SATU
PUNCAK BUKIT RAJABASAH adalah
puncak bukit yang
hampir selalu lembah karena
diatas sana banyak kabut dan berhawa
dingin.
Jalan menuju ke puncak bukit itu
amat sukar. Kalau bukan
orang yang berkepandaian tinggi
amatlah mustahil bisa mencapai
ke puncak bukit itu. Karena
tidak sedikit bahaya mengancam dide-
pan mata. Selain banyaknya
ular-ular berbisa dan binatang melata
lainnya, juga jalan menuju ke
puncak bukit itu penuh dengan le-
reng-lereng terjal yang tertutup
kabut. Hingga bila kurang hati-hati
dan waspada bisa jatuh
tergelincir dan menemui kematian.
Tetapi sepagi itu sesosok tubuh
tampak berlari-lari dengan ge-
rakan yang terlatih bagaikan
seekor kijang yang gesit diatas bukit
itu. Dialah seorang laki-laki
muda berusia sekitar enam belas tahun
Berpakaian serba hijau dengan
sebilah pedang tersoren dipinggang.
Ketika dia hentikan gerakan
larinya dan menatapkan pandangannya
ke atas puncak bukit tampaklah
seraut wajah yang amat tampan.
Rambutnya tertutup oleh ikat
kepala yang berwarna hitam. Hidung-
nya mancung dengan mata yang
bersinar memancarkan ketampanan
wajah yang menawan hati.
Siapakah adanya pemuda ini?
dialah yang bernama MAYA-
NA sesudah lebih dari enam tahun
dia berada dipuncak bukit Raja-
basah itu, berguru pada seorang
tokoh persilatan yang sakti, yang
telah lama menyembunyikan diri
diatas puncak bukit Rajabasah.
Siapa gerangan adanya tokoh itu?
Marilah kita ikuti jalan ceritanya.
"Bocah bego, mengapa kau tak
cepat datang menghadap pa-
daku untuk memberi
laporan?" terdengar suara serak yang menge-
jutkan pemuda ini.
Dia tahu kalau itu adalah suara
gurunya. Selagi dia bersiap un-
tuk enjot tubuh meneruskan
pendakiannya kepuncak bukit, tiba-tiba
sebuah bayangan telah berkelebat
dihadapannya. Dan sesosok tubuh
telah berdiri diantara kepulan
asap kabut. Dialah seorang laki- laki
tua berjubah serba putih.
Jenggotnya menjuntai sebatas dada. Ber-
warna putih bagaikan salju.
Rambutnya tergelung diatas terikat
dengan sehelai kain sutera warna
merah. Kakek ini melototkan se-
pasang matanya memandang
laki-laki muda dihadapannya.
"Mayana! aku sudah tak
sabar mendengar laporanmu. Bagai-
mana hasil penyelidikanmu di
Kota Raja?" tanya laki-laki tua itu.
Suaranya serak, seperti tempayan
rengat. Kakek ini memang mem-
punyai wajah yang begitu sedap
di pandang. Hidungnya lebar den-
gan cuping hidung yang mempunyai
liang besar. Tulang pelipisnya
menonjol. Dan mempunyai sepasang
mata bagaikan mata burung
elang yang menyipit serta
bersinar tajam. Raut wajahnya boleh di-
kata hampir persegi empat.
Melihat kemunculan kakek itu
pemuda ini menampakkan wa-
jah kaget. Akan tetapi segera
mengumbar senyum. Dan ujarnya se-
raya menjura.
"Maaf, kakek! aku pikir
hari masih terlalu pagi. Dan aku tak
mau mengganggu semadhi
kakek..!"
"Mm, sudah sejak malam tadi
aku tak sabar menunggu hasil
penyelidikanmu, mengapa harus
kau khawatir mengganggu semad-
hiku segala? Urusan ini lebih
penting! Karena hasil penyelidikanmu
adalah penentuan dari langkah
selanjutnya yang akan kita tempuh!
"sahut kakek itu ketus.
Mayana tak menjawab selain menunduk,
dan berkata lirih. "Maafkan
murid mu, guru..!"
"Sudahlah!" berkata si
kakek. "Bagaimana hasil penyelidi-
kanmu? Apakah si bangsat tua itu
masih bercokol di Kota Raja?"
tanya kakek itu. Nada suaranya
mengandung ketidak sabaran. Jelas
dia amat menginginkan laporan
yang dibawa Mayana berkenaan
dengan tugas yang diberikan pada
muridnya itu.
"Ki SABDA TAMA menurut
khabar yang kudengar dari seo-
rang prajurit tua Kadipaten,
telah tak memegang tampuk pemerinta-
han lagi. Dia telah sejak lama
mengundurkan diri dari jabatannya!"
tutur Mayana.
"Hm, begitukah? Lalu siapa
yang menggantikan sebagai Adi-
pati?" tanya si kakek itu
dengan wajah tetap tak berubah. "Seorang
Adipati yang masih cukup muda!
Dia bernama Wukir Kamandaka!"
sahut Mayana dengan suara
kendur. Kakek tua itu tampak termangu
sejenak.
"Hm, apakah kau tak menyelidiki anak keturunan
siapakah
Adipati Wukir Kamandaka
itu?" tanya sang guru dengan suara agak
ditekan. Sang murid menggeleng.
Dan katanya. "Aku khawatir ka-
kek terlalu lama menunggu,
karena kakek hanya memberi waktu
aku satu pekan!" sahutnya.
Kembali tercenung orang tua ini.
Lengannya bergerak menge-
lus jenggotnya. Setelah menghela
napas, dia berkata.
"Ya! ya, aku terlalu
singkat memberi waktu padamu. Aku
memang sudah tak sabar untuk
segera turun tangan. Terutama den-
gan urusan yang satu ini. Karena
semua ini bertalian dengan lang-
kahmu juga. Karena kau telah
menamatkan pelajaranmu dipuncak
Rajabasah ini! ujar si kakek.
"Jadi... jadi aku sudah
dibolehkan turun gunung?" tanya si
pemuda tiba-tiba. Wajahnya
menampakkan sinar cerah. Sudah lama
dia merindukan kebebasan, untuk
kembali ke dunia ramai. Sikakek
menjawabnya dengan anggukan
kepala beberapa kali.
"Oh, kalau begitu aku akan
teruskan penyelidikan mengenai
Adipati itu, guru...!"
berkata si pemuda dengan wajah berseri
gi-
rang. Tapi wajahnya kembali
berubah, dan kedua lengannya men-
gepal.
"Sekalian mencari si
pembunuh ayah ibuku" ujarnya dengan
suara menggebu. Tiba-tiba dia
berpaling menatap pada gurunya.
"Kakek! katakanlah, siapa sebenarnya manusia yang
telah
memporak-porandakan keluargaku
itu? Geritakanlah! bukankah kau
telah berjanji akan
menceritakannya bila aku telah berhasil mena-
matkan pelajaranku padamu?"
Kata-kata pemuda ini terdengar
menggetar. Karena dibarengi
dengan perasaan yang sudah lama
menggebu dalam dada. Selama
beberapa tahun dia berguru menun-
tut ilmu kedigjayaan dipuncak
bukit Rajabasah adalah karena untuk
membalaskan sakit hati dan
dendam pada pembunuh ibu kandung-
nya.
Kakek itu tersenyum. Lalu
ujarnya dengan suara lantang yang
diiring dengan tawa terkekeh
memecah kelengangan disekitar bukit
itu.
"Hehehehe... aku tak pernah
mendustai apa yang pernah aku
janjikan, muridku. Akan tetapi
masih ada satu syarat yang harus kau
lakukan sebelum kau turun
gunung!" berkata si kakek.
"Katakanlah, syarat itu,
guru! Aku siap menjalankan perin-
tahmu!" berkata tegas
Mayana. Kakek tua itu tersenyum.
