SATU
RAKIT yang terbuat dari
batang-batang kayu itu
terapung-apung di tengah laut.
Didayung oleh seo-
rang laki-laki berpakaian
compang-camping. Laki-
laki ini masih muda. Berusia
sekitar 30 tahun.
Kabut masih agak tebal
melingkupi sekitar perai-
ran. Sementara samar-samar di
belakang rakit tam-
pak sebuah pulau. Tampaknya,
laki-laki ini seperti
ingin cepat-cepat menjauhi pulau
itu. Jelas terlihat
kecemasan pada wajahnya ketika
kabut mulai me-
nipis, dan cahaya fajar mulai
membersit dari arah
cakrawala.
Laki-laki ini mempercepat mengayuh rakitnya
dengan mengerahkan hampir semua
kekuatan tena-
ganya. Berbeda dengan mengayuh
perahu yang den-
gan mudah bisa membelah
gelombang. Akan tetapi
mengayuh rakit amatlah sulit
untuk meluncur maju.
Apalagi semakin ke tengah, ombak
semakin besar.
Namun semangat laki-laki itu
untuk melarikan
diri dari pulau itu semakin menggebu. Jangankan
ombak semacam saat itu. Bahkan
gelombang seting-
gi gunung pun akan diterjangnya
untuk segera lolos
dari neraka Pulau Berhala.
Apa yang dikhawatirkan
laki-laki Itu memang
menjadi kenyataan. Karena jauh
di belakangnya di
antara gelombang, tampak timbul
tenggelam bebe-
rapa buah kepala-kepala manusia.
Semakin lama
semakin mendekati rakit yang
bergerak lambat. Ke-
pala-kepala yang botak tanpa
rambut itu sebentar-
sebentar lenyap dan sebentar
kemudian timbul un-
tuk mengejar rakit.
Pertanda si
pengejar-pengejar itu adalah manu-
sia-manusia yang ahli bermain di
air.
Jarak antara para pengejar dan
rakit itu cuma
tinggal sepertiga lemparan
tombak lagi. Sementara si
pengayuh rakit masih tidak
mengetahui dirinya te-
rancam bahaya maut.
Empat kepala botak ini tampak
saling memberi
isyarat. Sesaat kemudian tampak
di tangan masing-
masing telah tergenggam sebuah
belati.
Dengan satu isyarat pada
hitungan ketiga dari jari
tangan salah seorang yang
diacungkan. Maka mele-
satlah empat buah belati Itu
menuju sasarannya....
Trang! Trang! Trang!
Sukar diduga kalau di saat bahaya
maut siap
menjemput nyawa laki-laki itu, tiba-tiba berkelebat
sebuah bayangan kuning. Disusul
dengan terden-
garnya jeritan-jeritan parau
menyayat hati. Apakah
yang terjadi?
Keempat bilah belati itu
masing-masing telah me-
nancap di empat kepala gundul
yang berada di atas
permukaan air itu.
Tampak keempatnya berkelojotan
di dalam air
dengan kepala timbul tenggelam.
Darah pun menya-
tu dengan air yang menyibak,
membuat air laut yang
bergelombang Itu menjadi
kemerahan.
Tak lama keempat kepala gundul
itupun teng-
gelam untuk tidak timbul lagi.
Bukan buatan terkejutnya
laki-laki Itu. Mata-nya
membelalak melihat sesosok
tubuh telah berdiri di
atas rakitnya.
Dia menyaksikan sendiri ketika
melihat empat
buah kepala manusia digenangi
darah, sesaat sebe-
lum keempat kepala itu
tenggelam.
Segera tahulah dia apa yang
telah terjadi.
"No...nona..!
Sssi..siapakah anda..?" bertanya la-
ki-laki itu dengan tergagap.
Betapa tidak terkejut dia
karena di hadapannya berdiri
seorang gadis cantik
berambut terurai mengenakan
pakaian dari kulit
macan tutul.
Sementara di tangannya tergerai
seutas rantai
berbandulan yang mirip dengan
bentuk payudara.
Siapakah adanya dia ini,
tentunya sudah dapat
diterka kalau dia adalah RORO
CENTIL si Pendekar
Wanita Pantai Selatan.
"Hihihi..." Roro cuma
tertawa renyah tanpa me-
nyahuti. Akan tetapi laki-laki
Itu mendadak terkejut
dan hampir saja dia jatuh
terguling kalau tak cepat-
cepat berpegang pada batang kayu
rakit. Karena
mendadak rakit seperti terbang
meloncat dari atas
air.
Selanjutnya rakit itu telah membelah gelombang
dengan meluncur pesat bagai anak
panah melesat
dari busurnya. Laki-laki itu
ternganga, dan hampir-
hampir tak percaya karena wanita
muda dan cantik
itu cuma gunakan lengannya sesekali mengayuh,
namun rakit telah meluncur pesat
bagaikan terbang.
"Hebat! Luar biasa..!
apakah aku berhadapan
dengan seorang Dewi Laut ataukah
seorang manu-
sia?" berdesis
laki-laki Itu dengan menatap kagum
pada Roro. Yang ditatap unjukkan
senyuman manis
membuat jantung laki-laki Ini
berdebar.
"No..nona..."
Laki-laki Ini kembali ngangakan mu-
lutnya untuk bertanya. Akan
tetapi belum habis per-
tanyaannya, rakit seperti
terhempas keras membuat
dia terlonjak kaget. Bukan main
terkejutnya dia ka-
rena rakit telah berada di atas
daratan.
"Nah! kau telah selamat.
Pergilah ke mana kau
akan menuju. Akan tetapi aku
perlu keteranganmu
mengenai pulau itu, dan siapa gerangan pengejar-
pengejar dan pembokongmu yang
berkepala botak
itu?" berkata Roro seraya
melompat ke atas pasir.
"Terimakasih atas
pertolongan anda, nona..." laki-
laki itu menjura. “Namaku
Bergola. Hampir setahun
aku disekap di pulau neraka itu.
Pulau itu dinama-
kan Pulau Berhala oleh sang Pemimpin
atau Ketua
yang menamakan dirinya Paderi
Mata Seribu.
Orang-orang berkepala botak yang
mengejar ku ada-
lah anak-anak buah si paderi
gila itu..." sahut Ber-
gola.
"Paderi Mata Seribu? gumam
Roro terkejut. "Apa
yang telah dilakukannya di pulau
itu?" tanya Roro
dengan menatap tajam wajah
Bergola.
Laki-laki ini menghela napas
sejenak. Pandangan
matanya dialihkan ke tengah
lautan.
Akan tetapi belum lagi Bergola
memberikan kete-
rangan, tiba-tiba cuaca berubah
gelap. Angin keras
bersiutan. Roro tersentak kaget.
Terlebih lagi adalah
laki-laki bernama Bergola itu.
Seketika wajahnya be-
rubah pucat pias. Itulah
pertanda pelariannya telah
diketahui oleh si Paderi Mata
Seribu. Saat itu di
udara tiba-tiba terlihat dua
titik cahaya merah me-
luncur pesat dari arah laut.
"Benda apakah itu?"
desis Roro. Sementara dia te-
lah waspada untuk menghadapi apa
yang bakal ter-
jadi.
Roro segera gunakan kekuatan
mata batin untuk
melihat sinar merah itu.
"Ah, sepasang mata yang
merah menyala?" Sentak Roro
terkejut. "Apakah Ini
ilmu yang digunakan si Paderi
Mata Seribu??" pikir
Roro.
Belum lagi Roro melakukan
tindakan, mendadak
terdengar suara tertawa
berkakakan yang mengge-
tarkan gendang telinga. Suara
itu berkumandang
keras menembus anak telinga.
Getaran suara itu
mempengaruhi syarap Roro. Namun
cepat Roro gu-
nakan kekuatan batinnya untuk
segera menutup
pendengarannya. Sementara sepasang lengannya
siap melakukan hantaman pada
cahaya merah Itu.
Detik itu
pula tiba-tiba Roro tersadar bahwa di
samping dia ada seorang lagi,
yaitu laki-laki berna-
ma Bergola.
"Cepat tutup
telingamu!" Teriak Roro. Akan tetapi
terlambat. Bergola telah
perdengarkan suara jeritan
menyayat hati. Tubuhnya
terjungkal ke tanah. Ber-
kelojotan tubuh laki-laki itu
seperti terkena stroom.
Tak lama Bergola sudah tak
berkutik lagi. Diam un-
tuk selama-lamanya.
"Keparat! memaki Roro.
Sepasang lengannya ber-
gerak menghantam cahaya merah
itu. BHLARRRR!
Dua larik sinar perak dan
pelangi meluncur
menghantam cahaya itu. Sesaat
setelah terjadi leda-
kan, cuaca mendadak berubah
terang kembali. Sua-
ra tertawa itu lenyap.
Roro Centil kerutkan alis seraya
putar tubuh un-
tuk mengawasi sekitarnya. Tapi
tak ada tanda-tanda
adanya sepasang cahaya merah
itu.
Tersentak Roro seketika itu juga untuk segera
memburu ke arah Bergola.
Akan tetapi dia cuma menjumpai
tubuh yang su-
dah tak bernyawa lagi.
Laki-laki buronan itu telah
tewas dengan keadaan
mengerikan. Dari sekujur liang
di tubuhnya menga-
lirkan darah kental berwarna
hitam.
"Setan Alas!" memaki
Roro.
"Heeeiii! Paderi Iblis Mata
Seribu! keluarlah kau!
Unjukkan dirimu, pengecut!"
berteriak-teriak Roro
menantang. Dia yakin kalau yang
telah mengelua-
rkan ilmu tertawa mengandung
maut itu adalah si
Paderi Mata Seribu!
DUA
Tak ada sahutan. Juga tak ada
tanda-tanda lain.
Semua kembali tenang. Ombak
mengalun pelahan
memecah di pantai. Mata Roro
membersitkan ca-
haya kemarahan. Tiba-tiba dia
telah perdengarkan
suara lengkingan panjang. Dan
tiba-tiba tubuhnya
berkelebat ke arah laut lepas.
Diiringi suara teriakan
yang berkumandang.
"Paderi Mata Seribu!
Tunggulah kedatangan ku!"
Selanjutnya yang terlihat adalah
pemandangan
yang menakjubkan. Tubuh gadis
pendekar perkasa
Itu berkelebatan dan
berlari-lari di atas air.
Ke manakah tujuan Roro Centil?
Ya! Ke mana lagi
kalau bukan ke Pulau Berhala!
Sementara kita me-
nengok dulu keadaan di Pulau
Berhala.
Pulau Berhala adalah gugusan
dari Pulau Kari-
mata. Terletak di antara dua
buah pulau besar di
sebelah Utara laut Jawa.
Di tengah pulau itu telah
dibangun sebuah istana
dikelilingi pagar tembok. Istana
yang tampak megah
akan sudah terlihat dari
kejauhan. Megah, juga pe-
nuh keangkeran. Karena seluruh
tembok istana ber-
cat hitam.
Tampaknya nama Pulau Berhala
bukanlah nama
yang tak mempunyai arti. Karena
di sekeliling pulau
terlihat ratusan area dari batu.
Arca-arca alias ber-
hala itu berbentuk paderi
berkepala botak.
Arca-arca itu belumlah selesai
seluruhnya, karena
tampak di sana-sini puluhan
orang tengah bekerja
keras memahat batu untuk
pembuatan berhala ter-
sebut.
Siapakah adanya laki-laki yang
melarikan diri
bernama Bergola Itu? Dialah
salah seorang pekerja
pemahat batu dan pembuat area
yang menjalani
kerja paksa di bawah kekuasaan
si Paderi Mata Se-
ribu!
Saat itu tiba-tiba di antara
kelengangan yang se-
sekali terdengar suara-suara
dentingan pahat peme-
cah batu, tiba-tiba terdengar
suara seperti gong di-
palu. Itulah tanda isyarat
adanya bahaya.
Belasan paderi berjubah merah
bermunculan.
Sementara pekerja segera
hentikan pekerjaannya.
Mereka berkumpul. Lalu digiring
untuk masuk ke
barak-barak yang berada di
sebelah kiri Istana.
Paderi-Paderi berjubah merah
itu kemudian me-
nebar ke sekitar pulau.
Tak lama puluhan paderi berjubah
kuning kem-
bali bermunculan. Juga menebar
ke sekitar tembok
Istana. Dan terakhir adalah
puluhan paderi berju-
bah hitam yang berkelebatan
menebar.
Sukar untuk bisa diikuti gerakan
tiga gelombang
paderi yang berjubah dengan
warna berlainan itu.
Karena sekejapan saja mereka
telah lenyap di antara
berhala-berhala yang bertebaran
di sekeliling istana.
Kita beralih pada Roro Centil
yang sedang menuju
ke arah Pulau Berhala. Pendekar
Wanita yang kini
mulai dijuluki orang si Macan
Tutul Betina Pantai
Selatan itu telah berniat
menyatroni Pulau Berhala.
Roro memang telah mendengar
tentang adanya
lenyapnya orang-orang desa di
wilayah Utara yang
hilang secara misterius.
Kedatangannya ke wilayah Utara
Itu adalah un-
tuk menyelidiki berkenaan dengan
peristiwa itu.
Roro berpendapat keanehan
itu tak bisa tidak
adalah karena adanya penculikan.
Motif apakah ki-
ranya dengan
penculikan-penculikan yang membuat
keresahan penduduk wilayah
pantai Utara Pulau
Jawa itu
dia belum bisa mengetahui. Untuk itulah
Roro bertekad menyelidiki.
Ketika dia tengah berke-
liaran di sekitar pantai Utara
dengan memperguna-
kan ilmunya yaitu berjalan dan
berkelebatan di atas
air, Roro melihat sebuah rakit
terapung-apung ber-
penumpang seorang laki-laki
berpakaian compang-
camping.
Orang itu
adalah Bergola, yang kemudian dito-
longnya. Sayang Bergola tewas
ketika munculnya
dua cahaya merah yang disusui
dengan cuaca yang
berubah gelap dengan mendadak.
Kemudian terden-
gar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan
anak telinga, yang kemudian
akibat dari suara ter-
tawa aneh itu mengakibatkan tewasnya Bergola.
Demikianlah! Melalui sedikit
keterangan dari Bergo-
la, Roro mengambil keputusan
untuk melabrak si
Paderi Mata Seribu yang menjadi
pemimpin para pa-
deri di Pulau Berhala.
Keyakinannya begitu pasti kalau
otak dari pencu-
likan orang-orang desa itu
adalah si Paderi Mata Se-
ribu!
Dua titik cahaya merah tiba-tiba
melesat ke luar
dari dalam pintu istana Hitam
diiringi oleh suara
tertawa berkakakan yang
menyeramkan.
"Hoahaha... hahah...
hahaha… bersiap-siaplah
kalian untuk menyambut
kedatangan tetamu "isti-
mewa". Dialah si Macan
Tutul Betina Pantai Selatan!
RORO CENTIL! Bila kita berhasil
menawannya, ma-
ka kita akan segera mengadakan
pesta besar. Pesta
kemenangan! Karena dialah orang
yang bakal mem-
buat kehancuran partai
kita!"
Suara tertawa itu disusui oleh kata-kata yang
berkumandang ke seantero pulau.
Dan begitu sele-
sai kata-kata itu, tiba-tiba
cahaya merah itupun le-
nyap. Suasanapun kembali hening.
Pulau itu seperti
lengang tiada berpenghuni
seorang pun.'
Dalam keadaan hening yang
mencekam itulah ti-
ba-tiba terdengar suara tertawa
merdu dari arah
lautan. Suara tertawa seorang
wanita yang semakin
mendekat ke arah Pulau Berhala.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara angin bersi-
utan. Ombak menyemburat seperti
diterjang angin
puting beliung.
Terdengar suara teriakan
terkejut bernada suara
wanita. Namun selang sesaat
lenyap. namun apa
yang terlihat kemudian? Sesosok
tubuh terlempar ke
udara. Siapa lagi kalau bukan
tubuh Roro Centil.
Apakah gerangan yang terjadi
dengan sang Pendekar
Pantai Selatan itu?
Kiranya ketika Roro hampir
mendekati Pulau
Berhala, tiba-tiba dari arah
depan bersiut angin ke-
ras menerpa tubuhnya. Gelombang
besar pun
menghantam tubuhnya. Gadis Ini
terpekik kaget.
Tak ampun tubuhnya terlempar ke
udara terbawa
hempasan gelombang yang dahsyat.
Dalam keadaan yang serba aneh
dan mendadak
itu, Roro sesaat seperti
kehilangan kekuatannya. Ka-
rena untuk pertama kalinya
inilah dia menghadapi
hal semacam ini. Namun sebagai
seorang Pendekar
yang sudah banyak makan asam-garam
dalam
menghadapi berbagai bencana,
Roro masih sempat
mengkonsentrasikan daya pikirnya
untuk segera
imbangi lemparan tubuhnya dengan
melayang di
udara mengikuti daya kekuatan
hempasan gelom-
bang tersebut.
Tak hanya itu, Roro segera
menghimpun tenaga
dalam di sekujur tubuh.
Akan tetapi pada saat itu lapat-lapat telinganya
mendengar suara bentakan.
"Bocah tolol! belum
saatnya kau menyatroni Pulau
Berhala!"
Di lain kejap, Roro rasakan
hempasan keras kem-
bali menerpa tubuhnya. Kail ini
Roro benar-benar
lenyap seluruh daya kekuatan
panca inderanya.
Pandangannya mendadak menjadi
gelap. Dan dia
cuma merasakan tubuhnya seperti
melayang dengan
amat pesat. Namun selanjutnya
dia sudah tidak ta-
hu apa-apa lagi.....
TIGA
Sebuah perahu sampan didayung
seorang pemu-
da berwajah tampan meluncur
membelah selat. Ge-
mericik bunyi air yang tersibak.
Dia seorang laki-laki
yang berusia kira-kira 25 tahun
lebih. Berkulit pu-
tih. Berpakaian warna abu-abu.
Menyandang pe-
dang di punggung-nya. Siapakah
laik-laki muda
yang tampan ini? Dialah SAMBU
RUCI. Seorang to-
koh muda dari golongan putih
yang digelari si Pen-
dekar Selat Karimata. Akan
tetapi juga mendapat ju-
lukan si Bujang Nan Elok.
Sepasang mata pemuda ini
memandang ke sekitar
selat. Tampaknya arah yang
ditujunya telah semakin
dekat, karena tak lepas-lepas
dia memandang ke
arah sebuah bukit yang tegak
menjulang di sebelah
Barat.
Bukit itu
seperti membangkitkan kenangannya
pada beberapa tahun yang silam.
Di atas bukit Itulah dia
dipelihara oleh seorang
tua perempuan yang berilmu
tinggi.
Orang tua kosen itu bernama Mamak Metangat.
Sejak dia berusia sebelas tahun
hingga sampai dua
puluh tahun, menggemblengnya
dengan bermacam
ilmu kedigjayaan. Hingga
kemudian dia turun gu-
nung dengan bekal Itu dan
menjadi seorang pende-
kar bergelar si Pendekar Selat
Karimata.
Semakin dekat ke arah bukit di
sisi selat, sema-
kin resahlah tampaknya pemuda
itu. Sementara bi-
birnya mulai perdengarkan suara
menggumam...
"Ah, Mak Metangat. Masih
hidupkah beliau sete-
lah sekian tahun aku tak pernah
menjenguknya?"
Dikayuhnya perahu kecil itu
untuk mempercepat
perjalanan yang ditujunya. Kini
bukit itu makin de-
kat. Makin jelas.
Tak lama berselang setelah
kira-kira lewat sepe-
nanak nasi, pemuda tampan
itu mengayuh pera-
hunya ke tepi. Ujung perahu
segera menyentuh ta-
nah. Pemuda ini merapatkan badan
perahu, lalu
berdiri, dan melompat ke darat.
Tak lama kemudian pemuda
itu telah bergegas
untuk segera mendaki bukit.
Sementara perasaan-
nya merasa tak enak. Hatinya
waswas.
"Apakah gerangan yang
terjadi?" gumamnya. Ge-
rakan-gerakan pemuda itu gesit
sekali hingga dalam
waktu yang tak berapa lama dia
telah tiba di ujung
tangga undakan batu. Pada puncak
bukit itu segera
terlihat sebuah pondok kayu
beratap rumbia. Akan
tetapi mata Sambu Ruci terpana
melihat keadaan
pondok yang sudah roboh. Ketika
melihat keadaan
sekeliling tempat Itu tampak
porak poranda seperti
baru dilanda angin ribut.
Jantung Sambu Ruci berdetak
keras. Tak me-
nunggu lama dia telah melompat
mendekati pondok.
Bibirnya menggetar meneriakkan
nama gurunya.
"Mak Guru Metangat..! Di
manakah kau..?"
Beberapa kali dia memanggil.
Namun tak ada sa-
hutan. Cuma suaranya saja yang
berpantulan lagi
terdengar di telinganya.
Tersentak kaget pemuda ini
melihat sesosok tu-
buh tertelungkup di batang pohon
yang roboh.
Membelalaklah mata Sambu Ruci
mengetahui siapa
adanya sosok tubuh itu.
"GURUUU..!?" teriaknya
seraya memburu. Akan
tetapi dia cuma bisa tertegun
menatap dengan mata
mendelong ketika melihat sosok
tubuh itu sudah
menjadi kerangka yang membusuk.
Kakinya tersu-
rut mundur.
"Guru...." Desisnya
terperangah. Jelas sekali
mayat itu adalah mayat nenek tua
kosen yang men-
jadi gurunya. Akan tetapi dia
cuma bisa menjumpai
dalam keadaan telah menjadi
bangkai!
Yakinlah dia bahwa di tempat
itu telah terjadi
pertarungan hebat, yang
mengakibatkan tewasnya
Mak Metangat. Akan tetapi
siapakah orang yang te-
lah menewaskan gurunya Itu? Ada
perselisihan apa-
kah hingga terjadi pertarungan
di atas bukit tempat
kediaman Mak Metangat?
Sambu Ruci termangu-mangu
menatap jenazah
sang guru. Tak terasa air
matanya menggenang di
pelupuk mata.
Bau menyengat hidung membuat
Sambu Ruci
tersadar dari terpakunya. Segera
dia mendekati je-
nazah itu untuk mengangkatnya.
Akan tetapi lagi-lagi mata Sambu
Ruci membela-
lak. Dilihatnya pada batang kayu
terdapat guratan
dalam berbentuk tulisan.
Cepat Sambu Ruci membacanya.
Tulisan yang
agaknya ditulis oleh nenek tua
kosen ini di saat ak-
hir hidupnya bertuliskan: PADERI
MATA SERIBU.
"Paderi Mata Seribu?"
sentak Sambu Ruci ter-
kejut.
"Apakah si pembunuh guru
adalah si Paderi Mata
Seribu?" desis Sambu Ruci
terperangah.
Lama dia terpaku memandangi
tulisan yang tak
karuan bentuknya, tapi masih
dapat terbaca. Jelas
Itu sebuah tulisan yang mempunyai maksud. Dan
Sambu Ruci yakin kalau si
pembunuh yang mene-
waskan gurunya adalah si Paderi
Mata Seribu. Dia
berpendapat sebelum nyawa sang
guru direnggut
maut, masih sempat menuliskannya
pada batang
pohon dengan guratan kuku. Masih
tampak adanya
tanda-tanda bekas darah.
Sepasang lengan pemuda ini
mengepal keras. Da-
danya bergerak naik-turun,
pertanda dia sangat gu-
sar. Giginya gemeretuk beradu.
Dari mulut pemuda ini terdengar
suara mengge-
ram.
"Hhh ... Paderi Mata
Seribu! Tunggulah pembala-
san dendam patiku! Aku yakin
kaulah yang telah
membunuh guru!"
Dua tetes air mata bening pun
mengalir turun
membasahi pipi si Bujang Nan
Elok. Wajah pemuda
ini menunduk menahan gejolak
kemarahan, kesedi-
han bercampur penyesalan. Dia
seperti mengutuk
pada dirinya sendiri karena tak
mengetahui terja-
dinya pertarungan itu....
Lama ... lama ... dia terunduk
dengan menahan
perasaan, mengumbar kesedihan.
Ketika lapat-lapat
telinganya mendengar suara orang
di belakangnya.
"Sudahlah! Kematian memang
sudah menjadi bagian
dari setiap manusia yang hidup.
Mengapa harus ter-
lalu bersedih? Bukankah semua
manusia pada sua-
tu saat pun akan menemui
kematian? Bukankah se-
tiap saat manusia diancam maut?
Kuburkanlah je-
nazah gurumu. Tak baik
membiarkannya berlama-
lama.
Masih untung di sekitar wilayah
ini tak ada bina-
tang buas. Jenazah itu masih
utuh dalam keadaan
sebagaimana wajarnya..."
Sambu Ruci menoleh. Terlihatlah
seorang laki-
laki tua berpakaian serba putih.
Bahkan alis kumis
dan jenggotnyapun memutih.
Di lengan kakek tua Itu tercekal sebuah tasbih.
Wajahnya nampak berwibawa.
"Siapakah kau orang
tua?" bertanya Sambu Ruci
tertegun, sesaat setelah dia
balikkan tubuh menatap
orang.
Kakek jubah putih mengelus
jenggotnya. Bibirnya
sunggingkan senyuman.
"Namaku Ki Balung Putih,
anak muda. Secara
kebetulan aku melewati tempat
ini dan melihatmu
mendaki bukit. Aku segera
mengikutimu, karena
mungkin kau bisa
membantuku" menyahut si ka-
kek.
Sambu Ruci kerutkan keningnya.
Diam-diam ha-
tinya membatin. "Hm, kakek
ini tanpa setahu-ku te-
lah berada di belakangku.
Gerakannya tak menim-
bulkan suara. Tentunya seorang
tua yang berkepan-
daian tinggi. Pertolongan apakah
yang diinginkan-
nya?". Sejurus antaranya
Sambu Ruci termangu, La-
lu ujarnya.
"Namaku Sambu Ruci"
berkata pemuda ini mem-
perkenalkan diri. "Apakah
anda tersesat jalan?"
sambungnya menduga.
Laki-laki itu gelengkan kepala.
'Tidak! bukan hal
Itu yang kuinginkan kau membantuku. Tapi hal
lain!" ujar si kakek.
"Sudahlah, nanti akan
kuceritakan. Mari kubantu
dulu kau mengubur jenazah gurumu!"
sergah si ka-
kek.
Sambu Ruci mengangguk.
"Terima kasih atas
bantuanmu, kakek!" berkata
Sambu Ruci. Cepat dia
pondong mayat Mamak Metangat
untuk dibaringkan
di tanah.
Sementara si kakek jubah putih
Itu gulung lengan
jubahnya, dan rentangkan tangan.
Bles! Sepasang lengan itu
membenam sebatas si-
ku di tanah.
Cepat sekali bekerjanya si kakek
jubah putih itu.
Dalam beberapa saat saja dia
telah menggali lubang
yang cukup dalam. Sambu Ruci
terpaku melihat ke-
hebatan sepasang lengan si kakek
yang seolah sepa-
sang besi lempengan saja yang
digunakan untuk
menggali tanah. Dalam waktu
singkat lubang yang
cukup dalam telah selesai
dibuat.
"Hayo, cepat kau pendam
jenazah gurumu, sobat
muda Sambu Ruci!"
Suara perintah si kakek membuat
Sambu Ruci
tersadar dari keterpakuannya
menatap kerja si ka-
kek yang membuat dia kagum.
"Oh, ya! ... baik, kek! Ah,
terima kasih! aku telah
menyusahkan anda Ki Balung
Putih!" sahut Sambu
Ruci.
Tak ayal dia segera pondong
tubuh jenazah untuk
diterima oleh sepasang lengan Ki
Balung Putih yang
merentang. Kakek ini masih
berada di dalam lubang
yang baru selesai dibuatnya.
Tak lama jenazah Mamak Metangat
telah diba-
ringkan. Ki Balung Putih segera
melompat ke luar
lubang.
EMPAT
Selanjutnya si kakek segera
menimbun lubang
kuburan Itu dengan tanah. Sambu
Ruci membantu
dengan cekatan. Hingga tak
berapa lama lubang pun
sudah selesai ditimbun.
Sambu Ruci menancapkan sebongkah
batu runc-
ing di atas gundukan tanah itu.
Lalu bersihkan tan-
gannya disertai helaan napas
lega.
Akan tetapi terkejut Sambu Ruci
melihat si kakek
jubah putih itu tak ada lagi di
tempat itu.
"Hai? ke mana orang tua
itu?" sentaknya terkejut.
"Gila! gerakannya sungguh
luar biasa! Datang dan
perginya bagaikan siluman
saja!" berkata Sambu
Ruci dalam hati.
Selagi dia termangu itu
terdengar suara di kejau-
han, di lereng bukit.
"Hoooiii! anak muda Sambu
Ruci! Segera turun-
lah! aku baru saja selesai
mencuci tangan!"
"Haiiih! kakek yang aneh
dan hebat!" sentak
Sambu Ruci.
Tak ayal dia telah melompat dari
tempat itu, sete-
lah menjura di hadapan kuburan
jenazah gurunya.
Saat berikutnya Sambu Ruci sudah
bergegas turun
dari atas bukit dengan
melompat-lompat.
Dilihatnya si kakek bernama Ki
Balung Putih ten-
gah duduk ongkang-ongkang kaki
di atas batu ke-
tinggian di sisi sungai.
Wajah dan tangannya basah.
Rupanya dia me-
mang baru saja selesai mencuci
muka dan member-
sihkan tangannya yang kotor.
"Aku telah membantumu
menggali kubur menge-
bumikan jenazah gurumu. Kini
giliran kau yang
membantu aku!" berkata si
kakek.
"Ah katakan saja apa yang
perlu kubantu. Aku
selalu bersedia dan siapkan
tenaga untuk meno-
longmu kakek!" sahut Sambu
Ruci, seraya men-
dekati sisi sungai. Lalu
membasuh tangannya yang
kotor sekaligus-mencuci muka
yang penuh berke-
ringat dan debu.
"Haha... hehe... bagus!
Marilah kau ikut aku!"
berkata si kakek sambil tertawa
terkekeh. Tahu-
tahu dia sudah berada di belakang Sambu Ruci.
Lengannya bergerak menyambar
lengan pemuda itu.
Dan belum lagi Sambu Ruci
tersadar, dia sudah rasa
tubuhnya melayang ke tengah air.
"Aaaah..!?" tersentak
kaget Sambu Ruci. Hatinya
membatin. "Gila! apa-apaan
ini? Apakah kakek ini
orang yang tidak waras?"
pemuda ini gelagapan ka-
rena sekejap lagi tubuhnya akan
tercebur di air.
Akan tetapi baru saja kakinya
menyentuh permu-
kaan air, tiba-tiba tubuhnya
kembali terangkat, dan
melambung lagi. Ternyata si
kakek jubah putih itu
cuma menotol permukaan air
dengan ujung kaki,
dan selanjutnya telah melompat
lagi. Tentu saja
Sambu Ruci yang engannya dicekal
kuat oleh si ka-
kek kembali terbawa melayang.
Hal tersebut terjadi berulang
kali. Sambu Ruci
terkejutnya sampai-sampai
mulutnya ternganga dan
tak bisa bicara apa-apa. Sementara
itu kecepatan
gerakan si kakek yang
melompat-lompat di atas air
begitu cepatnya, hingga dia cuma
rasakan angin ke-
ras menerpa tubuh dan wajahnya.
Dalam beberapa saat saja
tahu-tahu kakinya te-
lah menjejak daratan.
Kakek itu
segera lepaskan cekalannya. Sambu
Ruci agak terhuyung. Hampir saja
ia jatuh. Kepa-
lanya terasa pusing. Namun
segera dia pejamkan
mata untuk segera menenangkan
hati yang benar-
benar kaget bercampur takjub.
Baru pertama kali-
nya dia dibawa melompat-lompat
di atas air.
"Kakek ..! ah, kau ... kau
hebat sekali!" tak terasa
dia memuji dengan menatap kagum
pada si kakek.
"Hahaha... Itu
cuma ilmu meringankan tubuh
yang mudah untuk dilatih. Kau
sendiri pun akan
mampu kelak kalau kau mau
mempelajari!" berkata
si kakek.
"Oh, ajarkanlah aku ilmu
itu, kek ..!" teriak Sam-
bu Ruci. Dan tanpa terduga oleh
si kakek Ki Balung
Putih, tahu-tahu Sambu Ruci
telah jatuhkan dirinya
berlutut di hadapannya seraya
mengucap.
"GURU! Hari ini aku
bersumpah akan menjadi
muridmu, dan mengangkatmu
sebagai guru!"
"Weeelii! lho! Iho? baru
bertemu sudah mau men-
gangkat ku sebagai guru! Aiiii!
bocah muda! Kau
bangunlah!" teriak kaget Ki
Balung Putih, Namun
dia cuma bisa garuk-garuk kepala
melihat anak mu-
da itu tetap berlutut tak mau
berdiri.
"Aku tak akan bangun kalau
kau orang tua belum
menyatakan bersedia mengangkat
ku sebagai mu-
ridmu!" ujar Sambu Ruci.
Sementara diam-diam da-
lam berlutut itu Sambu Ruci
tersenyum, walaupun
sebenarnya hatinya kebat-kebit.
Dia memang telah
dengan nekat melakukan hal
seperti ini, Karena dia
tahu kalau saat ini adalah saat
yang amat tepat.
Musuh besarnya si Paderi Mata
Seribu dapat di-
duga adalah seorang tokoh yang
ilmunya luar biasa
tingginya. Terbukti telah
menewaskan gurunya. Ka-
lau dia tak mengangkat guru pada
kakek aneh ini,
bagaimana mungkin dia bisa
membalas dendam?
Sedangkan ilmunya yang masih
rendah ini bila di-
gunakan untuk membalas dendam
samalah dengan
tiada artinya.
"Wah! wah! kau memang bocah
yang keterlaluan!
Baik! Baiklah! kau kuterima
menjadi murid-ku!
Hayo kau bangunlah, anak
muda!" Akhirnya setelah
berkali-kali menggaruk kepala si
kakek jubah putih
segera mengabulkan permintaan
Sambu Ruci. Tentu
saja bukan kepalang girangnya
hati pemuda ini. Se-
raya melompat dengan berjingkrak
girang dia telah
memeluk Ki Balung Putih.
"Oh, terimakasih, guru!
Terimakasih, guru ..!"
Barulah Sambu Ruci kemudian
melepaskan pelu-
kannya, dengan tersipu dia
menatap pada kakek itu.
"Maafkan aku, guru ..!
Tentunya kau amat mak-
lum dengan keadaanku saat ini
..!" berkata Sambu
Ruci. Ki Balung Putih
manggut-manggut.
"Ya! ya! aku mengerti.
Untuk mencari si Paderi
Mata Seribu guna menuntut balas
kematian gurumu
itu memang kau harus memerlukan bekal, ilmu-
ilmu kedigjayaan!" potong
Ki Balung Putih. Dia me-
mang telah melihat goresan di
batang pohon yang
dibaca pemuda itu yang ditulis
oleh Mamak Metan-
gat sebelum mati. Hingga dia
dapat menerka apa
yang tersirat di hati pemuda
itu.
"Ah, sukurlah, kau telah
mengetahuinya, guru!"
berseri girang wajah Sambu Ruci.
"Sudahlah! ayo, kau
ikutilah aku!" berkata kakek
itu seraya berkelebat melompati
masuk hutan.
"Baik, guru! ke lubang
semut pun aku akan men-
gikutimu!" teriak Sambu
Ruci seraya melompat
mengejar. Tak lama kedua sosok
tubuh itu pun le-
nyap ditelan rimbunnya
hutan......
***
Gadis ini duduk di atas batu tak
bergeming mena-
tap ke hadapannya dengan mata
mendelong. Di be-
lakangnya sebuah pondok bambu
beratap rumbia.
Satu-satu pondok yang terpencil
di tengah hutan
itu. Keadaan di tempat itu sunyi
mencekam. Seseka-
li terdengar suara burung-burung
hutan menyanyi-
kan lagi. Tapi dia seperti tak
peduli dengan semua
itu,
Yang membuat aneh adalah dari
pelupuk mata si
gadis mengalir air bening dan
sepasang mata yang
bulat itu berkaca-kaca.
Ketika itulah terdengar suara memanggil na-
manya.
"Cinderani …!"
Gadis ini menoleh dan agak
terkejut. Karena sege-
ra melihat siapa yang telah
berada di belakangnya.
Cepat-cepat dia bangkit untuk
segera berlutut, se-
raya mengucap dengan suara
gemetar.
"Kakek ... Segeralah
berikan keputusan hukuman
ku! Kalau kau perintahkan aku
untuk membunuh
diri sekalipun akan kulaksanakan
saat ini juga!" Ki
Balung Putih menatap tajam pada
muridnya. Lalu
mendengus dan berkata ketus
penuh wibawa.
"Cinderani! Kesalahan yang
kau perbuat tak da-
pat ditebus dengan membunuh
diri! Apakah kau ki-
ra perbuatan bunuh diri itu
dapat memupus dosa-
mu?
Heh! Bahkan justru akan
memperberat dosamu.
Dan kau akan mati dengan keadaan
terkutuk!"
Cinderani tak menjawab, kecuali
terisak-isak. Se-
juta kesedihan dan penyesalan
seperti menyesakkan
dadanya. Namun sebisa-bisa dia
menggigit bibir un-
tuk menahannya.
"Bahkan dosamu akan
bertambah berlipat ganda
karena telah membunuh pula benih
yang telah be-
rada dalam rahim mu! Tidak! aku
takkan menyu-
ruhmu membunuh diri. Akan tetapi
telah ku bawa-
kan seorang pemuda yang akan
mengawinimu agar
tak membuat malu!" lanjutkan
berkata si kakek.
Tentu saja kata-kata itu
membuat si gadis me-
nengadah menatap wajah sang
kakek.
Lalu sepasang mata itu dialihkan ke sekeliling
tempat itu, mencari-cari pemuda yang dikatakan
sang guru.
Ki Balung Putih tersenyum.
Tiba-tiba lengannya
bergerak untuk masukkan dua jari
ke dalam mulut-
nya. Dan terdengarlah suara
suitan nyaring.
LIMA
Sambu Ruci yang sedang menatap
dari tempat
persembunyiannya pada kedua
orang itu dengan tak
mengerti, mendengar suara suitan
si kakek segera
melompat ke luar. Sementara
hatinya jadi berdeba-
ran. Dia telah mendengar sendiri
secara lapat-lapat
pembicaraan Ki Balung Putih dan
gadis itu. Hatinya
membatin. "Wah, celaka!
Apakah yang akan dimintai
pertolongan si kakek adalah
untuk hal ini? Celaka
dua belas! Aku telah terlanjur
bersedia menolong-
nya, bahkan aku telah mengangkat
guru padanya.
Kalau aku disuruh menikah dengan
gadis itu ba-
gaimana aku harus menolak?"
Walau demikian Sambu Ruci tak
dapat tidak me-
muji akan kecantikan si gadis
bernama Cinderani
itu.
"Muridku! perkenalkanlah!
Ini cucuku yang juga
muridku bernama CINDERANI!"
berkata Ki Balung
Putih pada Sambu Ruci. Gadis
itu tersipu dengan
mata berkejap-kejap, lalu
menunduk. Tak sepatah-
pun kata ke luar dari mulutnya.
Sementara hatinya
serasa tak menentu. Apakah dia
bergirang hati
ataukah bersedih. Pemuda itu
memang tampan dan
gagah. Akan tetapi apakah
mungkin pemuda itu
mau menikahinya, sedang dia
dalam keadaan ha-
mil? Kalau dibandingkan dengan
SOMARA mungkin
Somara kalah jauh perihal
ketampanannya. Akan te-
tapi dia telah terlanjur
mencintainya berpikir Cinde-
rani.
"Mulai saat ini kau tak
perlu mengingat-ingat
SOMARA! Bocah edan itu mana mungkin berani
tunjukkan diri di hadapanku? Bahkan
aku telah tak
mengakuinya sebagai muridku
lagi!" ujar Ki Balung
Putih dengan suara ketus,
seperti telah mengetahui
apa yang tersirat di hati
Cinderani.
"Guru ..!? Apakah
pertolonganmu itu untuk…”
Sela Sambu Ruci dengan wajah
memerah. Akan te-
tapi telah dipotong oleh Ki
Balung Putih.
"Sambu Ruci! kau telah
menjadi muridku. Dan
kau telah mengatakan bahwa kau
bersedia meno-
longku. Setelah kau menikahi
gadis muridku Ini,
kau harus cari si Somara itu
untuk membunuhnya.
Dan kau tak dapat menolak
keputusanku. Ingat!
kau adalah muridku yang harus
menuruti apa yang
diinginkan gurunya!"
"Ba... baik..! Guru! akan
tetapi Kalau cuma untuk
menutupi malumu, kukira tidaklah
akan membuat
pernikahan bahagia. Menurutku
cinta tak dapat di-
paksakan!" dengan tergagap
Sambu terpaksa me-
nyahuti.
"Hm, kata-katamu
mungkin benar! Akan tetapi
betapa aku amat membenci pada si
SOMARA itu.
Enam tahun aku mendidiknya agar
menjadi seorang
murid yang berjiwa pendekar.
Setelah turun gunung
ternyata membuat namaku jadi
tercemar. Dia telah
melakukan perbuatan kotor di
mana-mana. Dan
yang sungguh membuatku menyesal
mengangkat
murid pada si jahanam itu
adalah, justru dia telah
pula melakukan perbuatan kotor
pula pada adik se-
perguruannya sendiri! Sungguh
amat memalukan!
Kalau saja tidak memandang benih
yang telah tum-
buh di rahim muridku ini, tentu
siang-siang aku te-
lah membunuhnya!" berkata
Ki Balung Putih dengan
menunjuk pada Cinderani.
Sepasang matanya berbinar-binar
karena kema-
rahannya.
"Hm, katakan Cinderani!
apakah kamu masih te-
tap mencintai si Somara murid
durhaka itu?" Tiba-
tiba Ki Balung Putih membentak
muridnya.
Tergetar tubuh si gadis. Akan
tetapi dia tak men-
jawab apa-apa, kecuali kembali
terisak-isak. Sambu
Ruci jadi terpaku dengan
tenggorokan serasa ter-
sumbat. Mau tak mau hatinya
menjadi trenyuh dan
kasihan pada si gadis.
"Kalau kau tak mau
menjawab, biarlah aku saja
yang membunuh diri!" teriak
Ki Balung Putih. Tiba-
tiba dia gerakkan lengannya
menghantam kepalanya
sendiri.
"Guruuuu!" teriak
Cinderani tersentak kaget.
Sambu Ruci jadi terperangah
kaget. Sungguh dia tak
menduga Kalau si kakek itu akan
mengemplangkan
lengannya sendiri ke batok
kepalanya. Untuk meng-
gagalkan niat itu sangatlah
sukar karena kata-kata
dan gerakan lengan si kakek
begitu cepat.
Akan tetapi ternyata gerakan
lengan si kakek ter-
tahan cuma seinci di kulit batok
kepala. Telapak
tangan si kakek miring ke sisi
kepala. Dan ....
Bhaarrrr! Krrrraaaak!'
Batang pohon di belakang si
kakek hancur. Dan
dengan suara bergrotakan batang
pohon itu rebah
ke tanah. Tampak telapak tangan
Ki Balung Putih
kepulkan asap putih tipis yang
timbulkan hawa pa-
nas.
Membelalak mata Sambu Ruci.
Kakek itu ternyata
bukan berkata main-main.
Kalau pukulan itu tak dibelokkan ke sisi tentu
batok kepala si kakek sudah
hancur.
"Guru...! baiklah, guru!
Aku berjanji takkan men-
gingat Somara lagi. Maafkan aku,
guru..." teriak his-
teris Cinderani seraya memburu
dan memeluk kaki
orang tua itu dengan
terisak-isak.
Ki Balung Putih berdiri kaku tak
bergeming.
"Bersediakah kau menikah
dengan anak muda
ini?" berkata Ki Balung
Putih datar.
"Aku... aku bersedia, guru.
Aku takkan menolak
apa yang telah menjadi
kemauanmu..! sahut si gadis
tegas, seraya melepaskan pelukan
dan mengusap air
matanya. Kemudian bangkit
berdiri. Ditatapnya wa-
jah sang kakek yang telah
merawatnya sejak dia be-
rusia sepuluh tahun.
"Guru, kini aku harus
tanyakan pada pemuda itu,
apakah dia bersedia menikahi
ku?" berkata Cinde-
rani.
Akan tetapi Ki Balung Putih
justru tertawa berka-
kakan hingga terkekeh-kekeh.
"hiehehe ... heheh ....
Pemuda ini takkan meno-
lak. Kau tak perlu
khawatir!" ujarnya.
"Nah! kau telah dengar
semuanya, Sambu Ruci.
Apakah yang akan kau
katakan?" bertanya Ki Ba-
lung Putih dengan menatap tajam
pada Sambu Ruci.
Sambu Ruci menatap pada Ki
Balung Putih dan
Cinderani berganti-ganti. Lalu
menghela napas.
"Yah, apa yang bisa
kutolong, tentu akan kulaku-
kan. Asalkan semua itu demi
kebaikan kalian!" ber-
kata Sambu Ruci.
"Haha .. heheh ... bagus!
bagus! Sudah kuduga,
kau tentu takkan menolak. Nah,
kalian berkenalan-
lah lebih dekat. Dua hari lagi
kau segera menikah!"
Selesai berkata dengan girang,
si kakek berkelebat
melompat masuk ke dalam pondok.
Akan tetapi
kembali merandek.
"Sambu Ruci! muridku yang
baik! aku akan wa-
riskan ilmu silatku yang belum
pernah kuturunkan
pada semua muridku padamu. Akan
tetapi nanti, se-
telah kalian resmi
menikah!"
Selesai mengucap kakek Ini
lenyap di balik pintu
pondok yang kemudian menutup
rapat.
Sambu Ruci tersenyum menggumam.
"Aiiih, ka-
kek yang aneh!". Kedua
pasang mata itu pun saling
beradu dan tampak mereka
sama-sama tersenyum.
Namun kemudian Cinderani tertunduk
dan ter-
sipu.
Dua hari kemudian, tampak
seorang pemuda ga-
gah tengah berlatih dengan tekun
menerima petun-
juk KI Balung Putih mempelajari
ilmu-ilmu kedig-
jayaan. Dialah Sambu Ruci alias
si Bujang Nan Elok.
Sementara si gadis bernama
Cinderani duduk di
atas tangga pondok memperhatikan
dari kejauhan.
Pernikahan Sambu Ruci dengannya
telah resmi.
Semuanya berjalan tanpa ada
halangan apa-apa.
Akan tetapi Cinderani di malam
pernikahan itu tak
merasa disentuh sedikitpun oleh
Sambu Ruci sua-
minya.
"Pernikahan aneh!"
gumamnya. Masih terbayang
ketika mereka sama-sama membisu
dalam bilik satu
kamar. Sementara Cinderani
gelisah, namun Sambu
Ruci malahan tidur pulas dengan
mendengkur.
"Sambu Ruci juga aneh.
Apakah dia cuma ber-
maksud menolongku saja untuk
menghapus malu
guru?" desisnya pelahan.
Sementara matanya mena-
tap pada laki-laki muda itu yang
masih tekun berla-
tih. Sebentar-sebentar terdengar
suara teriakannya
menggema di sekitar hutan
lengang Itu.
Gerakan-gerakan Sambu Ruci dalam
mempelajari
setiap jurus baru yang
diperolehnya tak pernah
mengalami kesukaran. Karena di
samping Itu dia
seorang yang berotak cerdas juga
telah memiliki da-
sar-dasar ilmu silat. Bahkan
memang tak dapat di-
katakan rendah ilmu yang
dimilikinya.
"Bagus! tiga jurus barusan
adalah jurus-jurus
yang kunamakan Tiga Kera Sakti
Berebut Makanan!"
berkata Ki Balung Putih.
"Masih ada waktu untukmu
melatih ilmu-ilmu itu
dengan lebih sempurna. Kukira
cukup satu bulan
kau menerima dan mempelajari
kesembilan jurus
Ilmu ciptaanku! Bulan depan
barulah kau mulai
mempelajari ilmu berjalan dan
berlari di atas air!"
"Ah, terimakasih atas semua
itu, guru!" sahut
Sambu Ruci seraya menghapus
keringat di dahi.
"Hm, setelah satu bulan
lagi, kau harus mening-
galkan tempat ini. Tugasmu yang
utama adalah
mencari di mana adanya si SOMARA
murid durhaka
itu untuk kau kirim nyawanya ke Akhirat. Selesai
dengan tugasmu kau boleh pergi
ke mana kau suka.
Atau mungkin kau akan mencari si
PADERI MATA
SERIBU?" bertanya Ki Balung
Putih.
"Benar, guru! Tiada lain
itulah yang kunantikan!"
sahut Sambu Ruci. "Tapi
apakah aku harus turun
gunung berdua dengan
Cinderani?" tanyanya den-
gan menatap pada Ki Balung
Putih.
"Tentu saja, Dia telah
menjadi istrimu yang syah!
Kau harus menjaganya dan
menyayanginya dengan
sepenuh hati!" bentak Ki
Balung Putih dengan mata
mendelik.
"Oh, ya! ya! akan kuingat
selalu pesan itu guru..!"
berkata Sambu Ruci dengan
tergagap.
"Bagus! Nah, kau
teruskanlah latihanmu!" ujar Ki
Balung Putih dengan tersenyum.
Lalu balikkan tu-
buh dan melangkah ke arah
pondok.
Sambu Ruci mengangguk. Sejenak
melirik pada
Cinderani yang masih duduk di
tangga pondok, yang
kemudian beranjak masuk ketika
kakek itu menda-
tangi.
Namun Sambu Ruci tak memperhatikan
lagi. Ka-
rena segera dia mulai menghapal
jurus-jurus Tiga
Kera Sakti Berebut Makanan.
Jurus-jurus baru yang
dipelajarinya itu memang
hebat luar biasa.
Semangat Sambu Ruci untuk cepat
memiliki ju-
rus tersebut demikian menggebu.
Semua itu demi tujuannya yang
satu. Yaitu men-
cari si Paderi Mata Seribu untuk
kelak membalas
dendam kematian gurunya Mamak
Metangat.
ENAM
Kita tinggalkan dulu keadaan
ketiga orang di hu-
tan sunyi itu. Kita beralih pada
nasib Roro Centil
yang dibawa terbang angin
puting-beliung dengan
cepat. Sampai-sampai Roro tak
sadarkan diri, tak
Ingat apa-apa lagi pada dirinya.
Entah beberapa saat lamanya Roro
tak me-
ngetahui. Ketika lapat-lapat
kembali dia mendengar
suara untuk kedua kalinya.
"Bukalah matamu, bocah
Centil!"
Roro seperti tersentak kaget dan
sekejap membu-
ka matanya. Suara itu adalah
suara yang amat di-
kenalnya. Yaitu suara gurunya, si Manusia Aneh
Pantai Selatan atau si Manusia
Band.
Ketika memandang ke sekeliling
dia seperti ber-
mimpi karena melihat dirinya
berada di sebuah tem-
pat yang amat asing baginya.
"Ah!? Di manakah aku?
Tempat apakah ini?" ber-
gumam Roro dengan menatap takjub
pada sekeli-
lingnya. Sekitar tempat itu terhampar pasir putih
berkilauan laksana perak.
Tumbuh-tumbuhan di
tempat itu seperti dalam
khayalan saja. Aneh! baru
pertama kail dia melihatnya.
Terdiri dari pohon-
pohon tanpa daun. Akan tetapi
penuh dengan ca-
bang yang berjuluran seperti
ular.
Cendawan warna-warni berserakan
di tanah ber-
pasir putih itu. Sementara dia
termangu, kembali
terdengar suara itu lagi.
"Bocah Centil!" Kau
tak usah terkejut. Kau berada
di negeri Siluman. inilah tempat
kakek gurumu Be-
gawan Bhama Kosala!"
Tersentak Roro Centil. Dan serta
merta dia berte-
riak girang.
"Guru ..! Di manakah kau?
Mengapa kau tak me-
nampakkan dirimu?"
Mata Roro jelalatan memandang ke
arah datang-
nya suara.
"Hihihi ... aku telah
berada di alam halus. Perte-
muan Ini adalah pertemuan yang
terakhir. Karena
sudah masanya aku meninggalkan
dunia fana!" me-
nyahut suara gaib itu. Roro
tertegun. Mendadak se-
pasang mata gadis ini
berkaca-kaca.
"Guru ..! benarkah kau
sudah mati?" tanya Roro
tersendat.
"Aiii! bocah Centil!
bukankah si Joko Sangit telah
menceritakan padamu tentang apa
yang terjadi?
Bahkan tombak pusaka Ratu Syima
milik si Dewa
Tengkorak kekasihku itupun telah dipulangkan ke
istana Kerajaan Mataram, sudah
tak berada di Pan-
tai Selatan lagi!" sahut
suara gaib itu.
"Akan tetapi guru sering
muncul dan sering
membisikkan ke telingaku untuk
memberi petunjuk.
Bahkan menolongku hingga kail
terakhir ini!" tukas
Roro penasaran. Suara gaib itu
terdengar tertawa.
"Hihihi ... memang. Tapi
kali ini adalah kali yang
terakhir sekali. Karena setelah
ini habislah masa hi-
dupku di alam halus. Di tempat
ini kau akan di-
bimbing oleh guruku. Beliau
termasuk kakek guru-
mu. Segeralah kau temui dia
untuk kau menerima
petunjuk dari beliau!"
berkata suara gaib itu.
"Aku akan menurut apa
petunjukmu, guru ...
Akan tetapi berilah aku
kesempatan melihat wajah-
mu. Untuk yang terakhir, guru
.." berkata Roro den-
gan terisak.
"Aiiihh! bocah tolol! kau
masih saja cengeng! Se-
lama ini aku selalu mengikuti
sepak terjang mu.
Ternyata kau seorang yang
berbakti pada gurumu.
Kau telah membalaskan dendam
membunuh mu-
suh-musuh gurumu, yaitu
istri-istri si Dewa Tengko-
rak. Baiklah! untuk yang
terakhir kali ini akan ka-
bulkan permintaan mu. Cuma satu
hal yang harus
kau penuhi dari permintaanku."
ujar suara gaib si
Manusia Banci.
"Apakah itu, guru?"
tanya Roro mendesak.
"Sudahkah kau mendengar
pesanku melalui
JOKO SANGIT?"
"Selain mengatakan tentang
kematianmu, dia tak
mengatakan apa-apa lagi. Tapi
dia ada berkata bah-
wa belum waktunya dia
menyampaikan satu pesan
darimu, guru. Aku sendiri tak
pernah menanyakan-
nya!" sahut Roro.
"Yah! aku tahu apa yang
menjadikan halangan
Joko Sangit, murid Ki Jagur
Wedha si Pendekar
Gentayangan itu. Dia akan tetap berusaha men-
gungguli kesaktianmu. Dan tak
akan mengatakan-
nya sebelum dia berhasil!"
Roro ternganga. Lalu
manggut-manggut.
"Guru ..! Apakah sebenarnya
yang kau pesankan
itu? katakanlah, guru!"
sela Roro dengan perasaan
tak menentu.
"Baiklah! Pesanku itu akan
ku utarakan padamu!
Yang kuinginkan adalah cuma satu
hal. Yaitu kau
menikahlah dengan JOKO
SANGIT!" berkata suara
gaib si Manusia Banci. Roro
laksana mendengar
guntur di slang hari. Suara itu
terngiang-ngiang di
telinganya. Bergetarlah suara
Roro.
"Guru...! aku tak berdaya.
Hal itu terserah dia
sendiri. Karena sebagai seorang
perempuan, aku
cuma menunggu pernyataan
darinya. Sayang aku
baru mengetahui sekarang. Kalau
saja aku menden-
garnya sejak dulu, mana mungkin
aku mengabaikan
perintah guru? Aku ... aku tak
dapat berdusta, guru.
Akupun mencintainya. Tapi semua
itu tak mungkin
bila dia belum mampu mengungguli
Ilmu kedig-
jayaan yang kumiliki! Tampaknya
dia patah hati dan
tak pernah mau berjumpa
denganku!" berkata Roro
dengan suara datar agar trenyuh.
"Hihihi... semuanya dapat
kau atur! Bukankah
kau seorang muridku yang tolol,
tapi cerdik?" Nah,
pergunakanlah ilmu mata batinmu.
Aku akan mem-
perlihatkan diri untuk saat
terakhir ini ..!" berkata
suara gaib itu.
Roro Centil tak ayal segera
turutkan perintah, un-
tuk gunakan ilmu pandangan mata
batin. Namun
tetap dia tak melihat apa-apa.
"Segera kau akan melihat
wajah gurumu, bocah
Centil!" berkata suara gaib
si Manusia Banci. Dan
tiba-tiba di hadapan Roro
terlihat segumpal asap pu-
tih yang semakin lama semakin
tebal. Lalu memben-
tuk sesosok tubuh. Semakin lama
semakin sempur-
na. Hingga kejap berikutnya di
hadapan Roro terli-
hat sesosok tubuh wanita cantik
berpakaian sutera
putih. Itulah sosok tubuh si Manusia Aneh Pantai
Selatan alias si Manusia Banci.
"Guru ...!" teriak
Roro girang. "Ah, kau amat can-
tik sekali, guru...!"
terperangah Roro melihatnya.
Arwah si Manusia Banci tersenyum
menatap Roro
dengan mata bercahaya. Akan
tetapi cuma sekejap.
Ya! teramat cepat sekali. Roro
belum puas menatap,
sosok tubuh jelmaan itu telah
lenyap sirna.
"GURUUUU!" teriakan
Roro membarengi le-
nyapnya sosok tubuh sang guru
yang telah mewarisi
ilmu-ilmu kedigjayaan yang
membuat dia bergelar
dengan gelar si Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
Suara teriakannya terdengar lagi
berpantulan.
Dan Roro tertegun bagai arca.
Menatap ke ha-
dapannya dengan terlongong. Alam
serasa hening
seperti dalam mimpi.
Dua titik air mata dara ini
meleleh ke pipi. Ter-
dengar suara Roro pelahan
bercampur isak.
"Selamat jalan guru ..!
Semoga arwahmu menda-
pat ketenangan di alam Baka
..!"
Di saat Roro tengah
termangu-mangu itulah tiba-
tiba terdengar suara tertawa
terkekeh-kekeh. Roro
tersentak kaget seraya menghapus
air matanya.
Membelalak mata Roro melihat
batang-batang pohon
tanpa daun itu tiba-tiba
berjuluran bagaikan ular ke
arahnya.
Tentu saja Roro segera sadar
bahaya apa yang
mengancam pada dirinya.
Dengan perdengarkan teriakan
keras dia melom-
pat menghindar. Secara reflek
lengannya bergerak
menghantam.
Bhlarrr! Bhlarrrl.
Dua hantaman itu membuat batang-batang po-
hon yang berjuluran bagai ular
itu hancur ber-
tebaran. Akan tetapi sejenak
Roro ternganga karena
melihat dirinya telah terkurung
oleh ratusan poton-
gan batang pohon yang bergerak
menghambur ba-
gaikan lintah-lintah raksasa ke
arahnya.
"Edan! Gila! makhluk apakah
ini?" sentak Roro
terperanjat.
Di samping ngeri juga merasa
aneh, Roro bertin-
dak cepat untuk menghalau
"lintah-lintah raksasa
itu dengan hantaman pukulan-pukulan-nya. Ber-
lompatanlah Roro di antara
serpihan-serpihan hidup
yang menakutkan itu.
Gerakan Roro yang cekatan itu
memang membuat
"lintah-lintah
raksasa" itu hancur bertebaran jadi
bubuk. Dan dia berhasil menjauhi
dengan berlompat
sejauh dua puluh tombak. Akan
tetapi sejenak Roro
terpana melihat seekor makhluk
raksasa mirip ulat
bulu menghadang di depan.
Makhluk yang beruas-
ruas itu mendesis. Dari mulutnya
yang bertaring ta-
jam menyembur uap putih. Uap
itu menimbulkan
hawa yang membuat kepalanya
menjadi pening.
Namun Roro tak segera berdiam
diri. Dengan kebe-
ranian luar biasa dia menerjang
makhluk itu.
Pukulan dengan jurus-jurus Sinar
Perak Pelangi
berkilatan menghantam. Akan
tetapi luar biasa.
Makhluk itu amat kebal. Bahkan
secara cepat Roro
sudah terdesak. Kali ini Roro
terpaksa harus meng-
hindari diri dari serangan
uap-uap beracun yang
membuat kepalanya semakin
pening.
Roro terhuyung mundur dengan melompat
lom-
pat. Namun Lagi-lagi uap yang
menyembur dari mu-
lut makhluk itu kembali
menerjangnya.
Roro kehilangan konsentrasi. Dia
mulai kena
cengkeraman kaki-kaki sang ulat
raksasa. Tubuh-
nya telah berada di depan
moncong makhluk itu.
Dalam saat demikianlah Roro
gunakan ilmu dari
si Manusia Gurun Pasir.
Emoticon