Pendekar Romantis 4 - Patung Iblis Banci(4)


TUJUH 
KUBURAN yang dimaksud Sumo Banjir itu 
memang ada. Jadi anak itu nggak bohong. 
Cuma keadaan kuburan itu sudah nggak 
beres lagi. Sudah jebol bagian atasnya. 
Sepertinya ada tenaga kuat yang mendobrak 
dari dalam kuburan menuju ke atas. 
Tanahnya berhamburan ke mana-mana. Dan 
tanah itu bukan coklat seperti tanah 
sekelilingnya, melainkan berwarna hitam 
hangus. Sepertinya habis terbakar. 
Pendekar Romantis dan Sumo Banjir 
terbengong di tempat. Mata mereka 
memandangi makam yang telah rusak itu. 
Sesaat kemudian Sumo Banjir berkata 
dengan nada penuh sesal, 


"Sumpah, Kang!" 
Pandu Puber melirik bocah itu. 
"Sumpah bagaimana maksudmu?" 
"Sumpah, waktu aku dan Bocang ada di 
sini, kuburan ini belum rusak. Nggak 
seperti ini kok, Kang. Masih utuh, nggak 
berlubang begitu. Hanya kotor oleh 
dedaunan kering saja. Sumpah  kok, Kang. 
Aku tidak bermaksud menipumu." 
Punggung bocah itu ditepuk-tepuk oleh 
Pandu Puber yang menarik napas dalam-
dalam. 
"Aku nggak bilang kamu nipu aku. Aku 
tahu kamu sendiri kaget melihat makam itu 
rusak. Pasti ada sesuatu yang terjadi di 
makam ini. Mungkin kemarin malam, mungkin 
tadi pagi atau entah kapan. Bau hangus 
masih tercium di sini, berarti makam ini 
jebol dalam waktu belum lama. Agaknya 
kita terlambat, Sumo Banjir." 
Tempat yang sepi itu tiba-tiba 
dipecahkan dengan suara gemerisik 
dedaunan semak diinjak kaki orang. Pandu 
Puber segera palingkan wajah ke belakang. 
Ternyata seraut wajah bengis berkumis 
tipis muncul dari semak ilalang. 
"Raga Paksa, Kang!" sentak Sumo 
Banjir dengan nada kaget dan menjadi 
tegang. Anak itu segera merapatkan diri 
kepada Pandu. 
"Cari tempat berlindung!" bisik Pandu 
kepada Sumo Banjir, dan anak itu tiba-
tiba lari di balik  bebatuan seberang 
makam. Pandu Puber masih berdiri tegak 
dan tenang memandangi kehadiran Raga Pak-
sa yang tampak sendirian itu, tapi Pandu 
yakin orang tersebut tidak datang 
sendirian. Karena menurut keterangan Sumo 
Banjir tadi, Raga Paksa membawa sejumlah 
orang untuk mengejar-ngejar Sumo Banjir. 
"Dugaanku benar," kata Raga Paksa 
setelah berhenti di depan Pandu dalam 
jarak lima langkah. 
"Apa maksudmu, Raga Paksa?!" tegas 
Pandu dalam bertanya. 
"Anak itu pasti hanya akan 
menunjukkan makam Patung Iblis Banci 
kepadamu. Aku terpaksa menguntitnya agar 
bisa mengetahui ke mana anak itu 
membawamu. Ternyata di sini. Dan..., ten-
tunya patung itu sudah ada di tanganmu, 
bukan?!" 
"Bukan!" jawab Pandu tenang dan 
singkat saja. 
Raga Paksa melirik ke arah makam yang 
sudah jebol itu. Senyumnya membias sinis. 
"Makam itu telah rusak, pasti kau 
telah membongkarnya dan mengambil Patung 
Iblis Banci. Jangan berlagak polos, Bocah 
edan!  Kali ini aku tidak mau main-main 
denganmu. Serahkan saja patung itu atau 
aku terpaksa menyerahkan nyawamu pada 
dedemit penunggu bukit ini? Pilih salah 
satu, coret yang tidak perlu! Lingkarilah 
huruf 'B' jika benar dan huruf 'S' jika 
salah." Raga Paksa mau bercanda untuk 
tunjukkan kemenangan dugaannya, tapi 
candanya nggak lucu jadi nggak 
ditertawakan oleh Pandu Puber. 
"Salah besar kalau kau mengira patung 
itu ada di tanganku!" 
"Jadi maksudmu aku harus merebut 
dengan kekerasan? Baik!" 
Pandu Puber gelengkan kepala. Tapi 
lawannya segera bersuit satu kali. Suitan 
itu membuat beberapa sosok tubuh 
bermunculan dalam posisi mengepung Pandu 
Puber. Mereka adalah orang-orangnya Raga 
Paksa yang sudah berada dalam dugaan 
Pandu Puber, karenanya Pendekar Romantis 
tidak merasa heran melihat kemunculan 
mereka. Di depan Raga Paksa, Pandu masih 
tampak tenang tanpa kaget sedikit pun. 
Senyum tipis Pandu justru mekar 
bernada geli. "Kau benar-benar manusia 
tukang ngotot, tukang paksa, dan tukang 
kompas! Sudah dibilangin kalau aku nggak 
bawa patung itu kok masih nekat mau paksa 
aku? Konyol juga lu!" 
"Apa katamu-terserah deh! Yang jelas 
kalau aku punya firasat nggak pernah 
meleset. Patung itu pasti sudah ada di 
tanganmu. Mungkin kau sembunyikan di 
balik bajumu itu!" 
"Kau bukan ahli nujum, Raga Paksa! 
Firasatmu kujamin tak akan pernah benar 
seumur hidupmu. Sebaiknya temui saja 
gurumu; si Malaikat Bisu di bawah sana. 
Ia sedang terlibat urusan dengan Nyai Pe-
rawan Busik dan beberapa tokoh tua 
lainnya, termasuk Sapu Nyawa." 
"Biarkan saja dia punya urusan itu. 
Urusanku berbeda lagi. Kalau patung itu 
sudah kudapatkan, maka Malaikat Bisu 
tidak akan menjadi ketua lagi, tapi 
akulah yang menggantikannya dan ia harus 
tunduk kepadaku!" 
"O, jadi ceritanya kau murid yang 
murtad, begitu?" 
"Persetan dengan anggapan dan 
penilaianmu. Yang jelas, serahkan patung 
itu sekarang juga sebelum kesabaranku 
habis!" bentak Raga Paksa dan Pandu Puber 
menjawab dengan tegas, 
"Aku tidak punya patung! Kalau kau 
mau, ambillah di candi sana. Patungnya 
lebih besar dari dirimu!" 
"Setan! Dianggap aku main-main, ya?" 
geram Raga Paksa, lalu memerintahkan anak 
buahnya,  "Geledah dia!  Telanjangi pakai 
golok kalian! Serang...!!" 
Tujuh anak buah Raga Paksa menyerang 
Pandu secara bersamaan dari berbagai 
arah. Pandu Puber segera hentakkan 
kakinya ke tanah tiga kali, dan ketujuh 
orang tersebut terlempar ke atas secara 
susul  menyusul. Tubuh mereka mental 
tinggi bahkan ada yang mendarat di dahan 
pohon alias tersangkut di sana. Pandu 
Puber gunakan jurus 'Sentak Bumi' yang 
hanya bisa dilawan jika orang itu berilmu 
tinggi. Namun bagi orang yang ilmunya 
pas-pasan, maka tubuhnya akan terlempar 
tak beraturan karena daya hentak 
gelombang tenaga dalam yang disalurkan 
melalui tanah tempatnya berpijak. 
"Ahh, uhuhg, eehg.... Auuh, wadow, 
alamak...." Macam-macam suara mereka yang 
terhempas kembali ke bumi bagaikan 
dibanting dengan tenaga besar. Malahan 
ada yang mengerang panjang karena tulang 
lehernya terkilir dan tak bisa mendongak 
lagi kecuali hanya menunduk terus. 
Srett...! Raga Paksa cabut goloknya. 
Ia tak bisa tinggal diam melihat anak 
buahnya saling terlempar bagaikan boneka 
yang sedang dibuat mainan Pandu Puber. 
Dengan suara geram ia berkata ganas, 
"Kutebus kekalahan ini dengan 
membelah dadamu, Bangsat! Heat!" 
Wwuttt...! Raga Paksa melompat, 
hendak menerjang Pandu Puber. 
Dengan gerakan cepat dan bertubi-
tubi, Pendekar Romantis sentakkan kedua 
tangannya dalam keadaan jari-jari merapat 
lurus. Tangan itu bagaikan menyodok ke 
depan berkali-kali. Tapi sebenarnya dari 
gerakan menyodok itulah keluar tenaga 
dalam besar yang menghantam tubuh 
lawannya lebih dari enam kali.  
Deb, deb, deb, deb…! 
"Uhg, uhg, hieehh...! Ohgg...!" Raga 
Paksa terdorong ke belakang, tak bisa 
maju menembus kekuatan gelombang tenaga 
dalam yang terpancar lepas melalui ujung-
ujung kedua tangan Pandu Puber. Tenaga 
dalam tanpa sinar yang akhirnya membuat 
mental Raga Paksa sampai berjungkir balik 
itu dinamakan Pandu sebagai jurus "Salam 
Sayang'. Saat itu Pandu membatin dalam 
hatinya, 
"Kenapa tiba-tiba aku pergunakan 
gerakan seperti ini? Hmm..., pasti ini 
sisa gerakan jurus Ayah. Kunamakan jurus 
'Salam Sayang' saja deh. Habis gerakannya 
mirip orang mau salaman sih." 
Jurus milik ayahnya yang tersisa pada 
diri Pandu itu ternyata bukan saja 
membuat Raga Paksa terpental jungkir 
balik, tapi setiap tubuh yang terkena 
sentakan gelombang tenaga dalam dari 
jurus 'Salam Sayang' itu membekas biru 
kehitam-hitaman. Tak peduli yang mengenai 
dada atau yang cuma mengenai lengan, 
semuanya membekas biru  legam. Dan 
dirasakan oleh Raga Paksa seperti sedang 
diremuk atau dipatah-patahkan tulang dan 
ototnya. Untuk bangkit kembali terasa 
sulit, sehingga dua anak buahnya terpaksa 
menolong. 
