TUJUH
KUBURAN yang dimaksud Sumo Banjir itu
memang ada. Jadi anak itu nggak bohong.
Cuma keadaan kuburan itu sudah nggak
beres lagi. Sudah jebol bagian atasnya.
Sepertinya ada tenaga kuat yang mendobrak
dari dalam kuburan menuju ke atas.
Tanahnya berhamburan ke mana-mana. Dan
tanah itu bukan coklat seperti tanah
sekelilingnya, melainkan berwarna hitam
hangus. Sepertinya habis terbakar.
Pendekar Romantis dan Sumo Banjir
terbengong di tempat. Mata mereka
memandangi makam yang telah rusak itu.
Sesaat kemudian Sumo Banjir berkata
dengan nada penuh sesal,
"Sumpah, Kang!"
Pandu Puber melirik bocah itu.
"Sumpah bagaimana maksudmu?"
"Sumpah, waktu aku dan Bocang ada di
sini, kuburan ini belum rusak. Nggak
seperti ini kok, Kang. Masih utuh, nggak
berlubang begitu. Hanya kotor oleh
dedaunan kering saja. Sumpah kok, Kang.
Aku tidak bermaksud menipumu."
Punggung bocah itu ditepuk-tepuk oleh
Pandu Puber yang menarik napas dalam-
dalam.
"Aku nggak bilang kamu nipu aku. Aku
tahu kamu sendiri kaget melihat makam itu
rusak. Pasti ada sesuatu yang terjadi di
makam ini. Mungkin kemarin malam, mungkin
tadi pagi atau entah kapan. Bau hangus
masih tercium di sini, berarti makam ini
jebol dalam waktu belum lama. Agaknya
kita terlambat, Sumo Banjir."
Tempat yang sepi itu tiba-tiba
dipecahkan dengan suara gemerisik
dedaunan semak diinjak kaki orang. Pandu
Puber segera palingkan wajah ke belakang.
Ternyata seraut wajah bengis berkumis
tipis muncul dari semak ilalang.
"Raga Paksa, Kang!" sentak Sumo
Banjir dengan nada kaget dan menjadi
tegang. Anak itu segera merapatkan diri
kepada Pandu.
"Cari tempat berlindung!" bisik Pandu
kepada Sumo Banjir, dan anak itu tiba-
tiba lari di balik bebatuan seberang
makam. Pandu Puber masih berdiri tegak
dan tenang memandangi kehadiran Raga Pak-
sa yang tampak sendirian itu, tapi Pandu
yakin orang tersebut tidak datang
sendirian. Karena menurut keterangan Sumo
Banjir tadi, Raga Paksa membawa sejumlah
orang untuk mengejar-ngejar Sumo Banjir.
"Dugaanku benar," kata Raga Paksa
setelah berhenti di depan Pandu dalam
jarak lima langkah.
"Apa maksudmu, Raga Paksa?!" tegas
Pandu dalam bertanya.
"Anak itu pasti hanya akan
menunjukkan makam Patung Iblis Banci
kepadamu. Aku terpaksa menguntitnya agar
bisa mengetahui ke mana anak itu
membawamu. Ternyata di sini. Dan..., ten-
tunya patung itu sudah ada di tanganmu,
bukan?!"
"Bukan!" jawab Pandu tenang dan
singkat saja.
Raga Paksa melirik ke arah makam yang
sudah jebol itu. Senyumnya membias sinis.
"Makam itu telah rusak, pasti kau
telah membongkarnya dan mengambil Patung
Iblis Banci. Jangan berlagak polos, Bocah
edan! Kali ini aku tidak mau main-main
denganmu. Serahkan saja patung itu atau
aku terpaksa menyerahkan nyawamu pada
dedemit penunggu bukit ini? Pilih salah
satu, coret yang tidak perlu! Lingkarilah
huruf 'B' jika benar dan huruf 'S' jika
salah." Raga Paksa mau bercanda untuk
tunjukkan kemenangan dugaannya, tapi
candanya nggak lucu jadi nggak
ditertawakan oleh Pandu Puber.
"Salah besar kalau kau mengira patung
itu ada di tanganku!"
"Jadi maksudmu aku harus merebut
dengan kekerasan? Baik!"
Pandu Puber gelengkan kepala. Tapi
lawannya segera bersuit satu kali. Suitan
itu membuat beberapa sosok tubuh
bermunculan dalam posisi mengepung Pandu
Puber. Mereka adalah orang-orangnya Raga
Paksa yang sudah berada dalam dugaan
Pandu Puber, karenanya Pendekar Romantis
tidak merasa heran melihat kemunculan
mereka. Di depan Raga Paksa, Pandu masih
tampak tenang tanpa kaget sedikit pun.
Senyum tipis Pandu justru mekar
bernada geli. "Kau benar-benar manusia
tukang ngotot, tukang paksa, dan tukang
kompas! Sudah dibilangin kalau aku nggak
bawa patung itu kok masih nekat mau paksa
aku? Konyol juga lu!"
