Begitu selesai bicara, tiba-tiba
Pandu terkejut dan tak
sempat menghindar. Kuda itu
melonjak dengan dua kaki
belakang terangkat, lalu ia
menyepak dengan kuat tepat
pada saat Pandu ada di bagian
belakang kuda.
Wuuutt…! Buueehg…!
“Heeegh…!”
“Iiiiieeehhkk…!” kuda meringkik
bagai kegirangan lalu
lari dengan liar lagi. Sedangkan
Pandu Puber terpental dan
terguling-guling karena sepakan
kaki kuda terkena telak
pada bagian dadanya. Tubuh Pandu
melayang dan jatuh
tepat di depan gadis itu, dua langkah
dari tempat sang
gadis berdiri.
Gadis itu tak hiraukan Pandu
yang meringis menahan
sakit, sesak napasnya. Gadis itu
berlari sambil berseru,
“Kudaku…?! Kudaku…?! Oh…!” Gadis
itu makin gugup, lalu
kembali menemui Pandu Puber yang
sudah berdiri dengan
sedikit membungkuk dan memegangi
dadanya.
“Kudaku…! Kudaku lari…! Oh,
larilah kudaku, eh…
anu….kudaku lari!” Gadis itu
mendorong-dorong punggung
Pandu. “Kejar….! Cepat kudaku
mengejar!
Eh…anu….kudaku dikejar. Cepat
dikejar! Kudakuuu…!”
“Kudaku, kudaku!” bentak Pandu
dengan jengkel.
“Dadaku ini bagaimana?”
Gadis itu mau lari mengejar,
tapi tak jadi dan kembali
lagi. Duduk di batu setinggi
pinggulnya dan berwajah
murung sedih. Sementara itu
Pandu Puber menggerutu
dengan suara jelas.
“Dada mau jebol disuruh ngejar
kuda! Yang benar aja.
Hilang kuda sih masih bisa beli
lagi, tapi kalau hilang dada
mau beli di mana? Mau diganti
dada ayam juga nggak
pantas!”
“Tapi…tapi aku tak bisa pulang
tanpa kuda. Rumahku
jauh….” Gadis itu mau menangis.
Pandu menjadi tegang
dan mulai panik.
“Ja…jangan….jangan menangis.
Jangan menangis, ya?”
“Rumahku jauh…oooh…aku tak bisa
pulang,” gadis itu
mulai menangis.
Pandu terbayang wajah ibunya
jika sedang meanngis.
Pandu paling tidak bisa melihat
ibunya menangis. Maka
ketika gadis itu menangis, Pandu
menjadi gemetar.
Tubuhnya terasa lemas sekali.
“Jang…jangan menangis…jangan….!”
Ucapnya pelan
sekali. Lama-lama berdirinya
menjadi limbung. Gadis itu
menangis dengan bersuara. Pandu
jatuh terkulai lemas.
Matanya menerawang sayu,
terbayang wajah ibunya jika
sedang menangis. Napas Pandu
selalu terengah-engah jika
melihat sang Ibu menangis,
karena ia sangan sayang
kepada sang Ibu dan tak mau
melihat sang Ibu menitikkan
air mata. Pandu lebih suka
melihat ibunya marah dan
menghajarnya daripada menangis
di depannya.
“Ibuuu…” Pandu lirih, badannya
bagai tak bertenaga
lagi. Semakin mendengar rintih
tangis gadis itu, semakin
terpuruk raga bocah tampan itu.
“Ibuuu…jangan menangis…” ucapan
itu nyaris tak
terdengar siapapun.
Kian lama sang gadis menyadari,
bahwa dengan
menangis saja ia tak akan sampai
di rumah secara gaib. Ia
harus mencari cara bagaimana
supaya bisa pulang ke
rumahnya. Maka satu-satunya
sarana yang akan di-
manfaatkan adalah anak muda
tampan itu. Setidaknya
bisa dimintai bantuan untuk
menuntunnya ke arah jalan
menuju pulang, sebab sang gadis
sudah lupa lewat mana
saja kudanya tadi membawa lari.
Tangis itu dihentikan, Pandu
yang terengah-engah
dengan duduk bersandar pohon
segera didekati. Wajah
sedih sang gadis cantik masih
tampak jelas.
“Maukah kau mengatarku pulang?”
“Yaah…” jawab Pandu lemas.
“Tapi…tapi jangan
menangis lagi.”
Sang gadis menyusutkan air
matanya. “Tidak. Aku tidak
menangis lagi. Tapi…menangis
sedikit nggak apa-apa
kan?”
“Jangan…aku…aku tak bisa melihat
gadis menangis,”
jawab Pandu sambil napasnya
terhela berat sehingga
bicaranya terpotong-potong.
“Anak ini gila,” pikir gadis itu
sambil berusaha
mengeringkan air mata. “Yang
nangis aku kok yang lemas
dia? Tapi…ah, ternyata dia anak
yang tampan.
Hmm…benar. Mataku tak rusak
karena tangis. Mataku
masih jelas menilai ketampanan
soerang pemuda. Sayang
usianya kayaknya masih muda.
Tapi…nggak apa-apa deh.
Biar muda usianya tua
pengalamannya, boleh juga!”
Gadis itu lalu jongkok di
samping Pandu Puber yang
pucat pasi itu, Pandu memandang
dengan mata sayu dan
berkata, “Aku…hampir pingsan.
Aku lemas.”
“Karena melihat tangisku?”
Pandu mengangguk. Gadis itu
mencoba untuk
tersenyum. Lalu berkata,
“Aku tidak menangis lagi.
Lihatlah….aku sudah bisa
tersenyum kan?”
“Ya, tapi…tapi aku masih tetap
lemas. Kakiku seperti
tak bertulang lagi.”
“Lho, ke mana tulangnya?”
“Hanya seperti, bego!” ucapnya
dngan pelan tapi
mengandung kejengkelan.
“Sepertinya tak bertulang. Tapi
kalau diraba sih ya masih ada
tulangnya.”
“Jadi…jadi kau tidak bisa
mengantarku pulang dong?”
“Entahlah. Aku tak bisa
berjalan.”
“Kok jadi begitu sih? Lalu
bagaimana caranya
memulihkan kekuatanmu?”
Pandu diam memandang tak mau
berkedip. Gadis itu
makin lama makin tertarik.
Tatapan matanya tak mau
berkedip. Pandangan Pandu tanpa
sadar telah memancar-
kan suatu kekuatan magis. Jurus
‘Mata Dewata’ milik
ayahnya yang menitis padanya
bekerja dengan sendirinya.
Jurus itu mampu membuat hati
seorang gadis menjadi
luluh, trenyuh, iba dan akhirnya
menjadi sayang kepada-
nya. Hal itu dirasakan betul
oleh gadis tersebut.
Hati sang gadis bergetar, makin
lama getarannya makin
kuat, makin tak bisa dibendung
lagi. Bunga-bunga indah
muncul menggoda hatinya. Pandu
Puber segera pejamkan
mata pelan-pelan dalam keadaan
wajah terdongak sedikit.
Gadis itu semakin dicekam
perasaan yang tak dimengerti
apa artinya, hanya bisa
dirasakan begitu indah dan
bahagianya. Urat-urat tengkuk
mengeras, kepalanya bagai-
kan didorong oleh debaran indah
di hati. Kepala itu men-
dekat. Hati kecil menolak, tapi
hati besar memaksa untuk
lebih dekat. Dan akhirnya bibi
gadis itu mencium kening
Pandu Puber. Cuup…!
Ceeesss…!
Tubuh Pandu bagaikan disiram air
surgawi. Air segar
yang bagaikan menyiram sekujur
tubuh itu membuatnya
menjadi begolak. Darah
menghangat, urat mengejang
pelan. Kekuatannya mulai tumbuh
kembali. Detak
jantungnya normal. Tensi
darahnya pun normal. Napas
terhela lega. Plong rasanya.
Lalu ia bangkit menegakkau
duduknya. Tersenyum penuh
keceriaan. Wajah pucat
hilang, yang ada tinggal
kecerahan yang kian menawan
hati. Sedangkan sang gadis cepat
menjauh dan buang
muka karena malu. Hatinya
membatin, “Kok aku jadi men-
ciumnya sih? Aih… gila amat aku
ini! Malu-maluin aja!
Aduh, gimana ya kalau udah
begini?”
Dari situlah awal perkenalan
mereka. Sang gadis yang
mengaku bernama Lila Anggraeni
segera diantarkan
pulang oleh Pandu Puber. tentu
saja sepanjang perjalanan
pulang, Pandu Puber banyak
bicara tentang keindahan
yang ada pada diri Lila
Anggraeni. Pandu Puber banyak
memuji kecantikan Lila Anggraeni
yang nada pujiannya
seperti pujian lelaki dewasa.
Sang gadispun hanyut dalam
pujian itu, sehingga tak
segan-segan menggandeng tangan
Pandu Puber walau dalam hatinya
membatin “Sayang dia
masih berusia lima belas tahun.
Tapi, ya…lumayanlah!”
Lila Anggraeni kelihatan sebagai
anak orang kaya.
Perhiasan yang dikenakan sanagn
menyolok dan berharga
mahal. Pandu Puber langsung saja
menebak.
“Ayahmu seorang Adipati?”
“Bukan. Ayahku seorang saudagar.
Pemilik kapal
dagang dan…”
“Dan kau pasti putri tunggalnya.
Iya, kan?”
“Aku putri sulungnya. Adikku
masih ada dua lagi.”
Pandu Puber hanya nyengir karena
tebakannya selalu
salah. Ia garuk-garuk kepala
sambil berkata, “ Sebenarnya
aku mau bilang begitu. Tapi aku
tak tega kalau tebakanku
benar semua. Kau nanti akan
kaget dan kalau kau pingsan
aku kebingungan membawamu
pulang.”
“Ah, kau bisa aja!” Lila
Anggraeni mencubit lengan
Pandu Puber. hati Pandu Puber
berdesir indah, tapi
kulitnya terasa panas karena
cubitan itu. Jadi Pandu hanya
bisa nyengir, antara girang dan
sakit.
“Kalau aku pingsan,” kata Lila
Anggraeni, “Apa yang
akan kau lakukan?”
“Hmm…yah, paling-paling
membawamu ke kotaraja lalu
meletakkan kau ke tengah
kotaraja. Nanti kalau ada orang
yang mengenalimu pasti kau akan
dibawanya puang.”
“Hanya begitu?” pancing Lila
Anggraeni.
“Habis, mau diapakan lagi?”
Pandu Puber tersenyum
geli. Sang gadis hanya bisa
tersenyum. Tapi kepalanya
disandarkan di pundak Pandu dan
kakinya melangkah
sedikit bergelayut.
Mesra sekali. Romantis sekali
perjalanan itu. Pandu
Puber sengaja menegakkan
badannya membusungkan
Dian Ayu Dayena dalam melangkah
biar tampak gagah.
Tiba-tiba dari atas pohon
bermunculan manusia-
manusia berpakaian hitam. Mereka
saling berlompatan
menghadang Pandu Puber dan Lila
Anggraeni. Jumlah
orang-orang berbaju hitam itu
ada lima. Mereka rata-rata
bertampang bengis. Senjata
mereka golok. Sepertinya
golok pembagian jatah, sehingga
bentuk dan rupanya
sama persis. Dari arah
gerumbulan semak depan
melompat seorang berpakaian
merah. Wuuusss…! Jleeg…!
Lila Anggraeni makin ketakutan,
makin merapatkan
tubuh ke badan Pandu Puber,
setengah memeluk erat-erat.
Pandu Puber sedikit tegang, tapi
sempat berbisik,
“Jangan takut! Ada aku!”
“Kau berani melawan mereka?”
“Untung-untungan,” jawabnya
dengan suara pelan
sekali.
Orang berpakaian serba merah itu
berambut panjang,
tapi putih warnanya. Sudah tua,
tapi masih tampak tegar
dan gagah. Tubuhnya memang
kurus, tapi sorot matanya
tajam penuh tantangan dan
keberanian. Orang itu berkuku
panjang, tanpa senjata apapun.
Usianya yang sudah
sekitar delapan puluh tahun itu
menimbulkan kesan bahwa
ia tokoh tua yang beilmu tinggi.
Buktinya ketika ia
melompat dari semak-semak, ketik
akakinya mendarat ke
bumi, terasa jelas getaran yang
ditimbulkan karena kaki
itu. tanah bergetar tipis, walau
tak sampai menumbangkan
pohon sekecil apapun.
“Mau apa kau, Pak Tua?!” sapa
Pandu Puber lebih
dulu, menunjukkan bahwa ia tak
kalah mental dengan
tokoh tua itu.
“Apakah kau belum mengenalku?”
“Kalau sudah kenal aku tidak
kaget melihatmu, Pak
Tua.”
Senyum sinis itu dingin sekali.
Pak tua berpakaian
serba merah segera berkata
dengan melangkah lebih
dekat lagi.
“Akulah yan berjuluk Sikat
Neraka!”
“Apakah aku harus takut dengan
julukanmu?” tanya
Pandu Puber sepertinya terucap
dengan polos itu. Sikat
Neraka menggeram jengkel. Hasrat
membunuhnya mulai
berkobar. Ia berkata dengan mata
sedingin salju.
“Sebenarnya aku hanya ingin
merampas perhiasan
Nona itu! Tapi karena bicaramu
lancang, sok berani, maka
aku terpaksa harus membunuhmu,
Bocah!”
“Aku akan melawan!” kata Pandu
bagai tanpa dipikir
dulu.
Sikat Neraka rentangkan
tangannya ketika lima anak
buahnya ingin bergerak menyerang
Pandu. Rentangan
tangan itu sebuah isyarat bahwa
mereka tak boleh
bergerak menyerang. Ia ingin
menangani bocah muda itu
sendiri. Maka ia pun maju dua
tindak lagi. Matanya tetap
tajam memandang Pandu, seakan
ingin menembus batok
kepala bocah itu.
“Mundurlah sedikit,” kata Pandu
pelan kepada Lila
Anggraeni. Gadis itu cemas,
namun akhirnya mundur juga.
Tapi tak berani jauh dari Pandu.
Sebab hanya Pandu-lah
satu-satunya harapan keselamatan
bagi jiwanya, walaupun
akhirnya ia sangsi, apakah Pandu
bisa diharapkan sebagai
pelindungnya?
“Cukup satu jurus kau akan
kubuat tak bernapas
selamanya, Bocah Tolol!”
“Mudah-mudahan aku masih punya
napas cadangan,
Sikat Neraka!”
“Bangsat!” geramnya penuh
kemarahan. “Hiaaah…!”
Kedua tangan menyentak ke depan.
Dari kedua telapak
tangan melesar tenaga dalam
besar tanpa sinar dan tak
dapat dilihat. Pandu Puber
sempat terpaku sejenak. Dan
saaat itulah tenaga dalam besar
menghantam tubuhnya.
Buuhg!
Weess…! Buuurrk…!
Pandu Puber terlempar jauh dan
jatuh karena
membentur pohon. Lila Anggraeni
menjerit, “Pandduuu…!”
ia berlari menghampiri Pandu
dengan penuh kecemasan.
Tapi sebelum ia tiba di tempat
Pandu, pemuda itu bangkit
dengan satu hentakan kaki dan
berdiri tegak lagi.
Wajahnya memang memucat,
pertanda terkena pukulah
tenaga dalam. Tapi agaknya luka
itu tidak dihiraukan. Ia
tetap maju menuju tempat
semula.”Aku tidak apa-apa.
Tenang saja. Menepilah, biar
kuhadapi orang itu!”
Sikat Neraka terperanjat melihat
Pandu masih bisa
berdiri dan berjalan. Hatinya
membatin, “Biasanya orang
yang terkena pukulanku itu
langsung remuk seluruh
tulangnya, tak mampu berdiri dan
tak mampu bernapas
lagi. Tapi bocah ini agaknya
punya ilmu awer muda. Atau
mungkin ia memang punya napas
cadangan? Hmm…
agaknya aku harus gunakan jurus
yang lebih hebat lagi.
Malu sama anak buah, kalau aku
tak bisa membunuhnya
dalam satu-dua jurus!”
Pandu Puber berdiri dengan kaki
sedikit merenggang.
Sikat Neraka menggeram dengan
kedua tangan mengepal
kuat-kuat hingga
tulang-tulangnya terdegnar gemeretak.
“Sudah kubilang aku akan
melawanmu, Pak Tua!”
“Jahanam, hiaaah…!”
Sikat Neraka keluarkan jurus
lebih tinggi dari yang tadi.
Seberkas sinar kuning dari
tengah dahinya setelah ia
hentakan kaki ke bumi. Slaapp…! Sinar
itu memandang
lurus tanpa putus. Sasarannya ke
dada Pandu. Tapi pada
saat itu, Pandupun mengeluarkan
jurus penangkis sinar
kuning.
Jurus ‘Cakram Biru’ melesat dari
pergelangan
tangannya. Sinat itu berwarna
biru berbentuk piringan
cakram. Sinar biru itu
menghantam ujung sinar kuning
yang akan mengarah kepadanya.
Blegaaarr…!
Dentuman dahsyat terjadi hingga
mengguncangkan
alam sekeliling. Asap tebal
mengepul dari benturan dua
sinar tadi. Dua anak buah Sikat
Neraka jatuh tunggang-
langgang akibat gelombang
sentakan yang menggelegar
itu. Tiga lainnya
terhuyung-huyung mundur nyaris jatuh.
Pandu Puber sendiri terpental ke
belakang, tapi tak
sampai jatuh. Sedangkan Lila
Anggraeni terpelanting jatuh
dan memekik. Pandu segera
menolongnya. Lila Anggraeni
segera memeluk penuh perasaan
takut.
“Tenang, tenang…! Sudah tak
meledak lagi kok.
Tenang, Lila….!” Bujuk Pandu
dengan rasa takut kalau-
kalau gadis itu tahu-tahu
menangis. Dalam keadaan
seperti itu sangant berbahaya
jika Lila Anggraeni menangis.
Kekuatan Pandu Puber bisa lenyap
seketika.
Tapi ketika asap tebal tadi
lenyap, mereka sama-sama
memandang keadaan Sikat Neraka
yang mirip orang
dicabik-cabik seratus singa
lapar. Pakaiannya tak ada yang
utuh. Tambutnya yang putih
terbakar sebagian. Wajahnya
penuh dengan sayatan.
Berdirinyapun gemetar. Anak
buahnya terbengong melompong
karena baru kali itu
mereka melihat Sikat Neraka
dibuat separah itu.
“Tunggulah saatnya! Kukenali
wajah dan namamu! Kita
akan jumpa lagi!” ucapnya, lalu
segera memberi isyarat
kepada anak buahnya agar pergi,
dan ia sendiri melesat
meninggalkan tempat dengan
gerakan tak selincah
semula.
***
------------------------------------------------------------------------------
LIMA
------------------------------------------------------------------------------
NAK buah Sikat Neraka sendiri
yang menyebarkan
cerita pertarugnan singkat
ketuanya dengan bocah
kemarin sore bernama Pandu.
Mereka menceritakan
hal itu di kedai tanpa sadar
telah menjatuhkan nama besar
si tokoh sesat itu dan membuat
nama Pandu mulai
direnungkan orang banyak. Cerita
pertarungan itulah yang
pada akhirnya sampai ke telinga
Yuda Lelana dan Murti
Kumala.
“Awas kalau anak itu pulang
nanti!” geram Murti
Kumala sebagai ibu yang
sebenarnya amat sayang pada
anaknya. Gara-gara selalu
dicekam kecemasan dan
kekawatiran akan keselamatan sang
anak, akibatnya rasa
jengkelnya timbul dalam hati dan
membuatnya sering
menghajar sang anak.
Yuda Lelana membujuk isterinya
dengan sabar, “Anak
itu jangan terlalu sering kau
marahi hanya gara-gara
seperti itu.”
“Kalau sampai kenapa-kenapa
bagaimana? Kalau
sampai dia cedera siapa yang
repot, siapa yang rugi? Apa
musuhnya itu yang rugi?”
“Beri semangat pada anakmu untuk
menjadi seorang
penegak kebenaran dan keadilan.
Kau tak perlu cemaskan
dirinya, karena sebenarnya
kekuatanku dan kekuatanmu-
lah yang menyatu dalam dirinya
dan menjadi sang
penantang kejahatan! Mestinya
kau bangga punya anak
berani menentang kejahatan!”
“Ah, kau dan dia memang sama
saja. Setali tiga uang!”
“Apa maksudmu?”
“Ya uang-uang juga!” sambil
Murti Kumala ngeloyor
pergi ke belakang. Tapi dalam
hatinya segera membatin,
“Benarkah yang ada pada anak itu
adalah kekuatanku
A
juga? Benarkah anak itu mampu
tundukkan segala bentuk
kejahatan? Oh, tak kusangka
anakku bisa jadi pahlawan
kebenaran. Biar itu anak nakalnya
melebihi anak setan,
tapi ternyata dalam jiwanya
tersimpan sifat satria!”
Kesadaran Murti Kumala akan
sifat satria sang anak
membuatnya tak begitu nyap-nyap
ketika sang anak
pulang. Memang suaranya menegur
lantang, tapi tak
sampai turun tangan.
“Ngeluyur terus, Pandu! Tak
perlu ingat pulang deh!
Pergi terus sana!” Pandu Puber
mendekati ibunya dengan
cengar cengir takut.
“Dari mana saja kau?!”
“Dari kotaraja, Bu.”
“Ngapain ke sana? Kotaraja kan
jauh?”
“Kalau dekat saya tiap hari
datang ke sana, Bu.”
“Perlu apa kau sampai ke
kotaraja?”
“Nganterin cewek, Bu!”
“Cewek lagi, cewek lagi…! Kau
ini playboy cap
semprong apa pendekar?!”
Pandu Puber malah tertawa. Dasar
bocah konyol, kata-
kata ibunya sampai membuatnya
terpingkal-pingkal geli.
“Kenapa tertawa?!” bentak ibunya
saat sang ayah
muncul di belakangnya.
Pandu menjawab, “Ibu ini ada-ada
saja. Masa’ anaknya
sendiri dikatakan playboy cap
semprong? Ah,
Ibu….semprong kan tipis, Bu.
Kalau kena api bisa hitam
kayak wajahnya Kakek Kala Bopak!
Ibu ini ngatain anaknya
apa ngatai bapaknya sendiri?”
“Dasar bandel kau ini!” Pandu
disabet pakai baju basah
yang sedang mau dijemur, tapi
sengaja tidak dikenakan,
karena sang Ibu sendiri menahan
geli. Melihat sang suami
ada di situ, Murti Kumala segera
berkata kepada Pandu.
“Tuh lihat bapakmu! Kalau mau
jadi playboy kayak dia
tuh. Cukup satu wanita dan nggak
pernah ganti-ganti.” Lalu
berkata pelan, “Nggak tahu juga
kalau di belakangku.
Mungkin ganti seratus kali.”
“Huuuh…!” Yuda mencibir sewot
sambil menahan geli.
Anaknya berkata,
“Kalau aku playboy cap semprong,
berarti Ayah playboy
cap kerupuk bantat!”
“Kok bisa begitu?” protes sang
Ibu.
“Habis kawinnya sama
penggorengan sih!”
“Eee, eeehh… kurang ajar kau,
ya? Ngatain Ibu seperti
penggorengan?!” Murti Kumala
mengejar anaknya ang
berlari sambil tertawa keliling
rumah. Yuda Lelana hanya
geleng-geleng kepala di tempat.
Menggerutu pelan
sendirian.
“Wah, wah, wah… baru sekarang
ada penggorengan
mengejar semprong teplok! Untung
kerupuk bantat tidak
ikut-ikut lari…” Lalu ia tertawa
geli tanpa suara. Hatinya
merasa damai dan bahagia melihat
rumah tangganya
tampak harmonis, walau sering
terjadi hal-hal yang mem-
buat Murti Kumala ngomel. Tapi
Yuda Lelana menyadari
bahwa ngomel adalah sebagian
dari iman wanita. Wanita
yang tidak ngomel menurutnya
adalah wanita sariawan.
Menjelang sore sang Ayah
terlibat pembicaraan dengan
sang anak di samping rumah.
Murti Kumala sedang
mengangkat jemurannya.
“Tiba-tiba tanganku bergerak
sendiri, Ayah” tutur sang
anak. “Lalu dari pergelangan
tanganku keluar sinat biru
berbetuk piringan, dan sinar
itulah yang menghantam sinar
kuningnya Sikat Neraka, Ayah!”
“Itu namanya jurus ‘Cakra Biru’”
kata Yuda Lelana
menjelaskan. “Benda apapun jika
terkena jurus ‘Cakra
Biru’ akan hancur.”
“Tapi tubuh Sikat Neraka tidak
hancur, Ayah. Dia hanya
luka tercabik-cabik seperti
disambar tiga belas petir.”
“Tiga belas atau empat belas?
Kamu salah hitung,
kali…?!”
“Tiga belas petir kok, Ayah.
Yang satu petir lagi sedang
ngangkatin jemuran,” sambil
Pandu melirik ibunya. Ibunya
melirik sewot. Sang Ayah berkata
pelan tapi didengar oleh
sang Ibu.
“Kalau yang itu sih bukan petir,
tapi gledek!”
“Terus aja ngomongin Ibu, nanti
lama-lama Ibu pelintir
kepalamu, Pandu!”
“Alaaah… gitu aja marah?!” Pandu
merayu mendekati
ibunya dari belakang. “Gitu aja
cemberut. Jangan cemberut
dong, Bu. Nanti kawat jemuran
bisa putus kesodok bibir
Ibu!”
“Bodo…!” sentaknya melengos.
Pandu tertawa, lalu
memeluk ibunya dari belakang dan
menciumnya dengan
penuh kasih sayang. Ayahnya
mendekat dari belakang dan
menepak kepala anaknya. Plok…!
“Jangan cium dia. Dia istriku!”
kata sang Ayah
membuat anak dan ibu tertawa
geli. Yuda Lelana berlagak
bersungut-sungut cemburu. Tapi
begitulah sebenarnya
canda Yuda Lelana dalam
mengakrabkan hubungan batin
antara suami, istri dan anak.
Suasana ceria itulah yang
membuat Pandu kadang tak tega
jika harus pergi tanpa
pamit ayah dan ibunya.
Pertumbuhan anak dalam
lingkungan keluarga bahagia
penuh tawa dan keakraban membuat
Pandu Puber seperti
masih anak-anak jika dalam
lingkungan keluarga.
Sekarang usianya sudah tujuh
belas tahun. Sudah perjaka
dan tampak ganteng. Badannya
kelihatan kekar. Tato
mawar merah di Dian Ayu
Dayenanya tampak mekar.
Sesuai dengan Dian Ayu Dayenanya
yang membusung
keras dan berkesan gagah.
Tapi dia masih seperti anak
kecil. Masih sering manja
kepada ibunya. Masih sering
tiduran di pangkuan sang Ibu.
Masih sering menciumi ibunya.
Masih sering juga
menggoda ayah dan ibunya jika
sedang bicara dari hati ke
hati. Bahkan tidurnya masih
campur dengan ayah dan
ibunya. Kadang jika ayahnya
memeluk sang Ibu, Pandu
Puber iri dan ia mendusal di
tengah, sehingga menjadi
dipeluk sang Ibu dan Ayah.
Sikap itu segera disadari oleh
pasangan suami istri
Yuda Lelana dan Murti Kumala.
Mereka menjadi cemas,
takut kalau anaknya menjadi
cengeng, manja dan tak bisa
mandiri. Mereka kawatir
kalau-kalau Pandu Puber menjadi
pemuda yang selalu merengek pada
orangtua dan tidak
mempunyai sikap sendiri dalam
menentukan langkahnya.
Maka pada suatu senja, sang Ayah
mengajak anaknya
bicara jauh dari rumah. Sebuah
pancuran sungai dipilih
sebagai tempat pembicaraan
mereka. Di sana banyak batu
berbongkah-bongkah besarnya. Di
antara batu-batu itulah
mereka berada dan bicara.
“Kuperhatikan pertumbuhanmu
sekarang sudah
semakin dewasa, Pandu. Ayah
menjadi tua, karena
memang proses ketuaan ini lebih
cepat daripada manusia
biasa. Ayah takut sewaktu-waktu
sang Hyang Guru Dewa
memanggil dan Ayah harus kembali
ke kayangan.”
“Apakah Ibu tetap akan diajak ke
kayangan?”
“Ya. Dia menjadi manusia yang
berhak tinggal di
kayangan, di antara pada dewa,
karena ibumu seorang istri
yang setia, jujur dan penuh
cinta kasih dalam melayani
anak dan suaminya. Ibumu
terpilih menjadi perempuan
suci hati, walau sebenarnya ia
anak jin.”
Pandu diam menunduk. Ia menyimak
kata-kata
ayahnya dengan penuh hikmat.
Ketika ia mendongak,
ternyata sang Ayah sudah tidak
ada di tempat. Sang Ayah
ada di atas batu besar. Pandu
Puber tak memperhatikan
saat sang Ayah memanjat batu
itu. maka ia segera
menyusul dengan cara
menghentakkan kaki, dan tubuhnya
melesat ke ats lalu hinggap di
batu tersebut. Wuus…! Jleg!
Sang Ayah langsung berkata.
“Ilmu peringan tubuhmu masih
harus kau latih terus.
Mestinya kau menapak di batu ini
tanpa suara dan tanpa
getaran sedikitpun.”
“Aku akan melatihnya terus,
Ayah!”
“Bagus!” sang Ayah tersenyum
bangga sambil enepuk
pundak anaknya yang gagah dan
rupawan itu.
“Anak Ayah harus bagus, kan?”
senyum Pandu
tersungging, sama menawannya
dengan senyum Yuda
Lelana sebelum menikah dengan
Murti Kumala.
“Segala apa yang ada pada Ayah
seolah-olah tercurah
kepadamu, Pandu. Ilmu Ayah
menitis kepadamu, sifat Ayah
juga ada padamu, lagak-lagu Ayah
juga menurun padamu.
Pokoknya kau boleh dikata ‘foto
copy’-nya Yuda Lelana.
Kalau kau ingin tahu Ayah semasa
muda, bercerminlah,
dan itulah Ayah semasa muda.
Gagah, tegap, konyol,
bandel….”
“Tapi gantengnya nggak sama
dong. Masih gantengan
aku sedikit kan?”
Yuda Lelana sambil menonjok
pertu anaknya. Duug…!
Sang anak tidak menggubris
tonjokan itu karena memang
tidak terasa. Yuda Lelana bicara
serius lagi.
“Pandu, kau harus sudah siap
ditinggal Ayah dan Ibu.
Kau tak boleh sedih. Karena
kelak kau sendiri akan tinggal
di kayangan jika kau menikah
dengan seorang bidadari.
Kau sendiri sebenarnya adalah
dewa. Tapi nama
kedewaanmu baru bisa kau pakai
setelah kau tinggal di
kayangan bersama istrimu.”
“Siapa nama dewa untukku
sebenarnya, Ayah?”
“Dewa Indo!”
“Apa itu maksud nama Indo,
Ayah?”
“Artinya dewa campuran. Darah
dewaku bercampur
dengan darah jin dan manusia
yang ada pada ibumu. Maka
jadilah dirimu sebagai Dewa
Indo. Tapikalau kau menikah
dengan manusia, maka hak
kedewaanmu hilang dan kau
tak akan bisa masuk kayangan.”
“Ooo…” calon Dewa Indo itu
manggut-manggut. Lalu ia
segera berkata.
“Tapi, Ayah… belakangan ini aku
seperti melihat
bayangan seorang gadis cantik
berjubah putih. Kadang dia
seperti lesat di depanku,
kadang seperti mengikutiku dari
belakang. Tapi kalau kudekati
tak ada, Ayah. Dan aku
memimpikan gadis itu tadi malam.
Gadis itu mengaku
bernama Dian Ayu Dayen!”
“Itulah calon istrimu! Itulah
bidadari penguasa
kecantikan. Aku kenal dengannya.
Dia punya lesung pipit
jika tersenyum, kan?”
“Benar, Ayah! Benar sekali!”
jawab Pandu dengan
berapi-api seperti korek api.
“Hidungnya mancung,
matanya membelalak indah,
bibirnya seperti kuncup
mawar basah dan…wah… pokoknya
oke banget deh, Ayah!”
Yuda Lelana manggut-manggut
sambil tersenyum tipis.
“Itulah bidadari penguasa
kecantikan, Dian Ayu Dayen.
Agaknya dialah calon istrimu
yang harus kau kejar ke
manapun dia pergi. Kau harus
bisa menaklukkan hatinya,
karena bidadari Dian Ayu Dayen
adalah bidadari berhati
beku. Tak ada yang bisa
meluluhkan hatinya. Tapi menurut
kodrat kedewaannya, dia akan mengikuti
calon suaminya
ke manapun dia pergi. Jika ada
lelaki yang dibayang-
bayangi Dian Ayu Dayen, maka itu
pertanda kebekuan
hatinya mulai akan mencair,
tinggal kepandaian si lelaki
untuk merayu dan menundukkan
hatinya. Tentu saja ia
tidak akanmudah pasrah dan
menyerah kepada rayuan
lelaki. Ia akan melawn dengan
jurus ‘Hati Beku’-nya.”
“Bagaimana cara meluluhkan
hatinya itu, Ayah?
Rayuan apa yang harus kugunakan?
Beri aku manteranya,
Ayah.”
“Kalau Ayah punya manteranya
sudah Ayah taklukkan
sewaktu ayah belum dibuang ke
bumi!” Yuda Lelana.
“Tugasmu adalah mencari cara
menaklukkan hatinya. Kau
boleh pacaran dengan seribu
wanita, tapi pada akhir
perjalanan cintamu kau harus
kawin dengan Dian Ayu
Dayen. Dengan begitu kau bisa
berkumpul dengan Ayah
dan Ibu di kayangan.”
“Akan kuingat pesan Ayah ini!”
“Dan ingat pula, barang siapa
menjadi gurumu atau
pelayan setiamu, maka ia akan
diangkat ke kayangan juga
sebagai manusia yang berhak
menikmati kehidupan di
sana.”
“Apakah aku masih perlu seorang
guru, Ayah?”
“Menuntut ilmu itu tidak ada
habisnya sampai manusia
ke liang kubur. Jangan kau
merasa paling jago walau kau
mewarisi ilmu Ayah. Kau masih
punya banyak kelemahan,
Pandu. Kau membutuhkan seorang
guru, walau bukan
berarti guru ilmu kanuragan.
Falsafah sebuah kehidupan
masih perlu kau timba dari
seseorang. Pengetahuan
lainnya masih kau butuhkan.
Ayah, Ibu, kakekmu, itu bukan
gurumu! Mereka adalah
pembimbingmu.”
Pandu manggut-manggut lagi dalam
sikap berdiri yang
gagah.
“Ingat-ingat betul nama
jurus-jurus yang Ayah
beritahukan itu, Pandu. Kelak
jika tanganmu atau tubuhmu
bergerak sendiri memainkan jurus
baru, berilah nama
sendiri jurus itu. Dan …..
sebelum Ayah dan Ibu naik ke
kayangan Ayah ingin kau mendapat
gelar pendekar.”
“Bagaimana caranya?”
“Gelar pendekar saat ini ada di
tangan Shoguwara yang
bergelar Pendekar Samurai Cabul.
Dia adalah tokoh muda
tersakti untuk saat ini. namanya
ada ddalam deretan
teratas dari daftar tokoh-tokoh
sakti di trimba persilatan.
Kau harus bisa mengalahkan
Pendekar Samurai Cabul,
sehingga dunia persilatan akan
mengakuimu sebagai
pendekar baru.”
“Di mana aku bisa menemuinya,
Ayah?”
“Di Tanah Sakura. Dia membuka
perguruan di sana.
Sebenarnya dia tokoh aliran
hitam. Tapi kelicikannya
membuat orang selalu beranggapan
bahsa dia adalah
tokoh aliran putih. Dan
pengakuannya sebagai pendekar
beraliran putih itu tidka ada
yang berani membantahnya,
karena barang siapa membantah
pengakuannya ia akan
mati di ujung samurainya.”
“Kalau begitu aku harus pergi ke
Tanah Sakura untuk
merebut gelar kependekaranya,
Ayah!”
“Kurasa memang harus begitu.
Tapi katakan kepada
ibumu hal yang baik-baik saja.
Jangan bilang kalau kau
mau bertarung dengan Pendekar
Samurai Cabul. Sebab
ibumu juga tahu ketenaran nama
itu. Nama yang ngetop di
kalangan para tokoh tingkat
tinggi itu jika disebutkan
menimbulkan bayangan ngeri bagi
setiap wanita, seperti
ibumu. Sebab Shoguwara
satu-satunya tokoh berilmu
pedang tinggi yang mampu
menelanjangi wanita dengan
sabetan samurainya tanpa melukai
kulit wanita itu
sedikitpun.”
“Di mana kelemahan Pendekar
Samurai Cabul itu,
Ayah!”
Batara Kama yang bernama Yuda
Lelana itu diam
sebentar. Pandangannya terlempar
jauh bagaikan
menerawang. Sejenak kemudian
barulah terdengar
suaranya tanpa menoleh ke arah
Pandu Puber.
“Kelemahannya….ada di ‘pusat
kejantanannya’. Jangan
mengincar bagian tubuh yang
lainnya. Incarlah di tempat
‘jimat lelaki’-nya
disembunyikan. Hantam dulu bagian itu,
baru bagian lainnya.”
“Akan kubayangkan terus bagian
kelemahannya itu.”
“Jangan! Jangan kau bayangkan
terus-terusan, nanti
kau jadi lelaki yang gemar
lelaki. Istilah ‘homo des guario
des eryana kuzodes anoma’.”
“Apa itu artinya, Ayah?”
“Itu bahasa dewa, artinya lelaki
cinta dengan lelaki.
Disingkat homo!” lalu dia
bergidik sendiri membayangkan
seandainya dirinya dipeluk dan
dicium seorang lelaki.
Bayangan itu segera dihilangkah dan bayangan
pertarungan merebut gelar
kependekaran yang selalu
muncul dalam ingatannya.
Kepada ibunya, Pandu Puber pamit
mau ke kotaraja,
menengok Lila Anggraeni. Memang
ia mau ke sana untuk
memberitahukan Lila Anggraeni
tentang rencananya
menantang Pendekar Samurai
Cabul. Tapi sang ibu
mempunyai pengertian lain.
“Apakah kau sudah benar-benar
jatuh cinta sama gadis
itu?”
“Aku… aku hanya berteman saja
saja kok, Bu.”
“Jangan bohonglah,” goda ibunya
dengan tersenyum-
senyum.
“Betul, Bu. Aku hanya bersahabat
saja. Nggak pakai
perasaan apa-apa.”
“Benar, nggak pakai perasaan
apa-apa?”
“Benar! Nggak pakai!”
“Ah, jangan gitulah, Ngai juga
pakai!” ujar ibunya
menggoda terus. “Dulu waktu Ibu
memandang Ayahmu. Ibu
memakai perasaan juga kok. Kau
nggak perlu malu lagi
sama Ibu. Kau boleh jujur, sebab
kau sudah dewasa,
Pandu. Dan kalau gadis itu jatuh
cinta padamu, Ibu nggak
marah. Itu wajar saja terjadi,
sebab kau pemuda gagah
yang tampan dan menawan hati
wanita.”
“Sama Ayah dulu tampan mana.
Bu?”
“Waah… kalau ayahmu sih nggak
ada tampan-
tampannya sedikitpun!” sang Ibu
membesarkan hati
anaknya. “Dulu karena gelap saja
jadi Ibu sangka ayahmu
tampan. Karena waktu Ibu raba
wajahnya, Ibu sangka
hidungnya mancung, eeh…nggak
tahunya giginya yang
mancung!”
Pandu tertawa sambil
geleng-gelengkan kepala. “Ibu
terlalu jujur….!” Katanya dengan
tampak bangga sekali
dikatakan lebih tampan dari
ayahnya.
Pamit ke kotaraja memang ke
kotaraja. Tapi sang ayah
sempat membisikkan kata yang
didengar oleh sang Ibu dan
membuat sang Ibu curiga.
“Jangan kaget kalau nanti kau
berubah menjadi kupu-
kupu perak. Itulah naluri dewamu
yang bergerak
mempercepat gerak.”
“Aku paham, Ayah! Mohon doa
restu darimu, Ayah!”
“Ya. Doa restuku menyertaimu, Nak.”
“Ya, ya…kurestui kalian berdua.
Semoga rukun dan
bahagia selalu.”
“Jangan berdua, Bu. Aku saja
yang direstui!” protes
Pandu.
“O, ya. Kau saja yang kurestui,”
katanya ibunya
menurut. Tapi setelah sang anak
pergi, sang Ibu bertanya
kepada sang Ayah.
“Mau kemana dia itu sebenarnya?
Kok pakai mohon
doa restu segala?”
“Mau ke kotaraja,” jawab ayahnya
membela sang anak.
“Mau melamar gadis itu?”
“Ah, nggak gitu kok. Cuma sekadar
mau pacaran sja.”
Sang Ibu masih sangsi dalam
keterbengongan. “Mau
pacaran kok minta doa restu?!
Aneh sekali anak itu?!”
Yuda Lelana menuntun istrinya,
dibawa masuk ke
dalam rumah batu yang menyerupai
bangunan candi itu,
sambil berkata
“Sudahlah, kita doakan saja
supaya dia selamat dan
pulang dalam keadaan sehat, tak
kurang satu apapun.”
“Kamu lagi….bikin aku pernadaran
aja?! Sebenarnya
ada apa sih?”
“Nggak ada apa-apa! Aku cuma
minta kau mendoakan
anakmu supaya selamat dan bisa
pulang tanpa penyakit
apapun.”
“Ah, nggak tahulah….! Kamu sama
anak selalu
kongkalikong!” gerutunya dambil
bersungut-sungut.
***
------------------------------------------------------------------------------
ENAM
------------------------------------------------------------------------------
ERJALANAN ke kotaraja sendiri
terhalang oleh ke-
munculan Sikat Neraka yang kala
itu bersama kakak
seperguruannya, Hantu Congkak.
Tujuan mereka se-
benarnya tidak menghadang Pandu
Puber. Mereka punya
tujuan tersendiri, tapi begitu
melihat sekelebatan anak
muda yang ganteng berpakain ungu
muda berbintik-bintik
putih bagai tetesan embun itu,
Sikat Neraka ingat akan ke-
kalahannya dua tahun yang lalu.
Maka iapun mengajak
Hantu Congkak untuk menghadang
anak muda bertato
mawar.
Hantu Congkak berpakaian
abu-abu, jubahnya
berlengan panjang. Memegang
tongkat berukir kepala
monyet pada bagian ataSikat
Nerakaya. Tubuh Hantu
Congkak juga kurus seperti Sikat
Neraka. Matanya cekung
ke dalam, tulang pipinya
bertonjolan. Kulitnya keriput,
rambutnya putih dan tumbuh di
bagian tepian saja, bagian
tengahnya botak polos. Tanpa
tato. Alisnya yang lebat juga
berwarna putih. Ia sedikit
bungkuk, menandakan usianya
lebih tua dari Sikat Neraka.
Kesepuluh jarinya juga berkuku
panjang dan runcing, seperti
kukunya Sikat Neraka. Giginya
sudah banyak yang ompong,
sehingga sulit menyebut
hurup ‘P’. biasanya hurup ‘P’
diucapkan dengan nada
seperti mengucapkan hurup ‘F’.
“Rufanya anak ini yang kau
ceritakan fadaku dulu itu,
Sikat Neraka?”
“Betul, Hantu Congkak! Anak
inilah yang pernah
mencabik-cabik tubuhku dengan
ilmu gilanya itu. aku
masih sakit hati sampai
sekarang.”
Pandu Puber diam memandang wajah
Sikat Neraka
yang cacat bergaris-garis akibat
bekas luka pertarungannya
dulu. Lengannya pun cacat
bergaris-garis. Hati pemuda
P
ganteng berambut sepanjang
puncak tapi depannya
pendek modal punk-rock itu
merasa geli dan bangga bisa
membuat tokoh sesat yang ganas
mengalami luka seperti
itu. Diharapkan dapat membuatnya
jera, ternyata sekarang
malah menantangnya lagi.
“Kau masih ingat padaku, Bocah
Tikus?!” hardik Sikat
Neraka.
“Tentu saja, Pak Tua!”
“Bagus. Aku juga masih ingat
padamu. Tato mawar
merah di dadamu itu sangat
membekas dalam ingatanku.
Dulu kau secara kebetulan saja
bisa mengalahkan. Tapi
sekarang aku punya perhitungan
lebih matang! Kau tak
akan bisa mengalahkanku, Bocah
Tikus!”
“Tentu saja, karena kau sekarang
membawa pawang
hujan!” sambil menunjuk Hantu
Congkak berpipi kempot.
Yang ditunjuk menggeram menahan
murka.
“Aku bukan fawang hujan! Jagung
busuk! Seenaknya
aja kalau ngomong! Huhh… gue
tiban tamyas lu!” sambil
Hantu Congkak menggeram ingin
menggebukkan
tongkatnya, tapi Pandu
Puber sudah siaga menangkis,
sayang gertakan atas
kejengkelannya saja.
“Hajarlah ia, Hantu Congkak.
Biar dia tahu adat
bagaimaan menghargai prang yang
lebih tua, seperti kita
ini!”
“Soal menghajar dia itu mudah!”
katanya dengan
congkak. “Sekali gebuk fasti
nyawanya bablas! Cuma
masalahnya, afa kau nggak bisa
hajar dia sendiri?”
“Jangan meremehkan aku. Aku
hanya memberi
kesempatan kepada yang tua lebih
dulu. Kalau aku
langsung menghajarnya, nanti
disangka aku tidak hormat
kepada kakak seperguruan? Jadi
kutawarkan padamu
dulu. Kalau kau sudah
mengizinkan aku lebih dulu ber-
tindak, ya aku akan bertindak.
Cuma…. kalau kira-kira aku
kepepet kau cepat-cepat
bergerak, ya?”
“Huh… lama-lama yang kugebuk
kefalamu sendiri!”
geram Hantu Congkak kepada Sikat
Neraka, gemas mau
memukulkan tongkatnya. “Sudah
sana, maju dan sikat dia!
Fercuma funya nama Sikat Neraka
kalau tak becus
menyikat bocah sekutu beras
gitu!”
Sikat Neraka maju, Hantu Congkak
menepi. Jalannya
tertatih-tatih dan punggung
bagian dekat tengkuk mem-
bungkuk bukan karena
terkantuk-kantuk. Pemuda berbaju
ungu tanpa lengan dan mengenakan
anting di telinga kiri-
nya itu segera melangkah ke
samping dengan gagah men-
cari posisi yang enak untuk
menyerang lawan.
“Kutebus kekalahanku tempo hari,
Bocah Tikus!
heeaah...!” Sikat Neraka
melompat bagaikan gerakan
terbang mengelilingi Pandu
Puber. Ia membuat pemuda
tampan itu sedikit kebingungan
dengan jurus terbang
memutar itu. Mau tak mau Pandu
Puber juga ikut-ikutan
bergerak memutar. Dan tiba-tiba
dari tangan kanan Sikat
Neraka keluarkan kilatan cahaya
petir yang menyambar
tubuh Pandu Puber. Crelaaap...!
“Hiaaah...!” Pandu Puber
sentakkan kaki dan melenting
ke atas, bersalto satu kali
tepat jatuh ke atah tubuh Sikat
Neraka. kakinya segera menjejak
punggung itu. Buug...
Tapi dentuman terdengar lebih
dulu akibat sinar petir
menghantam pohon.
Jlegaar...!
Emoticon