TIGA
MERASA yakin bahwa keselamatan
jiwanya bisa dilindungi oleh Pendekar
Romantis, otomatis Sumo Banjir menjadi
punya keberanian untuk datang kembali ke
makam yang waktu itu dilihatnya bersinar.
Kehebatan jurus-jurus Pandu membuat Sumo
Banjir merasa bangga jika bisa dampingi
sang jagoan yang tampan itu. Bahkan dalam
hati Sumo Banjir menaruh harap bisa
menjadi muridnya Pandu Puber.
"Aku sendiri tak pernah menjadi murid
seseorang, bagaimana aku bisa mempunyai
murid? Aku tidak tahu bagaimana cara
mengajarkan ilmuku kepada seseorang,"
kata Pandu Puber dalam perjalanan menuju
Bukit Jengkal Demit.
"Jadi, kau tak ingin punya murid,
Kang?" tanya Sumo Banjir. Ia belum berani
mengungkapkan keinginan yang sebenarnya.
Malu dan takut.
"Untuk saat sekarang aku nggak
mikirin soal murid atau guru. Aku cuma
mikirin tentang nasib diriku sendiri yang
belum pasti bisa setenang hidupmu, Sumo
Banjir."
"Masa' sudah berilmu tinggi kok belum
tenang sih, Kang?"
"Justru orang berilmu itu yang banyak
musuhnya dan banyak godaannya. Soalnya
kalau...."
Sumo Banjir heran, mengapa Pandu
berhenti bicara? Langkah Pandu sendiri
juga terhenti. Anak itu heran melihat
sikap Pandu yang diam saja seperti sedang
renungkan sesuatu dengan mata memandang
ke samping kiri. Karena ingin tahu, maka
Sumo Banjir bertanya pelan,
"Kenapa berhenti, Kang? Bukit Jengkal
Demit masih beberapa langkah lagi dari
sini. Pokoknya kalau sudah melewati
lorong ini, baru kita bisa melihat bukit
itu. Ayo, jalan lagi, Kang. Kalau kau
capek, mari kuderek, alias kugendong. Hi,
hi, hi...."
Pendekar Romantis hanya tersenyum
tipis, tak ceria. Lalu ia berkata dengan
suara berbisik,
"Ada orang yang mengikuti langkah
kita dari belakang, Sumo!"
Bocah itu menengok ke belakang, tapi
ia tidak melihat siapa-siapa di belakang
mereka.
"Ah, nggak ada siapa-siapa kok, Kang.
Mungkin itu perasaanmu saja."
"Orangnya bersembunyi di semak-semak
belakang dua pohon yang tumbuh dengan
rapat itu," Pandu mengulang bisikannya.
Tapi menurut penglihatan Sumo Banjir, di
semak-semak yang dimaksud Pandu itu tidak
ada tanda-tanda orang bersembunyi. Tak
ada gerakan, tak ada suara apa pun. Sumo
Banjir pun menyanggah.
"Ah, nggak ada orang kok. Kurasa itu
hanya bayanganmu saja, Kang!"
Pandu Puber balikkan badan. "Lihat
saja nih...," katanya pelan kepada Sumo
Banjir. Lalu, sang Pendekar Romantis
segera gunakan jurus 'Sentak Bumi'
peninggalan dari ayahnya; Batara Kama.
Dengan cara menghentakkan kakinya ke
tanah dialiri tenaga dalam tinggi, maka
seseorang yang bersembunyi di balik
semak-semak itu terlempar ke atas
bagaikan ada kekuatan yang membuangnya
terbang.
Dugg...! Wuuut...!
Wes, wess...! Orang itu pun bersalto
dua kali sambil menjaga keseimbangan
tubuhnya. Dalam kejap berikut orang
tersebut sudah mendarat di depan Pandu
Puber dan Sumo Banjir dalam jarak enam
langkah. Sumo Banjir terbengong melompong
melihat kehebatan jurus 'Sentak Bumi, dan
segera heran melihat sosok berwajah
cantik jelita berdiri di depannya. Sosok
cantik jelita itu berambut sepundak,
lurus dan lemas dengan rambut depan
diponi, tanpa ikat kepala. Wajah cantik
berhidung bangir itu mempunyai mata
bundar bening dan bibir mungil melenakan
jika dipagut. Usianya sekitar dua puluh
tiga tahun. Wajahnya semi oval.
Pakaiannya serba merah menyala dari kain
satin tipis mengkilap berbelahan dada
agak lebar, menampakkan kulit dadanya
yang kuning langsat tapi mulus tanpa
cacat seujung rambut pun. Bahkan
kelihatan sekal dan kencang.
Gadis cantik berpakaian merah menyala
itu mengenakan ikat pinggang dari kain
selendang warna kuning. Di selipan ikat
pinggangnya itu terdapat senjata tajam
berupa pedang seukuran satu lengan
panjangnya. Pedang itu bersarung tembaga
dan gagangnya pun terbuat dari tembaga
merah. Ujung gagangnya berbentuk ukiran
kepala burung hantu.
Dilihat dari caranya memandang, gadis
itu mempunyai sikap tegas dan berani.
Kemanjaannya nyaris tak terlihat ada
padanya. Justru kegalakannya tampak
samar-samar melalui ekspresi wajah
ketusnya saat memandang ke arah Pandu
Puber. Senyum yang dilemparkan Pandu
Puber tidak disambutnya dengan ramah.
Nyaris tanpa sambutan apa-apa.
"Apakah dia kakak perempuanmu,
Sumo?!" tanya Pandu sengaja dikeraskan
supaya didengar oleh gadis judes itu.
"Wah, kalau aku punya kakak perempuan
seperti dia, aku nggak mau kau ajak pergi
ke mana-mana, Kang. Mendingan nonton
wajah kakakku terus-terusan atau minta
dipangku dia setiap hari."
"Aku juga begitu kalau aku punya
kakak perempuan secantik dia!"
"Kang, Nona itu cantik sekali, kawini
sajalah biar nggak dilamar orang lain
lebih dulu!"
"Enak saja kau ngomong!" ujar Pandu
sambil tertawa pelan, sang gadis hanya
memandangi dengan nada ketus.
"Menurutku Nona itu pasti mau, Kang!"
"Maksudmu, mau menjadi istriku?"
"Mau muntah jika menjadi istrimu,"
jawab Sumo Banjir berkelakar. Rupanya
bocah itu juga kepingin melihat senyuman
si gadis, tapi harapan mereka tidak
terkabul karena si gadis tetap berwajah
judes.
Pandu Puber segera mengawali
sapaannya dengan suara lembutnya dan
senyum penjerat hati wanita yang sukar
dihadapi oleh perempuan binal mana pun
juga.
"Apa maksudmu mengikutiku, Nona?"
"Urusan pribadiku," jawab gadis itu
dengan nada ketus. Wajahnya makin lama
semakin berkesan angkuh.
"Rasa-rasanya kita baru saja bertemu,
bagaimana mungkin kita sudah punya urusan
pribadi? Kau belum tahu namaku, dan aku
pun belum tahu namamu, Nona."
"Namamu adalah Pandu Puber, Pendekar
Romantis dari Gunung Ismaya!"
"Lho, kok tahu sih?!" sambil Pandu
nyengir kampungan.
Gadis itu hanya cibirkan bibirnya
dengan sinis. Ia melangkah ke sisi lain,
tapi matanya masih melirik tajam ke arah
Pandu, bersikap bermusuhan. Sementara
itu, Pandu segera ajukan tanya padanya,
"Jika kau sudah tahu namaku, lantas
bagaimana caraku mengetahui nama wajah
cantikmu itu, Nona? Maukah kau
menyebutkannya?"
Gadis itu malahan berkata, "Tentunya
kau masih ingat tentang nama Hantu
Congkak?!"
"Hmmm... maksudmu, Hantu Congkak yang
menjadi kakak perguruannya Sikat Neraka
itu?"
"Benar! Hantu Congkak adalah guruku!
Kau telah mengalahkannya dan aku
ditugaskan menebus kekalahan itu. Karena
itu, bersiaplah sekarang juga, aku akan
tumbangkan kesombonganmu, Pandu!"
"Lho, tunggu, tunggu...! Jangan
serang dulu!" Pandu Puber nyengir sambil
bingung sendiri. "Kok aku bisa dibilang
sombong sih? Kalau aku bisa kalahkan
gurumu itu lantaran gurumu ilmunya
rendah. Jadi bukan karena aku berwatak
sombong, Nona. Hmmm... siapa namamu
sebenarnya? Sebutkanlah, Nona!"
"Hadapi dulu pembalasanku ini,
Hiaaat...!"
Satu sentakan tangan ke depan dengan
cepat membuat dua jari lentik itu
keluarkan sinar merah lurus menghantam
ulu hati Pandu Puber.
Clapp...!
"Eit...! Gawat nih cewek?!" pikir
Pandu sambil berkelit miringkan badan ke
samping dan sinar itu meleset dari
dadanya, menghantam pohon, lalu pohon
yang terhantam sinar merah itu retak
seketika.
Kraak!
"Lawan, Kang! Lawan...! Jangan takut
menghadapi gadis cantik! Buat apa dia
cantik kalau jahat sama kita. Lawan,
Kang...!" Sumo Banjir kasih spirit kepada
Pandu, tapi Pandu tidak mau terpengaruh
oleh spirit bocah itu. Pandu hanya diam
saja, tak mau membalas, hanya melangkah
menjauhi Sumo karena takut serangan
berikutnya meleset dan mengenai Sumo
Banjir. Di bibirnya masih tersungging
senyum yang lebih pantas dikatakan
sebagai kegiatan nyengir rutin.
Sekalipun nyengir, tapi Pandu Puber
masih tetap tampakkan pesona ketampanan-
nya yang semestinya membuat hati gadis
itu terpikat. Tapi nyatanya si gadis kok
nggak terpikat juga? Mungkin karena
merasa mengemban tugas pembalasan dari
gurunya; si Hantu Congkak.
Bayangan wajah tua si Hantu Congkak
yang pernah dilawannya, terpampang jelas
di benak Pendekar Romantis, (Pertarungan
mereka di serial Pendekar Romantis dalam
kisah: "Hancurnya Samurai Cabul" cukup
seru kok).
Gadis itu lepaskan pukulan jarak jauh
tanpa sinar. Gelombang panas dilepaskan
dengan maksud merebus tubuh Pandu. Tapi
sang Pendekar Romantis justru melesat
naik, tahu-tahu ada di atas pohon,
hinggap di sana seperti burung perkutut.
Sikap itu makin membuat sang gadis
jengkel sendiri, maka dilepaskanlah
pukulan yang memancarkan cahaya
berlingkar-lingkar dari genggaman tangan-
nya. Clappp...! Cahaya merah itu menghan-
tam Pandu Puber, namun tubuh itu bagaikan
lenyap, tahu-tahu sudah berpindah di
dahan pohon lainnya. Bukan gadis itu saja
yang kebingungan mencari Pandu, namun
Sumo Banjir pun sempat bengong ketika
akhirnya ia mengetahui Pandu ada di pohon
lain, jauh dari pohon pertama.