"Apa katamu-terserah deh! Yang jelas
kalau aku punya firasat nggak pernah
meleset. Patung itu pasti sudah ada di
tanganmu. Mungkin kau sembunyikan di
balik bajumu itu!"
"Kau bukan ahli nujum, Raga Paksa!
Firasatmu kujamin tak akan pernah benar
seumur hidupmu. Sebaiknya temui saja
gurumu; si Malaikat Bisu di bawah sana.
Ia sedang terlibat urusan dengan Nyai Pe-
rawan Busik dan beberapa tokoh tua
lainnya, termasuk Sapu Nyawa."
"Biarkan saja dia punya urusan itu.
Urusanku berbeda lagi. Kalau patung itu
sudah kudapatkan, maka Malaikat Bisu
tidak akan menjadi ketua lagi, tapi
akulah yang menggantikannya dan ia harus
tunduk kepadaku!"
"O, jadi ceritanya kau murid yang
murtad, begitu?"
"Persetan dengan anggapan dan
penilaianmu. Yang jelas, serahkan patung
itu sekarang juga sebelum kesabaranku
habis!" bentak Raga Paksa dan Pandu Puber
menjawab dengan tegas,
"Aku tidak punya patung! Kalau kau
mau, ambillah di candi sana. Patungnya
lebih besar dari dirimu!"
"Setan! Dianggap aku main-main, ya?"
geram Raga Paksa, lalu memerintahkan anak
buahnya, "Geledah dia! Telanjangi pakai
golok kalian! Serang...!!"
Tujuh anak buah Raga Paksa menyerang
Pandu secara bersamaan dari berbagai
arah. Pandu Puber segera hentakkan
kakinya ke tanah tiga kali, dan ketujuh
orang tersebut terlempar ke atas secara
susul menyusul. Tubuh mereka mental
tinggi bahkan ada yang mendarat di dahan
pohon alias tersangkut di sana. Pandu
Puber gunakan jurus 'Sentak Bumi' yang
hanya bisa dilawan jika orang itu berilmu
tinggi. Namun bagi orang yang ilmunya
pas-pasan, maka tubuhnya akan terlempar
tak beraturan karena daya hentak
gelombang tenaga dalam yang disalurkan
melalui tanah tempatnya berpijak.
"Ahh, uhuhg, eehg.... Auuh, wadow,
alamak...." Macam-macam suara mereka yang
terhempas kembali ke bumi bagaikan
dibanting dengan tenaga besar. Malahan
ada yang mengerang panjang karena tulang
lehernya terkilir dan tak bisa mendongak
lagi kecuali hanya menunduk terus.
Srett...! Raga Paksa cabut goloknya.
Ia tak bisa tinggal diam melihat anak
buahnya saling terlempar bagaikan boneka
yang sedang dibuat mainan Pandu Puber.
Dengan suara geram ia berkata ganas,
"Kutebus kekalahan ini dengan
membelah dadamu, Bangsat! Heat!"
Wwuttt...! Raga Paksa melompat,
hendak menerjang Pandu Puber.
Dengan gerakan cepat dan bertubi-
tubi, Pendekar Romantis sentakkan kedua
tangannya dalam keadaan jari-jari merapat
lurus. Tangan itu bagaikan menyodok ke
depan berkali-kali. Tapi sebenarnya dari
gerakan menyodok itulah keluar tenaga
dalam besar yang menghantam tubuh
lawannya lebih dari enam kali.
Deb, deb, deb, deb…!
"Uhg, uhg, hieehh...! Ohgg...!" Raga
Paksa terdorong ke belakang, tak bisa
maju menembus kekuatan gelombang tenaga
dalam yang terpancar lepas melalui ujung-
ujung kedua tangan Pandu Puber. Tenaga
dalam tanpa sinar yang akhirnya membuat
mental Raga Paksa sampai berjungkir balik
itu dinamakan Pandu sebagai jurus "Salam
Sayang'. Saat itu Pandu membatin dalam
hatinya,
"Kenapa tiba-tiba aku pergunakan
gerakan seperti ini? Hmm..., pasti ini
sisa gerakan jurus Ayah. Kunamakan jurus
'Salam Sayang' saja deh. Habis gerakannya
mirip orang mau salaman sih."
Jurus milik ayahnya yang tersisa pada
diri Pandu itu ternyata bukan saja
membuat Raga Paksa terpental jungkir
balik, tapi setiap tubuh yang terkena
sentakan gelombang tenaga dalam dari
jurus 'Salam Sayang' itu membekas biru
kehitam-hitaman. Tak peduli yang mengenai
dada atau yang cuma mengenai lengan,
semuanya membekas biru legam. Dan
dirasakan oleh Raga Paksa seperti sedang
diremuk atau dipatah-patahkan tulang dan
ototnya. Untuk bangkit kembali terasa
sulit, sehingga dua anak buahnya terpaksa
menolong.
