T U J U H
Jurus Malaikat
Gurun Pasir Merambah Iblis sege-
ra digunakan.
Sepasang lengan Roro bergerak
menghantam....
BHLARRR!
Dentuman keras
terdengar. Akan tetapi berbareng
dengan Itu,
tubuh Roro pun terlempar ke udara. Ro-
ro telah
kehilangan kesadarannya karena telah
menghisap uap
beracun yang membuat dia tak sa-
darkan diri.
Namun detik tadi dia telah mampu gu-
nakan jurus si
Manusia Gurun Pasir yang ampuh.
Makhluk raksasa
mengerikan itu mendadak le-
nyap. Dan ...
sebuah cahaya kuning tiba-tiba mem-
bersit ke arah
tubuh Roro. Kejadian aneh segera ber-
langsung.
Tubuh Roro
lenyap terbungkus dalam kemilau
cahaya kuning
itu. Sementara cahaya itu sendiri me-
luncur ke arah
puncak bukit di pulau aneh itu.....
Lalu lenyap.
Ketika Roro
sadarkan diri lagi, dia terkejut meli-
hat dirinya
telah berada disatu ruangan berlantai
marmar. Dinding
ruangan Ku putih berkilat-kilat.
Sebuah ruangan
yang amat luas. Yang membuat Ro-
ro lebih terpana
adalah di hadapannya tampak se-
buah arca
seorang kakek. Area batu yang sudah ber-
lumut.
Dalam keadaan
tertegun kebingungan Kulah Roro
mendengar suara
gaib dari arah arca.
"Cucuku
...! Jangan terkejut. Kau telah berada di
tempatku. Akulah
kakek gurumu yang bergelar Ba-
gawan BHAMA
KOSALA! Heheheh ... selamat datang
cucuku yang
cantik!"
Terperangah Roro
karena jelas dia mendengar su-
ara Ku dari arah
arca. Akan tetapi apakah patung
manusia itu yang
bicara? pikir Roro.
Namun mendengar
nama Bagawan Bhama Kosa-
la, Roro
cepat-cepat bangkit dan jatuhkan dirinya
berlutut di
hadapan patung.
"Kakek
guru, terimalah sembah sungkem ku. Aku
Roro Centil
telah membuat huru-hara di tempat ke-
diamanmu!"
berkata Roro. Dia tak peduli apakah
area itu
yang bicara atau bukan. Tapi yakin kalau
suara gaib itu
datangnya dari arah arca.
Suatu keanehan
tiba-tiba terjadi. Area batu yang
mirip seorang
kakek tua yang sudah berlumut itu
mendadak lenyap.
Dan asap putih tipis membum-
bung. Mata Roro
terbelalak melihat dibekas arca te-
lah menjelma
sesosok tubuh yang amat mirip den-
gan patung kakek
tua itu.
"Ah? apakah
ini kakek guru Bagawan BHAMA
KOSALA?"
berdesis Roro.
"Hehehe ...
bocah cucuku. Apakah kau bersedia
menjadi
muridku?" bertanya kakek jubah putih yang
mirip dengan
sosok arca itu. Sepasang mata dari se-
seorang tua yang
berusia lanjut sekali. Berjenggot
kelabu.
Berhidung mancung. Sepasang matanya
bersinar.
"Atas
perintah guruku aku memang dibawa ke
tempat ini
adalah untuk itu, kakek! Tentu saja aku
amat berterima
kasih Kalau kau mau mengangkat
ku sebagai
murid!" ucap Roro dengan menunduk
hormat.
Sementara hatinya berdebar-debar. Semua
kejadian ini
amat misterius dan dia seperti berada di
alam gaib yang
amat menakjubkan.
Bagawan Bhama
Kosala tertawa mengekeh. Sua-
ranya membuat
bulu roma Roro meremang.
"Sebenarnya
ilmu kedigjayaan mu sudah tinggi.
Akan tetapi
sudah menjadi kodrat bahwa di atas
langit masih ada
langit lagi. Aku akan berikan tiga
macam Ilmu
padamu. Ya, tiga macam ilmu kedig-
jayaan yang
mungkin bisa membuat kau lebih per-
kasa, cucuku.
ilmu ini adalah ilmu yang cuma bera-
da di negeri
siluman. Yang bisa dipergunakan untuk
bekalmu
menghadapi musuh-musuhmu yang juga
berilmu siluman.
Setelah itu kau boleh kembali ke
dunia manusia!
Akan tetapi
ingatlah. Jangan kau pergunakan il-
mu ini untuk
perbuatan yang tidak baik!" tutur Ba-
gawan Bhama
Kosala.
"Murid akan
selalu ingat akan wejangan mu, ka-
kek guru!"
sahut Roro dengan girang.
"Aku
percaya akan pribadimu!" tersenyum sang
Begawan.
"Nah, hari ini juga kau mulailah mempela-
jari!"
"Terimakasih,
kakek guru! ujar Roro dengan men-
gangguk girang.
Si kakek
menunjuk ke arah sebuah batu putih
bagai pualam di
sudut ruangan. Nah! kau bertapa-
lah di atas batu
itu selama empat puluh hari empat
puluh malam.
Bila kau sanggup
melewati ujian ini maka kau
berhak menerima
ketiga macam ilmu dariku." berka-
ta Bagawan Bhama
Kosala. Roro menatap ke arah
tempat itu lalu
mengangguk.
"Kalau
persyaratan untuk menerima ketiga ma-
cam ilmu itu
adalah demikian, tentu aku akan men-
cobanya, kakek
guru!" tandas Roro.
"Sukurlah!
Semoga kau lulus dalam ujian itu!"
Bagawan Bhama
Kosala manggut-manggut sambil
mengelus
jenggotnya. Akan tetapi sekejap kemudian
tubuhnya lenyap
sirna.
Roro ternganga.
Walaupun dia mempergunakan
mata batin namun
tetap tak mampu melihat ke ma-
na lenyapnya
tubuh kakek bagawan itu.
Namun tak lama
kemudian Roro sudah melompat
ke sudut
ruangan. Kemudian segera mulai mengatur
kaki untuk duduk
bersila. Segeralah dia memulai
tapanya....
***
Pulau Berhala
mulai menunjukkan kekuasaan-
nya. Kecemasan
mengembara ke setiap daerah. Ka-
rena sang ketua
para paderi itu mulai haus pada
wanita-wanita
cantik. Pulau Berhala memang amat
sukar untuk
didatangi golongan lain yang berniat
menyelidiki
pulau itu. Karena penjagaan yang ketat.
Di samping
ratusan paderi dari Istana Hitam siap
mencabut nyawa!
Belasan manusia
berkepala gundul tampak ber-
sembulan di
permukaan air menyeberangi pulau.
Tak sebuahpun
perahu nelayan berani mendekati
pulau itu. Dalam beberapa saat saja mereka telah
mendarat di
pantai pasir.
Mereka saling
memberi isyarat. Lalu segera me-
nyebar.
Gerakan mereka
cepat sekali karena dalam bebe-
rapa kejap saja
sosok-sosok tubuh itu langsung le-
nyap.
Pantaipun
kembali sunyi mencekam....
Akan tetapi
ternyata sepasang mata telah mem-
perhatikan
pendaratan itu dengan mata bersinar.
Itulah sepasang
mata dari sesosok tubuh.
Sosok tubuh
seorang laki-laki yang juga ber-
kepala botak.
Laki-laki yang
berpakaian jubah hijau dan sudah
agak butut itu
memang mirip dengan Paderi-Paderi
itu. Akan tetapi
jelaslah kalau paderi ini bukan sego-
longan dengan
para paderi Pulau Berhala .
"Keparat!
mereka mulai mencari korban lagi! aku
harus segera
melaporkan!" berbisik mulut paderi ini.
Sepasang matanya
menyorotkan kegemasan mena-
tap para paderi
Pulau Berhala yang berkelebatan le-
nyap.
Dia bangkit
berdiri. Menyibak semak. Dan! berke-
lebat ke arah
yang berlawanan dengan paderi itu.
Kita beralih
kesatu tempat tersembunyi tak jauh
dari pantai.
Beberapa buah
kemah tampak berada di sekitar
itu. Dan tampak
para penjaga yang rata-rata berpa-
kaian serupa
dengan paderi itu.
Ketika paderi
berjubah hijau itu muncul, dua
orang segera
melompat untuk menyambut keda-
tangannya.
"Bagaimana?
Apakah mereka mulai bergerak hari
ini?" tanya
salah seorang.
"Benar!
Belasan paderi keparat Pulau Berhala itu
sudah menyebar
di wilayah ini. Agaknya mereka
mulai mengadakan
penculikan lagi!" menyahut dia.
"Segera
laporkan pada guru!" berkata kawannya
yang menjaga.
Paderi muda yang
rupanya menjadi mata-mata
untuk mengintai
di sekitar pantai itu mengangguk.
Segera dia
bergegas menghampiri sebuah kemah
yang paling
besar.
Pintu kemah agak
terbuka. Dia segera melongok
ke dalam. Akan
tetapi melongo mulut paderi ini ka-
rena tak
menjumpai gurunya di situ.
Beberapa orang
segera ke luar dari dalam kemah.
"Guru tidak
ada! apakah kalian mengetahui ke
mana perginya
beliau?" bertanya paderi muda ini.
"Kami juga
tak mengetahui! Ah, tentu kau mem-
bawa berita
pengintaian dari pantai!" bertanya ka-
wannya.
"Ya! belasan
orang paderi Pulau Berhala menda-
rat. Tentu akan
memulai lagi penculikan terhadap
wanita-wanita.
Hal ini harus diketahui guru! Kita
tak dapat
membiarkan mereka membuat kejahatan
lagi!"
Semua
murid-murid yang berada di tempat itu
cuma saling
pandang karena tak mengetahui ke
mana perginya
sang guru.
Sementara itu
belasan orang paderi itu telah me-
nebar ke
pelosok, memasuki desa. Terdengar suara
jeritan
perempuan dari kejauhan. Akan tetapi cuma
sekejap. Suara
itu lenyap. Dua orang penduduk sal-
ing pandang.
"He?
Seperti suara orang menjerit. Coba kau pe-
riksa.
Jangan-jangan ada kejadian penculikan lagi!"
"Ya! mari
kita periksa!" sahut kawannya. Kedua
laki-laki itu
menghunus golok dan bergegas
untuk
berlari
menghampiri sebuah pondok. Itulah pondok
yang menjadi
arah sumber suara jeritan tadi.
Tiga sosok tubuh
tampak berloncatan dari dalam
pondok itu
menerjang pintu. Benar dugaan kedua
laki-laki
penduduk itu. Karena mereka melihat salah
seorang
memondong tubuh wanita.
"Keparat!
bangsat tengik! lepaskan gadis itu! Ki-
ranya kalianlah
penculik-penculik yang selama ini
merajalela!"
membentak salah satu dari kedua lelaki
desa itu. Segera
dia tahu gadis itu adalah Mariamah,
yang menjadi
giliran korban penculikan.
Dua laki-laki
ini melompat menghadang ketiga
paderi itu. Akan
tetapi salah seorang gerakkan tan-
gannya. Dua
benda berkilat menyambar ke arah
tenggorokan
kedua laki-laki itu. Dan kejap berikut-
nya, terdengar
suara teriakan parau. Tubuh dua le-
laki desa itu terjungkal
roboh. Dua benda belati kecil
itu telah
membenam di tenggorokan mereka masing-
masing.
Berkelojotan tubuh pemuda desa itu. Na-
mun sejenak
terkapar lepaskan nyawa.
D E L A P A N
Sementara itu di
Pulau Berhala..... Istana Hitam
yang angker
misterius itu seperti lengang tak ber-
penghuni. Namun
sesungguhnya di dalam satu
ruangan besar di
dalam istana tengah menjalankan
upacara.
Upacara yang
dihadiri oleh ratusan paderi ber-
kumpul berbaris
dengan rapi. Di depan mereka pada
sebuah altar
tempat paderi-paderi berpakaian serba
hitam dengan
cadar penutup muka, berdiri seperti
menanti
kedatangan ketua mereka. Sementara se-
buah pedupaan
yang besar kepulkan asap berbau
harum. Dua orang
algojo memegang kapak besar
siap menjalankan
tugas. Upacara apakah ini? inilah
upacara
keagamaan mereka yang mereka anut. Ten-
tu saja upacara
yang sesat karena paderi-paderi itu
bukanlah paderi
yang menjalankan sebagaimana la-
zimnya paderi.
Dalam sebuah
ruangan di belakang tembok ruang
depan Istana
tampak seorang laki-laki bertubuh te-
gap. Berusia
sekitar lima puluh tahun. Berkepala
separoh botak.
Akan tetapi pada bagian belakang
tampak sedikit
rambut yang di kepang menjuntai ke
belakang
punggung. Pada bagian dada orang Ini
tampak bertato
seekor kelelawar berkepala ular. in-
ilah sang ketua
mereka yang mempunyai gelar si
PADERI MATA
SERIBU. Paderi tua bertubuh tegap
Ini bermuka
kasar dengan kulit muka hitam. Kumis
dan jenggotnya
berwarna kelabu. Sepasang matanya
biru. Dia dalam
keadaan berdiri separuh telanjang di
ruangan itu yang
menjadi tempat peristirahatannya.
Di hadapannya
adalah tujuh orang gadis yang da-
lam keadaan
terikat di tujuh dipan kayu dengan
keadaan tanpa
busana.
Ketujuhnya dalam
keadaan pucat ketakutan. Me-
reka tahu apa
yang bakal terjadi pada mereka. Ka-
rena sang ketua
ini telah mulai melepaskan jubah
bagian bawah.
Sepasang kaki manusia ini yang ber-
telapak besar
mulai menghampiri dipan bagian
ujung. Gadis itu
meronta di atas dipan dengan keta-
kutan. Sepasang
matanya membelalak menatap si
Paderi Mata
Seribu yang menyeringai menatap sang
gadis dengan
mala membinar.
"Hahahhehe
.. heheh ... giliran pertama adalah
kau, gadis
manis!"
"Tidak! tidak!
lepaskan aku... jangaaan!" teriakan
si gadis memecah
keheningan dalam ruangan ka-
mar. Akan tetapi
mana dia mampu menghindar dari
nasib yang bakal
menimpanya?
Dengan derai
tawa iblis dan dengus yang me-
nyembur-nyembur
lengannya menerkam mang-
sanya.
Menggeliat gadis itu tak berdaya.
Sementara
gadis-gadis korban lainnya cuma bisa
palingkan muka
dengan air mata berderai. Bahkan
salah satu gadis
itu telah menangis terisak-isak.
Gadis dipan
pertama itu tak dapat menghindari
lagi. Namun dia
keburu pingsan sebelum dia menge-
tahui
kelanjutannya ....
"Keparat!"
ternyata paderi Mata Seribu justru gu-
sar. Lengannya
bergerak mencengkeram leher; wani-
ta itu ...
Kraaak! Tak ampun lagi gadis itu berkelojo-
tan dan tewas
seketika dengan tulang leher remuk.
Dengan segera
dia bangkit menghampiri dipan
kedua. Selesai
dengan hajatnya giliran pada dipan
ketiga.
Demikianlah seterusnya hingga pada dipan
ketujuh. Manusia
ini memang punya tenaga hebat
luar biasa.
Sementara itu di
luar para paderi anak buah-nya
menanti dengan
sabar.
Ketika tak lama
berselang pintu ruangan di bela-
kang altar
terbuka. Dua orang algojo segera masuk.
Tak lama keluar
lagi dengan menyeret sesosok tu-
buh wanita yang
berlumuran darah. Tubuh itu ada-
lah tubuh wanita
yang tewas di dipan pertama da-
lam ruangan
kamar tadi. Setelah dipertontonkan
pada para paderi
dua algojo menyeretnya ke dalam
satu ruangan.
Pada ruangan ini terdapat sebuah
ruangan dalam
tanah. Ternyata di ruangan bawah
tanah itu penuh
dengan ratusan ular. Mayat wanita
itu dilemparkan
ke dalam ruang tersebut. Segera sa-
ja ratusan ular
itu memburunya.
Ruangan itu
ditutup lagi. Dua algojo kembali ma-
suk ke dalam
ruang di belakang altar. Kini menyeret
sesosok tubuh wanita
lagi.
Pemandangan yang
tragis segera dipertontonkan.
Kepala gadis itu
dipenggal putus. Kepalanya dilem-
parkan ke arah
ratusan paderi yang menonton upa-
cara itu. Segera
saja terjadi kegaduhan. Mereka be-
rebut untuk
merebut kepala Itu untuk menghirup
darahnya.
Demikianlah
berturut-turut kepala gadis korban
lainnya
dipenggal untuk kemudian dilemparkan ...
Dan menjadi
rebutan para paderi.
Perebutan itu
ternyata terus berlangsung. Kea-
daan yang
tadinya tenang telah berubah panas. Ka-
rena akibat
perebutan itu nyawa-nyawa para paderi
yang berhasil
merebut kepala takkan terhindar dari
maut.
Tempat itu
bagaikan tempat pertarungan saja
layaknya. Mereka
saling baku hantam sesama ka-
wan demi
memperebutkan kepala. Tujuan utama
adalah menghirup
darah kepala gadis Itu. itulah
yang mereka
namakan upacara "suci".
Karena yang
berhasil menghirup darah itu akan
bertambah
kesaktiannya berlipat ganda. Namun ten-
tu saja mereka
harus dapat selamat dari maut. Ka-
rena kawan-kawan
mereka takkan membiarkannya
menghirup darah
"suci" itu.
Sementara
kejadian itu berlangsung, sang ketua
alias si Paderi
Mata Seribu menyaksikan dengan ter-
senyum. Puluhan
mayat bergelimpangan di ruang
Istana hitam.
Manusia-manusia terdiri dari paderi-
paderi itu
bagaikan iblis-iblis yang haus darah. Jerit
dan teriakan
terdengar di sana-sini.
Tak lama
keadaanpun usai. Tanda berhenti mirip
sirine
terdengar. Mereka pun bubar meninggalkan
ruangan. Tentu
saja dalam keadaan bersimbah da-
rah. Yang
luka-luka tertatih-tatih meninggalkan
tempat itu. Yang
segar bugar berlarian terlebih dulu
ke luar
berdesakan.
Dalam keadaan
seperti itu tiba-tiba terdengar su-
ara bentakan
keras.
"Perbuatan
terkutuk! Iblis Paderi Mata Seribu!
Kau memang bukan
manusia!" bentakan itu diiringi
dengan
berkelebatnya sesosok bayangan tubuh.
Dan di lantai
altar telah berdiri tegak sesosok tu-
buh bulat.
Ternyata seorang paderi berjubah putih.
Bertubuh pendek,
gemuk hingga tampaknya bundar
seperti sebuah
bola besar.
WHUUUUUKK!
BHLARRR!
Si paderi bulat
ini langsung hantamkan telapak
tangannya ke
arah si paderi Mata Seribu. Terdengar
ledakan keras.
Dan seketika tembok di belakang al-
tar istana Hitam
itu ambrol!
Akan tetapi si
paderi Mata Seribu telah melesat
menghindari
pukulan maut itu. Terdengar suara ter-
tawa mengekeh.
"Heheheh...
hahaha... kiranya kau si DEWA
ANGIN PUYUH!
Bagus! kau berani menyatroni Pulau
Berhala tentu
sudah siap menghadapi maut!"
Orangnya tak
kelihatan ke mana berkelebatnya.
Tetapi paderi
bulat ini berteriak kaget ketika sebuah
hantaman
menyerang ke dada. Untuk menghindari
hantaman keras
bertenaga hebat Itu dia bersalto ke
udara. Lengannya
terangkat untuk menghantam ke
depan memapaki
serangan.
BHLAARRR!
Akibat benturan
kedua pukulan yang mengan-
dung tenaga
dalam hebat itu tubuh si paderi bulat
yang tak lain
dari si Dewa Angin Puyuh terlempar ke
luar dari dalam
pintu Istana Hitam. Namun lagi-lagi
dia gunakan
salto untuk mengimbangi jatuh tubuh-
nya hingga dia
dapat jejakkan kaki di tanah.
Setetes darah
tampak mengalir dari sudut bibir-
nya. Pukulan Itu
telah membuat dia terluka dalam.
Belasan paderi
Pulau Berhala segera mengurung.
Dan sekaligus
menerjang dengan senjata siap me-
rencah tubuh bulat
paderi tua ini.
Kakek botak ini
menggeram gusar. Sepasang tan-
gannya merentang
dengan mendadak. WHUUUUTT!
Terdengarlah
teriakan silih berganti. Tubuh-
tubuh paderi
Pulau Berhala berhamburan berpelan-
tingan ke
delapan penjuru. Karena mendadak angin
puyuh yang
dahsyat telah menerjang mereka. Itulah
jurus sakti si
Dewa Angin Puyuh yang bernama Ju-
rus Pusaran
Angin Puyuh. (Jurus Ini pernah diwa-
riskan oleh
kakek Ini pada Roro Centil).
Belasan paderi
Itu tanpa berkelojotan lagi tewas
seketika, karena
kemarahannya si paderi bulat Ini
keluarkan tenaga
lebih dari separuh kekuatan tena-
ga dalam.
"Jurus yang
hebat!" terdengar bentakan. Dan ber-
kelebatlah
sesosok tubuh berjubah warna-warni.
Sosok tubuh
seorang paderi yang berkepala botak,
namun di
belakang kepala mempunyai rambut dike-
pang. inilah si
Paderi Mata Seribu. Ketua dari istana
Hitam di Pulau
Berhala.
Paderi ini tak
terlihat ada pengaruh akibat bentu-
ran pukulan tadi
menandakan betapa tingginya ilmu
orang ini.
"Dewa Angin
Puyuh! Ada apakah kau menyatroni
pulauku dan ikut
campur urusanku?" bentak Paderi
Mata Seribu.
"Manusia
edan! Kau telah mencemarkan nama
baik para paderi
dengan perbuatanmu yang terku-
tuk Itu. Rupanya kaulah biang keladi penculikan-
penculikan
selama ini!" bentak pula si kakek bulat.
"Hahaha...
memang! semua itu tak salah du-
gaanmu! Bukankah
kau lihat sendiri, orang-orang
yang kuculik
itu telah menjadi anak buahku yang
amat patuh pada
perintahku. Bahkan menuruti aja-
ran-ajaran yang ku
anut!"
Mendelik mata si
paderi Dewa Angin Puyuh "Be-
debah! Aku telah
ketelepasan tangan membunuh!"
pikirnya dengan
tersentak.
S E M B I L A N
KENCARUPA!
Lupakah kau akan ajaran guru ki-
ta? Kau telah
menempuh jalan sesat Jalan yang kau
buat seenak
perutmu sendiri! Perbuatanmu melam-
paui batas
kemanusiaan Kau akan mengundang ba-
nyak musuh
karena perbuatanmu sendiri!" berkata
paderi bulat ini
yang memanggil si Paderi Mata Seri-
bu dengan nama aslinya.' Ternyata dari pembica-
raan si paderi bulat
itu, mereka adalah dua orang
saudara
seperguruan.
Peringatan itu
ternyata membuat si paderi Mata
Seribu justru
tertawa terbahak-bahak lebih keras.
"Hahahaa...
haha... Semua itu sudah kuperhi-
tungkan! Aku
memang telah siap untuk mengha-
dapi. Bukankah
dengan demikian akan membuat
aku mudah
menghancurkan mereka? Dan namaku
di dunia
persilatan akan menjulang tinggi. Partai
serta anutan ku
semakin menyebar ke seluruh pelo-
sok. Aku akan
jadi orang yang paling berkuasa ke-
lak, sesuai dengan
cita-citaku!" sumbar si paderi Pu-
lau Berhala
dengan suara lantang.
"Manusia
takabur! Cita-cita gilamu takkan pernah
berhasil. Karena
kau saat ini harus mampus di tan-
ganku!"
bentak paderi Dewa Angin Puyuh dengan
mata melotot
gusar. Dadanya bergemuruh menden-
gar apa yang
menjadi cita-cita si saudara sepergu-
ruan itu.
Dewa Angin Puyuh
telah keluarkan senjata Kipas
Bututnya.
Sementara sepasang matanya menatap
tak berkedip
pada manusia di hadapan dia.
Urat-urat
tubuhnya tampak menggembung per-
tanda dia telah
menyalurkan segenap kekuatan te-
naga dalam untuk
melabrak si Paderi Mata Seribu.
"Hahaha ...
aku amat menyayangkan kau ka-kak
KUMBARA! Walau
bagaimana kau adalah bekas ka-
kak
seperguruanku- Berpuluh tahun tak
berjumpa
aku masih merasa
kau saudara sendiri. Oleh sebab
itulah aku
urungkan niatku untuk membunuhmu.
Tinggallah kau
di pulau ini membantuku!" berkata
paderi Mata
Seribu menyebut nama asli si paderi
Dewa Angin Puyuh
dengan sebutan nama
KUMBARA.
"Edan!
Lebih baik aku mati berkalang tanah dari-
pada menjadi
manusia sesat sepertimu!" bentak
Kumbara dengan
suara menggelegar karena kema-
rahannya.
Menerjanglah
kakek bulat ini dengan serangan
senjatanya.
Angin puyuh bergulung-gulung mengge-
bu menghantam si
Paderi Mata Seribu. akan tetapi
dengan tertawa
berkakakan KENCARUPA berkelebat
lenyap. Angin
Itu terus lewat bergulung menerjang
para paderi yang
masih berkerumun di belakang Is-
tana.
Namun mendadak
angin itu lenyap ketika seber-
kas cahaya merah
menghalangi.
"Menyingkirlah
kalian semua!" terdengar ben-
takan. Dan tiga
sosok tubuh melompat di hadapan
mereka sesaat
setelah lenyapnya cahaya merah ba-
rusan. Tiga
paderi jubah merah segera telah berdiri
di hadapan
Kumbara.
"Hehehhaha...
babi bulat! hadapilah kami. Ketua
kami enggan
turun tangan untuk membunuhmu!"
berkata salah
seorang sambil tertawa mengejek.
Dan ketiga sosok
tubuh paderi jubah merah itu
berkelebatan
berpencar mengurung si paderi bulat
Dewa Angin Puyuh
dari tiga penjuru.
"Hmmm,
apakah kalian yang menamakan diri si
Tiga Naga
Merah?" bentak Kumbara. Diam-diam dia
terkejut juga
karena ketiga manusia yang berasal
dari Tibet ini
bisa berada di wilayah Pulau Jawa
bahkan menjadi
pengikut si Paderi Mata Seribu!
"Benar!"
sahut si kurus muka pucat berkumis ce-
riwis di
hadapannya.
"Kami telah
bergabung dengan sobat kami Kenca-
rupa demi tujuan
yang besar dan mulia!"
"Bah!?
tujuan mulia? Dengan cara-cara sesat
yang di luar
perikemanusiaan itu kalian katakan tu-
juan mulia?
Hahaha ... hahaha ...."
Dewa Angin Puyuh
tertawa berkakakan hingga
tubuhnya
terguncang-guncang dan air matanya
mengalir ke
luar. Tertawanya si Dewa Angin Puyuh
bukanlah tertawa
girang melainkan tertawa yang
mengandung
kepedihan dan kemarahan yang amat
luar biasa
mendengar kata-kata si paderi kurus Tiga
Naga Merah.
Ternyata tertawa
si Dewa Angin Puyuh juga men-
gandung ilmu
tenaga dalam dan serangan yang amat
dahsyat. Ketiga
paderi jubah merah itu mendadak
wajahnya berubah
pucat. Masing-masing rasakan
dadanya menjadi
sesak.
Telinga mereka
seperti dimasuki ribuan semut.
Akan tetapi
dengan berbareng mereka keluarkan
bentakan.
Masing-masing satukan lengannya.
Tubuh mereka
bergetaran. Dan tampak uap me-
rah mengepul
dari ubun-ubun kepala. Uap itu
membentuk asap
yang bergulung-gulung berwarna
merah. Yang
sekejap kemudian berubah menjadi ti-
ga ekor ular
naga. Inilah ilmu Setan Naga Merah
yang dikeluarkan
dengan terpadu. Ketiga naga cip-
taan itu
serentak menerjang si Dewa Angin Puyuh.
Sambaran dahsyat
dari Tiga Naga Merah ciptaan
itu membuat si
paderi bulat keluarkan keringat din-
gin dan hentikan
tertawanya. WHUSSSS!
WHUSSSSS!
WHUSSSSS! Kipas bututnya digunakan
untuk menerjang.
Sementara tubuhnya mendadak
memutar seperti
gasing.
Tiga naga
ciptaan terdorong mundur kena hem-
busan angin
kipas yang dahsyat. Akan tetapi seren-
tak mereka
menerjang lagi dari berbagai jurusan.
Terjadilah
pertarungan seru yang amat luar biasa
dan menakutkan.
Naga-naga
ciptaan itu keluarkan suara dahsyat
yang
menggetarkan jantung.
Paderi bulat
seperti sebuah boneka lucu yang jadi
permainan tiga
ekor ular naga.
Dalam saat itu
si tiga Paderi Jubah Merah cuma
diam tak
bergeming dengan membaca mantera-
mantera.
Sepasang lengannya mengatup di depan
dada. Dewa Angin
Puyuh agaknya mulai kewalahan
menghadapi
ketiga naga. Kipasnya yang menerjang
selalu dapat
dipukul oleh hempasan ekor-ekor Naga.
Namun dengan
semangat besar dan kemarahan
semakin menjadi,
namun dengan perhitungan yang
cukup masak dia
segera robah jurus-jurus seran-
gannya. Kali ini
dia bertarung sambil menjauh. Keti-
ga naga ciptaan
terus mengejar. Sementara itu pada
paderi Pulau
Berhala mulai menyebar ke setiap tem-
pat.
Mereka mengurung
arena pertarungan, atau siap
menjaga jangan
sampai si paderi bulat itu melarikan
diri.
"Setan
alas! kalau begini terus menerus aku akan
kehabisan
tenaga! Paderi-paderi anak buah si Ken-
carupa telah
mengetahui maksudku! Oh, celakalah
aku. Daripada
tertawan lebih baik mati!" desis si
Dewa Angin
Puyuh.
Dia melompat
menjauh mendekati patung-patung
yang bertebaran
di pulau itu, akan tetapi sungguh
dia tak mengira
kalau patung-patung itu mendadak
keluarkan asap
yang menyemprot ke arah mukanya.
"Asap
beracun!?" teriak si kakek bulat tertahan
dengan
terperanjat.
Akan tetapi
terlambat. Mendadak dia rasakan ke-
palanya berat.
Matanya berkunang-kunang.
Dia cuma
mendengar suara tertawa berkakakan
si Paderi Mata
Seribu. Akan tetapi selanjutnya dia
sudah tidak
Ingat apa-apa lagi, karena dia segera
terkulai roboh
tak sadarkan diri. Ternyata pada ber-
hala-berhala itu
telah dipasangi alat-alat rahasia.
Kalau di Pulau
Berhala tengah terjadi peristiwa-
peristiwa tadi,
adalah di pantai di sekitar pulau ter-
jadi juga
pertarungan seru antara para paderi Pulau
Berhala yang
berhasil membawa lari wanita yang di-
culik mereka
dengan para paderi pesisir pulau.
Mereka adalah
para paderi yang telah kehilangan
gurunya, yang
tak diketahui ke mana perginya. Ke-
beranian luar
biasa dari para paderi itu tak mem-
buat mereka
patah semangat untuk menggagalkan
penculikan para
gadis, walau tanpa beradanya guru
mereka.
Mereka menjaga
di pesisir pantai di tempat per-
sembunyian
dengan senjata-senjata terhunus. Keti-
ka belasan
paderi Pulau Berhala kembali dari men-
culik untuk
menyeberangi ke Pulau Berhala, seren-
tak mereka
berlompatan ke luar untuk menerjang
paderi-paderi
palsu itu.....
SEPULUH
Pertarungan yang
menimbulkan pertumpahan da-
rah tak dapat
dihindarkan lagi. Si paderi muda yang
menjadi pemimpin
penyerbuan itu mengamuk den-
gan senjata
tongkatnya. Lawannya seorang paderi
bertubuh kasar
dan kekar.
Tiga serangan
berantai dari serangan tongkat me-
nyambar ke leher
lawan, dengan tiga sodokan yang
mematikan
mengarah nyawa lawan. Pemuda ini
tampak gusar
karena enam kawannya tewas terbu-
nuh, sedangkan
di pihak paderi Pulau Berhala cuma
satu yang
terluka. Diakui ilmu kepandaian paderi
Pulau Berhala
memang hebat dan berada dua ting-
kat di atas
kepandaian kawan-kawannya.
Trang! Tang!
Tang! terdengar suara dentingan tiga
kali lawannya
menangkis seraya mengegos dengan
senjata tipis
seperti dua buah piring tipis terbuat da-
ri baja.
"Bocah bau
kencur! Kau belajarlah sepuluh tahun
lagi untuk
melawanku!" teriak si paderi Pulau Ber-
hala. Seraya
menangkis, sebuah piring baja tipis itu
dilepas ke arah
bawah pusar. Suaranya berdesing.
Terkejut paderi
muda melihat senjata itu. Beberapa
inci lagi maka
putuslah pinggangnya terkena piring
tipis yang
berputar bagai gasing itu mengancam
nyawanya.
Dengan berteriak
tertahan dia membanting di-
rinya ke tanah.
Tongkatnya dipakai untuk me-
nangkis ....
Trak! Tongkat pemuda paderi putus ter-
babat.
Dalam keadaan
terperangah itulah seorang paderi
Pulau Berhala lancarkan serangan membacok ke
punggung. Detik
maut itu tak bisa dielakkan lagi.
Namun pada saat
itu terdengar bentakan hebat
disertai satu
kilatan mencercah di udara. Paderi
pembokong itu
menjerit pendek. Darah segar me-
muncrat. Dan dua
potong tubuh yang terbelah men-
jadi dua
menggabruk di tanah.
Membelalak mata
si paderi muda melihat keja-
dian Itu.
Dilihatnya tubuh si paderi benar-benar te-
lah terbelah
menjadi dua bagian.
Dan di tempat
itu telah tegak berdiri seorang laki-
laki muda
memegang pedang yang berlumuran da-
rah berpakaian
serba putih. Siapa lagi Kalau bukan
si Bujang Nan
Elok alias Pendekar Selat Karimata,
SAMBU RUCI.
"Paderi-paderi
Pulau Berhala keparat! Hari Ini
kau tak dapat
berbuat sewenang-wenang lagi!"
membentak Sambu
Ruci. Tubuhnya berkelebat....
Dan selanjutnya
terdengarlah teriakan-teriakan nge-
ri saling susul.
Dalam waktu sekejapan saja tiga be-
las paderi itu
roboh tanpa dapat berkelojotan lagi.
Karena
tubuh-tubuh mereka telah terpotong men-
jadi dua bagian.
Membelalak mata
para paderi penyerang itu yang
merasa mendapat
pertolongan mendadak di saat
mereka hampir
putus asa, ketiga melihat si Dewa
penolong yang
masih berusia muda. Seorang laki-
laki gagah dan
berwajah tampan.
Serta-merta
mereka berlompatan menghampiri
dan menjura
hormat.
"Terimakasih
atas bantuanmu, sobat. Sudikah
anda
memperkenalkan diri?" bertanya seorang pade-
ri yang berusia
cukup tua.
"Namaku
SAMBU Ruci! Aku datang kemari kare-
na petunjuk
seorang paderi tua bernama Wiku Duta
Prayoga. Dia
dalam keadaan sekarat ketika kujum-
pai.
Sebelum tewas
dia mengatakan siapa manusia
yang telah
mengeroyoknya. Yaitu paderi-paderi dari
Pulau Berhala.
Lalu menceritakan tentang adanya
paderi-paderi
anak buahnya yang berada di pesisir
pantai ini. Yang
telah disiapkan untuk menggagal-
kan penculikan
para wanita dan menumpas mereka.
Apakah kalian
adalah murid-murid Ki Duta Prayo-
ga?"
Membelalak
seketika mata para paderi itu men-
dengar penuturan
Sambu Ruci.
"Benar!
Beliau guru kami! Ah ...!? beliau ... te ...
tewas?!"
teriak kaget si paderi muda.
"Benar! Aku
datang terlambat. Agaknya Ki Duta
Prayoga menyerbu
sendiri paderi-paderi Pulau Ber-
hala yang
melakukan penculikan. Atas petunjuk itu
aku cepat
mengejar kemari. Sayang aku agak ter-
lambat. Sehingga
kawan-kawanmu banyak yang
menjadi
korban!" berkata Sambu Ruci agak menyes-
al.
"Wah
bagaimana anda telah berjasa menyela-
matkan nyawa
kami. Kami amat berhutang budi pa-
da anda sobat
pendekar Sambu Ruci ..." menyahut
si paderi tua
bernama Lomambha itu dengan mena-
tap girang
bercampur sedih. Sudikah anda mengan-
tarkan kami ke
tempat jenazah guru kami, agar ka-
mi dapat
menguburkannya?" ujar Lomambha den-
gan mata
berkaca-kaca.
"Tentu
saja. Marilah ikut aku!" sahut Sambu Ruci
tanpa menolak
....
Kemunculan Sambu
Ruci di pesisir pantai tengga-
ra telah membuat
para paderi murid-murid Wiku
Duta Prayoga
menjadi kagum. Dalam beberapa hari
mereka berkabung
setelah kematian guru mereka.
Ternyata Sambu
Ruci memang telah menyelesai-
kan pelajaran
ilmu silatnya dari gurunya yang baru
yaitu KI BALUNG
PUTIH.
Tentu saja Sambu
Ruci pergi bersama istrinya
CINDERANI yang
terpaksa dinikahi karena telah ber-
janji dengan si
kakek Ki Balung Putih untuk meno-
long kakek itu.
Cinderani ditinggalkan di desa terde-
kat tapi cukup
jauh dari pantai. Karena Sambu Ruci
tak mau mengajak
dia. Walaupun sebenarnya Cin-
derani
bersikeras ikut.
Oleh sebab
itu setelah selesai urusannya mem-
bantu para
paderi murid Ki Duta Prayoga dia minta
diri. Sementara
itu paderi-paderi itu pun segera bu-
bar untuk
kembali ke markas. Karena atas pertim-
bangan Sambu
Ruci mereka tak akan kuat mengha-
dapi paderi-paderi Pulau Berhala. Walaupun sebe-
narnya mereka
bersedia korbankan nyawa untuk
menyerang ke
Pulau Berhala.
Sambu Ruci
berlari-lari cepat menuju ke desa di
mana dia
meninggalkan Cinderani ....
Sementara itu
kita beralih pada Roro Centil yang
berada di alam
gaib. Yaitu di alam negeri Siluman.
Dara pendekar
Pantai Selatan itu tengah duduk di
atas batu besar.
Sementara di hadapannya tampak
seberkas cahaya
biru membentuk sesosok tubuh
manusia. Dialah
Bagawan Bhama Kosala, kakek
guru Roro. Yaitu
guru si Manusia Banci Pantai Sela-
tan.
"Kau telah
mewarisi tiga macam ilmu kedigjayaan
dariku, bocah
cucuku!” berkata Bagawan Bhama
Kosala.
"Aku yakin kau akan mempergunakan un-
tuk kebenaran.
Akan tetapi kau baru boleh memper-
gunakan Kalau
bertemu lawan Jahat yang amat
tangguh! Hanya
itulah pesanku!" ujar sang Baga-
wan.
"Terima
kasih, kakek guru. Wejanganmu akan se-
lalu kuingat
dalam lubuk hati. Apakah aku sudah
diizinkan dan
boleh ke luar dari alam mu ini kakek
guru?"
sahut Roro diiringi pertanyaan. Rasanya dia
sudah tak sabar
untuk segera kembali ke alam ma-
nusia.
"Satu
syarat lagi untukmu cucuku, sebelum kau
berangkat
pulang!"
"Apakah
itu, kakek guru?" tanya Roro kebat-kebit.
"Tinggalkan
sepasang senjatamu Itu di sini!"
sa-
hut sang
Bagawan.
"He?
mengapa? Apakah aku harus gunakan tan-
gan kosong tanpa
senjata lagi? Padahal senjata itu
adalah warisan
guruku!" tanya Roro terheran.
Cahaya biru itu
menjawab dengan tertawa.
"Jangan
khawatir, aku hanya meminjamnya saja.
Nanti bila kau
telah ke luar dari alam siluman ini,
segera aku kembalikan!" berkata Bagawan Bhama
Kosala.
"Hihihi....
Kalau begitu aku menurut saja!" sahut
Roro seraya
loloskan senjata Rantai genit-nya. Lalu
diletakkan di
atas batu.
"Nah!
pejamkan matamu. Jangan kau buka sebe-
lum ada suara
kicau burung di telingamu!" berkata
sang Bagawan.
Tak menunggu
diperintah dua kail, Roro segera
turuti perintah
itu. Diam-diam dia amat bergirang
hati. Karena
serasa dia sudah tak betah berdiam di
tempat yang
asing dan aneh itu.
Roro merasa
tubuhnya melayang menembus ke
awan. Padahal
dia tetap berada di atas batu itu. Ke-
tika dia
mendengar suara kicau burung, serentak
dia buka kelopak
matanya.
Terkejutlah Roro
Centil ketika melihat dia telah
berada di alam
yang sewajarnya yaitu alam manu-
sia. Tempat itu
adalah di sisi hutan rimba di mana
telinganya bisa
mendengar suara kicau burung-
burung dari
dalam hutan. Akan tetapi anehnya dia
masih tetap
duduk di atas batu besar. Cuma saja
batu itu telah
berubah warna.
Kalau tadinya
dia duduk di atas batu putih bagai
pualam, kini
Roro duduk di atas batu gunung yang
berlumut.
Yang amat
membuat lebih aneh lagi adalah, sepa-
sang senjata
Rantai genitnya itu tak berada di atas
batu.
Dia jadi
garuk-garuk kepala tidak gatal. Namun
segera melompat
turun untuk menghirup napas le-
ga. "Oh,
senang sekali aku telah berada di alam ma-
nusia
lagi!" berkata Roro sendiri.
"Eh,
katanya kakek guru akan mengembalikan
sepasang
senjataku, kapankah akan dikembalikan-
nya?" gumam
Roro yang merasa tak betah tanpa
membawa senjata.
Walaupun-jarang
dipergunakan namun Roro me-
rasa telah
senyawa dengan senjata Rantai genit itu.
Dalam keadaan
itu lapat-lapat terdengarlah suara
gaib Bagawan
Bhama Kosala.
"Roro
Centil, cucuku! Pergunakanlah mata ba-
tinmu. Kau
periksa lagi ke atas batu yang kau du-
duki. Aku telah
mengembalikan sepasang sen-
jatamu. Akan
tetapi dengan bentuk lain yang lebih
sempurna, dan
lebih hebat. Sesuai dengan keingi-
nan
gurumu..!"
Tentu saja Roro
terkejut. Segera dia gunakan ma-
ta batinnya
untuk melihat dan memeriksa di atas
batu tadi. Benar
saja! segera terlihat sepasang senja-
ta Rantai Genit
dengan bentuk lain. Benda itu mem-
punyai rantai
lebih halus.
Pada bagian
ujung gagangnya bertatahkan mutia-
ra. Sedangkan
bandulannya tetap merupakan sepa-
sang payudara.
Akan tetapi bentuknya lebih kecil.
Ketika Roro mau
menjamah, mendadak sepasang
senjata itu
lenyap.
"Bocah
muridku! Kau telah memiliki aji memin-
dahkan benda
tanpa menyentuh. Mengapa tak kau
gunakan ajian
milikmu itu? Benda itu adalah benda
alam gaib. Dia
cuma dapat kau simpan di alam gaib
pula. Dan bila
kau akan mempergunakannya cukup-
lah dengan
membaca mantera, benda senjatamu itu
akan sudah
berada di tanganmu!" suara gaib itu ti-
ba-tiba kembali
terdengar.
Roro terkejut,
juga kesima. "Ah, sungguh menak-
jubkan!"
seru Roro pelahan tanpa disadari.
Petunjuk itu
dipatuhi. Dan Roro segera gunakan
cara membaca
mantera untuk memindahkan benda
itu. Ternyata
benda itu berubah menjadi sinar kun-
ing emas yang
melesat dan membelit ke pinggang-
nya.
Dalam pandang
mata gaib, Roro melihat senjata
Rantai Genit
yang lebih indah dan mungil membelit
dengan seksama
di pinggangnya. Akan tetapi ketika
Roro lepaskan
pandangan mata gaibnya, Roro tak
menampak
apa-apa. Bahkan ketika Roro menjamah
untuk menyentuh
benda itu, Roro merasa tak me-
nyentuh apa-apa.
Sadarlah Roro
kalau sepasang senjata Rantai Ge-
nit yang baru
ini adalah sebentuk senjata gaib. Dia
cuma bisa
gunakan kalau memang dalam keperluan
mendadak.
Saking girangnya
Roro sampai berjingkrakan dan
berteriak-teriak
girang. "Oh, terima kasih, kakek
guru! Terima
kasih, kakek guru yang baik!" teriak
Roro
berulang-ulang.
SEBELAS
CINDERANI duduk
di luar pondok dengan hati ge-
lisah.
Sebentar-sebentar dia berdiri dan beranjak
bangun. Matanya
liar menatap ke ujung jalan desa.
Sementara yang
empunya pondok itu cuma mem-
perhatikan dari
tadi pada gadis yang hamil muda
itu. Namun tak
lama dia segera ke luar dari dalam.
"Sabarlah,
den ayu... Mungkin tak lama lagi sua-
mimu akan segera
tiba. Kalau sudah waktunya da-
tang toh akan
datang juga ..!" ujarnya sambil terse-
nyum.
"Ah, mbok!
Aku khawatir ada terjadi sesuatu. Ha-
tiku tak enak
..!" sahut Cinderani menyahut.
"Berdoalah,
semoga suamimu pulang dengan se-
lamat. Wilayah
ini memang kurang aman. Sebaiknya
kau masuk. Di
dalam kau bisa berbaring dengan tak
usah cemas. Tak
baik bagi kandungan mu." berkata
halus wanita tua
itu.
"Tidak,
mbok. Biarlah aku di sini saja!" sahut
Cinderani
menolak.
Matanya masih
saja menatap ke ujung jalan desa.
Serasa dia tak
sabar menanti kedatangan Sambu
Ruci. Dan entah
mengapa hatinya kini jadi luluh,
dan dia mulai
merasakan Kalau dia amat mencintai
suaminya. Betapa
sulit mencari orang seperti Sambu
Ruci yang rela
menikahinya demi menutup malu gu-
runya yang sudah
dianggap ayah sendiri. Cinderani
memang yatim
piatu ketika dibawa oleh Ki Balung
Putih. Dan lebih
dari sepuluh tahun dia bersama si
kakek itu.
Tiba-tiba matanya membinar melihat se-
sosok tubuh
muncul di ujung jalan desa. Hatinya
melonjak girang.
"Akhirnya datang juga!" berkata dia
dalam hati.
Namun dia jadi
terheran, karena yang datang;
bukanlah Sambu
Ruci. Perawakannya dari jauh
memang agak mirip. Dia serasa mengenai laki-laki
itu yang kian
dekat menghampiri pondok.
Mendadak
darahnya tersirap. Laki-laki itu tak
lain dari SOMARA!
"Aha!
Selamat berjumpa Cinderani! Apakah kau
sudah melupakan
aku?" bertanya Somara. Entah
bagaimana
Cinderani tak tahu, mengapa Somara bi-
sa menjumpainya
dan muncul di sini?
"Kau ...
kau mau apa datang kemari? Dari mana
kau tahu aku
berada di sini? sahut Cinderani gela-
gapan.
"Hehehaha...
Sejak kepergian kalian dari tempat
guru, aku sudah
mengetahui. Dan siapa adanya la-
ki-laki yang
menjadi pendamping mu aku pun sudah
mengetahui. Aku
ke mari mau membawamu, Cinde-
rani!"
berkata Somara.
"Tidak! Aku
telah bersuami. Kau tak berhak
membawaku!"
sahut Cinderani terkejut. Sementara
si mbok melihat
kedatangan Somara, buru-buru
angkat kaki
masuk ke dalam pondok. Wajahnya be-
rubah pucat. Dia
merasa tak dapat berbuat apa-apa.
Dia merasa bakal
terjadi keributan. Entah siapa
orang laki-laki
ini? pikirnya diam benak.
"Siapa
bilang? aku yang lebih berhak! Anak dalam
perutmu yang kau
kandung itu adalah anakku!"
berkata ketus
Somara. Dia nampak gusar.
"Kau...
kau... memang ayah anak dalam perutku
ini, tapi...
tapi..." pucat wajah Cinderani. Mulutnya
mendadak serasa
terkunci tak bisa bicara. Sementa-
ra air matanya
telah mulai menitik.
"Sudahlah!
tak ada tapi tapi. Sekarang segera kau
ikut aku!"
berkata Somara dengan suara berubah
lembut. "Demi
cintaku padamu dan demi anak kita!"
ujarnya lirih.
Menggetar tubuh
dara cantik ini. Apakah yang
harus dia
lakukan? Dia benar-benar tak tahu apa
yang harus
diperbuat! Namun terluncur juga kata-
kata dari
bibirnya dengan suara menggeletar.
"Somara!
pergilah! tinggalkan aku. Kalau suamiku
pulang, kau akan
dibunuh! Karena itulah perintah
guru!"
Mendengar
kata-kata Cinderani Somara tertawa
terbahak.
"Hahaha... Somara bukan anak kecil ke-
marin yang dapat
diperbuat semaunya! Bukan aku
takut
menghadapi. Tapi saat ini aku perlukan kau,
Cinderani! Maka
mau tak mau terpaksa aku harus
memaksamu!"
berkata laki-laki ini.
Mendadak
wajahnya berubah menjadi keras dan
kaku. Sepasang
matanya menatap mata Cinderani
tak berkedip.
Tatapan mata yang menimbulkan ha-
wa dingin
mencekam. Cinderani tersurut mundur.
Wajah itu
menyeringai. Cinderani merasa tubuhnya
keluarkan
keringat dingin. Tatapan mata Somara,
begitu menakutkan.
Seperti menembus ke dalam
jantung!
Dalam keadaan
terkesima itulah, lengan Somara
berkelebat
cepat.
Tahu-tahu sudah
menotok tubuh Cinderani. Ga-
dis ini
merdengarkan keluhan dan terkulai roboh.
Namun dengan
gerakan cepat, Somara segera me-
rengkuhnya dalam
pondongan. Sekejap kemudian
dengan gerakan
sebat telah berkelebat lenyap dari
muka pondok itu.
Mbok tua
penghuni pondok melototkan mata
dengan mulut
ternganga.
Mulutnya serasa
terkunci walaupun dia sudah
keluarkan suara
untuk berteriak.
Namun yang ke
luar adalah suara...
"ah,uh,ah,uh..!.
Apakah yang
dilihat si mbok tua itu? Dalam pan-
dangannya dia
melihat sosok tubuh Somara berujud
sesosok tubuh
menyeramkan mirip seekor lutung
besar yang
menyeringai menampakkan taring-
taringnya,
merangkul dan memondong tubuh gadis
itu kemudian
melarikannya dengan berkelebat cepat
sekali. Seketika
pandangannya menjadi berkunang-
kunang. Rasa
takut yang luar biasa menggerayangi
benaknya.
Jantungnya serasa copot. Detik itu juga
dia roboh
pingsan tak ingat apa-apa lagi.
DUA BELAS
SOMARA membawa
tubuh Cinderani dalam pon-
dongan dengan
gerakan cepat. Gerakan larinya se-
perti hembusan
angin! Yang dituju adalah arah ke
pantai. Akan
tetapi tiba-tiba sebuah bayangan ber-
kelebat
menghadang, disertai bentakan keras.
"Somara!
murid durhaka! Berhentilah kau!" Meli-
hat sosok
bayangan tubuh manusia berkelebat
menghadang,
Somara cepat berhenti dengan men-
dadak. Dan di
hadapannya segera terlihat siapa ma-
nusianya.
Ternyata tiada lain dari KI BALUNG
PUTIH.
"Hm,
menyingkirlah kau kakek tua bangka! Kau
sudah tak ada
urusan lagi denganku!" bentak Soma-
ra dengan wajah
kaku.
"Heh?
menyingkir?" bentak orang tua ini. "Justru
kaulah yang
harus segera kusingkirkan ke Akhirat.
Manusia murtad
sepertimu sudah selayaknya mati!
Lepaskan dia!
Kau tak berhak apa-apa atasnya. Dia
telah menikah
dengan seorang laki-laki yang juga te-
lah menjadi
muridku!"
Akan tetapi
Somara malah mendengus.
"Tua
bangka! Siapa bilang demikian? Apakah ma-
tamu buta kalau
calon bayi yang berada dalam perut
Cinderani adalah
anakku?"
"Persetan!"
maki Balung Putih. Kau menzinahinya
tanpa menikah!
Apakah patut dikatakan syah? Anak
itu memang
anakmu! tapi kau tak berhak memba-
wanya pergi
karena dia telah menikah dengan orang
lain. Dan satu
hal lagi adalah aku telah bersumpah
untuk
membunuhmu!" teriak Ki Balung Putih
ge-
ram.
Betapa dia amat
membenci laki-laki bekas murid-
nya itu yang
telah diketahui perbuatan bejatnya di
luaran, serta
telah mencemarkan nama baiknya.
"Baiklah
Kalau begitu! Kau kira semudah itu kau
dapat
melakukannya?" berkata jumawa Somara. Di-
lemparkannya
tubuh Cinderani ke tanah tanpa belas
kasihan lagi.
Gadis yang sudah tak sadarkan diri itu
mengeluh siuman.
Akan tetapi
kembali pingsan. Kini dia berdiri te-
gak menatapkan
matanya dengan sorot tajam pada
kakek tua di
hadapannya. Bibirnya tampak komat-
kamit.
Uap hitampun
mengepul di sekujur tubuhnya.
Matanya berubah
merah. Dan... kakek itu menyurut
mundur ketika
tiba-tiba dia melihat perubahan ben-
tuk tubuh
Somara.
Karena sekejap
kemudian tubuh laki-laki itu telah
berubah ujud
menjadi gorila yang menyeramkan.
Dalam keadaan
terperangah Itu tahu-tahu Somara
telah
menyerangnya dengan hantaman kilat ke arah
dada Ki Balung
Putih. Tersentak kakek tua ini. Sejak
melihat kejadian
barusan dia sudah merasa kena
pengaruh sorotan
mata yang menimbulkan hawa
aneh. Hingga
menggetarkan jantung. Dia seperti ke-
na tenung!
Memanglah
demikian, karena Somara telah guna-
kan ilmu
hitamnya untuk mempengaruhi lawan
dengan sorot mata
yang membersitkan sinar; men-
cengkeram.
Dan menyerang di
saat yang baik itu.
BUK! Terdengar
benturan keras. Ki Balung Putih
terlempar
bergulingan.
Dia tak mampu
mengelak. Namun sempat mem-
bentengi dadanya
dengan tenaga dalam.
Akan tetapi di
luar dugaan, tenaga pukulan So-
mara amat luar
biasa. Kakek Itu rasakan dadanya
mau pecah. Dan
tubuhnya terlempar bergulingan.
Namun sebagai
jago tua kawakan, dia masih ber-
jumpalitan untuk
segera bangkit berdiri lagi. Terpe-
ranjat kakek ini
ketika melihat jubahnya pada ba-
gian dada telah
hangus. Dan sebuah tanda telapak
tangan berwarna
hitam. Sadarlah dia kalau pukulan
itu mengandung
racun.
"Hahaha ...
kakek tua bangka! segeralah kau be-
rangkat ke
Akhirat!
Diiringi geraman
dahsyat, makhluk menyeramkan
itu telah
menerjang Ki Balung Putih. Tersentak ka-
kek tua ini.
Tapi dia segera telah dapat mengkonsen-
trasikan panca
indranya, walau telah terluka akibat
pukulan beracun.
Terjangan yang
mengandung maut itu dapat di-
hindari. Segera
terjadilah pertarungan maut. Suara
geraman dan
bentakan terdengar membauri sekitar
tempat itu. Pada
saat itulah sesosok tubuh berkele-
bat muncul di
tempat itu.
Ternyata Sambu
Ruci. Membelalak mata laki-laki
ini melihat Ki Balung
Putih sedang bertarung maut
dengan seekor
makhluk menyeramkan. Akan tetapi
segera dia
berteriak tertahan melihat sosok tubuh
wanita yang
tergolek di dekat semak belukar. "Cin-
derani!?"
desisnya terkejut. Dan serta-merta dia te-
lah memburunya.
Gadis cantik yang tengah men-
gandung Itu
segera diperiksa.
Akan tetapi
pucat wajahnya seketika karena Cin-
derani sudah
diam membeku.
Nyawa gadis itu
telah melayang bersamaan den-
gan pingsannya
ketika dibantingkan ke tanah oleh
Somara.
Tampak dari sudut
bibir gadis itu yang agak ter-
buka mengalirkan
darah kental berwarna hitam.
"Pasti
pembunuhnya makhluk itu!" geram Sambu
Ruci. Mendadak
dia telah bangkit berdiri. Dan, seka-
li sentak pedang
pusakanya telah berada dalam
genggaman
tangannya.
"Iblis
keparat! kau harus tebus kematian istriku
dengan
darahmu!" teriak Sambu Ruci. Tubuhnya
berkelebat
melompat. Dan serta-merta dia telah lan-
carkan serangan
ganas bertubi-tubi dengan jurus
Pedang Aksara.
"Bagus!
Sukurlah kau datang membantuku!" te-
riak Ki Balung
Putih yang mulai merasa tenaganya
telah mengendur.
Di samping usia tuanya, juga dia
telah terluka
dalam akibat pukulan beracun Somara
yang ganas.
Menghadapi
serbuan dua lawan, tampaknya
makhluk itu agak
kewalahan.
Namun Somara
memang bukanlah orang yang be-
rilmu kepalang
tanggung.
Lagi-lagi dia
membaca mantera. Mendadak sepa-
sang matanya
menyorotkan cahaya merah membara.
Sepasang mata
yang menyilaukan itu menghambat
serangan kedua
guru dan murid itu.
Akan tetapi
cepat Ki Balung Putih berbisik untuk
mengatur siasat.
Sambu Ruci mengangguk Segera
mereka
berputar-putar mengelilingi makhluk itu
dengan
sekali-sekali melancarkan serangan. Ki Ba-
lung Putih telah
memperingati agar jangan menatap
pada matanya.
Hal demikian
berlangsung telah lebih dari empat
puluh jurus. Di
saat yang baik tiba-tiba Sambu Ruci
berteriak keras.
Tujuh kilatan pedang berkelebat.
Dan...
terdengarlah suara menggeram yang dah-
syat, ketika
kilatan-kilatan pedang mengandung
maut itu
mengenai sasarannya.
Tubuh si makhluk
itu terbelah menjadi beberapa
potong.
Serpihan-serpihan tubuhnya berhamburan
disertai
bermuncratannya darah segar. Dan usus
serta isi perut
yang terburai ....
Keduanya menatap
dengan tertegun. Keampuhan
jurus Pedang
Aksara yang telah dipermatang melalui
petunjuk Ki
Balung Putih, lagi-lagi membuktikan
keampuhannya!
Baru saja kedua
orang itu menghela napas lega.
Sebersit cahaya
melesat ke udara dari tubuh mak-
hluk itu
yang berangsur-angsur berubah menjadi
tubuh Somara
lagi. Terperangah keduanya melihat
kejadian aneh
itu. Karena cahaya merah itu adalah
sepasang mata
manusia! Itulah sepasang mata
mayat Somara!
Saat mereka terperangah itulah ter-
dengar suara
tertawa berkakakan. "Hahahaha... he-
hehehahaha...
kalian takkan dapat membunuhku!
Ragaku boleh
hancur dan musnah. Tapi ketahuilah!
Aku dapat masuk
ke raga manusia lain tanpa kesu-
karan."
"Siapa kau
sebenarnya manusia Iblis?" teriak
Sambu Ruci
seraya tersentak dan menyurut mun-
dur.
"Akulah si
pemilik PULAU BERHALA. Alias si
PADERI MATA
SERIBU!"
Selesai berkata,
sepasang cahaya merah dari se-
pasang mata
Somara segera meluncur ke udara. Me-
luruk cepat ke
arah laut. Menyeberangi perairan di
wilayah tenggara
itu untuk segera lenyap. Ke mana
lagi tujuannya
kalau bukan ke Pulau Berhala!
***
RORO CENTIL baru
saja jejakkan kakinya di pan-
tai wilayah
tenggara.
Bersitan cahaya
merah itu lewat di atas kepa-
lanya!
Segera tahulah
Roro siapa adanya cahaya itu, ka-
rena Roro pernah
berjumpa dengan si Paderi Mata
Seribu. Dara
perkasa kita perlihatkan senyuman di
bibirnya yang
ranum. "Hm, Paderi Mata Seribu! Kini
saatnya kau
harus lenyap dari muka bumi!" mende-
sis Pendekar
wanita Pantai Selatan atau yang kini
dijuluki orang
si Macan Tutul Betina Pantai Selatan
itu. Mendadak
tubuh wanita pendekar ini telah me-
rubah bentuk
menjadi seekor macan tutul yang luar
biasa besarnya.
Dengan
perdengarkan suara menggeram, mak-
hluk itu
melompat ke udara membersit bagaikan an-
gin, mengejar
cahaya merah yang menukik lenyap di
Pulau Berhala.
Saat itu di
Pulau Berhala telah terjadi kegaduhan.
Kakek bulat
alias Paderi gemuk yang bergelar si De-
wa Angin Puyuh
yang tertawan, ternyata dapat melo-
loskan diri.
Pintu penjara masih terkunci. Tapi
orangnya lenyap.
Pada lantai batu
itu terlihat lubang besar. Ternya-
ta si Dewa Angin
Puyuh baru saja sembulkan kepa-
lanya dari
sebuah lubang di belakang Istana Hitam.
Baru saja dia
membersihkan tubuhnya yang kotor
penuh berlepotan
tanah. Mendadak terdengar suara
bentakan keras.
"He! babi
bulat! kau takkan dapat meloloskan di-
ri!" Betapa
terkejutnya dia melihat si Tiga Naga Me-
rah telah berada
di depannya.
Menggeram kakek
bulat int. Serta merta dia lang-
sung menerjang
dengan pukulan-pukulan dahsyat.
Terjadilah
pertarungan hebat. Tapi kali ini Tiga Naga
Merah tak diberi
kesempatan lagi untuk gunakan
ilmu sihirnya.
Jeritan maut
terdengar ketika dua dari si Tiga
Naga Merah
melurukkan serangan ganas, tubuh pa-
deri bulat
menggelinding bagai bola. Serangan itu
lewat bahkan
saat sekejap itu dia sudah berada di
belakang tubuh
kedua lawannya.
Tiba-tiba
terangkatlah sepasang lengan kakek
bundar ini.
Angin pukulan SELAKSA PETIR dilon-
tarkan.
ZEOOOOOSSS!
....... PRRAKKK!
Hancurlah batok
kepala si dua manusia jahat itu.
Tubuh mereka
menghantam tembok istana hingga
ambrol! Tanpa
bisa pentang suara lagi, kedua ma-
nusia itu tewas
seketika. Kepalanya hancur jadi bu-
bur!
Melihat
demikian, sisa seorang lagi dari si Tiga
Naga Merah jadi
pucat pias. Tak ayal dia segera ba-
likkan tubuh
untuk kabur melarikan diri. Akan te-
tapi tiba-tiba
terdengar suara tertawa nyaring mer-
du. Dan di
tempat itu berkelebat muncul sesosok
tubuh. Siapa
lagi Kalau bukan si Macan Tutul Beti-
na Pantai
Selatan RORO CENTIL!
"Hihihi....
hebat! hebat sekali kau paman bulat!
manusia ini
serahkan padaku!" berkata Roro.
Mendadak Roro
rentangkan tangannya. Dari
ujung lengannya
tiba-tiba membersit cahaya kuning
emas ke arah
paderi Tibet itu.
Bukan main
terkejutnya paderi ini karena tahu-
tahu seutas
rantai telah membelit lehernya. Itulah
senjata Rantai
Genit Roro Centil, yang telah diper-
gunakan untuk
pertama kalinya.
Tanpa bisa
berbuat apa-apa lagi manusia itu
menjerit parau.
Jeratan rantai
itu membuat dia tak bisa berna-
pas, hingga
lidahnya menjulur ke luar. Lengannya
meronta-ronta
untuk melepaskan diri.
Tapi tak
berdaya. Tubuhnya berkelojotan mere-
gang nyawa.
Sesaat antaranya manusia asal Tibet
itu pun tewas
dengan lidah terjulur, dan mata men-
delik ke luar
mengerikan.
"Hoooii!
Kau Roro Centil!? ah! Sungguh girang se-
kali kau muncul
di sini, keponakanku! Hayo mari ki-
ta tumpas si
Paderi Edan Mata Seribu itu! Ketahui-
lah dia adalah
bekas adik seperguruanku yang mur-
tad dan
melakukan perbuatan-perbuatan sesat!" te-
riak si paderi
bulat dengan berjingkrak kegirangan
melihat
kemunculan Roro.
"Hahaha ...
kalian cuma mengantar kematian
mendatangi Pulau
Berhala!
Selamat datang
pendekar wanita yang hebat!" ti-
ba-tiba
terdengar suara si Paderi Mata Seribu mem-
buat suasana
seketika berubah tegang!
Segera Roro
telah melihat sesosok tubuh berjubah
hitam. Sosok
tubuh kurus berkepala botak yang
mempunyai
sedikit rambut berkepang di belakang
kepala. Memang
dialah si Paderi Mata Seribu alias
KENCARUPA.
"Iblis
jahanam! hari Ini kau bertobatlah sebelum
kau
mampus!" teriak Dewa Angin Puyuh dengan ge-
ram.
Kemarahannya telah membludak bagaikan air
bah. Dia
melompat menerjang dengan pukulan Se-
laksa Petir.
Akan tetapi
sekali laki-laki kurus itu gerakkan
tongkat hitamnya
yang berkepala berbentuk ular itu.
Mendadak pukulan
dahsyat si Dewa Angin Puyuh
lenyap bagai
disedot masuk ke dalam tongkat.
"Hehehe ...
hahaha ... kakang KUMBARA! Tak gu-
na ilmu
kehebatan yang kau miliki. Dewa pun tak-
kan sanggup
menghadapiku!" berkata jumawa si Pa-
deri Mata
Seribu. "Manusia sombong! Tidakkah kau
mengetahui bahwa
kesombonganlah yang akan
membawa
kejatuhan bagi dirimu sendiri!" berkata
Roro dengan
ketus.
Lengannya
terangkat. Meluncurlah dua sinar
kuning emas ke
arah laki-laki Itu.
Satu sinar
mengarah ke tongkat, sedangkan satu
lagi meluncur ke
arah leher.
Itulah senjata
gaib Rantai Genit Roro Centil.
Tersentak
Kencarupa melihat sepasang rantai
berkilauan
kuning emas siap membelit tongkat dan
lehernya.
Serangan ke arah leher dapat dia egoskan.
Tapi serangan ke
arah tongkat tak dapat di-
elakkan lagi.
Tongkat pusakanya secepat Itu telah
terbelit oleh
senjata gaib Roro Centil. Ketika itu pa-
deri ini
berteriak kaget ketika tahu-tahu tubuhnya
terhuyung karena
satu tarikan kuat telah membuat
tongkatnya
terlepas seketika.
Belum lagi
hilang terkejutnya, sudah terdengar
suara ... Krrraaaak!
Tongkat pusaka
yang mengandung kekuatan he-
bat itu telah
hancur diremukkan Roro.
Lagi-lagi dia
harus melompat menghindar, ketika
rantai gaib
meluncur lagi untuk membelit lehernya.
"Gila!
Senjata apakah ini!?" desisnya terperanjat,
bibirnya segera
membaca mantra-mantra. Akan te-
tapi Roro pun
segera membaca mantera-mantera
ajiannya.
Terjadilah
pertarungan kekuatan batin. Tubuh
Kencarupa
berubah hitam mengerikan. Sepasang
matanya merah
menyala bagai bara api. Sementara
Roro sendiri
telah berganti ujud yang membuat pa-
deri bulat jadi
ternganga.
Roro Centil
tidak menampak sebagai manusia la-
gi, akan tetapi
lebih mirip bagaikan area. Ya! me-
mang terlihat
Roro berubah menjadi sebongkah area
batu yang sudah
berlumut! Sementara Rantai Genit
telah lenyap di
saat terjadi pertarungan adu kekua-
tan batin ini.
Roro merapal
ajian Tujuh Aksara Suci. Tubuhnya
memang telah
berubah menjadi area batu dalam
penglihatan mata
biasa. Akan tetapi itulah saatnya
Roro gunakan
ilmu barunya yang didapat dari kakek
guru Roro, yaitu
Bagawan Bhama Kosala.
Hal itu membuat
Kencarupa kena dikelabui. Ka-
rena dia
menyangka Roro telah terkena ilmu te-
nungnya. Akan
tetapi terperangah dia ketika men-
dadak membersit
cahaya putih kemilau dari sepa-
sang area. Dia
tersentak untuk menghindar. Namun
terlambat ...
BHLARRRR!
terdengar suara dentuman dahsyat.
Seketika tubuh
si Paderi Mata Seribu hancur jadi
arang yang
bertebaran. Ilmu Tujuh Aksara Suci bu-
kanlah ilmu
hitam. Akan tetapi ilmu yang murni,
yang tak mau
dikotori.
Cahaya putih
berkilauan itu adalah cahaya yang
menolak
datangnya serangan. Hingga tak ampun se-
rangan tenaga
batin Kencarupa telah berbalik
menghantam pada
dirinya sendiri ..!
Sesaat setelah
kejadian itu terdengar suara ber-
gemuruh. Apakah
yang terjadi? Istana Hitam di saat
hancurnya tubuh
Paderi Mata Seribu ternyata run-
tuh! Suara
berderak ditembok yang rengat dan ro-
boh terdengar di
sana-sini.
Hingga dalam
keadaan beberapa saat saja Istana
Hitam itu ambruk
rusak binasa.
Bahkan
berhala-berhala yang banyak bertebaran
di sekitar pulau
itu pun turut hancur. Ternganga si
paderi bulat
Dewa Angin Puyuh melihat kejadian itu.
Dilihatnya
puluhan paderi menghindari diri bencana
mengerikan itu.
Sementara dia sendiri telah melom-
pat menjauh
kalau tubuhnya tak mau teruruk re-
runtuhan!
Ketika keadaan
sudah pulih dan suasana beru-
bah lengang.
Matanya jelalatan ke sekitarnya men-
cari Roro. Akan
tetapi tak dilihatnya lagi gadis pen-
dekar itu. "Aiiiih! ke mana keponakanku
itu?" gu-
mamnya dengan
garuk-garuk kepala.
Lapat-lapat
telinganya mendengar suara tertawa
yang lebih mirip
dengan suara lengkingan bernada
tangisan. Suara
itu semakin menjauh, dan akhirnya
lenyap. Tertegun
Dewa Angin Puyuh mendengarnya,
itulah suara
Roro Centil.
"Ah, ah ...
dasar pendekar wanita aneh! ilmunya
sungguh luar
biasa hebatnya.
Sayang... Dia
begitu cepat muncul dan begitu ce-
pat menghilang!
Dasar pendekar wanita yang aneh!"
gerutu si kakek
bulat.
Namun tak lama
dia segera berkelebat ke arah
pantai. Menuju
ke arah perahunya yang disembu-
nyikan di
sebelah batu karang.....
T A M A T
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon