LIMA
BULAN purnama kurang dua malam lagi.
Bukit Jengkal Demit sudah banyak
disatroni para tokoh rimba persilatan.
Tentu saja mereka datang secara sembunyi-
sembunyi. Ada yang datang berdua, ada
yang datangnya bertiga. Tetapi yang ba-
nyak mereka datang secara pribadi.
Sendiri dan tersembunyi. Arah sasaran
mereka adalah kuburan di bawah pohon
beringin berdaun merah.
Pohon beringin berdaun merah hanya
ada satu di seluruh Bukit Jengkal Demit.
Di bawah pohon itulah jenazah Iblis Banci
dimakamkan oleh murid tanggungnya yang
bernama Layang Petir. Keadaan si Layang
Petir yang gemar mabuk kala itu membuat
rahasia tentang kuburan Iblis Banci bocor
ke mana-mana. Akibatnya sekarang kuburan
itu menjadi bahan incaran para tokoh.
Mereka yakin bahwa Patung Iblis Banci
akan keluar dari makam itu, sebab tanda-
tandanya persis seperti apa yang
dikabarkan oleh Layang Petir, yaitu
tentang rembulan berwarna hitam. Jika
dari awal kemunculan rembulan sudah ada
awan hitam melapisi cahayanya, maka sudah
pasti pada saat bulan purnama nanti sang
rembulan tetap akan dilapisi awan hitam
sebesar penampang rembulan itu sendiri.
Tak heran jika mereka punya praduga bahwa
pada saat muncul bulan purnama nanti,
orang pacaran akan berkurang, karena
suasana malam tidak seromantis biasanya.
Para tokoh yang menuju dan menunggu
di sekitar makam Iblis Banci itu
berkelebat saling menyelusup semak atau
pepohonan. Gerakan itu sempat dilihat
oleh Pandu Puber dan Dardanila, sehingga
mereka saling berkasak-kusuk dari atas
pohon, tempat persembunyian mereka. Pohon
yang digunakan mereka adalah pohon jenis
beringin cabang yang mempunyai dedaunan
rimbun, banyak cabangnya dan berakar
gantung lebat. Keadaan itulah yang membu-
at Pandu serta Dardanila tidak terlihat
oleh mereka yang tersebar di sekitar
tempat itu.
"Kalau memang apa kata Pak Tua itu
benar, bahwa Patung iblis Banci hanya
isapan jempol semata, mengapa para tokoh
lainnya berkumpul di sini secara tak
langsung? Dan mengapa rembulan benar-
benar menjadi tersaput awan hitam?" ujar
Dardanila yang tak mau jauh-jauh dari
Pendekar Romantis.
"Keadaan alam ini mungkin hanya
sesuatu yang bersifat kebetulan saja,
lalu dihubung-hubungkan dengan cerita
lama tentang munculnya pusaka Patung
Iblis Banci. Mereka salah tafsir. Tapi
bisa juga Pak Tua itu sendiri yang salah
tafsir."
Percakapan dengan kakek berjubah biru
yang minta dipanggil sebagai Pak Tua itu
terngiang kembali di telinga Pandu,
terbayang pula sosok penampilan tua yang
berwibawa menjelaskan perkara Patung
Iblis Banci yang sedang dijadikan bahan
incaran tersebut. Kala mereka berada di
dalam gua itu, Pak Tua duduk bersila di
dekat api unggun dan menjelaskan dengan
suara jelas di depan Pandu Puber dan
Dardanila.
"Usiaku sudah mencapai sembilan puluh
tahun lewat. Dulu semasa mudaku, aku
pernah melihat sosok tokoh sakti yang
dikenal dengan julukan Iblis Banci."
"Apakah ia memang benar-benar banci,
Pak Tua?"
"Ya, memang ia banci. la lelaki yang
gemar berdandan seperti perempuan, dan
punya perasaan perempuan juga. Ia cantik,
tapi tubuhnya kekar. Ia suka terhadap
lelaki, dan benci wanita manja."
"Apakah kebanciannya itu merupakan
kelainan jiwa sejak dari lahirnya, Pak
Tua?" tanya Pandu mulai ingin tahu secara
detil.
Pak Tua diam sebentar, lalu menjawab
dengan penuh wibawa yang ada pada
dirinya,
"Kudengar, ia menjadi banci karena
menuntut ilmu yang seharusnya untuk
wanita, tapi dipelajari olehnya, sehingga
sifat-sifat wanita menular pada jiwanya."
"Apakah kau dulu pernah melawannya.
Pak Tua?"'
"Tidak. Aku tak berani melawannya,"
kata Pak Tua menjawab pertanyaan
Dardanila. "Siapa yang melawannya tak
akan pernah punya sisa nyawa sedikit
pun."
"Katanya dulu dia punya murid yang
bernama Layang Petir? Apa benar itu, Pak
Tua?"
"Soal itu aku kurang jelas," jawab
Pak Tua setelah pandangi Pandu beberapa
saat. "Dari mana kau tahu kalau Iblis
Banci punya murid bernama Layang Petir?"
"Dari sebuah obrolan di kedai. Aku
tak kenal siapa orang yang bicara pada
saat itu. Apakah itu penting menurutmu?"
"Tidak," Pak Tua ambil napas panjang-
panjang. "Yang kutahu, dulu ada orang
gila yang mengaku mendengar suara dari
alam kubur. Suara itu menurutnya adalah
suara si Iblis Banci yang bicara tentang
penjelmaan dirinya kelak akan menjadi
Patung Sakti. Tapi itu hanya omongan
orang gila yang memang otaknya nggak
waras, masa' harus kita percaya sih?
Bodoh kan itu namanya?"
Pandu dan wanita cantik di sebelahnya
itu manggut-manggut. Mereka tampak
antusias sekali mendengar kata-kata Pak
Tua yang dianggap tokoh angkatan masa
lalu yang bisa membeberkan siapa
sebenarnya Iblis Banci itu.
Pak Tua berkata lagi tanpa ekspresi
apa pun, kecuali pandangan tajam berkesan
dingin membekukan tulang.
"Kuakui, dulu nama Iblis Banci memang
menggetarkan jantung siapa saja. Termasuk
jantungku sendiri. Dia satu-satunya tokoh
sakti yang tak pernah mau punya pengikut.
Ia bercita-cita menguasai seluruh rimba
persilatan dari ujung bumi selatan sampai
utara."
"Apakah menurutmu ia berhasil, Pak
Tua?" tanya Dardanila yang usia aslinya
tetap masih lebih muda dibanding Pak Tua.
"Menurutku, hampir berhasil. Tapi ia
sudah keburu mati."
"Sosok penampilannya seperti apa sih
orang yang bernama Iblis Banci itu? Aku
kok jadi penasaran ingin menemuinya
seandainya ia masih hidup."
"Kau bisa menemui rohnya," kata Pak
Tua. "Jika kau sebut namanya sampai
sembilan puluh sembilan kali tanpa
bernapas, maka kau akan bisa melihat
sosok dirinya dalam bentuk bayangan
samar-samar. Dia dapat hadir menemuimu
dan berdialog denganmu!"
"Yang benar saja, Pak Tua? Masa'
menyebut nama sembilan puluh sembilan
kali tanpa bernapas, mana kuat?" ujar
Pandu Puber.
"Itulah sebabnya tidak semua orang
bisa lakukan, kecuali bagi mereka yang
pandai mengaturkan ilmu pernapasan
tinggi. Tak ada jeleknya kalau kau ingin
mencobanya. Jika dalam pandanganmu kau
temukan sesosok bayangan orang berambut
putih mengembang, wajahnya berpoles rias
wanita lengkap dengan gincunya sehingga
tampak cantik, berpakaian perempuan
dengan jubah tanpa lengan warna merah,
mengenakan dua anting di telinga kanan-
kirinya, gelang, kalung, dan jarinya
lentik berkuku runcing, tapi lengannya
kekar berotot walau kulitnya putih mulus,
nah... itulah sosok si Iblis Banci. Ia
mirip wanita ganjen, tapi sebenarnya
lelaki yang perkasa dalam pertarungan.
Kalau saja ia masih hidup, pemuda
setampan dirimu pasti akan dikejar-
kejarnya dan dipaksa untuk bercumbu
melayaninya!"
"Iih...!" Pandu Puber bergidik
merinding membayangkan diajak bercumbu
seorang banci Dardanila sempat tertawa
melihat Pandu bergidik merinding.
Dardanila berkata kepada Pandu,
"Kalau saja sekarang ia masih hidup
dan mengejar-ngejarmu untuk diajak
bercumbu, mungkin aku akan korbankan
nyawaku buat melawannya mati-matian."
"Ah, kecemburuanmu itu hanya luapan
gairah belaka!" ujar Pandu yang membuat
Dardanila tersipu dan mencubit lengan
Pandu Puber.
"Kusarankan lebih baik kalian
pikirkan hubungan kasih kalian itu.
Kulihat kalian amat mesra. Tak perlu
memikirkan Patung Iblis Banci, nanti
kalian malah tak jadi kawin."
"Kawinnya sih sudah," jawab Dardanila
sambil cekikikan, matanya masih saja
melirik jalang dan nakal. Tapi tokoh tua
itu tidak tersenyum sedikit pun. Bahkan
berkata dengan serius lagi.
"Bulan purnama nanti akan terjadi
pertarungan yang sia-sia. Kuburan itu
akan menjadi kubangan darah, dan darah
itu adalah darah orang yang menjadi
korban kabar bohong! Barangkali tokoh-
tokoh seangkatan denganku jika mengetahui
hal itu juga akan merasa prihatin atas
kematian yang sia-sia nantinya.
Kusarankan kalian jangan ikut ambil
bagian dalam pertarungan nanti."
Pandu berkerut dahi sedikit dan
bertanya, "Mengapa hanya kami yang kau
sarankan begitu?"
"Bukan hanya kalian. Beberapa orang
yang sempat kutemui sudah kuberi saran
begitu, tapi pada umumnya mereka tidak
percaya dan nekat mau memperebutkan
Patung Iblis Banci. Aku hanya bisa lepas
tangan, yang penting aku sudah jelaskan
kepada mereka tentang apa yang
kuketahui."
"Bagaimana kalau kami hanya hadir
untuk menyaksikan perebutan patung itu?"
tanya Pandu sepertinya meminta saran
kepada seniornya.
"Percuma! Kalian hanya akan membuang
waktu. Lebih baik waktu yang ada kalian
gunakan untuk bermesraan dan saling
mempererat hubungan batin yang indah."
"Aku setuju!" tukas Dardanila dengan
cepat, karena diam-diam gairahnya sudah
mulai terbakar lagi dan membayangkan
memeluk Pandu hingga bermandi peluh lagi.
"Saran Pak Tua patut kita jalankan,"
katanya kepada Pandu.
"Ah, otakmu hanya dipenuhi oleh
bayangan-bayangan begituan melulu.
Bayangan seperti itu malah akan
memperlemah hidupmu, tahu?!"
Clapp...!
Pendekar Romantis terkejut. Ada sinar
melesat cepat dari mata Pak Tua. Sinar
itu berwarna putih kecil. Hampir tak
kentara karena gerakannya cepat dan
bentuknya yang kecil. Pandu Puber hanya
merasakan seperti terkena sesuatu yang
menyilaukan dalam sekejap. Bahkan ia
menyangka dirinya salah duga, karena Pak
Tua tetap diam memandanginya dengan
dingin, seakan tidak pernah melepaskan
sinar apa pun dari mata tuanya itu.
"Nikmatilah kemesraan kalian dan
jangan datang ke pertarungan itu. Biarkan
mereka bertarung sendiri memperebutkan
pepesan kosong!"
Kata-kata itu masih didengar oleh
Pendekar Romantis. Tapi makin lama apa
yang diucapkan Pak Tua makin diterima
secara kabur. Pandu Puber merasa bingung
pada dirinya sendiri.
"Kenapa perasaanku jadi begini?
Kenapa aku jadi gelisah dan berhasrat
sekali untuk memeluk Dardanila? Oh,
jantung berdetak cepat, gairahku meletup-
letup lagi. Hasratku untuk bercumbu
begitu menggebu. Ada apa ini? Uuh...
sial! Sulit sekali kupertahankan. Dan
sentuhan tangan Dardanila di lenganku ini
terasa menghangati sekujur tubuh. Oh,
seakan ia menyentuh kepekaanku dan
membuatku... membuatku...."
Pandu melirik Dardanila yang saat itu
sedang bicara dengan Pak Tua. Debaran
jantungnya bertambah cepat, pertanda
gairahnya sebagai seorang lelaki
mendobrak batin dan menuntut pelampiasan
yang lebih nyata lagi. Bibir Dardanila
saat bicara dipandanginya. Bibir itu
bagaikan lambaian tangan perawan dari
atas ranjang. Uh, menggemaskan sekali.
Sampai akhirnya tangan Pandu Puber
memberanikan diri meraba paha Dardanila.
Ia tak sadar bahwa cahaya putih yang
melesat cepat dari mata Pak Tua itu
adalah cahaya pembangkit gairah bercinta
yang tak bisa tertahankan lagi. Akhirnya
ia berbisik pelan di depan telinga
Dardanila.
"Dardanila, aku ingin... ingin...
ingin mengulang yang tadi...."
Tentu saja ajakan itu disambut dengan
sorak-sorak bergembira di hati Dardanila.
Tak menampik sedikit pun perempuan itu
kala Pandu membawanya lebih masuk ke
dalam lorong gua dan melumat habis bibir
Dardanila di balik susunan batu yang
meninggi itu. Pak Tua aneh itu hanya diam
saja, tetap duduk di tempat sambil
sesekali mempermainkan api unggun dengan
jari-jari tangannya.
Bagi Dardanila, sepertinya kesempatan
itu adalah kesempatan yang amat
menggembirakan dalam hidupnya. Namun
sebenarnya ia justru semakin terancam
bahaya karena dengan begitu maka racun
'Pemikat Surga' yang tersembur dari darah
kemesraan Pandu Puber itu semakin kuat
menguasai dirinya. Semakin keruh darahnya
dicemari racun yang akan membuatnya
tergila-gila pada Pandu, dan akan cepat
mati kalau hasratnya tak terpenuhi. Racun
itu hanya akan menjadi tawar dan tidak
berbahaya jika membaur dalam darah
bidadari.
Setelah hasratnya terpenuhi dengan
selega-leganya, barulah Pandu Puber
menyadari bahwa luapan gairahnya itu
sengaja dibakar oleh kekuatan sakti Pak
Tua. Toh buktinya setelah mereka sama-
sama bermandi peluh, lalu ingin kembali
bicara dengan Pak Tua, ternyata si kakek
misterius itu tidak ada di tempat.
Padahal di luar hujan masih deras bahkan
disertai angin kencang.
"Setan dari mana Pak Tua itu tadi?"
pikir Pandu secara diam-diam, karena
keganjilan rasanya tidak dibeberkan
kepada Dardanila. "Kurasa ia setan
penggoda iman manusia yang gemar membang-
kitkan gairah seseorang untuk berbuat hal
terkutuk! Sialan! Sinar dari matanya itu
sekarang kurasakan sebagai sinar
beracun!"
Tak heran jika esok paginya Pandu
nekat pergi ke makam Iblis Banci yang
dapat dicarinya sendiri di Bukit Jengkal
Demit itu. Dardanila pada awalnya mencoba
menahan Pandu agar tetap tinggal di gua
itu bersamanya, melanjutkan perjalanan
cinta yang tak wajar itu, bahkan sempat
menawarkan untuk pulang ke Benteng
Geladak Hitam saja. Tetapi Pandu tetap
ingin membuktikan kata-kata Pak Tua yang
misterius. Dia tetap ingin berangkat ke
kuburan tersebut. Mau tak mau Dardanila
mendampinginya, sebab perempuan itu tak
berani kehilangan Pandu yang dianggap
sebagai sang pemuas dahaga batinnya.
Dardanila tahu ciri-ciri makam Iblis
Banci, sebab kala ia bicara dengan Pak
Tua tentang ciri-ciri makam itu, Pandu
sedang sibuk melawan hasrat bercumbunya,
sehingga omongan mereka tidak bisa
didengar dan diresapi. Maka Dardanila
yang memilihkan tempat untuk bersembunyi
di atas beringin cabang, karena dari sana
dapat dilihat keadaan makam yang jadi
incaran para tokoh. Jarak makam dengan
pohon itu memang agak jauh, tapi justru
aman dan tidak membahayakan keselamatan
mereka.
Di atas pohon itu gairah Pandu juga
terbakar lagi. Ia menjadi pemuda yang
mudah terpancing khayalan mesum. Tapi ia
segera sadar akan pengaruh kekuatan sinar
dari mata Pak Tua yang membuatnya jadi
begitu. Maka secara diam-diam ia melawan
kekuatan aneh itu dengan pengaturan napas
tingkat tinggi dan penyaluran hawa
murninya ke seluruh tubuh. Cara itu
berhasil meredakan tuntutan batin yang
menghendaki pergumulan dengan Dardanila
atau siapa saja. Sambil memperhatikan
suasana di sekitar makam iblis Banci,
Pandu Puber mengobati dirinya sendiri
terus-terusan sehingga kekuatan sinar
beracun itu lenyap dari dirinya.
Tiba-tiba Pandu Puber dan Dardanila
tertarik dengan datangnya suara deru kaki
kuda dari arah barat. Ternyata ada tiga
orang penunggang kuda yang sedang menuju
ke makam di bawah pohon beringin merah
itu.
"Kau kenal mereka?" tanya Pandu pelan
kepada Dardanila yang berdiri di
sampingnya di atas dahan yang sama.