"Kita cabut aja! Cabut.,.!" terdengar
Raga Paksa berkata kepada anak buahnya,
lalu yang sedang menolongnya bangkit itu
berseru kepada yang lain, "Hoi, kita
cabut!"
Pandu Puber geleng-geleng kepala
sambil hembuskan napas lega. Ia biarkan
rombongan Raga Paksa pergi dari tempat
itu. Sumo Banjir yang ada di balik
bebatuan segera keluar hampiri Pandu Pu-
ber. Tapi langkahnya terhenti dan ia
kembali bersembunyi, karena matanya
melihat sekelebat orang yang muncul dari
sisi lain. Orang itu muncul dengan kalem
sambil bertepuk tangan ogah-ogahan,
kesannya mengejek perlawanan Pandu
terhadap Raga Paksa tadi. Tentunya orang
tersebut sempat memperhatikan jurus
'Salam Sayang'-nya Pandu yang baru
pertama kali digunakan di situ tadi.
Mata si pemuda bertato bunga mawar di
dadanya itu mulai terkesiap curiga
memandang kemunculan orang tersebut. Ia
biarkan orang itu datang mendekatinya dan
berhenti di depannya dalam jarak sekitar
dua tombak.
"Apa maksudmu menemuiku di sini,
Hantu Congkak?" tanya Pandu dengan kalem.
Ia tahu tokoh tua yang kurus, kempot, dan
sedikit bungkuk itu adalah Hantu Congkak,
gurunya Awan Sari. Kali ini Hantu Congkak
tampil tanpa tongkat. Jelas bukan karena
menuntut kematian Sikat Neraka, adik
seperguruannya yang tewas di tangan Pandu
saat Pandu belum mendapat gelar pendekar.
Tapi tentunya kedatangan Hantu Congkak
punya hubungan erat dengan Patung Iblis
Banci.
"Aku tertarik dengan jurus mainanmu
tadi, Fandu Fuber. Fantas kalau muridku
si Awan Sari kalah melawanmu," kata Hantu
Congkak yang tak bisa menyebut huruf 'P',
diganti dengan huruf 'F'. Sambungnya lagi
dengan sikap acuh tak acuh,
"Aku layak menuntut kematian adik
ferguruanku itu, juga membalaskan
kekalahan muridku. Tafi, kalau fatung itu
kau serahkan fadaku, maka segala dosamu
kuhafuskan dan jika ferlu kau kuangkat
sebagai muridku, Fandu Fuber."
"Mengapa kau menyangka aku yang
memiliki fatung itu?" tanya Pandu Puber
ikut-ikutan tak menggunakan huruf 'P'
dalam ucapannya.
"Karena aku yakin kau baru saja
membongkar makam si Iblis Banci itu dan
mengambil fatungnya. Kalau tidak begitu,
Raga Faksa tidak akan ngotot dan nekat
melawanmu. Aku sendiri hamfir terkecoh
dengan menunggui makam yang ada di bawah
fohon beringin merah itu. Ternyata makam
itu makam falsu. He, he, he, he...! Sudah
tua kok ya masih ada yang menifu.
Kebangetan sekali orang yang fasang makam
falsu itu...," Hantu Congkak geleng-
gelengkan kepala, geli sendiri.
"Hantu Congkak, aku tidak mempunyai
patung itu. Aku belum mengambil patung
tersebut dan bukan orang yang membongkar
makam Itu. Jika kau ngotot seperti Raga
Paksa, maka aku akan pergunakan cara
seperti tadi. Kumohon jangan membuat
perkara denganku, Hantu Congkak. Apalagi
perkara kesalahpahaman, itu akan membuat
kita sama-sama menyesal nantinya."
Dengan serius Hantu Congkak berkata,
"Tutuf mulutmu. Jangan mengguruiku, Anak
kambing! Aku harus cepat-cepat bawa itu
fatung, dan kalau tidak, kau akan mati di
tanganku! Faham?!"
"Yang tidak kupahami adalah
kebodohanmu, Hantu Congkak. Sudah
dibilangin nggak ada patung kok masih
ngotot aja?!"
"Oke, kalau gitu kamu orang mau
rasakan aku funya jurus baru yang bisa
bikin kamu funya kepala fecah mendadak!
Terimalah 'Sumber Geledek'-ku ini, Fandu!
Hiaaat...!"
Sebelum Hantu Congkak bergerak,
sekelebat bayangan menyambar tubuhnya
dengan gerakan menyerupai badai.
Wuuttt...! Brukkk...! Hantu Congkak
terpental dan jatuh tanpa posisi yang
enak. Caciannya terlontar di sela rasa
sakitnya.
"Monyet kuraf!"
Pandu Puber terkesiap melihat sesosok
tubuh tua berjubah biru lusuh dengan
pakaian dalam putih lusuh pula. Kakek
berambut putih panjang sepunggung diikat
ke belakang dengan tali dari akar itu
berdiri menatap Hantu Congkak dengan
tajam. Keduanya tampak sama tua, hanya
bedanya kakek bersenjata seruling India
itu masih tampak tegap dan tegar
ketimbang si Hantu Congkak.
"Pak Tua...?" sapa Pandu Puber kepada
si kakek yang pernah membuatnya jadi
bergairah sekali kepada Dardanila itu.
"Mengapa kau menyerang Hantu Congkak, Pak
Tua? Apakah dia lawan masa lalumu?"
Pak Tua itu diam saja, seakan tidak
menggubris pertanyaan Pandu Puber. Ia
lebih tertarik dengan reaksi Hantu
Congkak yang sedang berdiri sambil
memandanginya dengan tajam, seakan penuh
dendam. Hantu Congkak menggeram dalam
kemarahan yang tertahan.
"Bangsat kau, Layang Fetir!
Kubinasakan ragamu sekalian jika kau mau
membela si bocah babi itu, Layang Fetir!"
Pandu Puber terkejut, matanya sempat
terbelalak menegang.
"O, rupanya Pak Tua itulah yang
bernama Layang Petir itu?! Sial! Pantas
dia tahu banyak tentang Iblis Banci,
karena ternyata dia adalah muridnya Iblis
Banci yang bernama Layang Petir itu?!"
Batin Pandu Puber berucap antara
kagum dan jengkel karena merasa terkecoh
dengan pengakuan Pak Tua di dalam gua.
Pandu mempunyai pikiran lain setelah
mengetahui bahwa Pak Tua itu adalah La-
yang Petir. Menurut Pandu, keterangan Pak
Tua mengenai Patung Iblis Banci hanya
sebagai isapan jempol belaka itu memang
benar. Sebab Pak Tua pasti tahu persis
tentang ada atau tidaknya patung itu.
Namun untuk sementara, Pandu belum mau
membicarakaan hal itu, ia masih tertarik
memperhatikan ketegangan dua tokoh tua
itu.
"Kusarankan pergi dari sini dan
jangan mengharapkan pusaka Patung Iblis
Banci lagi, Hantu Congkak!"
"Seferti katamu dulu, Layang Fetir...
siafa saja boleh memiliki fusaka Fatung
Iblis Banci asal dia bisa menangkafnya
saat fatung itu keluar dari dalam makam
gurumu. Tafi ternyata makam itu sudah
jebol, fasti sudah kau bongkar dan kau
ambil sendiri fatung di dalamnya,
bukan?!"
"Terserah apa katamu, Hantu Congkak,
yang jelas...."
"Uhhg...!" Hantu Congkak terbungkuk
seketika, membuat ucapan Pak Tua itu
terhenti dan memandang dengan heran.
Hantu Congkak mendekap dadanya kirinya.
"Sandiwara apa lagi yang dimainkan
Hantu Congkak itu?" pikir Pandu Puber
tetap tenang memperhatikan dengan tangan
bersidekap di dada. Senyumnya membias
tipis menertawakan gaya Hantu Congkak
yang dianggapnya berpura-pura itu.
Tapi ketika Hantu Congkak tampak
dongakkan wajah, matanya terbeliak,
mulutnya ternganga tanpa suara, Pandu
Puber mulai menganggap hal itu sangat
serius. Wajah pucat si Hantu Congkak
bukan pura-pura. Gerakan jatuhnya yang
terjengkang dengan tetap mendekap dada
kirinya membuat Pandu akhirnya mendekati
dan bingung sendiri. Pak Tua pun bingung,
namun tidak seperti bingungnya Pandu.
Bingungnya Pak Tua dengan cara memandang
ke sekeliling tempat itu dalam keadaan
tegang.
"Pak Tua...! Hantu Congkak mati, Pak
Tua...!" seru Pandu dalam ketegangan
karena rasa herannya.
Pak Tua segera memeriksa keadaan
Hantu Congkak, ternyata memang sudah
tidak bernapas lagi. Tapi di bagian dada
kirinya tampak lubang luka tusukan benda
tajam yang mengucurkan darah.
"Jantungnya pecah!" gumam Pak Tua,
lalu cepat-cepat berdiri. Matanya
memandang Pandu Puber yang masih tegang
dan terheran-heran.
"Seseorang telah pergunakan patung
itu untuk membunuh Hantu Congkak!"
ucapnya pelan tapi pasti.
"Bukankah kau bilang patung itu hanya
isapan jempol belaka?"
"Aku berbohong padamu," kata Pak Tua
dengan sedikit nada sesal terdengar di
sela ketegasannya. "Malam itu sebenarnya
malam kemunculan Patung Iblis Banci.
Tidak tepat pada malam purnama seperti
yang pernah kugembar-gemborkan kepada
mereka dalam keadaan aku sedang mabuk.
Jujur saja, memang akulah Layang Petir,
murid Iblis Banci yang belum tuntas
selesaikan pelajaran darinya. Ketika Guru
meninggal dia berpesan tentang patung
pusaka yang akan muncul dua malam sebelum
purnama. Dalam patokan ingatanku patung
itu akan muncul pada malam purnama. Soal
dua malam sebelumnya tidak pernah
kukabarkan kepada siapa pun, karena aku
sendiri sempat lupa tentang 'dua malam'
tersebut. Aku baru ingat beberapa hari
yang lalu, karenanya aku datang ke Bukit
Jengkai Demit ini."
"Untuk mencari Shoguwara?" Pak Tua
gelengkan kepala. "Aku tak punya
persoafan dengan Shoguwara. Aku hanya
membohongimu. Aku sengaja menahanmu di
gua itu agar kau tak muncul di makam ini
pada malam itu."
"Mengapa harus kau lakukan itu, Pak
Tua?"
"Tujuanku sebenarnya hanya ingin
hancurkan pusaka tersebut, karena aku
tahu pusaka itu nantinya akan menjadi
sumber malapetaka bagi kehidupan di muka
bumi. Aku khawatir jika patung itu jatuh
ke tanganmu. Jelas aku tak akan bisa
melawanmu karena aku tahu kau anak Dewa
Batara Kama."
"Dari siapa kau tahu?"
"Teropong batinku menyelusuri sejarah
masa lalumu. Tapi...," Pak Tua alias si
Layang Petir itu memandang makam yang
jebol. Lalu ia berkata lagi dengan pelan,
"Tapi aku sendiri terlambat. Patung
itu sudah ada yang mengambilnya pada saat
aku tiba di sini tadi malam. Aku tak tahu
siapa yang mengambil patung itu. Aku
sedang mencarinya dan ingin menghancur-
kannya. Namun melihat Hantu Congkak mati
dengan cara begini, aku yakin dia dibunuh
dari jarak jauh dengan cara menusukkan
benda tajam apa saja ke bagian jantung
Patung Iblis Banci itu."
"Sejauh mana ia bisa lakukan hal
itu?"
"Bisa sangat jauh, bisa juga berada
di sekitar sini, di tempat yang
tersembunyi," jawab Pak Tua dengan wajah
cemas memandangi keadaan sekitarnya.
"Lalu bagaimana dengan makam di bawah
pohon beringin merah itu?" tanya Pendekar
Romantis.
"Itu makam palsu. Sengaja kubuat
demikian supaya orang terkecoh dan
menyangka makam itu makam guruku.
Kulakukan begitu karena aku sadar bahwa
waktu itu aku telanjur mengumbar omongan
tentang wasiat guru kepada beberapa
orang. Untuk mencegah hal-hal seperti
ini, maka kubuat makam palsu di bawah
sana. Namun toh masih ada yang bisa
membedakan mana makam asli dan mana yang
palsu. Buktinya seseorang telah
menduluiku mengambil Patung Iblis Banci
yang keluar dari dalam makam itu tadi
malam!"
"Kita cari bersama kalau memang
tujuanmu mau hancurkan patung pembawa
malapetaka itu, Pak Tua! Aku pun
sependapat denganmu."
Pak Tua baru saja mau bicara, tiba-
tiba tubuhnya tersentak mundur dua
langkah dengan dada tergores dan
berdarah. Pandu Puber terkejut sekali
melihat hal itu. Pak Tua sendiri kaget
dan menjadi tegang. Namun ia masih mampu
berdiri dan berkata dengan napas tertahan
berat.
"Kali ini orang yang mengambil patung
itu menyerangku, Pandu!"
"Celaka!" Pandu Puber bingung
mengatasi hal itu. Ia hanya bisa menengok
ke sana-sini dengan tegang.
"Hati-hati, mungkin kau pun akan
diserangnya dengan cara seperti yang
kualami. Kurasa, uuhhg...!" Pak Tua
mendelik, ulu hatinya tiba-tiba berlubang
dan mengucurkan darah segar.
"Pak Tua...?!" seru Pandu segera
menangkap tubuh yang limbung ke belakang
dan mau tumbang itu.
"Di... dia... membunuhku, Pandu...."
"Jangan takut, Pak Tua! Aku di
pihakmu!" kata Pendekar Romantis,
kemudian segera membaringkan tubuh Pak
Tua di tanah.
Jurus 'Hawa Bening' digunakan Pandu
Puber untuk mengobati luka Pak Tua. Jari
tengah diacungkan menunjuk ke arah perut
Pak Tua. Dari ujung jari tengah itu
keluar sinar bening seperti kaca.
Slapp...! Sinar bening itu menghantam
perut Pak Tua dan tiada terputus
cahayanya untuk sementara waktu. Setelah
sesaat tubuh itu menerima sinar putih
bening, maka sinar tersebut pun padam dan
jari tengah Pandu dilemaskan kembali.
Hanya para dewa yang mempunyai sistem
pengobatan seperti itu tanpa harus
mengalami operas atau menjahit luka.