"Kita cabut aja! Cabut.,.!" terdengar 
Raga Paksa berkata kepada anak buahnya, 
lalu yang sedang menolongnya bangkit itu 
berseru kepada yang lain, "Hoi, kita 
cabut!" 
Pandu Puber geleng-geleng kepala 
sambil hembuskan napas lega.  Ia biarkan 
rombongan Raga Paksa pergi dari tempat 
itu. Sumo Banjir yang ada di balik 
bebatuan segera keluar hampiri Pandu Pu-
ber. Tapi langkahnya terhenti dan ia 
kembali bersembunyi, karena matanya 
melihat sekelebat orang yang muncul dari 
sisi lain. Orang itu muncul dengan kalem 
sambil bertepuk tangan ogah-ogahan, 
kesannya mengejek perlawanan Pandu 
terhadap Raga Paksa tadi. Tentunya orang 
tersebut sempat memperhatikan jurus 
'Salam Sayang'-nya Pandu yang baru 
pertama kali digunakan di situ tadi. 
Mata si pemuda bertato bunga mawar di 
dadanya itu mulai terkesiap curiga 
memandang kemunculan orang tersebut. Ia 
biarkan orang itu datang mendekatinya dan 
berhenti di depannya dalam jarak sekitar 
dua tombak. 
"Apa maksudmu menemuiku di sini, 
Hantu Congkak?" tanya Pandu dengan kalem. 
Ia tahu tokoh tua yang kurus, kempot, dan 
sedikit bungkuk itu adalah Hantu Congkak, 
gurunya Awan Sari. Kali ini Hantu Congkak 
tampil tanpa tongkat. Jelas bukan karena 
menuntut kematian Sikat Neraka, adik 
seperguruannya yang tewas di tangan Pandu 
saat Pandu belum mendapat gelar pendekar. 
Tapi tentunya kedatangan Hantu Congkak 
punya hubungan erat dengan Patung Iblis 
Banci. 
"Aku tertarik dengan jurus mainanmu 
tadi, Fandu Fuber. Fantas kalau muridku 
si Awan Sari kalah melawanmu," kata Hantu 
Congkak yang tak bisa menyebut huruf 'P', 
diganti dengan huruf 'F'. Sambungnya lagi 
dengan sikap acuh tak acuh, 
"Aku layak menuntut kematian adik 
ferguruanku itu, juga membalaskan 
kekalahan muridku. Tafi, kalau fatung itu 
kau serahkan fadaku, maka segala dosamu 
kuhafuskan dan jika ferlu kau kuangkat 
sebagai muridku, Fandu Fuber." 
"Mengapa kau menyangka aku yang 
memiliki fatung itu?" tanya Pandu Puber 
ikut-ikutan tak menggunakan huruf 'P' 
dalam ucapannya. 
"Karena aku yakin kau baru saja 
membongkar makam si Iblis Banci itu dan 
mengambil fatungnya. Kalau tidak begitu, 
Raga Faksa tidak akan ngotot dan nekat 
melawanmu. Aku sendiri hamfir terkecoh 
dengan menunggui makam yang ada di bawah 
fohon beringin merah itu. Ternyata makam 
itu makam falsu. He, he, he, he...! Sudah 
tua kok ya masih ada yang menifu. 
Kebangetan sekali orang yang fasang makam 
falsu itu...," Hantu Congkak geleng-
gelengkan kepala, geli sendiri. 
"Hantu Congkak, aku tidak mempunyai 
patung itu. Aku belum mengambil patung 
tersebut dan bukan orang yang membongkar 
makam Itu. Jika kau ngotot seperti Raga 
Paksa, maka aku akan pergunakan cara 
seperti tadi. Kumohon jangan membuat 
perkara denganku, Hantu Congkak. Apalagi 
perkara kesalahpahaman, itu akan membuat 
kita sama-sama menyesal nantinya." 
Dengan serius Hantu Congkak berkata, 
"Tutuf mulutmu. Jangan mengguruiku, Anak 
kambing! Aku harus cepat-cepat bawa itu 
fatung, dan kalau tidak, kau akan mati di 
tanganku! Faham?!" 
"Yang tidak kupahami adalah 
kebodohanmu, Hantu Congkak. Sudah 
dibilangin nggak ada patung kok masih 
ngotot aja?!" 
"Oke, kalau gitu kamu orang mau 
rasakan aku funya jurus baru yang bisa 
bikin kamu funya kepala fecah mendadak! 
Terimalah 'Sumber Geledek'-ku ini, Fandu! 
Hiaaat...!" 
Sebelum Hantu Congkak bergerak, 
sekelebat bayangan menyambar tubuhnya 
dengan gerakan menyerupai  badai. 
Wuuttt...! Brukkk...! Hantu Congkak 
terpental dan jatuh tanpa posisi yang 
enak. Caciannya terlontar di sela rasa 
sakitnya. 
"Monyet kuraf!" 
Pandu Puber terkesiap melihat sesosok 
tubuh tua berjubah biru lusuh dengan 
pakaian dalam putih lusuh pula. Kakek 
berambut putih panjang sepunggung diikat 
ke belakang dengan tali dari akar itu 
berdiri menatap Hantu Congkak dengan 
tajam. Keduanya tampak sama tua, hanya 
bedanya kakek bersenjata seruling India 
itu masih tampak tegap dan tegar 
ketimbang si Hantu Congkak. 
"Pak Tua...?" sapa Pandu Puber kepada 
si kakek yang pernah membuatnya jadi 
bergairah sekali kepada Dardanila itu. 
"Mengapa kau menyerang Hantu Congkak, Pak 
Tua? Apakah dia lawan masa lalumu?" 
Pak Tua itu diam saja, seakan tidak 
menggubris pertanyaan Pandu Puber. Ia 
lebih tertarik dengan reaksi Hantu 
Congkak yang sedang berdiri sambil 
memandanginya dengan tajam, seakan penuh 
dendam. Hantu Congkak menggeram dalam 
kemarahan yang tertahan. 
"Bangsat kau, Layang Fetir! 
Kubinasakan ragamu sekalian jika kau mau 
membela si bocah babi itu, Layang Fetir!" 
Pandu Puber terkejut, matanya sempat 
terbelalak menegang. 
"O, rupanya Pak Tua itulah yang 
bernama Layang Petir itu?! Sial! Pantas 
dia tahu banyak tentang Iblis Banci, 
karena ternyata dia adalah muridnya Iblis 
Banci yang bernama Layang Petir itu?!" 
Batin Pandu Puber berucap antara 
kagum dan jengkel karena merasa terkecoh 
dengan pengakuan Pak Tua di dalam gua. 
Pandu mempunyai pikiran lain setelah 
mengetahui bahwa Pak Tua itu adalah La-
yang Petir. Menurut Pandu, keterangan Pak 
Tua mengenai Patung Iblis Banci hanya 
sebagai isapan jempol belaka itu memang 
benar. Sebab Pak Tua pasti tahu persis 
tentang ada atau tidaknya patung itu. 
Namun untuk sementara, Pandu belum mau 
membicarakaan hal itu, ia masih tertarik 
memperhatikan ketegangan dua tokoh tua 
itu. 
"Kusarankan pergi dari sini dan 
jangan mengharapkan pusaka Patung Iblis 
Banci lagi, Hantu Congkak!" 
"Seferti katamu dulu, Layang Fetir... 
siafa saja boleh  memiliki fusaka Fatung 
Iblis Banci asal dia bisa menangkafnya 
saat fatung itu keluar dari dalam makam 
gurumu. Tafi ternyata makam itu sudah 
jebol, fasti sudah kau bongkar dan kau 
ambil sendiri fatung di dalamnya, 
bukan?!" 
"Terserah apa katamu, Hantu Congkak, 
yang jelas...." 
"Uhhg...!" Hantu Congkak terbungkuk 
seketika, membuat ucapan Pak Tua itu 
terhenti dan memandang dengan heran. 
Hantu Congkak mendekap dadanya kirinya. 
"Sandiwara apa lagi yang dimainkan 
Hantu Congkak itu?" pikir Pandu Puber 
tetap tenang memperhatikan dengan tangan 
bersidekap di dada. Senyumnya membias 
tipis menertawakan gaya Hantu Congkak 
yang dianggapnya berpura-pura itu. 
Tapi ketika Hantu Congkak tampak 
dongakkan wajah, matanya terbeliak, 
mulutnya ternganga tanpa suara, Pandu 
Puber mulai menganggap hal itu sangat 
serius. Wajah pucat si Hantu Congkak 
bukan pura-pura. Gerakan jatuhnya yang 
terjengkang dengan tetap mendekap dada 
kirinya membuat Pandu akhirnya mendekati 
dan bingung sendiri. Pak Tua pun bingung, 
namun tidak seperti bingungnya Pandu. 
Bingungnya Pak Tua dengan cara memandang 
ke sekeliling tempat itu dalam keadaan 
tegang. 
"Pak Tua...! Hantu Congkak mati, Pak 
Tua...!" seru Pandu dalam ketegangan 
karena rasa herannya. 
Pak Tua segera memeriksa keadaan 
Hantu Congkak, ternyata memang sudah 
tidak bernapas lagi. Tapi di bagian dada 
kirinya tampak lubang luka tusukan benda 
tajam yang mengucurkan darah. 
"Jantungnya pecah!" gumam Pak Tua, 
lalu cepat-cepat berdiri. Matanya 
memandang Pandu Puber yang masih tegang 
dan terheran-heran. 
"Seseorang telah pergunakan patung 
itu untuk membunuh Hantu Congkak!" 
ucapnya pelan tapi pasti. 
"Bukankah kau bilang patung itu hanya 
isapan jempol belaka?" 
"Aku berbohong padamu," kata Pak Tua 
dengan sedikit nada sesal terdengar di 
sela ketegasannya. "Malam  itu sebenarnya 
malam kemunculan Patung Iblis Banci. 
Tidak tepat pada malam purnama seperti 
yang pernah kugembar-gemborkan kepada 
mereka dalam keadaan aku sedang mabuk. 
Jujur saja, memang akulah Layang Petir, 
murid Iblis Banci yang belum tuntas 
selesaikan pelajaran darinya. Ketika Guru 
meninggal dia berpesan tentang patung 
pusaka yang akan muncul dua malam sebelum 
purnama. Dalam patokan ingatanku patung 
itu akan muncul pada malam purnama. Soal 
dua malam sebelumnya tidak pernah 
kukabarkan kepada siapa pun, karena aku 
sendiri sempat lupa tentang 'dua malam' 
tersebut. Aku baru ingat beberapa hari 
yang lalu, karenanya aku datang ke Bukit 
Jengkai Demit ini." 


"Untuk mencari Shoguwara?" Pak Tua 
gelengkan kepala. "Aku tak punya 
persoafan dengan Shoguwara. Aku hanya 
membohongimu. Aku sengaja menahanmu di 
gua itu agar kau tak muncul di makam ini 
pada malam itu."  
"Mengapa harus kau lakukan itu, Pak 
Tua?"  
"Tujuanku sebenarnya hanya ingin 
hancurkan pusaka tersebut, karena aku 
tahu pusaka itu nantinya akan menjadi 
sumber malapetaka bagi kehidupan di muka 
bumi. Aku khawatir jika patung itu jatuh 
ke tanganmu. Jelas aku tak akan bisa 
melawanmu karena aku tahu kau anak Dewa 
Batara Kama."  
"Dari siapa kau tahu?" 
"Teropong batinku menyelusuri sejarah 
masa lalumu. Tapi...," Pak  Tua alias si 
Layang Petir itu memandang makam yang 
jebol. Lalu ia berkata lagi dengan pelan, 
"Tapi aku sendiri terlambat. Patung 
itu sudah ada yang mengambilnya pada saat 
aku tiba di sini tadi malam. Aku tak tahu 
siapa yang mengambil patung itu. Aku 
sedang mencarinya dan ingin menghancur-
kannya. Namun melihat Hantu Congkak mati 
dengan cara begini, aku yakin dia dibunuh 
dari jarak jauh dengan cara menusukkan 
benda tajam apa saja ke bagian jantung 
Patung Iblis Banci itu." 
"Sejauh mana ia bisa lakukan hal 
itu?" 
"Bisa sangat jauh, bisa juga berada 
di sekitar sini, di tempat yang 
tersembunyi," jawab Pak Tua dengan wajah 
cemas memandangi keadaan sekitarnya. 
"Lalu bagaimana dengan makam di bawah 
pohon beringin merah itu?" tanya Pendekar 
Romantis. 
"Itu makam palsu. Sengaja kubuat 
demikian supaya orang terkecoh dan 
menyangka makam itu makam guruku. 
Kulakukan begitu karena aku sadar bahwa 
waktu itu aku telanjur mengumbar omongan 
tentang wasiat guru kepada beberapa 
orang. Untuk mencegah hal-hal seperti 
ini, maka kubuat makam palsu di bawah 
sana. Namun toh masih ada yang bisa 
membedakan mana makam asli dan mana yang 
palsu. Buktinya seseorang telah 
menduluiku mengambil Patung Iblis Banci 
yang keluar dari dalam makam itu tadi 
malam!" 
"Kita cari bersama kalau memang 
tujuanmu mau hancurkan patung pembawa 
malapetaka itu, Pak Tua! Aku pun 
sependapat denganmu." 
Pak Tua baru saja mau bicara, tiba-
tiba tubuhnya tersentak mundur dua 
langkah dengan dada tergores dan 
berdarah. Pandu Puber terkejut sekali 
melihat hal itu. Pak  Tua sendiri kaget 
dan menjadi tegang. Namun ia masih mampu 
berdiri dan berkata dengan napas tertahan 
berat. 
"Kali ini orang yang mengambil patung 
itu menyerangku, Pandu!" 
"Celaka!" Pandu Puber bingung 
mengatasi hal itu. Ia hanya bisa menengok 
ke sana-sini dengan tegang. 
"Hati-hati, mungkin kau pun akan 
diserangnya dengan cara seperti yang 
kualami. Kurasa, uuhhg...!" Pak Tua 
mendelik, ulu hatinya tiba-tiba berlubang 
dan mengucurkan darah segar. 
"Pak Tua...?!" seru Pandu segera 
menangkap tubuh yang limbung ke belakang 
dan mau tumbang itu. 
"Di... dia... membunuhku, Pandu...." 
"Jangan takut, Pak Tua! Aku di 
pihakmu!" kata Pendekar Romantis, 
kemudian segera membaringkan tubuh Pak 
Tua di tanah. 
Jurus 'Hawa Bening' digunakan Pandu 
Puber untuk mengobati luka Pak Tua. Jari 
tengah diacungkan menunjuk ke arah perut 
Pak Tua. Dari ujung jari tengah itu 
keluar sinar bening seperti kaca. 
Slapp...! Sinar bening itu menghantam 
perut Pak Tua dan tiada terputus 
cahayanya untuk sementara waktu. Setelah 
sesaat tubuh itu menerima sinar putih 
bening, maka sinar tersebut pun padam dan 
jari tengah Pandu dilemaskan kembali. 
Hanya para dewa yang mempunyai sistem 
pengobatan seperti itu tanpa harus 
mengalami operas atau menjahit  luka. 
Kehebatan jurus 'Hawa Bening' adalah 
dapat mengeringkan luka dengan cepat dan 
menyembuhkan seseorang dalam waktu 
singkat. Terbukti setelah sekitar lima 
helaan napas, luka di dada dan dl ulu 
hati Pak Tua itu mengatup sendiri, bukan 
saja mengering melainkan pulih seperti 
sediakala. Pak Tua sendiri tidak 
merasakan sakit, dan napasnya longgar 
kembali. Merasa badannya sehat, Pak Tua 
segera bangkit dan memandang Pandu Puber 
dengan heran bercampur kagum. 
Di luar dugaan, Pak Tua segera 
berlutut dan menundukkan kepala, sedikit 
membungkuk, sebagai tanda memberi hormat 
kepada Pendekar Romantis. Mungkin juga 
sebagai ucapan terima kasih atas nyawanya 
yang telah diselamatkan oleh Pandu Puber. 
Tapi si pemuda tampan beranting satu itu 
menjadi risi dan segera menyuruh Pak Tua 
untuk bangkit berdiri.  
"Jangan bersikap seperti itu di 
depanku, Pak Tua. Aku jadi malu sendiri 
menerima hormatmu." 
"Hanya tangan dewa yang bisa 
selamatkan nyawaku dalam keadaan seperti 
tadi, Nak Mas Pandu Puber!" 
"Pak Tua, lupakan kejadian tadi. 
Sekarang coba cari dengan teropong 
batinmu di mana pemilik Patung Iblis 
Banci itu bersembunyi. Kita kejar dia dan 
kita  hancurkan patung pembawa bencana 
itu, Pak Tua." 
"Sudah kucoba beberapa kali tapi 
selalu gagal menembus teropong batin 
orang tersebut. Mungkin karena ia 
memegang Patung Iblis Banci yang 
mempunyai kekuatan sakti maha tinggi itu, 
sehingga sulit ditembus oleh teropong 
batin siapa pun." 
Sumo Banjir keluar dari 
persembunyiannya sejak tadi. Wajah 
polosnya tampak masih diliputi perasaan 
takut.  Ia mendekati Pandu Puber dan 
berkata, "Kang, aku pulang saja, ya? Aku 
takut!" 
"Hari sudah hampir sore. Apakah kau 
berani pulang sendiri?" 
"Berani, Kang. Pokoknya asal jangan 
ketemu orang berpakaian hitam dengan 
rambut  dikuncir. Aku takut kalau lihat 
orang itu, Kang." 
"Mengapa takut?" 
"Soalnya tadi malam aku lihat dia 
lari di kaki bukit ini dan bertarung 
dengan lawannya. Tapi lawannya tahu-tahu 
mati sendiri. Padahal orang berkuncir itu 
hanya memasukkan pisau kecil pada boneka 
yang dibawanya. Dia sakti sekali, Kang." 
"Tunggu, tunggu...!" kata Pak Tua. 
"Boneka kecil seperti apa?! Kau  melihat 
sendiri boneka itu?". 
"Ya, tapi  tak jelas sekali karena 
cahaya rembulan tidak terlalu terang. 
Boneka  itu sepertinya dari karet, Pak 
Tua." 
"Pantas! Itulah yang dinamakan Patung 
Iblis Genit, eh... Patung Iblis Banci," 
kata Pak Tua saking gugupnya. "Patung itu 
memang seperti karet, tapi menurut 
penjelasan guruku; Iblis Banci sendiri, 
patung tersebut sebenarnya terbuat dari 
gumpalan  daging dan urat-urat tubuhnya 
yang mengkerut selama sekian tahun di 
dalam  liang kubur. Karenanya mudah 
ditusuk dengan jarum, mudah digores 
dengan benda tajam apa pun. Digores pakai 
kuku pun bisa!" 
Pandu Puber termenung menyimak kata-
kata tersebut, lalu ia mengingat kembali 
kata-kata Sumo Banjir dan segera 
menggumam, 
"Orang pakaian hitam? Rambutnya 
dikuncir?" 
Sumo Banjir berkata, "Dia mengenakan 
baju lengan panjang warna putih, Kang. 
Tapi dirangkap baju seperti rompi atau 
jubah tanpa lengan warna hitam. Matanya 
kecil dan...." 
"Shoguwara!" sahut Pak Tua itu dengan 
tegas dan cepat. 
Pendekar Romantis manggut-manggut, ia 
pun berpendapat begitu. Shoguwara adalah 
orang berkuncir, berpakaian  hitam dengan 
baju lengan panjang putih, matanya kecil 
dan jidatnya lebar karena rambutnya 
dikebelakangkan semua. 
"Siapa anak ini sebenarnya?" tanya 
Pak Tua kepada Pandu sambil menuding Sumo 
Banjir. Pandu menceritakan siapa Sumo 
Banjir secara singkat. Lalu, Pak Tua 
bertanya kepada Sumo Banjir, 
"Bagaimana kau bisa lihat orang itu 
sedangkan kau dalam keadaan jauh 
darinya?" 
"Tidak terlalu jauh, Pak Tua. Aku 
sembunyi di atas pohon, karena mencari 
tempat untuk tidur. Aku melihat 
pertarungan orang itu dengan musuhnya 
tepat di bawah pohon yang kugunakan untuk 
tidur itu."  
"Mengapa kau ingin tidur di atas 
pohon?" 
"Habis, aku cari-cari Kang Pandu 
nggak ketemu. Aku kemalaman. Kalau aku 
pulang, takut dicegat macan di jalan. 
Lebih baik aku diam di suatu tempat yang 
aman. Esoknya baru pulang ke rumah, tapi 
di jalanan kepergok rombongan Raga Paksa 
yang akhirnya membuatku dikejar-
kejarnya," tutur Sumo Banjir dengan lugu, 
tidak tampak dibuat-buat. 
"Di mana kau melihat orang itu 
bertarung?" tanya Pandu ingin menyelidik 
pula. Sumo Banjir menjawab dengan polos, 
"Di sebelah utara sana, Kang. Kurasa 
mayat musuhnya orang itu masih tergeletak 
di sana!" 
"Pak Tua, aku akan memeriksa mayat 
itu!" 
"Aku ikut denganmu, siapa tahu aku 
bisa mengenali mayat itu!" 
Tanpa rasa ragu sedikit pun, Sumo 
Banjir akhirnya membawa kedua tokoh sakti 
itu ke arah kaki bukit sebelah utara. 
Setibanya di sana, ternyata apa yang 
dikatakan Sumo Banjir memang benar. Ada 
dua mayat yang terkapar berjauhan dari 
pohon yang dipakai bermalam Sumo Banjir. 
Kedua mayat itu dikenali oleh  Pak Tua 
sebagai tokoh berusia tanggung, sekitar 
lima puluh tahunan. Kedua mayat itu 
dikenal dengan nama: Arwana Raja dan Pola 
Kosa, utusan dari Pulau Madagasruk. 
Melihat luka keduanya tepat di bagian 
jantung,  dapat diduga lawan mereka 
menggunakan senjata tajam yang runcing 
untuk menusuk jantungnya, karena tak 
terlihat ada tanda-tanda perlawanan pada 
diri si korban. 
"Pandu...," tiba-tiba Pak Tua berkata 
pelan, "Cepat berlindung. Aku merasakan 
ada seseorang yang ingin melintasi daerah 
ini!" 
Pandu Puber tidak sangsi dengan 
ketajaman indera keenam Pak Tua, sebab 
kala ia dan Dardanila bersembunyi di gua 
saja Pak Tua bisa mengetahuinya. Maka 
dengan membawa tubuh Sumo Banjir, Pandu 
Puber melesat naik bagaikan terbang ke 
atas dan hinggap di salah satu dahan 
pohon tinggi. Sumo Banjir sempat 
gelagapan dan terengah-engah setelah diam 
di atas pohon. Jantungnya bagaikan 
tertinggal di bawah sana. Sementara itu, 
Pak Tua pun segera menyusul Pandu Puber, 
ia hinggap di dahan seberang Pandu. 
Setelah sesaat mata mereka saling 
memandang dengan awas, keduanya sama-sama 
menangkap gerakan hitam yang melintas 
cepat di sebelah timur mereka. Gerakan 
itu  amat cepat, jika Pandu dan Pak Tua 
bukan orang berilmu tinggi, mereka tak 
dapat melihat gerakan secepat itu. 
"Kutahan dia!" ucap Pak  Tua yang 
segera melesat pergi bagaikan angin badai 
menerobos dedaunan pohon. Wresss...! 
Pandu Puber segera menyusul setelah 
berkata kepada Sumo Banjir, 
"Kau tetaplah di sini. Jangan ke 
mana-mana. Nanti aku kembali menurun-
kanmu. Pegangan dahan yang kuat!" Dan 
bocah itu hanya mengangguk-angguk dengan 
patuh walau wajahnya tampak menentang 
rencana itu karena rasa takutnya. 
Zlappp...! Pandu Puber pun melesat 
dengan cepat, bahkan tanpa timbulkan 
suara gemerisik walau ia menembus 
dedaunan pohon. Sumo Banjir terbelalak 
dan berkedip-kedip kebingungan. 
Orang yang dihadang Pak Tua itu 
ternyata adalah Shoguwara, mantan 
Pendekar Samurai Cabul dari tanah Sakura. 
Shoguwafa sempat terperanjat  melihat 
Layang Petir masih hidup. Ini menandakan 
memang dialah yang tadi membunuh Layang 
Petir menggunakan kekuatan Patung Iblis 
Banci. 
"Kau masih Ingat aku, Shoguwara?" 
"Layang Petir, wajahmu memang selalu 
kuingat karena kau pernah lukai aku 
sebelum aku memegang samurai cabul dulu. 
Tapi sekarang walaupun tanpa samurai 
cabul, aku tetap akan siksa dirimu dengan 
patung pusaka ini!" 
Wett...! Patung Iblis Banci 
dikeluarkan dari balik jubah hitamnya. 
Patung  itu berukuran kecil, panjangnya 
satu jengkal lebih sedikit, berwarna 
hitam, membentuk wajah dan potongan tubuh 
Iblis Banci. Pak Tua tahu persis, itu 
adalah patung mantan gurunya. Namun 
karena ia sudah bukan lagi masuk dalam 
aliran sesat, hanya masih suka nakal 
secara kecil-kecilan, maka timbullah 
nafsunya untuk menghancurkan patung itu. 
"Kau tak akan bisa ke mana-mana jika 
aku sudah memegang patung ini, Layang 
Petir! Saatnya mati untukmu telah tiba!"    
Sett...!  