Sepasang
matanya berkilat menatap pada
sang murid yang justru tengah me-
natap pula padanya.
"Kau harus tinggal dulu
dipuncak Rajabasah selama beberapa
hari untuk mengikuti petunjukku,
dan mengenai syarat itu, segera
akan kukatakan nanti! Sekarang
kembalilah ke puncak bukit!" ujar
si kakek. Selesai berkata orang
tua berjubah putih itu gerakkan
tongkatnya menekan batu.
Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara.
Dan dalam beberapa kali
lompatan, sekejap saja tubuh kakek telah
lenyap diatas puncak bukit, yang
samar-samar masih diliputi kabut
tipis.
Tanpa ayal si pemuda segera enjot tubuhnya untuk bergerak
menyusul. Gerakan melompat
pemuda inipun tak kalah gesitnya da-
ri gerakan si kakek. Dengan
perdengarkan suara teriakan halus tu-
buhnya mencelat bagaikan
letikkan seekor ikan. Ujung kakinya me-
notol batu-batu yang berada
disekitar tempat itu. Sekejap kemudian
tubuhnyapun telah lenyap
tertutup kabut...
***
DUA
Siapakah kakek tua berjubah
putih penghuni bukit Rajabasah
itu? Dialah yang bernama GAJAH
LOR. Pada belasan tahun yang
silam mempunyai pengaruh luas
diwilayah Kota Raja Kerajaan
Mandaraka. Sebuah kerajaan kecil
dipesisir pantai Pulau Jawa.
Gajah Lor yang berusia sekitar
50 tahun itu adalah seorang
yang paling pandai dalam hal
ilmu merawat tubuh, hingga tak nam-
pak ketuaan usianya. Tubuhnya
kekar dengan urat-urat yang kokoh.
Selama belasan tahun dia melatih
diri dipuncak Rajabasah dengan
berbagai ilmu kedigjayaan.
Semata-mata karena mempunyai tujuan
serta urusan dendam pada
seorang. Serta mendidik muridnya yang
bernama MAYANA itu dengan tujuan
yang telah dipersiapkan se-
jak lama.
Mayana duduk dihadapan gurunya
dengan hati risau. Betapa
ingin dia rasanya untuk lebih
cepat turun gunung mencari musuh
besarnya guna membalas dendam
pati kedua orang tuanya. Akan te-
tapi seperti ujar gurunya dia
diharuskan memenuhi satu sarat sebe-
lum turun gunung dan mengunggu
selama beberapa hari untuk me-
nerima petunjuk dari sang guru
mengenai perihal langkah langkah
yang harus ditempuhnya nanti.
Yang terutama sekali adalah penje-
lasan Gajah Lor mengenai siapa
adanya musuh besarnya itu. Hal
itulah yang paling penting!
"Mayana, muridku..!"
ujar Gajah Lor pada sang murid yang
tepekur tundukkan wajah menatap
alas tikar yang didudukinya. Ha-
tinya sejak tadi kebat-kebit
menunggu apa yang akan dikatakan
sang guru. Mendengar suara sang
kakek yang membuka percakapan
dia mendongak menatap wajah sang
guru. Telinganya dipasang pe-
nuh perhatian untuk mendengar
apa-apa yang dikatakan kakek tua
itu.
"Aku senang sekali sejak
kau berguru padaku, selama ini kau
selain seorang murid yang amat
cerdas juga seorang anak yang
amat penurut. Tak pernah satu
kali pun kau membantah apa yang
aku perintahkan!" ujar
Gajah Lor.
"Apakah dalam hari-hari
terakhir kau bersamaku dipuncak
bukit Rajabasah ini kau juga
akan menuruti segala yang aku perin-
tahkan padamu?".
"Guru..! mengapa kau ragu
dengan murid mu ini? Kau telah
berbaik hati mendidik dan
membesarkanku selama ini. Memberikan
ilmu-ilmu kedigjayaan serta
merawatku penuh kasih sayang seperti
kepada anakmu sendiri. Patutkah
aku membantah perintahmu?"
berkata Mayana dengan suara
hati-hati. Sementara hatinya agak ter-
getar mengucapkan kata-kata itu.
Perkataan gurunya kali ini agak
aneh. Mengapa sang guru bersikap
lain dari biasanya. Pandangan
matanya juga aneh. Seperti
membersitkan sinar serta hawa aneh
yang membuat jantungnya
berdegupan. Baru kali ini dia melihat
pancaran mata sang kakek itu
begitu menggidikkan hatinya.
"Heheheh...hehe... bagus!
bagus! Aku memang tidak kecewa
mengangkatmu sebagai
murid!" berkata Gajah Lor dengan tertawa
mengekeh.
"Mayana.! Untuk menghadapi
musuh besarmu, jalan darahmu
harus sempurna betul. Aku akan
salurkan sebagian tenaga dalamku
untuk kupindahkan kedalam
tubuhmu!" ujar Gajah Lor setelah lama
memperhatikan muridnya yang
tertunduk menatap tikar dengan hati
tak karuan rasa.
"Ha, kau... kau akan
memberikan separuh tenaga dalammu
padaku, guru? Bagaimana dengan
kau sendiri nanti? bukankah kau-
pun memerlukannya. Bukankah kau
sendiri seperti pernah kau ka-
takan, kau mempunyai beberapa
musuh yang akan kau singkirkan?
Kalau tenaga dalammu tinggal
separuh, bagaimana kau dapat
menghadapi musuh-musuhmu itu,
guru.?" tergagap Mayana me-
mandang dengan mata membelalak
pada gurunya. Walaupun diam-
diam hatinya merasa girang, akan
tetapi dia amat mengkhawatirkan
akan keadaan gurunya.
"Heheheh... jangan
khawatir! Dalam waktu beberapa bulan
aku akan dapat mengembalikan
seluruh tenaga dalamku seperti se-
diakala. Nah! segera kau
bersiap-siaplah! Bukalah semua pakaian
yang melekat ditubuhmu. Tak ada
waktu lagi untuk aku mengulur-
nya karena kau cuma tiga hari
berada dipuncak Rajabasah ini!" ujar
Gajah Lor dengan menatap
lekat-lekat wajah muridnya yang tam-
pan.
Perintah itu seperti sebuah
petir yang menggelegar disiang ha-
ri. Membuat Mayana terkejut.
Jantungnya berdetak semakin cepat,
dan wajahnya tiba-tiba dijalari
rona merah.
"Mem... membuka semua
pakaianku. guru?" tanyanya seperti
tak percaya.
"Ya! Untuk menerima saluran
tenaga dalam haruslah terbebas
dari penghalang. Apakah kau malu
melakukannya?" berkata Gajah
Lor dengan tersenyum.
Mayana seperti kebingungan.
Wajahnya semakin merah.
"Mengapa harus membuka
pakaian?" pikirnya dalam hati. Sejenak
dia tak memberi jawaban.
"Mayana.! apakah kau akan
menolak perintahku kali ini?"
"Ti... tidak... guru..!
Tapi... tapi..." kembali mulut Mayana
membungkam tak tahu apa yang
akan dikatakannya.
"Hm, ketahuilah, perintah
ini juga termasuk syarat permulaan
sebelum aku mengatakan siapa
pembunuh orang tuamu, dan sebagai
persyaratan sebelum kau turun
gunung!" berkata Gajah lor dengan
suara tegas. Apakah yang menjadi
sebab sukarnya Mayana menuru-
ti perintah gurunya? Ternyata
semua itu disebabkan karena Mayana
sebenarnya bukanlah seorang
laki-laki. Dia seorang perempuan.
Seorang gadis, yang baru
meningkat dewasa.
Tentu saja perintah gurunya
membuat dia jadi serba salah. Se-
lama ini dia memang selalu
memakai pakaian laki-laki. Dia baru
sadar setelah mengetahui
perubahan demi perubahan pada dirinya
dengan bertambahnya usianya.
Walau dia tak begitu memahami
tentang perbedaan laki-laki dan
perempuan, akan tetapi naluri ke-
wanitaannya mulai tumbuh dan
semakin kelihatan rasa malunya bi-
la dia mandi bertelanjang bulat.
Hal itu sering dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Selalu dia
menghindar dari gurunya bila dia
akan membersihkan badan atau
mandi. Khawatir terlihat oleh sang
guru.
Kini secara tak disangka-sangka
sang guru memerintahkan dia
membuka seluruh pakaiannya
dihadapan sang guru. Tentu saja
membuat dia amat terkejut
setengah mati. Dan membuat kulit wa-
jahnya berubah merah. Bagaimana
mungkin dia akan dapat mela-
kukannya?
"Mayana! apakah kau tak
bersedia?" suara Gajah Lor kembali
terdengar mengoyak keheningan.
Tersentak dia mendengar kata-
kata sang guru.
"Guru..! selang sesaat
Mayana menjawab pertanyaan Gajah
Lor dengan suara agak bergetar.
"Aku rasa dengan tenaga dalam
yang kumiliki, aku akan mampu
membalas dendam pada musuh be-
sarku. Apakah tidak lebih baik
kalau guru tak usah menyusahkan
diri memberikan separuh tenaga
dalam mu padaku..." dengan mem-
beranikan diri Mayana bicara.
"Hm, sudah kukatakan hal
ini adalah termasuk syarat yang ha-
rus kau jalankan sebagai
penutupan selama enam tahun kau menjadi
muridku. Apakah kau tak bersedia
melakukan syarat ini?" berkata
Gajah Lor. Mayana tercengung
sesaat tanpa bisa memberi jawaban.
"Baiklah! kuberi kau waktu
setengah hari. Kalau kau tak dapat
memenuhi syarat itu. berarti kau
tak ingin mengetahui siapa pem-
bunuh kedua orang tuamu. Dan
yang perlu kau camkan adalah, kau
tak mungkin bisa mengalahkan
musuh besarmu dengan tenaga da-
lam yang kau miliki selama ini.
Kukira kau takkan menyerahkan
nyawamu begitu saja pada musuh
besarmu, bukan?" Setelah tertawa
terkekeh- kekeh, Gajah Lor
bangkit berdiri. Kakinya bergerak untuk
beranjak kebiliknya disudut
ruangan goa itu. Akan tetapi pada saat
itu terdengar suara Mayana.
"Guru...! aku bersedia
menjalankan persyaratan itu..." Gajah
Lor tahan langkah kakinya. Tanpa
balikkan tubuh kakek ini berkata
dengan tersenyum menyeringai.
"Hehehe... mengapa tak
sadari tadi kau katakan? Rasa malu itu
justru karena kau belum biasa.
Dan ketahuilah akibat rasa malu itu
justru akan menghambat langkahmu
sendiri. Dan akan sia-sialah je-
rih usahamu selama
bertahun-tahun untuk menuntut balas kematian
kedua orang tuamu!"
"Maafkan aku, guru...! aku
memang bodoh..." berkata Mayana
dengan menunduk. Tapi dengan
cepat dia telah loloskan pakaian
yang melekat di tubuhnya.
Dilakukannya semua itu dengan mata
terpejam.
Dan dalam beberapa kejap saja
Mayana telah berdiri tegak di-
hadapan gajah Lor dengan keadaan
tubuh bugil, tanpa sehelai be-
nangpun melekat tubuhnya.
***
TIGA
Dalam keadaan mata terpejam itu
Mayana tak mengetahui ka-
lau sepasang mata sang guru
telah memandangnya dengan mata
membinar-binar. Menatap dan
menjalari setiap lekuk-liku tubuh
Mayana dengan sepuas-puasnya.
Bibir kakek ini setengah terbuka
dan tampak meneteskan air liur.
Hidungnya kembang-kepis ber-
campur dengan deru napas
tertahan dari sang kakek yang meman-
dang tubuh Mayana seperti
melihat makanan lezat yang mener-
bitkan air liur.
Detik itu juga Mayana merasakan
bersyiurnya angin halus
menerpa tubuhnya. Selanjutnya
dia rasakan tubuhnya lemah-
lunglai. Kelopak mata terasa
berat untuk di buka. Dan dia merasa
tubuhnya terhempas... tapi
seperti ada lengan yang menyangganya.
Selanjutnya dia tak tahu apa-apa
lagi. Cuma sekilas dia merasa tu-
buhnya seperti dipondong dan
melayang ringan. Kemudian dia tak
ingat apa-apa lagi.
Ketika perlahan-lahan dia mulai
sadarkan diri yang pertama-
tama dirasakan adalah tubuhnya
seperti berat. Dengus napas santar
seperti meniup-niup daun
telinganya. Antara sadar dan tidak dia
merasakan hawa hangat menembus
seluruh tubuhnya. Dan sesuatu
yang tak pernah dirasakan selama
hidupnya membuat dia mengge-
linjang dan keluarkan
keluhan-keluhan lirih.
Dia tersentak ketika membuka
matanya, dan melihat sang guru
dalam keadaan membugil tengah
menindih tubuhnya.
"Guru...? kau ...ah, kau
apakah aku...?" sentaknya terkejut. Ga-
jah Lor tak menjawab, tapi
menutup bibir gadis itu dengan desis
dan menyumbat mulutnya hingga
dia sukar bernapas.
Dalam keadaan demikian sepasang
lengan Gajah Lor tiba-tiba
merangkul erat tubuhnya, seperti
mau meluluh lantakkan tulang be-
lulangnya. Mayana menjerit tapi
suaranya tersendat napasnya se-
tengah-tengah. Dan berbareng
dengan itu Gajah Lor pendengarkan
suara keluhan panjang. Mayana
sendiri terkulai. Sukmanya seperti
membumbung keluar dari raganya.
Otot-otot tubuhnya serasa luluh
tak bertenaga. Tapi satu
perasaan aneh membuat dia tertegun. Ada
perasaan yang sukar dilukiskan. Dalam
keadaan tidak mengerti itu
dia merasa lengan Gajah Lor
membelai wajahnya. Terasa kening-
nya dicium laki-laki gurunya
itu. Hingga sesaat antaranya terasa tu-
buhnya menjadi ringan. Tak
terasa lagi adanya benda berat yang
membuat dia sukar bernapas.
Ketika dia pulih dengan
kesadaran penuh didapati dia terbar-
ing dipembaringan sang guru.
Pembaringan yang acap kali sering
dirapihkan. Dia tergolek dalam
keadaan tanpa busana, dengan sehe-
lai selimut menutupi tubuhnya.
Tak dilihatnya sang guru berada
didalam bilik ruangan itu.
Mayana terpaku dan tercenung
dalam ketidak mengertian. Apakah
sang guru sudah selesai
menyalurkan sebagian tenaga dalamnya?
Tiga hari berada dipuncak bukit
Rajabasah itu, Mayana men-
dapat tambahan kekuatan tenaga
dalam dari Gajah Lor, sang guru
yang telah mendidiknya dengan
ilmu-ilmu kedigjayaan selama ini.
Siang itu Matahari panasnya
seperti membakar jagat... Dari atas
puncak bukit Rajabasah tampak
berkelebat bayangan sesosok tubuh
yang berlari cepat menuruni
bukit. Gerakannya lincah bagaikan ge-
rakan seekor kijang. Melompati
jurang-jurang curam yang tertutup
kabut tipis. Dialah Mayana, si
gadis puncak bukit Rajabasah, yang
hari itu turun gunung dengan
membawa tugas berat dari gurunya.
Gajah Lor.
Dalam waktu tak terlalu lama,
dara rupawan yang lebih mirip
dengan seorang pemuda berwajah
tampan itu telah berada di bawah
bukit. Di atas batu besar dara
ini berhenti, dan balikkan tubuh. Se-
pasang matanya menatap ke atas
puncak bukit. Puncak bukit yang
telah menggemblengnya selama ini
dengan bermacam ilmu kedig-
jayaan. Puncak bukit yang
membawa kenangan tersendiri yang tak
dapat dilupakan seumur hidupnya.
Tampak sepasang mata dara ini
basah, berkaca-kaca. Angin
pegunungan menerpa wajahnya yang
cantik. Tapi air mata dara ini
tak mengalir turun. Dia telah
berusaha menahannya. Terdengar sua-
ra menggumam tergetar keluar
dari bibirnya.
"Guru..! aku akan jalankan
tugasmu dengan baik, sebagai ba-
las jasa atas budi baikmu
merawat dan membesarkan aku. Serta
mewarisi aku dengan ilmu-ilmu
kedigjayaan. Entah saat ini kau be-
rada dimana. Tapi kelak suatu
saat setelah selesai tugasku, dan bila
telah terbalaskan dendamku, aku
akan mencarimu..! Kata-kata gadis
ini diucapkan dengan tandas,
yang hanya dia sendiri yang dapat
mendengarnya.
Selesai ucapkan kata-kata itu,
dara ini gigit bibirnya menahan
perasaan yang menggebu dalam
dada. Perasaan sedih, pilu, marah,
kecewa dan dendam berkumpul
menjadi satu dirongga dadanya.
Selesai sesaat Mayana balikkan
tubuh. Kejap berikutnya dia
telah berkelebat melesat
meninggalkan tempat itu dengan memper-
gunakan ilmu lari cepat. Detik
selanjutnya sudah tak kelihatan lagi
bayangan tubuhnya...
***
EMPAT
KUIL TENGKORAK DARAH yang
terletak diatas puncak
bukit Lembayung masih tampak
berdiri tegar dengan segala keang-
kerannya. Kuil yang baru berdiri
beberapa tahun dipuncak bukit
permai berpemandangan indah itu telah merobah alam sekitarnya
menjadi alam yang gersang.
Dimana-mana terlihat mayat manusia
yang bertebaran disekeliling
Kuil, dengan baunya yang busuk me-
nyengat hidung. Sepertinya Kuil
itu tak berpenghuni manusia. Ya,
hanya setan-setan sajalah yang
patut mendiami Kuil yang menye-
ramkan itu.
Pemandangan indah bukit
Lembayung tidak lagi mempesona.
Akan tetapi menimbulkan hawa
takut. Seolah Kuil itu adalah pintu
gerbang Neraka layaknya. Akan
tetapi dari arah ruangan kuil itu
tampak mengepul
asap yang menimbulkan bau panggang daging
yang lezat, disenja yang baru
mulai temaram itu.
Ternyata seorang kakek berambut
panjang beriapan tengah
asyik duduk menghadapi api
unggun. Sementara lengannya mem-
bolak-balik panggang daging,
entah daging apa yang ditusuk pada
sebatang kayu. Jelas kakek rambut
putih beriapan ini adalah manu-
sia, karena kedua kakinya
menginjak tanah.
Ketika itu diluar udara semakin
dingin dan cuaca semakin re-
dup. Tiba-tiba terdengar suara
tertawa mengikik seram memban-
gunkan bulu roma. Si kakek
rambut beriapan ini hadapkan wajah-
nya ke pintu kuil. Tampaklah
wajahnya yang tak sedap dipandang.
Sebelah matanya menonjol bulat
dan nampak merah, sedangkan se-
belah lagi tak berbiji mata
alias picak. Hidungnya cuma separuh,
menampakkan rongga bagian
dalamnya. Bibirnya terbelah dua dan
nampak dua buah gigi yang
besar-besar mencuat keluar. Kakek se-
ram ini mendengus mendengar
suara tertawa yang sudah tak asing
lagi baginya itu.
"WEWE GOMBEL SETAN GENIT!
mau apa kau datang
menyambangi kekuilku?"
terdengar suara si kakek yang parau bagi
suara tonggeret. "Apakah
kau mau makan daging manusia?" Dan
diiring kata-katanya si kakek
seram ini telah bangkit berdiri. Sebe-
lah lengannya menyambar bara api
lalu... Whuuut! Dia telah ayun-
kan lengannya. Bara api itu
melayang keluar dengan deras. Terden-
gar suara mengikik diluar
diiringi kata-kata.
"DEDEMIT MATA PICAK,
sambutanmu sungguh menye-
balkan hati!" Sosok tubuh
putih diluar kuil itu memang baru saja je-
jakkan kakinya dimuka kuil.
Melihat sambaran bara api kearahnya,
dengan membentak nyaring dia
meludah... CUIH! Lengannya men-
gibas. angin keras menggebu
menghantam bara api yang meluruk
ke arahnya. Bara api itu pecah
berhamburan. menjadi ratusan lelatu
api yang menerjang balik ke arah
pintu kuil yang terbuka. Tentu sa-
ja mendelik sebelah mata
si kakek seram. Namun dia cepat
mo-
nyongkan mulutnya. Dan... FUUUH!
Lelatu api seketika padam dan
buyar kesegenap penjuru.
"Hihihik...hihik... tua
bangka mata picak, kau makanlah bara
apimu, mengapa kau suguhkan
padaku?" Sekali berkelebat si kakek
muka seram melompat, dan sekejap
telah berada dimuka pintu.
Ternyata si pendatang yang
dijuluki Wewe Gombel Setan Ge-
nit itu adalah seorang wanita
berparas cantik. Bertubuh kurus tinggi
semampai. Berkulit kuning
langsat, memakai pakaian serba putih.
Alisnya mencuat keatas dengan
biji mata yang menampakkan mata
yang jalang. Usianya ditaksir
sekitar 35 tahun. Akan tetapi nampak
tubuhnya masih montok.
"Mau apa sebenarnya kau
kemari?" berkata ketus si kakek se-
ram yang dijuluki si Dedemit
Mata Picak ini. Sementara mulutnya
mulai menggayam panggang daging
yang sudah matang itu dengan
rakus.
"Hm, aku tak ingin minta
makananmu, WICAKSA! Kedatan-
ganku cuma mau mengatakan bahwa
perbuatanmu membunuh ma-
nusia itu cuma mengundang
penyakit pada dirimu sendiri! Sedang-
kan orang yang kau Pancing untuk
menyatronimu tak berada diwi-
layah ini!" berkata wanita
ini dengan bertolak pinggang. "Heh! ba-
gaimana kau bisa tahu?"
"Ya, karena yang mengetahui perihal si
Pendekar Wanita Pantai Selatan
Roro Centil Cuma sahabatku! Dia
bernama CAKRA MURTI!" sahut
Wewe Gombel Setan Genit.
Terhenyak si kakek yang bernama
Wicakra itu. Tak ayal dia
sudah semburkan daging panggang
dimulutnya, dan tiba-tiba mem-
banting daging panggang itu hingga amblas ke tanah.
"Grrr... katakan segera!
Apakah kau datang bersama sahabat-
mu itu?" membentak Wicaksa.
Suaranya menggeledek hingga ter-
dengar berpantulan kesekitar
tempat yang lengang itu.
"Hihik...hihik... sabar,
Wicaksa! saat ini aku datang sendiri.
Tapi aku bisa mempertemukan kau
dengan sahabatku itu, kalau ada
imbalannya!" berkata Wewe
Gombel Setan Genit dengan mengikik
tertawa.
"Imbalan? Imbalan apa yang
kau inginkan? katakanlah! Kalau
betul si Cakra Murti sahabatmu
itu bisa menunjukkan aku dimana
adanya si Roro Centil, tentu aku
tak keberatan memberikan imba-
lan. Apakah kau inginkan
sekantung uang emas untuk imbalannya?
aku sanggup memberikannya! Akan
tetapi bila kau berdusta, maka
kepalamulah sebagai gantinya,
termasuk kepala sahabatmu itu!"
Tawaran itu ternyata membuat si
wanita ini cuma tersenyum,
tapi segera ujarnya. "Aku
tak memerlukan itu, Wicaksa! Yang ku-
perlukan adalah kitab yang kau
rampas dari KI SABDA TAMA!"
Mendengar Jawaban Wewe Gombel
Setan Genit, Wicaksa jadi
tertawa terkekeh-kekeh hingga
sampai terbatuk-batuk.
"Tunjukkan aku dimana
adanya sahabatmu itu. Mengenai ki-
tab Ki Sabda Tama yang kucuri
itu aku tak berminat mempelajari,
disamping aku tak mengetahui
arti tulisannya. Dengan sukarela
akan kuberikan padamu. Tapi
dengan syarat apabila aku sudah
menjumpai si Roro Centil!"
"Bagus! baiklah! Kukira tak
perlu berlama-lama, Segera kau
siapkan kitab itu, dan segera
kita berangkat!" berkata girang Wewe
Gombel setan genit. Tampak dia
amat gembira mendengar jawaban
si Dedemit Mata Picak.
"Baik! baik...! tunggulah!
segera kupersiapkan! ujar Wicaksa
dengan menyeringai girang.
Tubuhnya kembali berkelebat mema-
suki pintu kuil. Tak lama dia
telah keluar lagi.
"Marilah kita
berangkat!" ujarnya. Wewe Gombel Genit men-
gangguk. Dia mendahului
berkelebat menuruni bukit Lembayung,
disusul oleh kelebatan tubuh si
Dedemit Mata Picak. Hingga tak
lama kemudian Kuil Tengkorak
Darah dipuncak bukit Lembayung
kembali sunyi mencekam...
Siapakah adanya Wewe Gombel
Setan Genit dan si dedemit
Mata Picak bernama Wicaksa
penghuni Kuil Tengkorak Darah itu?
Keduanya adalah dua orang
saudara seperguruan yang masing-
masing telah menempuh jalan
sendiri-sendiri. Kedua tokoh yang be-
rada dijalur sesat itu mempunyai
ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Entah permusuhan apakah gerangan
Wicaksa dengan Roro Centil di
Pendekar Wanita pantai Selatan
hingga si kakek itu tampak amat
mendendam.
***
LIMA
CAKRA MURTI ternyata seorang
laki-laki gagah berusia se-
kitar 40 tahun. Laki-laki ini
tengah mondar-mandir diruangan depan
seperti tengah menanti
kedatangan orang ditunggunya.
Gedung tua itu terletak di tepi
danau, Dikelilingi oleh hutan
rimba. Diapit oleh dua bukit.
Tempat sekitar itu sunyi
mencekam. Tampaknya gedung tua
itu satu-satunya gedung yang
terpencil ditempat itu.
Mata Cakra Murti menatap ke
arah hutan rimba dibelakang
bukit lalu dialihkan ke ujung
jalan disisi danau. Tiba-tiba telinganya
mendengar suara berkrosakan
disisi gedung.
"Siapa? kalau mau bertemu
silahkan masuk dari pintu depan.
Aku Cakra Murti siap menyambut
tamu yang datang dengan mak-
sud baik!" berkata
laki-laki ini.
"Bagus! kedatanganku bukan
untuk maksud jahat, sobat Cakra
Murti!" Diiringi kata-kata
itu sesosok tubuh berkelebatan muncul-
kan diri dihadapan laki-laki
itu.
Sejenak dia terhenyak memandang
si pendatang, yang ternyata
adalah seorang laki-laki brewok.
Dikedua pinggangnya terdapat dua
buah buli-buli. Sedangkan tangan
si brewok ini mencekal pula se-
buah buli-buli yang sudah lepas
sumbatnya.
Tanpa hiraukan orang yang
menatapnya si brewok tenggak isi
buli-buli itu hingga belasan
teguk. Bau arak mengembara seketika
itu juga.
"Hm, kiranya anda si Dewa
Arak! Ada maksud apa anda
meyatroni tempatku?"
bertanya Cakra Murti dengan kernyitkan ke-
ningnya. Si Brewok tak buru-buru
menjawab. Tapi menyeka dulu
bibirnya membersihkan
bekas-bekas cairan-cairan arak yang mem-
basahi bibir dan dagunya.
"Hehehe... kalau bukan aku
lihat sendiri kau ada hubungan
baik dengan si perempuan
kuntilanak Wewe Gombel Setan Genit,
mana aku jauh-jauh menyatroni
tempat tinggalmu?" berkata si bre-
wok. Tersentak juga Cakra Murti
mendengar si Dewa Arak mencari
orang yang sedang
dinanti-nantikan kedatangannya.
"O, jadi kau mencarinya?
ada persoalan apakah kau dengan
sahabat ku itu?" bertanya
Cakra Murti, Sementara diam-diam laki-
laki ini merasa adanya angin
buruk yang bertiup dengan kedatangan
sang tetamu.
"Bagus! ternyata dia
sahabat baikmu? Suruh dia keluar. Biar
aku yang urus persoalanku
dengannya!" membentak si Dewa Arak.
"Seorang tetamu yang datang
dengan maksud baik, tentu akan
datang dengan sikap yang baik.
Caramu itu kasar sekali, juga tak
mau memberitahukan persoalannya.
Apakah bisa di anggap datang
dengan maksud baik?"
berkata Cakra Murti dengan suara datar. Ta-
pi mengandung hawa amarah yang
terpendam didada. karena sikap
si Dewa Arak telah menyinggung
perasaan yang tak menghargai di-
rinya.
Mendelik mata si Dewa Arak,
Hidungnya mendengus.
"Heh! apakah pangkatmu,
sobat? Urusanku cuma dengan si
Wewe Gombel Setan Genit.
Suruh saja dia keluar! tak usah
kau banyak lagak dengan sega-
la macam pertanyaan!" balas
membentak si brewok.
"Hm, baik! baik! aku tak
ikut campur urusan kalian. Tapi
orang yang kau cari itu justru
aku sedang menantikan kedatangan-
nya. Harap kau tunggu saja
disini sampai dia datang!" menyahut la-
ki-laki ini, dengan menekan
perasaannya. Sebenarnya hatinya panas
dibentak sedemikian rupa oleh si
brewok. Tapi dia berusaha mena-
han sabar, karena berhadapan
dengan si brewok yang dia tak tahu
urusan cuma menambah musuh saja.
Selesai berkata Cakra Murti
beranjak masuk kedalam gedung-
nya. Akan tetapi diluar dugaan
sibrewok telah membentak.
"Tunggu! apakah omonganmu
bisa dipercaya?"
Hilanglah kesabaran laki-laki
ini. Tapi disaat dia mau mela-
brak sibrewok, terdengar suara
tertawa cekikikan, disusul oleh ber-
kelebatnya sesosok tubuh yang
jejakkan kaki dengan ringan dide-
pan gedung.
"Bagus! ternyata manusianya
telah muncul!" teriak si brewok
girang dan langsung menggembor.
"Wewe Gombel Setan Genit!
kau harus bayar kematian mu-
ridku dengan nyawamu!"
Wajah si Dewa Arak sekejap telah
berubah bringas melihat
kemunculan wanita ini. Dan tanpa
menunda kesempatan lagi dia te-
lah ayunkan kepalanya yang
disertai tenaga dalam. Itulah jurus pu-
kulan maut yang dilakukan dengan
mendadak.
Akan tetapi pada saat itu sebuah
bayangan berkelebat mema-
paki serangan di Dewa Arak,
disertai bentakan parau.
"Tahan seranganmu, monyet
tua brangasan!" PLAK! Benturan
dua lengan terjadi. Dewa Arak
menjerit kaget karena lengannya se-
rasa menghantam besi. Disaat
mana tahu-tahu dadanya kena dihan-
tam telak oleh pukulan keras.
BUK..! Terlemparlah tubuh si Dewa
Arak, dan jatuh bergulingan.
Ketika dia bangkit dan memandang
dengan mata yang
berkunang-kunang tahulah dia siapa yang me-
nangkis serangannya.
Ternyata si Dedemit Mata Picak,
yang dengan bertolak ping-
gang menatap tajam dengan
sebelah matanya. Benturan kedua pu-
kulan bertenaga dalam barusan
tak mengakibatkan reaksi apa-apa
terhadapnya. Akan tetapi keadaan
sibrewok cukup fatal. Dia mera-
sakan dadanya sesak dan
pandangan matanya berkunang-kunang.
Pukulan telak pada dadanya itu
kalau terkena pada orang yang ilmu
kedigjayaannya rendah tentu akan
meremukkkan isi dadanya.
Untunglah tubuh si Dewa arak
telah berisi dengan ilmu kebal
Hingga nyawanya masih bisa
diselamatkan.
Namun cukup membuat si brewok
terperanjat mengalami se-
rangan keras secara mendadak ini
dan membuat rasa nyeri pada da-
danya.
"Keparat! siapa kau...?
membentak si Dewa Arak dengan gu-
sar. Dia telah melompat bang-kit
lagi. Sepasang matanya tertuju pa-
da kakek rambut putih bertampang
seram itu.
"hehe... hahah... hahah...
rupanya kau si Dewa Arak? Masih
untung kau tidak mampus! Mengapa
datang-datang kau menyerang
orang? Tahukah kau kalau sampai
kau mencelakai adik sepergurua-
nku ini, mana mungkin nyawamu
bisa selamat?" tertawa mengakak
Dedemit Mata Picak.
"Apakah kau si Dedemit Mata
Picak, Wicaksa?" tersebut
Dewa Arak ketika baru menyadari
siapa adanya orang dihadapan-
nya.
"Hihihik... tidak salah
dugaanmu itu, Dewa Arak! Bila kau be-
rurusan denganku sama saja
berurusan dengan dia Sebenarnya aku
tak mau urusanku dicampuri
siapapun, tapi salahmu sendiri, datang-
datang kau mau membalaskan
kematian muridmu tanpa kau mau
tahu apa latar
belakangnya!" Wewe Gombel Setan Genit mewakil-
kan menjawab pertanyaan si Dewa
Arak. Akan tetapi si Dedemit
Mata Picak sendiri justru
mendegus.
"Huh, siapa bilang urusanmu
adalah urusanku? Saat ini aku
memang tengah memerlukan
keterangan mengenai urusaku. Jangan
harap kau bisa selamat kalau kau
menipu!" tukas laki-laki bertam-
pang seram ini dengan pelototkan
sebelah matanya pada Wewe
Gombel Setan Genit. Melihat demikian cepat-cepat Cakra Murti
Menengahi.
"Sudah! sudahlan! sebaiknya
kau Dewa Arak segera kembali
pulang. Urusanmu bisa di
selesaikan lain hari. Karena kau berada
ditempatku, kau harus turut
peraturanku. Kalau tidak terpaksa aku-
pun ikut campur dengan urusan
sahabatku ini!
Dewa arak memikir sejenak. Jelas
dia tak bisa menerima begi-
tu saja saran Cakra Murti. Namun
setelah menimbang-nimbang di-
apun menyadari tak guna
bersitegang pada saat itu.
Karena bisa membahayakan dirinya
sendiri. Segera diapun
berkata.
"Baiklah! aku undurkan
urusanku dengan mu, Wewe Gombel
Setan Genit! Tapi kelak aku pasti
menuntut penjelasan mengenai
kematian muridku di tanganmu!
Bila benar-benar kau berada dipi-
hak salah, aku tak segan-segan
turunkan tangan untuk mencopot
nyawamu!"
Selesai berkata dan tanpa
menunggu jawaban si Dewa Arak
berkelebat dari tempat itu, dan
sekejap sudah tak nampak lagi
bayangan tubuhnya.
***
ENAM
"Kaukah yang bernama Cakra
Murti?" bertanya Dedemit Mata
Picak. Sebelah matanya menatap
tajam pada laki-laki gagah diha-
dapannya.
"Benar, sobat, Sungguh tak
disangka kalau aku bisa berjumpa
dengan anda penghuni kuil
Tengkorak Darah.
Ketiganya duduk diruang depan
gedung. Pertanyaan itu dilon-
tarkan si Dedemit Mata Picak
setelah Wewe Gombel Setan Genit
berbisik pada laki-laki bernama
Cakra Murti.
"Apakah kedatangan anda
ingin menanyakan perihal si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan Roro
Centil?" bertanya Cakra Murti.
"Benar! untuk itulah aku
datang kemari, dan atas petunjuk sa-
habatmu ini!" sahutnya
seraya berpaling menatap Wewe Gombel
Setan Genit.
"Ah, bukankah anda berdua
satu perguruan? Mengapa tak
memakai sebutan kakang atau
adik?" tukas Cakra Murti.
"Ceritanya begini...!
biarlah aku yang menjelaskan, Wicaksa!"
Wewe Gombel Setan Genit
cepat-cepat menjawab, seraya melirik
pada Dedemit Mata Picak yang
cuma mendengus.
"Wicaksa adalah bekas
pesuruh guruku, sedangkan aku adalah
murid beliau pada dua belas
tahun yang silam. Karena Wicaksa juga
dididik oleh guruku mengenai
ilmu kedigjayaan, maka mau tak mau
kami bisa dikatakan masih satu
perguruan. Tujuh tahun yang lalu
guru kami wafat akibat keracunan
tanpa diketahui siapa yang telah
membunuhnya. Dan kami berpisah
menempuh jalan masing-
masing. Baru dua tahun
belakangan ini kami bertemu lagi. Seperti
yang aku ceritakan padamu,
Wicaksa yang bergelar Dedemit Mata
Picak ini menghuni kuil
Tengkorak Darah...! Wewe Gombel Setan
Genit tuturkan secara singkat
mengenai si Dedemit Mata Picak.
Cakra Murti manggut-manggut
mendengar penjelasan Wewe
Gombel Setan Genit.
"Hm, baiklah! Untuk
mempersingkat waktu, bolehkah kulihat
kitab Ki SABDA TAMA yang berada
ditanganmu, sebelum aku
memberitahukan dimana adanya si
Roro Centil musuh besarmu
itu?" berkata Cakra Murti.
"Apakah kata-katamu bisa
dipercaya?" untuk kedua kalinya
Wicaksa berkata. Sorot matanya
tajam menatap pada Cakra Murti.
Cakra Murti tersenyum. Kali ini
dia tak menampakkan kegu-
saran.
"Percayalah! aku pasti
memberitahu mengenai orang yang kau
cari itu.
Karena memang cuma akulah yang
mengetahuinya. Aku ingin
melihat apakah kitab Ki Sabda
Tama itu benar-benar kitab yang se-
benarnya?"
"Apakah kau mengira aku
membawa kitab Ki Sabda Tama
palsu?"
"Ya,ya...! aku percaya!
Tapi alangkah baiknya kalau aku me-
lihatnya!" tukas Cakra
Murti dengan berkata sungguh-sungguh.
"Baik! baik!" seraya
berkata Wicaksa rogoh saku bajunya, dan
lemparkan kitab yang terbungkus
kain kumal itu kepada Cakra
Murti. Dengan cepat Cakra Murti
menyambuti.
Laki-laki ini membuka lipatan
kain kumal itu, lalu mengelua-
rkan sebuah kitab dari dalamnya.
Agak lama dia membolak-balik
kitab itu memperhatikan
isinya. Tak lama kemudian dia
kembali kekursinya, lalu membung-
kus lagi kitab itu.
"Benar, kitab ini milik Ki
Sabda Tama! Hm, kalau tak dari
saudara seperguruanmu ini yang
mengatakan, mana aku tahu kalau
kitab yang kucari-cari ini
berada ditanganmu...! berkata Cakra Mur-
ti. "Kitab ini bukan berisi
mengenai ilmu-ilmu kedigayaan, melain-
kan berisikan tulisan mengenai
Tata Kerajaan.
Aku terlambat menjumpai dia
sebulan yang lalu. Karena dia
telah tak berada di tempat
kediamannya lagi Padepokan Ki Sabda
Tama telah rusak binasa.
Rupanya kaulah yang
memporak-porandakan untuk merebut
kitab ini dari tangannya!"
"Benar! Akan tetapi bukan
niatku merampas kitab itu. Bah kan
aku tak tahu menahu dengan kitab
itu. Secara kebetulan aku melihat
dua orang bertarung. Secara
iseng aku ikut campur urusan mereka.
Orang yang menempur Ki Sabda
Tama, yang baru kuketahui
namanya belakangan itu memakai
topeng hijau. Ternyata dia berju-
lukan si BUTO KALA IJO.
Ki Sabda Tama berilmu tinggi,
hingga nampaknya buto Kala
Ijo terdesak.
Aku turun tangan dan pura-pura
membantu. Sebelumnya me-
mang aku telah mengetahui lewat
pembicaraan kalau si Buto Kala
Ijo itu bertujuan mau merebut
kitab ditangan Ki Sabda Tama.
Ki Sabda Tama terluka terkena
pukulanku. Dan aku berhasil
merampas kitab dari balik
pakaiannya. Tapi benar-benar sial dang-
kal si Buto Kala Ijo. Dia
membokongku dan merampas kitab dari
tanganku, lalu melarikan diri.
Karena kesalnya aku
memporak-porandakan pondok Ki Sabda
Tama!"
"Lalu bagaimana kau bisa
dapatkan kitab ini lagi?" tanya ca-
kra Murti.
"Aku memang berjodoh
memiliki kitab itu, karena seusai aku
mengobrak-abrik pondok Ki Sabda
Tama, aku mendengar suara
orang menjerit parau. Ketika
kuhampiri, ternyata si Buto Kala Ijo
dalam keadaan terkapar
berlumuran darah, Dilengannya tercekal ki-
tab yang dirampasnya itu.
Masih sempat aku melihat sesosok
tubuh berkelebat ketika
aku membentaknya. Agaknya dia si
pembokong Buto Kala Ijo un-
tuk merebut kitab. Tapi keburu
aku datang, hingga dia tak sempat
memiliki kitab itu...!
"Kau tak melihat jelas
orang itu?" tanya lagi Cakra Murti.
"Tidak! aku cuma melihat
sekilas punggungnya! Agaknya dia
telah merasai kehebatan
pukulanku, dan begitu amat ketakutan me-
lihat aku muncul, hingga tanpa
memikirkan kitab dia lari sela-
matkan nyawa!"
"Hahaha... haha... hebat!
nasib peruntungan mu memang ba-
gus! Juga peruntunganku, karena
kitab yang kucari ini bisa jatuh ke-
tanganku, Juga kau Dedemit Mata
Picak bisa mendapat kabar ten-
tang dimana adanya Roro
centil!" berkata demikian Cakra Murti
tersenyum. Sementara hatinya
berkata: Haha... kau tak tahu kalau
orang yang cuma terlihat
punggungnya itu adalah aku. Penuturan
Wicaksa ditutup oleh suara
tertawa Cakra Murti dengan sedikit
memberi bumbu pembicaraan untuk
menggembirakan hati Wicaksa.
Cakra Murti memang agak jerih
karena tokoh hitam ini punya ilmu
pukulan tangan beracun. Tapi
Wicaksa sudah membentak.
"Sudahlah! Kini segera
katakan dimana adanya si Roro Centil
itu! Segera saja kau katakan!
Awas, kalau kau mendustaiku, jangan
harap kau masih bisa tertawa
lagi!" "Hihihik... hihik... katakanlah,
kakang Cakra Murti! Bukankah
imbalannya sudah kita dapatkan?"
berkata Wewe Gombel Setan Genit
yang sejak tadi tak ikut bicara.
"Hm, baik! baik...! tapi
sebelumnya bolehkah aku mengetahui
dendam permusuhan apakah kau
dengan tokoh terkenal itu?"
"Heh! itu urusanku!"
berkata Wicaksa dengan mendelikkan
matanya.
Cepat-cepat Cakra Murti berkata.
"Yah, sudahlah, kalau kau
tak mau menceritakan mengapa
harus aku paksa? Kau telah berbaik
hati memberikan imbalan untuk
maksudmu itu pada kami. Akupun
tak ingin mengecewakan mu,
sobat! Apa lagi kau adalah masih sau-
dara seperguruan sahabat baikku
ini".
"Perjalanan ke tempat si
Pendekar Wanita itu memakan waktu
dua hari. Itupun dengan
menggunakan ilmu lari cepat tanpa berhen-
ti. Saat ini aku amat penat. Kau
beristirahatlah bermalam disini,
sambil kumpulkan tenaga. Besok
kita lakukan perjalanan..." ujar
Cakra Murti.
Padahal hatinya membatin.
"Heh! sungguh mati aku tak tahu
dimana adanya si Pendekar Wanita
itu berada!"
Tak ada pilihan bagi Wicaksa
selain menuruti apa yang dis-
arankan Cakra Murti. Bukankah
dia lebih beruntung, karena Cakra
Murti tidak cuma menunjukkan
dimana adanya orang yang dica-
rinya itu, Tapi bahkan mau
mengantarkannya sampai ke tempat tu-
juan.
Senja semakin temaram. Matahari
telah sembunyi dibalik gu-
nung. Cuaca mulai dilanda
kepekatan ketika malam menjelang da-
tang.
Wicaksa mendengkur lelap di
dalam kamar yang disediakan
untuk nya. Manusia ini memang
tak banyak memikirkan segala apa
mengenai tindak-tanduk orang.
Padahal kalau mau, cakra Murti
bisa membinasakannya tanpa
berpayah-payah mengantarkannya
kesatu tempat dimana berdirinya
Roro Centil.
Cakra Murti memasuki kamarnya
untuk beristirahat Akan te-
tapi segera merandek, karena bau
wewangian menyambar hidung-
nya. Tahulah dia kalau si Wewe
Gombel Setan Genit berada dida-
lam.
Benar saja, ketika dia melangkah
masuk, di lihatnya wanita
bertubuh montok yang
menggairahkan itu dalam keadaan terlentang
ditempat tidurnya tanpa memakai
busana.
Berselimutkan sehelai kain yang
menyingkap sebagian tubuh-
nya.
Bibir laki-laki ini mendesah.
Sejak beberapa lama berhubun-
gan dengan wanita ini, dia amat
banyak menimba keuntungan. Di-
am-diam dia berpikir, apakah si
Wewe Gombel Setan Genit ini be-
nar-benar jatuh cinta padanya?
***
TUJUH
Siapakah sebenarnya Cakra Murti
itu? Dia ternyata seorang
abdi Kerajaan. Dialah Adipati
WUKIR KAMANDAKA, yang
menguasai wilayah barat Kota
Raja dari kerajaan GALUH KEN-
CANA. Kerajaan Galuh Kencana ini
tak diperintah oleh seorang
Raja. Tapi yang bertakhta adalah
seorang Ratu. Adapun kitab yang
berada ditangan Ki Sabda Tama
ada hubungannya dengan kerajaan.
Hingga dia harus bersusah payah
mencari kitab tersebut atas perin-
tah junjungannya sang Ratu Galuh
Kencana.
Adipati Wukir Kamandaka alias
Cakra Murti yang mendapat
tugas rahasia dari sang Ratu
dalam pengembaraannya mencari jejak
Ki Sabda Tama yang mencuri kitab
pusaka kerajaan, berhasil men-
dekati dan bersahabat dengan
Wewe Gombel Setan Genit. Seorang
wanita cabul tokoh golongan
hitam.
Laki-laki yang boleh dikatakan
tak berkepribadian baik itu tak
menyia-nyiakan kesempatan untuk
mengenalnya lebih dekat. Bah-
kan hubungan mereka sudah dapat
dikatakan bagai suami istri. Tapi
dengan demikian, Cakra Murti
banyak menimba pengalaman dan
berkenalan dengan tokoh-tokoh
hitam di Rimba Hijau saat itu. Bah-
kan dia berhasil memperalat Wewe
Gombel Setan Genit untuk
mendapatkan kitab Ki Sabda Tama,
yang secara kebetulan benda itu
berada ditangan Wicaksa, saudara
seperguruan wanita itu.
"Kakang... ah, dekaplah aku
kakang... malam ini dingin seka-
li..." suara Wewe Gombel
Setan Genit terdengar lirih seperti tengah
mengigau. Pelahan Cakra Murti
menghampiri. Bibirnya tersenyum
memandang wajah wanita itu yang
matanya masih terpejam. Len-
gannya pun bergerak menjulur
kebawah selimut. Tubuh wanita itu
menggeliat, dan menggelinjang,
ketika lengan nakal Cakra Murti
membelai.
"Aaah... kakang... dekaplah
kakang..." kembali dia mengerang.
Sepasang matanya setengah terbuka
menatap Cakra Murti dengan
redup. Bibirnya setengah
terbuka. Basah.... dan, ah... membuat ge-
jolak birahi Cakra Murti
seketika mengembara kesekujur tubuh.
Dan bagaikan lompatan seorang
Senapati yang akan bertempur di-
medan perang, Cakra Murti menerjang
dengan garang. Didekapnya
tubuh Cakra Murti seperti mau
diremukkan tulang-tulangnya. Tu-
buhnya menggeliat-geliat seperti
cacing. Dan, tak lama kemudian
Cakra Murti pun terkulai dengan
tubuh serasa dilolosi tulang- belu-
langnya...
***
Malam semakin melarut. Gedung
tua itu seperti mati, tak ber-
penghuni. Saat itu sebuah
bayangan berendap-endap keluar dari da-
lam gedung itu. Gerakannya amat
hati-hati bagai seekor kucing,
tanpa menimbulkan suara. Tak
berapa lama dia telah menyelinap
kesisi sebelah timur gedung. Dan
selang sesaat sosok tubuh itupun
berkelebat lenyap.
Dedemit Mata Picak alias Wicaksa
terjaga dari tidurnya ketika
Matahari telah menggelincir
tinggi. Tersentak kaget dia, karena me-
rasa telah berlaku kurang
waspada, disamping merasa aneh. Men-
gapa dia bisa tidur lelap
seperti orang mati?
"Heh? jangan-jangan arak
suguhan Cakra Murti yang kumi-
num itu mengandung obat
bius...!?" gumamnya. Tak ayal dia sudah
bangkit berdiri. Dan bergegas
memeriksa ruangan gedung itu. Ber-
teriak-teriak dia memanggil si
tuan-rumah dan Wewe Gombel Setan
Genit. Tapi tak ada sahutan.
Kecurigaannya semakin besar bahwa
dia tertipu. Segera dia teruskan
memeriksa seluruh ruangan gedung
itu. Sebuah pintu kamar yang
terkunci didobrak. Berderak suara
daun pintu yang hancur
berkepingan.
Mendelik mata Wicaksa melihat
Wewe Gombel Setan Genit
dalam keadaan terlentang
dipembaringan dengan telanjang. Sekali
lompat dia telah mendekati,
seraya membentak.
"Perempuan edan! katakan,
kemana gendakmu si Cakra Mur-
ti?" bentakan itu dibarengi
dengan lengan terjulur menjabak rambut
wanita itu. Tapi alangkah
terkejutnya dia, karena melihat darah ber-
ceceran diatas pembaringan.
Sekejap dia telah tahan uluran lengan-
nya. Ketika diperhatikan
ternyata Wewe Gombel
Setan Genit telah tak bernyawa
lagi. Keadaannya amat men-
genaskan, karena tulang lehernya
telah remuk.
Menggeram Wicaksa dengan
kemarahan yang memenuhi da-
danya.
"Ini pasti perbuatan si
Cakra Murti!" teriaknya gusar.
Kakek ini memaki kalang kabut,
seraya berlompatan kesekitar
gedung mencari dimana adanya
manusia yang telah menipunya.
"Cakra Murti! awas kau!
kalau kutemukan, akan kupatahkan
batang lehermu! Dan kau Wewe
Gombel Setan Genit! Itulah ru-
panya upah buatmu! Kau telah
diperalat dan tergila-gila dengan
gendakmu itu yang justru
mencelakai dirimu sendiri...!" Setelah
berteriak-teriak dan menggerutu,
Wicaksa alias si Dedemit Mata Pi-
cak berkelebat meninggalkan
tempat itu.
Menjelang tengah hari, Wicaksa
telah berada lagi dipuncak
bukit Lembayung. Pintu Tengkorak
Darah telah siap menyambut
kedatangan majikannya. Akan
tetapi ketika Wicaksa baru saja je-
jakkan kakinya didepan kuil,
tiba-tiba terdengar suara tertawa men-
gikik seorang wanita. Tentu saja
membuat Wicaksa merandek den-
gan kaget. Jelas suara itu
adalah suara si Wewe Gombel Setan Ge-
nit. Bagaimana mungkin ha! itu
bisa terjadi? Bukankah si Wewe
Gombel Setan Genit telah mati?
pikirnya dalam hati.
"Hihihihik.... hihik...
Wicaksa! kau keterlaluan! Mengapa tak
mengubur mayatku? Kau malah
kembali pulang kekuil Tengkorak
Darah! Apakah kau mau sebar
kematian lagi dan tambahkan mayat-
mayat manusia disekeliling
kuilmu? Kalau tak kau balaskan den-
dammu sekarang juga, aku akan
mencekikmu siang-siang! Hihi...
hihik... hihihik..." Bagai
disambar petir Wicaksa mendengar suara
itu. Bulu tengkuknya seketika
meremang disiang hari bolong. Ma-
nusia yang tak takut dengan
segala macam hantu itu, kini benar-
benar tak dapat mungkir lagi
kalau dia sudah mendengar suara han-
tu. Hantu siapa lagi kalau bukan
hantu si Wewe Gombel Setan Ge-
nit? Tak terasa dia melangkah
mundur dua tindak.
Akan tetapi tersentak dia karena
mendengar suara tertawa
mengikik yang seperti
meniup-niup telinganya.
"Aah...!?" Dia
melompat ke belakang dengan keringat dingin
mengucur ditengkuknya.
"Mungkinkah ada hantu
muncul di siang hari?" benaknya
memikir. Ternyata kemanapun dia
melompat, suara tertawa mengi-
kik itu terus mengikuti.
Akhirnya...
"Bha... baik! baik...! aku
akan mengubur jenasahmu, Wewe
Gombel! Tapi dimana aku bisa
mencari si Cakra Murti? Aku tak ta-
hu kemana dia pergi!"
tergagap dan terengah-engah Wicaksa berka-
ta. Tampaknya dia amat ketakutan
sekali. Suara tanpa rupa terus
memburunya membuat tubuhnya jadi
gemetar panas dingin. Seu-
mur hidupnya barulah dia
mendengar suara setan.
***
Emoticon