PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
48
ALAM itu juga Pendekar Romantis mendesak
Belati Binal untuk pulang ke Lembah Nirwana.
Perdebatan terjadi cukup sengit, sebab Belati
Binal tidak setuju dengan rencana Pandu menghadap Nyai
Camar Langit untuk bicarakan rencananya mengambil alih
persoalan tersebut. Belati Binal termasuk gadis yang keras
kepala, sehingga perbantahannya nyaris menimbulkan
pertarungan di dalam gua. Emosi Pandu memang menjadi
tinggi, tapi emosi gadis pelacak itu tiga kali lipat lebih tinggi
dari emosi Pandu.
“Kau jangan meremehkan aku, Pandu! Sekali pun aku
dulu pernah hampir mati di tangan Dalang Setan, tapi sekarang
hal itu nggak bakalan terjadi lagi, karena Guru sudah
memberitahukan padaku bagaimana melawan ilmunya Dalang
Setan itu!”
“Tapi kau tetap akan kalah, karena Dalang Setan pun
tentunya telah menyiapkan jurus andalannya. Sekali gebrak
kamu bisa amblas ke neraka!”
“Kau pikir mudah mengalahkan aku, ya? Coba saja kau
sendiri yang tumbangkan aku sekarang juga! Majulah, dan
akan kulumpuhkan kau dengan jurus simpananku yang selama
ini baru dua kali kugunakan itu! ayo, majulah kau kalau kau
memang ingin buktikan kekuatanku!” tantang Belati Binal.
Pendekar Romantis segera sadari ketegangan tersebut.
Ia tak mau hanyut dalam ketegangan yang dapat timbulkan
bahaya bagi kedua belah pihak. Akhirnya Pandu Puber hanya
menghela napas panjang-panjang dan menghempaskannya
dengan sentakan kejengkelan. Pandu pun akhirnya duduk di
atas sebongkah baru gua setinggi lutut. Ia diam termenung di
sana hingga beberapa saat lamanya, sedangkan Belati Binal
M
LIMA
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
49
cemberut di pojokan sambil duduk melonjorkan kedua kaki,
matanya pandangi nyala api unggun.
Lama sekali mereka dicekam sepinya malam. Belati
Binal nggak bisa bertahan bisu lebih lama lagi. Pandangan
matanya yang sesekali dilemparkan ke wajah Pandu yang
tampak murung itu membuat hatinya terusik gelisah, akhirnya
ia dekati pemuda ganteng bermata kebiruan itu, lalu ia berkata
dengan suara bernada rendah. Tapi wajahnya tetap tampak
cemberut menahan kekesalan hati. Sebenarnya kekesalan hati
itu adalah kecemasan yang berlebihan, yaitu kecemasan
tentang keselamatan Pandu Puber jika harus berhadapan
dengan dua tokoh berilmu tinggi itu. dalam hati kejujuran
Belati Binal, sebenarnya ia tak ingin Pandu Puber celaka gara-
gara kasusnya itu. ia sangat menyayangkan jika pemuda
setampan Pandu menjadi cacat atau mati hanya membela
perkara seperti itu.
“Apakah kau yakin betul kalau mampu melawan
Dalang Setan yang dibantu Ratu Cadar Jenazah?”
Pandu melirik gadis cantik berdada montok itu. Ia
menarik napas untuk membuang kedongkolan dalam hatinya,
setelah itu baru menjawab dengan mata tertuju ke tempat lain.
“Kalau aku bicara dulu dengan gurumu, setidaknya
gurumu akan memberikan titik kelemahan Ratu Cadar Jenazah
dan Dalang Setan.”
“Apakah kau belum tahu kelemahan mereka?”
“Yang kutahu, aku mempunyai jurus-jurus yang dapat
untuk menumbangkan mereka. memang sebenarnya aku tak
perlu menanyakan kelemahan mereka kepada gurumu, tapi
setidaknya pertanyaan itu merupakan alasan bagiku untuk
mengambil alih perkaran ini, Belati Binal!”
Belati Binal jauhi Pandu sambil menggenggam
kecemasan. Ia mendekati api unggun dan memandanginya lagi
dalam ketermenungan. Sesaat kemudian terdengar suaranya
yang kaku itu berkata,
“Kalau kamu mau nekat begitu, terserah kamu sajalah!
Tapi aku nggak mau membantumu saat melawan mereka! biar
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
50
kamu tahu kalau ngototmu titu berakibat parah bagi dirimu
sendiri.”
Pandu memandang sebentar, kemudian berkata,
“Mengapa kau berubah pikiran begitu?”
“Aku nggak mau cekcok terus denganmu. Aku bosan
cekcok!” Lalu ia palingkan wajah hingga memandang Pandu
dan menyambung kata, “Kamu nggak ngerti perasaanku yang
sebenarnya sih!”
Kata-kata itu agak aneh bagi si ampan bernting-anting
satu itu. ia bangkit dan dekati gadis berhidung bangir dan
berbibir mungil menggairahkan. Dipandangi wajah itu selama
dua helaan napas, dinikmati kecantikan mungil yang ada di
wajah Belati Binal, kemudian diperdengarkan pula suaranya
yang punya nada lembut namun tetap mencerminkan
ketegasan bersikapnya.
“Perasaan yang bagaimana maksudmu? Katakan
sejujurnya, Belati Binal!”
Gadis pelacak itu gelengkan kepala. Menggelengnya
agak lama, sebab kalau terlalu lama bisa bikin pusing kepala
sendiri. Setelah menggeleng, Belati Binal pun segera berkata
dengan mata tetap tertuju ke mata bening Pendekar Romantis.
“Suatu saat kau akan tahu sendiri tentang perasaanku.”
“Katakan sekarang juga atau aku pergi tak mau temui
kau lagi?” Pandu mencoba menggertak secara halus.
Dengan agak berat Belati Binal akhirnya berkata,
“Perasaanku padamu seperti perasaan seorang… seorang…
seorang cucu kepada kakeknya.”
“Sial!” Pandu tersenyum tawar. “Kau kira usiaku sudah
mencapai delapan puluh tahun?” Pandu bersungut-sungut.
Harapan ang ditunggu tak datang. Gadis pelacak itu
tetap tidak tersenyum walau ia sendiri yang melemparkan
canda ringan untuk ditertawakan. Pandu Puber jadi jengkel,
lalu ia menggelitik pinggang Belati Binal. Tapi tiba-tiba…
tab! Tangan itu ditangkap dan ada dalam genggaman Belati
Binal. Gadis itu berkata ketus,
“Kamu nggak bakalan bisa mencuri pisauku walau
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
51
hanya satu buah saja! Jangan biasakan lagi pekerjaan lamamu
itu, Pandu.”
“Pekerjaan lama apa?”
“Menjambret barang orang!”
“Konyol kamu, ah! sudah, sudah, kita segera temui
gurumu dulu, yuk? Jangan menunda masalah ini karena
Dalang Setan tak mau menunda dendamnya pula. Kita harus
bergerak lebih cepat dan jangan sampai kalah cepat dengan
gerakannya.”
“Kalau memang tekadmu sudah bulat begitu, sebaiknya
sekarang juga kita harus berangkat supaya sampai di Lembah
Nirwana hari masih gelap. Biar tak ada orang yang tahu kalau
aku datang bersamamu.”
“Memangnya kenapa kalau ada yang tahu?”
“Sekadar menghindari keributan di antaar murid wanita
saja!” jawab Belati Binal sambil melengos dengan wajah
masih cembeut. Pandu Puber mengerti maksudnya, sehingga
ia tertaa pelan bagaikan orang menggumam.
“Rupnya dia nggak mau kalau aku jadi bahan tontonan
teman-teman wanitanya di sana! Ada rasa tak rela kalau gadis
lain mengagumiku. Hmm… aneh juga cewek yang satu ini!
gregetan sekali aku jadinya. Enaknya dicium saja, ah… siapa
tahu dia kasih balasan lebih galak lagi, sesuai dengan
namanya; Belati Binal, sudah tajam, galak lagi! Kan asyik
kalau dapat cewek yang kayak gitu. Coba, ah… mudah-
mudahan dia nggak marah setelah kucium!”
Pandu Puber mendekat dari belakang. Tangannya ingin
meraih pundak Belati Binal untuk memutar tubuh gadis itu
biar berhadapan dengannya. Namun baru saja tangan terulur,
si gadis sudah berpaling lebih dulu dan menghadap ke arahnya
dengan berkerut dahi, memandang tajam, malah sekarang
bertolang pinggang. Pandu Puber cengar-cengir malu sendiri.
“Mau apa kau?” hardiknya.
“Nggak mau apa-apa kok,” jawab Pandu berlagak
bersungut-sungut.
“Kita berangkat sekarang juga!” kata Belati Binal.
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
52
Nggak peduli malam berudara dingin kayak di Puncak,
mereka berdua menerabas hutan menuruni lereng perbukitan.
Kecepatan gerak Belati Binal tertinggal oleh Pandu Puber.
Gadis pelacak itu menggerutu dalam hatinya,
“Sial! Gerakannya susah diikuti. Benar-benar tinggi
ilmu peringan tubuhnya. Padahal tadi di dalam gua kalau aku
benar-benar dijajal olehnya, sekali gebrak bisa celeng beneran
aku!”
Belati Binal berusaha menyusul Pandu tapi tak pernah
berhasil, sehingga sesekali ia terpaksa berteriak mengingatkan
arah yang ditempuh Pandu sala. “Belok kiri, Goblok!”
Pendekar Romantis tertawa pelan, merasa geli
digoblok-goblokkan gadis semanis itu. Hatinya membatin,
“Biar digoblokkan seratus kali rasanya senang aja hati ini.
mungkin karena yang mengucapkan dia. Coba kalau yang
mengucapkan Lemakwati, uh… sakit hati deh rasanya.”
Wwuttt…!
“Apa itu?!” Pendekar Romantis sempat terperanjat
sekejap dan setelah itu ia bagai tak sadarkan diri. Tapi karena
Belati Binal ada di belakangnya, maka Belati Binal tahu persis
apa yang terjadi saat itu.
Seberkas sinat biru samar-samar di keremangan malam
melintas cepat di sisi kanan mereka. sinar biru itu seperi petir
yang menyambar tanpa suara dalam gerakan datar. Sinar itu
berkelebat cepat menghantam pinggang Pendekar Romantis.
Pada saat sinar itu kenai Pendekar Romantis, cahaya biru
memancar dari tubuh Pandu dalam sekejap.
Blapp…!
Padamnya sinar tanpa suara itu bersamaan dengan
tumbangnya Pandu ke belakang. Blukk…! Pada saat itu nyawa
Pandu terasa melayang-layang di udara dan sekujur tubuhnya
tak dapat digerakkan lagi. Tapi kesadarannya masih ada.
Masih bisa merasakan sakit di punggungnya karena
membentur batu. Masih bisa pula mendengar suara langkah
seorang dari kanan, juga masih mendengar suara Belati Binal
memekik kaget memanggil namanya.
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
53
“Panduu…!” Nada cemas terdengar jelas, tak dapat
dipungkiri lagi.
Dalam keremangan malam itu Belati Binal melihat
sosok seorang perempuan berpakaian ketat hijau muda. Dalam
selintas saja Belati Binal bisa cepat kenali siapa perempuan
muda berpenampilan tomboy dengan rambut cepaknya.
“Prabawati…?!” hardik Belati Binal. Orang yang
dipanggil sebagai Prabawati itu tak lain adalah Rembulan
Pantai, salah satu pengawal Ratu Cadar Jenazah.
Rupanya keduanya sudah saling kenal, sehingga
Rembulan Pantai pun bicara dengan sikap menantang Belati
Binal, “Ya, memang aku yang menyerangnya! Mau apa kau?
Sakit hati?! Mau balas dendam? Majulah kalau kau merasa
mampu mengalahkan aku!”
“Apa maksudmu menyerangnya, hah?!”
“Dendam pribadiku belum lunas! Kusangka ia sudah
mati oleh ‘Tapak Kubur’-ku, ternyata masih segar bugar
bersamamu! Kali ini ia tak akan lolos dari juru ‘Guruh
Samudera’-ku!”
“Kali ini pun kau tak akan bisa lolos dari jurus ‘Pisau
Naga’-ku. Heeat…!”
Wut, wut…! Crab…!
Dalam sekali gerak menebar, tiga pisau tercabut cepat
dan melesat secara berurutan beda arah. Rembulan Pantai
kelabakan dan sangat panik. Dua pisau mampu dihindari
dengan satu lompatan menyamping dan ayunan kepala
merunduk. Tapi pisau ketiga tak mampu dihindari karena
kedatangannya di luar dugaan. Pisau itu menancap telak di
lambung Rembulan Pantai.
“Ehhg…! Setan! Hiaah…!” Rembulan Pantai melesat
dalam satu lompatan. Tubuh itu menyamabr Belati Binal
dengan gerakan mencabut pedang. Namun belum sampai
pedang tercabut, belum sampai kaki menerjang, tahu-tahu
tubuh Rembulan Pantai jatuh tersungkur di tanah. Pisau yang
menancap di lambungnya terasa susah dicabut. Racunnya
melemahkan persendian.
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
54
Bruss…!
“Celaka!” pikir Rembulan Pantai. “Racun di pisau ini
sangat berbahaya. Tak mungkin kulakukan pembalasan saat
ini. bisa habis riwayatku di tangannya!”
Rembulan Pantai berusaha bangkit. Belati Binal
kelebatkan tangannya dalam satu lemparan menyamping dan
sebilah pisau melayang cepat mengarah leher kanan Rembulan
Pantai.
Wuuttt…!
Untung Rembulan Pantai berhasil meliukkan kepala
lagi sehingga pisau itu terhindar dari lehernya. Tanpa
meninggalkan pesan dan kesan apalagi kata kenangan.
Rembulan Pantai melesat pergi tinggalkan tempat itu. Hilang
di balik kerimbunan malam bersemak.
“Berhenti kau!” teriak Belati Binal yang segera
mengejar ke arah yang sama. Namun ternyata ia kehilangan
jejak. Keringat lawannya tercium di arah selatan. Belati Binal
bermaksud mengejar ke selatan, tapi ia segera ingat keadaan
Pendekar Romantis, sehingga ia membatalkan niatnya.
Baginya keselamatan Pendekar Romantis lebih penting
dari pada mengejar Rembulan Pantai. Menurutnya Rembulan
Pantai bisa mati di perjalanan karena termakan racun dalam
pisaunya itu. racun tersebut bekerja dengan cepat dan ganas,
sukar disembuhkan. Kalau saja Rembulan Pantai bisa bertahan
sampai bertemu Ratu Cadar Jenazah, maka ia akan selamat,
karena sang Ratu termasuk salah satu orang yang ahli dalam
hal racun meracun.
Pandu tak bisa membuka mata. Namun hatinya masih
bisa bicara, “Sialan! Aku dibiarkan terkapar di tempat
berembun begini. Konyol juga si Belati Binal itu. Pakai mau
kejar Rembulan Pantai segala. Kena tacun ‘Tapak Kubur’ baru
tahu rasa lu!”
Pandu tahu siapa yang menyerangnya secara tiba-tiba
itu. suara percapakan kedua gadis tersebut bisa diterima
pendengarannya. Hanya itu yang bisa dilakukan Pandu, tapi
tak ada gerakan yang mampu dilakukan walau sedikit pun.
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
55
Dan hati Pandu menjadi lega ketika ia mendengar langkah
kaki mendekat. Ia yakin itu suara langkah kaki Belati Binal.
Suara si gadis pelacak pun di dengarnya walau pelan.
“Jahanam itu pasti punya maksud tertentu hingga
malam-malam masih keluyuran di perbatasan wilayahku! Aku
jadi curiga terhadapnya. Pasti ia dari Lembah Nirwana dan
dalam perjalanan pulang atau… ah, persetan dengan si
Prabawati keparat itu! aku harus selamatkan pemuda ini dari
pengaruh mati darah akibat jurus ‘Guruh Samudera’-nya itu.
Tapi, jelas tak mungkin bisa kulakukan sendiri. Sebaiknya
kubawa kepada Nyai Guru saja, biar Nyai Guru yang
sembuhkan!”
Wuuttt…! Tubuh Pandu segera dipanggulnya lalu
Belati Binal membawanya pergi menuju Lembah Nirwana. Ia
harus melewati bentangan persawahan untuk melewati lembah
berikutnya. Sebab jika ia melintasi sebuah desa di dekat situ,
ia takut keadaannya yang memanggul Pandu menjadi pusat
kecurigaan penduduk desa yang sedang meronda. Maka
diputuskanlah langkahnya melintasi persawahan.
Tetapi kala itu angin berhembus membawa udara makin
dingin. Udara lembab menandakan datangnya bintik-bintik
hujan dari arah utara. Belati Binal merasakan sebentar lagi
akan turun hujan jika angin berhembus ke arah selatan.
Kecepatan gerak larinya dikawatirkan akan terkejar oleh
turunnya hujan.
Gerimis rintik-rintik mulai turun. “Benar juga
dugaanku. Kayaknya aku harus mencari tempat untuk
berteduh dan membiarkan hujan lewat lebih dulu, baru
perjalanan ini kuteruskan.”
Sebuah gubuk di tengah sawah menjadi sasaran
persinggahan Belati Binal. Di gubuk berlantai panggung dari
belahan bambu itu tubuh Pandu Puber dibaringkan. Geimis
makin hebat, tapi masih tetap berstatus gerimis, belum naik
pangkat menjadi hujan. Alam sepi dan angin kencang
membuat Belati Binal ikut duduk di atas lantai panggung yang
menyerupai sebuah balai-balai lebar. Agaknya gubuk tengah
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
56
sawah itu biasa digunakan oleh para petani untuk beristirahat
siang. Gubuk itu mempunyai tiga dinding masing-masing
separo bagian. Bagian ke atas sampai atap kosong tanpa
dinding bambu, sedangkan bagian depan gubuk sama sekali
tanpa dinding pembatas.
Belati Binal sengaja rapatkan tubuh Pandu ke salah satu
dinding supaya tidak terkena gerimis yang terhembus angin
dari utara. Ia duduk di samping pemuda itu dengan perasaan
cemas. Sesekali mengusap kening Pandu yang berkeringat
dingin sebagai tanda pembekuan darah kian terjadi lebih kuat
dari yang tadi. Jurus ‘Guruh Samudera’ bersifat membekukan
darah, mematikan urat dan melepas seluruh persendian. Tetapi
Belati Binal tidak tahu bahwa jurus itu tidak mematikan rasa
bagi si penderita, sehingga panca inderanya masih bisa
digunakan kecuali mata, sebab kelopak mata terkatup lemas
tak bisa digerakkan. Tapi penciuman, pendengaran, peraba,
semua masih berfungsi. Jantung masih berdetak walau lambat
sekali. Nantinya detak jatung akan hilang dan berhenti sama
sekali jika pembekuan darah sudah memenuhi bagian kantung
jatung. Jika keadaan begitu maka si penderita sudah pasti mati
tanpa nyawa sedikit pun.
Gerimis agak deras.
“Kasihan sekali dia,” gumam hati Belati Binal.
Tangannya masih mengusap keringat yang membasah di leher
Pandu, kening, pelipis, dada dan tangannya. Usapan yang
lembut ternyata hadirkan sentuhan mesra yang menggelitik
hati Belati Binal. Maka berkecamuklah benak sang gadis
pelacak itu di sela gemuruh gerimis melebat.
“Hatiku tak bisa menerima kenyataan seperti ini. tak
rela jika ia disakiti orang. Ah, terlalu cengeng hatiku ini!
persaanku sudah gila. Dia bukan apa-apaku tapi kenapa aku
punya hasrat pembelaan begitu besar padanya? Dia sering
mengjengkelkan hatiku. Anehnya sejak dulu aku tak bisa
melupakannya.”
Ucapan batin itu tanpa disadari berubah menjadi ucapan
bibir yang bersuara bisik. Belati Binal tak tahu kalau Pandu
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
57
Puber bisa mendengarkan suara di sekelilingnya, sehingga ia
bicara dengan seenaknya saja tanpa rasa malu dan kikuk.
Tangannya sendiri bergerak terus mengusap-usap kening,
rambut, leher, bahkan dada tanpa canggung lagi. Barangkali
kalu ia tidak menduga bahwa Pandu dalam keadaan pingsan,
ia tak akan berani melakukan hal itu, bahkan mungkin tak sudi
walaupun sangat ingin menjamah sejak perjumpaan dalam
kasus Kitab Panca Longok itu. Hasrat untuk menjamah
dilampiaskan malam itu dengan menggunakan ‘aji mumpung’
yaitu mumpung Pendekar Romantis pingsan. Kapan lagi ia
bisa menjamah tubuh si tampan yangiam-diam dikaguminya
itu kalau bukan pada saat pingsan, seperti anggapannya malam
itu.
“Rasa-rasanya memang hatiku mengalami perubahan
sejak bertemu denganmu, Pandu. Aku tak berani katakan
apakah itu yang namanya cinta atau bukan, tatpi yang jelas
aku selalu merasa ingin bertemu denganmu. Cuma selama ini
aku masih mampu menahan diri dengan mengalihkan pikiran
pada persoalanku dengan Dalang Setan itu. Kebetulan sekali
Yang Maha Kuasa mempertemukan kita kembali di malam
sedingin ini. Tak mampu lagi aku menahan hasratku untuk
membelaimu. Kau benar-benar menumbuhkan keindahan yang
aneh di dalam hatiku, Pandu. Cuma, kamu sering nakal, aku
jadi jengkel sama kamu! Tapi sebenarnya nakalmu itu nakal
indah. Kadang aku rindu kenakalan matamu, kenakalan
senyummu, dan… ah, nggak tahu nih! Kayaknya aku sudah
gila kok!”
Mendengar ucapan itu Pandu hanya bisa tertawa dalam
hati dan berkata, “Makanya janga munafik, Neng! Kalau mau
bilang saja mau, kalau suka bilang saja suka, jangan pakai
berlagak sombong dan ketus padaku. Kamu sok acuh sih, sok
menyimpan senyuman, akhirnya aku jadi nggak tahu kalau
kau suka padaku, Neng. Kasihan juga kau sebenarnya.
Terserah deh, mau kau apakan aku malam ini, itu sudah
kekuasaanmu karena aku tak berdaya. Apa pun yang ingin kau
lakukan, percayalah aku merasakannya dengan senang hati,
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
58
Neng!”
Gerimis makin lebat. Sudah bisa dikatakan semi hujan.
Hawa dingin membuat badan Belati Binal bergidik sesekali.
Lalu ia merebah di samping Pandu dan berkata bagaikan
bicara pada diri sendiri.
“Kayaknya memang harus menginap di sini sampai
tunggu hujan reda. Kalau nekat teruskan perjalanan, sakitmu
bisa jadi lebih parah karena terkena air hujan. Setidaknya kau
akan masuk angin dan aku tak mau kau sakit seringan apa
pun,” sambil memiringkan badan dan mengusap-usap rambut
Pandu. Kepalanya terangkat dan ditopang dengan tangan
kirinya.
“Bibirnya menggemaskan sekali,” ucapnya lirih, tetapi
didengar Pandu. “Ah, dadaku bergemuruh hebat. Oh, ingin
sekali aku membenamkan diri dalam pelukanmu, Pandu.
Tapi…”
Gerimis naik pangkat menjadi hujan deras. Hawa
dingin yang mencekam membuat pikiran gadis itu kian kacau,
hasrat cintanya meletup-letup, keberaniannya semakin
meronta-ronta. Ia tak tahan, akhirnya dengan pelan-pelan ia
cium wajah pemuda tampan itu.
Dikecupnya bibir Pendekar Romantis dengan pelan dan
penuh perasaan. Cuup…! Bibir itu dilumatnya, kadang digigit
kecil untuk melepaskan kegemasan hati yang dicekam hasrat
bercumbu begitu memburu.
Pelan-pelan kecupan itu dilepaskan. Gadis itu menarik
napas karena tadi hampir kehabisan napas saat melumat bibir
Pandu penuh gairah cinta. Pada saat itu hati Pandu sebenarnya
berkata,
“Asyik…! Indah sekali. Lagi dong…!”
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
59
PEREMPUAN berjubah putih berdiri tegak menatap
Pendekar Romantis yang pagi itu datang bersama
Belati Binal. Perempuan berarmbut abu-abu
dikonde tengah masih kelihatan berusia separo baya, sekitar
empat puluh tahunan, tapi sebenarnya usia aslinya dua kali
lipat dari usia yang tampak sekarang. Perempuan berwajah
tegas penuh wibawa dan kharisma itu tak lain adalah Nyai
Camar Langit. Penguasa dari Lembah Nirwana yang menjadi
gurunya Belati Binal.
Sikapnya cukup tenang ketika ia berkata, “Kalian
terlambat!”
“Apa maksudmu, Nyai?” tanya Pendekar Romantis
yang sudah berhasil disembuhkan oleh Nyai Camar Langit.
“Beberapa utusan dari Ratu Cadar Jenazah tadi malam
menyergap tempat kami mencari Belati Binal. Mereka terang-
terangan memihak Dalang Setan, walau aku tahu itu hanya
sebuah alasan bagi Ratu Cadar Jenazah untuk menghancurkan
diriku.”
“Apakah termasuk Rembulan Pantai?”
“Ya, dia yang memimpin lima utusan itu dan berhasil
menculik cucuku; Dewi Padi.”
“Dewi Padi…?!” Belati Binal terkejut dan menjadi
tegang.
“Mereka berhasil menawan Dewi Padi dan membuatku
tak berkutik. Mereka membawanya lari ke Bukit Gulana.
Tebusannya adalah penyerahan dirimu ke Ratu Cadar
Jenazah.”
“Kurang ajar!” geram hati Belati Binal. “Mengapa Ratu
Cadar Jenazah jadi ikut campur secara terang-terangan?! Ini
bukan urusannya, Nyai Guru!”
P
ENAM
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
60
“Ada sebuah pusaka yang dikehendaki Ratu Cadar
Jenazah. Pusaka itu adalah ‘Cemeti Mayat’. Pusaka milik
mendiang Nyai Titah Bumi, neneknya Dalang Setan. Cemeti
itu ada di dalam makam Nyai Titah Bumi. Hanya Dalang
Setan yang berhak mengambilnya, karena dialah pewaris
pusaka ‘Cemeti Mayat’ itu. Ratu Cadar Jenazah ingin menukar
dirimu dengan cemeti itu. karenanya, kulihat Rembulan Pantai
berpisah arah dengan kelima utusan yang membawa lari Dewi
Padi, ia menuju ke timur untuk temui Dalang Setan. Dan…
barangkali dalam perjalanan ke sana itulah, ia bertemu dengan
kalian dan menyerang Pandu Puber.”
Belati Binal tampak mendendam murka. Dewi Padi
adalah cucu sang Guru yang sudah dianggap sebagai saudara
sendiri oleh Belati Binal. Nggak heraen kalau Belati Binal jadi
sewot berat mendengar Dewi Padi dijadikan sandera oleh Ratu
Cadar Jenazah. Pantas saja kalau wajah si gadis pelacak itu
menjadi merah, karena hasratnya untuk pergi temui Ratu
Cadar Jenazah sangat besar dan berkobar-kobar. Tetapi sang
Guru melarangnya.
“Jangan mau mati konyol di tangan manusia sesat
seperti si Ratu Cadar Jenazah itu.”
“Tapi saya harus selamatkan jiwa Dewi Padi, Nyai
Guru! Saya tidak bisa biarkan Dewi Padi terusik oleh
mereka!”
“Aku sangat mengerti persaanmu,” kata Nyai Camar
Langit dengan sikap tenang dan tampak berwibawa sekali.
“Tetapi sebelum bertindak hendaknya pertimbangkan dulu
jalannya.”
“Saya akan serahkan diri dan rela ditukar dengan Dewi
Padi,” sahut Belati Binal dengan penuh luapan emosi yang
tertahan.
“Redakan dulu murkamu. Aku tak tela kalau kau jadi
tawanan Dalang Setan, tapi juga tak rela jika cucuku ditawan
Nyai Camar Langit. Kalau aku datang dan menyerang, maka
cucuku dalam ancaman mati. Ini sangat membahayakan.”
“Sebaiknya biar kutangani saja, Nyai Camar Langit,”
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
61
sahut Pendekar Romantis dengan tegas dan jelas. “Limpahkan
semua perkara ini padaku, dan aku akan selesaikan sendiri
tanpa mengorbankan cucumu atau muridmu!”
“Aku nggak setuju!” cetus Belati Binal dengan suara
keras bersikap protes.
“Sebaiknya kau istirahat dulu, Belati Binal,” ujar sang
Guru.
“Nggak mau! Saya mau berangkat ke Bukit Gulana
sekarang juga, Nyai Guru!”
“Belati Binal!” seru sang Guru dengan nada menyentak
wibawa. “Kau kena sangsi karena menentang keputusan
Guru.”
“Guru…?!”
“Kau tak kuizinkan keluar dari perguruan selama tujuh
hari!”
“Guru, saya… saya…”
“Ini keputusan perguruan! Kau bisa menentangnya jika
kau keluar dari perguruan!” tegas Nyai Camar Langit tampak
dipaksakan untuk tega mengatakannya.
Belati Binal tundukkan kepala, raut wajahnya berubah
sedih. Tapi dari helaan napasnya tampak ia masih menyimpan
kemarahan yang menyesakkan dada. Belati Binal tak berani
menentang keputusan itu. Ia sangat hormat kepada gurunya.
Tak heran jika keputusan itu terasa memukul batinnya begitu
kuat dan membuat tangannya gemetar.
“Pergilah ke belakang dan biarkan aku bicara dengan
Pendekar Romantis,” kata sang Guru.
“Baik, Nyai Guru…” jawabnya patuh, lalu dengan
langkah gontai ia pergi tinggalkan tempat pertemuan itu.
Pandu Puber memandanginya dengan sedih pula. Lalu, Pandu
mencoba berkata dengan hati-hati kepada Nyai Camar Langit.
“Apakah keputusan itu tidak terlalu kejam bagi gadis
seberani dia, Nyai?”
Dengan suara pelan sang Nyai menjawab, “Hanya
siasat untuk selamatkan nyawanya saja. Sebenarnya aku tak
ingin keluarkan sangsi seperti itu kecuali kepada murid yang
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
62
melakukan pelanggaran kelewat batas.”
Pandu Puber manggut-manggut. Setelah diam sejenak,
Nyai Camar Langit mulai perdengarkan suaranya lagi dengan
tenang,
“Kalau boleh kutahu, apa yang membuatmu ingin
mengambil alih persoalan ini, Pandu Puber? Apakah… apakah
karena kau punya maksud tertentu kepada muridku Belati
Binal?”
Pandu Puber sunggingkan senyum kalemnya. “Dalang
Setan pernah menantangku bertarung, tepatnya di Jurang
Karang Kerenda dua hari lagi. Tapi aku ingin mempercepat
pertarungan itu tiba.”
“Tapi Ratu Cadar Jenazah pasti akan ikut campur dan
membela Dalang Setan demi mengincar pusaka ‘Cemeti
Mayat’ itu. dan kalau dia sudah turun tangan, bergabung
dengan Dalang Setan, sangat berbahaya. Adik tiriku itu orang
yang tidak mengenal perasaan dan tidak pernah pandang bulu
terhadap lawannya. Biar lawannya berilmu tinggi atau rendah,
tua atau muda, lelaki atau perempuan, kalau sudah berani
menentangnya maka ia akan perintahkan kepada anak buahnya
untuk membantai sang lawan.”
“Aku akan hadapi kekuatannya. Selangkah pun tak
akan mundur, Nyai!”
“Aku pernah dengar cerita tentang kehebatan ilmumu,
Pandu Puber. Tapi aku sangsi dengan kekuatanmu jika
melawan kekuatan gabungan itu. biasanya jika Ratu Cadar
Jenazah habis membunuh lawannya dengan tangannya sendiri,
ia akan perintahkan anak buahnya untuk menggantung mayat
lawannya agar jadi tontonan di muka umum.”
Pandu Puber berkerut dahi, ingatannya segera tertuju
kepada Ken Warok yang ditemukan mati tergantung dengan
kaki di atas dan kepala di bawah. Pandu pun segera berkata,
“Kalau begitu dia adalah orang yang membunuh Ken
Warok, sahabatku itu?!”
“Benar. Kudengar kabar tentang murkanya, Ranting
Kumis, anak buahnya, berhasil menangkap Ken Warok dan
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
63
menyerahkannya kepada Ratu Cadar Jenazah. Ken Warok
akhirnya di bunuh oleh Ratu Cadar Jenazah, lalu anak buahnya
disuruh menggantung mayat Ken Warok di tempat terbuka.”
Gumam Pandu terdengar memanjang sambil kepalanya
manggut-manggut. “Jadi dia orangnya…? Kejam sekali
perempuan itu?! Apa alasannya sampai ia sendiri yang
membunuh Ken Warok? Mengapa bukan anak buahnya saja?”
“Berita yang kuterima dari mata-mataku yang kutanam
di sana, Ratu Cadar Jenazah kecewa berat kepada Ken Warok.
Kitab yang berhasil dirampas dari tangan Ken Warok ternyata
kitab palsu. Sebagai hukuman dan pelampiasan
kemarahannya, ia menghendaki kematian Ken Warok dari
tangannya sendiri. Maka dibunuhlah Ken Warok saat mengaku
kitab yang asli sudah dihancurkan olehmu, Pandu.”
Napas si tampan bertato bunga mawar yang sudah segar
kembali sejak diobati oleh Nyai Camar Langit itu, dihela
panjang-panjang. Sorot pandangan matanya mempunyai nada
kemarahan yang tertahan. Suaranya pun terdengar samar-
samar,
“Aku harus segera bertindak, Nyai. Tak bisa lama-lama
diam di sini! Dalang Setan maupun Ratu Cadar Jenazah
mempunyai urusan yang sama denganku!”
“Aku akan mendampingimu,” ujar Nyai Camar Langit.
“Aku harus bisa ambil cucuku; Dewi Padi dalam keadaan
selamat tanpa luka apa pun!”
“Aku akan bekerja sendiri, Nyai. Kau tak perlu
mambantuku!”
“Kalau Dalang Setan bergabung dengan si Ratu Cadar
Jenazah, mengapa aku tidak bergabung dengan Pendekar
Romantis untuk melawan mereka?”
“Pendekar Romantis tak mau merepotkan pihak lain.
Berapa pun kekuatan yang mereka gabungkan, Pendekar
Romantis tetap akan hadapi seorang diri!”
Nyai Camar Langit geleng-gelengkan kepala. “Kau pun
ternyata keras kepala, seperti muridku si Belati Binal itu,
Pandu.”
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
64
“Maaf, Nyai! Jika kau ingin menyertaiku, kau hanya
kuizinkan melihatnya dari jarak jauh. Tapi jika kau ikut
campur dalam pertarungaku dengan Dalang Setan, aku benar-
benar kecewa, Nyai! Tentunya kau tak ingin kecewakan aku,
bukan?”
Sekali lagi perempuan tua beRembulan Pantairas
seperti masih separo baya itu menarik napas panjang, lalu
berkata dengan nada mirip orang menggumam,
“Kalau memang itu kehendakmu, terserahlah! Aku
hanya akan mengambil cucuku saja.”
“Cucumu akan kuambil sendiri!”
“Tapi kau belum pernah melihat cucuku, bukan?
Bagaimana kau bisa menyelamatkan dia kalau kau belum
pernah melihatnya? Salah-salah kau akan ambil tawanan lain
yang bukan Dewi Padi.”
“Tenang aja, Nyai. Aku punya insting yang kuat. Aku
kan anak dewa.”
Nyai Camar Langit mengantarkan kepergian Pandu
sampai di pekarangan depan, namun tak sampai ke luar dari
pagar benteng dari kayu-kayu jati batangan itu, Belati Binal
diizinkan oleh sang Guru untuk ikut mengantar kepergian
Pandu sampai di dalam benteng saja. Di sana mereka bertiga
saling pandang, dan Belati Binal menampakkan wajah
dukanya di depan Pandu. Ia berkata lirih kepada Pendekar
Romantis,
“Selamatkan Dewi Padi, saudara angkatku itu. jika kau
tak bisa selamatkan dia, jangan datang lagi kemari ketimbang
aku harus merobek jantungmu, Pandu!”
Senyum Pandu menampakkan keyakinan sikapnya
sebagai seorang pendekar yang punya ilmu tinggi dan mampu
ungguli lawan setangguh apa apun. Dengan suara pelan juga
Pandu Puber berkata,
“Aku akan datang bersama Dewi Padi! Itu janjiku dan
kau harus percaya!”
Pendekar Romantis segera melangkah tinggalkan
halaman dalam benteng kayu itu. Namun baru dua langkah ia
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
65
sudah harus berhenti dengan mendadak. Sesuatu dilemparkan
oleh orang dari luar benteng. Suara derap kaki kuda
mengawali lemparan itu. dan ketika benda tersebut sudah
dilemparkan, maka derap kaki kuda terdengar lagi menjauhi
tempat mereka.
“Hahh…?!” pekik Belati Binal ketika mengetahui apa
yang dilemparkan oleh si pengendara kuda tadi. Benda itu tak
lain adalah dua kepala manusia yang sanat dikenali oleh Nyai
Camar Langit maupun Belati Binal. Tak heran jika keduanya
menjadi tegang, walaupun Nyai Camar Langit masih bisa
segera kendalikan diri.
“Rahsuko dan Gandaru, Nyai Guru!”
Mulut sang Nyai terkatup rapat karena menahan
lontaran murkanya, Pandu bertanya, “Siapa mereka, Nyai?”
Barulah Nyai Camar Langit bicara, “Mereka adalah
kedua penjaga tapal batas sebelah timur tempat kami ini!
rupanya mereka telah dipenggal oleh seseorang dan kepalanya
dilemparkan kemari sebagai tantangan bertarung melawan
pihaknya!”
“Apakah menurutmu orang itu adalah utusan dari Ratu
Cadar Jenazah?”
“Tidak,” jawab sang Nyai dengan tegas. “Ratu Cadar
Jenazah tidak mau memamerkan korbannya hanya bagian
kepalnya saja! Ini pasti perbuatan anak buahnya Dalang
Setan!”
“Dari mana kau tahu?”
“Tebasan pedangnya yang memenggal kedua penjagaku
itu terlalu kasar. Ini merupakan ciri-ciri jurus pedang yang
diturunkan Dalang Setan kepada para muridnya.”
“kalau begitu sasaran utamaku sekarang adalah
Perguruan Tanduk Singa, dan aku akan menuntut kekejian ini
kepada si Dalang Setan! Aku berangkat sekarang, Nyai!”
Beberapa murid Nyai Camar Langit yang melihat
kepergian Pendekar Romantis merasa kagum. Bukan kagum
kepada ketampanan dan kegagahannya saja, tapi juga kagum
kepada keberaniannya. Tidak semua orang berani datang ke
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
66
Perguruan Tanduk Singa. Apalagi sendirian, jelas itu suatu
keberanian yang nekat. Sebab orang-orang Perguruan Tanduk
Singa tak pernah beri kesempatan orang asing bicara
mejelaskan siapa dirinya. Biasanya setiap orang asing yang
datang ke Perguruan Tanduk Singa selalu diserang lebih dulu
oleh mereka. Jika bisa bertahan hidup, baru mereka akan
menanyai maksud dan tujuan orang tersebut. Tapi jika sudah
terlanjur mati, nggak ada yang mau menanyainya.
Perguruan Tanduk Singa terletak di lereng bukit. Sesuai
dengan arah yang ditunjukkan oleh Nyai Camar Langit, Pandu
Puber dapat mencapai tempat itu dengan mudah, tidak tersesat
arah. Namun sebelum ia mencapai pusat perguruan yang
dikelilingi tembok batu itu, tiba-tiba langkahnya terhenti
dengan sendirinya. Matanya melihat sekelebatan bayangan
melintas di sebelah kirinya, agak jauh dari tempatnya berada.
Pandu Puber segera menguntit orang tersebut.
Ternyata orang itu adalah Wisesa yang entah mau pergi
ke mana. Samar-samar Pandu ingat sosok penampilan orang
berpakaian biru dengan ikat kepala putih dan tubuhnya agak
gemuk itu.
“Wisesa, teman Silabang yang kemarin malam mau
membunuh Belati Binal. Hmm… mau ke mana dia?
Sebaiknya kuhadang lewat atas saja.”
Pandu Puber sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya
melesat tinggi, lalu hinggap di atas pohon. Dari pohon yang
satu ia melompat ke pohon yang satunya lagi, kadang
bergelayutan menggunakan akar pohon yang bergelantungan
mirip rambut-rambut iblis itu. Pandu sendiri tak ubahnya
seperti tarzan kesiangan yang tak berani berteriak, “auow”
karena takut ketahuan calon lawannya.
Wisesa terkejut dan cepat pasang kuda-kuda yang mirip
posisi pemain kuda lumping begitu melihat Pandu melompat
dari atas pohon di depannya. Mata beralis tebal itu
memancarkan sikap permusuhan secara otomatis. Kumisnya
yang pendek tapi lebat itu diusapnya satu kali, kemudian
menyapa dengan suara keras berkesan galak.
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
67
“Monyet dari mana kau, hah? Mau apa menghadang
langkahku? Mau mati?!”
“Nggak mau,” jawab Pandu sambil menggeleng-
gelengkan kepala seperti pendekar bego. “Aku cuma mau
ketemu sama Dalang Setan!”
“Dalang Setan tidak ada, yang ada Wisesa Siku Bido!”
sambil menepuk dadanya. “Kalau mau ada urusan dengan
Ketua, sampaikan saja padaku!”
“Nggak bisa. Ini soal duit kok. Nanti kalau
kusampaikan padamu bsa dikorupsi! Aku mau ketemu Dalang
Setan saja, soalnya tetanggaku nyunatin dan mau naggap
wayang jadi butuh dalang!”
Wisesa menggeram jengkel, karena ia tahu sedang
dipermainkan dan gurunya yang disebut Ketua sedang diledek
oleh anak muda bertato bunga mawar di dadanya itu. maka
Wisesa memandang kian angker, mirip kuburan kunrang
kemenyan.
“Mulutmu lancang sekali, Anak Kencur!”
Pandu membatin, “Busyet! Gue kan anak dewa, masa’
dibilang anak kencur? Jangan-jangan orang ini nggak ngerti
kencur itu apa?”
“Siapa kau sebenarnya sehingga berani ngomong
sembarangan di depanku, hah?!” bentak Wisesa.
“Kalau membentak jangan keras-keras, Kang. Mulutmu
bau jengkol rebus!” kata Pandu sengaja memanas-manaskan
hati Wisesa biar tenaganya disedot oleh emosinya sendiri.
“Namaku adalah Pandu Puber, gelarku Pendekar Romantis.
Hobiku, biasa… he, he, he… main cewek. Itu pun kalau ada
yang dibuat mainan, kalau nggak ada ya main kartu juga
boleh. Kamu yang namanya Wisesa, ya Kang?”
“Benar!” lalu ia membatin, “Ooo… ini yang dikatakan
sang Ketua sebagai anak kemarin sore yang akan bertarung di
Jurang Karang Kerenda nanti?”
Pandu sengaja menambah panas hati Wisesa lagi
dengan berkata, “Kalau memang kau yang bernama Wisesa,
berarti kermarin malam melihat Silabang terbunuh oleh jurus
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
68
‘Salju Kaget’-ku itu dong?”
“Apaaa…?” Wisesa makin mendelik. “Jadi kau yang
membunuh Wisesa?!”
“Kok Wisesa sih? Wisesa kan namamu sendiri? Aku
membunuh Silabang!”
“Orang marah, salah sebut nggak masalah!” sentanya
menutup malu. “Kalau begitu kau harus menerima kematian
yang sama dengan Silabang. Akulah malaikat pencabut
nyawamu! Heaaat…!”
Wisesa sentakkan kedua tangannya ke depan dan
sebongkah gulungan api melesat menghantam Pandu Puber.
Wuutt…! Wuueess…! Gerakan gulungan api itu cukup cepat,
besarnya seperti bola basket.
Pandu Puber sentaak kaki dan melesat lurus ke atas.
Tapi jempol kakinya segera disentakkan dalam gerakan
pendek, dan dari ujung jempol kaki itu keluar sinar putih perak
sebesar lidi. Claap…! Sinar putih perak kecil itu menghantam
gulungan api dan terjadilah ledakan yang membuyarkan
gulungan api tersebut.
Blarrr…!
Itulah yang dinamakan Pandu sebagai jurus ‘Jempol
Syahdu’. Biar kecil barangnya tapi besar tenaganya. Ledakan
itu sendiri menimbulkan gelombang panas yang menyentak
dan membaut Wisesa terjungkal ke belakang lalu berguling-
guling tak bisa menahan diri. Sedangkan Pandu Puber sempat
menjejak sebuah pohon saat masih di udara lalu tubuhnya
melesat bersalto, mendarat tak jauh dari tempat Wisesa
terjungkal.
Begitu Wisesa bangkit, kaki Pandu Puber segera
menyambarnya dengan tendangan putar yang cepat dan
beruntun. Tendangan itu yang dinamakan jurus ‘Tendangan
Topan’, karena kecepatan tendangannya yang beruntun seperti
angin topan.
Bukk, plak, duuhg, beeg, plok, plok…!
Wisesa melintir seperti gangsing. Tendangan Pandu
sudah berhenti masih melintir juga. Rupanya selain tendangan
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
69
itu berkekuatan tenaga dalam yang mampu merobek kulit
wajah Wisesa, juga mempunyai angin besar yang bisa
membaut tubuh Wisesa berputar mirip gangsing. Ketika putara
itu berhenti, Wisesa jatuh terkapar dengan kepala membentur
batu lebih dulu. Pletok…! Lumayan.
Wajah Wisesa hancur, berlumur darah dan luka mirip
dicabik-cabik singa lapar. Hidungnya hampir somplak, giginya
rontok empat biji, satu di antaranya tertelan tanpa disengaja.
Bibirnya pun pecah, mirip pantat ayam habis bertelur.
Telinganya yang kanan robek, tapi tak sampai putus, hanya
kiwir-kiwir dan masih bisa dibetulkan pakai lem yang kuat
jenis Aibon. Pokoknya keadaan Wisesa rusak berat di bagian
wajah. Andai dibawa di rumah sakit pun dokter akan bingun,
yang mana yang harus dijahit lebih dulu.
“Kaau… kau tak akan bertemu dengan Ketua, sebab…
sebab dia tidak ada di sini!” kata Wisesa dengan menyeringai
kesakitan tapi masih ingin menyerang juga. Pandu maju
beberapa langkah, dan tiba-tiba ketika Wisesa hantamkan
tangannya, Pandu merunduk setengah jongkok, lalu telapak
tangannya menghantam rusuk Wisesa. Dess…! Krak…!
“Aaauh…!” Wisesa menjerit kesakitan, tulang rusuknya
patah tiga. Tentu saja sakit sekali. Matanya sampai mendelik
sekejap karena napasnya bagai tersumbat.
“Di mana ketuamu berada, katakan!” hardik Pandu
Puber dengan kedua tangan terangkat siap menghantam wajah
bonyok itu. “Cepat katakan!”
Karena takut kali ini kepalanya yang akan diremukkan
si pemuda tampan, maka Wisesa pun akhirnya menjawab
dengan nada kesakitan yang berat,
“Ketua… ketua ada di… di… Bukit Gulana, sedang
temui Ratu Cadar Jenazah, bicarakan tentang sandera; Dewi
Padi itu.”
“terima kasih atas bentuanmu dan maafkan kesalahanku
yang sedikit melukaimu, Kang! Permisi!” Pandu nyengir
sambil pergi selayaknya seroang tamu pamitan mau pulang.
Tapi gerakan berikutnya bagitu cepat, tak bisa dilihat mata
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
70
Wisesa. Pandu melesat menuju ke Bukit Gulana dengan
pergunakan jurus peringan tubuh yang mampu bergerak
melebihi kecepatan anak panah itu. Zlaappp…! Weess…!
Sebelum tengah hari, Pandu Puber sudah tiba di Bukit
Gulana. Hampir saja ia kesasar masuk rumah janda, untung ia
ingat petunjuk dan ciri-ciri Bukit Gulana yang diberitahukan
oleh Belati Binal sebelum berangkat tadi. Dan begitu tiba di
batas wilayah Bukit Gulana, Pandu Puber terpaksa hadapi tiga
penjaga batas wilayah Bukit Gulana. Dua penjaga disa
dilumpuhkan tanpa harus dibunuh, tapi yang satunya kabur
lebih daulu setelah Pandu memperkenalkan dirinya sebagai
Pendekar Romantis.
Tak heran jika kehadiran Pandu di depan benteng sudah
dihadang oleh Dalang Setan dan beberapa anak buahnya,
termasuk anak buah Ratu Cadar Jenazah. Mereka mengurung
Pandu Puber dengan senjata siap serang. Tapi sikap Pandu
Puber tetap tenang, kalem, bahkan tersenyum-senyum kepada
Dalang Setan, walau hanya senyuman tipis. Berdirinya pun
tetap tegak dan tampak gagah.
“Bocah dungu!” sentak Dalang Setan dengan kasar.
“Rupanya kau tak sabar menunggu hari pertarungan kita tiba,
ya?”
“Iya tuh… kelamaan sih!” jawab Pandu Puber
seenaknya saja.
“Baik. Aku jadi tak sabar ingin hancurkan tubuhmu
yang sok digagah-gagahin itu!”
“Memang dari sananya gagah sendiri, Paman!” ujar
Pandu masih seenaknya. “Tapi sebelum kau hancurkan
tubuhku ini, kusarankan untuk memanggil Ratu Cadar
Jenazah. Kalian berdua sajalah, biar cepat melumat tubuhku!
Kalau sendirian nanti kau capek dan rematikmu bisa kumat
lho!”
“Bocah dungu bermulut celeng! Sesumbarmu bikin aku
panas dingin karena bernafsu sekali merajang nyawamu!” lalu
Dalang Setan berseru kepada anak buahnya, “Lebarkan
kepungan, lihat caraku mencabut nyawa anak dungu ini!”
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
71
Kepungan dilebarkan, tempat jadi lega. Pandu Puber
bergeser di tengah lingakaran, Dalang Setan diam di tempat
dan berkomat-kamit sebentar, entah roh wayang siapa yang
dipanggil. Mungkin saja roh wayang Gatutkaca lagi, seperti
waktu rebutan Kitab Panca Longok, atau mungkin juga roh
wayang Petruk. Yang jelas begitu selesai komat-kamit Dalang
Setan segera melompat. Langkahnya lebar dan setiap menapak
ke tanah membuat bumi bagaikan begetar. Suaranya pun
berubah menjadi besar.
“Bocah dungu… habislah riwayatmu sekarang juga!
Kudongkel isi perutmu dengan Kuku Pancanaka ini!”
Seett…!
“Gila, jempolnya bisa keluar kuku panjang lho? Pasti
dia memanggil roh Raden Bima nih!” pikir Pandu. “Ah, peduli
amat. Mau manggil roh Raden Bima atau Raden Cakil, masa’
bodo! Gunakan saja jurus ‘Sepasang Sayap Cinta’, pasti
berantakan!”
Dalang Setan memekik keras dengan suara besar,
“Heaahh…!” Tubuhnya melompat dua tindak, sekali lompat
cukup panjang dan tinggi. Begitu tiba di depan Pandu,
tangannya yang berkuku panjang di bagian jempol itu
merobek dada Pandu dengan gerakan cepat. Wuuurrtt…!
Wuusss…! Pandu bersalto ke belakang. Gerakan
saltonya yang tak bisa dilihat mata karena kecepatannya itu
sempat menendang pergelangan tangan kanan Dalang Setan.
Dess…! Sedangkan tendangan itu mengandung tenaga dalam
tinggi, sehingga terdengar suara krek…! Pasti tulang
pergelangan tangan itu patah, setidaknya retak atau meleset
dari engselnya.
“Babiii…!” teriaknya dengan murka karena menahan
rasa sakit. Dalang Setan kembali melomat menerjang Pandu
Puber dengan teriakan liarnya Wuuttt…!
Pandu Puber tak tanggung-tanggung, ia segera lepaskan
jurus ‘Sepasang Sayap Cinta’ dari kedua jari yang dikeraskan
dan disentakkan ke depan. Claapp…! Dua larik merah keluar
dari ujung jari itu menghantam lambung dan ulu hati Dalang
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
72
Setan. Derrb…!
“Uuhg…!” Dalang Setan terpekik. Tubuhnya yang
masih di udara terpental mundur dengan kuat, lalu jatuh
terguling-guling bagaikan disapu badai.
“Hooek…!” Dalang Setan muntah. Yang keluar bukan
saja darah, tapi semua isi perutnya, termasuk makanan
kangkung yang ditelannya ketika sarapan tadi pagi.
“Kuat juga dia! Biasanya orang terkena jurus ‘Sepasang
Sayap Cinta’ akan hancur, tapi dia masih utuh. Cuma, aku
yakin isi perutnya pasti hancur. Eh, tapi kok dia masih bisa
berdiri? Lho, sekarang malah cabut kerisnya?”
Lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, memakai surjan
coklat dan blangkon di kepala, segera mencabut keris yang
terselip di depan perutnya. Keris itu memancarkan sinar merah
pijar. Jelas keris itu pasti keris pusaka yang dapat menyala
merah tanpa tenaga batu baterai. Ketika keris itu digerak-
gerakkan ke sana-sini, sinar merah mengikuti bagaikan ekor
naga yang berbahaya, sewaktu-sewaktu bisa menyabet
lawannya.
“Bocah dungu… kalau benar kau Pendekar Romantis
yang terkenal sakti itu, coba hadapi pusakaku yang bernama
Keris Mata Iblis itu! Heaatt…!”
Keris disentakkan ke depan setelah dikibaskan ke
samping kanan-kiri, lalu sinar merah melesat cepat menuju
Pandu Puber. Wuusss…!
Pendekar Romantis mencoba menahan sinar merah itu
dengan jurus ‘Cakram Biru’-nya. Sinar biru yan gkeluar dari
pergelangan tangan beradu dengan sinar merah dari Keris
Mata Iblis. Claap…!
Blegaarr…!
Pandu Puber terpental oleh gelombang ledang yang
kuat itu. tubuhnya bisa terbang sendiri dan jatuh terbating.
Bruuss…! Beehg…!
“Uuhg…! Mati aku, bantingannya kuat sekali. Uuhf…!
Hampir sasja tulang-tulangku patah semua! Kekuatan keris itu
cukup besar. Lawannya bukan ‘Cakram Biru’!” keluh Pandu
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
73
dalam hati sambil berusaha bangkit. Pinggulnya terasa sakit
karena membentur batu saat terbanting. Tapi ia tahan dan tidak
diperlihatkan pada lawan. Ia masih bisa berdiri dengan tegak
dan gagah. Hawa dingin disalurkan sebentar untuk meredakan
bagian-bagian yang sakit.
Dalang Setan sendiri juga terpental, tapi tidak sampai
jatuh. Ia masih bisa berdiri tegak secepatnya dengan
memegangi keris yang memancarkan sinar merah.
Pandu Puber segera mencabut pedangnya yang bernama
‘Pedang Siluman’. Pedang itu menyatu di kaki kanannya, dan
punya cara sendiri untuk mencabut. Pedang itu adalah jelmaan
dari kakeknya, si raja jin yang bernama Kala Bopak.
“Kau pikir aku takut dengan pedangmu itu, hah?
Pedang mainan anak-anak tidak akan bisa kalahkan Keris
Mata Iblis ini! Mari kita buktikan! Heaah…!” Dalang Setan
pun segera menerjang Pandu dengan lompatan cepat.
Pandu hanya dia di tempat, tapi ia memainkan jurus
pedangnya dengan kecepatan tinggi, sehingga tubuhnya bagai
dilapisi sinar ungu. Jurus pedang yang diperoleh dari titisan
ilmu sang Ayah itu membuat Pandu tidak bisa ditembus
serangan lawan. Ketika Dalang Setan menusukkan kerisnya,
keris itu beradu dengan pedang ungu. Duaar…!
Ledakan yang timbul menyentakkan tubuh Dalang
Setan ke belakang, tiga langkah dari tempat Pandu berdiri. Ia
memandang dengan mata lebar dan mulut terbengong.
Kerisnya hancur, yang ada di tangan tinggal gagangnya saja.
“Bangsat! Kerisku kalah sakti dengan pedang itu?!”
pikirnya penuh murka.
Pada saat itulah Pendekar Romantis maju dalam satu
lompatan dan pedang ungu itu berkelebat menebas tubuh
lawannya. Craas…!
Tebasan cepat membuat tubuh Dalang Setan terluka.
Pedang Siluman berhasil menggores Dalang Setan dari leher
sampai ke pinggang kiri. Luka itu tidak timbulkan darah,
melainkan keluarkan asap ungu yang mengepul indah
dipandang mata. Memang begitulah kehebatan Pedang
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
74
Siluman.
Dalang Setan memandangi lukanya sebentar, lalu
tertawa terbahak-bahak, karena setiap orang yang terkena
Pedang Siluman akan tertawa girang, sebab roh Kala Bopak
yang ada dalam pedang ungu itu merasa girang bisa
melumpuhkan lawan, rah itulah yang sebenarnya tertawa
terbahak-bahak.
Tapi para anak buah Dalang Setan menganggap sang
ketua mereka menertawakan goresan Pedang Siluman, dan
mereka beranggapan Dalang Setan sangat sakti.
“Kena pedang sepanjang itu saja masih bisa tertawa?
Hebat sekali sang ketua kita itu, ya?” ujar salah seorang
pengepung kepada temannya.
Tapi alangkah kagetnya mereka setelah melihat Dalang
Setan hentikan tawa dan akhirnya tumbang tnapa basa-basi
lagi. Dalang Setan terkapar tak bergerak selama-lamanya
karena sang nyawa sudah pergi sejak tadi.
Mereka segera buyar ketakutan. Tak ada yang berani
memandang Pendekar Romantis yang masih pegangi pedang
dengan dua tangan itu. keadaan Pandu yang masih siap tebas
menjadi kendur setelah mendengar suara ledakan menggema.
Blegaar…!
Tembok benteng hancur. Ada yang menjebol dari
dalam. Orang yang menjebol itu segera melompat keluar
dengan cepat. Ternyata orang itu memanggul seorang gadis
yang telah ditotok dulu sebelumnya. Pandu Puber tercengang
melihat orang tersebut.
“Lemakwati…?!”
Si gembrot Lemakwati sunggingkan senyum jeleknya.
Ia berseru kepada Pandu.
“Tinggalkan tempat ini! sandera sudah kuselamatkan!
Serahkan sendiri kepada Nyai Camar Langit!”
“Dari mana kau tahu semua ini?”
“Bayanganku selalu mengikutimu sejak dari dalam gua,
Pandu. Bicaranya nanti saja! Cepat pergi dari sini!”
Saat itu Pandu mendengar suara teriakan orang kepada
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
75
Rembulan Pantai yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu
dari sisi lain.
“Rembulan Pantai… Gusti Ratu luka parah!”
Pandu segera berkata kepada Lemakwati, “Kaukah
yang melukainya?”
“Ya! Saat kau bertarung dengan Dalang Setan, aku di
dalam bertarung dengan Ratu Cadar Jenazah!”
Keduanya segera melesat pergi tinggalkan tempat itu.
setelah jauh dari tempat itu, mereka baru adakan acara serah
terima sandera. Lemakwati menyerahkan Dewi Padi kepada
Pandu Puber.
“Lepaskan totokannya setelah tiba di Lembah
Nirwana,” kata Lemakwati.
“Kau mau ke mana?”
“Membayangimu dari alam gaib! Ingat, kalau kau ingin
dapatkan aku, bersihkan jiwamu, bersihkan hatimu dulu,
jangan rakus sama wanita!”
“Apa maksudmu?”
Lemakwati melompat tinggi dan hinggap di atas pohon.
Ia tersenyum sejenak saat dipandangi Pandu Puber. Lalu mata
Pendekar Romantis itu terperanjat bengong ketika tubuh
Lemakwati memancarkan sinar hijau pendar-pendar. Makin
lama makin menyilaukan, namun segera redup dan tampaklah
sesosok wanita cantik berpakaian serba putih, di belahan
dadanya terselip setangkai bunga mawar yang masih hidup,
asli bukan dari plastik.
“Dian…?! Jadi, kau menyamar sebagai Lemakwati?”
“Kalau waktu itu kau cium keningku, maka
penyamaranku akan buyar dan wujud asliku tampak di depan
matamu, Pandu. Sayang sekali kau tak mau menciumku,
sehingga kau kehilangan kesempatan mencabut bunga
mawarku ini!”
“Dian Ayu Dayen…tunggu dulu!”
Asap putih mengepul tebal, dan sosok bidadari
Penguasa Kecantikan yang bernama Dian Ayu Dayen itu pun
lenyap bagaika ditelan asap putih itu.
PENDEKAR ROMANTIS
Dendam Dalang Setan
76
“Brengsek! Kalau tahu si gembrot itu adalah dia, sudah
kuhabisi asmaranya di dalam gua itu!” gerutu Pandu Puber
sambil membawa pulang Dewi Padi yang masih tertotok. Ia
amat menyesali membayangkan bujukan dan rayuan mesra
Lemakwati saat di dalam gua yang ditolaknya itu. Pandu
Puber jadi jengkel pada dirinya sendiri, sampai akhitnya ia
berkata,
“Masa’ bidi, ah! tapi mulai saat ini aku nggak mau
mudah jatuh dalam pelukan perempuan. Aku harus
membersihkan hatiku supaya Dian Ayu Dayen mau
mendekatiku.”
Tapi hati kecil Pandu bertanya, “Apakah aku bisa tak
tergoda kecantikan wanita? Sekarang saja aku sudah punya
pikiran jorok terhadap Belati Binal yang tempo hari waktu di
gubuk tengah sawah hampir saja berlayar dengan perahu
cnitaku. Ah… ciuman gadis tanpa senyum itu sungguh
menggugah hatiku untuk segera merengutnya dalam pelukan.
Ah, nggak mau…! Aku nggak boleh begitu! Tapi… apa aku
tahan bersikap cuek dengan kecupan hangantnya itu?”
Pendekar Romantis akhirnya tak mau bicara dengan
dirinya sendiri, karena ia tak pernah yakin dengan
kemampuannya untuk cuek dengan gadis mana pun.
SELESAI
Created ebook by
Scan & Edit Teks (fujidenkikagawa)
Convert to pdf (syauqy_arr)
Emoticon