TIGA
TOKOH tua berjubah kuning berjalan dengan mata liar
mirip maling. Ia kehilangan jejak Pandu Puber. Padahal ia
ingin bicara baik-baik dengan anak dewa itu. Rupanya
tokoh tua berjubah kuning yang marah dipanggil Ki Loan
Besi itu ingin memanfaatkan keadaan Pandu Puber yang
tanpa guru. Apa yang didengarnya dari pesan Yuda Lelana
sebelum diangkat ke kayangan mengilhami hasratnya
untuk menjadi guru sang Pendekar Romantis itu.
“Kalau aku bisa menjadi gurunya, maka aku bisa hidup
di kayangan bersama para dewa. Wow… alangkah keren-
nya hidup di kayangan bersama para dewa. Setidaknya
namaku tercatat sebagai manusia terhormat di mata para
dewa. Rasa-rasanya tak ada ruginya kalau semua ilmuku
kuturunkan kepada bocah itu, toh imbalannya sangat
menguntungkan!”
Begitu pikiran sang kakek berambut kribo warna putih
abu-abu. Sayangnya ia sudah dua hari mondar-mandir di
sekitar lereng Gunung Ismaya tidak bisa menemukan
Pandu Puber. Loan Besi tak mau mencari ke puncak
gunung, sebab arah kepergian Pandu Puber ke bawah,
menuju kaki gunung itu.
Memang benar sih, Pandu tidak menuju puncak, sebab
ia bermaksud ingin pergi ke kotaraja menengok Lila sambil
mau pinjam perahu untuk menyeberang ke Pulau Iblis. Ia
ingin kasih kabar kepada kakeknya, Kala Bopak, tentang
keberangkatan ayah dan ibunya ke kayangan. Pandu Puber
belum tahu bahwa sang kakek sudah dikalahkan oleh Ratu
Peri Sore.
Hanya saja, ketika ia bermalam di sebuah gubuk tengah
sawah milik petani, pada saat ia tertidur bayang-bayang
wajah Kala Bopak, kakeknya itu, muncul di dalam mimpi-
nya. Sang kakek seolah-olah berpakaian serba ungu dan
bercahaya. Dalam mimpi itu, Kala Bopak seakan bicara
kepada Pandu.
“Hai, Cu…….apa kabar? Kakek sekarang sudah nggak
bisa ketemu kamu dalam wujud nyata. Soalnya kakek
sudah tak berjasad lagi.”
“Kenapa bisa begitu, kek?”
“Tentunya ada sebabnya. Kalau diceritakan terlalu
panjang, bisa-bisa kau tidur dua hari-dua malam baru
bangun. Yang jelas, sekarang kau hidup bersama kakek.
Aku ada di kaki kananmu.”
“Maksudnya bagaimana, Kek?”
“Carilah sendiri. Namanya saja mimpi, masa’ harus jelas
sekali sih?”
Setelah bicara begitu, Pandu Puber terbangun dalam
sentakan kecil. Oh, ternyata ia berada di tengah sawah dan
di tengah malam. Pandu Puber merenungkan mimpinya.
Sayang ia tak punya buku primbon tafsir mimpi, karena
kala itu buku tersebut belum diterbitkan, akibatnya Pandu
Puber jengkel tak bisa mengartikan mimpinya. Maka
persoalan mimpi itu pun ditinggal tidur kembali. Hatinya
sempat berkata sendiri.
“Siapa tahu nanti ketemu kakek lagi. Akan kudesak agar
memberitahu apa maksud kata-katanya itu. Percuma
punya Kaek kalau hanya bikin pusing cucunya saja!”
Pandu Puber tak berhasil temui kakeknya lagi dalam
tidur babak keduanya. Tapi ia tetap cuek, tak mau
perdulikan mimpi yang dianggapnya bunga kerinduan
kepada sang kakek itu. Tidurnya yang seri kedua itu mem-
buat Pandu begitu nyenyak sampai bangun kesiangan.
Ketika ia bangun, astaga…. Sudah dikerumuni masyarakat
desa yang ingin bercocok tanam menggarap sawah. Ada
yang lelaki, ada yang perempuan, ada yang tua dan ada
pula yang muda. Pandu Puber merasa malu dijadikan
tontonan. Ia hanya cengar-cengir sambil garuk-garuk
kepala, lalu melangkah meninggalkan gubuk tengah sawah
sambil berjalan terbungkuk-bungkuk melintasi depan
mereka.
“Mas Pendekar….!” Seru seorang gadis desa berkebaya
merah tua. “Ini saya bawakan lontong sayur buat sarapan!”
“Wah, tak usah repot-repot, Yu. Saya cuma numpang
tidur di gubuk ini kok. Nggak keleleran kurang makan.”
“Saya tahu. Tapi saya senang kalau bisa kasih sesuatu
yang berharga untuk situ. Makanlah. Ini lontong sayur
buatan Ibu saya sendiri lho.”
“Tidak, ah! Terima kasih. Hmmm… kalau bisa dibungkus
saja deh!”
Akhirnya Pandu Puber pergi sambil membawa se-
bungkus lontong sayur. Mereka menertawakan. Ada yang
berkata, “Pura-pura tidak mau, eeh… nggak tahunya malah
minta dibungkuskan. Tapi dasar pendekar ganteng, pantes-
pantes saja membawa bungkusan lontong sayur. Tetap
saja kelihatan ganteng.”
“Jadi, anak muda itu toh yang disebut-sebut Pendekar
Romantis yang tinggal di puncak gunung kita itu?”
“Lha iyalah…! Memangnya yang mana lagi yang ganteng
kalau bukan dia!”
“Wah, kalau tahu begitu tadi kubawakan jeruk purut
buat pencuci mulutnya sehabis makan lontong sayur,” ujar
gadis berkebaya biru tapi berbadan gemuk. Senyumnya
melambangkan senyum terpikat yang penuh kekaguman.
“Pencuci mulut kok jeruk purut? Jeruk sunkis dong!”
“Jeruk sunkis itu yang kayak apa?”
“Itu lho….yang….yang….ya pokoknya yang sunkis. Wong
aku ya cuma ikut-ikutan orang ngomong sunkis gitu kok!”