"Bagaimana cara lompatnya, ya?" pikir
Sumo Banjir sambil garuk-garuk kepala.
Sambil mendongak gadis itu berteriak,
"Serang aku! Jangan hanya bisa menghindar
saja, Tolol!"
"Sebutkan dulu namamu, nanti aku akan
menyerangmu!"
Gadis itu menatap tajam dan penuh
pancaran kebencian, tapi akhirnya ia pun
berkata dengan nada kian ketus,
"Namaku Awan Sari! Puas?"
"Belum. Mana bisa puas, diapa-apakan
saja belum kok sudah disuruh puas?" ledek
Pandu sengaja bikin jengkel hati si
cantik itu. Bahkan Pandu Puber berseru
lagi dari atas pohon,
"Yang benar namamu Awan Sari atau
Sari Awan?"
"Mulutmu itu yang kena penyakit
sariawan!" sentaknya makin tampak jelas
kejengkelannya. Hati pendekar tampan yang
konyol itu merasa gembira bisa membuat
gadis secantik Awan Sari bersungut
cemberut penuh kedongkolan. Bahkan Awan
Sari segera lepaskan pukulan bersinar
merah seperti tadi, namun lagi-lagi hanya
dihindari oleh Pandu dengan pergunakan
gerakan kilatnya yang dinamakan jurus
'Angin Jantan' itu. Itulah sebabnya tahu-
tahu Pandu Puber sudah ada di bawah dan
posisinya ada di belakang Awan Sari.
Sedangkan pukulan Awan Sari membuat pohon
tempat Pandu berdiri tadi menjadi retak
sebagian.
"Aku di sini, Sayang...!" sapa Pandu
ketika Awan Sari kebingungan mencari
Pandu di atas pohon. Gadis itu sedikit
kaget ketika mengetahui Pandu sudah ada
di belakangnya. la buru-buru berpaling
dan cepat cabut pedangnya. Sreet...!
Pandu mengangkat kedua tangannya ke
depan dan berkata dalam gerakan mundur
sedikit, "Sabar, sabar...! Tunggu dulu,
jangan main bacok saja. Kita bicara baik-
baik tanpa pergunakan pedang, Awan Sari."
"Aku tak punya waktu untuk ngobrol
denganmu, Pendekar Romantis! Aku butuh
selesaikan tugas dari Guru secepatnya!
Hiaaat...!"
Wuuut...! Awan Sari melompat cepat
bagai bayangan berkelebat. Pedangnya
menebas bagai ingin membelah dada Pandu
Puber dari atas samping kanan ke bawah
samping kiri. Weesss...!
"Hei, tunggulah... jangan tergesa-
gesa!" seru Pandu sambil lompat ke
belakang dan pedang itu tidak kenai
sasarannya. Tapi di luar dugaan ujung pe-
dang itu menebarkan serbuk racun yang
terhirup ke dalam hidung Pandu Puber.
Wrreesss...!
Dalam sekejap saja Pandu Puber jatuh
terkulai lemas. Brukk...! Napasnya sesak,
badannya terasa panas. Matanya berkunang-
kunang. Kepalanya nyut-nyutan. Kulitnya
gatal, tulangnya terasa remuk, sehingga
tak bisa menggaruk kulit yang gatal.
Mulutnya terasa kering bagaikan
kehilangan air ludah. Tenggorokannya
terasa tersumbat sesuatu yang membuatnya
sukar menelan ludah atau napas.
"Celaka?! Kenapa aku ini? Oh, racun
itu...! Gila, racun itu ganas sekali.
Matilah aku kalau begini caranya!" pikir
Pandu Puber dengan masih berusaha untuk
bisa menggerakkan tangan dan kakinya.
Tapi urat-uratnya makin lama dirasakan
semakin lemah dan tak mampu mengeras
sedikit pun. Pada saat itu, Sumo Banjir
yang tegang segera lari ketakutan. Jika
Pandu yang berilmu saja bisa dibuat
lumpuh oleh si cantik bermata bundar itu,
apalagi dirinya. Maka tak ada jalan
terbaik baginya kecuali melarikan diri
jauh-jauh.
Awan Sari tidak peduli dengan Sumo
Banjir. Ia butuh Pandu Puber, sehingga ia
segera hampiri pemuda tampan itu.
Senyumnya tersungging sinis dan pedangnya
masih di tangan, siap untuk memenggal
kepala sewaktu-waktu. Awan Sari sempat
berkata,
"Tak ada yang bisa melawan 'Racun
Kembang Kubur'-ku, Pandu! Sebentar lagi
seluruh cairan dalam tubuhmu akan
mengering, termasuk darahmu, sumsummu,
dan apa saja. Kau akan mati dalam keadaan
kering bagaikan batang-batang pohon yang
kekurangan air!"
"Kkaau... jaaah... jaahat...!" dengan
susah payah akhirnya Pandu dapat ucapkan
kata itu. Tapi dalam hati ia sibuk
salurkan hawa murninya untuk melawan
keganasan 'Racun Kembang Kubur" itu.
Ternyata usahanya sia-sia. Ia
ditertawakan dengan nada dingin oleh
lawannya.
"Jangan anggap kau menang melawan
guruku lalu bisa unggul pula melawan
muridnya? Hmmm...! Awan Sari bukan
seorang murid yang bodoh. Semua ilmu yang
kudapat kuolah kembali dengan akal
pikiranku, sehingga tugas membalas
kekalahan guruku adalah tugas yang ringan
bagiku!"
Baru saja selesai bicara begitu,
tiba-tiba sebarisan logam berbentuk
seperti mata pisau kecil melesat dari
belakang, sasarannya ke punggung Awan
Sari. Tapi gadis itu rupanya mempunyai
ketajaman rasa, sehingga dengan cepat ia
berputar balik dan pedangnya dikibaskan
beberapa kali ke sana-sini menangkis
logam-logam runcing tersebut.
Trang, tring, trang, tring,
trelng...! Dalam sekejap logam berbentuk
mata pisau runcing Itu tersapu habis oleh
gerakan jurus pedangnya yang cukup hebat.
"Siapa yang punya niat membela Pandu
edan ini?! Keluar dari persembunyianmu!
Lekas...!" bentaknya dengan lantang.
"Aku orangnya!"
Oh, rupanya suara itu justru datang
dari belakang Pandu, padahal Pandu sedang
dipungggungi oleh Awan Sari. Kontan Awan
Sari berpaling ke arah semula dan melihat
sesosok tubuh seksi berwajah cantik pula
berdiri di belakang Pandu Puber yang
terpuruk dekat pohon. Wajah cantik dengan
rambut disanggul rapi itu melangkah ke
samping pemuda tampan yang tak berdaya
itu.
Agaknya si Awan Sari sudah kenal
dengan perempuan cantik berusia sekitar
tiga puluh tahun yang sebenarnya usia
aslinya sekitar dua atau tiga kali lipat
keadaannya sekarang ini. Perempuan
berjubah merah jambu dengan pakaian
dalamnya pinjung hijau muda itu tak dari
adalah Ratu Geladak Hitam alias
Dardanila, (Soal cewek yang ini bisa
diperoleh dalam serial Pendekar Romantis
episode: "Geger Di Kayangan" - nggak baca
rugi lho).
Dalam kisah tentang "Pedang Siluman",
Dardanila terkena racun 'Pemikat Surga'
dari Pandu, tapi hal itu tidak disadari.
Racun itu terpancar melalui hubungan
intim dan membuat si wanita tergila-gila
sampai mati kepada sang anak dewa itu.
Sekarang pun Dardanila dalam upaya
mencari Pandu Puber, karena racun
'Pemikat Surga' kian menuntut kehangatan
batin yang menyiksa jiwa jika tak
terlampiaskan, (Soal racun 'Pemikat
Surga' bisa ditemui dalam serial Pendekar
Romantis episode: "Pedang Siluman" - hot
juga lho, swear!).
Makanya nggak heran kalau Dardanila
marah melihat Pandu Puber dilumpuhkan
begitu. Urat-uratnya mengendor dan tak
berfungsi lagi. Tentu saja Dardanila
sangat sakit hati, sebab ia tahu jika
keadaan pendekar tampan seloyo itu, maka
apa yang dicari Dardanila pun akan dalam
keadaan loyo juga. Sedangkan racun
'Pemikat Surga' tidak bisa membuat
Dardanila berselera bercumbu dengan pria
lain. Yang bisa membangkitkan dan
menyelesaikan tuntutan gairahnya hanyalah
Pandu Puber, sebab pemuda itulah pemilik
racun 'Pemikat Surga'. Repotnya lagi,
sampai detik ini Pandu tidak tahu kalau
dia mempunyai kekuatan racun seperti itu
dalam darah kejantanannya.
"Kau mau ikut campur urusan
pribadiku, Dardanila?!" sapa Awan Sari
dengan ketus. Dardanila tak mau kalah
ketus.
"Karena kau telah mengusik kegemaran
pribadiku dengan racunmu itu, maka aku
pun terpaksa akan mengusik nyawamu, Awan
Sari!"
"Tak ada yang kutakuti sedikit pun
pada dirimu, Dardanila! Cuma kuminta
pertimbangkanlah langkahmu nanti. Jika
kau berurusan denganku, maka kau akan
berurusan dengan guruku; si Hantu Cong-
kak!"
"Kau pikir gurumu punya kekuatan
untuk melumpuhkan aku?! Justru gurumu si
Hantu Congkak akan kubuat bertekuk lutut
dan menyembah-nyembah dl depanku, bila
mana perlu sampai menciumi telapak kakiku
karena muridnya telah mengganggu hobi
pribadiku!"
"Lancang sekali mulutmu, Dardanila!
Jangan salahkan aku kalau kau sebentar
lagi kehilangan kepala dan pulang nyasar-
nyasar!"
"Buktikan kecongkakanmu! Terima dulu
jurus 'Pancaran Maut'-ku ini, Awan Sari!
Hiaaah...!"
Clappp...! Sinar kuning melesat dari
ujung kuku jari telunjuk kiri Dardanila.
Sinar kuning itu berbentuk panjang dan
lurus, gerakannya sangat cepat. Awan Sari
menangkisnya dengan menegakkan pedang di
depan dada. Pedang itu melepaskan sinar
hijau dari pertengahan mata pedangnya.
Clappp...!
Blegarrr...!
Bumi berguncang karena ledakan
dahsyat dari benturan dua sinar bertenaga
dalam tinggi itu. Suara gemuruh terdengar
dari gugurnya tanah dan bebatuan yang
longsor di sekitar tempat itu. Sedangkan
kedua perempuan itu sama-sama terpental
ke belakang, saling berjauhan, karena
gelombang ledak mengeluarkan hentakan
angin badai sekilas berkekuatan tiga
tenaga kuda. Mereka saling tumbang di
tempat berbeda. Tapi keadaan mereka masih
saling utuh, artinya tanpa luka apa pun
kecuali hanya luka lecet akibat tergores
ranting kering.
"Keparat kau, Dardanila! Heaaat...!"
Awan Sari melayang bagaikan terbang
dengan pedang terarah ke depan, sedangkan
Dardanila yang tidak merasa gentar
sedikit pun segera melompat juga dengan
gerakan mirip seekor merpati liar
terbang.
Wuuut...! Werrsss...!
Walau tanpa senjata, tapi Dardanila
mampu berkelebat cepat menghindari
tebasan pedang lawannya. Tangan dan kaki
dipergunakan dengan cepat, sehingga tiga
sinar beda warna tahu-tahu melesat dari
jari, telapak tangan, dan mata kiri
Dardanila.
Slappp...! Crabbb...!
Duarrr...!
Blegarrr...!
Guncangan bumi terasa kian jelas dan
keras. Seperti akan terjadi gempa bumi
yang mengerikan di tempat itu. Pedang
milik Awan Sari terpental lepas dari
tangannya, terbang ke belakang. Tapi
tubuhnya sendiri juga terbang ke belakang
berguling-guling kehilangan jejak.
Akhirnya ia jatuh tersungkur di samping
pedangnya dalam keadaan hidung, telinga,
dan mulut menyemburkan darah kental.
Sedangkan Dardanila memang terpental
juga, tapi tak mengalami luka apa pun
kecuali hanya pusing sedikit karena
kepalanya membentur pohon.
"Oh, dadaku panas sekali. Rasanya mau
jebol. Uh..., aku tak kuat! Aku harus
pulang dan minta obat pada Guru. Tak ada
kesempatan untuk membalas Dardanila saat
sekarang. Racunku tersembur habis kepada
Pandu. Ooh... sakitnya! Aku harus segera
kabur sebelum ia melepaskan pukulannya
yang berbahaya!" pikir Awan Sari, lalu
cepat-cepat melesat meninggalkan tempat.
Dardanila menjadi bimbang; mengejar lawan
atau membawa pergi Pandu secepatnya?
EMPAT
HUJAN turun secara mendadak. Tak ada
waktu buat Dardanila untuk membawa pulang
Pandu ke Benteng Geladak Hitam. Kebetulan
tak jauh dari tempatnya memanggul Pandu
Puber terlihat sebuah gua. Kalau bukan
orang bermata jeli, tak mudah temukan gua
itu. Soalnya gua itu tertutup bongkahan
batu dan gundukan cadas berilalang
rimbun. Cara masuknya saja sedikit rapat
dengan sisi gundukan cadas tersebut.
Hanya ada gang sempit dan tak muat untuk
dua orang.
Barangkali saja karena sepasang mata
Dardanila sudah dipengaruhi oleh tempat-
tempat strategis untuk bercumbu, maka ia
dapat melihat celah sempit itu sebagai
pintu masuk ke sebuah gua. Pandu Puber
dibawanya masuk ke gua tersebut dengan
segudang harapan berbunga-bunga di hati
Dardanila.
Gua itu ternyata cukup luas dan
mempunyai lorong yang dalam. Langit-
langit gua cukup tinggi. Salah satu sisi
langit-langit tampak berlobang seperti
retak memanjang. Dari situlah cahaya
matahari bisa masuk ke gua tersebut, juga
air hujan membocori gua bagian sisi
kirinya. Air menggenang di sisi kiri.
Ternyata lantai gua yang biasa terkena
bocoran air hujan membentuk kubangan
mirip bak penadah air hujan. Panjangnya
dua kali ukuran lesung penumbuk padi.
Di dalam gua itu juga terdapat tanah
datar berumput tipis, seperti jenis
rumput lumut yang empuk. Tanah berumput
tipis itu cukup luas, membentang dari
pertengahan gua sampai ke dalam. Di
samping sebidang tanah berumput tipis,
juga terdapat bebatuan dengan berbagai
ukuran. Ada yang besarnya seukuran tinggi
manusia dewasa, ada yang besarnya
seukuran kerbau, ada pula yang cuma
sebesar bayi nungging.
Cahaya yang bisa masuk ke gua
tersebut datang dari celah atap yang
retak itu. Tapi Dardanila berhasil
temukan beberapa potong kayu di mulut
gua. Memang sedikit basah, tapi masih
bisa disusun dan dinyalakan sebagai api
unggun dengan cara melepaskan tenaga
dalamnya yang mengandung inti api dari
ujung telunjuk kanannya itu. Maka suasana
di dalam gua pun menjadi terang dengan
adanya api unggun itu.
Kalau tidak ada Dardanila, Pandu
Puber pasti mati. 'Racun Kembang Kubur'
sangat ganas. Tak mau diajak kompromi
sedikit pun. Cairan darah dalam tubuh
Pandu nyaris kering kerontang, bagaikan
sebotol tippex kekurangan minyak thinner.
Tapi untunglah Dardanila mempunyai jurus
pemunah 'Racun Kembang Kubur' yang dulu
dipelajari dari seorang tabib kawakan di
dataran Tiongkok.
Proses penyembuhannya sedikit memakan
waktu. Kalau tak sabar bisa bikin hati
memendam kedongkolan. Semburan hawa murni
Dardanila dicampur dengan tenaga dalam
berhawa panas, ternyata mampu mencairkan
darah Pandu. Tapi untuk penyembuhannya
terpaksa dilakukan dengan cara yang
sedikit kena sensor. Habis, pakaian Pandu
harus dilepaskan semuanya, dan telapak
tangan Dardanila merayap dari kepala
pasiennya sampai ke telapak kakinya.
Setiap sentuhan kedua telapak tangan
mengandung kekuatan semburan hawa murni
dan hawa panas. Dengan begitu apa pun
yang membeku menjadi cair kembali, urat-
urat yang lemas menjadi kaku dan elastis
kembali.
Singkat cerita, Pandu Puber sembuh,
normal kembali walau masih dalam keadaan
pingsan. Semua organ tubuhnya telah
berfungsi seperti sedia kala.
Berkobar-kobar hasrat wanita itu
memandangi wajah Pandu. Keinginan yang
terpendam cukup lama dan membuat badannya
kurus, hampir terserang TBC, membuat
Dardanila tak sabar menunggu Pendekar
Romantis siuman.
"Luar biasa. Memang anak ini benar-
benar anak aneh. Pingsan saja masih bisa
menantang, apalagi kalau dalam keadaan
sadar. Oh, aku tak bisa bertahan lagi."
Sistem penyembuhan untuk
menghancurkan Racun Kembang Kubur telah
membuat kepekaan tinggi dari semua urat
saraf di tubuh sang Pendekar Romantis.
Karenanya, pemuda itu bagaikan pria yang
rajin minum ginseng dan makan telur-madu.
Perempuan yang sudah telanjur menjadi
korban racun 'Pemikat Surga' dari darah
kejantanan si anak blaster dewa dengan
jin itu, akhirnya terkulai lemas sendiri.
Cahaya matanya berbinar-binar penuh
kelegaan. Wajahnya berseri bagai telah
menemukan segunung kegembiraan yang
didambakan.
Apa yang terjadi jika Pandu Puber
sadar pada saat Dardanila menjadi pilot
penerbangan menuju ambang surga cintanya?
Marahkah Pandu Puber melihat dirinya yang
pingsan dimanfaatkan oleh Dardanila?
Ternyata tidak. Wah, edan lagi nih.
Pandu Puber malah memberikan respon yang
lebih agresif lagi. Hal itu disebabkan
karena sistem penyembuhan tadi telah mem-
buat sang batin Pandu sendiri menuntut
kuat, dan tak bisa ditangguhkan walau
sebentar pun. Bahkan Pendekar Romantis
bertato bunga mawar di dadanya itu
seolah-olah tak menyadari apa yang telah
dilakukannya dan diberikannya kepada
Dardanila. Namun toh hal itu membuat
Dardanila kegirangan dan merelakan
dirinya disikat habis tak tersisa sedikit
pun.
Setelah akhirnya mereka berdua sampai
di puncak perlawanan, setelah mereka
berdua sama-sama nongkrong di puncak
kehangatan, barulah Pandu Puber mulai
sadar dan berkata dalam gumam, "Mengapa
harus terjadi sampai seperti ini?
Seharusnya aku tidak seliar tadi."
Dardanila yang bermandi peluh
menggelendot di punggung Pandu dan
berkata dalam desah membisik, "Jangan
sesali. Toh aku amat menyukai!"
Di luar gua, hujan turun dengan
deras. Masih sederas tadi. Udara dingin
merembas masuk gua. Udara dingin itulah
yang membuat Pandu Puber diam saja dalam
pelukan Dardanila, karena ia sendiri
merasakan pelukan itu menghadirkan
kehangatan dan keindahan tersendiri.
Tapi tiba-tiba Pandu Puber ingat
dengan seraut wajah polos milik Sumo
Banjir. Ia mulai tegang, maksudnya,
otaknya yang mulai tegang memikirkan Sumo
Banjir.
"Ke mana perginya anak itu? Apakah ia
selamat atau terculik orang-orang
Perguruan Musang Terbang?"
"Apakah kau punya urusan dengan orang
Perguruan Musang Terbang yang diketuai
oleh si Malaikat Bisu itu?"
"Apakah kau kenal dengan pihak
Perguruan Musang Terbang?"
Perempuan cantik yang menggondol
seribu medali kebahagiaan batin itu
menganggukkan kepala sambil sunggingkan
senyum tipis. Lalu ia juga berucap kata
pelan,
"Malaikat Bisu, ketua Perguruan
Musang Terbang, pernah kubuat lari
terbirit-birit dan ia paling jera
berhadapan denganku. Jika memang kau
punya persoalan dengan pihak Malaikat
Bisu, serahkan padaku. Aku yang akan
menghadapinya!"
"Sebenarnya aku hanya menyelamatkan
bocah berusia sekitar lima belas tahun
yang bernama Sumo Banjir itu...,"
kemudian Pandu Puber menceritakan
kisahnya bersama Sumo Banjir. Ketika
menyinggung-nyinggung pusaka Patung Iblis
Banci, wajah Dardanila menjadi sedikit
tegang, dahinya berkerut, pandangan
matanya serius, tampak tertarik sekali
dengan pembicaraan tersebut. Pandu Puber
semakin banyak menceritakan apa yang ia
tahu tentang Patung Iblis Banci. Apa yang
ia dengar dari orang-orang di kedai pun
diceritakan kembali kepada Dardanila.
Tapi Dardanila segera memotong kata-
katanya,
"Tak usah terlalu banyak kau
ceritakan, aku sudah cukup tahu tentang
pusaka Patung Iblis Banci yang akan
muncul tak lama lagi. Aku hanya merasa
heran, karena ternyata pendekar semuda
kau sudah banyak mengetahui tentang
pusaka tersebut."
"Apa saja yang kau ketahui tentang
pusaka itu?" pancing Pandu, ingin menguji
pengetahuan tokoh tua yang awet muda itu.
"Patung itu menjadi incaran para
tokoh. Tentu saja untuk mendapatkannya
tidak semudah mendapatkan singkong rebus
di sebuah kedai. Paling tidak harus
melalui proses pertarungan adu nyawa. Dan
mereka yang memburu pusaka itu tidak
segan-segan korbankan nyawa sendiri asal
pusaka itu pada akhirnya dapat
dimilikinya. Karena barang siapa memiliki
Patung Iblis Banci, maka boleh jadi ia
termasuk orang terkuat di antara para
tokoh paling berbahaya, karena kesaktian
pada patung itu dapat membuatnya
bertindak seenak perutnya sendiri,"
Dardanila mengatur napasnya sejenak
sebelum melanjutkan,
"Kalau patung itu jatuh di tangan
tokoh sesat, maka akan sulitlah
mengalahkan orang tersebut. Dunia
persilatan akan dikuasai oleh tokoh sesat
itu. Dan kalau patung itu jatuh ke tangan
musuhmu, kujamin dalam waktu singkat kau
akan mati walau kau lari ke ujung bumi."
"Itulah sebabnya aku ingin mendapat-
kan patung itu atau menghancurkannya,
agar tidak menjadi sumber malapetaka bagi
kedamaian di permukaan bumi ini!"
"Kalau begitu aku harus membantumu."
"Bukankah kau sendiri ingin memiliki
pusaka Patung Iblis Banci itu?" pancing
Pandu Puber dengan sikap curiga.
Tapi Dardanila gelengkan kepala
sambil sunggingkan senyum awet mudanya
itu. ia berkata, "Kalau aku mau, aku akan
minta bantuanmu secara terang-terangan.
Tapi aku tidak inginkan patung itu semasa
kau menginginkannya. Justru aku ingin
lindungi keselamatanmu dalam mendapatkan
Patung Iblis Banci itu. Karena jika kau
celaka, habislah riwayat hidupku. Mungkin
aku juga akan mati, karena tak bisa
dapatkan kemesraan sehangat yang
kurenggut darimu tadi."
"Ah, kau kan bisa mendapatkannya dari
pria lain?"
Dardanila menggeleng. "Dulu memang
bisa begitu. Tapi sejak kudapatkan darimu
pertama kalinya, aku tak pernah berselera
lagi dengan lelaki Iain, Pandu. Tergugah
pun tak pernah."
Pendekar Romantis mencibir, karena
rayuan seperti itu tertimbun segudang
penuh di dalam benaknya. Sebenarnya Pandu
Puber ingin ucapkan kata lagi untuk
membalas rayuan itu. Tetapi tiba-tiba
mata mereka melihat sekelebat bayangan
masuk ke dalam gua tersebut. Pandu Puber
segera lompat ke balik gundukan batu
besar, Dardanila mengikutinya dengan
lompatan tanpa timbulkan bunyi. Setelah
di balik batu besar, barulah mereka sama-
sama bingungnya.
"Celaka! Pakaian kita masih
tertinggal di sana!" bisik Pandu.
"Astaga! Iya, ya...?! Dari tadi kita
nggak mau mengenakannya kembali sih,"
Dardanila memandangi keadaan tubuhnya
sendiri.
"Diamlah di sini dulu, biar kuambil
pakaian kita itu!"
Gerak cepat dari jurus 'Angin Jantan'
membuat orang yang baru masuk ke dalam
gua itu tidak melihat kalau Pandu habis
menyambar pakaian mereka. Lalu keduanya
sibuk sendiri mengenakannya di balik
gugusan batu hitam setinggi kepala mereka
lebih sedikit.
"Siapa orang yang baru masuk tadi?"
bisik Pandu,
"Entah. Aku hanya melihat bayangannya
saja."
"Selidikilah dia, aku akan
mengawasimu dari sini!"
Merasa hatinya telah damai batinnya
telah terpenuhi, sekalipun di tempatnya
Dardanila dipanggil sebagai Gusti Ratu
dan sering keluarkan perintah, tapi di
depan pemuda tampan menggiurkan itu ia
tak mampu keluarkan perintah bahkan
menolak perintah pun tak sanggup.
Dardanila mengendap-endap mendekati
bagian dekat mulut gua. Pandu Puber
membayang-bayangi dari kejauhan. Nyala
api unggun tak sempat dipadamkan. Mudah-
mudahan orang yang baru masuk tadi tidak
sempat menangkap nyala api unggun yang
ada di kedalaman lorong gua tersebut.
Tapi seandainya orang itu mengetahui ada
nyala api unggun, Pandu Puber sudah punya
rencana sendiri untuk orang tersebut.
Tamu gua itu ternyata seorang lelaki
berambut putih panjangnya sepunggung.
Rambut putihnya diikat ke belakang dengan
seutas tali yang sepertinya dari jenis
akar pepohonan. Kumis dan jenggotnya
cukup lebat tapi lemas, berwarna putih
rata. Wajah tuanya mempunyai sepasang
mata cekung. Mata itu memancarkan rasa
dingin yang tidak bisa ditebak apa yang
terpendam di hati orang itu.
Dardanila belum pernah jumpa dengan
orang tersebut. Tapi dilihat dari
penampilannya, Dardanila yakin kakek
tersebut berilmu tinggi. Mengenakan jubah
biru lusuh dengan pakaian dalamnya putih
lusuh juga. Ikat pinggangnya sabuk hitam
dari kulit binatang. Tubuhnya tak terlalu
kurus, tapi juga tidak tergolong gemuk.
Tingginya sedang-sedang saja. Bukan
termasuk lelaki jangkung. Di tubuhnya tak
ada senjata apa pun kecuali sebuah
seruling ular. Seruling itu mempunyai
tempat penampung suara menggelembung di
tengahnya, biasa dipakai oleh para pawang
ular di India. Dardanila menduga, mungkin
itulah senjata sang kakek tak dikenal.
Agaknya sang kakek sedang berteduh
menghindari hujan. Tapi anehnya Dardanila
tak melihat tetesan air membekas pada
jubahnya. Pakaian itu kering tanpa air
sedikit pun
"Kalau tidak berilmu tinggi, tak
mungkin pakaiannya bisa kering tanpa
bekas tetesan air hujan. Padahal hujan di
luar sana cukup deras."
Tiba-tiba kakek berjubah biru lusuh
itu ucapkan kata bagai bicara sendiri,
namun terdengar jelas dari tempat
Dardanila bersembunyi.
"Keluarlah dari situ. Untuk apa
mengintaiku terus?"
Dardanila jadi tak enak hati. Kakek
itu tahu kalau sedang diintai, padahal
saat bicara tadi ia memunggungi
Dardanila, memandang ke arah luar gua.
Hampir-hampir Dardanila menyangka kakek
itu bicara dengan seseorang yang ada di
luar gua sana.
"Keluarlah, daripada kupaksa dengan
kekerasan. Aku tak suka diintip begitu.
Kayak maling saja! Kalau mau bicara
padaku, datanglah kemari, akan kulayani
dengan baik-baik!" ucap sang kakek lagi.
Pendekar Romantis juga mendengar
ucapan itu. Batinnya juga menduga sama
seperti apa yang diduga Dardanila tentang
kakek tersebut. Karenanya, ketika
Dardanila melirik ke arah Pandu Puber,
pemuda itu memberi isyarat dengan kedipan
mata yang berarti Dardanila disuruh
muncul secara terang-terangan. Dardanila
ganti memberi kode dengan gerakkan
tangannya, ia minta mereka berdua muncul
bersama. Maka, akhirnya kedua pengintai
itu pun sama-sama muncul menemui kakek
berjubah biru.
"Begitu lebih baik daripada sembunyi-
sembunyi di belakangku." kata sang kakek
dengan kalem dan berkesan dingin.
"Mengapa kalian ada di sini?" tanyanya
setelah Pandu dan Dardanila tersenyum
meramahkan diri, walau tidak mendapat
sambutan seirama.
"Kami meneduh di sini, sama halnya
dengan dirimu, Kek!" jawab Dardanila,
lalu dilanjutkan oleh suara Pandu Puber,
"Tak ada jeleknya kalau kita
berkenalan, Pak Tua. Namaku Pandu Puber
dan dia bernama Dardanila," sambil Pandu
menunjuk sang Ratu Geladak Hitam. "Lalu,
kau sendiri siapa, Pak Tua?"
"Panggil saja seperti itu: Pak Tua.
Itu sudah cukup bagiku. Cukup
menghormat."
"Tentunya kau punya nama julukan
kalau tak mau sebutkan nama aslimu, Pak
Tua?" tanya Dardanila dengan kalem.
Pak Tua diam, memandang ke arah hujan
di luar gua. Dardanila dan Pandu saling
pandang sebentar. Sebelum Pandu ajukan
tanya, Pak Tua sudah kembali perdengarkan
suaranya yang bulat, jenis alto tanpa
serak sedikit pun. Suara besarnya itu
yang membuat ia tampak punya kharisma dan
berwibawa di depan orang semuda Pandu.
"Kudengar kalian tadi bicara tentang
Patung Iblis Banci."
"Ya, memang benar!" jawab Pandu apa
adanya, karena ia ingin tahu apa reaksi
Pak Tua terhadap percakapan Patung Iblis
Banci.
"Apakah kau berminat mendapatkan
pusaka patung itu, Pak Tua?" Dardanila
bertanya pelan sambil berdiri tegak
bersedekap tangan di dadanya.
"Aku sama sekali tak tertarik dengan
isapan jempol itu!" kata Pak Tua dengan
tetap memandang ke arah hujan.
"Jempolnya siapa yang dihisap, Pak
Tua?" tanya Pandu salah dengar dengan
sengaja atau memang salah mengartikan,
tak jelas maksudnya. Yang jelas Pak Tua
palingkan pandangan ke arah Pandu dan
berkata dengan nada ketus,
"Sebodoh itukah otakmu, Pandu?
Percuma saja kau dapat tumbangkan
Shoguwara dan merebut gelar pendekarnya
kalau kata-kata seperti itu saja tak bisa
kau artikan dengan benar!"
"Rupanya kau banyak tahu tentang
diriku, Pak tua?" kata Pandu setelah
nyengir sedikit malu. Ia tetap tenang.
Sama tenangnya dengan Dardanila dan Pak
Tua.
"Namamu kudengar sejak kau berhasil
hancurkan Samurai Cabul! Wajahmu kulihat
saat kau tinggalkan pertarungan dengan
Shoguwara di depan rumah Lila Anggraeni!"
"Wah, kacau. Ini orang banyak tahu
soal diriku. Tapi apakah dia tahu juga
tentang jati diriku?" pikir Pandu dalam
senyum tersipu-sipu yang dipaksakan.
"Jadi pada saat aku tumbangkan
Samurai Cabul, kau ada di sana?"
"Aku terlambat datang," jawab Pak
Tua. "Padahal aku punya urusan sendiri
dengan Shoguwara. Sayang sekali ia sudah
telanjur kabur. Tapi aku yakin dia akan
muncul di Bukit Jengkal Demit untuk ikut
memperebutkan Patung Iblis Banci itu!"
"Pak Tua," Dardanila menyela kata,
"Apa yang membuatmu tak tertarik untuk
ikut memperebutkan pusaka Patung Iblis
Banci itu?"
"Pusaka itu tidak ada. Hanya omong
kosong belaka. Itulah sebabnya kukatakan
bahwa pusaka. Itu hanya isapan jempol
belaka!"
Pandu dan Dardanila saling memandang
dalam kesangsian.
"Tidak ada?! Benarkah hanya isapan
jempol semata?" gumam Pandu dengan nada
lirih.
Emoticon