Pendekar Romantis 1 - Geger di Kayangan(1)





SATU


KALI ini kayangan dibuat heboh
oleh kasus skandal yang memalukan para
dewa. Batara Kama yang berjuluk Dewa
Penyebar Rindu, kepergok sedang mojok
dengan bidadari Subang Wulan. Padahal
bidadari Subang Wulan adalah bidadari
kesucian, yang tidak boleh ternoda
sedikit pun. Bahkan ditaksir dalam
hati pun tidak boleh. Subang Wulan
adalah  lambang kebersihan dan
kehormatan para bidadari.
Karena terperangkap jurus 'Angin
Rindu' dari Batara Kama, maka bidadari
Subang Wulan mabuk kepayang. Ia
membalas kerlingan mata Batara Kama,
bahkan membalas cubitan lembut dari
sang Dewa Penyebar Rindu itu. Akhirnya
mereka berdua lari ke arah pojok taman
dan berhaha-hihi di sana. Kebetulan
waktu itu Dewa Pengawas sedang lakukan
patroli keliling, sehingga Batara Kama
dan Subang Wulan tertangkap basah
sedang saling mengadu mulut dan
bersilat lidah. Mereka segera
ditangkap dan diadili.
Dalam pengadilan para dewa dan
bidadari, Batara Kama sempat menga-
jukan pembelaannya di depan siding.
"Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Kayangan, yang disebut pelang-
garan cinta adalah apabila pasangan
itu sudah melakukan hubungan intim
tanpa selembar benang pun di tubuhnya.
Sedangkan apa yang kulakukan dengan
Subang Wulan masih dalam batas-batas
berpakaian rapi, Tuan Hakim!"
Subang Wulan juga mengeluarkan
pembelaannya, "Betul, Paduka Hakim.
Saya belum diapa-apain kok. Cuma
dicium saja. Sedangkan 'jimat'  saya
masih awet, tidak robek, tidak
ternoda, tidak dijamah, sedikit pun
tidak. Kalau tak percaya boleh
diperiksa."
Hakim para dewa berkata,
"Pemeriksaan tidak mungkin  dilakukan
karena hari ini laboratorium tutup.
Yang  jelas tindakan kalian telah
melanggar kode etik kayangan. Kalian
layak mendapat bintang, eh... layak
mendapat hukuman sesuai pasal lima
belas ayat dua yang berbunyi: 'barang
siapa mojok dengan sengaja ataupun
tidak sengaja tanpa seizin Sang Maha
Dewa, maka orang tersebut dianggap
melanggar kode etik kayangan dan
praktis dianggap juga mencemarkan
kesucian kayangan.' Sedangkan menuruti
kitab undang-undang yang berlaku di
sini, pelanggaran seperti itu
dikenakan denda kurungan lima ribu
tahun atau menebusnya dengan cara
dibuang ke bumi!"
"Interupsi!" seru dewa yang
berpakaian serba coklat itu. Tangannya
diacungkan ke atas, sehingga para
peserta sidang memandang kepadanya.
"Saya sebagai pembela  tertuduh
merasa keberatan dengan ancaman
hukuman yang Paduka Hakim bacakan
tadi."
"Apa alasan keberatanmu,
Pembela?"
"Tidak benar kalau hanya karena
skandal mojok  saja sampai membuat si
tertuduh harus dibuang ke bumi! Dalam
kitab Undang-undang Kehormatan, pasal
seratus satu koma lima, ayat tiga
dikatakan; 'Pembuangan ke bumi bisa
dilakukan apabila tertuduh melanggar
kesalahan sampai tiga kali. Sedangkan
Batara Kama baru satu kali ketahuan
mojok dengan bidadari. Perbuatan
mojoknya yang tujuh kali kan tidak
ketahuan oleh petugas, jadi Batara
Kama tidak layak untuk dibuang ke bu-
mi!" 
Suara gemuruh menyebar di ruang
sidang para dewa. Paduka Hakim
mengetok-ngetok telunjuknya ke meja,
suaranya keras, seperti ketokan palu.
Dok, dok, dok...!  Lalu suasana
menjadi  tenang karena hadirin pada
bungkam.
"Jadi  ternyata Batara Kama sudah
melakukan perbuatan mojok seperti itu
sebanyak delapan kali?!"
"Benar!" seru Pembela. "Tapi yang
ketahuan kan hanya satu kali!"
"Hukuman semakin parah. Kami baru
tahu kalau Batara Kama melakukan
pelanggaran sampai delapan kali."
Batara Kama melirik Pembela
dengan sengit lalu berkata, "Tugasmu
itu meringankan hukumanku, bukan
memberatkan!"
"Wah,  maaf... aku keceplosan
ngomong!" Pembela tampak sedih.
"Paduka Hakim...," seru seorang
bidadari berbaju ungu. "Batara Kama
memang layak dihukum berat, karena
saya sendiri  pernah diajaknya mojok
karena jurus 'Angin Rindu'-nya. Tapi
tidak banyak, hanya empat kali."
Salah seorang wanita cantik yang
juga termasuk bidadari berpakaian
putih mengacungkan tangannya, "Saya
juga pernah, tapi baru dua kali!"
Satu bidadari berdiri dan
berseru, "Jujur saja, saya juga pernah
diajak  mojok, tapi  tidak sampai
berbuat yang begitu-begitu. Cuma
sebatas 'cuci muka' saja."
"Berapa kali?"
"Tak banyak. Cuma delapan belas
kali." 
"Waaaaah...," semua yang hadir
geleng-geleng kepala.
Subang Wulan tiba-tiba mendekati
Batara Kama dan menamparnya. 
Plaak...!
"Pendusta! Kau bilang belum
pernah berbuat begitu, ternyata kata-
katamu itu hanya gombal semata!"
Batara Kama diam, hanya mengusap
pipinya yang merah karena tamparan
bertenaga dalam itu. Sebelum Subang
Wulan berkata lagi, telah terdengar
seruan  seorang bidadari berpakaian
jingga yang langsung maju ke depan
meja Paduka Hakim.
"Saya setuju kalau Batara Kama
dibuang ke bumi, karena dia telah
mengkhianati saya dengan perbuatannya
yang baru sekarang terbongkar di depan
sidang. Saya sakit hati dengan Batara
Kama. Saya  terbujuk dan terayu
olehnya, sampai saya jatuh cinta dan
menyerahkan segala-galanya, termasuk
cincin peninggalan orangtua saya juga
saya serahkan. Ternyata dia berjiwa
playboy, mata keranjang, don yuan, dan
pokoknya memuakkan!"
Paduka Hakim geleng-geleng
kepala. Para hadirin bergemuruh lagi
mengomentari laporan-laporan tersebut.
Setelah Hakim mengetukkan jarinya
lagi, suasana menjadi hening, maka
terdengarlah ucapan Paduka Hakim yang
bernada tegas.
"Hukuman pembuangan tetap harus
dilakukan untuk Batara Kama dan Subang
Wulan. Maka dengan ini...," kata-kata
itu segera terpotong,
"Interupsi! Saya sebagai Dewa
Jaksa Penuntut merasa keberatan jika
Subang Wulan ikut dibuang ke bumi.
Karena Subang Wulan termasuk salah
satu dari sekian korban yang dirugikan
oleh tindak pelecehan cinta dari
Batara Kama!"
"Jadi bagaimana keputusanmu?" 
"Jangan buat Subang Wulan
menderita rugi dua kali; itu namanya
hukum yang tidak adil. Yang jadi
korban jangan dirugikan lagi. Yang
menjadi tertuduh itulah yang wajib
menjalankan hukuman!"
"Usulmu diterima, Dewa Jaksa
Penuntut!" kata Paduka Hakim.
"Dewa Pembela," bisik Batara Kama
yang memang tampan rupanya itu,
"Lakukanlah pembelaan untukku. Jangan
diam saja!"
"Interupsi!" seru Dewa Pembela,
"Kami keberatan jika hukuman untuk
Batara Kama adalah pembuangan atas
dirinya. Sebab, jika Batara Kama
dibuang ke bumi, maka citra dan
kehormatan para dewa akan menjadi
cemar dan diketahui oleh manusia! Ini
sama saja memalukan seluruh warga
kayangan. Kami mohon keputusan
pengadilan  ditinjau kembali demi
menjaga nama baik para dewa. Sebab
bagaimanapun juga Batara Kama masih
termasuk dewa. Manusia akan mengecam
kita habis-habisan jika ada dewa
melakukan pelecehan cinta sampai
dibuang ke bumi. Kecuali  jika Batara
Kama  itu bukan dewa, tak ada masalah
lagi; mau dibuang kek, digantung kek,
dipancung kek, terserah! Tidak akan
menimbulkan pencemaran di kalangan
para dewa!"
"Kalau begitu, Batara Kama
dicoret dari daftar nama-nama dewa!"
"Setujuuu...!" seru yang lain.
Batara Kama melirik Dewa Pembela,
"Lagi-lagi kau memberatkan tuduhanku!
Gara-gara kau, aku bukan aja dijatuhi
hukuman malah dicoret dari daftar para
dewa!  Sudah, aku tak perlu  kau bela
lagi!"
"Wah... salah lagi kata-kataku?!"
Dewa Pembela tampak sedih dan
menyesal. 
Paduka Hakim berseru, "Putusan
pengadilan mutlak menyatakan Batara
Kama sebagai pihak bersalah dengan
tuduhan; Mencemarkan nama para dewa,
mencemarkan kesucian para bidadari
dengan pelecehan cintanya, merendahkan
martabat dan kesucian kayangan, serta
merugikan beberapa bidadari yang
terbuai rayuan asmara gombalnya. Maka
dengan ini Pengadilan Tertinggi
Kayangan menjatuhkan hukuman kepada
Batara Kama berupa pembuangan dan
pencoretan nama!"
"Interupsi!" kata Batara Kama
sendiri. "Saya minta grasi!"
"Keputusan hukuman belum
dijatuhkan sudah minta grasi?! Tidak
bisa!" tegas Paduka Hakim. Lalu ia
melanjutkan membacakan hasil kepu-
tusannya.
"Atas perbuatannya yang melanggar
kode etik kayangan ini, maka dengan
ini Batara Kama kami nyatakan dibuang
ke bumi dan berubah wujud menjadi ma-
nusia biasa; dengan segala sifat dan
kodrat manusia ada padanya!"
Hadirih bertepuk tangan. Batara
Kama tundukkan kepala.
"Tetapi...," lanjut Paduka Hakim.
"Karena Batara Kama pernah berjasa
kepada masyarakat kayangan, maka
seluruh kekuatan  ilmu kedewaan
dicurahkan kepadanya sebagai bekal
kehidupannya di permukaan bumi."
Batara Kama  segera angkat kepala
dan memandang Paduka Hakim, ia tampak
tegang karena punya kegembiraan
tersendiri, yaitu akan menerima
kekuatan ilmu kedewaan.
Dewa Pembela berseru, "Sampai
berapa lama Batara Kama menjalani
hukuman hidup sebagai manusia di
permukaan bumi, Paduka?"
"Sampai batas waktu tertentu.
Batara Kama boleh kembali ke kayangan
dan menjadi dewa lagi apabila ia sudah
kawin dengan putri raja jin dan mampu
menghasilkan keturunan. Apabila
anaknya lahir, maka seluruh kekuatan
kedewaan yang ada padanya akan hilang
dan menitis ke anak tersebut; entah
anak laki-laki atau perempuan sama
saja. Anak itu sendiri akan menjadi
dewa apabila ia berhasil menebus
kesalahan orangtuanya dengan berbuat
baik dan menjadi pembela kebenaran. Ia
akan kita angkat ke kayangan apabila
sudah menikah dengan warga kayangan.
Barang siapa mengabdi kepada anak itu,
entah menjadi pelayannya atau menjadi
gurunya, maka orang tersebut berhak
kita beri tempat sebagai manusia yang
hidup di kayangan."
Batara Kama terbengong memandangi
Dewa Hakim yang menatapnya. Semua
peserta sidang pun diam tak bersuara
sedikit pun. Maka Dewa Hakim berkata
lagi.
"Karena tak ada yang mengajukan
protes lagi, maka sidang akan segera
ditutup. Batara Kama dibuang ke bumi
sekarang juga!"
Tok, tok, tok...!
Lalu seberkas sinar putih
menyilaukan turun dari langit-langit
dan menerjang Batara Kama. 
Zrraaab...! Batara Kama dibungkus
cahaya putih menyilaukan. Dalam
sekejap cahaya itu pun lenyap.
Blaab...! Batara Kama  jatuh terkapar
tak sadarkan diri. Dewa Pembela kaget
dan segera meminta petugas keamanan
sidang untuk menolong Batara Kama.
"Cepat bawa dia! Dia mengalami
shock berat! Bawa ke Rugada!"
"Apa itu Rugada?"
"Ruang Gawat Darurat! Lekas...!"
Dewa Hakim berseru, "Tak perlu
dibawa ke sana! Rohnya telah kukirim
ke bumi, sebentar lagi raganya akan
lenyap menyatu dengan rohnya di sana.
Kerahkan petugas pengawas agar
mengawasi dia selama di bumi!"
Suara-suara itu sebenarnya
didengar oleh Batara Kama, tapi makin
lama suara tersebut makin kecil dan
kian samar-samar diterima
pendengarannya. Batara Kama merasa
sedang berputar-putar memasuki
terowongan cahaya. Ia ingin berteriak
minta tolong, tapi mulutnya tak bisa
digerakkan dan suaranya bagaikan
hilang tak tersisa sedikit pun di
tenggorokan.
Pada saat itu muncul sesosok
tubuh kurus bermata cekung, jenggotnya
panjang, kumisnya juga panjang,
semuanya berwarna putih uban. Alisnya
pun panjang, sama dengan bulu matanya
yang penjang berwarna putih pula.
Sosok kurus itu mengenakan kain abu-
abu membungkus tubuh dengan sisa kain
menyilang kedua pundak. Rambut tamu
yang hadir di pengadilan para dewa itu
sangat tipis. Mungkin hanya delapan
belas lembar.
Kehadiran tokoh agak bungkuk ini
membuat para dewa diam terpaku dengan
mata tertuju tegang ke arahnya. Tokoh
tersebut berjalan dari pintu masuk
ruang sidang sampai mendekati meja
hakim.
"Begawan Dewa Gesang, aku
mengucapkan selamat datang atas
kehadiranmu di ruang sidang ini," kata
Dewa Hakim. "Tapi apa penyebabnya
sehingga kau datang sebagai tamu tak
diundang di sini?!"
"Aku menuntut keputusanmu, Dewa
Hakim! Kau  telah membuang anakku,
Batara Kama dengan keputusan berat
sebelah! Aku akan menuntutmu dengan
caraku sendiri. Bersiaplah!"
"Tunggu dulu, Begawan!" cegah
Dewa Hakim. "Keputusan ini kuambil
berdasarkan kitab undang-undang yang
sudah kau setujui juga pada waktu
pembuatannya!"
"Kitab  undang-undang itu telah
kau ubah sebagian isinya!  Jika hanya
kasus pelecehan cinta saja tidak ada
ketentuannya yang mengatakan seorang
tertuduh harus dibuang ke bumi!"
"Itu tidak benar! Aku tidak
mengubah isi kitab undang-undang ini!"
"Omong kosong!" bentak Begawan
Dewa Gesang. "Sebagai ayah Batara
Kama, aku tidak bisa menerima
keputusan peradilanmu! Kalian semua
bersekongkol menjauhkan Batara Kama
karena ada pihak yang menginginkan
jabatannya sebagai Dewa Penyebar
Rindu!"
"Jangan kau kotori kayangan
dengan pembelaan sepihakmu, Begawan
Dewa Gesang! Sadarlah bahwa kau telah
mulai dikuasai oleh nafsu pribadi,
yang mementingkan keluarga daripada
tegaknya sebuah keadilan!"
"Jangan banyak bicara! Aku sakit
hati mendengar anakku dibuang ke bumi!
Sebaiknya terimalah pengadilanku
sendiri untukmu, Dewa Hakim!"
Begawan Dewa Gesang segera
rentangkan tangannya ke atas. Ketika
kedua tangan kurus itu diangkat ke
atas, maka datanglah angin topan yang
bergemuruh dari kejauhan menuju Balai
Sidang para dewa itu. Semua hadirin
yang ada di dalam ruang persidangan
menjadi cemas dan gentar. Mereka tahu
bahwa Begawan Dewa Gesang mempunyai
bekal ilmu lebih tinggi  dari Dewa
Hakim sendiri.
Gemuruh angin segera memekakkan
telinga mereka. Bangungan itu pun
bergetar, dan atapnya tersingkap
terbang. Kraaak...! Braaak...! Angin
topan raksasa menyambar bangunan itu,
memelintirnya menjadi remuk dan puing-
puingnya terangkat terbang tak tentu
arah. Suasana menjadi gaduh. Pada dewa
dan bidadari segera tancapkan kaki
dengan ilmu mereka yang bernama jurus
'Cakar Dewa'. Dengan menggunakan jurus
'Cakar Dewa' maka tubuh mereka tak
bisa terbawa terbang, seakan kaki
mereka tak bisa dicabut dari tempat
pijakannya. Tetapi pakaian mereka
menjadi berantakan, bahkan ada yang
tercabut dari tubuh dan ikut terbawa
terbang. 
Wruusss...!
“Ooh... pakaianku?! Pakaian-
ku...?!" teriak bidadari yang segera
jongkok dan mendekam karena pakaiannya
tercabut lepas dari raganya.
"Begawan! Hentikan perbuatanmu!"
teriak Dewa Hakim yang berlindung
dengan cara merapatkan kedua tangannya
di dada, tubuhnya bergerak-gerak
bagaikan menahan kekuatan yang ingin
menerbangkannya.
Seruan itu tidak dihiraukan oleh
Begawan Dewa Gesang. Ruang persidangan
hancur lebur. Tubuh Begawan Dewa
Gesang gemetar karena masih keluarkan
jurus penghadir badainya. Tiba-tiba
Dewa Hakim berseru kepada yang lain,
"Serang dia!"
Para dewa dan bidadari yang hadir
di situ segera melepaskan pukulan
bersinar hijau muda. Dari telapak
tangan mereka melesat selarik sinar
hijau menghantam ke tubuh Begawan Dewa
Gesang. 
Clap, clap, clap...! Berlarik-
larik sinar hijau menghantam telak
Begawan Dewa Gesang dari berbagai
arah. Tetapi Begawan Dewa Gesang
segera sentakkan kaki kanannya satu
kali. Dug...!
Tubuhnya memancarkan sinar merah
berlarik-larik ke segala arah. Sraab!
Sinar-sinar merah itu menghantam tubuh
mereka, membuat mereka saling terbang
terpental tunggang langgang. Teriakan
mereka saling bersahutan. Kayangan
menjadi guncang bagai dilanda kiamat.
Dewa Hakim sendiri sempat tersentak
mundur  delapan tindak. Tetapi ia
segera memutar kedua tangannya dan
dari kedua telapak tangan keluar sinar
biru besar yang segera mengurung tubuh
Begawan Dewa Gesang. 
Slaaap...! Suuuuzzz...!
Tubuh Begawan Dewa Gesang tidak
memancarkan sinar merah lagi. Sinar
merahnya bagaikan dipadamkan oleh
sinar biru yang melapisi keadaan
sekelilingnya dalam jarak lingkar
sekitar empat langkah. Tetapi Begawan
Dewa Gesang masih kurang puas,
sehingga kedua tangannya segera
disatukan di atas kepala dan pertemuan
kedua  telapak  tangan itu memancarkan
sinar putih perak ke berbagai arah.
Sinar putih perak itu menghantam sinar
biru pengurung diri.
Zraab...! Jegaaaar...!
Kayangan semakin mawut. Mereka
yang tidak berada di tempat itu pun
ikut terpental tunggang langgang.
Tanaman-tanaman di taman bidadari
menjadi rusak, bahkan ada beberapa
yang tumbang. Air kolam taman muncrat
ke atas bagaikan disentakkan oleh
tenaga dalam dari bagian bawahnya.
Ledakan amat dahsyat tadi
menimbulkan nyala api yang berkobar di
udara, terbang ke sana-sini bagai
memburu mangsa. Namun para dewa dan
bidadari yang ingin diterjang kobaran
api segera saling rapatkan kedua
tangan di dada dan tubuh mereka
mengeluarkan  asap berhawa sejuk. Ada
yang sampai sekujur tubuhnya menjadi
putih bagaikan dilapisi busa-busa
salju, sehingga dari kejauhan tampak
seperti segumpal kapas.
Begawan Dewa Gesang tak tahu,
bahwa akibat dari murkanya itu, bumi
pun menjadi berguncang bagai dilanda
gempa. Lautan bergolak, batu-batu
karang retak, tanah di sana-sini pun
mengalami kelongsoran. Pohon-pohon
tumbang, dan beberapa bangunan tempat
hunian manusia ada yang roboh. Mereka
yang hidup di bumi menganggap keadaan
itu sebagai keadaan datangnya klamat.
Mereka saling ketakutan dan mencari
keselamatan masing-masing. Mata air di
beberapa tebing jebol, tanggul-tanggul
pun pecah, sehingga banjir melanda di
beberapa tempat di permukaan bumi.
Murka sang ayah yang membela
anaknya dari hukum pembuangan itu
hampir saja membuat keadaan bumi porak
poranda, terbelah menjadi beberapa
bagian. Untunglah murka itu segera
berhasli dihentikan oleh munculnya
tokoh berpakaian kain putih bintik-
bintik emas. Tokoh itu berparas
tampan, walau kelihatan sudah lanjut
usia. Seluruh rambutnya putih rata,
panjang sebatas punggung. Kehadirannya
sangat tiba-tiba, berdiri di depan
Begawan Dewa Gesang. Kedua tangannya
segera diangkat sebatas dada dalam
posisi  telapak  tangan terbuka ke
depan.
Segala sinar yang keluar dari
tubuh Begawan Dewa Gesang terhisap
masuk ke telapak  tangan tokoh yang
baru datang itu. Bahkan kekuatan
hembusan angin membadai itu pun bagai
terhisap seluruhnya ke telapak
tangannya. Dalam waktu beberapa kejap
saja suasana menjadi hening dan tenang
kembali. Getaran dan guncangan hilang.
Api yang berkobar-kobar  lenyap
tersedot dua telapak  tangan si tokoh
berpakaian putih bintik-bintik emas
itu. Pada dewa dan bidadari pun
menjadi lega melihat kemunculan tokoh
tersebut. Bahkan mereka segera
menunduk dengan badan sedikit bungkuk
dan kedua kaki berdiri rapat. Mereka
memberi hormat kepada tokoh yang
datang di depan Begawan Dewa Gesang.
Bahkan sang Begawan sendiri tampak
segera tundukkan kepala memberi hormat
dalam sikap.
"Murkamu kelewat batas, Dewa
Gesang! Kau membuat kayangan menjadi
neraka.  Jika kayangan seperti ini,
lalu apa yang terjadi di permukaan
bumi? Lebih parah dari keadaan di
sini, Dewa Gesang!"
"Mohon ampun, Sang Hyang Guru
Dewa...," ucap Begawan Dewa Gesang
dengan sopan dan sangat hati-hati.
Rupanya tokoh yang hadir
menenangkan suasana  itu adalah Sang
Hyang Guru Dewa, tokoh tertinggi para
dewa yang berpenampilan kalem dan
bersikap bijak. Tidak ada yang berani
melawan Sang Hyang Guru Dewa, karena
bukan saja beliau adalah senior
mereka, namun juga beliau adalah guru
bagi para dewa-dewi. Tentu  saja
Begawan Dewa Gesang takut kepadanya.
Kedua kakinya sampai gemetaran. Karena
ia tahu, sekalipun  Sang Hyang Guru
Dewa orangnya kalem, wajahnya selalu
ramah, tapi sekali menjatuhkan hukuman
tak tanggung-tanggung.
"Setinggi apa pun ilmumu, Dewa
Gesang, masih ada  yang lebih tinggi
lagi. Demikian juga dengan diriku,
setinggi  apa pun ilmuku, masih
ada yang berilmu lebih tinggi  lagi,
yaitu Sang Maha Dewa Hyang Widi Wasa!
Jadi jangan kau takabur dengan ilmumu,
sehingga melepaskannya secara semena-
mena hanya untuk  menuruti emosimu
belaka."
"Saya membela anak saya, Sang
Hyang Guru."
"Memang, seorang ayah punya hak
melakukan pembelaan terhadap anaknya.
Tetapi hendaknya pembelaan itu
berdasarkan suatu pertimbangan salah
dan benar.  Jika Batara Kama memang
tidak bersalah, kau berhak membelanya.
Tapi Jika Batara Kama bersalah, jangan
sekali-kali membelanya. Karena itu
sama saja seorang ayah menjebloskan
anaknya ke lumpur kesesatan.
Pembelaanmu terhadap anak yang salah
sama saja membunuh anak sendiri,
membutakan mata hatinya untuk tidak
bisa melihat lagi mana yang benar dan
yang salah! Sekalipun Batara Kama
adalah anak dewa senior, tapi jika ia
bersalah harus menjalani hukuman yang
berlaku. Jangan mentang-mentang dia
anak dewa senior, lalu dia bebas dari
segala tindakan yang tidak benar
karena pembelaanmu! Salah kaprah
hidupnya jika kau hanya menggunakan
sistem keluarga!"
"Sekali lagi, saya mohon ampun,
Sang Hyang Guru."
"Ya. Kuampuni. Tapi kembalikan
lagi suasana di  kayangan menjadi
seperti semula! Aku tak ingin kayangan
rusak hanya gara-gara emosimu yang
salah!"
Sang Begawan kian tertunduk
karena rasa bersalahnya.


DUA


SEBUAH danau di  puncak bukit
mempunyai air biru bening. Bukan
karena danau itu pernah kemasukan blau
pemutih pakaian, tapi karena di dalam
danau itu ada batu sebesar anak sapi
yang berwarna biru bening. Kebiruan
warna batu itulah yang memancar dalam
bentuk bias cahaya dan membuat air da-
nau itu berwarna biru bening. Para
pengembara ataupun para pelancong
menyebut bukit itu dengan nama Bukit
Biru, dan danau itu disebutnya Danau
Kedamaian. Sebab barang siapa
memandang beningnya air danau itu,
hatinya akan memancarkan kedamaian.
Konon amarah seseorang yang sampai
membuat telinganya merah legam dapat
reda jika cuci muka dengan air danau
itu.
Yang akan diceritakan dalam kisah
ini bukan bagaimana caranya cuci muka,
melainkan tergeletaknya sesosok tubuh
yang ada di tepi danau  itu. Perlu
diketahui, danau itu dikelilingi oleh
pepohonan rindang. Tempatnya  teduh,
semak-semaknya tidak berduri,
rumputnya halus, enak untuk bersantai
di sana. Sekalipun banyak pepohonan
rindang tumbuh mengelingi danau, tapi
tak satu pun daun kering yang jatuh di
permukaan air danau itu. Sekalipun
angin berhembus menerbangkan daun daun
kering, tapi air danau itu tak
terjamah oleh sang daun. Tak ada
kotoran masuk ke danau tersebut,
sehingga danau itu tetap bersih dan
enak dipandang mata, terutama bagi
orang yang tidak tunanetra.
Kabarnya, tidak semua orang bisa
mencapai danau itu. Pada umumnya, para
pengembara dan pelancong yang berhati
bersih saja yang bisa menemukan danau
tersebut. Benar dan tidaknya, sulit
dibuktikan.
Yang jelas, di tepi  danau yang
luasnya tak seberapa itu sekarang
sedang dipakai tidur seorang lelaki
muda, kira-kira berusia sekitar dua
puluh tujuh tahun. Pemuda itu
berpakaian kumuh. Bajunya warna putih
kusam. Banyak noda coklat bekas
makanan atau minuman di bajunya!
Pokoknya baju putih berlengan panjang
itu kotor. Bagian tengkuk dan ujung
lengan kanannya robek sedikit. Mungkin
habis kecantol duri atau digigit
macan.
Celana pemuda itu warna hitam
belel. Juga kumuh dan kotor. Bagian
pantatnya robek sedikit. Entah karena
menduduki paku atau habis diseruduk
banteng. Pokoknya penampilannya nggak
keren. Cenderung mirip orang susah
hidup.
Tapi dilihat dari badannya, ia
tampaknya seorang pemuda yang cukup
banyak menelan vitamin. Badannya
kekar, walau tidak berotot seperti
binaragawan. Tingginya sedang-sedang
saja, tidak membuatnya menjadi
jangkung. Kulitnya coklat muda.
Wajahnya bersih tanpa jerawat.
Kumisnya tak ada. Mungkin memang tak
mau tumbuh atau memang dibuat supaya
tak tumbuh. Pokoknya wajah bersih itu
tergolong ganteng. Hidungnya bangir,
matanya sedikit besar tapi indah.
Tampak jantan. Sayang kalau harus
dicolok pakai lidi.
Rambutnya hitam, panjang sebatas
punggung, sedikit bergelombang. Rambut
itu diikat dengan ikat kepala warna
putih. Sama dengan ikat pinggangnya
yang juga berwarna putih, terbuat dari
kain agak tebal dan kusam.
Ketika pemuda itu terbangun dari
tidurnya, ia segera terkejut dan
memandangi alam sekitarnya. Ia juga
memeriksa pakaiannya dan merasa aneh
dengan pakaian sekumal itu. Sebelum
hatinya ngomong apa-apa, ia sudah
lebih dulu mendengar orang berkata,
"Ingat, namamu sekarang adalah
Yuda Lelana. Kau adalah manusia...."
"Yang bilang kucing siapa?"
gerutu pemuda itu segera menyadari
bahwa dirinya sebenarnya adalah dewa
yang telah dibuang dari kayangan.
Batara Kama kini berganti  nama Yuda
Lelana. Orang yang bicara itu tak
tampak wujudnya. Yuda Lelana tahu,
suara itu adalah suara Sang Hyang Guru
Dewa.
Sekalipun tanpa telepon seperti
zaman sekarang, tapi Yuda Lelana masih
bisa bicara dengan Sang Hyang Guru
Dewa yang ada di kayangan. Rupanya
pemuda tanpa senjata itu mengajukan
protes kepada pihak para dewa.
"Mengapa aku diturunkan di dekat
danau ini? Mengapa pakaianku mirip
gelandangan? Apa di kayangan sudah
kehabisan busana model terbaru?"
"Kau harus menjalani bertapa yang
dinamakan Tapa Melarat!"
"Apakah tidak bisa diganti dengan
Tapa Kaya saja? Tapa kok melarat?!" ia
bersungut-sungut.
"Tapa Melarat gunanya untuk
membawa alam kehidupanmu sebagai Yuda
Lelana menuju ke suatu tempat. Di
tempat itulah kelak kau akan menemukan
kunci menuju jati dirimu kembali."
"Kalau aku merasa enak menjadi
manusia, aku tidak mau jadi dewa
lagi!" katanya dengan  jengkel sambil
berdiri, lalu bercermin di tepian
danau. Hatinya membatin, "Ganteng juga
sih. Tapi untuk apa jadi cowok ganteng
kalau melarat. Nggak bakalan disukai
sama cewek-cewek!"
Rupanya kata-kata hati itu pun
didengar pula oleh Sang Hyang Guru
Dewa.  Bukan karena Sang Hyang Guru
Dewa seorang paranormal yang bisa
mendengar suara batin dan membaca
pikiran manusia, tapi karena memang
dia guru dari segala kekuatan batin
para dewa, makanya gampang saja
mendengarkan suara batin Yuda Lelana.
Ia pun segera berkata kepada anak muda
yang tampak sudah matang itu.
"Kaya atau miskin bukan ukuran
mendekati seorang gadis. Yang penting
bagaimana sikapmu di depan mereka. Tak
perlu salting, tak perlu over akting,
kalem-kalem saja. Maka gadis-gadis itu
akan menaruh simpati padamu."
"Apakah aku juga mempunyai
kekuatan daya pikat untuk membuat para
gadis tergila-gila padaku, Guru?"
"Ya. Kau mempunyai ilmu pemikat.
Tapi karena kau sebenarnya dewa, maka
kau tidak boleh mengumbar ilmu pemikat
sembarangan. Nanti yang rugi kau
sendiri. Karena tugas utamamu di bumi
bukan untuk koleksi cewek, tapi untuk
berbuat kebajikan! Ingat, berbuat
kebajikan! Itu tugas utamamu."
"Iya, iya... gue inget!"
gerutunya sambil bersungut-sungut.
"Ingat pula, bahwa proses
penuaanmu akan lebih cepat daripada
manusia biasa," kata suara Sang Hyang
Guru Dewa.
"Lho, kok gitu? Bukannya aku
punya ilmu awet muda?"
"Memang. Tapi ilmu itu tidak
berfungsi bagi dirimu. Sebab jika
tanpa proses penuaan yang lebih cepat,
kau akan enak-enakan hidup di bumi
menikmati masa awet  mudamu. Dengan
mempercepat proses penuaan, maka kau
akan segera mencari tujuan utamamu,
yaitu kembali  menjadi dewa dengan
menebus kesalahanmu semasa di
kayangan, yaitu berbuat kebajikan
sebanyak mungkin dan mencari seorang
istri untuk menghasilkan keturunanmu.
Tapi ingat, jika kau mendapatkan se-
orang istri harus dinikahi secara
baik-baik. Tidak boleh kumpul kebo.
Itu namanya perbuatan asusila. Paham?"
"Paham deh, paham...!" jawabnya
dengan nada dongkol.
"Ya, sudah... percakapan kita
sampai di sini dulu. Selamat berjuang,
Yuda. Dan jangan mudah menyerah
menghadapi tantangan hidup sebagai
manusia. Tantangan itu tidak harus
dihindari tapi harus kau kalahkan.
Oke?"
"Oke sajalah!" jawabnya lagi
dengan wajah cemberut kesal.
Telinga pun segera mendenging.
Sepertinya ada sesuatu yang melesat
dari dalam telinga dan lenyap entah ke
mana. Yuda Lelana tidak pedulikan lagi
denging itu, sebab ia tahu denging
tersebut tanda terputusnya pulsa
hubungan bicara dengan pihak kayangan.
Tak berapa jauh dari  tepat Yuda
Lelana bercermin di permukaan air
danau, tepatnya di lereng bukit itu,
terdapat suatu peristiwa yang sudah
terjadi sebelum Yuda Lelana jatuh di
dekat danau tersebut. Di sana ada
pertarungan tanpa penonton.
Pertarungan itu terjadi di alam bebas,
tanpa ring atau arena berpanggung.
Dua tokoh berilmu pedang cukup
handal sedang saling bertaruh nyawa.
Mereka saling mengibaskan pedangnya,
berusaha membuntungi kepala lawannya.
Tapi yang terjadi adalah denting suara
pedang yang saling beradu dengan
cepat. Denting suara pedang itulah
yang membuat Yuda Lelana tertarik
untuk melihat apa yang terjadi di
lereng bukit tersebut.
"Jangan-jangan di bawah sana ada
tukang pandai besi  yang sedang bikin
senjata? Tengok dulu, ah! Siapa tahu
punya makanan buat pengganjal
perutku!"
Ternyata dua tokoh yang bertarung
itu adalah dua wanita berpakaian lebih
bersih dari pakaiannya Yuda Lelana.
Yang satu berpakaian pinjung sebatas
dada warna kuning, sama dengan
celananya yang sebatas betis. Pinjung
dan celana itu ketat dengan tubuhnya
yang sekal dan sexy. Karena ketatnya,
maka bentuk dadanya yang menonjol
sekal dan menggemaskan itu terlihat
jelas di mata Yuda Lelana. Tentu saja
mata itu enggan berkedip karena memang
suka dengan pemandangan yang bersifat
syur seperti itu. Sayang sekali wanita
muda yang ditaksir usianya sekitar dua
puluh  empat tahun itu mengenakan
pakaian jubah lengan panjang warna
abu-abu tipis, sehingga bentuk
keelokan tubuhnya tak bisa terlihat
bebas.
"Cantik juga dia. Tahi lalat di
dekat  bibirnya itu yang membuatnya
tampak cantik dan menawan hati. Gemas
sekali aku pada bibir itu!" gumam Yuda
Lelana yang suka berpikiran nakal itu.
Katanya lagi.
"Tapi yang satunya lagi juga oke
punya, Cing! Memang sedikit lebih tua
dari yang berjubah abu-abu itu, cuma
matanya tampak galak dan melambangkan
suka bercinta. Bibirnya tipis tapi
malah yang bentuknya kayak gitu yang
bikin betah jika dipagut. Wow...!
Keren!"
Mata Yuda Lelana masih pandangi
wanita yang kira-kira berusia sekitar
dua puluh delapan tahun itu. Sekalipun
usianya sudah sekitar segitu, tapi
bentuk tubuhnya masih menggiurkan.
Pantatnya menonjol sekal, keras,
dibungkus celana ketat warna merah
darah.  Bajunya tanpa lengan warna
merah juga. Tapi belahan bajunya cukup
lebar. Kalau saja bagian dadanya tidak
dilapisi kain hitam dari jenis sutera,
maka tonjolan di dadanya itu akan
terlihat. Sayang dadanya ditutup kain
hitam, yang membuat bagian atas
dadanya saja yang tampak tersumbul
putih mulus tanpa cacat. Bentuknya
lebih besar dari milik si gadis
berpakaian kuning dan jubah abu-abu
itu. Rambut wanita berpakaian merah
itu terurai lepas sebatas punggung,
kepalanya diikat dengan kain merah
juga. Rambut yang lepas terurai itu
menambah daya seksinya lebih tinggi
lagi.
Yuda Lelana hanyut dalam khayalan
ngeresnya untuk beberapa saat sampai
tubuhnya menjadi bergidik merinding,
lalu ia tarik napas dan membuang
khayalan.
Yuda Lelana sengaja tidak ikut
campur dalam pertarungan itu. Ia hanya
menjadi seorang penonton yang
bersembunyi dari balik semak. Hanya
kepalanya yang tampak nongol dari
sana. Jarak persembunyiannya dengan
pertarungan itu sekitar enam tombak.
Jadi ia dapat melihat jelas jurus-
jurus yang digunakan oleh kedua wanita
itu.
Pada satu kesempatan, si jubah
abu-abu itu berhasil melompat di atas
kepala lawannya, lalu pedangnya
berkelebat menebas punggung. Wuuut...!
Tapi pedang lawannya tiba-tiba
bergerak ke belakang sehingga
tertangkislah tebasan pedang itu. 
Traaang...!
Dengan cepat si baju merah
berbalik dan tangan kirinya menyentak
ke atas, wuuut...! 
Claaap...! Sinar kuning bundar
melesat menghantam tubuh si jubah abu-
abu yang masih melayang turun itu.
Melihat sinar kuning dilepaskan dari
tangan si baju merah, maka si jubah
abu-abu pun melepaskan sinar merah
panjang dari dua jari yang disodokkan
ke depan. Suuuuuut...! 
Wuuut...! Blaaar...!
Benturan dua sinar menghasilkan
ledakan. Ledakan menghasilkan
geiombang. Gelombang menghasilkan
sentakan. Sentakan membuat keduanya
terpental dan jatuh kehiLangan
keseimbangannya. 
Brruss...!
"Hiaaat...!" si baju merah cepat
sentakkan pinggul yang membuat
tubuhnya melenting naik ialu berdiri
dengan dua kaki sedikit merenggang dan
rendah.
Jleeg...!
Ternyata lawannya sudah lebih
dulu berhasil berdiri dengan kaki
berkuda-kuda kokoh. Pedangnya
melintang di atas kepala dengan tangan
kirinya terangkat di depan dada.
Matanya menembus pandangan mata si
baju merah, napasnya terengah-engah
tampak sedikit sesak. Bukan karena
punya sakit bengek, tapi karena
hentakan gelombang ledak tadi memukul
dadanya agak keras.
"Kau tak akan bisa mengalahkan
aku, Peluh Selayang!" kata si jubah
abu-abu kepada lawannya yang berbaju
merah yang ternyata bernama Peluh
Selayang. Ujarnya lagi, "Sebaiknya
menyerahlah sebelum keadaanmu menjadi
lebih buruk lagi. Karena jika kau
tetap ngotot, aku pun akan tetap
ngotot menangkapmu untuk diserahkan
kepada Guru!"
"Aku bukan orang bodoh, Kutilang
Manja!"
Hati Yuda Lelana membatin, "Oo...
yang berjubah abu-abu itu namanya
Kutilang  Manja. Hmm... cantik juga
nama itu. Serasi dengan wajahnya."
Lalu cowok tampan itu kembali
menyimak omongan si Peluh Selayang,
"Kalau aku mau menghadap Guru,
itu berarti aku mengaku sebagai pihak
yang bersalah. Sampai mati pun aku
tidak mau diserahkan kepada Guru,
karena aku bukan orang yang bersalah!"
"Jika kau tidak bersalah  mengapa
kau lari dari perguruan kita?"
"Aku punya alasan lain untuk lari
dari perguruan. Bukan karena aku
mencuri Kitab Pusaka Jayabadra, tapi
karena aku merasa kecewa dengan sikap
Guru yang menganakemaskan dirimu!"
"Kau hanya membuat-buat alasan
saja, Peluh Selayang!" tegas Kutilang
Manja. Suaranya kecil tapi merdu.
Menggelitik hati jika didengar oleh
kaum lelaki. Sedangkan suara Peluh
Selayang sedikit serak, mengusik
kejantanan  seorang lelaki yang
mendengarnya, seperti Yuda Lelana itu.
Suara  Kutilang  Manja terdengar
lagi, "Perlu kau ketahui, Peluh
Selayang... tugas yang diberikan Guru
padaku bukan saja menangkapmu. Jika
kau bandel, aku diperkenankan untuk
membunuhmu! Menurut Guru, daripada kau
berhasil mempelajari semua jurus dalam
Kitab Jayabadra, ada baiknya kalau kau
dibunuh saja. Karena jika ilmu dan
Kitab Jayabdra berhasil kau kuasai,
maka kau akan menjadi orang sesat yang
sukar ditandingi! Nama perguruan pun
akan jatuh, karena setiap orang tahu
bahwa kau adalah murid dari Perguruan
Sekar Bumi!"
"Aku tidak mencuri kitab itu!"
bentaknya. "Jangan mengkambinghitamkan
diriku, Kutilang Manja! Hilangnya
kitab itu tidak ada hubungannya dengan
kepergianku dari perguruan!"
"Buktinya beberapa waktu setelah
kau pergi, bumi menjadi berguncang,
bencana alam datang. Itu pertanda kau
telah mempelajari ilmu 'Lumbung
Petaka' yang merupakan salah satu ilmu
berbahaya di dalam Kitab Jayabadra!"
"Persetan dengan tuduhan itu! Aku
benar-benar tidak menguasai ilmu
tersebut. Jika beberapa waktu yang
lalu terjadi bencana alam, itu bukan
karena ulahku! Jangan kaitkan bencana
itu dengan kepergianku dari
perguruan!" sentak Peluh Selayang yang
tubuhnya sudah berkeringat sejak tadi
itu.
Kitab Jayabadra adalah kitab
pusaka milik guru mereka; Nyai Sirih
Dewi. Salah satu ilmu berbahaya yang
terdapat dalam Kitab Jayabadra adalah
jurus 'Lumbung Petaka', yang apabila
digunakan bisa menghadirkan bencana
pada alam sekelilingnya. Mereka tidak
tahu bahwa bencana yang terjadi belum
lama ini adalah akibat murka Begawan
Dewa Gesang, ayah Batara Kama yang
kini menjadi Yuda Lelana itu. Murka
yang menggegerkan kayangan, juga
menggegerkan kehidupan di bumi, telah
disalah artikan oleh Nyai Sirih Dewi.
Karenanya ia mengutus murid tercin-
tanya; Kutilang Manja untuk menangkap
Peluh Selayang, sebab kepergian Peluh
Selayang bersamaan dengan hilangnya
Kitab Jayabadra.
"Sekali  lagi  kuperingatkan
padamu, Peluh Selayang. Menyerahlah
dan jangan melawan supaya aku tidak
bikin nyawamu melayang-layang!"
"Kau pikir mentang-mentang kau
menjadi anak emas Guru, maka kau bisa
kalahkan ilmuku? Hmmm...! Sori aja,
ya?! Bagaimanapun juga kedudukanmu
masih di bawahku, Kutilang Manja. Aku
adalah atasanmu! Ilmumu belum sepadan
dengan ilmuku! Sebaliknya, akulah yang
harus memperingatkan dirimu agar
jangan coba-coba melawanku. Apalagi
aku merasa tidak bersalah, mati bareng
pun kujalani!"
"Kalau begitu, terimalah jurus
'Pedang Mata Malaikat'  ini!
Hiaaah...!" 
Suuut...! Claaap...!
Pedang ditusukkan ke depan. Dari
ujung pedang  bergagang gading itu
keluar sinar merah berasap. Melesat
cepat bagaikan tali panjang yang
terulur cepat. Melihat jurus 'Pedang
Mata Malaikat' digunakan oleh Kutilang
Manja, Peluh Selayang sempat
terperanjat heran. Sebab jurus 'Pedang
Mata Malaikat' itu hanya akan
diberikan oleh sang Guru jika seorang
murid sudah hampir mencapai tingkat
akhir dalam menuntut ilmu di Perguruan
Sekar Bumi itu. Peluh Selayang sendiri
merasa belum mendapatkan ilmu terse-
but. Hal ini memperjelas pandangan
Peluh Selayang, bahwa gurunya benar-
benar menganakemaskan Kutilang Manja.
Dengan penuh kegeraman, Peluh
Selayang segera lepaskan jurus
penanding sinar merah berasap itu. Ia
mempergunakan jurus 'Pedang Mata
Maling' dengan cara memegang pedang
dua tangan, satu di gagang satu lagi
di pucuknya. Pedang itu ditegakkan di
depan dada dan memancarkan sinar putih
kemilau ke semua arah.
Slaaap...!
Sinar merah lurus berasap  itu
menghantam pedangnya Peluh Selayang. 
Jraasss...! Blegaaar...!
Dentuman dahsyat terjadi lagi.
Sinar putih menyilaukan dari jurus
'Pedang Mata Maling' itu memecah lebar
berubah warna menjadi merah jambu.
Sekejap setelah  bunyi ledakan
menggelegar itu, sinar-sinar pada
pedang mereka lenyap seketika. Tapi
tubuh mereka saling terpental mundur.
Tubuh  Kutilang  Manja bagai ada
yang mendorong hingga ia terpelanting
mundur sampai membentur sebuah pohon.
Tapi keadaannya masih tetap berdiri
dengan menahan napas beberapa saat.
Sedangkan tubuh Peluh Selayang
terlempar melayang bagaikan sampah
daun pisang yang terbuang begitu saja. 
Brruk! Tubuh itu jatuh terbanting
dengan pedang lepas dari tangannya.
"Uuhg...!" terdengar suara lirih
Peluh Selayang mengerang kesakitan
sambil menggeliat dalam keadaan
setengah merangkak. Ia berusaha untuk
berdiri, tapi tiba-tiba kepalanya
tersentak maju dan mulutnya memun-
tahkan darah segar. "Hoeek...!"
Melihat keadaan Peluh Selayang
menjadi parah, Kutilang  Manja segera
menyerangnya lagi untuk mem-ereskan
lawannya. Pedangnya dikelebatkan ke
sana-sini dengan cepat. Kemudian dari
ujung pedang yang disentakkan ke depan
dengan dua tangan itu, keluar sinar
merah berasap seperti tadi. 
Claaap...!
Tubuh wanita  berpakaian serba
merah itu akan hancur dihantam sinar
maut dari ujung pedang Kutilang Manja.
Namun mendadak dari arah semak-semak
melesat sinar biru bagaikan piringan
bergerigi.  Berputar-putar dengan
gerakan melesat amat cepat dan
menghantam ujung sinar merah berasap
sebelum ujung sinar itu menghantam
tubuh Peluh Selayang. 
Blegaaarrr...!
Ledakan yang timbul lebih dahsyat
lagi dari ledakan sebelumnya. Hutan di
situ menjadi bergetar. Dua pohon
tumbang sebelah timur. Dahan-dahan
banyak yang retak maupun pecah karena
terkena getaran gelombang ledak yang
berdaya sentak sangat tinggi itu. Tu-
buh Peluh Selayang sendiri terpental
lagi, mirip boneka  dari kain berisi
kapas yang dilemparkan seenaknya,
sedangkan tubuh Kutilang  Manja juga
terbang melayang tak tentu gerak, lalu
jatuh terbanting membentur gugusan
tanah yang jaraknya delapan langkah
dari tempatnya berdiri.
Yuda Lelana segera melompat dan
bergerak cepat melebihi gerakan rusa. 
Wuuut...! Tahu-tahu ia berada di
samping Peluh Selayang. Keadaan Peluh
Selayang semakin parah. Matanya
terbeliak-beliak hampir mau terbalik.
Lukanya sangat berbahaya. Dalam
keadaan terkapar ia berusaha menghirup
napas dari mulutnya. Mulut itu
tercengap-cengap mirip mulut ikan
mujair mencari gelembung hawa.
"Kasihan perempuan ini," Yuda
Lelana membatin, "Napasnya tinggal
sedikit. Nyawanya sudah ada di ubun-
ubun. Padahal dia belum tentu
bersalah. Hmm...! Dia harus segera
kutolong sebelum menjadi korban salah
paham. Aku yakin dia tidak bersalah.
Jika ia memang punya jurus 'Lumbung
Petaka' pasti sudah digunakan untuk
melawan Kutilang Manja!"
Kemudian dengan mengeraskan dua
jari  tangan kanannya, Yuda Lelana
menunjuk ke arah dada Peluh Selayang.
Ujung jari itu keluarkan sinar putih
bening bagaikan kaca. 
Sllaaap...! Juurrssss...! Sinar
itu menghantam ulu hati, menembus
beberapa kejap, lalu padam seketika.
Zluub...! Itulah jurus para dewa yang
sering digunakan untuk pengobatan,
namanya jurus 'Hawa Bening', yang
mampu sembuhkan luka dalam waktu amat
singkat.
Di seberang sana, Kutilang  Manja
terpukau melihat kehadiran pemuda
berpakaian kumal itu. Lebih terpukul
lagi setelah melihat Peluh Selayang
mulai bisa bernapas longgar setelah
mendapati tikaman sinar sebening kaca
itu. Namun keadaannya yang juga
merasakan panas di dada itu membuatnya
lemah dan jatuh terduduk kembali. Yuda
Lelana segera menghampirinya untuk
memberikan pertolongan, karena ia
dapat melihat kelemahan fisik Kutilang
Manja yang cukup membahayakan
keselamatannya.
"Mau apa kau kemari?!" Kutilang
Manja sempat memaksakan diri membentak
kehadiran Yuda Lelana.
"Kau terluka, Nona Cantik. Kau
bisa mati kalau tak segera tertolong.
Jantungmu mengalami pembengkakan.
Pembuluh darahmu bisa pecah. Paru-
parumu bisa hangus dan kering. Ususmu
bisa kusut dan...."
"Cukup! Lakukan saja apa yang kau
lakukan. Aku... aku makin tak kuat.
Uuhg...!" Kutilang Manja tersentak dan
dari mulutnya keluar darah kental
berwarna hitam kemerah-merahan.


TIGA

PERGURUAN Sekar Bumi menjadi
tempat Yuda Lelana singgah pertama
kali terbuang di bumi. Kehadirannya
yang membawa perdamaian antara  Peluh
Selayang dan Kutilang  Manja diterima
dengan baik oleh Nyai Sirih Dewi.
Memang pada mulanya Nyai Sirih Dewi
sempat curiga, menyangka Yuda Lelana
memihak Peluh Selayang.
"Seharusnya kau tidak ikut campur
dalam urusan ini, Anak Muda," ujar
sang Guru yang usianya sudah mencapai
delapan  puluh  tahun, tapi masih
kelihatan tegar. Kulitnya berkeriput,
namun tulangnya masih lurus. Tak ada
bungkuk sedikit pun. Matanya masih
memandang dengan tajam, setajam pisau
cukur. Wibawa dan kharismanya masih
tinggi.
Dengan pakaian hijau tuanya Nyai
Sirih Dewi menampakkan sikap kurang
ramah kepada Yuda Lelana. Bahkan
dengan nada ketus ia berkata,
"Apa perlumu membela Peluh
Selayang, sehingga kau yakin betul
bahwa  Peluh  Selayang tidak mencuri
kitab pusaka kami?"
"Kalau dia mempunyai kitab itu
dan sudah pelajari jurus 'Lumbung
Petaka', tentunya perguruanmu sudah
digulung habis, Nyai!" jawab Yuda
Lelana dengan santainya, cuek-cuek
menjengkelkan. Tapi lagaknya itu
diperhitungkan oleh sang Guru.
Biasanya orang yang sok berlagak cuek
ilmunya tinggi.
"Alasanmu memang masuk akal, Anak
Muda. Tapi aku yakin pembelaanmu
terhadap Peluh Selayang karena kau
naksir dia. Iya, kan?"
Yuda Lelana tersenyum tipis.
"Yang jelas tak mungkin aku naksir
kamu, Nyai. Aku masih muda, tentu saja
naksir cewek yang masih muda juga
dong!"
"Hmm...!" Nyai Sirih Dewi
mencibir. "Sekarang saja kau bisa
bilang begitu. Coba dulu, ketika aku
masih semuda Peluh Selayang...."
"Apakah kau juga secantik dia?"
potong Yuda Lelana.
"Kau bakalan celeng kalau lihat
aku masih seusia Peluh Selayang!"
Tawa kecil Yuda Lelana terdengar
mirip orang menggumam terpatah-patah.
"Aku percaya... aku percaya...,"
sambil manggut-manggut. "Sekarang pun
sebenarnya kau masih kelihatan cantik,
Nyai."
"Hmm...!" Nyai Sirih Dewi semakin
mencibir, padahal hatinya sempat
bergemuruh mendapat pujian seperti
itu. Tapi ia berlagak sok jual mahal
dan berkata ketus, "Kau tak usah
memujiku, walau ucapanmu itu memang
benar. Sekarang yang penting aku tidak
suka dengan sikapmu yang memaksaku
menerima Peluh Selayang kembali ke
perguruanku. Dia kuanggap telah
mencuri sesuatu yang amat berharga
dariku! Kalau kau tak rela aku
menuduhnya begitu, kau boleh melakukan
pembelaan dengan cara apa pun!"
"Aku hanya meluruskan
kesalahpahaman saja, supaya tidak
terjadi korban yang sia-sia!"
"Lagakmu seperti orang pintar
saja! Siapa namamu?!"
"Yuda Lelana, Nyai!" jawabnya
polos saja. "Dapatkah kau membuktikan
bahwa Peluh Selayang tidak mencuri
kitab itu?"
"Aku tahu apa yang tidak kau
ketahui, Nyai!"
"Hmm...! Perlu kujajal juga anak
ini. Setinggi apa sih ilmunya, sok
berlagak jadi pembela kebenaran di
depanku!" kata Nyai Sirih Dewi dalam
hatinya. Kemudian ia berkata,
"Kalau memang kau tahu apa yang
tidak kau tahu, coba sekarang jawablah
apa yang ada di dalam tusuk kondeku
ini!"
Nyai Sirih Dewi mencabut tusuk
kondenya. Rambutnya yang putih tetap
tergulung di tengah walau tusuk
kondenya dicabut. Tusuk konde itu
sepertinya terbuat dari logam besi
berbentuk runcing, panjangnya satu
jengkal. Pada ujung tusuk konde itu
terdapat bulatan sebesar kelereng,
mirip bola kecil. Tusuk konde itu
rupanya termasuk senjata milik Nyai
Sirih Dewi juga. Keruncingan tusuk
konde itu dapat untuk melukai lawan.
Konon lawan yang terkena tusuk konde
itu walau hanya tergores dapat
menderita lumpuh seketika. Nyai Sirih
Dewi jarang mempergunakannya kecuali
dalam keadaan terdesak.
"Apa maksudmu menyuruhku menebak
isi tusuk konde ini, Nyai? Mengapa
bukan isi dompetmu saja yang harus
kutebak?"
"Aku tak punya dompet!" katanya
ketus dan cemberut. "Aku ingin
menjajal ilmumu. Aku tidak tahu apa
isi tusuk kondeku ini. Yang jelas itu
senjataku. Nah, sekarang coba jawab
apa yang ada di dalam bulatan kecil
itu!"
Tusuk konde warna putih mengkilap
bagaikan anti karat mempunyai bobot
yang cukup berat. Tusuk konde itu
dipandangi oleh Yuda Lelana dengan
cengar-cengir.  Ia merasa seperti
sedang dikerjain oleh tokoh tua itu.
Para murid Perguruan Sekar Bumi
mengelilinginya, memperhatikan
percakapan antara guru mereka dengan
sang tamu. Di antara para murid itu
duduk paling depan Peluh Selayang dan
Kutilang  Manja. Mereka duduk berdua
bersebelahan dalam jarak satu
jangkauan. Mata mereka juga tertuju
kepada Yuda Lelana yang masih
memperhatikan tusuk konde itu, seperti
sedang menyelidiki sesuatu dengan
santai tapi pasti.
"Tusuk konde ini berisi 'Racun
Kadal Buncit'. Letak racunnya ada di
bulatan seperti bola ini!"
Nyai Sirih Dewi menyunggingkan
senyum sinis. "Kau hanya mengarang-
ngarang jawaban saja, Yuda Lelana!"
"Aku katakan apa yang sebenarnya
kuketahui, Nyai. Kau kan nggak tahu
kalau tusuk konde ini berisi 'Racun
Kadal Buncit'? Bagaimana kau bisa
menyangkal jawabanku!"
"Aku tidak percaya. Memang aku
tidak tahu isi tusuk konde itu. Tapi
aku tidak percaya dengan kata-katamu.
Sekarang kalau kau benar-benar tahu,
lantas apa akibatnya jika tusuk konde
itu melukai seorang lawan?"
"Lawan itu akan jatuh dan lumpuh
seketika!"
Kini semua wajah terangkat
memandang Yuda Lelana dengan mata
sedikit terbuka menandakan rasa kaget
mereka. Nyai Sirih Dewi sendiri
menatap dengan dahi berkerut. Yuda
Lelana masih cengar-cengir saja, kayak
bocah desa yang punya sifat malu-malu
meong.
"Dari mana kuperoleh tusuk konde
ini kalau kau memang tahu?"
"Dari nenekmu," jawab Yuda Lelana
seenaknya, para murid cekikikan.
"Siapa nama nenekku yang
memberikan tusuk konde itu?"
"Nini Sulang Rupi!" jawab Yuda
Lelana cepat.
Nyai Sirih Dewi terkejut dalam
hati. "Bagaimana dia bisa menjawab
pertanyaanku dengan benar? Dia juga
kenal nama nenekku. Padahal tokoh tua
yang sekarang masih hidup seangkatanku
saja jarang yang tahu nama nenekku?"
Nyai Sirih Dewi membatin dalam
keheranan.
"Apakah jawabanku salah?" tanya
Yuda Lelana.
"Memang tidak ada yang salah,"
jawab Nyai Sirih Dewi sambil tarik
napas dan melangkah tiga tindak
meninggalkan tempatnya. Lalu badannya
berbalik arah lagi menghadap Yuda
Lelana yang masih berdiri sambil
memainkan tusuk konde itu.
"Kau hanya bisa menjawab secara
kebetulan saja. Aku masih kurang yakin
dengan pengetahuanmu!" katanya bernada
penasaran.
Orang-orang di pendapa menjadi
bertambah tegang, tapi hati mereka
merasakan sebentuk kesenangan yang
seru. Kali ini mereka meiihat gurunya
teruji kecerdasan dengan sang tamu.
Bahkan mereka sempat berharap tegang
setelah mengetahui Nyai Sirih Dewi
mengambil alih tusuk konde itu dari
tangan Yuda Lelana dengan hanya
menyentakkan tangan kirinya ke depan
dan menariknya sedikit. Wuuut...!
Tusuk konde tahu-tahu melayang dan
tertangkap di tangan Nyai Sirih Dewi.
"Gila! Dia mau pamer ilmu
rupanya?" pikir Yuda Lelana masih
kalem-kalem saja. Senyumnya membias
tipis di bibir dengan pandangan mata
bersikap tenang. Tiba-tiba ia
terperanjat melihat tusuk konde itu
dilemparkan dengan gerakan cepat dan
menancap pada salah satu tiang pendapa
dari kayu jati. Jeeeb...! Tusuk konde
itu masuk ke dalam kayu, tinggal sisa
bulatannya yang mirip kelereng itu
yang terlihat dari tempat mereka.
Tentu saja lemparan tersebut disertai
lepaskan tenaga dalam cukup tinggi,
sehingga kayu sekeras itu bisa menjadi
empuk seperti batang pisang.
"Kutilang Manja, coba cabut benda
itu!" perintahnya kepada sang murid
kesayangan.  Kutilang  Manja tak
menolak, langsung bangkit dan mencabut
benda itu. Tapi dengan tenaga dalam
sudah dikerahkan semua, benda itu tak
bisa dicabut. Bahkan Kutilang  Manja
akhirnya terpental sendiri jatuh di
kaki gurunya.
"Maaf, Guru... saya tidak
sanggup!"
"Memang tidak ada yang sanggup
mengambilnya," kata Nyai Sirih Dewi
sambii sunggingkan senyum sinis. Lalu
ia berkata kepada Yuda Lelana,
"Anak muda, aku akan mempercayai
kata-katamu tentang Peluh Selayang
yang menurutmu tidak mencuri kitab
itu, jika kau berhasil mencabut tusuk
konde tersebut dari tiang itu!"
Yuda Lelana diam, tersenyum dan
memandang ke sana-sini. Cengar-
cengirnya sempat membuat beberapa
murid di situ menjadi lebih tegang.
Peluh Selayang membatin kata,
"Jika  Kutilang  Manja sendiri tak
mampu mencabut tusuk konde itu,
apalagi pemuda itu? Pasti tidak akan
bisa, sebab tusuk konde itu
ditancapkan bukan saja dengan tenaga
dalam melainkan dengan bacaan mantera
yang hanya diketahui oleh Guru
sendiri."
Yuda Lelana tetap kalem. Cengar-
cengirnya seperti orang salah tingkah
dan malu akibat tantangannya kali ini
agak berat. Nyai Sirih Dewi tersenyum
kian sinis dan berkata,
"Ayo, lakukan! Katanya kau serba
tahu, tentunya kau juga tahu bagaimana
cara mencabut tusuk konde itu dong!
Lakukanlah!"
"Aku malas ke sana, Nyai!" 
"Ah, alasan saja kau!"
"Sungguh. Aku malas ke sana.
Sebaiknya kucabut dari sini saja, ya?"
Setelah ngomong begitu, Yuda
Lelana hentakkan kakinya ke lantai.
Duug!  Dan tiba-tiba tusuk konde itu
copot sendiri dari tiang tersebut.
Melesat mundur dan tertangkap oleh
Yuda Lelana. Taaab...!
"Oooh...?!" para murid menggumam
kagum dan terbengong-bengong.
Nyai Sirih Dewi pun tertegun tak
berkata apa-apa. Ketika Yuda Lelana
serahkan tusuk konde itu, Nyai Sirih
Dewi bagaikan tak punya lidah lagi. ia
menerima dengan mulut sedikit
menganga, mirip lubang belut.
Hatinya membatin, "Manusia apa
dia sebenarnya? Orang-orang  tak ada
yang mampu mencabut tusuk kondeku jika
sudah kubacain mantera, tapi anak muda
ini dengan mudahnya mencabut benda
ini? Sekali hentakkan kaki, tusuk
konde melayang sendiri. Wah, jangan-
jangan aku berhadapan dengan anak
iblis!" Nyai Sirih Dewi jadi ngeper
juga melihat kesaktian Yuda Lelana.
Tentu saja ia jadi ngeper karena ia
tak tahu kalau Yuda Lelana sebenarnya
adalah dewa yang punya kesaktian
tinggi.
"Siapa sebenarnya dirimu, Anak
Muda?"
"Budek juga lu ya?" kata Yuda
Lelana seenaknya. "Tadi aku kan sudah
bilang kalau namaku Yuda Lelana? Masa'
masih ditanyain lagi sih?"
"Maksudku, dari perguruan mana
kau berasal, Yuda Lelana?"
"Dari perguruan tinggi," jawabnya
seenaknya juga. "Pokoknya kamu nggak
perlu tahu dari perguruan mana  aku,
sebab aku tidak pernah masuk perguruan
tinggi mana pun. Aku hanya seorang
pengelana yang ingin menegakkan
kebenaran dan menolong kesulitan siapa
pun. Asyik nggak?" Yuda Lelana
tersenyum sambil angkat-angkat
alisnya. Beberapa murid tersenyum,
demikian juga Nyai Sirih Dewi.
Sejak itulah sikap Nyai Sirih
Dewi menjadi baik dan ramah kepada
Yuda Lelana. Pendapat Yuda Lelana
dihargai, si baju merah abu-abu bebas
dari tuduhan. Tetapi Nyai Sirih Dewi
mempunyai satu pertanyaan lagi untuk
Yuda Lelana.
"Jika begitu, tentunya kau pun
tahu siapa yang mencuri Kitab
Jayabadra itu, Yuda Lelana? Tolong
katakan yang sebenarnya!"
Baru saja selesai bicara dalam
bentuk pertanyaan  seperti itu, tiba-
tiba seorang murid yang bertugas di
pintu gerbang datang dengan tergopoh-
gopoh. Kedatangan murid itu membuat
mulut Yuda Lelana yang sudah menganga
untuk berikan jawaban menjadi batal.
Perhatiannya tertuju pada orang
tersebut, yang lainnya pun memusatkan
perhatian kepada orang yang baru
datang itu.
"Ada apa, Sugana?!" tanya Nyai
Sirih Dewi.
"Utusan dari Geladak Hitam datang
dan memaksa masuk, Guru!"
"Hahh...?!" para murid nampak
tegang, lalu tanpa diperintah mereka
menyebar. Baik yang lelaki maupun yang
perempuan, segera mempersiapkan
senjata masing-masing. Di pendopo
tinggal lima orang, Sugana, Nyai Sirih
Dewi, Peluh Selayang, Kutilang Manja,
dan Yuda Lelana.
Setelah mereka saling pandang,
Yuda Lelana ajukan tanya, "Siapa yang
datang sebenarnya?"
"Kau pasti lebih tahu dariku,"
kata Nyai Sirih Dewi agak menyindir.
"Tidak semua kegiatan kupantau,
sehingga tidak semuanya kuketahui."
Sebelum pertanyaan itu terjawab,
dua orang bertubuh besar nyelonong
masuk dengan cara mendobrak pintu
gerbang.  Beberapa murid Perguruan
Sekar Bumi terlempar karena diterjang
dua orang bertubuh besar itu. Mereka
bergerak dengan cepat nyaris tak bisa
dilihat kelebatannya. Dalam waktu
sekejap mereka sudah berada di depan
Nyai Sirih Dewi dan Yuda Lelana. Tapi
di depan Nyai Sirih Dewi berdiri tegar
Peluh Selayang dan Kutilang Manja.
Dua orang bertubuh besar itu
sama-sama mempunyai wajah angker. Dari
sorot matanya mereka tampak ganas dan
liar. Kumis mereka sama lebatnya, ha-
nya beda bentuknya saja. Pokoknya
wajah mereka menyeramkan. Matanya saja
besar-besar, mirip sepasang jengkol di
wajah. Kulit mereka tergolong hitam
walau bukan keling. Tampaknya tebal,
seperti dari terpal.
Yang berambut botak tengahnya
memakai rompi panjang warna biru, sama
dengan celananya. Yang berambut
gondrong metal berpakaian serba hitam,
lengan panjang tapi tidak
dikancingkan. Perutnya tampak sedikit
membuncit. Tangan mereka besar-besar,
jarinya saja ibarat berukuran sebesar
pisang Ambon. Pasti tabokannya membuat
orang melintir tujuh keliling.
Nyai Sirih Dewi berbisik kepada
Yuda Lelana, "Yang berpakaian biru itu
bernama: Adu Polo, yang berpakaian
hitam namanya: Kebo Tumang."
"Serem-serem namanya, ya?"
komentar Yuda Lelana dengan tetap
kalem.
"Mereka utusan dari Geladak
Hitam. Sudah dua kali datang kemari.
Ini yang ketiga kalinya." 
"Apa perlunya?"
"Memintaku untuk meninggalkan
bukit ini. Orang-orang Geladak Hitam
bernafsu sekali  untuk mendiami bukit
ini!"
"Hmmm...!" Yuda Lelana manggut-
manggut. Sementara itu, Kutilang Manja
sedang adu debat dengan Kebo Tumang
dibantu oleh Peluh Selayang, sedangkan
para murid lainnya mengelilingi tempat
itu dari kejauhan. Mereka sudah berada
di pelataran.
Yuda Lelana berbisik lagi,
"Mengapa mereka ingin menguasai bukit
ini?"
"Aku tak tahu jawaban yang pasti.
Cobalah kau gunakan teropong batinmu
untuk menjawab pertanyaan itu!"
Tiba-tiba mereka terpaksa lompat
ke belakang karena Kebo Tumang melepas
pukulan tenaga dalamnya ke arah
Kutilang  Manja. Wuuut...! Kutilang
Manja menepiskan gelombang pukulan itu
dengan sentakan tangan kanan ke arah
kiri. Namun kuatnya pukulan itu masih
tersisa, dan sisa gelombang sempat
membuat tubuh Kutilang Manja oleng ke
kanan. Sisa pukulan itu juga hampir
saja mengenai Nyai Sirih Dewi. Sang
Nyai segera tepiskan dengan gerakkan
tangan kanan bagai menyangga sesuatu
dan membuangnya ke atas. Wuuus...!
"Kebo Tumang...!" sentak Nyai
Sirih Dewi. "Kali ini kau sudah
menggunakan kekerasan untuk tugasmu!
Apa maumu sebenarnya?"
"Tugasku sekarang adalah
mengusirmu dengan kekerasan, Nyai!"
jawab Kebo Tumang. "Dua kali  kami
datang dengan baik, tapi kau tidak mau
pergi dari Bukit Bara."
"Karena bukit ini bukan kekuasaan
kalian!" sentak Nyai Sirih Dewi. "Aku
menempati bukit ini sebelum kalian
datang dari Pulau Iblis!"
"Tak tahukah bahwa wilayah timur
ini kekuasaan Ratu Geladak Hitam?!"
sentak Adu Polo dengan ngotot,
buktinya urat lehernya sampai menegang
nyaris lompat dari kulitnya.
"Ratu kalian berkuasa baru-baru
ini saja! Aku tak pernah mengusiknya.
Aku juga tak pernah bikin perkara
dengan ratu kalian; si Dardanila!"
"Jadi jelas sudah bahwa kau ingin
dihancurkan seperti tiga perguruan di
wilayah timur itu!" kata Adu Polo.
"Jika begitu maumu, bersiaplah meng-
hadapi kami berdua, Nyai Sirih Dewi!"
Adu Polo  dan Kebo Tumang segera
membuka jurus awal. Peluh Selayang dan
Kutilang Manja juga membuka jurus awal
dengan mulai memasang kuda-kuda siap
serang. Tetapi dari belakang mereka
tiba-tiba terdengar suara Yuda Lelana,
"Mundurlah kalian. Aku mau bicara
sebentar dengan mereka."
Peluh Selayang dan Kutilang Manja
melirik gurunya, sang Guru memberi
isyarat dengan gerakkan mata agar
mereka mundur. Maka Yuda Lelana segera
maju menggantikan tempat berdiri Peluh
Selayang. Mata kedua orang bertampang
angker seperti kuburan para dukun
santet itu segera menatap dengan
beringas. Yang ditatap hanya cengar-
cengir kalem.
"Siapa kau, Anak Muda? Setahuku
kau bukan murid di sini, karena aku
tak pernah melihat tampangmu!" ujar
Adu Polo.
"Aku Yuda Lelana. Memang bukan
murid Mak Tua itu, tapi  yaaah...
sekadar tamu biasalah," jawab Yuda
Lelana enak saja.
"Apa maumu menggantikan kedua
wanita cantik itu, hah?" gertak Adu
Polo.
"Eit, jangan galak-galak,
Kang...!" Yuda Lelana nyengir. "Tanya
ya tanya tapi nggak perlu pakai
bentak-bentak segala."
Adu Polo mendengus kesal dengan
lagak Yuda Lelana.  Ia berkata kepada
Kebo Tumang, "Anak ini lama-lama bikin
niat membunuhku menjadi besar!" 
"Habisi saja dia!" kata Kebo
Tumang. 
"Sabar, sabar...," Yuda Lelana
menyela kata. "Soai menghabisi aku sih
mudah-mudah saja. Tapi urusannya harus
diselesaikan dulu. Coba kasih tahu
sama kau punya ratu, ya? Jangan
berlagak ingin menjadi penguasa di
wilayah timur. Berkuasa saja di tempat
kalian sekeliling. Tak perlu harus
menaklukkan tiap perguruan yang ada di
sini!"
"Bocah kemarin sore berani bicara
seenak perutnya?! Kuremukkan mulutmu
yang congkak itu!"
Adu Polo segera melompat bagai
kutu loncat, tangannya mengepal
menghantam ke arah mulut Yuda Lelana.
Wuuut...! Tapi anak muda itu menahan
pukulan tersebut dengan menangkap
kepalan menggunakan tangan kirinya.
Traab...! Kepalan itu meremas hingga
terdengar bunyi gemeretaknya tulang-
tulang jari yang patah serempak.
Kraak...!
"Aaauh...!" Adu Polo menjerit.
Wajahnya menyeringai sakit.
Kebo Tumang segera bergerak
menerjang. Tapi kaki Yuda Lelana
menendang dengan tendangan samping.
Wuuut...! Dees...! Tendangan yang tak
bisa dilihat karena kecepatan geraknya
itu mendarat telak di wajah Kebo
Tumang. Kontan orang berambut gondrong
metal itu terlempar ke belakang dan
terjungkal sambil memekik kesakitan.
Sedangkan tangan kiri Adu Polo segera
meremas lengan Yuda Lelana, lalu
kepalanya maju disodokkan ke arah dada
Yuda Lelana. Wuuuk...!
Serudukan kepala Adu Polo yang
memang sekeras besi itu segera
ditangkap dengan dua tangan, lalu
lutut Yuda Lelana menyentak ke atas,
menyodok wajah lawan dengan kerasnya.
Gerakan lutut itu pun begitu cepatnya
hingga tak terlihat dengan jelas oleh
Nyai Sirih Dewi maupun kedua murid
wanitanya itu.
Prook...!
"Auuuffh...!" pekik Adu Polo yang
segera terpental  ke belakang dengan
wajah tersentak kuat-kuat. Pandan-
gannya jadi gelap, tak bisa melihat
mana batu dan mana rumput. Akhirnya,
pletook...! Kepala itu pun membentur
batu sebesar genggamannya, dan ia
makin memekik kesakitan.
"Gerakan jurus-jurusnya begitu
cepat, aku sampai tak bisa mengi-
kutinya?!" plkir Nyai Sirih Dewi.
Ketika Kebo Tumang menyerang Yuda
Lelana dari belakang dengan senjata
kapak dua mata, Nyai Sirih Dewi hampir
saja lepaskan pukulan jarak jauhnya
untuk menggagalkan serangan membokong
itu. Tetapi niat tersebut dibatalkan,
karena tiba-tiba kapak itu telah
mental, lepas dari tangan Kebo Tumang
sebelum mendekati punggung Yuda
Lelana.
"Lho, kenapa kapak itu mental
sendiri?" gumam Kutilang  Manja.  Ia
terheran-heran, sama dengan yang
lainnya. Dan tentu saja mereka heran
secara kompak, karena mereka tidak
melihat gerakan kaki Yuda Lelana yang
berputar arah dengan sangat cepat,
serta berhasil menendang pergelangan
tangan Kebo Tumang. Tendangan yang
disertai pelepasan tenaga dalam tinggi
itu sempat membuat tulang pergelangan
tangan itu menjadi retak. Padahal
besar pergelangan tangan itu hampir
sama dengan tulang sikunya Yuda Lelana
sendiri.
"Bangsat kau, hiaaat...!" Kebo
Tumang masih penasaran. Ia menyerang
dengan satu lompatan membabi buta atau
babi buta beneran, yang jelas cepat
dan ngawur. Yuda Lelana pun melompat
pula. Wuuurrs...! Ia bagaikan bayangan
yang melintas begitu saja,
bersimpangan dengan Kebo Tumang di
udara.
"Aaaauh...!" terdengar Kebo
Tumang menjerit keras, tapi tak
diketahui apa sebabnya menjerit.
Apakah karena ia merasa punya mulut
besar, atau karena kakinya tertusuk
duri. Tak jelas bagi mereka.
Namun setelah Kebo Tumang berdiri
setengah membungkuk sambil memegangi
telinga kirinya, dan Yuda Lelana
melemparkan sesuatu yang digenggamnya,
yaitu daun telinga berdarah, maka
tahulah mereka bahwa Kebo Tumang telah
kecolongan daun telinga kirinya.
Mereka makin terheran-heran dan
berpikiran, "Bagaimana caranya Yuda
bisa memotong telinga lawan, sedangkan
dia tidak bersenjata apa pun?"