SATU
MBAK laut bergulung-gulung menuju
pantai. Terlihat
sesosok tubuh tua berdiri
sendirian di tepi pantai.
Matanya memandang ke arah laut.
Mungkin juga ia
sedang terheran-heran melihat air
sebanyak itu, sebab
biasanya yang dilihat hanya air
sebatas di ember.
Tak seorangpun tahu apa sebabnya
tokoh tua itu
berdiri di pantai sendirian. Yang
jelas ia diam tak bergerak
sejak tadi. Tongkatnya menancap di
pasir pantai. Jubah
birunya melambai-lambai bagaikan
robekan layar perahu.
Rambutnya yang putih rata seperti
jambul kuda itu diikat
dengan ikat kepala warna hitam.
Jenggotnya tipis, kira-kira
hanya dua puluh empat lembar.
Kumisnya ikut-ikutan tipis,
entah berapa banyak tak sempat ada
yang menghitungnya.
Tubuhnya kurus, mungkin sering
puasa atau memang
nggak pernah punya beras,
entahlah! Matanya agak kecil,
tapi tajam memandang.
Setajam-tajamnya tak setajam
ujung bambu runcing.
Kakek jubah biru bertongkat hitam
itu hanya menarik
napas, karena memang menarik napas
mudah dilakukan
daripada menarik perahu. Hatinya
sempat berdecak heran.
Rupanya ia melihat bocah kecil
berusia delapan tahun
bermain selancar di atas gulungan
ombak besar. Papan
selancar yang digunakan adalah
pelepah daun pisang
muda. Bocah bercelana ungu dan
berompi pendek ungu
pula itu tampak gembira sekali.
Tubuhnya melayang-layang
mengiukti irama ombak sambil
berdiri di atas pelepah daun
pisang. Rupanya sang kakek merasa
lebih tertarik dengan
tontonan itu ketimbang harus
nonton atraksi lumba-lumba.
“Bocah gendeng!” belum-belum sudah
memaki. “Anak
setan mana dia sehingga mampu
bermain ombak di atas
selembar daun pisang?!”
O
Bocah berusia delapan tahun dengan
rambut lebat
agak panjang berteriak kegiangan.
Ombak melambungkan
dirinya.
“Yihuuuu…..! Hiaaaah…..!
Asyiiikkk….!”
Kakek jubah biru hanya
geleng-geleng kepala sebentar.
Tapi ia masih diam memandang bocah
itu dengan segepok
kata di dalam hatinya.
“Daun pisang itu tidak robek
sedikitpun, tidak
tenggelam walau dipakai berdiri.
Apakah bocah itu punya
ilmu peringan tubuh? Jika benar
begitu, alangkah hebatnya
dia? Masih kecil sudah bisa
berdiri di atas daun pisang,
apalagi kalau sudah besar nanti,
mungkin bisa berdiri di
atas daun jendela!”
Tokoh tua itu manggut-manggut
sebagai pernyataan
kagumnya. sebentar kemudian
matanya terkesiap agak
kaget. Ombak datang lebih besar
dan lebih kencang lagi.
Bocah itu masih berdiri di atas
gulungan ombak beralaskan
daun pisang. tapi kini sang ombak
melemparkan bocah itu
hingga sang bocah melayang
terpisah dari daun pisang.
Mungkin sang ombak jengkel sejak
tadi diinjak-injak
seorang bocah, dianggap sang bocah
tak tahu sopan
santun. Maka terbuanglah bocah itu
dan jatuh di pantai
berpasir putih.
“Waaaaoooow.....!”
Buuuhg....!
Tubuh kecil itu terbanting dalam
keadaan terlentang.
Sang kakek merasa cemas. Hatinya
membatin, “Wah, mati
tuh anak! Setidaknya gegar otak!
Jatuhnya dari keadaan
yang cukup tinggi. terbantingnya
keras sekali. Celaka. Dia
tidak bergerak-gerak. Aku harus
segera menolongnya!”
Kakek bertongkat hitam segera
mendekat. jaraknya
cukup jauh dari tempatnya berdiri.
Ia menggunakan gerak
bertenaga peringan tubuh, sehingga
dalam sekelebatan
sang kakek sudah tiba di samping
bocah bandel itu.
Ternyata bocah itu dalam keadaan
matanya terbuka.
Melotot tak berkedip.
Sang kakek tampak cemas
memperhatikannya. Bocah
itu bicara bagai orang kesurupan.
Pelan dan datar.
“Aku terbang.....terbang
tinggi....! Apakah aku mimpi?
Oh, ya.... aku mimpi. Mimpi
bertemu kodok laut. Hiii....
menyeramkan. Besar sekali! Rupanya
kodok laut itu punya
jenggot dan kumis putih.....?”
Sang kakek menepuk-nepuk pipi
bocah itu.
Pluk, pluk, pluk.....
“Hei, hei.....sadar. Yang kau
lihat ini aku, manusia.
Bukan kodok laut!”
Bocah itu sadar dan segera bangkit
terluruk. Matanya
mempertegas penglihatannya ke arah
sang kakek.
“O, iya.....manusia,” gumamnya
serius sekali.
Sang kakek menggerutu, “Sialan!
Aku disangkanya
kodok laut. Konyol juga bocah
ini?! Kalau tak ingat masih
kecil, sudah kutampar dia!”
Bocah itu bergegas bangkit, lalu
berlari mendekati
perairan laut. Sang kakek segera
berseru, “Hoi, mau ke
mana kau?”
“Main ombak luncur lagi!” serunya.
Ia tak menoleh
sedikitpun. Seakan cuek saja
terhadap sang kakek.
Sementara sang kakek penuh
kecemasan melihat bocah
itu mendekati pelepah daun pisang
yang terdampar di
pantai juga. Ia tak ingin bocah
itu main selancar lagi, sebab
menurut perhitungannya permainan
itu cukup berbahaya
untuk bocah seusia anak itu. maka
daun pisang tersebut
segera dihantam dengan pukulan
jarak jauhnya bersinar
merah sebesar lidi. Claap....!
Braass....! Daun pisang itu
robek. Karena robeknya kecil-kecil
maka dikatakan daun
pisang itu hancur.
Bocah berompi ungu kaget dan
kecewa. Ia memandang
ke arah sang kakek yang sedang
bergerak mendekati
sambil bawa-bawa tongkat seperti
seorang penggembala.
Mungkin saja dia memang seorang
penggembala ikan di
laut.
“Kenapa daun pisangku kau
hancurkan, Pak Tua!”
protes sang bocah dengan cemberut.
“Dasar orang tua
sirik!” gerutunya tambah
bersungut-sungut.
“Apakah kau tak jera dilemparkan
ombak sekeras itu?!
Kepalamu bisa pecah kalau tadi
terbentur karang!”
“Pecah ya beli lagi!” jawab sang
bocah bersungut-
sungut juga.
“Nak, kalau orang mengalami pecah
kepala, tidak akan
bisa diganti dengan yang baru.
Orang itu pasti akan mati,
sebab kepalanya pecah.”
“Ah, masa’.....?! Coba kau beri
contohnya kalau pecah
kepala, Aku ingin lihat apakah kau
mati atau tidak!”
“Oooo....bocah gendeng!” gerutu
sang kakek.
Dengan suara direndahkan sang
kakek bertanya lagi,
“Siapa namamu, Nak?”
“Namamu sendiri siapa, Pak Tua?”
Kakek berambut putih pendek itu
tarik napas melihat
kebandelan sang bocah. Ia menahan
rasa jengkel dengan
menatap ke arah lain sebentar.
Setelah dirasakan
memperoleh kesabaran, iapun
kembali memandangi
bocah itu.
“Kau bisa memanggilku Ki Panut
Palipuh.”
“Siapa? Ki Parut Melepuh?”
“Ki Panut Pelipuh! Budek!”
sentaknya jengkel.
“Ooo... namamu Ki Panut Palipuh
Budek? Aneh sekali
nama itu?”
“Budeknya nggak dipakai!” sentak
sang kakek makin
kesal hatinya. Sang bocah tertawa
cekikikan. Sang kakek
cemberut dan buang muka.
“Tapi namamu lebih indah Ki Parut
Melepuh kok, Pak
Tua. Mudah diingat.”
“Terserah kaulah!” geramnya sambil
cemberut.
“Sebutkan namamu!” sentaknya.
“Namaku Pandu,” jawab sang bocah.
“Pandu Puber!”
Ki Panut Palipuh menatap ke arah
dada sang bocah.
Baru sadar ia bahwa di dada bocah
itu ada tato gambar
bunga mawar merah dengan tangkai
dan daun dua helai
warna biru tinta. Tentunya karena
waktu itu belum ada
tinta, maka warna biru itu pasti
terbuat dari getah singkong
racun. Bagitu menurut perkiraan Ki
Panut Palipuh. Ia
membatin kata,”Kecil-kecil sudah
bertato.....!”
Gambar bunga mawar itu dulu waktu
bayi masih
menguncup, sekarang sedikit mekar,
namun belum
melebar semuanya. Ki Panut Palipuh
tidak tahu kalau
bocah itu adalah anak Yuda Lelana
dengan Murti Kumala,
putri raja jin yang bermukim di
Pulau Iblis, (Baca serial
Pendekar Romantis dalam episode :
“Geger di Kayangan”
seru deh!)
“Pandu Puber,” kata Ki Panut
Palipuh, “Kuperhatikan
sejak tadi kau sudah sangat lama
bermain. Apakah kau
tidak takut dimarahi orangtuamu?
Sebaiknya kau lekas
pulang, pasti ayah dan ibumu
mencarimu, Nak!”
“Kau sendiri kenapa tidak pulang,
Ki Parut Melepuh?
Kuperhatikan sejak tadi kau
memandangiku bermain
ombak luncur. Apakah kau tidak
takut dimarahi oleh
istrimu, Pak Tua?”
“Kecil-kecil pandai ngomong juga
kau ini?”
“Habis, Ki Parut Melepuh tua-tua
juga masih pintar
ngomong sih.”
“Wah, wah, wah.....!” Ki Panut
Palipuh geleng-geleng
kepala, merasa kewalahan
menasehati bocah itu. sang
bocah juga geleng-geleng kepala
dan ikut berkata, “Wah,
wah, wah....!”
Dari arah barat muncul dua orang
menunggang kuda.
Mereka menuju ke arah Pandu Puber
dan Ki Panut Palipuh.
derap suara kaki kuda memancing
perhatian mereka
berdua. Ki Panut Palipuh terkesiap
sesaat.
“Gawat! Mereka akhirnya
menemukanku juga di sini!”
pikir Ki Panut Palipuh. Maka ia
segera berkata pada Pandu
Puber, “Cepat pergi! Cari tempat
sembunyi yang aman.
Cepat......cepat.....!” sambil
mendorong-dorong Pandu
Puber.
“Ngapain pergi?! Aku mau lihat
kuda kok! Di tempatku
tak ada kuda.”
“Tapi.....tapi mereka orang jahat.
Mereka mau
menyerangku. Nanti kau ikut-ikutan
diserangnya! Lekas
pergi sana.”
“Nggak mau!” bocah itu ngotot.
“Aku mau lihat kuda!”
Di puncak Gunung Isamaya si bocah
tinggal bersama
kedua orang tuanya. Tentu saja di
sana tidak ada kuda.
Seekor kuda malas mendaki sampai
ke puncak gunung
yang tinggi itu. Risiko patah
tulang dan masuk jurang
membuat para kuda enggan
bercita-cita ingin ke puncak
gunung itu. Makanya bocah bandel
itu kegirangan melihat
kuda datang. Seumur hidupnya baru
tiga kali itu ia melihat
binatang yang bernama kuda.
Ki Panut Palipuh segera tinggalkan
bocah itu,
menyongsong kehadiran dua orang
berpakaian serba
hitam. Pikirnya, seandainya
terjadi apa-apa biar jauh dari
sang bocah, jadi sang bocah luput
dari salah sasaran. Tapi
ternyata Pandu Puber justru
mengikuti Ki Panut Palipuh
dengan rasa ingin tahu tentang
kuda. Ki Panut Palipuh tak
sempat mengusir, karena jaraknya
dengan dua
penunggang kuda itu sudah cukup
dekat. Konsentrasi Ki
Panut Palipuh lebih dititik
beratkan kepada mereka
berdua.
“Akhirnya kita bertemu juga, Ki
Panut Palipuh!” ujar
salah seorang penunggang kuda yang
berambut abu-abu
panjang sebatas punggung.
Rambutnya itu diikat dengan
tali putih, dikuncir ke balakang.
Wajah orang itu cukup
angker, karena punya alis naik,
kumis melengkung ke
bawah, jengot gersang alias tak
ada. Wajahnya lonjong
seperti timun suri. Matanya kecil
berkesan bengis.
Senjatanya golok di pinggang kiri.
“Rupanya kau masih penasaran
padaku, Jabang
Demit!”
Orang yang di sampingnya menyahut,
“Sebelum
kepalamu terpenggal kami tetap
memburumu, Panut
Palipuh!”
Orang yang bicara agak kasar itu
berpakaian htiam-
hitam juga. Usianya agak muda dari
Jabang Demit. Tanpa
kumis, tanpa jenggot, tanpa alis,
sehingga wajahnya seram
tapi lucu. Rambutnya pendek
berwarna hitam, jidatnya
lebar sehingga seperti batok
depan. Matanya bulat
sehingga seperti kacang atom
raksasa. Tubuhnya lebih
gemuk dari Jabang Demit. Ia
bersenjata kapak lebar
bergagang panjang. Kapak itu putih
berkilauan terkena
pantulan sinar matahari. Tentu
saja tajamnya bukan hanya
bisa untuk mencukur jengot tapi
juga bisa untuk mencukur
kepala manusia. Ujung kapak itu
runcing seperti mata
tombak. orang itu berjuluk si
Mayat Melambai, karena
wajahnya lebar tanpa kumis,
jenggot dan alis itu mirip
wajah mayat.
“Mayat Melambai, kau mendesakku
untuk menghabisi
nyawamu! Jangan salahkan tongkatku
kalau sampai
membuat kepalamu remuk seketika!”
Wuuut...! Wuuut...! Jleg, jleg...!
Kedua orang itu melompat turun
dari punggung kuda.
Jabang Demit yang beusia sekitar
enam puluh tahun dan
berbadan lebih kurus dari Mayat
Melambai itu mendekati
Ki Panut Palipuh, berhenti dalam
jarak lima langkah.
Tangannya mulai memegang gagang
goloknya, tapi belum
mencabut sang golok.
“Panut Palipuh, sekali lagi
kuingatkan, lebih baik kau
menyerah dan kuserahkan kepada
sang Adipati, daripada
kepalamu saja yang kuserahkan!”
“Kali ini kami tidak main-main,
Panut Palipuh!” timpal si
Mayat Melambai.
Ki Panut Palipuh hanya sunggingkan
senyum sinis.
Matanya sempat melirik ke arah
Pandu Puber. Bocah itu
mendekati kuda dan mengamati-amati
dengan tersenyum-
senyum girang. Sejenak kemudian ia
berlari menemui si
Mayat Melambai dan
mengguncang-guncang lengan orang
itu sambil berkata,
“Paman, Paman.... kudamu itu
jantan apa betina?”
“Diam kau!” bentak si Mayat
Melambai.
“Yaaa.... gitu aja marah,” ujar
Pandu Puber. “Akukan
cuma ingin tahu, kudamu jantan
atau betina. Sebab sejak
tadi melirikku terus!”
Plakk.....! Mayat Melambai
mengibaskan tangannya,
menampar wajah Pandu Puber. Tamparan
itu kena di
wajah dan membuat Pandu Puber
terpental jatuh. Tapi
bocah itu tidak mengaduh atau
meringis kesakitan. Ia
hanya menggigit bibir dan segera
berdiri lagi.
“Apakah itu cucumu, Panut
Palipuh?!” hardik Mayat
Melambai.
“Bukan!” jawab Ki Panut Palipuh
tegas. “Jangan
libatkan anak itu!”
Jabang Demit menyeringai
kegirangan bagaikan men-
dapat ide baru. Ia berkata kepada
Mayat Melambai,
“Tangkap bocah itu, biar si tua
peot mau dipenggal atau di-
serahkan kepada sang Adipati!”
Mayat Melambai ragu dan mendesah,
“Ah, dia cuma
anak-anak!”
“Hei, biar dia anak-anak tapi bisa
buat pemancing
kelemahan si Panut Palipuh! Kau
mau hadiah besar nggak
sih?!”
“Kuingatkan sekali lagi, jangna
libatkan anak itu!”
sentak Ki Panut Palipuh. Tetapi
rupanya Mayat Melambai
segera tertarik dengan ide barunya
Jabang Demit. maka ia
segera bergerak menyambar Pandu
Puber. Wuuuttt...!
Pandu Puber lari ke arah Ki Panut
Palipuh. saat itu
tangan kiri lepaskan pukulan
tenaga dalam tanpa sinar.
Wuuukk...! Beehg!
“Uuhg...!” Mayat Melambai
tersentak mundur dengan
badan melengkung dan wajah menahan sakit. Kalau
tidak
ditangkap Jabang Demit ia sudah
jatuh terkapar. Ki Panut
Palipuh mendorong kepala Pandu
Puber dengan sentakkan
kegemasan.
“Kubilang lari kok malah mendekati
mereka! Goblok!
Uuuh...!” bocah yang disodok
kepalanya dengan telunjuk
itu tersentak hampir jatuh. tapi
bocah itu hanya menyingkir
pelan-pelan sambil
bersungut-sungut dan melirik dongkol.
“Keparat betul kau, Panut Palipuh!
Hiaaah...!” Mayat
Melambai menyerang dengan
kapaknya. Satu lompatan
mengarah kepada kakek berjubah
bitu itu. Kapaknya
berkrelebat menebas kepala sang
kakek. Wuungg...!
Traakk....! Kapak itu terhenti
sebelum melintasi kepala
karena dihadang oleh tongkat
hitam. Tongkat berujung
cabang itu menahan gerakan kapak
yang ditekan dengan
disaluri tenaga dalam. Ternyata
tongkat itupun beraliran
tenaga dalam tinggi. Mereka saling
kerahkan tenaga dalam
hingga tubuh mereka bergetar dan
pertemuan tongkat
dengan kapak itu mengepulkan asap
putih samar-samar.
Pada waktu itu, Jabang Demit
segera berkelebat
menangkap Pandu Puber. Bocah itu
menjerit, “Nggak
mau.....! Nggak mau...! Jijik...!”
Wuuut...! Jabang Demit berhasil
menyambar tubuh
bocah kecil itu, langsung diraih
dalam gendongannya.
Pandu Puber meronta-ronta sambil
berteriak.
“Jijik...! Jijik...! Nggak
mau...!”
Tangannya bergerak-gerak
menghantam wajah Jabang
Demit beberapa kali. Plak, plok,
plak, plok, plak, plok....!
“Lepaskan! Lepaskan aku!
Geli....geli....!” teriaknya
meronta-ronta.
Jabang Demit segera melepaskan
dengan cara mem-
buang bocah itu. Weerrr...! Pandu
Puber jatuh terduduk di
pasir. Buuuhg....! Sedangkan
Jabang Demit langsung duduk
di gundukan batu setinggi pantatnya.
“Hiaaah...!” Mayat Melambai
menyentakkan kakinya
untuk menendang pinggang Ki Panut
Palipuh. Tapi kaki Ki
Panut Palipuh menyongsongnya
sehingga mereka beradu
tendangan berkekuatan tenaga dalam
tinggi. Duaarr...!
Mereka terpental karena telapak
kaki mereka yang beradu
itu memrcikkan nyala sinar merah
dan menimbulkan
gelombang hentakan cukup kuat.
Mayat Melambai jatuh
terduduk dan segera bangkit lagi,
sedangkan Ki Panut
Palipuh hanya terhuyung-huyung ke
belakang, lalu tegak
kembali denan tongkatnya.
“Jabang Demit...?!” Mayat Melambai
terkejut, matanya
melebar hampir lompat keluar
seperti kelereng mau lepas
daru mulut bocah. “Jabang Demit?!
Kenapa kau?! Hei...?
Kenapa bisa jadi begini?!”
Ki Panut Palipuh ikut-ikutan
terbengong seperti kerbau
ompong. Rasa heran tubuh dengan
subur di hati kakek
berjubah biru itu. Bagaimana tak
heran jika melihat wajah
lonjong seperti timun suri itu
tiba-tiba berubah bengkak
seperti labu siam?
Jabang Demit tak bisa bicara
karena menahan sakit.
Tulang pipinya bengkak dan
membiru, seprti habis
dihantam dengan palu besi.
Jidatnya juga membengkak
besar sebelah kanan. Biru matang,
bahkan tampak empuk
seperti mangga golek mau busuk.
Mulutnya juga bengkak
membiru, bibirnya melepuh besar.
bahkan bibir bawahnya
pecah. Giginya ada yang rontok
dua, sehingga saat
menyeringai ia tampak ompong.
Pelipis kanannya seperti
habis dibenturkan ke pilar beton
beberapa kali. Bukan
hanya bengkak namun juga
lecet-lecet. Matanya yang kecil
menjadi lebih kecil lagi karena
tulang matanya ikut
membengkak besar. Praktis wajah
Jabang Demit menjadi
dua kali lebih besar dari bentuk
aslinya. Pembengkakan itu
terjadi tidak merata, sehingga
wajah itu berkesan pletat-
pletot.
“Jabang Demit, katakan apa
sebabnya wajahmu jadi
bonyok dan simpang siur begini,
hah?! Siapa yang me-
lakukannya?! Siapa?!”
Jabang Demit tak bisa bicara
karena kebesaran
bibir.Tapi tangannya menuding ke
arah Pandu Puber yang
berdiri di samping gugusan batu
karang dengan
menundukkan kepala, antara takut
dan benci.
“Bocah cilik itu?! Hanya bocah
sekecil itu kau bisa
dibuatnya seperti ubi raksasa
begini?! Ah, yang benar aja,
Bang....!” ujar Mayat Melambai tak
percaya. Ia tak melihat
kala Jabang Demit menggendong
Pandu Puber dan anak
itu meronta sambil memukul-mukul
wajah Jabang Demit.
Rupanya pukulan itu punya kekuatan
hebat tersendiri yang
mampu membuat wajah Jabang Demit
menjadi seperti
kentang rebus.
Ki Panut Palipuh sendiri tak
percaya kalau Jabang
Demit rusak parah gara-gara bocah
sekecil Pandu Puber. Ki
Panut Palipuh hanya pandangi bocah
itu, dan sengaja
membiarkan Mayat Melambai
menghampiri si bocah.
“Benar kau yang mengacak-acak
wajah temanku itu,
hah?!” bentak Mayat Melambai
kepada Pandu. Karena
bocah itu diam saja dan menunduk,
Mayat Melambai
terpaksa jongkok di depan Pandu
Puber.
“Hei, dengar! Jawab pertanyaanku!
Benar kau yang
membuat wajah temanku jadi bonyok
begitu, hah?!”
“Benar!” jawabnya menyentak dengan
wajah tampak
memendam kebencian.
“Anak setan kau, ya! Hihh....!”
Wuutt...! Tangan Mayat Melambai
berkelebat me-
nampar wajah Pandu Puber.
Ploook...! Wajah cilik itu telak
sekali terkena tamparan. Tapi
tubuh sang bocah hanya
guncang ke kiri, lalu tagak lagi.
Bocah itu tidak menangis,
tapi malahan memandang dengan
berani. Ki Panut Palipuh
sengaja membiarkan karena menjadi
semakin kagum
melihat keberanian bocah itu.
“Kenapa kau rusak wajah temanku
itu, hah?!
kenapa?!” bentak Mayat Melambai.
Wajahnya yang tepat
ada di depan Pandu Puber itu
segera ditabok dengan
seenaknya. Plook...! Lalu bocah
itu lari ke tempat lain
dengan ketakutan. Ia bersembunyi
di balik gundukan batu
lainnya.