Shoguwara mengambil pisau kecil 
berujung  runcing. Pisau yang biasanya 
digunakan untuk senjata rahasia itu 
tergenggam di  tangan kanannya, sedangkan 
patung itu digenggam tangan kiri. Pak Tua 
diam saja. Ia tak mau bergerak dengan 
bodoh. Karena sedikit meleset perhitungan 
gerakannya,  ia akan mati  seketika itu 
juga kalau pisau kecil itu dihujamkan ke 
dada patung. 
"Jika kau benar-benar Jantan, 
hadapilah aku dengan tangan kosong, 
Shoguwara!" pancing Pak Tua. 
Shoguwara yang rambutnya dikuncir 
tinggi itu menyeringai. "Bodoh amat kalau 
aku tak memanfaatkan patung gurumu ini! 
Susah payah kudapatkan saat ia melompat 
dari dalam makam, kenapa harus kusia-
siakan! Terimalah kematianmu sekarang 
juga, Layang Petir! Heaaah...!" 
Clappp...! Sinar merah melesat lebih 
dulu dari mata kiri Pak Tua. Sinar itu 
menghantam tangan kiri Shoguwara.  
Dess...! 
"Auuhh...!" Shoguwara terpekik. 
Tangannya tersentak ke atas karena 
menjadi hangus seketika. Patung itu 
terlempar terbang. Dan tiba-tiba ada 
sinar putih perak yang menghantam patung 
itu dengan tepat. 
Blegarrr...!  
Sinar putih perak itu tak lain adalah 
jurus  'Inti Dewa' yang melesat dari 
telapak tangan Pandu Puber. Sinar itulah 
yang menghancurkan Patung Iblis Banci 
hingga menjadi berkeping-keping dan 
ledakannya mengguncang bumi cukup kuat. 
"Pak Tua, minggir! Biar kulayani 
dia!" teriak Pandu Puber yang segera 
melompat menerjang Shoguwara. 
Pandu Puber sempat nyaris  tergores 
pisau kecil di tangan kanan Shoguwara. 
Untung kakinya cepat ditarik tak jadi 
menendang. Tapi kejap berikutnya kaki 
kiri Pandu berkelebat memutar dan tepat 
kenai wajah Shoguwara.  
Plokk...! Tentu saja Shoguwara 
terpental mundur beberapa langkah, tapi 
dikejar terus oleh  Pandu Puber dengan 
tendangan berputar hampir tujuh kali 
berturut-turut. 
Plok, plok, plok, plok...! 
Tendangan cepat yang tak bisa 
ditangkis itu di-namakan jurus 'Tendangan 
Topan'. Kekuatan tenaga dalam yang 
terpancar pada kaki membuat  wajah 
Shoguwara jadi babak belur, bengkak, dan 
membiru.  Ia tak bisa berkutik lagi, 
sehingga terpaksa harus melarikan diri 
sebelum kepalanya menjadi pecah oleh 
tendangan mirip baling-baling. 
"Patung itu hancur, Pak Tua!" kata 
Pandu setelah Shoguwara tak terlihat 
lagi. Pak Tua hanya manggut-manggut 
dengan senyum kecil. Kemudian punggung 
Pandu ditepuk-tepuknya. 
"Terima kasih. Ternyata kau telah 
selamatkan sekian banyak manusia yang 
akan menjadi korban jika patung itu ada 
di tangan Shoguwara. Kau memang layak 
menyandang gelar pendekar, Pandu!" 
"Berkat keberanianmu melepaskan 
serangan ke tangan pemegang patung tadi, 
akhirnya aku dapat hancurkan benda 
tersebut. Jadi keberhasilan ini bukan 
milikku saja, Pak Tua. Kau juga punya 
andil dalam menghancurkan patung mantan 
gurumu itu!" 
Pak Tua manggut-manggut dengan senyum 
tipisnya. "Kalau aku dulu sudah sesadar 
ini, mungkin aku tak mau menjadi murid 
orang sesesat dia! Tapi, biarlah masa 
lalu itu terkubur dalam. Yang penting aku 
sudah merasa lega, patung penyebar 
bencana itu sudah hancur!" 
"Lalu  bagaimana dengan mereka yang 
menunggu di makam palsu itu?" 
"Akan kubongkar makam itu biar mereka 
tahu bahwa makam itu palsu dan patung 
yang mereka cari sudah kau hancurkan!" 
Maka, bergegaslah mereka berdua 
menuju kuburan  di  bawah beringin merah 
itu. Pak Tua menghentikan pertarungan 
yang terjadi di sana. Ternyata jumlah 
tokoh tua yang ingin memperebutkan patung 
itu lebih banyak lagi dari jumlah saat 
ditinggalkan Pandu. Sementara itu, 

Dardanila segera turun menghampiri Pandu 
dan berbisik, 
"Terlalu lama kau pergi dariku. Aku 
kasmaran lagi, Pandu... " 
"Uuuh... kamu ini tahunya cuma 
kasmaran melulu! Ayo deh!" 
"Kita ke gua yang tadi malam, Pandu?" 
"Kita menjemput Sumo Banjir. Ia 
tertinggal di atas pohon!" jawab Pandu 
Puber dengan sedikit gondok hati  
SELESAI

Page  1    2    3    4 

Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com