“Dendam turunan. Ayahnya dibunuh
oleh Panut Palipuh
dalam suatu pertarungan membela
perguruan. Jadi,
masalahnya adalah masalah antar
perguruan. Tidak antar
pribadi. Tapi masalah itu
diangkat menjadi masalah pribadi
oleh Adipati Sihombreng,
sehingga ia belum merasa puas
dan tenang hidupnya jika belum
bisa memenggal kepala
Panut Palipuh. Hadiah besar yang
dijanjikan itu membuat
para tokoh sakti yang haus harta
segera tampil memburu
Panut Palipuh. Lalu, ia datang
ke Pulau Iblis dan meminta
bantuanku. Untuk sementara ini
aku hanya memberikan
suaka padanya. Ia kubiarkan
tinggal di Pulau Iblis. Siapa
pun yang masuk ke Pulau Iblis
dengan alasan mau me-
menggal kepala Panut Palipuh,
tetap akan kutuduh
melanggar wilayah kekuasaanku.
Aku bisa bertindak.”
“Itu baik, Pak Mertua.”
“Tapi Panut Palipuh minta
bantuanku untuk membunuh
sang Adipati! Aku bingung
memberi jawaban pasti
kepadanya. Menurutmu aku harus
bagaimana?”
“Jangan menyerang ke kadipaten,
Pak Mertua!” kata
Yuda Lelana dengan tegas.
“Pancing saja supaya orang
kadipaten atau siapapun datang
ke Pulau Iblis. Dengan
begitu Pak Mertua bisa bertindak
apa saja terhadap orang
yang melanggar batas wilayah
kekuasaan Pak Mertua.
Kalau perlu pancing si Adipati
itu supaya datang ke Pulau
Iblis dengan sendirinya. Pak
Mertua bisa sadarkan dia,
kalau tak mau disadarkan ya apa
boleh buat, terserah mau
diapakan itu tergantung kemauan
Pak Mertua.”
“Tapi masalahnya sekarang
adalah, murid Panut
Palipuh yang bernama Mirah Duri
ditawan oleh pihak
kadipaten, dijadikan sandera
untuk memancing kehadiran
Panut Palipuh. Gadis itu akan
dilepaskan kalau Panut
Palipuh menyerahkan diri. Pada
dasarnya Panut Palipuh
mau pasrah demi keselamatan
muridnya itu. Tapi aku me-
larang, sebab kulihat sifat
Adipati Sihombreng itu licik.
Panut Palipuh bisa ditangkap dan
dibunuh, tapi Mirah Duri
belum tentu segera dibebaskan.
Bisa-bisa dijadikan bulan-
bulanan oleh pihak kadipaten.
Yuda Lelana diam berpikir.
Rupanya Pandu Puber
mendengar percakapan itu, dan
segera mendekati sang
Ayah, lalu berkata.
“Ayah, aku minta izin untuk
bebaskan Yu Mirah Duri!”
“Husy! Kamu ini apa-apaan sih,
kok ikut campur urusan
orang tua saja!” hardik ibunya.
“Soalnya aku kenal dengan Yu
Mirah Duri, Ibu. Aku juga
kenal dengan Ki Parut Melepuh
itu.”
“Panut Palipuh!” Kala Bopak
membenarkan.
“Ya. Tapi aku lebih senang
memanggilnya Parut
Melepuh, Kek!”
“Terserah deh!” Kala Bopak tak
mau berdebat dengan
cucunya.
“Ayah, aku minta izin sekali ini
saja untuk menolong Yu
Mirah Duri.”
“Atas dasar apa kau menolong?”
“Yu Mirah Duri tidak bersalah,
Ayah. Dia malah dikejar-
kejar orang yang disebut Rampok
Tulang.”
“Hei, kau tahu nama gerombolan
Rampok Tulang
segala, Nak?” sahut Kala Bopak
agak heran.
“Yu Mirah Duri yang ceritakan
tentang orang-orang
Rampok Tulang, Kek.” Lalu, bocah
itu mendesak ayahnya
lagi, “Izinkan aku ke kadipaten
ya, Ayah?”
Sang Ayah diam berpikir. Tapi
sang anak berbisik agak
keras, didengar oleh ibunya yang
ada di belakangnya.
“Ayah, Yu Mirah Duri itu cantik
lho….”
“Nah, nah, nah….. mulai ganjen
lu ya? Masih anak-anak
sudah berpikir soal kecantikan
seorang gadis! Dasar
anaknya Yuda ganjen!”
“Tapi sama Ibu masih cantik
Ibuuu….!” Katanya meng-
alihkan anggapan. Sang Ayah
tertawa tanpa suara. Sang
kakek juga tertawa dengan mulut
dibekap. Ibunya hanya
bersungut-sungut tapi tak jadi
marah.
“Pandu,” kata Yuda Lelana. “Kau
masih kecil. Belum
pantas tampi menjadi sang
pembela kebenaran. Walaupun
kau punya ilmu titisan dari
Ayah, tapi kodratmu belum
memungkinkan untuk lakukan
cita-citamu itu.”
“Apakah anak kecil tak boleh
membela kebenaran?”
katanya tengil sekali.
Sang Ayah diam sebentar,
memandang mertuanya.
Sang mertua hanya angkat bahu.
Artinya, tidak melarang
keinginan si bocah, juga tidak
menyuruh si bocah lakukan
keinginannya. Semua diserahkan
kepada sang Ayah.
“Pandu, pada dasarnya memang
kebenaran harus di-
bela. Membela kebenaran perlu
ditanamkan sejak usia
muda. Tapi…..soal ini Ayah tak
bisa tentukan jawabannya.
Mintalah izin kepada ibumu saja.
Ayah tak mau disalahkan
Ibu.”
Pandu Puber segera mendekati
ibunya, tapi belum–
belum sang Ibu sudah berkata,
“Tidak! Kau tak boleh pergi
ke kadipaten!”
Sang Ibu menuju tempat makan.
Anaknya mengikuti,
“Ibu, aku ingin menjadi anak
kebanggaan Ibu. Kalau aku
bisa bebaskan Yu Mirah Duri,
pasti orang akan bertanya:
‘anak siapa itu, kok pintar
sekali?’. Dan aku akan
menajawab: ‘aku anak Ibu. Ibuku
bernama Murti Kumala.
Dia cantik dan bijaksana. Tidak
ada perempuan lain yang
bisa kalahkan kecantikan Ibuku.
Kalau masak pasti enak.
Ibuku orang yang rajin. Bangun
pagi langsung gosok gigi.
Kalau marahpun masih kelihatan
cantik’. Nah, kalau sudah
begitukan yang dapat nama harum
adalah Ibu sendiri…..”
“Hei, kau masih kecil!” tegas
Ibunya. “Kecil-kecil sudah
pintar merayu! Dasar anak dewa
ganjen lu!”
“Yaaah….sekali ini saja deh,
Bu,” bujuk Pandu Puber.
“Tidak! Sekali Ibu bilang tidak,
ya tidak! Titik!”
Sang anak yang dipandangi Ayah
dan kakeknya segera
melapor kepada sang Ayah,
“Ayah…..sudah titik tuh!”
“Ya sudah. Itu keputusan Ibumu!”
Pandu Puber akhirnya murung. Tak
ada keceriaan lagi
di wajahnya. Sang Ibu bagaikan
tidak perduli. Bahkan
ketika makan malam bersama, sang
anak tampak tidak
berselera. Diajak bercanda oleh
kakeknya pun diam saja.
Sang kakek sempat bicara kepada
Murti Kumala dan Yuda
Lelana secara diam-diam.
“Anakmu itu penuh keberanian.
Kalau tak dipupuk
terus, keberaniannya akan hilang
dan ia akan menjadi
anak banci atau pengecut!”
“Keberaniannya tidak harus
berkembang sejak
sekarang!” kata Murti Kumala.
“Anak itu masih perlu
bimbingan supaya kelak bisa
memanfaatkan
keberaniannya dengan baik, tidak
menjadi liar dan ganas!”
Darah pendekar mengusik jiwa
Pandu. Bergolak terus
membuatnya susah tidur. Bayangan
wajah Ki Panut
Palipuh dan Mirah Duri
bermunculan dalam ingatannya.
Pandu juga bisa mengeluh,
“Kasihan mereka….”
Lewat tengah malam, pergolakan
batin bocah itu luar
biasa hebatnya. Ia tak tahan
lagi memendam keinginan-
nya. Maka dengan hati-hati iapun
keluar lewat jendela.
Gelap malam di luar rumah tak dihiraukan. Udara dingin
yang menggigilkan badan tak
dipikirkan. Pandu Puber
akhirnya melarikan diri dari
rumah menuju kedipaten.
Tekadnya hanya satu, membebaskan
Mirah Duri dari
tawanan sang Adipati Sihombreng.
Bagaimana caranya? Ia
sendiri belum tahu. Yang penting
ia harus segera ke
kadipaten dan melihat suasana di
sana.
“Ibu pasti marah padaku. Tapi
biarlah aku dihajar Ibu,
toh tidak akan sampai mati.
Kalau aku bernyanyi
kemarahan Ibu reda kembali,”
pikir si bocah bandel itu.
“Dari pada aku bebas dari
hajaran Ibu tapi Yu Mirah Duri
celaka di tangan orang jahat,
lebih baik aku dihajar Ibu tapi
Yu Mirah Duri selamat. Setelah
dia selamat, terserah mau
ngapain aku tak perduli lagi.
Tapi…..berani menungging
mendadak deh, Yu Mirah itu
cantik sekali kok. Sumpah!
Memang kalau dibandingkan dengan
Ibu masih cantik Ibu.
Tapi aku lebih suka memandang
wajah Yu Mirahm sebab
dia bukan ibuku. Mau dipandangi
apanya saja bebas. Hi, hi,
hi, hi….! Kalau aku bisa
membebaskan Yu Mirah, aku mau
minta hadiah di-sun sama dia,
ah!”
Gawat tuh anak. Kecil-kecil
pikirannya sudah ke arah
sun-sunan. Cerdas memang cerdas,
tapi kalau sudah
sampai memikirkan kecantikan dan
sun-sunan itu
namanya kelewat cerdas.
Barangkali memang begitulah
kodratnya sebagai bocah yang
kelak menjadi seorang
pendekar; Pendekar Romantis. Toh
dari kecilpun ia sudah
terbiasa merayu ibunya untuk
minta ini-itu. Berarti dia
punya kelihaian merayu wanita
juga.
Buat para gadis kayaknya perlu
hati-hati juga kalau ber-
hadapan dengan Pendekar
Romantis.
***
------------------------------------------------------------------------------
TIGA
------------------------------------------------------------------------------
OCAH nekad itu sampai di
kadipaten. Pada mulanya
anak itu clingak clinguk penuh
keheranan dan
kekaguman melihat
bangunan-bangunan indah di
kawasan kadipaten. Maklum,
selama hidup di puncak
gunung yang dilihat hanya pohon.
Ia memandangi tiang
bendera yang ada di tengah
alun-alun itu sambil hatinya
membatin, “Pohon apa ini
namanya, ya? Kok nggak ada
daunnya? Kalau berbuah, buahnya
kayak apa ya?”
kebetulan tiang bendera itu
sedang tidak dipakai untuk
mengibarkan bendera.
Di pinggiran alun-alun terpasang
panji-panji kadipaten
berkeliling. Terbuat dari kain
panjang digantungkan pada
tiang bambu. Bocah nekat itu
membatin, “Orang kadipaten
ini gila-gila, ya? Jemur angkin
saja sampai segini banyak-
nya? Apa tak punya jemuran di
belakang rumah mereka?”
Akhirnya Pandu Puber dekati
pintu gerbang istana
kadipaten. Ia diam sesaat
mencari akal bagaimana cara-
nya bisa masuk ke sana. Apa
alasannya jika harus men-
jawab pertanyaan penjaga
gerbang?
Pandu Puber urungkan niat
mendekati pintu gerbang
kadipaten. Ia diam di bawah
pohon terduh beberapa saat.
Mencoba berpikir mencari cara
untuk masuk ke benteng
istana. Pada saat itu dari
gerbang benteng tampak dua
lelaki tua keluar dari dalam
benteng. Dua lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun itu
berjalan menuju ke arah
selatan, melewati jalanan depan
Pandu Puber. bocah usia
delapan tahun itu memperhatikan
orang tersebut tanpa
mengerti apa sebabnya
memperhatikan orang itu. Rasa
tertarik untuk memperhatikan
mungkin disebabkan karena
kedua orang itu berpakaian mewah
dan indah. Hiasan
benang emas dan kerlip-kerlip di
pakaian itulah yang
B
mengundang minta Pandu untuk
mengaguminya.
Tanpa disengaja Pandu ternyata
mendengar
percakapan mereka.
“Lha iya, sakit kayak gitu kok
dianggap enteng! Sang
Adipati salah juga. Kalau tahu
permaisuri sudah sering
berkeringat dingin dan
muntah-muntah, mestinya beliau
segera tanggap dong. Itu
tandanya sang permaisuri sedang
hamil.”
“Lho, mulanya kan dianggap masuk
angin biasa?”
“Tapi masuk angin kok
terus-terusan? Apa anginnya
bandel nggak mau keluar-keluar?
Kalau sudah sampai
pingsan-pingsan begini baru
kelabakan. Tak urung yang
repot kita juga, disuruh mencari
tabib dalam waktu sehari!”
“Tapi menurutku sang permaisuri
belum tentu hamil
muda. Mungkin memang benar-benar
menderita sakit.
Cuma sakitnya apa itukan belum
jelas?”
“Sudahlah, nggak perlu
diperdebatkan. Yang penting
tugas kita mencari tabib. Yang
kita pikirkan tabib mana
yang mujarab? Sebab kalau tabib
yang kita bawa nggak
mujarab, Kanjeng Adipati bisa
marah sama kita-kita orang!”
Percakapan itu menjauh sebab
kedua orang tersebut
segera membelok di tikungan
jalan. Bocah nekat itu ber-
pikir sesaat.
“Tabib….? Permaisuri sakit?
Hmm….. enaknya aku
pura-pura jadi tabib. Ah, tapi
aku masih kecil sih. Pasti
nggak dipercaya jadi tabib.
Hmm….. o, ya….begini saja! Aku
punya akal.”
Pandu Puber pergi sebentar. Ia
mencari beberapa
lembar daun. Kebetulan yang
didapt daun pare yang
tumbuh di samping rumah
penduduk. Delapan daun pare
itu dibawanya. Nekat betul anak
itu. Ia dekati penjaga pintu
gerbang dan berkata dengan wajah
polos.
“Kang, aku mau menghadap Kenjeng
Adipati.”
“Husy! Sembarangan saja. Anak
kecil sepertimu tak
diizinkan menghadap Kanjeng
Adipati!” kata penjaga
sebelah kiri. Penjaga yang
sebelah kanan segera berkata
pula.
“Badan kumal dan kotor begitu
mau menghadap
Kanjeng Adipati? Bisa dicambuk
dua belas kali kau, Jang!”
“Namaku bukan Ujang, namaku
Pandu Puber, Kang!”
protes bocah itu.
“Mau Pandu Puber apa Pandu
Puser, terserah! Yang
penting kau tidak kami izinkan
untuk masuk!”
“Aku diutus kok, Kang.”
“Diutus oleh siapa?”
“Oleh seorang tabib sakti bernama…..
bernama…..”
Pandu Puber mengarang-ngarang
nama. “O, ya….namanya
Tabib Teh Kolak.”
“Siapa….?” Penjaga sebelah kanan
tertawa kecil. “Teh
Kolak? Kok namanya aneh sekali?”
“Aku nggak tahu, Kang. Pokoknya
dia ngakunya
bernama Tabib Teh Kolak, asalnya
dari Laut Merah.”
“Laut Merah di negeri Cina
sana?”
“Iya, kali! Aku sendiri nggak
tahu Laut Merah itu di
mana,” kata Pandu asal sebut
nama laut dan ternyata
diartikan nama laut di negeri
Cina. Padahal di negeri Cina
belum tentu ada laut yang
bernama Laut Merah.
“Eyang Tabib itu menemuiku
ketika aku menggembala
kambing, Kang. Dia minta tolong
padaku. Katanya dia
merasakan sakit sekujur
badannya. Setelah dia bertapa,
ternyata rasa sakit itu datang
dari Permaisuri di kadipaten
ini. Lalu karena dia ada
keperluan di tempat lain, dia minta
tolong padaku untuk menyerahkan
obat kepada Kanjeng
Adipati. Obat ini harus diminum
oleh Gusti Permaisuri.”
“Mana obatnya?”
“Lha ini…. yang kupegang ini!”
“Cuma daun saja?”
“Iya. Pokoknya dia cuma kasih
aku daun ini dan disuruh
serahkan Kanjeng Adipati!”
Penjaga sebelah kanan berkata
kepada penjaga
sebelah kiri, “Berarti tabib itu
cukup sakti, dia bisa tahu
kalau Gusti Permaisuri kita
sedang sakit. Hebat juga ilmu si
tabib itu, ya?”
“Iya! Tapi bagaimana dengan anak
ini? Apa diizinkan
masuk?”
Penjaga yang satunya berkata
kepada Pandu, “Kalau
begitu begini saja, Dik…..
Berikan daun itu kepadaku nanti
akan kusampaikan kepada Kanjeng
Adipati. Pasti akan
segera diborehkan ke tubuh Gusti
Permaisuri Kadarwati!”
“Wah, nggak bisa begitu, Kang.
Pesan Eyang Tabib,
daun ini harus kuserahkan
sendiri kepada Kanjeng Adipati,
lalu aku harus memberitahukan
bagaimana cara
mengobati Gusti Permaisuri
memakai daun ini.”
“Daun apa sih itu?” tanya
penjaga yang satunya.
“Kata Eyang Tabib… daun ini
namanya daun Tapak
Peri.”
“Ah, kayaknya daun pare deh?”
“Memang daun Tapak Peri mirip
sekali daun pare,”
kata bocah itu pintar saja
menghindari kecurigaan.
“Kamu jangan bohong lho! Kalau
bohong kamu bisa
diserahkan kepada Dokoh Darah
lho!”
“Dokoh Darah itu siapa?”
“Algojo yang bertugas menghajar
tiap penjahat yang
masuk kadipaten!”
“Yaaah…. Kalau kalian nggak
percaya, ya sudah. Aku
pulang saja!”
Pandu berlagak ingin pergi,
penjaga berseru, “Tunggu,
tunggu….!”
Langkah Pandu Puber sengaja
dihentikan tapi berlagak
cuek, hanya menengok saja dan
berkata, “Aku harus
mengurus kambing-kambingku,
Kang! Nggak punya waktu
untuk ngobrol sama kamu. Kalau
kamu nggak percaya
padaku, daun ini kubuang saja,
walau konon carinya
sampai ke puncak Gunung
Krakatau!”
“Eeeh, eh….tunggu dulu! Hmm….
iya deh, kamu boleh
masuk. Mari kuantarkan, Dik!”
kata penjaga sebelah kiri.
Lalu, Pandu Puber diantar
menghadap Adipati Sihombreng.
Adipati itu ternyata masih muda.
Usianya sekitar tiga
puluh lima tahun. Andaikata
lewat ya lewat sedikit.
Mungkin karena makannya terjamin
dan kehidupannya
makmur, ditunjang dengan pakaian
serba mewah,
makanya wajahnya tampak masih
muda, berkumis tipis.
Sorot matanya menandakan dirinya
orang egois, tapi tidak
cukup cerdas. Ia sedikir angkuh,
terlihat dari cara
memandangnya yang selalu
mengangkat dagu sedikit.
Sebetulnya menghadap sang
Adipati tidak
sembarangan orang bisa. Dan
tidak setiap tamu berkenan
ditemui oleh sang Adipati.
Apalagi hanya seorang bocah
sekumal Pandu Puber. tetapi
karena kabar yang diterima
sang Adipati adalah tentang
bocah yang diutus seorang
tabib sakti untuk bawakan obat
buat Permaisuri, maka
mau tak mau sang Adipati menerima
Pandu di serambi
paseban.
“Eyang Tabib wanti-wanti agar
saya diharuskan bicara
berdua saja dengan Kanjeng
Adipati,” kata Pandu Puber.
Setelah dipertimbangkan sesaat,
Adipati menyuruh
orang-orangnya meninggalkan
tempat itu. Tapi para
pengawal tetap menjaga dari
kejauhan.
“Jelaskan maksudmu!” kata sang
Adipati.
“Eyang Tabib Teh Kolak menangis
saat menemui saya,
Kanjeng.”
“Kenapa?”
“Karena dia bisa merasakan sakit
yang amat berat dan
tahu bahwa sakit itu akan
membuatnya mati. Tapi ternyata
rasa sakit itu bukan tertuju
pada dirinya, melainkan tertuju
pada Permaisuri di sini.”
“Tabib Teh Kolak bilang
begitu?!”
“Benar, Kanjeng. Makanya dia
mengutus saya
menyampaikan obat yang terbuat
dari daun Tapak Peri ini.
Kalau saya terlambat memberikan
daun itu, katanya Gusti
Permaisuri akan menemui ajalnya.
Jadi saya diwanti-wanti
agar cepat sampai sini!”
Diam-diam sang Adipati masih
punya kecurigaan yang
meragukan pendapatnya. Lalu ia
berkata “Apakah kau
yakin kalau orang itu seorang
tabib?”
“Entah tabib entah orang sakti,
pokoknya dia mengaku
bernama Tabib Teh Kolak,
Kanjeng. Malahan dia tanya
pada saya, apakah istri Raja di
sini bernama Kadarwati?
Saya bilang bahwa saya tidak
tahu, sebab saya belum
pernah kenalan sama Gusti
Permaisuri.”
“Ya, ya…. Memang benar!” jawab
sang Adipati mulai
heran dan terpengaruh. Padahal
Pandu tahu nama istri
Adipati dari percakapannya
dengan penjaga gerbang tadi.
Ia mencatat di otaknya nama
Kadarwati yang disebutkan
penjaga tadi.
“Terus, dia bilang apa lagi?”
“Hmm…anu… Eyang Tabib bilang
juga, daun ini jangan
sampai disentuh oleh tangan
seseorang yang bernama
Dokoh Darah, khasiat daun bisa
hilang sebab orang yang
berama Dokoh Darah adalah orang
yang tidak jujur. Saya
bilang, di kadipaten tidak ada
yang bernama Dokoh Darah.
Orang kadipaten terutama para
petugas istana, pasti
namanya bagus-bagus. Tapi Eyang
Tabib tetap ngotot,
katanya di istana ada yang
bernama Dokoh Darah.”
“Iya. Benar itu! Memang ada! Dia
penjaga penjara!”
“Oooo…” Pandu Puber
manggut-manggut dengan wajah
poloSikat Nerakaya. Dalam hati
ia ingin tertawa melihat
sang Adipati percaya betul
dengan ucapannya. Padahal
nama Dokoh Darah itu juga
dikenal Pandu dari mulut si
penjaga pintu gerbang tadi.
“Saya nggak tahu kalau di sini
ada yang bernama
Dokoh Darah. Maafkan saya,
Kanjeng.”
“Ya, ya…tak apa. Aku maklum
karena kau memang tak
pernah masuk kemari. Tapi aku
kagum dengan orang itu.
jelas dia bukan sekedar seorang
tabib saja, pasti dia
seorang petapa sakti juga. Kalau
bukan orang sakti, tak
mungkin dia bisa sebutkan nama
istriku dan nama kepala
penjara di sini.”
“Ngakunya sih dia pernah bertapa
di puncak Gunung
Krakatau, Kanjeng.”
“Ooo…pantas!” sang Adipati
manggut-manggut. “Terus
bagaimana lagi?”
“Daun ini harus segera diminum
Murti Kumalaan untuk
Gusti Permaisuri. Caranya dengan
direbus, airnya jangan
banyak-banyak, begitu mendidih
langsung dituang ke
dalam mangkok. Setelah dingin
diminumkan.”
Pandu Puber menyerahkan daun
itu. Adipati tampak
gembira, yakin betul daun itu
berkhasiat tinggi untuk
pemyembuhan.
“Cuman delapan lembar, ya?”
“Betul, Kanjeng. Katanya delapan
lembar itu
melambangkan delapan penjuru
angin. Ah, saya nggak
ngerti maksudnya. Pokoknya cuma
itu yang saya dapat dari
Tabib The Kolak. O, ya… dalam
merebus daun ini, katanya
harus dibubuhi merica lembut dua
jimpit, dan garam tiga
jimpit. Airnya dua mangkok. Cara
merebusnya tidak boleh
dilakukan oleh orang lain, harus
kanjeng sendiri. Sebab
kata Tabib Teh Kolak, jamu itu
akan mujarab kalau direbus
oleh suami orang yang sakit.”
“Ya, ya, ya….akan kulakukan
sendiri supaya lebih
cespleng!” katanya. “Lalu apa
lagi pesennya?”
“O,ya…. Tabib Teh Kolak
berpesan, kalau sekiranya di
sini ada orang yang namanya
pakai Duri, harus segera
diusir. Entah pelayan, entah
perajurit, atau pegawai tinggi
istana, kalau namanya pakai
Duri, harus diusir dan tidak
boleh tinggal di kadipaten.
Sebab katanya orang yang
pakain nama Duri itulah penyebab
datangnya penyakit.
Nantinya akan menyebar menjadi
wabah penyakit. Kalau
orangnya dibunuh, malah bisa
menyebarkan penyakit lebih
ganas lagi. Jadi, Eyang Tabib
hanya berpesan orang yang
namanya pakai Duri harus diusir
dari kadipaten dan tidak
boleh tinggal di kadipaten lagi,
itu kalau Kanjeng ingin
warganya selamat dari penyakit
berbahaya.”
Kelebihan bicara Pandu Puber
dalam batas usia sekedil
itu membuat sang Adipati semakin
yakin. Bahkan sang
Adipati beranggapan, “Anak ini
sepertinya bukan bicara
dalam kesadarannya. Pasti ada
roh gaib yang memakai
raganya untuk bicara sendiri.
Mungkin roh sakti sang tabib
sendiri.”
Pandu segera berkata, “Saya rasa
sudah cukup
keperluan saya, Kanjeng. Semua
pesan Eyang Tabib Teh
Kolak sudah saya sampaikan. Saya
mohon pamit.”
“Tunggu, tunggu…!” sang Adipati
menahan langkah
Pandu. “Kalau yang pakai nama
Duri harus diusir, ya?”
“Betul, Kanjeng. Tak perduli itu
pejabat istana atau
perajurit biasa, harus
cepat-cepat diusir sejauh-jauhnya.”
“Di sini yang pakai nama Duri
ada dua, Dewi Widuri
keponakanku sendiri. Lalu…..
Wirya Kenduri, juru
tamanku.”
“Lho….kata Eyang Tabib ada tiga?
Kok cuma dua?”
“O, ya…yang satu lagi tawananku,
namanya Mirah Duri.
Tapi…” Adipati sempat bimbang
sebentar. Pandu Puber
berdebar-debar, lalu berkata.
“Pokoknya kalau Kanjeng mau
selamat seluruh
rakyatnya ya harus mengusir
nama-nama itu!”
“Ya deh! Dari pada rakyatku
diserang wabah penyakit
yang diawali dari istriku, lebih
baik aku melakukan pesan
Eyang Tabib Teh Kolak itu!”
“Kalau begitu, saya permisi,
Kanjeng!”
“Tunggu sebentar!” Adipati
mengambil uang dalam
kantong kain kecil. “Ini kuberi
uang untuk jajan di jalan.”
“Wah, terima kasih, Kanjeng.
Eyang Tabib melarang
saya menerima upah dalam tugas
ini. Kalau saya terima
upah, saya sendiri bisa jadi
sakit seperti Gusti Permaisuri.”
“Ooo…begitu, ya sudah kalau
memang begitu pesan
Eyang Tabib!” sang Adipati
tambah yakin lagi. Maka tiga
nama yang memakai Duri tadi
diusir dari istana. Bahkan
diarak beberapa perajurit agar
keluar dari batas wilayah
kadipaten. Tentu saja hal itu
sempat mendapat gugatan
dari dua nama yang tidak
bersalah itu, Wirya Kenduri dan
Dewi Widuri. Mereka protes mengecan
keputusan sang
Adipati. Tapi bagi Mirah Duri
hal itu sangat
menguntungkan.
Mirah Duri sendiri heran, siapa
anak kecil yang
membawa kabar seperti itu. Ia
hanya mendengar cerita
selintas tentang sang bocah yang
datang membawa pesan
seorang tabib.
Tetapi ketika ia bergegas
melarikan diri dari batas
wilayah kadipaten, tiba-tiba
langkahnya terhenti karena
kemunculan Pandu Puber dari
balik pohon. Bocah itu
langsung nyengir dan berkata.
“Naah… sudah beres kan?”
“Hei, kau… kau bocah yang bersama
guruku itu, kan?”
“Betul. Aku yang bernama Pandu
Puber, Yu! Aku
mendengar kau ditawan di
kadipaten dari kakekku.
Sekarang gurumu ada di rumah
kakekku. Lalu aku
berusaha membebaskanmu biar
tidak ditukar nyawa Ki
Parut Melepuh!”
“Ja…jadi kau yang datang ke
kadipaten dan
menyampaikan kabar dari seorang
tabib sakti itu?”
“Betul. Habis kau tidak punya cara lain untuk
melepaskan dirimu, Yu! Kalau
melawan orang sekadipaten
ya belum tentu menang.”
“Ya jelas, nggak bakalan
menang!”
“Makanya aku pakai cara seperti
itu. Tapi…kasihan juga
ya, dua orang yang pakai nama
Duri itu jadi ikut-ikutan
diusir. Kupikir cuma kamu yang
bernama Duri sih. Nggak
tahunya ada dua orang lagi.”
Mirah Duri geleng-geleng kepala.
“Wah, wah, wah… kau
ini akalnya ada-ada saja,
Pandu!”
“Yang penting bisa membebaskan
kamu, Yu! Aku nggak
suka kalau kamu sijadikan
sandera dan ditukar dengan
nyawa gurumu. Kamukan nggak
salah.”
“Memang. Dan…aku patut berterima
kasih padamu,
Pandu.”
“Kasih hadiah dong!”
“Baik. Akan kuberi hadiah. Kau
minta hadiah apa?”
“Sun…!” sambil sodorkan pipinya.
“Hahh…?!” Mirah Duri kaget dan
tertegun bengong.
***
-----------------------------------------------------------------------------
EMPAT
------------------------------------------------------------------------------
ALAU saja Pandu Puber tahu, dia
akan terbengong-
bengong. Kalau saja orangtuanya
tahu, mereka
akan terheran-heran. Suatu yang
di luar dugaan
terjadi gara-gara ulah sang
bocah nekat yang ingin
membebaskan Mirah Duri.
Daun pare pemberian Pandu Puber
ternyata benar-
benar sembuhkan penyakit sang
Permaisuri. Siang minum
air rebusan daun pare sesuai
petunjuk Pandu, sorenya
sang Permaisuri sehat dan
badannya merasa segar bugar.
Tidak lemas lagi, tidak
muntah-muntah lagi, bahkan
makannya banyak. Sampai-sampai
suaminya sendiri
bergidik melihat makannya sang
Permaisuri. Tentu saja
sang Adipati Sihombreng
memuji-muji Pandu Puber di
depan siapa saja.
“Bocah itu benar-benar membawa
keberuntungan!
Kalau tak ada dia, istriku tak
akan sesehat ini dalam waktu
singkat. Dia dan Tabib Teh Kolak
memang pantas kuberi
perhargaan tinggi. Sayang di
mana mereka berada, aku tak
tahu!”
Dewi Widuri juga menemui
keberuntungan besar
setelah diusir dari istana
kadipaten. Di perjalanan ia
bertemu dengan rombongan Raja
Muda Purwanegara yang
sedang berburu. Sang raja yang
masih single itu terpikat
oleh Dewi Widuri. Tanpa banyak
basa-basi lagi, Dewi Widuri
dibawa ke istana Kerajaan
SIngosani. Selanjutnya Dewi
Widuri dipersunting oleh Raja
Muda Purwanegara, dan
jadilah ia seorang Permaisuri
yang bahagia hidupnya.
Proses perkawinan itu sangat
cepat, sampai-sampai Dewi
Widuri sendiri merasa seperti
mimpi tanpa konsep.
Lalu bagaimana dengan Wirya
Kenduri? Oh, ia juga
punya nasib yang sama dengan
Dewi Widuri. Juru taman itu
K
pulang ke rumahnya, di kaki
Bukit Lumas. Anaknya
ternyata sedang hendak dilamar
oleh Pangeran Tambala
dari Negeri Tanah Manca.
Pangeran Tumbala adalah
pewaris penguasa Negeri Tanah
Manca yang kaya raya dan
subur makmur itu. Perkawinan
tersebut membuat Wirya
Kenduri diangkat menjadi kepala
rumah tangga negeri
tersebut, sejajar dengan para pejabat
istana lainnya.
Praktis Wirya Kenduri menjadi
OKB alias Orang Kaya
Baru yang hidupnya serba mewah
dan glamour. Ia sangat
beruntung dan merasa kehadiran
bicah nekat itu telah
merubah jalan hidupnya.
Seandainya bocah nekat itu tidak
menghadap Adipati Sihombreng,
mungkin Ki Wirya Kenduri
tidak akan menjadi OKB tapi
tetap menjadi BKO alias Baru
Kaya Orang.
Lalu tentang Mirah Duri sendiri?
Wah, tuh cewek punya
keberuntungan ganda. Pertama
bebas dari penjara kadipaten.
Kedua, setelah memberikan
ciuman di pipi bocah nekat itu,
ia langsung diserang musuh
lamanya yang bernama Cukilakila.
Tapi orang yang
bernama Cukilakila menjadi
gemetar ketika mengetahui
Mirah Duri dibantu oleh Pandu
Puber.
“Ternyata kau ada di pihaknya,
Nak?” Kata Cukilakila
yang berusia sekitar empat puluh
tahun itu.
“Ya, aku ada di pihak Mirah
Duri, Paman!” tegas Pandu
Puber.
“Maafkan Paman, Nak. Paman tidak
tahu dan belum
mengerti dengan pasti siapa
Mirah Duri sebenarnya.
Setahu Paman dulu dia menyerang
Paman dan membuat
Paman jatuh ke jurang. Untung
tak mengalami cidera
berat. Tapi Paman masih
penasaran, ingin membalas
kekalahan Paman pada Mirah
Duri.”
“Paman harus melawanku kalau mau
melawan Yu
Mirah!”
“Tidak. Paman tidak berani.
Maafkan Paman sekali lagi,
Nak!”
Melihat Cukilakila ketakutan,
Mirah Duri merasa heran,
lalu bertanya kepada Pandu
Puber, “Ada hubungan apa
sebenarnya antara kau dan dia?”
“Paman Cukilakila adalah
perajurit kakekku yang
bertugas menjadi mata-mata bagi
siapa saja yang ingin
menyerang Pulau Iblis! Sudah
tiga kali ia ditugaskan
menjemputku dari Gunung Ismaya
untuk dibawa ke Pulau
Iblis saar kakek rindu padaku.”
Keberuntungan ketiga bagi Mirah
Duri, ia segera
dibawa ke Pulau Iblis dan
bertemu dengan gurunya Ki
Panut Palipuh. Alangkah senang
hati Mirah Duri melihat
gurunya masih selamat. Sang
Gurupun sangat gembira
melihat muridnya bebas dari
ancaman maut Adipati
Sihombreng.
Keuntungan keempat bagi Mirah
Duri Raja Jin Kala
Bopak, kakek Pandu itu, berkenan
mengangkat Mirah Duri
untuk menjadi pegawai istananya
yang bertugas mengatur
para pelayan, sekaligus menjadi
petugas penerima tamu
yang akan menghadap Raja Kala
Bopak. Penghasilannya
menjadi berganda. Pokoknya
bahagia sekali masa depan
Mirah Duri semasa Pulau Iblis
belum ditenggelamkan para
dewa.
Sedangkan Pandu Puber sendiri
begitu pulang ke
rumah dihajar habis oleh ibunya.
Bahkan distrap tidak
diberi makan selama sehari
penuh. Bocah itu menderita,
tapi punya rasa bangga bisa
menolong Mirah Duri. Pahanya
memang menjadi biru-biru karena
dicubiti ibunya. Namun
rasa sakit itu tidak dirasakan
karena bayangan indah
dicium Mirah Duri masih membekas
di hatinya. Bocah
itupun tidak merasa sakit hati
oleh hajaran ibunya, karena
memang ia sudah siap untuk
dihajar sehingga berani
lompat jendela malam hari.
Hal-hal seperti itu banyak
dilakukan Pandu Puber
sampai ibunya kewalahan
memikirkan bagaimana cara
mengurangi kenakalan sang anak
supaya tidak sebegitu
bandelnya. Sampai usia sepuluh
tahun, Pandu Puber
masih sering bertindak yang
mencemaskan hati ibunya.
Sang Ayah tidak pernah merasa
cemas, karena sang Ayah
tahu betul kapasitas kemampuan
anaknya dalam
melakukan sesuatu yang dianggap
bahaya bagi anak
seusia itu.
“Dihajar bolak-balik nggak
pernah kapoknya tuh anak,”
gerutu sang Ibu kepada sang Ayah
menjelang tidur malam.
“Aku bisa tertekan kalau begini
caranya! Cobalah kau
bertindak menghajarnya, Yud!
Jangan hanya cengar-cengir
saja kalau lihat anakmu kuhajar!
Aku capek
menghajarnya!”
“Lha apa kita perlu menyewa
orang khusus untuk
menghajarnya?” kata Yuda Lelana
dengan kalem. Masih
tanpa emosi, selayaknya seorang
yang punya kesabaran
tinggi.
“Ya nggak gitu maksudku!” Murti Kumala
cemebrut.
“Sekali-kali kau turun tangan
dong, biar anakmu ngak
sebandel itu. Kalau tahu itu
anak bakal jadi anak bandel
aku ngak mau kawin sama kamu!”
Yuda Lelana tertawa dalam gumam,
“Apa anak itu perlu
dimasukkan lagi ke dalam perutmu
lewat jalur semula?!”
goda Yuda Lelana.
“Uuh…! Ngaco!” dengus Murti
Kumala sambil buang
muka. Tidurnya memunggungi sang
suami.
Yuda Lelana tertawa kecil, lalu
memeluk istrinya dari
belakang sambil mencium tengkuk
sang istri yang cantik
itu. Yuda Lelana berkata setelah
sang istri mengibaskan
ciuman itu, tapi tetap diam
ketika dipeluk dari belakang.
“Namanya saja anak, bandel itu
wajar. Toh bandelnya
tidak kepada kita. Kebandelannya
akibat darah
kependekaran yang tumbuh dalam
jiwanya. Nanti kalau
anakmu nggak bandel, diam saja
nggak ada suaranya, kau
jadi kebingungan. Dikira tuh
anak kena sawan celeng?
Giliran anaknya bandel, mengeluh
dan uring-uringan terus.
Kalau sudah begitu yang rugi
siapa? Kan diri sendiri juga.
Dan lagi…..”
Yuda Lelana tak jadi lanjutkan
ucapannya. Susah payah
ia menyusun kata untuk memberi
pengertian kepada
istrinya, ternyata sang istri
sudah tertidur dengan
dengkuran halus. Yuda Lelana
menggerutu dalam hati
sambil menghela napas
dalam-dalam.
“Yaaah…libur lagi deh malam
ini?!” Iapun hanya bisa
garuk-garuk ekpala sambil
menekan rasa kesal di hatinya.
Yuda Lelana segera terbayang
tingkah laku anak
tunggalnya itu. Jiwa
kependekaran begitu besar tertanam
dan berkembang dalam diri anak
itu. Pada usia tiga belas
tahun saja sang anak sudah
berani melawan Ketua
Perampok Tulang yang bernama si
Cacah Rusuk. Konon
orang ganas itu dibuat lari
tunggang langgang oleh Pandu
Puber dan tak berani muncul di
rimba persilatan sampai
beberapa waktu lamanya.
Adipati Sihombreng sendiri sejak
tahu siapa Pandu
Puber tak berani mengejar-ngejar
Ki Panut Palipuh lagi.
Sebutan Pandu sebagai ‘cucu raja
jin’ membuat Adipati
Sihombreng ngeper mendekati Ki
Panut Palipuh karena ia
tahu orang itu bersahabat akrab
dengan Pandu Puber.
Selain merasa berhutang budi
kepada Pandu Puber,
Adipati Sihombreng sendiri juga
tak berani ambil resiko
lebih berbahaya lagi jika ia
nekat mengejar Ki Panut
Palipuh.
Mendengar sepak terjang anaknya,
Yuda Lelana hanya
geleng-geleng kepala. “Anak itu
benar-benar nggak punya
rasa takut kepada siapapun? Aku
sendiri nggak sangka lho
kalau bakalan punya anak yang
memiliki keberanian
senekat itu?” pikir Yuda Lelana.
Bagaimana tidak dikatakan nekat
keberanian Pandu
Puber itu, jika dalam usia lima
belas tahun berani melawan
tokoh tua yang bergelar Sikat
Neraka. Yuda Lelana dam
Murti Kumala hanya mendengar
cerita pertarungan
tersebut dari mulut Cukilakila
yang saat itu juga mendapat
cerita dari salah satu anak buah
Sikat Neraka.
Orang yang bernama Sikat Neraka
adalah tokoh tua
aliran hitam yang berdarah
dingin. Bahkan di rimba
persilatan ia dikenal sebagai
salah satu dari sekian banyak
orang sakti yang menjadi guru
untuk aliran hitam. Bagi
Sikat Neraka, membunuh itu sudah
merupakan kegemaran
setiap harinya. Sama seperti
orang yang sudah kecanduan
olah raga jogging setiap
paginya. Sehari saja tidak jogging,
badan terasa pegal-pegal.
Demikian juga Sikat Neraka,
sehari saja tidak membunuh
orang, tulang-tulangnya jadi
ngilu dan urat-uratnya pegal.
Sikat Neraka tak pernah pandang
bulu dalam
membantai lawannya. Bayipun
kalau perlu disikatnya
habis. Seorang nenek tua renta
pun tak segan-segan
ditebas dengan golok lebarnya
jika macam-macam
kepadanya. Sikat Neraka
mempunyai kawanan perampok
sendiri yang beroperasi di
wilayah utara. Biasanya ia tampil
sebagai Ketua Kapal Bajak Laut.
Sebuah kapal yang
sedang berlayar di wilayah lau
utara, jika melihat kapal
hitam berlayar marah gambar
tengkorak berjambul, pasti
para awak kapal titu akan
gemetaran semua. Sebab
mereka tahu kapal berlayar merah
dengan gambar hitam
membentuk wajah tengkorak
berjambul itu adalah Kapal
Bajak Laut Sikat Neraka. Kapal
apapun yang berpapasan
dengan Kapal Bajak Sikat Neraka
tak pernah ada yang
selamat. Jika awak kapalnya ada
yang hidup itu suatu
keberuntungan besar bagi kapal
tersebut. Karena Sikat
Neraka dalam membajak kapal tak
pernah menyisakan
nyawa para penumpang kapal yang
dibajak.
Di laut dia berjaya, di daratpun
Sikat Neraka terkenal
sebagai perampok berdarah beku.
Siapa saja yang
dirampoknya tak pernah ada yang
selamat. Bukan harta
saja yang dirampasnya, tapi
nyawa pun ikut dirampas.
Karena itu, tak heran jika nama
Sikat Neraka menjadi
nama yang ditakuti orang.
Seandainya kala itu Murti Kumala
mendengar Pandu
Puber akan bertarung dengan
Sikat Neraka, pasti dia akan
lari lebih dulu mencari anaknya
dan membawanya pulang
lalu dihajar habis-habisan. Tapi
cerita yang dituturkan
Cukilakila itu didengar oleh
Yuda Lelana dan Murti Kumala
setelah peristiwa pertarungan
tersebut selesai dilakukan
Pandu Puber yang baru berusia
lima belas tahun. Yuda
Lelana dan Murti Kumala hanya
bisa geleng-geleng kepala
saja sambil menunggu anaknya
pulang untuk dimarahi.
Kisahnya diawali dari perkenalan
Pandu Puber dengan
seorang gadis putri saudagar
kaya yang bernama Lila
Anggraeni. Gadis ini usianya
sedikit lebih tua dari Pandu,
sekitar tujuh belas tahun.
Cantik sekali dan sexi-nya bukan
main. Lila Anggraeni mempunya
bodi yang penuh
tantangan bercumbu bagi setiap
laki-laki.
Yang membuat gadis itu kian
tambah manis adalah tahi
lalat di atas bibir, sebelah
kiri. Kecil sih, tapi manfaatnya
sangat besar sekali bagi daya
tarik kecantikannya.
Ditambah lagi rambutnya lurus
lemas sebatas pundak dan
diponi depannya. Hidungnya
mancung miri hidung cewek
bule. Matanya indah, bibirnya
sendual dan dada sendiri
sangat wow. Dada itu bisa bikin
mata lelaki terbelalak
seketika dan bingung mengedipkannya
kembali.
Apalagi pakaian yang dikenakan
Lila Anggraeni sangat
seronok. Baju atasnya kain tipis
warna cokla ttua
mengkilap, seperti dari bahan
satin. Potongan bajunya itu
tanpa lengan, bagian depannya
dikancingkan dengan satu
tali pengikat yang sekali tarik
akan terbuka byaak…!
Sedangkan bagian dalam baju itu
tidak ada lapisan kain
apa-apa lagi. Padahal belahan
kain baju itu cukup lebar,
sehingga nyaris separo bukitnya
tampak menantang
dengan mulusnya.
Baju itu diikat dengan angkin
sederhana warna putih.
Celananya ketat, dari bahan kain
sejenis beludru.
Warnanya coklat muda, tinggi
sebatas betis. Sebagian
betisnya tampak mulus. Putih
tanpa cacat. Ia gadis yang
tergolong tinggi, tapi sesuai
dengan kesekalan tubuhnya.
Awal perjumpaan dengan Pandu
Puber ditandai dengan
gemuruh suara kaki kuda berlari
kencang dan sang kuda
meringkik-ringkik. Di sela
ringkikkan itu, terdengar pula
suara jeritan yang memanjang.
“Tolooooong…! Toloooong…!”
Pandu Puber yang sedang menuruni
bukit mendengar
suara itu. Ia paling getol jika
mendengar suara perempuan
menjerit. Tanpa menunggu
pertimbangan ini itu, Pandu
Puber langsung saja lari ke arah
datangnya suara tersebut.
Tak perduli bajunya yang ungu
itu tersangkut duri dan
robek sedikit, Pandu Puber
segera hadi ke sisi tebing
berjurang curam.
Ia berdiri di ketinggian tempat.
Matanya memandang
ke arah timur, melihat dengan
jelas munculnya seekor
kuda yang berlari dengan binal.
Di atas kuda ada cewek
kece. Cewek itu ketakutan.
Rupanya ia tak bisa hentikan
lari sang kuda. Ia ketakutan.
Apalagi sang kuda sesekali
mengangkat kedua kaki depannya
sambil meringkik liar.
Sang gadis nyaris jatuh
terlempar dari punggung kuda.
Pada saat kuda berlari lagi
dengan gerakan liar, Pandu
Puber segera melompat dari
ketinggian dan menghadang
langkah sang kuda. Sang gadis
semakin ketakutan melihat
anak muda belasan tahun berdiri
di depannya sementara
sang kuda tak bisa dihentikan
dari larinya.
“Awaaas…! Minggir…! Minggiiir…!”
teriak gadis itu. tapi
Pandu Puber tak mau minggir,
malah bersikap
menghadang laju sang kuda. Sang
gadis takut kalau
kudanya menabrak pemuda remaja
itu, sehingga ia
berteriak makin keras. Pandu
Puber segera menggerakkan
tangannya ke atas. Satu tangan
kanan yang diangkat ke
atas itu ditarik turun
pelan-pelan dengan jari-jari megar.
Tangan kirinya ada di dada dalam
keadaan telapak tangan
terbuka ke samping dan tegak ke
atas. Setelah tangan
kanan yang diturunkan itu
mendekati dada, kedua
tangannya segera didorong ke
depan dengan pelan-pelan
penuh tenaga. Sang kuda yang
berjarak tujuh langkah
darinya itu segera mengangkat
kedua kaki depannya dan
meringkik keras.
“Iieeehhhk…!”
Gelombang tenaga dalam berhawa
sejuk tersalur lepas
dari kedua tangan Pandu Puber.
Gelombang itu tak bisa
dilihat kecuali dirasakan oleh
sang kuda. Sang kuda
mengibaskan kepalanya, dan
hentikan langkahnya. Pandu
Puber masih luruskan dua tangan
ke depan. Gelombang
hawa salju masih menyembur dari
kedua telapak
tangannya. Jurus itu bernama
jurus ‘Hati Damai’. Tapi
Pandu Puber tidak tahu nama
jurus itu karena jurus itu
titisan dari ayahnya. Hanya saja
ia mampu bergerak bagai
dituntun oleh nalurinya sendiri.
“Iiieeehhhkk…!” sang kuda
meringkik tapi tak melonjak.
“Minggir kau! Minggir….!” Seru
gadis itu dengan tegang.
“Kau yang minggir!” sentak Pandu
Puber. “Cepat turun
dan tinggalkan kuda itu! Dia
akan menjadi liar lagi jika
masih ditunggangi. Ayo, turun!”
“Tur….turun….turun ke aman?!”
gadis itu panik.
“Ya turun ke bawah tolol! Masa’
turun ke atas?!”
“Maksudku…..o, iya! Aku harus
segera turun!” gadis
panik itu akhirnya melompat
turun dan berlari ke arah
belakang kuda, menjauhi kuda
itu, diam di bawah sebuah
pohon berdahan besar dan berdaun
rindang.
Sang kuda tampak tenang. Pandu
Puber mendekatinya
sambil berseru kepada sang gadis
yang masih memandang
dengan tegang dan ngos-ngosan.
“Kuda ini punya penyakit
kejiwaan! Rada-rada gila!”
“Mungkin!” jawab sang gadis dari
kejauhan.
“Makanya lain kali kalau mau
naik kuda hati-hati dan
pilih dengan teliti. Jangan naik
kuda gila!” sambil Pandu
mengusap-usap leher kuda yang
tampaknya mulai jinak.
Lalu ia memeriksa kuda itu,
sampai akhirnya ditemukan
sebuah jarum menancap di bawah
pelana kuda.
“Ooo… ada orang jahil ingin
celakakan kamu, Nona!
Ada yang memasang jarum di bawah
pelana ini, jadi kalau
kau duduk di atas pelana maka
kuda ini merasa kesakitan
ditusuk jarum.” Pandu Puber
mencabut jarum itu dan
menunjukkan dari tempatnya. Sang
gadis terbengong
heran.
Pandu Puber berkata lagi sambil
mengusap-usap
punggung kuda. “Kuda seperti ini
tidak boleh mendengar
suara teriakan. Semakin kita
panik, semakin panik juga
dirinya. Jadi harus diusap
dengan lembut dan mesra,
supaya tidak nakal….!”
Page 1 2 3 4
Emoticon