Pendekar Romantis 2 - Hancurnya Samurai Cabul(2)




“Dendam turunan. Ayahnya dibunuh oleh Panut Palipuh
dalam suatu pertarungan membela perguruan. Jadi,
masalahnya adalah masalah antar perguruan. Tidak antar
pribadi. Tapi masalah itu diangkat menjadi masalah pribadi
oleh Adipati Sihombreng, sehingga ia belum merasa puas
dan tenang hidupnya jika belum bisa memenggal kepala
Panut Palipuh. Hadiah besar yang dijanjikan itu membuat
para tokoh sakti yang haus harta segera tampil memburu
Panut Palipuh. Lalu, ia datang ke Pulau Iblis dan  meminta
bantuanku. Untuk sementara ini aku hanya memberikan
suaka padanya. Ia kubiarkan tinggal di Pulau Iblis. Siapa
pun yang masuk ke Pulau Iblis dengan alasan mau me-
menggal kepala Panut Palipuh, tetap akan kutuduh


melanggar wilayah kekuasaanku. Aku bisa bertindak.”
“Itu baik, Pak Mertua.”
“Tapi Panut Palipuh minta bantuanku untuk membunuh
sang Adipati! Aku bingung memberi jawaban pasti
kepadanya. Menurutmu aku harus bagaimana?”
“Jangan menyerang ke kadipaten, Pak Mertua!” kata
Yuda Lelana dengan tegas. “Pancing saja supaya orang
kadipaten atau siapapun datang ke Pulau Iblis. Dengan
begitu Pak Mertua bisa bertindak apa saja terhadap orang
yang melanggar batas wilayah kekuasaan Pak Mertua.
Kalau perlu pancing si Adipati itu supaya datang ke Pulau
Iblis dengan sendirinya. Pak Mertua bisa sadarkan dia,
kalau tak mau disadarkan ya apa boleh buat, terserah mau
diapakan itu tergantung kemauan Pak Mertua.”
“Tapi masalahnya sekarang adalah, murid Panut
Palipuh yang bernama Mirah Duri ditawan oleh pihak
kadipaten, dijadikan sandera untuk memancing kehadiran
Panut Palipuh. Gadis itu akan dilepaskan kalau Panut
Palipuh menyerahkan diri. Pada dasarnya Panut Palipuh
mau pasrah demi keselamatan muridnya itu. Tapi aku me-
larang, sebab kulihat sifat Adipati Sihombreng itu licik.
Panut Palipuh bisa ditangkap dan dibunuh, tapi Mirah Duri
belum tentu segera dibebaskan. Bisa-bisa dijadikan bulan-
bulanan oleh pihak kadipaten.
Yuda Lelana diam berpikir. Rupanya Pandu Puber
mendengar percakapan itu, dan segera mendekati sang
Ayah, lalu berkata.
“Ayah, aku minta izin untuk bebaskan Yu Mirah Duri!”
“Husy! Kamu ini apa-apaan sih, kok ikut campur urusan
orang tua saja!” hardik ibunya.
“Soalnya aku kenal dengan Yu Mirah Duri, Ibu. Aku juga
kenal dengan Ki Parut Melepuh itu.”
“Panut Palipuh!” Kala Bopak membenarkan.
“Ya. Tapi aku lebih senang memanggilnya Parut
Melepuh, Kek!”
“Terserah deh!” Kala Bopak tak mau berdebat dengan
cucunya.


“Ayah, aku minta izin sekali ini saja untuk menolong Yu
Mirah Duri.”
“Atas dasar apa kau menolong?”
“Yu Mirah Duri tidak bersalah, Ayah. Dia malah dikejar-
kejar orang yang disebut Rampok Tulang.”
“Hei, kau tahu nama gerombolan Rampok Tulang
segala, Nak?” sahut Kala Bopak agak heran.
“Yu Mirah Duri yang ceritakan tentang orang-orang
Rampok Tulang, Kek.” Lalu, bocah itu mendesak ayahnya
lagi, “Izinkan aku ke kadipaten ya, Ayah?”
Sang Ayah diam berpikir. Tapi sang anak berbisik agak
keras, didengar oleh ibunya yang ada di belakangnya.
“Ayah, Yu Mirah Duri itu cantik lho….”
“Nah, nah, nah….. mulai ganjen lu ya? Masih anak-anak
sudah berpikir soal kecantikan seorang gadis! Dasar
anaknya Yuda ganjen!”
“Tapi sama Ibu masih cantik Ibuuu….!” Katanya meng-
alihkan anggapan. Sang Ayah tertawa tanpa suara. Sang
kakek juga tertawa dengan mulut dibekap. Ibunya hanya
bersungut-sungut tapi tak jadi marah.
“Pandu,” kata Yuda Lelana. “Kau masih kecil. Belum
pantas tampi menjadi sang pembela kebenaran. Walaupun
kau punya ilmu titisan dari Ayah, tapi kodratmu belum
memungkinkan untuk lakukan cita-citamu itu.”
“Apakah anak kecil tak boleh membela kebenaran?”
katanya tengil sekali.
Sang Ayah diam sebentar, memandang mertuanya.
Sang mertua hanya angkat bahu. Artinya, tidak melarang
keinginan si bocah, juga tidak menyuruh si bocah lakukan
keinginannya. Semua diserahkan kepada sang Ayah.
“Pandu, pada dasarnya memang kebenaran harus di-
bela. Membela kebenaran perlu ditanamkan sejak usia
muda. Tapi…..soal ini Ayah tak bisa tentukan jawabannya.
Mintalah izin kepada ibumu saja. Ayah tak mau disalahkan
Ibu.”
Pandu Puber segera mendekati ibunya, tapi belum–
belum sang Ibu sudah berkata, “Tidak! Kau tak boleh pergi


ke kadipaten!”
Sang Ibu menuju tempat makan. Anaknya mengikuti,
“Ibu, aku ingin menjadi anak kebanggaan Ibu. Kalau aku
bisa bebaskan Yu Mirah Duri, pasti orang akan bertanya:
‘anak siapa itu, kok pintar sekali?’. Dan aku akan
menajawab: ‘aku anak Ibu. Ibuku bernama Murti Kumala.
Dia cantik dan bijaksana. Tidak ada perempuan lain yang
bisa kalahkan kecantikan Ibuku. Kalau masak pasti enak.
Ibuku orang yang rajin. Bangun pagi langsung gosok gigi.
Kalau marahpun masih kelihatan cantik’. Nah, kalau sudah
begitukan yang dapat nama harum adalah Ibu sendiri…..”
“Hei, kau masih kecil!” tegas Ibunya. “Kecil-kecil sudah
pintar merayu! Dasar anak dewa ganjen lu!”
“Yaaah….sekali ini saja deh, Bu,” bujuk Pandu Puber.
“Tidak! Sekali Ibu bilang tidak, ya tidak! Titik!”
Sang anak yang dipandangi Ayah dan kakeknya segera
melapor kepada sang Ayah, “Ayah…..sudah titik tuh!”
“Ya sudah. Itu keputusan Ibumu!”
Pandu Puber akhirnya murung. Tak ada keceriaan lagi
di wajahnya. Sang Ibu bagaikan tidak perduli. Bahkan
ketika makan malam bersama, sang anak tampak tidak
berselera. Diajak bercanda oleh kakeknya pun diam saja.
Sang kakek sempat bicara kepada Murti Kumala dan Yuda
Lelana secara diam-diam.
“Anakmu itu penuh keberanian. Kalau tak dipupuk
terus, keberaniannya akan hilang dan ia akan menjadi
anak banci atau pengecut!”
“Keberaniannya tidak harus berkembang sejak
sekarang!” kata Murti Kumala. “Anak itu masih perlu
bimbingan supaya kelak bisa memanfaatkan
keberaniannya dengan baik, tidak menjadi liar dan ganas!”
Darah pendekar mengusik jiwa Pandu. Bergolak terus
membuatnya susah tidur. Bayangan wajah Ki Panut
Palipuh dan Mirah Duri bermunculan dalam ingatannya.
Pandu juga bisa mengeluh, “Kasihan mereka….”
Lewat tengah malam, pergolakan batin bocah itu luar
biasa hebatnya. Ia tak tahan lagi memendam keinginan-


nya. Maka dengan hati-hati iapun keluar lewat jendela.
Gelap malam  di luar rumah tak dihiraukan. Udara dingin
yang menggigilkan badan tak dipikirkan. Pandu Puber
akhirnya melarikan diri dari rumah menuju kedipaten.
Tekadnya hanya satu, membebaskan Mirah Duri dari
tawanan sang Adipati Sihombreng. Bagaimana caranya? Ia
sendiri belum tahu. Yang penting ia harus segera ke
kadipaten dan melihat suasana di sana.
“Ibu pasti marah padaku. Tapi biarlah aku dihajar Ibu,
toh tidak akan sampai mati. Kalau aku bernyanyi
kemarahan Ibu reda kembali,” pikir si bocah bandel itu.
“Dari pada aku bebas dari hajaran Ibu tapi Yu Mirah Duri
celaka di tangan orang jahat, lebih baik aku dihajar Ibu tapi
Yu Mirah Duri selamat. Setelah dia selamat, terserah mau
ngapain aku tak perduli lagi. Tapi…..berani menungging
mendadak deh, Yu Mirah itu cantik sekali kok. Sumpah!
Memang kalau dibandingkan dengan Ibu masih cantik Ibu.
Tapi aku lebih suka memandang wajah Yu Mirahm sebab
dia bukan ibuku. Mau dipandangi apanya saja bebas. Hi, hi,
hi, hi….! Kalau aku bisa membebaskan Yu Mirah, aku mau
minta hadiah di-sun sama dia, ah!”
Gawat tuh anak. Kecil-kecil pikirannya sudah ke arah
sun-sunan. Cerdas memang cerdas, tapi kalau sudah
sampai memikirkan kecantikan dan sun-sunan itu
namanya kelewat cerdas. Barangkali memang begitulah
kodratnya sebagai bocah yang kelak menjadi seorang
pendekar; Pendekar Romantis. Toh dari kecilpun ia sudah
terbiasa merayu ibunya untuk minta ini-itu. Berarti dia
punya kelihaian merayu wanita juga.
Buat para gadis kayaknya perlu hati-hati juga kalau ber-
hadapan dengan Pendekar Romantis.
***





------------------------------------------------------------------------------  
TIGA
------------------------------------------------------------------------------ 



OCAH nekad itu sampai di kadipaten. Pada mulanya
anak itu clingak clinguk penuh keheranan dan
kekaguman melihat bangunan-bangunan indah di
kawasan kadipaten. Maklum, selama hidup di puncak
gunung yang dilihat hanya pohon. Ia memandangi tiang
bendera yang ada di tengah alun-alun itu sambil hatinya
membatin, “Pohon apa ini namanya, ya? Kok nggak ada
daunnya? Kalau berbuah, buahnya kayak apa ya?”
kebetulan tiang bendera itu sedang tidak dipakai untuk
mengibarkan bendera.
Di pinggiran alun-alun terpasang panji-panji kadipaten
berkeliling. Terbuat dari kain panjang digantungkan pada
tiang bambu. Bocah nekat itu membatin, “Orang kadipaten
ini gila-gila, ya? Jemur angkin saja sampai segini banyak-
nya? Apa tak punya jemuran di belakang rumah mereka?”
Akhirnya Pandu Puber dekati pintu gerbang istana
kadipaten. Ia diam sesaat mencari akal bagaimana cara-
nya bisa masuk ke sana. Apa alasannya jika harus men-
jawab pertanyaan penjaga gerbang?
Pandu Puber urungkan niat mendekati pintu gerbang
kadipaten. Ia diam di bawah pohon terduh beberapa saat.
Mencoba berpikir mencari cara untuk masuk ke benteng
istana. Pada saat itu dari gerbang benteng tampak dua
lelaki tua keluar dari dalam benteng. Dua lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun itu berjalan menuju ke arah
selatan, melewati jalanan depan Pandu Puber. bocah usia
delapan tahun itu memperhatikan orang tersebut tanpa
mengerti apa sebabnya memperhatikan orang itu. Rasa
tertarik untuk memperhatikan mungkin disebabkan karena
kedua orang itu berpakaian mewah dan indah. Hiasan
benang emas dan kerlip-kerlip di pakaian itulah yang
B


mengundang minta Pandu untuk mengaguminya.
Tanpa disengaja Pandu ternyata mendengar
percakapan mereka.
“Lha iya, sakit kayak gitu kok dianggap enteng! Sang
Adipati salah juga. Kalau tahu permaisuri sudah sering
berkeringat dingin dan muntah-muntah, mestinya beliau
segera tanggap dong. Itu tandanya sang permaisuri sedang
hamil.”
“Lho, mulanya kan dianggap masuk angin biasa?”
“Tapi masuk angin kok terus-terusan? Apa anginnya
bandel nggak mau keluar-keluar? Kalau sudah sampai
pingsan-pingsan begini baru kelabakan. Tak urung yang
repot kita juga, disuruh mencari tabib dalam waktu sehari!”
“Tapi menurutku sang permaisuri belum tentu hamil
muda. Mungkin memang benar-benar menderita sakit.
Cuma sakitnya apa itukan belum jelas?”
“Sudahlah, nggak perlu diperdebatkan. Yang penting
tugas kita mencari tabib. Yang kita pikirkan tabib mana
yang mujarab? Sebab kalau tabib yang kita bawa nggak
mujarab, Kanjeng Adipati bisa marah sama kita-kita orang!”
Percakapan itu menjauh sebab kedua orang tersebut
segera membelok di tikungan jalan. Bocah nekat itu ber-
pikir sesaat.
“Tabib….? Permaisuri sakit? Hmm….. enaknya aku
pura-pura jadi tabib. Ah, tapi aku masih kecil sih. Pasti
nggak dipercaya jadi tabib. Hmm….. o, ya….begini saja! Aku
punya akal.”
Pandu Puber pergi sebentar. Ia mencari beberapa
lembar daun. Kebetulan yang didapt daun pare yang
tumbuh di samping rumah penduduk. Delapan daun pare
itu dibawanya. Nekat betul anak itu. Ia dekati penjaga pintu
gerbang dan berkata dengan wajah polos.
“Kang, aku mau menghadap Kenjeng Adipati.”
“Husy! Sembarangan saja. Anak kecil sepertimu tak
diizinkan menghadap Kanjeng Adipati!” kata penjaga
sebelah kiri. Penjaga yang sebelah kanan segera berkata
pula.


“Badan kumal dan kotor begitu mau menghadap
Kanjeng Adipati? Bisa dicambuk dua belas kali kau, Jang!”
“Namaku bukan Ujang, namaku Pandu Puber, Kang!”
protes bocah itu.
“Mau Pandu Puber apa Pandu Puser, terserah! Yang
penting kau tidak kami izinkan untuk masuk!”
“Aku diutus kok, Kang.”
“Diutus oleh siapa?”
“Oleh seorang tabib sakti bernama….. bernama…..”
Pandu Puber mengarang-ngarang nama. “O, ya….namanya
Tabib Teh Kolak.”
“Siapa….?” Penjaga sebelah kanan tertawa kecil. “Teh
Kolak? Kok namanya aneh sekali?”
“Aku nggak tahu, Kang. Pokoknya dia ngakunya
bernama Tabib Teh Kolak, asalnya dari Laut Merah.”
“Laut Merah di negeri Cina sana?”
“Iya, kali! Aku sendiri nggak tahu Laut Merah itu di
mana,” kata Pandu asal sebut nama laut dan ternyata
diartikan nama laut di negeri Cina. Padahal di negeri Cina
belum tentu ada laut yang bernama Laut Merah.
“Eyang Tabib itu menemuiku ketika aku menggembala
kambing, Kang. Dia minta tolong padaku. Katanya dia
merasakan sakit sekujur badannya. Setelah dia bertapa,
ternyata rasa sakit itu datang dari Permaisuri di kadipaten
ini. Lalu karena dia ada keperluan di tempat lain, dia minta
tolong padaku untuk menyerahkan obat kepada Kanjeng
Adipati. Obat ini harus diminum oleh Gusti Permaisuri.”
“Mana obatnya?”
“Lha ini…. yang kupegang ini!”
“Cuma daun saja?”
“Iya. Pokoknya dia cuma kasih aku daun ini dan disuruh
serahkan Kanjeng Adipati!”
Penjaga sebelah kanan berkata kepada penjaga
sebelah kiri, “Berarti tabib itu cukup sakti, dia bisa tahu
kalau Gusti Permaisuri kita sedang sakit. Hebat juga ilmu si
tabib itu, ya?”
“Iya! Tapi bagaimana dengan anak ini? Apa diizinkan


masuk?”
Penjaga yang satunya berkata kepada Pandu, “Kalau
begitu begini saja, Dik….. Berikan daun itu kepadaku nanti
akan kusampaikan kepada Kanjeng Adipati. Pasti akan
segera diborehkan ke tubuh Gusti Permaisuri Kadarwati!”
“Wah, nggak bisa begitu, Kang. Pesan Eyang Tabib,
daun ini harus kuserahkan sendiri kepada Kanjeng Adipati,
lalu aku harus memberitahukan bagaimana cara
mengobati Gusti Permaisuri memakai daun ini.”
“Daun apa sih itu?” tanya penjaga yang satunya.
“Kata Eyang Tabib… daun ini namanya daun Tapak
Peri.”
“Ah, kayaknya daun pare deh?”
“Memang daun Tapak Peri mirip sekali daun pare,”
kata bocah itu pintar saja menghindari kecurigaan.
“Kamu jangan bohong lho! Kalau bohong kamu bisa
diserahkan kepada Dokoh Darah lho!”
“Dokoh Darah itu siapa?”
“Algojo yang bertugas menghajar tiap penjahat yang
masuk kadipaten!”
“Yaaah…. Kalau kalian nggak percaya, ya sudah. Aku
pulang saja!”
Pandu berlagak ingin pergi, penjaga berseru, “Tunggu,
tunggu….!”
Langkah Pandu Puber sengaja dihentikan tapi berlagak
cuek, hanya menengok saja dan berkata, “Aku harus
mengurus kambing-kambingku, Kang! Nggak punya waktu
untuk ngobrol sama kamu. Kalau kamu nggak percaya
padaku, daun ini kubuang saja, walau konon carinya
sampai ke puncak Gunung Krakatau!”
“Eeeh, eh….tunggu dulu! Hmm…. iya deh, kamu boleh
masuk. Mari kuantarkan, Dik!” kata penjaga sebelah kiri.
Lalu, Pandu Puber diantar menghadap Adipati Sihombreng.
Adipati itu ternyata masih muda. Usianya sekitar tiga
puluh lima tahun. Andaikata lewat ya lewat sedikit.
Mungkin karena makannya terjamin dan kehidupannya
makmur, ditunjang dengan pakaian serba mewah,


makanya wajahnya tampak masih muda, berkumis tipis.
Sorot matanya menandakan dirinya orang egois, tapi tidak
cukup cerdas. Ia sedikir angkuh, terlihat dari cara
memandangnya yang selalu mengangkat dagu sedikit.
Sebetulnya menghadap sang Adipati tidak
sembarangan orang bisa. Dan tidak setiap tamu berkenan
ditemui oleh sang Adipati. Apalagi hanya seorang bocah
sekumal Pandu Puber. tetapi karena kabar yang diterima
sang Adipati adalah tentang bocah yang diutus seorang
tabib sakti untuk bawakan obat buat Permaisuri, maka
mau tak mau sang Adipati menerima Pandu di serambi
paseban.
“Eyang Tabib wanti-wanti agar saya diharuskan bicara
berdua saja dengan Kanjeng Adipati,” kata Pandu Puber.
Setelah dipertimbangkan sesaat, Adipati menyuruh
orang-orangnya meninggalkan tempat itu. Tapi para
pengawal tetap menjaga dari kejauhan.
“Jelaskan maksudmu!” kata sang Adipati.
“Eyang Tabib Teh Kolak menangis saat menemui saya,
Kanjeng.”
“Kenapa?”
“Karena dia bisa merasakan sakit yang amat berat dan
tahu bahwa sakit itu akan membuatnya mati. Tapi ternyata
rasa sakit itu bukan tertuju pada dirinya, melainkan tertuju
pada Permaisuri di sini.”
“Tabib Teh Kolak bilang begitu?!”
“Benar, Kanjeng. Makanya dia mengutus saya
menyampaikan obat yang terbuat dari daun Tapak Peri ini.
Kalau saya terlambat memberikan daun itu, katanya Gusti
Permaisuri akan menemui ajalnya. Jadi saya diwanti-wanti
agar cepat sampai sini!”
Diam-diam sang Adipati masih punya kecurigaan yang
meragukan pendapatnya. Lalu ia berkata “Apakah kau
yakin kalau orang itu seorang tabib?”
“Entah tabib entah orang sakti, pokoknya dia mengaku
bernama Tabib Teh Kolak, Kanjeng. Malahan dia tanya
pada saya, apakah istri Raja di sini bernama Kadarwati?


Saya bilang bahwa saya tidak tahu, sebab saya belum
pernah kenalan sama Gusti Permaisuri.”
“Ya, ya…. Memang benar!” jawab sang Adipati mulai
heran dan terpengaruh. Padahal Pandu tahu nama istri
Adipati dari percakapannya dengan penjaga gerbang tadi.
Ia mencatat di otaknya nama Kadarwati yang disebutkan
penjaga tadi.
“Terus, dia bilang apa lagi?”
“Hmm…anu… Eyang Tabib bilang juga, daun ini jangan
sampai disentuh oleh tangan seseorang yang bernama
Dokoh Darah, khasiat daun bisa hilang sebab orang yang
berama Dokoh Darah adalah orang yang tidak jujur. Saya
bilang, di kadipaten tidak ada yang bernama Dokoh Darah.
Orang kadipaten terutama para petugas istana, pasti
namanya bagus-bagus. Tapi Eyang Tabib tetap ngotot,
katanya di istana ada yang bernama Dokoh Darah.”
“Iya. Benar itu! Memang ada! Dia penjaga penjara!”
“Oooo…” Pandu Puber manggut-manggut dengan wajah
poloSikat Nerakaya. Dalam hati ia ingin tertawa melihat
sang Adipati percaya betul dengan ucapannya. Padahal
nama Dokoh Darah itu juga dikenal Pandu dari mulut si
penjaga pintu gerbang tadi.
“Saya nggak tahu kalau di sini ada yang bernama
Dokoh Darah. Maafkan saya, Kanjeng.”
“Ya, ya…tak apa. Aku maklum karena kau memang tak
pernah masuk kemari. Tapi aku kagum dengan orang itu.
jelas dia bukan sekedar seorang tabib saja, pasti dia
seorang petapa sakti juga. Kalau bukan orang sakti, tak
mungkin dia bisa sebutkan nama istriku dan nama kepala
penjara di sini.”
“Ngakunya sih dia pernah bertapa di puncak Gunung
Krakatau, Kanjeng.”
“Ooo…pantas!” sang Adipati manggut-manggut. “Terus
bagaimana lagi?”
“Daun ini harus segera diminum Murti Kumalaan untuk
Gusti Permaisuri. Caranya dengan direbus, airnya jangan
banyak-banyak, begitu mendidih langsung dituang ke


dalam mangkok. Setelah dingin diminumkan.”
Pandu Puber menyerahkan daun itu. Adipati tampak
gembira, yakin betul daun itu berkhasiat tinggi untuk
pemyembuhan.
“Cuman delapan lembar, ya?”
“Betul, Kanjeng. Katanya delapan lembar itu
melambangkan delapan penjuru angin. Ah, saya nggak
ngerti maksudnya. Pokoknya cuma itu yang saya dapat dari
Tabib The Kolak. O, ya… dalam merebus daun ini, katanya
harus dibubuhi merica lembut dua jimpit, dan garam tiga
jimpit. Airnya dua mangkok. Cara merebusnya tidak boleh
dilakukan oleh orang lain, harus kanjeng sendiri. Sebab
kata Tabib Teh Kolak, jamu itu akan mujarab kalau direbus
oleh suami orang yang sakit.”
“Ya, ya, ya….akan kulakukan sendiri supaya lebih
cespleng!” katanya. “Lalu apa lagi pesennya?”
“O,ya…. Tabib Teh Kolak berpesan, kalau sekiranya di
sini ada orang yang namanya pakai Duri, harus segera
diusir. Entah pelayan, entah perajurit, atau pegawai tinggi
istana, kalau namanya pakai Duri, harus diusir dan tidak
boleh tinggal di kadipaten. Sebab katanya orang yang
pakain nama Duri itulah penyebab datangnya penyakit.
Nantinya akan menyebar menjadi wabah penyakit. Kalau
orangnya dibunuh, malah bisa menyebarkan penyakit lebih
ganas lagi. Jadi, Eyang Tabib hanya berpesan orang yang
namanya pakai Duri harus diusir dari kadipaten dan tidak
boleh tinggal di kadipaten lagi, itu kalau Kanjeng ingin
warganya selamat dari penyakit berbahaya.”
Kelebihan bicara Pandu Puber dalam batas usia sekedil
itu membuat sang Adipati semakin yakin. Bahkan sang
Adipati beranggapan, “Anak ini sepertinya bukan bicara
dalam kesadarannya. Pasti ada roh gaib yang memakai
raganya untuk bicara sendiri. Mungkin roh sakti sang tabib
sendiri.”
Pandu segera berkata, “Saya rasa sudah cukup
keperluan saya, Kanjeng. Semua pesan Eyang Tabib Teh
Kolak sudah saya sampaikan. Saya mohon pamit.”


“Tunggu, tunggu…!” sang Adipati menahan langkah
Pandu. “Kalau yang pakai nama Duri harus diusir, ya?”
“Betul, Kanjeng. Tak perduli itu pejabat istana atau
perajurit biasa, harus cepat-cepat diusir sejauh-jauhnya.”
“Di sini yang pakai nama Duri ada dua, Dewi Widuri
keponakanku sendiri. Lalu….. Wirya Kenduri, juru
tamanku.”
“Lho….kata Eyang Tabib ada tiga? Kok cuma dua?”
“O, ya…yang satu lagi tawananku, namanya Mirah Duri.
Tapi…” Adipati sempat bimbang sebentar. Pandu Puber
berdebar-debar, lalu berkata.
“Pokoknya kalau Kanjeng mau selamat seluruh
rakyatnya ya harus mengusir nama-nama itu!”
“Ya deh! Dari pada rakyatku diserang wabah penyakit
yang diawali dari istriku, lebih baik aku melakukan pesan
Eyang Tabib Teh Kolak itu!”
“Kalau begitu, saya permisi, Kanjeng!”
“Tunggu sebentar!” Adipati mengambil uang dalam
kantong kain kecil. “Ini kuberi uang untuk jajan di jalan.”
“Wah, terima kasih, Kanjeng. Eyang Tabib melarang
saya menerima upah dalam tugas ini. Kalau saya terima
upah, saya sendiri bisa jadi sakit seperti Gusti Permaisuri.”
“Ooo…begitu, ya sudah kalau memang begitu pesan
Eyang Tabib!” sang Adipati tambah yakin lagi. Maka tiga
nama yang memakai Duri tadi diusir dari istana. Bahkan
diarak beberapa perajurit agar keluar dari batas wilayah
kadipaten. Tentu saja hal itu sempat mendapat gugatan
dari dua nama yang tidak bersalah itu, Wirya Kenduri dan
Dewi Widuri. Mereka protes mengecan keputusan sang
Adipati. Tapi bagi Mirah Duri hal itu sangat
menguntungkan.
Mirah Duri sendiri heran, siapa anak kecil yang
membawa kabar seperti itu. Ia hanya mendengar cerita
selintas tentang sang bocah yang datang membawa pesan
seorang tabib.
Tetapi ketika ia bergegas melarikan diri dari batas
wilayah kadipaten, tiba-tiba langkahnya terhenti karena


kemunculan Pandu Puber dari balik pohon. Bocah itu
langsung nyengir dan berkata.
“Naah… sudah beres kan?”
“Hei, kau… kau bocah yang bersama guruku itu, kan?”
“Betul. Aku yang bernama Pandu Puber, Yu! Aku
mendengar kau ditawan di kadipaten dari kakekku.
Sekarang gurumu ada di rumah kakekku. Lalu aku
berusaha membebaskanmu biar tidak ditukar nyawa Ki
Parut Melepuh!”
“Ja…jadi kau yang datang ke kadipaten dan
menyampaikan kabar dari seorang tabib sakti itu?”
“Betul. Habis kau tidak  punya cara lain untuk
melepaskan dirimu, Yu! Kalau melawan orang sekadipaten
ya belum tentu menang.”
“Ya jelas, nggak bakalan menang!”
“Makanya aku pakai cara seperti itu. Tapi…kasihan juga
ya, dua orang yang pakai nama Duri itu jadi ikut-ikutan
diusir. Kupikir cuma kamu yang bernama Duri sih. Nggak
tahunya ada dua orang lagi.”
Mirah Duri geleng-geleng kepala. “Wah, wah, wah… kau
ini akalnya ada-ada saja, Pandu!”
“Yang penting bisa membebaskan kamu, Yu! Aku nggak
suka kalau kamu sijadikan sandera dan ditukar dengan
nyawa gurumu. Kamukan nggak salah.”
“Memang. Dan…aku patut berterima kasih padamu,
Pandu.”
“Kasih hadiah dong!”
“Baik. Akan kuberi hadiah. Kau minta hadiah apa?”
“Sun…!” sambil sodorkan pipinya.
“Hahh…?!” Mirah Duri kaget dan tertegun bengong.
***






-----------------------------------------------------------------------------  
EMPAT
------------------------------------------------------------------------------ 



ALAU saja Pandu Puber tahu, dia akan terbengong-
bengong. Kalau saja orangtuanya tahu, mereka
akan terheran-heran. Suatu yang di luar dugaan
terjadi gara-gara ulah sang bocah nekat yang ingin
membebaskan Mirah Duri.
Daun pare pemberian Pandu Puber ternyata benar-
benar sembuhkan penyakit sang Permaisuri. Siang minum
air rebusan daun pare sesuai petunjuk Pandu, sorenya
sang Permaisuri sehat dan badannya merasa segar bugar.
Tidak lemas lagi, tidak muntah-muntah lagi, bahkan
makannya banyak. Sampai-sampai suaminya sendiri
bergidik melihat makannya sang Permaisuri. Tentu saja
sang Adipati Sihombreng memuji-muji Pandu Puber di
depan siapa saja.
“Bocah itu benar-benar membawa keberuntungan!
Kalau tak ada dia, istriku tak akan sesehat ini dalam waktu
singkat. Dia dan Tabib Teh Kolak memang pantas kuberi
perhargaan tinggi. Sayang di mana mereka berada, aku tak
tahu!”
Dewi Widuri juga menemui keberuntungan besar
setelah diusir dari istana kadipaten. Di perjalanan ia
bertemu dengan rombongan Raja Muda Purwanegara yang
sedang berburu. Sang raja yang masih single itu terpikat
oleh Dewi Widuri. Tanpa banyak basa-basi lagi, Dewi Widuri
dibawa ke istana Kerajaan SIngosani. Selanjutnya Dewi
Widuri dipersunting oleh Raja Muda Purwanegara, dan
jadilah ia seorang Permaisuri yang bahagia hidupnya.
Proses perkawinan itu sangat cepat, sampai-sampai Dewi
Widuri sendiri merasa seperti mimpi tanpa konsep.
Lalu bagaimana dengan Wirya Kenduri? Oh, ia juga
punya nasib yang sama dengan Dewi Widuri. Juru taman itu
K


pulang ke rumahnya, di kaki Bukit Lumas. Anaknya
ternyata sedang hendak dilamar oleh Pangeran Tambala
dari Negeri Tanah Manca. Pangeran Tumbala adalah
pewaris penguasa Negeri Tanah Manca yang kaya raya dan
subur makmur itu. Perkawinan tersebut membuat Wirya
Kenduri diangkat menjadi kepala rumah tangga negeri
tersebut, sejajar dengan para pejabat istana lainnya.
Praktis Wirya Kenduri menjadi OKB alias Orang Kaya
Baru yang hidupnya serba mewah dan glamour. Ia sangat
beruntung dan merasa kehadiran bicah nekat itu telah
merubah jalan hidupnya. Seandainya bocah nekat itu tidak
menghadap Adipati Sihombreng, mungkin Ki Wirya Kenduri
tidak akan menjadi OKB tapi tetap menjadi BKO alias Baru
Kaya Orang.
Lalu tentang Mirah Duri sendiri?
Wah, tuh cewek punya keberuntungan ganda. Pertama
bebas dari penjara kadipaten. Kedua, setelah memberikan
ciuman di pipi bocah nekat itu, ia langsung diserang musuh
lamanya yang bernama Cukilakila. Tapi orang yang
bernama Cukilakila menjadi gemetar ketika mengetahui
Mirah Duri dibantu oleh Pandu Puber.
“Ternyata kau ada di pihaknya, Nak?” Kata Cukilakila
yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
“Ya, aku ada di pihak Mirah Duri, Paman!” tegas Pandu
Puber.
“Maafkan Paman, Nak. Paman tidak tahu dan belum
mengerti dengan pasti siapa Mirah Duri sebenarnya.
Setahu Paman dulu dia menyerang Paman dan membuat
Paman jatuh ke jurang. Untung tak mengalami cidera
berat. Tapi Paman masih penasaran, ingin membalas
kekalahan Paman pada Mirah Duri.”
“Paman harus melawanku kalau mau melawan Yu
Mirah!”
“Tidak. Paman tidak berani. Maafkan Paman sekali lagi,
Nak!”
Melihat Cukilakila ketakutan, Mirah Duri merasa heran,
lalu bertanya kepada Pandu Puber, “Ada hubungan apa


sebenarnya antara kau dan dia?”
“Paman Cukilakila adalah perajurit kakekku yang
bertugas menjadi mata-mata bagi siapa saja yang ingin
menyerang Pulau Iblis! Sudah tiga kali ia ditugaskan
menjemputku dari Gunung Ismaya untuk dibawa ke Pulau
Iblis saar kakek rindu padaku.”
Keberuntungan ketiga bagi Mirah Duri, ia segera
dibawa ke Pulau Iblis dan bertemu dengan gurunya Ki
Panut Palipuh. Alangkah senang hati Mirah Duri melihat
gurunya masih selamat. Sang Gurupun sangat gembira
melihat muridnya bebas dari ancaman maut Adipati
Sihombreng.
Keuntungan keempat bagi Mirah Duri Raja Jin Kala
Bopak, kakek Pandu itu, berkenan mengangkat Mirah Duri
untuk menjadi pegawai istananya yang bertugas mengatur
para pelayan, sekaligus menjadi petugas penerima tamu
yang akan menghadap Raja Kala Bopak. Penghasilannya
menjadi berganda. Pokoknya bahagia sekali masa depan
Mirah Duri semasa Pulau Iblis belum ditenggelamkan para
dewa.
Sedangkan Pandu Puber sendiri begitu pulang ke
rumah dihajar habis oleh ibunya. Bahkan distrap tidak
diberi makan selama sehari penuh. Bocah itu menderita,
tapi punya rasa bangga bisa menolong Mirah Duri. Pahanya
memang menjadi biru-biru karena dicubiti ibunya. Namun
rasa sakit itu tidak dirasakan karena bayangan indah
dicium Mirah Duri masih membekas di hatinya. Bocah
itupun tidak merasa sakit hati oleh hajaran ibunya, karena
memang ia sudah siap untuk dihajar sehingga berani
lompat jendela malam hari.
Hal-hal seperti itu banyak dilakukan Pandu Puber
sampai ibunya kewalahan memikirkan bagaimana cara
mengurangi kenakalan sang anak supaya tidak sebegitu
bandelnya. Sampai usia sepuluh tahun, Pandu Puber
masih sering bertindak yang mencemaskan hati ibunya.
Sang Ayah tidak pernah merasa cemas, karena sang Ayah
tahu betul kapasitas kemampuan anaknya dalam


melakukan sesuatu yang dianggap bahaya bagi anak
seusia itu.
“Dihajar bolak-balik nggak pernah kapoknya tuh anak,”
gerutu sang Ibu kepada sang Ayah menjelang tidur malam.
“Aku bisa tertekan kalau begini caranya! Cobalah kau
bertindak menghajarnya, Yud! Jangan hanya cengar-cengir
saja kalau lihat anakmu kuhajar! Aku capek
menghajarnya!”
“Lha apa kita perlu menyewa orang khusus untuk
menghajarnya?” kata Yuda Lelana dengan kalem. Masih
tanpa emosi, selayaknya seorang yang punya kesabaran
tinggi.
“Ya nggak gitu maksudku!” Murti Kumala cemebrut.
“Sekali-kali kau turun tangan dong, biar anakmu ngak
sebandel itu. Kalau tahu itu anak bakal jadi anak bandel
aku ngak mau kawin sama kamu!”
Yuda Lelana tertawa dalam gumam, “Apa anak itu perlu
dimasukkan lagi ke dalam perutmu lewat jalur semula?!”
goda Yuda Lelana.
“Uuh…! Ngaco!” dengus Murti Kumala sambil buang
muka. Tidurnya memunggungi sang suami.
Yuda Lelana tertawa kecil, lalu memeluk istrinya dari
belakang sambil mencium tengkuk sang istri yang cantik
itu. Yuda Lelana berkata setelah sang istri mengibaskan
ciuman itu, tapi tetap diam ketika dipeluk dari belakang.
“Namanya saja anak, bandel itu wajar. Toh bandelnya
tidak kepada kita. Kebandelannya akibat darah
kependekaran yang tumbuh dalam jiwanya. Nanti kalau
anakmu nggak bandel, diam saja nggak ada suaranya, kau
jadi kebingungan. Dikira tuh anak kena sawan celeng?
Giliran anaknya bandel, mengeluh dan uring-uringan terus.
Kalau sudah begitu yang rugi siapa? Kan diri sendiri juga.
Dan lagi…..”
Yuda Lelana tak jadi lanjutkan ucapannya. Susah payah
ia menyusun kata untuk memberi pengertian kepada
istrinya, ternyata sang istri sudah tertidur dengan
dengkuran halus. Yuda Lelana menggerutu dalam hati


sambil menghela napas dalam-dalam.
“Yaaah…libur lagi deh malam ini?!” Iapun hanya bisa
garuk-garuk ekpala sambil menekan rasa kesal di hatinya.
Yuda Lelana segera terbayang tingkah laku anak
tunggalnya itu. Jiwa kependekaran begitu besar tertanam
dan berkembang dalam diri anak itu. Pada usia tiga belas
tahun saja sang anak sudah berani melawan Ketua
Perampok Tulang yang bernama si Cacah Rusuk. Konon
orang ganas itu dibuat lari tunggang langgang oleh Pandu
Puber dan tak berani muncul di rimba persilatan sampai
beberapa waktu lamanya.
Adipati Sihombreng sendiri sejak tahu siapa Pandu
Puber tak berani mengejar-ngejar Ki Panut Palipuh lagi.
Sebutan Pandu sebagai ‘cucu raja jin’ membuat Adipati
Sihombreng ngeper mendekati Ki Panut Palipuh karena ia
tahu orang itu bersahabat akrab dengan Pandu Puber.
Selain merasa berhutang budi kepada Pandu Puber,
Adipati Sihombreng sendiri juga tak berani ambil resiko
lebih berbahaya lagi jika ia nekat mengejar Ki Panut
Palipuh.
Mendengar sepak terjang anaknya, Yuda Lelana hanya
geleng-geleng kepala. “Anak itu benar-benar nggak punya
rasa takut kepada siapapun? Aku sendiri nggak sangka lho
kalau bakalan punya anak yang memiliki keberanian
senekat itu?” pikir Yuda Lelana.
Bagaimana tidak dikatakan nekat keberanian Pandu
Puber itu, jika dalam usia lima belas tahun berani melawan
tokoh tua yang bergelar Sikat Neraka. Yuda Lelana dam
Murti Kumala hanya mendengar cerita pertarungan
tersebut dari mulut Cukilakila yang saat itu juga mendapat
cerita dari salah satu anak buah Sikat Neraka.
Orang yang bernama Sikat Neraka adalah tokoh tua
aliran hitam yang berdarah dingin. Bahkan di rimba
persilatan ia dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak
orang sakti yang menjadi guru untuk aliran hitam. Bagi
Sikat Neraka, membunuh itu sudah merupakan kegemaran
setiap harinya. Sama seperti orang yang sudah kecanduan


olah raga jogging setiap paginya. Sehari saja tidak jogging,
badan terasa pegal-pegal. Demikian juga Sikat Neraka,
sehari saja tidak membunuh orang, tulang-tulangnya jadi
ngilu dan urat-uratnya pegal.
Sikat Neraka tak pernah pandang bulu dalam
membantai lawannya. Bayipun kalau perlu disikatnya
habis. Seorang nenek tua renta pun tak segan-segan
ditebas dengan golok lebarnya jika macam-macam
kepadanya. Sikat Neraka mempunyai kawanan perampok
sendiri yang beroperasi di wilayah utara. Biasanya ia tampil
sebagai Ketua Kapal Bajak Laut. Sebuah kapal yang
sedang berlayar di wilayah lau utara, jika melihat kapal
hitam berlayar marah gambar tengkorak berjambul, pasti
para awak kapal titu akan gemetaran semua. Sebab
mereka tahu kapal berlayar merah dengan gambar hitam
membentuk wajah tengkorak berjambul itu adalah Kapal
Bajak Laut Sikat Neraka. Kapal apapun yang berpapasan
dengan Kapal Bajak Sikat Neraka tak pernah ada yang
selamat. Jika awak kapalnya ada yang hidup itu suatu
keberuntungan besar bagi kapal tersebut. Karena Sikat
Neraka dalam membajak kapal tak pernah menyisakan
nyawa para penumpang kapal yang dibajak.
Di laut dia berjaya, di daratpun Sikat Neraka terkenal
sebagai perampok berdarah beku. Siapa saja yang
dirampoknya tak pernah ada yang selamat. Bukan harta
saja yang dirampasnya, tapi nyawa pun ikut dirampas.
Karena itu, tak heran jika nama Sikat Neraka menjadi
nama yang ditakuti orang.
Seandainya kala itu Murti Kumala mendengar Pandu
Puber akan bertarung dengan Sikat Neraka, pasti dia akan
lari lebih dulu mencari anaknya dan membawanya pulang
lalu dihajar habis-habisan. Tapi cerita yang dituturkan
Cukilakila itu didengar oleh Yuda Lelana dan Murti Kumala
setelah peristiwa pertarungan tersebut selesai dilakukan
Pandu Puber yang baru berusia lima belas tahun. Yuda
Lelana dan Murti Kumala hanya bisa geleng-geleng kepala
saja sambil menunggu anaknya pulang untuk dimarahi.


Kisahnya diawali dari perkenalan Pandu Puber dengan
seorang gadis putri saudagar kaya yang bernama Lila
Anggraeni. Gadis ini usianya sedikit lebih tua dari Pandu,
sekitar tujuh belas tahun. Cantik sekali dan sexi-nya bukan
main. Lila Anggraeni mempunya bodi yang penuh
tantangan bercumbu bagi setiap laki-laki.
Yang membuat gadis itu kian tambah manis adalah tahi
lalat di atas bibir, sebelah kiri. Kecil sih, tapi manfaatnya
sangat besar sekali bagi daya tarik kecantikannya.
Ditambah lagi rambutnya lurus lemas sebatas pundak dan
diponi depannya. Hidungnya mancung miri hidung cewek
bule. Matanya indah, bibirnya sendual dan dada sendiri
sangat wow. Dada itu bisa bikin mata lelaki terbelalak
seketika dan bingung mengedipkannya kembali.
Apalagi pakaian yang dikenakan Lila Anggraeni sangat
seronok. Baju atasnya kain tipis warna cokla ttua
mengkilap, seperti dari bahan satin. Potongan bajunya itu
tanpa lengan, bagian depannya dikancingkan dengan satu
tali pengikat yang sekali tarik akan terbuka byaak…!
Sedangkan bagian dalam baju itu tidak ada lapisan kain
apa-apa lagi. Padahal belahan kain baju itu cukup lebar,
sehingga nyaris separo bukitnya tampak menantang
dengan mulusnya.
Baju itu diikat dengan angkin sederhana warna putih.
Celananya ketat, dari bahan kain sejenis beludru.
Warnanya coklat muda, tinggi sebatas betis. Sebagian
betisnya tampak mulus. Putih tanpa cacat. Ia gadis yang
tergolong tinggi, tapi sesuai dengan kesekalan tubuhnya.
Awal perjumpaan dengan Pandu Puber ditandai dengan
gemuruh suara kaki kuda berlari kencang dan sang kuda
meringkik-ringkik. Di sela ringkikkan itu, terdengar pula
suara jeritan yang memanjang.
“Tolooooong…! Toloooong…!”
Pandu Puber yang sedang menuruni bukit mendengar
suara itu. Ia paling getol jika mendengar suara perempuan
menjerit. Tanpa menunggu pertimbangan ini itu, Pandu
Puber langsung saja lari ke arah datangnya suara tersebut.


Tak perduli bajunya yang ungu itu tersangkut duri dan
robek sedikit, Pandu Puber segera hadi ke sisi tebing
berjurang curam.
Ia berdiri di ketinggian tempat. Matanya memandang
ke arah timur, melihat dengan jelas munculnya seekor
kuda yang berlari dengan binal. Di atas kuda ada cewek
kece. Cewek itu ketakutan. Rupanya ia tak bisa hentikan
lari sang kuda. Ia ketakutan. Apalagi sang kuda sesekali
mengangkat kedua kaki depannya sambil meringkik liar.
Sang gadis nyaris jatuh terlempar dari punggung kuda.
Pada saat kuda berlari lagi dengan gerakan liar, Pandu
Puber segera melompat dari ketinggian dan  menghadang
langkah sang kuda. Sang gadis semakin ketakutan melihat
anak muda belasan tahun berdiri di depannya sementara
sang kuda tak bisa dihentikan dari larinya.
“Awaaas…! Minggir…! Minggiiir…!” teriak gadis itu. tapi
Pandu Puber tak mau minggir, malah bersikap
menghadang laju sang kuda. Sang gadis takut kalau
kudanya menabrak pemuda remaja itu, sehingga ia
berteriak makin keras. Pandu Puber segera menggerakkan
tangannya ke atas. Satu tangan kanan yang diangkat ke
atas itu ditarik turun pelan-pelan dengan jari-jari megar.
Tangan kirinya ada di dada dalam keadaan telapak tangan
terbuka ke samping dan tegak ke atas. Setelah tangan
kanan yang diturunkan itu mendekati dada, kedua
tangannya segera didorong ke depan dengan pelan-pelan
penuh tenaga. Sang kuda yang berjarak tujuh langkah
darinya itu segera mengangkat kedua kaki depannya dan
meringkik keras.
“Iieeehhhk…!”
Gelombang tenaga dalam berhawa sejuk tersalur lepas
dari kedua tangan Pandu Puber. Gelombang itu tak bisa
dilihat kecuali dirasakan oleh sang kuda. Sang kuda
mengibaskan kepalanya, dan hentikan langkahnya. Pandu
Puber masih luruskan dua tangan ke depan. Gelombang
hawa salju masih menyembur dari kedua telapak
tangannya. Jurus itu bernama jurus ‘Hati Damai’. Tapi


Pandu Puber tidak tahu nama jurus itu karena jurus itu
titisan dari ayahnya. Hanya saja ia mampu bergerak bagai
dituntun oleh nalurinya sendiri.
“Iiieeehhhkk…!” sang kuda meringkik tapi tak melonjak.
“Minggir kau! Minggir….!” Seru gadis itu dengan tegang.
“Kau yang minggir!” sentak Pandu Puber. “Cepat turun
dan tinggalkan kuda itu! Dia akan menjadi liar lagi jika
masih ditunggangi. Ayo, turun!”
“Tur….turun….turun ke aman?!” gadis itu panik.
“Ya turun ke bawah tolol! Masa’ turun ke atas?!” 
“Maksudku…..o, iya! Aku harus segera turun!” gadis
panik itu akhirnya melompat turun dan berlari ke arah
belakang kuda, menjauhi kuda itu, diam di bawah sebuah
pohon berdahan besar dan berdaun rindang.
Sang kuda tampak tenang. Pandu Puber mendekatinya
sambil berseru kepada sang gadis yang masih memandang
dengan tegang dan ngos-ngosan.
“Kuda ini punya penyakit kejiwaan! Rada-rada gila!”
“Mungkin!” jawab sang gadis dari kejauhan.
“Makanya lain kali kalau mau naik kuda hati-hati dan
pilih dengan teliti. Jangan naik kuda gila!” sambil Pandu
mengusap-usap leher kuda yang tampaknya mulai jinak.
Lalu ia memeriksa kuda itu, sampai akhirnya ditemukan
sebuah jarum menancap di bawah pelana kuda.
“Ooo… ada orang jahil ingin celakakan kamu, Nona!
Ada yang memasang jarum di bawah pelana ini, jadi kalau
kau duduk di atas pelana maka kuda ini merasa kesakitan
ditusuk jarum.” Pandu Puber mencabut jarum itu dan
menunjukkan dari tempatnya. Sang gadis terbengong
heran.
Pandu Puber berkata lagi sambil mengusap-usap
punggung kuda. “Kuda seperti ini tidak boleh mendengar
suara teriakan. Semakin kita panik, semakin panik juga
dirinya. Jadi harus diusap dengan lembut dan mesra,
supaya tidak nakal….!”



                                                                         Page   1    2    3    4