Kehebatan jurus 'Hawa Bening' adalah
dapat mengeringkan luka dengan cepat dan
menyembuhkan seseorang dalam waktu
singkat. Terbukti setelah sekitar lima
helaan napas, luka di dada dan dl ulu
hati Pak Tua itu mengatup sendiri, bukan
saja mengering melainkan pulih seperti
sediakala. Pak Tua sendiri tidak
merasakan sakit, dan napasnya longgar
kembali. Merasa badannya sehat, Pak Tua
segera bangkit dan memandang Pandu Puber
dengan heran bercampur kagum.
Di luar dugaan, Pak Tua segera
berlutut dan menundukkan kepala, sedikit
membungkuk, sebagai tanda memberi hormat
kepada Pendekar Romantis. Mungkin juga
sebagai ucapan terima kasih atas nyawanya
yang telah diselamatkan oleh Pandu Puber.
Tapi si pemuda tampan beranting satu itu
menjadi risi dan segera menyuruh Pak Tua
untuk bangkit berdiri.
"Jangan bersikap seperti itu di
depanku, Pak Tua. Aku jadi malu sendiri
menerima hormatmu."
"Hanya tangan dewa yang bisa
selamatkan nyawaku dalam keadaan seperti
tadi, Nak Mas Pandu Puber!"
"Pak Tua, lupakan kejadian tadi.
Sekarang coba cari dengan teropong
batinmu di mana pemilik Patung Iblis
Banci itu bersembunyi. Kita kejar dia dan
kita hancurkan patung pembawa bencana
itu, Pak Tua."
"Sudah kucoba beberapa kali tapi
selalu gagal menembus teropong batin
orang tersebut. Mungkin karena ia
memegang Patung Iblis Banci yang
mempunyai kekuatan sakti maha tinggi itu,
sehingga sulit ditembus oleh teropong
batin siapa pun."
Sumo Banjir keluar dari
persembunyiannya sejak tadi. Wajah
polosnya tampak masih diliputi perasaan
takut. Ia mendekati Pandu Puber dan
berkata, "Kang, aku pulang saja, ya? Aku
takut!"
"Hari sudah hampir sore. Apakah kau
berani pulang sendiri?"
"Berani, Kang. Pokoknya asal jangan
ketemu orang berpakaian hitam dengan
rambut dikuncir. Aku takut kalau lihat
orang itu, Kang."
"Mengapa takut?"
"Soalnya tadi malam aku lihat dia
lari di kaki bukit ini dan bertarung
dengan lawannya. Tapi lawannya tahu-tahu
mati sendiri. Padahal orang berkuncir itu
hanya memasukkan pisau kecil pada boneka
yang dibawanya. Dia sakti sekali, Kang."
"Tunggu, tunggu...!" kata Pak Tua.
"Boneka kecil seperti apa?! Kau melihat
sendiri boneka itu?".
"Ya, tapi tak jelas sekali karena
cahaya rembulan tidak terlalu terang.
Boneka itu sepertinya dari karet, Pak
Tua."
"Pantas! Itulah yang dinamakan Patung
Iblis Genit, eh... Patung Iblis Banci,"
kata Pak Tua saking gugupnya. "Patung itu
memang seperti karet, tapi menurut
penjelasan guruku; Iblis Banci sendiri,
patung tersebut sebenarnya terbuat dari
gumpalan daging dan urat-urat tubuhnya
yang mengkerut selama sekian tahun di
dalam liang kubur. Karenanya mudah
ditusuk dengan jarum, mudah digores
dengan benda tajam apa pun. Digores pakai
kuku pun bisa!"
Pandu Puber termenung menyimak kata-
kata tersebut, lalu ia mengingat kembali
kata-kata Sumo Banjir dan segera
menggumam,
"Orang pakaian hitam? Rambutnya
dikuncir?"
Sumo Banjir berkata, "Dia mengenakan
baju lengan panjang warna putih, Kang.
Tapi dirangkap baju seperti rompi atau
jubah tanpa lengan warna hitam. Matanya
kecil dan...."
"Shoguwara!" sahut Pak Tua itu dengan
tegas dan cepat.
Pendekar Romantis manggut-manggut, ia
pun berpendapat begitu. Shoguwara adalah
orang berkuncir, berpakaian hitam dengan
baju lengan panjang putih, matanya kecil
dan jidatnya lebar karena rambutnya
dikebelakangkan semua.
"Siapa anak ini sebenarnya?" tanya
Pak Tua kepada Pandu sambil menuding Sumo
Banjir. Pandu menceritakan siapa Sumo
Banjir secara singkat. Lalu, Pak Tua
bertanya kepada Sumo Banjir,
"Bagaimana kau bisa lihat orang itu
sedangkan kau dalam keadaan jauh
darinya?"
"Tidak terlalu jauh, Pak Tua. Aku
sembunyi di atas pohon, karena mencari
tempat untuk tidur. Aku melihat
pertarungan orang itu dengan musuhnya
tepat di bawah pohon yang kugunakan untuk
tidur itu."
"Mengapa kau ingin tidur di atas
pohon?"
"Habis, aku cari-cari Kang Pandu
nggak ketemu. Aku kemalaman. Kalau aku
pulang, takut dicegat macan di jalan.
Lebih baik aku diam di suatu tempat yang
aman. Esoknya baru pulang ke rumah, tapi
di jalanan kepergok rombongan Raga Paksa
yang akhirnya membuatku dikejar-
kejarnya," tutur Sumo Banjir dengan lugu,
tidak tampak dibuat-buat.
"Di mana kau melihat orang itu
bertarung?" tanya Pandu ingin menyelidik
pula. Sumo Banjir menjawab dengan polos,
"Di sebelah utara sana, Kang. Kurasa
mayat musuhnya orang itu masih tergeletak
di sana!"
"Pak Tua, aku akan memeriksa mayat
itu!"
"Aku ikut denganmu, siapa tahu aku
bisa mengenali mayat itu!"
Tanpa rasa ragu sedikit pun, Sumo
Banjir akhirnya membawa kedua tokoh sakti
itu ke arah kaki bukit sebelah utara.
Setibanya di sana, ternyata apa yang
dikatakan Sumo Banjir memang benar. Ada
dua mayat yang terkapar berjauhan dari
pohon yang dipakai bermalam Sumo Banjir.
Kedua mayat itu dikenali oleh Pak Tua
sebagai tokoh berusia tanggung, sekitar
lima puluh tahunan. Kedua mayat itu
dikenal dengan nama: Arwana Raja dan Pola
Kosa, utusan dari Pulau Madagasruk.
Melihat luka keduanya tepat di bagian
jantung, dapat diduga lawan mereka
menggunakan senjata tajam yang runcing
untuk menusuk jantungnya, karena tak
terlihat ada tanda-tanda perlawanan pada
diri si korban.
"Pandu...," tiba-tiba Pak Tua berkata
pelan, "Cepat berlindung. Aku merasakan
ada seseorang yang ingin melintasi daerah
ini!"
Pandu Puber tidak sangsi dengan
ketajaman indera keenam Pak Tua, sebab
kala ia dan Dardanila bersembunyi di gua
saja Pak Tua bisa mengetahuinya. Maka
dengan membawa tubuh Sumo Banjir, Pandu
Puber melesat naik bagaikan terbang ke
atas dan hinggap di salah satu dahan
pohon tinggi. Sumo Banjir sempat
gelagapan dan terengah-engah setelah diam
di atas pohon. Jantungnya bagaikan
tertinggal di bawah sana. Sementara itu,
Pak Tua pun segera menyusul Pandu Puber,
ia hinggap di dahan seberang Pandu.
Setelah sesaat mata mereka saling
memandang dengan awas, keduanya sama-sama
menangkap gerakan hitam yang melintas
cepat di sebelah timur mereka. Gerakan
itu amat cepat, jika Pandu dan Pak Tua
bukan orang berilmu tinggi, mereka tak
dapat melihat gerakan secepat itu.
"Kutahan dia!" ucap Pak Tua yang
segera melesat pergi bagaikan angin badai
menerobos dedaunan pohon. Wresss...!
Pandu Puber segera menyusul setelah
berkata kepada Sumo Banjir,
"Kau tetaplah di sini. Jangan ke
mana-mana. Nanti aku kembali menurun-
kanmu. Pegangan dahan yang kuat!" Dan
bocah itu hanya mengangguk-angguk dengan
patuh walau wajahnya tampak menentang
rencana itu karena rasa takutnya.
Zlappp...! Pandu Puber pun melesat
dengan cepat, bahkan tanpa timbulkan
suara gemerisik walau ia menembus
dedaunan pohon. Sumo Banjir terbelalak
dan berkedip-kedip kebingungan.
Orang yang dihadang Pak Tua itu
ternyata adalah Shoguwara, mantan
Pendekar Samurai Cabul dari tanah Sakura.
Shoguwafa sempat terperanjat melihat
Layang Petir masih hidup. Ini menandakan
memang dialah yang tadi membunuh Layang
Petir menggunakan kekuatan Patung Iblis
Banci.
"Kau masih Ingat aku, Shoguwara?"
"Layang Petir, wajahmu memang selalu
kuingat karena kau pernah lukai aku
sebelum aku memegang samurai cabul dulu.
Tapi sekarang walaupun tanpa samurai
cabul, aku tetap akan siksa dirimu dengan
patung pusaka ini!"
Wett...! Patung Iblis Banci
dikeluarkan dari balik jubah hitamnya.
Patung itu berukuran kecil, panjangnya
satu jengkal lebih sedikit, berwarna
hitam, membentuk wajah dan potongan tubuh
Iblis Banci. Pak Tua tahu persis, itu
adalah patung mantan gurunya. Namun
karena ia sudah bukan lagi masuk dalam
aliran sesat, hanya masih suka nakal
secara kecil-kecilan, maka timbullah
nafsunya untuk menghancurkan patung itu.
"Kau tak akan bisa ke mana-mana jika
aku sudah memegang patung ini, Layang
Petir! Saatnya mati untukmu telah tiba!"
