Pendekar Romantis 7 - Dendam Dalang Setan(3)


PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
48
ALAM itu juga Pendekar Romantis mendesak 
Belati Binal untuk pulang ke Lembah Nirwana. 
Perdebatan terjadi cukup sengit, sebab Belati 
Binal tidak setuju dengan rencana Pandu menghadap Nyai 
Camar Langit untuk bicarakan rencananya mengambil alih 
persoalan tersebut. Belati Binal termasuk gadis yang keras 
kepala, sehingga perbantahannya nyaris menimbulkan 
pertarungan di dalam gua. Emosi Pandu memang menjadi 
tinggi, tapi emosi gadis pelacak itu tiga kali lipat lebih tinggi 
dari emosi Pandu. 
  “Kau jangan meremehkan aku, Pandu! Sekali pun aku 
dulu pernah hampir mati di tangan Dalang Setan, tapi sekarang 
hal itu nggak bakalan terjadi lagi, karena Guru sudah 
memberitahukan padaku bagaimana melawan ilmunya Dalang 
Setan itu!” 
“Tapi kau tetap akan kalah, karena Dalang Setan pun 
tentunya telah menyiapkan jurus andalannya. Sekali gebrak 
kamu bisa amblas ke neraka!” 
“Kau pikir mudah mengalahkan aku, ya? Coba saja kau 
sendiri yang tumbangkan aku sekarang juga! Majulah, dan 
akan kulumpuhkan kau dengan jurus simpananku yang selama 
ini baru dua kali kugunakan itu! ayo, majulah kau kalau kau 
memang ingin buktikan kekuatanku!” tantang Belati Binal. 
Pendekar Romantis segera sadari ketegangan tersebut. 
Ia tak mau hanyut dalam ketegangan yang dapat timbulkan 
bahaya bagi kedua belah pihak. Akhirnya Pandu Puber hanya 
menghela napas panjang-panjang dan menghempaskannya 
dengan sentakan kejengkelan. Pandu pun akhirnya duduk di 
atas sebongkah baru gua setinggi lutut. Ia diam termenung di 
sana hingga beberapa saat lamanya, sedangkan Belati Binal 
LIMA 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
49
cemberut di pojokan sambil duduk melonjorkan kedua kaki, 
matanya pandangi nyala api unggun. 
Lama sekali mereka dicekam sepinya malam. Belati 
Binal nggak bisa bertahan bisu lebih lama lagi. Pandangan 
matanya yang sesekali dilemparkan ke wajah Pandu yang 
tampak murung itu membuat hatinya terusik gelisah, akhirnya 
ia dekati pemuda ganteng bermata kebiruan itu, lalu ia berkata 
dengan suara bernada rendah. Tapi wajahnya tetap tampak 
cemberut menahan kekesalan hati. Sebenarnya kekesalan hati 
itu adalah kecemasan yang berlebihan, yaitu kecemasan 
tentang keselamatan Pandu Puber jika harus berhadapan 
dengan dua tokoh berilmu tinggi itu. dalam hati kejujuran 
Belati Binal, sebenarnya ia tak ingin Pandu Puber celaka gara-
gara kasusnya itu. ia sangat menyayangkan jika pemuda 
setampan Pandu menjadi cacat atau mati hanya membela 
perkara seperti itu. 
“Apakah kau yakin betul kalau mampu melawan 
Dalang Setan yang dibantu Ratu Cadar Jenazah?” 
Pandu melirik gadis cantik berdada montok itu. Ia 
menarik napas untuk membuang kedongkolan dalam hatinya, 
setelah itu baru menjawab dengan mata tertuju ke tempat lain. 
“Kalau aku bicara dulu dengan gurumu, setidaknya 
gurumu akan memberikan titik kelemahan Ratu Cadar Jenazah 
dan Dalang Setan.” 
“Apakah kau belum tahu kelemahan mereka?” 
“Yang kutahu, aku mempunyai jurus-jurus yang dapat 
untuk menumbangkan mereka. memang sebenarnya aku tak 
perlu menanyakan kelemahan mereka kepada gurumu, tapi 
setidaknya pertanyaan itu merupakan alasan bagiku untuk 
mengambil alih perkaran ini, Belati Binal!” 
Belati Binal jauhi Pandu sambil menggenggam 
kecemasan. Ia mendekati api unggun dan memandanginya lagi 
dalam ketermenungan. Sesaat kemudian terdengar suaranya 
yang kaku itu berkata, 
“Kalau kamu mau nekat begitu, terserah kamu sajalah! 
Tapi aku nggak mau membantumu saat melawan mereka! biar 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
50
kamu tahu kalau ngototmu titu berakibat parah bagi dirimu 
sendiri.” 
Pandu memandang sebentar, kemudian berkata, 
“Mengapa kau berubah pikiran begitu?” 
“Aku nggak mau cekcok terus denganmu. Aku bosan 
cekcok!” Lalu ia palingkan wajah hingga memandang Pandu 
dan menyambung kata, “Kamu nggak ngerti perasaanku yang 
sebenarnya sih!” 
Kata-kata itu agak aneh bagi si ampan bernting-anting 
satu itu. ia bangkit dan dekati gadis berhidung bangir dan 
berbibir mungil menggairahkan. Dipandangi wajah itu selama 
dua helaan napas, dinikmati kecantikan mungil yang ada di 
wajah Belati Binal, kemudian diperdengarkan pula suaranya 
yang punya nada lembut namun tetap mencerminkan 
ketegasan bersikapnya. 
“Perasaan yang bagaimana maksudmu? Katakan 
sejujurnya, Belati Binal!” 
Gadis pelacak itu gelengkan kepala. Menggelengnya 
agak lama, sebab kalau terlalu lama bisa bikin pusing kepala 
sendiri. Setelah menggeleng, Belati Binal pun segera berkata 
dengan mata tetap tertuju ke mata bening Pendekar Romantis. 
“Suatu saat kau akan tahu sendiri tentang perasaanku.” 
“Katakan sekarang juga atau aku pergi tak mau temui 
kau lagi?” Pandu mencoba menggertak secara halus. 
Dengan agak berat Belati Binal akhirnya berkata, 
“Perasaanku padamu seperti perasaan seorang… seorang… 
seorang cucu kepada kakeknya.” 
“Sial!” Pandu tersenyum tawar. “Kau kira usiaku sudah 
mencapai delapan puluh tahun?” Pandu bersungut-sungut. 
Harapan ang ditunggu tak datang. Gadis pelacak itu 
tetap tidak tersenyum walau ia sendiri yang melemparkan 
canda ringan untuk ditertawakan. Pandu Puber jadi jengkel, 
lalu ia menggelitik pinggang Belati Binal. Tapi tiba-tiba… 
tab! Tangan itu ditangkap dan ada dalam genggaman Belati 
Binal. Gadis itu berkata ketus, 
“Kamu nggak bakalan bisa mencuri pisauku walau 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
51
hanya satu buah saja! Jangan biasakan lagi pekerjaan lamamu 
itu, Pandu.” 
“Pekerjaan lama apa?” 
“Menjambret barang orang!” 
“Konyol kamu, ah! sudah, sudah, kita segera temui 
gurumu dulu, yuk? Jangan menunda masalah ini karena 
Dalang Setan tak mau menunda dendamnya pula. Kita harus 
bergerak lebih cepat dan jangan sampai kalah cepat dengan 
gerakannya.” 
“Kalau memang tekadmu sudah bulat begitu, sebaiknya 
sekarang juga kita harus berangkat supaya sampai di Lembah 
Nirwana hari masih gelap. Biar tak ada orang yang tahu kalau 
aku datang bersamamu.” 
“Memangnya kenapa kalau ada yang tahu?” 
“Sekadar menghindari keributan di antaar murid wanita 
saja!” jawab Belati Binal sambil melengos dengan wajah 
masih cembeut. Pandu Puber mengerti maksudnya, sehingga 
ia tertaa pelan bagaikan orang menggumam. 
“Rupnya dia nggak mau kalau aku jadi bahan tontonan 
teman-teman wanitanya di sana! Ada rasa tak rela kalau gadis 
lain mengagumiku. Hmm… aneh juga cewek yang satu ini! 
gregetan sekali aku jadinya. Enaknya dicium saja, ah… siapa 
tahu dia kasih balasan lebih galak lagi, sesuai dengan 
namanya; Belati Binal, sudah tajam, galak lagi! Kan asyik 
kalau dapat cewek yang kayak gitu. Coba, ah… mudah-
mudahan dia nggak marah setelah kucium!” 
