TUJUH
MATAHARI menjelang sore bagaikan melorot dari langit.
Tapi cahayanya masih benderang. Tanah Kapur Gaib
terbentang bebas tanpa tanaman, tapi dikurung memakai
anyaman bambu setinggi satu perut. Tanah itu letaknya tak
seberapa jauh dari bekas bangunan perguruannya Nyai
Sirih Dewi. Tapi pada masa lalu, baik Nyai Sirih Dewi
maupun murid-muridnya tak ada yang tahu manfaat
dataran bertanah putih itu. Hanya Ratu Peri Sore yang tahu
manfaat tanah seluas satu kali lapangan bola basket itu.
Tanah itu dijaga oleh wajah-wajah cantik bertaring
pendek. Mereka adalah para peri anak buah sang Ratu
yang bisa keluar masuk di alam gaib. Rupanya ratu mereka
belum hadir di sana. Pandu Puber sendiri tidak mau
tampakkan diri melihat gelagat seperti itu. Ia bersembunyi
di atas sebuah pohon berdaun rindang, tak seberapa jauh
dari tempat bertanah putih itu.
“Kurasa untuk sementara aku bersembunyi di sini dulu.
Aman-aman saja kok. Nanti kalau Ratu Peri Sore itu
muncul, baru aku keluar dari sini. Ngapain menghadapi
anak buahnya yang cuma bikin capek saja itu? Buang-
buang tenaga. Giliran ratu mereka datang, aku sudah loyo.”
Tiba-tiba saja suara yang menegur Pandu Puber dari
dahan di atasnya lagi.
“Nungguin siapa, Kang?”
“Hahh…?!” Pandu Puber terperanjat saat mendongak ke
atas. Ada cewek cantik. Bukan main harumnya bau parfum
yang dikenakan. Pandu mendongak pas gadis itu ada di
atasnya. Mau tak mau mata Pandu Puber menerobos
melalui celah gaun panjang berpotongan jubah. Padahal di
balik gaun potongan jubah itu tak ada kain atau benang
apapun. Yah, untung nggak untung mata Pandu Puber
berhasil menangkap sesuatu yang menyolok mata.
Ranting!
Untuk menghindari sebatang ranting yang hampir
menyolok matanya itu, Pandu Puber naik satu dahan lagi.
Oh, sekarang tampak jelas sekali gadis itu punya
kecantikan yang memukau hati dan jiwa. Bukan hanya
kecantikannya yang membuat hati lelaki lupa caranya
berkedip lagi, tapi karena bentuk badannya yang elok,
jubah birunya yang tipis transparan menampakkan tonjolan
sekal di bagian dadanya. Wow…! Luar biasa hebringnya.
Tipisnya pakaian membuat seluruh ‘perabotnya’ tampak
nyata dalam keadaan sedekat itu.
“Serba salah deh kalau gini….” Ucap Pandu Puber dalam
hatinya.
“Puas-puasin deh lihatnya, hi, hi, hi, hi…!” gadis itu ter-
tawa lirih.
Pendekar Romantis jadi malu sendiri. Berlagak
memandang ke arah lain, Pandu Puber berkata, “Tak ada
alam yang lebih indah lagi kecuali alam di sekitar sini, ya?”
“He, eh…!” jawab gadis cantik itu. Rupanya gadis itu
sengaja duduk di dahan depan Pandu, hingga jaraknya
amat dekat dan berhadapan. Tapi kalau Pandu tidak
berdiri, jarak mereka berjauhan. Karena Pandu berdiri dan
gadis itu duduk, maka wajah dan tinggi tubuh mereka
seakan sejajar.
Jantung Pandu Puber berdetak-detak manakala ia
begitu lama pandangi bibir sang gadis dan turun sampai ke
dada yang wow itu. Untuk menghilangkan kekikukkan,
Pandu Puber ajukan pertanyaan pada sang gadis.
“Ngapain kau ada di sini?”
“Nongkrong aja, Kang.”
“Kamu anak buahnya Ratu Peri Sore, ya?”
Gadis itu gelengkan kepala. “Nggak kok!”
“Jadi, kamu siapa?”
“Maunya situ siapa?” ia ganti bertanya dalam nada
menggoda.
Pendekar Romantis sempat salah tingkah sendiri. “Kau
pandai membuatku deg-degan. Ah….!”
“Kenapa mendesah? Nggak suka ya kalau kita ketemu
di sini?”
“Justru aku menyesal mengapa baru sekarang kita
bertemu di sini?”
“O, ya…!” matanya melirik ganjen, menggoda nakal,
memberi isyarat untuk lebih cuek lagi. Pandu Puber kian
menelan ludah.
“Namaku Pandu Puber. Namamu siapa?”
“Hmmm… siapa ya?” gadis itu menggoda lagi dalam
senyum dan sikapnya. Saat si gadis memandang ke atas
bagai ingin mengarang sebuah nama, mata Pendekar
Romantis terarah pada dada si gadis. Glek…! Ludah
tertelan lagi.
“Bagaimana kalau kau kuberi nama sendiri?” tanya
Pandu Puber.
“Boleh. Kau mau kasih aku nama apaan?”
“Bagai mana kalau namamu kuambil dari ratu
kecantikan sejagat : Ganjeniwati!”
“Walaaah… apa nggak ada nama lain toh, Kang, Kang…!
Nama kok Ganjeniwati? Nggak sekalian Jalangiwati saja?”
Pandu Puber tersenyum menahan geli. Gadis ini
beranikan diri cubit pipi Pandu sambil berkata, “Mbok
jangan jahat-jahat, Kang! Kasih nama kok gitu.”
Taab…! Tangan itupun ditangkap oleh Pandu biar agak
lama menempel di pipinya. Si gadis tak ada gerakan
menarik kembali tangannya dari wajah Pendekar Romantis
itu, malah jarinya bermain pelan di pipi Pandu, mengusap-
usap sambil beradu pandang dengan mata Pendekar
Romantis.
“Bagaimana kalau namamu Arliana Dewi?”
“Nah, itu baru nama yang bagus. Boleh saja kau panggil
aku Arliana Dewi.”
“Nama itu adalah nama yang selalu hadir dalam
impianku. Tapi aku tak tahu, siapa pemilik nama itu,” rayu
Pendekar Romantis sambil usap-usap tangan si gadis.
Sedangkan jari jemari si gadispun mulai raba bibir Pandu
pelan-pelan.
“Apakah kau juga bayangkan wajah dan bodiku dalam
mimpimu?”
“O, ya! Itu jelas. Tapi….. kenapa kita ketemu di pohon,
ya? Kayak monyet bercinta saja. He he he he…!”
“Mungkin inilah yang dinamakan orang cinta monyet,
Pandu” ucap gadis itu pelan sekali, setengah mendesah.
Ooh…!” ia memekik lirih ketika Pandu sengaja gigit
jarinya si gadis yang memainkan bibirnya itu.
“Nakal kamu, ah…!” kata si gadis. “Kalau berani jangan
gigit jariku dong! Gigit yang lain saja.”
“Yang mana?” sambil mata Pandu Puber mengarah ke
dada.
“Yang mana saja terserah asal membawaku ke alam
mimpi….”
Pandu Puber mendekar, memagut dalam gigitan kecil.
Sang gadis berkata dalam desah lirih sekali, “Nah….itukan
ada!”
Dalam batin Pendekar Romantis sempat bertanya,
“Kurasa gadis ini diam-diam menyimpan dendam juga
kepada Ratu Peri Sore, tapi dia tak mau jujur padaku.
Kurasa dia juga sama denganku, tak mau muncul hadapi
anak buah si Ratu Peri Sore sebelum Ratu itu sendiri
muncul. Lagaknya sih seperti gadis biasa tanpa ilmu, tapi
aku yakin dia punya ilmu tinggi. Kalau tidak berilmu tinggi,
tak mungkin gadis berkulit selembut ini bisa naik di atas
pohon tinggi begini. Apa dia dibawa burung? Makin nggak
mungkin lagi, kan?”
Gadis itu kegirangan. Rupanya ia juga menyukai
kemesraan itu.
“Kamu nakal, Pandu. Kamu nakal, aah…! Nakal sekali
kamu…!” ucapnya lirih tapi kepala dan rambut Pandu
diremas dan diacak-acak semuanya sendiri. Kalau bukan
gadis cantik yang mengacak-acak kepala begitu, sudah
pasti akan ditampar delapan kali putaran oleh Pendekar
Romantis. Namun justru gadis itu cantik dan menantang
selera, maka Pandu semakin memberikan sentuhan mesra
kepada sang gadis. Pohon pun jagi gemetar karena ulah
mereka yang mendebarkan hati itu.
“Pandu….!” Bisiknya. “Pandu…?!”
“Hmm…?!”
“Ambillah ini,” katanya lalu menyodorkan bibirnya.
Waaah… ya habis deh kalau dia berani begitu sama
Pandu. Benar-benar dihabisi bibir itu oleh Pendekar
Romantis, sampai-sampai si gadis hampir jatuh ter-
jengkang dari duduknya. Untung segera dipeluk tangan
kekar Pandu.
Duaaar….!
Tiba-tiba keduanya hampir saja terpelanting jatuh dari
pohon karena mendengar ledakan yang menggetarkan
pepohonan. Mereka sama-sama membelalak. Mata
mereka tertuju ke tanah Kapur Gaib. Oh, ternyata di sana
terjadi pertarungan antara Dardanila dengan para penjaga
tanah tersebut. Dardanila mengamuk di keroyok tiga-empat
penyerang sekaligus. Dalam waktu beberapa saat saja
anak buah Ratu Peri Sore banyak yang tumbang dan
berasap karena terkena pukulan-pukulan maut Dardanila.
“Mana Ratu kalian! Suruh dia menghadapku sekarang
juga! Jangan kalian yang maju menyerangku, sia-sia saja!”
bentak Dardanila. Tapi para penjaga di situ masih getol
menyerang Dardanila, bahkan ada yang menyeringai
dengan menampakkan taringnya yang siap merobek leher
Dardanila.
Pandu Puber menggumam, “Perempuan edan!”
“Siapa sih dia, Kang? Kau kenal denganya, ya?” tanya
gadis yang terpaksa hentikan percumbuannya itu, tapi
kedua tangannya masih merangkul Pandu dari belakang.
Dengan diletakkan di puncak Pandu, bahkan sesekali
mengecup leher atau pipi Pandu Puber.
“Dia penguasa Benteng Geladak Hitam, dekat pantai
sana! Namanya Dardanila. Apakah kau tidak mengenalnya,
Arliana?”
“Nggak tuh,” jawabnya polos. “Pacarmu ya, Kang?”
“Husy, enak saja! Aku belum punya pacar. Tak pernah
bisa jatuh cinta dan semesra ini. begitu ketemu denganmu
di sini, aneh sekali, hatiku bergetar dan pintu hatiku
seakan mulai terbuka sedikit demi sedikit. Bias cahaya
teduh mulai merambah masuk lewat celah pintu hatiku,
Arliana!”
“Tutur katamu romantis sekali, Pandu. Aku yakin kau
pasti lebih romantis lagi di peraduan. Betul, kan?”
“Yang jelas asal bersamamu akan lebih gila lagi!”
Mereka tertawa lirih dalam desah. Pandu Puber sedikit
palingkan wajah dan gadis itu mencaplok bibir Pandu
dengan bersemangat. Clup…! Dikunyahnya bibir itu bak
permen karet. Pandu merasakan debaran yang lebih indah
lagi dari sebelumnya. Tapi sayang si gadis tak mau
berlama-lama, sebab kali ini pertarungan di bawah sana
timbulkan ledakan lagi yang mengguncangkan pepohonan,
merontokkan dedaunan.
Blegaaar…!
“Yang kucari adalah Ratu kalian! Mana diaaa…!”
Dardanila tampak marah sekali walau para pengawal
makin bermunculan dari tempat yang tak diketahui
pusatnya. Yang lenyappun banyak, tapi yang muncul juga
banyak. Dardanila sedikit kewalahan menghadapi
keroyokan mereka.
“Ratu Peri Sore…! Hadapi aku, akan kulumat habis
sekujur tubuhmu! Ini aku, Dardanila! Racun ‘Tua Bangka’-
mu bisa kusingkirkan. Sekarang nyawamu akan kusingkir-
kan pula, Ratu Peri Sore! Keluar kau…! Aku tahu kau ada di
sekitar sini di lapisan alam gaibmu! Keluar kau, Bangkai…!”
Gadis yang habis melumat Pendekar Romantis itu
berkata, “Kang, kau tunggu dulu sebentar, ya! Jangan ke
mana-mana. Di sini saja!”
“Kau mau ka mana?”
“Menghadapi perempuan lacur itu!”
Weesss…! Tiba-tiba perempuan yang agresif sekali itu
melesat dari tempatnya. Tubuhnya melayang bagaikan
seekor burung cendrawasih menerabas semak dedaunan
pohon itu. Dalam waktu singkat ia sudah ada di tengah
tanah putih itu dengan sikpa menantang Dardanila. Pandu
Puber terbengong bagaikan patung yang teperangah
melihat hantu lewat pakai bikini.
“Aku datang, Dardanila! Tantanganmu kian memanas-
kan kupingku!” seru gadis itu yang membuat Pandu Puber
menggumam gemetar.
“Jadi…gadis itu adalah….adalah Ratu Peri Sore? Oh, dia
sendiri yang ternyata orang yang kucari. Tapi….tapi kenapa
malah kuberi kesan mesra? Waaah…kacau nih kalau gini!
Kacau sekali deh! Aku harus bersikap bagaimana?”
Yang bisa dilakukan oleh Pendekar Romantis hanya
garuk-garuk kepala menyadari kebodohannya. Ia terlalu
mengutamakan sentuhan keromantisan dari pada meng-
utamakan sikap waspada dan curiganya.
“Heaaat…!” Dardanila menyerang dengan jurus putaran
tangannya yang membuat tubuh melompat dan berputar
sambil lakukan tendangan ke arah wajah Ratu Peri Sore.
Wuusss…! Tendangan itu tidak mengenai sasaran, tapi
rupanya telapak kaki Dardanila keluarkan gelombang
panas dari tenaga dalamnya. Gelombang panas itu
menerjang Ratu Peri Sore. Tapi dengan cepat mulut sang
Ratu meniupkan hawa dingin pembeku darah.
Fuiiih…! Blaaarrr…!
Hawa panas dan dingin bertemu, terjadilah gelombang
ledak yang tinggi. Kedua perempuan itu sama-sama
terpental mundur, tapi Dardanila lebih parah, ia terbanting-
banting di tanah dalam terpentalnya, sedangkan Ratu Peri
Sore hanya melayang mundur sekitar dua tombak dan
tubuhnya melengkung ke belakang. Ketika ia menapakkan
kakinya ke tanah, ia masih mampu berdiri dengan tegak.
Dardanila bangkit dan mendapatkan wajahnya babak
belur, memar membiru dan sakit di pinggangnya.
Sreek…! Sepotong ranting kering sedikit bengkok
disambar oleh Dardanila. Ranting itu panjangnya satu
hasta, kebetulan mempunyai ujung yang runcing akibat
patah.
“Kutusuk ubun-ubunnya pakai ranting kayu ini!” geram
Dardanila membatin. Tapi untuk sementara ia lepaskan
dulu pukulan bercahaya merah terputus-putus masing-
masing selebar mata pisau. Cap, cap, cap, cap, cap…! Ratu
Peri Sore hanya menggerakkan tangannya dengan gemulai
dari bawah ke atas, bagai orang meyilakan tamu untuk
masuk ke rumahnya. Tapi gerakan tangan seperti itu
menghasilkan lempengan sinar biru setinggi tubuhnya dan
menghalang bagaikan dinding bercahaya.
Blaar…! Jlegaaar…!
Pendekar Romantis hampir jatuh lagi karena guncangan
kuat yang ditimbulkan oleh ledakan maha dahsyat itu. Dua-
tiga pohon tumbang pula di kejauhan sana. Pohon yang
digunakan sembunyi oleh Pandu Puber itupun hampir saja
ikut tumbang. Sang pendekar terpaksa bergelayutan
karena kakinya sudah tak menyentuh dahan. Tapi ia
segera betulkan kembali letak posisi kakinya.
“Bagaimana, ya? Kalau kuserang, dia terlanjur
membuatku bergairah. Kalau tidak kuserang, dia telanjur
membuat kakekku tak bisa menjelma sebagai sosok yang
bisa dipegang? Wah, aku jadi merasa serba salah kalau
begini!”
Tak heran jika Pendekar Romantis jadi serba salah
sebab secara jujur hatinya mengakui, permainan lidah dan
bibir Ratu Peri Sore lebih menarik ketimbang Dardanila.
Kecupan Ratu Peri Sore dapat mempercepat Pendekar
Romantis terbakarnya hasrat bercinta ketimbang kecupan
Dardanila.
“Tidak! Aku tidak boleh tergiur oleh keadaan seperti itu!
Ratu Peri Sore bukan manusia. Mahluk baik-baikpun
bukan! Aku tak boleh hanyut oleh kemesraannya. Dia harus
kumusnahkan! Amanat kakek harus kuutamakan!”
Kutilang Manja dan Peluh Selayang datang bersama
Loan Besi. Mereka segera disergap oleh anak buah Ratu
Peri Sore. Tapi mereka bertiga sama-sama angkat tangan
sedada, artinya mereka tak akan menyerang. Peluh
Selayang berkata kepada enam anak buah Ratu Peri Sore
yang mengurung mereka,
“Kami hanya ingin melihat saja! Tenang. Tenang saja!”
Pada saat itu, tampak Dardanila sedang melompat
dalam gerakan salto. Lompatannya cukup tinggi melintasi
atas kepala Ratu Peri Sore. Serta merta begitu sampai di
atas kepala lawan ia menukik dan menusukkan ranting
berujung lancip itu. wuuuttt…! Ubun-ubun sang Ratu Peri
Sore yang dijadikan sasaran utama. Tetapi telapak tangan
sang Ratu Peri Sore segera menghadang dan hunjaman
ranting itu kenai telapak tangannya.
Trakk…! Ranting ditangkap, disentakkan dan patah.
Sementara telapak tangan itu bagaikan membesi, tak
mampu ditembus oleh keruncingan kayu kering tersebut.
Padahal Dardanila sudah kerahkan tenaga dalam dan
disalurkan melalui ranting tersebut. Keruncingan serta
kekuatan ranting menyerupai ujung tombak. Namun
nyatanya masih bisa dipatahkan oleh tangan Ratu Peri
Sore.
Dardanila mendarat di belakang Ratu Peri Sore. Sang
Ratu segera sentakkan jari telunjuknya sambil berkelebat
berbalik arah. Claapp…! Sinar merah panjang memancar
cepat langsung kenai rusuk kanan Dardanila. Deess…!
“Aahg…!” Dardanila terpental sambil terpekik. Lalu ia
jatuh terpuruk tak berdaya. Napasnya terengah-engah tapi
sekujur tubuhnya bagaikan tak bertulang sama sekali.
Jatuhnya pun tidak terkapar, tidak tengkurap, seperti orang
duduk yang terkulai lemas.
“Jurus ‘Penumbuk Tulang’ tak ada yang bisa
menandinginya, Dardanila!” kata Ratu Peri Sore
membiarkan angin bertiup menyingkap jubahnya sehingga
kondisi tubuhnya bagaikan sengaja dibiarkan terbuka
dihembus angin. Lalu setelah melangkah dua tindak
mendekati Dardanila, sang Ratu Peri Sore serukan
suaranya lagi.
“Kau boleh bangga bisa lolos dari racun ‘Tua Bangka’-ku
itu Dardanila! Tapi kali ini tak akan bisa lolos dari sinar
‘Rajang Raga’-ku ini! Hiaaat…!”
Dardanila ingin dirajang dengan sinar yang akan melesat
dari sepuluh jari tangan Ratu Peri Sore. Tetapi sebelum
sinar itu tampak melesat, dari atas pohon melesat sinar
putih perak yang mengarah ke tangan sang Ratu Peri Sore.
Zlaaapp…!
Kecepatan gerakan sinar putih perak dari jurus ‘Inti
Dewa’-nya Pendekar Romantis hampir saja memotong
kedua tangan Ratu Peri Sore. Untung gerak refleks sang
Ratu Peri Sore cukup tajam, ia tarik diri ke belakang dalam
satu lompatan mundur dengan cepat. Wuutt…! Akibatnya
sinar putih perak itu menghantam tanah putih di sisi lain.
Jlegaarr…! Bumi bergetar dan tanah tersebut menyembur
ke udara dengan ganasnya. Tempat mendaratnya sinar
putih perak itu menjadi lubang besar tak beraturan yang
muat untuk mengubur dua puluh jenazah sekaligus.
“Gila…?!” gumam Ratu Peri Sore melihat kehebatan
sinar putih perak itu. Ia segera memandang ke arah atas
pohon tempat datangnya sinar tadi. Tapi saat itu ia justru
melihat sesosok tubuh ungu melesat dari pohon dan
bersalto beberapa kali sampai akhirnya mendarat di tanah
Kapur Gaib. Caranya mendaratkan kedua kaki tak
terdengar dan tak bergetar, sehingga sang Ratu Peri Sore
segera menyimpulkan orang yang baru datang itu adalah
orang berilmu tinggi.
Hanya saja sang Ratu Peri Sore agak menyesal karena
yang hadir di hadapannya ternyata adalah Pendekar
Romantis, Pandu Puber yang melenakan gairahnya tadi.
Ratu Peri Sore agak grogi dan sempat bingung menentukan
sikap.
“Apa maksudmu menghalangi serangan pamungkasku
tadi, Pandu? Membela Dardanila atau menyuruhku ber-
sabar dan meninggalkannya? Aku lebih setuju jika kau
menghendaki aku pergi dari sini bersamamu, karena kita
masih punya kencan yang tertangguhkan tadi. Kita lunasi
bersama-sama, Pandu. Oke?”
“Oke, oke….oke, oke…!” gerutu Pandu Puber dengan
bersungut-sungut. Tapi tetap kelihatan ganteng walau
mulutnya meruncing menggemaskan.
“Aku tidak tahu kalau kau adalah Ratu Peri Sore. Kalau
kutahu kau adalah perempuan yang kucari-cari, maka tak
akan kuberikan segenggam kemesraanku yang lebih layak
diberikan kepada perempuan lain!”
Ratu Peri Sore panas hati, tapi ditahannya pakai payung
kesabaran biar tak terlalu panas. Ia sengaja sunggingkan
senyum ramah dan kerlingan mata menggoda. Iapun
bekata dengan suara lembut.
“Aku tahu hasratmu sudah menggebu-gebu ingin me-
nikmati kehangatanku, Pandu Puber! Ayolah, kita pergi saja
dari sini!”
“Aku tidak merasa bercumbu denganmu!” tegas Pandu
Puber.
“Tak mungkin. Kau pasti mengharapkannya,” seraya
Ratu Peri Sore mendekati Pandu Puber. Yang didekati diam
saja.
Dardanila yang terkulai lemas tapi masih sadar itu
berusaha berseru,
“Menjauh! Jauhi dia! Jauhi….! Pandu, jauhi dia!”
Pendekar Romantis mundur tiga tindak. Ratu Peri Sore
sedikit tampak kecewa. “Pandu, jangan turuti bujukan
perempuan jalang itu! Dia tak bisa memberikan keindahan
yang mampu kuberikan padamu. Datang dan peluklah aku,
Pandu!”
“Tidak mau!” tegas Pandu. Ia melangkah berkeliling
seakan siap menyerang perempuan itu. Tapi hatinya masih
diliputi oleh kebimbangan, karena sebenarnya ia tak ingin
berlaku kasar dan brutal, lebih-lebih terhadap seorang
wanita.
Pada saat itu, terdengar suara merdu Ratu Peri Sore
melantunkan tembang yang berirama mesra.
“Kudekap hatimu, dan kau dekap hatiku
Kita menyatu di dalam kalbu
Kita bercumbu penuh alunan cinta suci
Ingin kunikmati hangat tubuhmu, kuresapkan di hati….
Suara bening, lembut, enak didengar, syair yang
menggelitik jiwa, membuat Pandu Puber mulai tambah
gelisah. Pandangannya tak mau lepas dari raut wajah Ratu
Peri Sore, kadang menyusuri sampai ke betis. Sementara
itu, Dardanila menjadi cemas sekali dan berseru,
“Tutup telingamu, Pandu! Dia melepaskan jurus ‘Syair
Cumbu Sukma’…. Lekas tutup telingamu dan tinggalkan
tempat ini. Panduuu…!” Dardanila masih punya kekuatan
untuk berteriak walau tak seberapa keras.
Ratu Peri Sore makin meninggikan suaranya, me-
lengking tapi masih tetap enak didengar. Merdu dan
lembut, seakan membelai kekerasan hati, meneduhkan
kepanasan jiwa yang menyimpan dendam dan amarah.
Bahkan labih parah lagi, syair dan suara tembang itu
mengoda gairah bercinta dalam seribu bayangan cumbu.
“Kala kau kecup bibirku, kuserapkan di kalbu
Ada bagian tubuhku yang bergetar
Kau jamah dan kau belai, kian melenakan sukma
Aku pun memelukmu kian menyatu
Kau desahkan napasmu, kau remaskan jemarimu
Kala kukecup liku tubuhmu
Dan kubenamkan dirimu ke dalam bentangan kasihku
Kau sentakkan nada-nada berbau cinta
Kau lepaskan gairahmu yang telah di ujung khayal
Dan kau menjerit lirih sambil meremas punggungku, kasih…”
Jantung Pendekar Romantis semakin bergemuruh lagi.
Keringat dinginnya mulai keluar karena menahan gejolak
hasrat yang menuntut jiwa. Batinnya menggapai ingin
meraih harapan yang tak terpenuhi. Pandu Puber rasakan
ada sesuatu yang berontak dalam dirinya dan membawa
langkah kaki mendekati Ratu Peri Sore. Perempuan itu
makin merentangkan kedua tangannya dan meliuk-liukkan
pinggang, seakan menunggu kedatangan tubuh Pandu
Puber. Wajah sang Ratu Peri Sore pun tampak penuh
gelora cinta. Lidahnya menjilati bibir sendiri dengan
sesekali melontarkan keluh lirih. Matanya mulai sayu bagai
tak sabar menunggu jamahan bibir Pandu Puber.
“Celaka! Kekuatan gaib ‘Syair Cumbu Sukma’ telah
merasuk dalam jiwa Pandu!” bisik Kutilang Manja kepada
Peluh Selayang.
“Pandu tak bisa menghindari kekuatan gaib syair itu.
Lepaskan jurusmu ke atas, biar kutembak dengan jurusku
dan timbulkan ledakan yang menghentak kesadaran
Pandu.
“Lekas…! Lekas, Pandu sudah mulai ingin memeluknya!”
Kutilang Manja melepaskan sinar kuning melesat di
langit. Peluh Selayang segera menghantam sinar kuning-
nya Kutilang Manja dengan cahaya merah membara dari
telapak tangannya. Maka meledaklah benturan itu dengan
keras.
Blegaaarrr…!
Ledakan dahsyat itu mengguncangkan alam sekeliling.
Kesadaran Pandu diperolehnya kembali akibat kejutan
keras atas suara ledakan tadi. Kekuatan gaib yang telah
merasuk dalam jiwa dan alam pikirannya terlepas lagi. Dan
hal itu membuat Pandu Puber buru-buru tarik diri ke
belakang.
“Monyet! Minta dibelah dua perempuan itu!” geram prs
sambil memandang Kutilang Manja dan Peluh Selayang. Ia
baru ingin lepaskan pukulan berbahayanya untuk Kutilang
Manja dan Peluh Selayang. tetapi tiba-tiba Pandu Puber
berseru memanggil.
“Arlina…!”
Dengan spontan Ratu Peri Sore bepaling ke arah Pandu,
langsung ingatannya tertuju kepada cumbuan mesra di
atas pohon. Ratu Peri Sore pandangi Pandu dan tak jadi
lepaskan pukulan ke arah dua murid mendiang Nyai Sirih
Dewi.
“Kau pikir hanya kau sendiri yang punya ajian tembang
seperti itu? Coba kau terima ilmu ‘Tembang Keramat’
warisan ibuku ini…!”
Pandu Puber segera lantunkan suaranya yang juga
merdu dan empuk, enak di dengar. Syairnya terdengar
jelas tiap suku kata.
“Seberkas cahaya sore ditelan duka
Duka gadis tanpa orang tua
Meratap ia menyusuri jalanan sepi
Menangkis diremang menjelang petang
Kisah seorang minta-minta
Yang dulu pernah menjadi perwira
Dipecat gara-gara salah tikam
Anak juragan disangka pernyamun….”
Kekuatan ilmu ‘Tembang Keramat’ ternyata dalam
getaran suara Pandu Puber. Syairnya asal-asalan, tapi daya
getarnya membuat Ratu Peri Sore menjadi terbakar gairah
bercumbu. Meluap-luap dicekam hasrat. Repotnya ke-
kuatan ilmu itu melanda pula pada yang lain. Kutilang
Manja sendiri sejak tadi serba salah. Peluh Selayang pun
gelisah. Para peri anak buah sang Ratu Peri Sore saling
peluk tak peduli sama-sama wanita. Sementara itu, Ki Loan
Besi menyingkir mencari tempat sepi, dan entah apa yang
dilakukannya di balik semak-semak setinggi tubuhnya itu,
Dardanila menangis tertelungkup karena tak bisa meng-
gerakkan tubuhnya sementara hasrat bercumbunya
meledak-ledak di dada. Untung saja Pandu Puber tidak
melihat tangis perempuan yang dipunggungi itu.
“Di matamu, kulihat perahu
Makin lama semakin melaju
Apakah itu warna pakaianmu
Dulu aku pernah malu….”
Pandu Puber tetap lantunkan suaranya yang bergetar
aneh. Hal itu membuat tps mengerang sambil berputar-
putar, jubah tipisnya semakin tak karuan. Menyingkap ke
sana-sini dan melambai-lambai. Pandu Puber sendiri
sesekali ingin tertawa melihat tanah Kapur Gaib menjadi
ajang adu kemesraan bagi mereka.
“Hentikan…..! Hentikan….!” Teriak Ratu Peri Sore ketika
ia paksakan dirinya untuk keluar dari pengaruh asmara itu.
seruan keras yang menggema memudarkan bayangan
mesra mereka, sehingga mereka jadi sadar dan malu
sendiri-sendiri. Ratu Peri Sore segera membentak Pandu
Puber karena merasa dirinya telah dipermainkan. Ia marah
sekali kepada pemuda tampan itu.
“Sekarang apa maumu sebenarnya, hah?! Kau permain-
kan perasaanku sebegini rendahnya! Aku tak bisa
beramah-ramah lagi padamu, Pandu Puber! Terimalah ini
jurus ‘Keringat Matahari’-ku untukmu! Hiaaat…!”
Claaapp…!
Pandu Puber tiba-tiba diserang sinar bintik-bintik kuning
emas. Sebenarnya bukan sinar, tapi butiran lembut yang
berkerilap sehingga mirip sinar bintik-bintik kuning emas.
Pandu Puber segera sentakkan kakinya dan tubuhnya pun
melesat ke aatas dan bersalto dua kali ke arah depan. Kini
ia justru berada di atas kepala Ratu Peri Sore.
“Hiaaat…!” Pandu menukik dan dari ujung jarinya
melesat sinar merah hasil dari jurus ‘Sepasang Sayap
Cinta’. Zlaaap…!
Dengan sentakan spontan tangan Ratu Peri Sore
melepaskan sinar hijau dari telapak tangan yang
ditengadahkan ke kepala. Blaarrr…! Sinar itu meledak dan
membuat tubuh Pandu Puber terpental tinggi melayang-
layang bagai tak sadarkan diri. Sedangkan Ratu Peri Sore
sendiri terjungkal oleh hentakan gelombang ledak tersebut.
Brrus…! Ia tersungkur dan jubahnya menyingkap sampai di
kepala. Yang senang Loan Besi, matanya langsung terbuka,
byaak…!
Tapi begitu melihat Pandu Puber jatuh seperti nangka
busuk, Ki Loan Besi buru-buru pejamkan mata. Buuhg…!
“Pecah deh kepalanya! Remuk tulang-tulangnya. Ooh…
nasib, nasib…. mau punya murid yang bisa membawa ke
kayangan saja belum-belum si murid sudah remuk duluan,”
kata Ki Loan Besi dengan mata tetap terpejam. Tapi ketika
dibuka kembali, ternyata Pandu Puber masih mampu
berdiri walau dengan wajah menyeringai menahan sakit.
“Habisi dia, Pandu! Habisi…..!”
Dardanila gemas dan memberi semangat pada Pandu
Puber agar tidak loyo. Sementara itu, Kutilang Manja dan
Peluh Selayang juga turut berseru,
“Cepat serang, Pandu! Jangan tunggu dia bangkit!
Serang terus!”
“Pakai tenaga jarak jauh saja! Lepaskan sinar perakmu
tadi!”
Ki Loan Besi ikut berseru pula, “Hancurkan dia dengan
jurus andalanmu, Nak! Eyang guru ada di sini nih…! Jangan
malu-maluin dong! Mana jurus andalanmu! Ayo, lepaskan!
Maju terus. Satu langkah lagi! Ya, terus….. satu, dua,
satu….!”
“Hei, Paman ini nyuruh orang menyerang apa kasih aba-
aba orang baris?” hardik Peluh Selayang.
“Hajar dong, Pandu. Hajar…!” seru salah satu anak buah
Ratu Peri Sore. Orang itu malahan ditampol mulutnya oleh
temannya sendiri, sama-sama bertaring juga.
“Kenapa kau malah memberi spirit lawan! Ketua kita
dong yang diberi semangat, goblok!”
“O, iya…! Maaf, maaf… aku latah sih!”
Pandu Puber segera tarik napas dan kuatkan ototnya.
Ratu Peri Sore melesat dengan gerakan berputar tegak
lurus sangat cepat. Pandu Puber lompat ke belakang
dengan bersalto satu kali. Lalu ketika kedua kakinya
mendarat ke bumi, tangan kanannya menepak paha.
Plaakk…! Claab…! Pedang Siluman ditarik dari kaki
kanannya. Slaabb…! Dan sinar ungunya membuat semua
mata terbelalak lebar, terbengong-bengong.
“Hiaaat…!” Pandu Puber segera melompat menyambut
kehadiran lawannya. Pedang bersinar ungu itu dikibaskan
tiga kali dengan gerakan cepat. Pandu sendiri merasa tak
pernah pelajari jurus pedang seperti itu, sehingga ia
sempat menyimpan keheranan. Tapi ternyata tiga tebasan
pedang itu tak ada yang berhasil mampu ditangkis lawan.
Bet, bet, caarrs…!
Brrrukk…! Tubuh Ratu Peri Sore jatuh ke bumi. Tapi ia
masih bisa bangkit dan pandangi pedang sinar ungu
tersebut. Ternyata dadanya terluka oleh tiga sabetan
pedang. Luka itu kepulkan asap ungu. Ratu Peri Sore
tertawa cekikikan. Lama-lama tawanya hilang dan
wajahnya diam terpaku beku.
“Sudah terbalas….sudah terbalas….! Kau memang
cucuku yang oke, Pandu!” terdengar suara bergema di
telinga Pendekar Romantis. Suara itu tak bisa didengar
oleh orang lain. Karena suara itu adalah suara dari Pedang
Siluman, jelmaan Kala Bopak, sang kakek tercinta.
Rupanya sang kakek merasa puas karena bisa menyentuh
tubuh Ratu Peri Sore dan membuat sang Ratu Peri Sore
pun tumbang. Asap makin mengepul tebal. Lalu segera
lenyap dengan hilangnya jasad Ratu Peri Sore. Terdengar
suara gema sang Ratu Peri Sore berseru,
“Kau menang anak manis…! Kau menang! Tapi ingat,
aku akan menjelma dengan meminjam jasar orang lain
untuk membalasmu…!”
Pandu Puber diam dan hanya tersenyum sambil masih
memegangi pusaka kebanggaannya : Pedang Siluman!
Created by fujdenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon