Pendekar Romantis 3 - Pedang Siluman(2)



TIGA 

TOKOH tua berjubah kuning berjalan dengan mata liar 
mirip maling. Ia kehilangan jejak Pandu Puber. Padahal ia 
ingin bicara baik-baik dengan anak dewa itu. Rupanya 
tokoh tua berjubah kuning yang marah dipanggil Ki Loan 
Besi itu ingin memanfaatkan keadaan Pandu Puber yang 
tanpa guru. Apa yang didengarnya dari pesan Yuda Lelana 
sebelum diangkat ke kayangan mengilhami hasratnya 
untuk menjadi guru sang Pendekar Romantis itu. 


“Kalau aku bisa menjadi gurunya, maka aku bisa hidup 
di kayangan bersama para dewa. Wow… alangkah keren-
nya hidup di kayangan bersama para dewa. Setidaknya 
namaku tercatat sebagai manusia terhormat di mata para 
dewa. Rasa-rasanya tak ada ruginya kalau semua ilmuku 
kuturunkan kepada bocah itu, toh imbalannya sangat 
menguntungkan!” 
Begitu pikiran sang kakek berambut kribo warna putih 
abu-abu. Sayangnya ia sudah dua hari mondar-mandir di 
sekitar lereng Gunung Ismaya tidak bisa menemukan 
Pandu Puber. Loan Besi tak mau mencari ke puncak 
gunung, sebab arah kepergian Pandu Puber ke bawah, 
menuju kaki gunung itu. 
Memang benar sih, Pandu tidak menuju puncak, sebab 
ia bermaksud ingin pergi ke kotaraja menengok Lila sambil 
mau pinjam perahu untuk menyeberang ke Pulau Iblis. Ia 
ingin kasih kabar kepada kakeknya, Kala Bopak, tentang 
keberangkatan ayah dan ibunya ke kayangan. Pandu Puber 
belum tahu bahwa sang kakek sudah dikalahkan oleh Ratu 
Peri Sore. 
Hanya saja, ketika ia bermalam di sebuah gubuk tengah 
sawah milik petani, pada saat ia tertidur bayang-bayang 
wajah Kala Bopak, kakeknya itu, muncul di dalam mimpi-
nya. Sang kakek seolah-olah berpakaian serba ungu dan 
bercahaya. Dalam mimpi itu, Kala Bopak seakan bicara 
kepada Pandu. 
“Hai, Cu…….apa kabar? Kakek sekarang sudah nggak 
bisa ketemu kamu dalam wujud nyata. Soalnya kakek 
sudah tak berjasad lagi.” 
“Kenapa bisa begitu, kek?” 
“Tentunya ada sebabnya. Kalau diceritakan terlalu 
panjang, bisa-bisa kau tidur dua hari-dua malam baru 
bangun. Yang jelas, sekarang kau hidup bersama kakek. 
Aku ada di kaki kananmu.” 
“Maksudnya bagaimana, Kek?” 
“Carilah sendiri. Namanya saja mimpi, masa’ harus jelas 
sekali sih?” 
Setelah bicara begitu, Pandu Puber terbangun dalam 
sentakan kecil. Oh, ternyata ia berada di tengah sawah dan 
di tengah malam. Pandu Puber merenungkan mimpinya. 
Sayang ia tak punya buku primbon tafsir mimpi, karena 
kala itu buku tersebut belum diterbitkan, akibatnya Pandu 
Puber jengkel tak bisa mengartikan mimpinya. Maka 
persoalan mimpi itu pun ditinggal tidur kembali. Hatinya 
sempat berkata sendiri. 
“Siapa tahu nanti ketemu kakek lagi. Akan kudesak agar 
memberitahu apa maksud kata-katanya itu. Percuma 
punya Kaek kalau hanya bikin pusing cucunya saja!” 
Pandu Puber tak berhasil temui kakeknya lagi dalam 
tidur babak keduanya. Tapi ia tetap cuek, tak mau 
perdulikan mimpi yang dianggapnya bunga kerinduan 
kepada sang kakek itu. Tidurnya yang seri kedua itu mem-
buat Pandu begitu nyenyak sampai bangun kesiangan. 
Ketika ia bangun, astaga…. Sudah dikerumuni masyarakat 
desa yang ingin bercocok tanam menggarap sawah. Ada 
yang lelaki, ada yang perempuan, ada yang tua dan ada 
pula yang muda. Pandu Puber merasa malu dijadikan 
tontonan. Ia hanya cengar-cengir sambil garuk-garuk 
kepala, lalu melangkah meninggalkan gubuk tengah sawah 
sambil berjalan terbungkuk-bungkuk melintasi depan 
mereka. 
“Mas Pendekar….!” Seru seorang gadis desa berkebaya 
merah tua. “Ini saya bawakan lontong sayur buat sarapan!” 
“Wah, tak usah repot-repot, Yu. Saya cuma numpang 
tidur di gubuk ini kok. Nggak keleleran kurang makan.” 
“Saya tahu. Tapi saya senang kalau bisa kasih sesuatu 
yang berharga untuk situ. Makanlah. Ini lontong sayur 
buatan Ibu saya sendiri lho.” 
“Tidak, ah! Terima kasih. Hmmm… kalau bisa dibungkus 
saja deh!” 
Akhirnya Pandu Puber pergi sambil membawa se-
bungkus lontong sayur. Mereka menertawakan. Ada yang 
berkata, “Pura-pura tidak mau, eeh… nggak tahunya malah 
minta dibungkuskan. Tapi dasar pendekar ganteng, pantes-
pantes saja membawa bungkusan lontong sayur. Tetap 
saja kelihatan ganteng.” 
“Jadi, anak muda itu toh yang disebut-sebut Pendekar 
Romantis yang tinggal di puncak gunung kita itu?” 
“Lha iyalah…! Memangnya yang mana lagi yang ganteng 
kalau bukan dia!” 
“Wah, kalau tahu begitu tadi kubawakan jeruk purut 
buat pencuci mulutnya sehabis makan lontong sayur,” ujar 
gadis berkebaya biru tapi berbadan gemuk. Senyumnya 
melambangkan senyum terpikat yang penuh kekaguman. 
“Pencuci mulut kok jeruk purut? Jeruk sunkis dong!” 
“Jeruk sunkis itu yang kayak apa?” 
“Itu lho….yang….yang….ya pokoknya yang sunkis. Wong 
aku ya cuma ikut-ikutan orang ngomong sunkis gitu kok!” 
Percakapan mereka tidak didengar lagi oleh Pandu 
Puber. Pendekar Romantis itu telah jauh dari persawahan, 
jauh dari pedesaan, menuju ke arah kotaraja. Tetapi 
perjalanannya terhenti karena melihat seorang gadis ber-
pakaian kuning dan rambutnya dikepang dua sedang 
melintasi tepian hutan. Pandu Puber hafal betul wajah 
cantik itu adalah milik Mirah Duri. 
“Hiaaat…!” teriak Pandu Puber membuat Mirah Duri 
terperanjat kaget dan segera balik badan, pasang kuda-
kuda siap serang. Begitu yang dilihatnya adalah pemuda 
ganteng mirip orang bule beranting satu, Mirah Duri segera 
kendurkan ketegangannya. Lepaskan kuda-kudanya, dan 
terlontar gerutuan kecelenya. 
“Kampret Ganjen! Pakai teriak-teriak segala! Jangan 
bikin aku jantungan, nanti kalau aku mati mendadak kau 
rugi lho!” 
Pandu Puber tertawa, dan tawa itu menghadirkan sejuta 
keindahan yang menawan hati. Tapi Mirah Duri hanya bisa 
mendesah dalam hatinya. “Ah, sayang dia cucu dari 
mendiang raja jin, aku tak berani mendekatinya karena 
sudah diwanti-wanti tak boleh terlibat urusan skandal cinta 
dengannya. Kalau aku nekat, roh Raja Kala Bopak bisa 
menyedot nyawaku lewat ubun-ubun!” 
“Manis sekali kau hari ini, Yu Mirah,” kata Pandu Puber 
dengan suaranya yang lembut, serius sekali. Bagaikan 
ungkapan dari lubuk hati. Padahal hanya sekadar 
ungkapan dari ujung lidahnya yang gemar memuji wanita. 
Yang dipuji makin berdebar-debar, cuping hidungnya pun 
megar. 
Tak jauh dari tempat Pandu berdiri ada semak belukar 
mawar putih. Disambarnya setangkai bunga sebesar 
jempol jarinya itu. Didekatinya Mirah Duri yang diam 
dengan deg-degan menahan debar-debar keindahan. Lalu, 
Pandu Puber menyematkan setangkai bunga putih itu di 
atas telinga kanan Mirah Duri. 
“Seorang ratu kecantikan dari manapun hari ini 
tumbang oleh kecantikanmu, Yu Mirah. Pria mana yang tak 
langsung semutan kakinya jika melihatmu bersemat 
setangkai bunga di rambutmu. Wow…! Menawan sekali. 
Kalau saja tak takut pakaian kotor, aku rela pingsan di 
depanmu, Yu Mirah.” 
“Ben…benar…benarkah apa katamu itu, Pan…. Pan… 
Pandu?” Mirah Duri jadi grogi. Ia jadi salting juga ketika 
Pandu Puber anggukkan kepala dengan senyum kian 
mendekat. 
“Jang…. Jang…. Oh, jangan…. Jangan, Pandu.” 
“Aku hanya ingin meyakinkan apakah wajahmu mulus 
tanpa tahi lalat atau ada tahi lalatnya. Tak mau ngapa-
ngapain kok.” 
“Ooh… syukurlah. Kukira kau ingin menciumku. Aku 
sudah takut saja. Soalnya aku sudah….” 
Cuup…! Tiba-tiba pipi Mirah Duri dicium olah Pandu 
Puber. Kontan darah Mirah Duri bagaikan muncrat. Uratnya 
bagaikan putus. Tubuh lemas. Tulangnya seperti dari 
tepung terigu. Mirah Duri tertegun mematung di tempat 
dengan pandangan mata hampa. Matanya itu tak berkedip 
walau ditertawakan oleh Pandu. 
“Apakah…. Apakah aku habis disambar petir?” ucapnya 
lirih dan datar. 
Pandu Puber kian tertawa kalem. “Apakah ada petir 
yang tampan?” 
“Nggak tahu…. Badanku…. Badanku jadi lemas sekali. 
Ooh…. Ooh…!” 
“Yu Mirah….! Yuu…! Hei, kenapa kau ini? Yu Mirah…?!” 
Pandu menjadi tegang dan kebingungan. Wajah Mirah Duri 
pucat, badannya pun terkulai dan hampir saja jatuh kalau 
tak segera ditangkap oleh tangan Pandu. Dan ternyata 
Mirah Duri pingsan dengan sungguh-sungguh. Bukan 
sekadar pura-pura. 
“Edan gadis ini! Dicium saja pingsan, apalagi di… 
gitukan? Maksudnya dipeluk dan digigit bibirnya! Wah, kok 
wajahnya makin membiru begini? Lho…?!” 
Pandu Puber terkejut melihat punggung Mirah Duri 
berdarah sedikir. Ternyata ada logam segitiga warna putih 
metalik yang besarnya seukuran tutup botol. Segitiga itu 
menancap di punggung separo bagian. Pandu Puber 
segera mencabutnya. Seeet…! 
“Astaga…?! Rupanya dia pingsan karena ada yang 
melemparnya dengan senjata rahasia?! Kenapa aku tak 
sempat melihat gerakan benda ini saat meluncur ke 
punggung Yu Mirah, ya? Wah, berarti pemilik senjata ini 
pasti orang berilmu tinggi?! Wah… di mana ia ber-
sembunyi?” 
Pandu Puber mencari dengan pandangan mata sejenak. 
Pertimbangannya mengatakan, ia lebih penting sembuhkan 
luka berbahaya Mirah Duri lebih dulu dari pada mencari 
pemilik senjata rahasia beracun gawat itu. Maka, iapun 
segera membaringkan Mirah Duri ke tempat teduh. 
Saat ia membawa tubuh Mirah Duri di tempat teduh 
itulah, dari arah kiri, muncul sesosok tubuh tua renta. 
Seorang nenek berambut putih awut-awutan dengan jubah 
hitam dan tongkat abu-abu keluar dari balik gugusan batu. 
Caranya dengan menghantam gugusan batu itu dari 
seberang sana. Praakk…! Batu terbelah dan tampaklah 
sosoknya yang keriput dan kurus kering itu. 
“Letakkan gadis itu atau kulepaskan satu lagi senjata 
‘Segitiga Maut’-ku untukmu, Anak Muda?!” ancam sang 
nenek kempot dengan suaranya masih terdengar lantang 
dan cempreng. Mata cekungnya menatap Pandu dengan 
serius. Tajam, bagai penuh nafsu untuk membunuh. 
“Siapa kau dan mengapa menyerang Yu Mirah?!” 
“Mirah punya urusan pribadi denganku! Muridku pernah 
dibunuhnya, dan aku membalaskan kematian muridku! 
Jadi kumohon, letakkan gadis itu dan jangan kau tolong. 
Biarkan dia mati menebus nyawa muridku!” 
“Tapi…..tapi aku belum tahu siapa kau, Nenek Licik?!” 
“Namaku cukup kondang, jika kau dengar nama Dukun 
Lelang, itulah aku!” jawab sang nenek sambil melangkah 
mendekati dan berhenti dalam jarak lima tindak di depan 
Pandu Puber yang masih menopang tubuh Mirah Duri. 
“Aku baru tahu namamu, Dukung Lelang. Hmm… aneh 
juga namamu,” Pandu Puber tersenyum tipis, walau 
hatinya was-was karena wajah Mirah Duri kini memucat. 
Warna biru di bibirnya kian jelas. 
“Apa yang akan kau lakukan jika aku tidak meletakkan 
gadis ini?” 
“Akan kukirim satu lagi ‘Segitiga Maut’-ku, seperti 
janjiku tadi!” 
Pandu Puber agak bimbang. “Kalau kuturuti kemauan 
Dukun Lelang, bisa mati Yu Mirah dalam beberapa waktu 
lagi. Racun itu rupanya ganas juga? Tapi kalau nekat 
kubawa ke tempat teduh dan kuobati, hmmm… dia pasti 
akan menyerangku dan aku tak bisa mengelak karena 
membawa Yu Mirah. Ah, tapi nekat sajalah! Kalau perlu 
kugunakan jurus ‘Jempol Syahdu’ untuk melawannya!” 
Tepat ketika Pandu Puber melompat menuju ke tempat 
teduh dengan membopong tubuh Mirah Duri, nenek peot 
itu melepaskan senjata rahasinya bagaimana menebarkan 
uang recehan. Slaast! Tak kentara gerakan logam putih 
mengkilat itu melesat ke arah Pandu. 
Tapi rupanya ada sepasang mata tajam yang entah 
kebetulan atau memang disengaja melihat gerakan benda 
logam mengkilat itu. Orang tersebut cepat-cepat ulurkan 
tangan ke depan, dan dari jari tengahnya keluarkan sinar 
merah semacam garis lurus sinar laser. Claapp…! Sinar itu 
tepat mengenai benda yang melesat tersebut. 
Duaarr…! 
Cahaya merah besar menyebar terang, lalu redup 
bersama hilangnya suara ledakan tersebut. Bumi bergetar 
biasa, tak menumbangkan pohon. Tapi mata si Dukun 
Lelang cepat berpaling ke arahnya datangnya sinar merah. 
Pandupun segera memandang ke arah yang sama. 
Ternyata Loan Besi ada di sana, berjalan santai 
mendekati mereka dengan menggenggam tongkat putih 
lengkung sebagai tongkat gembala. Arah yang dituju 
adalah si Dukun Lelang. Ia menoleh sebentar ke arah 
Pandu mirip koboy menyapa sahabatnya, “Urusi gadis itu, 
yang tua biar kurus sendiri, Nak!” 
“Kebetulan deh,” pikir Pandu Puber, lalu segera 
merebahkan tubuh Mirah Duri di rerumputan yang teduh 
olah dedaunan pohon rindang. 
Jari tengah tangan kanan Pandu mengeras tegak, jari 
yang lain terlipat. Sinar putih bening melesat dari ujung jari 
itu, tepat kenai ulu hati Mirah Duri. Jurus ‘Hawa Bening’ 
warisan dari ayahnya memang ampuh untuk sembuhkan 
luka apapun. Sinar bening seperti kaca itu hanya sekejap 
‘menembak’ ulu hati Mirah Duri, dan si gadis pun segera 
siuman dalam waktu dua helaan napas. 
Sementara itu, Loan Besi dan Dukun Lelang saling 
berhadapan dalam jarak lima langkah. Mata si Dukun 
Lelang memandang tajm penuh kebencian, sedangkan 
yang dipandang hanya cengar-cengir sok kalem. 
“Dugaanku tak akan salah, semasa mudanya kau pasti 
gadis yang cantik, Dukun Lelang. Benar kan?” 
“Dari mana kau tahu?” 
“Bibirmu biar keriputan dan sedikit masuk ke dalam, 
tapi masih memancarkan daya pesona tersendiri bagi mata 
tuaku yang rada rabun ini.” 
“Yang kutanyakan, dari mana kau tahu namaku Dukun 
Lelang?” 
“Ooo… itu? He, he, he, he… Aku tadi mendengar muridku 
menyebutmu Dukun Lelang. Muridku itu tak pernah 
bohong, jadi aku percaya bahwa namamu Dukun Lelang. 
Apa mau diganti Timbul Jaya?” 
“Hmm…! Kau pikir aku kendaraaan angkutan umum 
sejenis kapal?” Dukun Lelang melangkah hampir 
mengelilingi lg. Ia bertanya, “Siapa kau?” 
“Namaku Loan Besi. Pandu Puber itu muridku!” 
“O, jadi kau gurunya? Dan tidak terima kalau muridmu 
menerima ganjaran atas kelancangannya mau sembuhkan 
gadis itu?” 
“Benar! Aku tidak bisa diam saja. Sebagai gurunya, 
matipun kujalani demi membela muridku!” jawab Loan Besi 
agak keras, memancing perhatian Pandu Puber. Sang 
pemuda tampan segera memandang Loan Besi dengan 
heran dan rada-rada kaget. 
“Sialan! Ngaku-ngaku guruku segala? Mau apa 
sebenarnya Ki Loan Besi itu?” gerutu Pandu Puber merasa 
tak suka dengan kata-kata Loan Besi. Tapi rasa tak 
sukanya ditekan dalam hati, tak mau dilontarkan ber-
bentuk protes di depan Dukun Lelang. Bagaimanapun 
Pandu merasa, tanpa kejelian Loan Besi dirinya akan 
menderita racun seperti yang dialami Mirah Duri. 
“Oh… kenapa aku ini?” gumam Mirah Duri ketika sadari 
dirinya berbaring di rerumputan, sedangkan Pandu berdiri 
satu lutut di sampingnya. 
“Pandu, kau… kau telah… telah menodaiku? Oh, jadi…. 
jadi kau telah menodaiku di sini? O, Panduuu…. Kenapa 
saat aku pingsan melakukan? Kau banci, licik, tidak 
tahu….” 
Mulut Mirah Duri langsung dibekap oleh tangan Pandu 
Puber. 
“Jangan berprasangka buruk! Aku tidak menodaimu, Yu! 
Kau kena senjata beracun dan aku baru saja sembuhkan 
dirimu! Enak saja ngatain orang menodai….” Pandu Puber 
bersungut-sungut jengkel. Rasa jengkelnya segera terhibur 
ketika perhatiannya terpusat kembali kepada Loan Besi 
dan Dukun Lelang. Suara dua tokoh tua itulah yang mem-
buat Mirah Duri segera menyadari bahwa mereka tidak 
hanya berdua. Ia cepat bangkit dan perhatikan ke arah dua 
tokoh tua itu. 
“Siapa mereka, Pandu?” 
“Yang nenek peot itu adalah orang yang menyerangmu 
dari belakang dan membuatmu tak sadarkan diri saat 
kucium, Yu. Sedangkan yang lelaki tua itu, entahlah aku 
tak tahu, dia mengaku Ketua Partai Pengembara dan….” 
“Loan Besi kalau tak salah,” sahut Mirah Duri segera 
mengenali tokoh itu. 
“Ya sudah kalau kau sudah mengenalnya, tak perlu 
kujelaskan lagi.” 
“Tokoh tua berjubah kuning berambut kribo abu-abu, tak 
ada lain kecuali Loan Besi!” 
“Memang benar sih, cuma….dia mengaku sebagai 
guruku di depan Dukun Lelang. Aku tak suka caranya 
begitu!” 
“Dukun Lelang? Satu manteranya berapa duit?” 
“Mana aku tahu? Kau pikir aku makelar mantera? 
Nenek itu yang mengaku sebagai Dukun Lelang, Yu. Aku 
tak tahu dari mana asalnya.” 
“Aku juga baru melihatnya kali ini,” gumam Mirah Duri 
sambil mencoba bangkit, ternyata bisa berdiri tegak. 
Badannya tidak lemas lagi, tapi justru merasa segar, 
seperti tak pernah luka, atau seperti habis bangun tidur. 
“Aneh,” katanya lagi seperti bicara sendiri. “Guru tak 
pernah ceritakan ada tokoh tua wanita yang bernama 
Dukun Lelang. Sepertinya dia tokoh baru lahir dai gua 
pertapaannya setelah bertahun-tahun mendekam di dalam 
gua!” 
“Dia bilang, kau pernah membunuh muridnya, makanya 
dia ingin balas dendam padamu?” 
“Muridnya?! Hmm…. Siapa muridnya yang kubunuh?” 
Mirah Duri heran sekali dan bingung mengingat-ingat lawan 
yang pernah dibunuhnya tapi punya guru bernama Dukun 
Lelang. 
Pada saat mereka berbisik-bisik itulah, Loan Besi dan 
Dukun Lelang mulai saling menantang. Dukun Lelang 
bicara lebih dulu, 
“Kusarankan kalau memang anak muda yang kau bilang 
bernama Pandu Puber itu muridmu, segeralah kau bawa 
pergi. Jangan ikut campur urusanku dengan gadis itu, 
supaya dia panjang umur dan kau sendiri panjang usia!” 
“O, kau mengancam muridku? Nanti dulu, Sayang…. 
Sebelum kau berhadapan dengan muridku, hadapi dulu 
gurunya!” Loan Besi tepuk dada. 
Dukun Lelang juga menggenggam tongkat. Tongkatnya 
segera disentakkan ke tanah dengan pelan, tapi 
gerakannya cepat. Dug…! Dan tiba-tiba Loan Besi terpental 
bagai ada yang melemparkan ke atas dengan kekuatan 
tinggi. Wuuttt! 
“Lho, lhooo…?!” Loan Besi bingung. Ia segera menguasai 
diri tapi seperti ada hawa angin yang memutar balikkan 
tubuhnya. Wuuussst….! Weess…! Dan akhirnya ia bagaikan 
dibanting dari atas dengan sentakan kuat. Buuurk…! 
“Uuhhg…!” Loan Besi menyeringai kesakitan. Rusuknya 
membentur sebongkah batu. Napasnya jadi sesak. Kalau 
hanya membentur biasa sih tak akan membuatnya 
menyeringai kesakitan. Tapi benturan itu agaknya disertai 
hentakan tenaga dalam yang rasa-rasanya datang dari atas 
langit. Rusuk itu seperti mengalami patah di dua tempat. 
“Celeng Ganjen!” makinya. “Kubalas kau, Dukun Lelang! 
Hiaah…!” Loan Besi berkelebat menyambar tubuh lawan 
dengan tongkat siap disabetkan. Tapi tongkat itu dihadang 
tongkatnya Dukun Lelang. Posisi tubuh Dukun Lelang 
miring ke kiri sambil hindari terjangan kaki Loan Besi. 
Trak, blaamm…! 
Rupanya tongkat mereka saling diisi tenaga dalam 
cukup tinggi. Benturan tongkat dengan tongkat hasilkan 
ledakan kilat yang menyentakkan gelombang besar. Tubuh 
Loan Besi terpelanting saat ingin mendarat akibat 
hembusan gelombang sentak yang kuat tadi. 
Nenek yang tubuhnya ceking dari Loan Besi justru tegak 
berdiri bagai tak terguncangkan sedikitpun oleh gelombang 
ledak. Ia dapat berdiri dengan tenang dan memperhatikan 
Loan Besi terpelanting hampir jatuh. 
“Keparat!” geram Loan Besi sambil tegak dan kokoh 
kembali. 
“Satu jurus lagi kau memaksaku menyerang, kau 
celaka!” ancam Dukun Lelang. 
Loan Besi tak takut. Ia bahkan melemparkan tongkatnya 
seperti melemparkan tombak. Tongkat itu menyala merah 
seluruhnya bagaikan besi terbakar. 
Wuuttt…! 
Dukun Lelang menghantam dengan tongkatnya dari 
samping. Traakk…! Blaamm! Ledakan mengagetkan terjadi 
kembali. Tapi tongkat yang menyala merah itu berputar 
dengan cepat bagaikan baling-baling, bergerak menuju 
Loan Besi. Tentu saja Loan Besi kaget dan kebingungan 
menangkap kembali tongkatnya. Akhirnya ia sentakkan 
kaki, melenting di udara. Tapi gerakannya terlambat. 
Kakinya sudah lebih dulu disambar tongkatnya sendiri 
pada saat melompat ke atas. Dess…! 
“Waoow…!” pekikan si jubah kuning sangat keras. Ia 
jatuh di samping tongkatnya yang telah kembali ke wujud 
semula. Ia mengerang kesakitan dan memegangi betis 
kirinya. Ternyata dalam waktu singkat betis itu mem-
bengkak biru, makin lama semakin besar dan terasa sakit 
sekali bagi Loan Besi. 
“Itu hanya hajaran ringan saja,” kata Dukun Lelang. 
“Agaknya kau perlu diberi pelajaran sedikit berat lagi asat 
tak sampai mati. Nih, terimalah jurus ‘Naga Tongkat 
Seribu’.” Ucap Dukun Lelang, kemudian lemparkan 
tongkatnya dengan satu hentakan suara, “Haah…!” 
Wuutt…! Tongkat yang melayang di udara menuju ke 
tubuh Loan Besi itu memancarkan cahaya pendar-pendar 
warna hijau muda. Melihat keadaan itu, Pandu Puber 
menjadi cemas akan keselamatan Loan Besi. Maka serta 
merta Pandu lepaskan jurus ‘Sepasang Sayap Cinta’. Dua 
jari di masing-masing tempat cepat mengeras, menempel 
di pelipis sekilas, lalu disentakkan ke depan. Clap, clap! 
Dua larik sinar keluar dari ujung jari dan menghantam 
tongkat bercahaya hijau pendar-pendar itu. taakk…! 
Blaammm….! 
Tongkat menjadi hancur, serpihannya tak tahu 
menyebar ke mana saja. Pandu Puber segera melangkah 
maju dengan gagah, sementara Dukun Lelang diam 
memandang dengan mata sangar. Orang biasa dipandang 
begitu akan jatuh lumpuh karena ketakutan. Tapi Pandu 
tidak, ia justru makin mendekati nenek kurus itu dengan 
tenang tapi penuh kepastian. 
“Sekarang kau berhadapan denganku, Nini Dukun 
Lelang!” kata Pandu Puber. “Aku yang mewakili Yu Mirah. 
Jika kau ingin balas dendam dengan Yu Mirah, hadapilah 
aku. Itu sama saja kau berhadapan dengan Yu Mirah!” 
Gadis yang ditunjuk-tunjuk Pandu Puber masih diam di 
bawah pohon. Karena tadi sebelum Pandu maju dekati 
nenek kempot itu, ia sudah berbisik agar Mirah Duri jangan 
ke mana-mana. Ia akan hadapi nenek kurus itu. 
“Apakah kau sudah cukup ilmu sehingga berani 
mewakili gadis itu untuk melawanku?” tanya Dukun Lelang 
dengan sombongkan diri. 
“Kurasa…..aku yakin akan unggul melawanmu!” 
“Kau tak sayang pada ketampananmu jika sampai jurus-
ku menghancurkan wajah tampanmu itu?!” 
“Aku hanya menyesal jika Yu Mirah kau lukai lagi!” 
“Hmmm…!” senyum itu sinis sekali. “Apakah dia 
kekasihmu?” 
“Memang bukan, tapi…” 
“Kau mencintainya?” 
“Mengapa kau tanyakan hal itu?” 
“Jawablah!” 
Pandu Puber melirik ke arah Mirah Duri. Dari tempat 
Mirah Duri percakapan itu terdengar samar-samar. Kadang 
timbul kadang tenggelam. Setelah melirik Mirah Duri 
sebentar Pandu menjawab dengan suara pelan. 
“Dia hanya sahabat, lebih dari itu, dia sudah kuanggap 
saudaraku sendiri!” 
“Aku tak yakin dengan jawabanmu. Buktikan dengan 
mengadu telapak tangan kita. Kalau kau jujur, kau dapat 
membuatku tumbang. Sebaliknya, kalau kau tak jujur, 
dadamu akan jebol oleh jurus ‘Tapak Gaib’-ku ini.” 
Pandu Puber ingin ucapkan sesuatu, tapi tiba-tiba 
Dukun Lelang menerjang dengan cepat. Telapak tangannya 
siap dihantamkan. Maka Pandupun segera melompat maju 
dan mengadu telapak tangan kirinya dengan telapak 
tangan si Dukun Lelang. Wuuttt…! Plak, blegaarr…! Cahaya 
hijau membias lepas dan lebar. Dentuman menggema 
mengguncang alam sekitar mereka. 
Dukun Lelang terlempar jauh, sekitar sepuluh tombak 
lebih. Ia jatuh di depan semak-semak, terpelanting mirip 
kardus TV dibuang begitu saja. Sedangkan Pendekar 
Romantis tetap diam di tempatnya, hanya bergerak 
setengah langkah ke belakang pada saat mendarat dari 
lompatannya. 
Mirah Duri tersenyum lega melihat kekuatan Pandu 
Puber lebih tinggi dari si Dukun Lelang. Sementara itu, 
Loan Besi memandangi pertarungan itu dengan wajah 
masih menyeringai dan mengerang lirih, karena mata 
kakinya semakin besar lagi dan mulai membiru matang. 
 Dengan cepat Dukun Lelang bangkit ketika Pandu 
Puber menghampirinya. Tiba-tiba Dukun Lelang bergerak 
mundur seperti orang terbang, dan hinggap di atas barisan 
ilalang semak. Tubuhnya memancarkan cahaya hijau muda 
yang bening tapi menyilaukan. Cahaya itu segera lenyap. 
Pandu Puber dan yang lainnya terbelalak bengong. 
Nenek kurus peot berubah menjadi gadis cantik 
berpakaian serba putih, halus dan lembut. Rambutnya 
disanggul sebagaian. Hidungnya mancung. Di dadanya ada 
bunga mawar hidup bersama tangkainya yang menyelinap 
di belahan dada putih mulus itu. Ia tersenyum, dan tampak 
lesung pipitnya kian menambah cantik paras ayunya. 
Pandu Puber berdebar dan bergumam, “Dian Ayu 
Dayen….? 
Terdengar suara lembut bagai membisik tepat di 
samping telinga Pandu. 
“Aku hanya sekadar mengingatkan dirimu, Pandu! 
Maafkan aku. Kejarlah aku, cabut bunga mawarku ini, dan 
kau akan kubenamkan dalam pelukanku selama-lamanya.” 
Dian Ayu Dayen, sang bidadari penguasa kecantikan itu 
ternyata hanya tampakkan diri sebentar. Lalu berubah 
menjadi asap setelah tangannya menyentak ke langit,  
melesat sinar merah yang kemudian membias lebar di 
angkasa membentuk bunga mawar merah yang indah. 
Pandu Puber terpesona dan hanya bisa memandang 
bengong ke angkasa. Saat itulah Bidadari Dian Ayu Dayen 
lenyap bagai ditelan asap yang terbang di hembus angin 
siang. 
*** 

EMPAT 

AGAK sulit juga menjelaskan kepada Mirah Duri yang 
menanyakan siapa gadis cantik jelmaan si Dukun Lelang 
itu? Mulanya Mirah Duri menyangka gadis cantik itu adalah 
Ratu Peri Sore. Tetapi  hati kecilnya sendiri sempat 
bimbang, karena sang hati kecil itu mengakui bahwa 
sekalipun Ratu Peri Sore wanita paling cantik menurut 
pandangan Mirah Duri, namun kenyataannya masih kalah 
cantik dibandingkan wanita jelmaan nenek kempot tadi. 
“Dia penghuni alam lain,” hanya itu jawaban Pandu 
Puber ketika ditanya. 
“Sejenis setan atau peri, begitu?” desak Mirah Duri. 
“Entahlah, sebaiknya jangan bicara soal wanita itu. Aku 
bingung.” 
Tentu saja bingung, sebab di depan gadis  seperti Mirah 
Duri, Pendekar Romantis sangat kikuk mengatakan bahwa 
Dian Ayu Dayen adalah bidadari yang bakal menjadi 
istrinya. Hanya kepada bidadari itulah Pendekar Romantis 
diizinkan kawin oleh ayahnya. Perkawinannya dengan Dian 
Ayu Dayen itulah yang akan membawa mereka ke 
kayangan (Mau jelas lagi? Baca serial Pendekar Romantis 
ini dalam kisah “Hancurnya Samurai Cabul” nggak rugi 
deh) 
“Rupanya dia membayang-bayangiku selalu,” pikir 
Pendekar Romantis dalam renungannya. “Dia pernah 
bilang, ‘Carilah aku di antara kecantikan-kecantikan yang 
menyebar di sekelilingmu. Aku ada di antara mereka’. 
Rupanya dengan cara seperti itulah aku diuji untuk mem-
bedakan mana yang calon istri mana yang calon korban 
cinta. Ah, unik sekali percintaan warga kayangan itu. Tapi 
secara jujur kuakui, dia memang cantik dan sangat meng-
gairahkan semangatku. Tapi alangkah sukarnya mem-
peroleh dirinya? Oke deh, kalau memang dia jodohku, tetap 
harus kukejar bagaiamanapun caranya. Masa’ iya 
Pendekar Romantis tak mampu menaklukkan bidadari 
secantik dia? Hmmm…. Awas nanti kalau berhasil ku-
tangkap, habislah kau punya bibir, Non!” 
Tiba-tiba terdengar suara sapaan orang dalam merintih, 
“Hoi, hoi….tolong dong kakiku ini! Uuh…! Sakitnya bukan 
main nih!” 
Loan Besi ternyata semakin tak bisa jalan. Bagaimana 
mau jalan kalau salah satu kakinya membengkak seperti 
kaki gajah. Jangankan disentuh, tertiup angin saja sakitnya 
sampai ke ubun-ubun. Anehnya luka seperti itu tidak ber-
hasil disembuhkan dengan hawa murni Loan Besi sendiri. 
Pendekar Romantis mendekati Loan Besi, lalu meng-
gunakan jurus ‘Hawa Bening’ untuk sembuhkan luka itu. 
dalam waktu sekejap saja kaki yang membengkak sebesar 
kaki gajah itu mulai mengempis. Warna biru busuknya 
pudar sedikit demi sedikit. 
“Lain kali jangan mengaku-aku sebagai guruku. Kau 
akan kena celaka sendiri jika masih mengaku sebagai 
guruku. Bukan aku yang mencelakakan kamu, tapi orang 
lain yang akan membuat celaka Ki Loan Besi!” 
“Pandu Puber, betapapun tingginya ilmumu, kau masih 
membutuhkan seorang pembimbing. Ilmumu akan menjadi 
sempurna lagi jika ditambah dengan kesaktianku. Sebab 
ilmu kesaktianku ini tak ada duanya. Ampuh sekali!” 
Mirah Duri tertawa kecil. “Kalau memang ampuh kenapa 
tak bisa kalahkan Dukun Lelang?” 
“Ada beberapa jurus yang kulupa. Tapi sekarang sudah 
ingat lagi. Andai sekarang Dukun Lelang itu muncul lagi 
dalam wujud apapun, pasti akan kuhajar habis sampai 
meratap-ratap minta ampun padaku.” 
Pendekar Romantis tersenyum tipis. “Sudahlah Ki Loan 
Besi…. Sebaiknya pergilah mencari murid lainnya. Jangan 
memaksaku untuk menjadi muridmu. Aku masih belum 
membutuhkan guru untuk saat ini. Mungkin kelak, pada 
suatu hari, bila aku membutuhkan guru kau akan ku-
panggil.” 
“Kalau kau tak membutuhkan guru, baiklah. Tapi kau 
membutuhkan pelayan, Pendekar Romantis. Ambillah aku 
sebagai pelayanmu. Tak ada ruginya, kok. Nggak dibayar 
juga nggak apa-apa, asal diberi makan enak setiap hari 
serta dapat fasilitas rumah pribadi dan perabotnya 
lengkap.” 
Merasa sulit menolak desakan Loan Besi, akhirnya 
Pandu Puber berkata, 
“Begini saja, tangkaplah hidup-hidup Dukun Lelang tadi, 
maka kau akan kujadikan pelayanku, Ki Loan Besi!” 
“Benar nih….?!” Loan Besi bersemangat. 
“Ya, benar! Sudah sana pergi, cari Dukun Lelang dan 
tangkap dia lalu hadapkan padaku!” 
“Baik, aku pamit, calon murid!” dan Loan Besi pun 
melesat meninggalkan tempat dengan penuh semangat. 
Pandu Puber tertawa mirip orang menggumam. Hatinya 
membatin, “Biar sampai jebol udelmu nggak bakalan kau 
bisa menangkap bidadari secantik Dian Ayu Dayen. Kau 
pikir ilmunya cetek?” 
Pendekar Romantis kembalikan perhatiannya kepada 
Mirah Duri. Senyumnya mekar sepanjang tatapan wajah-
nya. Mirah Duri buang muka karena tak mau dibuat shock 
oleh daya pesona yang menggundahkan hati itu. Buru-buru 
gadis itu mengalihkan suasana dengan menceritakan 
pertarungan antara Kala Bopak dan Ratu Peri Sore. 
Duka di hati Pandu Puber membias di permukaan wajah 
tampannya. Terbayang wajah sang kakek semasa gemar 
bercanda dengannya. Duka itu nyaris membuat Pendekar 
Romantis kehilangan romantisnya. Bayangan mimpinya di 
gubuk tengah sawah muncul kembali. Baru sekarang sang 
Pendekar Romantis mengetahui apa arti mimpinya kala itu. 
“Pedang Siluman….?! O, ya….dulu seingatku kakek 
pernah sebut-sebut nama Pedang Siluman,” kata Pandu 
Puber sambil mengingat-ingat masa lalunya. 
“Tepuk pahamu satu kali, dan pedang itu akan muncul 
dari kakimu itu!” tutur Mirah Duri mengajari cara meng-
ambil pedang tersebut. 
“Apa benar begitu?” pikir Pandu agak sangsi. Tapi 
kemudian ia buktikan kata-kata Mirah Duri itu dengan 
menapak paha kirinya satu kali. Plak….! 
Pandu pandangi kaki kirinya, tapi tak muncul pedang 
atau senjata apa-apa. 
“Bukan kaki kiri, tapi kaki kanan!” Mirah Duri men-
jelaskan. 
Plak…! Paha kanan ditepak. Zlaapp…! Tiba-tiba tangan 
Pandu Puber menggenggam pedang warna kuning emas 
berhias bentuk jatung hati. Mata pedang masih terbenam 
di kaki itu. Pandu Puber terperanjat girang, lalu mencabut 
pedang itu pelan-pelan sekali. Tampak mata pedang 
bagaikan keluar dari kulit dan daging kaki tersebut. 
Seellp…! 
Wuuttt…! Pedang tercabut seluruhnya. Mata pedang 
memancarkan sinar ungu yang mengagumkan mata si 
pemiliknya sendiri. Wajah duka Pandu Puber lenyap, yang 
ada hanyalah wajah berseri-seri memandang pedang 
tersebut. Senyum kebanggaan pun mekar pula di bibir 
Mirah Duri. Dia merasa bersyukur karena pejelasannya 
ternyata memang ada buktinya. 
“Megah sekali pedang ini!” ujar Pandu Puber seakan 
bicara pada diri sendiri. Mirah Duri menjawab, 
“Itulah kakekmu Raja Jin Kala Bopak!” 
Lalu hati Pandu mulai disentuh keharuan lagi. Ia 
menyapa pedang itu, 
“Kek….! Apakah kau bisa mendengar suaraku, Kek?” 
Lalu terdengar jawaban dalam bentuk suara membisik, 
hanya Pandu sendiri yang mendengarnya, sama seperti 
suara membisik dari Dian Ayu Dayen yang tidak bisa 
didengar oleh orang lain tadi. 
“Aku mendengar suaramu, Cucuku!” 
Senyum keharuan mekar jelas-jelas di bibir Pandu. Ia 
menatap Mirah Duri dan bertanya, “Apakah kau men-
dengar suara Kakek?” 
“Tidak,” jawab Mirah Duri setelah mempertajam 
telinganya dengan berkerut dahi dan sedikit memiringkan 
kepala. 
“Tapi aku mendengarnya, Yu Mirah! Aku mendengar 
jawaban Kakek!” Pandu tampak berapi-api tanda begitu 
girangnya bisa mendengar suara sang kakek. 
“Kek, bicaralah lagi padaku!” 
“Kau memang mendengar suaraku, Cu. Hanya kau yang 
mendengar. Orang lain tak bisa mendengarnya.” 
“Berteriaklah, Kek! Teriak yang keras biar Yu Mirah 
mendengar suaramu!” 
“Cucu kurang ajar, kakeknya disuruh teriak-teriak! 
Nggak mau!” 
“Yaah, Kakek….. Sekali saja, Kek. Biar Yu Mirah lega dan 
ikut gembira! Ayo, berteriaklah sekeras-kerasnya, Kek!” 
“Dasar bocah bandel. Biar aku teriak sampai mulutku 
robek tetap saja tak ada yang mendengarnya kecuali 
dirimu sendiri. Sebab tali ikatan batin yang ada hanya 
antara kau dan aku. Sudah, masukkan lagi aku ke dalam 
kakimu! Cari si Ratu Peri Sore di Hutan Kulit Setan, 
balaskan kekalahanku kepadanya!” 
“Baik, Kek! Aku akan menuju ke Hutan Kulit Setan!” 
Setelah bicara begitu, ujung pedang bagaikan ditusuk-
kan ke atas lutut samping. Tak ada rasa sakit yang diderita 
ketika mata pedang ungu itu masuk ke kaki. Yang dirasa-
kan hanya hawa sejuk, dan untuk selanjutnya pedangpun 
lenyap tersimpan rapat dan aman di kaki kanan Pandu 
Puber. 
“Ku dengar kau akan menuju ke Hutan Kulit Setan, 
Pandu?” 
“Ya, aku harus balaskan kekalahan Kakek. Dia yang 
suruh aku temui Ratu Peri Sore!” 
Wajah Mirah Duri sempat terlihat cemas. “Hati-hati, dia 
sendiri sedang mencarimu untuk dijadikan suaminya.” 
“Jangan takut, Yu. Aku tak akan tergoda oleh 
kecantikannya. Sebaiknya Yu Mirah pulang ke Pulau Iblis 
dan mengabarkan hal ini kepada para penghuni Pulau Iblis, 
terutama kepada gurumu Ki Parut Melepuh!” 
“Ki Panut Palipuh!” ralat Mirah Duri agak jengkel. “Lagi-
lagi kau menyebut nama guruku Parut Melepuh! Gundulmu 
itu yang diparut sampai melepuh?!” 
Pandu tertawa kecil. “Sejak dulu, sejak kita bertemu 
saat aku berusia delapan tahunan, aku sudah terbiasa 
memanggil gurumu Ki Parut Melepuh. Jadi sukar lagi 
bagiku untuk menyebutnya dengan benar.” 
“Masa bodoh, ah!” ujar Mirah Duri yang bersungut-
sungut, kemudian merekapun berpisah. Mirah Duri pulang 
ke Pulau Iblis. Pandu Puber menuju ke Bukit Tengkuk 
Hantu, karena di lereng timur bukit itulah terdapat Hutan 
Kulit Setan. 
Jalan terpendek menuju ke sana adalah melewati pesisir 
utara. Pandu Puber menyusuri pantai sampai berlari cepat 
menggunakan jurus ‘Angin Jantan’-nya. Di luar dugaan arah 
yang dituju itu bakalan melewati wilayah kekuasaan Ratu 
Geladak Hitam. Tak heran ketika ia tiba di perbatasan 
Benteng Geladak Hitam, ia dicegat oleh dua orang penjaga 
perbatasan. Karena dicegat, mau tak mau Pendekar 
Romantis hentikan langkahnya. 
“Tak tahukah kau bahwa tak seorangpun diizinkan 
memasuki wilayah Benteng Geladak Hitam?!” ujar penjaga 
perbatasan yang berpakaian coklat muda dan bersenjata 
tombak bermata kapak dua sisi itu. 
“Apakah…..apakah ini wilayah Benteng Geladak Hitam?” 
“Benar, Nak,” jawab si baju coklat yang suaranya sedikit 
serak karena usianya sudah mencapai sekitar lima puluh 
tahun, tapi masih tegar dan sigap. 
“Benteng Geladak Hitam?!” gumam Pandu sambil 
mengingat-ingat, “Sepertinya Ayah penah ceritakan tentang 
Benteng Geladak Hitam. Kalau tidak salah di sini ada 
penguasanya yang bernama Dardanila dan berjuluk Ratu 
Geladak Hitam?” 
Penjaga yang satunya, berpakaian serba hitam dengan 
senjata golok lebar berhias benang rumbai-rumbai merah 
di ujung gagangnya itu segera berkata, “Sebaiknya pergilah 
dari wilayah kami. Kami sedang tidak menerima tamu 
siapapun! Jangan memaksa kami berbuat kasar, Anak 
Muda.” 
Pendekar Romantis masih tenang. Sikapnya tidak ber-
musuhan. 
“Aku sekedar numpang lewat saja.” 
“Tidak boleh! Daerah ini daerah larangan untuk dilalui 
siapapun!” bentak di baju hitam. 
“Aku…..aku kenal dengan penguasa Benteng Geladak 
Hitam. Kalau boleh aku akan menemui Ratu Geladak 
Hitam yang bernama Dardanila untuk meminta izin 
melintasi tempat ini!” 
Kedua penjaga saling pandang mendengar nama 
Dardanila disebut-sebut oleh anak muda yang belum 
dikenalnya itu. Akhirnya  si baju coklat berkata, 
“Kami tidak bisa menuruti permintaan. Gusti ratu kami 
pun tidak bakalan mau menemuimu, Anak Muda.” 
“Kenapa? Apa sebabnya?” 
“Kau tak perlu tahu!” jawab yang bersenjata golok lebar 
itu. 
“Katakan dulu padanya, siapa tahu dia mau bertemu 
denganku!” 

“Jangan memaksa!” bentak si baju hitam dengan mata 
melebar. Biar usianya labih  muda tapi wibawanya sama 
tuanya dengan berbaju coklat. 
“Kalau kau tak mau pergi dari wilayah kami, terpaksa 
kami pergunakan senjata untuk bicara!” 
“Apakah senjatamu mampu melukaiku, Paman?” 
“Kurang ajar! Hoaaah….!” Bentak si baju hitam sambil 
melompat dengan ganas dan menyabetkan golok besarnya 
ke perut Pandu Puber. Wuuutt…! 
Dengan sentakan mundur sedikit melengkung, sabetan 
golok lebar itu bisa dihindari oleh Pendekar Romantis. Si 
baju hitam penasaran karena sabetannya meleset, maka ia 
menyerang lagi dengan tebasan dari atas ke bawah. 
Wuuutt…! 
Slaapp….! Kedua tangan Pendekar Romantis dirapatkan 
di depan wajah, dan tebasan golok lebar dari atas ke 
bawah itu ditangkapnya dengan dua telapak tangan tanpa 
garis itu. Golok tersebut terjepit di antara dua telapak 
tangan. Lalu dengan satu kali sentakan bertenaga dalam 
tinggi, golok itu dipatahkan dengan mudah. Traakkk…! 
“Edan…?!” bengong pemiliknya melihat golok lebarnya 
bisa patah dalam satu sentakan. Sedangkan sisa 
patahannya masih terjepit di tangan anak muda yang 
tampan itu. Orang berbaju hitam mundur dengan wajah 
tegang. 
“Maju….” Katanya kepada si baju coklat. 
“Nggak, ah! senjataku ini masih belum lunas dari masa 
kreditnya. Kalau ikut-ikutan dipatahkan, wah…….rugi besar 
aku! Agaknya bocah ini bukan bocah sembarangan. Kita 
tak boleh keras kepala.” 
“Majulah dulu, biar senjatamu sama-sama patah!” 
“Nggak mau!” orang berbaju coklat itu justru mundur. Ia 
bukan takut terluka, tapi takut kalau senjatanya yang 
masih mengkilap dan tampak baru itu ikut-ikutan patah 
seperti golok tersebut. 
“Paman berdua, aku bicara baik-baik pada kalian dan 
ingin bertemu Ratu Geladak Hitam dengan baik-baik pula. 
Kumohon jangan bikin perkara denganku, Paman. Kita 
sama-sama tak ada yang mau dirugikan, bukan?” kata 
Pandu dengan bahasa yang enak dan berkesan cuek. 
Rambutnya yang pendek depan dan panjang belakang itu 
dikibaskan sebentar memakai tangannya. 
“Hmm… hmmm… kami sebenarnya tak diizinkan untuk 
menerima tamu siapapun, sebab Gusti Ratu sedang sakit.” 
“Sakit? Sakit apa?” 
“Terkena racun ‘Tua Bangka’. Wajahnya berubah buruk 
dan tua.” 
“Milik siapa racun itu?” 
“Yang jelas bukan milikku,” sahut si baju coklat. 
Baju hitam menjawab pula, “Racun ‘Tua Bangka’ adalah 
milik Ratu Peri Sore. Ratu kami bertarung dengan Ratu Peri 
Sore beberapa waktu yang lalu, dan….” 
“Sudahlah, bawa aku secepatnya pada ratumu!” desak 
Pandu tak sabar. 

Page   1    2    3    4