LIMA
SEMASA Yuda Lelana belum menikah dengan Murti
Kumala, penguasa Benteng Geladak Hitam yang bernama
asli Dardanila itu masih cantik. Selain cantik juga sexy dan
menggairahkan. Tapi saat yang datang Pandu Puber,
perempuan itu tidak secantik dulu, (Kalau mau mengintip
kecantikan Dardanila, bacalah serial Pendekar Romantis
dalam kisah: “Geger Di Kayangan” asyik lho)
Ketika Pandu Puber diantar dua penjaga gerbang
setelah terlebih dulu diantar si baju hitam dari pantai tadi,
keadaan di dalam ruang pertemuan itu masih bersuasana
serius. Di ruang pertemuan yang dulu pernah dijadikan
tempat pertemuan ayah Pandu dengan Dardanila itu
tampak beberapa orang sedang berbicara dengan Ratu
Geladak Hitam.
Tubuh Ratu Geladak Hitam menyedihkan sekali. Kurus,
berkulit keriput, bongkok, pipinya kempot, dahinya
berkerut-kerut seperti lipatan sarung kumal. Rambutnya
beruban tak rata. Pokoknya jelek sekali deh. Tak ada
pantasnya sedikitpun kalau dipajang dalam bufet kaca.
Sang ratu sedang bicara dengan dua wanita yang usia-
nya separo baya. Kalau saja dulu waktu Yuda Lelana
datang ke situ Pandu ikut serta, pasti Pandu mengenali
dua wanita tersebut. Mereka adalah Kutilang Manja dan
Peluh Selayang, murid dari Nyai Sirih Dewi, dari perguruan
Sekar Bumi yang menempati Bukit Bara. Sekarang Kutilang
Manja sudah berusia empat puluh dua tahun, sebab waktu
bertemu dengan Yuda Lelana ia berusia dua puluh empat
tahun. Sedangkan Peluh Selayang sudah berusia empat
puluh enam tahun. Sekalipun begitu mereka masih tempak
cantik dan belum terlalu tua. Bahkan kecantikan mereka
semakin kelihatan matang, seakan tumbuh sebagai wanita
yang punya segudang pengalaman dalam bercinta.
Tiga wanita dan dua lelaki anak buah Dardanila merasa
terkejut ketika penjaga gerbang menghadap dan mem-
beritahukan adanya tamu yang bernama Pandu Puber.
Mata tua Ratu Geladak Hitam terkesiap, lalu berubah men-
jadi tegang, seperti mata kedua wanita murid Nyai Sirih
Dewi itu.
“Pandu Puber…? Bukankah….bukankah dia yang
belakangan ini dikenal dengan nama Pendekar Romantis?”
ujar Ratu Geladak Hitam.
“Kalau tak salah dengar, konon dia anak dari Yuda
Lelana,” sambung Kutilang Manja dengan hati berdebar-
debar sebab dulu ia pernah hampir jatuh cinta mentok
kepada Yuda Lelana.
“Suruh dia masuk dan menghadapku,” kata Dardanila
kepada penjaga gerbang. Maka sang Pendekar Romantis
pun dibawanya menghadap.
Ruang pertemuan menjadi hening mencekam. Mata
mereka terpana memandang seraut wajah tampan yang
menggetarkan hati. Rambutnya punk-rock, bajunya ungu
keren karena berbintik-bintik seperti tetesan embun pagi,
tubuhnya tegap, gagah dan tampak jantan sekali. Kutilang
Manja tak sadar sampai membuka mulutnya beberapa
saat lamanya. Mulut sampai terasa kering karena kena
angin.
Kekakuan mereka yang menyerupai patung hidup itu
segea berakhir setelah Pendekar Romantis bicara sambil
sunggingkan senyum yang mampu menghentikan jantung
orang setua Dardanila tapi masih bersemangat muda.
Untung saja Dardanila segear menarik napasnya panjang-
panjang, sehingga jantungnya tak sempat berhenti karena
senyuman yang amat membius sukma itu.
“Apakah di sini tempat pertemuan orang bisu?”
Dardanila memaksakan diri untuk batuk-batuk kecil,
membuat merekapun mulai sadar akan keterbungkaman
mulut penuh rasa kagum itu.
“Benarkah kau putra Yuda Lelana sang dewa itu?”
sambut Dardanila dengan suaranya yang gemetar karena
ketuaan fisiknya.
“Ya, aku putra Yuda Lelana yang sudah kau kenal, Nyai
Ratu.”
“Ooh…..cobalah mendekat kemari, aku ingin melihatmu
lebih jelas lagi, Nak!” kata Dardanila, dan Pandu Puber pun
segera mendekati dengan senyum masih menari-nari di
wajah indonya yang luar biasa ganteng itu.
Dengan mata yang sedikit rabun Dardanila meraba-raba
dada Pandu, bahkan rabaannya naik ke wajah. Setiap
lekuk wajah disentuhnya agar lebih jelas lagi merasakan
sebentuk ketampanan anak Yuda Lelana. Pandu Puber
sendiri sempat merinding diraba nenek bungkuk berkulit
keriput. Ia risi, wajahnya diobok-obok oleh tangan kurus
bagai tulang terbungkus kulit. Tapi ia bertahan demi
melegakan si nenek yang tampak menyedihkan itu.
“Ya, ya, ya….” Dardanila manggut-manggut, senyum tua-
nya membias tak sedap dipandang mata. “Ternyata
memang tampan. Lebih tampan dari ayahnya.”
“Bagaimana kabar…..ayahmu, Pandu Puber?” tanya
Kutilang Manja agak malu.
“Ayah sudah kembali ke kayangan. Ibuku digondolnya
juga!”
Mereka tertawa lirih mendengar ucapan Pandu Puber
yang cuek sekali itu.
“Kudengar kau terkena racun ‘Tua Bangka’ dari Ratu
Peri Sore, Nyai Ratu?”
“Benar. Aku bertarung dengannya dua purnama yang
lalu.”
“Apa masalahnya?”
“Mempertahankan Bukit Bara,” jawab Peluh Selayang.
Wanita itu sejak tadi menatap Pandu tiada bosannya.
Bahkan kalau bisa wajah itu menempel lekat-lekat di
kedua matanya. Padahal Peluh Selayang sudah punya
suami lho. Tapi setahun yang lalu sudah cerai sih, jadi dia
berani menikmati wajah seorang pemuda yang menggelitik
hasrat bercumbunya. Peluh Selayang berkata lagi,
“Kami mempertahankan Bukit Bara, tapi tak berhasil.
Bukit Bara sudah direbut dan dikuasai Ratu Peri Sore dan
anak buahnya. Kami bukan saja kehilangan perguruan,
namun juga kehilangan tambang emas yang ada di Bukit
Bara itu.”
“Ratu Peri masih doyan tambang emas juga rupanya?”
“Mereka tidak menggubris soal tambang emasnya,”
sahut Kutilang Manja. “Yang mereka butuhkan di sana
adalah tanah Kapur Gaib.”
Pendekar Romantis yang semula menatap wajah
Kutilang Manja dan membatin sisa kecantikan wanita itu,
kini jadi berkerut dahi. Rasa herannya tercetus dalam
sebuah tanya,
“Apa yang dimaksud dengan tanah Kapur Gaib itu,
Bibi?”
“Tanah Kapur Gaib adalah sebidang wilayah yang dapat
untuk menyerap segala kekuatan gaib yang melintasi Bukit
Bara. Seluruh kekuatan gaib yang melintas di atas tanah
Kapur Gaib itu terserap dan dapat dimanfaatkan oleh Ratu
Peri Sore dan anak buahnya sebagai kekuatan tambahan
pada diri mereka. Kabarnya, Ratu Peri Sore berhasil
memperoleh jurus ‘Keringat Matahari’ dari memanfaatkan
dan mengolah kekuatan yang terserap di tanah Kapur
Gaib.”
Pandu Puber terperanjat. Ia ingat cerita Mirah Duri
tentang kekalahan kakeknya; Kala Bopak, akibat terkena
jurus ‘Keringat Matahari’ dari Ratu Peri Sore. Giginya
sempat menggeletuk menahan dendam, tapi ia cepat bisa
kuasai diri sehingga tampak tenang kembali.
Peluh Selayang menyambut kata-kata Kutilang Manja,
“Guru kami, Nyai Sirih Dewi, adalah salah satu korban dari
jurus ‘Keringat Matahari’. Beliau musnah tanpa jasad pada
saat kami melihat Ratu Peri Sore menghantamnya dengan
jurus tersebut.”
“Kakekku juga begitu!”
“Siapa maksudmu?” sergah Dardanila.
“Kala Bopak, raja jin penguasa Pulau Iblis!”
“Mampuslah dia….!” Tak sadar Dardanila mengucapkan
sumpah serapahnya, karena hatinya masih luka jika ingat
Pulau Iblis yang dulu dikuasainya sempat direbut oleh Kala
Bopak. Hampir saja Pandu Puber marah mendengar
sumpah serapah Dardanila. Untung segera dijernihkan oleh
Peluh Selayang, sehingga keadaan menjadi damai dan
adem lagi.
“Aku ingin berhadapan dengan Ratu Peri Sore, Nyai
Ratu. Bagaimana caranya? Apakah aku harus menemuinya
di Hutan Kulit Setan atau di Bukit Bara?”
“Sebenarnya….” Kata Dardanila setelah berpikir sesaat.
“Aku bisa membantumu melawan Ratu Peri Sore jika
keadaanku pulih seperti sediakala, tidak menjadi setua ini
dalam waktu dua bulan saja.”
Pandu Puber merasakan kata-kata itu sebuah
pancingan dari sang Ratu Geladak Hitam. Jelasnya, sang
Ratu minta diobati oleh Pandu Puber. Tapi Pandu pikir-pikir
dulu, soalnya wanita itu tadi habis mengecam kakeknya.
Kutilang Manja berkata kepada Pandu, “Ratu Peri Sore
bukan tandingan kita. Dia sukar dibunuh karena tentunya
kekuatan gaibnya sangat tinggi, apalagi ditambah hasil
pengolahan kekuatan dari tanah Kapur Gaib. Jika kau
melawannya, kau akan binasa, Pandu. Ada baiknya kalau
kau lupakan saja tentang Ratu Peri Sore itu. Jaga dan
kendalikan emosimu biar tidak membunuh dirimu sendiri!”
“Tapi aku tahu kelemahan si Ratu Peri Sore itu!” sahut
Dardanila. Pandu Puber berpaling memandangnya.
Dardanila langsung berkata, “Tolong bantu aku
melenyapkan racun ‘Tua Bangka’ ini, nanti akan kubantu
kau mengalahkan Ratu Peri Sore, karena aku tahu
kelemahannya.”
“Jika kau tahu, kenapa tidak kau hantam kelemahannya
itu saat bertarung denganmu?” kata Pandu Puber
menampakkan pemikirannya yang kritis.
“Aku belum sempat memukul kelemahannya. Dia lebih
cepat melumpuhkan diriku dengan racun brengseknya ini!”
geram Dardanila. “Penderitaanku ini punya hikmah sendiri.
Aku jadi punya siasat sendiri untuk melawan dan
mengincar kelemahannya. Karena itu, jika kau bisa
melenyapkan pengaruh racun ‘Tua Bangka’, aku bisa
membantumu mengalahkan Ratu Peri Sore. Kita sama-
sama menyimpan dendam kepada mahluk memuakkan
yang satu itu!”
Rasa ingin tahu kelemahan Ratu Peri Sore membuat
Pandu akhirnya mengalah. Ia tak mau bersitegang karena
sumpah serapah Dardanila tadi. Tentu saja kata-kata
Pandu yang menyatakan kesanggupannya melenyapkan
racun ‘Tua Bangka’ membuat hati Dardanila bersemangat
lagi dan wajah kempotnya berseri-seri. Pandu Puber segera
dibawanya ke ruang bawah tanah, sebuah ruang semadi
dan peristirahatan Dardanila yang tersembunyi. Dulu, Yuda
Lelana pun pernah dibawanya ke ruang bawah tanah yang
mempunyai kolam berair mancur di tengah itu. Ruangan
tersebut tetap terawat rapi dan menimbulkan kesan magis
tersendiri bagi orang yang tinggal di dalamnya.
Hanya Dardanila dan Pandu yang masuk ke ruangan
tersebut. Memang tidak semua tamu dibawa ke sana oleh
Ratu Geladak Hitam. Hanya tamu khusuSnya yang diajak
ke ruang tersebut. Buat Dardanila, Pandu adalah tamu
khusus dan istimewa, sehingga pemuda itu dibiarkannya
memandangi ruangan itu dengan bebas, bersikap
seenaknya seperti tempatnya sendiri.
“Apakah ayahmu pernah cerita tentang ruangan lain?”
“Sepintas,” jawab Pandu. “Tapi ayah tidak sebutkan
kalau ruangan ini punya hawa yang nyaman. Ayah hanya
bilang; Ratu Geladak Hitam punya tempat rahasia di bawah
tanah.”
“Hanya itu?”
“Ya. Apakah ayahku pernah masuk ke mari?”
“Belum. Tapi aku pernah ceritakan tempat ini padanya,”
jawab Dardanila berbohong dengan maksud yang amat
peribadi.
“Boleh aku numpang cuci muka di sini?”
“Silahkan!” kata Ratu Geladak Hitam dengan suara
tuanya. “Kalau kau mau mandi pun boleh, asal jangan
bersama pakaianmu.”
Terkekeh sendiri sang Ratu Geladak Hitam, sementara
Pandu Puber hanya sunggingkan senyum kecil. Lalu ia
membasuh wajahnya dengan air kolam tersebut karena
udara panas selama di pantai membuatnya tak tahan
merasakan wajah berkeringat. Dardanila hanya perhatikan
saja sambil senyum-senyum.
“Bagaimana caramu mengobatiku nanti?” tanya
Dardanila setelah Pandu selesai cuci muka dengan air
kolam tersebut. Di sela gemericik suara air mancur di
tengah kolam, Pandu Puber berkata.
“Baringkan tubuhmu di ranjang batu itu. Jika merasa
kantuk dan ingin tidur, nikmati saja. Jangan ditentang.”
Tubuh tua berkeriput segera naik ke pembaringan batu
marmer yang dilapisi semacam kasur empuk dan nyaman.
Napasnya terengah-engah, padahal hanya jalan dari tepi
kolam ke pembaringan dan naik ke atas pembaringan itu.
Sepertinya pekerjaan tersebut amat melelahkan bagi
napas tua Dardanila.
“Sial? Kenapa perasaanku jadi gelisah begini, ya?” pikir
Pandu secara diam-diam. “Wah, ada yang nggak beres nih!
Jangan-jangan Ratu Peri Sore muncul di sini?! Kalau begitu
aku harus buru-buru sembuhkan Dardanila dulu!”
Sinar bening putih seperti kaca memancar dari jari
tenah Pandu Puber. Sinar itu berjalan dari kening Dardanila
sampai ke dada, dan terus menyusuri sampai ke perut,
bahkan kedua kaki Dardanila ikut disusuri sinar tersebut.
Mata perempuan tua itu terpejam, tangan terkulai lemas di
samping.
Cara pengobatan seperti itu belum pernah dilakukan
oleh Pendekar Romantis. Tapi apa yang dilakukannya
seperti ada yang menggerakkan sendiri. Bahkan tadi ia
sempat menduga bahwa Ratu Geladak Hitam akan tertidur,
padahal selama ini tak ada pasien yang tertidur, padahal
selama ini tak ada pasien yang tertidur jika mendapat
pengobatan dari jurus ‘Hawa Bening’-nya. Toh nyatanya
Dardanila benar-benar tertidur seperti apa kata Pandu
Puber tadi.
“Sial, kok benar-benar tidur, ya?!” pikir Pandu Puber.
“Ah, mumpung ia tidur, kuperiksa dulu seluruh ruangan
ini!”
Pandu Puber si Pendekar Romantis memperhatikan tiap
benda yang ada di ruangan itu. makin lama langkahnya
makin ke arah lorong menuju ke tangga. Tapi ia tertarik
dengan lorong lain sebelum membelok ke arah tangga ke
luar. Lorong itu mempunyai penerangan obor yang berjarak
renggang, tidak serapat jarak obor di lorong menuju ruang
berkolam bening itu.
Zzzz…! Tiba-tiba Pandu Puber mendengar suara desis
seekor ular. Gerakan tubuhnya sangat refleks, cepat
balikkan badan dan ternyata ia sudah dihadang oleh
seekor ular besar jenis piton. Ular itu adalah peliharaan
Dardanila untuk menjebak lawan yang salah masuk. Ular
berkulit hitam kecoklatan dengan bentuk loreng yang
bermotif indah itu memancarkan pandangan matanya
dengan ganas. Mulutnya terbuka sambil sesekali
semburkan hawa racun yang ditangkis Pandu Puber
dengan kibasan tangan berangin cukup besar. Wuuukk…!
Zzzz…!
“Lho, ada lagi?!” Pandu Puber terperanjat karena di
belakangnyapun ada seekor ular jenis piton juga berbadan
lebih besar lagi dan tampak ganas. Agaknya ular yang baru
saja muncul di belakang Pandu itu berjenis lelaki. Ular itu
tampak lebih ganas dan ingin marah kepada Pandu.
“O, ceritanya kamu cemburu, gitu? Amit-amit deh! Aku
nggak bakalan merayu betinamu, tahu?!”
Zzzz…! Ular jantan itu keluarkan uap racun. Pandu
segera mengibaskan tangannya dari kanan dan ke kiri.
Wuuukkk…! Uap itu terusir dan menyebar ke dinding
lorong. Mata Pandu terbelalak tegang melihat dinding
lorong menjadi hangus akibat terkena uap beracun itu.
“Wah, kayaknya sih bukan ular sembarang ular nih!
Kalau nggak segera dibereskan, bisa-bisa aku jadi
santapan mereka berdua!” kata Pandu membatin. Kedua
ular dari arah itu bergerak pelan-pelan mendekati
Pendekar Romantis, seakan menunggu peluang bagus
untuk menyerang.
Melihat si jantan bergerak lebih cepat dan beberapa kali
menyemburkan uap racun yang dapat menghanguskan
dinding batu itu, tangan Pandu Puber segera bergerak
menyentak ke depan. Wuutt…! Claapp…!
Sinar putih perak melesat dari tangan itu. Jurus ‘Inti
Dewa’ digunakan dengan cepat dan refleks sekali. Sinar
putih itu menghantam kepala si jantan dan ….daar! Kepala
ular hancur bersama badannya menjadi serpihan serat-
serat pendek seperti abon.
Melihat si jantan dihancurkan, ular betina marah. Ia
mmapu melompat bagaikan terbang menyerang Pandu
dengan badan gemuk dan kepala besarnya. Wuuss…
Pendekar Romantis tak punya kesempatan untuk meng-
hindar ke samping kanan-kiri. Ia hanya melompat mundur
tida tindak menghindari serangan ular aneh tersebut.
Kilatan cahaya putih perak dipergunakan lagi oleh Pandu
Puber.
Claapp….
Duarr…!
Dinding lorong guncang lagi, tapi tak keras. Kepala ular
betina hancur bersama badannya menjadi serat-serat
serupa abon daging ular. Dinding lorong menjadi merah
karena percikan darah kedua ular tersebut. Pandu Puber
segera keluar dari lorong itu dan kembali ke ruang luas
berkolam. Ia mencuci lengannya yang terkena percikan
darah ular amis. Selesai mencuci tangannya, mata
Pendekar Romantis menjadi terperanjat memandang ke
arah pembaringan.
Tubuh yang ada di atas pembaringan ternyata sudah
bukan lagi tubuh tua peot dan kempot. Tubuh yang ada di
pembaringan adalah tubuh sekal berwajah cantik jelita.
Dada montok menantang, kulitnya putih mulus, bibirnya
sangat sensual dan bulu matanya cukup lentik. Pendekar
Romantis bagaikan terpaku di tempat memperhatikan
sosok muda Dardanila yang telah terbebas dari racun ‘Tua
Bangka’ itu.
“Gila! Rupanya ini wajah dan kecantikan Dardanila
sebelum terkena racun? Wow….! Macan juga perempuan
itu. oh, dadaku bergemuruh makin cepat.”
Pandu Puber mulai melangkah dekati ranjang dengan
pelan-pelan. Matanya masih tak berkedip dan sedikit lebar
dari biasanya. Dadanya semakin terasa bergemuruh hingga
menggetarkan tubuh. Ada tuntutan batin yang mendesak
amat kuat dan ingin menjebol kepala jika tak dituruti.
Tiba-tiba sebelum Pendekar Romantis mencapai ranjang
itu, Dardanila terbangun. Lalu segera sadari keadaan diri-
nya yang telah pulih kembali itu. Ia tampak gembira. Ia
tertawa-tawa kecil sambil meraba wajahnya sendiri untuk
meyakinkan kecantikannya yang sudah dua bulan sirna itu.
Ditatapnya Pandu dan iapun berkata, “Aku telah kembali
cantik seperti sebelum terkena racun itu! Aku cantik,
bukan?!”
Pandu malah jadi panik sendiri dalam mengangguk-
angguk. “Iyy…iya…iya cantik sekali. Hmm….wah iya….cantik
juga ya?”
Mata datar Pandu mengingatkan Dardanila saat si
tampan itu mencuci muka dengan air kolam. “Dia telah
terjerat oleh kekuatan mesra air kolamku. Dia tak tahu
kalau air kolam itu akan membuat lelaki manapun yang
menyentuhnya akan bergairah padaku dan menuruti apa
perintahku selama belum tercurahkan hasrat kejantanan-
nya. Oh, benar-benar hari ini aku menikmati ke-
beruntungan yang berlipat ganda…!” ujarnya di dalam hati.
“Pandu, cepat mendekat ke mari!” perintah sang Ratu.
Pandu tidak menolak. Pandu mendekat dengan terburu-
buru. Perempuan itu masih duduk di tepi pembaringan.
Menatap dengan bayangan sinar cinta yang menggelora,
sedangkan sinar mata Pandu semakin menampakkan
hasrat bercumbu yang menggebu-gebu.
“Cium lututku, Pandu…!”
Perintah itu benar-benar dilaksanakan oleh Pandu
Puber. Dengan pelan disingkapkan kain jubah tipis itu dan
pelapis tubuh sebatas betis itu. Diciumnya lutut Dardanila.
“Lepaskan semuanya, Pandu.” Bisiknya meminta, dan
Pandu patuh kepada perintah itu karena terperangkap
kekuatan gaib dari air kolam. Apa saja yang diperintahkan
Dardanila dikerjakan oleh Pandu tak memikirkan harga diri-
nya lagi.
***
ENAM
HATI Pendekar Romantis sempat rasakan penyesalan
cukup dalam setelah tuntutan batinnya tersalurkan bagai
curahan air mancur di tengah kolam. Gemericik mem-
awakan irama kedamaian. Tapi kedamaian di hati itulah
yang segera berubah menjadi penyesalan yang men-
jengkelkan.
“Brengsek betul air kolam itu, bikin aku jadi budak
cintanya Dardanila! Kalau tahu begitu aku tak mau cuci
muka dengan air kolam itu! Tapi….. ya sudahlah. Toh
segalanya sudah terlanjur, sudah terbuang tuntas, tak
mungkin kutarik kembali. Ini juga karena kesalahanku,
ceroboh dan kurang hati-hati dalam bertindak.”
Beda lagi dengan pendapat hati wanita bermata jalang
itu, “Luar biasa indahnya bercinta dengan Pendekar
Romantis. Kalau saja tiap saat dia mau cuci muka dengan
air kolamku, atau tanpa menyentuh air kolam mau seperti
tadi, wow….! Mungkin aku tak akan sempat menikmati
sarapan hari ini sampai sarapan besok pagi. Dia lain
daripada yang lain! Sampai sekarang tubuhku masih
merasa seperti disusuri oleh ciuman hangatnya. Duhaai…
seumur hidup baru sekarang kurasakan sebentuk
kebahagiaan yang begitu panjang. Memang tak sia-sia dia
bergelar Pendekar Romantis. Sesuai sekali dengan ke-
bolehannya bersilat lidah!”
Tanpa sadar, racun cinta telah membebas di hati dan
jiwa Dardanila. Ia tak tahu, bahkan Pandu sendiri tak tahu
bahwa siapapun yang merasakan kehangatan pribadi
Pendekar Romantis, ia akan menjadi lengket sepanjang
masa, karena semburan kehangatan cinta pemuda itu
mempunyai racun kodrati dari kekuatan kedewaannya,
yaitu racun ‘Pemikat Surga’, suatu kekuatan racun di
dalam darah kejantanan anak blasteran Dewa dan Jin.
Racun itu akan membuat wanita yang pernah merasa-
kannya tak bisa berpisah dari Pandu dan hasratnya selalu
bergelora. Wanita itu akan senantiasa membutuhkan
semburan kehangatan cinta dari Pandu Puber, dan bisa
mati TBC kalau tidak terlayani kehendaknya. Wanita seperti
itu akan mudah tersentuh dan terbakar gairahnya jika
bayangan Pendekar Romantis muncul dalam ingatan.
Kelihatannya memang bahagia, menyenangkan,
melegakan, tapi sebenarnya justru membahayakan bagi
pihak wanitanya. Jika hanya membayangkan wajah Pandu
Puber saja bisa terbakar gairahnya, apalagi jika melihatnya
langsung walau dalam jarak jauh, semakin mudah terbakar
hasrat bercintanya. Perempuan seperti itu akhirnya akan
menderita ‘gila kencan’ yang tak pernah mau menerima
lelaki lain, kecuali Pendekar Romantis.
Oke, itu masalah Dardanila sendiri. Itu risiko perempuan
yang gemar menjebak lelaki dengan air kolam kemesraan.
Tak perlu dihiraukan lagi. Yang penting bagaimana caranya
kalahkan Ratu Peri Sore jika benar perempuan siluman itu
tak bisa dibunuh? Ini yang perlu dipikirkan dan dibicara-
kan.
“Menghantamnya tepat di ubun-ubun!” kata Dardanila
kala mereka berembuk di ruang pertemuan bertiang
delapan itu.
“Dari mana kau tahu kalau kelemahannya ada di ubun-
ubun?” tanya Kutilang Manja yang sudah seperti teman
sendiri terhadap Ratu Geladak Hitam.
“Saat kuserang dari atas, ia kaget dan buru-buru
menadahkan kedau telapak tangannya di atas ubun-ubun.
Jadi ia sangat melindungi ubun-ubunnya!”
“Kalau begitu kita berangkat sekarang saja ke tanah
Kapur Gaib!” ujar Pendekar Romantis tak sabar lagi. Tapi
Ratu Geladak Hitam yang terkenal galak kepada lawan itu
jusrtu berpikir beberapa saat. Agaknya sekarang ia harus
berhitung dulu sampai dua belas kali jika harus ber-
hadapan dengan lawan seberat Ratu Peri Sore itu.
Ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam hatinya,
“Pertarungan ini bersifat untung-untungan. Kalau dia sadar
bahwa aku sudah mengetahui kelemahannya, maka ia
akan menjaga kelemahan itu sekuat tenaga dan meng-
gunakan jurus-jurus handalnya agar sekali gebrak aku
binasa. Kalau aku binasa, oh…..di akhirat belum tentu ada
lelaki seperti Pandu. Belum tentu juga Pandu mau
menyusulku ke alam kubur. Tapi kalau Pandu sendiri yang
maju menghadapi si kuntilanak jalang itu, waah….. bisa-
bisa Pandu kalah mental. Ratu Peri Sore kudengar punya
ajian yang bernama ‘Syair Cumbu Sukma’. Kalau Pandu
sampai kena ‘Syair Cumbu Sukma’, alamak…..mampuslah
aku! Dia pasti akan meninggalkan aku dan lari ke dalam
pelukan Peri Kuntilanak itu!”
Dardanila jengkel sendiri memikirkan kerawanan itu.
sedangkan dirinya merasa mulai berat jika harus berpisah
dari Pendekar Romantis. Sekarang juga baru membayang-
kan si Pendekar Romantis jatuh dalam pelukan Ratu Peri
Sore, gundah hati Dardanila membakar gairah untuk
menikmati kembali kehangatan cinta sang pendekar per-
kasa itu.
Akhirnya Dardanila memutuskan, “Kita tangguhkan dulu
beberapa saat. Jangan menyerangnya saat-saat sekarang.”
“Apa alasannya?” tuntut Pendekar Romantis.
“Tunggu informasi dari mata-mata yang kutugaskan
menyusup di sekitar tanah Kapur Gaib.”
“Bagaimana kalau mata-mata yang kau tugaskan itu
tertangkap dan dibunuhnya? Kita akan kehabisan waktu!”
Peluh Selayang menyambar kata, “Aku setuku pendapat
Pandu. Kita berangkat sekarang juga. Tak perlu menunggu
kedatangan mata-mata.”
“Banyak hal yang sudah kita tahu tentang Ratu Peri Sore
itu,” ujar Kutilang Manja bersifat mendukung pendapat
Peluh Selayang. “Kita sudah cukup punya bekal yang dapat
dipakai untuk menghancurkan Peri keparat itu!”
Dardanila gelisah. Ada dua kegelisahan yang mencekam
hatinya. Pertama kegelisahan tentang keselamatan
Pendekar Romantis, kedua kegelisahan tentang gairah
cintanya yang merasa bagaikan dikipas-kipas terus selama
berdekatan dengan Pandu Puber. Kegelisahan itu berubah
menjadi kecemasan. Kecemasan kian meningkat menjadi
ketakutan. Ketakutan melontarkan suatu keputusan yang
bersifat egois.
“Tunggu sampai satu malam lagi!”
“Tidka, aku akan berangkat sekarang juga!”
“Pandu!”
“Aku tak bisa menunda waktu! Kurasakan sekarang ini
ada firasat yang menyuruhku berangkat ke tanah Kapur
Gaib. Kemenangan sudah kurasakan ada di tanganku! Aku
tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini!”
Pandu Puber nekat pergi dari sidang tersebut. Wuuuttt…!
Jleeggg! Dardanila berkelebat mendahului langkah Pandu,
lalu diam menghadang langkah sang pendekar beranting
satu yang menambah kesan fantastis dalam bercintanya.
“Kubilang jangan berangkat sekarang, Pandu! Aku
punya firasat tidak baik untuk keselamatan jiwamu!”
“Aku harus berangkat sekarang!” tegas Pandu tak mau
mengalah.
“Percayalah padaku, Pandu! Jangan sekarang!”
Tiba-tiba Pandu Puber bergerak cepat ke arah lain,
kemudian menuju ke arah pintu gerbang. Dardanila
berseru bagai luapan amarah yang terlontar dalam
kepanikannya.
“Pandu…! Berhenti kau! Heii….! Panduuu…!”
Pemuda itu tak mau hiraukan seruan Dardanila. Dengan
jengkel sekali Dardanila tetap mengejar Pandu Puber. Ia
menggunakan jurus peringan tubuh saat mengejar hingga
bisa berlari cepat dalam sekelebat. Tapi Pandu Puber
gunakan gerak ‘Angin Jantan’ yang ternyata lebih cepat
dari gerakan Dardanila.
“Lekas kita susul mereka, jangan sampai terjadi
pertarungan di jalan!” kata Peluh Selayang kepada Kutilang
Manja. Maka keduanya benar-benar lari menyusul Pandu
dan Dardanila.
Pengejaran Dardanila menemui jalan buntu. Bukan
karena ia kehilangan jejak Pandu, tapi karena Ki Loan Besi
tahu-tahu muncul di hadapan Dardanila, merentangkan
kedua tangannya seperti anak kecil main gobak-sodor.
Wajahnya menyeringai memuakkan, membuat Dardanila
menggeram gemas sekali.
“Muka beton! Ngapain menghadangku, hah?!” sentak
Dardanila yang sudah cukup kenal dengan tokoh yang satu
ini.
“Aku tahu kau mengejar Pandu Puber, bukan?!”
“Memang benar! Apa urusanmu?”
“O, urusanku cukup penting. Aku calon gurunya, jadi aku
tak ingin calon muridku celaka di tanganmu, Dardanila
Sayang…..!”
“Puih! Kau benar-benar memancing kemarahanku, Loan
Besi! Hiaaah…!”
Ratu Geladak Hitam menerjang Loan Besi dengan satu
lompatan seperti kelelawar menghantam nyamuk. Wuutt…!
Brusss…! Buuhg…!
Tubuh Loan Besi terbuang ke belakang karena satu
tendangan kaki Dardanila masuk mengganjal teng-
gorokannya. Padahal tadi Loan Besi sudah kibaskan
tongkatnya yang mampu berkelebat cepat tak terlihat.
Namun masih saja ia kecolongan gerak, sehinga tongkat
tidak kenai sasaran tapi kaki lawan menendang teng-
gorokannya.
“Hooek…!”
Biasa deh kalau udah gitu. Muntah darah.
Kesempatan itu dipakai Dardanila untuk menghajar
Loan Besi lagi dengan pukulan jarak jauh tanpa sinar.
Wuutt…! Beehg…! Blaar…! Loan Besi masih sempat
lepaskan pukulan menangkis bertenaga dalam juga.
Akibatnya dentum ledakan menggema dan Loan Besi
makin terseret menjauhi tempat jatuhnya. Ia terguling-
guling karena hempasan angin ledakan tadi. Sedangkan
Ratu Geladak Hitam hanya terpelanting mundur tiga tindak
lalu segera berdiri tegak lagi.
“Hooek…!”
Nah, makin parah kan? Cari penyakit sih kakek tua itu.
Salah sendiri!
Terdengar suara Ratu Geladak Hitam berseru dari
tempatnya, “Loan Besi! Kalau kau menghalangiku sekali
lagi, kubikin remuk seluruh tulangmu!”
“Bangkhat…!” Loan Besi sedikit kaget. Suaranya jadi
serak. Mau memaki dengan kata ‘Bangsat’ jadi ‘Bangkhat’.
Tapi ia berusaha bangkit dengan pergunakan tongkat
gembalanya. Walau terhuyung-huyung mau jatuh, Loan
Besi masih belum mau menyerah. Ia menduga antara
Pandu dengan Dardanila punya masalah besar yang
membuat Pandu Puber kalah dan dikejar oleh Dardanila
untuk dibunuh. Maka sikap Loan Besi sebagai calon
pelayan ataupun guru Pandu merasa perlu menghambat
kejaran Dardanila itu agar Pandu mampu selamatkan diri
sejauh mungkin.
“Akho… makhu khalau khau bekhani…!” maksudnya,
‘Ayo maju kalau kau berani’. Tapi karena tenggorokannya
terasa perih, jadinya seperti orang gagu baru bisa belajar
ngomong. Khasikhan, ya? (kasihan ya?)
Tongkatnya diputar-putarkan di atas kepala dengan
lengkungannya mencantol di pergelangan tangan. Jurus itu
dinamakan olehnya jurus ‘Tongkat Manja’.
Ratu Geladak Hitam benar-benar tak bisa bersabar lagi
terhadap si tua yang selalu merasa berilmu tinggi itu.
Merasa gerakannya terhambat dan membayangkan Pandu
Puber sebentar lagi mencapai tanah Kapur Gaib, maka
Dardanila segera lepaskan pukulan bercahaya kuning
pecah bagaikan piring bergerigi tak beraturan. Claapp…!
Jurus ‘Tongkat Manja’ pun segera beraksi. Putaran
tongkat itu timbulkan cahaya biru mengelilingi tubuh Loan
Besi. Cahaya itu terdiri lebih dari sepuluh lingkaran,
sehingga Loan Besi bagaikan dikurung dalam perlindungan
cahaya biru. Dan sinar kuning itu hanya bisa menghantam
cahaya biru terang tersebut, sehingga terjadilah dentuman
menggelegar dari perpaduan dua jurus bertenaga dalam
cukup besar itu.
Blegaarr…!
Ratu Geladak Hitam terpelanting terbang ke belakang
karena gelombang getaran daya ledak tadi sangat besar.
Tetapi tubuh Loan Besi tetap tegak dalam kurungan sinar
birunya.
Kutilang Manja dan Peluh Selayang tiba di tempat itu
gara-gara mendengar suara ledakan pertama. Mereka
diam sesaat perhatikan siapa orang yang bertarung
dengan Dardanila. Ternyata kedua murid Nyai Sirih Dewi itu
juga mengenal wajah tokoh tua tersebut.
“Paman Loan Besi, kenapa Paman berselisih dengan
Dardanila?” tanya Peluh Selayang merasa heran.
“Tanyakan sendiri kepadanya! Cepat tanyakan saja
sebelum nyawanya terbang ke ujung neraka!” ujarnya
dengan suara serak sudah bisa dikendalikan.
“Sebaiknya kita jangan ikut campur,” bisik Kutilang
Manja. “Agaknya mereka punya persoalan sendiri. Kita lihat
saja dari kejauhan.”
Peluh Selayang setuju, tapi masih merasa heran melihat
Dardanila baru saja bangkit dari kejatuhannya. Ia tak
sangka kalau Loan Besi mampu membuat Dardanila
terpental dan jatuh bagai orang tak berilmu tinggi. Padahal
menurut taksiran Peluh Selayang, ilmunya Dardanila lebih
tinggi dari pada ilmunya Loan Besi.
“Peluh Selayang, Kutilang Manja…. Hadapi si tua itu, aku
tak punya waktu! Jangan sampai Pandu berhadapan
dengan si Ratu Peri Sore itu! aku akan menyusulnya
sebelum tiba di sana!”
Dardanila berkelebat lewat jalur lain menyusul Pandu
Puber. Loan Besi berteriak namun tak mampu sekeras
biasanya.
“Hooi…! Selesaikan dulu urusan kita! Mau ke mana kau,
Landak Bunting….!”
Loan Besi mengejar Dardanila. Peluh Selayang dan
Kutilang Manja bingung sendiri, sebab semasa mendiang
guru mereka masih hidup, hubungan mereka dengan Loan
Besi cukup baik dan tak pernah terlibat bentrok apapun.
Kini mereka harus menghambat Loan Besi yang tentu saja
dapat membuat Loan Besi marah. Padahal Loan Besi
ilmunya sejajar dengan mendiang guru mereka. Tapi apa
boleh buat dari pada jadi masalah dengan Ratu Geladak
Hitam. Mau tak mau Peluh Selayang ambil inisiatif meng-
hambat pengejaran Loan Besi.
Wuutt…! Clapp…!
Pukulan bersinar merah dilepaskan dari tangan Peluh
Selayang. Sinar itu menghantam pohon dan pohon itu
rubuh merintangi jalan Loan Besi.
Duaar…!
Bbrruukkk…!
Merasa dirintangi, Loan Besi segera berpaling menatap
Kutilang Manja dan Peluh Selayang. Matanya tampak
ganas walau masih dalam batas pengekangan emosi di
dalam dadanya. Ia melangkah dengan geram dan gigi
menggeletuk mendekati Kutilang Manja dan Peluh
Selayang. Tapi yang dipandang tajam justru Kutilang
Manja. Lalu tiba-tiba pipi Kutilang Manja ditamparnya.
Plaakk…!
“Auh…!” Kutilang Manja tidak menangkis atau meng-
hindar kecuali hanya memekik. “Kenapa aku yang
ditampar?”
“Karena kau berani mencoba menghambat pengejaran-
ku!”
“Bukan aku, Paman! Ini nih….. si Peluh Selayang!”
“Tidak mungkin!”
“Betul, Paman! Bukan aku!”
“Harus kamu!” Loan Besi ngotot. “Sudah terlanjur
kutampar kok mau bukan kamu, enak saja! Sini kutampar
lagi kau!”
“Jangan, Paman! Aku tak mau bikin perkara denganmu!”
“Kalau tak mau jangan pamer ilmu di depanku!”
bentaknya kepada Kutilang Manja. “Pakai numbangin
pohon segala…..memangnya cuma kamu yang bisa?!”
“Dibilangin bukan aku, bukan aku, kok masih ngotot
sih?!” bentak Kutilang Manja tak mau mengalah lagi.
“Habis siapa kalau bukan kamu?”
“Aku!” jawab Peluh Selayang tegas.
Loan Besi memandang Peluh Selayang dengan
cemberut, lalu berkata, “Ah, tidak mungkin! Kau tidak
mungkin bisa tumbangkan pohon dari jauh. Pasti Kutilang
Manja!”
“Paman, sebenarnya ada apa Paman Loan Besi
berselisih dengan Dardanila?” tanya Peluh Selayang
sengaja mengambil alih persoalan itu.
“Tentu saja aku berselisih dengan si cantik kurapan itu!”
geram Loan Besi. “Dia mau celakai calon muridku!”
“Siapa calon muridmu itu, Paman?”
“Ya itu…..si….siapa tuh namanya? Hmm….Pendekar
Morantis!”
“Pendekar Romantis, maksudnya?”
“Bukan! Pendekar Morantis!” katanya ngotot untuk
menutupi ucapannya yang sudah telanjur salah itu. “Aku
lebih suka panggil dia Pendekar Morantis!”
Kutilang Manja dan Peluh Selayang sembunyikan
senyum.
“Pandu Puber, kan?”
“Ya. Pandu Puber. Dari pada muridku itu dibuat celaka
oleh Dardanila, mendingan perempuan busung tawon itu
yang kuhajar duluan!” Loan Besi tampak jengkel sekali.
“Paman, Dardanila bukan mau celakai Pandu Puber.
Tapi di amau cegah Pandu agar tidak pergi melawan Ratu
Peri Sore!”
“Lho….?! Jadi….?! Jadi Pandu Puber mau tarung sama
Ratu Peri Sore?!”
“Iya!”
“Wah, lha kok malah tambah bahaya musuhnya itu?”
“Kalau Paman Loan Besi merasa bakal jadi gurunya
Pandu, kejar dia dan hadapi si Ratu Peri Sore itu!” kata
Kutilang Manja.
Loan Besi garuk-garuk kepala kribonya. “Wah, kalau
urusannya sama Peri Nongkrong Sore, ntar dulu deh!”
katanya seenaknya saja ganti-ganti nama orang. “Urusan
sama Peri Ngider Sore sama saja urusan memperpendek
umur beneran tuh!”
Dengan bibir meruncing Kutilang Manja menyindir,
“Belain dong! Katanya calon gurunya, belain sana…!”
“Belain, belain…” gerutu Loan Besi bersungut-sungut.
“Belum sempat kubela sudah lenyap nyawaku!”
“Masa’ murid sama calon gurunya lebih berani muridnya
sih?” ledek Peluh Selayang sambil melirik Kutilang Manja,
memberi isyarat supaya membakar emosi Loan Besi. Maka
Kutilang Manja pun berkata
“Tunjukkan dong rasa cinta sama murid. Sebelum murid
mati melawan musuh terberatnya, gurunya menjajal dulu
dan harus berani mati lebih dulu untuk kasih contoh pada
sang murid.”
“Contoh, contoh…” gerutunya lagi bersungut-sungut.
“Contoh kok pake nyawa. Goblok amat tuh!”
“Lha iya, contoh yang goblok kan begitu!”
“Sudah, sudah…! Diam kalian!” bentak Loan Besi
jengkel sendiri. Kedua wanita itu tertawa mengikik saling
berdekatan dan menutup mulut mereka.
“Mau tarung di mana si Pandu sama Peri Obor Sore itu?”
tanya Loan Besi.
“Di Bukit Bara, di tanah Kapur Gaib!”
“Kalau begitu aku harus segera ke sana!” Loan Besi
bergegas pergi.
“Mau membela sang calon murid ya, Paman?”
“Mau nonton pertarungan itu, Goblok!” jawabnya sambil
pergi seenaknya.
***
Emoticon