Pendekar Romantis 4 - Patung Iblis Banci(2)


TIGA 
MERASA yakin bahwa keselamatan 
jiwanya bisa dilindungi oleh  Pendekar 
Romantis, otomatis Sumo Banjir menjadi 
punya keberanian untuk datang kembali ke 
makam yang waktu itu dilihatnya bersinar. 
Kehebatan jurus-jurus Pandu membuat Sumo 
Banjir merasa bangga jika bisa dampingi 
sang jagoan yang tampan itu. Bahkan dalam 
hati Sumo Banjir menaruh harap bisa 
menjadi muridnya Pandu Puber. 
"Aku sendiri tak pernah menjadi murid 
seseorang, bagaimana aku bisa mempunyai 
murid? Aku tidak tahu bagaimana cara 
mengajarkan ilmuku kepada seseorang," 
kata Pandu Puber dalam perjalanan menuju 
Bukit Jengkal Demit. 

"Jadi, kau tak ingin punya murid, 
Kang?" tanya Sumo Banjir. Ia belum berani 
mengungkapkan keinginan yang sebenarnya. 
Malu dan takut. 
"Untuk saat sekarang aku nggak 
mikirin soal murid atau guru. Aku cuma 
mikirin tentang nasib diriku sendiri yang 
belum pasti bisa setenang hidupmu, Sumo 
Banjir." 
"Masa' sudah berilmu tinggi kok belum 
tenang sih, Kang?" 
"Justru orang berilmu itu yang banyak 
musuhnya dan banyak godaannya. Soalnya 
kalau...." 
Sumo Banjir heran, mengapa Pandu 
berhenti bicara? Langkah Pandu sendiri 
juga terhenti. Anak itu  heran melihat 
sikap Pandu yang diam saja seperti sedang 
renungkan sesuatu dengan mata memandang 
ke samping kiri. Karena ingin tahu, maka 
Sumo Banjir bertanya pelan, 
"Kenapa berhenti, Kang? Bukit Jengkal 
Demit masih beberapa langkah lagi dari 
sini. Pokoknya kalau sudah melewati 
lorong ini, baru kita bisa melihat bukit 
itu. Ayo, jalan lagi, Kang. Kalau kau 
capek, mari kuderek, alias kugendong. Hi, 
hi, hi...." 
Pendekar Romantis hanya tersenyum 
tipis, tak ceria. Lalu ia berkata dengan 
suara berbisik, 
"Ada orang yang mengikuti langkah 
kita dari belakang, Sumo!" 
Bocah itu menengok ke belakang, tapi 
ia tidak melihat siapa-siapa di belakang 
mereka. 
"Ah, nggak ada siapa-siapa kok, Kang. 
Mungkin itu perasaanmu saja." 
"Orangnya bersembunyi di semak-semak 
belakang dua pohon yang tumbuh dengan 
rapat itu," Pandu mengulang bisikannya. 
Tapi menurut penglihatan Sumo Banjir, di 
semak-semak yang dimaksud Pandu itu tidak 
ada tanda-tanda orang bersembunyi. Tak 
ada gerakan, tak ada suara apa pun. Sumo 
Banjir pun menyanggah. 
"Ah, nggak ada orang kok. Kurasa itu 
hanya bayanganmu saja, Kang!" 
Pandu Puber balikkan badan. "Lihat 
saja nih...," katanya pelan kepada Sumo 
Banjir.  Lalu, sang Pendekar Romantis 
segera gunakan jurus 'Sentak Bumi' 
peninggalan dari ayahnya; Batara Kama. 
Dengan  cara menghentakkan kakinya ke 
tanah dialiri tenaga dalam tinggi, maka 
seseorang yang bersembunyi di balik 
semak-semak itu terlempar ke atas 
bagaikan ada kekuatan yang membuangnya 
terbang.  
Dugg...! Wuuut...! 
Wes, wess...! Orang itu pun bersalto 
dua kali sambil menjaga keseimbangan 
tubuhnya. Dalam kejap berikut orang 
tersebut sudah mendarat di depan Pandu 
Puber dan Sumo Banjir dalam jarak enam 
langkah. Sumo Banjir terbengong melompong 
melihat kehebatan jurus 'Sentak Bumi, dan 
segera heran melihat sosok berwajah 
cantik jelita berdiri di depannya. Sosok 
cantik jelita itu berambut  sepundak, 
lurus dan lemas dengan rambut depan 
diponi, tanpa ikat kepala. Wajah cantik 
berhidung bangir itu mempunyai mata 
bundar bening dan bibir mungil melenakan 
jika dipagut. Usianya sekitar dua puluh 
tiga tahun. Wajahnya semi oval. 
Pakaiannya serba merah menyala dari kain 
satin tipis mengkilap berbelahan dada 
agak lebar, menampakkan kulit dadanya 
yang kuning langsat tapi mulus tanpa 
cacat seujung rambut pun. Bahkan 
kelihatan sekal dan kencang. 
Gadis cantik berpakaian merah menyala 
itu mengenakan ikat pinggang dari kain 
selendang warna kuning. Di selipan ikat 
pinggangnya itu terdapat senjata tajam 
berupa pedang seukuran satu lengan 
panjangnya. Pedang itu bersarung tembaga 
dan gagangnya pun terbuat dari tembaga 
merah. Ujung gagangnya berbentuk ukiran 
kepala burung hantu. 
Dilihat dari caranya memandang, gadis 
itu mempunyai  sikap tegas dan berani. 
Kemanjaannya nyaris tak terlihat ada 
padanya. Justru kegalakannya tampak 
samar-samar melalui ekspresi wajah 
ketusnya saat memandang ke arah Pandu 
Puber. Senyum yang dilemparkan Pandu 
Puber tidak disambutnya dengan ramah. 
Nyaris tanpa sambutan apa-apa. 
"Apakah dia kakak perempuanmu, 
Sumo?!" tanya Pandu sengaja dikeraskan 
supaya didengar oleh gadis judes itu. 
"Wah, kalau aku punya kakak perempuan 
seperti dia, aku nggak mau kau ajak pergi 
ke mana-mana, Kang. Mendingan nonton 
wajah kakakku terus-terusan atau minta 
dipangku dia setiap hari." 
"Aku juga begitu kalau aku punya 
kakak perempuan secantik dia!" 
"Kang, Nona itu cantik sekali, kawini 
sajalah biar nggak dilamar orang lain 
lebih dulu!" 
"Enak saja kau ngomong!" ujar Pandu 
sambil tertawa pelan, sang gadis hanya 
memandangi dengan nada ketus. 
"Menurutku Nona itu pasti mau, Kang!" 
"Maksudmu, mau menjadi istriku?" 
"Mau muntah jika menjadi istrimu," 
jawab Sumo Banjir berkelakar. Rupanya 
bocah itu juga kepingin melihat senyuman 
si gadis, tapi harapan mereka tidak 
terkabul karena si gadis tetap berwajah 
judes. 
Pandu Puber segera mengawali 
sapaannya dengan suara lembutnya dan 
senyum penjerat hati wanita yang sukar 
dihadapi  oleh  perempuan binal mana pun 
juga. 
"Apa maksudmu mengikutiku, Nona?" 
"Urusan pribadiku," jawab gadis itu 
dengan nada ketus. Wajahnya makin lama 
semakin berkesan angkuh. 
"Rasa-rasanya kita baru saja bertemu, 
bagaimana mungkin kita sudah punya urusan 
pribadi? Kau belum tahu namaku, dan aku 
pun belum tahu namamu, Nona." 
"Namamu adalah Pandu Puber, Pendekar 
Romantis dari Gunung Ismaya!" 
"Lho, kok tahu sih?!" sambil Pandu 
nyengir kampungan. 
Gadis itu hanya cibirkan bibirnya 
dengan sinis. Ia melangkah ke sisi lain, 
tapi matanya masih melirik tajam ke arah 
Pandu, bersikap bermusuhan. Sementara 
itu, Pandu segera ajukan tanya padanya, 
"Jika kau sudah tahu namaku, lantas 
bagaimana caraku mengetahui nama wajah 
cantikmu itu, Nona? Maukah kau 
menyebutkannya?" 
Gadis itu malahan berkata, "Tentunya 
kau masih ingat tentang nama Hantu 
Congkak?!" 
"Hmmm... maksudmu, Hantu Congkak yang 
menjadi kakak perguruannya Sikat Neraka 
itu?" 
"Benar! Hantu Congkak adalah guruku! 
Kau telah mengalahkannya dan aku 
ditugaskan menebus kekalahan itu. Karena 
itu, bersiaplah sekarang juga, aku akan 
tumbangkan kesombonganmu, Pandu!" 
"Lho, tunggu, tunggu...! Jangan 
serang dulu!" Pandu Puber nyengir sambil 
bingung sendiri. "Kok aku bisa dibilang 
sombong sih? Kalau aku bisa kalahkan 
gurumu itu lantaran gurumu ilmunya 
rendah.  Jadi bukan karena aku berwatak 
sombong, Nona. Hmmm... siapa namamu 
sebenarnya? Sebutkanlah, Nona!" 
"Hadapi dulu pembalasanku ini, 
Hiaaat...!" 
Satu sentakan tangan ke depan dengan 
cepat membuat dua jari lentik itu 
keluarkan sinar merah lurus menghantam 
ulu hati Pandu Puber.  
Clapp...! 
"Eit...! Gawat nih cewek?!" pikir 
Pandu sambil berkelit miringkan badan ke 
samping dan sinar itu meleset dari 
dadanya, menghantam pohon, lalu pohon 
yang terhantam sinar merah itu retak 
seketika.  
Kraak! 
"Lawan, Kang! Lawan...! Jangan takut 
menghadapi gadis cantik! Buat apa dia 
cantik kalau jahat sama kita. Lawan, 
Kang...!" Sumo Banjir kasih spirit kepada 
Pandu, tapi Pandu tidak mau terpengaruh 
oleh  spirit bocah itu. Pandu hanya diam 
saja, tak mau membalas, hanya melangkah 
menjauhi Sumo karena takut serangan 
berikutnya  meleset dan mengenai Sumo 
Banjir. Di bibirnya masih tersungging 
senyum yang lebih pantas dikatakan 
sebagai kegiatan nyengir rutin. 
Sekalipun nyengir, tapi Pandu Puber 
masih tetap tampakkan pesona ketampanan-
nya yang semestinya membuat hati gadis 
itu terpikat. Tapi nyatanya si gadis kok 
nggak terpikat juga? Mungkin karena 
merasa mengemban tugas pembalasan dari 
gurunya; si Hantu Congkak. 
Bayangan wajah tua si Hantu Congkak 
yang pernah dilawannya, terpampang jelas 
di benak Pendekar Romantis, (Pertarungan 
mereka di serial Pendekar Romantis dalam 
kisah: "Hancurnya Samurai Cabul" cukup 
seru kok). 
Gadis itu lepaskan pukulan jarak jauh 
tanpa sinar. Gelombang panas dilepaskan 
dengan maksud merebus tubuh Pandu. Tapi 
sang Pendekar Romantis justru melesat 
naik, tahu-tahu ada di atas pohon, 
hinggap di sana seperti burung perkutut. 
Sikap itu makin membuat sang gadis 
jengkel sendiri, maka dilepaskanlah 
pukulan yang memancarkan cahaya 
berlingkar-lingkar dari genggaman tangan-
nya. Clappp...! Cahaya merah itu menghan-
tam Pandu Puber, namun tubuh itu bagaikan 
lenyap, tahu-tahu sudah berpindah di 
dahan pohon lainnya. Bukan gadis itu saja 
yang kebingungan mencari Pandu, namun 
Sumo Banjir pun sempat bengong ketika 
akhirnya ia mengetahui Pandu ada di pohon 
lain, jauh dari pohon pertama. 
"Bagaimana cara lompatnya, ya?" pikir 
Sumo Banjir sambil garuk-garuk kepala. 
Sambil mendongak gadis itu berteriak, 
"Serang aku! Jangan hanya bisa menghindar 
saja, Tolol!" 
"Sebutkan dulu namamu, nanti aku akan 
menyerangmu!" 
Gadis itu menatap tajam  dan penuh 
pancaran kebencian, tapi akhirnya ia pun 
berkata dengan nada kian ketus,  
"Namaku Awan Sari! Puas?" 
"Belum. Mana bisa puas, diapa-apakan 
saja belum kok sudah disuruh puas?" ledek 
Pandu sengaja bikin jengkel hati si 
cantik itu. Bahkan Pandu Puber  berseru 
lagi dari atas pohon, 
"Yang benar namamu Awan Sari atau 
Sari Awan?" 
"Mulutmu itu yang kena penyakit 
sariawan!" sentaknya makin tampak jelas 
kejengkelannya. Hati pendekar tampan yang 
konyol itu merasa gembira bisa membuat 
gadis secantik Awan Sari bersungut 
cemberut  penuh kedongkolan. Bahkan Awan 
Sari segera lepaskan pukulan bersinar 
merah seperti tadi, namun lagi-lagi hanya 
dihindari  oleh  Pandu dengan pergunakan 
gerakan kilatnya yang dinamakan  jurus 
'Angin Jantan' itu. Itulah sebabnya tahu-
tahu Pandu Puber sudah ada di bawah dan 
posisinya ada di belakang Awan Sari. 
Sedangkan pukulan Awan Sari membuat pohon 
tempat Pandu berdiri tadi menjadi retak 
sebagian. 
"Aku di sini, Sayang...!" sapa Pandu 
ketika Awan Sari kebingungan mencari 
Pandu di atas pohon. Gadis itu sedikit 
kaget ketika mengetahui Pandu sudah ada 
di belakangnya. la buru-buru berpaling 
dan cepat cabut pedangnya. Sreet...! 
Pandu mengangkat kedua tangannya ke 
depan dan berkata dalam gerakan mundur 
sedikit, "Sabar, sabar...! Tunggu dulu, 
jangan main bacok saja. Kita bicara baik-
baik tanpa pergunakan pedang, Awan Sari." 
"Aku tak punya waktu untuk ngobrol 
denganmu, Pendekar Romantis! Aku butuh 
selesaikan tugas dari Guru secepatnya! 
Hiaaat...!"  
Wuuut...! Awan Sari melompat cepat 
bagai bayangan berkelebat. Pedangnya 
menebas bagai  ingin membelah dada Pandu 
Puber dari atas samping kanan ke bawah 
samping kiri. Weesss...! 
"Hei, tunggulah... jangan tergesa-
gesa!" seru Pandu sambil  lompat ke 
belakang dan pedang itu tidak kenai 
sasarannya. Tapi di luar dugaan ujung pe-
dang itu menebarkan serbuk racun yang 
terhirup ke dalam hidung Pandu Puber.  
Wrreesss...! 
Dalam sekejap saja Pandu Puber jatuh 
terkulai lemas. Brukk...! Napasnya sesak, 
badannya terasa panas. Matanya berkunang-
kunang. Kepalanya nyut-nyutan. Kulitnya 
gatal, tulangnya terasa remuk, sehingga 
tak bisa menggaruk kulit yang gatal. 
Mulutnya terasa kering bagaikan 
kehilangan air ludah. Tenggorokannya 
terasa tersumbat sesuatu yang membuatnya 
sukar menelan ludah atau napas. 
"Celaka?! Kenapa aku ini? Oh, racun 
itu...! Gila, racun itu ganas sekali. 
Matilah aku kalau begini caranya!" pikir 
Pandu Puber dengan masih berusaha untuk 
bisa menggerakkan tangan dan kakinya. 
Tapi urat-uratnya makin lama dirasakan 
semakin lemah dan tak mampu mengeras 
sedikit pun. Pada saat itu, Sumo Banjir 
yang tegang segera lari ketakutan. Jika 
Pandu yang berilmu saja bisa dibuat 
lumpuh oleh si cantik bermata bundar itu, 
apalagi dirinya. Maka tak ada jalan 
terbaik baginya kecuali melarikan diri 
jauh-jauh. 
Awan Sari tidak peduli dengan Sumo 
Banjir. Ia butuh Pandu Puber, sehingga ia 
segera hampiri pemuda tampan itu. 
Senyumnya tersungging sinis dan pedangnya 
masih di tangan, siap untuk memenggal 
kepala sewaktu-waktu. Awan Sari sempat 
berkata, 
"Tak ada yang bisa melawan 'Racun 
Kembang Kubur'-ku, Pandu! Sebentar lagi 
seluruh cairan dalam tubuhmu akan 
mengering, termasuk darahmu, sumsummu, 
dan apa saja. Kau akan mati dalam keadaan 
kering bagaikan batang-batang pohon yang 
kekurangan air!" 
"Kkaau... jaaah... jaahat...!" dengan 
susah payah akhirnya Pandu dapat ucapkan 
kata itu. Tapi dalam hati ia sibuk 
salurkan hawa murninya untuk melawan 
keganasan 'Racun Kembang Kubur" itu. 
Ternyata usahanya sia-sia.  Ia 
ditertawakan dengan nada dingin oleh 
lawannya. 
"Jangan anggap kau menang melawan 
guruku lalu bisa unggul  pula melawan 
muridnya? Hmmm...! Awan Sari bukan 
seorang murid yang bodoh. Semua ilmu yang 
kudapat kuolah kembali dengan akal 
pikiranku, sehingga tugas membalas 
kekalahan guruku adalah tugas yang ringan 
bagiku!" 
Baru saja selesai bicara begitu, 
tiba-tiba sebarisan logam berbentuk 
seperti mata pisau kecil  melesat dari 
belakang, sasarannya ke punggung Awan 
Sari. Tapi gadis itu rupanya mempunyai 
ketajaman rasa, sehingga dengan cepat ia 
berputar balik dan pedangnya dikibaskan 
beberapa kali ke sana-sini menangkis 
logam-logam runcing tersebut.  
Trang, tring, trang, tring, 
trelng...! Dalam sekejap logam berbentuk 
mata pisau runcing Itu tersapu habis oleh 
gerakan jurus pedangnya yang cukup hebat. 
"Siapa yang punya niat membela Pandu 
edan ini?! Keluar dari persembunyianmu! 
Lekas...!" bentaknya dengan lantang. 
"Aku orangnya!" 
Oh, rupanya suara itu justru datang 
dari belakang Pandu, padahal Pandu sedang 
dipungggungi oleh Awan Sari. Kontan Awan 
Sari berpaling ke arah semula dan melihat 
sesosok tubuh seksi berwajah cantik pula 
berdiri di belakang Pandu Puber yang 
terpuruk dekat pohon. Wajah cantik dengan 
rambut disanggul rapi itu melangkah ke 
samping pemuda tampan yang tak berdaya 
itu. 
Agaknya si Awan Sari sudah kenal 
dengan perempuan cantik berusia sekitar 
tiga puluh tahun yang sebenarnya usia 
aslinya sekitar dua atau tiga kali lipat 
keadaannya sekarang ini. Perempuan 
berjubah merah jambu dengan pakaian 
dalamnya pinjung hijau muda itu tak dari 
adalah Ratu Geladak Hitam alias 
Dardanila, (Soal cewek yang ini bisa 
diperoleh dalam serial Pendekar Romantis 
episode: "Geger Di Kayangan" - nggak baca 
rugi lho). 
Dalam kisah tentang "Pedang Siluman", 
Dardanila terkena racun 'Pemikat Surga' 
dari Pandu, tapi hal itu tidak disadari. 
Racun itu terpancar melalui hubungan 
intim dan membuat si wanita tergila-gila 
sampai mati kepada sang anak dewa itu. 
Sekarang pun Dardanila  dalam upaya 
mencari Pandu Puber, karena racun 
'Pemikat Surga' kian menuntut kehangatan 
batin yang menyiksa jiwa jika tak 
terlampiaskan, (Soal racun 'Pemikat 
Surga' bisa ditemui dalam serial Pendekar 
Romantis episode: "Pedang Siluman" - hot 
juga lho, swear!). 
Makanya nggak heran kalau Dardanila 
marah melihat Pandu Puber dilumpuhkan 
begitu. Urat-uratnya mengendor dan tak 
berfungsi lagi. Tentu saja Dardanila 
sangat sakit hati, sebab ia tahu jika 
keadaan pendekar tampan seloyo itu, maka 
apa yang dicari Dardanila pun akan dalam 
keadaan loyo juga. Sedangkan racun 
'Pemikat Surga' tidak bisa membuat 
Dardanila berselera bercumbu dengan pria 
lain. Yang bisa membangkitkan dan 
menyelesaikan tuntutan gairahnya hanyalah 
Pandu Puber, sebab pemuda itulah pemilik 
racun 'Pemikat Surga'. Repotnya lagi, 
sampai detik ini Pandu tidak tahu kalau 
dia mempunyai kekuatan racun seperti itu 
dalam darah kejantanannya. 
"Kau mau ikut campur urusan 
pribadiku, Dardanila?!" sapa Awan Sari 
dengan ketus. Dardanila  tak mau kalah 
ketus. 
"Karena kau telah mengusik kegemaran 
pribadiku dengan racunmu itu, maka aku 
pun terpaksa akan mengusik nyawamu, Awan 
Sari!" 
"Tak ada yang kutakuti sedikit pun 
pada dirimu, Dardanila! Cuma kuminta 
pertimbangkanlah langkahmu nanti. Jika 
kau berurusan denganku, maka  kau akan 
berurusan dengan guruku; si Hantu Cong-
kak!" 
"Kau pikir gurumu punya kekuatan 
untuk melumpuhkan aku?! Justru gurumu si 
Hantu Congkak akan kubuat bertekuk lutut 
dan menyembah-nyembah dl depanku, bila 
mana perlu sampai menciumi telapak kakiku 
karena  muridnya  telah mengganggu hobi 
pribadiku!" 
"Lancang sekali mulutmu, Dardanila! 
Jangan salahkan aku kalau kau sebentar 
lagi kehilangan kepala dan pulang nyasar-
nyasar!" 
"Buktikan kecongkakanmu! Terima dulu 
jurus 'Pancaran Maut'-ku ini, Awan Sari! 
Hiaaah...!" 
Clappp...! Sinar kuning melesat dari 
ujung kuku jari telunjuk kiri Dardanila. 
Sinar kuning itu berbentuk panjang dan 
lurus, gerakannya sangat cepat. Awan Sari 
menangkisnya dengan menegakkan pedang di 
depan dada. Pedang itu melepaskan sinar 
hijau dari pertengahan mata pedangnya. 
Clappp...! 
Blegarrr...! 
Bumi berguncang karena ledakan 
dahsyat dari benturan dua sinar bertenaga 
dalam tinggi itu. Suara gemuruh terdengar 
dari gugurnya tanah dan bebatuan yang 
longsor di sekitar tempat itu. Sedangkan 
kedua perempuan itu sama-sama terpental 
ke belakang, saling berjauhan, karena 
gelombang ledak mengeluarkan hentakan 
angin badai sekilas berkekuatan tiga 
tenaga kuda. Mereka saling tumbang di 
tempat berbeda. Tapi keadaan mereka masih 
saling utuh, artinya tanpa luka apa pun 
kecuali hanya luka lecet akibat tergores 
ranting kering. 
"Keparat kau, Dardanila! Heaaat...!" 
Awan Sari melayang bagaikan terbang 
dengan pedang terarah ke depan, sedangkan 
Dardanila yang tidak merasa gentar 
sedikit pun segera melompat juga dengan 
gerakan mirip seekor merpati liar 
terbang. 
Wuuut...! Werrsss...! 
Walau tanpa senjata, tapi Dardanila 
mampu berkelebat cepat menghindari 
tebasan pedang lawannya. Tangan dan kaki 
dipergunakan dengan cepat, sehingga tiga 
sinar beda warna tahu-tahu melesat dari 
jari, telapak tangan, dan mata kiri 
Dardanila.  


Slappp...! Crabbb...! 
Duarrr...! 
Blegarrr...! 
Guncangan bumi terasa kian jelas dan 
keras. Seperti akan terjadi gempa bumi 
yang mengerikan di tempat itu. Pedang 
milik Awan Sari terpental lepas dari 
tangannya, terbang ke belakang. Tapi 
tubuhnya sendiri juga terbang ke belakang 
berguling-guling kehilangan jejak. 
Akhirnya ia jatuh tersungkur di samping 
pedangnya dalam keadaan hidung, telinga, 
dan mulut menyemburkan darah kental. 
Sedangkan Dardanila memang terpental 
juga, tapi tak mengalami luka apa pun 
kecuali hanya pusing sedikit karena 
kepalanya membentur pohon. 
"Oh, dadaku panas sekali. Rasanya mau 
jebol. Uh..., aku tak kuat! Aku harus 
pulang dan minta obat pada Guru. Tak ada 
kesempatan untuk membalas Dardanila saat 
sekarang. Racunku tersembur habis kepada 
Pandu. Ooh... sakitnya! Aku harus segera 
kabur sebelum ia melepaskan pukulannya 
yang berbahaya!" pikir Awan Sari, lalu 
cepat-cepat melesat meninggalkan tempat. 
Dardanila menjadi bimbang; mengejar lawan 
atau membawa pergi Pandu secepatnya? 
EMPAT 
HUJAN turun secara mendadak. Tak ada 
waktu buat Dardanila untuk membawa pulang 
Pandu ke Benteng Geladak Hitam. Kebetulan 
tak jauh dari tempatnya memanggul Pandu 
Puber terlihat sebuah gua. Kalau bukan 
orang bermata jeli, tak mudah temukan gua 
itu. Soalnya gua itu tertutup bongkahan 
batu dan gundukan cadas berilalang 
rimbun. Cara masuknya saja sedikit rapat 
dengan sisi gundukan cadas tersebut. 
Hanya ada gang sempit dan tak muat untuk 
dua orang. 
Barangkali saja karena sepasang mata 
Dardanila sudah dipengaruhi oleh  tempat-
tempat strategis untuk bercumbu, maka ia 
dapat melihat celah sempit itu sebagai 
pintu masuk ke sebuah gua. Pandu Puber 
dibawanya masuk ke gua tersebut dengan 
segudang harapan berbunga-bunga  di hati 
Dardanila. 
Gua itu ternyata cukup luas dan 
mempunyai lorong yang dalam. Langit-
langit gua cukup tinggi. Salah satu sisi 
langit-langit tampak berlobang seperti 
retak memanjang. Dari situlah cahaya 
matahari bisa masuk ke gua tersebut, juga 
air hujan  membocori gua bagian sisi 
kirinya. Air menggenang di sisi kiri. 
Ternyata lantai gua yang biasa terkena 
bocoran air hujan membentuk kubangan 
mirip bak penadah air hujan. Panjangnya 
dua kali ukuran lesung penumbuk padi. 
Di dalam gua itu juga terdapat tanah 
datar berumput tipis, seperti jenis 
rumput lumut yang empuk. Tanah berumput 
tipis itu cukup luas, membentang dari 
pertengahan gua sampai ke dalam. Di 
samping sebidang tanah berumput tipis, 
juga terdapat bebatuan dengan  berbagai 
ukuran. Ada yang besarnya seukuran tinggi 
manusia dewasa, ada yang besarnya 
seukuran kerbau, ada pula yang cuma 
sebesar bayi nungging. 
Cahaya yang bisa masuk ke gua 
tersebut datang dari celah atap yang 
retak itu. Tapi Dardanila berhasil 
temukan  beberapa potong kayu di mulut 
gua. Memang sedikit basah, tapi masih 
bisa disusun dan dinyalakan sebagai api 
unggun dengan cara melepaskan tenaga 
dalamnya yang mengandung inti api dari 
ujung telunjuk kanannya itu. Maka suasana 
di dalam gua pun menjadi terang dengan 
adanya api unggun itu. 
Kalau tidak ada Dardanila, Pandu 
Puber pasti mati. 'Racun Kembang Kubur' 
sangat ganas. Tak mau diajak kompromi 
sedikit pun. Cairan darah dalam tubuh 
Pandu nyaris kering kerontang, bagaikan 
sebotol tippex kekurangan minyak thinner. 
Tapi untunglah Dardanila mempunyai jurus 
pemunah 'Racun Kembang Kubur' yang dulu 
dipelajari dari seorang tabib kawakan di 
dataran Tiongkok. 
Proses penyembuhannya sedikit memakan 
waktu. Kalau tak sabar bisa bikin hati 
memendam kedongkolan. Semburan hawa murni 
Dardanila dicampur dengan tenaga dalam 
berhawa panas, ternyata mampu mencairkan 
darah Pandu. Tapi untuk penyembuhannya 
terpaksa dilakukan dengan cara  yang 
sedikit kena sensor. Habis, pakaian Pandu 
harus dilepaskan semuanya, dan telapak 
tangan Dardanila merayap dari kepala 
pasiennya sampai ke telapak kakinya. 
Setiap sentuhan kedua telapak  tangan 
mengandung kekuatan semburan hawa murni 
dan hawa panas. Dengan begitu apa pun 
yang membeku menjadi cair kembali, urat-
urat yang lemas menjadi kaku dan elastis 
kembali. 
Singkat cerita, Pandu Puber sembuh, 
normal kembali walau masih dalam keadaan 
pingsan. Semua organ tubuhnya telah 
berfungsi seperti sedia kala. 
Berkobar-kobar hasrat wanita itu 
memandangi wajah Pandu. Keinginan yang 
terpendam cukup lama dan membuat badannya 
kurus, hampir terserang TBC, membuat 
Dardanila  tak sabar menunggu Pendekar 
Romantis siuman. 
"Luar biasa. Memang anak ini benar-
benar anak aneh. Pingsan saja masih bisa 
menantang, apalagi kalau dalam keadaan 
sadar. Oh, aku tak bisa bertahan lagi." 
Sistem penyembuhan untuk 
menghancurkan Racun Kembang Kubur telah 
membuat kepekaan tinggi dari semua urat 
saraf di tubuh sang Pendekar Romantis. 
Karenanya, pemuda itu bagaikan pria yang 
rajin minum ginseng dan makan telur-madu. 
Perempuan yang sudah telanjur menjadi 
korban racun 'Pemikat Surga'  dari darah 
kejantanan si anak blaster dewa dengan 
jin itu, akhirnya terkulai lemas sendiri. 
Cahaya matanya berbinar-binar penuh 
kelegaan. Wajahnya berseri bagai telah 
menemukan segunung kegembiraan yang 
didambakan. 
Apa yang terjadi jika Pandu Puber 
sadar pada saat Dardanila menjadi pilot 
penerbangan menuju ambang surga cintanya? 
Marahkah Pandu Puber melihat dirinya yang 
pingsan dimanfaatkan oleh Dardanila? 
Ternyata tidak. Wah, edan lagi nih. 
Pandu Puber malah memberikan respon yang 
lebih agresif lagi. Hal itu disebabkan 
karena sistem penyembuhan tadi telah mem-
buat sang batin Pandu sendiri menuntut 
kuat, dan tak bisa ditangguhkan walau 
sebentar pun. Bahkan Pendekar Romantis 
bertato bunga mawar di dadanya itu 
seolah-olah tak menyadari apa yang telah 
dilakukannya dan diberikannya kepada 
Dardanila. Namun toh hal itu membuat 
Dardanila kegirangan dan merelakan 
dirinya disikat habis tak tersisa sedikit 
pun. 
Setelah akhirnya mereka berdua sampai 
di puncak perlawanan, setelah mereka 
berdua sama-sama nongkrong di puncak 
kehangatan, barulah Pandu Puber mulai 
sadar dan berkata dalam gumam, "Mengapa 
harus terjadi sampai seperti ini? 
Seharusnya aku tidak seliar tadi." 
Dardanila yang bermandi peluh 
menggelendot di punggung Pandu dan 
berkata dalam desah membisik, "Jangan 
sesali. Toh aku amat menyukai!" 
Di luar gua, hujan turun dengan 
deras. Masih sederas tadi. Udara dingin 
merembas masuk gua. Udara dingin itulah 
yang membuat Pandu Puber diam saja dalam 
pelukan Dardanila, karena ia sendiri 
merasakan pelukan itu menghadirkan 
kehangatan dan keindahan tersendiri. 
Tapi tiba-tiba Pandu Puber ingat 
dengan seraut wajah polos milik Sumo 
Banjir.  Ia mulai tegang, maksudnya, 
otaknya yang mulai tegang memikirkan Sumo 
Banjir. 
"Ke mana perginya anak itu? Apakah ia 
selamat atau terculik orang-orang 
Perguruan Musang Terbang?" 
"Apakah kau punya urusan dengan orang 
Perguruan Musang Terbang yang diketuai 
oleh si Malaikat Bisu itu?" 
"Apakah kau kenal dengan pihak 
Perguruan Musang Terbang?" 
Perempuan cantik yang menggondol 
seribu medali kebahagiaan batin itu 
menganggukkan kepala sambil sunggingkan 
senyum tipis. Lalu  ia juga berucap kata 
pelan, 
"Malaikat Bisu, ketua Perguruan 
Musang Terbang, pernah kubuat lari 
terbirit-birit dan ia paling jera 
berhadapan denganku. Jika memang kau 
punya persoalan dengan pihak Malaikat 
Bisu, serahkan padaku. Aku yang akan 
menghadapinya!" 
"Sebenarnya aku hanya menyelamatkan 
bocah berusia sekitar lima belas tahun 
yang bernama Sumo Banjir itu...," 
kemudian Pandu  Puber menceritakan 
kisahnya bersama Sumo Banjir. Ketika 
menyinggung-nyinggung pusaka Patung Iblis 
Banci, wajah Dardanila menjadi sedikit 
tegang, dahinya berkerut, pandangan 
matanya serius, tampak tertarik sekali 
dengan pembicaraan tersebut. Pandu Puber 
semakin banyak menceritakan apa yang ia 
tahu tentang Patung Iblis Banci. Apa yang 
ia dengar dari orang-orang di kedai pun 
diceritakan kembali kepada Dardanila. 
Tapi Dardanila segera memotong kata-
katanya, 
"Tak usah terlalu banyak kau 
ceritakan, aku sudah  cukup tahu tentang 
pusaka Patung Iblis Banci yang akan 
muncul tak lama lagi. Aku hanya merasa 
heran, karena ternyata pendekar semuda 
kau sudah banyak mengetahui tentang 
pusaka tersebut." 
"Apa saja yang kau ketahui tentang 
pusaka itu?" pancing Pandu, ingin menguji 
pengetahuan tokoh tua yang awet muda itu. 
"Patung itu menjadi incaran para 
tokoh. Tentu saja untuk mendapatkannya 
tidak semudah mendapatkan singkong rebus 
di sebuah kedai. Paling tidak harus 
melalui proses pertarungan adu nyawa. Dan 
mereka yang memburu pusaka itu tidak 
segan-segan korbankan nyawa sendiri asal 
pusaka itu pada akhirnya dapat 
dimilikinya. Karena barang siapa memiliki 
Patung Iblis Banci, maka boleh  jadi ia 
termasuk orang terkuat di antara para 
tokoh paling berbahaya, karena kesaktian 
pada patung itu dapat membuatnya 
bertindak seenak perutnya sendiri," 
Dardanila mengatur napasnya sejenak 
sebelum melanjutkan, 
"Kalau patung itu jatuh di tangan 
tokoh sesat, maka akan sulitlah 
mengalahkan orang tersebut. Dunia 
persilatan akan dikuasai oleh tokoh sesat 
itu. Dan kalau patung itu jatuh ke tangan 
musuhmu, kujamin dalam waktu singkat kau 
akan mati walau kau lari ke ujung bumi." 
"Itulah sebabnya aku ingin mendapat-
kan patung itu atau menghancurkannya, 
agar tidak menjadi sumber malapetaka bagi 
kedamaian di permukaan bumi ini!" 
"Kalau begitu aku harus membantumu." 
"Bukankah kau sendiri ingin memiliki 
pusaka Patung Iblis Banci itu?" pancing 
Pandu Puber dengan sikap curiga. 
Tapi Dardanila gelengkan kepala 
sambil sunggingkan senyum awet mudanya 
itu. ia berkata, "Kalau aku mau, aku akan 
minta bantuanmu secara terang-terangan. 
Tapi aku tidak inginkan patung itu semasa 
kau menginginkannya. Justru aku ingin 
lindungi keselamatanmu dalam mendapatkan 
Patung Iblis Banci itu. Karena jika kau 
celaka, habislah riwayat hidupku. Mungkin 
aku juga akan mati, karena tak bisa 
dapatkan kemesraan sehangat yang 
kurenggut darimu tadi."  
"Ah, kau kan bisa mendapatkannya dari 
pria lain?" 
Dardanila menggeleng. "Dulu memang 
bisa begitu. Tapi sejak kudapatkan darimu 
pertama kalinya, aku tak pernah berselera 
lagi dengan lelaki Iain, Pandu. Tergugah 
pun tak pernah." 
Pendekar Romantis mencibir, karena 
rayuan seperti itu tertimbun segudang 
penuh di dalam benaknya. Sebenarnya Pandu 
Puber ingin ucapkan kata lagi untuk 
membalas rayuan itu. Tetapi tiba-tiba 
mata mereka melihat sekelebat bayangan 
masuk ke dalam gua tersebut. Pandu Puber 
segera lompat ke balik gundukan batu 
besar, Dardanila mengikutinya dengan 
lompatan tanpa timbulkan bunyi. Setelah 
di balik batu besar, barulah mereka sama-
sama bingungnya. 
"Celaka! Pakaian kita masih 
tertinggal di sana!" bisik Pandu. 
"Astaga! Iya, ya...?! Dari tadi kita 
nggak mau mengenakannya kembali sih," 
Dardanila memandangi keadaan tubuhnya 
sendiri. 
"Diamlah di sini dulu, biar kuambil 
pakaian kita itu!" 
Gerak cepat dari jurus 'Angin Jantan' 
membuat orang yang baru masuk ke dalam 
gua itu tidak melihat kalau Pandu habis 
menyambar pakaian mereka. Lalu keduanya 
sibuk sendiri mengenakannya di balik 
gugusan batu hitam setinggi kepala mereka 
lebih sedikit. 
"Siapa orang yang baru masuk tadi?" 
bisik Pandu, 
"Entah. Aku hanya melihat bayangannya 
saja."  
"Selidikilah dia, aku akan 
mengawasimu dari sini!" 
Merasa hatinya telah damai batinnya 
telah terpenuhi, sekalipun di tempatnya 
Dardanila dipanggil sebagai Gusti Ratu 
dan sering keluarkan perintah, tapi di 
depan pemuda tampan menggiurkan itu ia 
tak mampu keluarkan perintah bahkan 
menolak perintah pun tak sanggup. 
Dardanila mengendap-endap mendekati 
bagian dekat mulut gua. Pandu Puber 
membayang-bayangi dari kejauhan. Nyala 
api unggun tak sempat dipadamkan. Mudah-
mudahan orang yang baru masuk tadi tidak 
sempat menangkap nyala api unggun yang 
ada di kedalaman lorong gua tersebut. 
Tapi seandainya orang itu mengetahui ada 
nyala api unggun, Pandu Puber sudah punya 
rencana sendiri untuk orang tersebut. 
Tamu gua itu ternyata seorang lelaki 
berambut putih panjangnya sepunggung. 
Rambut putihnya diikat ke belakang dengan 
seutas  tali yang sepertinya dari jenis 
akar pepohonan. Kumis dan jenggotnya 
cukup  lebat tapi lemas, berwarna putih 
rata. Wajah tuanya mempunyai sepasang 
mata cekung. Mata itu memancarkan rasa 
dingin yang tidak bisa ditebak apa yang 
terpendam di hati orang itu. 
Dardanila belum pernah jumpa dengan 
orang tersebut. Tapi dilihat dari 
penampilannya, Dardanila yakin kakek 
tersebut berilmu tinggi. Mengenakan jubah 
biru lusuh dengan pakaian dalamnya putih 
lusuh juga. Ikat pinggangnya sabuk hitam 
dari kulit binatang. Tubuhnya tak terlalu 
kurus, tapi juga tidak tergolong gemuk. 
Tingginya sedang-sedang saja. Bukan 
termasuk lelaki jangkung. Di tubuhnya tak 
ada senjata apa pun kecuali sebuah 
seruling ular. Seruling itu mempunyai 
tempat penampung suara menggelembung di 
tengahnya, biasa dipakai oleh para pawang 
ular di India. Dardanila menduga, mungkin 
itulah senjata sang kakek tak dikenal. 
Agaknya sang kakek sedang berteduh 
menghindari hujan. Tapi anehnya Dardanila 
tak melihat tetesan air membekas pada 
jubahnya. Pakaian itu kering tanpa air 
sedikit pun 
"Kalau tidak berilmu tinggi, tak 
mungkin pakaiannya bisa kering tanpa 
bekas tetesan air hujan. Padahal hujan di 
luar sana cukup deras." 
Tiba-tiba kakek berjubah biru lusuh 
itu ucapkan kata bagai bicara sendiri, 
namun terdengar jelas dari tempat 
Dardanila bersembunyi. 
"Keluarlah dari situ. Untuk apa 
mengintaiku terus?" 
Dardanila jadi tak enak hati. Kakek 
itu tahu kalau sedang diintai, padahal 
saat bicara tadi ia memunggungi 
Dardanila, memandang ke arah luar gua. 
Hampir-hampir Dardanila menyangka kakek 
itu bicara dengan seseorang yang ada di 
luar gua sana. 
"Keluarlah, daripada kupaksa dengan 
kekerasan. Aku tak suka diintip begitu. 
Kayak maling saja! Kalau mau bicara 
padaku, datanglah kemari, akan kulayani 
dengan baik-baik!" ucap sang kakek lagi. 
Pendekar Romantis juga mendengar 
ucapan itu. Batinnya juga menduga sama 
seperti apa yang diduga Dardanila tentang 
kakek tersebut. Karenanya, ketika 
Dardanila melirik ke arah Pandu Puber, 
pemuda itu memberi isyarat dengan kedipan 
mata yang berarti Dardanila disuruh 
muncul secara terang-terangan. Dardanila 
ganti memberi kode dengan gerakkan 
tangannya, ia minta mereka berdua muncul 
bersama. Maka, akhirnya kedua pengintai 
itu pun sama-sama muncul menemui kakek 
berjubah biru. 
"Begitu lebih baik daripada sembunyi-
sembunyi di belakangku." kata sang kakek 
dengan kalem dan  berkesan dingin. 
"Mengapa kalian ada di sini?" tanyanya 
setelah Pandu dan Dardanila tersenyum 
meramahkan diri, walau tidak mendapat 
sambutan seirama. 
"Kami meneduh di sini, sama halnya 
dengan dirimu, Kek!" jawab Dardanila, 
lalu dilanjutkan oleh suara Pandu Puber, 
"Tak ada jeleknya kalau kita 
berkenalan, Pak Tua. Namaku Pandu Puber 
dan dia bernama Dardanila," sambil Pandu 
menunjuk sang Ratu Geladak Hitam. "Lalu, 
kau sendiri siapa, Pak Tua?" 
"Panggil saja seperti itu: Pak Tua. 
Itu sudah cukup bagiku. Cukup 
menghormat." 
"Tentunya kau punya nama julukan 
kalau tak mau sebutkan nama aslimu, Pak 
Tua?" tanya Dardanila dengan kalem. 
Pak Tua diam, memandang ke arah hujan 
di luar gua. Dardanila dan Pandu saling 
pandang sebentar. Sebelum Pandu ajukan 
tanya, Pak Tua sudah kembali perdengarkan 
suaranya yang bulat, jenis alto tanpa 
serak sedikit pun. Suara besarnya itu 
yang membuat ia tampak punya kharisma dan 
berwibawa di depan orang semuda Pandu. 

"Kudengar kalian tadi bicara tentang 
Patung Iblis Banci."  
"Ya, memang benar!" jawab Pandu apa 
adanya, karena ia ingin tahu apa reaksi 
Pak Tua terhadap percakapan Patung Iblis 
Banci. 
"Apakah kau berminat mendapatkan 
pusaka patung itu, Pak Tua?" Dardanila 
bertanya pelan sambil berdiri tegak 
bersedekap tangan di dadanya. 
"Aku sama sekali tak tertarik dengan 
isapan jempol itu!" kata Pak Tua dengan 
tetap memandang ke arah hujan. 
"Jempolnya siapa yang dihisap, Pak 
Tua?" tanya Pandu salah dengar dengan 
sengaja atau memang salah mengartikan, 
tak jelas maksudnya. Yang jelas Pak Tua 
palingkan pandangan ke arah Pandu dan 
berkata dengan nada ketus, 
"Sebodoh itukah otakmu, Pandu? 
Percuma saja kau dapat tumbangkan 
Shoguwara dan merebut gelar pendekarnya 
kalau kata-kata seperti itu saja tak bisa 
kau artikan dengan benar!" 
"Rupanya kau banyak tahu tentang 
diriku, Pak tua?" kata Pandu setelah 
nyengir sedikit malu. Ia tetap tenang. 
Sama tenangnya dengan Dardanila dan Pak 
Tua. 
"Namamu kudengar sejak kau berhasil 
hancurkan Samurai Cabul! Wajahmu kulihat 
saat kau tinggalkan pertarungan dengan 
Shoguwara di depan rumah Lila Anggraeni!" 
"Wah, kacau. Ini orang banyak tahu 
soal diriku. Tapi  apakah dia tahu juga 
tentang jati diriku?" pikir Pandu dalam 
senyum tersipu-sipu yang dipaksakan. 
"Jadi pada saat aku tumbangkan 
Samurai Cabul, kau ada di sana?" 
"Aku terlambat datang," jawab Pak 
Tua. "Padahal aku punya urusan sendiri 
dengan Shoguwara. Sayang sekali ia sudah 
telanjur kabur. Tapi aku yakin dia akan 
muncul di Bukit Jengkal Demit untuk ikut 
memperebutkan Patung Iblis Banci itu!" 
"Pak Tua," Dardanila menyela kata, 
"Apa yang membuatmu tak tertarik untuk 
ikut memperebutkan pusaka Patung Iblis 
Banci itu?" 
"Pusaka itu tidak ada. Hanya omong 
kosong belaka. Itulah sebabnya kukatakan 
bahwa pusaka. Itu hanya isapan jempol 
belaka!" 
Pandu dan Dardanila saling memandang 
dalam kesangsian. 
"Tidak ada?! Benarkah hanya isapan 
jempol semata?" gumam Pandu dengan nada 
lirih. 

Page  1    2    3    4