SKANDAL HANTU PUTIH
SATU
TEBING karang itu cukup curam.
Di bawah tebing itu anak-cucu batu
karang mencuat runcing, seakan pamer
gigi masing-masing. Belum lagi
ditambah debur ombak ganas yang
menghantam di kaki tebing cukup
membuat bulu kuduk meremang tak kenal
lelah. Dapat dibayangkan seandainya
seseorang jatuh dari atas tebing,
pasti raganya akan hancur tercabik-
cabik anak-cucu si karang kejam itu.
Selain raganya hancur tercabik,
nyawanya pun pergi tak mau balik.
Sebab itulah banyak orang yang malas
terjun dari tebing karang yang dikenal
bernama: Tebing Selamat Tinggal.
Meskipun demikian, toh sore itu
ada saja orang yang berdiri di tepian
tebing karang tersebut. Orang yang
berdiri di pinggiran tebing adalah
seorang gadis berpakaian biru muda,
lengkap dengan jubah tipisnya yang
berwarna kuning gading. Gadis itu
berdiri di tepian tebing, hanya satu
langkah lagi ia menuju akhirat alias
mati dicabik-cabik anak-cucu karang
runcing itu.
Sepasang mata anak muda berusia
sekitar dua puluh tahun memandangi
tepian tebing itu dari pantai. Anak
muda itu mengenakan pakaian serba ungu
dengan bintik-bintik putih bening
seperti tetesan embun menghiasai
pakaiannya itu. Bajunya nyaris tanpa
lengan, sehingga tangannya tampak
berotot kencang dan kekar. Baju itu
dikenakan dengan rapi, diikat dengan
sabuk hitam. Baju itu tidak
dikancingkan rapat, sehingga dadanya
yang bidang terlihat jelas. Di dada
itu ada tato gambar bunga mawar merah
bertangkai biru tinta. Ia mengenakan
celana ketat dengan bintik-bintik
embun sebagai penghiasnya. Tepian
celana membentuk rumbai-rumbai.
Pemuda itu mempunyai wajah yang
tampan bercorak macho. Bukan tampannya
lelaki homo, tapi tampan penuh
kejantanan. Hidungnya mancung, matanya
sedikit biru, bulu matanya tergolong
lebat dan lentik untuk ukuran bulu
mata cowok. Bibirnya tampak segar dan
indah, tanpa noda hitam nikotin
sedikit pun. Sebab itu cowok memang
nggak pernah merokok. Wajahnya itu
mengingatkan kita pada wajah bintang
film bule yang keren, yah...
setidaknya nilai ketampanannya itu
sejajar dengan Christopher Reeve, yang
jadi Superman itu lho. Tapi kalau lagi
ugal-ugalan modelnya kayak Mc Gyver.
Rambutnya panjang belakang, depannya
cepak, potongan punk-rock. Pakai
anting-anting satu di kiri. Pakal
gelang kulit berhias paku-paku metal.
Pokoknya keren deh.
Itulah ciri-ciri anak dewa
Batara Kama yang kawin dengan putri
raja jin. Dia diberi nama oleh
bokapnya cukup sederhana: Pandu Puber.
Setelah menggulingkan jago samurai
dari Tanah Sakura, ia berhak
menyandang gelar Pendekar Versi WBC,
(Wajah Butuh Cinta). Gelar itulah kini
dikenal oleh para tokoh rimba
persilatan sebagai satu-satunya
pendekar muda berilmu tinggi yang juga
penakluk wanita seangkuh apa pun.
Gelar itu tak lain adalah Pendekar
Romantis.
Memang Pandu itu seorang pemuda
yang romantis. Kalau sudah pacaran
nggak ingat sarapan. Kalau sudah mojok
nggak ingat jorok. Kalau merayu
wanita, wah... edan-edanan deh! Satu
kalimat rayuan dilontarkan bisa bikin
gadis-gadis muter tujuh keliling, asal
sebelumnya kepalanya digetok pakai
kayu tujuh kali.
Sore itu sang anak dewa yang
jika naik ke kayangan berubah nama
menjadi Dewa Indo itu, sepasang
matanya masih memperhatikan gadis yang
berdiri di tepi tebing curam. Jaraknya
cukup jauh dari tempat nongkrongnya,
tapi ketajaman matanya mampu melihat
sebentuk kecantikan yang lebih indah
dari warna pelangi.
"Ngapain cewek itu dari tadi
berdiri di situ?! Apa nggak takut
nyungsep masuk ke jurang karang? Bego!
Mendingan berdiri di depanku, nggak
bahaya, nggak rugi, bisa untung lagi.
Uuh... dasar cewek nggak ngerti seni
keindahan!" pikirnya dalam gerutu
membatin.
Mula-mula sang Pendekar Romantis
nggak mau ambil pusing soal cewek itu.
Matanya asyik menikmati gulungan ombak
yang mirip gulungan kasur orang
mengungsi karena kebanjiran itu. Buih-
buih ombak yang sampai ke pantai dekat
kakinya itu memercik, mirip busa sabun
yang habis dipakai mandi seorang top
model. Pandu merasa senang memandangi
keindahan alam seperti itu. Seekor
ikan teri melompat, seakan sedang
menunjukkan kebolehannya yang tak
kalah lincah dengan lumba-lumba di
Ancol. Pandu Puber hanya tertawa
melihat ikan teri melompat.
"Kecil-kecil banyak lagak lu!"
ujarnya kepada sang ikan teri, tapi
sang teri tidak tahu bahasa manusia,
jadi ucapan itu dicuekin saja sama
sang teri.
Mata bening membiru itu
memandangi seekor keong berjalan
lamban mendekati bebatuan. Seolah-olah
sang keong berkata, "Biar lambat asal
selamat, oom!" Dan anak muda ganteng
itu hanya tersenyum saja.
Mendadak mata Pandu melayang
kembali ke arah gadis di tepi jurang
karang. Kali ini kedua tangan sang
gadis ditutupkan ke wajah. Mulanya
Pandu menyangka gadis itu takut
melihat kedalaman jurang.
"Makanya, sudah tahu penakut
pake berdiri di pinggir jurang? Itu
namanya gadis bodoh! Tapi... Lho, kok
badannya tampak terguncang terus-
terusan?! Ooo... dia lagi nangis? Ya,
ampun...? Pasti dia sedang sedih.
Kenapa, ya? Kenapa kok menangis?
Apakah karena punya mata? Ah, aku
punya mata kok nggak nangis? Hmm...
Tentunya gadis itu sedang dirundung
duka yang... yang.... Wah, jangan-
jangan dia mau bunuh diri dengan
terjun ke jurang? Gawat! Kalau gitu
aku harus selamatkan gadis itu deh!
Kalau nggak mau diselamatkan, gue
jorokin aja biar cepat rampung!"
Zlaaap...!
Apa itu? Tetangga kita batuk?
Oh, bukan. Tadi adalah gerakan cepat
dari si Pendekar Romantis. Ia
menggunakan jurus 'Angin Jantan' yang
mampu membuatnya bergerak cepat
melebihi kecepatan cahaya. Makanya
dalam waktu singkat cowok ganteng itu
sudah ada di belakang gadis yang
sedang menangis.
"Kalau langsung kutegur pasti
dia kaget. Kalau dia kaget, dia akan
terlempar jatuh ke jurang. Hmm...,
sebaiknya aku pura-pura batuk saja,
biar dia nggak kaget," pikir Pandu.
Maka terdengarlah suara seperti dalam
iklan Komix,
"Uhuk...! Uhuk...!"
Gadis itu menengok dengan
terperanjat.
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk, uhuk,
uhuuk... hoeek! Cuih!"
Pandu Puber terengah-engah.
Wajahnya jadi merah. Hatinya membatin
gerutuan, "Setan! Maksudnya pura-pura
batuk kok malah jadi batuk beneran?
Ah, malu juga jadinya!"
Tangis gadis itu hilang. Tapi
suara parau gadis itu terdengar cukup
jelas di telinga Pandu Puber.
"Kasihan, masih muda, tampan,
eeh... punya penyakit bengek!"
Pendekar Romantis menelan suatu
rasa, yaitu rasa malu yang nyaris
nggak ketulungan lagi. Baru sekarang
ada gadis menyangka dirinya punya
penyakit bengek. Padahal aslinya sih
nggak bengek. Untungnya gadis itu
punya paras cantik jelita, sehingga
protes Pandu tak terlalu keras. Ia
paksakan diri untuk tersenyum, lalu
melangkah tiga kali mendekati sang
gadis. Tiba-tiba sang gadis berseru,
"Berhenti! Jangan mendekat
lagi!"
"Lho, kenapa?"
"Aku mau bunuh diri! Aku tak mau
kau pegangi saat aku mau melompat
nanti!"
"Kau mau bunuh diri?" Pandu
bernada tidak percaya. Sengaja ia
bernada begitu, supaya sang gadis
mengurungkan niatnya karena tidak
dipercaya.
"Ya, memang aku mau bunuh diri.
Kalau kau tidak percaya, lihat nih aku
mau melompat ke jurang karang,
hiaaah...."
"Ee, eh... tunggu dulu!" Pandu
mau mendekat dengan tangan terulur,
tapi gerakannya ragu-ragu dan sang
gadispun tak jadi melompat.
"Apa maksudmu menahan
gerakanku?!" ketus sang gadis.
"Jangan bunuh diri, nanti kamu
mati lho!"
"Memang aku kepingin mati!"
sahutnya makin ketus. "Lihatlah kalau
nggak percaya, satu, dua, ti...."
"Eeeh... tunggu!" sergah Pandu
Puber makin dekat tapi tak berani
menyentuh gadis itu. Kulit sang gadis
begitu putih dan mulus berkesan
lembut, sehingga merasa sangat
disayangkan kalau harus disentuh
secara kasar.
"Kalau boleh kutahu, apa
alasanmu kok mau bunuh diri?" tanya
Pandu Puber dengan hati-hati, sebab
kaki si gadis sudah makin berada di
tepian jurang. Geser sedikit lagi akan
jatuh ke jurang itu.
Gadis itu tundukkan kepala,
mulai tonjolkan kesedihannya. Pandu
Puber perhatikan wajah dan sosok si
gadis.
"Memang cantik dan menggiurkan
sekali bodinya," pikir otak nakal sang
Pendekar Romantis.
Dari ujung rambut sampai ujung
rambut lagi, mata Pandu menyusuri
keadaan si gadis berjubah kuning
gading itu. Melihat ada pedang kecil
di pinggang gadis itu, Pandu yakin
gadis yang ada di depannya bukan gadis
desa biasa. Sedikitnya punya ilmu
kanuragan. Walau hanya sekadar untuk
ciat sana ciat sini, tapi gadis itu
punya mainan sendiri. Murid siapa dia?
Tak tahu. Yang jelas dia juga bukan
murid sembarang murid, karena ia
mengenakan kalung emas bermata hijau
muda dari batuan jenis giok. Batuan
hijau itu berbentuk seekor ular naga
sedang menari. Pasti murid-murid
tertentu yang memiliki batuan
bersimbol seperti itu. Mungkin saja
itu adalah simbul perguruannya?
"Gila! Itu dada apa pabrik susu,
kok gedenya membuat sesak napas orang
yang memandang?" pikir Pandu
mengomentari keseksian si gadis
berambut sepunggung dengan disanggul
bagian tengahnya.
"Katakanlah, apa kesulitanmu,
barangkali aku bisa membantumu, Nona
Cantik," ujar Pandu Puber dengan suara
lembut dan tutur kata yang merdu
merayu.
"Tidak. Kau tidak boleh tahu
masalahku. Aku mau bunuh diri saja!"
"Ya, sudah! Aku mau pulang
saja."
"Aku mau bunuh diri beneran
nih!"
"Silakan! Aku mau pulang
beneran!" sambil Pandu berlagak mau
mengeloyor pergi dengan cuek.
"Baiklah, akan kuceritakan
masalahku!" kata gadis itu setelah
Pandu tampak melangkah lebih dari tiga
langkah. Pandu pun berhenti dan
berbalik mendekatinya lagi, namun
jaraknya tetap dua langkah di depan
sang gadis. Mata sang gadis
memperhatikan Pandu terus, sisa air
matanya buru-buru dilap dengan lengan
jubahnya.
"Aku sedih. Karena itu aku mau
bunuh diri. Aku tak bisa menghindari
kesedihanku ini," katanya dengan
menunduk.
"Sedihnya itu kenapa? Jelaskan
dong. Kalau cuma bilang: 'aku sedih',
semua orang tahu kalau kau sedih,
sebab kau menangis. Tapi sedih karena
apa, itu kan harus dijelaskan, Nona!"
tutur Pandu bernada menyabarkan diri.
"Eh, namanya siapa sih?"
Setelah diam sesaat sang gadis
menjawab, "Namaku... namaku Rani
Adinda. Aku putri kedua dari keluarga
Sultan Danuwija yang berkuasa di
Kesultanan Sangir."
"Ooo... jadi kau anak Sultan?"
"Benar. Tapi aku termasuk putri
mbalelo."
"Apa maksudnya 'puteri mbalelo'
itu?"
"Kerabat kesultanan yang keluar
dari peraturan kesultanan. Aku salah
satu anak yang tidak mau mengikuti
aturan hidup di dalam keraton. Aku
suka mengembara, dan akhirnya berguru
kepada seorang Resi yang bernama Resi
Pancal Sukma, dari Perguruan Naga
Jilu."
"Naga Jilu berapa?"
"Gaji gue cekak!" jawab Rani
Adinda dengan kesal hati.
"Maksudku, Naga Jilu itu kan ada
tiga: di sebelah timur, barat, dan
selatan. Perguruan Naga Jilu barat
adalah yang pertama, yang di timur itu
yang kedua sedangkan...."
"Dulu memang ada tiga, sekarang
sudah menjadi satu, berpusat di
wilayah selatan," sahut Rani Adinda
dengan serius.
"Baiklah. Terus, apa kasusmu
sehingga kau mau bunuh diri?"
"Aku telah ditolak kembali ke
keraton. Aku tidak diaku anak lagi
oleh ayahandaku. Aku dianggap bukan
keluarga kesultanan."
Rani Adinda mulai menitikkan air
mata lagi. Pandu Puber gemetar dan
buru-buru buang muka. Lututnya terasa
lemas, tulang-tulangnya bagaikan
lembek. Begitulah jika ia melihat
gadis menangis, selalu menjadi lemas
dan matanya berkunang-kunang mau
pingsan. Makanya Pandu cepat-cepat
buang muka sambil berkata,
"Hentikan tangismu! Hentikan!"
Pandu ingat ibunya. Setiap
melihat wanita menangis selalu ingat
ibunya dan menjadi lemas sekali. Ia
sangat sayang kepada ibunya. Bagi
Pandu, wanita itu ratu yang perlu
diagungkan dan ditayani. Karenanya,
hati Pandu menjadi luluh dan nyaris
hancur jika melihat wanita menangis.
Kali ini ia berusaha bertahan agar tak
sampai pingsan dengan cara keluarkan
suara bernada membentak. Otomatis sang
gadis jadi kaget dan agak tersinggung.
"Kalau kau tak mau berhenti
menangis aku akan pergi dari sini!"
Padahal hal itu tidak mungkin
bisa dilakukan jika Rani Adinda benar-
benar menangis. Boro-boro pergi,
bergerak pun sulit. Ia akan jatuh
pingsan, terkulai seperti sarung jatuh
dari jemuran. Tapi agaknya ancaman itu
dianggap serius sekali oleh Rani
Adinda, sehingga gadis itu pun dengan
susah payah menghentikan tangisnya,
menarik napas beberapa kali dan
menjadi tenang kembali.
Setelah tak mendengar suara isak
tangis, Pandu pun berkata lagi sambil
mulai berani memandangi gadis itu.
"Aku hanya memintamu
menceritakan masalahmu saja, tidak
memintamu menangis! Aku paling benci
melihat wanita menangis! Paham?!"
"Baiklah, aku tak akan menangis
lagi," kata Rani Adinda, seakan ingin
menuruti keinginan Pandu Puber.
Gadis berusia sekitar dua puluh
dua tahun itu berkata lagi,
"Aku akan kembali diterima
sebagai putri Sultan Danuwija, dan
dianggap sebagai keluarga kesultanan
lagi apabila berhasil membunuh Hantu
Putih."
Pendekar Romantis menggumam
heran nama itu, "Hantu Putih...?" Lalu
batinnya berkata, "Baru sekarang aku
mendengar nama tokoh seperti itu.
Apakah benar-benar hantu atau hanya
julukan saja?"
Sebelum hal itu ditanyakan, Rani
Adinda berkata lebih dulu,
"Apakah kau tahu, siapa Hantu
Putih itu?"
"Aku baru mau tanyakan padamu;
apakah Hantu Putih itu benar-benar
hantu atau hanya nama julukan saja?"
"Entahlah. Aku tak jelas.
Ayahandaku hanya berkata begitu, lalu
beliau tak mau bertemu denganku.
Bahkan aku tak diizinkan masuk ke
dalam kesultanan."
"Mengapa tidak kamu tanyakan
kepada gurumu?"
"Sudah. Tapi guruku tak tahu
siapa orang yang menggunakan julukan
Hantu Putih itu. Menurut Guru, mungkin
yang dimaksud Hantu Putih adalah
benar-benar hantu atau mayat yang
terbungkus kain kafan dan berkeliaran
di mana-mana. Tapi menurut dugaanku
yang belum tentu benar, Hantu Putih
itu nama julukan seseorang."
"Dari mana kau bisa
menyimpulkannya begitu?"
"Kabarnya, ayahku sangat benci
dengan Hantu Putih, sebab ibuku jatuh
sakit karena rindu ingin jumpa si
Hantu Putih itu. Bahkan...," Rani
Adinda diam sebentar, seperti ada yang
perlu dipertimbangkan. Setelah
beberapa saat ia melanjutkan ucapannya
tadi,
"Menurut kabar yang kudengar
dari mulut pelayan istana, ibuku
terlibat percintaan gelap dengan Hantu
Putih dan sulit melupakan si Hantu
Putih. Kabarnya lagi, ibuku terkena
Racun Raja Rindu yang entah bagaimana
caranya bisa disebarkan oleh si Hantu
Putih itu. Racun Raja Rindu itulah
yang membuat Ibu tak mau menganggap
Ayah sebagai suaminya lagi. Yang
diingatnya cuma si Hantu Putih saja!
Bahkan Ibu bersumpah, jika belum
bertemu dengan Hantu Putih tak mau
makan selamanya!"
"Malah irit," gumam Pandu dengan
selorohnya. Sengaja ia berkelakar
sederhana supaya Rani Adinda tidak
menangis lagi mengenang nasibnya.
Walau sang gadis tidak tertawa,
tapi Pandu yakin selorohnya Itu
mengurangi ketegangan batin si gadis
"Karena sudah cukup lama aku
mencari Hantu Putih tapi tidak
berhasil, akhirnya aku patah semangat,
putus asa. Daripada nggak bisa balik
sama keluarga, lebih baik aku ambil
jalan pintas untuk mati bunuh diri
saja!"
"Maksudmu, jika kau mati kau
bisa bertemu Hantu Putih, gitu?"
Rani Adinda gelengkan kepala.
"Nggak gitu maksudnya. Aku tak tahan
menjalani kepedihan hidup seperti ini.
Aku ingin bebas dari kesedihan, tapi
tak ada yang mampu menghiburku, tak
ada yang mampu membantuku menemukan
Hantu Putih. Karenanya, kematian
adalah yang terbaik bagiku untuk
selesaikan masalahku ini!"
"Kau tak perlu bunuh diri. Untuk
apa cepat-cepat mati sih? Toh semua
masalah bisa dicari jalan keluarnya.
Jalan keluar yang paling mudah adalah
lewat pintu, lewat jendela lebih
sulit. Tapi semua itu toh namanya
jalan keluar?"
Pendekar Romantis semakin dekati
gadis berwajah imut-imut itu, kemudian
menepuk-nepuk punggung si gadis dengan
lembut dan berkata penuh nada-nada
minor.
"Sayangilah dirimu sendiri
sebelum orang lain sayang kepadamu.
Selamatkanlah dirimu sendiri sebelum
orang lain menyelamatkan dirimu.
Cintailah dirimu sendiri sebelum orang
lain boleh mencintaimu. Pakailah
pedoman hidup itu supaya hatimu tenang
dan damai. Sejujurnya kukatakan
padamu, gadis secantik kau tak pantas
mati muda. Seluruh pemuda sebayaku
akan menangis darah jika melihat gadis
secantik kau mati bunuh diri."
"Benarkah begitu?"
"Ya, benar sekali, Adinda!"
jawab Pandu Puber mulai ngecap macam-
macam. Lalu la berkata lagi,
"Jangan khawatir dengan hasib
hidupmu. Aku akan membantumu!"
Gadis itu menatap Pandu dengan
mulut sedikit terperangah, menampakkan
bentuk bibirnya yang seakan menantang
untuk dikecup sehari-semalam suntuk.
Hatinya membatin pula tentang Pandu
Puber.
"Benarkah si ganteng ini mau
menolongku? Benarkah dia mampu
menemukan Hantu Putih? Ah, kalau dia
gagal aku tetap tak akan membencinya.
Bagiku, membenci pemuda setampan dia
adalah perbuatan terkutuk yang tidak
akan diampuni oleh para dewa! Oh,
hatiku kenapa bisa setenang ini. Baru
mendengar kesanggupannya saja,
ternyata hati sudah menjadi damai dan
girang sekali. Padahal bisa saja dia
ngibul. Tapi, ah... dia tak punya
tampang jadi tukang kibul kok.
Tampangnya adalah tampang pemuda
romantis yang punya sifat jujur, setia
dan hangat dalam pelukan. Hmmm...!
Hatiku kok jadi seperti semutan sih?
Ah, bingung sendiri aku kalau begini
jadinya. Mau ngapain, ya? Menangis?
Oh, jangan. Nanti dia membentakku
lagi. Diam saja? Oh, jangan. Nanti dia
anggap aku nggak serius membutuhkan
pertolongan dalam hal ini. Habis aku
harus ngapain sekarang ini, coba?!
Pikir dong, pikiiir...!"
Celoteh itu bagai ditujukan
untuk diri sendiri. Yang jelas Rani
Adinda menjadi salting alias salah
tingkah. Untuk mengatakan sesuatu pun
sulitnya bukan main. Akibatnya Pandu
sendiri yang memecah kebisuan di
antara mereka berdua.
"Begini saja! Temukan aku dengan
ayahandamu dan biarkan aku bicara
dengan beliau. Barangkali beliau bisa
kasih ciri-ciri si Hantu Putih jika
bicaranya padaku. Jika padamu tak akan
diberikan ciri-ciri itu karena pasti
beliau masih dongkol mengingat kau
tumbuh sebagai gadis 'mbalelo' tadi."
"Ja... jadi aku harus membawamu
ke kesultanan dan mempertemukan dirimu
dengan ayahku? Oh, nggak deh! Aku
nggak mau ketemu beliau sebelum
membawa pulang kepala si Hantu Putih"
"Habis, gimana caranya bisa tahu
siapa yang menjadi Hantu Putih dan
yang menjadi bahan buruan kita? Mau
tak mau kita harus banyak bicara dan
berembuk dengan ayahmu!"
DUA
PERDEBATAN itu bikin Pendekar
Romantis kesal. Rani Adinda tetap
ngotot nggak mau pulang menghadap
Sultan sebelum membunuh Hantu Putih.
Ia malah mengusulkan untuk mencari
seorang ahli nujum untuk menanyakan
soal Hantu Putih.
"Di mana ada ahli nujum?" gumam
Pandu dengan hati menggerutu.
"Ya kita cari dulu, kita
tanyakan kepada orang di mana ada ahli
nujum sakti di sini?"
"Cari...?! Uuh...! Mencari Hantu
Putih saja belum bisa, masih harus
mencari ahli nujum. Tambah puyeng deh
kepalaku kalau gini caranya"
"Kalau kau puyeng ya sudah,
pulanglah saja ke kandangmu. Biarkan
aku bunuh diri saja di jurang ini!"
Rani Adinda bersungut-sungut. Pandu
Puber memandang dengan hati terpaksa
harus bersabar.
Ancaman seperti itu sebenarnya
yang membuat Pandu Puber tak bisa
lakukan apa yang menjadi kehendaknya.
Secara jujur hatinya mengakui bahwa ia
tak bisa melihat Rani Adinda mati
bunuh diri. Bisa-bisa Pandu akan
merasa menyesal seumur hidup jika
membiarkan Rani Adinda mati bunuh diri
sebelum disentuh bibirnya. Jadi dengan
cara bagaimanapun mau tak mau Pandu
harus bisa mencegah anak sultan itu
tidak terburu-buru mati.
"Barangkali kalau dia sudah
merasakan sebentuk kehangatan bibirku
dia akan enggan mati dengan cara apa
pun" pikir Pandu.
Rani Adinda mengaku pernah
dengar nama seorang ahli nujum di kaki
Gunung Malabar. Gadis itu mengajak
Pandu Puber pergi ke sana.
"Namanya: Syuka Nehi. Kabarnya
dia tidak pernah pergi ke mana-mana
dan selalu tinggal di kaki Gunung
Malabar. Jadi kalau kita kesana pasti
akan ketemu dia."
"Dia ahli nujum apa pedagang
martabak?"
"Pandu! Aku serius nih!" Rani
Adinda merajuk jengkel.
Pandu Puber tertawa kecil.
"Gunung Malabar itu jauh, Sayang,"
ujarnya dengan lembut sambil merapikan
rambut di punggung Rani Adinda.
"Gunung Malabar ada di Tanah Gangga,
di India sana."
"Biarpun jauh akan kutempuh.
Yang panting aku bisa tahu siapa yang
dimaksud dengan Hantu Putih itu dan di
mana letak persembunyiannya."
"Perjalanan ke Tanah Gangga
sangat berbahaya. Banyak perampok yang
akan menghadang perjalanan kita."
"Aku tak takut. Asal bersamamu,
aku tak takut!" ucap Rani Adinda
membuat hidung Pandu mengembang
bangga, seakan ia dijagokan oleh gadis
secantik itu.
Ketika mereka berhadapan dalam
jarak kurang dari satu jangkauan, mata
Rani Adinda memandangi Pandu dengan
sedikit sayu. Lalu terdengarlah gadis
itu berucap penuh perasaan.
"Kalau kau bisa menolongku dalam
masalah ini sampai tuntas, apa pun
yang kau inginkan dariku akan
kuberikan."
"Kau menjanjikan upah yang
istimewa, begitu?"
"Benar. Upah istimewa kusediakan
untukmu. Begitu. Ganti!"
Pandu tertawa kecil. "Kok kayak
roger-rogeran. Pakai ganti, segala!"
sambil tangannya mencubit pelan dagu
si kulit lembut itu. Yang dicubit
hanya tersenyum. Senyum itu membuat
hati Pandu bermekaran mirip kerupuk
masuk ke penggorengan. Sedangkan si
gadis sendiri seakan minta dicubit
lagi dengan cara sedikit mengangkat
dagunya dalam memandang. Pandu nekat
mencubit lagi. Lalu si gadis bilang,
"Jika kau berhasil menolongku,
kau boleh mencubit seluruh tubuhku
dengan cara apa pun!"
Mantap! Ini sebuah tantangan
bagi Pendekar Romantis. Semangat yang
timbul semakin membara. Keputusan pun
dibulatkan, ia harus mendampingi Rani
Adinda menuju ke Tanah Gangga untuk
menemui seorang ahli nujum bernama
Syuka Nehi.
Rintangan pertama datang ketika
mereka menuju ke perkampungan nelayan
untuk menyewa perahu. Sebab tanpa
perahu mereka tak bisa sampai ke Tanah
Gangga. Barangkali Pandu Puber bisa
sampai ke sana dengan menggunakan
selembar papan atau daun pisang plus
menggunakan ilmu peringan tubuhnya.
Tapi gadis montok itu belum tentu bisa
menumpang kendaraan aneh tersebut.
Untuk berdiri di atas daun pisang dan
melaju di tengah samudera harus
menggunakan ilmu peringan tubuh yang
cukup tinggi, sedangkan Pandu sudah
menguasai hal itu sejak kecil. Bahkan
ia pernah bermain selancar dengan
selembar daun pisang sewaktu berusia
sekitar sepuluh tahun atau tujuh
tahun, lupa! (Kalau mau ingat, baca
serial Pendekar Romantis dalam
kisahnya : "Hancurnya Samurai Cabul"
nggak rugi kok).
Soal perintang pertama tadi,
Pandu Puber merasa sudah memasuki awal
tantangan dalam kasus Hantu Putih
tersebut. Awal tantangan itu ditandai
dengan munculnya seorang pemuda tampan
berpakaian serba putih. Rambutnya ikal
bergelombang, panjang sebatas
punggung. Ikat kepalanya warna putih
pula. Senjatanya terompet kecil dari
logam anti karat warna putih
mengkilap. Pemuda itu berkumis tipis,
berusia sekitar dua puluh dua tahun.
Badannya tegap, kekar, tampak berotot,
sebab baju putihnya tanpa lengan.
Kemunculan pemuda berpakaian
putih itu membuat Pandu Puber menatap
penuh curiga. Caranya muncul yang
menghadang langkah sudah menunjukkan
niat tidak baik menurut Pandu. Tapi
sang Pendekar Romantis masih tenang-
tenang saja. Ia membiarkan Rani Adinda
maju satu langkah dan bicara dengan
pemuda tampan tersebut.
"Lagi-lagi kau, Sawung Seta!
Bosan aku melihat tampangmu!"
"Ke mana pun kau pergi aku akan
tetap mencarimu, Adinda. Karena hatiku
tak bisa melupakanmu!" ujar pemuda
yang bernama Sawung Seta.
"Aku muak padamu!" ketus Rani
Adinda.
"Mungkin karena sudah ada pria
yang lebih tampan dariku?"
Karena Sawung Seta melirik sinis
kepada Pandu Puber, maka Pandu pun
menyahut dengan senyum sinis pula,
"Terima kasih atas pengakuanmu,
Sobat!"
"Cuih...!" Sawung Seta meludah
menandakan penghinaan yang amat dalam
dari lubuk hatinya. Tapi sang Pendekar
Romantis hanya tertawa pelan dengan
sikap lebih merendahkan pemuda
berpakaian putih itu.
Rani Adinda berkata kepada
Sawung Seta, "Sudahlah, Sawung Seta...
pergilah bersama perempuan itu dan
jangan temui aku lagi. Aku benar-benar
sudah muak melihat tampangmu! Kau
sudah cukup menggoreskan luka di
hatiku dengan menjalin hubungan gelap
dengan perempuan liar itu! Pergilah
jauh-jauh dengan si jalang itu, Sawung
Seta!"
"Hubunganku tak sedalam
dugaanmu. Kau terlalu cemburu, Adinda.
Sekarang pun dia sudah kutinggalkan
dan tak sudi untuk kudekati lagi. Aku
lebih baik kehilangan dia daripada
kehilangan dirimu, Adindaku sayang!"
Pandu membatin, "Boleh juga
rayuannya. Tapi aku yakin Adinda tak
akan terbuai. Rupanya pemuda ini bekas
kekasih Adinda dan terlibat skandal
dengan perempuan lain, sehingga Adinda
sakit hati, lalu tak mau menemuinya
lagi. Hmmm... kalau tak mau ya jangan
dipaksa dong. Kalau dipaksa urusannya
denganku deh! Kupelintir batang
lehermu jadi gangsing lu!"
Pada akhir bujukan Sawung Seta,
terdengar kalimat yang memanaskan hati
Pandu Puber, walau Pandu bisa menahan
diri untuk tidak mudah terpancing oleh
kata-kata itu. Sawung Seta berkata
kepada Rani Adinda dengan suara
seperti orang menggeram jengkel.
"Apakah kau ingin aku bertarung
dengan jagoanmu itu? Mungkin kau ingin
tahu kehebatan ilmuku dalam mematahkan
tulangnya?!"
Rani Adinda tersenyum sinis.
"Kalau kau ingin bertarung melawannya,
kau harus bisa kalahkan aku dulu,
Sawung Seta!"
Puser Pandu mangkak, merasa
dibela oleh gadis secantik Rani
Adinda. Ia hanya tersenyum-senyum saja
sambil menggigit-gigit sebatang rumput
sejak tadi.
"O, jadi kau rela berkorban demi
pemuda culun itu?!"
"Jangan menghinanya, Sawung
Seta!" hardik Rani Adinda. Ia tampak
semakin galak. Bahkan berkata dengan
nada keras,
"Biar kau murid si Layang Petir,
aku tidak akan mundur setapak pun
kalau harus bertarung melawanmu,
Sawung Seta!"
Pandu Puber kaget, sebab ia
kenal betul dengan tokoh tua yang
bernama Layang Petir. Pandu memanggil
tokoh tua itu dengan sebutan 'Pak
Tua'.
Dan Pandu pun tahu seberapa
tinggi ilmu Layang Petir yang dulu
bekas muridnya Iblis Banci itu. Kini
Pandu jadi gelisah dan terbayang wajah
tua si Layang Petir yang pernah
membuatnya dikuasai hasrat bercumbu
gara-gara sinar putih dari mata Pak
Tua tersebut, (Cumbuannya ada di
serial Pendekar Romantis dalam kisah :
"Patung Iblis Banci" - panas dingin
lho kalau membacanya).
Lebih gawat lagi Rani Adinda
berkata sumbar, "Kalau perlu, gurumu
suruh kemari dan berhadapan denganku!
Nih, murid Resi Pancal Sukma tak akan
tumbang menghadapi Layang Petir dan
muridnya yang kayak ondel-ondel itu!"
Gemeretak gigi Sawung Seta
mendengar hinaan seperti itu. Kedua
tangannya menggenggam kuat-kuat.
Matanya mulai mengecil pertanda
memendam murka. Ia bicara dengan suara
menggeram,
"Bicaramu kelewat batas, Rani
Adinda!"
"Blarin! Biar elu nggak mau lagi
deketin gue!"
"Kalau bukan karena hati sedang
jatuh cinta padamu, kuhancurkan
kepalamu pakai terompet saktiku ini,
Adinda!"
Dengan tengil Rani Adinda
menyahut, "Hancurkan saja kalau bisa!"
"Tidak. Kalau kepalamu
kuhancurkan, bagaimana nanti jika aku
ingin mengecup bibirmu?"
"Cari bibir kuda aja!" timpal
Pandu tak tahan ingin mencandainya.
"Tutup mulutmu, Setan!" bentak
Sawung Seta dengan mata membelalak
berang. Rupanya inilah saat yang
ditunggu-tunggu Sawung Seta,
melampiaskan kemarahannya kepada Pandu
daripada harus bertarung melawan gadis
yang sedang digandrunginya itu. Ia
mendekati Pandu yang berdiri di bawah
pohon teduh, tapi Rani Adinda cepat-
cepat bergerak dan menghadang langkah
Sawung Seta sebelum dekat dengan
Pendekar Romantis. Sang pendekar hanya
tenang-tenang saja, menggigit-gigit
rumput secara iseng.
Rani Adinda bertolak pinggang di
depan Sawung Seta, "Kau mau apa, hah?!
Mau apa kau? Apa mau kau, hah?! Mau
kau apa, hah?!"
Tengil amat gadis ini, pikir
Pandu dengan geli. Tapi ia membiarkan
saja segala tingkah si cantik berdada
pabrik ini. Dalam hati Pandu hanya
memuji keberanian Rani Adinda yang
bila dilawan Sawung Seta belum tentu
bisa unggul. Sebab Pandu tahu
kesaktian Layang Petir, tentu saja
Pandu bisa mengukur kehebatan ilmu
muridnya itu.
"Aku ingin buktikan bahwa kau
telah terpikat oleh pemuda bego,
Adinda! Minggirlah, biar kuhajar mulut
lancangnya tadi!"
"Hajarlah aku dulu kalau kau
ingin menghajarnya!" Rani Adinda maju
mendesak, Sawung Seta mundur berusaha
menghindari pertarungan dengan gadis
yang sedang digandrunginya itu.
"Sawung Seta! Tinggalkan kami
atau aku bertindak kasar lebih dulu
padamu!" ancam Rani Adinda benar-benar
penuh keberanian. Entah berani beneran
atau cuma action saja di depan Pandu,
tak jelas. Yang pasti, Sawung Seta
menjadi makin dongkol, napasnya mulai
dihela dengan berat. Matanya pun
menatap Rani Adinda dengan penuh
kemarahan. Akhirnya ia berkata dalam
nada geram.
"Aku tak mau pergi jika tanpa
dirimu, Adinda!"
"Kalau begitu aku harus
mengusirmu dengan caraku sendiri!
Hap!"
Rani Adinda membuka jurus
pertama, badannya merendah dengan kaki
kiri ditarik ke belakang, kedua
tangannya mengembang di depan dada dan
di atas kepala. Matanya memandang
tajam pemuda itu.
Kemudian gadis itu melompat
dengan suara serukan pertarungan.