Percakapan mereka tidak didengar lagi oleh Pandu
Puber. Pendekar Romantis itu telah jauh dari persawahan,
jauh dari pedesaan, menuju ke arah kotaraja. Tetapi
perjalanannya terhenti karena melihat seorang gadis ber-
pakaian kuning dan rambutnya dikepang dua sedang
melintasi tepian hutan. Pandu Puber hafal betul wajah
cantik itu adalah milik Mirah Duri.
“Hiaaat…!” teriak Pandu Puber membuat Mirah Duri
terperanjat kaget dan segera balik badan, pasang kuda-
kuda siap serang. Begitu yang dilihatnya adalah pemuda
ganteng mirip orang bule beranting satu, Mirah Duri segera
kendurkan ketegangannya. Lepaskan kuda-kudanya, dan
terlontar gerutuan kecelenya.
“Kampret Ganjen! Pakai teriak-teriak segala! Jangan
bikin aku jantungan, nanti kalau aku mati mendadak kau
rugi lho!”
Pandu Puber tertawa, dan tawa itu menghadirkan sejuta
keindahan yang menawan hati. Tapi Mirah Duri hanya bisa
mendesah dalam hatinya. “Ah, sayang dia cucu dari
mendiang raja jin, aku tak berani mendekatinya karena
sudah diwanti-wanti tak boleh terlibat urusan skandal cinta
dengannya. Kalau aku nekat, roh Raja Kala Bopak bisa
menyedot nyawaku lewat ubun-ubun!”
“Manis sekali kau hari ini, Yu Mirah,” kata Pandu Puber
dengan suaranya yang lembut, serius sekali. Bagaikan
ungkapan dari lubuk hati. Padahal hanya sekadar
ungkapan dari ujung lidahnya yang gemar memuji wanita.
Yang dipuji makin berdebar-debar, cuping hidungnya pun
megar.
Tak jauh dari tempat Pandu berdiri ada semak belukar
mawar putih. Disambarnya setangkai bunga sebesar
jempol jarinya itu. Didekatinya Mirah Duri yang diam
dengan deg-degan menahan debar-debar keindahan. Lalu,
Pandu Puber menyematkan setangkai bunga putih itu di
atas telinga kanan Mirah Duri.
“Seorang ratu kecantikan dari manapun hari ini
tumbang oleh kecantikanmu, Yu Mirah. Pria mana yang tak
langsung semutan kakinya jika melihatmu bersemat
setangkai bunga di rambutmu. Wow…! Menawan sekali.
Kalau saja tak takut pakaian kotor, aku rela pingsan di
depanmu, Yu Mirah.”
“Ben…benar…benarkah apa katamu itu, Pan…. Pan…
Pandu?” Mirah Duri jadi grogi. Ia jadi salting juga ketika
Pandu Puber anggukkan kepala dengan senyum kian
mendekat.
“Jang…. Jang…. Oh, jangan…. Jangan, Pandu.”
“Aku hanya ingin meyakinkan apakah wajahmu mulus
tanpa tahi lalat atau ada tahi lalatnya. Tak mau ngapa-
ngapain kok.”
“Ooh… syukurlah. Kukira kau ingin menciumku. Aku
sudah takut saja. Soalnya aku sudah….”
Cuup…! Tiba-tiba pipi Mirah Duri dicium olah Pandu
Puber. Kontan darah Mirah Duri bagaikan muncrat. Uratnya
bagaikan putus. Tubuh lemas. Tulangnya seperti dari
tepung terigu. Mirah Duri tertegun mematung di tempat
dengan pandangan mata hampa. Matanya itu tak berkedip
walau ditertawakan oleh Pandu.
“Apakah…. Apakah aku habis disambar petir?” ucapnya
lirih dan datar.
Pandu Puber kian tertawa kalem. “Apakah ada petir
yang tampan?”
“Nggak tahu…. Badanku…. Badanku jadi lemas sekali.
Ooh…. Ooh…!”
“Yu Mirah….! Yuu…! Hei, kenapa kau ini? Yu Mirah…?!”
Pandu menjadi tegang dan kebingungan. Wajah Mirah Duri
pucat, badannya pun terkulai dan hampir saja jatuh kalau
tak segera ditangkap oleh tangan Pandu. Dan ternyata
Mirah Duri pingsan dengan sungguh-sungguh. Bukan
sekadar pura-pura.
“Edan gadis ini! Dicium saja pingsan, apalagi di…
gitukan? Maksudnya dipeluk dan digigit bibirnya! Wah, kok
wajahnya makin membiru begini? Lho…?!”
Pandu Puber terkejut melihat punggung Mirah Duri
berdarah sedikir. Ternyata ada logam segitiga warna putih
metalik yang besarnya seukuran tutup botol. Segitiga itu
menancap di punggung separo bagian. Pandu Puber
segera mencabutnya. Seeet…!
“Astaga…?! Rupanya dia pingsan karena ada yang
melemparnya dengan senjata rahasia?! Kenapa aku tak
sempat melihat gerakan benda ini saat meluncur ke
punggung Yu Mirah, ya? Wah, berarti pemilik senjata ini
pasti orang berilmu tinggi?! Wah… di mana ia ber-
sembunyi?”
Pandu Puber mencari dengan pandangan mata sejenak.
Pertimbangannya mengatakan, ia lebih penting sembuhkan
luka berbahaya Mirah Duri lebih dulu dari pada mencari
pemilik senjata rahasia beracun gawat itu. Maka, iapun
segera membaringkan Mirah Duri ke tempat teduh.
Saat ia membawa tubuh Mirah Duri di tempat teduh
itulah, dari arah kiri, muncul sesosok tubuh tua renta.
Seorang nenek berambut putih awut-awutan dengan jubah
hitam dan tongkat abu-abu keluar dari balik gugusan batu.
Caranya dengan menghantam gugusan batu itu dari
seberang sana. Praakk…! Batu terbelah dan tampaklah
sosoknya yang keriput dan kurus kering itu.
“Letakkan gadis itu atau kulepaskan satu lagi senjata
‘Segitiga Maut’-ku untukmu, Anak Muda?!” ancam sang
nenek kempot dengan suaranya masih terdengar lantang
dan cempreng. Mata cekungnya menatap Pandu dengan
serius. Tajam, bagai penuh nafsu untuk membunuh.
“Siapa kau dan mengapa menyerang Yu Mirah?!”
“Mirah punya urusan pribadi denganku! Muridku pernah
dibunuhnya, dan aku membalaskan kematian muridku!
Jadi kumohon, letakkan gadis itu dan jangan kau tolong.
Biarkan dia mati menebus nyawa muridku!”
“Tapi…..tapi aku belum tahu siapa kau, Nenek Licik?!”
“Namaku cukup kondang, jika kau dengar nama Dukun
Lelang, itulah aku!” jawab sang nenek sambil melangkah
mendekati dan berhenti dalam jarak lima tindak di depan
Pandu Puber yang masih menopang tubuh Mirah Duri.
“Aku baru tahu namamu, Dukung Lelang. Hmm… aneh
juga namamu,” Pandu Puber tersenyum tipis, walau
hatinya was-was karena wajah Mirah Duri kini memucat.
Warna biru di bibirnya kian jelas.
“Apa yang akan kau lakukan jika aku tidak meletakkan
gadis ini?”
“Akan kukirim satu lagi ‘Segitiga Maut’-ku, seperti
janjiku tadi!”
Pandu Puber agak bimbang. “Kalau kuturuti kemauan
Dukun Lelang, bisa mati Yu Mirah dalam beberapa waktu
lagi. Racun itu rupanya ganas juga? Tapi kalau nekat
kubawa ke tempat teduh dan kuobati, hmmm… dia pasti
akan menyerangku dan aku tak bisa mengelak karena
membawa Yu Mirah. Ah, tapi nekat sajalah! Kalau perlu
kugunakan jurus ‘Jempol Syahdu’ untuk melawannya!”
Tepat ketika Pandu Puber melompat menuju ke tempat
teduh dengan membopong tubuh Mirah Duri, nenek peot
itu melepaskan senjata rahasinya bagaimana menebarkan
uang recehan. Slaast! Tak kentara gerakan logam putih
mengkilat itu melesat ke arah Pandu.
Tapi rupanya ada sepasang mata tajam yang entah
kebetulan atau memang disengaja melihat gerakan benda
logam mengkilat itu. Orang tersebut cepat-cepat ulurkan
tangan ke depan, dan dari jari tengahnya keluarkan sinar
merah semacam garis lurus sinar laser. Claapp…! Sinar itu
tepat mengenai benda yang melesat tersebut.
Duaarr…!
Cahaya merah besar menyebar terang, lalu redup
bersama hilangnya suara ledakan tersebut. Bumi bergetar
biasa, tak menumbangkan pohon. Tapi mata si Dukun
Lelang cepat berpaling ke arahnya datangnya sinar merah.
Pandupun segera memandang ke arah yang sama.
Ternyata Loan Besi ada di sana, berjalan santai
mendekati mereka dengan menggenggam tongkat putih
lengkung sebagai tongkat gembala. Arah yang dituju
adalah si Dukun Lelang. Ia menoleh sebentar ke arah
Pandu mirip koboy menyapa sahabatnya, “Urusi gadis itu,
yang tua biar kurus sendiri, Nak!”
“Kebetulan deh,” pikir Pandu Puber, lalu segera
merebahkan tubuh Mirah Duri di rerumputan yang teduh
olah dedaunan pohon rindang.
Jari tengah tangan kanan Pandu mengeras tegak, jari
yang lain terlipat. Sinar putih bening melesat dari ujung jari
itu, tepat kenai ulu hati Mirah Duri. Jurus ‘Hawa Bening’
warisan dari ayahnya memang ampuh untuk sembuhkan
luka apapun. Sinar bening seperti kaca itu hanya sekejap
‘menembak’ ulu hati Mirah Duri, dan si gadis pun segera
siuman dalam waktu dua helaan napas.
Sementara itu, Loan Besi dan Dukun Lelang saling
berhadapan dalam jarak lima langkah. Mata si Dukun
Lelang memandang tajm penuh kebencian, sedangkan
yang dipandang hanya cengar-cengir sok kalem.
“Dugaanku tak akan salah, semasa mudanya kau pasti
gadis yang cantik, Dukun Lelang. Benar kan?”
“Dari mana kau tahu?”
“Bibirmu biar keriputan dan sedikit masuk ke dalam,
tapi masih memancarkan daya pesona tersendiri bagi mata
tuaku yang rada rabun ini.”
“Yang kutanyakan, dari mana kau tahu namaku Dukun
Lelang?”
“Ooo… itu? He, he, he, he… Aku tadi mendengar muridku
menyebutmu Dukun Lelang. Muridku itu tak pernah
bohong, jadi aku percaya bahwa namamu Dukun Lelang.
Apa mau diganti Timbul Jaya?”
“Hmm…! Kau pikir aku kendaraaan angkutan umum
sejenis kapal?” Dukun Lelang melangkah hampir
mengelilingi lg. Ia bertanya, “Siapa kau?”
“Namaku Loan Besi. Pandu Puber itu muridku!”
“O, jadi kau gurunya? Dan tidak terima kalau muridmu
menerima ganjaran atas kelancangannya mau sembuhkan
gadis itu?”
“Benar! Aku tidak bisa diam saja. Sebagai gurunya,
matipun kujalani demi membela muridku!” jawab Loan Besi
agak keras, memancing perhatian Pandu Puber. Sang
pemuda tampan segera memandang Loan Besi dengan
heran dan rada-rada kaget.
“Sialan! Ngaku-ngaku guruku segala? Mau apa
sebenarnya Ki Loan Besi itu?” gerutu Pandu Puber merasa
tak suka dengan kata-kata Loan Besi. Tapi rasa tak
sukanya ditekan dalam hati, tak mau dilontarkan ber-
bentuk protes di depan Dukun Lelang. Bagaimanapun
Pandu merasa, tanpa kejelian Loan Besi dirinya akan
menderita racun seperti yang dialami Mirah Duri.
“Oh… kenapa aku ini?” gumam Mirah Duri ketika sadari
dirinya berbaring di rerumputan, sedangkan Pandu berdiri
satu lutut di sampingnya.
“Pandu, kau… kau telah… telah menodaiku? Oh, jadi….
jadi kau telah menodaiku di sini? O, Panduuu…. Kenapa
saat aku pingsan melakukan? Kau banci, licik, tidak
tahu….”
Mulut Mirah Duri langsung dibekap oleh tangan Pandu
Puber.
“Jangan berprasangka buruk! Aku tidak menodaimu, Yu!
Kau kena senjata beracun dan aku baru saja sembuhkan
dirimu! Enak saja ngatain orang menodai….” Pandu Puber
bersungut-sungut jengkel. Rasa jengkelnya segera terhibur
ketika perhatiannya terpusat kembali kepada Loan Besi
dan Dukun Lelang. Suara dua tokoh tua itulah yang mem-
buat Mirah Duri segera menyadari bahwa mereka tidak
hanya berdua. Ia cepat bangkit dan perhatikan ke arah dua
tokoh tua itu.
“Siapa mereka, Pandu?”
“Yang nenek peot itu adalah orang yang menyerangmu
dari belakang dan membuatmu tak sadarkan diri saat
kucium, Yu. Sedangkan yang lelaki tua itu, entahlah aku
tak tahu, dia mengaku Ketua Partai Pengembara dan….”
“Loan Besi kalau tak salah,” sahut Mirah Duri segera
mengenali tokoh itu.
“Ya sudah kalau kau sudah mengenalnya, tak perlu
kujelaskan lagi.”
“Tokoh tua berjubah kuning berambut kribo abu-abu, tak
ada lain kecuali Loan Besi!”
“Memang benar sih, cuma….dia mengaku sebagai
guruku di depan Dukun Lelang. Aku tak suka caranya
begitu!”
“Dukun Lelang? Satu manteranya berapa duit?”
“Mana aku tahu? Kau pikir aku makelar mantera?
Nenek itu yang mengaku sebagai Dukun Lelang, Yu. Aku
tak tahu dari mana asalnya.”
“Aku juga baru melihatnya kali ini,” gumam Mirah Duri
sambil mencoba bangkit, ternyata bisa berdiri tegak.
Badannya tidak lemas lagi, tapi justru merasa segar,
seperti tak pernah luka, atau seperti habis bangun tidur.
“Aneh,” katanya lagi seperti bicara sendiri. “Guru tak
pernah ceritakan ada tokoh tua wanita yang bernama
Dukun Lelang. Sepertinya dia tokoh baru lahir dai gua
pertapaannya setelah bertahun-tahun mendekam di dalam
gua!”
“Dia bilang, kau pernah membunuh muridnya, makanya
dia ingin balas dendam padamu?”
“Muridnya?! Hmm…. Siapa muridnya yang kubunuh?”
Mirah Duri heran sekali dan bingung mengingat-ingat lawan
yang pernah dibunuhnya tapi punya guru bernama Dukun
Lelang.
Pada saat mereka berbisik-bisik itulah, Loan Besi dan
Dukun Lelang mulai saling menantang. Dukun Lelang
bicara lebih dulu,
“Kusarankan kalau memang anak muda yang kau bilang
bernama Pandu Puber itu muridmu, segeralah kau bawa
pergi. Jangan ikut campur urusanku dengan gadis itu,
supaya dia panjang umur dan kau sendiri panjang usia!”
“O, kau mengancam muridku? Nanti dulu, Sayang….
Sebelum kau berhadapan dengan muridku, hadapi dulu
gurunya!” Loan Besi tepuk dada.
Dukun Lelang juga menggenggam tongkat. Tongkatnya
segera disentakkan ke tanah dengan pelan, tapi
gerakannya cepat. Dug…! Dan tiba-tiba Loan Besi terpental
bagai ada yang melemparkan ke atas dengan kekuatan
tinggi. Wuuttt!
“Lho, lhooo…?!” Loan Besi bingung. Ia segera menguasai
diri tapi seperti ada hawa angin yang memutar balikkan
tubuhnya. Wuuussst….! Weess…! Dan akhirnya ia bagaikan
dibanting dari atas dengan sentakan kuat. Buuurk…!
“Uuhhg…!” Loan Besi menyeringai kesakitan. Rusuknya
membentur sebongkah batu. Napasnya jadi sesak. Kalau
hanya membentur biasa sih tak akan membuatnya
menyeringai kesakitan. Tapi benturan itu agaknya disertai
hentakan tenaga dalam yang rasa-rasanya datang dari atas
langit. Rusuk itu seperti mengalami patah di dua tempat.
“Celeng Ganjen!” makinya. “Kubalas kau, Dukun Lelang!
Hiaah…!” Loan Besi berkelebat menyambar tubuh lawan
dengan tongkat siap disabetkan. Tapi tongkat itu dihadang
tongkatnya Dukun Lelang. Posisi tubuh Dukun Lelang
miring ke kiri sambil hindari terjangan kaki Loan Besi.
Trak, blaamm…!
Rupanya tongkat mereka saling diisi tenaga dalam
cukup tinggi. Benturan tongkat dengan tongkat hasilkan
ledakan kilat yang menyentakkan gelombang besar. Tubuh
Loan Besi terpelanting saat ingin mendarat akibat
hembusan gelombang sentak yang kuat tadi.
Nenek yang tubuhnya ceking dari Loan Besi justru tegak
berdiri bagai tak terguncangkan sedikitpun oleh gelombang
ledak. Ia dapat berdiri dengan tenang dan memperhatikan
Loan Besi terpelanting hampir jatuh.
“Keparat!” geram Loan Besi sambil tegak dan kokoh
kembali.
“Satu jurus lagi kau memaksaku menyerang, kau
celaka!” ancam Dukun Lelang.
Loan Besi tak takut. Ia bahkan melemparkan tongkatnya
seperti melemparkan tombak. Tongkat itu menyala merah
seluruhnya bagaikan besi terbakar.
Wuuttt…!
Dukun Lelang menghantam dengan tongkatnya dari
samping. Traakk…! Blaamm! Ledakan mengagetkan terjadi
kembali. Tapi tongkat yang menyala merah itu berputar
dengan cepat bagaikan baling-baling, bergerak menuju
Loan Besi. Tentu saja Loan Besi kaget dan kebingungan
menangkap kembali tongkatnya. Akhirnya ia sentakkan
kaki, melenting di udara. Tapi gerakannya terlambat.
Kakinya sudah lebih dulu disambar tongkatnya sendiri
pada saat melompat ke atas. Dess…!
“Waoow…!” pekikan si jubah kuning sangat keras. Ia
jatuh di samping tongkatnya yang telah kembali ke wujud
semula. Ia mengerang kesakitan dan memegangi betis
kirinya. Ternyata dalam waktu singkat betis itu mem-
bengkak biru, makin lama semakin besar dan terasa sakit
sekali bagi Loan Besi.
“Itu hanya hajaran ringan saja,” kata Dukun Lelang.
“Agaknya kau perlu diberi pelajaran sedikit berat lagi asat
tak sampai mati. Nih, terimalah jurus ‘Naga Tongkat
Seribu’.” Ucap Dukun Lelang, kemudian lemparkan
tongkatnya dengan satu hentakan suara, “Haah…!”
Wuutt…! Tongkat yang melayang di udara menuju ke
tubuh Loan Besi itu memancarkan cahaya pendar-pendar
warna hijau muda. Melihat keadaan itu, Pandu Puber
menjadi cemas akan keselamatan Loan Besi. Maka serta
merta Pandu lepaskan jurus ‘Sepasang Sayap Cinta’. Dua
jari di masing-masing tempat cepat mengeras, menempel
di pelipis sekilas, lalu disentakkan ke depan. Clap, clap!
Dua larik sinar keluar dari ujung jari dan menghantam
tongkat bercahaya hijau pendar-pendar itu. taakk…!
Blaammm….!
Tongkat menjadi hancur, serpihannya tak tahu
menyebar ke mana saja. Pandu Puber segera melangkah
maju dengan gagah, sementara Dukun Lelang diam
memandang dengan mata sangar. Orang biasa dipandang
begitu akan jatuh lumpuh karena ketakutan. Tapi Pandu
tidak, ia justru makin mendekati nenek kurus itu dengan
tenang tapi penuh kepastian.
“Sekarang kau berhadapan denganku, Nini Dukun
Lelang!” kata Pandu Puber. “Aku yang mewakili Yu Mirah.
Jika kau ingin balas dendam dengan Yu Mirah, hadapilah
aku. Itu sama saja kau berhadapan dengan Yu Mirah!”
Gadis yang ditunjuk-tunjuk Pandu Puber masih diam di
bawah pohon. Karena tadi sebelum Pandu maju dekati
nenek kempot itu, ia sudah berbisik agar Mirah Duri jangan
ke mana-mana. Ia akan hadapi nenek kurus itu.
“Apakah kau sudah cukup ilmu sehingga berani
mewakili gadis itu untuk melawanku?” tanya Dukun Lelang
dengan sombongkan diri.
“Kurasa…..aku yakin akan unggul melawanmu!”
“Kau tak sayang pada ketampananmu jika sampai jurus-
ku menghancurkan wajah tampanmu itu?!”
“Aku hanya menyesal jika Yu Mirah kau lukai lagi!”
“Hmmm…!” senyum itu sinis sekali. “Apakah dia
kekasihmu?”
“Memang bukan, tapi…”
“Kau mencintainya?”
“Mengapa kau tanyakan hal itu?”
“Jawablah!”
Pandu Puber melirik ke arah Mirah Duri. Dari tempat
Mirah Duri percakapan itu terdengar samar-samar. Kadang
timbul kadang tenggelam. Setelah melirik Mirah Duri
sebentar Pandu menjawab dengan suara pelan.
“Dia hanya sahabat, lebih dari itu, dia sudah kuanggap
saudaraku sendiri!”
“Aku tak yakin dengan jawabanmu. Buktikan dengan
mengadu telapak tangan kita. Kalau kau jujur, kau dapat
membuatku tumbang. Sebaliknya, kalau kau tak jujur,
dadamu akan jebol oleh jurus ‘Tapak Gaib’-ku ini.”
Pandu Puber ingin ucapkan sesuatu, tapi tiba-tiba
Dukun Lelang menerjang dengan cepat. Telapak tangannya
siap dihantamkan. Maka Pandupun segera melompat maju
dan mengadu telapak tangan kirinya dengan telapak
tangan si Dukun Lelang. Wuuttt…! Plak, blegaarr…! Cahaya
hijau membias lepas dan lebar. Dentuman menggema
mengguncang alam sekitar mereka.
Dukun Lelang terlempar jauh, sekitar sepuluh tombak
lebih. Ia jatuh di depan semak-semak, terpelanting mirip
kardus TV dibuang begitu saja. Sedangkan Pendekar
Romantis tetap diam di tempatnya, hanya bergerak
setengah langkah ke belakang pada saat mendarat dari
lompatannya.
Mirah Duri tersenyum lega melihat kekuatan Pandu
Puber lebih tinggi dari si Dukun Lelang. Sementara itu,
Loan Besi memandangi pertarungan itu dengan wajah
masih menyeringai dan mengerang lirih, karena mata
kakinya semakin besar lagi dan mulai membiru matang.
Dengan cepat Dukun Lelang bangkit ketika Pandu
Puber menghampirinya. Tiba-tiba Dukun Lelang bergerak
mundur seperti orang terbang, dan hinggap di atas barisan
ilalang semak. Tubuhnya memancarkan cahaya hijau muda
yang bening tapi menyilaukan. Cahaya itu segera lenyap.
Pandu Puber dan yang lainnya terbelalak bengong.
Nenek kurus peot berubah menjadi gadis cantik
berpakaian serba putih, halus dan lembut. Rambutnya
disanggul sebagaian. Hidungnya mancung. Di dadanya ada
bunga mawar hidup bersama tangkainya yang menyelinap
di belahan dada putih mulus itu. Ia tersenyum, dan tampak
lesung pipitnya kian menambah cantik paras ayunya.
Pandu Puber berdebar dan bergumam, “Dian Ayu
Dayen….?
Terdengar suara lembut bagai membisik tepat di
samping telinga Pandu.
“Aku hanya sekadar mengingatkan dirimu, Pandu!
Maafkan aku. Kejarlah aku, cabut bunga mawarku ini, dan
kau akan kubenamkan dalam pelukanku selama-lamanya.”
Dian Ayu Dayen, sang bidadari penguasa kecantikan itu
ternyata hanya tampakkan diri sebentar. Lalu berubah
menjadi asap setelah tangannya menyentak ke langit,
melesat sinar merah yang kemudian membias lebar di
angkasa membentuk bunga mawar merah yang indah.
Pandu Puber terpesona dan hanya bisa memandang
bengong ke angkasa. Saat itulah Bidadari Dian Ayu Dayen
lenyap bagai ditelan asap yang terbang di hembus angin
siang.
***
EMPAT
AGAK sulit juga menjelaskan kepada Mirah Duri yang
menanyakan siapa gadis cantik jelmaan si Dukun Lelang
itu? Mulanya Mirah Duri menyangka gadis cantik itu adalah
Ratu Peri Sore. Tetapi hati kecilnya sendiri sempat
bimbang, karena sang hati kecil itu mengakui bahwa
sekalipun Ratu Peri Sore wanita paling cantik menurut
pandangan Mirah Duri, namun kenyataannya masih kalah
cantik dibandingkan wanita jelmaan nenek kempot tadi.
“Dia penghuni alam lain,” hanya itu jawaban Pandu
Puber ketika ditanya.
“Sejenis setan atau peri, begitu?” desak Mirah Duri.
“Entahlah, sebaiknya jangan bicara soal wanita itu. Aku
bingung.”
Tentu saja bingung, sebab di depan gadis seperti Mirah
Duri, Pendekar Romantis sangat kikuk mengatakan bahwa
Dian Ayu Dayen adalah bidadari yang bakal menjadi
istrinya. Hanya kepada bidadari itulah Pendekar Romantis
diizinkan kawin oleh ayahnya. Perkawinannya dengan Dian
Ayu Dayen itulah yang akan membawa mereka ke
kayangan (Mau jelas lagi? Baca serial Pendekar Romantis
ini dalam kisah “Hancurnya Samurai Cabul” nggak rugi
deh)
“Rupanya dia membayang-bayangiku selalu,” pikir
Pendekar Romantis dalam renungannya. “Dia pernah
bilang, ‘Carilah aku di antara kecantikan-kecantikan yang
menyebar di sekelilingmu. Aku ada di antara mereka’.
Rupanya dengan cara seperti itulah aku diuji untuk mem-
bedakan mana yang calon istri mana yang calon korban
cinta. Ah, unik sekali percintaan warga kayangan itu. Tapi
secara jujur kuakui, dia memang cantik dan sangat meng-
gairahkan semangatku. Tapi alangkah sukarnya mem-
peroleh dirinya? Oke deh, kalau memang dia jodohku, tetap
harus kukejar bagaiamanapun caranya. Masa’ iya
Pendekar Romantis tak mampu menaklukkan bidadari
secantik dia? Hmmm…. Awas nanti kalau berhasil ku-
tangkap, habislah kau punya bibir, Non!”
Tiba-tiba terdengar suara sapaan orang dalam merintih,
“Hoi, hoi….tolong dong kakiku ini! Uuh…! Sakitnya bukan
main nih!”
Loan Besi ternyata semakin tak bisa jalan. Bagaimana
mau jalan kalau salah satu kakinya membengkak seperti
kaki gajah. Jangankan disentuh, tertiup angin saja sakitnya
sampai ke ubun-ubun. Anehnya luka seperti itu tidak ber-
hasil disembuhkan dengan hawa murni Loan Besi sendiri.
Pendekar Romantis mendekati Loan Besi, lalu meng-
gunakan jurus ‘Hawa Bening’ untuk sembuhkan luka itu.
dalam waktu sekejap saja kaki yang membengkak sebesar
kaki gajah itu mulai mengempis. Warna biru busuknya
pudar sedikit demi sedikit.
“Lain kali jangan mengaku-aku sebagai guruku. Kau
akan kena celaka sendiri jika masih mengaku sebagai
guruku. Bukan aku yang mencelakakan kamu, tapi orang
lain yang akan membuat celaka Ki Loan Besi!”
“Pandu Puber, betapapun tingginya ilmumu, kau masih
membutuhkan seorang pembimbing. Ilmumu akan menjadi
sempurna lagi jika ditambah dengan kesaktianku. Sebab
ilmu kesaktianku ini tak ada duanya. Ampuh sekali!”
Mirah Duri tertawa kecil. “Kalau memang ampuh kenapa
tak bisa kalahkan Dukun Lelang?”
“Ada beberapa jurus yang kulupa. Tapi sekarang sudah
ingat lagi. Andai sekarang Dukun Lelang itu muncul lagi
dalam wujud apapun, pasti akan kuhajar habis sampai
meratap-ratap minta ampun padaku.”
Pendekar Romantis tersenyum tipis. “Sudahlah Ki Loan
Besi…. Sebaiknya pergilah mencari murid lainnya. Jangan
memaksaku untuk menjadi muridmu. Aku masih belum
membutuhkan guru untuk saat ini. Mungkin kelak, pada
suatu hari, bila aku membutuhkan guru kau akan ku-
panggil.”
“Kalau kau tak membutuhkan guru, baiklah. Tapi kau
membutuhkan pelayan, Pendekar Romantis. Ambillah aku
sebagai pelayanmu. Tak ada ruginya, kok. Nggak dibayar
juga nggak apa-apa, asal diberi makan enak setiap hari
serta dapat fasilitas rumah pribadi dan perabotnya
lengkap.”
Merasa sulit menolak desakan Loan Besi, akhirnya
Pandu Puber berkata,
“Begini saja, tangkaplah hidup-hidup Dukun Lelang tadi,
maka kau akan kujadikan pelayanku, Ki Loan Besi!”
“Benar nih….?!” Loan Besi bersemangat.
“Ya, benar! Sudah sana pergi, cari Dukun Lelang dan
tangkap dia lalu hadapkan padaku!”
“Baik, aku pamit, calon murid!” dan Loan Besi pun
melesat meninggalkan tempat dengan penuh semangat.
Pandu Puber tertawa mirip orang menggumam. Hatinya
membatin, “Biar sampai jebol udelmu nggak bakalan kau
bisa menangkap bidadari secantik Dian Ayu Dayen. Kau
pikir ilmunya cetek?”
Pendekar Romantis kembalikan perhatiannya kepada
Mirah Duri. Senyumnya mekar sepanjang tatapan wajah-
nya. Mirah Duri buang muka karena tak mau dibuat shock
oleh daya pesona yang menggundahkan hati itu. Buru-buru
gadis itu mengalihkan suasana dengan menceritakan
pertarungan antara Kala Bopak dan Ratu Peri Sore.
Duka di hati Pandu Puber membias di permukaan wajah
tampannya. Terbayang wajah sang kakek semasa gemar
bercanda dengannya. Duka itu nyaris membuat Pendekar
Romantis kehilangan romantisnya. Bayangan mimpinya di
gubuk tengah sawah muncul kembali. Baru sekarang sang
Pendekar Romantis mengetahui apa arti mimpinya kala itu.
“Pedang Siluman….?! O, ya….dulu seingatku kakek
pernah sebut-sebut nama Pedang Siluman,” kata Pandu
Puber sambil mengingat-ingat masa lalunya.
“Tepuk pahamu satu kali, dan pedang itu akan muncul
dari kakimu itu!” tutur Mirah Duri mengajari cara meng-
ambil pedang tersebut.
“Apa benar begitu?” pikir Pandu agak sangsi. Tapi
kemudian ia buktikan kata-kata Mirah Duri itu dengan
menapak paha kirinya satu kali. Plak….!
Pandu pandangi kaki kirinya, tapi tak muncul pedang
atau senjata apa-apa.
“Bukan kaki kiri, tapi kaki kanan!” Mirah Duri men-
jelaskan.
Plak…! Paha kanan ditepak. Zlaapp…! Tiba-tiba tangan
Pandu Puber menggenggam pedang warna kuning emas
berhias bentuk jatung hati. Mata pedang masih terbenam
di kaki itu. Pandu Puber terperanjat girang, lalu mencabut
pedang itu pelan-pelan sekali. Tampak mata pedang
bagaikan keluar dari kulit dan daging kaki tersebut.
Seellp…!
Wuuttt…! Pedang tercabut seluruhnya. Mata pedang
memancarkan sinar ungu yang mengagumkan mata si
pemiliknya sendiri. Wajah duka Pandu Puber lenyap, yang
ada hanyalah wajah berseri-seri memandang pedang
tersebut. Senyum kebanggaan pun mekar pula di bibir
Mirah Duri. Dia merasa bersyukur karena pejelasannya
ternyata memang ada buktinya.
“Megah sekali pedang ini!” ujar Pandu Puber seakan
bicara pada diri sendiri. Mirah Duri menjawab,
“Itulah kakekmu Raja Jin Kala Bopak!”
Lalu hati Pandu mulai disentuh keharuan lagi. Ia
menyapa pedang itu,
“Kek….! Apakah kau bisa mendengar suaraku, Kek?”
Lalu terdengar jawaban dalam bentuk suara membisik,
hanya Pandu sendiri yang mendengarnya, sama seperti
suara membisik dari Dian Ayu Dayen yang tidak bisa
didengar oleh orang lain tadi.
“Aku mendengar suaramu, Cucuku!”
Senyum keharuan mekar jelas-jelas di bibir Pandu. Ia
menatap Mirah Duri dan bertanya, “Apakah kau men-
dengar suara Kakek?”
“Tidak,” jawab Mirah Duri setelah mempertajam
telinganya dengan berkerut dahi dan sedikit memiringkan
kepala.
“Tapi aku mendengarnya, Yu Mirah! Aku mendengar
jawaban Kakek!” Pandu tampak berapi-api tanda begitu
girangnya bisa mendengar suara sang kakek.
“Kek, bicaralah lagi padaku!”
“Kau memang mendengar suaraku, Cu. Hanya kau yang
mendengar. Orang lain tak bisa mendengarnya.”
“Berteriaklah, Kek! Teriak yang keras biar Yu Mirah
mendengar suaramu!”
“Cucu kurang ajar, kakeknya disuruh teriak-teriak!
Nggak mau!”
“Yaah, Kakek….. Sekali saja, Kek. Biar Yu Mirah lega dan
ikut gembira! Ayo, berteriaklah sekeras-kerasnya, Kek!”
“Dasar bocah bandel. Biar aku teriak sampai mulutku
robek tetap saja tak ada yang mendengarnya kecuali
dirimu sendiri. Sebab tali ikatan batin yang ada hanya
antara kau dan aku. Sudah, masukkan lagi aku ke dalam
kakimu! Cari si Ratu Peri Sore di Hutan Kulit Setan,
balaskan kekalahanku kepadanya!”
“Baik, Kek! Aku akan menuju ke Hutan Kulit Setan!”
Setelah bicara begitu, ujung pedang bagaikan ditusuk-
kan ke atas lutut samping. Tak ada rasa sakit yang diderita
ketika mata pedang ungu itu masuk ke kaki. Yang dirasa-
kan hanya hawa sejuk, dan untuk selanjutnya pedangpun
lenyap tersimpan rapat dan aman di kaki kanan Pandu
Puber.
“Ku dengar kau akan menuju ke Hutan Kulit Setan,
Pandu?”
“Ya, aku harus balaskan kekalahan Kakek. Dia yang
suruh aku temui Ratu Peri Sore!”
Wajah Mirah Duri sempat terlihat cemas. “Hati-hati, dia
sendiri sedang mencarimu untuk dijadikan suaminya.”
“Jangan takut, Yu. Aku tak akan tergoda oleh
kecantikannya. Sebaiknya Yu Mirah pulang ke Pulau Iblis
dan mengabarkan hal ini kepada para penghuni Pulau Iblis,
terutama kepada gurumu Ki Parut Melepuh!”
“Ki Panut Palipuh!” ralat Mirah Duri agak jengkel. “Lagi-
lagi kau menyebut nama guruku Parut Melepuh! Gundulmu
itu yang diparut sampai melepuh?!”
Pandu tertawa kecil. “Sejak dulu, sejak kita bertemu
saat aku berusia delapan tahunan, aku sudah terbiasa
memanggil gurumu Ki Parut Melepuh. Jadi sukar lagi
bagiku untuk menyebutnya dengan benar.”
“Masa bodoh, ah!” ujar Mirah Duri yang bersungut-
sungut, kemudian merekapun berpisah. Mirah Duri pulang
ke Pulau Iblis. Pandu Puber menuju ke Bukit Tengkuk
Hantu, karena di lereng timur bukit itulah terdapat Hutan
Kulit Setan.
Jalan terpendek menuju ke sana adalah melewati pesisir
utara. Pandu Puber menyusuri pantai sampai berlari cepat
menggunakan jurus ‘Angin Jantan’-nya. Di luar dugaan arah
yang dituju itu bakalan melewati wilayah kekuasaan Ratu
Geladak Hitam. Tak heran ketika ia tiba di perbatasan
Benteng Geladak Hitam, ia dicegat oleh dua orang penjaga
perbatasan. Karena dicegat, mau tak mau Pendekar
Romantis hentikan langkahnya.
“Tak tahukah kau bahwa tak seorangpun diizinkan
memasuki wilayah Benteng Geladak Hitam?!” ujar penjaga
perbatasan yang berpakaian coklat muda dan bersenjata
tombak bermata kapak dua sisi itu.
“Apakah…..apakah ini wilayah Benteng Geladak Hitam?”
“Benar, Nak,” jawab si baju coklat yang suaranya sedikit
serak karena usianya sudah mencapai sekitar lima puluh
tahun, tapi masih tegar dan sigap.
“Benteng Geladak Hitam?!” gumam Pandu sambil
mengingat-ingat, “Sepertinya Ayah penah ceritakan tentang
Benteng Geladak Hitam. Kalau tidak salah di sini ada
penguasanya yang bernama Dardanila dan berjuluk Ratu
Geladak Hitam?”
Penjaga yang satunya, berpakaian serba hitam dengan
senjata golok lebar berhias benang rumbai-rumbai merah
di ujung gagangnya itu segera berkata, “Sebaiknya pergilah
dari wilayah kami. Kami sedang tidak menerima tamu
siapapun! Jangan memaksa kami berbuat kasar, Anak
Muda.”
Pendekar Romantis masih tenang. Sikapnya tidak ber-
musuhan.
“Aku sekedar numpang lewat saja.”
“Tidak boleh! Daerah ini daerah larangan untuk dilalui
siapapun!” bentak di baju hitam.
“Aku…..aku kenal dengan penguasa Benteng Geladak
Hitam. Kalau boleh aku akan menemui Ratu Geladak
Hitam yang bernama Dardanila untuk meminta izin
melintasi tempat ini!”
Kedua penjaga saling pandang mendengar nama
Dardanila disebut-sebut oleh anak muda yang belum
dikenalnya itu. Akhirnya si baju coklat berkata,
“Kami tidak bisa menuruti permintaan. Gusti ratu kami
pun tidak bakalan mau menemuimu, Anak Muda.”
“Kenapa? Apa sebabnya?”
“Kau tak perlu tahu!” jawab yang bersenjata golok lebar
itu.
“Katakan dulu padanya, siapa tahu dia mau bertemu
denganku!”
“Jangan memaksa!” bentak si baju hitam dengan mata
melebar. Biar usianya labih muda tapi wibawanya sama
tuanya dengan berbaju coklat.
“Kalau kau tak mau pergi dari wilayah kami, terpaksa
kami pergunakan senjata untuk bicara!”
“Apakah senjatamu mampu melukaiku, Paman?”
“Kurang ajar! Hoaaah….!” Bentak si baju hitam sambil
melompat dengan ganas dan menyabetkan golok besarnya
ke perut Pandu Puber. Wuuutt…!
Dengan sentakan mundur sedikit melengkung, sabetan
golok lebar itu bisa dihindari oleh Pendekar Romantis. Si
baju hitam penasaran karena sabetannya meleset, maka ia
menyerang lagi dengan tebasan dari atas ke bawah.
Wuuutt…!
Slaapp….! Kedua tangan Pendekar Romantis dirapatkan
di depan wajah, dan tebasan golok lebar dari atas ke
bawah itu ditangkapnya dengan dua telapak tangan tanpa
garis itu. Golok tersebut terjepit di antara dua telapak
tangan. Lalu dengan satu kali sentakan bertenaga dalam
tinggi, golok itu dipatahkan dengan mudah. Traakkk…!
“Edan…?!” bengong pemiliknya melihat golok lebarnya
bisa patah dalam satu sentakan. Sedangkan sisa
patahannya masih terjepit di tangan anak muda yang
tampan itu. Orang berbaju hitam mundur dengan wajah
tegang.
“Maju….” Katanya kepada si baju coklat.
“Nggak, ah! senjataku ini masih belum lunas dari masa
kreditnya. Kalau ikut-ikutan dipatahkan, wah…….rugi besar
aku! Agaknya bocah ini bukan bocah sembarangan. Kita
tak boleh keras kepala.”
“Majulah dulu, biar senjatamu sama-sama patah!”
“Nggak mau!” orang berbaju coklat itu justru mundur. Ia
bukan takut terluka, tapi takut kalau senjatanya yang
masih mengkilap dan tampak baru itu ikut-ikutan patah
seperti golok tersebut.
“Paman berdua, aku bicara baik-baik pada kalian dan
ingin bertemu Ratu Geladak Hitam dengan baik-baik pula.
Kumohon jangan bikin perkara denganku, Paman. Kita
sama-sama tak ada yang mau dirugikan, bukan?” kata
Pandu dengan bahasa yang enak dan berkesan cuek.
Rambutnya yang pendek depan dan panjang belakang itu
dikibaskan sebentar memakai tangannya.
“Hmm… hmmm… kami sebenarnya tak diizinkan untuk
menerima tamu siapapun, sebab Gusti Ratu sedang sakit.”
“Sakit? Sakit apa?”
“Terkena racun ‘Tua Bangka’. Wajahnya berubah buruk
dan tua.”
“Milik siapa racun itu?”
“Yang jelas bukan milikku,” sahut si baju coklat.
Baju hitam menjawab pula, “Racun ‘Tua Bangka’ adalah
milik Ratu Peri Sore. Ratu kami bertarung dengan Ratu Peri
Sore beberapa waktu yang lalu, dan….”
“Sudahlah, bawa aku secepatnya pada ratumu!” desak
Pandu tak sabar.
Emoticon