SATU
RADEN MAS BEI KARTOMARMO duduk
di kursi
goyang berukir itu dengan mata
terpejam-pejam. Se-
bentar-sebentar dia menghisap
pipanya, dan meng-
hembuskan asap tembakau yang
mengeluarkan suara
mendesis.
Tubuhnya bergoyang-goyang dan
kepalanya te-
rangguk-angguk mengikuti alunan
kursi yang ber-
goyang. Tampaknya orang tua yang
usianya sudah
menjelang 50 tahun ini sedang
menikmati acara san-
tainya diruang pendopo gedungnya
yang besar dan
luas.
Nama julukan Raden Mas Bei
Kartomarmo adalah
nama terhormat yang diberikan
penduduk desa Blam-
bangan. Bukan saja dia sebagai
seorang Carik Desa,
akan tetapi juga seorang
hartawan kaya raya yang
mendiami wilayah itu. Pantaslah
kalau Raden Mas Bei
Kartomarmo bisa menggaji belasan
orang pegawai dan
dapat duduk berleha-leha
sedemikian rupa. Karena ti-
daklah dia begitu memusingkan
urusan hidup. Hari
itu.....
Seorang pegawainya menghampiri
Raden Mas Bei
Kartomarmo dengan langkah
tergesa-gesa.
"Raden Mas Bei... maaf
hamba mengganggu..."
berkata pegawai laki-laki ini
dengan tubuh membung-
kuk-bungkuk di hadapan Raden Mas
Bei Kartomarmo.
Laki-laki tua yang berjenggot
cuma sejumput tanpa
kumis ini membuka matanya. Dia
memang telah men-
dengar suara langkah mendekat.
Bahkan telah tahu
siapa yang datang, dengan
mengintip dari celah kelo-
pak matanya yang setengah
terpejam.
"Ada apa Gembeng, kau
menghadapku?" ta-
nyanya. Pegawai laki-laki
bernama Gembeng itu mem-
bungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
"Maaf, Raden
Mas Bei, hamba mengganggu
istirahat Raden...!" ucap
Gembeng sekali lagi.
Bicaranya amat sopan dan amat
hormat serta ha-
ti-hati.
"Hm, tak apa. Katakan
maksudmu, Gembeng! Apa
kau perlu uang? Kulihat sudah
dua bulan kau tak pu-
lang menemui anak istrimu!"
berkata sang majikan.
"Ah, memang hamba amat
memerlukannya, Ra-
den. Hamba memang sudah sangat
rindu untuk me-
nemui anak-anak" menyahut
Gembeng yang tak me-
nyangka akan mendapat tawaran
sebaik itu. Padahal
maksudnya bukan untuk itu. Tapi
cepat-cepat dia me-
nyambung kata-katanya.
"Selain itu, kedatangan ham-
ba kemari juga bermaksud mengantarkan surat ini,
dari... dari Kanjeng
Adipati!" Gembeng keluarkan
sepucuk surat dari
saku bajunya. Lalu serahkan
benda itu pada Raden
Mas Bei Kartomarmo.
"Surat dari Kanjeng
Adipati?" tersentak Raden Mas
Bei Kartomarmo. Seketika dia melompat berdiri dari
kursi goyangnya. Lengannya
menerima kertas lipatan
ditangan Gembeng.
"Aneh!? tak biasanya dia
menitipkan surat pada
pegawai lain selain si gendut
Sento?" berkata dalam
hati Carik ini.
"Baik! aku terima! Hm, apakah
kau tak melihat
Sento? sudah beberapa hari aku
tak melihat dia?" ta-
nyanya.
"Sento sakit, Raden Mas
Bei...! Maksud hamba ju-
ga sekalian mau
menjenguknya" sahut Gembeng men-
jelaskan.
"Sudah sejak kapan kau
terima surat ini? dan sia-
pa yang memberikan padamu?"
tanya lagi
Raden Mas Bei Kartomarmo.
"Tentu saja dari... dari
Sento, Den Bei.
Mengenai lamanya surat ini hamba
tak mengeta-
hui" sahut Gembeng
menjelaskan.
Carik desa ini kerutkan
keningnya, namun dia
manggut-manggut mendengar
jawaban Gembeng.
"Bagaimana kau tahu kalau
surat ini dari kanjeng
Adipati?" tiba-tiba Raden
Mas Bei Kartomarmo ber-
tanya lagi.
"Sento yang mengatakan pada
hamba..." sahut
Gembeng dengan mengusap dahinya
yang berkeringat.
Dia tak menyangka kalau akan
mendapat banyak per-
tanyaan.
"Baiklah, Gembeng. Ini
untukmu, dan kau boleh
pulang!" ujar Raden Mas Bei
Kartomarmo, seraya beri-
kan beberapa keping uang yang
barusan di rogohnya
dari saku bajunya. Lega hati
Gembeng. Terbungkuk-
bungkuk dia menerima uang
pinjaman itu dengan
mengucapkan terimakasih.
"Berapa lama waktu yang kau
butuhkan untuk is-
tirahat?" tanya sang
majikan.
"Cukup hanya... dua hari
saja, Den Bei..." sahut
Gembeng.
Sebelum Gembeng melangkah keluar
gedung sete-
lah mohon diri, Raden Mas Bei
Kartomarmo berkata.
"Kuharap kau langsung saja
menjenguk Sento. Ka-
lau dia sudah sehat, segera
suruh menghadapku sece-
patnya!"
"Baik, Den...!" sahut
Gembeng. Dan setelah mem-
bungkuk sekali lagi dia balikkan
tubuhnya. Dan me-
langkah cepat keluar dari
pendopo gedung. Tukang
kebun merangkap penjaga gedung
majikannya itu cu-
ma diberi anggukan kepala, lalu
bergegas keluar dari
halaman rumah terindah ditengah
desa itu.
Sepeninggal Gembeng, Kartomarmo
membuka su-
rat dari Adipati itu.
Beberapa saat setelah membaca
isi surat, tampak
wajah Kartomarmo berubah.
"Aku diharuskan datang ke
Puri Kuno malam nan-
ti...?" mendesis suara Den
Mas Bei Kartomarmo, Se-
saat dia tercenung. Lalu melipat
kertas, kemudian be-
ranjak masuk ke ruangan dalam.
***
Sementara Gembeng melangkah
cepat ke arah ti-
mur desa. Di belokan yang rapat
dengan semak belu-
kar dan jauh dari rumah
penduduk, dia berhenti. Se-
sosok tubuh keluar dari balik
semak belukar.
Gembeng melihat ke kiri dan
kanan seperti khawa-
tir ada yang mengetahui. Lalu
menyelinap masuk ke
semak, dan berbisik-bisik pada
laki-laki yang barusan
menampakkan tubuhnya. Entah apa
yang dibicarakan.
Yang terdengar cuma suara
laki-laki berpakaian sing-
sat warna hitam itu berkata.
"Bagus! mari kita beri
laporan pada Raden Puja
Sangara!" Gembeng
mengangguk.
Tak lama kedua orang itu dengan
berindap-indap
menelusuri semak belukar, dan
lenyap di balik hutan.
Sebuah tempat rahasia di dalam
hutan yang tam-
paknya sukar diketemukan orang
karena pondokan
beratap alang-alang itu tertutup
rapat oleh pepohonan
dan terletak disisi sungai
terapit oleh sebuah bukit.
Ternyata di dalam pondok itu
terdapat beberapa orang
berpakaian serba hitam. Tampak
seorang laki-laki mu-
da berusia sekitar 20 tahun
berpakaian serba putih.
Berambut gondrong, dengan ikat
kepala warna hitam.
Dialah orang yang bernama Raden
Puja Sengara.
Siapakah adanya laki-laki ini?
Mari kita ikuti
pembicaraan mereka.
"Apakah rencana Ketua akan
berhasil menyuruh
Kartomarmo mendatangi Puri kuno
malam nanti?" ber-
tanya salah seorang berpakaian
hitam
Laki-laki jembros ini bernama
Gudri. Dia orang
kepercayaan yang sekaligus
menjadi tangan kanan Ra-
den Puja Sengara.
"Hm, kita lihat saja nanti. Sekarang kita tunggu
hasil kerja Gembeng yang
mengantarkan surat palsu
dari Adipati Renggo Seto!"
Sahut Puja Sengara.
"Baiknya kau bawa kehadapan
ku, si gendut Sento
kemari!" sambung pemuda
ini. "Baik, Raden!" sahut
Gudri, yang segera bangkit
berdiri. Gudri melangkah
lebar ke belakang pondokan.
Memasuki satu ruang
yang lebar didapati seorang
laki-laki gendut terikat di-
tiang kayu.
"Ayo, ikut aku menghadap
Ketua ku!" berkata Gu-
dri seraya melepaskan ikatan di
tangan Sento.
Nampak wajah Sento pucat pias.
"Mau... mau di-
apakan aku...?
"Jangan banyak tanya babi
gendut! ayo, jalan!"
bentak Gudri menghardik. Sento
tak dapat berbuat
apa-apa selain segera melangkah,
karena Gudri telah
menggusurnya dengan kasar.
"Oh, nasibku..."
mengguman Sento. Terbayang se-
saat dimata laki-laki gendut ini ketika dua hari
yang
lalu tengah malam beberapa orang
bertopeng menya-
troni rumahnya, sesaat setelah
dia menerima surat da-
ri Adipati Renggo Seto untuk
diserahkan pada Carik
Raden Mas Kartomarmo.
***
DUA
Sento memang orang kepercayaan
Raden Mas Kar-
tomarmo. Tak heran kalau
rumahnya besar, dan tam-
paknya dia hidup berkecukupan
dengan anak istrinya.
Bahkan dialah orang yang menjadi
perantara Adipati
Renggo Seto bila akan
menghubungi Carik itu. Adipati
Renggo Seto setiap datang selalu
pada malam hari,
dengan menyamar. Tentu saja agar
tindakan raha-
sianya tak diketahui orang. Akan
tetapi sepeninggal
Adipati itu, rumahnya di datangi
beberapa orang ber-
ropeng yang meringkusnya. dia
tak mampu berteriak
karena golok tajam telah
menempel dileher. Gerakan
mereka tak menimbulkan suara,
pertanda orang-orang
bertopeng itu mempunyai ilmu
yang tinggi. Entah den-
gan cara bagaimana mereka bisa
masuk ke dalam ru-
mahnya, istrinya yang terbangun
dibekap mulutnya la-
lu disumpal dengan kain. Hingga
dapat memandangi
suaminya yang digondol pergi
oleh penculik-penculik
itu, setelah memaksa menunjukkan
surat dari Adipati.
"Berani kau berteriak,
kubunuh kau! Awas! jangan
kau ceritakan pada siapa-siapa
tentang suamimu. Ka-
takan saja dia pergi ke desa
lain! Jangan khawatir, la-
kimu akan terjamin
keselamatannya bila kau tak buka
mulut!" mengancam laki-laki
bertopeng itu setelah me-
lepaskan sumbatan dimulut istri
Sento. Perempuan itu
cuma mengangguk-angguk.
Dan beberapa saat setelah
beberapa orang berto-
peng itu lenyap dikegelapan
malam, wanita itu cuma
bisa menangis terisak-isak. Tak
tahu dia kesalahan
apakah yang membuat suaminya
diculik komplotan
orang bertopeng itu. Sento tahu
jelas kalau laki-laki
brewok bernama Gudri inilah yang
telah mengancam
istrinya itu. Bahkan selama
dalam perjalanan tak hen-
tinya Gudri menyiksanya,
menendang dan memukul.
"Enak kau ya? Sering dapat
hadiah dari Adipati
dan Carik.
Sama saja kau telah membantu
komplotan terse-
lubung yang merusak wibawa
Kerajaan! Dan bahkan
merusak serta merongrong
pemerintahan.
Kelak bila kami telah berhasil
menggulung dan
membuka selubung mereka, kau
bisa terlibat. Dan tali
gantungan siap menggantung
lehermu!" bentak si be-
rewok Gudri.
"Hah!? aku tak tahu menahu
hal itu!" aku hanya
mengantar surat dari Adipati
tanpa membaca isinya!"
sahut Sento meringis-ringis
menahan sakit pada pan-
tatnya yang kena tendang.
"Dusta!" Plak! Lengan
Gudri telah melayang me-
nampar pipi laki-laki gendut itu
hingga membekas me-
rah. Sento mengaduh kesakitan.
Tapi dia tak dapat
berbuat apa-apa selain pasrah
pada nasib. "Duduklah,
Sento!" berkata pemuda
dihadapannya yang mengena-
kan topeng hitam membungkus
wajahnya. Pemuda itu
tak lain dari Puja Sangara. Mata
Sento sekilas menatap
pada laki-laki itu, lalu
menunduk dengan hati kebat-
kebit.
"Apakah kau tetap
membungkam mulut, tak mau
membeberkan rahasia hubungan
Adipati Renggo Seto
dengan Carik Kartomarmo?"
berkata Puja Sangara
dengan suara datar.
"Am... ampun gusti raden...
hamba... hamba be-
nar-benar tak tahu menahu dengan
urusan beliau..."
menyahut Sento dengan tergagap.
Wajahnya sejak tadi
sudah pucat pasi karena takutnya.
"Kau berani
bersumpah?" tanya sang Ketua kom-
plotan itu.
"Sungguh mati, gusti
raden...! Hamba tak tahu
apa-apa..."
Puja Sangara terdiam sejurus.
Matanya menatap
pada Sento yang gemetaran dengan
keluarkan keringat
dingin disekujur tubuh.
"Baik! Baiklah...! kau
kubebaskan!" berkata Puja
Sangara. Seperti mimpi disiang
hari rasanya Sento
mendengar kata-kata itu seolah
dia tak percaya.
"Oh, hamba... hamba
dibebaskan, gusti raden?
Oh, te... terima kasih.....!
terima kasih, gusti raden!"
berkata Sento terbata-bata
dengan kegirangan yang
luar biasa. Tak ayal dia sudah
jatuhkan tubuhnya me-
nyembah laki-laki dihadapannya
itu, dengan ucapkan
terimakasih berkali-kali.
Sementara beberapa orang
anak buah Puja Sangara termasuk
Gudri saling pan-
dang sesama kawannya, tanpa
berkata apa-apa.
"Gudri! kau antarkan dia
kebatas desa!" ujar Puja
Sangara dengan berpaling pada
Gudri. Lengan laki-laki
ini bergerak memberi kode dengan Ibu jarinya serta
kedipan mata pada Gudri. Tahulah
Gudri apa yang ha-
rus dia lakukan.
"Baik, Ketua...! perintah
akan hamba lakukan!"
menyahut Gudri. Lalu berdiri
seraya menepuk-nepuk
pundak Sento. "Marilah
Sento! Nasibmu baik! Kau bisa
berjumpa lagi dengan anak
istrimu!" berkata Gudri
yang membimbing Sento bangun dari
duduknya.
"Tentu saja dengan
syarat!" berkata Puja Sangara.
"kau tak akan membuka mulut
dan menceritakan apa-
apa tentang semua ini.
Jaminannya adalah nyawamu!"
"Tentu...! tentu, gusti
raden. Hamba berjanji..."
sahut Sento dengan wajah
berseri. Lalu dengan ter-
bungkuk-bungkuk dia menjura pada
Puja Sangara.
Gudri segera mendorongnya untuk
segera keluar dari
pondokan rahasia itu.
Langkah Sento semakin cepat
ketika mereka telah
keluar dari dalam hutan dengan
melalui jalan yang
berliku-liku. Hingga tersembul
di perbatasan desa. Ka-
ki Sento berhenti melangkah.
Lalu menoleh pada Gudri
dibelakangnya. "Cukuplah
sampai disini saja kau
mengantarku, sobat Gudri. Dan
terimakasih atas ke-
baikanmu mengantar ku..."
berkata Sento.
"Ya, ya..... terimakasih
kembali! Semoga kau dapat
menjaga mulut, demi keselamatan
nyawamu!" ujar
Gudri tersenyum. Sento
manggut-manggut seraya ber-
kata. "Akan kuingat selalu
pesan itu, sobat Gudri...!"
Setelah mengangguk sekali lagi,
Sento balikkan
tubuhnya untuk segera bergegas
melangkah menuju
ke arah desa.
Tempat itu telah dikenalnya,
hingga untuk menuju
ke desa Wlingi tak jauh lagi. Gudripun balikkan tu-
buhnya untuk kembali memasuki
hutan. Akan tetapi
setelah tiba dibelokan jalan
setapak, Gudri menyeli-
nap.
Sento terus mempercepat
langkahnya. Dia mulai
merasakan hatinya tak enak
seperti bakal terjadi sesu-
atu dengan dirinya.
Sebentar-sebentar dia menoleh ke
belakang. Gudri memang sudah tak
tampak lagi. Su-
dah kembali ke dalam hutan.
Tepat diujung mulut de-
sa, tiba-tiba sesosok tubuh
berkelebat muncul dihada-
pannya. Tersirap darah Sento
ketika melihat Gudri
berdiri menyeringai dihadapannya
dengan menghunus
golok yang berkilatan.
"Hehehe... Sento! Jangan
terkejut. Karena seben-
tar lagi nyawamu akan melayang.
Segeralah berdo'a
sebelum kau berangkat ke
Akhirat!" Suara Gudri se-
perti terdengar Sento bagai
mendengar petir disiang
hari. Seketika pucatlah wajah
laki-laki gendut ini. Ka-
kinya melangkah mundur dua
tindak. "Gudri! apa
maksudmu semua ini!"
berkata Sento menggetar.
Akan tetapi kata-katanya ditutup
dengan sabetan
golok Gudri ke leher laki-laki
gendut itu. Gerakan tak
terduga itu dilakukan secepat
kilat. Sento yang bertu-
buh gendut itu dan tak punya
kepandaian apa-apa tak
dapat mengelakkan diri lagi.
Des!
Darah memuncrat seketika. Dan
tubuh Sento am-
bruk ke tanah berkelojotan
dengan mengeluarkan sua-
ra bagaikan kerbau disembelih.
Tak lama tubuh laki-
laki gendut itu terdiam tak
berkutik. Nyawanya telah
lepas keluar dari raganya. Gudri
tersenyum menyerin-
gai. Lalu membersihkan darah
yang melekat dimata
goloknya kerumput. Dan masukkan
lagi senjata pen-
cabut nyawa itu kedalam
serangkanya lagi. Kemudian
dengan cepat dia menyeret tubuh
gendut itu kesemak
belukar. Menimbunnya dengan
ranting-ranting kayu,
tak lama dia telah keluar lagi
dari semak.
"Beres!" berdesis
suara Gudri. Sesaat antaranya di
telah kembali berkelebat dan
menyelinap untuk kemu-
dian lenyap dikerimbunan
pepohonan.
***
TIGA
DUA ORANG UTUSAN Puja Sangara
telah tiba di-
pondokan rahasia itu. Tampak
Gembeng menceritakan
hasil usahanya memberikan surat
kepada Carik Raden
Mas Bei Kartomarmo.
"Bagus! Bersiap-siaplah!
Seperti rencana semula
segera kalian menuju ke Puri
Kuno. Hari sudah menje-
lang tengah hari. Senja nanti
kalian sudah siap ditem-
pat persembunyian masing-masing.
Sementara aku
akan mengawasi keadaan
diluar!" berkata Puja Sanga-
ra.
"Kita berangkat sekarang,
Ketua?" bertanya Gudri.
"Ya! kau pimpinlah
kawan-kawanmu. Tugas ini
kuserahkan padamu untuk
meringkus Carik itu. Akan
tetapi ingat! Jangan sampai dia
kehilangan nyawa. Dan
tunggu sampai aku datang!"
ujar laki-laki muda ini.
Serentak belasan orang-orang
berpakaian serba
hitam itu bergegas mengadakan
persiapan. Dan tak
lama telah berkelebatan
menyelinap untuk menuju ke
Puri Kuno dengan dipimpin oleh
Gudri.
Puja Sangara menatap mereka
dengan tersenyum.
Tampaknya dia puas dengan apa
yang telah direnca-
kannya. Pemuda ini melangkah
masuk ke dalam pon-
dok. Lalu bantingkan tubuhnya
dipembaringan bambu
hingga berbunyi suara berderak.
Dengan terlentang itu
dia keluarkan sebuah kertas dari
balik bajunya. Itulah
surat asli dari Adipati Renggo
Seto.
Surat itu bertulisan demikian.
"Carik Kartomarmo!
Hasil kerja orang-orangmu
berhasil baik. Penyerga-
pan yang ku lakukan terpaksa
menewaskan beberapa
orang anak buahmu. Terpaksa,
karena dalam penyer-
buan itu telah ikut serta anak
Tumenggung KANIRAGA.
Dia bernama PUJA SANGARA! Bocah
muda itu amat
berbahaya.
Tak ada jalan lain, selain
melenyapkan dia secepat
mungkin, sebelum rahasia bocor
ke telinga Raja!
Atur rencanamu, dan segera
hubungi aku melalui
SENTO!
Tertanda: Adipati Renggo Seto
"Hm, Adipati keparat! kau
takkan dapat membu-
nuhku! Bahkan akulah yang akan
menghancurkanmu!
Termasuk si Carik Kartomarmo.
Kelak suatu saat sete-
lah terbukanya rahasia
terselubung kalian!" berkata
mengguman Puja Sangara. Lalu
melipat kertas itu dan
masukkan lagi ke celah bajunya.
Pemuda inipun teng-
gelam dalam lamunannya.
Ternyata Puja Sangara adalah
anak Tumenggung
KANIRAGA yang baru saja turun
gunung setelah tiga
tahun berguru pada seorang tua
pertapa kosen dipun-
cak Gunung CULA BADAK. Sebulan
berada dirumah
ayahnya. Sang ayah menyuruhnya
menghadap Adipati
Renggo Seto. Sebenarnya Puja
Sangara tak berkeingi-
nan menjadi orang Kerajaan. Tapi
karena mematuhi
perintah sang ayah, terpaksa dia
menurut kehendak
orang tuanya itu.
Dia diangkat oleh Adipati Renggo
Seto menjadi
seorang perwira Kerajaan, dengan
pangkat Kepala Pra-
jurit, karena sangatlah tidak
enak Adipati Renggo Seto
pada Tumenggung Kaniraga kalau
mengangkat Puja
Sangara menjadi prajurit biasa.
ditambah setelah diuji
ternyata Puja Sangara cukup
memadai untuk menjadi
seorang kepala Prajurit.
Disamping masih muda, juga
berkepandaian tinggi.
Namun yang membuat Puja Sangara
penasaran,
adalah dia tak puas dengan sikap
Adipati itu yang tak
pernah memberi tugas dalam
setiap kesempatan dalam
menggulung kejahatan. Pendeknya
pangkat Kepala
Prajurit itu seperti tak berarti
apa-apa. Puja Sangara
seolah dirinya tak lebih dari
seorang prajurit biasa.
"Apa artinya pangkatku,
kalau terus menerus be-
gini?" pikirnya dalam hati
pada waktu itu. Hingga ke-
mudian Puja Sangara mengadu pada
ayahnya. Tu-
menggung Kaniraga segera menemui
Adipati Renggo
Seto untuk membicarakan perihal
anaknya. Puja San-
gara yang telah berniat keluar
dari keprajuritan ter-
paksa batalkan niat karena
dipanggil oleh Adipati
Renggo Seto. Demikianlah, hingga
dia ikut serta dalam
melakukan penyergapan kesarang
penjahat.
Dalam pertarungan itu dia
berhasil menewaskan
beberapa orang penjahat. Akan
tetapi aneh! Dia tak
mendapat tanggapan atau pujian
dari Adipati. Bahkan
para tamtama Kerajaan pada
pasukannya kelihatan
menjauhi dirinya.
Suatu ketika, dua hari setelah
usai pertarungan
dengan kemenangan pihak Kerajaan
dan berhasil
menggulung para perampok, dia
terpanggil untuk men-
jalankan tugas dari Adipati
Rekso Seto. Yaitu menyer-
bu komplotan penjahat yang
berada dihutan KALIKI.
Sebagai penunjuk jalan adalah
WIRASANCA. Bekas
seorang Kepala Prajurit yang
diangkat menjadi tangan
kanan Adipati Rekso Seto.
Ternyata perintah ini adalah
jebakan atas dirinya,
dan rencana busuk Adipati Renggo
Seto untuk mele-
nyapkan jiwanya. Tengah malam
ketika mereka beristi-
rahat ditepi hutan untuk
mengadakan serangan kesa-
rang penjahat, terjadi serangan
mendadak diluar du-
gaan.
Kemah mereka didatangi belasan
orang berpa-
kaian serba hitam. Semua
prajurit tertidur lelap, kecu-
ali dia yang masih duduk
diperapian.
Terjadilah pertarungan seru!
Puja Sangara harus
berhadapan dengan enam orang
berkepandaian tinggi
yang mengincar nyawanya. Bahkan
mendesaknya
hingga menjauhi perkemahan. Puja
Sangara merasa-
kan keanehan, karena tak
seorangpun lasykarnya yang
terbangun untuk memberi
pertolongan membantunya.
Serangan-serangan gencar harus
dihadapinya seorang
diri.
Untunglah dalam pertarungan yang
tak seimbang
itu, Puja Sangara dibantu oleh
seseorang yang tak di-
kenal. Orang itu muncul dan
membantunya bertarung.
Seorang dari para pengeroyok itu
melarikan diri sete-
lah yang lainnya tewas.
Namun dia tak dapat berlari
jauh, karena si peno-
long telah menotok tubuhnya.
Sang penolong yang
aneh dan misterius itu berkelebat lenyap tanpa tahu
diketahui siapa adanya.
"Aneh!? siapakah gerangan
orang yang memban-
tuku itu?" pikir Puja
Sangara. Puja Sangara ternyata
berotak cerdas. Dia tak membunuh
lawannya. Karena
kalau mau, mengapa si penolong
tak membunuhnya
sekaligus? Ketika Puja Sangara
membuka topeng wa-
jahnya, ternyata dia tak lain
dari WIRASANCA.
"Kau?" tersentak Puja
Sangara. "Apa artinya se-
mua ini? katakanlah!"
membentak Puja Sangara den-
gan amat gusar.
"Jangan bunuh, ampunkan
nyawaku, Puja Sanga-
ra...!" memohon Wirasanca
dengan wajah pucat.
"Baik! aku ampuni jiwamu!
katakan siapa dalang
dari semua ini...!"
membentak Puja Sangara dengan
tempelkan golok tipisnya ke
leher Wirasanca.
"Aku... aku diperintah
Kanjeng Adipati..." berkata
gemetar Wirasanca yang bernyali
tikus dan takut mati
itu. Dia memang tak turut
bertarung. Melihat bermun-
culan orang misterius yang membantu Puja Sangara
dan berhasil membunuh kelima
konconya, dia segera
melarikan diri. Namun malang
nasibnya karena seso-
sok tubuh bagaikan bayangan
telah mengejar, dan
menotoknya hingga dia tak
berdaya.
Tentu saja keterangan Wirasanca
membuat Puja
Sangara terkejut. Dari
keterangan Wirasanca segera
diketahui kalau perintah Adipati
Ronggo Seto hanyalah
sebagai jebakan saja untuk
menghabiskan nyawanya.
Kelima orang itu tak lain dari
Lima Iblis Kali Gondang.
Diam-diam terkejut hati Puja
Sangara, karena dia telah
mendengar nama kelima tokoh
golongan hitam itu. Je-
laslah sudah mereka adalah
pembunuh-pembunuh
bayaran yang diperalat Adipati
Renggo Seto untuk
membunuhnya.
Setelah cukup memberi
keterangan, Wirasanca
mohon dibebaskan dari totokan
dan berjanji akan ber-
pihak pada Puja Sangara.
Namun watak berangasan Puja
Sangara tak men-
gijinkan manusia itu tinggal
hidup. Seketika golok ti-
pisnya berkelebat. Tanpa ampun
lagi Wirasanca meng-
gelosor menemui kematian!
Dengan kemarahan meluap dia
berkelebat kembali
ke perkemahan. Didapati belasan prajurit itu
telah
berkumpul dalam keadaan
bersimpuh dimuka kemah.
Ketika dia muncul, serentak para
prajurit itu bersujud
dihadapannya memohon ampun agar
tak dibunuh.
Kalau menurutkan hatinya yang
sedang gusar, tak
nantinya dia memberi ampun pada
belasan prajuritnya
itu. Tapi penjelasan seorang
prajurit bernama GUDRI
telah mengendurkan kemarahannya.
Mereka memang
tak bersalah. Karena mereka cuma
prajurit biasa yang
menjalankan perintah walau tahu tentang rencana
Adipati dan Wirasanca.
Sejak itulah, Puja Sangara
memutuskan untuk ke-
luar dari keprajuritan. Dan
belasan prajurit Kadipaten
itu menjadi anak-anak buahnya
dan kawan-kawan se-
perjuangan. Pengikut Puja
Sangara bertambah dengan
masuknya Gembeng si pegawai
Carik KARTOMARMO.
Yang masih menjadi pemikiran
Puja Sangara itu
adalah si penolongnya. Karena
sampai saat ini dia tak
mengetahui siapa adanya dia.
Namun dia berkesimpu-
lan sang penolong itu adalah
seorang wanita.
Lama dia termangu diatas
balai-balai bambu itu.
Hingga ketika matahari menyorot
wajahnya, dia baru
tersadar kalau senja kian
menjelang. Puja Sangara ce-
pat bangkit berdiri. Lalu
beranjak menuju bilik kamar.
Setelah menyambar golok tipisnya
yang tergantung di
tiang bambu, dia melesat keluar
pondok.
Tak lama telah berkelebat lenyap
meninggalkan
tempat itu...
***
EMPAT
BUKAN KEPALANG terkejutnya
Tumenggung Ka-
niraga ketika malam itu telah
diserang oleh sesosok
tubuh berpakaian serba hitam.
Dia baru saja kembali
dari Kadipaten, menyangkut
urusan tugas. Sekalian
menanyakan perkembangan kemajuan
anaknya. Da-
lam pembicaraan mereka yang
berlanjut sampai agak
larut malam itu, Adipati Renggo
Seto telah menjamu
Tumenggung Kaniraga dengan makan
dan minum.
WHUUT!
Kalau saja dia tak cepat
mengelakkan diri dengan
gesit, tentu kepalanya akan
menggelinding tersabat
putus golok si penyerang gelap
itu. "Edan! Siapa kau?!"
membentak Tumenggung ini.
Kudanya meringkik ke-
takutan mengangkat kedua kaki
depannya.
Akan tetapi tanpa memberi
jawaban, si manusia
berbaju serba hitam itu kembali
menerjang. Kilatan go-
lok berkelebat. Akan tetapi yang
diserang ternyata ku-
da tunggangan Tumenggung
Kaniraga. Tak ampun lagi
binatang itu roboh terjungkal
dengan suara bergede-
bugan. Ringkiknya terputus
karena tubuhnya berkelo-
jotan sekarat. Golok itu menebas
lehernya hampir sa-
rat. Namun sang Tumenggung
sendiri telah melompat
cekatan dan berhasil selamatkan
diri dengan melompat
dari punggung kuda.
Sreek! Tumenggung telah cabut
keris pusakanya
dari balik punggung. Sementara
si sosok tubuh miste-
rius bagai kilat telah
menerjangnya lagi.
Trang! Trang...! Tringng!
Percikan lelatu api diremang
cahaya bulan men-
gukir udara, ketika dengan gesit
Tumenggung Kanira-
ga menangkis beberapa kali
menahan serangan lawan
yang mengingini jiwanya.
"Keparat! Sebutkan siapa
dirimu!" membentak
Tumenggung Kaniraga. Tiba-tiba
dia merobah gerakan
silatnya, dari menangkis kini
menyerang. Ternyata
sang Tumenggung tua ini memiliki
ilmu kedigjayaan
yang cukup lumayan.
Tampaknya si manusia bertopeng
hitam itu agak
terkejut melihat perubahan
gerakan silat yang menin-
dih sambaran-sambaran goloknya.
Bahkan setiap kali
sang Tumenggung tak mau
mengalami benturan senja-
ta. Rangsakan Tumenggung
Kaniraga semakin hebat.
Karena dia telah gunakan
jurus-jurus serangan anda-
lannya. Sebagai seorang
Tumenggung yang telah ba-
nyak pengalaman, Tumenggung
Kaniraga telah banyak
berhadapan dengan lawan-lawan
tangguh dari bangsa
perampok. Baginya menghadapi
pertarungan adalah
sudah hampir sebagian dari
hidupnya.
Rasa penasaran laki-laki tua ini
adalah dia ingin
tahu siapa wajah dibalik topeng
itu. Dan mengapa ta-
hu-tahu menyerang untuk
membunuhnya. "Buka to-
pengmu bangsat tengik!"
bentak Kaniraga seraya men-
girim sodokan kaki ke arah ulu
hati lawan. Sementara
tinjunya membarengi menghantam
tengkuk orang
dengan sedikit menekuk tubuh.
Buk! si penyerang gelap mengaduh
disusul ter-
lemparnya tubuh manusia itu
beberapa tombak. Kani-
raga cepat memburu. Keris
ditangan siap untuk di-
tempelkan ketengkuk lawan, dan
sebelah lengannya
siap menyambar topeng untuk
merenggutnya. Akan te-
tapi diluar dugaan...
Sssrrrrr!
Puluhan jarum berbisa meluruk
bagai hujan dari
balik pohon besar. Saat itu
Kaniraga sedang dalam
keadaan menyergap lawan. Agaknya
serangan maut
dari orang kedua dibalik potion
itu takkan dapat tere-
lakkan. Namun pada saat itu
terdengar teriakan mem-
peringati. "Awas,
ayah...!"
Itulah suara yang dikenalnya.
Suara Puja Sangara.
Dengan gerak reflek sang
Tumenggung menghindarkan
diri. Dia memang dapat merasai
adanya serangan bo-
kongan dengan mendengar suara
berdesis puluhan ba-
tang jarum senjata rahasia
mengancam tubuhnya. Tu-
buh Tumenggung Kaniraga
berguling ketanah, disertai
gerakan memutar keris yang
menimbulkan angin tena-
ga dalam menerpa puluhan jarum
yang meluruk itu
hingga buyar! akan tetapi
akibatnya si penyerang ber-
topeng itulah yang jadi sasaran.
Tak dapat dicegah lagi, manusia
itu menjerit pa-
rau. Tubuhnya berkelojotan
ketika belasan jarum me-
nembus ke kulit tubuhnya.
Tak lama tubuh itu sudah diam
tak berkutik. Ma-
ti! Keringat dingin Kaniraga
mengembun ditengkuk.
Nyaris dia mengalami nasib naas
kalau tak diperingati
Puja Sangara. Pemuda ini menatap
pada sang ayah
dan korban kematian itu. Sesaat
keduanya saling pan-
dang. Namun Kaniraga cepat
menangkap gerakan me-
larikan diri sesosok tubuh dari
balik pohon. itulah so-
sok tubuh si penyerang tadi.
Tumenggung Kaniraga cuma bisa
melihat berkele-
batnya sesosok tubuh mengejar si
penyerang gelap itu.
Sesaat dia tersadar dari
terperangahnya. Sekali
bergerak tubuh Tumenggung
melompat ke arah si ma-
nusia bertopeng. Dan... Brreeet!
Dia telah menyambar
kain penutup wajah si penyerang
yang mengingini ji-
wanya ini.
Sang Tumenggung cuma bisa
melihat wajah seo-
rang laki-laki tak dikenal yang
berkumis lebat berdagu
panjang.
"Siapakah orang ini"
desisnya dengan kerutkan
kening.
Hm, apakah dia pembunuh yang
dibayar untuk
melenyapkanku? Apa salahku? Aku
jadi agak curiga
dengan Adipati Renggo Seto.
Jangan-jangan ada udang
dibalik batu dengan semua
ini...!"
Orang tua ini bangkit berdiri.
Ketika dia baru mau
masukkan keris keserangka
dibalik punggung, terden-
gar suara berkrosak. Cepat dia
berbalik. Darahnya su-
dah tersirap akan adanya bahaya
lagi. Tapi segera dia
menarik napas lega karena yang
muncul adalah Puja
Sangara.
"Dia kabur cepat sekali!
Syukurlah ayah, kau tak
apa-apa...!" berkata Puja
Sangara dengan memandang
girang pada sang ayah.
"Kau tak mengenali orang
ini?" tanya Tumenggung
Kaniraga. Akan tetapi belum
sempat
Puja Sangara menoleh,
tiba-tiba...
BHUSSSSS.....!
Asap putih membumbung tepat di
hadapan mere-
ka. Dan sesosok tubuh muncul
dibalik asap perden-
garkan suara tertawa berkakakan.
"Hahahaha... hahaha...
kalian dua manusia ayah
dan anak akan segera mampus!
Karena adanya kau
akan menjadi duri di dalam
daging yang membahaya-
kan kami." Sesosok tubuh
laki-laki yang juga menge-
nakan topeng pembungkus kepala sekalipun tubuh-
nya, berwarna hitam, membuat
keduanya melangkah
mundur dua tindak. "Siapa
kau?!" membentak Puja
Sangara hampir berbareng dengan
sang Tumenggung.
"Hahaha... panggillah aku
si Ninja Edan Lengan
Tunggal!"
Seraya berkata lengan manusia
aneh ini bergerak.
Dan sekejap ditangannya telah
tercekal sebuah pedang
Samurai.
Barulah keduanya sadar kalau
sosok tubuh orang
ini cuma punya sebuah lengan.
Seketika Tumenggung
Kaniraga telah mencabut lagi
kerisnya. Sementara Puja
Sangara yang masih mencekal golok tipisnya, segera
slap bertarung untuk melabrak
manusia ini. Jelas ka-
lau orang ini adalah orang
bayaran Adipati Renggo Se-
to! pikir Puja Sangara.
Namun dia tak dapat berpikir lama
karena si ma-
nusia aneh yang menamakan
dirinya Ninja Edan Len-
gan Tunggal itu telah
menerjang...
Trang! Trang! Trang!
Berguling-guling tubuh Puja
Sangara dan Tumenggung Kaniraga
menghindari se-
rangan beruntun yang dahsyat
itu. Pedang Samurai si
manusia pencabut nyawa itu
berkelebatan menabas
dan menusuk dengan serangan
bertubi-tubi. "Haha-
ha... kalian takkan dapat
menyelamatkan diri!" sesum-
bar si Ninja Edan Lengan Tunggal
dengan suara se-
ram. Gerakan orang ini memang
amat luar biasa ce-
patnya. Nyaris dada Puja Sangara
dan pinggang Tu-
menggung Kaniraga terkoyak
kalau dia tak cepat
menghindarkan diri.
Kali ini yang dicecar adalah
Puja Sangara.
"Hahaha..... Ingin kulihat
apakah ilmu silatmu su-
dah boleh diandalkan untuk kau
memimpin pembe-
rontakan?" berkata Ninja
Edan Lengan Tunggal dengan
mendengus. Pedang Samurainya
membabat tiga kali ke
arah leher, dada dan kaki.
Dengan mengkonsentrasi-
kan panca indranya Puja Sangara
berhasil menghin-
dar. Dua kali lakukan salto
dengan lompatan ke bela-
kang, dan jejakkan kaki ke tanah
dengan baik. Terke-
jut Puja Sangara mendengar
kata-kata itu. Dadanya
bergolak karena gusar.
"Pemberontakan?" Apa
maksudmu, keparat? Ka-
lianlah yang akan melakukan
pemberontakan. Aku ta-
hu, kau pasti orangnya Adipati
Renggo Seto!"
Kalianlah manusia
yang merongrong kewibawaan
pemerintah! Aku punya bukti
kalau Adipati Renggo Se-
to bekerja sama dengan kaum
penjahat!" teriak Puja
Sangara. Kali ini dia yang
melompat menerjang. Golok
tipisnya berkelebatan mencercah
tubuh lawan dengan
jurus-jurus yang amat berbahaya.
Namun gerakan si
Ninja Edan Lengan Tunggal memang
amat menakjub-
kan. Setiap serangan dengan mudah dipatahkan.
Bahkan lengan bajunya dapat
digunakan menangkis
atau menyambar lawan tak lebih
bagaikan sebuah
lempengan baja yang bisa membuat
nyawa melayang
bila mengenai sasaran.
"Hahaha... untuk itulah,
maka kau harus mam-
pus, termasuk ayahmu yang bisa
jadi penyakit!" berka-
ta Ninja Edan Lengan Tunggal.
Serangan gencar Puja
Sangara punah total. Bahkan kini
pemuda itu sendiri
yang harus mati-matian
mempertahankan nyawanya.
Sementara Tumenggung Kaniraga
yang mendengar
kata-kata itu semakin kuat
kecurigaannya pada Adipa-
ti Renggo Seto. Melihat anaknya
terdesak dia tak ber-
laku ayal untuk segera melompat
memberi bantuan.
Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara melengking
renyah seperti suara seorang
wanita.
"Hihihi... serahkan padaku
yang muda ini, sobat
Ninja Edan!" Dan sesosok
tubuh berkelebat dari ca-
bang pohon kayu. Laki-laki
pakaian serba hitam ber-
topeng itu tertawa melihat orang
yang muncul.
"Hahaha... matamu masih
saja hijau kalau melihat
orang ganteng! Apakah kau mau menangkapnya hi-
dup-hidup? Baik! kuserahkan dia
untukmu, Ninja Wa-
don!" ujarnya.
Pendatang ini memang seorang
wanita. Jelas terli-
hat dari bentuk potongan
tubuhnya. Tentu saja Puja
Sangara melengak melihat orang
ini karena jelas sekali
dari bentuk potongan yang telah
menolongnya.
Namun dia tak dapat bertanya
lagi karena Ninja
Wadon telah menyerangnya dengan
pukulan-pukulan
ganas. Desir angin pukulannya
saja telah membuat
Puja Sangara mengetahui kalau
perempuan ini berte-
naga dalam tinggi. Sementara
Tumenggung Kaniraga
telah bertarung dengan si Ninja
Edan Lengan Tunggal.
Keduanya terlibat dalam
pertarungan yang seru. Kare-
na Tumenggung ini telah
keluarkan seluruh kepan-
daiannya.
***
LIMA
NINJA WADON menyerang gencar
membuat Puja
Sangara terpaksa harus
mengelakkan diri kesana ke-
mari. Dia agak ragu untuk
mempergunakan goloknya
karena semakin yakin kalau
wanita ini adalah orang
yang pernah menolongnya. Yang
menjadikan dia terhe-
ran adalah mengapa wanita ini
berkomplot dengan si
Ninja Edan Lengan Tunggal. Dan
mengapa kini berba-
lik memusuhi? pikir pemuda ini
dalam benaknya yang
kusut.
Ternyata Puja Sangara tak diberi
kesempatan un-
tuk buka suara. Karena setiap
kali dia mau buka mu-
lut, tentu si Ninja Wadon segera
merangsaknya dengan
pukulan-pukulan ganas. Sebagai
murid seorang kosen
Puja Sangara boleh dikatakan
berilmu tinggi. Namun
menghadapi si Ninja Wadon ini
dia cuma bisa menge-
lakkan diri tanpa balas
menyerang.
Dalam waktu beberapa kejap saja
jarak kedua per-
tarungan itu telah semakin jauh,
karena Ninja Wadon
seperti mendesaknya agar menjauhi sang Tumeng-
gung.
Mengelak terus yang dilakukan
Puja Sangara
membuat tenaganya semakin
mengendur. Bila di laku-
kan terus akan berbahaya bagi
dirinya. Demikianlah,
akhirnya Puja Sangara terpaksa
lakukan serangan
membalas. Golok tipisnya mulai
digunakan untuk me-
nangkis. Dan tiba-tiba dengan
membentak keras tu-
buh Puja Sangara melompat lima
tombak. Lengannya
menghantam ke arah si Ninja
Wadon dalam gerakan
menukik.
Whuuuk! Krrraak...!
Batang pohon sebesar betis remuk
terhantam.
Saat berikutnya dia menerjang
dengan lompatan Naga
Sakti menerjang Bukit. Gerakan
ini dibarengi dengan
serangan beruntun dari golok
tipisnya yang dinamakan
jurus Ombak Laut Menyapu Karang.
Jurus istimewa
ini memang luar biasa. Terdengar
teriakan tertahan si
Ninja Wadon. Akan tetapi dengan
meletik ke atas bagai
ikan dia berhasil menghindari
serangan. Tak diduga
serangan berikutnya adalah
serangan yang berbahaya.
Karena dia harus menghadapi
serbuan serangan maut.
Whut! Whut! Whut! Gerakan kilat
golok tipis Puja
Sangara nyaris menabas putus
pinggang, perut leher
dan kaki. Dan terakhir...
Prass!
Ujung rambut si Ninja Wadon
terbabat putus se-
panjang satu jengkal, setelah
dia berhasil mengelakkan
serangan maut yang bertubi-tubi
itu.
"Ahhh!? Memekik kaget Ninja
Wadon. Tubuhnya
bersalto dua kali ke belakang,
dan... lenyap dikegela-
pan serta rimbunnya pepohonan.
"Jangan lari!"
membentak Puja Sangara. Tubuh-
nya melesat memburu ke arah
lenyapnya wanita Ninja
itu. Akan tetapi tahu-tahu dia
berteriak kaget ketika
sebuah bayangan menyambar ke
arah kaki.
"Ahhh! Bluk!
Puja Sangara tak dapat menjaga
keseimbangan
tubuhnya. Karena kakinya kena
dicekal orang. Tak
ampun dia jatuh terbanting
ketanah. "Hihihi.... pemu-
da gagah! kakimu tak
bermata!" terdengar ejek si wani-
ta Ninja. Tubuh Ninja Wadon
mendadak melompat ke
atas punggung Puja Sangara. Dan
disaat pemuda itu
belum berbuat apa-apa, lengan
wanita ini telah terju-
lur menotok.
Puja Sangara cuma bisa
perdengarkan keluhan.
Mendadak dia jatuh menggeloso
karena rasakan tu-
buhnya menjadi lunglai.
"Hihihi... Ilmu silatmu
cukup hebat. Tapi mengha-
dapiku, kau takkan mampu karena
aku punya seribu
satu macam akal!" berkata
wanita Ninja ini. Apakah
selanjutnya yang dilakukan
wanita Ninja itu? Ternyata
setelah menyelipkan golok tipis
Puja Sangara pada li-
patan ikat pingganggnya, dia
memondong tubuh laki-
laki itu ke atas pundak. Dan
berkelebat pergi dengan
tertawa mengikik...
Dari balik semak tiba-tiba
muncul pula sesosok
tubuh yang berkelebat menyusul
membuntuti si Ninja
Wadon. Tempat itu kembali
senyap....
Pertarungan Tumenggung Kaniraga
dengan si Nin-
ja Edan Lengan Tunggal mencapai
pada puncaknya.
Walaupun orang tua ini memiliki
ilmu kepandaian
yang tinggi namun lawannya kali
ini sukar untuk dija-
tuhkan. Bahkan sang Tumenggung
sempat dibuat ter-
heran, karena terkadang lawan
bisa lenyap sukar di-
ikuti kemana gerakannya. Hingga
disatu saat Tumeng-
gung yang malang ini tersentak
kaget ketika pedang
Samurai yang panjang itu
tahu-tahu menabas dari
arah samping. Dalam keadaan
gawat itu dia sempat ja-
tuhkan diri bergulingan.
Namun... Cras! Sabetan pe-
dang lawan tak terhindarkan
lagi, yang selalu membu-
ru nyawanya.
Dada orang tua ini terkoyak.
Tubuhnya terhuyung
beberapa langkah.
"Bangsat! ssi... siapa kau
sebenarnya...!" masih
sempat dia memaki. Secepat kilat
dengan tenaga te-
rakhir dia lontarkan kerisnya ke
arah jantung lawan.
Serangan ini amat berbahaya
karena diluar dugaan si
Ninja Edan Lengan Tunggal. Tapi
ketika itu juga len-
gan bajunya mengibas, dibarengi
dengan gerakan pe-
dang menangkis.
Trang!..... Bles! Diiringi
jeritan menyayat hati tu-
buh Tumenggung Kaniraga roboh
terjungkal. Kerisnya
terlempar ke udara terkena sontekan
pedang Samurai
si Ninja itu. Sedangkan gerakan
mengibas barusan te-
lah meluncurkan dua buah belati
kecil yang tepat me-
nembus perut dan dada sang
Tumenggung. Sejenak
setelah hal ini berlangsung,
tiba-tiba terdengar benta-
kan suara seorang wanita.
"Iblis keji!" Dan...
Whuuuuk! Segelombang angin
menerpa tubuh si Ninja Edan
Lengan Tunggal, mem-
buat orang ini terperanjat. Tapi
dengan gesit dia me-
lompat setinggi sepuluh tombak.
Dengan gerakan me-
lompat-lompat dari pohon ke
pohon sekejap saja ma-
nusia itu telah lenyap!
Sesosok tubuh tiba-tiba muncul
ditempat itu yang
berkelebat ke arah sang
Tumenggung. "Tumenggung
Kaniraga? Hah! siapa yang telah
menyerangmu?" ber-
teriak tertahan orang ini.
Tumenggung Kaniraga menyeringai
menahan rasa
sakit. Ketika kelopak matanya
terbuka dan melihat
siapa orang dihadapannya,
mendadak... napas laki-
laki tua ini memburu. Terpancar
rasa girang pada wa-
jahnya. Dia tersenyum. Dan ucapnya dengan suara
terputus-putus. "Nona pe...
pendekar RO... RO...
CEN...TIL." Memanglah orang
ini tak lain dari Roro
Centil adanya. Roro mengangguk
dengan tersenyum.
Sementara diam-diam dia salurkan
hawa hangat dari
tenaga dalamnya dan menotok di
beberapa urat darah
untuk memberhentikan aliran
darah.
Dipandangnya wajah yang tua itu.
Wajah yang ba-
ru dikenalnya beberapa bulan
yang lalu sejak dia me-
nolong Tumenggung ini dari
serbuan para perampok
dihutan Jati Nongko.
"Katakan siapa yang
menyerangmu, paman Kani-
raga...! Maafkan, aku datang
terlambat..." berkata Roro
dengan menatap haru.
"Mengapa harus meminta
maaf, nona Pendekar...?
Kita tak pernah berjanji
apa-apa. Dan kau datang...
se... secara kebetulan. Seperti
juga pada saat kau me-
nolongku melawan para perampok
dihutan... Jati
Nong...ko..." menjawab Tumenggung
Kaniraga dengan
suara lemah.
"Yang tahu hal ini adalah
anak...ku... Puja Sanga-
ra..." sambung Tumenggung
ini. "Ah, seandainya
umurku pan...jang, aku tak
menyesal bila punya me-
nantu seperti k..kau, nona
Pendekar Roro..."
Roro cuma tersenyum haru. dia
tak dapat berbuat
apa-apa, selain manggut-manggut
mendengar apa
yang diucapkan orang tua abdi
Kerajaan ini. Selang
sesaat napas laki-laki tua ini
kian memburu. Dan
ujarnya dengan terputus.
"Ca...carilah, dia... carilah
Puja Sangara. Dan... tolonglah
bantu perjuangannya..."
Roro kembali mengangguk-angguk
seraya menya-
huti.
"Tentu, paman Kaniraga. Aku
pasti akan memban-
tunya. Apakah kau mengetahui
siapa yang menye-
rangmu tadi?" tanya Roro.
"Dia... dia... si Ninja Edan..
Lengan Tunggal..." Se-
telah ucapkan demikian lengan
orang tua ini mencekal
lengan Roro erat-erat. Lalu
tergolek layu. Ternyata dia
telah hembuskan napasnya yang
terakhir.
***
ENAM
RORO CENTIL termangu-mangu
beberapa saat
lama ditempat itu. Bibirnya
mengguman,
"Ninja Edan Lengan
Tunggal?...
Apa hubungannya dengan si Brewok
Lengan
Tunggal?" Lama Roro
berpikir, sementara hatinya ber-
kata. "Apakah dia yang
telah melakukannya?". Segera
Roro teringat akan nama Joko
Sangit. Dia yang dimak-
sudkan adalah laki-laki itu.
Setelah lama tercenung
tanpa bicara apa-apa. Pelahan
Roro bangkit berdiri.
Matanya mencari-cari tempat yang
baik untuk mengu-
burkan jenazah Tumenggung
Kaniraga. Tiba-tiba dara
Pantai Selatan ini kerahkan
tenaga dalam yang dis-
alurkan ke telapak tangan.
Tampak uap putih menge-
pul diantara jari-jarinya yang
mengembang. Tiba-tiba
lengan gadis ini menghantam
tanah di bawah pohon
besar itu.
Bhlarrr!
Tanah menyemburat ke udara. Dan
sebuah lu-
bang segera terlihat menguak
memanjang. Hantaman
pukulan bertenaga dalam itu
telah membuat sebuah
lubang yang cukup dalam. Tak
ayal Roro segera pon-
dong tubuh Tumenggung Kaniraga.
Kejap berikutnya
tubuh abdi Kerajaan itu telah
dibaringkan didalam lu-
bang. Sejenak setelah menatap
wajah laki-laki tua itu,
Roro segera menimbunnya dengan
tanah.
Sebuah cabang kayu digunakan
untuk nisannya.
Tak lama setelah menghela napas,
Roro segera bertin-
dak meninggalkan tempat itu.
Sepuluh langkah kemu-
dian dia enjot tubuh. Sekejapan
saja pendekar wanita
perkasa itu telah lenyap
dikeremangan malam.
***
"Mau dibawa kemana
aku?" berdesah suara Puja
Sangara dalam pondongan si Ninja
Wadon. ketika dia
membuka matanya merasakan
tubuhnya berguncang-
guncang. Tahulah dia kalau
berada dipundak wanita
ini.
"Hihihi... tenang sajalah!
Pokoknya kau tak usah
khawatir aku membunuhmu
cepat-cepat! sahut wanita
ini.
Rembulan yang mengambang di
langit kelam itu
menerangi jalan yang ditempuh si
Ninja Wadon,
Ninja Edan Lengan tanpa dia
mengetahui kalau
dia dikuntit oleh sesosok tubuh
yang juga sejenis den-
gannya.
Diujung jalan setapak itu segera terlihat sebuah
kuil. Di pelataran kuil itulah
si wanita meletakkan tu-
buh Puja Sangara. Sejurus
setelah dia mengamati seki-
tarnya, lalu melangkah masuk ke
dalam kuil. Terden-
gar dia menguak sebuah pintu.
Tak lama tampak ada
cahaya dari dalam ruangan.
Ternyata dia barusan me-
nyalakan sebuah pelita dalam
kamar.
Tak lama dia keluar lagi.
Sementara sosok tubuh
penguntitnya menyelinap ke sisi
tembok. Tampaknya
dia seperti ragu untuk mengambil
tindakan. Hingga
keburu wanita itu keluar lagi.
Puja Sangara cuma me-
rasa tubuhnya diangkat orang.
Dan sesaat dia telah
dibaringkan di atas sebuah
pembaringan kayu.
Lampu itu cukup menerangi wajah
si Ninja Wa-
don, ketika dia menyibak topeng
penutup wajahnya.
Ternyata dia seorang wanita yang
cantik. Berwajah bu-
lat telur dengan mata yang
membinar menatap pada
Puja Sangara.
"Ah, sayang sekali kalau
wajah tampan mu terke-
na pedang Samurai kakak
angkatku! Apalagi
kalau kau sampai tewas...!"
berkata dia seraya du-
duk dipembaringan. Lengannya
mengusap wajah Puja
Sangara.
"Kau amat gagah, sobat Puja
Sangara. Membuat
aku kepincut! hihihi...
bajumu ini sudah bau apek.
Baiknya dibuka saja!"
berkata sendiri si Ninja Wadon.
Dan tanpa tunggu
waktu lagi segera melolosi
pakaian pemuda anak Tu-
menggung Kaniraga yang cuma bisa
menatap dengan
mata membelalak.
"Apa yang kau mau lakukan,
perempuan genit!"
tersentak Puja Sangara ketika
lengan wanita itu mera-
bai sekujur tubuhnya. Akan
tetapi sebagai jawabannya
lengan wanita itu menotok urat
suaranya. Hingga laki-
laki itu cuma bisa berdesis
ditenggorokan.
"Pintu ini kurapatkan
dulu!" berkata wanita muda
itu seraya melompat ke arah
pintu. Dan dengan cepat
dia telah menutup serta
memalangnya.
Tampak dia seperti sudah tidak
tahan untuk me-
lakukan sesuatu. Lengannya
bergerak membukai pa-
kaiannya sendiri. Selanjutnya
dengan tubuh tanpa bu-
sana dia mendekati Puja Sangara.
Membelalak mata
laki-laki yang masih tabu pada
wanita ini melihat pe-
mandangan dihadapannya.
Sebisanya dia mencari akal untuk
melepaskan diri
dari pengaruh totokan. Dia
memang mempelajari cara
untuk membuka totokan. Tapi totokan
dara ini sukar
dibuka. Mau tak mau dia terpaksa
cuma mandah saja
seketika lengan wanita itu
menarik celananya hingga
merosot.
Belaian-belaian halus membuat
sekujur bulu di-
tubuhnya seperti bangkit
berdiri. Yang terdengar cuma
suara desahan napas si Ninja
Wadon yang memburu.
Tahu-tahu Puja Sangara merasakan
dua buah benda
lunak yang mempesona itu telah
menekan dadanya.
Belaihan tangan terus menelusuri
wajah menimbulkan
rasa geli, akan tetapi membuat
darahnya bergolak oleh
rangsangan yang hebat. Ketika
selanjutnya cekatan
sekali si dara yang sudah
dimabuk asmara itu memba-
sahi bibirnya dengan leletan
lidah. Yang kemudian me-
lumat bibirnya dengan lumatan
penuh nafsu.
Lengan itu meluncur lagi ke
bawah. Gemetar se-
kujur tubuh Puja Sangara yang
baru sekali ini seumur
hidupnya disentuh seorang
wanita. Sementara dibalik
pintu dengan berjingkat sosok.
tubuh yang tadi men-
guntit mendekati celah pintu.
Tampak dia dekatkan
kepalanya ke arah celah. Kamar
yang terang oleh ca-
haya lampu itu menerangi apa
saja yang terlihat dari
celah. Seketika tampak tubuh
orang ini gemetar.
Desah demi desah semakin
membauri ruangan
kamar. Sebentar-sebentar sosok
tubuh ini mengangkat
wajahnya. Tapi kembali mengintip
dengan dada be-
rombak-ombak. Akan tetapi
tiba-tiba dia balikkan tu-
buhnya. Wajahnya tampak memucat
seperti mau me-
nangis.
BRRAAAAAK! Dia telah menghantam
pintu yang
tertutup itu dengan pukulan
tangannya. Tak ampun
pintu berderak hancur. Terdengar
suara si Ninja Wa-
don terkejut. "Bedebah!
Siapa diluar!?" membentak dia.
Wanita yang tengah dibuai asmara
ini cepat ki-
baskan lengannya.
Sekali kibas, padamlah pelita
itu. Dan kamar men-
jadi gelap. Akan tetapi tak ada
sahutan, juga tak ada
tanda-tanda ada serangan dari
luar. Ninja Wadon yang
siap menghadapi segala
kemungkinan jadi terheran.
Dalam kegelapan dia merangkak ke
pintu. Kembali dia
membentak. Tapi yang terdengar
cuma suaranya sen-
diri berpantulan.
"Setan siapa pula yang
mengganggu kesenangan-
ku? Apakah si Ninja Edan Lengan
Tunggal?" desis wa-
nita ini yang mengawasi sekitar
ruangan.
Walau dia telah memeriksa
sekitar kuil tak ada
tanda-tanda adanya orang lain,
tapi hal itu telah mem-
buat dia kecewa setengah mati.
Juga menggagalkan
hasratnya yang telah menggebu.
Malam itu dilalui si
Ninja Wadon dengan berjaga-jaga
didepan pintu kuil.
Sementara hatinya memaki.
"Sial dangkalan! Siapa
yang usil menggangguku
itu?" bergumam dia dalam
kesenyapan yang kian mencekam.
Malampun semakin
melarut. Dan hawa dingin menebar
ke tulang sumsum.
Dengan tiada habis-habisnya
menggerutu wanita ini
kembali melangkah masuk ke dalam
kuil...
Akan tetapi tiba-tiba dia
mengeluh kaget, karena
seketika tubuhnya lunglai.
Dan... bluk! dia sudah ro-
boh menggeloso ke lantai.
"Ganti aku yang menotok mu,
Ninja Wadon!" Se-
lang sesaat terdengar suara
seorang laki-laki. Suara
Puja Sangara.
***
Emoticon