Sett...!
Shoguwara mengambil pisau kecil
berujung runcing. Pisau yang biasanya
digunakan untuk senjata rahasia itu
tergenggam di tangan kanannya, sedangkan
patung itu digenggam tangan kiri. Pak Tua
diam saja. Ia tak mau bergerak dengan
bodoh. Karena sedikit meleset perhitungan
gerakannya, ia akan mati seketika itu
juga kalau pisau kecil itu dihujamkan ke
dada patung.
"Jika kau benar-benar Jantan,
hadapilah aku dengan tangan kosong,
Shoguwara!" pancing Pak Tua.
Shoguwara yang rambutnya dikuncir
tinggi itu menyeringai. "Bodoh amat kalau
aku tak memanfaatkan patung gurumu ini!
Susah payah kudapatkan saat ia melompat
dari dalam makam, kenapa harus kusia-
siakan! Terimalah kematianmu sekarang
juga, Layang Petir! Heaaah...!"
Clappp...! Sinar merah melesat lebih
dulu dari mata kiri Pak Tua. Sinar itu
menghantam tangan kiri Shoguwara.
Dess...!
"Auuhh...!" Shoguwara terpekik.
Tangannya tersentak ke atas karena
menjadi hangus seketika. Patung itu
terlempar terbang. Dan tiba-tiba ada
sinar putih perak yang menghantam patung
itu dengan tepat.
Blegarrr...!
Sinar putih perak itu tak lain adalah
jurus 'Inti Dewa' yang melesat dari
telapak tangan Pandu Puber. Sinar itulah
yang menghancurkan Patung Iblis Banci
hingga menjadi berkeping-keping dan
ledakannya mengguncang bumi cukup kuat.
"Pak Tua, minggir! Biar kulayani
dia!" teriak Pandu Puber yang segera
melompat menerjang Shoguwara.
Pandu Puber sempat nyaris tergores
pisau kecil di tangan kanan Shoguwara.
Untung kakinya cepat ditarik tak jadi
menendang. Tapi kejap berikutnya kaki
kiri Pandu berkelebat memutar dan tepat
kenai wajah Shoguwara.
Plokk...! Tentu saja Shoguwara
terpental mundur beberapa langkah, tapi
dikejar terus oleh Pandu Puber dengan
tendangan berputar hampir tujuh kali
berturut-turut.
Plok, plok, plok, plok...!
Tendangan cepat yang tak bisa
ditangkis itu di-namakan jurus 'Tendangan
Topan'. Kekuatan tenaga dalam yang
terpancar pada kaki membuat wajah
Shoguwara jadi babak belur, bengkak, dan
membiru. Ia tak bisa berkutik lagi,
sehingga terpaksa harus melarikan diri
sebelum kepalanya menjadi pecah oleh
tendangan mirip baling-baling.
"Patung itu hancur, Pak Tua!" kata
Pandu setelah Shoguwara tak terlihat
lagi. Pak Tua hanya manggut-manggut
dengan senyum kecil. Kemudian punggung
Pandu ditepuk-tepuknya.
"Terima kasih. Ternyata kau telah
selamatkan sekian banyak manusia yang
akan menjadi korban jika patung itu ada
di tangan Shoguwara. Kau memang layak
menyandang gelar pendekar, Pandu!"
"Berkat keberanianmu melepaskan
serangan ke tangan pemegang patung tadi,
akhirnya aku dapat hancurkan benda
tersebut. Jadi keberhasilan ini bukan
milikku saja, Pak Tua. Kau juga punya
andil dalam menghancurkan patung mantan
gurumu itu!"
Pak Tua manggut-manggut dengan senyum
tipisnya. "Kalau aku dulu sudah sesadar
ini, mungkin aku tak mau menjadi murid
orang sesesat dia! Tapi, biarlah masa
lalu itu terkubur dalam. Yang penting aku
sudah merasa lega, patung penyebar
bencana itu sudah hancur!"
"Lalu bagaimana dengan mereka yang
menunggu di makam palsu itu?"
"Akan kubongkar makam itu biar mereka
tahu bahwa makam itu palsu dan patung
yang mereka cari sudah kau hancurkan!"
Maka, bergegaslah mereka berdua
menuju kuburan di bawah beringin merah
itu. Pak Tua menghentikan pertarungan
yang terjadi di sana. Ternyata jumlah
tokoh tua yang ingin memperebutkan patung
itu lebih banyak lagi dari jumlah saat
ditinggalkan Pandu. Sementara itu,
Dardanila segera turun menghampiri Pandu
dan berbisik,
"Terlalu lama kau pergi dariku. Aku
kasmaran lagi, Pandu... "
"Uuuh... kamu ini tahunya cuma
kasmaran melulu! Ayo deh!"
"Kita ke gua yang tadi malam, Pandu?"
"Kita menjemput Sumo Banjir. Ia
tertinggal di atas pohon!" jawab Pandu
Puber dengan sedikit gondok hati
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon