1
DUA PERISTIWA menggemparkan yang
melanda
Partai Perguruan LERENG MERAPI
dan Perguruan
KELABANG WUNGU segera tersiar
cepat di kalangan
persilatan. Bahkan sampai
terdengar beritanya ke wi-
layah Kota Raja. Kemunculan
sukma KALA WRENGGI
telah membuat keresahan setiap
penduduk hingga
membuat mereka tak dapat hidup
tenang. Bayangan
ketakutan tampak terlihat di
setiap wajah para petani
penduduk desa Gading Rejo, juga
beberapa desa ter-
dekat lainnya. Desa-desa itu
berdekatan dengan wi-
layah Perguruan Kelabang Wungu
yang baru saja
mengalami kehancuran.
Puluhan murid-murid perguruan
itu mengalami
kematian di tangan sukma Kala
Wrenggi yang masuk
ke goa garba Shinduro, murid Ki
Bogota dari partai Le-
reng Merapi.
Dua hari kemudian sejak diadakan
penguburan
massal di lereng
bukit itu, RANDU WANGI tertunduk
layu menatap gundukan tanah yang
baru. Di bawah
tanah merah itu terbaring jasad
SHINDURO yang telah
dijadikan alat untuk membantai
orang-orang Partai Le-
reng Merapi dan perguruan
Kelabang Wungu.
"Tuhan. Semoga
engkau memberinya tempat yang
lapang di alam kubur dan
mengampuni segala do-
sanya. berkata Randu Wangi
dengan suara terisak.
Akan tetapi segera cepat bangkit
berdiri seraya meng-
hapus air matanya, ketika
didengar suara di belakang.
"Sudahlah, anak manis.
Orang yang sudah mati
janganlah dikenang lagi. Kau
harus merelakan keper-
giannya dengan hati ikhlas"
"Ya, paman. Aku memang
telah ikhlas dan merela-
kan kematiannya. Manusia memang
takkan luput dari
kematian. Maafkan aku telah
terhanyut dalam kesedi-
han." sahut Randu Wangi
seraya cepat menjura pada
orang tua berjubah ungu itu yang
berdiri dibelakang-
nya sambil meggendong tangan.
Kelabang Wungu ter-
senyum manggut-manggut.
"Kau benar, anak baik.
Nah, sebaiknya kau segera
kembali ke pesanggrahan.
Tak baik berada di tempat
sesunyi ini seorang diri!"
ujar Kelabang Wungu, ketua dari
Perguruan Kelabang
Wungu itu dengan lemah lembut.
Segera balikkan tu-
buhnya dan melangkah pergi dari
tempat itu.
"Baiklah, paman" sahut
Randu Wangi seraya beran-
jak melangkah mengikuti di
belakang si Kelabang
Wungu, yang telah melangkah
terlebih dulu. Randu
Wangi masih sempat untuk menoleh
lagi pada gundu-
kan tanah merah itu.
"Selamat tinggal Shinduro, se-
moga kau tenang di alam
Baka." bisiknya perlahan. La-
lu bergegas menyusul orang tua
itu. Pada saat itu satu
bayangan tubuh berkelebat
dihadapannya.
"Randu Wangi! kau ada
disini?" Tersentak gadis ini,
karena segera melihat siapa
orang tua dihadapannya.
"Ayah..!? ya! aku memang
berada disini. Mau apa-
kah kau menyusulku?"
berkata Randu Wangi. Gadis
ini masih mendongkol dengan sang
ayah. Bahkan kini
rasa mendongkol itu telah
berubah jadi kebencian. Ka-
rena gara-gara ayahnyalah,
hingga Shinduro harus ke-
hilangan nyawanya. Bahkan
jasadnya dipergunakan
sukma KALA WRENGGI untuk
menyebar maut. Wajah
Ki Bogota menampilkan kemarahan.
Lagi lagi dia
membentak dengan suara parau dan
kasar.
"Randu Wangi! kau memang
anak yang tak tahu di-
untung! Sudahlah! ayo, kau
pulanglah ke Lereng Me-
rapi. Bukankah kau sudah
mengetahui siapa Shinduro
kini? Lihatlah! bukan
orang-orang Partai Lereng Mera-
pi saja yang telah kehilangan
nyawa, akan tetapi
orang-orang Perguruan Kelabang
Wungupun menjadi
korban Shinduro. Dia adalah
masih keturunan KALA
WRENGGI. Kalau kubiarkan kau
menikah dengannya
akan cemarlah namaku dimata
orang banyak!" berkata
Ki Bogota.
"Harap anda maafkan aku, Ki
Bogota! Sungguh aku
tak mengetahui kalau sore ini
aku akan kedatangan te-
tamu agung!" Diiringi
kata-kata demikian, Kelabang
Wungu sudah berkelebat dan
berdiri tepat dihadapan
Ki Bogota.
Laki-laki tua ketua Partai
Lereng Merapi ini mena-
tapnya dengan wajah sinis.
"Hm, sudah lama kita tak
pernah berjumpa, sobat Kelabang
Wungu. Akan tetapi
aku bukan tetamu agung. Aku
kemari bukan mau ber-
tamu ke tempat tinggalmu.
Melainkan aku akan mem-
bawa pulang anak ku!"
"O, begitu? aku mana
berani menghalangi niatmu
itu, sobat Bogota. Aku baru saja
mengalami musibah
besar. Kudengar kau juga baru
mengalami bencana di-
tempat bercokolmu!"
"Tidak salah!" potong
Ki Bogota. "Tapi itu bukan
urusanmu" Sejak kau
memisahkan diri dari Partai Le-
reng Merapi, kukira sudah tak
ada lagi hubungan kita.
Nah cukup bukan?" seraya
menyahuti demikian, Ki
Bogota menoleh pada Randu Wangi.
"Ayo, Randu Wangi! segera
kita pulang!" ujarnya
pada gadis itu. Akan tetapi
Randu Wangi melangkah
mundur dua tindak.
"Tidak! aku tak akan
kembali lagi ke Lereng Merapi!
Sementara aku memang akan
menetap disini. Tapi ti-
dak untuk selamanya. Selanjutnya
aku tak perlu
memberitahu kemana aku akan
pergi!" sahut Randu
Wangi ketus. Mendengar kata-kata
demikian dapat di-
bayangkan betapa marahnya Ki
Bogota.
"Bocah sialan!" memaki
orang tua ini. "Kau mau
memutuskan hubungan antara ayah
dan anak? Kau
mau putuskan pertalian darah
keluarga kita? Katakan
sekarang juga! apakah kau masih
mengakui aku
ayahmu?" bentak ketua
Partai Lereng Merapi ini den-
gan mata mendelik gusar.
"Hubungan darah mana bisa
diputuskan? Aku ma-
sih mengakui kau ayahku, walau
sebenarnya aku amat
membencimu! Aku dendam padamu!
karena kau telah
membunuh Shinduro. Aku tahu
bukan kau yang telah
menurunkan tangan keji
membunuhnya. Akan tetapi
kau telah menganiayanya, dan
perintahkan anak
buahmu membunuhnya! Shinduro
bisa hidup lagi
akan tetapi bukan berisi
sukmanya lagi melainkan
sukma KALA WRENGGI. Ada hubungan
atau tidaknya
Shinduro dengan KALA WRENGGI
kukira bukan soal.
Tapi yang menjadi persoalan
adalah, kau telah membe-
rikan hukuman yang teramat
kejam, tanpa menaruh
belas kasihan sedikitpun! Bahkan
kau tega menyuruh
orang membunuhnya! Kelakuan
seorang ayah yang se-
demikian itu telah membuat aku
tak bersimpati pada-
mu lagi! Oleh sebab itu maaf
kan, aku terpaksa tak
dapat kembali lagi ke Lereng
Merapi untuk selamanya!"
ucap Randu Wangi dengan
kata-kata keras dan pasti.
Dia telah nekat untuk menghadapi
apapun yang bakal
terjadi.
Merah padam seketika wajah Ki
Bogota. Giginya
berkrotakan menahan geram.
"Bocah sialan!"
makinya. "Kalau begitu kau mam-
puslah!" Seraya membentak
keras Ki Bogota arahkan
telapak tangannya untuk
menghantam Randu Wangi
dengan pukulannya. Akan tetapi
satu tolakan tenaga
dalam segera menghadangnya.
Terdengar suara bera-
dunya telapak tangan.
Plakk!
Ki Bogota terhuyung ke belakang
dua-tiga tindak.
Hantaman barusan terasa oleh
laki-laki tua ini bagai-
kan dihalang oleh sambaran angin
yang berhawa din-
gin. Bahkan tolakan itu
sekaligus telah membuat dia
terhuyung. Segera dia tahu siapa
yang melakukannya.
"Sabar, sobat tua bangka!
kukira anda telah ber-
buat amat keliru kalau mau
membunuh anak sendiri!"
terdengar suara halus Kelabang
Wungu. Walaupun dia
dapat menggagalkan serangan
kakek ketua Partai Le-
reng Merapi itu, namun diam-diam
dia terkejut, karena
merasakan telapak tangannya
kesemutan. Tahulah Ke-
labang Wungu kalau bekas sahabat
dari satu Partai itu
telah banyak kemajuannya dalam
hal tenaga dalam.
Ternyata si Kelabang Wungupun
barusan terhuyung
dua-tiga tindak.
"Bagus! kau mau melindungi
bocah sialan ini? Hm,
kau memang terlalu sombong,
Kelabang Wungu! kau
kira aku akan jeri melihat
kehebatan ilmu mu? Heh!
Boleh juga aku menjajal, sampai
dimana kemajuan il-
mu kedigjayaan mu selama
ini!"
"Aku hanya melindungi
seorang gadis yang baru
berduka cita karena kematian seorang pemuda yang
dicintainya, walau bagaimanapun
aku takkan biarkan
kau meminta nyawanya!"
berkata Kelabang Wungu
dengan suara datar.
"Kelabang Wungu! cukuplah!
jangan putar lidah di
depanku! Aku atau kau yang
sampai hari ini masih bi-
sa bernapas! Mari bertarung
denganku sampai 1000
jurus!" membentak Ki
Bogota.
"Atau kau memang mau
mengangkangi Pedang Pu-
sakaku yang dicuri anak bengal
ini?" berkata Ki Bogota
dengan wajah geram menatap pada
Randu Wangi. Lalu
beralih pada Kelabang Wungu
dengan mendelik tajam.
"Hm, segala Pedang Pusaka
aku tak tahu menahu,
akan tetapi yang jelas aku akan
menerima tantangan-
mu untuk berduel denganku!
Akupun sudah lama in-
gin merasai kehebatan ilmu silat
Ketua Partai Lereng
Merapi yang kabarnya ilmu
silatnya semakin hebat!"
ujar Kelabang Wungu dengan
tandas.
Ki Bogota tak banyak bicara
lagi. Sepasang lengan-
nya telah terangkat untuk segera
lancarkan serangan
dahsyat mengarah ke dada dan
satu lagi berputar un-
tuk selanjutnya menghantam
kepala Kelabang Wungu.
Akan tetapi Kelabang Wungu sudah maklum den-
gan kehebatan lawan. Dengan
membentak keras sepa-
sang tinjunya digunakan
menangkis serangan baru-
san, dengan menggunakan tenaga
dalam yang telah
diperhitungkan.
Terdengar suara BUK! BAK! BHESS!
Asap putih membumbung ke udara
akibat benturan
kedua tenaga dalam mereka. Ki
Bogota terhuyung ke
belakang sejauh satu tombak. Dan
Kelabang Wungu
terlempar keras. Tubuhnya
menghantam batu besar
dibelakangnya. Akibat dari
beradunya dua pukulan
bertenaga dalam tinggi telah
mengakibatkan Kelabang
Wungu harus menanggung resiko
cukup besar. Karena
Ki Bogota telah mempergunakan
jurus terhebat dari
Lereng Merapi. Yaitu jurus Dewa
Kawah Merapi. Jurus
ini mengandung hawa panas
seperti panasnya kawah
gunung Berapi. Beruntunglah bagi
Kelabang Wungu
yang telah mengandalkan pukulan
berhawa dingin
hingga rasa panas yang bersarang
ditubuhnya agak
berkurang. Namun tak urung dia
sempat kelojotan, se-
saat setelah tubuhnya beradu
dengan batu besar dan
merasai kesakitan yang membuat
dia menyeringai.
"Jurusku ini bisa
menghantar nyawamu keliang
kubur, Kelabang Wungu! Kuharap
kau tak sesalkan
aku. Karena kau menghalangi niat
serta urusan priba-
diku antara ayah dan anak!"
berkata Ki Bogota dengan
suara parau.
"Heh! siapa takut dengan
segala jurusmu? Walau
yang kau pergunakan adalah ilmu
setan sekalipun,
aku tiada gentar secuilpun.
Hidup matiku sudah ada
yang mengatur! Akan tetapi aku
tak bisa tinggal diam
untuk membiarkan kau membunuh
anak gadismu!"
***
2
Keparat! kalau begitu akan
kuhantarkan nyawa ka-
lian berdua ke Akhirat!"
Menggembor marah Ki Bogota.
Dan selanjutnya sudah mencabut
senjatanya. Yaitu
sebuah keris bersinar hijau.
Kelabang Wungupun ce-
pat mencabut senjatanya
dipinggang. Sementara diam-
diam dia tersentak kaget ketika
melihat keris bersinar
hijau di tangan Ki Bogota. Keris
itu mengeluarkan ha-
wa dingin berbau amis.
"Hahaha, tampaknya kau
terkejut melihat keris ini
ditanganku! bukankah begitu,
sobat? heh! ketahuilah!
Senjata ini baru saja selesai
pembuatannya yang diker-
jakan oleh seorang Empu ternama
di Kadipaten Jom-
bang. Justru baru sekali ini aku
mempergunakan. Dan
untuk kedua kalinya korban yang
akan dihirup darah-
nya oleh si Kyai Nogo Ijo ini
adalah darahmu!" berkata
Ki Bogota dengan tertawa
menyeringai.
"Kyai Nogo Ijo?" desis
Kelabang Wungu, tanpa sadar
kakinya melangkah mundur satu
tindak. "Aku seperti
pernah mendengar nama itu...?
tapi dimanakah?" ber-
kata Kelabang Wungu dalam hati.
Adapun Randu Wangi dengan hati
kebat-kebit me-
nyaksikan kedua orang yang siap
mengadu jiwa itu.
Melihat keris di tangan ayahnya,
Wajah Randu Wangi
seketika pucat pias.
"Pastilah itu keris pusaka. Ternya-
ta selain memiliki Pedang
Pusaka, ayah memiliki juga
sebuah Keris Pusaka yang bernama
Kyai Nogo Ijo...!"
desis Randu Wangi dengan mata
membelalak.
Tanpa terasa gadis ini meraba
hulu pedangnya.
Akan tetapi pada saat itu sinar
hijau berkelebat ke
arahnya dengan amat cepat sekali. Hawa dingin ber-
bau amis bersyiur di hidungnya.
Belum lagi dia tersa-
dar apa yang akan terjadi dengan
dirinya, tahu-tahu
kepalanya terasa pusing luar
biasa. Dan dengan men-
geluh pendek, gadis ini
terhuyung roboh.
"Apa yang telah kau lakukan
dengan gadis itu, tua
bangka? Aku akan adu jiwa
denganmu!" membentak
Kelabang Wungu dengan suara
menggeledek. Selan-
jutnya laki-laki tua ini telah
menerjang hebat dengan
senjatanya. Kelabang Wungu cuma
melihat gerakan
tak terduga Ki Bogota yang
kibaskan keris pusaka di
tangannya didepan hidung Randu
Wangi. Selanjutnya
gadis itu roboh. Dan tampak Ki
Bogota berdiri tegak.
Di tangannya telah tercekal
pedang milik gadis itu.
Serangan Kelabang Wungu yang
tiba-tiba jadi kalap
karena dia mengira si kakek edan
itu telah membunuh
Randu Wangi. Kelabang Wungu
menerjang dengan
kemarahan meluap.
Tambang baja yang menyerupai
kelabang itu me-
luncur deras ke arah Ki Bogota.
Tapi dengan tangkas
Ki Bogota telah menangkis dengan
kedua senjata pu-
sakanya. Kilatan-kilatan sinar
hijau dan jingga berke-
lebatan diiringi
benturan-benturan keras yang memer-
cikkan lelatu api.
Terkesiap kelabang Wungu ketika
beberapa kali
benturan terjadi, senjatanya
terpotong putus hingga
beberapa bagian. Dalam kagetnya
dia telah melompat
mundur. "Gila!? pedang dan
keris pusaka itu benar-
benar luar biasa!" memaki
Kelabang Wungu dalam ha-
ti. "Dan... bau amis keris
pusaka Kyai Nogo Ijo itu
membuat kepalaku jadi
pusing." desis Kelabang Wun-
gu dalam kagetnya. Tiba-tiba dia
segera teringat gu-
runya pernah menyebut nama Kyai
Nogo Ijo. NOGO
IJO adalah nama seorang Empu
ternama pada bebera-
pa puluh tahun yang silam. Dia
seorang ahli pembuat
keris yang ternama di wilayah
Tenggara.
Akan tetapi Kelabang Wungu tak
dapat berpikir le-
bih banyak, karena saat itu juga
tubuhnya terhuyung
hampir jatuh. Rasa berat di
kepalanya yang diaki-
batkan dari terendusnya bau amis
dari keris bernama
Kyai Nogo Ijo membuat Kelabang
Wungu tak dapat
mengkonsentrasikan panca
indranya lagi. Hingga keti-
ka sambaran keris dan pedang Ki
Bogota yang dilan-
carkan dengan secepat kilat,
Kelabang Wungu tak
mampu mengelakkan diri.
Jeritan parau mengoyak udara.
Disertai robohnya
tubuh Kelabang Wungu menggoser
di tanah dengan
berkelojotan. Keris Kyai Nogo
Ijo bersarang tepat di
jantungnya. Dan pedang Pusaka Ki
Bogota menghun-
jam amblas menembus perut sampai
menembus ke
punggung.
Dari luka yang berada ditubuhnya
mengalir darah
kental berwarna hitam. Dan
sungguh amat mengeri-
kan. Karena sekujur tubuh
Kelabang Wungu telah be-
rubah menjadi kehijauan.
Ternyata keris Kyai Nogo Ijo
mengandung racun luar biasa
ganasnya. Dalam waktu
sekejapan saja Kelabang Wungu
sudah tak berkutik
lagi. Nyawanya telah melayang.
Cepat sekali Ki Bogota gunakan
kesempatan untuk
menyambar tubuh Randu Wangi
ketika didengarnya
dikejauhan suara orang berteriak.
"Ki Bogota! kemanapun kau
lari jangan harap lolos
dari tanganku!" Dan disaat
tubuh ki Bogota berkelebat
lenyap. sesosok tubuh kakek
bertubuh kurus bagaikan
sebatang galah, telah berada
ditempat itu. Suara inja-
kan kakinya hampir-hampir tak menimbulkan
suara.
"Sialan! aku kalah cepat.
Kukira dia baru saja ang-
kat kaki dari tempat ini. Dan...
keris Kyai Nogo Ijo te-
lah meminta korban!"
menggumam kakek ini dengan
wajah menampakkan kekecewaan.
Saat itu seorang la-
ki-laki berusia 40 tahun lebih
tampak berlari-lari
menghampiri tempat itu. Begitu
melihat kakek kurus
bertubuh bagai galah ini dia
segera menjura hormat,
seraya berucap.
"Guru! selamat datang di
pesanggrahan Kelabang
Wungu..." Akan tetapi
tiba-tiba wajah laki-laki ini be-
rubah pucat bagai kertas ketika
melihat sosok tubuh
Kelabang Wungu yang telah tak
berkutik lagi terkapar
berlumuran darah, tak jauh dari
kakek kurus itu ber-
diri.
"Kakang Kelabang Wungu...!
Hah!? apakah yang te-
lah terjadi?" teriaknya
seraya melompat menghampiri
mayat ketua perguruan Kelabang
Wungu itu.
"Siapakah pembunuhnya?
katakanlah, guru! hu-
tang jiwa harus dibayar jiwa.
Kami baru saja menga-
lami musibah yang amat luar
biasa ditempat kami. Ki-
ni telah datang lagi musibah
kedua. Kakang Kelabang
Wungu tewas dengan amat
mengerikan begini! Oh,
apakah ini awal dari kehancuran
perguruan kami?"
Wajah laki-laki ini menampilkan
kesedihan dan rasa
terkejut yang amat luar biasa.
Dia memandang dan
menatap tajam-tajam pada kakek
kurus jubah putih
yang penuh tambalan itu dengan
harapan dia dapat
memberikan penjelasan.
Kakek tua ini cuma menghela
napas sambil menge-
lus jenggotnya yang cuma
sejumput. Tampak sebuah
balutan pada salah satu jari
tangannya yang putus.
"Gembong Singo! aku baru
saja menjumpai saudara
seperguruanmu ini dalam keadaan
tewas ditempat ini.
Aku tak bisa memastikan siapa
yang telah membu-
nuhnya. Akan tetapi dugaanku
adalah perbuatan Ki
BOGOTA!"
Gembong Singo adalah adik
seperguruan kelabang
Wungu. Selesai melakukan tugas
segera kembali ke
pesanggrahan untuk memberi
laporan. Karena tak di-
jumpai kakak seperguruannya
berada di pesanggrahan
dia segera memastikan kalau
Kelabang Wungu berada
ditempat pemakaman Shinduro.
Jenazah Shinduro
yang murid dari Partai Perguruan
Lereng Merapi itu
memang dikuburkan secara
terpisah di sebelah utara
pesanggrahan.
Ketika itulah dia melihat
seorang kakek berjubah
putih bertambalan berjalan cepat
seperti mencari jejak
seseorang. Segera dia mengenali
kalau kakek itu ada-
lah gurunya.
Ketika dia berhasil menyusul,
dijumpai sang guru
tengah berdiri tegak didepan
sesosok tubuh yang ter-
kapar di tanah. Ternyata sosok
tubuh Kelabang Wun-
gu, sang kakak seperguruannya
yang telah menjadi
mayat.
GEMBONG SINGO duduk di hadapan
kakek tua ku-
rus berjubah penuh tambalan.
Dialah yang berjulukan
si Dewa Pengemis Tangan Seribu.
Nama sebenarnya
adalah REKSO MANDIRI. Kakek
kurus ini dapat ditak-
sir usianya sekitar delapan
puluh tahun.
"Ketahuilah olehmu, Gembong
Singo. Di Jombang
ada seorang Empu, ahli membuat senjata. Dia telah
menyimpan keris Kyai Nogo Ijo
sejak lebih dari 10 Ta-
hun lamanya Keris titipan itu
memang milik Kyai Nogo
Ijo, gurunya sendiri. Ketika
mendengar berita kemun-
culan Sukma KALA WRENGGI, aku
bergegas kesana.
Tujuanku adalah untuk meminjam
keris pusaka itu.
Akan tetapi ternyata aku
terlambat datang. Empu San-
tri Bubulen telah tewas dengan
keadaan menyedihkan.
Menurut berita yang kuselidiki,
ternyata dua hari bela-
kangan telah datang seorang
kakek bertubuh tinggi
besar. Kakek itu mengatakan
bahwa dia adalah ketua
Partai Perguruan Lereng Merapi.
Segera aku tahu ka-
lau dia itu adalah Ki Bogota.
Manusia itu telah membawa
seorang bocah perem-
puan bernama Randu Wangi sejak
masih berusia 10
tahun. Bocah perempuan itu saat
ini telah menjadi
dewasa dan dianggap anaknya
sendiri oleh Ki Bogota.
Ternyata Ki Bogota telah
menjanjikan akan mengemba-
likan sang cucu Empu Santri
Bubulen itu kelak, bila
sang Empu berhasil membuatkan
sebuah keris yang
mirip dengan keris Kyai Nogo
Ijo.
Empu itu memang telah berdusta
dengan mengata-
kan bahwa keris milik KyAi Nogo
Ijo gurunya telah hi-
lang. Untuk membuat keris pusaka
senilai dengan ke-
ris KYAI NOGO IJO ternyata
membutuhkan waktu la-
ma. Yaitu mencapai waktu tujuh
atau delapan tahun.
Empu yang tak memiliki Ilmu
kepandaian dalam
persilatan itu tak mau
memberikan keris pusaka Kyai
Nogo Ijo pada Ki Bogota, dan
menyatakan keris pusaka
itu telah hilang. Dengan
mengatakan bahwa dalam
membuat keris senilai itu
membutuhkan waktu lama,
dia menduga Ki Bogota pasti
takkan sabar menung-
gunya. Akan tetapi Ki Bogota
telah menyandera cucu
perempuan Empu Santri Bubulen
itu, bernama
RANDU WANGI..." tutur kakek
kurus berjulukan si
Dewa Pengemis Tangan Seribu.
Gembong Singo men-
dengarkan dengan penuh
perhatian.
"Lalu bagaimana
selanjutnya, guru...?" bertanya
Gembong Singo.
"Ya, terpaksa Empu itu
bekerja keras siang malam
untuk membuat keris Kyai Nogo
Ijo yang baru. Sebe-
narnya dalam waktu satu tahun
dia telah berhasil
membuat keris Kyai Nogo Ijo
tiruan. Akan tetapi berda-
sarkan perjanjian, sang Empu
harus bersabar me-
nunggu sampai Ki Bogota
mengantarkan cucu perem-
puannya ke tempat kediamannya.
Dapat dibayangkan
betapa menderitanya Empu Santri
Bubulen. Dengan
sabar dia menanti dan menanti!
Delapan tahun sudah
dia menanti kembalinya cucu
perempuannya dengan
sabar, namun penantian yang
memakan waktu lama
itu telah membuat sang Empu
menanam bibit dendam
pada Ki Bogota. Dia telah
merendam keris tiruan Kyai
Nogo Ijo dengan racun yang amat
dahsyat. Dia telah
siap menanti kedatangan Ki
Bogota, dan menyambut
kedatangan cucu perempuannya
dengan membunuh
Ki Bogota dengan keris pusaka
tiruan itu kelak.
Akan tetapi setelah Ki Bogota
muncul, ternyata Em-
pu tua yang malang itu justru
tewas di tangan Ki Bogo-
ta oleh keris pusaka tiruan itu
sendiri..."
Demikianlah, Rekso Mandiri alias
si Dewa Pengemis
Tangan Seribu mengakhiri
penuturannya. Dengan me-
lihat mayat si Kelabang Wungu
muridnya itu, si Dewa
Pengemis Tangan seribu yakin
kalau yang membu-
nuhnya adalah Ki Bogota sendiri.
Adapun dia telah mendengar
sebelumnya tentang
kejadian di pesanggrahan
Kelabang Wungu yang telah
membawa banyak korban dari
anak-anak buah mu-
ridnya itu. Dari Jombang setelah
mendengar penutu-
ran istri Empu Santri Bubulen,
segera bergegas menu-
ju ke tempat kediaman perguruan
Kelabang Wungu.
Diperjalanan Ki Rekso Mandiri
melihat sekelebatan
bayangan orang berlari cepat.
Dia segera mengejar, ka-
rena ingin tahu siapa adanya
orang tersebut. Segera
dia mengenali orang itu adalah
Ki Bogota, yang justru
tengah dicarinya. Kakek tua
tokoh Rimba Persilatan
golongan putih itu amat khawatir
keris pusaka tiruan
Kyai Nogo Ijo itu akan banyak
membawa malapetaka
yang telah diketahui berada di
tangan Ki Bogota.
Ternyata dia tak mampu berbuat
banyak dengan
keris beracun di tangan ketua
Partai Lereng Merapi itu.
Upayanya untuk merebut kembali keris tiruan Kyai
Nogo Ijo mengalami kegagalan. Ki
Rekso Mandiri sem-
pat bertarung beberapa jurus
dengan Ki Bogota. Dalam
pertarungan itu Ki Rekso Mandiri
terluka jari tangan-
nya kena goresan keris pusaka
tiruan Kyai Nogo Ijo.
Terpaksa kakek tua ini memapas putus sebuah jari
tangannya untuk menghindari
menjalarnya racun. Se-
dangkan Ki Bogota dalam
kesempatan itu segera mele-
nyapkan diri dengan berkelebat
cepat.
Rekso Mandiri alias si Dewa
Pengemis Tangan Seri-
bu akhirnya menjumpai si
Kelabang Wungu yang telah
tewas dengan kulit tubuh berubah
hijau serta dua lu-
ka besar di dada dan perutnya.
Gembong Singo tertunduk menatap
lantai. Air ma-
tanya jatuh menetes. Sesaat
terbayang lagi wajah si
Kelabang Wungu saat kemarin dia
masih bisa berca-
kap-cakap. Tak nyana kalau hari
ini Kelabang Wungu
akan menemui ajal di tangan KI
Bogota, dan baru saja
selesai penguburan jenazahnya.
Ketika hari menjelang senja, Ki
Rekso Mandiri baru
saja berkelebat pergi
meninggalkan pesanggrahan Per-
guruan Kelabang Wungu yang
semakin sunyi. "Akupun
tak dapat berdiam lebih lama di
tempat ini!" gumam
Gembong Singo. Selang sesaat.
Gembong Singopun se-
gera meninggalkan tempat yang
dirasakan semakin
sunyi itu.
Perguruan Kelabang Wungu memang
telah punah
tak dapat dipungkiri lagi...
***
3
GINANJAR baru saja duduk
melepaskan lelah sete-
lah selama tiga hari melakukan
perjalanan. Pemuda
yang berasal dari lereng Gunung
ROGO JEMBANGAN
ini terkejut mendengar suara
teriakan seorang wanita
tak jauh dari tempat dia
beristirahat.
"He? apakah yang telah
terjadi?" pikir pemuda ber-
pakaian sederhana ini. Tubuhnya
berkelebat ke balik
rumpun bambu di sisi tebing itu. Dari arah rumpun
bambu itulah terdengar suara
teriakan wanita tadi.
Membelalak mata pemuda ini
ketika melihat seekor
harimau belang akan menerkam
seorang gadis yang
menjerit-jerit ketakutan.
"Harimau keparat!"
membentak Ginanjar. Tubuhnya
melesat, dan siap mengirimkan
hantaman kepalan
tangan nya ke tengkuk harimau
itu. Akan tetapi pada
saat itu si raja hutan ini telah
balikkan tubuhnya. Se-
perti seekor harimau yang telah
terlatih, binatang ini
menyurut mundur, Terpaksa
Ginanjar batalkan seran-
gannya. Namun di luar dugaan
justru harimau itu me-
lakukan terjangan hebat.
Kuku-kukunya yang runcing
siap menerkam dengan mulut yang
menganga menam-
pakkan taringnya.
Serangan ganas ini mungkin tak
dapat lolos kalau
yang diserangnya adalah seorang
manusia biasa yang
tak berkepandaian. Ginanjar
mengegos ke samping ki-
ri, sementara lengannya
membarengi menghantam ke-
pala harimau itu dengan
pukulannya.
BUK!
Terkejut pemuda ini karena
tangannya seperti
menghantam kapas yang amat lunak
sekali. Dan ha-
rimau itu seperti tak merasakan
apa-apa. Dengan
menggeram harimau belang ini
balikkan tubuhnya.
Mulutnya menyeringai
menyeramkan. Tiba-tiba bina-
tang ini kembali menerjang
Ginanjar. Kali ini Ginanjar
tak membuang kesempatan lagi
untuk segera membu-
nuh harimau itu. Segera dia
siapkan pukulan men-
gandung tenaga dalam yang telah
di tambahnya bebe-
rapa kali lipat.
BUK! BUK! BUK!
Tiga serangan beruntun
dilancarkan pemuda ini.
Akibatnya memang cukup lumayan. Harimau itu ter-
lempar bergulingan. Ginanjar
ternyata tak memberinya
peluang sedikitpun Untuk
binatang itu kembali menye-
rang. Beberapa hantaman telak
lagi yang dilancarkan
pemuda itu telah membuat sang
harimau belang itu
meraung. Akan tetapi terkejut
Ginanjar, karena bina-
tang itu lenyap sirna.
"Aneh!? apakah binatang itu
sebangsa siluman?"
gumam Ginanjar dengan suara
berdesis dan mata
membelalak. Tak sempat lagi
pemuda ini memikirkan
kemisteriusan harimau kejadian
itu karena sudah ter-
dengar suara dibelakangnya.
"Terimakasih atas perto-
longan anda, sobat pendekar..."
Ternyata suara gadis
itu, yang dengan tersenyum
segera melangkah meng-
hampiri. Ginanjar mengangguk.
"Siapakah nona? men-
gapa berada ditempat ini seorang
diri?" tanya Ginanjar.
Sementara mata pemuda ini
memperhatikan wajah
serta pakaian gadis dihadapannya.
Wanita muda ini
mengenakan pakaian
warna hijau yang menying-
kapkan sebagian pahanya.
Rambutnya dikepang dua.
Wajahnya boleh dikatakan cantik,
dengan kulit yang
putih.
Berdebar juga hati Ginanjar
karena sikap gadis ini
amat manja, juga agak genit.
Langkahnya seperti di-
buat-buat ketika berjalan
menghampirinya. Bahkan
langsung memegang tangan si
pemuda yang jadi seper-
ti terkesima memandangnya.
"Namaku RINJANI. Aku
tersesat ditempat ini ketika
mencari adikku." berkata
sang dara cantik ini. "Berun-
tung anda telah datang menolong,
kalau tidak ada an-
da mungkin aku sudah jadi mangsa
di perut harimau
tadi."
"Mencari adikmu? berapa
usianya adikmu itu? laki-
laki atau perempuan?" tanya
Ginanjar semakin terhe-
ran.
"Adikku, laki-laki. Usianya
sekitar dua puluh tahun
lebih.." sahut wanita ini
dengan menatap pada Ginan-
jar serta berikan kerlingan mata
yang genit.
"Oooh...?" terkejut
pemuda ini, tapi dengan menatap
heran.
"Dia seorang pemuda?"
tanya Ginanjar, seraya me-
nepiskan lengan gadis itu dengan
pura-pura mengga-
ruk kepalanya, tapi juga dengan
semakin keheranan.
Gadis bernama Rinjani itu
mengangguk,
"Benar! apakah anda merasa
aneh?" tanyanya.
"Tentu saja. Kau sendiri
kukira baru berusia sekitar
delapan belas tahun. Tapi kau
mengatakan adikmu
yang laki-laki sudah berusia dua
puluhan tahun!" sa-
hut Ginanjar. Rinjani tertawa
mengikik geli. "Hihihi....
kau katakan usiaku sekitar
delapan belas tahun? Ke-
tahuilah sobat pendekar. Usiaku saat
ini sudah hampir
empat puluh tahun!" berkata
si gadis baju hijau itu.
"Dan adikku yang hilang itu
bukanlah adik kan-
dungku! Melainkan adik yang
bertemu diperjalanan...!"
"Huh! kata-katamu melantur!
Baiklah! Ini kau su-
dah selamat dari bahaya. Aku
akan meneruskan perja-
lananku." ujar Ginanjar,
seraya balikkan tubuh dan
segera melangkah beberapa
tindak. Pemuda ini mulai
merasa kalau wanita dihadapannya
itu bukanlah wani-
ta biasa. Juga merasakan sesuatu
yang aneh dengan
sikap serta ucapan gadis itu.
"Eh, tunggu dulu! Mengapa
anda harus terburu-
buru? Kau belum sebutkan siapa
namamu" berkata
Rinjani. Dan sekali gerakkan
tubuh telah berada di sisi
Ginanjar. "Hm, apakah
namaku pun kau perlu menge-
tahuinya?" balik bertanya
Ginanjar.
"Ehm, perlu juga!"
sahut si gadis. Kau telah mena-
nyakan namaku, dan aku tak
segan-segan memberita-
hu. Mengapa kau tampaknya
keberatan sekali membe-
ritahukan namamu?"
"Oh, eh.. ya, ya! baiklah!
namaku Ginanjar!" nah
cukup bukan? Maaf, aku tak dapat
berlama-lama be-
rada ditempat ini!" Selesai
berkata, Ginanjar segera
berkelebat dari tempat itu. Akan tetapi baru saja ka-
kinya melayang di udara, pemuda
ini merasai samba-
ran angin dibelakangnya.
Ternyata itulah sambaran
angin yang terbit dari gerakan
tangan si wanita cantik
yang telah menjulur ke arah
punggung.
Gerakan yang mempunyai pengaruh
tenaga dalam
itu membuat Ginanjar terkejut.
Karena tubuhnya telah
kembali terbetot ke belakang.
Belum lagi dia sempat
bertindak menghindar, tahu-tahu
gadis baju hijau itu
telah gerakkan dua jari
tangannya untuk menotok.
Ginanjar cuma mampu mengeluh,
dan seketika me-
rasa kaki tangannya berubah
kaku. Saat selanjutnya
dia sudah terkulai dalam pelukan
wanita itu.
"Hihihi... kau telah
datang, mengapa mau pergi be-
gitu saja? Sungguh sayang jika
pemuda segagahmu
disia-siakan." Berkata
demikian, lengan si wanita telah
menyambar sehelai sapu tangan
dari balik pakaiannya
Dan Ginanjar cuma bisa melotot
ketika hidungnya di-
bekap dengan sapu tangan yang
berbau harum. Akan
tetap selanjutnya dia sudah tak
sadarkan diri.
Dengan tertawa mengikik, wanita
genit berbaju hi-
jau itu berkelebat cepat dari tempat itu, dengan
me-
mondong tubuh Ginanjar di
pundaknya. Ternyata ga-
dis yang kelihatannya tak
berkepandaian apa-apa itu
mempunyai ilmu yang tinggi.
Bahkan sekaligus telah
mempecundangi pemuda yang
menolongnya.
***
4
Kakek tua renta bergelar Siluman
Setan belang itu
terkekeh-kekeh melihat seorang
wanita muda berbaju
hijau yang memondong tubuh
laki-laki di pundaknya
telah berada dihadapannya.
"Heheheh... Rinjani! apakah
kau masih belum puas
dengan dua jejaka yang kemarin
menginap di kamar
mu?" berkata kakek tua ini.
Wanita ini tersenyum lalu
menjawab. "Mungkin yang ini
agak memuaskan hati-
ku, Datuk!" Selesai
menjawab. Rinjani segera melang-
kah cepat menuju ruangan dalam
dengan melalui pin-
tu di sisi kiri ruangan Keraton
kuno itu. Akan tetapi
suara si kakek berjubah hitam
ini terdengar lagi.
"Tunggu! Tak kuizinkan kau
memasuki ruangan itu
dengan keadaan tubuhmu seperti
itu. Apakah kau
memang sengaja mau melanggar
tata-susila di tem-
patku ini?"
Wanita baju hijau itu berandek
menahan langkah,
"Oh, maafkan aku datuk!
Sekali aku tak berniat me-
langgarnya. Aku terlalu tergesa
hingga lupa kalau aku
tak boleh menggunakan ujud
manusia memasuki
ruangan Keraton." Wanita
itu cepat turunkan pemuda
yang dipondongnya ke lantai. Selanjutnya dia telah
merobah ujudnya menjadi seekor
harimau belang. Tak
lama harimau itu dengan cepat
segera menyeret kor-
bannya memasuki ruangan itu.
Kakek tua kurus berjubah hitam
ini tersenyum
manggut-manggut. Matanya menatap
ke pintu ruan-
gan dimana harimau belang
jelmaan dari Rinjani itu
lenyap. Bibir kakek tua-renta
bergerak keluarkan sua-
ra desisan perlahan dari
mulutnya.
"Hm, kuberi kau kepuasan
hingga sampai saatnya
aku memerlukan darah mu,
Rinjani!" Kakek jubah hi-
tam ini bangkit berdiri dari
tempat duduknya. Lalu me-
langkah keluar dari ruang pendopo
Keraton. Di pintu
pendopo dia memutar pandangannya
ke sekitar hala-
man Keraton tua. Tampaknya di
sekitar halaman Kera-
ton kuno itu tak kelihatan
apa-apa. Tapi sebenarnya
puluhan ekor harimau jejadian
simpang siur ditempat
itu yang cuma bisa terlihat oleh
pandangan mata ba-
tin.
"Heh! hari ini adalah hari
ketiga dimana si Roro
Centil menjanjikan akan datang
kemari untuk membe-
ri jawaban atas lamaranku!
Sampai sore ini tak keliha-
tan batang hidungnya, apakah dia
tak menepati janji!"
gumam kakek yang disebut Datuk
ini.
Baru saja si Datuk Siluman Setan
Belang Selesai
menggumam, terdengar suara
tertawa dikejauhan. Su-
ara tertawa seorang wanita yang
nyaring merdu. Siapa
lagi yang datang kalau bukan
RORO CENTIL Dan se-
saat manusianya sudah berdiri
tegak tak jauh dari ha-
laman pendopo Keraton kuno.
"Hihihi... hihi... sobat
siluman tua Setan Belang!
aku telah datang. Mengapa kau
tak memberi sambu-
tan atas kedatanganku?"
Suara Roro yang berkuman-
dang merdu itu membuat para
harimau jejadian jadi
terkejut, dan serentak
menampakkan diri.
Roro Centil yang memang telah
mengetahui adanya
puluhan harimau jejadian
ditempat itu dengan pan-
dangan mata batinnya, tentu saja
tak terkejut melihat
puluhan harimau yang telah menampakkan
diri.
"Hahahah... selamat datang
nona Roro Centil. Si-
lahkan masuk. Kau benar-benar
seorang pendekar se-
jati yang menepat
janjinya!" Datuk siluman Setan Be-
lang segera menyambut dengan
tertawa terbahak-
bahak. Tiba-tiba tubuhnya lenyap sirna. Dan sekejap
kemudian dia telah merubah
dirinya menjadi seorang
pemuda tampan yang berusia
sekitar dua puluh tahun
lebih. Lengannya terangkat
memberi isyarat agar para
anak buahnya segera menyingkir
pergi. Harimau-
harimau jejadian itu sekejapan
segera lenyap kembali.
Bahkan segera menyingkir dari
tempat itu menurutkan
perintah sang Datuk.
Roro melangkah santai tanpa
mengkhawatirkan
sesuatu yang bisa mencelakakan
dirinya oleh jebakan
Datuk. Sesaat mereka sudah duduk
berhadapan di
ruangan itu. Di atas meja
terbuat dari marmer terda-
pat sebuah pedupaan yang masih
mengepulkan asap
berbau harum.
"Tentu kedatangan nona
Pendekar Roro Centil ada-
lah dengan membawa kabar
gembira, bukan?" memu-
lai berkata si "pemuda"
samaran Datuk Siluman Setan
Belang. Roro tersenyum.
"Tentu saja! aku memang
membawa khabar gembi-
ra, Datuk Muda. Kau membuat aku
kagum dengan ke-
tampanan wajahmu!"
Roro memuji. Akan tetapi mata
batinnya melihat
wajah si Datuk yang tetap tua
keriput dan jelek.
"Hahaha, sudah kukatakan,
tak nantinya kalau kau
takkan terpikat. Dengan menjadi
permaisuri ku di ke-
raton ku, kau dapat meminta apa
saja. Bahkan meru-
bah keraton ini menjadi Keraton
Emaspun aku masih
sanggup!" ujar sang Datuk.
Wajahnya berseri-seri me-
nandakan suka hatinya.
"Nah berikanlah jawabanmu,
cah ayu..." Ujar Datuk
muda Siluman Setan Belang itu
dengan memandang
Roro seperti tak berkedip.
Bahkan beberapa kali si Da-
tuk menelan air liurnya. Roro
Centil tersenyum, lalu
jawabnya dengan suara datar.
"Baiklah! Nah, dengarlah
baik-baik, Datuk muda
yang gagah. Aku bersedia menjadi
permaisuri mu,
akan tetapi bisakah kau memenuhi
syaratnya?"
"Hm, syarat apakah yang
akan kau berikan pada-
ku?" Datuk siluman Setan
Belang kerutkan keningnya.
"Kalau syarat itu tidak
terlalu berat, aku pasti sanggup
memenuhinya!" ucapnya
tandas.
"Baik! Syarat yang ku
ajukan adalah syarat yang ti-
dak terlalu berat. Kukira bagi
manusia sakti seperti
kau, tentu akan dapat
mengerjakannya dengan mu-
dah. Nah, syarat itu
adalah..." Roro bangkit berdiri.
"Mampukah kau masuk ke
dalam bumbung bambu
ini?" ujar Roro seraya
keluarkan sebuah bumbung
bambu sebesar lengan bayi dan
meletakkannya di atas
meja. Bumbung bambu itu
panjangnya cuma sejengkal
tangan orang dewasa. Datuk
Siluman Setan Belang
menatap bumbung bambu itu dengan
heran.
"Apakah kau mau menguji
kesaktianku?" berkata si
Datuk.
"Boleh saja kau anggap
demikian. Apakah kau tak
sanggup?" ujar Roro dengan tersenyum
seperti juga
mengejek.
Tentu saja membuat si Datuk
sakti ini tersenyum
dan selanjutnya sudah mengumbar
tertawanya berka-
kakan.
"Kalau cuma itu, bagiku
adalah soal yang kecil. Ma-
suk ke lobang semut pun aku
masih sanggup!" ucap
Datuk Siluman Setan Belang. Dan
selesai berkata, tu-
buh Datuk Siluman Setan Belang
berubah ujud men-
jadi segumpal asap putih tipis.
Asap itu mengecil, lalu
meluncur masuk ke dalam bumbung
bambu yang be-
rada di atas meja itu.
Sesaat setelah asap itu lenyap
di dalam bumbung
bambu, tiba-tiba secepat kilat
Roro Centil telah gerak-
kan tangannya untuk menyumbatnya
dengan sumbat
yang memang telah disediakan.
"Hihihi... Datuk muda yang
gagah. Silahkan kau
mendekam di dalam bumbung Bambu
ini. Ternyata
kau seorang yang sakti, tapi
tolol!" Roro Centil tertawa
mengikik geli. Selanjutnya
dengan cepat dia sudah
memasukkan bumbung bambu itu ke
dalam saku ba-
junya.
Akan tetapi saat itu terdengar
suara tertawa terke-
keh-kekeh di belakang Roro.
"Heheheh... heheh... Kau
memang cerdik, Roro Cen-
til! Akan tetapi ketahuilah! aku
lebih cerdik lagi. Kau
kena dikelabuhi oleh ilmuku.
Yang masuk ke dalam
bumbung bambu itu cuma asap
ciptaanku saja, se-
dangkan aku yang sesungguhnya
masih tetap berada
di luar bumbung bambu mu itu.
Hahaha... hehehehe-
heh..."
Ketika Roro balikkan tubuh
segera terlihat si kakek
berjubah hitam alias Datuk
Siluman Setan Belang ten-
gah berdiri tegak menyandar di
tiang pendopo sambil
mengakak tertawa.
Tentu saja membuat Roro Centil
melengak, tapi juga
kagum akan kehebatan ilmu Datuk
itu.
Tiba-tiba sang Datuk acungkan
tongkatnya ke arah
Roro. Segumpal asap hitam
menyambar bergulung-
gulung. Roro kibaskan rambutnya
menghalau serbuan
asap hitam yang timbulkan hawa
dingin mencekam
itu. Sementara bibirnya mendesis. "Ilmu sihir hitam
apakah yang akan digunakannya
lagi?" Asap yang ber-
gulung-gulung itu buyar. Akan
tetapi tiba-tiba ratusan
kelelawar segera memenuhi
ruangan itu. Dengan suara
bercicitan, makhluk-makhluk itu
menyerbu Roro.
"Edan!? maki Roro Centil
dengan terperangah. Na-
mun tak ayal dia segera gunakan
kibasan-kibasan
rambutnya menghantam
makhluk- makhluk itu. Se-
mentara lengannya bergerak
menghantam dengan pu-
kulan Malaikat Gurun Pasir
merambah iblis. Hebat
akibatnya. Karena segera
kelelawar-kelelawar ciptaan
itu lenyap.
Akan tetapi asap lain tiba-tiba
muncul mengelilingi
Roro. Asap yang muncul ini
berwarna biru, yang beru-
bah bagaikan menjadi ribuan
benang-benang sutera.
Kali ini Roro Tak boleh
main-main untuk menghadapi
lawannya yang mempunyai ilmu
sihir hitam luar biasa.
Lagi-lagi pandangan mata Roro
tertipu, karena me-
nampak bayangan-bayangan tubuh
si Datuk Siluman
Setan Belang seperti menjadi
berpuluh-puluh. Roro
tampaknya agak terpengaruh
dengan pandangan mata
batinnya. Justru karena si Datuk
itu mengelabuhi
pandangan mata batin Roro.
Pandangan mata Roro jadi
berkunang-kurang, ka-
rena dimana dia melihat pasti
ada bayangan tubuh si
Datuk. Bahkan disekeliling Roro
terdengar suara ter-
tawa terkekeh-kekeh sang Datuk
sakti itu.
***
5
Sementara pertarungan Roro Centil dengan si Da-
tuk Siluman Setan Belang tengah
berlangsung seru,
kita beralih dulu pada pemuda
bernama Ginanjar,
yang telah menjadi tawanan
Rinjani.
Harimau belang penjelmaan dari
Rinjani itu terus
menyeret tubuh pemuda lereng
gunung rogojembangan
memasuki sebuah kamar yang
memang khusus kamar
pribadinya. Dalam keadaan
setengah sadar Ginanjar
merasakan pakaiannya melorot satu persatu dari tu-
buhnya. "Oh, dimanakah aku
ini?" berkata hati Ginan-
jar. Dia merasa tubuhnya
bertaring di atas kasur yang
empuk. Diam-diam dia mengintip
perlahan dengan
membuka kelopak matanya sedikit.
Segera dia tahu
kalau dirinya berada disatu
ruangan kamar yang ber-
sih. "Kamar siapakah?"
pikirnya dalam benak. Terkejut
dia mengetahui kalau tubuhnya
tak mengenakan pa-
kaian lagi. "Celaka, aku mau
diperkosa..." tersentak
pemuda itu, seraya gerakkan
tubuh untuk melompat
bangun. Akan tetapi sedikitpun
tubuhnya tak dapat
digerakkan Sadarlah dia kalau
dia dalam keadaan ter-
totok.
"Kemana perginya perempuan
sialan itu?" berdesis
Ginanjar, seraya bentangkan
kelopak matanya lebih
lebar. Ternyata memang Rinjani
yang menjelma men-
jadi seekor harimau belang itu
tak berada di ruangan
kamar itu. Kemanakah gerangan
perginya Rinjani?
Ternyata setelah membuka
pakaian pemuda itu dan
segera akan melampiaskan
keinginannya, dia menden-
gar suara orang bertempur di
ruangan depan. Dengan
kesal dia tinggalkan kamarnya
untuk segera melihat
apakah gerangan yang telah
terjadi...
Demikianlah, hingga ketika
tengah terjadi pertarun-
gan Roro Centil dengan sang
Datuk, diam-diam Rinjani
telah menyaksikan jalannya
pertarungan. Melihat sang
Datuk berada di atas angin dalam
pertarungan itu,
Rinjani tersenyum. "Hm,
agaknya tak berapa lama lagi
tentu Datuk akan menyudahi
pertarungan. Entah sia-
pa perempuan yang telah nekat
menyatroni Keraton
kuno ini" Rinjani
seperti telah menduga akan keme-
nangan sang Datuk dalam
pertarungan itu. Segera dia
beringsut untuk segera kembali
ke kamarnya.
GINANJAR cepat-cepat katupkan
kelopak matanya
ketika didengarnya derit pintu,
seekor harimau mema-
suki ruangan kamar itu.
"Hah...! harimau"
tersentak Ginanjar ketika baru
mengatupkan matanya.
"Kemana gerangan gadis sia-
lan itu? Apakah aku disekap di
kamar ini untuk dija-
dikan santapan harimau?"
pikir Ginanjar. Karena dia
menyangka yang masuk adalah
Rinjani. Ginanjar me-
mang tak mengetahui kalau
Rinjani telah merobah
ujud menjadi seekor harimau.
"Celaka aku! kalau begitu
harimau yang mau me-
nerkamnya di hutan tadi adalah
kawannya sendiri. Dia
cuma berpura-pura saja. Haiih
Ginanjar! kau telah ke-
na tipu mentah-mentah! Oh,
nasib...! Entah bagaima-
na selanjutnya nasibku...?"
berkata Ginanjar dalam
hati dan menyesali kebodohannya.
Akan tetapi diam-
diam pemuda ini kerahkan
kekuatan tenaga dalamnya
untuk melepaskan diri dari
pengaruh totokan. Yaitu
dengan menyalurkan hawa murni ke
sekujur persen-
dian tubuhnya.
Sementara sang harimau belang
itu telah mendekati
ke tempat pembaringan dimana Ginanjar terlentang
tanpa busana.
Sang harimau menatap Ginanjar
dengan mata ja-
lang dan menyeringai. Hidungnya
mengendus-endus
tak ubahnya bagai harimau
betulan. Terdengar suara
menggeramnya perlahan. Ginanjar
yang cuma bisa pa-
srah menanti apa yang akan
terjadi itu cuma bisa
mengintip dari celah pelupuk
matanya. Apakah yang
dilihatnya sungguh membuat
matanya mau dipentang
lebar-lebar. Sementara keringat
dingin telah mengem-
bun di sekujur
tubuh, jantungnya berdetak semakin
cepat. Ternyata harimau telah
melepaskan kulitnya.
Kulit berbulu belang-belang itu
seperti lenyap, dan se-
bagai gantinya didepan Ginanjar
telah berdiri tegak
seorang wanita yang tak lain dari Rinjani. Wanita ini
dalam keadaan telanjang bulat.
Kulit tubuhnya yang
putih. Payudara yang membuntal
padi serta tatapan
matanya yang mengandung berahi
memandang Ginan-
jar bagaikan mau menelannya
bulat-bulat.
Pemuda ini seperti melihat
didalam mimpi saja. Ha-
tinya tersentak kaget.
"Jadi... jadi harimau itu adalah
dia. terperangah pemuda ini.
Akan tetapi sebelum Rin-
jani sempat melaksanakan
maksudnya, tiba-tiba ter-
dengar bentakan keras. Rinjani
menjerit.
Tubuhnya tiba-tiba terlempar
dari atas pembarin-
gan. Ternyata sesosok bayangan
telah berkelebat ma-
suk ke ruangan kamar itu dan
dengan gerakan cepat
sekali telah menyambar rambut
Rinjani. Sekali sentak
terlemparlah wanita cabul itu
dari atas pembaringan.
Ginanjar cuma bisa membelalakkan
matanya, keti-
ka tahu-tahu siuran angin halus
membuat dia terkejut
juga bergirang karena segera
merasakan pengaruh to-
tokan ditubuhnya telah sirna. Tak ayal dia telah
me-
lompat bangun. Pertama-tama yang
disambarnya ada-
lah pakaiannya. Tentu saja tergesa-gesa Ginanjar
mengenakannya kembali. Sementara
Rinjani terkejut
bukan buatan karena ketika akan
melompat bangun
mendadak dia merasakan tubuhnya
menjadi kaku.
Ternyata dia dalam keadaan
tertotok.
Ginanjar tak sempat lagi melihat
siapa yang telah
menolongnya. Dia cuma menatap
sekilas pada wanita
cabul itu yang menggeletak
terlentang dilantai kamar.
Lalu tubuhnya telah berkelebat
keluar dari ruangan
kamar. "He? kemana gerangan
dia? Cepat sekali gera-
kannya. Aku tak sempat lagi
melihat jelas apakah si
penolongku itu laki-laki atau
perempuan?" bertanya-
tanya hati Ginanjar. Akan tetapi
begitu dia tiba di luar
pintu kamar, terdengar suara
dari balik tiang bangu-
nan.
"Kak NANJAR..! Kuharap kau
sudah rapi berpa-
kaian. Sudah bolehkah kita
bertatapan muka?" Ginan-
jar menoleh. Sesosok tubuh
berdiri membelakangi,
menyender ditiang bangunan.
Sosok tubuh berbaju
serba putih dengan pakaian persilatan. Walau ram-
butnya dipotong pendek, tapi
dari bentuk tubuh dan
suaranya jelas seorang wanita.
"Ya... yyaa... aku sudah
berpakaian". sahut Ginan-
jar tergagap. Diam-diam hatinya
tersentak karena se-
perti mengenali suaranya.
Sebutan "Kak NANJAR" itu
amat hapal ditelinganya.
Wanita pendekar yang
membelakanginya itu jelas
yang telah memberikan
pertolongan barusan. Ketika
wanita itu balikkan tubuh,
segera mata Ginanjar ter-
pentang lebar. Seongok senyum
tampak dibibir dara
baju putih berambut pendek itu.
"KASMINI...? ka...
kau...?"
"Benar kak Nanjar, aku
Kasmini, gadis yang pernah
kau tolong dari begundal- begundal pasar. Cucu dari
orang kakek tua renta tanpa
daksa yang mati di tan-
gan begundal pasar. Kemudian aku
kau bawa ke ru-
mah paman angkatmu bernama
RONGGO ALIT di Kota
Raja." berkata gadis baju
putih itu dengan tersenyum.
"Ah, Kasmini..! Kau selalu
mengingat-ingat masa
yang telah lalu itu" ujar
Ginanjar dengan garuk-garuk
kepala. "Bukan hal itu yang
aku tanyakan. Sekali me-
lihatmu, aku sudah langsung
ingat. Suaramu saja aku
sudah mengenal tanpa harus
melihatmu lagi. Tapi
yang ku anehkan adalah sejak
kapan kau belajar ilmu
silat? Dan... dan mengapa kau
bisa berada ditempat
ini? Bagaimana dengan paman
Ronggo Alit?"
Ginanjar langsung berikan
beberapa pertanyaan.
Sementara matanya menatap tak
berkedip.
Terasa aneh sekali, karena
Ginanjar tahu kalau
Kasmini adalah gadis yang tak
berkepandaian ilmu si-
lat sedikitpun.
Kasmini memang pernah
ditolongnya dari para be-
gundal pasar pada beberapa tahun
yang silam. Dia
berhasil memulangkan Kasmini
pada kakeknya yang
telah tua dan dalam keadaan
sakit. Seorang kakek tua
renta berkaki buntung yang
tinggal direruntuhan ge-
dung tua disudut pasar.
Akan tetapi Ginanjar harus
berhadapan dengan
EMPAT IBLIS PROGO. Dalam
pertarungan itu Ginanjar
telah dibantu oleh RORO CENTIL
yang berhasil mene-
waskan keempat penjahat
berkepandaian tinggi itu.
Baca: Empat Iblis Kali Progo.
(Kisah pertama dari
serial Roro Centil). Sebagai
diceritakan, Kasmini diba-
wa oleh Ginanjar ke rumah tempat
tinggalnya semen-
tara sejak dia turun gunung dari
lereng Rogojemban-
gan. Kasmini menetap digedung
Ronggo Alit, sahabat
gurunya yaitu si Pendekar
Bayangan Ki Bayu Sheta.
Sejak beberapa tahun yang lalu,
Ginanjar meninggal-
kan tempat kediaman paman
angkatnya, dan berpetu-
alang mencari Roro. Sungguh tak
dinyana, kalau di-
tempat itu dia bisa berjumpa
Kasmini. Gadis yang di-
pekerjakan oleh paman angkatnya
sebagai pelayan di
toko obat-obatan itu kini telah
berilmu tinggi. Siapa
yang telah memberikan ilmu
kedigjayaan pada gadis
ini? Apakah Ki Ronggo Alit?
Ginanjar jadi terlongong
memandang Kasmini yang telah
pula membebaskan
dia dari pengaruh totokan,
menolongnya dari perbua-
tan bejat Rinjani si manusia
harimau.
***
Emoticon