TUJUH
PUJA SANGARA menyeret tubuh si
Ninja Wadon
ke dekat pembaringan. Lalu
menggulingkannya ke ko-
long tempat tidur. Dalam kamar
yang gelap itu Puja
Sangara segera menyusul
kelebatan tubuh berping-
gang ramping yang baru saja
menyelinap keluar dari
ruangan yang gelap itu.
Fajar baru saja menyingsing
ketika dua sosok tu-
buh itu tersembul diujung jalan
yang menuju ke arah
kota Singosari.
"Aku berhutang budi padamu,
nona." berkata Puja
Sangara. Sejak mengikuti berlari
dibelakang wanita ini
Puja Sangara baru berani buka
suara. "Apa yang kula-
kukan adalah demi kebaikanmu.
Karena aku tak mau
kau jatuh ke tangan si Ninja
Wadon!" menyahut wanita
yang masih mengenakan cadar
penutup wajahnya.
Cadar penutup wajahnya yang
berwarna biru itu
kini disibakkan. Segera
terpampanglah seraut wajah
cantik. Agak terpana Puja
Sangara karena wajah itu
amat mirip dengan si Ninja
Wadon. "Boleh aku tahu
siapa nama nona? Dan apa
hubungannya kau dengan
si Ninja Wadon serta si Ninja
Edan Lengan Tunggal?
Juga apakah kau yang pernah
menolongku ketika aku
menghadapi pertarungan dihutan
Kaliki?" Pertanyaan
Puja Sangara yang beruntun itu
membuat si dara can-
tik ini tersenyum.
"Pertanyaan yang cukup banyak, ta-
pi baik sekali" ucapnya.
"Namaku rasanya telah hampir tak kuingat lagi.
Karena aku cuma disebut si
KERUDUNG BIRU! Hu-
bunganku dengan si Ninja Wadon
dan Ninja Edan Len-
gan Tunggal? Ninja Wadon adalah
saudara kembarku,
dan si Ninja Edan Lengan Tunggal
adalah ketua dari
komplotan Rahasia yang selama
ini sudah bentangkan
sayapnya diperbagai tempat!
sahut gadis ini.
"Ha...?" membelalak
mata Puja Sangara.
"Apakah komplotan rahasia
itu didalangi oleh Adi-
pati Rekso Seto?" bertanya
lagi pemuda ini. Dara ini ta-
tapkan matanya ke puncak bukit.
"Benar... !" sahutnya
datar.
Puja Sangara tercenung sesaat.
Darahnya kembali
bergolak bila disebut nama
Adipati itu.. Dan dia sema-
kin terperanjat mengetahui
begitu besar kekuasaan
Adipati Puja Sangara diluar.
"Keparat! Sudah kuduga! Dan
bukti semakin jelas,
bahwa Adipati Rekso Seto akan
melakukan pemberon-
takan pada Kerajaan!"
memaki Puja Sengara.
"Nona Kerudung Biru. Kau
belum menjawab per-
tanyaanku tadi. Apakah kau yang
telah menolongku
ketika aku menghadapi
pertarungan dihutan Kaliki?"
"Aku baru pertama kali ini
menolongmu. Mengenai
siapa yang telah menolongmu
dihutan Kaliki itu aku
tak mengetahui!" sahut si
dara Kerudung Biru. Melen-
gak Puja Sangara mendengar
jawaban itu.
"Bukan dia?" berkata
dalam hati pemuda ini." Jadi
siapakah perempuan kosen yang
telah menolongku
itu?" bertanya-tanya dalam
hati Puja Sangara.
"Baiklah!" sejurus
antaranya Puja Sangara kembali
berkata. "Satu hal lagi
yang akan kutanyakan padamu,
nona! Kau adalah orang yang ada
dalam keanggotaan
komplotan rahasia itu. Mengapa
kau menolongku?
Dan apa maksudmu mengajakku ke
tempat ini?"
Sejurus lamanya si Kerudung Biru
tak menjawab.
Yang terdengar adalah suara
helaan napas berat. Seo-
lah dalam dadanya ada tertindih
suatu masalah yang
sukar untuk dielakkan. Namun tak
lama dia membuka
suara.
"Aku memang orang komplotan
rahasia itu. Tapi
aku tak menyetujui
tindakan-tindakan yang dilakukan
orang-orang komplotan rahasia
itu. Pendek kata kalau
ada orang yang bersedia
membawaku ke tempat yang
amat jauh, aku bersedia
mengikuti. Asal aku bisa ke-
luar dari komplotan
manusia-manusia tamak, serakah,
yang berwajah iblis itu. Aku...
aku benar-benar sudah
muak dengan tingkah laku mereka!" menyahut
gadis
Kerudung biru dengan suara
tersendat. Terkejut Puja
Sangara mendengar kata-kata itu.
"Nona... jadi untuk itulah
kau membebaskanku?"
tanyanya terheran.
"Ya! apakah kau bersedia
membawaku pergi jauh-
jauh dari tempat ini?"
berkata dara Kerudung Biru
dengan menatap Puja Sangara.
Wajah itu tampak me-
melas. Dan sepasang mata bulat
yang indah itu tam-
pak berkaca-kaca. Dihati Puja
Sangara segera timbul
perasaan kasihan, salut, juga
tak mengerti.
Tak terasa Puja Sangarapun
menghela napas, se-
raya menunduk. Benaknya memikir
keras karena saat
itu dia menghadapi tiga masalah.
Masalah kesatu ada-
lah, dia harus mengetahui
keselamatan ayahnya yang
tadi malam bertarung melawan si
Ninja Edan Lengan
Tunggal. Masalah kedua, dia
harus pula pergi ke Puri
Kuno untuk melihat hasil kerja
anak buahnya untuk
menawan hidup-hidup Carik
Kartomarmo. Karena dia
harus mengorek rahasia
terselubung yang dilakukan
Adipati Rekso Seto dari mulut
Carik itu. Masalah ke-
dua itu mungkin bisa
dikesampingkan karena dia bisa
mengorek keterangan dari gadis
Kerudung Biru. Akan
tetapi toh dia harus melihat
keadaan anak buahnya
yang perlu dijaga
keselamatannya.
Masalah yang ketiga adalah dia
merasa bertang-
gung jawab untuk menumpas
komplotan rahasia itu
yang didalangi oleh Adipati
Renggo Seto. Tiga masalah
itulah yang membuat dia bingung
untuk mengambil
keputusan.
"Kalau kau tak bersedia,
tak mengapalah...!
Tapi mungkin kau takkan pernah
mendengar na-
maku lagi, karena setiap anggota
komplotan rahasia
yang berkhianat, hukumannya
adalah kematian!" tiba-
tiba gadis kerudung biru berkata
memecah kehenin-
gan. Puja Sangara terkejut
melihat dara itu balikkan
tubuh dan berkelebat lari.
"Hai...!? tunggu!"
teriak Puja Sangara. Cepat dia
mengejar. Namun si dara cantik
tak hentikan gerakan
larinya. Bahkan mempercepat
gerakan lari menuju ke
atas tebing terjal.
"Nona Kerudung Biru...!
tunggu dulu. Aku akan
beri penjelasan!" teriak
lagi pemuda ini seraya menam-
bah kecepatan larinya. Namun
tetap gadis itu tak me-
noleh. Dia terus berlari cepat
dengan terisak-isak.
Beberapa saat saja si dara
cantik itu telah tiba di-
ujung tebing. Disana dia
berhenti. Matanya menatap
nanar ke bawah tebing curam.
"Hiduppun sudah tak
berguna..." menggumam su-
ara gadis ini.
"Nona...? apa yang kau mau
lakukan?" teriak Puja
Sangara dengan wajah pias.
Jantungnya berdetak ce-
pat. hatinya membatin
"Jangan-jangan dia mau
bunuh diri..."
Tak ayal pemuda ini bergegas
mendaki tebing.
"Aku harus
mencegahnya!" sentaknya. Akan tetapi ter-
lambat. Baru saja dia menyembul
di puncak tebing, di-
lihatnya dara Kerudung Biru baru
saja melompat ter-
jun.
"Nona...!?
Jangaaaan..." teriakan Puja Sangara me-
lengking berkumandang. Sekejap
dia telah enjot tubuh
dengan kekuatan penuh.
Ketika Puja Sangara jejakkan
kaki dibibir tebing,
kedatangannya sudah kasip. Suara
jeritan gadis Keru-
dung Biru baru saja lenyap
bersamaan dengan lenyap-
nya tubuh wanita itu ke bawah
tebing yang masih ter-
tutup kabut.
Tertegunlah pemuda ini hingga
beberapa saat,
memandangi ke bawah tebing
dengan mata membela-
lak. Sekujur tubuhnya terasa lunglai.
"Ah, mengapa kau berbuat
senekad itu, Kerudung
Biru..." mengguman Puja
Sangara. Diam-diam dia
amat menyesali tindakan yang
diambil si dara cantik
itu.
"Begitu kerasnya peraturan
yang dibuat oleh kom-
plotan rahasia itu, hingga si
Kerudung Biru harus kor-
bankan jiwanya karena mau
melepaskan diri dari kete-
rikatannya pada komplotan
tersebut!" berkata dalam
hati pemuda ini. Ada rasa
berdosa dihatinya pada sang
gadis. Membuat lama dia
tercenung dipuncak tebing
itu. Namun selang tak lama dia
segera menuruni teb-
ing terjal itu. "Aku harus
melihat keadaan ayah untuk
mengetahui nasibnya!"
desisnya ketika sejenak meran-
dek. Demikianlah. Puja Sangara
segera mengambil ke-
putusan untuk melakukan tindakan
selanjutnya. Se-
makin menggebu niatnya untuk
menumpas habis
komplotan rahasia itu, walaupun
di harus korbankan
nyawa untuk itu. Pengkhianatan
Adipati Renggo Seto
semakin nyata dengan keterangan
yang diperoleh dari
gadis Kerudung Biru.
***
DELAPAN
SESOSOK tubuh berkelebat
menyambar tubuh
yang meluncur deras ke dasar
jurang itu sebelum ba-
tu-batu runcing menghabisi
nyawanya. Dan sekejap
saja telah berada dalam
pondongannya.
"Aiiiii! nyaris saja kau
menemui ajal, nona cantik!
mengapa kau berbuat senekad
itu?" terdengar suara
menggumam sosok tubuh itu. Tak
lama dia telah ter-
sembul dari asap kabut yang
menyelimuti sekitar da-
sar jurang. Ternyata sosok tubuh
itu tak lain dari Roro
Centil. Gadis Kerudung Biru itu
tertelungkup me-
nyampir dipundaknya.
Nasib baik agaknya masih
mengikuti diri si dara
cantik Kerudung Biru yang
berbuat nekad membunuh
diri dengan terjun ke bawah
tebing, karena Roro Centil
si Pendekar Wanita Pantai
Selatan telah menyela-
matkan jiwanya. Bagaimana sampai
Roro berada di
tempat itu?
Ternyata Roro yang malam itu
melacak jejak Puja
Sangara, telah melihat dua sosok
tubuh yang berkele-
batan berlari-lari ke arah
timur. Tentu saja Roro segera
mengikuti mereka. Dengan Aji
Halimunan yang dimiliki
Roro kedua orang yang dikuntit
itu tidak mengetahui.
Ternyata kedua orang itu tak
lain dari Puja Sanga-
ra dan si gadis Kerudung Biru.
Demikianlah, hingga
Roro berhasil mengutip
pembicaraan mereka, hingga
ketika terjadinya ke peristiwa
bunuh diri si dara cantik
Kerudung Biru tidaklah luput
dari mata Roro. Disaat
dara itu terjunkan diri, Roro
segera bertindak cepat
untuk menyelamatkan nyawa si
gadis.
Tampak Roro merandek sejenak
untuk melakukan
tindakan apa yang akan
dilakukan. Tiba-tiba dia ter-
senyum. Dan... Whusssssss!
Tubuh Roro bagaikan angin lewat
meluncur kem-
bali ke puncak tebing. Gerakan
melompat bagai ter-
bang yang dimilikinya adalah
warisan gurunya yang
terakhir yaitu si Manusia Gurun
Pasir.
Puja Sangara yang tengah
bergegas menuruni
puncak tebing baru saja jejakkan
kaki didataran ren-
dah. Segera dia tentukan arah
yang bakal di tempuh.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara tertawa berkaka-
kan di iringi dengan
tersembulnya dua sosok tubuh.
Membelalak mata pemuda ini
melihat siapa diha-
dapannya. Ternyata tak lain dari
Si Ninja Edan Lengan
Tunggal dan si Wanita cabul
Ninja Wadon. Melihat
adanya wanita itu yang bersama
Ninja Edan Lengan
Tunggal, tahulah Puja Sangara
kalau si wanita itu te-
lah ditolong oleh si Ketua
komplotan rahasia ini yang
membebaskannya dari totokan si
gadis Kerudung Biru.
Perbuatan si gadis Kerudung Biru
ketika menyela-
matkan dia dari perbuatan kotor
Ninja Wadon memang
dilakukan secara sembunyi. Yaitu
di saat ruangan
menjadi gelap, dia menyelinap
masuk, lalu sembunyi
disudut ruangan dengan
menempelkan tubuhnya di-
tembok sambil menahan napas.
Ninja Wadon yang berjaga-jaga
menunggu datang-
nya serangan, tak kunjung
datang. Bahkan dengan
berteriak-teriak dia membentak
si manusia yang telah
menjebolkan pintu kamar kuil
itu, namun tak ada ja-
waban. Disaat itulah dia
berindap-indap mendekati
Puja Sangara. Setelah membisiki
ke telinga pemuda
itu, segera dia melepaskan
totokan ditubuh Puja San-
gara. kemudian menanti di pintu
kamar yang gelap gu-
lita. Menunggu kedatangan Ninja
Wadon yang meme-
riksa sekitar kuil. Ketika
wanita cabul itu melangkah
masuk ke kamar, disaat itulah si
gadis Kerudung Biru
menotoknya. Lalu berkelebat
keluar. Tak lama Puja
Sangara telah berada didekat
tubuh Ninja Wadon yang
berjingkat-jingkat mendekati.
Lalu ucapkan kata-kata
"Ninja Wadon! kini giliran
aku yang menotokmu!"
Hal itu direncanakan si gadis
Kerudung Biru ada-
lah agar tak diketahui
perbuatannya menggagalkan
maksud bejad wanita yang menjadi
saudara kembar-
nya.
Saat itu Ninja Edan Lengan
Tunggal telah mem-
bentak.
"Huahaha... Puja Sangara!
anak pemberontak! kau
takkan dapat loloskan diri dari
kematian!
"Hm, serahkan dia padaku,
Ketua! Aku yang akan
membunuhnya dengan kedua
tanganku sendiri!" ber-
kata Ninja Wadon seraya
melangkah lebih dekat keha-
dapan pemuda ini.
Matanya liar dan tampak
berapi-api memandang
Puja Sangara. Tentu saja gadis
ini amat mendongkol
karena nafsunya tak tersalurkan.
Bahkan dia berhasil
dipecundangi Puja Sangara.
Kalau tak muncul sang Ketua
alias si Ninja Edan
Lengan Tunggal, tak nantinya dia
bisa terlepas dari to-
tokan itu.
"Heh! penipu busuk! kiranya
kau telah bekerja
sama dengan si Kerudung Biru?
Bagus! dia lebih baik
mampus membunuh diri dari pada
kami yang harus
membunuh! itu lebih baik
dilakukan bagi manusia
yang mau mengkhianati dan keluar
dari komplotan ra-
hasia kami!" berkata lagi
Ninja Wadon.
"Kini terimalah kematianmu,
menyusul ayahmu si
Tumenggung tua bangka
Kaniraga!" bentak Ninja Wa-
don. Seraya membentak dia
keluarkan senjatanya dua
buah gelang yang separuh
bergerigi. Lalu dipasang pa-
da tekukan keempat jarinya.
Dengan sepasang senjata
inilah dia menerjang Puja
Sangara.
Bukan serangkaian kilat yang
datang mendadak
dan nyaris menggores kulit
lehernya membuat dia ter-
kejut. Akan tetapi kata-kata
wanita itulah yang mem-
buatnya lebih terperanjat.
"Hah!? ayah telah
tewas?" sentaknya dalam hati.
Dua kali bersalto dia sudah
melompat agak jauh.
"Ninja Edan Lengan Tunggal!
betulkah ucapan pe-
rempuan anak buahmu ini?"
teriak Puja Sangara
membentak dengan suara
menggetar.
"Hahaha... apa susahnya
memindahkan nyawa
Tumenggung tak berguna itu ke
alam Akhirat?" ujar
Ninja Edan Lengan Tunggal.
Membludak kemarahan Puja Sangara
seketika itu.
Disertai teriakan histeris
seakan halilintar membelah
bumi, dia melompat menerjang
Ninja Edan Lengan
Tunggal. "Iblis keparat!
aku akan adu jiwa denganmu!"
Puja Sangara masih sempat
membawa golok tipis-
nya yang ditemukan di sudut
pembaringan di dalam
kuil. Dia menerjang dengan
senjata itu. Sebentar saja
keduanya telah terlibat dalam
pertarungan seru. Akan
tetapi Ninja Edan cuma
menghindari serangan saja
dengan sebentar-sebentar
tertawa. Agaknya serangan-
serangan gencar Puja Sangara
dianggap tak berarti
bahkan dengan mudah
dihindarkannya. Lagi-lagi Ninja
Wadon melompat seraya berteriak.
"Ketua! sudahlah!
berikan padaku. Biar aku yang
mengurusi!"
"Perempuan bejat! kau akan
kubunuh terlebih du-
lu!" bentak Puja Sangara
dengan menggerung. Dan...
Whuk! Whukk!
Trang! Trang! Dua terjangan
menabas telah di-
tangkis oleh si Ninja Wadon
dengan sepasang gelang
besinya. Hingga menimbulkan
suara nyaring yang
memercikkan lelatu api.
Tiba-tiba Puja Sangara me-
lompat mundur. Kakinya terpacak
ditanah dengan ku-
da-kuda yang kokoh. Sepasang
lengannya membuat
gerakan memutar. Nampak
bergetaran, dan menim-
bulkan uap putih. Tak dapat
disangsikan lagi kalau dia
tengah mengeluarkan ilmu tenaga
dalam pada sepa-
sang lengan, serta siap
menerjang dengan jurus-jurus
lain dari pada yang lain. Tampak
bibir pemuda ini ber-
kemak-kemik membaca mantera.
Sementara ingatan
pemuda ini terpancang pada
gurunya Panembahan
Gumintar di puncak gunung Cula
Badak.
Tampak dimata batin Puja Sangara
pertapa tua itu
berkata. "Jangan kau
pergunakan jurus ilmu dan ajian
Paweling Sukma bila kau dalam
keadaan marah!" Akan
tetapi tampaknya Puja Sangara
sudah tak dapat mem-
bendung kemarahannya mengingat
kematian sang
ayah yang amat dihormati dan
dicintai tewas di tangan
si Ninja Edan Lengan Tunggal.
Dia merasa amat terhina karena
lawannya si Ke-
tua komplotan rahasia melayani
serangannya sambil
tertawa mengejek dan meremehkan.
Dia merasa malu
pada dirinya sendiri karena
dapat dijatuhkan oleh si
Ninja Wadon, yang nyaris membuat
dia melakukan
perbuatan hina! Ketika berguru
pada Panembahan
GUMINTAR dia mempelajari satu
ilmu yang lain dari
pada yang lain. inilah dia ilmu
itu, yaitu sebuah ilmu
kebatinan. Ilmu yang bisa
merubah manusia berganti
ujud, serta menjadi sakti mandra
guna dalam sekejap.
Tapi ilmu itu bisa menjadikan si
empunya ilmu akan
menjadi gila alias tidak waras
otaknya kalau diguna-
kan dalam keadaan marah.
Dan Puja Sangara telah
melanggarnya!
Ninja Edan Lengan Tunggal
membelalakkan ma-
tanya ketika melihat sosok tubuh
Puja Sangara beru-
bah menjadi sesosok makhluk
berbulu mirip seekor
gorilah yang menyeramkan.
Matanya nyalang merah
mengerikan. Wajah Ninja Edan
Lengan Tunggal tiba-
tiba berubah pucat. Kakinya
melangkah mundur dua
tindak.
Kejadian itu ternyata tak luput
dari mata sesosok
tubuh di atas tebing yang agak
rendah.
Dialah Roro Centil yang
mengintai dari atas po-
hon.
Sebenarnya sejak tadi Roro sudah
mau turun tan-
gan membantu pemuda itu. Akan
tetapi entah menga-
pa Roro ingin tahu kehebatan
Puja Sangara, hingga dia
urungkan niat. Roro yang tahu
dari pembicaraan siapa
adanya kedua orang itu, semakin
penasaran untuk
mengetahui siapa sebenarnya si
Ninja Edan Lengan
Tunggal itu. Dugaannya adalah
Joko Sangit. Bukan-
kah Joko Sangitpun seorang Ninja
yang lengannya
buntung? Bahkan beberapa bulan
yang lalu dia pernah
menjumpai Joko Sangit, yang
menamakan dirinya si
Brewok Lengan Tunggal.
Akan tetapi lagi-lagi dia
urungkan niat, karena
melihat kejadian aneh pada tubuh
Puja Sangara yang
berubah jadi mengerikan.
"Hah? Ilmu apakah?" berka-
ta Roro dalam hati. Apakah Puja
Sangara berguru pada
seorang golongan hitam? pikir
Roro dalam benak.
Bhussss...! Cepat sekali Ninja
Edan Lengan tung-
gal gunakan ilmu anehnya untuk
menghilang dari
tempat itu. Dengan membanting
sebuah benda yang
menimbulkan asap hitam
bergulung, tubuh Ninja
Edan Lengan Tunggal lenyap
terbungkus asap.
Melihat demikian, Ninja Wadon
yang sudah ber-
niat mau membunuh Puja Sangara
dengan kedua tan-
gannya sendiri, jadi urungkan
niat. Seketika tubuhnya
menggigit gemetar. Begitulah
takutnya dia melihat pe-
rubahan tubuh pemuda itu.
"Celaka! lebih baik aku
melarikan diri!" berkata
Ninja Wadon dalam hati. Ber-
pikir demikian, Ninja Wadon
segera balikkan tubuh
untuk melompat pergi. Akan
tetapi tiba-tiba lengan si
makhluk menyeramkan itu telah
terulur panjang dan
menyambar pinggang.
"Aaah?" tersentak
kaget wanita ini. Serta merta
lengannya menghantam lengan
berbulu itu. Akan teta-
pi terkejut dia karena seperti
menghantam kapas saja.
Hantaman itu tak berarti. Bahkan
kejap selanjutnya
tubuhnya telah ditarik. Karena
lengan itu kembali me-
luncur memendek. Dan... Sekejap
si Ninja Wadon telah
berada dalam Pelukan makhluk
menyeramkan itu.
***
SEMBILAN
RORO CENTIL baru saja mau
bertindak mengejar
si Ninja Edan Lengan Tunggal
yang menghilang dibalik
asap, tiba-tiba telah urungkan
lagi niatnya karena
mendengar suara jeritan menyayat
hati dari si Ninja
Wadon. Apa yang dilihatnya
membuat Roro membela-
lakkan mata. Karena diiringi
berderaknya suara tulang
yang remuk, tampak tubuh wanita
itu terkulai dalam
pelukan si makhluk berbulu yang
menyeramkan itu.
Bruk! Dengan keluarkan suara
menggeram tubuh
wanita itu dibantingkan ke
tanah. Selanjutnya dengan
buas makhluk itu menginjak-injak
tubuh wanita cabik
itu hingga remuk. Tampaknya makhluk itu puas su-
dah dengan apa yang telah
dilakukannya. Dia berdiri
memandangi tubuh lawannya. Lalu
tiba-tiba berteriak
menggeram dengan mata jelalatan
mencari si Ninja
Edan Lengan Tunggal yang telah
tak kelihatan lagi ba-
tang hidungnya.
Selang sesaat dia terkulai lesu.
Tubuh makhluk
itu mendeprok di tanah. Tubuhnya
terlihat bergetar
hebat. Dan selang tak lama berangsur-angsur
sosok
tubuh yang menyeramkan itupun
berubah lagi menjadi
Puja Sangara.
Saat itulah Roro Centil melompat
menghampiri.
Tersentak Puja Sangara melihat
Roro yang meman-
dangnya tak berkedip.
"Ssi...siapa kau?"
bentak Puja Sangara. "apakah
kau kawannya si wanita keparat
ini ataukah kau anak
buahnya si Ninja Edan Lengan
Tunggal?" Roro tampil-
kan senyuman seraya berkata.
"Aku bukan siapa-siapa
dan tak ada hubungannya
dengan kedua orang yang
kau maksudkan itu. Apakah anda
yang bernama Puja
Sangara?" balas bertanya
Roro setelah menjawab per-
tanyaan pemuda itu.
"Ada maksud apa kau
mencariku?" tanya ketus
laki-laki muda ini.
"Aku Roro Centil! aku
pernah menolongmu ketika
kau bertarung dengan kawanan
penjahat dihutan Ka-
liki! Tujuanku menemuimu adalah
membawa amanat
dari ayahmu Tumenggung Kaniraga.
Beliau memang
benar telah tewas di tangan si
Ninja Edan Lengan
Tunggal! Dan wasiat itu adalah
menyuruhku memban-
tu perjuangan mu, dalam menggulung komplotan ra-
hasia yang diketuai si Ninja
Edan Lengan Tunggal!" tu-
tur Roro.
Puja Sangara menyimak kata-kata
Roro. Akan te-
tapi tampaknya dia amat
kesulitan untuk memahami.
Dia berusaha mengkonsentrasikan
ingatan, tapi selalu
saja buyar. Dalam keadaan
demikian Puja Sangara
hanya mampu tertawa dan menjawab
dengan berteriak
keras.
"Ayahku sudah tewas!
Pembunuhnya adalah si
Ninja Edan Lengan Tunggal! Tak
seorangpun kuizin-
kan mencampuri urusanku!
Hahaha... haha... aku tak
kenal Roro Centil! Dan aku tak
perlu bantuan siapa-
siapa!
Hahaha... haha... tunggulah kau
Ninja Edan Len-
gan Tunggal. Kemanapun kau pergi
takkan luput dari
tanganku!"
Seusai berkata Puja Sangara
tertawa berkakakan.
Dan tiba-tiba berkelebat
melompat, lalu berlari ce-
pat meninggalkan tempat itu.
Dari kejauhan masih terdengar
suaranya berte-
riak-teriak.
"Adipati Rekso Seto!
pengkhianat Kerajaan! Kau
yang akan terlebih dulu
kuhancurkan! Karena kaulah
dalangnya kericuhan ini.
Hahaha... dan kau Carik Kar-
tomarmo! kau si pelempar batu
sembunyi tangan yang
bekerja sama dengan Adipati
keparat itu. Kaupun tak-
kan luput dari kematian!
hahaha.....hahaha..."
Terhenyak Roro Centil melihat
perubahan sikap
Puja Sangara. Sadarlah Roro
kalau pemuda itu telah
berubah tidak waras otaknya.
Dalam ketercenungannya mendengar
kata-kata
Puja Sangara barusan, tiba-tiba
Roro tersadar ketika
mendengar suara keluhan dari
atas tebing. Sekejap dia
telah melompat ke atas. Dan
didapati dara Kerudung
Biru telah sadarkan diri dari
pingsannya.
Gadis Kerudung Biru terpaku memandang sosok
tubuh si Ninja Wadon saudara
kembarnya yang sudah
tak berbentuk lagi. Pelahan Roro
bertindak mengham-
piri, lalu bimbing lengannya
untuk menjauh.
"Sudahlah! Tuhan sudah
menggariskan kematian-
nya sedemikian rupa. Kau tak
perlu mendendam pada
Puja Sangara. Bahkan Sebaliknya
kau harus mengasi-
haninya, karena saat ini dia
dalam keadaan tidak wa-
ras!" ujar Roro.
"Tidak! aku takkan
mendendam padanya, kakak
pendekar Roro. Kematian saudara
kembarku memang
sudah layak. Dia seorang yang
kejam. Banyak perbua-
tan terkutuk yang telah dia
lakukan. Dan bila setiap
laki-laki telah puas menuruti
hawa napsunya tak se-
gan-segan dia membunuhnya.
Sekali lagi aku ucapkan
terimakasih atas pertolongan
anda, kakak Pendekar
Roro. Sungguh girang sekali aku
bisa berjumpa dengan
anda.
Nama besarmu sudah kudengar
sejak lama. Men-
gapa kau sudi menolongku, kakak
Roro? Bukankah
aku termasuk anggota komplotan
rahasia yang menja-
di musuh setiap kaum
pendekar?" berkata si kerudung
Biru. Roro Centil tersenyum dan
tertawa kecil.
"Hihihi... siapa yang tak
tahu pribadimu sebenar-
nya? Bukankah kau telah
mengatakan bahwa kau
membenci komplotan itu. Dan kau
akan keluar dari
keanggotaannya? Kesadaranmu
itulah yang membuat
aku menolongmu. Di samping itu
aku perlu keterangan
lebih terperinci mengenai
komplotan itu. Kau tak boleh
mati. Bahkan aku berjanji akan
melindungimu dari ke-
jaran komplotan rahasia itu yang
pasti menginginkan
nyawa mu!" ujar Roro dengan
suara tegas.
Terpaku si Kerudung Biru menatap
pada Roro.
Sepasang mata yang indah itupun
kembali berkaca-
kaca. Dan tiba-tiba dia jatuhkan
dirinya berlutut di
hadapan wanita Pendekar Pantai
Selatan. "Budi baik-
mu terlalu besar, kakak
Pendekar. Ah, entah bagaima-
na aku harus membalasnya?"
"Aiiii....! sudahlah! hayo
kau bangun adik manis!"
berkata Roro. Lengannya terulur
menempel ke pundak
si gadis Kerudung Biru. Gadis
ini tiba-tiba rasakan se-
perti ada tenaga yang amat luar
biasa yang mengang-
kat tubuhnya hingga dia kembali
berdiri.
"Baiknya jenazah saudara
kembar mu itu dikebu-
mikan. Secepatnya kita pergi dari sini!"
berkata Roro
seraya menyuruti si Kerudung
Biru menyingkir ke sisi.
Pendekar Wanita Pantai Selatan
ini tumpukan telapak
tangannya pada bawah telapak
tangan kanannya yang
berdiri. Tampak telapak tangan
itu kepulkan uap pu-
tih. Mata Roro menatap pada
jenazah si Ninja Wadon.
Tiba-tiba dia berseru keras
seraya arahkan telapak
tangannya pada tanah di sebelah
depan jenazah. Sela-
rik sinar perak meluncur.
Dan... Bhlarrrr!
Tanah menyemburat membuat lubang
besar dide-
kat jenazah si Ninja Wadonpun
telah lenyap teruruk
tanah. Dengan cara itu Roro
telah mengebumikan sang
jenazah tanpa harus bersusah
payah menggali tanah.
Dara Kerudung Biru memuji kagum.
Bibirnya ke-
luarkan desisan lirih.
"Ah, jurus pukulan yang
hebat!" Namun dia tak
dapat berlama-lama berdiri di
tempat itu, karena len-
gan Roro telah menyambarnya
untuk dibawa berkele-
bat, seraya berkata.
"Hayo, adik manis, kita
pergi dari sini!" Tentu saja
si Kerudung Biru tak dapat tidak
harus mengikuti la-
rinya si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Hingga dalam
beberapa kejap saja kedua dara
cantik itu telah lenyap
dari tempat itu...
***
SEPULUH
Dari si dara Kerudung Biru
itulah Roro berhasil
mengorek keterangan mengenai
komplotan rahasia
yang didalangi oleh Adipati
Rekso Seto itu. Ternyata
bukan saja Adipati itu bekerja
sama dengan kaum
penjahat, tapi juga mendirikan
markas yang berada
dibukit Nala Gareng.
Kelicikan komplotan rahasia yang
didalangi Adipa-
ti Rekso Seto adalah dengan
mengadakan persekong-
kolan dengan Carik Kartomarmo
yang berhubungan
dengan kaum penjahat. Dimana
telah direncanakan
satu kejahatan atau perampokan
yang dilakukan oleh
orang-orang carik Kartomarmo
sendiri. Kemudian di-
adakan laporan yang seolah
didengar oleh Adipati Rek-
so Seto. Maka segera lasykar
pasukan Kadipaten men-
gejar ke sarang penjahat untuk
menumpas mereka.
Hasilnya? Komplotan penjahat
seolah telah dapat
digulung oleh pasukan prajurit
Kadipaten.
Tentu saja tak ada yang tahu
seluk beluknya, ke-
cuali "orang-orang
sendiri" dari komplotan terselubung
itu. Raja hanya menerima laporan
yang menggembira-
kan dari Adipati Rekso Seto.
Tampaknya dimata Raja, keadaan
wilayah peme-
rintahan yang dipasrahkan dalam
pembinaan Adipati
Rekso Seto aman sentosa. Padahal
di dalamnya penuh
kemelut. Penculikan gadis hampir
sering terjadi dua ti-
ga kali dalam satu bulan.
Perampokan, pemerasan,
pemerkosaan. Bahkan yang membuat
Roro menjadi
gregetan adalah Adipati itu
membangun sebuah istana
kecil yang di dalamnya ditempatkan perempuan-
perempuan cantik hasil
penculikan. Pada tiap kesem-
patan Adipati Rekso Seto tentu menyinggahi
"Istana"
itu untuk memuaskan hasratnya.
Tempat itu dijaga ketat, dan
mempunyai, tempat
yang tersembunyi hingga sukarlah
orang menemukan.
Disamping di tempat itu banyak
berkumpul jago-jago
silat bayaran yang di bawah
perintah Carik Kartomar-
mo.
Suara tertawa cekikikan
terdengar di satu ruangan
dalam "Istana" rahasia
itu yang dibarengi dengan sua-
ra laki-laki. Dalam ruang itu
ternyata tampak Carik
Kartomarmo dalam keadaan
terlentang, dipembaringan
berseprei bersih dikelilingi
tiga orang wanita cantik
yang memijiti tubuhnya dengan
sebentar-sebentar ter-
tawa mengikik.
"Berapa kali dalam sepekan
Adipati Rekso Seto da-
tang kemari?" tanya Cari
Kartomarmo sambil meram-
melek merasakan kenikmatan.
"Tidak tentu, Den.!
kadang-kadang sepekan sekali,
tapi terkadang satu pekan sampai
tiga empat kali da-
tang!" sahut wanita yang
memijiti bahunya. Karto-
marmo manggut-manggut. Sementara
diam-diam dia
bersyukur dalam hati karena
terhindar dari bahaya.
Dalam terlena itu dia terbayang
pada kejadian dua hari
yang lalu. Kalau saja dia datang
ke Puri Kuno pada
malam itu, tentu dia tak dapat
berleha-leha seperti se-
karang ini. Karena belasan anak
buah Puja Sangara te-
lah menantinya. Rencana untuk
membekuk Carik Kar-
tomarmo gagal, karena
diketemukannya mayat Sento
yang dibunuh Gudri oleh tiga
orang jago silat bayaran
Kartomarmo. Ketiga orang
laki-laki yang menamakan
dirinya si Tiga Ular Weling
segera melaporkan pada Ca-
rik Kartomarmo. Untung saja dia
yang sudah mau be-
rangkat pergi ke Puri Kuno,
segera gagalkan maksud-
nya.
Sebagai gantinya dia mengutus si
Tiga Ular Weling
untuk melihat ada apa sebenarnya
di Puri Kuno. Dia
curiga kalau-kalau itu rencana
Puja Sangara yang di-
ketahui telah bergabung dengan
belasan orang-orang
Adipati Rekso Seto dan sudah
diketahuinya menjadi
duri penghalang yang harus
dilenyapkan!
Akibatnya anak-anak buah Puja
Sengara habis
menemui ajal dibantai si Tiga
Ular Weling tanpa am-
pun. Ketiga laki-laki jago silat
bayaran itu bukanlah
tandingan mereka. Carik
Kartomarmo secepatnya sege-
ra terima laporan dari si Tiga
Ular Weling tentang ter-
basminya anak buah Puja Sangara.
Selesai memberi
imbalan, Carik Kartomarmo segera
menghubungi Adi-
pati Rekso Seto, lalu mengatur
rencana selanjutnya,
karena keadaan boleh dikatakan
amat gawat. Surat
Adipati bisa dijadikan barang
bukti pengkhianatannya
selama ini yang mencemarkan nama
baik Kerajaan.
Oleh sebab itu tak boleh
dibiarkan berlarut-larut. Puja
Sangara harus dibunuh secepatnya
dan Tumenggung
Kaniraga harus segera
disingkirkan!
Demikianlah hingga terbunuhnya
Tumenggung
Kaniraga oleh si Ninja Edan
Lengan Tunggal, sehabis
bercakap-cakap dengan Adipati
Rekso Seto yang sen-
gaja diundang oleh Adipati busuk
itu untuk melaku-
kan rencana kejinya. Namun
sayang, Puja Sangara da-
pat meloloskan diri. Yang
kemudian dikejar oleh Ninja
Wadon dan Ninja Edan Lengan
Tunggal, seperti diceri-
takan dibagian depan.
Waktu itu penjagaan memang
segera diperketat.
Orang-orang Komplotan Rahasia
disebar disetiap tem-
pat. Bahkan kepergian Carik
Kartomarmo ke tempat
rahasia itu untuk bersantai
dengan ditemani tiga wani-
ta-wanita cantik itu, gedung
kediamannya telah dijaga
ketat oleh orang-orangnya.
Siang itu cukup terik. Panasnya
menyengat kulit.
Tapi dalam ruangan kamar itu
Carik Kartomarmo tak
merasakannya. Dua orang wanita
itu telah menyingkir,
ketika sang Carik itu segera
merengkuh tubuh mulus
wanita yang satu ini. Wanita ini
memang mempunyai
bentuk tubuh yang amat
mempesona, selain juga ber-
wajah cantik. Terengah-engah si
dara cantik ketika si
tua bangka ini dengan gejolak
nafsu yang sudah tak
terbendung. Lengannya
mencengkeram dada wanita
itu hingga si wanita
menyeringai. Kedua tubuh itu sal-
ing bergelinjangan berbaur
dengan napas sang Carik
yang memburu. Akan tetapi
tiba-tiba pintu kamar te-
lah diketuk orang.
"Siapa?" teriak Carik
Kartomarmo dengan wajah
berubah. Tak biasanya ada yang
berani mengganggu
dia bila sedang berada dalam
kamar.
"Kami, Den Bei..! Menyahut
suara diluar. "Kami
siapa?! bentak Kartomarmo dengan
bergegas menge-
nakan pakaian. Perempuan itu
didorong seraya diberi
isyarat untuk lekas menyingkir.
Bergegas wanita itu
menyambar pakaiannya, langsung
menghambur keluar
dari pintu rahasia.
"Kami, Tiga Ular
Weling!"
Sahutan itu agak melegakan
hatinya. Tapi mem-
buat dia terkejut, karena
kedatangan si Tiga Ular Wel-
ing yang mendadak itu tentu
membawa berita atau la-
poran. Sementara dia merasa
hatinya tak enak. Tak
lama lengan Carik Kartomarmo
gerakkan sebuah ben-
da dikolong tempat tidur. Dan...
Klik! Kunci pintu ka-
mar itu telah membuka.
"Masuklah!" berkata
Kartomarmo. Dia telah siap
menyambut dengan pakaian yang
telah dirapikan.
Tampak pintu bergerak didorong
dari luar. Dan ti-
ga sosok tubuh melangkah masuk.
Ternyata benar si
Tiga Ular Weling adanya. Wajah
ketiga laki-laki jago si-
lat bayaran yang biasanya
bertampang seram itu, kali
ini unjukkan wajah pucat bagai
kertas.
"Cepat laporkan apa yang
kalian mau laporkan?
Mengapa cuma berdiri
membisu?" membentak Carik
Kartomarmo tak sabar menunggu
kata-kata si Tiga
Ular Weling. Akan tetapi betapa
terperanjatnya sang
Carik ini ketika tahu-tahu
ketiga sosok tubuh itu ber-
jatuhan ambruk ke lantai.
Membuat dia melompat ka-
get. Ketika memeriksa ternyata
si Tiga Ular Weling itu
telah tewas. Dari mulut, mata,
telinga dan hidung me-
reka semburkan darah berwarna
kuning.
"Ah!? Racun
Kuning..!?" tersentak kaget Carik Kar-
tomarmo. Seketika wajahnya
berubah pucat. Karto-
marmo yang telah cukup
berpengalaman segera men-
getahui kalau si Tiga Ular
Weling telah terkena satu
pukulan ganas yang mengandung
racun kuning. Jelas
terlihat dari warna darah ketiga
orang jagoan andalan-
nya itu. Yang membuat wajahnya
berubah pucat ada-
lah si pemilik pukulan Racun
Kuning adalah orang
yang paling ditakutinya.
"Ahh... apakah kakek
PAMOKSA telah muncul dari
"Lubang Kuburnya?"
Bagaimana dia dapat terlepas da-
ri penjara bawah tanah itu?
desisnya dengan tubuh
menggeletar. Pemilik pukulan
Racun Kuning itu siapa
lagi kalau bukan PAMOKSA alias
si IBLIS RACUN
KUNING!
***
SEBELAS
Memikir demikian, Garik
Kartomarmo sudah mau
menghambur untuk melarikan diri
masuk pintu raha-
sia. Akan tetapi telah terdengar
suara tertawa menge-
keh serak dan berat, diiringi
munculnya di depan pintu
sesosok tubuh kurus kering bagai
jerangkong. Pa-
kaiannya sudah compang camping
tak keruan. Kakek
ini berambut putih yang gondrong
sebatas bahu tak te-
rawat.
Bahkan bau tubuhnya santar
menusuk hidung.
“Hehehehe... Heheh... LINDU
SONGO! kau mau la-
ri kemana?" "Bila kau
kabur lewat pintu rahasia, dis-
ana telah menunggu seorang
muridku yang telah siap
mengirim nyawamu ke liang
akhirat. Akan tetapi bila
kau tak lari, toh kau akan
bernasib sama! Mungkin
kau tak begitu cepat mati.
Karena aku akan jebloskan
kau dalam penjara kuburan itu
menjadi pengganti ku!"
berkata Pamoksa. Lalu tertawa
berkakakan terkekeh-
kekeh.
"Pa... Pamoksa? bagaimana
kau masih bisa hidup
dan keluar dari penjara itu
setelah lewat 10 tahun?"
berkata Kartomarmo dengan suara
datar. Dia telah
bersikap merubah kepucatan
wajahnya dengan sikap
biasa. Karena Carik Kartomarmo
yang nama sebenar-
nya adalah LINDU SONGO itu
adalah tokoh golongan
hitam yang punya banyak
pengalaman. Segera dia me-
nyadari. Rasa takut akan membuat
akal orang menjadi
buntu. Sedangkan ketenangan akan
menguntungkan,
karena akal dapat berjalan baik!
Pertanyaan ini membuat Pamoksa
kembali terke-
keh. Lalu menjawab dengan
mendengus di hidung.
"Heh! Sudah beberapa bulan
yang lewat aku lolos
dari penjara keparat itu. Bahkan
kalau aku mau su-
dah sejak tiga tahun yang lalu
aku tinggalkan penjara
bawah tanah itu untuk ku segera
mencarimu dan
membunuh mu! Tapi aku harus
menamatkan ilmu-
ilmuku. Kini aku benar-benar
telah tinggalkan penjara
keparat itu untuk selamanya,
karena sudah waktunya
aku membunuhmu!"
Akan tetapi kata-kata Pamoksa
tak membuat wa-
jah Kartomarmo berubah. Walau
sebenarnya dia amat
terkejut luar biasa. Kakek
bernama Pamoksa itu ada-
lah paman gurunya. Seorang yang
berilmu tinggi. Ber-
watak brangasan dan telengas.
Nama Kartomarmo sendiri
sebenarnya Lindu Son-
go. Lindu Songo tak dapat
dikatakan seorang yang
berwatak baik. Karena dia
seorang yang amat doyan
dengan wanita cantik. Hingga
anak gadis gurunya sen-
diri "dimakan" nya
juga. Hingga dia harus berurusan
dengan gurunya. Bahkan dengan
akal licik terpaksa
dia membunuh sang guru yang
telah melabraknya, ka-
rena gusar anak gadisnya
dikerjai si murid gila ini.
Lindu Songo selanjutnya
berpetualang menjadi
"pendekar" pembela si
lemah menindas si kuat. Tapi
tujuannya adalah untuk
mendapatkan kesenangan.
Kalau tak harta benda tentulah
wanita cantik yang di-
incarnya. Perbuatannya amat
licik, yang dapat dium-
pamakan sebagai Musang berbulu
Ayam.
Lindu Songo teringat kalau dia
punya seorang
guru bernama PAMOKSA. Akal
liciknya kembali timbul
untuk memperdaya sang paman
guru. Dia mendatangi
tempat kediaman Pamoksa, lalu
menceritakan tentang
tewasnya Ki BERGOLA (sang guru)
dengan dikarang ja-
lan cerita palsu. Dikatakan
bahwa si pelakunya adalah
adik Adipati Manyar Dewa yang
pada waktu itu kera-
jaan masih diperintah oleh Prabu
Candra Bayu. Kera-
jaan yang sekarang diperintah
oleh Prabu SASRA
BHESWARA. Akibatnya PAMOKSA
mengamuk dige-
dung Kedipatian. Menuntut
Adipati Manyar Duwa un-
tuk menyerahkan adiknya, dan
bertanggung jawab
atas perbuatan keji dan amoral
Manyar Langit. Dalam
kerusuhan itu, Lindu Songo
mengambil kesempatan
menculik anak gadis Adipati
Munyir Dewa. Setelah
puas mereguk madusari, anak
Adipati itupun dibu-
nuhnya untuk menutupi
kejahatannya.
Pertarungan digedung kedipatian
membuat tewas-
nya Adipati Manyar Dewa, juga adik
Adipati itu. Se-
mentara dalam kesempatan dikala
terjadi kerusuhan,
Lindu Songo tak lewatkan
kesempatan untuk meram-
pok harta benda Adipati Manyar
Dewa. Sempat-
sempatnya pula dia meniduri
istri sang Adipati.
Lindu Songo yang berniat
mempelajari ilmu puku-
lan Racun Kuning dari sang paman
guru, akhirnya tak
kesampaian. Karena Pamoksa telah
tertawan oleh to-
koh Kerajaan, yaitu Patih GAJAH
SORA. Ki Patih Gajah
Sora berbaik hati tak membunuh
Pamoksa. melainkan
setelah memunahkan kekuatan
Pamoksa hingga men-
jadi orang tanpa daksa, yang
kehilangan tenaga dalam
seumur hidupnya. Dia dijebloskan
dalam penjara ba-
wah tanah!
Keringat dingin mencucur
disekujur tubuh Lindu
Songo alias Carik Kartomarmo.
Memikir dirinya telah
terkurung tak dapat meloloskan
diri, tiba-tiba laki-laki
tua ini hantamkan telapak
tangannya ke langit-langit
kamar.
Di iringi suara berkerotakan hancurnya langit-
langit kamar, tak menunggu waktu
lagi tubuh Carik
Kartomarmo telah melesat keluar
dari jebolan langit-
langit kamar itu. Membaur
diantara kepingan genting
yang melayang di udara, tampak
tubuh Carik Karto-
marmo yang dengan gerakan kilat
segera totolkan
ujung kaki ke arah pecahan
genting. Hebat! mengan-
dalkan kekuatan ilmu meringankan
tubuh yang amat
sempurna, secepat kilat Lindu
Songo telah melesat ba-
gai anak panah berkelebat ke
arah hutan.
Menggembor marah Pamoksa. Tentu
saja dia tak
mau buruannya kabur menghilang
begitu saja dari de-
pan hidungnya. Tubuh kakek ini
berkelebat 10 tombak
ke udara, dan berkelebat
bagaikan bayangan hantu
putih mengejar Lindu Songo.
Sementara itu diarah lain
yaitu tepat disisi mulut hutan,
sesosok tubuh berkele-
bat pula memburu bayangan tubuh
Lindu Songo yang
melarikan diri.
Beralih sejenak ke lain tempat.
Sesosok tubuh berpakaian jubah
hitam berdiri te-
gak di atas tebing, dimana
dibawahnya terhampar hu-
tan belantara. Angin pegunungan
yang bertiup mem-
buat jubah laki-laki bertopeng
ini berkibaran. Begitu
pula lengan jubahnya. Jelaslah
kalau orang ini tak lain
dari si Ninja Edan Lengan
Tunggal!
Belum lagi sepeminuman teh
laki-laki itu berdiri
disitu mendadak terdengar suara
tertawa merdu mero-
bek keheningan, dan sesosok
tubuh muncul di bela-
kang si Ninja Edan Lengan
Tunggal.
"Hihihi.....Bagus! Sungguh
kebetulan! hari ini aku
bisa berhadapan dengan salah
seorang anjingnya Adi-
pati Renggo Seto! Dan manusianya
adalah orang yang
sungguh tak kusangka dan diluar
dugaanku sama se-
kali. Heh! ... JOKO SANGIT!
begitukah perbuatan seo-
rang pendekar murid si Pendekar
Gentayangan?".
Laki-laki jubah hitam yang
kepalanya terbungkus
kain hitam ini ternyata masih
tetap berdiri tanpa
membalikkan tubuh mendengar
kata-kata dibelakang-
nya. Agaknya diapun sudah mengetahui
siapa yang
datang.
"Balikkan tubuhmu menghadap
ke arah ku, Joko
Sangit! Buka topengmu! Apakah
kau malu? Ataukah
mukamu rusak hingga kau terus
menutupinya?" ber-
kata wanita dibelakang si Ninja
Edan Lengan Tunggal.
Akan tetapi laki-laki ini tetap
tak menggubrisnya.
Hal itu membuat si wanita jadi
mendongkol. Akan
tetapi tetap dia menunggu reaksi
laki-laki itu. Siapa
adanya wanita itu? Ternyata
siapa lagi kalau bukan
RORO CENTIL si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Ka-
rena si Ninja Edan Lengan
Tunggal tetap tak menggu-
brisnya, Roro mulai kesal dan
membanting kaki den-
gan membentak. Suaranya seperti
mau menangis. Dan
memang disudut kelopak mata itu
telah tersembul seti-
tik air bening.
"Joko Sangit...! Sungguh
perbuatanmu membuat
aku tak bersimpati terhadapmu.
kau sungguh orang
yang punya hati! Betapapun
besarnya cintaku pada-
mu, namun karena perbuatanmu
yang membantu ma-
nusia seperti Adipati Reggo Seta
membuat hatiku ter-
luka! Baiklah! hari ini kulupakan semua kenangan
manis masa lalu! hari ini
semuanya telah menjadi te-
rang. Ternyata kau bukanlah
orang yang aku idamkan!
Maka hari ini pula aku akan
menghentikan petualan-
ganmu!" Selesai berkata
Roro Centil perdengarkan sua-
ra melolong panjang yang lebih
menyerupai jeritan me-
lengklng. itulah ungkapan hati
yang penuh dengan ke-
kecewaan yang diungkapkan Roro
dengan jeritan me-
lengking panjang.
Dan belum lagi terputus suara
jeritan yang menye-
rupai lengkingan serigala itu,
tubuh Roro berkelebat.
Lengannya terangkat menghantam
ke arah pung-
gung si Ninja Edan Lengan
Tunggal. Selarik cahaya pe-
rak berkelebat. Itulah pukulan
jarak jauh yang berna-
ma ilmu pukulan SELAKSA PETIR.
Akan tetapi puku-
lan ganas yang mengerikan itu
lewat disamping laki-
laki Ninja Edan Lengan Tunggal,
sedangkan laki-laki
itu masih tetap berdiri tak
bergeming.
Terdengarlah suara ledakan
keras. Belahan pohon
disisi tebing dimana laki-laki
itu berdiri terbakar han-
gus.
Sedangkan Roro tampak dengan
membanting kaki
dan mata merah mau menangis
menatap laki-laki itu
dengan terpaku...
Seandainya dia tak miringkan
tangannya dikala
menghantam tadi, tak dapat
disangsikan lagi tubuh si
Ninja Edan Lengan Tunggal akan
bernasib sama den-
gan pohon-pohon itu. Tentu saja
dia melengak, karena
laki-laki itu tak berupaya
mengelakkan diri.
Sesaat suasana kembali hening.
Dan dalam kehe-
ningan yang mencekam itu,
terdengar suara si Ninja
Edan Lengan Tunggal yang
perdengarkan suara terta-
wanya. Suara tertawa tawar yang
bernada hambar.
"Hahaha... mengapa kau
urungkan niatmu mem-
bunuhku, Roro? Bukankah aku
telah membuat kau
kecewa? Bukankah aku telah
menyakitkan hatimu?
Bukankah seribu kekecewaan telah
kau dapati dari di-
riku?"
"Joko Sangit! mengapa kau
tak mengelakkan diri?
Aku enggan membunuh orang yang
tak mau melaku-
kan perlawanan. Hayo, persiapkan
dirimu untuk
menghadapi aku! Kita bertarung
sampai ada yang te-
was salah satu diantara
kita!" teriak Roro dengan me-
nahan isak.
Akan tetapi Ninja Edan Lengan
Tunggal kembali
tertawa hambar.
"Percuma! apakah
keuntungannya? toh hanya
akan membuat manusia pengacau
yang mempitnahku
justru bergirang hati!"
ujar Ninja Edan Lengan Tung-
gal. Terhenyak Roro Centil
menatap laki-laki itu den-
gan terheran.
"Siapa orang yang telah
mempitnahmu? Dan keja-
dian apakah sebenarnya dibalik
semua ini?" tanya Ro-
ro agak lirih. Namun sebagai
jawabannya Ninja Edan
Lengan Tunggal perdengarkan
suara tertawa gelak-
gelak. Dan BHUSSSS! tubuhnya
lenyap seketika dian-
tara gumpalan asap hitam. Roro
terperangah. Dan saat
itu terdengar suara kata-kata si
Ninja Edan Lengan
Tunggal.
"Kelak kau akan
mengetahuinya! Datanglah ke
lembah padang Alang-alang pada
malam purnama hari
keempat belas tiga hari
lagi...!"
Suara itupun lenyap bersamaan
dengan lenyapnya
asap hitam yang bergulung-gulung
menghalangi pan-
dangan mata Roro Centil.
Roro tertegun beberapa saat.
Diam-diam dia me-
muji kehebatan ilmu NINJA
laki-laki itu. Setelah
menghela napas, tubuh si
pendekar wanita itupun
berkelebat lenyap dari tempat
itu.
***
DUA BELAS
"CARIK KARTOMARMO! kau tak
akan dapat melo-
loskan diri lagi dari
kematianmu!" bentakan menggele-
dek terdengar. Dan di hadapan
Lindu Songo telah ber-
diri sesosok tubuh yang tak lain
dari PUJA SANGARA.
Dialah orang yang sembunyi
disisi mulut hutan tadi.
Mendelik mata laki-laki ini.
Namun dia telah cabut
keris pusakanya dari balik
punggung. Tanpa ayal lagi
dia telah menerjang diiringi
bentakan.
"Puja Sangara! kaulah yang
segera akan pergi ke
alam baka menyusul ayahmu!"
Hebat serangan carik
Kartomarmo alias Lindu Songo
ini. Serangan keris pu-
sakanya bertubi-tubi mengirim
tusukan maut ke arah
lawannya. Seolah-olah tubuh Puja
Sangara terbungkus
oleh sinar hijau yang
mengurungnya. Hingga sukar
bagi laki-laki itu meloloskan
diri.
Namun laki-laki itu dengan
tangkas berkelebat ke-
sana-kemari menghindari
gencarnya tusukan senjata
lawan. Bahkan dengan menggerung
keras tubuh Puja
Sangara mendadak telah berubah
menjadi besar dan
dihadapan carik itu bukan lagi
Puja Sangara, melain-
kan seekor makhluk yang mirip
gorila yang begitu me-
nyeramkan.
Terkejut Lindu Songo. Namun
bibirnya segera ber-
kemak-kemik membaca mantera.
Mendadak tubuh la-
ki-laki ini telah berubah
menjadi sebentuk asap. Asap
itu membumbung lenyap. Tentu
saja membuat sang
gorila seperti terheran karena
kehilangan buruannya.
Tiba-tiba terdengar suara
bentakan Pamoksa.
"Lindu Songo pengecut!!
tampakkan dirimu!" Ka-
kek itu ternyata telah berada
ditempat itu. Melihat ke-
datangan Pamoksa, Puja Sangara
segera berkata.
"Dia sudah kabur, guru!
Hehehe... hahaha... dia
pintar dan licik. sedangkan kau dan aku tolol! Haha-
ha... tolol! Dan yang paling
tolol adalah kau si tua
bangka! Ilmu-ilmumu tak mampu
untuk berbuat apa-
apa...!
"Bocah keparat!"
bentakan keras Pamoksa seperti
menggelarkan tanah.
Detik itu juga lengannya
bergerak menghantam ke
arah Puja Sangara. Sukar untuk
diduga kalau kakek
itu bertindak demikian Tanpa
ampun lagi terdengarlah
suara berderaknya tulang kepala.
Dan detik berikut-
nya tubuh laki-laki itu roboh ke
tanah. Darah memun-
crat bercampur otak. Seketika
itu juga nyawa Puja
Sangara langsung melayang ke
alam baka.
Pamoksa menatap tubuh sang
muridnya dengan
dada turun naik. Jelas kalau
kakek ini amat tersing-
gung mendengar kata-kata sang
murid. Agaknya me-
mang sudah hari naas Puja Sangara harus tewas di-
tangan gurunya sendiri akibat
otaknya yang tidak wa-
ras.
"Lebih baik kau mati! kukira
itu jalan terbaik ba-
gimu bocah! Dari pada kau hidup
dengan otak sinting!
Salahmu! kau melanggar pantangan
mempergunakan
ilmu itu!"
Setelah berkata demikian, kakek
inipun berkelebat
pergi dari tempat itu.
***
Kemunculan Pamoksa digedung
kadipatian telah
membuat gempar para prajurit
kedipatian. Tentu saja
karena sebelah lengan kakek ini
mencekal tengkuk
seorang tamtama yang kepalanya
telah terkulai karena
lehernya patah. Tak seorangpun
dari para prajurit
yang berani mendekati. Mereka
cuma mengurung si
kakek menyeramkan ini dari jarak
yang agak jauh.
Melihat demikian tiga orang
kepala prajurit me-
lompat ke arah Pamoksa. Tiga
laki-laki ini langsung
mencabut masing-masing
senjatanya. Salah seorang
membentak keras.
"Manusia tua bangka manakah
yang berani bikin
onar disini?"
"Kakek yang sudah dekat
liang kubur! apakah kau
mencari mampus?!" bentak
pula seorang dari kepala
prajurit itu. Akan tetapi si
kakek Cuma mendengus.
Lengannya bergerak, dan... Krraak!
putuslah buah ke-
pala prajurit yang dicekal
tengkuknya itu. Darah me-
mancur deras. Blug! batang tubuh
prajurit yang sial
itu dilemparkan dihadapan ketiga
orang kepala prajurit
itu. Sedangkan sebelah lengannya
masing mencekal
buah kepala prajurit itu yang
dicengkeram rambutnya.
Melihat kekejian kakek tua yang
entah dari mana
munculnya itu dan entah
kesalahan apa si prajurit sial
penjaga pintu itu hingga menemui
ajal ditangan si ka-
kek, ketiga kepala prajurit itu
membeliakkan mata.
Dan serentak mereka telah
menerjang dengan masing-
masing senjatanya.
Akan tetapi apa yang terjadi?
Sekali si kakek men-
gibaskan lengannya terdengarlah
jeritan-jeritan me-
nyayat hati dibarengi dengan
terlemparnya tiga tubuh
kepala prajurit itu. Dalam waktu
cuma sekejap mata
ketiga orang kedipatian itu
telah menggeletak tak ber-
nyawa, sementara senjata-senjata
mereka terlempar
entah kemana.
Puluhan tamtama berteriak kaget.
Wajah-wajah
mereka menjadi pucat tak
berdarah. Mereka mundur
beberapa belas langkah. Terkejut
Adipati Rekso Seto
melihat siapa yang telah muncul
dan membuat kericu-
han di gedung Kedipatian.
Tersentak dia mengetahui
tiga orang kepala prajurit yang
kepandaiannya tak da-
pat dikatakan rendah telah
berkaparan tak bernyawa
dengan tulang dada remuk.
Akan tetapi Adipati Rekso Seto
segera menampak-
kan senyum menyeringai
diwajahnya. Bibirnya meng-
guman lirih. "Bagus! untuk
mendapatkan ikan besar
memang harus mengorbankan
ikan-ikan kecil sebagai
umpan. Si Pamoksa ini bisa ku
peralat untuk menjadi
orangku! hehehe... Dan tak ayal
lagi dia telah me-
lompat keluar dari dalam ruang
pendopo.
"Haiih! kiranya kakek
Pamoksa! Apakah yang ter-
jadi, sahabat? Kukira telah
terjadi kesalahan paham.
Kuharap anda dapat memaafkan
sikap para tamtama-
ku yang tak mengadakan
penyambutan terhadap anda
sobat Pamoksa!" berkata
Adipati Rekso Seto dengan
menjura. Lalu berpaling pada
para prajuritnya.
"Hei! Mengapa kalian
bersikap bermusuhan pada
sahabat dan orang sendiri? Hayo,
lekas kalian singkir-
kan tiga mayat itu!" teriak
Adipati Rekso Seto. Para
prajurit Kedipatian itu tentu
saja melengak heran. Na-
mun segera mereka menjalankan
perintah. Belasan
orang lepaskan senjatanya dan
bergerak cepat menggo-
tong mayat-mayat ketiga kepala
prajurit itu termasuk
batang tubuh tanpa kepala si
prajurit sial.
Lalu dengan menjura setelah
mayat-mayat yang
berkaparan itu digotong pergi,
Adipati Rekso Seto
kembali menjura.
"Maafkan sikap penyambutan
kami yang kurang
ajar, sahabat Pamoksa. Selamat
datang kami ucapkan
pada anda, dan ada prihal apakah
maksud kedatangan
sahabat Pamoksa kemari?"
berkata ramah Adipati
Rekso Seto.
"Heh? 10 tahun aku dikurung
dalam penjara ba-
wah tanah adalah akibat pitnah
keji yang dilakukan
Lindu Songo dan kau sendiri!
Kedatanganku adalah
untuk mengambil nyawa mu! karena
kau termasuk
komplotan manusia pengacau yang
harus dile-
nyapkan!" berkata Pamoksa
dengan menggereng dan
mata menatap tajam seperti mau
menembus jantung
sang Adipati.
Tersentak kaget Adipati Rekso
Seto, tapi tak ken-
tara pada raut mukanya. Namun
kakinya tak terasa te-
lah menyurut mundur selangkah.
"Ah, sabarlah dulu sobat
Pamoksa...!" cepat-cepat
dia berkata. "Anda jangan
salah pengertian. Mengenai
perihal peristiwa lalu itu aku
tak mencampuri urusan.
Semua itu adalah perbuatan Lindu
Songo atau Carik
Kartomarmo. Kita telah kena
pitnah keji, sobat Pamok-
sa. Kau lihat sendiri keadaanku.
Bukankah aku tak
semewah Kartomarmo. Dan siapakah
sebenarnya Lin-
du Songo alias Kartomarmo itu
kau belum mengetahui.
Dialah seorang tokoh hitam yang
berasal dari tenggara!
Julukan dia sebelum menjadi
orang kerajaan dan ma-
sih menjadi orang Rimba Hijau
adalah si Tangan Besi!
Dia telah mengadu-domba kita!
Apakah kau tak me-
nyadari?"
Mendengar kata-kata Adipati
Rekso Seto, kakek ini
tercenung beberapa saat. Hatinya
ragu setengah mem-
percayai kata-kata itu tapi
setengahnya tidak. Kebim-
bangan itu nampak jelas oleh
Adipati Rekso Seto. Ce-
pat-cepat dia menyambungnya.
"Aku orang kerajaan yang
hanya menjalankan tu-
gas kerajaan dengan jujur. Aku
sendiri akan membe-
kuk manusia itu yang telah
mencemarkan nama baik-
ku. Kalau kau tak percaya
kata-kataku, baiknya beri-
kan waktu buat aku membekuk
manusia itu agar
mengaku dihadapanmu! Dan kau
boleh memenggal ba-
tang lehernya setelah kau dengar
sendiri pengakuan-
nya!"
Kata-kata Adipati Rekso Seto
yang tegas membuat
Pamoksa membanting kepala
prajurit yang tercekal di-
lengannya hingga hancur amblas
terbenam ditanah.
"Aku sendiri yang akan
membekuk dan memotes
batang leher manusia keparat
itu! Karena ulahnya pu-
la aku telah terlepas tangan
membunuh muridku sen-
diri!" menggembor gusar
Pamoksa. Rahangnya meng-
gembung dan urat-urat lehernya
bergerak-gerak me-
nahan kemarahan.
"Bagus! Tapi sebaiknya
sobat Pamoksa beristirahat
dulu ditempat kami. Oh, ya boleh
aku tahu siapa ge-
rangan muridmu itu!" tanya
Adipati.
"Hm, dia seorang laki-laki
muda bernama Puja
Sangara. Dari dia pulalah aku
banyak mengetahui pe-
rihal keadaan dan kejadian di
Kota Raja ini!" Menyahut
Pamoksa. Terhenyak Adipati Rekso
Seto mengetahui
hal itu. Diam-diam hatinya
bergirang karena telah le-
nyap orang yang menjadi
penghalang yang bisa meru-
sak namanya. Kematian Puja
Sangara adalah satu
keuntungan bagi Adipati Rekso
Seto, karena dengan
demikian sulit mencari saksi
perbuatannya bila kelak
perihal peristiwa ini diketahui
raja.
Adipati ini manggut-manggut dan
nampak ikut
prihatin dengan musibah yang
menimpa Pamoksa. Wa-
lau diam-diam hatinya bergidig
seram, bagaimana bisa
Pamoksa melepaskan diri dan
dalam keadaan masih
hidup setelah terkurung hampir
sepuluh tahun di-
ruang penjara bawah tanah?
Bahkan kini muncul den-
gan ilmu yang sedemikian tinggi.
Dia sendiri bila diuji
untuk bertarung melawan tiga
pengawal yang telah di-
bunuh Pamoksa rasanya sukar
untuk merobohkannya.
Tapi si kakek ini cuma dalam
waktu sekejap mata te-
lah membuat nyawa ketiga orang
pengawal berkepan-
daian tinggi bawahannya itu
melayang ke akhirat!
Dengan upaya serta bujukan dan
penyambutan
Adipati Rekso Seto yang ramah
tamah, maka luluhlah
kemarahan Pamoksa. Kakek ini tak
menolak ajakan
Adipati Rekso Seto untuk singgah
di gedung Kedipa-
tian.
***
MALAM PURNAMA yang dinantikan
Roro hampir
tiba. Gadis pendekar yang sejak
senja tadi duduk ter-
mangu di depan pura segera
bangkit
berdiri. Beberapa kejadian telah
diikuti Roro dan
diketahui setelah dia
berkeliling Kota Raja, yaitu telah
digulungnya komplotan rahasia
orang-orangnya Adipa-
ti Rekso Seto oleh para perwira
kerajaan dibawah pim-
pinan Ki Patih GAJAH SORA.
Adapun Adipati Rekso
Seto kedapatan telah tewas
dengan batok kepala re-
muk di pintu pendopo Kedipatian
tanpa diketahui sia-
pa pembunuhnya. Dan lenyapnya
PAMOKSA yang tak
diketahui kemana perginya. Hal
itu dilaporkan oleh pa-
ra tamtama yang mengetahui kakek
tua yang menye-
ramkan itu setelah menjadi tamu
Adipati Rekso Seto
digedung Kedipatian.
Dapat diduga si pembunuhnya
adalah Pamoksa
sendiri! Namun amat disayangkan
kakek itu tak un-
jukkan diri, sedangkan Roro yang
mengikuti jalannya
penyergapan ke gedung Kedipatian
dengan sembunyi-
sembunyi mengharapkan pertemuan
dengan tokoh
aneh itu. Karena ingin
mengetahui siapa adanya kakek
yang dapat bertahan hidup selama
hampir sepuluh ta-
hun di penjara bawah tanah.
Kemelut di kerajaan kecil itu
memang belum selu-
ruhnya tuntas. Karena tokoh
utama dan beberapa
orang yang terlibat dalam
peristiwa itu masih belum
ditangkap. Terutama Carik
Kartomarmo dan si Ninja
Edan Lengan Tunggal. Yang
membuat penasaran Roro
adalah terlibatnya Joko Sangit dalam kemelut itu.
Hingga dia harus bersabar untuk
menunggu datang-
nya malam purnama dimana dia
telah di undang oleh
si Ninja Edan Lengan Tunggal
untuk datang ke lembah
padang Alang-Alang.
Setelah menghela napas, tampak Roro beranjak
menuruni tangga undakan dari
batu itu. Pandangan-
nya diarahkan ke langit dengan
menengadah. Bibirnya
bergerak mengeluarkan suara
menggumam.
"Sudah tiba waktunya!"
Dan seiring dengan suara
bergumam itu, tubuh
Roro Centil segera saja
berkelebat ke arah depan. Se-
lanjutnya dalam beberapa kejap
saja telah lenyap ter-
halang bukit yang menjulur ke
arah hutan.
DUA MANUSIA yang serupa baik
pakaian maupun
perawakannya membuat Roro Centil
tertegun meman-
dang. Kedua sosok tubuh itu saling berhadapan da-
lam jarak antara sembilan atau
sepuluh langkah.
Keduanya adalah si Ninja Edan
Lengan Tunggal
yang tak diketahui mana yang
asli di mana yang palsu.
Angin malam berhembus menerpa
rumput ilalang
menimbulkan suara berkrosakan.
Kedua laki-laki yang
sama mengenakan topeng itu masih
tetap berdiri tak
bergeming. Cahaya purnama
menerangi tempat itu,
seperti menjadi saksi akan
terjadinya satu pertarungan
hebat yang bakal meminta korban
jika dan pertumpa-
han darah Roro pentang mata
hampir tak berkedip da-
ri tempat berdirinya di atas
batu pada sisi bukit kecil
disisi lembah. Tempat yang cukup
dekat untuk me-
nyaksikan pertarungan yang
sebentar lagi bakal ber-
langsung.
"Hahaha... apakah kau sudah
siap, sobat Ninja
Edan Lengan Tunggal?" salah
seorang dari kedua "Nin-
ja" itu berkata.
"Hm, Aku sudah siap untuk
mengirim nyawamu
ke Akhirat, Ninja Palsu!"
membentak Ninja yang satu
lagi. Suara mereka hampir tak
dapat dibedakan karena
bernada sama-sama parau.
"Keparat! sebentar lagi
segera akan diketahui. Sia-
pa yang tergeletak tak bernyawa
itulah yang palsu!" Di
iringi kata-kata bentakan itu
salah seorang dari kedua
Ninja itu telah melompat
menerjang. Pedang Samu-
rainya menabas dengan gerakan
kilat!
Trang! Trang!
Dua tabasan maut itu terhalang
oleh pedang Sa-
murai di tangan lawannya menimbulkan benturan
nyaring dan pijaran lelatu api.
Keduanya sama tertolak
ke belakang. Namun segera mereka
telah kembali pa-
sang kuda-kuda dengan kaki
terentang kekar dan
kuat.
"Bagus! kaulah yang akan
menggeletak tanpa ke-
pala, Ninja sial!" bentak
salah satu Ninja. Dan dua tu-
buh itu kembali saling terjang!
Terjadilah pertarungan
sengit dari kedua Ninja itu
tanpa dapat dibedakan lagi
mana Joko Sangit dan mana lawan!
Serangan-serangan mereka kini
tidak lagi men-
gandalkan senjata saja, tapi
juga pukulan-pukulan te-
naga dalam yang menimbulkan
suara letupan letupan
keras dan menyemburat tanah
terkena hantaman pu-
kulan.
Belasan jurus terus terlewati,
dan keduanya bu-
kan semakin merenggang tapi
malahan semakin rapat
bertarung, hingga yang nampak
adalah dua bayangan
hitam yang bersyuran kesana
kemari tanpa diketahui
dan dapat dibedakan lagi mana
Ninja palsu dan mana
Ninja asli.
Roro yang mengikuti jalannya
pertarungan cuma
memperhatikan dengan seksama dan
menanti hasil
pertarungan dengan hati
berdebar. Diam-diam Roro
terkejut karena kedua Ninja
seperti mempunyai ilmu
dan jurus pukulan yang serupa.
Hingga sulit untuk
mengetahui yang mana Joko Sangit
dan mana Ninja
palsu yang menyamar sebagai
dirinya.
Tiba-tiba salah seorang merobah
gerakan. Tubuh-
nya mencelat setinggi enam
tombak. Kedua lengannya
terpentang membuat gerakan
memutar. Mendadak tu-
buhnya menukik dengan gerakan
menyambar laksana
elang. Tersentak Roro. Itulah
jurus Rajawali Menyam-
bar Mangsa, salah satu jurus si
kakek pendekar Gen-
tayangan Ki Jagur Wedha. Roro
pentang mata tak ber-
kedip. Dia yakin sekali itulah
Joko Sangit.
Apakah yang akan dilakukan oleh
lawan mengha-
dapi serangan yang telah
diketahui kehebatannya itu?
Ternyata dengan perdengarkan
teriakan mengge-
ma Ninja yang berada di bawah
secepat kilat bergulin-
gan. Dan... serrrrrrr!
Ratusan jarum halus terlontar ke
arah Ninja yang
diperkirakan Roro adalah Joko
Sangit itu.
"Keparat!" membentak
Ninja itu. Mendadak pedang
Samurainya digerakkan berputar.
Sebelah lengannya
mengibas. Punahlah serangan
ratusan jarum maut itu
meluruk kembali ke arah si
penyerangnya, sebagian
lagi buyar! Hebat Ninja itu
dengan gerakan kilat dia te-
lah totol ujung kakinya ke tanah
Tubuhnya melam-
bung ke atas. Serangan balik itu
lolos! Kini dialah yang
berada di atas. Dengan gerakan
mendadak pedang
Samurainya tiba-tiba meluncur
deras menabas deras
ke arah leher Joko Sangit.
Tebasan maut itu memang diluar
dugaan Joko
Sangit. Namun di detik itu
dimana beberapa inci lagi
ujung Samurai mendekati kulit
leher Ninja yang diper-
kirakan Joko Sangit itu mendadak
secercah kilatan
meluncur.
Trakkk!
Kilatan perak yang menyambar itu
berasal dari
arah Roro yang tegak berdiri
menyaksikan pertarun-
gan. Terkejut Ninja itu mengetahui
tiba-tiba ujung pe-
dang Samurainya patah! Dan
selamatlah Joko Sangit
dari maut. Laki-laki Ninja itu
jatuhkan tubuhnya ber-
gulingan. Saat yang baik itu
ternyata dipergunakan
dengan baik untuk melontarkan
pedangnya ke arah
Ninja lawannya.
Terdengarlah suara mengaduh.
Dan... bruk! Tu-
buh Ninja lawannya roboh
direrumputan alang-alang.
"Kena!" teriak Ninja
ini yang sudah jelas dialah Jo-
ko Sangit. Dia telah melompat
untuk memburu dengan
mempersiapkan pukulan yang akan
mengakhiri ri-
wayat hidup lawannya.
Akan Tetapi mendadak...
Bhusssss! Tubuh Ninja
itu mendadak lenyap terbungkus
asap hitam.
Roro yang barusan membantu Joko
Sangit dengan
melemparkan kepingan uang
logamnya telah bergirang
karena sebentar lagi akan
tersingkap siapa adanya
Ninja yang menyamar itu. Akan
tetapi diapun terpe-
rangah dan kecewa karena sang
Ninja misterius itupun
mendadak lenyap.
Joko Sangit yang berdiri tegak
dengan sikap was-
pada itu mendadak gerakkan
lengannya membuka to-
peng. Segera rambutnya yang
gondrong terurai. Ca-
haya purnama yang terang
benderang tak meragukan
Roro lagi kalau laki-laki itu
adalah Joko Sangit.
Roro Centil terperangah
memandang wajahnya
berseri girang.
Pada saat itu tiba-tiba...
Bhusssss! Tepat di bela-
kang Joko Sangit terjadi kepulan
asap hitam. Dan ke-
tika asap lenyap segera tampak
sosok tubuh si manu-
sia Ninja berdiri dalam keadaan
limbung. Di dada se-
belah kirinya tertancap pedang
Samurai yang tadi di-
lontarkan Joko Sangit. Plash!
Brett!
Laki-laki yang terluka itu telah
membuka topeng
penutup wajah dan merobek lengan
jubahnya. Membe-
lalak mata Roro melihat siapa
adanya laki-laki Ninja
itu, yang tak lain dari Carik
KARTOMARMO. Dan ter-
nyata sebelah lengan carik tua
ini tidaklah kutung se-
perti halnya si Ninja Edan
Lengan Tunggal. Sebelah
lengan carik Kartomarmo hanya
ditutupi lengan jubah
yang menjuntai.
BUK!
Tahu-tahu sebelah lengan
Kartomarmo alias Lindu
Songo ini telah mulur memanjang
menghantam dada
Joko Sangit yang tak sempat
dielakkan lagi. Terdengar
teriakan Joko Sangit disertai
terlemparnya tubuh laki-
laki Ninja itu.
"Manusia licik!"
membentak Roro. Tubuhnya ber-
kelebat ke arah Lindu Songo. Dan
sekali lengannya
bergerak terlemparlah tubuh
manusia Ninja palsu itu
berguling-guling. Roro kertak
gigi dan melesat untuk
memburu. Tapi diluar dugaan
lengan Lindu Songo
kembali meluncur menyongsongnya.
Trang!
Terdengar suara beradunya dua
buah benda. Roro
dengan gesit telah menyambutnya
dengan senjata Ran-
tai Genit yang tahu-tahu telah
berada ditangannya.
Terkejut Roro. Jelaslah kalau sebelah tangan Lindu
Songo itu terbuat dari besi.
Belum lagi Roro sadar dari
terkejut, mendadak dia telah
diserang hebat oleh laki-
laki itu yang telah mencabut
pedang Samurai yang ter-
tancap didadanya untuk menyerang
Roro. Serangan-
serangan gencar itu juga
dibarengi pukulan-pukulan
dahsyat bertenaga dalam yang
bertubi-tubi meluruk ke
arah Roro.
Namun dengan mempergunakan Ilmu
tarian Bida-
dari Mabuk Kepayang, Roro
berhasil menghindari se-
rangan yang menggebu-gebu itu.
Diam-diam Roro membatin dalam
hati. "Heh!? jadi
dia inilah si manusia yang
menamakan dirinya si Tan-
gan Besi itu?"
Tiba-tiba Roro sambar
pergelangan tangan orang
yang menusuk dengan pedang
Samurai itu. Kraaak!
Sekali lengan Roro bergerak,
patahlah tulang lengan
Kartomarmo. Laki-laki ini
menjerit dan roboh terkulai.
Cepat Roro menjambak rambutnya
seraya membentak.
"Hei! manusia busuk! apa
maksudmu meniru si
Brewok Lengan Tunggal?"
Laki-laki tua ini tertawa me-
nyeringai putus asa.
"Hehehe... Aku tak mau ada
dua NINJA. Aku ada-
lah pewaris ilmu Ninja kakek
MATSUI. Kitab yang dipe-
lajari Joko Sangit kawanmu itu
ku temukan di suatu
tempat dan ku pelajari!" berkata
Kartomarmo alias
Lindu Songo.
"Bukankah kau si Tangan
Besi?" bentak Roro.
"Hehe... benar! aku...
sssi... Tangan Be...si!" me-
nyahut Lindu Songo dengan mata
yang semakin mem-
beliak. Tapi mulutnya
menyeringai tertawa walau se-
benarnya laki-laki itu sudah
merasakan maut siap
menjemput nyawanya.
"Bedebah!" memaki
Roro. Lengannya bergerak
menghempaskan tubuh Kartomarmo
ke tanah.
Praak! Buah kepala laki-laki itu
menghantam ke-
ras bongkah batu. Sejenak tubuh
laki-laki itu mengge-
liat. Namun sekejap segera
terkulai tak bergerak lagi.
Nyawanya telah melayang ke
Akhirat!
Ketika Roro balikkan tubuh untuk
melihat bagai-
mana keadaan Joko Sangit
ternyata dia tak melihat
sepotong tubuhpun berada di
tempat itu.
"Joko Sangit...!"
teriak Roro.
"Joko Sangitttttt!"
Kembali Roro berteriak meme-
cahkan keheningan. Tapi hanya
suaranya saja yang
berpantulan lagi menggema di
telinganya.
"Joko! ah, Joko...! maafkan
aku...! Aku telah me-
nuduhmu sebagai seorang
penjahat!" keluh Roro den-
gan air muka trenyuh. Kedua bola
mata dara ini tam-
pak berkaca-kaca.
Dan sebelum air bening itu
meluncur turun mem-
basahi pipinya, sosok tubuh dara
ini telah berkelebat
diiringi suara memekik panjang.
Pekik yang merupa-
kan gejolak dari perasaan kecewa.
Selanjutnya dalam
beberapa kejap saja bayangan
tubuh dara Pantai Sela-
tan itupun lenyap di atas
lembah.
Rembulan masih menampakkan
sinarnya di langit
yang hitam. Bintang-bintang
gemerlapan mengelilin-
ginya. Keheningan pun mengembara
di sekitar lembah
padang Alang-alang, dimana
sesosok mayat terkapar
membisu. Dari kejauhan
samar-samar terdengar suara
burung hantu menyelingi desahan
angin malam yang
menyibak pepohonan...
TAMAT
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon