SATU
KALI ini kayangan dibuat heboh
oleh kasus skandal yang
memalukan para
dewa. Batara Kama yang berjuluk
Dewa
Penyebar Rindu, kepergok sedang
mojok
dengan bidadari Subang Wulan.
Padahal
bidadari Subang Wulan adalah
bidadari
kesucian, yang tidak boleh
ternoda
sedikit pun. Bahkan ditaksir
dalam
hati pun tidak boleh. Subang
Wulan
adalah lambang kebersihan dan
kehormatan para bidadari.
Karena terperangkap jurus 'Angin
Rindu' dari Batara Kama, maka
bidadari
Subang Wulan mabuk kepayang. Ia
membalas kerlingan mata Batara
Kama,
bahkan membalas cubitan lembut
dari
sang Dewa Penyebar Rindu itu.
Akhirnya
mereka berdua lari ke arah pojok
taman
dan berhaha-hihi di sana.
Kebetulan
waktu itu Dewa Pengawas sedang
lakukan
patroli keliling, sehingga
Batara Kama
dan Subang Wulan tertangkap
basah
sedang saling mengadu mulut dan
bersilat lidah. Mereka segera
ditangkap dan diadili.
Dalam pengadilan para dewa dan
bidadari, Batara Kama sempat
menga-
jukan pembelaannya di depan
siding.
"Menurut Kitab
Undang-undang
Hukum Kayangan, yang disebut
pelang-
garan cinta adalah apabila
pasangan
itu sudah melakukan hubungan
intim
tanpa selembar benang pun di
tubuhnya.
Sedangkan apa yang kulakukan
dengan
Subang Wulan masih dalam
batas-batas
berpakaian rapi, Tuan
Hakim!"
Subang Wulan juga mengeluarkan
pembelaannya, "Betul,
Paduka Hakim.
Saya belum diapa-apain kok. Cuma
dicium saja. Sedangkan
'jimat' saya
masih awet, tidak robek, tidak
ternoda, tidak dijamah, sedikit
pun
tidak. Kalau tak percaya boleh
diperiksa."
Hakim para dewa berkata,
"Pemeriksaan tidak
mungkin dilakukan
karena hari ini laboratorium
tutup.
Yang jelas tindakan kalian telah
melanggar kode etik kayangan.
Kalian
layak mendapat bintang, eh...
layak
mendapat hukuman sesuai pasal
lima
belas ayat dua yang berbunyi:
'barang
siapa mojok dengan sengaja
ataupun
tidak sengaja tanpa seizin Sang
Maha
Dewa, maka orang tersebut
dianggap
melanggar kode etik kayangan dan
praktis dianggap juga
mencemarkan
kesucian kayangan.' Sedangkan
menuruti
kitab undang-undang yang berlaku
di
sini, pelanggaran seperti itu
dikenakan denda kurungan lima
ribu
tahun atau menebusnya dengan
cara
dibuang ke bumi!"
"Interupsi!" seru dewa
yang
berpakaian serba coklat itu.
Tangannya
diacungkan ke atas, sehingga
para
peserta sidang memandang
kepadanya.
"Saya sebagai pembela tertuduh
merasa keberatan dengan ancaman
hukuman yang Paduka Hakim
bacakan
tadi."
"Apa alasan keberatanmu,
Pembela?"
"Tidak benar kalau hanya
karena
skandal mojok saja sampai membuat si
tertuduh harus dibuang ke bumi!
Dalam
kitab Undang-undang Kehormatan,
pasal
seratus satu koma lima, ayat
tiga
dikatakan; 'Pembuangan ke bumi
bisa
dilakukan apabila tertuduh
melanggar
kesalahan sampai tiga kali.
Sedangkan
Batara Kama baru satu kali
ketahuan
mojok dengan bidadari. Perbuatan
mojoknya yang tujuh kali kan
tidak
ketahuan oleh petugas, jadi
Batara
Kama tidak layak untuk dibuang
ke bu-
mi!"
Suara gemuruh menyebar di ruang
sidang para dewa. Paduka Hakim
mengetok-ngetok telunjuknya ke
meja,
suaranya keras, seperti ketokan
palu.
Dok, dok, dok...! Lalu suasana
menjadi tenang karena hadirin pada
bungkam.
"Jadi ternyata Batara Kama sudah
melakukan perbuatan mojok
seperti itu
sebanyak delapan kali?!"
"Benar!" seru Pembela.
"Tapi yang
ketahuan kan hanya satu
kali!"
"Hukuman semakin parah.
Kami baru
tahu kalau Batara Kama melakukan
pelanggaran sampai delapan
kali."
Batara Kama melirik Pembela
dengan sengit lalu berkata,
"Tugasmu
itu meringankan hukumanku, bukan
memberatkan!"
"Wah, maaf... aku keceplosan
ngomong!" Pembela tampak
sedih.
"Paduka Hakim...,"
seru seorang
bidadari berbaju ungu.
"Batara Kama
memang layak dihukum berat,
karena
saya sendiri pernah diajaknya mojok
karena jurus 'Angin Rindu'-nya.
Tapi
tidak banyak, hanya empat
kali."
Salah seorang wanita cantik yang
juga termasuk bidadari
berpakaian
putih mengacungkan tangannya,
"Saya
juga pernah, tapi baru dua
kali!"
Satu bidadari berdiri dan
berseru, "Jujur saja, saya
juga pernah
diajak mojok, tapi
tidak sampai
berbuat yang begitu-begitu. Cuma
sebatas 'cuci muka' saja."
"Berapa kali?"
"Tak banyak. Cuma delapan
belas
kali."
"Waaaaah...," semua
yang hadir
geleng-geleng kepala.
Subang Wulan tiba-tiba mendekati
Batara Kama dan
menamparnya.
Plaak...!
"Pendusta! Kau bilang belum
pernah berbuat begitu, ternyata
kata-
katamu itu hanya gombal
semata!"
Batara Kama diam, hanya mengusap
pipinya yang merah karena
tamparan
bertenaga dalam itu. Sebelum
Subang
Wulan berkata lagi, telah
terdengar
seruan seorang bidadari berpakaian
jingga yang langsung maju ke
depan
meja Paduka Hakim.
"Saya setuju kalau Batara
Kama
dibuang ke bumi, karena dia
telah
mengkhianati saya dengan
perbuatannya
yang baru sekarang terbongkar di
depan
sidang. Saya sakit hati dengan
Batara
Kama. Saya terbujuk dan terayu
olehnya, sampai saya jatuh cinta
dan
menyerahkan segala-galanya,
termasuk
cincin peninggalan orangtua saya
juga
saya serahkan. Ternyata dia
berjiwa
playboy, mata keranjang, don
yuan, dan
pokoknya memuakkan!"
Paduka Hakim geleng-geleng
kepala. Para hadirin bergemuruh
lagi
mengomentari laporan-laporan
tersebut.
Setelah Hakim mengetukkan
jarinya
lagi, suasana menjadi hening,
maka
terdengarlah ucapan Paduka Hakim
yang
bernada tegas.
"Hukuman pembuangan tetap
harus
dilakukan untuk Batara Kama dan
Subang
Wulan. Maka dengan ini...,"
kata-kata
itu segera terpotong,
"Interupsi! Saya sebagai
Dewa
Jaksa Penuntut merasa keberatan
jika
Subang Wulan ikut dibuang ke
bumi.
Karena Subang Wulan termasuk
salah
satu dari sekian korban yang
dirugikan
oleh tindak pelecehan cinta dari
Batara Kama!"
"Jadi bagaimana
keputusanmu?"
"Jangan buat Subang Wulan
menderita rugi dua kali; itu
namanya
hukum yang tidak adil. Yang jadi
korban jangan dirugikan lagi.
Yang
menjadi tertuduh itulah yang
wajib
menjalankan hukuman!"
"Usulmu diterima, Dewa
Jaksa
Penuntut!" kata Paduka
Hakim.
"Dewa Pembela," bisik
Batara Kama
yang memang tampan rupanya itu,
"Lakukanlah pembelaan
untukku. Jangan
diam saja!"
"Interupsi!" seru Dewa
Pembela,
"Kami keberatan jika
hukuman untuk
Batara Kama adalah pembuangan
atas
dirinya. Sebab, jika Batara Kama
dibuang ke bumi, maka citra dan
kehormatan para dewa akan
menjadi
cemar dan diketahui oleh
manusia! Ini
sama saja memalukan seluruh
warga
kayangan. Kami mohon keputusan
pengadilan ditinjau kembali demi
menjaga nama baik para dewa.
Sebab
bagaimanapun juga Batara Kama
masih
termasuk dewa. Manusia akan
mengecam
kita habis-habisan jika ada dewa
melakukan pelecehan cinta sampai
dibuang ke bumi. Kecuali jika Batara
Kama itu bukan dewa, tak ada masalah
lagi; mau dibuang kek, digantung
kek,
dipancung kek, terserah! Tidak
akan
menimbulkan pencemaran di
kalangan
para dewa!"
"Kalau begitu, Batara Kama
dicoret dari daftar nama-nama
dewa!"
"Setujuuu...!" seru
yang lain.
Batara Kama melirik Dewa
Pembela,
"Lagi-lagi kau memberatkan
tuduhanku!
Gara-gara kau, aku bukan aja
dijatuhi
hukuman malah dicoret dari
daftar para
dewa! Sudah, aku tak perlu kau bela
lagi!"
"Wah... salah lagi
kata-kataku?!"
Dewa Pembela tampak sedih dan
menyesal.
Paduka Hakim berseru,
"Putusan
pengadilan mutlak menyatakan
Batara
Kama sebagai pihak bersalah
dengan
tuduhan; Mencemarkan nama para
dewa,
mencemarkan kesucian para
bidadari
dengan pelecehan cintanya,
merendahkan
martabat dan kesucian kayangan,
serta
merugikan beberapa bidadari yang
terbuai rayuan asmara gombalnya.
Maka
dengan ini Pengadilan Tertinggi
Kayangan menjatuhkan hukuman
kepada
Batara Kama berupa pembuangan
dan
pencoretan nama!"
"Interupsi!" kata
Batara Kama
sendiri. "Saya minta
grasi!"
"Keputusan hukuman belum
dijatuhkan sudah minta grasi?!
Tidak
bisa!" tegas Paduka Hakim.
Lalu ia
melanjutkan membacakan hasil
kepu-
tusannya.
"Atas perbuatannya yang
melanggar
kode etik kayangan ini, maka
dengan
ini Batara Kama kami nyatakan
dibuang
ke bumi dan berubah wujud
menjadi ma-
nusia biasa; dengan segala sifat
dan
kodrat manusia ada
padanya!"
Hadirih bertepuk tangan. Batara
Kama tundukkan kepala.
"Tetapi...," lanjut
Paduka Hakim.
"Karena Batara Kama pernah
berjasa
kepada masyarakat kayangan, maka
seluruh kekuatan ilmu kedewaan
dicurahkan kepadanya sebagai
bekal
kehidupannya di permukaan
bumi."
Batara Kama segera angkat kepala
dan memandang Paduka Hakim, ia
tampak
tegang karena punya kegembiraan
tersendiri, yaitu akan menerima
kekuatan ilmu kedewaan.
Dewa Pembela berseru,
"Sampai
berapa lama Batara Kama
menjalani
hukuman hidup sebagai manusia di
permukaan bumi, Paduka?"
"Sampai batas waktu
tertentu.
Batara Kama boleh kembali ke
kayangan
dan menjadi dewa lagi apabila ia
sudah
kawin dengan putri raja jin dan
mampu
menghasilkan keturunan. Apabila
anaknya lahir, maka seluruh
kekuatan
kedewaan yang ada padanya akan
hilang
dan menitis ke anak tersebut;
entah
anak laki-laki atau perempuan
sama
saja. Anak itu sendiri akan
menjadi
dewa apabila ia berhasil menebus
kesalahan orangtuanya dengan
berbuat
baik dan menjadi pembela
kebenaran. Ia
akan kita angkat ke kayangan
apabila
sudah menikah dengan warga
kayangan.
Barang siapa mengabdi kepada
anak itu,
entah menjadi pelayannya atau
menjadi
gurunya, maka orang tersebut
berhak
kita beri tempat sebagai manusia
yang
hidup di kayangan."
Batara Kama terbengong
memandangi
Dewa Hakim yang menatapnya.
Semua
peserta sidang pun diam tak
bersuara
sedikit pun. Maka Dewa Hakim
berkata
lagi.
"Karena tak ada yang
mengajukan
protes lagi, maka sidang akan
segera
ditutup. Batara Kama dibuang ke
bumi
sekarang juga!"
Tok, tok, tok...!
Lalu seberkas sinar putih
menyilaukan turun dari
langit-langit
dan menerjang Batara Kama.
Zrraaab...! Batara Kama
dibungkus
cahaya putih menyilaukan. Dalam
sekejap cahaya itu pun lenyap.
Blaab...! Batara Kama jatuh terkapar
tak sadarkan diri. Dewa Pembela
kaget
dan segera meminta petugas
keamanan
sidang untuk menolong Batara
Kama.
"Cepat bawa dia! Dia
mengalami
shock berat! Bawa ke
Rugada!"
"Apa itu Rugada?"
"Ruang Gawat Darurat!
Lekas...!"
Dewa Hakim berseru, "Tak
perlu
dibawa ke sana! Rohnya telah
kukirim
ke bumi, sebentar lagi raganya
akan
lenyap menyatu dengan rohnya di
sana.
Kerahkan petugas pengawas agar
mengawasi dia selama di
bumi!"
Suara-suara itu sebenarnya
didengar oleh Batara Kama, tapi
makin
lama suara tersebut makin kecil
dan
kian samar-samar diterima
pendengarannya. Batara Kama
merasa
sedang berputar-putar memasuki
terowongan cahaya. Ia ingin
berteriak
minta tolong, tapi mulutnya tak
bisa
digerakkan dan suaranya bagaikan
hilang tak tersisa sedikit pun
di
tenggorokan.
Pada saat itu muncul sesosok
tubuh kurus bermata cekung,
jenggotnya
panjang, kumisnya juga panjang,
semuanya berwarna putih uban.
Alisnya
pun panjang, sama dengan bulu
matanya
yang penjang berwarna putih
pula.
Sosok kurus itu mengenakan kain
abu-
abu membungkus tubuh dengan sisa
kain
menyilang kedua pundak. Rambut
tamu
yang hadir di pengadilan para
dewa itu
sangat tipis. Mungkin hanya
delapan
belas lembar.
Kehadiran tokoh agak bungkuk ini
membuat para dewa diam terpaku
dengan
mata tertuju tegang ke arahnya.
Tokoh
tersebut berjalan dari pintu
masuk
ruang sidang sampai mendekati
meja
hakim.
"Begawan Dewa Gesang, aku
mengucapkan selamat datang atas
kehadiranmu di ruang sidang
ini," kata
Dewa Hakim. "Tapi apa
penyebabnya
sehingga kau datang sebagai tamu
tak
diundang di sini?!"
"Aku menuntut keputusanmu,
Dewa
Hakim! Kau telah membuang anakku,
Batara Kama dengan keputusan
berat
sebelah! Aku akan menuntutmu
dengan
caraku sendiri.
Bersiaplah!"
"Tunggu dulu,
Begawan!" cegah
Dewa Hakim. "Keputusan ini
kuambil
berdasarkan kitab undang-undang
yang
sudah kau setujui juga pada
waktu
pembuatannya!"
"Kitab undang-undang itu telah
kau ubah sebagian isinya! Jika hanya
kasus pelecehan cinta saja tidak
ada
ketentuannya yang mengatakan
seorang
tertuduh harus dibuang ke
bumi!"
"Itu tidak benar! Aku tidak
mengubah isi kitab undang-undang
ini!"
"Omong kosong!" bentak
Begawan
Dewa Gesang. "Sebagai ayah
Batara
Kama, aku tidak bisa menerima
keputusan peradilanmu! Kalian
semua
bersekongkol menjauhkan Batara
Kama
karena ada pihak yang
menginginkan
jabatannya sebagai Dewa Penyebar
Rindu!"
"Jangan kau kotori kayangan
dengan pembelaan sepihakmu,
Begawan
Dewa Gesang! Sadarlah bahwa kau
telah
mulai dikuasai oleh nafsu
pribadi,
yang mementingkan keluarga
daripada
tegaknya sebuah keadilan!"
"Jangan banyak bicara! Aku
sakit
hati mendengar anakku dibuang ke
bumi!
Sebaiknya terimalah pengadilanku
sendiri untukmu, Dewa
Hakim!"
Begawan Dewa Gesang segera
rentangkan tangannya ke atas.
Ketika
kedua tangan kurus itu diangkat
ke
atas, maka datanglah angin topan
yang
bergemuruh dari kejauhan menuju
Balai
Sidang para dewa itu. Semua
hadirin
yang ada di dalam ruang
persidangan
menjadi cemas dan gentar. Mereka
tahu
bahwa Begawan Dewa Gesang
mempunyai
bekal ilmu lebih tinggi dari Dewa
Hakim sendiri.
Gemuruh angin segera memekakkan
telinga mereka. Bangungan itu
pun
bergetar, dan atapnya tersingkap
terbang. Kraaak...! Braaak...!
Angin
topan raksasa menyambar bangunan
itu,
memelintirnya menjadi remuk dan
puing-
puingnya terangkat terbang tak
tentu
arah. Suasana menjadi gaduh.
Pada dewa
dan bidadari segera tancapkan
kaki
dengan ilmu mereka yang bernama
jurus
'Cakar Dewa'. Dengan menggunakan
jurus
'Cakar Dewa' maka tubuh mereka
tak
bisa terbawa terbang, seakan
kaki
mereka tak bisa dicabut dari
tempat
pijakannya. Tetapi pakaian
mereka
menjadi berantakan, bahkan ada
yang
tercabut dari tubuh dan ikut
terbawa
terbang.
Wruusss...!
“Ooh... pakaianku?! Pakaian-
ku...?!" teriak bidadari
yang segera
jongkok dan mendekam karena
pakaiannya
tercabut lepas dari raganya.
"Begawan! Hentikan
perbuatanmu!"
teriak Dewa Hakim yang
berlindung
dengan cara merapatkan kedua
tangannya
di dada, tubuhnya bergerak-gerak
bagaikan menahan kekuatan yang
ingin
menerbangkannya.
Seruan itu tidak dihiraukan oleh
Begawan Dewa Gesang. Ruang
persidangan
hancur lebur. Tubuh Begawan Dewa
Gesang gemetar karena masih
keluarkan
jurus penghadir badainya.
Tiba-tiba
Dewa Hakim berseru kepada yang
lain,
"Serang dia!"
Para dewa dan bidadari yang
hadir
di situ segera melepaskan
pukulan
bersinar hijau muda. Dari
telapak
tangan mereka melesat selarik
sinar
hijau menghantam ke tubuh
Begawan Dewa
Gesang.
Clap, clap, clap...! Berlarik-
larik sinar hijau menghantam
telak
Begawan Dewa Gesang dari
berbagai
arah. Tetapi Begawan Dewa Gesang
segera sentakkan kaki kanannya
satu
kali. Dug...!
Tubuhnya memancarkan sinar merah
berlarik-larik ke segala arah.
Sraab!
Sinar-sinar merah itu menghantam
tubuh
mereka, membuat mereka saling
terbang
terpental tunggang langgang.
Teriakan
mereka saling bersahutan.
Kayangan
menjadi guncang bagai dilanda
kiamat.
Dewa Hakim sendiri sempat
tersentak
mundur delapan tindak. Tetapi ia
segera memutar kedua tangannya
dan
dari kedua telapak tangan keluar
sinar
biru besar yang segera mengurung
tubuh
Begawan Dewa Gesang.
Slaaap...! Suuuuzzz...!
Tubuh Begawan Dewa Gesang tidak
memancarkan sinar merah lagi.
Sinar
merahnya bagaikan dipadamkan
oleh
sinar biru yang melapisi keadaan
sekelilingnya dalam jarak
lingkar
sekitar empat langkah. Tetapi
Begawan
Dewa Gesang masih kurang puas,
sehingga kedua tangannya segera
disatukan di atas kepala dan
pertemuan
kedua telapak
tangan itu memancarkan
sinar putih perak ke berbagai
arah.
Sinar putih perak itu menghantam
sinar
biru pengurung diri.
Zraab...! Jegaaaar...!
Kayangan semakin mawut. Mereka
yang tidak berada di tempat itu
pun
ikut terpental tunggang
langgang.
Tanaman-tanaman di taman
bidadari
menjadi rusak, bahkan ada beberapa
yang tumbang. Air kolam taman
muncrat
ke atas bagaikan disentakkan
oleh
tenaga dalam dari bagian
bawahnya.
Ledakan amat dahsyat tadi
menimbulkan nyala api yang
berkobar di
udara, terbang ke sana-sini
bagai
memburu mangsa. Namun para dewa
dan
bidadari yang ingin diterjang
kobaran
api segera saling rapatkan kedua
tangan di dada dan tubuh mereka
mengeluarkan asap berhawa sejuk. Ada
yang sampai sekujur tubuhnya
menjadi
putih bagaikan dilapisi
busa-busa
salju, sehingga dari kejauhan
tampak
seperti segumpal kapas.
Begawan Dewa Gesang tak tahu,
bahwa akibat dari murkanya itu,
bumi
pun menjadi berguncang bagai
dilanda
gempa. Lautan bergolak,
batu-batu
karang retak, tanah di sana-sini
pun
mengalami kelongsoran.
Pohon-pohon
tumbang, dan beberapa bangunan
tempat
hunian manusia ada yang roboh.
Mereka
yang hidup di bumi menganggap
keadaan
itu sebagai keadaan datangnya
klamat.
Mereka saling ketakutan dan
mencari
keselamatan masing-masing. Mata
air di
beberapa tebing jebol, tanggul-tanggul
pun pecah, sehingga banjir
melanda di
beberapa tempat di permukaan
bumi.
Murka sang ayah yang membela
anaknya dari hukum pembuangan
itu
hampir saja membuat keadaan bumi
porak
poranda, terbelah menjadi
beberapa
bagian. Untunglah murka itu
segera
berhasli dihentikan oleh
munculnya
tokoh berpakaian kain putih
bintik-
bintik emas. Tokoh itu berparas
tampan, walau kelihatan sudah
lanjut
usia. Seluruh rambutnya putih
rata,
panjang sebatas punggung.
Kehadirannya
sangat tiba-tiba, berdiri di
depan
Begawan Dewa Gesang. Kedua
tangannya
segera diangkat sebatas dada
dalam
posisi telapak
tangan terbuka ke
depan.
Segala sinar yang keluar dari
tubuh Begawan Dewa Gesang
terhisap
masuk ke telapak tangan tokoh yang
baru datang itu. Bahkan kekuatan
hembusan angin membadai itu pun
bagai
terhisap seluruhnya ke telapak
tangannya. Dalam waktu beberapa
kejap
saja suasana menjadi hening dan
tenang
kembali. Getaran dan guncangan
hilang.
Api yang berkobar-kobar lenyap
tersedot dua telapak tangan si tokoh
berpakaian putih bintik-bintik
emas
itu. Pada dewa dan bidadari pun
menjadi lega melihat kemunculan
tokoh
tersebut. Bahkan mereka segera
menunduk dengan badan sedikit
bungkuk
dan kedua kaki berdiri rapat.
Mereka
memberi hormat kepada tokoh yang
datang di depan Begawan Dewa
Gesang.
Bahkan sang Begawan sendiri
tampak
segera tundukkan kepala memberi
hormat
dalam sikap.
"Murkamu kelewat batas,
Dewa
Gesang! Kau membuat kayangan
menjadi
neraka. Jika kayangan seperti ini,
lalu apa yang terjadi di
permukaan
bumi? Lebih parah dari keadaan
di
sini, Dewa Gesang!"
"Mohon ampun, Sang Hyang
Guru
Dewa...," ucap Begawan Dewa
Gesang
dengan sopan dan sangat
hati-hati.
Rupanya tokoh yang hadir
menenangkan suasana itu adalah Sang
Hyang Guru Dewa, tokoh tertinggi
para
dewa yang berpenampilan kalem
dan
bersikap bijak. Tidak ada yang
berani
melawan Sang Hyang Guru Dewa,
karena
bukan saja beliau adalah senior
mereka, namun juga beliau adalah
guru
bagi para dewa-dewi. Tentu saja
Begawan Dewa Gesang takut
kepadanya.
Kedua kakinya sampai gemetaran.
Karena
ia tahu, sekalipun Sang Hyang Guru
Dewa orangnya kalem, wajahnya
selalu
ramah, tapi sekali menjatuhkan
hukuman
tak tanggung-tanggung.
"Setinggi apa pun ilmumu,
Dewa
Gesang, masih ada yang lebih tinggi
lagi. Demikian juga dengan
diriku,
setinggi apa pun ilmuku, masih
ada yang berilmu lebih
tinggi lagi,
yaitu Sang Maha Dewa Hyang Widi
Wasa!
Jadi jangan kau takabur dengan
ilmumu,
sehingga melepaskannya secara
semena-
mena hanya untuk menuruti emosimu
belaka."
"Saya membela anak saya,
Sang
Hyang Guru."
"Memang, seorang ayah punya
hak
melakukan pembelaan terhadap
anaknya.
Tetapi hendaknya pembelaan itu
berdasarkan suatu pertimbangan
salah
dan benar. Jika Batara Kama memang
tidak bersalah, kau berhak
membelanya.
Tapi Jika Batara Kama bersalah,
jangan
sekali-kali membelanya. Karena
itu
sama saja seorang ayah
menjebloskan
anaknya ke lumpur kesesatan.
Pembelaanmu terhadap anak yang
salah
sama saja membunuh anak sendiri,
membutakan mata hatinya untuk
tidak
bisa melihat lagi mana yang
benar dan
yang salah! Sekalipun Batara
Kama
adalah anak dewa senior, tapi
jika ia
bersalah harus menjalani hukuman
yang
berlaku. Jangan mentang-mentang
dia
anak dewa senior, lalu dia bebas
dari
segala tindakan yang tidak benar
karena pembelaanmu! Salah kaprah
hidupnya jika kau hanya
menggunakan
sistem keluarga!"
"Sekali lagi, saya mohon
ampun,
Sang Hyang Guru."
"Ya. Kuampuni. Tapi
kembalikan
lagi suasana di kayangan menjadi
seperti semula! Aku tak ingin
kayangan
rusak hanya gara-gara emosimu
yang
salah!"
Sang Begawan kian tertunduk
karena rasa bersalahnya.
DUA
SEBUAH danau di puncak bukit
mempunyai air biru bening. Bukan
karena danau itu pernah
kemasukan blau
pemutih pakaian, tapi karena di
dalam
danau itu ada batu sebesar anak
sapi
yang berwarna biru bening.
Kebiruan
warna batu itulah yang memancar
dalam
bentuk bias cahaya dan membuat
air da-
nau itu berwarna biru bening.
Para
pengembara ataupun para
pelancong
menyebut bukit itu dengan nama
Bukit
Biru, dan danau itu disebutnya
Danau
Kedamaian. Sebab barang siapa
memandang beningnya air danau
itu,
hatinya akan memancarkan kedamaian.
Konon amarah seseorang yang
sampai
membuat telinganya merah legam
dapat
reda jika cuci muka dengan air
danau
itu.
Yang akan diceritakan dalam
kisah
ini bukan bagaimana caranya cuci
muka,
melainkan tergeletaknya sesosok
tubuh
yang ada di tepi danau itu. Perlu
diketahui, danau itu dikelilingi
oleh
pepohonan rindang.
Tempatnya teduh,
semak-semaknya tidak berduri,
rumputnya halus, enak untuk
bersantai
di sana. Sekalipun banyak
pepohonan
rindang tumbuh mengelingi danau,
tapi
tak satu pun daun kering yang
jatuh di
permukaan air danau itu.
Sekalipun
angin berhembus menerbangkan
daun daun
kering, tapi air danau itu tak
terjamah oleh sang daun. Tak ada
kotoran masuk ke danau tersebut,
sehingga danau itu tetap bersih
dan
enak dipandang mata, terutama
bagi
orang yang tidak tunanetra.
Kabarnya, tidak semua orang bisa
mencapai danau itu. Pada
umumnya, para
pengembara dan pelancong yang
berhati
bersih saja yang bisa menemukan
danau
tersebut. Benar dan tidaknya,
sulit
dibuktikan.
Yang jelas, di tepi danau yang
luasnya tak seberapa itu
sekarang
sedang dipakai tidur seorang
lelaki
muda, kira-kira berusia sekitar
dua
puluh tujuh tahun. Pemuda itu
berpakaian kumuh. Bajunya warna
putih
kusam. Banyak noda coklat bekas
makanan atau minuman di bajunya!
Pokoknya baju putih berlengan
panjang
itu kotor. Bagian tengkuk dan
ujung
lengan kanannya robek sedikit.
Mungkin
habis kecantol duri atau digigit
macan.
Celana pemuda itu warna hitam
belel. Juga kumuh dan kotor.
Bagian
pantatnya robek sedikit. Entah
karena
menduduki paku atau habis
diseruduk
banteng. Pokoknya penampilannya
nggak
keren. Cenderung mirip orang
susah
hidup.
Tapi dilihat dari badannya, ia
tampaknya seorang pemuda yang
cukup
banyak menelan vitamin. Badannya
kekar, walau tidak berotot
seperti
binaragawan. Tingginya
sedang-sedang
saja, tidak membuatnya menjadi
jangkung. Kulitnya coklat muda.
Wajahnya bersih tanpa jerawat.
Kumisnya tak ada. Mungkin memang
tak
mau tumbuh atau memang dibuat
supaya
tak tumbuh. Pokoknya wajah
bersih itu
tergolong ganteng. Hidungnya
bangir,
matanya sedikit besar tapi
indah.
Tampak jantan. Sayang kalau
harus
dicolok pakai lidi.
Rambutnya hitam, panjang sebatas
punggung, sedikit bergelombang.
Rambut
itu diikat dengan ikat kepala
warna
putih. Sama dengan ikat
pinggangnya
yang juga berwarna putih,
terbuat dari
kain agak tebal dan kusam.
Ketika pemuda itu terbangun dari
tidurnya, ia segera terkejut dan
memandangi alam sekitarnya. Ia
juga
memeriksa pakaiannya dan merasa
aneh
dengan pakaian sekumal itu.
Sebelum
hatinya ngomong apa-apa, ia
sudah
lebih dulu mendengar orang
berkata,
"Ingat, namamu sekarang
adalah
Yuda Lelana. Kau adalah
manusia...."
"Yang bilang kucing
siapa?"
gerutu pemuda itu segera
menyadari
bahwa dirinya sebenarnya adalah
dewa
yang telah dibuang dari
kayangan.
Batara Kama kini berganti nama Yuda
Lelana. Orang yang bicara itu
tak
tampak wujudnya. Yuda Lelana
tahu,
suara itu adalah suara Sang
Hyang Guru
Dewa.
Sekalipun tanpa telepon seperti
zaman sekarang, tapi Yuda Lelana
masih
bisa bicara dengan Sang Hyang
Guru
Dewa yang ada di kayangan.
Rupanya
pemuda tanpa senjata itu
mengajukan
protes kepada pihak para dewa.
"Mengapa aku diturunkan di
dekat
danau ini? Mengapa pakaianku
mirip
gelandangan? Apa di kayangan
sudah
kehabisan busana model
terbaru?"
"Kau harus menjalani
bertapa yang
dinamakan Tapa Melarat!"
"Apakah tidak bisa diganti
dengan
Tapa Kaya saja? Tapa kok
melarat?!" ia
bersungut-sungut.
"Tapa Melarat gunanya untuk
membawa alam kehidupanmu sebagai
Yuda
Lelana menuju ke suatu tempat.
Di
tempat itulah kelak kau akan
menemukan
kunci menuju jati dirimu
kembali."
"Kalau aku merasa enak
menjadi
manusia, aku tidak mau jadi dewa
lagi!" katanya dengan jengkel sambil
berdiri, lalu bercermin di
tepian
danau. Hatinya membatin,
"Ganteng juga
sih. Tapi untuk apa jadi cowok
ganteng
kalau melarat. Nggak bakalan
disukai
sama cewek-cewek!"
Rupanya kata-kata hati itu pun
didengar pula oleh Sang Hyang
Guru
Dewa. Bukan karena Sang Hyang Guru
Dewa seorang paranormal yang
bisa
mendengar suara batin dan
membaca
pikiran manusia, tapi karena
memang
dia guru dari segala kekuatan
batin
para dewa, makanya gampang saja
mendengarkan suara batin Yuda
Lelana.
Ia pun segera berkata kepada
anak muda
yang tampak sudah matang itu.
"Kaya atau miskin bukan
ukuran
mendekati seorang gadis. Yang
penting
bagaimana sikapmu di depan
mereka. Tak
perlu salting, tak perlu over
akting,
kalem-kalem saja. Maka
gadis-gadis itu
akan menaruh simpati
padamu."
"Apakah aku juga mempunyai
kekuatan daya pikat untuk
membuat para
gadis tergila-gila padaku,
Guru?"
"Ya. Kau mempunyai ilmu
pemikat.
Tapi karena kau sebenarnya dewa,
maka
kau tidak boleh mengumbar ilmu
pemikat
sembarangan. Nanti yang rugi kau
sendiri. Karena tugas utamamu di
bumi
bukan untuk koleksi cewek, tapi
untuk
berbuat kebajikan! Ingat,
berbuat
kebajikan! Itu tugas
utamamu."
"Iya, iya... gue
inget!"
gerutunya sambil
bersungut-sungut.
"Ingat pula, bahwa proses
penuaanmu akan lebih cepat
daripada
manusia biasa," kata suara
Sang Hyang
Guru Dewa.
"Lho, kok gitu? Bukannya
aku
punya ilmu awet muda?"
"Memang. Tapi ilmu itu
tidak
berfungsi bagi dirimu. Sebab
jika
tanpa proses penuaan yang lebih
cepat,
kau akan enak-enakan hidup di
bumi
menikmati masa awet mudamu. Dengan
mempercepat proses penuaan, maka
kau
akan segera mencari tujuan
utamamu,
yaitu kembali menjadi dewa dengan
menebus kesalahanmu semasa di
kayangan, yaitu berbuat
kebajikan
sebanyak mungkin dan mencari
seorang
istri untuk menghasilkan
keturunanmu.
Tapi ingat, jika kau mendapatkan
se-
orang istri harus dinikahi
secara
baik-baik. Tidak boleh kumpul
kebo.
Itu namanya perbuatan asusila.
Paham?"
"Paham deh, paham...!"
jawabnya
dengan nada dongkol.
"Ya, sudah... percakapan
kita
sampai di sini dulu. Selamat
berjuang,
Yuda. Dan jangan mudah menyerah
menghadapi tantangan hidup
sebagai
manusia. Tantangan itu tidak
harus
dihindari tapi harus kau
kalahkan.
Oke?"
"Oke sajalah!"
jawabnya lagi
dengan wajah cemberut kesal.
Telinga pun segera mendenging.
Sepertinya ada sesuatu yang
melesat
dari dalam telinga dan lenyap
entah ke
mana. Yuda Lelana tidak
pedulikan lagi
denging itu, sebab ia tahu
denging
tersebut tanda terputusnya pulsa
hubungan bicara dengan pihak
kayangan.
Tak berapa jauh dari tepat Yuda
Lelana bercermin di permukaan
air
danau, tepatnya di lereng bukit
itu,
terdapat suatu peristiwa yang
sudah
terjadi sebelum Yuda Lelana
jatuh di
dekat danau tersebut. Di sana
ada
pertarungan tanpa penonton.
Pertarungan itu terjadi di alam
bebas,
tanpa ring atau arena
berpanggung.
Dua tokoh berilmu pedang cukup
handal sedang saling bertaruh
nyawa.
Mereka saling mengibaskan
pedangnya,
berusaha membuntungi kepala
lawannya.
Tapi yang terjadi adalah denting
suara
pedang yang saling beradu dengan
cepat. Denting suara pedang
itulah
yang membuat Yuda Lelana
tertarik
untuk melihat apa yang terjadi
di
lereng bukit tersebut.
"Jangan-jangan di bawah
sana ada
tukang pandai besi yang sedang bikin
senjata? Tengok dulu, ah! Siapa
tahu
punya makanan buat pengganjal
perutku!"
Ternyata dua tokoh yang
bertarung
itu adalah dua wanita berpakaian
lebih
bersih dari pakaiannya Yuda
Lelana.
Yang satu berpakaian pinjung
sebatas
dada warna kuning, sama dengan
celananya yang sebatas betis.
Pinjung
dan celana itu ketat dengan
tubuhnya
yang sekal dan sexy. Karena ketatnya,
maka bentuk dadanya yang
menonjol
sekal dan menggemaskan itu
terlihat
jelas di mata Yuda Lelana. Tentu
saja
mata itu enggan berkedip karena
memang
suka dengan pemandangan yang
bersifat
syur seperti itu. Sayang sekali
wanita
muda yang ditaksir usianya
sekitar dua
puluh empat tahun itu mengenakan
pakaian jubah lengan panjang
warna
abu-abu tipis, sehingga bentuk
keelokan tubuhnya tak bisa
terlihat
bebas.
"Cantik juga dia. Tahi
lalat di
dekat bibirnya itu yang membuatnya
tampak cantik dan menawan hati.
Gemas
sekali aku pada bibir itu!"
gumam Yuda
Lelana yang suka berpikiran
nakal itu.
Katanya lagi.
"Tapi yang satunya lagi
juga oke
punya, Cing! Memang sedikit
lebih tua
dari yang berjubah abu-abu itu,
cuma
matanya tampak galak dan melambangkan
suka bercinta. Bibirnya tipis
tapi
malah yang bentuknya kayak gitu
yang
bikin betah jika dipagut.
Wow...!
Keren!"
Mata Yuda Lelana masih pandangi
wanita yang kira-kira berusia
sekitar
dua puluh delapan tahun itu.
Sekalipun
usianya sudah sekitar segitu,
tapi
bentuk tubuhnya masih
menggiurkan.
Pantatnya menonjol sekal, keras,
dibungkus celana ketat warna
merah
darah. Bajunya tanpa lengan warna
merah juga. Tapi belahan bajunya
cukup
lebar. Kalau saja bagian dadanya
tidak
dilapisi kain hitam dari jenis
sutera,
maka tonjolan di dadanya itu
akan
terlihat. Sayang dadanya ditutup
kain
hitam, yang membuat bagian atas
dadanya saja yang tampak
tersumbul
putih mulus tanpa cacat.
Bentuknya
lebih besar dari milik si gadis
berpakaian kuning dan jubah
abu-abu
itu. Rambut wanita berpakaian
merah
itu terurai lepas sebatas
punggung,
kepalanya diikat dengan kain
merah
juga. Rambut yang lepas terurai
itu
menambah daya seksinya lebih
tinggi
lagi.
Yuda Lelana hanyut dalam khayalan
ngeresnya untuk beberapa saat
sampai
tubuhnya menjadi bergidik
merinding,
lalu ia tarik napas dan membuang
khayalan.
Yuda Lelana sengaja tidak ikut
campur dalam pertarungan itu. Ia
hanya
menjadi seorang penonton yang
bersembunyi dari balik semak.
Hanya
kepalanya yang tampak nongol
dari
sana. Jarak persembunyiannya
dengan
pertarungan itu sekitar enam
tombak.
Jadi ia dapat melihat jelas
jurus-
jurus yang digunakan oleh kedua
wanita
itu.
Pada satu kesempatan, si jubah
abu-abu itu berhasil melompat di
atas
kepala lawannya, lalu pedangnya
berkelebat menebas punggung.
Wuuut...!
Tapi pedang lawannya tiba-tiba
bergerak ke belakang sehingga
tertangkislah tebasan pedang
itu.
Traaang...!
Dengan cepat si baju merah
berbalik dan tangan kirinya
menyentak
ke atas, wuuut...!
Claaap...! Sinar kuning bundar
melesat menghantam tubuh si
jubah abu-
abu yang masih melayang turun
itu.
Melihat sinar kuning dilepaskan
dari
tangan si baju merah, maka si
jubah
abu-abu pun melepaskan sinar
merah
panjang dari dua jari yang
disodokkan
ke depan. Suuuuuut...!
Wuuut...! Blaaar...!
Benturan dua sinar menghasilkan
ledakan. Ledakan menghasilkan
geiombang. Gelombang
menghasilkan
sentakan. Sentakan membuat
keduanya
terpental dan jatuh kehiLangan
keseimbangannya.
Brruss...!
"Hiaaat...!" si baju
merah cepat
sentakkan pinggul yang membuat
tubuhnya melenting naik ialu
berdiri
dengan dua kaki sedikit
merenggang dan
rendah.
Jleeg...!
Ternyata lawannya sudah lebih
dulu berhasil berdiri dengan
kaki
berkuda-kuda kokoh. Pedangnya
melintang di atas kepala dengan
tangan
kirinya terangkat di depan dada.
Matanya menembus pandangan mata
si
baju merah, napasnya
terengah-engah
tampak sedikit sesak. Bukan
karena
punya sakit bengek, tapi karena
hentakan gelombang ledak tadi
memukul
dadanya agak keras.
"Kau tak akan bisa
mengalahkan
aku, Peluh Selayang!" kata
si jubah
abu-abu kepada lawannya yang
berbaju
merah yang ternyata bernama
Peluh
Selayang. Ujarnya lagi,
"Sebaiknya
menyerahlah sebelum keadaanmu
menjadi
lebih buruk lagi. Karena jika
kau
tetap ngotot, aku pun akan tetap
ngotot menangkapmu untuk
diserahkan
kepada Guru!"
"Aku bukan orang bodoh,
Kutilang
Manja!"
Hati Yuda Lelana membatin,
"Oo...
yang berjubah abu-abu itu
namanya
Kutilang Manja. Hmm... cantik juga
nama itu. Serasi dengan
wajahnya."
Lalu cowok tampan itu kembali
menyimak omongan si Peluh
Selayang,
"Kalau aku mau menghadap
Guru,
itu berarti aku mengaku sebagai
pihak
yang bersalah. Sampai mati pun
aku
tidak mau diserahkan kepada
Guru,
karena aku bukan orang yang
bersalah!"
"Jika kau tidak
bersalah mengapa
kau lari dari perguruan
kita?"
"Aku punya alasan lain
untuk lari
dari perguruan. Bukan karena aku
mencuri Kitab Pusaka Jayabadra,
tapi
karena aku merasa kecewa dengan
sikap
Guru yang menganakemaskan
dirimu!"
"Kau hanya membuat-buat
alasan
saja, Peluh Selayang!"
tegas Kutilang
Manja. Suaranya kecil tapi
merdu.
Menggelitik hati jika didengar
oleh
kaum lelaki. Sedangkan suara
Peluh
Selayang sedikit serak, mengusik
kejantanan seorang lelaki yang
mendengarnya, seperti Yuda
Lelana itu.
Suara Kutilang
Manja terdengar
lagi, "Perlu kau ketahui,
Peluh
Selayang... tugas yang diberikan
Guru
padaku bukan saja menangkapmu.
Jika
kau bandel, aku diperkenankan
untuk
membunuhmu! Menurut Guru,
daripada kau
berhasil mempelajari semua jurus
dalam
Kitab Jayabadra, ada baiknya
kalau kau
dibunuh saja. Karena jika ilmu
dan
Kitab Jayabdra berhasil kau
kuasai,
maka kau akan menjadi orang
sesat yang
sukar ditandingi! Nama perguruan
pun
akan jatuh, karena setiap orang
tahu
bahwa kau adalah murid dari
Perguruan
Sekar Bumi!"
"Aku tidak mencuri kitab
itu!"
bentaknya. "Jangan
mengkambinghitamkan
diriku, Kutilang Manja!
Hilangnya
kitab itu tidak ada hubungannya
dengan
kepergianku dari
perguruan!"
"Buktinya beberapa waktu
setelah
kau pergi, bumi menjadi
berguncang,
bencana alam datang. Itu
pertanda kau
telah mempelajari ilmu 'Lumbung
Petaka' yang merupakan salah
satu ilmu
berbahaya di dalam Kitab
Jayabadra!"
"Persetan dengan tuduhan
itu! Aku
benar-benar tidak menguasai ilmu
tersebut. Jika beberapa waktu
yang
lalu terjadi bencana alam, itu
bukan
karena ulahku! Jangan kaitkan
bencana
itu dengan kepergianku dari
perguruan!" sentak Peluh
Selayang yang
tubuhnya sudah berkeringat sejak
tadi
itu.
Kitab Jayabadra adalah kitab
pusaka milik guru mereka; Nyai
Sirih
Dewi. Salah satu ilmu berbahaya
yang
terdapat dalam Kitab Jayabadra adalah
jurus 'Lumbung Petaka', yang
apabila
digunakan bisa menghadirkan
bencana
pada alam sekelilingnya. Mereka
tidak
tahu bahwa bencana yang terjadi
belum
lama ini adalah akibat murka
Begawan
Dewa Gesang, ayah Batara Kama
yang
kini menjadi Yuda Lelana itu.
Murka
yang menggegerkan kayangan, juga
menggegerkan kehidupan di bumi,
telah
disalah artikan oleh Nyai Sirih
Dewi.
Karenanya ia mengutus murid
tercin-
tanya; Kutilang Manja untuk
menangkap
Peluh Selayang, sebab kepergian
Peluh
Selayang bersamaan dengan
hilangnya
Kitab Jayabadra.
"Sekali lagi
kuperingatkan
padamu, Peluh Selayang.
Menyerahlah
dan jangan melawan supaya aku
tidak
bikin nyawamu
melayang-layang!"
"Kau pikir mentang-mentang
kau
menjadi anak emas Guru, maka kau
bisa
kalahkan ilmuku? Hmmm...! Sori
aja,
ya?! Bagaimanapun juga
kedudukanmu
masih di bawahku, Kutilang
Manja. Aku
adalah atasanmu! Ilmumu belum
sepadan
dengan ilmuku! Sebaliknya,
akulah yang
harus memperingatkan dirimu agar
jangan coba-coba melawanku.
Apalagi
aku merasa tidak bersalah, mati
bareng
pun kujalani!"
"Kalau begitu, terimalah
jurus
'Pedang Mata Malaikat' ini!
Hiaaah...!"
Suuut...! Claaap...!
Pedang ditusukkan ke depan. Dari
ujung pedang bergagang gading itu
keluar sinar merah berasap.
Melesat
cepat bagaikan tali panjang yang
terulur cepat. Melihat jurus
'Pedang
Mata Malaikat' digunakan oleh
Kutilang
Manja, Peluh Selayang sempat
terperanjat heran. Sebab jurus
'Pedang
Mata Malaikat' itu hanya akan
diberikan oleh sang Guru jika
seorang
murid sudah hampir mencapai
tingkat
akhir dalam menuntut ilmu di
Perguruan
Sekar Bumi itu. Peluh Selayang
sendiri
merasa belum mendapatkan ilmu
terse-
but. Hal ini memperjelas
pandangan
Peluh Selayang, bahwa gurunya
benar-
benar menganakemaskan Kutilang
Manja.
Dengan penuh kegeraman, Peluh
Selayang segera lepaskan jurus
penanding sinar merah berasap
itu. Ia
mempergunakan jurus 'Pedang Mata
Maling' dengan cara memegang
pedang
dua tangan, satu di gagang satu
lagi
di pucuknya. Pedang itu
ditegakkan di
depan dada dan memancarkan sinar
putih
kemilau ke semua arah.
Slaaap...!
Sinar merah lurus berasap itu
menghantam pedangnya Peluh
Selayang.
Jraasss...! Blegaaar...!
Dentuman dahsyat terjadi lagi.
Sinar putih menyilaukan dari
jurus
'Pedang Mata Maling' itu memecah
lebar
berubah warna menjadi merah
jambu.
Sekejap setelah bunyi ledakan
menggelegar itu, sinar-sinar
pada
pedang mereka lenyap seketika.
Tapi
tubuh mereka saling terpental
mundur.
Tubuh Kutilang
Manja bagai ada
yang mendorong hingga ia
terpelanting
mundur sampai membentur sebuah
pohon.
Tapi keadaannya masih tetap
berdiri
dengan menahan napas beberapa
saat.
Sedangkan tubuh Peluh Selayang
terlempar melayang bagaikan
sampah
daun pisang yang terbuang begitu
saja.
Brruk! Tubuh itu jatuh
terbanting
dengan pedang lepas dari
tangannya.
"Uuhg...!" terdengar
suara lirih
Peluh Selayang mengerang
kesakitan
sambil menggeliat dalam keadaan
setengah merangkak. Ia berusaha
untuk
berdiri, tapi tiba-tiba
kepalanya
tersentak maju dan mulutnya
memun-
tahkan darah segar.
"Hoeek...!"
Melihat keadaan Peluh Selayang
menjadi parah, Kutilang Manja segera
menyerangnya lagi untuk
mem-ereskan
lawannya. Pedangnya dikelebatkan
ke
sana-sini dengan cepat. Kemudian
dari
ujung pedang yang disentakkan ke
depan
dengan dua tangan itu, keluar
sinar
merah berasap seperti tadi.
Claaap...!
Tubuh wanita berpakaian serba
merah itu akan hancur dihantam
sinar
maut dari ujung pedang Kutilang
Manja.
Namun mendadak dari arah
semak-semak
melesat sinar biru bagaikan
piringan
bergerigi. Berputar-putar dengan
gerakan melesat amat cepat dan
menghantam ujung sinar merah
berasap
sebelum ujung sinar itu
menghantam
tubuh Peluh Selayang.
Blegaaarrr...!
Ledakan yang timbul lebih
dahsyat
lagi dari ledakan sebelumnya.
Hutan di
situ menjadi bergetar. Dua pohon
tumbang sebelah timur.
Dahan-dahan
banyak yang retak maupun pecah
karena
terkena getaran gelombang ledak
yang
berdaya sentak sangat tinggi
itu. Tu-
buh Peluh Selayang sendiri
terpental
lagi, mirip boneka dari kain berisi
kapas yang dilemparkan
seenaknya,
sedangkan tubuh Kutilang Manja juga
terbang melayang tak tentu
gerak, lalu
jatuh terbanting membentur
gugusan
tanah yang jaraknya delapan
langkah
dari tempatnya berdiri.
Yuda Lelana segera melompat dan
bergerak cepat melebihi gerakan
rusa.
Wuuut...! Tahu-tahu ia berada di
samping Peluh Selayang. Keadaan
Peluh
Selayang semakin parah. Matanya
terbeliak-beliak hampir mau
terbalik.
Lukanya sangat berbahaya. Dalam
keadaan terkapar ia berusaha
menghirup
napas dari mulutnya. Mulut itu
tercengap-cengap mirip mulut
ikan
mujair mencari gelembung hawa.
"Kasihan perempuan
ini," Yuda
Lelana membatin, "Napasnya
tinggal
sedikit. Nyawanya sudah ada di
ubun-
ubun. Padahal dia belum tentu
bersalah. Hmm...! Dia harus
segera
kutolong sebelum menjadi korban
salah
paham. Aku yakin dia tidak
bersalah.
Jika ia memang punya jurus
'Lumbung
Petaka' pasti sudah digunakan
untuk
melawan Kutilang Manja!"
Kemudian dengan mengeraskan dua
jari tangan kanannya, Yuda Lelana
menunjuk ke arah dada Peluh
Selayang.
Ujung jari itu keluarkan sinar
putih
bening bagaikan kaca.
Sllaaap...! Juurrssss...! Sinar
itu menghantam ulu hati,
menembus
beberapa kejap, lalu padam
seketika.
Zluub...! Itulah jurus para dewa
yang
sering digunakan untuk
pengobatan,
namanya jurus 'Hawa Bening',
yang
mampu sembuhkan luka dalam waktu
amat
singkat.
Di seberang sana, Kutilang Manja
terpukau melihat kehadiran
pemuda
berpakaian kumal itu. Lebih
terpukul
lagi setelah melihat Peluh
Selayang
mulai bisa bernapas longgar
setelah
mendapati tikaman sinar sebening
kaca
itu. Namun keadaannya yang juga
merasakan panas di dada itu
membuatnya
lemah dan jatuh terduduk
kembali. Yuda
Lelana segera menghampirinya
untuk
memberikan pertolongan, karena
ia
dapat melihat kelemahan fisik
Kutilang
Manja yang cukup membahayakan
keselamatannya.
"Mau apa kau kemari?!"
Kutilang
Manja sempat memaksakan diri
membentak
kehadiran Yuda Lelana.
"Kau terluka, Nona Cantik.
Kau
bisa mati kalau tak segera
tertolong.
Jantungmu mengalami
pembengkakan.
Pembuluh darahmu bisa pecah.
Paru-
parumu bisa hangus dan kering.
Ususmu
bisa kusut dan...."
"Cukup! Lakukan saja apa
yang kau
lakukan. Aku... aku makin tak
kuat.
Uuhg...!" Kutilang Manja
tersentak dan
dari mulutnya keluar darah
kental
berwarna hitam kemerah-merahan.
TIGA
PERGURUAN Sekar Bumi menjadi
tempat Yuda Lelana singgah
pertama
kali terbuang di bumi.
Kehadirannya
yang membawa perdamaian
antara Peluh
Selayang dan Kutilang Manja diterima
dengan baik oleh Nyai Sirih
Dewi.
Memang pada mulanya Nyai Sirih
Dewi
sempat curiga, menyangka Yuda
Lelana
memihak Peluh Selayang.
"Seharusnya kau tidak ikut
campur
dalam urusan ini, Anak
Muda," ujar
sang Guru yang usianya sudah
mencapai
delapan puluh
tahun, tapi masih
kelihatan tegar. Kulitnya
berkeriput,
namun tulangnya masih lurus. Tak
ada
bungkuk sedikit pun. Matanya
masih
memandang dengan tajam, setajam
pisau
cukur. Wibawa dan kharismanya
masih
tinggi.
Dengan pakaian hijau tuanya Nyai
Sirih Dewi menampakkan sikap
kurang
ramah kepada Yuda Lelana. Bahkan
dengan nada ketus ia berkata,
"Apa perlumu membela Peluh
Selayang, sehingga kau yakin
betul
bahwa Peluh
Selayang tidak mencuri
kitab pusaka kami?"
"Kalau dia mempunyai kitab
itu
dan sudah pelajari jurus
'Lumbung
Petaka', tentunya perguruanmu
sudah
digulung habis, Nyai!"
jawab Yuda
Lelana dengan santainya,
cuek-cuek
menjengkelkan. Tapi lagaknya itu
diperhitungkan oleh sang Guru.
Biasanya orang yang sok berlagak
cuek
ilmunya tinggi.
"Alasanmu memang masuk
akal, Anak
Muda. Tapi aku yakin pembelaanmu
terhadap Peluh Selayang karena
kau
naksir dia. Iya, kan?"
Yuda Lelana tersenyum tipis.
"Yang jelas tak mungkin aku
naksir
kamu, Nyai. Aku masih muda,
tentu saja
naksir cewek yang masih muda
juga
dong!"
"Hmm...!" Nyai Sirih
Dewi
mencibir. "Sekarang saja
kau bisa
bilang begitu. Coba dulu, ketika
aku
masih semuda Peluh
Selayang...."
"Apakah kau juga secantik
dia?"
potong Yuda Lelana.
"Kau bakalan celeng kalau
lihat
aku masih seusia Peluh
Selayang!"
Tawa kecil Yuda Lelana terdengar
mirip orang menggumam
terpatah-patah.
"Aku percaya... aku
percaya...,"
sambil manggut-manggut.
"Sekarang pun
sebenarnya kau masih kelihatan
cantik,
Nyai."
"Hmm...!" Nyai Sirih
Dewi semakin
mencibir, padahal hatinya sempat
bergemuruh mendapat pujian seperti
itu. Tapi ia berlagak sok jual
mahal
dan berkata ketus, "Kau tak
usah
memujiku, walau ucapanmu itu
memang
benar. Sekarang yang penting aku
tidak
suka dengan sikapmu yang
memaksaku
menerima Peluh Selayang kembali
ke
perguruanku. Dia kuanggap telah
mencuri sesuatu yang amat
berharga
dariku! Kalau kau tak rela aku
menuduhnya begitu, kau boleh
melakukan
pembelaan dengan cara apa
pun!"
"Aku hanya meluruskan
kesalahpahaman saja, supaya
tidak
terjadi korban yang
sia-sia!"
"Lagakmu seperti orang
pintar
saja! Siapa namamu?!"
"Yuda Lelana, Nyai!"
jawabnya
polos saja. "Dapatkah kau
membuktikan
bahwa Peluh Selayang tidak
mencuri
kitab itu?"
"Aku tahu apa yang tidak
kau
ketahui, Nyai!"
"Hmm...! Perlu kujajal juga
anak
ini. Setinggi apa sih ilmunya,
sok
berlagak jadi pembela kebenaran
di
depanku!" kata Nyai Sirih
Dewi dalam
hatinya. Kemudian ia berkata,
"Kalau memang kau tahu apa
yang
tidak kau tahu, coba sekarang
jawablah
apa yang ada di dalam tusuk
kondeku
ini!"
Nyai Sirih Dewi mencabut tusuk
kondenya. Rambutnya yang putih
tetap
tergulung di tengah walau tusuk
kondenya dicabut. Tusuk konde
itu
sepertinya terbuat dari logam
besi
berbentuk runcing, panjangnya
satu
jengkal. Pada ujung tusuk konde
itu
terdapat bulatan sebesar
kelereng,
mirip bola kecil. Tusuk konde
itu
rupanya termasuk senjata milik
Nyai
Sirih Dewi juga. Keruncingan
tusuk
konde itu dapat untuk melukai
lawan.
Konon lawan yang terkena tusuk
konde
itu walau hanya tergores dapat
menderita lumpuh seketika. Nyai
Sirih
Dewi jarang mempergunakannya
kecuali
dalam keadaan terdesak.
"Apa maksudmu menyuruhku
menebak
isi tusuk konde ini, Nyai?
Mengapa
bukan isi dompetmu saja yang
harus
kutebak?"
"Aku tak punya
dompet!" katanya
ketus dan cemberut. "Aku
ingin
menjajal ilmumu. Aku tidak tahu
apa
isi tusuk kondeku ini. Yang
jelas itu
senjataku. Nah, sekarang coba
jawab
apa yang ada di dalam bulatan
kecil
itu!"
Tusuk konde warna putih
mengkilap
bagaikan anti karat mempunyai bobot
yang cukup berat. Tusuk konde
itu
dipandangi oleh Yuda Lelana
dengan
cengar-cengir. Ia merasa seperti
sedang dikerjain oleh tokoh tua
itu.
Para murid Perguruan Sekar Bumi
mengelilinginya, memperhatikan
percakapan antara guru mereka
dengan
sang tamu. Di antara para murid
itu
duduk paling depan Peluh
Selayang dan
Kutilang Manja. Mereka duduk berdua
bersebelahan dalam jarak satu
jangkauan. Mata mereka juga
tertuju
kepada Yuda Lelana yang masih
memperhatikan tusuk konde itu,
seperti
sedang menyelidiki sesuatu
dengan
santai tapi pasti.
"Tusuk konde ini berisi
'Racun
Kadal Buncit'. Letak racunnya
ada di
bulatan seperti bola ini!"
Nyai Sirih Dewi menyunggingkan
senyum sinis. "Kau hanya
mengarang-
ngarang jawaban saja, Yuda
Lelana!"
"Aku katakan apa yang
sebenarnya
kuketahui, Nyai. Kau kan nggak
tahu
kalau tusuk konde ini berisi
'Racun
Kadal Buncit'? Bagaimana kau
bisa
menyangkal jawabanku!"
"Aku tidak percaya. Memang
aku
tidak tahu isi tusuk konde itu.
Tapi
aku tidak percaya dengan
kata-katamu.
Sekarang kalau kau benar-benar
tahu,
lantas apa akibatnya jika tusuk
konde
itu melukai seorang lawan?"
"Lawan itu akan jatuh dan
lumpuh
seketika!"
Kini semua wajah terangkat
memandang Yuda Lelana dengan
mata
sedikit terbuka menandakan rasa
kaget
mereka. Nyai Sirih Dewi sendiri
menatap dengan dahi berkerut.
Yuda
Lelana masih cengar-cengir saja,
kayak
bocah desa yang punya sifat
malu-malu
meong.
"Dari mana kuperoleh tusuk
konde
ini kalau kau memang tahu?"
"Dari nenekmu," jawab
Yuda Lelana
seenaknya, para murid cekikikan.
"Siapa nama nenekku yang
memberikan tusuk konde
itu?"
"Nini Sulang Rupi!"
jawab Yuda
Lelana cepat.
Nyai Sirih Dewi terkejut dalam
hati. "Bagaimana dia bisa
menjawab
pertanyaanku dengan benar? Dia
juga
kenal nama nenekku. Padahal
tokoh tua
yang sekarang masih hidup
seangkatanku
saja jarang yang tahu nama
nenekku?"
Nyai Sirih Dewi membatin dalam
keheranan.
"Apakah jawabanku
salah?" tanya
Yuda Lelana.
"Memang tidak ada yang salah,"
jawab Nyai Sirih Dewi sambil
tarik
napas dan melangkah tiga tindak
meninggalkan tempatnya. Lalu
badannya
berbalik arah lagi menghadap
Yuda
Lelana yang masih berdiri sambil
memainkan tusuk konde itu.
"Kau hanya bisa menjawab
secara
kebetulan saja. Aku masih kurang
yakin
dengan pengetahuanmu!"
katanya bernada
penasaran.
Orang-orang di pendapa menjadi
bertambah tegang, tapi hati
mereka
merasakan sebentuk kesenangan
yang
seru. Kali ini mereka meiihat
gurunya
teruji kecerdasan dengan sang
tamu.
Bahkan mereka sempat berharap
tegang
setelah mengetahui Nyai Sirih
Dewi
mengambil alih tusuk konde itu
dari
tangan Yuda Lelana dengan hanya
menyentakkan tangan kirinya ke
depan
dan menariknya sedikit.
Wuuut...!
Tusuk konde tahu-tahu melayang
dan
tertangkap di tangan Nyai Sirih
Dewi.
"Gila! Dia mau pamer ilmu
rupanya?" pikir Yuda Lelana
masih
kalem-kalem saja. Senyumnya
membias
tipis di bibir dengan pandangan
mata
bersikap tenang. Tiba-tiba ia
terperanjat melihat tusuk konde
itu
dilemparkan dengan gerakan cepat
dan
menancap pada salah satu tiang
pendapa
dari kayu jati. Jeeeb...! Tusuk
konde
itu masuk ke dalam kayu, tinggal
sisa
bulatannya yang mirip kelereng
itu
yang terlihat dari tempat
mereka.
Tentu saja lemparan tersebut
disertai
lepaskan tenaga dalam cukup
tinggi,
sehingga kayu sekeras itu bisa
menjadi
empuk seperti batang pisang.
"Kutilang Manja, coba cabut
benda
itu!" perintahnya kepada
sang murid
kesayangan. Kutilang
Manja tak
menolak, langsung bangkit dan
mencabut
benda itu. Tapi dengan tenaga
dalam
sudah dikerahkan semua, benda
itu tak
bisa dicabut. Bahkan
Kutilang Manja
akhirnya terpental sendiri jatuh
di
kaki gurunya.
"Maaf, Guru... saya tidak
sanggup!"
"Memang tidak ada yang
sanggup
mengambilnya," kata Nyai
Sirih Dewi
sambii sunggingkan senyum sinis.
Lalu
ia berkata kepada Yuda Lelana,
"Anak muda, aku akan
mempercayai
kata-katamu tentang Peluh
Selayang
yang menurutmu tidak mencuri
kitab
itu, jika kau berhasil mencabut
tusuk
konde tersebut dari tiang
itu!"
Yuda Lelana diam, tersenyum dan
memandang ke sana-sini. Cengar-
cengirnya sempat membuat
beberapa
murid di situ menjadi lebih
tegang.
Peluh Selayang membatin kata,
"Jika Kutilang
Manja sendiri tak
mampu mencabut tusuk konde itu,
apalagi pemuda itu? Pasti tidak
akan
bisa, sebab tusuk konde itu
ditancapkan bukan saja dengan
tenaga
dalam melainkan dengan bacaan
mantera
yang hanya diketahui oleh Guru
sendiri."
Yuda Lelana tetap kalem. Cengar-
cengirnya seperti orang salah
tingkah
dan malu akibat tantangannya
kali ini
agak berat. Nyai Sirih Dewi
tersenyum
kian sinis dan berkata,
"Ayo, lakukan! Katanya kau
serba
tahu, tentunya kau juga tahu
bagaimana
cara mencabut tusuk konde itu
dong!
Lakukanlah!"
"Aku malas ke sana,
Nyai!"
"Ah, alasan saja kau!"
"Sungguh. Aku malas ke
sana.
Sebaiknya kucabut dari sini
saja, ya?"
Setelah ngomong begitu, Yuda
Lelana hentakkan kakinya ke
lantai.
Duug! Dan tiba-tiba tusuk konde itu
copot sendiri dari tiang
tersebut.
Melesat mundur dan tertangkap
oleh
Yuda Lelana. Taaab...!
"Oooh...?!" para murid
menggumam
kagum dan terbengong-bengong.
Nyai Sirih Dewi pun tertegun tak
berkata apa-apa. Ketika Yuda
Lelana
serahkan tusuk konde itu, Nyai
Sirih
Dewi bagaikan tak punya lidah
lagi. ia
menerima dengan mulut sedikit
menganga, mirip lubang belut.
Hatinya membatin, "Manusia
apa
dia sebenarnya? Orang-orang tak ada
yang mampu mencabut tusuk
kondeku jika
sudah kubacain mantera, tapi
anak muda
ini dengan mudahnya mencabut
benda
ini? Sekali hentakkan kaki,
tusuk
konde melayang sendiri. Wah,
jangan-
jangan aku berhadapan dengan
anak
iblis!" Nyai Sirih Dewi
jadi ngeper
juga melihat kesaktian Yuda
Lelana.
Tentu saja ia jadi ngeper karena
ia
tak tahu kalau Yuda Lelana
sebenarnya
adalah dewa yang punya kesaktian
tinggi.
"Siapa sebenarnya dirimu,
Anak
Muda?"
"Budek juga lu ya?"
kata Yuda
Lelana seenaknya. "Tadi aku
kan sudah
bilang kalau namaku Yuda Lelana?
Masa'
masih ditanyain lagi sih?"
"Maksudku, dari perguruan
mana
kau berasal, Yuda Lelana?"
"Dari perguruan
tinggi," jawabnya
seenaknya juga. "Pokoknya
kamu nggak
perlu tahu dari perguruan
mana aku,
sebab aku tidak pernah masuk
perguruan
tinggi mana pun. Aku hanya
seorang
pengelana yang ingin menegakkan
kebenaran dan menolong kesulitan
siapa
pun. Asyik nggak?" Yuda
Lelana
tersenyum sambil angkat-angkat
alisnya. Beberapa murid
tersenyum,
demikian juga Nyai Sirih Dewi.
Sejak itulah sikap Nyai Sirih
Dewi menjadi baik dan ramah
kepada
Yuda Lelana. Pendapat Yuda
Lelana
dihargai, si baju merah abu-abu
bebas
dari tuduhan. Tetapi Nyai Sirih
Dewi
mempunyai satu pertanyaan lagi
untuk
Yuda Lelana.
"Jika begitu, tentunya kau
pun
tahu siapa yang mencuri Kitab
Jayabadra itu, Yuda Lelana?
Tolong
katakan yang sebenarnya!"
Baru saja selesai bicara dalam
bentuk pertanyaan seperti itu, tiba-
tiba seorang murid yang bertugas
di
pintu gerbang datang dengan
tergopoh-
gopoh. Kedatangan murid itu
membuat
mulut Yuda Lelana yang sudah
menganga
untuk berikan jawaban menjadi
batal.
Perhatiannya tertuju pada orang
tersebut, yang lainnya pun
memusatkan
perhatian kepada orang yang baru
datang itu.
"Ada apa, Sugana?!"
tanya Nyai
Sirih Dewi.
"Utusan dari Geladak Hitam
datang
dan memaksa masuk, Guru!"
"Hahh...?!" para murid
nampak
tegang, lalu tanpa diperintah
mereka
menyebar. Baik yang lelaki
maupun yang
perempuan, segera mempersiapkan
senjata masing-masing. Di
pendopo
tinggal lima orang, Sugana, Nyai
Sirih
Dewi, Peluh Selayang, Kutilang
Manja,
dan Yuda Lelana.
Setelah mereka saling pandang,
Yuda Lelana ajukan tanya,
"Siapa yang
datang sebenarnya?"
"Kau pasti lebih tahu
dariku,"
kata Nyai Sirih Dewi agak
menyindir.
"Tidak semua kegiatan
kupantau,
sehingga tidak semuanya
kuketahui."
Sebelum pertanyaan itu terjawab,
dua orang bertubuh besar
nyelonong
masuk dengan cara mendobrak
pintu
gerbang. Beberapa murid Perguruan
Sekar Bumi terlempar karena
diterjang
dua orang bertubuh besar itu.
Mereka
bergerak dengan cepat nyaris tak
bisa
dilihat kelebatannya. Dalam
waktu
sekejap mereka sudah berada di
depan
Nyai Sirih Dewi dan Yuda Lelana.
Tapi
di depan Nyai Sirih Dewi berdiri
tegar
Peluh Selayang dan Kutilang Manja.
Dua orang bertubuh besar itu
sama-sama mempunyai wajah
angker. Dari
sorot matanya mereka tampak
ganas dan
liar. Kumis mereka sama
lebatnya, ha-
nya beda bentuknya saja.
Pokoknya
wajah mereka menyeramkan.
Matanya saja
besar-besar, mirip sepasang
jengkol di
wajah. Kulit mereka tergolong
hitam
walau bukan keling. Tampaknya
tebal,
seperti dari terpal.
Yang berambut botak tengahnya
memakai rompi panjang warna
biru, sama
dengan celananya. Yang berambut
gondrong metal berpakaian serba
hitam,
lengan panjang tapi tidak
dikancingkan. Perutnya tampak
sedikit
membuncit. Tangan mereka
besar-besar,
jarinya saja ibarat berukuran
sebesar
pisang Ambon. Pasti tabokannya
membuat
orang melintir tujuh keliling.
Nyai Sirih Dewi berbisik kepada
Yuda Lelana, "Yang
berpakaian biru itu
bernama: Adu Polo, yang
berpakaian
hitam namanya: Kebo
Tumang."
"Serem-serem namanya,
ya?"
komentar Yuda Lelana dengan
tetap
kalem.
"Mereka utusan dari Geladak
Hitam. Sudah dua kali datang kemari.
Ini yang ketiga
kalinya."
"Apa perlunya?"
"Memintaku untuk
meninggalkan
bukit ini. Orang-orang Geladak
Hitam
bernafsu sekali untuk mendiami bukit
ini!"
"Hmmm...!" Yuda Lelana
manggut-
manggut. Sementara itu, Kutilang
Manja
sedang adu debat dengan Kebo
Tumang
dibantu oleh Peluh Selayang,
sedangkan
para murid lainnya mengelilingi
tempat
itu dari kejauhan. Mereka sudah
berada
di pelataran.
Yuda Lelana berbisik lagi,
"Mengapa mereka ingin
menguasai bukit
ini?"
"Aku tak tahu jawaban yang
pasti.
Cobalah kau gunakan teropong
batinmu
untuk menjawab pertanyaan
itu!"
Tiba-tiba mereka terpaksa lompat
ke belakang karena Kebo Tumang
melepas
pukulan tenaga dalamnya ke arah
Kutilang Manja. Wuuut...! Kutilang
Manja menepiskan gelombang
pukulan itu
dengan sentakan tangan kanan ke
arah
kiri. Namun kuatnya pukulan itu
masih
tersisa, dan sisa gelombang
sempat
membuat tubuh Kutilang Manja
oleng ke
kanan. Sisa pukulan itu juga
hampir
saja mengenai Nyai Sirih Dewi.
Sang
Nyai segera tepiskan dengan
gerakkan
tangan kanan bagai menyangga
sesuatu
dan membuangnya ke atas.
Wuuus...!
"Kebo Tumang...!"
sentak Nyai
Sirih Dewi. "Kali ini kau
sudah
menggunakan kekerasan untuk
tugasmu!
Apa maumu sebenarnya?"
"Tugasku sekarang adalah
mengusirmu dengan kekerasan,
Nyai!"
jawab Kebo Tumang. "Dua
kali kami
datang dengan baik, tapi kau
tidak mau
pergi dari Bukit Bara."
"Karena bukit ini bukan
kekuasaan
kalian!" sentak Nyai Sirih
Dewi. "Aku
menempati bukit ini sebelum
kalian
datang dari Pulau Iblis!"
"Tak tahukah bahwa wilayah
timur
ini kekuasaan Ratu Geladak
Hitam?!"
sentak Adu Polo dengan ngotot,
buktinya urat lehernya sampai
menegang
nyaris lompat dari kulitnya.
"Ratu kalian berkuasa
baru-baru
ini saja! Aku tak pernah
mengusiknya.
Aku juga tak pernah bikin
perkara
dengan ratu kalian; si
Dardanila!"
"Jadi jelas sudah bahwa kau
ingin
dihancurkan seperti tiga
perguruan di
wilayah timur itu!" kata
Adu Polo.
"Jika begitu maumu,
bersiaplah meng-
hadapi kami berdua, Nyai Sirih
Dewi!"
Adu Polo dan Kebo Tumang segera
membuka jurus awal. Peluh
Selayang dan
Kutilang Manja juga membuka
jurus awal
dengan mulai memasang kuda-kuda
siap
serang. Tetapi dari belakang
mereka
tiba-tiba terdengar suara Yuda
Lelana,
"Mundurlah kalian. Aku mau
bicara
sebentar dengan mereka."
Peluh Selayang dan Kutilang
Manja
melirik gurunya, sang Guru
memberi
isyarat dengan gerakkan mata
agar
mereka mundur. Maka Yuda Lelana
segera
maju menggantikan tempat berdiri
Peluh
Selayang. Mata kedua orang
bertampang
angker seperti kuburan para
dukun
santet itu segera menatap dengan
beringas. Yang ditatap hanya
cengar-
cengir kalem.
"Siapa kau, Anak Muda?
Setahuku
kau bukan murid di sini, karena
aku
tak pernah melihat tampangmu!"
ujar
Adu Polo.
"Aku Yuda Lelana. Memang
bukan
murid Mak Tua itu, tapi yaaah...
sekadar tamu biasalah,"
jawab Yuda
Lelana enak saja.
"Apa maumu menggantikan
kedua
wanita cantik itu, hah?"
gertak Adu
Polo.
"Eit, jangan galak-galak,
Kang...!" Yuda Lelana
nyengir. "Tanya
ya tanya tapi nggak perlu pakai
bentak-bentak segala."
Adu Polo mendengus kesal dengan
lagak Yuda Lelana. Ia berkata kepada
Kebo Tumang, "Anak ini
lama-lama bikin
niat membunuhku menjadi
besar!"
"Habisi saja dia!"
kata Kebo
Tumang.
"Sabar, sabar...,"
Yuda Lelana
menyela kata. "Soai
menghabisi aku sih
mudah-mudah saja. Tapi urusannya
harus
diselesaikan dulu. Coba kasih
tahu
sama kau punya ratu, ya? Jangan
berlagak ingin menjadi penguasa
di
wilayah timur. Berkuasa saja di
tempat
kalian sekeliling. Tak perlu
harus
menaklukkan tiap perguruan yang
ada di
sini!"
"Bocah kemarin sore berani
bicara
seenak perutnya?! Kuremukkan
mulutmu
yang congkak itu!"
Adu Polo segera melompat bagai
kutu loncat, tangannya mengepal
menghantam ke arah mulut Yuda
Lelana.
Wuuut...! Tapi anak muda itu
menahan
pukulan tersebut dengan
menangkap
kepalan menggunakan tangan
kirinya.
Traab...! Kepalan itu meremas
hingga
terdengar bunyi gemeretaknya
tulang-
tulang jari yang patah serempak.
Kraak...!
"Aaauh...!" Adu Polo
menjerit.
Wajahnya menyeringai sakit.
Kebo Tumang segera bergerak
menerjang. Tapi kaki Yuda Lelana
menendang dengan tendangan
samping.
Wuuut...! Dees...! Tendangan
yang tak
bisa dilihat karena kecepatan
geraknya
itu mendarat telak di wajah Kebo
Tumang. Kontan orang berambut
gondrong
metal itu terlempar ke belakang
dan
terjungkal sambil memekik
kesakitan.
Sedangkan tangan kiri Adu Polo
segera
meremas lengan Yuda Lelana, lalu
kepalanya maju disodokkan ke
arah dada
Yuda Lelana. Wuuuk...!
Serudukan kepala Adu Polo yang
memang sekeras besi itu segera
ditangkap dengan dua tangan,
lalu
lutut Yuda Lelana menyentak ke
atas,
menyodok wajah lawan dengan
kerasnya.
Gerakan lutut itu pun begitu
cepatnya
hingga tak terlihat dengan jelas
oleh
Nyai Sirih Dewi maupun kedua
murid
wanitanya itu.
Prook...!
"Auuuffh...!" pekik
Adu Polo yang
segera terpental ke belakang dengan
wajah tersentak kuat-kuat.
Pandan-
gannya jadi gelap, tak bisa
melihat
mana batu dan mana rumput.
Akhirnya,
pletook...! Kepala itu pun
membentur
batu sebesar genggamannya, dan
ia
makin memekik kesakitan.
"Gerakan jurus-jurusnya
begitu
cepat, aku sampai tak bisa
mengi-
kutinya?!" plkir Nyai Sirih
Dewi.
Ketika Kebo Tumang menyerang
Yuda
Lelana dari belakang dengan
senjata
kapak dua mata, Nyai Sirih Dewi
hampir
saja lepaskan pukulan jarak
jauhnya
untuk menggagalkan serangan
membokong
itu. Tetapi niat tersebut
dibatalkan,
karena tiba-tiba kapak itu telah
mental, lepas dari tangan Kebo
Tumang
sebelum mendekati punggung Yuda
Lelana.
"Lho, kenapa kapak itu
mental
sendiri?" gumam
Kutilang Manja. Ia
terheran-heran, sama dengan yang
lainnya. Dan tentu saja mereka
heran
secara kompak, karena mereka
tidak
melihat gerakan kaki Yuda Lelana
yang
berputar arah dengan sangat
cepat,
serta berhasil menendang
pergelangan
tangan Kebo Tumang. Tendangan
yang
disertai pelepasan tenaga dalam
tinggi
itu sempat membuat tulang
pergelangan
tangan itu menjadi retak.
Padahal
besar pergelangan tangan itu
hampir
sama dengan tulang sikunya Yuda
Lelana
sendiri.
"Bangsat kau,
hiaaat...!" Kebo
Tumang masih penasaran. Ia
menyerang
dengan satu lompatan membabi
buta atau
babi buta beneran, yang jelas
cepat
dan ngawur. Yuda Lelana pun
melompat
pula. Wuuurrs...! Ia bagaikan
bayangan
yang melintas begitu saja,
bersimpangan dengan Kebo Tumang
di
udara.
"Aaaauh...!" terdengar
Kebo
Tumang menjerit keras, tapi tak
diketahui apa sebabnya menjerit.
Apakah karena ia merasa punya
mulut
besar, atau karena kakinya
tertusuk
duri. Tak jelas bagi mereka.
Namun setelah Kebo Tumang
berdiri
setengah membungkuk sambil
memegangi
telinga kirinya, dan Yuda Lelana
melemparkan sesuatu yang
digenggamnya,
yaitu daun telinga berdarah,
maka
tahulah mereka bahwa Kebo Tumang
telah
kecolongan daun telinga kirinya.
Mereka makin terheran-heran dan
berpikiran, "Bagaimana
caranya Yuda
bisa memotong telinga lawan,
sedangkan
dia tidak bersenjata apa
pun?"
Emoticon