seperti balon 
berisi air yang kena jarum. Sama 
sekali tak ada daya tarik pada diri 
Janda Keramat. 
Nyai Perawan Busik lompat 
bersalto ke belakang, turun dari atas 
tongkat. Beet...! Tongkatnya dicabut 
kembali. Ia terkekeh-kekeh memandangi 
perubahan pada diri lawannya. 
"Heh, heh, heh, hen...! Sekarang 
kau menjadi seperti aku, Hapsari! Kau 
bukan lagi perempuan yang menggiurkan, 
melainkan perempuan tua, kempot, peot, 
dan keropos!" 
"Jahanam kau, Giyanti! 
Heeeaaah...!" Janda Keramat yang 
berubah wujud setua Nyai Perawan Busik 
mencoba berteriak, ternyata suaranya 
tak selantang tadi. Gerakannya tak 
selincah semula. Pukulannya cukup 
lamban ketika menyentakkan kedua 
tangan ke depan. Sinar merah yang 
keluar dari telapak tangan itu juga 
terasa lamban. Sinar itu dapat 
dihindari oleh Nyai Perawan Busik 
dengan satu lompatan ke samping sambil 
terkekeh-kekeh. 
Duaaar…!  
Pohon jati menjadi sasaran sinar 
merah itu. Pohon tersebut retak, 
sedangkan Nyai Perawan Busik segera 
larikan diri. 
"Nikmati dulu hidup dalam 
ketuaan, Hapsari! Suatu saat kita akan 
bertemu lagi untuk tentukan siapa yang 
harus mati lebih dulu!"  
"Jangan lari kau, Keparaaatt..!" 
Janda Keramat ingin mengejar lawannya. 
Tapi apa daya, perubahan dari muda 
menjadi setua itu menjadikan otot-
ototnya mengalami shock. Tak bisa 
bekerja dengan cepat seperti biasanya. 
Maka, Hapsari pun akhirnya hanya bisa 
terpuruk di bawah pohon dan menitikkan 
air matanya. Ia tampak sebagai seorang 
nenek tanpa tongkat yang sedang 
dirundung kesedihan amat dalam. 


"Hancur! Hancur sudah hidupku 
kalau begin!! Kekuatanku sebentar lagi 
akan sirna. Daya tarikku lenyap karena 
si keparat itu. Padahal gairahku masih 
ada. Ooh... Pandu, di manakah kau? 
Tidakkah kau kasihan padaku yang 
menjadi begini?" pikiran itu tembus ke 
hati menjadi ratapan batin sang janda 
yang mungkin sudah tidak sekeramat 
tadi siang. 
"Dalam dukaku ini, yang 
terbayang hanyalah dirimu, Pandu! Di 
manakah kau? Tolonglah aku, Pandu. 
Oooh... gairahku, mengapa semakin 
menggebu-gebu jika membayangkan pemuda 
itu. Sedangkan keadaanku sudah menjadi 
setua ini, sekeropos ini, apakah Pandu 
masih mau melayaniku sehangat kemarin 
malam? Oh, mati aku! Mati beneran 
kalau begini caranya! Aku harus 
mencari Pandu. Harus memaksanya. 
Badanku harus segar kembali, karenanya 
harus segera mendapatkan harapan 
batiniahku ini! Panduuu...!" 
Ratapan rintih itu dibawanya 
melangkah perlahan-lahan. Sebatang 
kayu kering dipungutnya, dipakai 
sebagai tongkat, lalu langkahnya 
dilanjutkan kembali sambil merintih 
dalam hati, 
"Panduuu... di mana kau? Jangan 
pergi dariku, Pandu...!" 
Jangankan Pandu Puber, pria 
rakus lain pun belum tentu mau 
melayani asmara sang nenek keriput 
itu. Sosok tanpa daya tarik sedikit 
pun telah membuat Janda Keramat nyaris 
putus asa. Ia ingin mati bunuh diri, 
tapi hati kecilnya menolak. 
"Jangan sekarang! Nanti saja 
kalau sudah bertemu Pandu dan 
mendengar keputusan darinya. Kalau 
memang ia tak mau lagi menerimaku, 
silakan bunuh diri deh! Habis nggak 
ada yang diharapkan lagi?" 
Kalau saja Pandu Puber tidak 
mengalami hambatan, ia sudah mencapai 
desa nelayan dan menyewa perahu untuk 
menyeberang ke Tanah Gangga. 
Sayangnya, Pandu Puber sendiri 
mengalami hambatan dengan munculnya 
seorang gadis berambut lurus sepundak 
dan mempunyai poni rapi di dahinya. 
Gadis Cantik itu menghadang dengan 
pakaian baju merah terang dari bahan 
kain satin yang mengkilap. Usia gadis 
itu sekitar dua puluh tiga tahun. Ia 
pernah berhadapan dengan Pandu Puber 
dan dibuat kabur oleh Dardanila, si 
Ratu Geladak Hitam. Gadis itu tak lain 
adalah Awan Sari, murid Hantu Congkak, 
(Kalau mau lihat munculnya gadis itu, 
silakan baca serial Pendekar Romantis 
dalam kisah : "Patung Iblis Banci"). 
Gadis inilah yang pernah lumpuhkan 
Pandu melalui 'Racun Kembang Kubur' 
yang keluar dari ujung pedang 
tembaganya. 
Dulu, Awan Sari ditugaskan oleh 
gurunya, Hantu Congkak, untuk membalas 
kekalahan Hantu Congkak ketika melawan 
Pandu Puber semasa Pandu berusia 
remaja, (Yang ini ada dalam serial 
Pendekar Romantis episode: "Hancurnya 
Samurai Cabul" seru juga 
pertarungannya). Tapi sekarang Hantu 
Congkak sudah mati. Mati  di tangan 
Shoguwara, bekas Pendekar Samurai 
Cabul yang dapatkan Patung Iblis 
Banci. Lalu, sekarang apa maunya Awan 
Sari menghadang Pandu Puber? 
"Kau harus menebus kematian 
guruku!" katanya dengan ketus, masih 
seketus dulu juga. Memang tampangnya 
cantik-cantik judes sih. Biar sudah 
lama nggak ketemu masih saja berkesan 
judes. 
"Mengapa kau menuntut kematian 
gurumu padaku, Awan Sari? Kau salah 
tuntut, Sayang!" ujar Pandu tetap 
kalem. "Yang membunuh gurumu bukan 
aku, melainkan Shoguwara!" 
"Omong kosong!" bentaknya. Galak 
juga dia. "Naluriku mengatakan kau 
yang membunuh guruku. Kau harus 
berhadapan denganku, Setan Playboy!" 
"Jangan. Jangan memaksa 
pertarungan. Kita akan merasa sia-sia 
jika ada yang jadi korban salah satu 
di antara kita, Awan Sari!" 
Pendekar Romantis masih tetap 
tenang, namun ia sangat waspada. Dalam 
hatinya sempat membatin, "Aku harus 
hati-hati dengan pedangnya. Jangan 
sampai aku terkena racunnya lagi. 
Sebaiknya kugunakan jurus-jurus yang 
melumpuhkan, tak perlu main-main dan 
coba-coba dengan si cantik yang galak 
ini!" 
Maka ketika Pandu Puber ingin 
berkata lagi, Awan Sari sudah lebih 
dulu mencabut pedangnya.  
Sreeet...!  
Claaap...! 
Sepasang sinar merah melesat 
dari kedua jari kanan-kiri. Jurus 
'Sepasang Sayap Cinta' dilepaskan 
Pandu Puber. Sinar itu salah satunya 
mengenal pedang tembaga Awan Sari. 
Duaaar...! 
Sinar yang satu kenai lengan 
gadis tersebut.  
Craaab...! 
"Uuhg...!" terdengar pekikan 
berbarengan dengan bunyi ledakan yang 
membuat tubuh gadis itu terpental. Ia 
jatuh dan menggelepar-gelepar. 
Wajahnya pucat, sebentar lagi pasti 
mati. Pandu Puber jadi kebingungan 
sendiri. 


"Wah... gimana nih? Cantik-
cantik kok mati, sayang dong!" Pandu 
Puber ingin sembuhkan luka berbahaya 
itu, tapi ia ragu-ragu. "Kalau 
kusembuhkan nanti menyerangku lagi? 
Kalau nggak disembuhkan, wah... 
kasihan sekali dia! Pasti belum kawin. 
Masa' belum kawin kok sudah mati? Rugi 
kan? Tapi... gimana ya?" 

Page    1    2    3