"Kalau tak salah mereka adalah orang-
orang Lembah Cingur!" jawab Dardanila
yang cukup matang di rimba persilatan.
Lebih matang dirinya daripada pendekar
muda yang dianggap baru lahir itu.
"Apa keistimewaan orang-orang Lembah
Cingur?"
"Ah, nggak ada istimewanya!" jawab
Dardanila berkesan meremehkan. "Mereka
adalah kelompok pembunuh bayaran yang
banyak melayani sewaan dari para saudagar
atau para bangsawan."
Menurut Dardanila, orang yang
berpakaian hitam dengan hiasan benang
emas dan bertampang bengis, bercodet di
dekat mata kirinya, dengan tubuh kekar
berbaju tanpa lengan itu adalah orang
yang menjadi ketua Lembah Cingur, namanya
si Cambuk Berang.
Kedua anak buahnya ada di samping
kanan kiri. Menurut Dardanila, yang
memakai pakaian hijau tua adalah Landung
Gemuk, karena memang badannya gemuk
kumisnya melintang tebal, matanya lebar
sangar. Sedangkan yang mengenakan pakaian
serba kuning kecoklatan itu adalah yang
bernama si Golok Badai. Orangnya kurus,
ceking sekali, tapi kecepatan bermain
goloknya sangat tinggi.
"Mau apa mereka kemari? Apakah ada
urusannya dengan Patung Iblis Banci?"
"Pasti. Kalau patung itu memang ada
dan berhasil dikuasainya, maka Cambuk
Berang akan menjadi ketua pembunuh
bayaran yang punya harga tinggi dan
mungkin akan ditakuti oleh setiap prang.
Patung itu ingin dikuasainya untuk
meningkatkan penghasilannya sebagai ketua
pembunuh bayaran. Tapi...," Dardanila
diam sejenak, wajahnya memandang ke arah
lain. Lalu ia berkata lagi,
"Lihat, siapa yang muncul di sebelah
sana itu?!" Pandu menatap seorang lelaki
berusia sekitar enam puluh tahun dengan
rambut abu-abu pendek diikat kain merah.
Orang itu mengenakan jubah ungu dengan
pakaian dalam warna coklat muda. Jalannya
tegak dan membawa tongkat berukir kepala
tengkorak. Mata orang itu tertuju ke arah
rombongan dari Lembah Cingur. Ia berjalan
sendirian tanpa pengawal atau teman, tapi
tampaknya yakin betul akan berhasil
mendapatkan apa yang dicarinya.
"Siapa orang itu?" tanya Pandu Puber
yang masih merasa asing dengan tokoh
berjubah ungu itu.
"Dia yang bernama si Malaikat Bisu,
ketua Perguruan Musang Terbang."
"Ooo... dia orangnya?!" Pandu
manggut-manggut. "Tapi kok arah
langkahnya menuju rombongan berkuda itu?"
"Malaikat Bisu adalah musuh bebuyutan
dari si Cambuk Berang! Aku yakin mereka
pasti akan bertarung dalam waktu tak lama
lagi. Lihat saja gelagatnya!"
"Sepertinya memang begitu sih.
Tapi..., siapa tokoh yang muncul dari
atas pohon dan menghadang langkah kuda si
Cambuk Berang Itu?"
Seorang perempuan tua sedikit bungkuk
memang baru saja melompat dari atas
pohon. Nenek bertongkat hitam dengan
pakaian jubah abu-abu itu langsung
menghadang langkah kuda tunggangan Cambuk
Berang. Akibatnya kuda itu berhenti dan
sedikit kaget dengan kemunculan makhluk
yang belum pernah dikenal oleh kuda
tersebut.
Dardanila berkata, "Wah, seru... Nyai
Perawan Busik muncul juga. Agaknya hari
ini adalah hari sialnya si Cambuk Berang.
Ia bertemu dengan dua musuh lamanya."
"Apakah Nyai Perawan Busik itu ada
hubungannya dengan si Malaikat Bisu?"
tanya Pandu sangat ingin tahu.
"Tidak. Tapi keduanya sama-sama musuh
bebuyutannya si Cambuk Berang! Bisa-bisa
Nyai Perawan Busik tarung sendiri dengan
Malaikat Bisu untuk memperebutkan nyawa
Cambuk Berang!"
Keadaan mereka memang tampak
menegangkan. Dua anak buah Cambuk Berang
sudah melompat turun dari kuda, sedangkan
Nyai Perawan Busik dan Malaikat Bisu
sudah saling pandang ingin berebut
membunuh Cambuk Berang. Wajah si Cambuk
Berang sendiri tampak menyimpan kece-
masan.
ENAM
CAMBUK Berang terbengong tegang.
Kedua orangnya; Landung Gemuk dan Golok
Badai tumbang dalam satu gebrakan yang
dilakukan oleh Nyai Perawan Busik. Tangan
kanan Landung Gemuk terpotong total dari
batas sikunya karena sabetan tongkat
nenek berkulit sisik itu. Sedangkan Golok
Badai memuntahkan darah segar cukup ba-
nyak dari mulutnya karena terkena sodokan
tongkat Nyai Perawan Busik pada bagian
ulu hatinya. Golok Badai dan Landung
Gemuk sudah tidak bisa diharapkan lagi
tenaganya. Cambuk Berang terpaksa turun
dari kuda dan menghadapi Nyai Perawan
Busik.
"Kau benar-benar cari mampus, Nenek
Peot!" gertak Cambuk Berang dengan
kemarahannya memerahkan wajah. Tapi nenek
berkulit busik itu masih tenang saja,
tongkatnya digenggam dengan kedua tangan,
seakan siap hadapi lawannya.
"Kau harus menebus mahal atas cidera
yang diderita kedua anak buahku, Perawan
Busik!"
"Akan kutebus kalau kau mampu
melakukannya!"
"Keparat! Heaah...." Cambuk Berang
segera menerjang lawannya dengan lompatan
cepat. Sambil melompat ke arah Nyai
Perawan Busik, tangan kirinya lepaskan
pukulan bersinar merah menyerupai
piringan kecil.
Claappp...!
Tapi dari arah samping melesat pula
tubuh Malaikat Bisu yang juga lepaskan
pukulan bersinar hijau panjang dan
menghantam sinar merahnya Cambuk Berang.
Wuuttt...! Clappp...!
Blarrr...!
Gelombang ledakan menghentakkan tubuh
mereka, tapi sebelum itu tongkat si
Malaikat Bisu berhasil menghantam
punggung Cambuk Berang dengan gerakan
nyaris tak terlihat. Buhgg...! Akibatnya
tubuh si Cambuk Berang terjungkir balik
tak tentu arah, karena pukulan tongkat
Malaikat Bisu mempunyai tenaga dalam
cukup besar. Pukulan itu membekas hangus
di pakaiannya dan kepulkan asap putih
tipis. Sementara tubuh itu sendiri masih
harus berputar balik akibat daya sentak
ledakan kedua sinar yang saling beradu
tadi.
Brukk...! Cambuk Berang jatuh
terkapar sambil menahan rasa sakit di
punggung dan dada. Sementara itu, Nyai
Perawan Busik terpental pula akibat le-
dakan tadi, namun tak sempat membuatnya
jatuh terduduk seperti si Malaikat Bisu
itu.
"Setan alas kau, Malaikat Bisu!
Mundurlah, biar kuhabisi nyawa si anak
monyet itu!" seru Nyai Perawan Busik.
Malaikat Bisu hanya gelengkan kepala
dengan sorot pandangan mata yang tajam,
menantang sang Nyai. Akibatnya nenek itu
menggeram jengkel dan melepaskan pukulan
pelumpuh yang bersinar kuning kecil
seperti telur ayam kampung.
Clappp...! Dari pergelangan tangannya
keluar sinar kuning itu. Tapi oleh
Malaikat Bisu sinar tersebut dihantam de-
ngan kepala tongkat yang berbentuk
tengkorak manusia.
Duarr...!
Agaknya Malaikat Bisu tak mau musuh
lamanya dihabisi oleh orang lain, ia
berusaha untuk mempertahankan nyawa
Cambuk Berang, karena nanti akan
dibunuhnya sendiri. Persoalan lama yang
menyangkut kematian anaknya itu membuat
Malaikat Bisu merasa, seolah-olah nyawa
si Cambuk Berang adalah harta karun
miliknya yang perlu diselamatkan dari
tangan siapa pun. Sedangkan pihak Nyai
Perawan Busik merasa penyiksaan dirinya
yang dilakukan Cambuk Berang sekian tahun
yang lalu merupakan perbuatan yang harus
dibalas oleh tangannya sendiri.
"Benar juga dugaanmu," kata Pandu
dari atas pohon. "Malaikat Bisu dan Nyai
Perawan Busik akhirnya bertarung sendiri
memperebutkan nyawa musuh mereka. Hmm...!
Lucu juga kalau direnungkan."
"Malaikat Bisu bisa kalah kalau Nyai
Perawan Busik keluarkan jurus mautnya
yang bernama 'Tangan Seribu Guntur'. Tapi
kayaknya sang Nyai nggak sampai
pergunakan jurus itu karena bukan
berhadapan dengan musuh sejatinya," kata
Dardanila.
Melihat sang Nyai dan Malaikat Bisu
bertarung, Cambuk Berang segera mencabut
pecut panjangnya. Ia melecutkan cambuknya
ke udara dalam satu gerakan mengibas
cukup cepat. Cambuk putih itu berkelebat
memercikkan tiga sinar biru berkerilap
dari ujungnya.
Taarrr...! Srappp...!
Tiga sinar biru itu kenai punggung
Nyai Perawan Susik. Yang dua lagi kenai
kedua kaki Malaikat Bisu. Akibatnya kedua
tokoh tersebut jatuh dengan bagian yang
terkena cambuk menjadi hangus berasap.
"Kunyuk!' sentak Nyai Perawan Busik
penuh gerutu. Ia segera melompat ke balik
pohon agak jauh. Di sana ia pejamkan mata
sebentar dan kerahkan tenaga saktinya
untuk obati luka panas di punggungnya.
Beberapa saat kemudian ia sudah kembali
masuk ke arena pertarungan dalam keadaan
segar walau lukanya masih tampak membekas
hitam.
Pada saat sang Nyai masuk ke
pertarungan lagi, Cambuk Berang sedang
berusaha menyabetkan cambuk mautnya ke
leher Malaikat Bisu, sebab orang itu
mengalami lumpuh sebentar akibat luka di
kedua kakinya itu. Wuuttt...! Cambuk
dihantamkan dari atas ke bawah. Sekali
lecut kena tengkuk kepala, maka
terpotonglah leher Malaikat Bisu saat itu
juga. Tapi sialnya, sebelum cambuk itu
tiba menghantam tengkuk kepala Malaikat
Bisu, tiba-tiba seberkas sinar kuning
panjang melesat dari jari tengah Nyai
Perawan Busik dan menghantam tepat di
pergelangan tangan Cambuk Berang.
Dess...! Tangan itu terpental ke
belakang sampai cambuknya terlepas dari
genggaman. Tangan itu sendiri menjadi
memar membiru.
Pada saat Cambuk Berang tersentak ke
belakang dan cambuknya lepas, Malaikat
Bisu punya kesempatan melepaskan pukulan
jarak jauhnya walau dalam keadaan duduk
di tanah. Clapp...! Sinar merah seperti
bentuk bintang itu berkelebat menghantam
dada si Cambuk Berang.
Duarrr...!
Ledakan yang terjadi cukup besar
walau tak sampai mengguncang bumi. Namun
ternyata serangan sinar merah itu sangat
berbahaya bagi jiwa Cambuk Berang. Dada
yang terkena sinar tersebut menjadi
jebol, seakan dirobek oleh cakar tangan
raksasa yang ganas. Tak ada ampun lagi
bagi Cambuk Berang, ia pun terkapar
dengan suara serak seperti disembelih,
berkelojotan beberapa saat, setelah itu
diam tak bergerak karena kehilangan
nyawa.
Melihat keadaan ketuanya seperti itu,
Golok Badai dan Landung Gemuk segera
larikan diri ketakutan. Tapi Golok Badai
masih punya kesempatan menyambar cambuk
dan pemiliknya yang sudah jadi mayat itu.
Mereka membawa lari pulang jenazah Cambuk
Berang yang bernasib amat malang. Walau
Golok Badai nyaris tak tahan menderita
luka dalam, tapi ia kuat-kuatkan agar
bisa sampai ke Lembah Cingur memakamkan
jenazah ketuanya.
Kini tinggal Nyai Perawan Busik
berhadapan dengan Malaikat Bisu. Nyai
Perawan Busik merasa kecewa sekali karena
nyawa Cambuk Berang tidak mati di
tangannya. Maka ia pun berseru dengan
nada protes.
"Setan kuncir kau, Malaikat Bisu!
Seharusnya akulah yang membunuh Cambuk
Berang! Tanganmu memang lancang, layak
kalau kubuntungi seperti tangan anak buah
si Cambuk Berang tadi! Hiaaat...!"
Nyai Perawan Busik melompat menyerang
Malaikat Bisu yang baru saja berhasil
kuasai luka dan berdiri lagi. Tongkat
sang Nyai tiba-tiba berkelebat ke samping
bagai sebilah pedang menebas lengan
Malaikat Bisu. Namun tentu saja Malaikat
Bisu tak mau tinggal diam. Ia segera
hantamkan tongkatnya pula, sehingga dua
tongkat berkekuatan tenaga dalam itu
saling hantam di udara.
Trakk...!
Blegerrr...!
Tenaga dalam besar yang disalurkan
dalam tongkat mereka itu timbulkan
ledakan mengguncang bumi ketika diadukan
di udara. Kedua tokoh itu sama-sama
terpental berlainan arah, dan beberapa
pohon sempat dibuat guncang nyaris rubuh.
Sebagian dahan ada yang retak dan terbe-
lah akibat hempasan gelombang ledakan
tersebut. Dardanila sendiri hampir saja
terpelanting jatuh kalau tidak segera
ditangkap oleh Pandu Puber ke dalam
pelukan yang justru menyenangkan hati
Ratu Geladak Hitam itu.
"Lain kali tak kuberi ampun kau,
Malaikat Bisu!" geram Nyai Perawan Busik.
"Tunggu saatnya jika aku sudah berhasil
dapatkan Patung Iblis Banci itu!"
"Tak akan!" jawab Malaikat Bisu
pendek sekali. Sikapnya yang sering diam
dan kalau bicara hanya sepatah-sepatah
itulah yang membuat orang-orang menjulu-
kinya sebagai Malaikat Bisu. Tapi
sebenarnya ia bukan orang gagu. Hanya
malas bicara.
"Kusarankan, pulanglah saja, tak
perlu ikut-ikutan mencari pusaka Patung
Iblis Banci! Nanti kau mati secara sia-
sia. Kasihan para muridmu yang masih
membutuhkan periindungan darimu, Malaikat
Bisu!"
"Biar!" hanya itu jawabnya.
"Kalau kau nekat mau rebut patung
itu, berarti kau nekat mau melawanku,
hah?!"
"Biarin!"
"Lama-lama kesabaranku yang sudah
menua habis juga di depanmu jika kau
masih membandel begitu, Kebo gagu!"
gertak Nyai Perawan Busik dengan sikap
mengancam.
"Habiskan!"
"Apanya yang dihabiskan!" bentak sang
Nyai jengkel.
"Kesabaranmu!" lalu Malaikat Bisu
memberi kode dengan tangannya agar Nyai
Perawan Busik maju menyerangnya.
Tantangan itu membuat Nyai Perawan Busik
mulai putarkan tongkat di atas kepala.
Tiba-tiba muncul tokoh berjubah
kuning yang langsung berseru dengan
seenaknya,
"Siapa pun berhak memperebutkan
pusaka itu, Perawan Busik! Kau tak berhak
memulangkan siapa saja yang datang
kemari, termasuk aku sendiri!"
Tokoh yang muncul dari balik pohon
itu berusia sekitar tujuh puluh tahunan.
Sebaya dengan usia Nyai Perawan Busik.
Dan bagi Pandu Puber dan Dardanila, tokoh
berambut abu-abu kribo itu bukan tokoh
asing lagi. Mereka mengenal tokoh itu
dengan nama Loan Besi. Dia adalah orang
yang mendengar percakapan antara Pandu
dengan ayahnya; Yuda Lelana yang
sebenarnya adalah dewa itu, dan sejak
mendengar percakapan tersebut Ki Loan
Besi selalu berusaha ingin menjadi
pelayan atau gurunya Pandu Puber. Sebab
barang siapa yang menjadi pelayan atau
guru si anak blaster jin dengan dewa itu,
maka orang tersebut punya hak untuk hidup
di kayangan, di antara para dewa-dewi,
(Kisahnya ada dalam serial Pendekar
Romantis episode: "Pedang Siluman" -baca
sendiri aja deh).
"Ngapain orang itu ikut-ikutan ada di
sini?!" gumam Pandu yang didengar oleh
Dardanila.
"Pasti akan ikut memperebutkan patung
itu dong. Masa' mau ada reuni sama tokoh
seangkatannya itu sih? Nggak mungkin
kan?"
"Memang payah tuh orang. Dasar
timbangan!"
"Kok timbangan?"
"Iya. Namanya kan Loan Besi. Aku
kalau memanggilnya Ki Loan Besi. Kiloan
Besi sama dengan timbangan kan?"
Dardanila tertawa tanpa suara, tapi
mata mereka segera tertuju kembali kepada
para tokoh tua yang sedang bersitegang
itu. Saat itu Nyai Perawan Busik hentikan
gerakan tongkatnya dan pandangi Loan Besi
dengan rasa dongkol.
"Kau mau ikut campur urusanku dengan
si Malaikat Bisu ini, hah?!"
"Yang jelas aku akan ikut campur
memperebutkan Patung Iblis Banci, supaya
anak dewa itu tunduk kepadaku dan mau
jadi muridku!"
Mendengar ucapan Loan Besi, Dardanila
segera lemparkan pandangan kepada Pandu
Puber. Pendekar Romantis hanya geleng-
gelengkan kepala, merasa prihatin dengan
sikap Loan Besi yang ngotot ingin menjadi
gurunya.
"Anak dewa itu pasti yang dimaksud
adalah kau, Pandu!"
"Ya, aku tahu! Tapi aku tak akan mau
punya guru atau pelayan seperti dia
walaupun dia mempunyai pusaka Patung
Iblis Banci!"
Nyai Perawan Busik perdengarkan
suara, "Kalian jangan mimpi di siang hari
bolong, ya?! Patung itu tak akan ada yang
bisa menguasai kecuali diriku! Cukup lama
kupersiapkan diri untuk menambah ilmu dan
kesaktianku, supaya jika saatnya patung
itu muncul dari dalam makam, tak seorang
pun dapat singkirkan diriku!"
"Dapat!" kata Malaikat Bisu bagai
memotong kata-kata lawannya.
"Dapat apa maksudmu?!" tanya Ki Loan
Besi.
"Dapat singkirkan!"
"Siapa yang mau kau singkirkan?"
"Dia...!" tuding Malaikat Bisu kepada
Nyai Perawan Busik.
Sang Nyai panas hati, merasa
disepelekan, maka dengan cepat ia
berseru, "Coba singkirkan aku kalau kau
bisa! Heaaat...!"
Wuttt...!
Nyai Perawan Busik terjang Malaikat
Bisu dengan gerakan tongkat yang
berkelebat cepat ke sana-sini. Malaikat
Bisu segera lompat mundur jauhi lawan,
tapi tongkatnya segera diarahkan ke tubuh
Nyai Perawan Busik. Dari kepala tongkat
itu keluar kepingan logam kecil berbentuk
runcing, masing-masing sebesar ujung
kelingking orang dewasa. Logam-logam
runcing itu memantulkan kemilau cahaya
matahari.
Zrrangngng...!
Tapi barisan logam berkilauan itu
segera dihantam hancur oleh sinar birunya
Loan Besi yang keluar dari kedua jarinya
yang dikibaskan ke arah depan.
Crakk...! Blegarrr...! Sinar biru itu
membuat hancur senjata rahasia Malaikat
Bisu, namun akibatnya timbul ledakan yang
menggelegar dan mementalkan Nyai Perawan
Busik dan tubuh Malaikat Bisu sendiri.
Sinar biru dari Loan Besi cukup lumayan
juga kekuatannya. Pandu baru melihat Loan
Besi keluarkan jurus tingkat tingginya,
walau bagi Pandu hal itu masih belum
seberapa hebat dibandingkan jurus-jurus
milik mendiang kakeknya.
"Kau memihak siapa sebenarnya, hah?!"
bentak Nyai Perawan Busik. Loan Besi
hanya terkekeh-kekeh sendiri. Sikapnya
bagaikan menyepelekan kemarahan sang
Nyai.
"Aku berdiri di pihakku sendiri! Kau
pun terpaksa harus kusingkirkan jika
ingin menghalangi niatku, Perawan Busik!
Bagaimanapun juga Patung Iblis Banci
harus ada di tanganku!"
Tiba-tiba ada suara keras berseru,
"Omong kosong!" Kemudian disusul
munculnya tokoh baru dari atas pohon.
Agaknya tokoh berpakaian serba hitam itu
sudah sejak tadi ada di atas pohon dekat
makam di bawah beringin merah itu.
"Siapa orang berjubah hitam itu,
Dardanila?"
"Entah. Aku belum mengenalnya!"
Tapi mereka segera mendengar seruan
Loan Besi menyapa orang berpakaian serba
hitam, sampai ikat kepalanya yang
berambut putih itu juga digunakan kain
hitam berukuran lebar sekitar tiga jari.
Tokoh tua itu tidak bersenjata apa-apa,
juga tidak memegang tongkat seperti
Malaikat Bisu. Tokoh baru muncul itu
hanya mengenakan kalung semacam tasbih
dengan manik-manik sebesar biji salak,
warnanya juga coklat kemerahan seperti
biji salak. Tubuhnya agak kurus, tapi
mata tuanya masih memancarkan cahaya
kewibawaan yang cukup berkharisma.
Terdengar pula suara batuk sang tokoh
sebagai tanda ketuaannya, yang berkumis
tipis dan berjenggot tipis pula sama-sama
berwarna putih rata. Agaknya Loan Besi
tidak merasa heran melihat kemunculan
tokoh serba hitam itu, demikian pula Nyai
Perawan Busik dan si Malaikat Bisu.
"Rupanya kau sejak tadi sudah ada di
sini, Sapu Nyawa?! Kau pun mengincar
pusaka itu, bukan?!"
"Tak salah lagi, sudah seharian penuh
aku menunggu di sekitar sini! Karena
wangsit dari dewa kuterima tiga malam
yang lalu, bahwa pusaka Patung Iblis
Banci harus berada di tanganku!"
Nyai Perawan Busik melecehkan, "Dewa
apa yang kasih pangsit sama kamu? Uuh...
ngibul! Mana ada dewa kasih pangsit
dan...."
"Bukan pangsit! Tapi wangsit! Artinya
wahyu yang harus kukerjakan tanpa keluh
kesah lagi!" sentak Sapu Nyawa sedikit
dongkol atas salah dengarnya Nyai Perawan
Busik.
"Tipu...!" seru Malaikat Bisu, pendek
sekali. Tapi ekspresi wajahnya sudah
jelas-jelas menampakkan rasa tidak
percaya dan meremehkan si Sapu Nyawa.
Sementara para tokoh tua saling adu
debat sendiri-sendiri, Pandu dan
Dardanila saling berkasak-kusuk. Mereka
bicara dengan suara lirih, supaya tidak
didengar oleh beberapa pemburu patung itu
yang diperkirakan bersembunyi rapat-rapat
di sekitar mereka.
"Aku pernah dengar nama Sapu Nyawa,"
kata Dardanila. "Kalau tak salah orang
yang berjuluk Sapu Nyawa adalah tokoh
sesat yang sudah pensiun dan cenderung
buka praktek jadi dukun ilmu hitam. Jika
patung itu jatuh ke tangannya, hancurlah
seisi dunia ini, karena ia tak pernah
berpikir dua kali jika harus lakukan
pembantaian terhadap siapa saja! Dia
orang yang egois dan ambisius!"
"Kalau begitu aku harus segera
melerai mereka agar jangan sampai timbul
pertumpahan darah tanpa arti. Patungnya
saja belum tentu ada, masa' harus
dipertaruhkan dengan nyawa?"
"Tidak!" cegah Dardanila. "Jangan ke
sana! Sebaiknya tunggu saja di sini dan
lihat dulu perkembangannya. Jika benar
makam itu mulai punya tanda-tanda mau
keluarkan keajaiban, maka kau harus
lakukan apa yang menurutmu baik untuk
dilakukan. Tapi jika masih belum pasti
seperti saat ini, jangan dulu!"
Pikir punya pikir, benar juga sih
usul Dardanila itu. Pandu Puber harus
menahan diri agar tak muncul dengan sia-
sia. Namun, niatnya untuk tetap di atas
pohon itu tak bisa ditahan lagi setelah
matanya menangkap gerakan bocah berusia
lima belas tahun yang berlari menuju
tempat yang lebih tinggi dari lereng
bukit itu.
"Sumo Banjir...?!" ucap Pandu
membisik tegang. Matanya yang mulai
melebar itu diikuti pandangannya oleh
Dardanila.
"Bocah itukah yang kau maksud bernama
Sumo Banjir?"
"Ya. Dia tampak kebingungan, pasti
ada yang mengejarnya! Aku harus
selamatkan bocah itu dulu!"
"Jangan turun dari pohon! Kau
harus...."
"Tidak bisa! Lihat anak itu terburu-
buru dengan ketakutan, sebentar-sebentar
menengok ke belakang. Pasti dia dalam
bahaya yang dapat merenggut nyawanya.
Harus segera kutolong! Kau tetap di sini
saja, Dardanila, dan awasi semua orang
yang hadir di sekitar sini. Paham?!"
"Baik! Aku akan awasi semua gerak-
gerikmu!" jawab Dardanila seakan punya
keputusan sendiri.
Pendekar Romantis sempat memberikan
ciuman di pipi Dardanila sebelum pergi.
Dardanila berbunga hatinya. Indah dan
penuh gejolak hasrat untuk bercumbu lagi.
Tapi sayang Pandu Puber sudah melesat
turun dari pohon dengan gunakan jurus
'Angin Jantan' yang membuat gerakannya
sulit dilihat mata manusia biasa. Dalam
waktu beberapa kejap saja Dardanila
melihat Pandu sudah sampai di ketinggian
lereng dan berhasil susul Sumo Banjir.
"Sumo...!"
"Kang Pandu...?! Oh, syukurlah aku
bertemu denganmu. Raga Paksa masih
mengejar-ngejarku terus, Kang. Dia
membawa lima anak buahnya, bukan yang
tempo hari itu! Aku kepergok mereka saat
mau pulang ke rumah. Lalu... aku lari dan
arahku memang ke sini, supaya bisa
bertemu denganmu!"
"Berarti Raga Paksa dan gurunya punya
tujuan sendiri-sendiri, sama-sama ingin
memiliki Patung iblis Banci. Tapi,
gurunya lebih dulu telah temukan makam
Iblis Banci di bawah beringin merah itu!"
"Makam itu tidak ada di bawah pohon
beringin merah, Kang!"
"Maksudmu?" Pandu Puber mulai ragu.
"Makam yang kutemukan bersama Bocang
adanya di dekat puncak bukit sana, Kang!
Letaknya di bawah dinding tebing yang
ditumbuhi pohon cemara liar, Kang!"
"Ah, yang benar, Mo?!"
"Berani sumpah serapah deh, Kang!
Makam yang keluarkan cahaya aneh dan
suara tanpa wujud itu tidak ada di bawah
sana, melainkan ada di atas. Kalau tak
percaya, ayo kutunjukkan padamu, Kang!"
Pandu ditarik tangannya, tapi ia
bertahan dalam kebimbangan.
"Tunggu dulu. Jika makam itu ada di
atas sana, lalu makam yang ada di bawah
beringin merah itu makamnya siapa?"
"Aku nggak tahu, Kang. Aku nggak
pernah membongkar makam itu kok. Jadi ya
jangan tanyakan padaku, Kang!"
Pendekar Romantis masih ragu-ragu
dengan ajakan Sumo Banjir. Jika benar
makam di bawah beringin merah itu bukan
makam asli dari jenazah si Iblis Banci,
berarti ada orang yang sengaja memalsukan
makam tersebut, sehingga orang banyak
beranggapan makam itu adalah makamnya si
Iblis Banci. Apa tujuan memalsukan makam
itu? Sekadar untuk bahan tertawaan atau
untuk maksud-maksud tertentu?
Pendekar Romantis terbungkam mulutnya
karena sibuk merenungi pertanyaan
batinnya. Tak sadar ia telah mengikuti
langkah Sumo Banjir menuju ke arah puncak
bukit. Langkah itu terhenti mendadak
karena di dalam hati Pandu bertanya-
tanya,
"Benarkah anak ini akan membawaku ke
makam yang asli? Bagaimana kalau ternyata
dia ingin membawaku masuk ke dalam
jebakan sejumlah orang yang berkomplot
ingin celakai diriku?"
Emoticon