Pendekar Romantis 6 - Kitab Panca Longok(1)



SATU 
PEMUDA ganteng model indo yang 
punya tato di dada gambar bunga mawar ti-
dak ada duanya kecuali si Pendekar Roman-
tis, Pandu Puber. Keturunan dewa yang ka-
win dengan anak jin ini memang mempunyai 
ketampanan yang bisa bikin para gadis 
maupun janda pada 'celeng'. Semua orang 
bilang; Pandu itu tampan. Cuma orang hu-
tan yang nggak bilang begitu. Sebagian 
orang mengakui bahwa Pandu itu hebat, il-
munya tinggi. 
Nggak aneh lagi kalau Pandu Puber 
sekarang sedang jadi sorotan massa. Ia 
adalah idola para wanita. Banyak yang 
tergila-gila padanya, banyak pula yang 
gila beneran. Malah ada yang mengusulkan 
agar Pandu Puber dijadikan 'cover boy' 
untuk sebuah kitab pusaka yang terbit se-
bulan sekali. Tapi Pandu menolak usul pa-
ra gadis itu, alasannya karena ia tak in-
gin wajahnya dijadikan poster dan dipa-
jang di sembarang dinding, termasuk dind-
ing kamar mandi segala. 
"Dia memang tampan, dia memang me-
nawan, dia memang menggairahkan, dia me-
mang sangat dirindukan, cuma kalau mau 
cari dia susahnya bukan main," ujar seo-
rang gadis kepada temannya yang waktu itu 
sedang mencuci di sungai. Kata gadis itu 
lagi, "Mencari pemuda yang bergelar Pen-
dekar Romantis itu tidak semudah mencari 
jarum di depan mata lho. Kakak iparku sa-
ja pernah putus asa dan hampir bunuh di-
ri." 
"Gara-gara gagal mencari Pendekar 
Romantis?!" 

"Gara-gara hutangnya banyak!" 
"Apa hubungannya dengan Pendekar 
Romantis? Ngaco aja omonganmu, ah!" 
"Maksudnya, kakak iparku kan sudah 
janda, hutangnya banyak, dia cari Pende-
kar Romantis mau minta bantuan bayarin 
hutang, tapi sampai rambutnya beruban ka-
kak iparku nggak pernah bisa nemuin pen-
dekar itu." 
"Sampai rambutnya beruban?! Wah, 
kebangetan itu sih." 
"Iya. Suer deh!  Sampai rambutnya 
putih semua. Rata!"  
"Memangnya kakak iparmu usianya be-
rapa tahun sih?" 
"Yaah... baru enam puluh tahun 
kok!" 
"Itu sih janda ketinggalan kereta! 
Bukan pacar ketinggalan kereta!" gadis 
yang berkulit kuning ini bersungut-
sungut, dongkol mendengar omongan teman-
nya. Temannya hanya cekikikan saja. Tapi 
temannya itu berkata lagi sambil menggi-
las cucian di atas sebidang batu datar. 
"Aku heran, cowok ganteng kayak dia 
kok nggak kawin-kawin, ya? Apa dia me-
nunggu lamaranku tiba?" 
"Lamaran dengkul mu, Sri!" cetus si 
kulit kuning rada keki. "Anaknya Ki Lurah 
Pekojan aja nggak naksir kamu, apa lagi 
seorang pendekar setampan Pandu Puber, 
mana mau dilamar sama kamu?" 
Sambil tertawa ngikik, Sri berkata, 
"Eh, biar badanku gemuk dan mukaku lebar 
begini, tapi 'servisnya' dong!" seraya 
pinggulnya digoyangkan dengan genit. Gan-
jen banget deh si gemuk itu. Tapi teman-
nya tertawa geli, tidak menganggap si ge-
muk bernama Sri itu menyombongkan diri. 
Sri hentikan kerjanya dan berkata 
dengan bibir lari ke sana-sini, "Pokok-
nya, kalau pada akhirnya aku nanti kawin 
sama Mas Pandu, aku mau nanggap wayang 
tujuh hari tujuh malam." 
"Uuh...! Jangan mimpi di pinggir 
kali, Sri. Nanti dicaplok buaya ganjen 
baru tahu rasa lu!" 
"Lho, benar kok!" Sri serius. 
"Soalnya aku naksir berat sama Mas Pandu. 
Sudah orangnya ganteng, ilmunya tinggi, 
eeh... anunya besar lagi!" 
"Anunya... apaan tuh?" 
"Semangat juangnya besar!" 
"Ooo...," si kulit kuning tertawa 
cekikikan dengan menghapus bayangan jo-
roknya. Sri yang termasuk cerewet itu 
berkata lagi sambil memeras cucian, 
"Kayak apa ya anakku nanti kalau 
bapaknya seganteng Mas Pandu? Pasti imut-
imut kayak anak semut! Hi, hi, hi...."  
"Ngomong-ngomong kok kamu naksir 
berat sama Pendekar Romantis, apa kamu 
sudah pernah bertemu dengannya, Sri?" 
"Belum sih," jawab Sri pelan, agak 
minder. 
"Uuh... belum pernah ketemu aja kok 
sudah mengkhayal yang bukan-bukan. Masih 
mendingan aku dong." 
"Hah...?! Jadi, kau pernah ketemu 
Mas Pandu?!"  
"Belum juga sih."  
"Huuh... kirain sudah!" 
"Tapi aku pernah melihat bayangan-
nya di dalam mimpi!"  
"Bayangannya Mas Pandu, maksudmu?!"  
"Bayangannya nenekku sendiri 
sih...," balas si kulit kuning sambil 
cengengesan dan membuat Sri gendut ber-
sungut-sungut mirip keong siput. 
Omong-omong mereka terhenti karena 
mata mereka sempat melihat seorang pemuda 
menuruni tanggul sungai di sebelah sana. 
Masih dalam deretan tempat mereka nyuci, 
tapi agak jauh di depan. Sri sempat ber-
bisik kepada si kulit kuning. 
"Tun, tuh cowok mojok di batu-
batuan sana mau ngapain, ya? Mau mandi 
apa mau buang air?"  
"Nggak tahu tuh. Coba aja lu tengok 
sendiri."  
"Gila lu! Entar dikiranya aku cewek 
mata lontong, gemar ngintip cowok mandi. 
Nggak mau ah."  
"Lagian kenapa mesti kita ributin? 
Dia mau mandi kek, mau buang air kek, mau 
buang muka kek, mau buang duit kek... 
terserah dialah!" kata si kulit kuning 
yang rupanya bernama Jaitun itu. 
"Eh, tapi dia kok malah dekatin ki-
ta, Tun?" 
Sri gendut sedikit tegang karena 
heran. Pemuda yang berjalan mendekati 
tempat mereka mencuci pakaian itu mempu-
nyai rambut panjang belakang, tapi bagian 
depannya pendek. Pemuda itu juga memakai 
anting-anting sebelah warna putih anti 
karat. Perawakannya tinggi, gagah, tegap, 
kekar tapi tidak berotot seperti binara-
gawan. Ia memakai baju ungu berlengan se-
dikit sekali, nyaris tanpa lengan. Ba-
junya itu warna terang, mempunyai bintik-
bintik putih bening seperti tetesan em-
bun. Celananya juga ungu berbintik-bintik 
warna embun, tapi tepiannya bertiras, mi-
rip celana jeans tanggung yang berumbai-
rumbai. Pemuda berusia sekitar dua puluh 
dua tahun itu mengenakan gelang kulit 
warna hitam berbintik-bintik paku metal. 
Gelang kulit di kedua tangannya itu yang 
membuat penampilannya semakin tampak ga-
gah. Perkasa tapi bukan perkosa. Pemuda 
itulah sebenarnya yang lagi dibicarakan 
sama kedua gadis tersebut. 
Dia adalah Pendekar Romantis, Pandu 
Puber. Tapi Jaitun dan Sri nggak tahu ka-
lau cowok itu Pandu Puber. Mereka nggak 
tahu kalau Pandu Puber itu punya tato 
bunga mawar merah di dadanya. 
Senyum kedua gadis desa itu saling 
bermekaran antara malu dan kikuk karena 
si pemuda tampan sudah ada di dekat mere-
ka. Sebentar-sebentar mata kedua gadis 
itu melirik, sebentar-sebentar berlagak 
cuek. Mereka tak berani menyapa lebih du-
lu. Malah Sri menampakkan kesibukannya 
dengan serius. Pakaian yang tadi sudah 
dicuci, sekarang dicuci lagi, sampai ak-
hirnya ada yang robek karena terlalu lama 
digilas. 
"Maaf, boleh saya mengganggu 
Mbakyu-mbakyu berdua ini?" sapa Pandu Pu-
ber membuka percakapan. 
Sri berkata pada Jaitun, "Mau meng-
ganggu kok pakai bilang-bilang, ya Tun?" 
"Yah, namanya lelaki, Sri...," Jai-
tun berlagak mengeluh. "Lelaki di mana 
saja sama, kerjanya mengganggu wanita." 
Pandu Puber sunggingkan senyum ge-
li. Senyuman itu pas dilirik oleh Jaitun 
dan Sri. Hati mereka berdebar karena men-
gakui bahwa senyuman itu sangat menawan 
hati. Tapi mereka masih berpura-pura 
cuek. 
Pandu Puber berkata, "Maksudku bu-
kan mengganggu tidak sopan, cuma ingin 
numpang nanya." 
Sri berkata lagi kepada Jaitun, 
"Memang katamu itu benar, Tun. Lelaki di 
mana-mana sama saja, senangnya numpang 
wanita." 
"Husy...!" hardik Jaitun, melirik 
Pandu dengan malu. Lalu sambil memeras 
cucian ia berkata dengan senyum sipu-
sipu, "Maaf, temanku ini memang kalau 
ngomong suka slebor, Kang. Maklumi saja, 
habis lahirnya barengan gunung meletus 
sih." 
Sri bersungut-sungut menggerutu tak 
jelas. Pandu semakin menahan rasa geli-
geli dongkol. Lalu ia duduk di atas batu 
setinggi pinggulnya, di sana ia bertanya 
dengan ucapan diperlamban, "Aku cuma mau 
numpang tanya rumahnya Ken Warok. Apa ka-
lian tahu?"  
"Ken Warok?!" Jaitun kerutkan dahi, 
Sri juga begitu, tapi mata Sri memandang 
Jaitun. Lalu terdengar suara Jaitun meng-
gumamkan nama itu sekali lagi. Sri segera 
berkata sambil pandangi Pendekar Roman-
tis,  
"Kalau Ken Warok nggak ada, Kang. 
Tapi kalau Ken Arok ada! Mungkin sampean 
salah ucap. Bukan Ken Warok, tapi Ken 
Arok." 
Jaitun menyahut, "Sri, kalau Ken 
Arok kan sudah pindah ke Tumapel, kan ru-
mahnya kena gusur." 
Sri berkata lagi kepada Pandu, 
"Iya, Kang. Kalau yang kau cari adalah 
Ken Arok, orangnya sudah pindah ke Tuma-
pel. Cuma bengkel dokarnya masih ada di 
seberang kedai. Kadang-kadang dia suka ke 
bengkelnya." 
Jaitun menyahut juga, "Kalau sam-
pean mau, nanti saya antarkan ke bengkel-
nya deh. Kebetulan rumah saya bersebela-
han dengan bengkelnya Ken Arok." 
"Aku juga bisa nganterin kok, nggak 
cuma kamu, Tun!" Sri nggak mau kalah. 
Dengan kalem, lembut dan bersaha-
bat, Pendekar Romantis kembali perdengar-
kan suaranya. "Yang kucari Ken Warok, bu-
kan Ken Arok." 
"Ooo..., habis di sini ada lima 
orang yang pakai nama Ken sih, Kang," ka-
ta Sri. "Ken Arok, Ken Borok, Ken Ngorok, 
Ken Gorok, dan Ken Tobijo." 
"Itu nama istrinya lurah kami, 
Kang," sambung Jaitun. "Tapi kalau yang 
namanya Ken Warok nggak ada. Sebaiknya 
cari Ken Arok saja, Kang. Lebih gampang!" 
"Ya lain urusan dong, Yu!" kata 
Pandu dengan tawa tanpa suara. 
"Memangnya ada apa sih kok cari 
orang yang nggak ada di data kami?" tanya 
Sri cerewet. 
"Ada pesanan yang harus kusampaikan 
dari kakeknya Ken Warok." 
"Pesanan apa? Nasi rantangan atau 
pesanan baju?" tanya Sri lagi. 
"Maksudnya, ada amanat yang harus 
kusampaikan padanya. Amanat itu diti-
tipkan padaku sebelum kakeknya Ken Warok 
meninggal akibat pedang lawannya." 
"Ooo... wah, kasihan ya kakeknya 
Ken Warok itu? Jadi sekarang sudah me-
ninggal, ya Kang?" 
"Sudah. Dan sudah kumakamkan sendi-
ri, karena waktu itu yang ada di situ cu-
ma aku." 
"Ooo... Iha kamu nggak ikut dima-
kamkan juga, Kang?" canda Sri mulai bera-
ni. Canda itu menghadirkan tawa bagi dua 
gadis desa yang memperlambat  kerja nyu-
cinya. Pandu Puber tidak tersinggung, ma-
lah menampakkan senyum keramahannya. Se-
telah itu ia bergegas pergi dan mening-
galkan kata, 

"Ya, sudah. Kalau gitu aku harus 
cari ke desa lain."  
"Kok buru-buru sih, Kang? Nggak mi-
num-minum dulu?" Sri memperlihatkan kege-
nitannya. 
"Minum apa? Minum air sungai?" ujar 
Jaitun sambil mengulum senyum, bukan men-
gulum cucian. 
"Aku harus segera mencari Ken Wa-
rok. Kalau nggak gitu, nanti rohnya Ki 
Mangut Pedas bisa menuntutku dikira aku 
nggak mau sampaikan amanatnya untuk sang 
cucu." 
"E, eh... siapa nama kakeknya Ken 
Warok tadi?" sergah Jaitun dengan tegang. 
"Ki Mangut Pedas." 
"Lhaaa... itu nama kakekku, Kang! 
Iya, betul! Itu nama kakekku!" Jaitun ja-
di tegang sekali. Cuciannya ditinggalkan 
dan ia naik ke darat. "Betulkah  namanya 
Ki Mangut Pedas? Orangnya jangkung, ku-
rus, suka pakai jubah abu-abu, punya ge-
lang akar bahar berukir ular di tangan 
kanannya?" 
"Benar! Benar sekali!" Pandu berse-
mangat. 
"Kalau begitu kau telah bertemu 
dengan kakekku, Kang! Ya, ampuuun... ka-
kek sudah mati...." Jaitun duduk di batu 
dengan lemas, wajahnya sedih, hampir me-
nangis. Pandu Puber buru-buru buang muka 
karena ia tak berani melihat gadis menan-
gis. Ia selalu ingat ibunya dan bisa ja-
tuh pingsan atau lemas tanpa daya. 
Sri dekatin Jaitun, "Kalau benar 
itu nama kakekmu, kenapa kamu nggak tahu 
yang namanya Ken Warok?" 
"Ki Mangut Pedas adalah kakak dari 
kakekku. Jadi dia kan termasuk kakekku 
Juga? Sedangkan... o, ya. Aku baru ingat. 
Yang namanya Ken Warok itu sebenarnya 
adalah kakak sepupuku. Nama aslinya Ken-
dayun. Di antara keluarga kami dia di-
panggil Dayun. Tapi aku ingat, dia mem-
proklamirkan diri di depan umum dengan 
nama Ken Warok. Soalnya dia gemar nonton 
pertunjukan reok kepala singa." 
"Lalu, rumah Ken Warok itu di ma-
na?" tanya Pandu. 
"Di belakang rumahku, Kang! Kalau 
begitu, yuk kuantar ke rumahnya!" 
Sri agak iri karena Jaitun pulang 
bareng pemuda tampan. Sri hanya bilang 
pada Jaitun dengan suara agak keras, "Bi-
arin kamu pulang sama dia! Aku mau di si-
ni dulu nyelesain cucian sambil menunggu 
siapa tahu Mas Pandu Puber lewat sini!" 
Tentu saja si tampan bermata kebi-
ru-biruan itu hentikan langkah dan ber-
paling ke belakang memandang Sri yang ma-
sih merendam di air. Maksudnya, Pandu ka-
get mendengar namanya disebut oleh Sri 
dan ia ingin mengatakan bahwa dialah yang 
bernama Pandu Puber. Tetapi Jaitun segera 
menarik lengan Pandu dengan sopan sambil 
berkata, 
"Sudahlah, jangan hiraukan ocehan 
Sri gendut itu. Dia memang lagi tergila-
gila sama Pandu Puber. Padahal menurutku 
sih, Pandu Puber pemuda yang nggak layak 
untuk digila-gilain. Apalagi dibangga-
banggakan, huuh... nggak pantes. Sekadar 
diakui kehebatan ilmunya dan keramahannya 
sih boleh saja, tapi kalau sampai dibang-
ga-banggakan rasanya kok nggak pada tem-
patnya." 
"Memangnya kenapa?" tanya Pandu se-
makin berlagak bego. 
"Soalnya...," Jaitun tersenyum ma-
lu. "Soalnya... Pandu Puber nggak sehebat 
kamu, Kang." 
"Maksudnya nggak sehebat bagaima-
na?" desak Pandu kian memancing perasaan 
si gadis manis berkulit kuning itu. 
"Yaah... pokoknya nggak hebatlah. 
Bisa dilihat dari wajahnya, perawakannya, 
kegagahannya, semuanya nggak kayak kamu. 
Pasti masih lebih hebat kamu, Kang."  
"Masa' sih...?" Pandu senyum-senyum 
saja sambil tetap melangkah bersebelahan. 
"Iya. Nggak lebih tampan dari kamu. 
Pandu Puber itu kan, yaaah... namanya ju-
ga anak masih puber, tentu saja masih im-
ut-imut. Tua sedikit juga peot." 
Pandu tertawa geli tapi tidak dile-
pas semuanya. Jaitun bagaikan lupa dengan 
kematian kakeknya. Ia tersenyum-senyum 
seraya sesekali menunduk. Menjinjing ba-
kul menenteng ember karet. Dalam tunduk-
nya itu ia melirik Pandu sebentar dan 
bertanya, 
"Ngomong-ngomong... namamu siapa 
sih, Kang?" 
"Namaku...?" Pandu tersenyum lebar, 
tampak ragu-ragu. 
Tiba-tiba dari arah depan mereka 
muncul seorang anak lelaki remaja berusia 
sekitar lima belas tahun. Anak itu mema-
kai rompi dan celana abu-abu, ikat kepa-
lanya merah, badannya agak kurus, wajah-
nya polos. Anak itu terkejut dan hentikan 
langkah melihat Pandu berjalan bersama 
Jaitun. 
"Sumo...?! Sumo Banjir...?!" Pandu 
menyapa lebih dulu. Wajahnya berseri-
seri. Tapi wajah Sumo Banjir lebih ceria 
lagi. 
"Kaaang...?! Kang Pandu...?! Ooh... 
aku kangen kamu, Kang! Aku kangen kamu, 
Kang Pandu...!" 
Sumo Banjir memeluk Pandu Puber 
dengan kegirangan. 
Tubuh anak itu diguncang-guncang 
oleh Pandu seperti pohon ceremai yang in-
gin dirontokkan buahnya. Pandu Puber sem-
pat terbayang masa pertemuannya dengan 
Sumo Banjir dalam peristiwa patung pemba-
wa bencana itu, (Kalau mau tahu patungnya 
kayak apa, cari aja di serial Pendekar 
Romantis dalam kisah : "Patung Iblis Ban-
ci"-  bukan dari Taman Lawang kok. Ben-
er!). 
"Bagaimana kabarmu, Sumo?" 
"Aku sekarang kerja di tempat Ki 
Lasoka, ikut bikin keramik, Kang." 
"Syukurlah kalau kau punya kesibu-
kan. Nggak kepingin jadi pendekar lagi?" 
"Ya kepingin, Kang. Tapi... gimana 
lagi, habis Kang Pandu nggak mau jadi gu-
ruku sih." Kemudian Sumo Banjir memandang 
Jaitun karena punggungnya dicolek-colek 
gadis itu. Jaitun bertanya, 
"Kok kamu kenal dia, Mo? Memangnya 
dia itu siapa?" 
"Dia kan Pandu Puber, si Pendekar 
Romantis itu!" 
"Hahh...?!" mata Jaitun membelalak 
lebar, hampir saja copot dan menyambar 
wajah Sumo Banjir. Bibirnya gemetar, wa-
jahnya pucat, napasnya sesak, kepala 
nyut-nyutan, pandangan mata makin suram, 
akhirnya... brruukk! 
Jaitun pingsan. Hebat ya?      
DUA 
NAMANYA memang seram.  Ken Warok. 
Yang namanya warok itu biasanya bertubuh 
besar, tinggi, tampang angker, kumis se-
besar lontong sate, badan kekar berotot, 
galaknya kayak setan lagi beranak. Tapi 
warok yang ini ternyata benar-benar men-
gejutkan Pandu Puber. 
Ken Warok bertubuh kecil, pendek, 
kurus, rambutnya potongan cepak, mirip 
hansip sedang masa pendidikan. Usianya 
sekitar dua puluh enam tahun. Mengenakan 
pakaian serba hitam, komprang. Bajunya 
tak dikancingkan sehingga tampak tulang 
iganya yang bertonjolan mirip tangga ber-
jalan.  Hampir-hampir Pandu Puber tidak 
mempercayai kalau orang yang mirip seba-
tang korek api itu bernama Ken Warok. 
"Aku ingin bertemu dengan Ken Wa-
rok, bukan kamu Kang." 
"Lha ya, aku ini Ken Warok!" 
"Masa' sih...?!" Pandu sampai bi-
lang begitu, karena penampilan dan poton-
gan orang itu tidak pantas menyandang na-
ma Ken Warok. Setelah orang itu menje-
laskan seperti apa yang dijelaskan Jai-
tun, barulah Pandu Puber percaya bahwa 
orang itu adalah cucunya Ki Mangut Pedas. 
Berita tentang kematian Ki Mangut 
Pedas bukan saja membuat Ken Warok sedih, 
namun menjadi berang dan sorot matanya 
yang kecil itu penuh cahaya dendam memba-
ra. 
"Siapa yang membunuhnya?" 
"Aku tidak tahu. Ketika aku tiba di 
lembah itu, kakekmu sudah terkapar tak 
berdaya. Aku ingin sembuhkan lukanya, ta-
pi dia menolak. Karena dia bilang memang 
hari itu sudah jatahnya untuk mati. Aku 
tak berani memaksa. Cuma dia sebutkan sa-
tu nama orang yang habis bertarung den-
gannya." 
"Lha iya, yang kutanyakan tadi ada-
lah nama orang yang habis bertarung den-
gannya itu!" ujar Ken Warok dengan jeng-
kel. "Siapa namanya?" 

"Tengkorak Tobat." 
"Setan!" geram Ken Warok. 
"Mungkin saja setan, namanya saja 
Tengkorak Tobat. Barangkali setan yang 
menyamar sebagai seorang pendeta." 
"Bukan itu maksudku!" kata Ken Wa-
rok semakin tampak gusar. "Aku tahu Teng-
korak Tobat. Aku kenal dia, karena na-
manya memang sudah dikenal! Aku harus te-
mui dia sekarang juga!" 
Ken Warok bergegas pergi, tapi Pen-
dekar Romantis segera berkata, "Apakah 
kau berani menghadapi dia?" 
Ken Warok berhenti, berbalik badan 
pelan-pelan. Wajahnya tampak sayu, lalu 
berkata dengan nada lemah, "Kalau sendi-
rian ya nggak berani." 
"Kok kamu mau ngamuk menemuinya?"  
"Kan sama kamu?" 
"Aku nggak ada urusannya dengan 
Tengkorak Tobat. Mau apa aku mencak-
mencak sama dia?" 
"Yaaah... kirain kamu mau  ikut me-
nemui dia?" ujarnya makin lemah. Pandu 
Puber tertawa pelan. 
"Kau ini aneh. Kalau merasa nggak 
berani ya jangan galak begitu dong! Sa-
lah-salah nyawamu dicabutnya sambil ber-
siul!" 
"Tengkorak Tobat adalah orang ke-
percayaan Ratu Cadar Jenazah." 
"Kayaknya memang begitu, sebab ama-
nat yang harus kusampaikan padamu ada hu-
bungannya dengan nama Ratu Cadar Jena-
zah." 
Ken Warok dekati Pandu Puber dan 
berkata pelan, "Apa amanat dari kakekku 
itu?" 
"Kau harus bersembunyi dari jang-
kauan Ratu Cadar Jenazah." 
"Kenapa begitu?"  
"Entahlah. Kakekmu tak mau je-
laskan. Ia terburu-buru mau mati. Setelah 
ngomong begitu, dia menghembuskan napas 
terakhir. Buuuss...! Begitu!" 
Ken Warok diam termenung, melangkah 
sedikit jauhi Pandu Puber. Sementara itu, 
Pandu Puber sedang jadi pusat perhatian 
perempuan-perempuan yang ada di rumahnya 
Ken Warok, termasuk Jaitun sendiri yang 
masih shock sehingga hanya terbengong me-
lompong memandangi pendekar tampan yang 
tak disangka-sangka justru berjalan ber-
duaan dengannya. Sedangkan Pandu Puber 
berlagak cuek walau hatinya agak tak enak 
karena jadi bahan intipan para wanita, 
baik yang sudah bersuami maupun yang be-
lum. 
Mereka bicara di depan rumah Ken 
Warok yang penuh dengan pohon bambu, se-
bab dulunya kakeknya Ken Warok pengusaha 
anyaman bambu. Ken Warok sendiri sekarang 
mewarisi profesi sang kakek menjadi pen-
ganyam bambu, tukang bikin pagar. 
Pandu Puber mendekati Ken Warok ka-
rena terlalu lama ditinggalkan sendirian 
di tengah pelataran. Mirip tiang bendera. 
Saat itu Ken Warok memang baru akan temui 
Pandu untuk mengatakan sesuatu, tapi Pan-
du lebih dulu perdengarkan suaranya yang 
kalem itu. 
"Apakah kau punya urusan pribadi 
dengan Ratu Cadar Jenazah?" 
"Tidak. Tapi..., rasa-rasanya ada 
sesuatu yang harus kulakukan. Ki Mangut 
Pedas, kakekku, dulu adalah seorang ja-
goan, pengawal istana kerajaan Balekam-
bang. Kakek pernah berguru di puncak Gu-
nung Sahari. Dan menurut cerita beliau, 
Ratu Cadar Jenazah adalah rekan sepergu-
ruannya, tapi kakek lebih senior."  
"Kalau begitu," kata Pandu menyim-
pulkan, "Pasti ada hubungannya dengan 
perguruan kakekmu dulu." 
"Kayaknya sih begitu," kata Ken Wa-
rok. "Pasti soal Kitab Panca Longok." 
Pandu Puber cepat memandang Ken Wa-
rok dengan dahi berkerut. Yang dipandang 
juga sedang menatapnya dalam renungan. 
Tanpa diminta, Ken Warok segera jelaskan 
persoalan itu. 
"Kitab Panca Longok hanya diberikan 
kepada kakekku, karena kabarnya dulu ka-
kek adalah murid teladan yang selalu tam-
pil sebagai ranking pertama setiap kenai-
kan kelas." 
"Apa yang ada di dalam Kitab Panca 
Longok itu?" 
"Jurus maut yang bernama 'Lima Se-
tan Bingung'. Tapi sampai sekarang kakek 
tak mau pelajari Jurus 'Lima Setan Bin-
gung', sebab jurus itu katanya sih jurus 
sesat. Bisa berubah wujudnya menjadi li-
ma. Kabarnya, setiap orang yang berhasil 
pelajari jurus 'Lima Setan Bingung' tak 
dapat mengendalikan nafsu maksiatnya. Ha-
wanya kepingin membunuh, memperkosa, me-
rampok, memfitnah dan mengadu domba. Ma-
kanya kakek tidak mau mempelajari jurus 
tersebut. Tetapi Kitab Panca Longok tetap 
disimpannya, dan tak pernah diajarkan 
atau diberikan kepada siapa pun. Sebab 
kakek takut kedamaian di bumi terancam 
karena seseorang yang berhasil pelajari 
Kitab Panca Longok." 
Pandu Puber manggut-manggut. Dalam 
pengertian batinnya, Ki Mangut Pedas ada-
lah orang baik. Tokoh berilmu lumayan ta-
pi beraliran putih. Tidak menyukai keri-
butan. Padahal kalau ia mau, ia bisa men-
jadi orang sakti dan menjadi super jagoan 
dengan bermodalkan jurus dari Kitab Panca 
Longok itu. Niat Ki Mangut Pedas perlu 
didukung, menurut Pandu Puber. Jika si 
pemilik kitab maut itu saja bisa menahan 
diri untuk tidak pelajari jurus berbahaya 
itu, tentunya sebagai seorang pendekar 
kebenaran Pandu Puber pun perlu memperta-
hankan agar kitab itu jangan jatuh ke 
tangan orang sesat. Setidaknya jangan 
sampai dipelajari oleh seseorang yang 
punya niat jadi orang sesat. 
"Kata kakek," ujar Ken Warok lagi, 
"Orang yang pelajari isi Kitab Panca Lon-
gok itu selalu punya gairah untuk bercum-
bu dengan lawan jenisnya, siapa saja. Ka-
rena kekuatan jurus 'Lima Setan Bingung' 
akan hadir melalui percumbuan. Satu kali 
bercumbu, satu kali kekuatan gaib meresap 
dalam diri orang tersebut." 
"Apakah kakekmu beristri banyak?"  
"Malah nggak punya istri, sejak ne-
nekku meninggal akibat rindu ditinggal 
kakek berguru. Sejak itu kakek tak pernah 
mau punya istri lagi."  
"Kenapa?" 
"Memang dia lemah syahwat sih." 
"Ooo... pantas!" Pandu Puber cen-
gar-cengir saja. 
"Ada kemungkinan kakek khawatir ka-
lau nyawaku akan terancam oleh Ratu Cadar 
Jenazah." 
"Apakah kau murid tunggalnya kakek-
mu?" 
"Kakek tak pernah punya murid. Tapi 
dia pernah ajarkan sebagian ilmunya pada-
ku. Sebagian kecil saja. Kata kakek, ka-
lau semua ilmunya diajarkan kepada cucu-
cucunya, bisa-bisa para cucu menjadi 
orang sesat, sebab ilmu yang dimiliki ka-
kek adalah ilmu yang perlu disaring dulu 
penggunaannya. Makanya aku cuma diberi 
sedikit dari sejumlah ilmunya yang juga 
sedikit itu." 
"Dan kau tahu di mana kitab itu 
disimpan kakekmu?" 
Ken Warok diam sebentar, kemudian 
menjawab dengan agak gugup. "Aku nggak 
tahu di mana kitab itu disimpannya." 
"Jangan bohong! Kau pasti tahu," 
kata Pandu  sambil tersenyum. "Kau pasti 
punya niat mau pelajari sendiri kitab 
itu, kan?" 
"Ah... siapa bilang?" Ken Warok 
bersungut-sungut. 
"Iya aja. Ngaku deh, ngaku...," go-
da Pandu Puber, mendesak secara halus. 
"Ah nggak kok!" Ken Warok ngotot. 
Walau usianya lebih tua dari Pandu, tapi 
sikapnya kadang seperti berusia lebih mu-
da dari Pandu. Si Pendekar Romantis tetap 
sabar menghadapi kebohongan itu. 
"Kata kakekmu, hanya kau yang tahu 
tempat ia menyimpan Kitab Panca Longok 
itu?" 
"Aaah... kakek bohong! Hobinya me-
mang ngebohongin anak muda. Ternyata sam-
pai mau masuk liang kubur aja masih bisa 
berbohong padamu." 
"Bukan begitu," kata Pandu kalem 
sambil mengusap-usap punggung Ken Warok. 
"Soalnya kakekmu bilang padaku supaya aku 
menyarankan padamu selain bersembunyi da-
ri incaran Ratu Cadar Jenazah, aku juga 
disuruh membimbingmu untuk pelajari ilmu 
'Lima Setan Bingung' itu. Kau harus sece-
patnya pelajari isi kitab tersebut sebe-
lum orang lain merampas dan mempelaja-
rinya." 
"O, gitu ya?" Ken Warok tampak ber-
seri. "Tapi, kau sendiri bagaimana? Apa-
kah kau menyanggupi permintaannya?" 

"Ya, kusanggupi untuk membimbingmu 
kalau memang kau mau pelajari ilmu itu." 
Senyum si pemuda kurus itu kian 
mengembang. Ia tahu siapa Pandu Puber. Ia 
pernah dengar cerita tentang kehebatan 
Pendekar Romantis, sebab itulah ia bangga 
dan gembira sekali jika Pandu Puber mau 
membimbingnya dalam mempelajari ilmu da-
lam Kitab Panca Longok itu. Bisa bertemu 
muka dengan Pendekar Romantis saja sudah 
merupakan kebanggaan tersendiri bagi Ken 
Warok, apalagi bisa dibimbing oleh sang 
pendekar, rasa girangnya melebihi dilamar 
bidadari. 
"Kalau begitu, sebaiknya sekarang 
kita ambil saja kitab itu, Pandu." 
"Lho, katanya kamu nggak tahu tem-
pat penyimpanan kitab itu?" 
Ken Warok cengar-cengir dan garuk-
garuk kepala. "Sebenarnya sih... tahu. 
Cuma, yaah... seperti apa katamu tadi, 
aku memang ingin pelajari isi kitab itu 
biar menjadi orang sakti." 
Pandu Puber geleng-geleng kepala 
sambil tersenyum. Hatinya membatin, "Da-
sar penyu got! Akal bulusmu nggak akan 
bisa mengalahkan akal bulusku deh. Se-
baiknya kubiarkan dulu dia mengambil ki-
tab itu, setelah kitab ada di tangannya 
baru akan kubujuk agar ia mau hancurkan 
kitab itu demi menjaga kedamaian di bumi. 
Rasa-rasanya memang lebih baik kitab itu 
dihancurkan daripada dipelajari olehnya, 
nanti dia jadi orang terjahat di dunia!" 
Ternyata Kitab Panca Longok tidak 
disembunyikan di dalam rumah. Mungkin ta-
kut kalau dibaca para cucunya, Ki Mangut 
Pedas sembunyikan kitab itu jauh dari ru-
mah. Pandu Puber diajak pergi ke sebuah 
bukit oleh Ken Warok. 
"Kakek pernah ceritakan tempat pe-
nyimpanan itu, dan aku pernah ke sana ta-
pi nggak ngapa-ngapain. Soalnya kakek ma-
sih hidup sih," katanya sambil melangkah 
menuju kaki bukit. 
"Jadi kitab itu disembunyikan di 
puncak bukit?"  
"Ya, sebab di puncak bukit itulah 
terdapat gua tempat kakekku dulu bertapa. 
Namanya gua Panas Dingin." 
Pandu tertawa pendek. "Gua kok na-
manya panas-dingin? Gua penyakitan itu 
sih!" 
"Kata kakek, kalau kita berada di 
dalam gua itu udaranya bisa jadi panas 
dan bisa jadi dingin, tergantung kata ba-
tin kita. Kalau kita membatin; 'wah, kok 
gua ini panas, ya?', maka udara di dalam 
gua akan semakin panas. Kalau batin kita 
bilang 'dingin', ya dingin." 
"Kau pernah masuk ke dalamnya?" 
"Nggak berani. Kakek melarangku ma-
suk ke gua itu. Tapi kalau melihat dari 
luar saja, memang pernah." 
"Kenapa kakekmu melarangmu masuk?"  
"Katanya, gua itu penuh jebakan 
yang mematikan." 
Pandu Puber berpikir, "Kalau begi-
tu, dia tak boleh ikut masuk, nanti lang-
kahnya dapat membawa kematian baginya. 
Biasanya gua seperti itu memang dipasangi 
jebakan cukup banyak dan maut datang ti-
dak diduga-duga. Berarti aku nanti harus 
pertajam kewaspadaan serta pertajam ra-
sa." 
Perjalanan menuju bukit memakan 
waktu tak terlalu lama. Sedikit melelah-
kan, tapi perjalanan tidak banyak melalui 
semak belukar. Ketika mereka tiba di kaki 
bukit, Ken Warok minta istirahat seben-
tar, karena ia perlu kumpulkan tenaga un-
tuk mendaki. Mereka beristirahat di tem-
pat yang teduh, di bawah pohon besar yang 
bercabang dan berdaun mirip payung raksa-
sa. 
"Setelah aku bisa  kuasai isi kitab 
itu, aku akan balas dendam pada Ratu Ca-
dar Jenazah," kata Ken Warok. "Akan kuo-
brak-abrik istananya, kuratakan dengan 
tanah, bahkan kalau perlu kutenggelamkan 
ke dasar bumi." 
Mendengar sesumbar itu, Pendekar 
Romantis hanya tersenyum saja. Tenang se-
kali sikapnya. Ia menggigit-gigit seba-
tang rumput yang belakangan ini menjadi 
acara kesukaannya jika sedang santai.  
"Di mana istana Ratu Cadar Jenazah 
itu?"  
"Di sana... di dekat pantai. Arah 
timur dari sini. Di sana ada bukit yang 
terlihat jelas dari lautan, namanya Bukit 
Gulana. Di bukit itulah Ratu Cadar Jena-
zah membangun istananya yang dikelilingi 
dengan benteng batu kokoh. Di sana ia 
punya murid dan tidak melarang muridnya 
lakukan pembajakan atau perampokan asal 
ada komisinya buat sang ratu." 
"Jahat sekali dia, ya?" 
"Huuh... bukan saja jahat, tapi ju-
ga galak, angkuh, semena-mena dan pokok-
nya memuakkan deh. Wajahnya sih cantik, 
bodinya juga oke punya, karena dia punya 
ilmu pengawet kecantikan dan kemudaan. 
Tapi tingkah lakunya kayak setan kurang 
sesajen. Makanya dia nggak laku kawin, 
karena nggak ada lelaki yang betah beri-
strikan dia. Biasanya nyawa lelaki itu 
yang nggak betah dekat dengannya, lalu 
pergi ke akhirat." 
"Dibunuh olehnya, begitu?" 
"Iya! Kata kakek sih, Ratu Cadar 
Jenazah punya cita-cita ingin kuasai rim-
ba persilatan. Dia ingin diakui oleh du-
nia persilatan sebagai ratu rimba persi-
latan. Jadi maunya semua tokoh rimba per-
silatan tunduk kepadanya dan patuh kepa-
danya pula. Padahal kesaktiannya nggak 
seberapa." 
"Ya, mungkin demi menunjang cita-
citanya itulah maka ia ingin pelajari Ki-
tab Panca Longok tersebut." 
Baru mau bicara, tiba-tiba tubuh 
Ken Warok yang duduk itu ditendang kaki 
Pandu Puber.  
Brruss...! Ken Warok terjengkang. 
Hampir saja ia marah karena perbuatan 
Pandu. Tapi niat marahnya lenyap seketika 
setelah melihat sebilah pisau menancap di 
pohon yang tadi dibuat sandaran tubuhnya. 
Wuuttt...! Jrrubb...! 
"Hahh...?!" Ken Warok terbelalak 
tegang. Matanya yang menjadi lebar bagai 
habis operasi kelopak itu pandangi pisau 
tersebut. 
Pisau itu kecil, ukurannya sejeng-
kal, gagangnya dari besi dengan hiasan 
rumbai-rumbai benang merah. Mata pisaunya 
putih mengkilap dan runcing. Kalau nyolok 
mata sakit. Apalagi nyolok jantung, pasti 
bocor. 
Pandu Puber dan Ken Warok sama-sama 
terperanjat lagi ketika melihat kulit po-
hon tersebut bergerak-gerak mengelupas 
dalam keadaan mengering. Pasti disebabkan 
karena pisau itu beracun ganas. Ken Warok 
jadi merinding membayangkan nyawanya yang 
nyaris melayang tadi. Hatinya membatin, 
"Kalau kulit pohon aja bisa jadi keriting 
begitu, apalagi kulitku. Pasti keriput 
seperti jeruk purut." 
Baru saja Pandu Puber mau cabut pi-
sau itu, tiba-tiba Ken Warok berseru, 
"Awaaass...!" 
Pandu tidak menoleh ke belakang. 
Tapi tangannya segera berkelebat ke bela-
kang sendiri dan, jaab...! Sebilah pisau 
yang dilemparkan ke arahnya tertangkap 
oleh tangan Pandu, terselip di sela jema-
rinya. Ken Warok menghempaskan napas lega 
melihat Pandu selamat, tapi hatinya ter-
bungkus perasaan takjub melihat kecepatan 
tangan Pandu menangkap pisau itu. 
"Padahal dia nggak nengok segala 
lho, kok bisa langsung tangkap itu pisau, 
ya? Jangan-jangan tengkuknya punya mata? 
Coba lihat, ah...!" Ken Warok sengaja 
bergeser ke belakang Pandu dan memperli-
hatkan tengkuk Pandu. 
"Siapa pemilik pisau ini? Pasti ada 
yang ingin membunuh kita, Ken! Entah kau 
atau aku yang ingin dibunuhnya." 

"Semoga saja bukan aku," kata Ken 
Warok gemetar. Kedua lelaki muda itu sa-
ma-sama memandang ke arah semak-semak, 
tempat datangnya dua pisau terbang terse-
but.