Pandu Puber mendekat dari belakang. Tangannya ingin 
meraih pundak Belati Binal untuk memutar tubuh gadis itu 
biar berhadapan dengannya. Namun baru saja tangan terulur, 
si gadis sudah berpaling lebih dulu dan menghadap ke arahnya 
dengan berkerut dahi, memandang tajam, malah sekarang 
bertolang pinggang. Pandu Puber cengar-cengir malu sendiri. 
“Mau apa kau?” hardiknya. 
“Nggak mau apa-apa kok,” jawab Pandu berlagak 
bersungut-sungut. 
“Kita berangkat sekarang juga!” kata Belati Binal. 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
52
Nggak peduli malam berudara dingin kayak di Puncak, 
mereka berdua menerabas hutan menuruni lereng perbukitan. 
Kecepatan gerak Belati Binal tertinggal oleh Pandu Puber. 
Gadis pelacak itu menggerutu dalam hatinya, 
“Sial! Gerakannya susah diikuti. Benar-benar tinggi 
ilmu peringan tubuhnya. Padahal tadi di dalam gua kalau aku 
benar-benar dijajal olehnya, sekali gebrak bisa celeng beneran 
aku!” 
Belati Binal berusaha menyusul Pandu tapi tak pernah 
berhasil, sehingga sesekali ia terpaksa berteriak mengingatkan 
arah yang ditempuh Pandu sala. “Belok kiri, Goblok!” 
Pendekar Romantis tertawa pelan, merasa geli 
digoblok-goblokkan gadis semanis itu. Hatinya membatin, 
“Biar digoblokkan seratus kali rasanya senang aja hati ini. 
mungkin karena yang mengucapkan dia. Coba kalau yang 
mengucapkan Lemakwati, uh… sakit hati deh rasanya.” 
Wwuttt…! 
“Apa itu?!” Pendekar Romantis sempat terperanjat 
sekejap dan setelah itu ia bagai tak sadarkan diri. Tapi karena 
Belati Binal ada di belakangnya, maka Belati Binal tahu persis 
apa yang terjadi saat itu. 
Seberkas sinat biru samar-samar di keremangan malam 
melintas cepat di sisi kanan mereka. sinar biru itu seperi petir 
yang menyambar tanpa suara dalam gerakan datar. Sinar itu 
berkelebat cepat menghantam pinggang Pendekar Romantis. 
Pada saat sinar itu kenai Pendekar Romantis, cahaya biru 
memancar dari tubuh Pandu dalam sekejap. 
Blapp…! 
Padamnya sinar tanpa suara itu bersamaan dengan 
tumbangnya Pandu ke belakang. Blukk…! Pada saat itu nyawa 
Pandu terasa melayang-layang di udara dan sekujur tubuhnya 
tak dapat digerakkan lagi. Tapi kesadarannya masih ada. 
Masih bisa merasakan sakit di punggungnya karena 
membentur batu. Masih bisa pula mendengar suara langkah 
seorang dari kanan, juga masih mendengar suara Belati Binal 
memekik kaget memanggil namanya. 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
53
“Panduu…!” Nada cemas terdengar jelas, tak dapat 
dipungkiri lagi. 
Dalam keremangan malam itu Belati Binal melihat 
sosok seorang perempuan berpakaian ketat hijau muda. Dalam 
selintas saja Belati Binal bisa cepat kenali siapa perempuan 
muda berpenampilan tomboy dengan rambut cepaknya. 
“Prabawati…?!” hardik Belati Binal. Orang yang 
dipanggil sebagai Prabawati itu tak lain adalah Rembulan 
Pantai, salah satu pengawal Ratu Cadar Jenazah. 
Rupanya keduanya sudah saling kenal, sehingga 
Rembulan Pantai pun bicara dengan sikap menantang Belati 
Binal, “Ya, memang aku yang menyerangnya! Mau apa kau? 
Sakit hati?! Mau balas dendam? Majulah kalau kau merasa 
mampu mengalahkan aku!” 
“Apa maksudmu menyerangnya, hah?!” 
“Dendam pribadiku belum lunas! Kusangka ia sudah 
mati oleh ‘Tapak Kubur’-ku, ternyata masih segar bugar 
bersamamu! Kali ini ia tak akan lolos dari juru ‘Guruh 
Samudera’-ku!” 
“Kali ini pun kau tak akan bisa lolos dari jurus ‘Pisau 
Naga’-ku. Heeat…!” 
Wut, wut…! Crab…! 
Dalam sekali gerak menebar, tiga pisau tercabut cepat 
dan melesat secara berurutan beda arah. Rembulan Pantai 
kelabakan dan sangat panik. Dua pisau mampu dihindari 
dengan satu lompatan menyamping dan ayunan kepala 
merunduk. Tapi pisau ketiga tak mampu dihindari karena 
kedatangannya di luar dugaan. Pisau itu menancap telak di 
lambung Rembulan Pantai. 
“Ehhg…! Setan! Hiaah…!” Rembulan Pantai melesat 
dalam satu lompatan. Tubuh itu menyamabr Belati Binal 
dengan gerakan mencabut pedang. Namun belum sampai 
pedang tercabut, belum sampai kaki menerjang, tahu-tahu 
tubuh Rembulan Pantai jatuh tersungkur di tanah. Pisau yang 
menancap di lambungnya terasa susah dicabut. Racunnya 
melemahkan persendian. 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
54
Bruss…! 
“Celaka!” pikir Rembulan Pantai. “Racun di pisau ini 
sangat berbahaya. Tak mungkin kulakukan pembalasan saat 
ini. bisa habis riwayatku di tangannya!” 
Rembulan Pantai berusaha bangkit. Belati Binal 
kelebatkan tangannya dalam satu lemparan menyamping dan 
sebilah pisau melayang cepat mengarah leher kanan Rembulan 
Pantai. 
Wuuttt…! 
Untung Rembulan Pantai berhasil meliukkan kepala 
lagi sehingga pisau itu terhindar dari lehernya. Tanpa 
meninggalkan pesan dan kesan apalagi kata kenangan. 
Rembulan Pantai melesat pergi tinggalkan tempat itu. Hilang 
di balik kerimbunan malam bersemak. 
“Berhenti kau!” teriak Belati Binal yang segera 
mengejar ke arah yang sama. Namun ternyata ia kehilangan 
jejak. Keringat lawannya tercium di arah selatan. Belati Binal 
bermaksud mengejar ke selatan, tapi ia segera ingat keadaan 
Pendekar Romantis, sehingga ia membatalkan niatnya. 
Baginya keselamatan Pendekar Romantis lebih penting 
dari pada mengejar Rembulan Pantai. Menurutnya Rembulan 
Pantai bisa mati di perjalanan karena termakan racun dalam 
pisaunya itu. racun tersebut bekerja dengan cepat dan ganas, 
sukar disembuhkan. Kalau saja Rembulan Pantai bisa bertahan 
sampai bertemu Ratu Cadar Jenazah, maka ia akan selamat, 
karena sang Ratu termasuk salah satu orang yang ahli dalam 
hal racun meracun. 
Pandu tak bisa membuka mata. Namun hatinya masih 
bisa bicara, “Sialan! Aku dibiarkan terkapar di tempat 
berembun begini. Konyol juga si Belati Binal itu. Pakai mau 
kejar Rembulan Pantai segala. Kena tacun ‘Tapak Kubur’ baru 
tahu rasa lu!” 
Pandu tahu siapa yang menyerangnya secara tiba-tiba 
itu. suara percapakan kedua gadis tersebut bisa diterima 
pendengarannya. Hanya itu yang bisa dilakukan Pandu, tapi 
tak ada gerakan yang mampu dilakukan walau sedikit pun. 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
55
Dan hati Pandu menjadi lega ketika ia mendengar langkah 
kaki mendekat. Ia yakin itu suara langkah kaki Belati Binal. 
Suara si gadis pelacak pun di dengarnya walau pelan. 
“Jahanam itu pasti punya maksud tertentu hingga 
malam-malam masih keluyuran di perbatasan wilayahku! Aku 
jadi curiga terhadapnya. Pasti ia dari Lembah Nirwana dan 
dalam perjalanan pulang atau… ah, persetan dengan si 
Prabawati keparat itu! aku harus selamatkan pemuda ini dari 
pengaruh mati darah akibat jurus ‘Guruh Samudera’-nya itu. 
Tapi, jelas tak mungkin bisa kulakukan sendiri. Sebaiknya 
kubawa kepada Nyai Guru saja, biar Nyai Guru yang 
sembuhkan!” 
Wuuttt…! Tubuh Pandu segera dipanggulnya lalu 
Belati Binal membawanya pergi menuju Lembah Nirwana. Ia 
harus melewati bentangan persawahan untuk melewati lembah 
berikutnya. Sebab jika ia melintasi sebuah desa di dekat situ, 
ia takut keadaannya yang memanggul Pandu menjadi pusat 
kecurigaan penduduk desa yang sedang meronda. Maka 
diputuskanlah langkahnya melintasi persawahan. 
Tetapi kala itu angin berhembus membawa udara makin 
dingin. Udara lembab menandakan datangnya bintik-bintik 
hujan dari arah utara. Belati Binal merasakan sebentar lagi 
akan turun hujan jika angin berhembus ke arah selatan. 
Kecepatan gerak larinya dikawatirkan akan terkejar oleh 
turunnya hujan. 
Gerimis rintik-rintik mulai turun. “Benar juga 
dugaanku. Kayaknya aku harus mencari tempat untuk 
berteduh dan membiarkan hujan lewat lebih dulu, baru 
perjalanan ini kuteruskan.” 
Sebuah gubuk di tengah sawah menjadi sasaran 
persinggahan Belati Binal. Di gubuk berlantai panggung dari 
belahan bambu itu tubuh Pandu Puber dibaringkan. Geimis 
makin hebat, tapi masih tetap berstatus gerimis, belum naik 
pangkat menjadi hujan. Alam sepi dan angin kencang 
membuat Belati Binal ikut duduk di atas lantai panggung yang 
menyerupai sebuah balai-balai lebar. Agaknya gubuk tengah 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
56
sawah itu biasa digunakan oleh para petani untuk beristirahat 
siang. Gubuk itu mempunyai tiga dinding masing-masing 
separo bagian. Bagian ke atas sampai atap kosong tanpa 
dinding bambu, sedangkan bagian depan gubuk sama sekali 
tanpa dinding pembatas. 
Belati Binal sengaja rapatkan tubuh Pandu ke salah satu 
dinding supaya tidak terkena gerimis yang terhembus angin 
dari utara. Ia duduk di samping pemuda itu dengan perasaan 
cemas. Sesekali mengusap kening Pandu yang berkeringat 
dingin sebagai tanda pembekuan darah kian terjadi lebih kuat 
dari yang tadi. Jurus ‘Guruh Samudera’ bersifat membekukan 
darah, mematikan urat dan melepas seluruh persendian. Tetapi 
Belati Binal tidak tahu bahwa jurus itu tidak mematikan rasa 
bagi si penderita, sehingga panca inderanya masih bisa 
digunakan kecuali mata, sebab kelopak mata terkatup lemas 
tak bisa digerakkan. Tapi penciuman, pendengaran, peraba, 
semua masih berfungsi. Jantung masih berdetak walau lambat 
sekali. Nantinya detak jatung akan hilang dan berhenti sama 
sekali jika pembekuan darah sudah memenuhi bagian kantung 
jatung. Jika keadaan begitu maka si penderita sudah pasti mati 
tanpa nyawa sedikit pun. 
Gerimis agak deras. 
“Kasihan sekali dia,” gumam hati Belati Binal. 
Tangannya masih mengusap keringat yang membasah di leher 
Pandu, kening, pelipis, dada dan tangannya. Usapan yang 
lembut ternyata hadirkan sentuhan mesra yang menggelitik 
hati Belati Binal. Maka berkecamuklah benak sang gadis 
pelacak itu di sela gemuruh gerimis melebat. 
“Hatiku tak bisa menerima kenyataan seperti ini. tak 
rela jika ia disakiti orang. Ah, terlalu cengeng hatiku ini! 
persaanku sudah gila. Dia bukan apa-apaku tapi kenapa aku 
punya hasrat pembelaan begitu besar padanya? Dia sering 
mengjengkelkan hatiku. Anehnya sejak dulu aku tak bisa 
melupakannya.” 
Ucapan batin itu tanpa disadari berubah menjadi ucapan 
bibir yang bersuara bisik. Belati Binal tak tahu kalau Pandu 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
57
Puber bisa mendengarkan suara di sekelilingnya, sehingga ia 
bicara dengan seenaknya saja tanpa rasa malu dan kikuk. 
Tangannya sendiri bergerak terus mengusap-usap kening, 
rambut, leher, bahkan dada tanpa canggung lagi. Barangkali 
kalu ia tidak menduga bahwa Pandu dalam keadaan pingsan, 
ia tak akan berani melakukan hal itu, bahkan mungkin tak sudi 
walaupun sangat ingin menjamah sejak perjumpaan dalam 
kasus Kitab Panca Longok itu. Hasrat untuk menjamah 
dilampiaskan malam itu dengan menggunakan ‘aji mumpung’ 
yaitu mumpung Pendekar Romantis pingsan. Kapan lagi ia 
bisa menjamah tubuh si tampan yangiam-diam dikaguminya 
itu kalau bukan pada saat pingsan, seperti anggapannya malam 
itu. 
“Rasa-rasanya memang hatiku mengalami perubahan 
sejak bertemu denganmu, Pandu. Aku tak berani katakan 
apakah itu yang namanya cinta atau bukan, tatpi yang jelas 
aku selalu merasa ingin bertemu denganmu. Cuma selama ini 
aku masih mampu menahan diri dengan mengalihkan pikiran 
pada persoalanku dengan Dalang Setan itu. Kebetulan sekali 
Yang Maha Kuasa mempertemukan kita kembali di malam 
sedingin ini. Tak mampu lagi aku menahan hasratku untuk 
membelaimu. Kau benar-benar menumbuhkan keindahan yang 
aneh di dalam hatiku, Pandu. Cuma, kamu sering nakal, aku 
jadi jengkel sama kamu! Tapi sebenarnya nakalmu itu nakal 
indah. Kadang aku rindu kenakalan matamu, kenakalan 
senyummu, dan… ah, nggak tahu nih! Kayaknya aku sudah 
gila kok!” 
Mendengar ucapan itu Pandu hanya bisa tertawa dalam 
hati dan berkata, “Makanya janga munafik, Neng! Kalau mau 
bilang saja mau, kalau suka bilang saja suka, jangan pakai 
berlagak sombong dan ketus padaku. Kamu sok acuh sih, sok 
menyimpan senyuman, akhirnya aku jadi nggak tahu kalau 
kau suka padaku, Neng. Kasihan juga kau sebenarnya. 
Terserah deh, mau kau apakan aku malam ini, itu sudah 
kekuasaanmu karena aku tak berdaya. Apa pun yang ingin kau 
lakukan, percayalah aku merasakannya dengan senang hati, 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
58
Neng!” 
Gerimis makin lebat. Sudah bisa dikatakan semi hujan. 
Hawa dingin membuat badan Belati Binal bergidik sesekali. 
Lalu ia merebah di samping Pandu dan berkata bagaikan 
bicara pada diri sendiri. 
“Kayaknya memang harus menginap di sini sampai 
tunggu hujan reda. Kalau nekat teruskan perjalanan, sakitmu  
bisa jadi lebih parah karena terkena air hujan. Setidaknya kau 
akan masuk angin dan aku tak mau kau sakit seringan apa 
pun,” sambil memiringkan badan dan mengusap-usap rambut 
Pandu. Kepalanya terangkat dan ditopang dengan tangan 
kirinya. 
“Bibirnya menggemaskan sekali,” ucapnya lirih, tetapi 
didengar Pandu. “Ah, dadaku bergemuruh hebat. Oh, ingin 
sekali aku membenamkan diri dalam pelukanmu, Pandu. 
Tapi…” 
Gerimis naik pangkat menjadi hujan deras. Hawa 
dingin yang mencekam membuat pikiran gadis itu kian kacau, 
hasrat cintanya meletup-letup, keberaniannya semakin 
meronta-ronta. Ia tak tahan, akhirnya dengan pelan-pelan ia 
cium wajah pemuda tampan itu. 
Dikecupnya bibir Pendekar Romantis dengan pelan dan 
penuh perasaan. Cuup…! Bibir itu dilumatnya, kadang digigit 
kecil untuk melepaskan kegemasan hati yang dicekam hasrat 
bercumbu begitu memburu.  
Pelan-pelan kecupan itu dilepaskan. Gadis itu menarik 
napas karena tadi hampir kehabisan napas saat melumat bibir 
Pandu penuh gairah cinta. Pada saat itu hati Pandu sebenarnya 
berkata, 
“Asyik…! Indah sekali. Lagi dong…!” 

PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
59

PEREMPUAN berjubah putih berdiri tegak menatap 
Pendekar Romantis yang pagi itu datang bersama 
Belati Binal. Perempuan berarmbut abu-abu 
dikonde tengah masih kelihatan berusia separo baya, sekitar 
empat puluh tahunan, tapi sebenarnya usia aslinya dua kali 
lipat dari usia yang tampak sekarang. Perempuan berwajah 
tegas penuh wibawa dan kharisma itu tak lain adalah Nyai 
Camar Langit. Penguasa dari Lembah Nirwana yang menjadi 
gurunya Belati Binal. 
Sikapnya cukup tenang ketika ia berkata, “Kalian 
terlambat!” 
“Apa maksudmu, Nyai?” tanya Pendekar Romantis 
yang sudah berhasil disembuhkan oleh Nyai Camar Langit. 
“Beberapa utusan dari Ratu Cadar Jenazah tadi malam 
menyergap tempat kami mencari Belati Binal. Mereka terang-
terangan memihak Dalang Setan, walau aku tahu itu hanya 
sebuah alasan bagi Ratu Cadar Jenazah untuk menghancurkan 
diriku.” 
“Apakah termasuk Rembulan Pantai?” 
“Ya, dia yang memimpin lima utusan itu dan berhasil 
menculik cucuku; Dewi Padi.” 
“Dewi Padi…?!” Belati Binal terkejut dan menjadi 
tegang. 
“Mereka berhasil menawan Dewi Padi dan membuatku 
tak berkutik. Mereka membawanya lari ke Bukit Gulana. 
Tebusannya adalah penyerahan dirimu ke Ratu Cadar 
Jenazah.” 
“Kurang ajar!” geram hati Belati Binal. “Mengapa Ratu 
Cadar Jenazah jadi ikut campur secara terang-terangan?! Ini 
bukan urusannya, Nyai Guru!” 
ENAM 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
60
“Ada sebuah pusaka yang dikehendaki Ratu Cadar 
Jenazah. Pusaka itu adalah ‘Cemeti Mayat’. Pusaka milik 
mendiang Nyai Titah Bumi, neneknya Dalang Setan. Cemeti 
itu ada di dalam makam Nyai Titah Bumi. Hanya Dalang 
Setan yang berhak mengambilnya, karena dialah pewaris 
pusaka ‘Cemeti Mayat’ itu. Ratu Cadar Jenazah ingin menukar 
dirimu dengan cemeti itu. karenanya, kulihat Rembulan Pantai 
berpisah arah dengan kelima utusan yang membawa lari Dewi 
Padi, ia menuju ke timur untuk temui Dalang Setan. Dan… 
barangkali dalam perjalanan ke sana itulah, ia bertemu dengan 
kalian dan menyerang Pandu Puber.” 
Belati Binal tampak mendendam murka. Dewi Padi 
adalah cucu sang Guru yang sudah dianggap sebagai saudara 
sendiri oleh Belati Binal. Nggak heraen kalau Belati Binal jadi 
sewot berat mendengar Dewi Padi dijadikan sandera oleh Ratu 
Cadar Jenazah. Pantas saja kalau wajah si gadis pelacak itu 
menjadi merah, karena hasratnya untuk pergi temui Ratu 
Cadar Jenazah sangat besar dan berkobar-kobar. Tetapi sang 
Guru melarangnya. 
“Jangan mau mati konyol di tangan manusia sesat 
seperti si Ratu Cadar Jenazah itu.” 
“Tapi saya harus selamatkan jiwa Dewi Padi, Nyai 
Guru! Saya tidak bisa biarkan Dewi Padi terusik oleh 
mereka!” 
“Aku sangat mengerti persaanmu,” kata Nyai Camar 
Langit dengan sikap tenang dan tampak berwibawa sekali. 
“Tetapi sebelum bertindak hendaknya pertimbangkan dulu 
jalannya.” 
“Saya akan serahkan diri dan rela ditukar dengan Dewi 
Padi,” sahut Belati Binal dengan penuh luapan emosi yang 
tertahan. 
“Redakan dulu murkamu. Aku tak tela kalau kau jadi 
tawanan Dalang Setan, tapi juga tak rela jika cucuku ditawan 
Nyai Camar Langit. Kalau aku datang dan menyerang, maka 
cucuku dalam ancaman mati. Ini sangat membahayakan.” 
“Sebaiknya biar kutangani saja, Nyai Camar Langit,” 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
61
sahut Pendekar Romantis dengan tegas dan jelas. “Limpahkan 
semua perkara ini padaku, dan aku akan selesaikan sendiri 
tanpa mengorbankan cucumu atau muridmu!” 
“Aku nggak setuju!” cetus Belati Binal dengan suara 
keras bersikap protes. 
“Sebaiknya kau istirahat dulu, Belati Binal,” ujar sang 
Guru. 
“Nggak mau! Saya mau berangkat ke Bukit Gulana 
sekarang juga, Nyai Guru!” 
“Belati Binal!” seru sang Guru dengan nada menyentak 
wibawa. “Kau kena sangsi karena menentang keputusan 
Guru.” 
“Guru…?!” 
“Kau tak kuizinkan keluar dari perguruan selama tujuh 
hari!” 
“Guru, saya… saya…” 
“Ini keputusan perguruan! Kau bisa menentangnya jika 
kau keluar dari perguruan!” tegas Nyai Camar Langit tampak 
dipaksakan untuk tega mengatakannya. 
Belati Binal tundukkan kepala, raut wajahnya berubah 
sedih. Tapi dari helaan napasnya tampak ia masih menyimpan 
kemarahan yang menyesakkan dada. Belati Binal tak berani 
menentang keputusan itu. Ia sangat hormat kepada gurunya. 
Tak heran jika keputusan itu terasa memukul batinnya begitu 
kuat dan membuat tangannya gemetar. 
“Pergilah ke belakang dan biarkan aku bicara dengan 
Pendekar Romantis,” kata sang Guru. 
“Baik, Nyai Guru…” jawabnya patuh, lalu dengan 
langkah gontai ia pergi tinggalkan tempat pertemuan itu. 
Pandu Puber memandanginya dengan sedih pula. Lalu, Pandu 
mencoba berkata dengan hati-hati kepada Nyai Camar Langit. 
“Apakah keputusan itu tidak terlalu kejam bagi gadis 
seberani dia, Nyai?” 
Dengan suara pelan sang Nyai menjawab, “Hanya 
siasat untuk selamatkan nyawanya saja. Sebenarnya aku tak 
ingin keluarkan sangsi seperti itu kecuali kepada murid yang 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
62
melakukan pelanggaran kelewat batas.” 
Pandu Puber manggut-manggut. Setelah diam sejenak, 
Nyai Camar Langit mulai perdengarkan suaranya lagi dengan 
tenang, 
“Kalau boleh kutahu, apa yang membuatmu ingin 
mengambil alih persoalan ini, Pandu Puber? Apakah… apakah 
karena kau punya maksud tertentu kepada muridku Belati 
Binal?” 
Pandu Puber sunggingkan senyum kalemnya. “Dalang 
Setan pernah menantangku bertarung, tepatnya di Jurang 
Karang Kerenda dua hari lagi. Tapi aku ingin mempercepat 
pertarungan itu tiba.” 
“Tapi Ratu Cadar Jenazah pasti akan ikut campur dan 
membela Dalang Setan demi mengincar pusaka ‘Cemeti 
Mayat’ itu. dan kalau dia sudah turun tangan, bergabung 
dengan Dalang Setan, sangat berbahaya. Adik tiriku itu orang 
yang tidak mengenal perasaan dan tidak pernah pandang bulu 
terhadap lawannya. Biar lawannya berilmu tinggi atau rendah, 
tua atau muda, lelaki atau perempuan, kalau sudah berani 
menentangnya maka ia akan perintahkan kepada anak buahnya 
untuk membantai sang lawan.” 
“Aku akan hadapi kekuatannya. Selangkah pun tak 
akan mundur, Nyai!” 
“Aku pernah dengar cerita tentang kehebatan ilmumu, 
Pandu Puber. Tapi aku sangsi dengan kekuatanmu jika 
melawan kekuatan gabungan itu. biasanya jika Ratu Cadar 
Jenazah habis membunuh lawannya dengan tangannya sendiri, 
ia akan perintahkan anak buahnya untuk menggantung mayat 
lawannya agar jadi tontonan di muka umum.” 
Pandu Puber berkerut dahi, ingatannya segera tertuju 
kepada Ken Warok yang ditemukan mati tergantung dengan 
kaki di atas dan kepala di bawah. Pandu pun segera berkata, 
“Kalau begitu dia adalah orang yang membunuh Ken 
Warok, sahabatku itu?!” 
“Benar. Kudengar kabar tentang murkanya, Ranting 
Kumis, anak buahnya, berhasil menangkap Ken Warok dan 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
63
menyerahkannya kepada Ratu Cadar Jenazah. Ken Warok 
akhirnya di bunuh oleh Ratu Cadar Jenazah, lalu anak buahnya 
disuruh menggantung mayat Ken Warok di tempat terbuka.” 
Gumam Pandu terdengar memanjang sambil kepalanya 
manggut-manggut. “Jadi dia orangnya…? Kejam sekali 
perempuan itu?! Apa alasannya sampai ia sendiri yang 
membunuh Ken Warok? Mengapa bukan anak buahnya saja?” 
“Berita yang kuterima dari mata-mataku yang kutanam 
di sana, Ratu Cadar Jenazah kecewa berat kepada Ken Warok. 
Kitab yang berhasil dirampas dari tangan Ken Warok ternyata 
kitab palsu. Sebagai hukuman dan pelampiasan 
kemarahannya, ia menghendaki kematian Ken Warok dari 
tangannya sendiri. Maka dibunuhlah Ken Warok saat mengaku 
kitab yang asli sudah dihancurkan olehmu, Pandu.” 
Napas si tampan bertato bunga mawar yang sudah segar 
kembali sejak diobati oleh Nyai Camar Langit itu, dihela 
panjang-panjang. Sorot pandangan matanya mempunyai nada 
kemarahan yang tertahan. Suaranya pun terdengar samar-
samar, 

“Aku harus segera bertindak, Nyai. Tak bisa lama-lama 
diam di sini! Dalang Setan maupun Ratu Cadar Jenazah 
mempunyai urusan yang sama denganku!” 
“Aku akan mendampingimu,” ujar Nyai Camar Langit. 
“Aku harus bisa ambil cucuku; Dewi Padi dalam keadaan 
selamat tanpa luka apa pun!” 
“Aku akan bekerja sendiri, Nyai. Kau tak perlu 
mambantuku!” 
“Kalau Dalang Setan bergabung dengan si Ratu Cadar 
Jenazah, mengapa aku tidak bergabung dengan Pendekar 
Romantis untuk melawan mereka?” 
“Pendekar Romantis tak mau merepotkan pihak lain. 
Berapa pun kekuatan yang mereka gabungkan, Pendekar 
Romantis tetap akan hadapi seorang diri!” 
Nyai Camar Langit geleng-gelengkan kepala. “Kau pun 
ternyata keras kepala, seperti muridku si Belati Binal itu, 
Pandu.” 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
64
“Maaf, Nyai! Jika kau ingin menyertaiku, kau hanya 
kuizinkan melihatnya dari jarak jauh. Tapi jika kau ikut 
campur dalam pertarungaku dengan Dalang Setan, aku benar-
benar kecewa, Nyai! Tentunya kau tak ingin kecewakan aku, 
bukan?” 
Sekali lagi perempuan tua beRembulan Pantairas 
seperti masih separo baya itu menarik napas panjang, lalu 
berkata dengan nada mirip orang menggumam, 
“Kalau memang itu kehendakmu, terserahlah! Aku 
hanya akan mengambil cucuku saja.” 
“Cucumu akan kuambil sendiri!” 
“Tapi kau belum pernah melihat cucuku, bukan? 
Bagaimana kau bisa menyelamatkan dia kalau kau belum 
pernah melihatnya? Salah-salah kau akan ambil tawanan lain 
yang bukan Dewi Padi.” 
“Tenang aja, Nyai. Aku punya insting yang kuat. Aku 
kan anak dewa.” 
Nyai Camar Langit mengantarkan kepergian Pandu 
sampai di pekarangan depan, namun tak sampai ke luar dari 
pagar benteng dari kayu-kayu jati batangan itu, Belati Binal 
diizinkan oleh sang Guru untuk ikut mengantar kepergian 
Pandu sampai di dalam benteng saja. Di sana mereka bertiga 
saling pandang, dan Belati Binal menampakkan wajah 
dukanya di depan Pandu. Ia berkata lirih kepada Pendekar 
Romantis, 
“Selamatkan Dewi Padi, saudara angkatku itu. jika kau 
tak bisa selamatkan dia, jangan datang lagi kemari ketimbang 
aku harus merobek jantungmu, Pandu!” 
Senyum Pandu menampakkan keyakinan sikapnya 
sebagai seorang pendekar yang punya ilmu tinggi dan mampu 
ungguli lawan setangguh apa apun. Dengan suara pelan juga 
Pandu Puber berkata, 
“Aku akan datang bersama Dewi Padi! Itu janjiku dan 
kau harus percaya!” 
Pendekar Romantis segera melangkah tinggalkan 
halaman dalam benteng kayu itu. Namun baru dua langkah ia 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
65
sudah harus berhenti dengan mendadak. Sesuatu dilemparkan 
oleh orang dari luar benteng. Suara derap kaki kuda 
mengawali lemparan itu. dan ketika benda tersebut sudah 
dilemparkan, maka derap kaki kuda terdengar lagi menjauhi 
tempat mereka. 
“Hahh…?!” pekik Belati Binal ketika mengetahui apa 
yang dilemparkan oleh si pengendara kuda tadi. Benda itu tak 
lain adalah dua kepala manusia yang sanat dikenali oleh Nyai 
Camar Langit maupun Belati Binal. Tak heran jika keduanya 
menjadi tegang, walaupun Nyai Camar Langit masih bisa 
segera kendalikan diri. 
“Rahsuko dan Gandaru, Nyai Guru!” 
Mulut sang Nyai terkatup rapat karena menahan 
lontaran murkanya, Pandu bertanya, “Siapa mereka, Nyai?” 
Barulah Nyai Camar Langit bicara, “Mereka adalah 
kedua penjaga tapal batas sebelah timur tempat kami ini! 
rupanya mereka telah dipenggal oleh seseorang dan kepalanya 
dilemparkan kemari sebagai tantangan bertarung melawan 
pihaknya!” 
“Apakah menurutmu orang itu adalah utusan dari Ratu 
Cadar Jenazah?” 
“Tidak,” jawab sang Nyai dengan tegas. “Ratu Cadar 
Jenazah tidak mau memamerkan korbannya hanya bagian 
kepalnya saja! Ini pasti perbuatan anak buahnya Dalang 
Setan!” 
“Dari mana kau tahu?” 
“Tebasan pedangnya yang memenggal kedua penjagaku 
itu terlalu kasar. Ini merupakan ciri-ciri jurus pedang yang 
diturunkan Dalang Setan kepada para muridnya.” 
“kalau begitu sasaran utamaku sekarang adalah 
Perguruan Tanduk Singa, dan aku akan menuntut kekejian ini 
kepada si Dalang Setan! Aku berangkat sekarang, Nyai!” 
Beberapa murid Nyai Camar Langit yang melihat 
kepergian Pendekar Romantis merasa kagum. Bukan kagum 
kepada ketampanan dan kegagahannya saja, tapi juga kagum 
kepada keberaniannya. Tidak semua orang berani datang ke 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
66
Perguruan Tanduk Singa. Apalagi sendirian, jelas itu suatu 
keberanian yang nekat. Sebab orang-orang Perguruan Tanduk 
Singa tak pernah beri kesempatan orang asing bicara 
mejelaskan siapa dirinya. Biasanya setiap orang asing yang 
datang ke Perguruan Tanduk Singa selalu diserang lebih dulu 
oleh mereka. Jika bisa bertahan hidup, baru mereka akan 
menanyai maksud dan tujuan orang tersebut. Tapi jika sudah 
terlanjur mati, nggak ada yang mau menanyainya. 
Perguruan Tanduk Singa terletak di lereng bukit. Sesuai 
dengan arah yang ditunjukkan oleh Nyai Camar Langit, Pandu 
Puber dapat mencapai tempat itu dengan mudah, tidak tersesat 
arah. Namun sebelum ia mencapai pusat perguruan yang 
dikelilingi tembok batu itu, tiba-tiba langkahnya terhenti 
dengan sendirinya. Matanya melihat sekelebatan bayangan 
melintas di sebelah kirinya, agak jauh dari tempatnya berada. 
Pandu Puber segera menguntit orang tersebut. 
Ternyata orang itu adalah Wisesa yang entah mau pergi 
ke mana. Samar-samar Pandu ingat sosok penampilan orang 
berpakaian biru dengan ikat kepala putih dan tubuhnya agak 
gemuk itu. 
“Wisesa, teman Silabang yang kemarin malam mau 
membunuh Belati Binal. Hmm… mau ke mana dia? 
Sebaiknya kuhadang lewat atas saja.” 
Pandu Puber sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya 
melesat tinggi, lalu hinggap di atas pohon. Dari pohon yang 
satu ia melompat ke pohon yang satunya lagi, kadang 
bergelayutan menggunakan akar pohon yang bergelantungan 
mirip rambut-rambut iblis itu. Pandu sendiri tak ubahnya 
seperti tarzan kesiangan yang tak berani berteriak, “auow” 
karena takut ketahuan calon lawannya. 
Wisesa terkejut dan cepat pasang kuda-kuda yang mirip 
posisi pemain kuda lumping begitu melihat Pandu melompat 
dari atas pohon di depannya. Mata beralis tebal itu 
memancarkan sikap permusuhan secara otomatis. Kumisnya 
yang pendek tapi lebat itu diusapnya satu kali, kemudian 
menyapa dengan suara keras berkesan galak. 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
67
“Monyet dari mana kau, hah? Mau apa menghadang 
langkahku? Mau mati?!” 
“Nggak mau,” jawab Pandu sambil menggeleng-
gelengkan kepala seperti pendekar bego. “Aku cuma mau 
ketemu sama Dalang Setan!” 
“Dalang Setan tidak ada, yang ada Wisesa Siku Bido!” 
sambil menepuk dadanya. “Kalau mau ada urusan dengan 
Ketua, sampaikan saja padaku!” 
“Nggak bisa. Ini soal duit kok. Nanti kalau 
kusampaikan padamu bsa dikorupsi! Aku mau ketemu Dalang 
Setan saja, soalnya tetanggaku nyunatin dan mau naggap 
wayang jadi butuh dalang!” 
Wisesa menggeram jengkel, karena ia tahu sedang 
dipermainkan dan gurunya yang disebut Ketua sedang diledek 
oleh anak muda bertato bunga mawar di dadanya itu. maka 
Wisesa memandang kian angker, mirip kuburan kunrang 
kemenyan. 
“Mulutmu lancang sekali, Anak Kencur!” 
Pandu membatin, “Busyet! Gue kan anak dewa, masa’ 
dibilang anak kencur? Jangan-jangan orang ini nggak ngerti 
kencur itu apa?” 
“Siapa kau sebenarnya sehingga berani ngomong 
sembarangan di depanku, hah?!” bentak Wisesa. 
“Kalau membentak jangan keras-keras, Kang. Mulutmu 
bau jengkol rebus!” kata Pandu sengaja memanas-manaskan 
hati Wisesa biar tenaganya disedot oleh emosinya sendiri. 
“Namaku adalah Pandu Puber, gelarku Pendekar Romantis. 
Hobiku, biasa… he, he, he… main cewek. Itu pun kalau ada 
yang dibuat mainan, kalau nggak ada ya main kartu juga 
boleh. Kamu yang namanya Wisesa, ya Kang?” 
“Benar!” lalu ia membatin, “Ooo… ini yang dikatakan 
sang Ketua sebagai anak kemarin sore yang akan bertarung di 
Jurang Karang Kerenda nanti?” 
Pandu sengaja menambah panas hati Wisesa lagi 
dengan berkata, “Kalau memang kau yang bernama Wisesa, 
berarti kermarin malam melihat Silabang terbunuh oleh jurus 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
68
‘Salju Kaget’-ku itu dong?” 
“Apaaa…?” Wisesa makin mendelik. “Jadi kau yang 
membunuh Wisesa?!” 
“Kok Wisesa sih? Wisesa kan namamu sendiri? Aku 
membunuh Silabang!” 
“Orang marah, salah sebut nggak masalah!” sentanya 
menutup malu. “Kalau begitu kau harus menerima kematian 
yang sama dengan Silabang. Akulah malaikat pencabut 
nyawamu! Heaaat…!” 
Wisesa sentakkan kedua tangannya ke depan dan 
sebongkah gulungan api melesat menghantam Pandu Puber. 
Wuutt…! Wuueess…! Gerakan gulungan api itu cukup cepat, 
besarnya seperti bola basket. 
Pandu Puber sentaak kaki dan melesat lurus ke atas. 
Tapi jempol kakinya segera disentakkan dalam gerakan 
pendek, dan dari ujung jempol kaki itu keluar sinar putih perak 
sebesar lidi. Claap…! Sinar putih perak kecil itu menghantam 
gulungan api dan terjadilah ledakan yang membuyarkan 
gulungan api tersebut. 
Blarrr…! 
Itulah yang dinamakan Pandu sebagai jurus ‘Jempol 
Syahdu’. Biar kecil barangnya tapi besar tenaganya. Ledakan 
itu sendiri menimbulkan gelombang panas yang menyentak 
dan membaut Wisesa terjungkal ke belakang lalu berguling-
guling tak bisa menahan diri. Sedangkan Pandu Puber sempat 
menjejak sebuah pohon saat masih di udara lalu tubuhnya 
melesat bersalto, mendarat tak jauh dari tempat Wisesa 
terjungkal. 
Begitu Wisesa bangkit, kaki Pandu Puber segera 
menyambarnya dengan tendangan putar yang cepat dan 
beruntun. Tendangan itu yang dinamakan jurus ‘Tendangan 
Topan’, karena kecepatan tendangannya yang beruntun seperti 
angin topan. 
Bukk, plak, duuhg, beeg, plok, plok…! 
Wisesa melintir seperti gangsing. Tendangan Pandu 
sudah berhenti masih melintir juga. Rupanya selain tendangan 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
69
itu berkekuatan tenaga dalam yang mampu merobek kulit 
wajah Wisesa, juga mempunyai angin besar yang bisa 
membaut tubuh Wisesa berputar mirip gangsing. Ketika putara 
itu berhenti, Wisesa jatuh terkapar dengan kepala membentur 
batu lebih dulu. Pletok…! Lumayan. 
Wajah Wisesa hancur, berlumur darah dan luka mirip 
dicabik-cabik singa lapar. Hidungnya hampir somplak, giginya 
rontok empat biji, satu di antaranya tertelan tanpa disengaja. 
Bibirnya pun pecah, mirip pantat ayam habis bertelur. 
Telinganya yang kanan robek, tapi tak sampai putus, hanya 
kiwir-kiwir dan masih bisa dibetulkan pakai lem yang kuat 
jenis Aibon. Pokoknya keadaan Wisesa rusak berat di bagian 
wajah. Andai dibawa di rumah sakit pun dokter akan bingun, 
yang mana yang harus dijahit lebih dulu. 
“Kaau… kau tak akan bertemu dengan Ketua, sebab… 
sebab dia tidak ada di sini!” kata Wisesa dengan menyeringai 
kesakitan tapi masih ingin menyerang juga. Pandu maju 
beberapa langkah, dan tiba-tiba ketika Wisesa hantamkan 
tangannya, Pandu merunduk setengah jongkok, lalu telapak 
tangannya menghantam rusuk Wisesa. Dess…! Krak…! 
“Aaauh…!” Wisesa menjerit kesakitan, tulang rusuknya 
patah tiga. Tentu saja sakit sekali. Matanya sampai mendelik 
sekejap karena napasnya bagai tersumbat. 
“Di mana ketuamu berada, katakan!” hardik Pandu 
Puber dengan kedua tangan terangkat siap menghantam wajah 
bonyok itu. “Cepat katakan!” 
Karena takut kali ini kepalanya yang akan diremukkan 
si pemuda tampan, maka Wisesa pun akhirnya menjawab 
dengan nada kesakitan yang berat, 
“Ketua… ketua ada di… di… Bukit Gulana, sedang 
temui Ratu Cadar Jenazah, bicarakan tentang sandera; Dewi 
Padi itu.” 
“terima kasih atas bentuanmu dan maafkan kesalahanku 
yang sedikit melukaimu, Kang! Permisi!” Pandu nyengir 
sambil pergi selayaknya seroang tamu pamitan mau pulang. 
Tapi gerakan berikutnya bagitu cepat, tak bisa dilihat mata 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
70
Wisesa. Pandu melesat menuju ke Bukit Gulana dengan 
pergunakan jurus peringan tubuh yang mampu bergerak 
melebihi kecepatan anak panah itu. Zlaappp…! Weess…! 
Sebelum tengah hari, Pandu Puber sudah tiba di Bukit 
Gulana. Hampir saja ia kesasar masuk rumah janda, untung ia 
ingat petunjuk dan ciri-ciri Bukit Gulana yang diberitahukan 
oleh Belati Binal sebelum berangkat tadi. Dan begitu tiba di 
batas wilayah Bukit Gulana, Pandu Puber terpaksa hadapi tiga 
penjaga batas wilayah Bukit Gulana. Dua penjaga disa 
dilumpuhkan tanpa harus dibunuh, tapi yang satunya kabur 
lebih daulu setelah Pandu memperkenalkan dirinya sebagai 
Pendekar Romantis. 
Tak heran jika kehadiran Pandu di depan benteng sudah 
dihadang oleh Dalang Setan dan beberapa anak buahnya, 
termasuk anak buah Ratu Cadar Jenazah. Mereka mengurung 
Pandu Puber dengan senjata siap serang. Tapi sikap Pandu 
Puber tetap tenang, kalem, bahkan tersenyum-senyum kepada 
Dalang Setan, walau hanya senyuman tipis. Berdirinya pun 
tetap tegak dan tampak gagah. 
“Bocah dungu!” sentak Dalang Setan dengan kasar. 
“Rupanya kau tak sabar menunggu hari pertarungan kita tiba, 
ya?” 
“Iya tuh… kelamaan sih!” jawab Pandu Puber 
seenaknya saja. 
“Baik. Aku jadi tak sabar ingin hancurkan tubuhmu 
yang sok digagah-gagahin itu!” 
“Memang dari sananya gagah sendiri, Paman!” ujar 
Pandu masih seenaknya. “Tapi sebelum kau hancurkan 
tubuhku ini, kusarankan untuk memanggil Ratu Cadar 
Jenazah. Kalian berdua sajalah, biar cepat melumat tubuhku! 
Kalau sendirian nanti kau capek dan rematikmu bisa kumat 
lho!” 
“Bocah dungu bermulut celeng! Sesumbarmu bikin aku 
panas dingin karena bernafsu sekali merajang nyawamu!” lalu 
Dalang Setan berseru kepada anak buahnya, “Lebarkan 
kepungan, lihat caraku mencabut nyawa anak dungu ini!” 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
71
Kepungan dilebarkan, tempat jadi lega. Pandu Puber 
bergeser di tengah lingakaran, Dalang Setan diam di tempat 
dan berkomat-kamit sebentar, entah roh wayang siapa yang 
dipanggil. Mungkin saja roh wayang Gatutkaca lagi, seperti 
waktu rebutan Kitab Panca Longok, atau mungkin juga roh 
wayang Petruk. Yang jelas begitu selesai komat-kamit Dalang 
Setan segera melompat. Langkahnya lebar dan setiap menapak 
ke tanah membuat bumi bagaikan begetar. Suaranya pun 
berubah menjadi besar. 
“Bocah dungu… habislah riwayatmu sekarang juga! 
Kudongkel isi perutmu dengan Kuku Pancanaka ini!” 
Seett…! 
“Gila, jempolnya bisa keluar kuku panjang lho? Pasti 
dia memanggil roh Raden Bima nih!” pikir Pandu. “Ah, peduli 
amat. Mau manggil roh Raden Bima atau Raden Cakil, masa’ 
bodo! Gunakan saja jurus ‘Sepasang Sayap Cinta’, pasti 
berantakan!” 
Dalang Setan memekik keras dengan suara besar, 
“Heaahh…!” Tubuhnya melompat dua tindak, sekali lompat 
cukup panjang dan tinggi. Begitu tiba di depan Pandu, 
tangannya yang berkuku panjang di bagian jempol itu 
merobek dada Pandu dengan gerakan cepat. Wuuurrtt…! 
Wuusss…! Pandu bersalto ke belakang. Gerakan 
saltonya yang tak bisa dilihat mata karena kecepatannya itu 
sempat menendang pergelangan tangan kanan Dalang Setan. 
Dess…! Sedangkan tendangan itu mengandung tenaga dalam 
tinggi, sehingga terdengar suara krek…! Pasti tulang 
pergelangan tangan itu patah, setidaknya retak atau meleset 
dari engselnya. 
“Babiii…!” teriaknya dengan murka karena menahan 
rasa sakit. Dalang Setan kembali melomat menerjang Pandu 
Puber dengan teriakan liarnya Wuuttt…! 
Pandu Puber tak tanggung-tanggung, ia segera lepaskan 
jurus ‘Sepasang Sayap Cinta’ dari kedua jari yang dikeraskan 
dan disentakkan ke depan. Claapp…! Dua larik merah keluar 
dari ujung jari itu menghantam lambung dan ulu hati Dalang 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
72
Setan. Derrb…! 
“Uuhg…!” Dalang Setan terpekik. Tubuhnya yang 
masih di udara terpental mundur dengan kuat, lalu jatuh 
terguling-guling bagaikan disapu badai. 
“Hooek…!” Dalang Setan muntah. Yang keluar bukan 
saja darah, tapi semua isi perutnya, termasuk makanan 
kangkung yang ditelannya ketika sarapan tadi pagi. 
“Kuat juga dia! Biasanya orang terkena jurus ‘Sepasang 
Sayap Cinta’ akan hancur, tapi dia masih utuh. Cuma, aku 
yakin isi perutnya pasti hancur. Eh, tapi kok dia masih bisa 
berdiri? Lho, sekarang malah cabut kerisnya?” 
Lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, memakai surjan 
coklat dan blangkon di kepala, segera mencabut keris yang 
terselip di depan perutnya. Keris itu memancarkan sinar merah 
pijar. Jelas keris itu pasti keris pusaka yang dapat menyala 
merah tanpa tenaga batu baterai. Ketika keris itu digerak-
gerakkan ke sana-sini, sinar merah mengikuti bagaikan ekor 
naga yang berbahaya, sewaktu-sewaktu bisa menyabet 
lawannya. 
“Bocah dungu… kalau benar kau Pendekar Romantis 
yang terkenal sakti itu, coba hadapi pusakaku yang bernama 
Keris Mata Iblis itu! Heaatt…!” 
Keris disentakkan ke depan setelah dikibaskan ke 
samping kanan-kiri, lalu sinar merah melesat cepat menuju 
Pandu Puber. Wuusss…! 
Pendekar Romantis mencoba menahan sinar merah itu 
dengan jurus ‘Cakram Biru’-nya. Sinar biru yan gkeluar dari 
pergelangan tangan beradu dengan sinar merah dari Keris 
Mata Iblis. Claap…! 
Blegaarr…! 
Pandu Puber terpental oleh gelombang ledang yang 
kuat itu. tubuhnya bisa terbang sendiri dan jatuh terbating. 
Bruuss…! Beehg…! 
“Uuhg…! Mati aku, bantingannya kuat sekali. Uuhf…! 
Hampir sasja tulang-tulangku patah semua! Kekuatan keris itu 
cukup besar. Lawannya bukan ‘Cakram Biru’!” keluh Pandu 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
73
dalam hati sambil berusaha bangkit. Pinggulnya terasa sakit 
karena membentur batu saat terbanting. Tapi ia tahan dan tidak 
diperlihatkan pada lawan. Ia masih bisa berdiri dengan tegak 
dan gagah. Hawa dingin disalurkan sebentar untuk meredakan 
bagian-bagian yang sakit. 
Dalang Setan sendiri juga terpental, tapi tidak sampai 
jatuh. Ia masih bisa berdiri tegak secepatnya dengan 
memegangi keris yang memancarkan sinar merah. 
Pandu Puber segera mencabut pedangnya yang bernama 
‘Pedang Siluman’. Pedang itu menyatu di kaki kanannya, dan 
punya cara sendiri untuk mencabut. Pedang itu adalah jelmaan 
dari kakeknya, si raja jin yang bernama Kala Bopak. 
“Kau pikir aku takut dengan pedangmu itu, hah? 
Pedang mainan anak-anak tidak akan bisa kalahkan Keris 
Mata Iblis ini! Mari kita buktikan! Heaah…!” Dalang Setan 
pun segera menerjang Pandu dengan lompatan cepat. 
Pandu hanya dia di tempat, tapi ia memainkan jurus 
pedangnya dengan kecepatan tinggi, sehingga tubuhnya bagai 
dilapisi sinar ungu. Jurus pedang yang diperoleh dari titisan 
ilmu sang Ayah itu membuat Pandu tidak bisa ditembus 
serangan lawan. Ketika Dalang Setan menusukkan kerisnya, 
keris itu beradu dengan pedang ungu. Duaar…! 
Ledakan yang timbul menyentakkan tubuh Dalang 
Setan ke belakang, tiga langkah dari tempat Pandu berdiri. Ia 
memandang dengan mata lebar dan mulut terbengong. 
Kerisnya hancur, yang ada di tangan tinggal gagangnya saja. 
“Bangsat! Kerisku kalah sakti dengan pedang itu?!” 
pikirnya penuh murka. 
Pada saat itulah Pendekar Romantis maju dalam satu 
lompatan dan pedang ungu itu berkelebat menebas tubuh 
lawannya. Craas…! 
Tebasan cepat membuat tubuh Dalang Setan terluka. 
Pedang Siluman berhasil menggores Dalang Setan dari leher 
sampai ke pinggang kiri. Luka itu tidak timbulkan darah, 
melainkan keluarkan asap ungu yang mengepul indah 
dipandang mata. Memang begitulah kehebatan Pedang 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
74
Siluman. 
Dalang Setan memandangi lukanya sebentar, lalu 
tertawa terbahak-bahak, karena setiap orang yang terkena 
Pedang Siluman akan tertawa girang, sebab roh Kala Bopak 
yang ada dalam pedang ungu itu merasa girang bisa 
melumpuhkan lawan, rah itulah yang sebenarnya tertawa 
terbahak-bahak. 
Tapi para anak buah Dalang Setan menganggap sang 
ketua mereka menertawakan goresan Pedang Siluman, dan 
mereka beranggapan Dalang Setan sangat sakti. 
“Kena pedang sepanjang itu saja masih bisa tertawa? 
Hebat sekali sang ketua kita itu, ya?” ujar salah seorang 
pengepung kepada temannya. 
Tapi alangkah kagetnya mereka setelah melihat Dalang 
Setan hentikan tawa dan akhirnya tumbang tnapa basa-basi 
lagi. Dalang Setan terkapar tak bergerak selama-lamanya 
karena sang nyawa sudah pergi sejak tadi. 
Mereka segera buyar ketakutan. Tak ada yang berani 
memandang Pendekar Romantis yang masih pegangi pedang 
dengan dua tangan itu. keadaan Pandu yang masih siap tebas 
menjadi kendur setelah mendengar suara ledakan menggema. 
Blegaar…! 
Tembok benteng hancur. Ada yang menjebol dari 
dalam. Orang yang menjebol itu segera melompat keluar 
dengan cepat. Ternyata orang itu memanggul seorang gadis 
yang telah ditotok dulu sebelumnya. Pandu Puber tercengang 
melihat orang tersebut. 
“Lemakwati…?!” 
Si gembrot Lemakwati sunggingkan senyum jeleknya. 
Ia berseru kepada Pandu. 
“Tinggalkan tempat ini! sandera sudah kuselamatkan! 
Serahkan sendiri kepada Nyai Camar Langit!” 
“Dari mana kau tahu semua ini?” 
“Bayanganku selalu mengikutimu sejak dari dalam gua, 
Pandu. Bicaranya nanti saja! Cepat pergi dari sini!” 
Saat itu Pandu mendengar suara teriakan orang kepada 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
75
Rembulan Pantai yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu 
dari sisi lain. 
“Rembulan Pantai… Gusti Ratu luka parah!” 
Pandu segera berkata kepada Lemakwati, “Kaukah 
yang melukainya?” 
“Ya! Saat kau bertarung dengan Dalang Setan, aku di 
dalam bertarung dengan Ratu Cadar Jenazah!” 
Keduanya segera melesat pergi tinggalkan tempat itu. 
setelah jauh dari tempat itu, mereka baru adakan acara serah 
terima sandera. Lemakwati menyerahkan Dewi Padi kepada 
Pandu Puber. 
“Lepaskan totokannya setelah tiba di Lembah 
Nirwana,” kata Lemakwati. 
“Kau mau ke mana?” 
“Membayangimu dari alam gaib! Ingat, kalau kau ingin 
dapatkan aku, bersihkan jiwamu, bersihkan hatimu dulu, 
jangan rakus sama wanita!” 
“Apa maksudmu?” 
Lemakwati melompat tinggi dan hinggap di atas pohon. 
Ia tersenyum sejenak saat dipandangi Pandu Puber. Lalu mata 
Pendekar Romantis itu terperanjat bengong ketika tubuh 
Lemakwati memancarkan sinar hijau pendar-pendar. Makin 
lama makin menyilaukan, namun segera redup dan tampaklah 
sesosok wanita cantik berpakaian serba putih, di belahan 
dadanya terselip setangkai bunga mawar yang masih hidup, 
asli bukan dari plastik. 
“Dian…?! Jadi, kau menyamar sebagai Lemakwati?” 
“Kalau waktu itu kau cium keningku, maka 
penyamaranku akan buyar dan wujud asliku tampak di depan 
matamu, Pandu. Sayang sekali kau tak mau menciumku, 
sehingga kau kehilangan kesempatan mencabut bunga 
mawarku ini!” 
“Dian Ayu Dayen…tunggu dulu!” 
Asap putih mengepul tebal, dan sosok bidadari 
Penguasa Kecantikan yang bernama Dian Ayu Dayen itu pun 
lenyap bagaika ditelan asap putih itu. 
PENDEKAR ROMANTIS 
Dendam Dalang Setan       
   
76
“Brengsek! Kalau tahu si gembrot itu adalah dia, sudah  
kuhabisi asmaranya di dalam gua itu!” gerutu Pandu Puber 
sambil membawa pulang Dewi Padi yang masih tertotok. Ia 
amat menyesali membayangkan bujukan dan rayuan mesra 
Lemakwati saat di dalam gua yang ditolaknya itu. Pandu 
Puber jadi jengkel pada dirinya sendiri, sampai akhitnya ia 
berkata, 
“Masa’ bidi, ah! tapi mulai saat ini aku nggak mau 
mudah jatuh dalam pelukan perempuan. Aku harus 
membersihkan hatiku supaya Dian Ayu Dayen mau 
mendekatiku.” 
Tapi hati kecil Pandu bertanya, “Apakah aku bisa tak 
tergoda kecantikan wanita? Sekarang saja aku sudah punya 
pikiran jorok terhadap Belati Binal yang tempo hari waktu di 
gubuk tengah sawah hampir saja berlayar dengan perahu 
cnitaku. Ah… ciuman gadis tanpa senyum itu sungguh 
menggugah hatiku untuk segera merengutnya dalam pelukan. 
Ah, nggak mau…! Aku nggak boleh begitu! Tapi… apa aku 
tahan bersikap cuek dengan kecupan hangantnya itu?” 
Pendekar Romantis akhirnya tak mau bicara dengan 
dirinya sendiri, karena ia tak pernah yakin dengan 
kemampuannya untuk cuek dengan gadis mana pun. 
SELESAI 
Created ebook by 
Scan & Edit Teks (fujidenkikagawa)  
Convert to pdf (syauqy_arr)