"Heaaat...!"
Wuuut...!
Badannya berputar secepat
baling-baling ketika dalam jarak satu
jangkau dengan Sawung Seta. Sambil
memutarkan badan, kaki Rani Adinda
membentang dalam sentakan kuat. Dua
kakinya itu bagai ingin menendang
wajah Sawung Seta secara beruntun.
Tetapi tangan Sawung Seta tak kalah
cepat dalam gerakannya.
Plak, plak, paaak...!
Tendangan itu ditangkisnya.
Bahkan betis Rani Adinda sempat
dihantam dengan telapak tangan.
Hantaman itu mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang lumayan dan membuat tubuh
Rani Adinda terpelanting hilang
keseimbangan.
Bruuus...!
Rani Adinda jatuh di pasir.
Posisi jatuhnya mirip seekor kucing
ingin menerkam lawan.
"Boleh juga jurus Adindaku,"
pikir Pandu Puber masih gigit-gigit
rumput dengan kalem.
Sawung Seta berkata, "Aku
terpaksa memberi pelajaran padamu
supaya kau tidak meremehkan aku,
Adinda!"
Wuuusss...!
Sebuah pukulan jarak jauh tanpa
sinar dilepaskan oleh Sawung Seta.
Gelombang pukulan yang dapat
memecahkan balok kayu itu dihindari
Rani Adinda dengan satu lompatan yang
menyerupai kucing betina sedang
mengamuk. Wuus...! Dalam lompatannya
itu Rani Adinda seolah-olah terbang
dan meliuk-liuk ke kiri kanan membuat
Sawung Seta sedikit bingung
menghadapinya. Tahu-tahu kaki Rani
Adinda menyepak wajah pemuda Itu
dengan kelebatan cepat sekali.
Plaaak!
Sawung Seta terlempar ke samping
hampir jatuh. Wajahnya merah matang
karena sepakan kaki si gadis. Pukulan
tenaga dalamnya tadi sama sekali tak
mengenai Rani Adinda namun hanya
membuat pasir pantai menyembur ke atas
dalam sekejap.
"Gila! Pasti itu jurus naga.
Cuma... naga apa namanya, entahlah.
Anggap saja itu tadi Jurus 'Naga
Bangun Tidur' yang menjadi salah satu
Jurua andalan Rani Adinda," pikir
Pendekar Romantis yang mirip penonton
di arena pertarungan. Sama sekali tak
memberikan gerak atau bantuan apa pun
kepada Rani Adinda. Ia memang ingin
melihat seperti apa kehebatan gadis
itu melawan muridnya Pak Tua; si
Layang Petir. Makanya ia hanya senyum-
senyum saja.
Sawung Seta tegak kembali.
Napasnya ditarik dalam-dalam pertanda
sedang mengatasi rasa sakit dengan
hawa dingin yang disalurkan ke bagian
pipi kanannya yang merah itu.
Sedangkan Rani Adinda melangkah dengan
kaki merendah, badan membungkuk ke
depan, kedua tangannya menguncup, dan
menyodok-nyodok ke kanan-kiri depan,
lalu tiba-tiba kakinya menyentak dan
tubuhnya melompat ke depan, rendah
dengan permukaan tanah. Perut pemuda
berpakaian serba putih itu disodok
dengan tangan yang menguncup.
Wuuut...! Tab!
Hantaman tangan itu dihadang
oleh telapak tangan Sawung Seta yang
cepat berlutut dengan satu kaki.
Telapak tangannya menghadang gerakan
tangan tersebut. Namun tiba-tiba ia
terjengkang ke belakang dan berjungkir
balik kelabakan.
"Setan!" geramnya dengan dongkol
ketika ia membuka telapak tangan yang
dipakai menahan pukulan tadi ternyata
menjadi hangus.
"Wah, berarti pukulan Adinda
tadi punya kekuatan Inti api dong?
Hebat! Sepertinya jurus pukulan biasa
saja, ternyata punya isi yang
membahayakan. Kalau kena dada atau
perut bisa hangus bagian dalam dada
tersebut lho. Wow, jurus hebat apa
lagi itu namanya? Bagaimana kalau
kunamakan jurus 'Naga Cocol Sambal'?
Hi, hi, hi...!" Pandu Puber tertawa
sendiri menanggapi komentar batinnya.
Sawung Seta cepat melompat dari
posisi berlutut satu kaki. Dan ketika
ia melompat, jari-jari kakinya
keluarkan sepuluh sinar biru kecil
yang menyergap tubuh Rani Adinda.
Sraaaab...! Kesepuluh larik sinar biru
itu segera dilawan oleh Rani Adinda
dengan kesepuluh larik sinar merah
yang keluar dart jari-jari tangannya.
Sraaab...! Dan terjadilah dentuman
menggelegar akibat benturan sinar-
sinar tersebut.
Blegaaarrrr...!
Tanah di sekitar mereka
terguncang hebat. Air laut membumbung
tinggi dalam gulungan ombak besar.
Sementara itu tubuh Rani Adinda
sendiri terlempar sejauh lima langkah
dan terpuruk di sana. Tubuh Sawung
Seta juga terpental dan membentur
gugusan karang di depan tepian pantai
berair asin. Buuhg...! Tubuh itu jatuh
terkulai setelah menggeliat kesakitan
dengan wajah menyeringai.
Pandu Puber pun ikut jatuh
terpelanting akibat ledakan tadi.
Hampir saja ia kejatuhan pohon kelapa
yang tumbang akibat getaran kuat daya
ledak tersebut. Untung ia cepat-cepat
bangkit dan menghindar ketika
dilihatnya batang pohon kelapa itu
mendekati wajahnya dari atas bagaikan
tubuh perawan tanpa busana.
Bruuuusssskkkk...!
"Gila! Kalau aku nggak cepat-
cepat pergi bisa gepeng wajahku
dihantam pohon kelapa sebesar itu!
Uuh...! Jurus apaan yang mereka
gunakan tadi? Yang jelas jurus sinar
biru dari jari-jari kaki Sawung Seta
tadi pasti jurusnya Layang Petir, yang
kalau melayang bisa keluarkan petir
dari bagian tubuhnya mana saja!" pikir
Pandu Puber sambil geleng-geleng
kepala membayangkan hampir mati
ditiban batang pohon kelapa yang penuh
dengan buah kelapa hijaunya itu.
Rani Adinda tampak terbatuk-
batuk sebentar, lalu keluarkan darah
dari mulutnya. Wajahnya pucat dan
matanya mulai sayu dalam memandangi
musuhnya. Itu tandanya Rani Adinda
terluka bagian dalam tubuhnya akibat
daya sentak ledakan kedua jurus tadi.
Sedangkan Sawung Seta tidak tampak
pucat, hanya sedikit berat dalam
menarik napasnya. Tapi ia sudah
berdiri lagi sementara Rani Adinda
masih berlutut di tanah. Hal itu
membuat Pandu Puber menjadi cemas.
Baru saja Pandu mau bergerak
menolong Rani Adinda, tiba-tiba Sawung
Seta berkelebat dalam satu lompatan
bersalto tiga kali dan begitu berdiri
dengan dua kaki merendah, ia
melepaskan sinar kuning dari ujung
jari telunjuknya.
Claaap...! Dees...!
Sinar itu tepat kenai tubuh Rani
Adinda. Persis di bawah pundak kanan.
"Celaka...!" Pandu Puber
tersentak kaget melihat Rani Adinda
terpental dan jatuh terkapar tanpa
daya lagi.
Wuuus...!
Pandu Puber berkelebat ingin
menyambar Rani Adinda. Tapi sinar
kuning tadi melesat kembali dari jari
telunjuk Sawung Seta dan menghantam
punggung Pandu Puber.
Claaap...! Dees...!
"Uuhg...!" Pandu Puber tersentak
melengkung ke depan, lalu jatuh
terpuruk bagaikan kehilangan tenaga
dalam sekejap.
"Berani menyentuhnya kuhancurkan
tubuhmu dengan terompetku ini!" ancam
Sawung Seta yang berdiri dalam jarak
tujuh langkah sambil memegangi
terompetnya yang siap ditiup sewaktu-
waktu.
Pendekar Romantis tarik napas
dengan berat sekali. Bagian dalam
tubuhnya terasa panas. Makin lama
makin memeras keringat. Ia masih
mencoba untuk berdiri menghadapi
Sawung Seta. Giginya menggeletuk,
urat-urat lengannya mengencang. Dan
tiba-tiba kedua tangannya
mengembangkan jari, sehingga jari-jari
itu menjadi lurus, keras dan merapat.
Dengan telapak tangan tengkurap, kedua
tangan itu menyodok ke depan dengan
cepat.
Wut, wut, wut, wut...!
Kekuatan tenaga dalamnya
terlepas dari ujung kedua tangan yang
menyodok ke depan secara beruntun.
Jurus 'Salam Sayang' menghantam tubuh
Sawung Seta walau dicoba dengan
menahannya. Tapi kekuatan jurus 'Salam
Sayang' adalah kekuatan gelombang
tenaga yang sulit ditahan, sehingga
tubuh Sawung Seta terjungkal ke
belakang dan terbanting-banting.
Pandu Puber tak memberi
kesempatan Sawung Seta untuk bangkit
kembali. Ia segera melompat untuk
melepaskan pukulan sinar putih
peraknya itu. Tetapi ketika melayang
ke udara, tiba-tiba seberkas sinar
hijau menghantamnya dari samping dan
tepat kenai lambungnya.
Deees...!
"Auuhg...!" Pandu mengerang,
jatuh seketika dengan urat-urat
mengejang. Ia berusaha untuk bangkit,
namun hanya bisa sampai duduk saja.
Napasnya seakan sulit ditarik atau
dihembuskan. Jantungnya bagaikan
berhenti dalam beberapa detik. Tapi
pandangan matanya masih sempat melihat
sesosok bayangan berkelebat menuju ke
arah pertengahan jarak antara Pandu
dan Sawung Seta. Bayangan itu kini
menjadi jelas. Ternyata seorang
perempuan berusia sekitar tiga puluh
tahun, mungkin lebih dua tahun tiga
bulan. Perempuan berwajah oval itu
mempunyai hidung mancung dan mata
membelalak jalang. Senyumnya berkesan
nakal. Pandu dipandanginya beberapa
saat. Lalu terdengar suara si
perempuan berkulit putih mulus dan
berambut putih perak berkata kepada
Pandu Puber,
"Jangan coba-coba menyakiti
pangeranku itu kalau kau tak ingin
mati diserang belatung dari jurus
mautku tadi!"
"Sssi... siapa kau?!" suara
Pandu lemah sekali. Ia merasakan
bagian dalam tubuhnya ada yang
bergerak-gerak mengerumun, tepatnya di
bagian yang terkena sinar kuning tadi.
Mulai terbayang adanya sekumpulan
belatung yang menggerogoti bagian
dalam tubuhnya. Pandu menjadi cemas
dan tak hiraukan lagi perempuan
berjubah ungu dengan pakaian pijung
dari sutera warna merah muda.
"Hei, ternyata kau lebih oke
dari si Sawung Seta itu, ya?" ujar
perempuan berambut perak itu. Pandu
Puber benar-benar tidak
menghiraukannya. Ia sibuk menyalurkan
hawa murninya untuk menahan agar
belatung yang dirasakan telah mulai
berkembang biak di lambungnya itu
menjadi punah oleh hawa murninya. Ia
sedikit memejamkan mata. Napas dan
uratnya dikuatkan dalam erangan
mendesah dari mulut.
Pada saat itu, mata Pandu sempat
melihat Sawung Seta berkelebat
menyambar tubuh Rani Adinda.
Wuuuussss...!
Lalu pemuda berpakaian putih itu
lari sambil memanggul gadis itu.
"Sawuuung...!" teriak perempuan
berambut perak.
Pandu Puber kerahkan tenaganya
dan bangkit untuk mengejar. Tapi
pukulan tenaga dalam jarak jauh tanpa
sinar terlepas dari telapak tangan
perempuan itu.
Wuuut...!
Ouuuhg
Tepat kenai punggung Pandu
Puber. Sang pendekar pun jatuh
tersungkur dengan lebih parah lagi. Ia
mengerang dalam suara tertahan. Samar-
samar didengarnya suara perempuan itu
berkata sambil mendekatinya,
"Biarkan Sawung pergi dengan
urusannya sendiri! Aku akan mendapat
ganti yang lebih oke darinya! Maukah
kau kutolong dari lukamu yang akan
Emoticon