Mayat Melambai diam mematung
begitu terkena
tabokan tangan si bocah. Tubuhnya
gemetar karena
menahan rasa sakit. Ki Panut
Palipuh terbelalak. Rupanya
tabokan tangan bocah itu membekas
hitam di wajah lebar
Mayat Melambai. Dari mulut sampai
batang hidung dan
matak kanan kiri tampak hitam
hangus. bahkan kini
semakin berasap. Kulit wajah yang
hangus bergerak-gerak
melepuh. Barulah rasa sakit itu
tak bisa ditahan, sehingga
Mayat Melambai berteriak kesakitan
sambil berusaha
pegangi wajahnya.
“Aaaoowww...! Panasss...!
Panasss...!” ia berlari ke tepi
pantai dan menghamburkan diri, menceburkan
wajah ke
permukaan air laut. Jooosss...!
“Uuuaaowww...!” ia menjerit
semakin keras karena rasa
perih tidak tertahankan lagi. Luka
bakar terkena air garam,
ya tentu saja perihnya setinggi
langit. Dasar goblok!
Akibatnya wajah itu kian memborok
dan menjijikkan. Mayat
Melambai kebingungan, salah
tingkah sendiri, tak tahu
harus mengatasi rasa sakit dengan
apa.
“Uuuh...! Uuuh...! Aauuhh...!
Jabang Demit, cepat pergi
dari sini! Ada anak setan! Cepat
pergi....! Aaauuh...!”
Jabang Demit tak bisa bilang
apa-apa, ternyata
kepalanya makin membengkak. Lebih
besar lagi dari tadi.
Bahkan jalannya meraba-raba karena
matanya tertutup
tulang dan kulit kelopak yang
membengkak.
Dua ekor kuda berlari meninggalkan
pantai. Ki Panut
Palipuh diam terpaku memandangi
kepergian orang-orang
yang mengincar kepalanya itu.
Kakek tua tersebut masih
terheran-heran dan nyaris tidak
percaya dengan apa yang
dilihatnya. Maka, sesaat kemudian
ia mendekati Pandu
Puber yang sudah muncul dari tempat
persembunyiannya
di balik sebongkah batu besar.
Pandu Puber masih
cemberut, seakan takut disalahkan
oleh Ki Panut Palipuh.
“Bagaimana mungkin kau bisa
membuat mereka lari
terbirit-birit? Mereka orang-orang
bayaran sang Adipati
yang ilmunya tidak rendah. Mereka
kebal dengan pukulan
bertenaga dalam. Kalau toh luka
tidak sampai begitu. Tapi
kau…..? Kau hanya sekali tabok
saja bisa bikin wajah si
Mayat Melambai menjadi memborok
bagitu? Siapa kau
sebenarnya, Nak!”
Pandu Puber diam menunduk,
mulutnya runcing karena
cemberut. Sikapnya seakan mewakili
batinnya yang tak
mau disalahkan. Ki Panut Palipuh
segera meraih kedua
tangan Pandu Puber. Telapak tangan
itu diperiksanya. Ki
Panut Palipuh terbelalak. Ternyata
telapak tangan bocah
itu tidak mempunyai garis
sedikitpun, kecuali hanya pada
bagian ruas-ruas jari saja.
Telapak tangan itu mulus tanpa
lipatan apapun, seperti permukaan
paha perawan. Putih
dan lembut. Selembut kulit bayi.
Telapak tangan Ki Panut
Palipuh juga lembut seperti kulit
bayi, tapi bayi gorila.
“Tangannya tak bergaris?!
Kehebatan inikah yang
membuat wajah Mayat Melambai
sekali tabok langsung
bonyok?!” pikir Ki Panut Palipuh.
Tiba-tiba dari arah hutan pantai
terdengar suara seruan
memanggil.
“Guru…..! Guru….!”
Ki Panut Palipuh berpaling, Pandu
Puber segera angkat
wajah dan memandang ke arah orang
yang berseru.
Ternyata seorang gadis berpakaian
kuning dengan ikat
pinggang merah, rambutnya dikepang
dua. Cantik dan
mungil. Usianya sekitar dua puluh
tahun.
“Mirah Duri….? Ada apa kau
kemari?!” Ki Panut Palipuh
agak tegang karena gadis itu
berlari-lari dengan wajah
tegang.
“Guru, orang-orang Rampok Tulang
menyerang ke
perguruan! Mereka mencari guru.
Katanya mereka akan
penggal kepala Guru untuk
mendapatkan hadiah dari sang
Adipati Sihombreng!”
“Bagaimana dengan yang lain?”
“Yang lain lari entah pada ke
mana, tak mau pada
kasih alamat, Guru! Yang jelas,
perguruan kita sudah
diobrak-abrik oleh orang-orang
Rampok Tulang!”
Pandu Puber yang tertarik dengan
kehadiran gadis
cantik itu ikut bertanya, “Yang
dirampok tulangnya siapa,
Yu?”
“Tulangnya mbahmu!” sentak Mirah
Duri.
“Kok mbahku dibawa-bawa….” Gumam
Pandu tak
berani bertanya lagi.
“Guru, aduuh…. Bagaimana sih?
Mereka mengamuk
dengan brutal! Mereka mencari
Guru. Mereka
memperkirakan Guru ada di pantai.
Aku takut kalau
mereka datang ke mari dan bertemu
dengan Guru….!”
Mirah Duri menghentak-hentakkan
kaki menandakan
kemanjaannya terhadap sang Guru.
“Aku memang sedang diburu oleh
sang Adipati. Dia
sangat benci padaku dan menyimpan
dendam kesumat tak
ada habisnya.”
“Kenapa bisa begitu sih?” cemas
Mirah Duri.
“Aku membunuh ayahnya dalam suatu
pertarungan
antar perguruan. Sihombreng waktu
itu masih kecil, dan
belum tahu bahwa pertarungan itu
semata-mata menjaga
citra dan martabat perguruan.
Setelah dia berhasil
menjabat sebagai adipati,
dendamnya itu tercurahkan
kepadaku. Diperintahkanlah
beberapa pembunuh bayaran
untuk menangkapku atau memengaal
kepalaku. Barang
siapa bisa membawa pulang kepalaku
akan mendapat
hadiah sejumlah emas permata dan
uang yang tidak
sedikit jumlahnya.”
“Kalau begitu, Guru harus
sembunyi! Jangan kembali
ke perguruan karena pasti akan
banyak orang mencari
Guru untuk memenggal kepala Guru!”
“Aku harus menghadapi kenyataan
ini, Mirah Duri!”
“Tidak. Tidak! Guru tidak boleh ke
sana. Guru harus
sembunyi! Tentunya yang mencari
Guru bukan orang
berilmu rendah saja. Guru harus
bersembunyi!”
“Sembunyi ke mana?!”
Pandu Puber menyahut, “Ke rumahku
saja, Ki!”
“Memangnya kau punya rumah?” ejek
Mirah Duri.
“Punya dong! Apa dikiranya aku
anak celeng, kok nggak
punya rumah?!”
“Rumahmu di mana?”
“Di puncak gunung!” jawab Pandu
Puber dengan nada
bangga.
“Gunung apa? Di sini banyak
gunung!”
Pandu Puber melengos. “Yang jelas
bukan gunungmu.
Itu gunung ayahku!”
“Memangnya ayahmu punya gunung!”
“Punya! Sebelum aku lahir, Ayah
sudah membeli
gunung dua.”
“Bohong!” sentak Mirah Duri yang
masih kekanan-
kanakan.
“Nggak percaya ya sudah. Tanyakan
saja pada ibuku.”
Pandu bersungut-sungut.
Ki Panut Palipuh bertanya, “Pandu
Puber, di puncak
gunung apa kau tinggal bersama
kedua orangtuamu itu?”
“Di Gunung Ismaya!”
“Hahh…?!” Ki Panut Palipuh
terkejut, matanya
memandang murid perempuannya yang
manja dan centil
itu. Mirah Duri juga terperanjat
mendengar jawaban Pandu
Puber. Tapi ia segera tak percaya.
“Jangan hiraukan jawaban bocah
gendeng itu, Guru!
Kusarankan Guru minta perlindungan
kepada Nyai Kandagi
Suri, bekas istri Guru dulu itu!”
“Gengsi, ah…” gumam Ki Panut
Palipuh.
“Demi keselamatan Guru, lupakan
dulu soal gengsi!
Kalau Guru nekat hadapi mereka, ya
kalau Guru menang,
kalau ternyata Guru kalah dan
mati, bagaimana?”
“Kamu kok malah nyumpahin aku
mati?”
“Maksudku kalau Guru kalah, lalu
tewas, maka Guru
tak bisa mewariskan seluruh ilmu
kepada para murid. Lalu
siapa nanti yang akan meneruskan
dan mengembangkan
aliran silat “Cakar Mega” ?”
Ki Panut Palipuh diam termenung.
Hatinya membatin,
“Benar juga…. Kalau aku mati,
aliran “Cakar Mega” tak ada
yang meneruskan. Tapi, haruskan
aku bersembunyi di balik
jubah bekas istriku Kandagi Suri
itu? Gengsi nggak ya?”
***
------------------------------------------------------------------------------
DUA
------------------------------------------------------------------------------
OCAH bertato dihajar ibunya.
Pantatnya dipukul
berkali-kali. Plak, plok, plak, plok…..!
Masih kurang
puas sang Ibu mengambil sandal,
plok!
“Ampun, Ibu! Ampun…..!”
“Kapok nggak kau, hah? Kapok
nggak?! Kalau main
nggak ingat waktu, nggak ingat
pulang!”
Plook…!
“Ampun, Bu. Aku kapok, Bu!”
Plaak…!
“Main ke mana saja kau, hah? Dua minggu
baru
pulang?! Bocah apaan kau ini?!
Bandel amat sih? Berapa
kali Ibu harus menghajarmu supaya
kalau main ingat
pulang?!”
Tangan sang Ibu meraih telinga dan
dipelintirnya
telinga itu. Cuiit! Sang bocah
meringis kesakitan berjinjit-
jinjit.
“Ke mana saja kau, hah? Ke mana
saja?!”
“Ber….ber….berkelana, Bu!”
Plaak….! Punggungnya ditabok sang
Ibu. “Mau jadi apa
kau ini, hah? Kecil-kecil sudah
berlagak berkelana?! Mau
jadi apa kau, hah?!”
“Ja….jadi…. jadi pendekar, Bu!”
Plaak…! Punggung ditabok lagi.
“Pendekar itu tidak
bandel! Pendekar itu menurut
dengan nasihat orang tua!
Ampun nggak kau! Ampun nggak?!”
“Ampun, Bu! Ampun sekali!” kata sang bocah dengan
perasaan takut. Telingapun dilepas
kembali. Sang bocah
menundukkan kepala dengan
cemberut. Rasa hormat dan
takut kepada sang Ibu tetap ada.
Ia tak membantah ketika
sang Ibu ngomel panjang-lebar.
Sang Ayah, Yuda Lelana, muncul
dari depan rumah
B
samping. Tangannya
dikebelakangkan. Tampil dengan
tenang dan kalem walau rambutnya
sudah putih beruban
rata karena termakan proses
ketuaan yang cepat itu. Saat
itu sang Ibu mengomel dari sumur,
sang anak ada di depan
pintu samping.
“Anak kok bandelnya kayak
bapaknya! Kalau main
nggak ingat pulang! Kalau sampai
ketukar ayam bagai-
mana kau, hah? Kalau ada apa-apa
siapa yang rugi? Ibu
membesarkan kamu bukan untuk
menjadi anak yang
bandel, tapi supaya kamu menjadi
anak yang patuh
kepada orang tua! Dasar anak dewa,
kalau ngelayap lupa
pulang!” Dan sebaris omelan lagi
yang sulit dimengerti
orang lain.
Sang Ayah dekati Pandu dan
tersenyum, geleng-geleng
kepala. Anak itu melirik ayahnya,
cemberut. Sang Ayah
malah geli, tertawa tanpa suara.
“Makanya, lain kali kalau pergi
bermain jangan sampai
seminggu baru pulang. Kalau bisa
setahun baru pulang!”
“Uuuh…! Ayah!” anak itu
bersungut-sungut.
“Nggak apa-apa. Dipukul Ibu anggap
saja latihan
kekebalan tubuh! Nah, sekarang
bikin hati ibumu reda
amarahnya!”
“Takut, ah!”
“Ibumu suka kalau mendengar kau
menyanyi. Ayo
menyanyilah, biar ibumu terhibur
dan tidak marah lagi.”
Pandu Puber akhirnya pergi ke
sumur, ia naik di atas
batu penggilasan tempat mencuci
pakaian. Di sana ia
bernyanyi dengan suara lantang dan
melenggak-lenggok.
Lagunya mirip lagu “Aku Anak
Sehat”.
“Aku anak dewa, tubuhku segar.
Karena ibuku rajin menghajar.
Sewaktu aku pulang, Ibu langsung
mengemplang.
Tanpa perut kenyang, tapi penuh
kasih sayang.
Bentuk badanku selalu dipandang,
teringat masa
ditimang-timang.
Bila aku tak pulang, tangan Ibu
melayang.
Tujuh kali di pipi, lima kali di
pantat….!”
Sang Ibu tersenyum. Bangkit dan
hampiri Pandu. Suara
anak itu ingin mengulangi lagu
tadi.
“Aku anak dewa, tubuhku…..”
“Cukup!” bentak sang Ibu. Suara
itupun putus seketika.
Wajah ceria surut karena takut.
Suara tawa mengikik
terdengar di belakang Murti
Kumala. Ternyata sang Ayah
yang merasa geli melihat perubahan
wajah Pandu dalam
seketika, hanya satu kali
mendengar bentakkan sang ibu,
wajah itu langsung berubah seperti
kembang kol.
“Dengar, Pandu….! Kalau kau masih
bandel lagi, Ibu
akan jewer kupingmu sampai putus!
Ngerti?!”
“Ngerti, Bu….” Jawab Pandu pelan.
Wuuusss…! Seketika itu angin
berhembus terasa aneh.
Yuda Lelana dan Murti Kumala
segera tanggap dengan
hembusan angin aneh itu. Aroma
rempah-rempah
mengabar bercampur bau kemenyan.
Mereka berdua
segera bergegas ke depan rumah
batunya. Ternyata
dugaan mereka benar, ada tamu yang
datang. Tamu itu tak
asing lagi bagi mereka. Tubuhnya
tinggi, besar, hitam,
berwajah angker, namun cukup akrab
dan dekat dengan
mereka.
Sang Ibu langsung berseru,
“Panduuu…! Kemarilah, tuh
kakekmu datang!”
Pandu Puber girang dan berlari ke
depan sambil
berseru, “Kakeeekk…!”
“Hoi, ho, ho, ho, ho…!” Raja Kala
Bopak, raja jin yang
menjadi ayah Murti Kumala, tertawa
terhoho-hoho
menyambut larinya sang cucu
tersayang. Kedua tangannya
direntangkan, dan sang cucu segera
melompat. Wuuutt…!
Langsung menclok di dada besar
raja jin itu. Plook…!
“Hoh, hoh, hoh, hoh… sedang apa
kau cucuku sayang,
hah?”
“Sedang ditimang-timang Ibu, Kek!”
“Bagus. Ibumu memang penuh kasih
sayang dalam
mendidikmu. Dulu kakek juga sering
menimang-nimang
ibumu sewaktu ibumu seusia kau!”
“Tapi, Kek…. Kenapa sih kakek
betah pakai topeng.
Copot dong!”
“Ho, ho, ho, ho….! Ini bukan
topeng, Nak. Ini wajah
kakek yang asli. Yang memang
begini wajah dari sononya.
Jangan heran lagi!”
“Amit-amit…..? Apa nggak ada yang
lebih jelek lagi,
Kek?”
“Hoh, hoh, hoh, hoh… untung kau
cucuku, kalau bukan
kupelintir kepalamu, Nak!”
Raja jin itu walau wajahnya buruk
dan menyeramkan,
tapi sangat sayang kepada cucunya.
Pandu Puber bagai
buah hati yang amat dibanggakan
oleh si Raja Kala Bopak.
Kadang-kadang bocah itu dicolong,
dibawa terbang ke
Pulau Iblis dan diajak bermain di
sana.
Sikap Raja Kala Bopak yang dulu
muak sama Yuda
Lelana karena merasa pernah
dikalahkan, kini menjadi
baik setelah Murti Kumala
melahirkan bayi lelaki itu. Entah
mengapa sampai bayi itu sekrang
berusia delapan tahu,
Murti Kumala belum hamil lagi.
Mungkin memang jatahnya
hanya dikaruniai satu orang anak
saja. Yang jelas, Pandu
Puber menjadi buah hati bagi Ayah,
Ibu, dan kakeknya.
Sang kakek sering berkunjung ke
puncak Gunung Ismaya
hanya sekedar kangen kepada
cucunya. Kadang jika ia
datang oleh-olehnya satu-dua jurus
yang segera diajarkan
kepada bocah itu.
“Asal datang oleh-olehnya jurus!
Sekali-sekali kek
datang dengan oleh-oleh jeruk,
atau rambutan, mangga
atau yang lainnya. Jangan
juruuus…. Terus! Mau kau
jadikan apa anakku nanti, Ayah?”
kata Murti Kumala.
“Jeruk atau makanan lainnya, dalam
sekejap bisa
habis. Tapi ilmu, sampai masuk ke
liang kuburpun tak akan
hilang! Bekal yang baik untuk anak
adalah ilmu,” kata Kala
Bopak yang bersuara gema. “Ilmu
tidak akan habis di-
makan rayap. Semakin tua malah
semakin hebat. Dan aku
ingin anak ini menjadi anak yang
hebat!”
“Ah, nanti kerjanya berantem
melulu! Pusing aku
ngurusin anak yang suka berantem
terus!”
“Berantem demi membela kebenaran
kan nggak apa-
apa,” sahut Yuda Lelana, bersifat
mendukung gagasan
mertuanya. “Kau sendiri sering
mengajarkan jurus
“Tembang Keramat” apa nggak punya
tujuan untuk
berantem?”
“Lho, itukan sekadar untuk membela
diri saja!” debat
Murti Kumala.
Jurus “Tembang Keramat” sering
diajarkan oleh Murti
Kumala kepada Pandu. Jurus itu
dulu diperoleh dari ibunya,
yang juga seroang pendekar wanita
tapi sudah meninggal
ketika Murti Kumala berusia tujuh
belas tahun. Jurus
“Tembang Keramat” dikembangkan
oleh Kala Bopak
sehingga menjadi banyak jenisnya.
Pada dasarnya, Murti Kumala cukup
bangga mem-
punyai anak pemberani seperti
Pandu Puber. Tapi ia tak
ingin Pandu Puber menjadi hanyut
dengan kehebatannya
dan menyepelekan orang tua.
Karenanya Murti Kumala
selalu bersikap seolah-olah tak
suka jika Pandu Puber
nakal dan konyol. Padahal Murti
Kumala tak pernah cemas
bila anaknya pergi ke manapun,
karena ia tahu seluruh
ilmu suaminya yang aslinya adalah
dewa itu telah menitis
masuk ke dalam raga anaknya.
Tetapi sikap mendidik ibu
tetap diterapkan oleh Murti
Kumala, supaya sang anak
tidak menjadi anak salah asuhan.
Itulah sebabnya, walaupun Pandu
Puber punya
kekuatan tersendiri dalam
tubuhnya, tapi ia tetap takut dan
hormat kepada orang tua. Anak itu
sangat sayang kepada
ayah dan ibunya. Sebenarnya ia
bisa saja melawan
pukulan ibunya pada saat dihajar
seperti tadi. Tapi ia tidak
mau, dan bocah itu bisa merasakan
bahwa dirinya
memang patut dihajar, layak
dimarahi dan tak perlu
membalas dengan gerakan apapun.
Sekalipun ilmu Yuda Lelana menitis
kepada Pandu
Puber, jurus “Tembang Keramat”
diajarkan oleh Murti
Kumala kepada anaknya, jurus-jurus
maut lainnya sering
diberikan Kala Bopak sebagai
oleh-oleh buat sang cucu,
tapi mereka bertiga merasa bukan
sebagai guru Pandu
Puber. Malahan sang Ayah pernah
berkata, “Kelak, kalau
kau sudah dewasa, carilah seorang
guru yang dapat
mengajarkan padamu bagaimana
menjalani hidup dan
kehidupan di dunia ini. Seorang
guru itu perlu kau miliki,
karena dialah yang akan menjadi
tempatmu bertanya ini-
itu. Karenanya kau harus mencari
guru yang benar-benar
serba tahu, yang ilmunya lebih
tinggi darimu.”
“Mengapa bukan Ayah saja yang
menjadi tempatku
bertanya?”
“Ayah akan kembali ke kayangan
bersama-sama ibumu
jika waktunya telah tiba. Tapi
kaupun kelak akan menyusul
kami pula di kayangan kalau kau
bisa memenuhi syarat-
syaratnya!”
Pikiran bocah yang polos itu
akhirnya dilontarkan
kepada sang kakek ketika hari itu
sang kakek datang.
“Kek, benarkah Ayah dan Ibu akan
pergi ke kayangan?”
“Benar. Karena ayahmu tu
sebenarnya seroang dewa
yang bernama Batara Kama. Dulu
ayahmu diusir dari
kayangan, karena melakukan
kesalahan. Dulu kakek juga
nggak tahu kalau ayahku itu dewa.
Kakek pikir tukang jual
kangkung! Eh, bagitu tarung sama
kakek, ternyata kakek
kalah. Pantesan kakek kalah, wong
dia itu dewa kok
dilawan!”
“Hi, hi, hi…!” anak itu tertawa
bangga. “Tapi kakekkan
raja jin? Masa’ kalah sama dewa
sih?”
“Raja jin kalau raja jin sesat ya
tetap kalah dengan
dewa. Tapi sejak ayahmu kawin
dengan ibumu, kakek
sudah nggak mau jadi jin sesat
lagi. Kakek takut kalau
dihajar oleh ayahmu.”
“Kek, kalau Ayah dan Ibu naik ke
kayangan, lalu aku
sama siapa?”
“Jangan takut. Kakek akan
mendampingimu sampai
kapanpun. Kakek akan merubah diri
menjadi sebuah
pusaka yang bernama “Pedang
Siluman” dan tempatnya
ada di dalam tubuhmu. Kau bisa
pergunakan kekuatan
kakek kalau kau dalam bahaya yang
mendesak.”
“Jadi sekarang kakek ke sini
karena mau berubah jadi
pedang?”
“Hoh, hoh, hoh, hoh….! Nggak
sekarang, Nak. Itu nanti
kalau kau sudah dewasa. Sekarang
kakek ada urusan
dengan ayahmu. Kau bermainlah dulu
dengan Ibu, ya?
Awas, jangan nakal sama Ibu. Dia
anakku lho!”
Urusan penting itu memang segera
dibicarakan kepada
Yuda Lelana. Tapi tak jauh dari
mereka ada Murti Kumala
yang sedang menyiapkan makan siang
untuk mereka
bersama. Pandu Puber membantu
menyiapkan makan
siang. Murti Kumala mendengar percakapan
ayahnya
dengan suaminya.
“Ada sedikit madalah yang ingin
kutanyakan kepada-
mu, Yuda Lelana.”
“Soal apa itu, Mertua?”
“Masalahnya begini,” kata Kala
Bopak yang tetap ber-
diri karena tak ada tempat duduk
yang muat untuk tubuh-
nya yang besar itu.
“Sahabatku seorang manusia, sedang
diburu oleh
orang banyak. Seorang adipati yang
bernama Adipati
Sihombreng membuka sayembara,
barang siapa bisa
menangkap hidup-hidup atau
memenggal kepala Ki Panut
Palipuh, ia akan diberi hadiah
sekotak perhiasan dan
sejumlah uang.”
“Atas dasar apa sang Adipati ingin
memenggal kepala
Ki Panut Palipuh?”
Emoticon