LIMA
SEBUAH gua berpintu lebar ditemukan
Pandu saat hampir mencapai puncak bukit.
Ada tiga pohon berjajar merapat di depan
pintu gua itu, sehingga keberadaannya tak
mudah dilihat orang dari luar. Pandu Pu-
ber clingak-clinguk dulu sebelum masuk ke
gua tersebut. Siapa tahu ada orang yang
menguntitnya dengan maksud jahat, maka
Pandu harus mengusir dulu orang itu.
"Kayaknya aman-aman saja kok," pi-
kir Pendekar Romantis itu. "Tapi benarkah
gua ini yang dimaksud Ken Warok? Ah,
iya...! Pasti gua ini yang dulunya sering
dipakai bertapa Ki Mangut Pedas. Buktinya
ada bekas jalan setapak menuju mulut gua,
walau agaknya jalan setapak itu sudah La-
ma tidak dilalui orang. Hmmm...! Sebaik-
nya kuperiksa saja gua ini, dan kucari
kitab itu di dalamnya. Jangan-jangan ma-
lah di dalam sudah ada Ken Warok dengan
orang yang menculiknya itu? Kalau begitu
aku harus hati-hati. Siapa tahu dapat se-
rangan mendadak dari dalam gua, bisa bo-
nyok wajahku nanti."
Dengan hati-hati Pandu Puber menyu-
suri lorong gua tersebut. Sebelum masuk
terlalu dalam, Pandu temukan tulisan pada
sebongkah batu besar dekat pintu masuk,
ditulis dengan menggunakan getah pohon
berwarna coklat. Tulisan itu berbunyi:
"Yang Tidak Berkepentingan Dilarang
Masuk."
Dalam hati si tampan bertato bunga
mawar itu membatin, "Kayaknya tulisan ini
dibuat sudah cukup lama. Mungkin mendiang
Ki Mangut Pedas yang menulisnya semasa ia
suka bertapa di sini. Dan..., berarti aku
boleh masuk dong, soalnya aku kan punya
kepentingan? O, ya... tapi menurut Ken
Warok, gua ini penuh dengan jebakan maut?
Hmm... kini aku harus lebih waspada ter-
hadap keadaan sekelilingku."
Dengan pelan dan sangat hati-hati
Pandu Puber melangkah lebih ke dalam la-
gi. Suasana di dalam gua itu cukup re-
mang-remang karena mendapat sisa bias si-
nar matahari dari mulut gua. Bahkan Pandu
Puber masih bisa membaca tulisan yang ada
di dinding gua sebelah kiri yang ber-
bunyi:
"Dilarang Kencing Di Sini."
Pandu sempat tersenyum, lalu meman-
dang ke arah anak panah yang menuju ke
bawah.
"Astaga...?!" Pandu melompat mundur
dengan kaget. Ternyata di bawah tulisan
itu ada seekor ular sebesar betis yang
sedang melingkar dengan menyembunyikan
kepalanya di balik badan. Pandu Puber
sempat berdebar-debar karena kaget dan
berkata membatin, "Lagian siapa yang be-
rani ngencingin ular itu? Minta dicaplok
'tombak keramatnya' apa?!"
Rupanya lorong gua tidak lurus. Lo-
rong itu membelok ke kiri. Tepat di sudut
tikungan terdapat tulisan lagi yang ber-
bunyi:
"Hati-hati Jalan Licin." serta tan-
da panah menunjukkan ke arah kiri.
"O, ternyata makin ke dalam kok se-
makin terang?" pikir Pandu Puber. "Ada
cahaya samar-samar dari mana ya? Lorong
ini ternyata nggak gelap. Malah lebih ge-
lap di dekat ular tadi."
Semakin ke dalam semakin terang su-
asananya. Tapi sinar terang yang ada di
situ menampakkan cahaya hijau muda. Pandu
Puber penasaran sekali, ingin mengetahui
sumber penerangan itu, sehingga langkah-
nya semakin dipercepat, ketajaman gerak-
nya ditingkatkan lagi, takut tahu-tahu
ada rombongan tombak menghujam dari arah
samping atau atas. Tapi ternyata memang
nggak ada apa-apa. Dan lorong itu terasa
semakin lebar, semakin berudara sejuk.
"Oh, ternyata cahaya terang ini da-
tangnya dari dinding gua?" batin Pandu
Puber. "Gila! Rupanya bebatuan yang men-
jadi dinding gua ini mengandung energi
cahaya, semakin gelap semakin terang,
Wah, dicongkel sedikit buat batu cincin
bagus nih?"
Memang dinding itu mengandung fos-
for. Keadaan gelap itulah yang membuat
unsur fosfor memancarkan sinar lebih te-
rang lagi. Pendekar Romantis memandangi
dinding itu dengan penuh perasaan heran
dan terkagum-kagum. Sambil tetap melang-
kah pelan, matanya memandang ke sana-sini
dengan mulut terbengong karena terpesona.
Bahkan sepasang mata wajah tampan itu
sempat membaca tulisan yang dipahatkan
pada dinding tersebut. Tulisan itu ber-
bunyi: "Harap Tenang". Di samping tulisan
itu ada pahatan huruf lain berbunyi: "Di-
larang Mengeluarkan Anggota Badan".
Pandu berpikir, "Apa maksudnya tu-
lisan-tulisan ini? Siapa penulis sebenar-
nya?"
Namun tiba-tiba langkah Pandu Puber
terhenti sejenak karena beberapa langkah
dari tulisan itu, ternyata lorong menjadi
dingin. Dingin sekali seperti berada di
dalam lorong gunung es. Tubuh Pandu Puber
menjadi menggigil, kedua tangan memeluk
tubuh sendiri. Hawa dingin yang dirasakan
itu seperti mau membekukan darah. Giginya
gemeretuk karena bergetar.
"Edan! Dinginnya bukan main? Pantas
di sana ada tulisan: 'Dilarang Mengelua-
rkan Anggota Badan', artinya nggak boleh
telanjang. Memangnya siapa sih yang mau
telanjang dalam udara sedingin in! kalau
bukan orang gila?"
Langkah Pandu diteruskan, semakin
jauh dari tulisan tadi semakin menggigil
tubuhnya. Bahkan ia sempat batuk satu
kali karena agak mengalami sesak napas.
Mungkin paru-parunya mau membeku.
"Uhuk...!"
Weerrr...!
"Lho, lorong ini bergetar?!" Pandu
mendelik tegang. Lorong memang bergetar.
Batuan di langit-langit lorong gemeretak,
menerbangkan serbuk tanah, seakan mau
runtuh. Pandu jadi ketakutan dan bermak-
sud keluar dari lorong itu. Tetapi geta-
ran dinding dan atap segera berhenti. Su-
asana menjadi tenang dan hening kembali.
"Ooo... rupanya dinding lorong ini
peka oleh suara? Ada suara keras sedikit
akan menimbulkan getaran yang mungkin bi-
sa sampai meruntuhkan atap lorong ini.
Pantas di sana tadi ada tulisan: 'Harap
Tenang', maksudnya kalau berisik bisa bi-
kin dinding lorong menjadi runtuh dan ja-
lanan ini tertutup reruntuhannya. Hmmm...
ya, ya... ternyata semua tulisan tadi ada
maknanya."
Kini lorong itu membelok ke kanan.
Dindingnya masih memancarkan cahaya fos-
for hijau muda bening. Tapi suhu udaranya
sudah tidak sedingin di lorong yang tadi.
Semakin melangkah ke dalam Pandu semakin
rasakan udara menjadi hangat, namun bukan
berarti gerah. Masih ada sisa kesejukan
yang nyaman di badan. Dan di dinding lo-
rong yang ukurannya lebih besar lagi dari
yang tadi itu terdapat tulisan juga yang
berbunyi: "Bayarlah Dengan Uang Pas.".
"Apa lagi maksud kalimat ini?" pi-
kir Pandu. "Ah, nggak usah dipikirkan se-
karang, nanti juga akan ketemu sendiri
jawabannya."
Langkah diteruskan, kira-kira men-
capai sepuluh langkah lebih, barulah kaki
Pandu berhenti. Matanya memandang ke arah
depan. Di sana ada ruangan luas bercahaya
hijau muda bening. Ruangan itu bagaikan
melebar ke kanan-kiri lorong, tapi dalam
jajaran lurus lorong itu ada juga lorong
kecil yang entah menuju ke mana, cahaya
dinding di sana juga masih hijau muda.
Sesuatu yang membuat mata Pendekar
Romantis tidak berkedip adalah keadaan di
dalam ruangan lebar berlangit-langit agak
tinggi itu. Di ruangan tersebut ada kolam
berair bening memancarkan cahaya merah
sirup. Segar sekali kelihatannya. Kolam
itu bertepian batu-batu tak beraturan,
tapi tersusun rapi, seakan ada yang me-
nyusunnya. Tepatnya, kolam itu ada di se-
belah kanan Pandu. Sedangkan di sebelah
kiri Pandu, ada sesuatu yang kian membuat
mata Pandu kian lebar.
Sebuah batu berbentuk lingkaran
dengan tinggi sebatas lutut mempunyai
permukaan yang datar. Batu itu terletak
di sudut. Batu itu juga memancarkan ca-
haya fosfor hijau bening. Yang membuat
mata Pandu terpukau bukan karena keinda-
han batu itu, namun adanya sesosok tubuh
yang duduk bersila di atas batu tersebut.
Orang yang duduk diatas batu itu
mempunyai rambut panjang sepinggang ku-
rang, diriap tanpa ikatan apa-apa. Rambut
itu tampaknya lembut dan halus, hitam
mengkilat namun bukan berminyak. Pemilik
rambut itu adalah seorang perempuan ber-
paras aduhai cantiknya. Bentuk wajahnya
oval, sesuai dengan hidungnya yang man-
cung. Bibirnya sedikit agak tebal, tapi
merangsang. Seakan bibir itu mengundang
minat Untuk melumatnya.
Perempuan itu mengenakan pakaian
model jubah panjang warna orange. Terbuat
dari kain tipis transparan dengan model
bagian dalam bertali-tali. Masing-masing
tali berkain sehingga jubah itu mempunyai
bagian depan yang tertutup. Memang tidak
begitu rapat sih, tapi setidaknya tidak
terbuka ngablak. Karena tipisnya kain
orange tersebut, maka apa yang ada di ba-
lik jubah itu terlihat membayang. Perem-
puan itu hanya memakai jubah tersebut
tanpa pelapis apa-apa lagi. Tak heran ka-
lau bagian dalamnya tampak mirip perawan
dalam kelambu.
Pandu mendekat pelan-pelan setelah
menarik napas untuk meredakan emosi ge-
masnya. Semakin dekat semakin terlihat
jelas bahwa perempuan itu mempunyai kulit
kuning, tangannya berbulu lembut samar-
samar, menantang minat untuk mengelusnya
penuh gairah. Kukunya panjang, tapi in-
dah, walaupun tajam. Pada saat itu perem-
puan yang berusia sekitar tiga puluh ta-
hun itu sedang memejamkan mata.
"Ooo... dia lagi semadi," kata Pan-
du dalam hatinya. "Tapi alangkah cantik-
nya dia? Tubuhnya yang mulus itu tidak
kurus, tidak gemuk, tapi sekal. Padat dan
hangat kelihatannya. Wow, alangkah asyik-
nya tenggelam dalam pelukan perempuan se-
perti dia?"
Tiba-tiba perempuan itu membuka ma-
tanya. Byak...!
"Macan, Mack!" gumam Pandu dalam
hati lagi, karena mata itu begitu indah
dan penuh daya tarik untuk bercumbu. Mata
itu termasuk lebar juga sih, tapi tidak
sebesar jengkol. Bentuknya indah, punya
bulu mata lentik. Dan caranya memandang
sungguh mendebarkan hati setiap lelaki,
karena mata itu sedikit sayu. Seolah-olah
dia adalah type wanita yang merindukan
kehangatan seorang lelaki.
Pendekar Romantis sempat grogi se-
bentar ketika dipandangi oleh perempuan
tersebut. Namun setelah menelan napas dua
kali, ia mampu mengatasi dirinya walaupun
debar-debar dalam dadanya masih bergemu-
ruh, penuh harapan untuk mendekat. Hara-
pan itu pun terbukti; perempuan tersebut
sunggingkan senyum tipis, seakan suatu
kekuatan magnit yang menyedot tubuh Pandu
hingga melangkah mendekatinya. Dalam ja-
rak tiga langkah di depan perempuan ter-
sebut, Pandu hentikan langkah. Matanya
masih belum mau berkedip karena keelokan
di balik kain tipis itu terlihat lebih
jelas lagi.
"Apa maksudmu datang kemari meng-
ganggu bertapaku, Anak Muda?" sapa si pe-
rempuan berbibir sensual dengan suara se-
rak-serak basah kuyup, seakan rintihan
malam yang merangsang gairah lelaki.
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud
mengganggu bertapamu. Aku tidak tahu ka-
lau kau sedang bertapa, Nyonya."
"Jangan panggil aku Nyonya, aku ti-
dak tahu artinya. Panggil saja namaku:
Dewi Selimut Malam."
Rupanya dia perempuan yang murah
senyum. Habis ngomong begitu saja lang-
sung tersenyum. Dan senyumnya itu memang
indah. Pantas buat pajangan di dalam kaca
buffet.
"Namamu indah sekali," kata Pandu
ketika Dewi Selimut Malam turun dari tem-
pat duduknya.
"Barangkali namamu juga indah, Anak
muda. Siapakah namamu sebenarnya, Nak?"
"Namaku Pandu Puber, Tante."
"Oh, nama yang bagus sekali untuk
pribadiku. Kau memang masih tampak puber,
sesuai dengan ketampanan wajahmu dan,
ooh... kau punya tato di dadamu. Alangkah
indahnya tato itu. Boleh aku memegang-
nya?"
"Apa yang ingin kau pegang?"
"Tatomu itu."
"Silakan pegang, asal yang lainnya
jangan disentuh."
"Maksudmu?"
"Mataku jangan disentuh, nanti ke-
colok." Pandu sengaja menggoda dalam can-
da, ternyata perempuan cantik yang menga-
ku Dewi Selimut Malam itu bisa diajak
bercanda. Tawanya pelan, serak, seperti
orang malas-malasan baru bangun tidur.
Tangan berjari lentik dengan kuku
panjang segera meraba dada Pandu Puber.
Mata sayunya menatapi tato bunga mawar di
dada Pendekar Romantis. Saat itu, ter-
ciumlah aroma harum cendana bercampur
bunga melati dari tubuh Dewi Selimut Ma-
lam. Aroma harum yang lembut itu mulai
membangkitkan daya khayal kemesraan Pandu
Puber. Pemuda itu gelisah, namun ditutup-
tutupi dengan ucapan yang lirih.
"Apakah kau menyukai tatoku ini?"
"Sangat suka" jawabnya mirip orang
merengek. "Setahuku hanya satu orang yang
punya tato bunga mawar seperti ini," kata
Dewi Selimut Malam lagi.
"Apakah ada orang selain aku yang
bertato seperti ini?" tanya Pandu.
"Ada. Aku pernah menemuinya dalam
semadiku. Tapi dia mengaku anak dewa yang
bergelar Pendekar Romantis."
Pandu Puber agak kaget, lalu berka-
ta, "Akulah Pendekar Romantis."
"O, ya?" dengan mata sayu ia mena-
tap Pandu, tapi tangannya masih meraba-
raba dada bertato itu. "Jika benar kau
Pendekar Romantis, berarti kau bisa lebih
romantis lagi dari saat ini, bukan?"
Pandu sedikit menyimpan kecurigaan
melihat senyum menantang sang wanita.
"Jangan-jangan dia calon istriku; Dian
Ayu Dayen? Hmmm... coba ku kecup kening-
nya, kalau memang dia adalah Dian Ayu
Dayen, maka dia akan berubah jika ku ke-
cup keningnya."
Tanpa permisi sedikit pun, tahu-
tahu Pandu nyelonongkan mulutnya dan ken-
ing itu pun dikecupnya, cuup...! Setelah
itu kepalanya buru-buru ditarik mundur
dan tegak kembali.
Perempuan itu terperangah girang,
mengusap-usap keningnya dengan mata me-
mandang sayu pada Pandu.
"Kau curang. Aku belum siap. Ulan-
gi!"
Pandu hanya tersenyum menawan. Tapi
hatinya membatin, "Sialan! Dia tetap be-
gini, berarti dia bukan Dian Ayu Dayen.
Tapi... oh, mata dan suaranya sungguh
menggugah semangatku untuk bertarung da-
lam kelembutan. Wah, bagaimana ini kalau
sampai aku yang celeng sendiri terhadap-
nya? Jangan sampai, ah! Sebagai seorang
pendekar, aku tak boleh mudah jatuh cin-
ta. Tapi kalau kepepet gimana? Yaah...
jatuh sedikit nggak apa-apalah!"
Dewi Selimut Malam tertawa lirih,
"Jatuh banyak juga nggak apa-apa," ka-
tanya, dan Pandu terperanjat. Ia segera
sadar bahwa perempuan cantik punya dada
menantang itu ternyata bisa mendengar su-
ara batin seseorang. Itu berarti Dewi Se-
limut Malam punya ilmu cukup tinggi. Pan-
du Puber akhirnya putuskan diri untuk ti-
dak bicara sembarangan walau di dalam ha-
ti.
"Santailah, jangan tegang-tegang!"
kata Dewi Selimut Malam. "Anggap saja gua
ini adalah tempat tinggalmu sendiri."
"Berapa lama kau bertapa di sini?"
Pandu memandangi keadaan sekeliling, yang
kosong tanpa perabot apa pun itu. Dewi
Selimut Malam menjawab dengan mata ikut
memandangi sekeliling juga.
"Aku melakukan semadi di sini baru
empat puluh tahun."
"Ah, yang benar?!"
"Swear! Aku nggak bohong."
"Kok kamu masih semuda ini? Kok ma-
sih secantik ini?"
"Aku bertapa sejak berusia dua pu-
luh delapan tahun. Berarti sekarang usia-
ku sebenarnya sudah enam puluh delapan
tahun. Berkat sering cuci muka dan mandi
pakai air kolam itu, kecantikanku tak
mengalami perubahan."
"Ooo...." Pandu manggut-manggut
sambil pandangi air kolam warna sirup me-
rah segar itu.
"Perputaran waktu di dalam gua ini
dengan di luar gua berbeda sekali. Di
luar gua waktu berputar dengan cepat, se-
dangkan di dalam gua ini waktu nyaris ti-
dak berputar. Jadi siapa yang ada di da-
lam gua ini akan awet muda, kalau waktu
masuk ke sini dia memang berusia muda.
Kalau sudah tua ya tetap saja tua. Tapi
kalau mau rajin cuci muka dengan air ko-
lam itu, maka ketuaannya akan luntur dan
menjadi cantik jelita. Makanya air kolam
itu dinamakan: 'Keringat Bidadari'. Pen-
gawet kecantikan."
Pandu segera terbayang calon is-
trinya yang berstatus seorang bidadari
tulen dari kayangan. Hati Pandu pun mem-
batin, "Kalau begitu gua ini pasti ada
hubungannya dengan Dian Ayu Dayen. Apa-
kah... apakah Dewi Selimut Malam mengenal
nama itu, ya?"
Tiba-tiba Dewi Selimut Malam berka-
ta, "Tidak, aku tidak mengenalnya. Siapa
itu Dian Ayu Dayen?"
Pandu nyengir bingung, tapi akhir-
nya menjawab juga, "Dia adalah Bidadari
Penguasa Kecantikan."
"O, kalau begitu dialah yang berge-
lar: Ratu Ayu Sejagat. Beliau memang Pen-
guasa Kecantikan"
"Mungkin saja itu memang gelarnya.
Tapi aku mengenal nama pribadinya: Dian
Ayu Dayen."
"Apakah kau kenal dekat dengannya?"
"Bagaimana dengan dirimu? Apakah
kenal dekat dengannya?" Pandu balas ber-
tanya sebelum menjawab, karena ia ingin
tahu siapa sebenarnya Dewi Selimut Malam
itu.
"Aku adalah abdinya, tugasku menja-
ga Kolam Keringat Bidadari itu."
Pandu memandang dengan dahi berke-
rut dan mulai mundur sedikit menjauh, ka-
rena ia jadi tak enak hati jika mau ma-
cam-macam sama perempuan itu, sebab pe-
rempuan itu adalah pembantunya Dian Ayu
Dayen. Kelak jika Pandu sudah menikah
dengan bidadari itu, maka Dewi Selimut
Malam akan menjadi abdinya juga. Malu
dong kalau harus bikin skandal dengan ca-
lon pelayannya sendiri?
"Menyesal sekali aku ketemu dia.
Ternyata dia pelayan calon istriku. Men-
dingan ketemu perempuan lain saja, jadi
aku kalau mau ini itu nggak malu," pikir
Pandu, dan ternyata pikiran itu pun ter-
baca oleh Dewi Selimut Malam.
"Kalau memang mau ini-itu, aku
nggak akan lapor sama atasanku kok. Itu
kan rahasia pribadi kita sendiri," se-
nyumnya makin menggoda.
Pandu cengar-cengir malu sendiri.
Pandu segera alihkan bicara dengan ber-
tanya,
"Apakah kau juga warga kayangan?"
"Tidak," jawab Dewi Selimut Malam
sambil dekati Pandu. "Dulu, ketika aku
berusia dua puluhan aku seorang pelacur.
Pada suatu hari aku kena penyakit yang
tak bisa disembuhkan karena belum ada ob-
atnya, namanya penyakit 'DIA'."
"Apa itu penyakit 'DIA'?" tanya
Pandu merasa aneh.
"'DIA' adalah singakatan dari
'Dalam Incaran Akherat'."
"Aneh juga namanya."
"Memang dalam waktu dekat kalau aku
nggak segera berobat, penyakit 'DIA' da-
pat merenggut nyawaku dan memindahkan
nyawaku ke akherat. Maka aku segera cari
obat ke sana-sini, sampai akhirnya kute-
mukan gua ini dalam keadaan hampir putus
asa. Lalu aku bertapa di sini untuk memo-
hon kesembuhan kepada sang Dewata. Tapi
aku segera ditemui oleh Gusti Ratu Ayu
Sejagat."
"Lalu apa yang dilakukannya terha-
dap penyakitmu itu?"
"Tentu saja aku diobati tanpa ope-
rasi. Aku bisa sembuh asal aku mau menja-
di pelayannya yang bertugas menjaga Kolam
Keringat Bidadari. Pada mulanya aku tak
sanggup, karena secara jujur kukatakan
kepada beliau, bahwa aku wanita normal
yang masih butuh santapan batin, masih
butuh cinta dan kehangatan lelaki, jadi
aku butuh waktu untuk pergi berpetualang
dalam cinta. Tetapi beliau bilang, bahwa
aku akan mendapat kepuasan batin sendiri
walau tetap berada di dalam gua ini den-
gan cara, setiap lelaki yang masuk gua
ini boleh menjadi pelayan cintaku sepuas
hatiku. Tapi tak boleh menahannya apabila
lelaki itu ingin pergi."
"Sudah ada berapa lelaki yang masuk
gua ini?"
"Baru kau. Selama empat puluh tahun
bertapa, baru kau orang yang masuk gua
ini."
"Gawat!"
"Nggak apa-apa kok. Aku nggak ter-
lalu buas," bisiknya malu-malu dengan su-
ara serak menggelitik gairah.
"Tapi kenapa kau melakukan bertapa
padahal penyakitmu sudah sembuh?"
"Gusti Ratu Ayu Sejagat menyuruhku
bertapa selama empat puluh tahun untuk
mendapatkan ilmu kesaktian yang hebat.
Setelah empat puluh tahun, masa bertapaku
akan berhenti sendiri dengan alasan apa
saja. Ternyata alasan yang ada adalah ke-
datanganmu kemari."
Pandu Puber manggut-manggut walau
hatinya berdebar-debar antara indah dan
pasrah. Sementara itu benaknya masih ber-
kecamuk di luar kesadarannya. "Pantas di
sana tadi ada tulisan: 'Bayarlah Dengan
Uang Pas', mungkin karena dia bekas pela-
cur jadi harapan masa lalunya masih ter-
bawa sampai sekarang."
Kecamuk benak Pandu didengar Dewi
Selimut Malam, dan perempuan cantik itu
tertawa kecil seraya berkata, "Ya, memang
aku yang menulis kata-kata di dinding lo-
rong sana. Itu kulakukan sebelum ada pe-
rintah bertapa selama empat puluh tahun."
"Aku tak memasalahkan hal itu," ka-
ta Pandu mengalihkan anggapan si perem-
puan cantik itu. "Yang kupikirkan adalah
kesalahanku. Ternyata aku salah masuk
gua. Yang kucari adalah gua tempat berta-
pa seorang tokoh tua bernama Ki Mangut
Pedas."
"O, gua itu ada di sebelah sana.
Memang masih satu jurusan dengan gua ini,
tapi Ki Mangut Pedas tidak pernah masuk
kemari. Dia hanya diam di sebelah sela-
tan, lewat lorong tembus yang kecil itu.
Dia memang bekas tetanggaku di sini. Tapi
dia bukan ketua RT-nya. Akulah ketua per-
tapa di sekitar sini."
"Jadi..., kau juga mengerti kalau
Ki Mangut Pedas sembunyikan Kitab Panca
Longok di guanya sana?"
"Tentu saja aku mengerti. Tapi ki-
tab itu sudah diambil oleh cucunya yang
bernama Ken Warok."
"Hahh...?!" Pandu terkejut. Ia mu-
lai bingung.
"Baru beberapa waktu yang lalu ki-
tab itu diambil, karena dipaksa oleh seo-
rang utusan dari Ratu Cadar Jenazah."
"Celaka! Jadi, sekarang kitab itu
di mana?"
"Ya, di sana! Di tangannya Ratu Ca-
dar Jenazah!"
"Kalau begitu aku harus menyusul ke
sana dan merampas kitab yang akan mem-
buatnya menjadi tokoh paling sesat itu!"
"Kau tak akan bisa keluar dari gua
ini, Pandu!"
"Kenapa?"
"Pintu gua kututup dengan kekuatan
batinku. Tak akan ada yang bisa membu-
kanya kecuali aku sendiri."
"Kalau begitu, bukalah sekarang ju-
ga. Aku akan pergi sekarang juga."
"Untuk membuka pintu gua harus me-
makai kunci. Dan kunci itu ada di antara
kedua kakiku. Ambillah dengan kemesraan-
mu, Pandu."
"Wah, kacau nih!"
ENAM
SEPERTI apa yang dikatakan Dewi Se-
limut Malam, perputaran waktu di dalam
gua dan di luar gua sangat berbeda. Pandu
Puber sangat terkejut ketika keluar dari
gua dan turun ke kaki bukit berpapasan
dengan Belati Binal. Hal yang membuat
Pandu terkejut adalah keadaan gadis pela-
cak yang penuh luka sekujur tubuhnya. Lu-
ka parah diderita Belati Binal, mengaki-
batkan gadis itu hanya mampu duduk terku-
lai di tanah bersandar batang pohon. Lu-
ka-luka seperti bekas pukulan tenaga da-
lam dan goresan senjata tajam sudah mulai
membusuk.
Ketika Pandu Puber tiba di situ,
Belati Binal dalam keadaan nyaris kehabi-
san napas. Matanya bengkak sebelah, yang
satu bisa dibuka tapi kecil sekali. Hati
Pandu Puber menjadi iba, sehingga ia bu-
ru-buru menolongnya.
"Apa yang terjadi, Belati Binar?"
Gadis itu tak bisa menjawab. Bibir-
nya pecah dan luka memborok. Tak ada ke-
cantikan lagi di wajah Belati Binal. Ia
tak sanggup menggerakkan bibirnya untuk
bicara, tapi matanya yang sebelah meman-
dang kecil seakan penuh permohonan ban-
tuan. Satu-satunya kalimat yang bisa di-
dengar Pandu dengan cara mendekatkan te-
linga ke mulut gadis itu adalah pernya-
taan kepasrahannya.
"Sempurnakanlah kematianku."
"Tidak. Kau tidak boleh mati sebe-
lum menjelaskan padaku apa yang terjadi
padamu dan siapa lawan yang membuatmu
sampai begini!" tegas Pandu Puber.
Pendekar Romantis segera pergunakan
jurus 'Hawa Bening'nya, salah satu jurus
yang hanya dimiliki keturunan campuran
antara darah dewa dan darah jin itu ber-
guna untuk penyembuhan. Kekuatan jurus
itu sangat tinggi, sehingga bisa dikata-
kan sebagai jurus penyembuhan yang cukup
sakti.
Dengan satu sentakan tangan kanan-
nya, jari tengah Pandu mengeras lurus dan
dari ujung jari itu melesat sinar putih
bening seperti kaca. Sinar itu menghantam
pertengahan dada Belati Binal. Clapp...!
Dess...! Lebih dari lima helaan napas si-
nar bening mirip kaca itu dibiarkan meng-
hantam tubuh Belati Binal.
Beberapa saat kemudian, tampak ku-
lit tubuh yang terluka itu bergerak-
gerak. Dari berubah warnanya sampai gera-
kannya membentuk kesatuan seperti semula.
Sedikit demi sedikit luka yang ada menu-
tup kembali. Belati Binal sendiri mulai
rasakan hawa sejuk yang menjarah sekujur
tubuhnya, menyirnakan rasa sakit yang ta-
di nyaris tak mampu dikuasai sedikit pun.
Wuuut...! Tiba-tiba sekelebat
bayangan melintas di sisi lain. Ekor mata
Pandu melihat kelebatan bayangan itu dan
hatinya menjadi curiga. "Jangan-jangan
dia orang yang membuat gadis pelacak ini
terluka separah tadi?! Kejar, ah!"
Zlappp...! Pandu Puber mengejar
bayangan yang berkelebat itu. Jurus
'Angin Jantan' dipergunakan untuk men-
gungguli kecepatan gerak orang yang dike-
jarnya. Dalam beberapa waktu, Pandu sudah
mencapai jalanan yang akan dilalui orang
tersebut. Dengan sikap menghadang, berdi-
ri tegak merenggang kokoh, Pandu Puber
berhasil membuat bayangan yang berkelebat
itu berhenti dan terkejut memandangnya.
Orang yang dihadang Pandu adalah
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh
tahun lebih, rambutnya panjang sepundak
warna abu-abu, sama seperti kumisnya yang
menempel di bawah hidung besar dari wajah
berkesan bengis. Lelaki itu memakai pa-
kaian surjan bergaris-garis. Bagian kan-
cingnya tidak ditutupnya sehingga tampak
dada dan perutnya yang berkulit hitam.
Orang berbadan agak kurus itu mengenakan
celana hitam yang dilapisi kain batik
warna putih dengan sabuk besarnya warna
hitam pula. Di depan perutnya terselip
sebilah keris bergagang kuning dari gad-
ing.
Orang yang memakai blangkon berias
rantai emas itu menatap Pandu Puber penuh
sikap permusuhan. Pandu Puber sendiri me-
nampakkan sikap sedikit keras, karena da-
lam hatinya timbul keyakinan kuat bahwa
orang itulah yang membuat Belati Binal
babak belur nyaris jadi bubur itu. Pandu
sengaja membiarkan orang itu menyapa le-
bih dulu.
"Siapa kau, Anak Muda?!"
"Pandu Puber namaku!"
"Ooo... ya, ya," orang itu mengang-
guk-angguk dengan sikap sombong. "Rupanya
kaulah yang bergelar Pendekar Romantis
itu!"
"Benar! Apakah kau juga punya gelar
yang sama, Pak Tua?" tanya Pandu dengan
nada serius, tanpa cengar-cengir.
"Aku tidak butuh gelar pendekar.
Itu gelar yang layak disandang orang ber-
jiwa kerdil saja," sindirnya dengan si-
nis. "Kalau kau ingin mengenalku; akulah
yang berjuluk si Dalang Setan dari Pergu-
ruan Tanduk Singa!"
"O, jadi kau gurunya si Dupa Dulang
itu?!"
"Benar!" jawabnya tegas, seakan cu-
kup bangga dengan dirinya yang dikenal
sebagai guru itu.
"Kau mencari Kitab Panca Longok?"
"Tak salah lagi! Tapi yang utama
aku mencari orang yang telah membuat Dupa
Dulang muridku itu terluka racun dan mati
tepat di depanku!"
Pandu kerutkan dahi. "Apakah kau
menyangka aku pelakunya?"
"Tidak. Pelakunya adalah murid si
Cemara Langit. Dan aku sudah membalaskan
sakit hatiku atas kematian Dupa Dulang
itu. Gadis liar itu sengaja kubuat mati
perlahan-lahan supaya bisa rasakan pemba-
lasanku. Sekarang yang kucari adalah se-
buah gua tempat penyimpanan Kitab Panca
Longok. Menurut pengakuan Dupa Dulang se-
belum hembuskan napas terakhir, ia men-
dengar percakapan Ken Warok dengan diri-
mu, Pendekar Romantis. Dan pada waktu ia
bertarung dengan Belati Binal, kau diam-
diam menghilang, melarikan diri dari per-
tarungan itu. Pasti kau lebih dulu sampai
di gua tersebut dan mengambil kitab itu,
bukan?!"
"Bukan!" jawab Pandu cepat seenak-
nya saja. "Kitab itu tidak ada padaku!"
"Aku harus memaksa membuktikannya
dengan pertarungan kita di sini, sekarang
juga!"
"Kalau kau menghendaki, aku hanya
sekadar melayani kehendakmu saja, Dalang
Setan!"
"Heaaat...!" Dalang Setan mengawali
serangannya dengan ganas, sepertinya tak
mau membuang-buang waktu sedikit pun. Ia
melayang bagaikan singa terbang dan siap
menerkam mangsanya. Tapi kecepatan gera-
kannya itu masih bisa diimbangi oleh Pan-
du Puber dengan gerakan lompat ke atas
dan memutar tubuh dengan cepat.
Wuut...! Prokk...!
Rupanya kaki Pendekar Romantis ber-
gerak menendang pada saat tubuh berputar
tegak. Gerakan kaki yang menendang kuat
itu mengenai kedua tangan lawan. Kedua
tangan itu menghantam wajahnya sendiri.
Tapi karena tendangan tersebut bertenaga
dalam tinggi, maka tak aneh lagi jika tu-
buh Dalang Setan terpelanting ke samping
dan jatuh terbanting seenaknya. Bruss...!
"Orang ini perlu kuhajar saja, tak
harus dimusnahkan. Aku hanya ingin memba-
las perlakuannya yang keji terhadap Bela-
ti Binal," pikir Pandu dalam melangkah ke
samping menunggu si Dalang Setan bangkit
lagi.
Apa yang dilakukan oleh Dalang Se-
tan sungguh aneh bagi Pandu Puber. Orang
itu segera bangkit dari jatuhnya, tapi
tidak langsung berdiri melainkan duduk
bersila. Matanya terpejam sebentar, kedua
tangannya bergerak kerahkan tenaga dari
atas ke bawah dengan menggenggam, lalu
seperti memasukkan sesuatu ke dalam da-
danya melalui tangan yang menggenggam
itu. Lalu, mata Dalang Setan terbuka,
byaak...! Mata itu menjadi putih semua,
tanpa manik mata yang berwarna hitam itu.
Setelah matanya menjadi putih polos
tanpa tato sedikit pun, tubuh yang duduk
bersila itu tiba-tiba melesat terbang me-
nerjang Pandu Puber. Kecepatan terbangnya
begitu tinggi sehingga Pandu yang terpe-
ranjat tak sempat menghindar, dan dadanya
terkena hantaman kedua tangan Dalang Se-
tan yang mengandalkan telapak tangannya
itu. Buhkk. buhk...!
"Aahg...!"Pandu Puber terpental ke
belakang lebih dari lima langkah dan ja-
tuh terkapar dengan keras. Bruss...! Se-
mak-semak menjadi tempat jatuhnya Pandu
Puber. Pemuda itu menyeringai menahan ra-
sa sakit di dadanya.
"Ayo, majulah kalau kau masih sang-
gup menandingi Raden Gatotkaca ini, Bocah
ingusan!" suara Dalang Setan berubah agak
besar, mirip suara satria Pringgandani
yang dikenal di dunia pewayangan bernama
Raden Gatotkaca itu.
Pandu Puber bangkit dengan heran
dan menahan napas. Untuk sejenak ia, pan-
dangi lawannya yang berdiri dengan posisi
seperti sosok wayang berperan Raden Ga-
totkaca. Napas yang mengandung hawa murni
disalurkan pelan-pelan memenuhi bagian
dadanya. Dada yang terasa panas dan remuk
itu berangsur-angsur menjadi sehat kemba-
li.
Tapi Pendekar Romantis terpaksa me-
nahan tawa setelah ia melihat apa yang
dilakukan oleh lawannya. "Rupanya dia me-
manggil roh tokoh pewayangan yang bernama
Raden Gatotkaca?! Aneh juga jurusnya itu.
Dia seperti sosok Raden Gatotkaca yang
berotot kawat, bertulang besi itu. Pantas
kalau kedua pukulan tangannya seperti ba-
ja menghantam dadaku. Pantas juga kalau
dia mampu terbang dari posisi duduknya
tadi. Gila! Agaknya lawanku kali ini ada-
lah lawan yang punya kekuatan aneh."
Terdengar suara gagah berseru dari
jarak delapan langkah di depan Pandu,
"Bocah ingusan! Sebaiknya serahkan kitab
itu padaku supaya umurmu panjang, Nak!"
"Sudah kukatakan aku tidak membawa
kitab itu, kalau kau mau ambillah di...."
"Keparat, kau berani menentang
keinginan Raden Gatotkaca, hah?! Terima-
lah aji 'Teja Birawa' ini, heaah...!"
Wuttt...! Slapp...!
Sinar merah besar keluar dari tela-
pak tangan Dalang Setan. Begitu cepatnya
gerakan sinar merah itu, sehingga Pandu
Puber hampir saja menjadi sasaran empuk
kalau tak segera melompat ke udara lebih
tinggi dari sinar tersebut. Wuuttt...!
Blegarr...!
Dua pohon besar hancur seketika di-
hantam sinar merah itu, menjadi serpihan
kecil-kecil. Bumi pun bergetar saat sinar
merah tadi menghantam pohon dan timbulkan
ledakan dahsyat.
"Edan! Mungkin yang ia gunakan ada-
lah jurus sakti milik tokoh Raden Ga-
totkaca yang sebenarnya?!" pikir Pandu
Puber. Pikiran itu baru saja akan dilan-
jutkan, namun tiba-tiba tubuh Dalang Se-
tan telah melesat terbang menerjangnya.
Wuusss...!
"'Candradimuka'...!" teriaknya
menggema, dan dari kedua tangannya keluar
dua larik sinar merah sebesar bumbung
bambu. Woosss...!
Pendekar Romantis terpaksa bersalto
mundur dua kali, lalu segera melepaskan
jurus 'Sepasang Sayap Cinta' yang keluar
dari dua jarinya. Sepasang sinar merah
kecil melesat dari kedua jari kanan-kiri
yang disentakkan ke depan seperti melem-
parkan pisau. Clap, clap...! Blegarr,
blaarrr...!
Kiamat terjadi di alam sekeliling
mereka. Ledakan itu mengguncang pohon dan
bebatuan, membuat tanaman besar-besar
tumbang yang kecil hancur atau mengering
bagaikan dilanda lahar. Ledakan maha dah-
syat itu membuat langit menjadi berkabut
dan berlapis mendung tebal. Kilatan ca-
haya petir bagaikan ikut bersorak-sorai
dengan berlompatan dari mega ke mega.
Tubuh Dalang Setan, sang Gatotkaca
jelmaan itu, terlempar di udara dalam
keadaan berguling-guling. Tubuh itu ak-
hirnya menghantam batang pohon yang mir-
ing mau rubuh. Durrr...! Pohon itu pun
akhirnya benar-benar rubuh karena dihan-
tam tubuh Dalang Setan.
Pandu Puber terkapar sejak tadi.
Kini sedang berusaha bangkit dan menjadi
kaget melihat alam sekeliling rusak be-
rat. Gundukan tanah yang membukit menjadi
retak dan hutan sekitarnya bagaikan baru
saja dibabat habis oleh angin badai. Sam-
bil mengerahkan hawa murninya Pandu Puber
bangkit berdiri memandangi alam sekitar-
nya, sampai tiba ke suatu arah di mana
tubuh Dalang Setan mengerang kesakitan
sambil berusaha bangkit sempoyongan.
Wuutt...!
Ada yang datang dari belakang Pandu
Puber. Dengan gerakan penuh waspada Pandu
Puber berpaling.
"Oh, kau...?" ucapnya lirih sambil
hembuskan napas lega.
"Apa yang terjadi? Kudengar suara
ledakan dahsyat mengguncang bumi!"
"Cuma main-main kok," jawab Pandu
Puber mempertenang diri.
Orang yang datang itu tak lain ada-
lah si gadis pelacak; Belati Binal. Masih
saja seperti waktu itu, Belati Binal tam-
pil tanpa seulas senyum. Bahkan keadaan-
nya yang telah sembuh total bagaikan tak
pernah terluka sedikit pun itu memandang
ganas kepada tokoh sesat si Dalang Setan.
Mulutnya menjadi lancip karena menahan
benci.
"Setan itulah yang menghajarku dan
membuatku menderita selama satu minggu
terkapar di sana!"
"Satu minggu?!" Pandu Puber berke-
rut dahi dengan heran. Ingin rasanya ia
tanyakan hal itu lebih jelas lagi, tapi
Dalang Setan sudah lebih dulu serukan ka-
ta kepadanya,
"Ingat, Pandu Puber...! Ingat!" Da-
lang Setan sempoyongan. Sekujur tubuhnya
menjadi hangus. Kulit tubuh terkelupas
mengerikan. Tentunya bukan hanya perih,
namun juga sakit luar biasa. Ia seperti
mengalami luka bakar. Rupanya jurus
'Candradimuka' milik sang Gatotkaca itu
memantul balik menyerangnya ketika ber-
benturan dengan jurus Pendekar Romantis
yang bernama 'Sepasang Sayap Cinta' tadi.
Dalam keadaan parah itu ia berseru
kembali, "Kalau kau benar-benar pendekar
sakti, kutantang kau untuk bertarung den-
ganku di atas Jurang Karang Keranda, se-
puluh hari lagi! Kalau kau tak datang,
kau kuanggap banci dan tak layak menyan-
dang gelar pendekar lagi!"
"Setan! Jangan pergi dulu! Kau
punya perhitungan denganku!" teriak Bela-
ti Binal, lalu segera melompat mengejar
Dalang Setan yang kabur babak belur.
Melihat gadis pelacak mengejar ka-
rena dendam, Pandu Puber segera melesat
dengan gerakan super cepatnya dan tahu-
tahu berdiri menghadang langkah Belati
Binal.
"Tahan emosimu, Manis! Biarkan dia
kabur. Dia hanya bisa tinggalkan sesumbar
tanpa bukti benar!"
Belati Binal hempaskan napas. Kesal
sekali hatinya dihadang Pandu begitu. Ta-
pi akhirnya ia mau menurut saran Pandu
setelah Pendekar Romantis itu berkata
dengan nada lembutnya,
"Kau baru saja sehat. Kau butuh is-
tirahat. Soal balas dendam bisa dilakukan
kemudian hari, itu pun kalau dipandang
perlu."
"Kau ditantangnya!"
"Biar saja. Cuekin aja tantangan
preman wayang itu!"
"Tidak bisa! Kau harus hadapi tan-
tangan itu sepuluh hari lagi. Kalau kau
tak datang, dia dan murid-muridnya akan
sebarkan kabar tentang sikapmu yang di-
anggap tak berani menghadapinya itu!"
"Kita pikirkan nanti saja."
Senyum Pandu yang mekar dengan in-
dah itulah yang membuat api dendam di da-
da berbukit mirip mangkok bakso itu men-
jadi reda. Bahkan ia mengikuti langkah
Pandu yang menuju ke bawah pohon. Pohon
itu adalah salah satu dari pohon yang se-
lamat dari amukan badai tadi.
"Belati Binal, ada sesuatu yang ta-
di sempat membuatku heran. Kau bilang te-
lah terkapar selama tujuh hari dalam kea-
daan luka seperti itu, apakah kau tak sa-
lah ngomong?"
"Mungkin malah lebih dari tujuh ha-
ri!" kata Belati Binal, langkahnya ikut
berhenti di bawah pohon itu. "Sejak aku
bertarung dengan Dupa Dulang, kau lalu
menghilang. Aku mencari ke mana-mana tak
ketemu, sampai akhirnya aku bermaksud pu-
lang. Tapi karena sesuatu hal, akhirnya
niat pulangku tertahan."
"Sesuatu hal yang bagaimana maksud-
mu?"
"Aku harus menolong seorang saha-
batku yang terluka karena serangan lawan-
nya. Ia kubawa ke dalam sebuah gua, tapi
akhirnya kami berdua sama-sama tersesat.
Sehari semalam aku dan dia tak bisa ke-
luar dari gua itu, sebab pintu gua tiba-
tiba bagaikan hilang tak kami temukan."
"Aneh...?!" gumam Pandu sambil
terngiang kata-kata Dewi Selimut Malam
yang mengatakan semua pintu gua ditutup-
nya dengan kekuatan batin. Pantas jika
seseorang yang masuk ke dalam gua yang
ada di bukit itu menjadi bingung mencari
pintu dan jalan keluarnya.
"Tapi akhirnya setelah kami terku-
rung di dalam gua selama sehari semalam,
pintu gua kami temukan kembali. Saat itu
sahabatku sudah sembuh betul, lalu kami
berpisah arah. Dan aku bertemu dengan Da-
lang Setan. ia menuntut balas atas kema-
tian Dupa Dulang karena racun pisauku.
Aku sempat kecolongan jurus, dan akhirnya
babak belur. Ia sengaja tidak mau membu-
nuhku dengan cepat. Ia ingin aku menderi-
ta sampai menemui ajal. Kuhitung hari de-
mi hari, ternyata tujuh hari kemudian kau
baru muncul. Aku tak tahu, ke mana saja
kau sebenarnya?"
"Aku... aku juga masuk ke dalam gua
dan... tak bisa keluar. Karena maksudku
sebenarnya mencari Kitab Panca Longok
yang disimpan dalam gua bekas tempat se-
madinya Ki Mangut Pedas. Tapi... tapi aku
tidak lama. Aku tak sampai seharian di
dalam gua itu kok! Cuma sebentar, lalu
keluar lagi."
"Hemm!" Belati Binal mencibir. "Se-
bentar bagaimana? Ternyata kau jumpa aku
lagi setelah tujuh hari aku terkapar luka
parah di tempat tadi! Mungkin dua hari
lagi aku tewas karena tak bisa sembuhkan
luka racun dari pukulan si Dalang Setan
itu!"
"Benar-benar aneh," gumam Pandu Pu-
ber sambil merenung. Lalu, semua kata-
kata Dewi Selimut Malam yang berhubungan
dengan misteri gua tersebut terngiang
kembali di telinga Pandu. Ternyata perpu-
taran waktu benar-benar mengalami perbe-
daan yang menyolok antara di dalam gua
dan di luar gua.
Pendekar berpotongan rambut punk-
rock itu membatin kata di hatinya, "Pa-
dahal cuma sebentar lho, kok bisa terpaut
sampai satu minggu, ya? Aku bicara dengan
Dewi Selimut Malam juga hanya sebentar.
Lalu... lalu aku mau pergi, tapi pintu
gua ditutup, dan dia minta upah jika pin-
tu gua harus dibuka kembali. Dan... dan
aku memberinya upah juga nggak sampai se-
minggu. Ah, kayaknya mustahil sekali deh.
Masa' aku bercumbu dengannya sampai se-
minggu lamanya? Kayaknya sih cuma seben-
tar, hanya satu angkatan saja. Toh dia
sudah merasa bahagia sekali mendapat ke-
mesraanku, dia sudah merasakan kepuasan
yang menentramkan batinnya walau hanya
sebentar. Tapi... mungkinkah waktu yang
sebentar itu ternyata waktu seminggu bagi
kemesraanku dengan Dewi Selimut Malam?"
Bayangan kemesraan muncul dalam be-
nak Pandu Puber. Bayangan saat ia dicumbu
habis oleh Dewi Selimut Malam yang ter-
nyata lebih buas serta lebih galak dari
singa beranak itu sempat membuat hati
Pandu berdesir-desir. Pandu Puber menga-
kui, kalau saja bukan dia pasangan perem-
puan itu, mungkin akan mati kehabisan te-
naga cinta.
"Dewi Selimut Malam benar-benar se-
panas singkong baru diangkat dari penggo-
rengan. Ah, mudah-mudahan dia tidak mem-
bocorkan skandalku dengannya di depan Di-
an Ayu Dayen. Tapi repotnya kalau dia
sampai ketagihan seperti Dardanila dan
Janda Keramat itu bagaimana, ya?"
Agaknya Pandu Puber mulai sadar
bahwa siapa pun orangnya jika sudah per-
nah bercinta dalam kemesraan, yang amat
dalam bersamanya, pasti akan mencari-cari
dan menuntut adegan ulang. Tapi Pandu te-
tap belum tahu bahwa di dalam darah keme-
sraannya itu tertanam racun 'Pemikat Sur-
ga' sebagai keistimewaan dirinya yang
berdarah blaster; dewa dengan jin itu.
Racun tersebut bikin perempuan yang per-
nah berskandal dengannya menjadi tergila-
gila cumbuan, mudah dibangkitkan gairah-
nya hanya dengan membayangkan wajah sang
anak dewa itu. Racun yang selalu menuntut
kehangatan dari Pandu itu jika tidak di-
turuti akan membuat perempuan itu menjadi
kurus, tekanan batin, akhirnya mati.
Andai saja gadis pelacak itu sampai
bercumbu dengan Pandu, maka gadis itu
akan menjadi gadis gila kencan, dan tak
akan tertarik dengan lelaki lain kecuali
Pandu Puber. Untung saja Belati Binal tak
terlibat urusan cinta dan kehangatan den-
gan Pendekar Romantis, sehingga ia bebas
dari pengaruh gila kencannya racun
'Pemikat Surga'.
Pandu sendiri sebenarnya ingin me-
nikmati kehangatan bibir Belati Binal,
terutama kehangatan gumpalan dada yang
mirip mangkok bakso itu. Tetapi karena
sikap Belati Binal selalu berwajah cembe-
rut atau bersungut-sungut, tak pernah
tersenyum sedikit pun, maka hasrat Pandu
hanya sebatas mengagumi kecantikan si wa-
jah mungil itu.
"Kau tak perlu bicarakan soal se-
nyumanku," kata Belati Binal ketika Pandu
membicarakan 'anti senyum' yang ada di
wajah Belati Binal, "... yang perlu kita
bicarakan adalah kitab itu. Kau pasti su-
dah memperoleh Kitab Panca Longok dari
dalam gua tersebut, bukan?"
"Kau sama saja dengan si Dalang Se-
tan tadi; menuduhku mendapatkan kitab
tersebut. Padahal aku masuk ke dalam gua
dalam keadaan tersesat. Bukan gua itu se-
benarnya yang harus dimasuki."
"Memang di bukit ini banyak gua."
"Benar. Dan menurut seseorang yang
kutemui di dalam gua itu, ternyata Kitab
Panca Longok telah diambil oleh Ken Warok
dan diserahkan kepada utusannya Ratu Ca-
dar Jenazah!"
"Sial!" geram Belati Binal, wajah-
nya makin bebas senyum. "Sudah kuduga Ken
Warok memang bekerja sama dengan Ratu Ca-
dar Jenazah!"
"Nggak gitu kok. Ternyata menurut
sang pertapa yang kutemui di gua itu, Ken
Warok terancam bahaya. Karena merasa nya-
wanya terancam, mau tak mau ia serahkan
kitab itu kepada sang utusan Ratu Cadar
Jenazah. Kabarnya, sekarang kitab itu su-
dah ada di tangan sang Ratu!".
"Kalau begitu aku akan merebutnya!"
"Jangan. Itu berbahaya bagi kesela-
matan jiwamu. Kusarankan sebaiknya minta-
lah pendapat gurumu dulu. Nyai Cemara
Langit punya cara sendiri untuk mengga-
galkan rencana Ratu Cadar Jenazah mempe-
lajari juru 'Lima Setan Bingung' yang ada
di dalam kitab itu."
Belati Binal diam termenung memi-
kirkan saran Pandu. Lalu ia bertanya den-
gan suara pelan, "Kau mau ke mana jika
aku menghadap Guru?"
"Apakah kau ingin kudampingi te-
rus?"
"Aku hanya bertanya!" jawab Belati
Binal sambil bersungut-sungut malu
TUJUH
TENGKORAK Tobat adalah orang yang
ditugaskan mendapatkan Kitab Panca Lon-
gok. Tak heran jika dia pun menjadi inca-
ran berbagai pihak. Salah satu orang yang
mengincar kitab itu adalah Dalang Setan.
Tujuannya bukan untuk mempelajari isi ki-
tab tersebut, melainkan untuk menaklukkan
hati si Ratu Cadar Jenazah.
"Kalau aku bisa dapatkan kitab ter-
sebut, maka Cadar Jenazah akan tunduk ke-
padaku. Setidaknya, dia akan berpikir
bahwa aku adalah orang yang berbahaya ji-
ka sampai kupelajari isi kitab tersebut.
Dan jika ia inginkan kitab itu, maka te-
busannya adalah perkawinan indah bersama-
ku."
Begitulah jalan pikiran si tua-tua
keladi yang makin tua makin seperti kela-
di itu. Sebab cinta yang tumbuh di hati
Dalang Setan ternyata sudah cukup lama,
sejak berusia tiga puluh lima tahun, yai-
tu setelah ia menjadi duda tanpa anak
akibat ditinggal mati istrinya dan ogah
nyusul ke alam kematian.
Dalang Setan pun segera melamar Ra-
tu Cadar Jenazah, tapi lamarannya selalu
ditolak dengan cara halus. Bahkan ketika
Dalang Setan kerahkan murid-muridnya un-
tuk menyerang pihak Ratu Cadar Jenazah,
ternyata kekuatannya kalah. Padahal semu-
la ia ingin persunting sang Ratu dengan
cara paksa.
Sekarang karena ada kasus Kitab
Panca Longok, tentunya Dalang Setan tak
mau sia-siakan kesempatan itu. Ketika Du-
pa Dulang belum 'wassalam' alias mati,
Dupa Dulang pernah kasih saran sama sang
Guru dalam acara santai bersama setelah
ujian selesai.
"Mengapa Guru harus memburu Ratu
Cadar Jenazah? Toh masih banyak wanita
lain yang nilai kecantikannya sama dengan
Ratu Cadar Jenazah, bahkan yang lebih
cantik pun ada. Guru tinggal pilih yang
mana, nanti kami sebagai murid setia Guru
yang akan melamarkannya."
"Dupa Dulang, kau tidak tahu arti
cinta yang sejati. Bagiku, biarpun seribu
bidadari berdiri di depanku tanpa busana,
aku tetap akan memilih Ratu Cadar Jena-
zah. Kenapa begitu? Karena yang memilih
adalah hatiku, dan di dalam hatiku ter-
pendam telaga cinta yang murni, bersih,
dan bening. Telaga cinta itu khusus untuk
dia, Dupa Dulang."
"Saya khawatir Guru kena pikat
olehnya."
"Tidak mungkin. Malahan ilmu pi-
katku nggak mempan untuk dirinya. Dan la-
gi, kenapa kau bisa bilang begitu, Dupa
Dulang?"
"Karena tadi Guru bilang, biar ada
sepuluh bidadari tanpa busana berdiri di
depan, maka Guru tetap akan memilih sang
Ratu."
"Itu kan hanya ibaratnya saja, Gob-
lok! Kalau memang benar-benar ada sepuluh
bidadari tanpa busana berdiri di depan
mata, yaaah... seret satu per satu dong!
Cari tempat sepi."
"Untuk apa dibawa ke tempat sepi,
Guru?"
"Suruh nyabutin ubanku!" Jawab sang
Guru agak jengkel dengan pertanyaan yang
dianggap mana bego itu.
Kobaran api cinta sang Dalang mem-
buat ia mengatur siasat. Beberapa murid
pilihan dikumpulkan. Mereka diberi penga-
rahan dan diberi tugas masing-masing.
"Dupa Dulang bertugas mencari cu-
cunya Ki Mangut Pedas. Pasti dia tahu di
mana kitab itu disembunyikan. Kalau kau
gagal, maka Jamak Jidat menggantikannya.
Dan tentunya Ratu Cadar Jenazah tak ting-
gal diam. Dia pasti mengirimkan utusannya
untuk merebut kitab itu. Maka seandainya
terjadi demikian, bayang-bayangi terus
siapa orang yang diutusnya itu. Jika ki-
tab itu ada di tangannya, rebut dan habi-
si di jalan. Jamak Jidat orang yang harus
membayang-bayangi siapa utusan dari Ratu
Cadar Jenazah itu. Paham?"
"Paham, Guru!"
"Kalau Jamak Jidat gagal, maka Le-
gawa harus menghadang si pembawa kitab
itu di tebing perlintasan menuju Bukit
Guiana."
"Kalau saya gagal bagaimana, Guru?"
tanya Legawa yang bersuara kecil cempreng
itu.
"Kalau kau gagal, maka Dewa Dung-
dung menghadang perjalanan kitab itu di
pantai yang menuju ke Bukit Gulana, dekat
perbatasan wilayah itu. Ngerti?"
Dewa Dungdung yang bertubuh kurus
ceking itu mengangguk dengan mulut ben-
gong bagaikan tak paham atas penjelasan
tersebut. Dewa Dungdung memang bertampang
bloon, tapi kesaktiannya terletak pada
benda kecil yang dapat ditabuh sewaktu-
waktu dan getaran suaranya bisa memecah-
kan gendang telinga lawan dalam sekali
tabuh. Karena itulah maka ia dijuluki se-
bagai Dewa Dungdung.
Itulah sebabnya perjalanan Kitab
Panca Longok tidak bisa semulus dugaan
pihak sang Ratu. Perjalanan yang seharus-
nya cukup dua hari menjadi berhari-hari.
Masalahnya, Tengkorak Tobat yang telah
berhasil memaksa Ken Warok untuk dapatkan
Kitab Panca Longok itu selalu menghadapi
hambatan yang tidak kecil. Selain harus
menyingkirkan Jamak Jidat bersama dua
anak buahnya, juga harus menyingkirkan
Legawa bersama tiga anak buahnya.
Tengkorak Tobat jadi bahan buruan
orang-orang itu. Ia seperti maling yang
dikepung ke sana-sini, sampai-sampai ma-
syarakat sebuah desa percaya dengan te-
riakan Jamak Jidat, sehingga penduduk de-
sa itu ikut-ikutan mengejar Tengkorak To-
bat yang disangka maling benaran itu.
Dengan susah payah, akhirnya satu-
persatu dapat ditumbangkan oleh Tengkorak
Tobat yang bersenjata kapak berantai. Ga-
gang kapaknya jika ditarik ke bawah dapat
keluarkan rantai panjang dan bisa diguna-
kan untuk disabetkan ke lawan. Tentu saja
lawan yang kena sabetan itu akan terpeng-
gal lehernya atau terpotong anggota tu-
buhnya. Bahkan ada anak buah Jamak Jidat
yang terpotong hidungnya gara-gara ter-
lambat menarik kepala saat kapak itu me-
mangkas permukaan wajahnya.
"Jamak Jidat, kuberi kesempatan pa-
damu untuk mundur. Kalau masih nekat, aku
tak akan pandang bulu lagi. Walaupun kau
murid si Dalang Setan, akan kutebas pula
lehermu dengan kapak terbangku ini!" Ja-
mak Jidat semakin berang mendengar tan-
tangan itu. Dua anak buahnya sudah tum-
bang, mau tak mau ia harus menuntut balas
kematian dua anak buahnya itu. Maka tanpa
banyak kompromi lagi, Jamak Jidat menye-
rang Tengkorak Tobat dengan Jurus golok
yang dinamakan 'Janda Golok Pitu'. Namun
karena memang ilmu Tengkorak Tobat lebih
tinggi dari orang-orang utusan si Dalang
Setan, maka mau tak mau Jamak Jidat pun
tumbang dipangkas kapak tepat pada bagian
lehernya. Tak heran jika Jamak Jidat pu-
lang tanpa membawa kepalanya. Lebih tak
mengherankan lagi jika ia tak bisa pulang
sambil membawa kepalanya, seperti yang
dialami saat itu.
Tengkorak Tobat semula riskan mau
membunuh anak buah Dalang Setan, sebab
sebelum ia menjadi orangnya Ratu Cadar
Jenazah, ia pernah bersatu bahu-membahu
bersama Dalang Setan dalam menyerang Ke-
raton Kahuripan di Pulau Sanga. Praktis
sebenarnya antara Tengkorak Tobat dengan
Dalang Setan pernah menjalin persahabatan
yang baik.
Namun agaknya persahabatan itu tak
bisa dipertahankan lagi. Tengkorak Tobat
tak memberi kesempatan orang-orangnya Da-
lang Setan untuk bertobat. Semua mati di-
pangkas kapak terbangnya, sedangkan Kitab
Panca Longok masih tetap ada di selipan
pinggang di bagian belakang.
Pada waktu itu hampir mencapai per-
batasan Bukit Guiana, di daerah pantai,
mau tak mau dia harus berhadapan dengan
Dewa Dungdung dengan empat anak buahnya.
Pertarungan di pantai itulah yang dilihat
Pandu Puber secara sembunyi-sembunyi.
Dari tempat persembunyiannya, Pen-
dekar Romantis sempat terkagum-kagum me-
lihat kehebatan senjata kapak terbang
itu. Tengkorak Tobat mampu tumbangkan
keempat anak buah Dewa Dungdung dalam be-
berapa jurus saja. Tetapi Dewa Dungdung
sendiri cukup ulet dan alot. Berulang
kali serangan Tengkorak Tobat mampu di-
hindari Dewa Dungdung.
Akhirnya Dewa Dungdung pergunakan
senjata bende andalannya. Ketika bende
itu ditabuh satu kali, suaranya menggema
ke mana-mana.
Tuungngng...!
"Aaahg...!" Tengkorak Tobat menge-
jang dalam keadaan jatuh berlutut. Ia me-
mejamkan mata kuat-kuat karena menahan
rasa sakit yang luar biasa hebatnya. Tapi
anehnya Dewa Dungdung sendiri tidak mera-
sakan sakit sedikit pun, demikian pula
Pandu Puber yang ada di persembunyiannya.
Rupanya gema suara bende tersebut hanya
menyerang lawan yang dituju oleh mata si
Dewa Dungdung. Orang yang bukan lawan De-
wa Dungdung biar mendengar suara bende
dari jarak sejengkal tidak akan merasa
kesakitan, cuma bikin budek aja.
Hampir saja Tengkorak Tobat mati
dengan kepala pecah karena getaran gelom-
bang suara bertenaga dalam tinggi dari
bende tersebut. Untung ia segera atasi
kekuatan itu dengan tenaga dalamnya yang
dikerahkan hingga tubuh gemetaran. Wajah
yang memerah, urat yang menegang berton-
jolan keluar dari kulit leher membuat su-
ara bende tak mampu memecahkan kepalanya.
"Heaaat...!" Tengkorak Tobat sen-
takkan kakinya ke tanah dan tubuhnya me-
lesat lurus ke atas. Pada saat itulah ka-
pak berantai disabetkan ke arah Dewa
Dungdung. Rupanya dengan sentakan khusus,
rantai itu bisa menjadi panjang mendadak,
sehingga jarak yang disangka tak akan
sampai ke tubuh Dewa Dungdung, ternyata
dengan mudah bisa dijangkau oleh kapak
tersebut. Wuungngng...!
Kelebatan kapak begitu cepat, ba-
gaikan angin berhembus menjelang hujan
turun. Dan mata kapak yang sebesar bela-
han piring itu dengan girangnya menyambar
leher Dewa Dungdung. Crass...!
Kepala Dewa Dungdung tidak langsung
jatuh. Bahkan dalam keadaan tidak berge-
rak dan masih berdiri, Dewa Dungdung ma-
sih sempat tersenyum sinis. Tapi tiba-
tiba mata Pandu Puber melihat ada darah
mengalir dari sekeliling leher Dewa Dung-
dung. Kejap berikutnya senyum Dewa Dung-
dung hilang karena sewaktu ia ingin ber-
gerak, ternyata kepalanya menggelinding
jatuh ke tanah. Pluk...!
Kalau sudah begitu tentunya sang
nyawa malas berdiam di raga tanpa kepala.
Dengan lain perkataan, matilah Dewa Dung-
dung tanpa senyum seulas
"Jahanam kau, Tengkorak bangsat!!"
teriak sebuah suara yang muncul dari ba-
lik gundukan batu. Orang itu ternyata
adalah Legawa, yang sewaktu bertarung
dengan Tengkorak Tobat di lereng perlin-
tasan sempat melarikan diri mencari sia-
sat membokong itu. Tapi siasat itu agak-
nya terlambat. Ketika seharusnya ia le-
paskan serangan dari belakang tengkorak
Tobat, rekan seperguruannya sudah telan-
jur dipenggal oleh si Tengkorak Tobat.
Emosinya meluap, sehingga ia berteriak
keras-keras saat melepaskan serangan be-
rupa sinar merah membara dari telapak
tangan kanannya.
Clapp...! Wuuut...!
Tubuh Legawa melompat cepat, bagai
mengikuti gerakan sinar merahnya. Ternya-
ta sinar merah itu dihantam oleh sinar
hijau yang bergerak lebih cepat. Sinar
hijau itu datang dari balik gugusan batu
karang.
Ternyata di sana ada orang yang me-
mihak Tengkorak Tobat. Sinar hijau mampu
menghantam sinar merah dengan tepat sebe-
lum sinar merah mencapai punggung Tengko-
rak Tobat. Blegarr...!
Tapi kedua orang yang sedang bermu-
suhan itu akhirnya sama-sama terjungkal
dalam keadaan terpental jauh. Ledakan itu
sempat menimbulkan angin panas yang meng-
hembus sesuai arah angin di pantai itu.
Gugusan batu karang yang ada di perairan
pantai sebelah timur menjadi hangus men-
dadak karena angin panas tadi.
"Mundurlah, Tengkorak Tobat. Biar
kubereskan orang itu!"
"Ranting Kumis!" seru Tengkorak To-
bat dengan suara berat seraya bangkit
berdiri. "Dia masih bagianku. Biar kuse-
lesaikan sendiri. Bawalah kitab ini pu-
lang secepatnya!"
Tengkorak Tobat segera keluarkan
kitab itu, lalu dilemparkan ke arah Rant-
ing Kumis. Tabb...! Orang berkumis kaku
seperti ranting itu menangkap kitab ter-
sebut.
"Cepat serahkan pada Ratu!" sentak
Tengkorak Tobat. Sementara itu, Legawa
segera maju menyerang lagi dengan kilatan
cahaya dari kedua tangannya secara berun-
tun. Clap, clap, clap, clap...!
Tengkorak Tobat menangkis serbuan
sinar kuning itu dengan putaran kapak be-
rantai yang kecepatan putarnya menyamai
baling-baling pesawat Boing. Putaran ka-
pak itu keluarkan sinar menyebar warna
hijau pula dan terjadilah ledakan berun-
tun menyerupai petasan memberondong, mi-
rip petasan di pesta perkawinan.
Pendekar Romantis segera bergerak
menghadang si Ranting Kumis yang membawa
Kitab Panca Longok.
"Maaf mengganggu perjalananmu se-
bentar, Sobat!" kata Pandu Puber dengan
santainya. Si Ranting Kumis memandang
dengan sikap bermusuhan.
"Kau murid barunya Dalang Setan?!"
"Bukan," jawab Pandu, "Tapi barang-
kali aku adalah musuh barumu jika kau tak
mau serahkan kitab itu!"
"Keparat kau! Barangkali kau belum
tahu siapa aku, hah?!"
"Sudah. Kudengar Tengkorak Tobat
memanggilmu dengan nama si Ranting Kumis.
Pantas sekali nama itu bila ditinjau dari
kumis kakumu yang mirip ranting itu. Tapi
tujuanku menahan langkahmu bukan untuk
bicara tentang kumis. Aku hanya mau...,"
ucapan itu terhenti karena jeritan yang
memilukan.
"Aaa...!"
Rupanya Legawa terkena tebasan ka-
pak. Dadanya terbelah oleh sabetan kapak
Tengkorak Tobat. Tentu saja ia langsung
terjengkang ke belakang dan tak lebih da-
ri tiga helaan napas sang nyawa pun lolos
meninggalkan raganya menuju ke akherat
tanpa membawa peta segala.
"Siapa lagi itu?!" teriak Tengkorak
Tobat melihat Pandu menghadang Ranting
Kumis. Ia bergegas melesat menghampiri
Ranting Kumis. Wajah kurus bermata bundar
cekung itu menatap Pandu dengan bengis.
"Bocah pongah ini menghendaki kitab
kita, Tengkorak Tobat!"
"Minggirlah, biar kubantai sekalian
yang kayak gini!"
"Heeat...!" Ranting Kumis melompat
meninggalkan tempat sambil menendang ke
samping dan tepat kenai wajah Pandu. Se-
telah itu ia melesat terus, berlari me-
nyelamatkan Kitab Panca Longok menuju ke
Bukit Gulana.
Pandu Puber menggerutu, karena ten-
dangan di luar dugaan itu telah membuat-
nya jatuh terjungkal ke samping. Ia sem-
pat melihat kitab itu dibawa lari oleh
Ranting Kumis, namun sebelum ia bergerak
mengejarnya, kapak berantai itu telah
menghantam punggungnya lebih dulu.
Wuusss...!
Untung Pandu Puber mampu bergerak
bersalto ke belakang dengan menggunakan
tumpuan kedua tangannya sehingga tebasan
kapak itu dapat dihindari. Tetapi Tengko-
rak Tobat menjadi lebih beringas lagi ka-
rena tak menyangka tebasan kampaknya gag-
al mencapai sasaran. Ia segera menyerang
dengan sebuah tendangan kaki, namun tan-
gan Pandu berkelebat menangkis, dan ka-
kinya ganti menendang sambil badan berpu-
tar ke belakang. Kaki itu masuk ke dada
Tengkorak Tobat yang kurus kerempeng itu.
Brakk...! Tulang dada terasa patah semua.
Orang berbaju hitam dengan lengan
bajunya yang putih itu ternyata termasuk
orang yang kuat. Biar tubuhnya tinggal
tulang-belulang tapi ia mampu bertahan
menghadapi serangan sekeras itu. Dalam
waktu sekejap ia mampu bangkit dari ja-
tuhnya. Walau wajahnya menyeringai mena-
han rasa sakit di bagian dada, tapi ia
masih mampu melompat ke arah Pandu dengan
menghantamkam kapaknya.
Wuung...!
Pandu Puber melompat ke samping,
kapak pun menghantam tempat kosong. Kare-
na gerakannya dari atas ke bawah, maka
kapak itu pun menancap di pasir pantai.
Tapi dengan sekali sentak, kapak berantai
itu mampu melesat mundur dan ditangkap
dengan satu tangan oleh Tengkorak Tobat.
Rupanya orang berambut kucai yang
mengenakan ikat kepala merah dengan usia
sekitar empat puluh tahun itu termasuk
orang yang tak mau memberi kesempatan pa-
da lawan seriusnya untuk bertobat dalam
arti melarikan diri. Pandu Puber yang se-
benarnya ingin mengejar Ranting Kumis ja-
di terhalang lagi oleh serangan Tengkorak
Tobat. Orang itu menyerang dengan kapak
di tangan dan hampir saja berhasil mero-
bek dada Pandu Puber ketika kapaknya ta-
hu-tahu berkelebat menyamping. Wuusss...!
Bahgg...! Pandu terjungkal ke bela-
kang. Ternyata kibasan kapak menyemburkan
gelombang tenaga dalam cukup tinggi yang
menyentak sangat kuat itu. Gazrukk...!
Pandu terkapar di pasir pantai. Tengkorak
Tobat tak berikan kesempatan Pandu untuk
bangkit, maka kapak itu diayunkan bersama
rantainya membelah ke tubuh yang terkapar
itu.
Clapp...! Dalam keadaan terbaring
Pandu Puber terpaksa lepaskan jurus
'Cakram Biru' yang berupa sinar biru ber-
bentuk cakram keluar dari pergelangan
tangan. Clapp...!
Sinar biru itu melesat ke langit
tepat menyambut datangnya mata kapak yang
putih mengkilap itu. Maka seketika itu
juga terdengarlah ledakan membahana aki-
bat benturan sinar biru dengan mata kapak
itu. Glegarrr...!
Pantai dan air laut berguncang. Tu-
buh Pandu Puber berguling-gulling hindari
semburan sinar biru keruh dari ledakan
tersebut. Sementara itu, Tengkorak Tobat
diam tertegun bengong. Shock begitu meli-
hat kapaknya hancur menjadi serpihan-
serpihan tak berarti lagi. Sementara ran-
tainya masih utuh terkait di sisa gagang
kapak yang hangus.
Pandu Puber segera bangkit, karena
pada waktu itu ia mendengar teriakan
Tengkorak Tobat yang mirip orang kesuru-
pan. Emosi kemarahannya meluap sontak
tanpa takaran lagi.
"Bangsat...!! Heeaaahh...!"
Kedua tangan Tengkorak Tobat bersi-
nar, sinar itu berwarna merah membara.
Dari matanya pun keluar sinar merah mem-
bara, dari mulutnya keluar semburan api
yang menyambar wajah Pandu Puber.
Zlap, zlapp, zlapp...!
Pandu Puber gunakan gerak jurus
'Angin Jantan', yang membuatnya mampu
berpindah tempat dengan cepat. Hal itu
cukup membingungkan Tengkorak Tobat, se-
hingga serangan buasnya dengan pasukan
sinar merahnya itu hanya menghantam ben-
da-benda tak berarti; batu, pohon, ka-
rang, dan kepala si Dewa Dungdung yang
tergeletak di pasir itu.
"Aku di sini, Tengkorak Tobat!"
Suara itu datang dari belakang.
Tengkorak Tobat cepat balikkan badan. Ta-
pi tepat ia berbalik badan, sinar putih
perak melesat dari telapak tangan Pandu
yang saling merapat di dada. Clapp...!
Sinar putih perak itu menghantam telak
dada Tengkorak Tobat. Blarrr...!
Akhirnya lenyap sudah tubuh itu. Ke
mana perginya?
Menjadi abon. Serpihan tubuh itu
nyaris tak bisa dikenali sebagai serpihan
tubuh manusia. Jurus 'Inti Dewa' yang
berbahaya terpaksa digunakan Pandu karena
lawannya tak mau memberi kesempatan untuk
berunding. Mau tak mau riwayat Tengkorak
Tobat berakhir sampai di situ. Satu-
satunya sisa peninggalan masa hidupnya
hanyalah rantai kapak yang masih terkait
di gagang yang hangus tanpa mata kapak
itu.
Pendekar Romantis berdiri tegak
dengan kedua kaki merenggang kokoh. Da-
danya yang bertato membusung dan segera
mengendur bersama hembusan napas kele-
gaannya. Dalam hati sang Pendekar Roman-
tis, berkata, "Aku harus mengejar si
Ranting Kumis sebelum kitab itu sampai di
tangan Ratu Cadar Jenazah!"
Namun ketika ia mau bergerak, men-
dadak ada suara yang memanggilnya dari
balik semak-semak, tak jauh dari tempat-
nya bersembunyi tadi.
"Pandu...!"
Pemuda tampan itu segera berpaling.
"Oh, kau...?! Bagaimana kau bisa sampai
di Sini, Ken Warok?"
Ternyata orang itu adalah Ken Warok
yang segera menghampiri Pandu Puber.
"Aku mengikuti Tengkorak Tobat se-
cara diam-diam. Sebenarnya aku ingin mem-
bunuhnya sendiri pada saat dia dalam kea-
daan lemah atau lengah. Aku ingin memba-
las kematian kakekku. Tapi ternyata kea-
daannya selalu unggul melawan orang-
orangnya Dalang Setan. Aku tak pernah
punya kesempatan untuk menyerang kelema-
hannya. Tapi, syukurlah kalau sekarang ia
sudah menjadi dendeng karena jurus mautmu
yang kulihat dari semak-semak itu, Pan-
du?"
"Ya, tapi aku harus mengejar Rant-
ing Kumis. Dia membawa lari kitab itu!"
"Tak perlu," ujar Ken Warok sambil
tersenyum. "Kitab itu palsu."
"Hah...?! Palsu?!"
"Aku sempat lupa benaran waktu ce-
rita padamu tentang kitab dan kakekku,
bahwa Kakek mempunyai Kitab Panca Longok
yang palsu untuk mengatasi hal-hal seper-
ti saat ini. Dan ketika aku terancam oleh
Tengkorak Tobat, kuserahkan kitab yang
palsu kepadanya. Kitab Panca Longok yang
asli ada padaku!" Lalu pemuda pendek, ke-
cil, kurus itu keluarkan kitab dari dalam
bajunya. Ia memperlihatkan kitab itu den-
gan bangga. Pandu Puber pun tertawa meli-
hat kecerdikan Ken Warok yang penampilan-
nya sering menjengkelkan karena sifat sok
tahunya itu. "Akan kau apakan kitab itu,
Ken Warok?!"
"Terserah kau sajalah! Aku tak mau
pusing lagi dengan kitab itu!"
Ken Warok melemparkan kitab terse-
but, dan Pandu menangkapnya. Kemudian me-
reka melangkah bersama sambil Ken Warok
bertanya,
"Bagaimana dengan gadis bernama Be-
lati Binal itu?"
"Ia mengharap kehadiranku saat kami
berpisah di persimpangan jalan. Aku di-
mintanya datang ke perguruannya."
"Aslinya yang diharapkan datang itu
aku, tapi karena dia nggak enak sama ka-
mu, maka dia berpura-pura menyuruhmu da-
tang. Dalam hal ini aku sebenarnya harus
tahu diri. Mau tak mau aku harus ikut
denganmu ke perguruannya."
Pandu mencibir, "Sok tahu lu!" dan
Ken Warok hanya cengar-cengir sambil ga-
ruk-garuk kepalanya yang berambut cepak,
seperti mahasiswa habis diplonco.
SELESAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon