Pendekar Romantis 2 - Hancurnya Samurai Cabul(3)





Begitu selesai bicara, tiba-tiba Pandu terkejut dan tak
sempat menghindar. Kuda itu melonjak dengan dua kaki


belakang terangkat, lalu ia menyepak dengan kuat tepat
pada saat Pandu ada di bagian belakang kuda.
Wuuutt…! Buueehg…!
“Heeegh…!”
“Iiiiieeehhkk…!” kuda meringkik bagai kegirangan lalu
lari dengan liar lagi. Sedangkan Pandu Puber terpental dan
terguling-guling karena sepakan kaki kuda terkena telak
pada bagian dadanya. Tubuh Pandu melayang dan jatuh
tepat di depan gadis itu, dua langkah dari tempat sang
gadis berdiri.
Gadis itu tak hiraukan Pandu yang meringis menahan
sakit, sesak napasnya. Gadis itu berlari sambil berseru,
“Kudaku…?! Kudaku…?! Oh…!” Gadis itu makin gugup, lalu
kembali menemui Pandu Puber yang sudah berdiri dengan
sedikit membungkuk dan memegangi dadanya.
“Kudaku…! Kudaku lari…! Oh, larilah kudaku, eh…
anu….kudaku lari!” Gadis itu mendorong-dorong punggung
Pandu. “Kejar….! Cepat kudaku mengejar!
Eh…anu….kudaku dikejar. Cepat dikejar! Kudakuuu…!”
“Kudaku, kudaku!” bentak Pandu dengan jengkel.
“Dadaku ini bagaimana?”
Gadis itu mau lari mengejar, tapi tak jadi dan kembali
lagi. Duduk di batu setinggi pinggulnya dan berwajah
murung sedih. Sementara itu Pandu Puber menggerutu
dengan suara jelas.
“Dada mau jebol disuruh ngejar kuda! Yang benar aja.
Hilang kuda sih masih bisa beli lagi, tapi kalau hilang dada
mau beli di mana? Mau diganti dada ayam juga nggak
pantas!”
“Tapi…tapi aku tak bisa pulang tanpa kuda. Rumahku
jauh….” Gadis itu mau menangis. Pandu menjadi tegang
dan mulai panik.
“Ja…jangan….jangan menangis. Jangan menangis, ya?”
“Rumahku jauh…oooh…aku tak bisa pulang,” gadis itu
mulai menangis.
Pandu terbayang wajah ibunya jika sedang meanngis.
Pandu paling tidak bisa melihat ibunya menangis. Maka


ketika gadis itu menangis, Pandu menjadi gemetar.
Tubuhnya terasa lemas sekali.
“Jang…jangan menangis…jangan….!” Ucapnya pelan
sekali. Lama-lama berdirinya menjadi limbung. Gadis itu
menangis dengan bersuara. Pandu jatuh terkulai lemas.
Matanya menerawang sayu, terbayang wajah ibunya jika
sedang menangis. Napas Pandu selalu terengah-engah jika
melihat sang Ibu menangis, karena ia sangan sayang
kepada sang Ibu dan tak mau melihat sang Ibu menitikkan
air mata. Pandu lebih suka melihat ibunya marah dan
menghajarnya daripada menangis di depannya.
“Ibuuu…” Pandu lirih, badannya bagai tak bertenaga
lagi. Semakin mendengar rintih tangis gadis itu, semakin
terpuruk raga bocah tampan itu.
“Ibuuu…jangan menangis…” ucapan itu nyaris tak
terdengar siapapun.
Kian lama sang gadis menyadari, bahwa dengan
menangis saja ia tak akan sampai di rumah secara gaib. Ia
harus mencari cara bagaimana supaya bisa pulang ke
rumahnya. Maka satu-satunya sarana yang akan di-
manfaatkan adalah anak muda tampan itu. Setidaknya
bisa dimintai bantuan untuk menuntunnya ke arah jalan
menuju pulang, sebab sang gadis sudah lupa lewat mana
saja kudanya tadi membawa lari.
Tangis itu dihentikan, Pandu yang terengah-engah
dengan duduk bersandar pohon segera didekati. Wajah
sedih sang gadis cantik masih tampak jelas.
“Maukah kau mengatarku pulang?”
“Yaah…” jawab Pandu lemas. “Tapi…tapi jangan
menangis lagi.”
Sang gadis menyusutkan air matanya. “Tidak. Aku tidak
menangis lagi. Tapi…menangis sedikit nggak apa-apa
kan?”
“Jangan…aku…aku tak bisa melihat gadis menangis,”
jawab Pandu sambil napasnya terhela berat sehingga
bicaranya terpotong-potong.
“Anak ini gila,” pikir gadis itu sambil berusaha


mengeringkan air mata. “Yang nangis aku kok yang lemas
dia? Tapi…ah, ternyata dia anak yang tampan.
Hmm…benar. Mataku tak rusak karena tangis. Mataku
masih jelas menilai ketampanan soerang pemuda. Sayang
usianya kayaknya masih muda. Tapi…nggak apa-apa deh.
Biar muda usianya tua pengalamannya, boleh juga!”
Gadis itu lalu jongkok di samping Pandu Puber yang
pucat pasi itu, Pandu memandang dengan mata sayu dan
berkata, “Aku…hampir pingsan. Aku lemas.”
“Karena melihat tangisku?”
Pandu mengangguk. Gadis itu mencoba untuk
tersenyum. Lalu berkata,
“Aku tidak menangis lagi. Lihatlah….aku sudah bisa
tersenyum kan?”
“Ya, tapi…tapi aku masih tetap lemas. Kakiku seperti
tak bertulang lagi.”
“Lho, ke mana tulangnya?”
“Hanya seperti, bego!” ucapnya dngan pelan tapi
mengandung kejengkelan. “Sepertinya tak bertulang. Tapi
kalau diraba sih ya masih ada tulangnya.”
“Jadi…jadi kau tidak bisa mengantarku pulang dong?”
“Entahlah. Aku tak bisa berjalan.”
“Kok jadi begitu sih? Lalu bagaimana caranya
memulihkan kekuatanmu?”
Pandu diam memandang tak mau berkedip. Gadis itu
makin lama makin tertarik. Tatapan matanya tak mau
berkedip. Pandangan Pandu tanpa sadar telah memancar-
kan suatu kekuatan magis. Jurus ‘Mata Dewata’ milik
ayahnya yang menitis padanya bekerja dengan sendirinya.
Jurus itu mampu membuat hati seorang gadis menjadi
luluh, trenyuh, iba dan akhirnya menjadi sayang kepada-
nya. Hal itu dirasakan betul oleh gadis tersebut.
Hati sang gadis bergetar, makin lama getarannya makin
kuat, makin tak bisa dibendung lagi. Bunga-bunga indah
muncul menggoda hatinya. Pandu Puber segera pejamkan
mata pelan-pelan dalam keadaan wajah terdongak sedikit.
Gadis itu semakin dicekam perasaan yang tak dimengerti


apa artinya, hanya bisa dirasakan begitu indah dan
bahagianya. Urat-urat tengkuk mengeras, kepalanya bagai-
kan didorong oleh debaran indah di hati. Kepala itu men-
dekat. Hati kecil menolak, tapi hati besar memaksa untuk
lebih dekat. Dan akhirnya bibi gadis itu mencium kening
Pandu Puber. Cuup…!
Ceeesss…!
Tubuh Pandu bagaikan disiram air surgawi. Air segar
yang bagaikan menyiram sekujur tubuh itu membuatnya
menjadi begolak. Darah menghangat, urat mengejang
pelan. Kekuatannya mulai tumbuh kembali. Detak
jantungnya normal. Tensi darahnya pun normal. Napas
terhela lega. Plong rasanya. Lalu ia bangkit menegakkau
duduknya. Tersenyum penuh keceriaan. Wajah pucat
hilang, yang ada tinggal kecerahan yang kian menawan
hati. Sedangkan sang gadis cepat menjauh dan buang
muka karena malu. Hatinya membatin, “Kok aku jadi men-
ciumnya sih? Aih… gila amat aku ini! Malu-maluin aja!
Aduh, gimana ya kalau udah begini?”
Dari situlah awal perkenalan mereka. Sang gadis yang
mengaku bernama Lila Anggraeni segera diantarkan
pulang oleh Pandu Puber. tentu saja sepanjang perjalanan
pulang, Pandu Puber banyak bicara tentang keindahan
yang ada pada diri Lila Anggraeni. Pandu Puber banyak
memuji kecantikan Lila Anggraeni yang nada pujiannya
seperti pujian lelaki dewasa. Sang gadispun hanyut dalam
pujian itu, sehingga tak segan-segan menggandeng tangan
Pandu Puber walau dalam hatinya membatin “Sayang dia
masih berusia lima belas tahun. Tapi, ya…lumayanlah!”
Lila Anggraeni kelihatan sebagai anak orang kaya.
Perhiasan yang dikenakan sanagn menyolok dan berharga
mahal. Pandu Puber langsung saja menebak.
“Ayahmu seorang Adipati?”
“Bukan. Ayahku seorang saudagar. Pemilik kapal
dagang dan…”
“Dan kau pasti putri tunggalnya. Iya, kan?”
“Aku putri sulungnya. Adikku masih ada dua lagi.” 


Pandu Puber hanya nyengir karena tebakannya selalu
salah. Ia garuk-garuk kepala sambil berkata, “ Sebenarnya
aku mau bilang begitu. Tapi aku tak tega kalau tebakanku
benar semua. Kau nanti akan kaget dan kalau kau pingsan
aku kebingungan membawamu pulang.”
“Ah, kau bisa aja!” Lila Anggraeni mencubit lengan
Pandu Puber. hati Pandu Puber berdesir indah, tapi
kulitnya terasa panas karena cubitan itu. Jadi Pandu hanya
bisa nyengir, antara girang dan sakit.
“Kalau aku pingsan,” kata Lila Anggraeni, “Apa yang
akan kau lakukan?”
“Hmm…yah, paling-paling membawamu ke kotaraja lalu
meletakkan kau ke tengah kotaraja. Nanti kalau ada orang
yang mengenalimu pasti kau akan dibawanya puang.”
“Hanya begitu?” pancing Lila Anggraeni.
“Habis, mau diapakan lagi?” Pandu Puber tersenyum
geli. Sang gadis hanya bisa tersenyum. Tapi kepalanya
disandarkan di pundak Pandu dan kakinya melangkah
sedikit bergelayut.
Mesra sekali. Romantis sekali perjalanan itu. Pandu
Puber sengaja menegakkan badannya membusungkan
Dian Ayu Dayena dalam melangkah biar tampak gagah.
Tiba-tiba dari atas pohon bermunculan manusia-
manusia berpakaian hitam. Mereka saling berlompatan
menghadang Pandu Puber dan Lila Anggraeni. Jumlah
orang-orang berbaju hitam itu ada lima. Mereka rata-rata
bertampang bengis. Senjata mereka golok. Sepertinya
golok pembagian jatah, sehingga bentuk dan rupanya
sama persis. Dari arah gerumbulan semak depan
melompat seorang berpakaian merah. Wuuusss…! Jleeg…!
Lila Anggraeni makin ketakutan, makin merapatkan
tubuh ke badan Pandu Puber, setengah memeluk erat-erat.
Pandu Puber sedikit tegang, tapi sempat berbisik,
“Jangan takut! Ada aku!”
“Kau berani melawan mereka?”
“Untung-untungan,” jawabnya dengan suara pelan
sekali.


Orang berpakaian serba merah itu berambut panjang,
tapi putih warnanya. Sudah tua, tapi masih tampak tegar
dan gagah. Tubuhnya memang kurus, tapi sorot matanya
tajam penuh tantangan dan keberanian. Orang itu berkuku
panjang, tanpa senjata apapun. Usianya yang sudah
sekitar delapan puluh tahun itu menimbulkan kesan bahwa
ia tokoh tua yang beilmu tinggi. Buktinya ketika ia
melompat dari semak-semak, ketik akakinya mendarat ke
bumi, terasa jelas getaran yang ditimbulkan karena kaki
itu. tanah bergetar tipis, walau tak sampai menumbangkan
pohon sekecil apapun.
“Mau apa kau, Pak Tua?!” sapa Pandu Puber lebih
dulu, menunjukkan bahwa ia tak kalah mental dengan
tokoh tua itu.
“Apakah kau belum mengenalku?”
“Kalau sudah kenal aku tidak kaget melihatmu, Pak
Tua.”
Senyum sinis itu dingin sekali. Pak tua berpakaian
serba merah segera berkata dengan melangkah lebih
dekat lagi.
“Akulah yan berjuluk Sikat Neraka!”
“Apakah aku harus takut dengan julukanmu?” tanya
Pandu Puber sepertinya terucap dengan polos itu. Sikat
Neraka menggeram jengkel. Hasrat membunuhnya mulai
berkobar. Ia berkata dengan mata sedingin salju.
“Sebenarnya aku hanya ingin merampas perhiasan
Nona itu! Tapi karena bicaramu lancang, sok berani, maka
aku terpaksa harus membunuhmu, Bocah!”
“Aku akan melawan!” kata Pandu bagai tanpa dipikir
dulu.
Sikat Neraka rentangkan tangannya ketika lima anak
buahnya ingin bergerak menyerang Pandu. Rentangan
tangan itu sebuah isyarat bahwa mereka tak boleh
bergerak menyerang. Ia ingin menangani bocah muda itu
sendiri. Maka ia pun maju dua tindak lagi. Matanya tetap
tajam memandang Pandu, seakan ingin menembus batok
kepala bocah itu.


“Mundurlah sedikit,” kata Pandu pelan kepada Lila
Anggraeni. Gadis itu cemas, namun akhirnya mundur juga.
Tapi tak berani jauh dari Pandu. Sebab hanya Pandu-lah
satu-satunya harapan keselamatan bagi jiwanya, walaupun
akhirnya ia sangsi, apakah Pandu bisa diharapkan sebagai
pelindungnya?
“Cukup satu jurus kau akan kubuat tak bernapas
selamanya, Bocah Tolol!”
“Mudah-mudahan aku masih punya napas cadangan,
Sikat Neraka!”
“Bangsat!” geramnya penuh kemarahan. “Hiaaah…!”
Kedua tangan menyentak ke depan. Dari kedua telapak
tangan melesar tenaga dalam besar tanpa sinar dan tak
dapat dilihat. Pandu Puber sempat terpaku sejenak. Dan
saaat itulah tenaga dalam besar menghantam tubuhnya.
Buuhg!
Weess…! Buuurrk…!
Pandu Puber terlempar jauh dan jatuh karena
membentur pohon. Lila Anggraeni menjerit, “Pandduuu…!”
ia berlari menghampiri Pandu dengan penuh kecemasan.
Tapi sebelum ia tiba di tempat Pandu, pemuda itu bangkit
dengan satu hentakan kaki dan berdiri tegak lagi.
Wajahnya memang memucat, pertanda terkena pukulah
tenaga dalam. Tapi agaknya luka itu tidak dihiraukan. Ia
tetap maju menuju tempat semula.”Aku tidak apa-apa.
Tenang saja. Menepilah, biar kuhadapi orang itu!”
Sikat Neraka terperanjat melihat Pandu masih bisa
berdiri dan berjalan. Hatinya membatin, “Biasanya orang
yang terkena pukulanku itu langsung remuk seluruh
tulangnya, tak mampu berdiri dan tak mampu bernapas
lagi. Tapi bocah ini agaknya punya ilmu awer muda. Atau
mungkin ia memang punya napas cadangan? Hmm…
agaknya aku harus gunakan jurus yang lebih hebat lagi.
Malu sama anak buah, kalau aku tak bisa membunuhnya
dalam satu-dua jurus!”
Pandu Puber berdiri dengan kaki sedikit merenggang.
Sikat Neraka menggeram dengan kedua tangan mengepal


kuat-kuat hingga tulang-tulangnya terdegnar gemeretak.
“Sudah kubilang aku akan melawanmu, Pak Tua!”
“Jahanam, hiaaah…!”
Sikat Neraka keluarkan jurus lebih tinggi dari yang tadi.
Seberkas sinar kuning dari tengah dahinya setelah ia
hentakan kaki ke bumi. Slaapp…! Sinar itu memandang
lurus tanpa putus. Sasarannya ke dada Pandu. Tapi pada
saat itu, Pandupun mengeluarkan jurus penangkis sinar
kuning.
Jurus ‘Cakram Biru’ melesat dari pergelangan
tangannya. Sinat itu berwarna biru berbentuk piringan
cakram. Sinar biru itu menghantam ujung sinar kuning
yang akan mengarah kepadanya.
Blegaaarr…!
Dentuman dahsyat terjadi hingga mengguncangkan
alam sekeliling. Asap tebal mengepul dari benturan dua
sinar tadi. Dua anak buah Sikat Neraka jatuh tunggang-
langgang akibat gelombang sentakan yang menggelegar
itu. Tiga lainnya terhuyung-huyung mundur nyaris jatuh.
Pandu Puber sendiri terpental ke belakang, tapi tak
sampai jatuh. Sedangkan Lila Anggraeni terpelanting jatuh
dan memekik. Pandu segera menolongnya. Lila Anggraeni
segera memeluk penuh perasaan takut.
“Tenang, tenang…! Sudah tak meledak lagi kok.
Tenang, Lila….!” Bujuk Pandu dengan rasa takut kalau-
kalau gadis itu tahu-tahu menangis. Dalam keadaan
seperti itu sangant berbahaya jika Lila Anggraeni menangis.
Kekuatan Pandu Puber bisa lenyap seketika.
Tapi ketika asap tebal tadi lenyap, mereka sama-sama
memandang keadaan Sikat Neraka yang mirip orang
dicabik-cabik seratus singa lapar. Pakaiannya tak ada yang
utuh. Tambutnya yang putih terbakar sebagian. Wajahnya
penuh dengan sayatan. Berdirinyapun gemetar. Anak
buahnya terbengong melompong karena baru kali itu
mereka melihat Sikat Neraka dibuat separah itu.
“Tunggulah saatnya! Kukenali wajah dan namamu! Kita
akan jumpa lagi!” ucapnya, lalu segera memberi isyarat


kepada anak buahnya agar pergi, dan ia sendiri melesat
meninggalkan tempat dengan gerakan tak selincah
semula.
***

































------------------------------------------------------------------------------  
LIMA
------------------------------------------------------------------------------ 



NAK buah Sikat Neraka sendiri yang menyebarkan
cerita pertarugnan singkat ketuanya  dengan bocah
kemarin sore bernama Pandu. Mereka menceritakan
hal itu di kedai tanpa sadar telah menjatuhkan nama besar
si tokoh sesat itu dan membuat nama Pandu mulai
direnungkan orang banyak. Cerita pertarungan itulah yang
pada akhirnya sampai ke telinga Yuda Lelana dan Murti
Kumala.
“Awas kalau anak itu pulang nanti!” geram Murti
Kumala sebagai ibu yang sebenarnya amat sayang pada
anaknya. Gara-gara selalu dicekam kecemasan dan
kekawatiran akan keselamatan sang anak, akibatnya rasa
jengkelnya timbul dalam hati dan membuatnya sering
menghajar sang anak.
Yuda Lelana membujuk isterinya dengan sabar, “Anak
itu jangan terlalu sering kau marahi hanya gara-gara
seperti itu.”
“Kalau sampai kenapa-kenapa bagaimana? Kalau
sampai dia cedera siapa yang repot, siapa yang rugi? Apa
musuhnya itu yang rugi?”
“Beri semangat pada anakmu untuk menjadi seorang
penegak kebenaran dan keadilan. Kau tak perlu cemaskan
dirinya, karena sebenarnya kekuatanku dan kekuatanmu-
lah yang menyatu dalam dirinya dan menjadi sang
penantang kejahatan! Mestinya kau bangga punya anak
berani menentang kejahatan!”
“Ah, kau dan dia memang sama saja. Setali tiga uang!”
“Apa maksudmu?”
“Ya uang-uang juga!” sambil Murti Kumala ngeloyor
pergi ke belakang. Tapi dalam hatinya segera membatin,
“Benarkah yang ada pada anak itu adalah kekuatanku
A


juga? Benarkah anak itu mampu tundukkan segala bentuk
kejahatan? Oh, tak kusangka anakku bisa jadi pahlawan
kebenaran. Biar itu anak nakalnya melebihi anak setan,
tapi ternyata dalam jiwanya tersimpan sifat satria!”
Kesadaran Murti Kumala akan sifat satria sang anak
membuatnya tak begitu nyap-nyap ketika sang anak
pulang. Memang suaranya menegur lantang, tapi tak
sampai turun tangan.
“Ngeluyur terus, Pandu! Tak perlu ingat pulang deh!
Pergi terus sana!” Pandu Puber mendekati ibunya dengan
cengar cengir takut.
“Dari mana saja kau?!” 
“Dari kotaraja, Bu.”
“Ngapain ke sana? Kotaraja kan jauh?”
“Kalau dekat saya tiap hari datang ke sana, Bu.”
“Perlu apa kau sampai ke kotaraja?”
“Nganterin cewek, Bu!”
“Cewek lagi, cewek lagi…! Kau ini playboy cap
semprong apa pendekar?!”
Pandu Puber malah tertawa. Dasar bocah konyol, kata-
kata ibunya sampai membuatnya terpingkal-pingkal geli.
“Kenapa tertawa?!” bentak ibunya saat sang ayah
muncul di belakangnya.
Pandu menjawab, “Ibu ini ada-ada saja. Masa’ anaknya
sendiri dikatakan playboy cap semprong? Ah,
Ibu….semprong kan tipis, Bu. Kalau kena api bisa hitam
kayak wajahnya Kakek Kala Bopak! Ibu ini ngatain anaknya
apa ngatai bapaknya sendiri?”
“Dasar bandel kau ini!” Pandu disabet pakai baju basah
yang sedang mau dijemur, tapi sengaja tidak dikenakan,
karena sang Ibu sendiri menahan geli. Melihat sang suami
ada di situ, Murti Kumala segera berkata kepada Pandu.
“Tuh lihat bapakmu! Kalau mau jadi playboy kayak dia
tuh. Cukup satu wanita dan nggak pernah ganti-ganti.” Lalu
berkata pelan, “Nggak tahu juga kalau di belakangku.
Mungkin ganti seratus kali.”
“Huuuh…!” Yuda mencibir sewot sambil menahan geli.


Anaknya berkata,
“Kalau aku playboy cap semprong, berarti Ayah playboy
cap kerupuk bantat!”
“Kok bisa begitu?” protes sang Ibu.
“Habis kawinnya sama penggorengan sih!”
“Eee, eeehh… kurang ajar kau, ya? Ngatain Ibu seperti
penggorengan?!” Murti Kumala mengejar anaknya ang
berlari sambil tertawa keliling rumah. Yuda Lelana hanya
geleng-geleng kepala di tempat. Menggerutu pelan
sendirian.
“Wah, wah, wah… baru sekarang ada penggorengan
mengejar semprong teplok! Untung kerupuk bantat tidak
ikut-ikut lari…” Lalu ia tertawa geli tanpa suara. Hatinya
merasa damai dan bahagia melihat rumah tangganya
tampak harmonis, walau sering terjadi hal-hal yang mem-
buat Murti Kumala ngomel. Tapi Yuda Lelana menyadari
bahwa ngomel adalah sebagian dari iman wanita. Wanita
yang tidak ngomel menurutnya adalah wanita sariawan.
Menjelang sore sang Ayah terlibat pembicaraan dengan
sang anak di samping rumah. Murti Kumala sedang
mengangkat jemurannya.
“Tiba-tiba tanganku bergerak sendiri, Ayah” tutur sang
anak. “Lalu dari pergelangan tanganku keluar sinat biru
berbetuk piringan, dan sinar itulah yang menghantam sinar
kuningnya Sikat Neraka, Ayah!”
“Itu namanya jurus ‘Cakra Biru’” kata Yuda Lelana
menjelaskan. “Benda apapun jika terkena jurus ‘Cakra
Biru’ akan hancur.”
“Tapi tubuh Sikat Neraka tidak hancur, Ayah. Dia hanya
luka tercabik-cabik seperti disambar tiga belas petir.”
“Tiga belas atau empat belas? Kamu salah hitung,
kali…?!”
“Tiga belas petir kok, Ayah. Yang satu petir lagi sedang
ngangkatin jemuran,” sambil Pandu melirik ibunya. Ibunya
melirik sewot. Sang Ayah berkata pelan tapi didengar oleh
sang Ibu.
“Kalau yang itu sih bukan petir, tapi gledek!”


“Terus aja ngomongin Ibu, nanti lama-lama Ibu pelintir
kepalamu, Pandu!”
“Alaaah… gitu aja marah?!” Pandu merayu mendekati
ibunya dari belakang. “Gitu aja cemberut. Jangan cemberut
dong, Bu. Nanti kawat jemuran bisa putus kesodok bibir
Ibu!”
“Bodo…!” sentaknya melengos. Pandu tertawa, lalu
memeluk ibunya dari belakang dan menciumnya dengan
penuh kasih sayang. Ayahnya mendekat dari belakang dan
menepak kepala anaknya. Plok…!
“Jangan cium dia. Dia istriku!” kata sang Ayah
membuat anak dan ibu tertawa geli. Yuda Lelana berlagak
bersungut-sungut cemburu. Tapi begitulah sebenarnya
canda Yuda Lelana dalam mengakrabkan hubungan batin
antara suami, istri dan anak. Suasana ceria itulah yang
membuat Pandu kadang tak tega jika harus pergi tanpa
pamit ayah dan ibunya.
Pertumbuhan anak dalam lingkungan keluarga bahagia
penuh tawa dan keakraban membuat Pandu Puber seperti
masih anak-anak jika dalam lingkungan keluarga.
Sekarang usianya sudah tujuh belas tahun. Sudah perjaka
dan tampak ganteng. Badannya kelihatan kekar. Tato
mawar merah di Dian Ayu Dayenanya tampak mekar.
Sesuai dengan Dian Ayu Dayenanya yang membusung
keras dan berkesan gagah.
Tapi dia masih seperti anak kecil. Masih sering manja
kepada ibunya. Masih sering tiduran di pangkuan sang Ibu.
Masih sering menciumi ibunya. Masih sering juga
menggoda ayah dan ibunya jika sedang bicara dari hati ke
hati. Bahkan tidurnya masih campur dengan ayah dan
ibunya. Kadang jika ayahnya memeluk sang Ibu, Pandu
Puber iri dan ia mendusal di tengah, sehingga menjadi
dipeluk sang Ibu dan Ayah.
Sikap itu segera disadari oleh pasangan suami istri
Yuda Lelana dan Murti Kumala. Mereka menjadi cemas,
takut kalau anaknya menjadi cengeng, manja dan tak bisa
mandiri. Mereka kawatir kalau-kalau Pandu Puber menjadi


pemuda yang selalu merengek pada orangtua dan tidak
mempunyai sikap sendiri dalam menentukan langkahnya.
Maka pada suatu senja, sang Ayah mengajak anaknya
bicara jauh dari rumah. Sebuah pancuran sungai dipilih
sebagai tempat pembicaraan mereka. Di sana banyak batu
berbongkah-bongkah besarnya. Di antara batu-batu itulah
mereka berada dan bicara.
“Kuperhatikan pertumbuhanmu sekarang sudah
semakin dewasa, Pandu. Ayah menjadi tua, karena
memang proses ketuaan ini lebih cepat daripada manusia
biasa. Ayah takut sewaktu-waktu sang Hyang Guru Dewa
memanggil dan Ayah harus kembali ke kayangan.”
“Apakah Ibu tetap akan diajak ke kayangan?”
“Ya. Dia menjadi manusia yang berhak tinggal di
kayangan, di antara pada dewa, karena ibumu seorang istri
yang setia, jujur dan penuh cinta kasih dalam melayani
anak dan suaminya. Ibumu terpilih menjadi perempuan
suci hati, walau sebenarnya ia anak jin.”
Pandu diam menunduk. Ia menyimak kata-kata
ayahnya dengan penuh hikmat. Ketika ia mendongak,
ternyata sang Ayah sudah tidak ada di tempat. Sang Ayah
ada di atas batu besar. Pandu Puber tak memperhatikan
saat sang Ayah memanjat batu itu. maka ia segera
menyusul dengan cara menghentakkan kaki, dan tubuhnya
melesat ke ats lalu hinggap di batu tersebut. Wuus…! Jleg!
Sang Ayah langsung berkata.
“Ilmu peringan tubuhmu masih harus kau latih terus.
Mestinya kau menapak di batu ini tanpa suara dan tanpa
getaran sedikitpun.”
“Aku akan melatihnya terus, Ayah!”
“Bagus!” sang Ayah tersenyum bangga sambil enepuk
pundak anaknya yang gagah dan rupawan itu.
“Anak Ayah harus bagus, kan?” senyum Pandu
tersungging, sama menawannya dengan senyum Yuda
Lelana sebelum menikah dengan Murti Kumala.
“Segala apa yang ada pada Ayah seolah-olah tercurah
kepadamu, Pandu. Ilmu Ayah menitis kepadamu, sifat Ayah


juga ada padamu, lagak-lagu Ayah juga menurun padamu.
Pokoknya kau boleh dikata ‘foto copy’-nya Yuda Lelana.
Kalau kau ingin tahu Ayah semasa muda, bercerminlah,
dan itulah Ayah semasa muda. Gagah, tegap, konyol,
bandel….”
“Tapi gantengnya nggak sama dong. Masih gantengan
aku sedikit kan?”
Yuda Lelana sambil menonjok pertu anaknya. Duug…!
Sang anak tidak menggubris tonjokan itu karena memang
tidak terasa. Yuda Lelana bicara serius lagi.
“Pandu, kau harus sudah siap ditinggal Ayah dan Ibu.
Kau tak boleh sedih. Karena kelak kau sendiri akan tinggal
di kayangan jika kau menikah dengan seorang bidadari.
Kau sendiri sebenarnya adalah dewa. Tapi nama
kedewaanmu baru bisa kau pakai setelah kau tinggal di
kayangan bersama istrimu.”
“Siapa nama dewa untukku sebenarnya, Ayah?”
“Dewa Indo!”
“Apa itu maksud nama Indo, Ayah?”
“Artinya dewa campuran. Darah dewaku bercampur
dengan darah jin dan manusia yang ada pada ibumu. Maka
jadilah dirimu sebagai Dewa Indo. Tapikalau kau menikah
dengan manusia, maka hak kedewaanmu hilang dan kau
tak akan bisa masuk kayangan.”
“Ooo…” calon Dewa Indo itu manggut-manggut. Lalu ia
segera berkata.
“Tapi, Ayah… belakangan ini aku seperti melihat
bayangan seorang gadis cantik berjubah putih. Kadang dia
seperti lesat di depanku, kadang  seperti mengikutiku dari
belakang. Tapi kalau kudekati tak ada, Ayah. Dan aku
memimpikan gadis itu tadi malam. Gadis itu mengaku
bernama Dian Ayu Dayen!”
“Itulah calon istrimu! Itulah bidadari penguasa
kecantikan. Aku kenal dengannya. Dia punya lesung pipit
jika tersenyum, kan?”
“Benar, Ayah! Benar sekali!” jawab Pandu dengan
berapi-api seperti korek api. “Hidungnya mancung,


matanya membelalak indah, bibirnya seperti kuncup
mawar basah dan…wah… pokoknya oke banget deh, Ayah!”
Yuda Lelana manggut-manggut sambil tersenyum tipis.
“Itulah bidadari penguasa kecantikan, Dian Ayu Dayen.
Agaknya dialah calon istrimu yang harus kau kejar ke
manapun dia pergi. Kau harus bisa menaklukkan hatinya,
karena bidadari Dian Ayu Dayen adalah bidadari berhati
beku. Tak ada yang bisa meluluhkan hatinya. Tapi menurut
kodrat kedewaannya, dia akan mengikuti calon suaminya
ke manapun dia pergi. Jika ada lelaki yang dibayang-
bayangi Dian Ayu Dayen, maka itu pertanda kebekuan
hatinya mulai akan mencair, tinggal kepandaian si lelaki
untuk merayu dan menundukkan hatinya. Tentu saja ia
tidak akanmudah pasrah dan menyerah kepada rayuan
lelaki. Ia akan melawn dengan jurus ‘Hati Beku’-nya.”
“Bagaimana cara meluluhkan hatinya itu, Ayah?
Rayuan apa yang harus kugunakan? Beri aku manteranya,
Ayah.”
“Kalau Ayah punya manteranya sudah Ayah taklukkan
sewaktu ayah belum dibuang ke bumi!” Yuda Lelana.
“Tugasmu adalah mencari cara menaklukkan hatinya. Kau
boleh pacaran dengan seribu wanita, tapi pada akhir
perjalanan cintamu kau harus kawin dengan Dian Ayu
Dayen. Dengan begitu kau bisa berkumpul dengan Ayah
dan Ibu di kayangan.”
“Akan kuingat pesan Ayah ini!”
“Dan ingat pula, barang siapa menjadi gurumu atau
pelayan setiamu, maka ia akan diangkat ke kayangan juga
sebagai manusia yang berhak menikmati kehidupan di
sana.”
“Apakah aku masih perlu seorang guru, Ayah?”
“Menuntut ilmu itu tidak ada habisnya sampai manusia
ke liang kubur. Jangan kau merasa paling jago walau kau
mewarisi ilmu Ayah. Kau masih punya banyak kelemahan,
Pandu. Kau membutuhkan seorang guru, walau bukan
berarti guru ilmu kanuragan. Falsafah sebuah kehidupan
masih perlu kau timba dari seseorang. Pengetahuan


lainnya masih kau butuhkan. Ayah, Ibu, kakekmu, itu bukan
gurumu! Mereka adalah pembimbingmu.”
Pandu manggut-manggut lagi dalam sikap berdiri yang
gagah.
“Ingat-ingat betul nama jurus-jurus yang Ayah
beritahukan itu, Pandu. Kelak jika tanganmu atau tubuhmu
bergerak sendiri memainkan jurus baru, berilah nama
sendiri jurus itu. Dan ….. sebelum Ayah dan Ibu naik ke
kayangan Ayah ingin kau mendapat gelar pendekar.”
“Bagaimana caranya?”
“Gelar pendekar saat ini ada di tangan Shoguwara yang
bergelar Pendekar Samurai Cabul. Dia adalah tokoh muda
tersakti untuk saat ini. namanya ada ddalam deretan
teratas dari daftar tokoh-tokoh sakti di trimba persilatan.
Kau harus bisa mengalahkan Pendekar Samurai Cabul,
sehingga dunia persilatan akan mengakuimu sebagai
pendekar baru.”
“Di mana aku bisa menemuinya, Ayah?”
“Di Tanah Sakura. Dia membuka perguruan di sana.
Sebenarnya dia tokoh aliran hitam. Tapi kelicikannya
membuat orang selalu beranggapan bahsa dia adalah
tokoh aliran putih. Dan pengakuannya sebagai pendekar
beraliran putih itu tidka ada yang berani membantahnya,
karena barang siapa membantah pengakuannya ia akan
mati di ujung samurainya.”
“Kalau begitu aku harus pergi ke Tanah Sakura untuk
merebut gelar kependekaranya, Ayah!”
“Kurasa memang harus begitu. Tapi katakan kepada
ibumu hal yang baik-baik saja. Jangan bilang kalau kau
mau bertarung dengan Pendekar Samurai Cabul. Sebab
ibumu juga tahu ketenaran nama itu. Nama yang ngetop di
kalangan para tokoh tingkat tinggi itu jika disebutkan
menimbulkan bayangan ngeri bagi setiap wanita, seperti
ibumu. Sebab Shoguwara satu-satunya tokoh berilmu
pedang tinggi yang mampu menelanjangi wanita dengan
sabetan samurainya tanpa melukai kulit wanita itu
sedikitpun.”


“Di mana kelemahan Pendekar Samurai Cabul itu,
Ayah!”
Batara Kama yang bernama Yuda Lelana itu diam
sebentar. Pandangannya terlempar jauh bagaikan
menerawang. Sejenak kemudian barulah terdengar
suaranya tanpa menoleh ke arah Pandu Puber.
“Kelemahannya….ada di ‘pusat kejantanannya’. Jangan
mengincar bagian tubuh yang lainnya. Incarlah di tempat
‘jimat lelaki’-nya disembunyikan. Hantam dulu bagian itu,
baru bagian lainnya.”
“Akan kubayangkan terus bagian kelemahannya itu.”
“Jangan! Jangan kau bayangkan terus-terusan, nanti
kau jadi lelaki yang gemar lelaki. Istilah ‘homo des guario
des eryana kuzodes anoma’.”
“Apa itu artinya, Ayah?”
“Itu bahasa dewa, artinya lelaki cinta dengan lelaki.
Disingkat homo!” lalu dia bergidik sendiri membayangkan
seandainya dirinya dipeluk dan dicium seorang lelaki.
Bayangan  itu segera dihilangkah dan bayangan
pertarungan merebut gelar kependekaran yang selalu
muncul dalam ingatannya.
Kepada ibunya, Pandu Puber pamit mau ke kotaraja,
menengok Lila Anggraeni. Memang ia mau ke sana untuk
memberitahukan Lila Anggraeni tentang rencananya
menantang Pendekar Samurai Cabul. Tapi sang ibu
mempunyai pengertian lain.
“Apakah kau sudah benar-benar jatuh cinta sama gadis
itu?”
“Aku… aku hanya berteman saja saja kok, Bu.”
“Jangan bohonglah,” goda ibunya dengan tersenyum-
senyum.
“Betul, Bu. Aku hanya bersahabat saja. Nggak pakai
perasaan apa-apa.”
“Benar, nggak pakai perasaan apa-apa?”
“Benar! Nggak pakai!”
“Ah, jangan gitulah, Ngai juga pakai!” ujar ibunya
menggoda terus. “Dulu waktu Ibu memandang Ayahmu. Ibu


memakai perasaan juga kok. Kau nggak perlu malu lagi
sama Ibu. Kau boleh jujur, sebab kau sudah dewasa,
Pandu. Dan kalau gadis itu jatuh cinta padamu, Ibu nggak
marah. Itu wajar saja terjadi, sebab kau pemuda gagah
yang tampan dan menawan hati wanita.”
“Sama Ayah dulu tampan mana. Bu?”
“Waah… kalau ayahmu sih nggak ada tampan-
tampannya sedikitpun!” sang Ibu membesarkan hati
anaknya. “Dulu karena gelap saja jadi Ibu sangka ayahmu
tampan. Karena waktu Ibu raba wajahnya, Ibu sangka
hidungnya mancung, eeh…nggak tahunya giginya yang
mancung!”
Pandu tertawa sambil geleng-gelengkan kepala. “Ibu
terlalu jujur….!” Katanya dengan tampak bangga sekali
dikatakan lebih tampan dari ayahnya.
Pamit ke kotaraja memang ke kotaraja. Tapi sang ayah
sempat membisikkan kata yang didengar oleh sang Ibu dan
membuat sang Ibu curiga.
“Jangan kaget kalau nanti kau berubah menjadi kupu-
kupu perak. Itulah naluri dewamu yang bergerak
mempercepat gerak.”
“Aku paham, Ayah! Mohon doa restu darimu, Ayah!”
 “Ya. Doa restuku menyertaimu, Nak.”
“Ya, ya…kurestui kalian berdua. Semoga rukun dan
bahagia selalu.”
“Jangan berdua, Bu. Aku saja yang direstui!” protes
Pandu.
“O, ya. Kau saja yang kurestui,” katanya ibunya
menurut. Tapi setelah sang anak pergi, sang Ibu bertanya
kepada sang Ayah.
“Mau kemana dia itu sebenarnya? Kok pakai mohon
doa restu segala?”
“Mau ke kotaraja,” jawab ayahnya membela sang anak.
“Mau melamar gadis itu?”
“Ah, nggak gitu kok. Cuma sekadar mau pacaran sja.”
Sang Ibu masih sangsi dalam keterbengongan. “Mau
pacaran kok minta doa restu?! Aneh sekali anak itu?!”


Yuda Lelana menuntun istrinya, dibawa masuk ke
dalam rumah batu yang menyerupai bangunan candi itu,
sambil berkata
“Sudahlah, kita doakan saja supaya dia selamat dan
pulang dalam keadaan sehat, tak kurang satu apapun.”
“Kamu lagi….bikin aku pernadaran aja?! Sebenarnya
ada apa sih?”
“Nggak ada apa-apa! Aku cuma minta kau mendoakan
anakmu supaya selamat dan bisa pulang tanpa penyakit
apapun.”
“Ah, nggak tahulah….! Kamu sama anak selalu
kongkalikong!” gerutunya dambil bersungut-sungut.
***






------------------------------------------------------------------------------  
ENAM
------------------------------------------------------------------------------ 



ERJALANAN ke kotaraja sendiri terhalang oleh ke-
munculan Sikat Neraka yang kala itu bersama kakak
seperguruannya, Hantu Congkak. Tujuan mereka se-
benarnya tidak menghadang Pandu Puber. Mereka punya
tujuan tersendiri, tapi begitu melihat sekelebatan anak
muda yang ganteng berpakain ungu muda berbintik-bintik
putih bagai tetesan embun itu, Sikat Neraka ingat akan ke-
kalahannya dua tahun yang lalu. Maka iapun mengajak
Hantu Congkak untuk menghadang anak muda bertato
mawar.
Hantu Congkak berpakaian abu-abu, jubahnya
berlengan panjang. Memegang tongkat berukir kepala
monyet pada bagian ataSikat Nerakaya. Tubuh Hantu
Congkak juga kurus seperti Sikat Neraka. Matanya cekung
ke dalam, tulang pipinya bertonjolan. Kulitnya keriput,
rambutnya putih dan tumbuh di bagian tepian saja, bagian
tengahnya botak polos. Tanpa tato. Alisnya yang lebat juga
berwarna putih. Ia sedikit bungkuk, menandakan usianya
lebih tua dari Sikat Neraka. Kesepuluh jarinya juga berkuku
panjang dan runcing, seperti kukunya Sikat Neraka. Giginya
sudah banyak yang ompong, sehingga sulit menyebut
hurup ‘P’. biasanya hurup ‘P’ diucapkan dengan nada
seperti mengucapkan hurup ‘F’.
“Rufanya anak ini yang kau ceritakan fadaku dulu itu,
Sikat Neraka?”
“Betul, Hantu Congkak! Anak inilah yang pernah
mencabik-cabik tubuhku dengan ilmu gilanya itu. aku
masih sakit hati sampai sekarang.”
Pandu Puber diam memandang wajah Sikat Neraka
yang cacat bergaris-garis akibat bekas luka pertarungannya
dulu. Lengannya pun cacat bergaris-garis. Hati pemuda
P


ganteng berambut sepanjang puncak tapi depannya
pendek modal punk-rock itu merasa geli dan bangga bisa
membuat tokoh sesat yang ganas mengalami luka seperti
itu. Diharapkan dapat membuatnya jera, ternyata sekarang
malah menantangnya lagi.
“Kau masih ingat padaku, Bocah Tikus?!” hardik Sikat
Neraka.
“Tentu saja, Pak Tua!”
“Bagus. Aku juga masih ingat padamu. Tato mawar
merah di dadamu itu sangat membekas dalam ingatanku.
Dulu kau secara kebetulan saja bisa mengalahkan. Tapi
sekarang aku punya perhitungan lebih matang! Kau tak
akan bisa mengalahkanku, Bocah Tikus!”
“Tentu saja, karena kau sekarang membawa pawang
hujan!” sambil menunjuk Hantu Congkak berpipi kempot.
Yang ditunjuk menggeram menahan murka.
“Aku bukan fawang hujan! Jagung busuk! Seenaknya
aja kalau ngomong! Huhh… gue tiban tamyas lu!” sambil
Hantu Congkak menggeram ingin menggebukkan
tongkatnya, tapi Pandu Puber  sudah siaga menangkis,
sayang gertakan atas kejengkelannya saja.
“Hajarlah ia, Hantu Congkak. Biar dia tahu adat
bagaimaan menghargai prang yang lebih tua, seperti kita
ini!”
“Soal menghajar dia itu mudah!” katanya dengan
congkak. “Sekali gebuk fasti nyawanya bablas! Cuma
masalahnya, afa kau nggak bisa hajar dia sendiri?”
“Jangan meremehkan aku. Aku hanya memberi
kesempatan kepada yang tua lebih dulu. Kalau aku
langsung menghajarnya, nanti disangka aku tidak hormat
kepada kakak seperguruan? Jadi kutawarkan padamu
dulu. Kalau kau sudah mengizinkan aku lebih dulu ber-
tindak, ya aku akan bertindak. Cuma…. kalau kira-kira aku
kepepet kau cepat-cepat bergerak, ya?”
“Huh… lama-lama yang kugebuk kefalamu sendiri!”
geram Hantu Congkak kepada Sikat Neraka, gemas mau
memukulkan tongkatnya. “Sudah sana, maju dan sikat dia!


Fercuma funya nama Sikat Neraka kalau tak becus
menyikat bocah sekutu beras gitu!”
Sikat Neraka maju, Hantu Congkak menepi. Jalannya
tertatih-tatih dan punggung bagian dekat tengkuk mem-
bungkuk bukan karena terkantuk-kantuk. Pemuda berbaju
ungu tanpa lengan dan mengenakan anting di telinga kiri-
nya itu segera melangkah ke samping dengan gagah men-
cari posisi yang enak untuk menyerang lawan.
“Kutebus kekalahanku tempo hari, Bocah Tikus!
heeaah...!” Sikat Neraka melompat bagaikan gerakan
terbang mengelilingi Pandu Puber. Ia membuat pemuda
tampan itu sedikit kebingungan dengan jurus terbang
memutar itu. Mau tak mau Pandu Puber juga ikut-ikutan
bergerak memutar. Dan tiba-tiba dari tangan kanan Sikat
Neraka keluarkan kilatan cahaya petir yang menyambar
tubuh Pandu Puber. Crelaaap...!
“Hiaaah...!” Pandu Puber sentakkan kaki dan melenting
ke atas, bersalto satu kali tepat jatuh ke atah tubuh Sikat
Neraka. kakinya segera menjejak punggung itu. Buug...
Tapi dentuman terdengar lebih dulu akibat sinar petir
menghantam pohon.
Jlegaar...!



Page   1    2    3    4